Kokoro Connect (Indonesia):Jilid 2 Bab 5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 5 - Bekerja Sama Membangkitkan yang Tumbang[edit]

Meski Taichi beradu mulut dengan Aoki dan Nagase kemarin, ia masih pergi ke sekolah seperti biasa.

Sebenarnya, dia pikir dia terlalu sombong dan egois sehingga dia lebih baik tetap di rumah.

Meski begitu, dia memiliki fisarat buruk bahwa dia akan mendapat konsekuensi yang lebih buruk jika dia benar-benar tetap tinggal di rumah.

Masih ada adik dan orang tuanya di rumah. Tidak sepenuhnya aman jika dia membuat kekacauan di sana.

Lagipula, Nagase pasti akan menyesal jika dia melakukan itu. Entah hatinya atau bagian lain, Taichi tidak ingin menyakitinya lagi.

Pada waktu yang sama, ia merasa ragu karena ia tak tahu apa yang akan dilakukannya di luar. Jika dia rentan untuk menyakiti Nagase ketika menghadapinya, tampaknya itu adalah keputusan yang gegabah. Berada di hutan tanpa jalan keluar, dia tidak tahu ke mana harus pergi atau jalan mana yang benar.

Bagaimanapun juga, ia masih berhasil pergi ke sekolah.

Namun, ia masih gelisah karena dia akan membuat kekacauan jika dia mendekati orang lain.

Dia harus bertahan hari itu dan menjaga jarak dengan semua orang, memfokuskan pikirannya hanya pada pelajaran.

Ketika Nagase mendekatinya sekali, ia dengan sengaja menjauhkan diri darinya. Ia mengiriminya pesan yang berkata ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menjauhinya.

Ia juga mengirim pesan permintaan maaf atas apa yang dikatakannya kemarin pada Aoki.

Tetapi, ia belum menerima jawaban meski telah menunggu lama.

Ketika dia dan Aoki sedang dalam pelajaran olahraga, Aoki mengabaikannya.

Taichi tidak bisa mengumpulkan keberanian untuk pergi ke ruang klub.

Esok harinya, Taichi melakukan hal yang sama.

Tak pernah dalam waktu yang lama ia hanya pergi ke sekolah tanpa satu pun percakapan dengan Nagase atau Inaba Himeko. Biasanya, mereka akan berbicara dengan satu sama lain paling tidak sekali pada saat istirahatdalam sehari.

Watase dan teman-teman lainnya berkali-kali bertanya dengan terkejut, "Apa kalian tidak apa-apa?" Jika jarak di antara mereka semakin jauh, mungkin teman-teman sekelas mereka akan penasaran apa yang sedang terjadi di antara mereka.

Lalu masih ada masalah Kiriyama. Sebenarnya itu adalah masalah terbesar.

Kiriyama masih belum ke sekolah, termasuk kemarin dan hari ini. Sejak kekacauan di stasiun, dia telah absen selama lebih dari seminggu.

Diduga—didengarkan diam-diam, sebenarnya—bahwa Nagase mengunjungi Kiriyama sendiri kemarin, tetapi tidak membuahkan hasil. Nagase bilang dia berencana mengunjunginya lagi hari ini.

Teman-teman Kiriyama di kelasnya sepertinya juga melakukan hal yang sama, meski mereka tidak mengalami kemajuan, karena mereka tidak tahu alasan sebenarnya dibalik ketidakhadirannya.

Memikirkan solusi untuk masalahnya itu penting tapi masalah mungkin terjadi jika hasrat Taichi terlepas pada saat itu; karena itu, lebih baiklebih baik mengumpulkan anggota klub dan memikirkan solusinya bersama. Tapi tetap saja, mereka mungkin menyakiti satu sama lain jika mereka berkumpul bersama karena proses berpikir mereka mungkin membuat mereka emosional, terutama dirinya, , sombong dan hanya memikirkan hal-hal yang penting bagi dirinya sendiri.

Ia dapat dengan mudah menyakiti yang lainnya. Dia tahu melakukan hail in adalah ide terburuk, namun, orang terburuk di sini adalah dirinya sendiri.

Tidak berhasil: dia tidak bisa melakukan ini.

Ia hanya dapat membiarkan waktu berlalu selagi masalahnya memburuk hari demi hari.

Ia tak dapat mengumpulkan keberanian untuk pergi ke ruang klub lagi hari ini.

Seminggu lagi telah berlalu.

Ia mengunci dirinya di kamarnya tanpa keluar pada akhir minggu. Adiknya sangat mengkhawatirkan kondisinya.

Takut akan terlepasnya hasrat, dia menghabiskan waktu sendiri, waktu yang terasa sungguh terlalu lama.

Ia harus memikirkan apa yang harus dilakukan sekarang, namun ia tidak dapat memutuskan apa yang harus dilakukan dalam renungannya.

Dia tidak mau melakukan apapun, juga tidak mau bersantai-santai sendiri.

Pernah sekali waktu ia menghancurkan jam beker di depannya ketika hasratnya terlepas.

Amarah penghancur yang tersembunyi dalam dirinya mengejutkannya.

Dia tidak tahu akan jadi apa dia nantinya.

Dia takut dia akan menjadi seseorang yang akan mennyakiti atau merusak sesuatu yang penting baginya.

Jika sendirian, ia akan tenggelam dalam rawa, tidak dapat melakukan apa-apa.

Melepaskan pikiran-pikirannya yang berlebihan, dia pergi ke sekolah seperti biasa pada hari Senin.

Dia berusaha untuk menahan diri dari memikirkan hal-hal yang akan membuat hatinya sedih. Ia membiarkan pikirannya berkelana jauh dan berkonsentrasi pada hal yang tepat di depannya.

Sebenarnya, dia tidak dapat mengontrol pikirannya dengan cara yang menyenangkan. Setiap kali ada yang terjadi, berbagai hal akan melintasi pikirannya.

Bagaimanapun juga, tidak ada hal-hal yang disebabkan oleh lepasnya hasrat yang mempengaruhi orang di sekitarnya.

Apakah itu hanya keberuntungannya? Ataukah dia memang orang seperti ini?

Taichi tidak berbicara pada siapapun di klub juga hari ini.


□■□■□


Pelajaran keenam hari Senin adalah waktunya pertemuan kelas 1C. Ketua kelas—Fujishima Maiko—berdiri di depan meja guru, mendiskusikan masalah tentang kegiatan karyawisata pada akhir minggu. Taichi mengingatkan dirinya untuk berkonsentrasi pada apa yang sedang terjadi sekarang.

"Diskusi ini menjadi semakin membosan. Tidakkah bagus jika semuanya diputuskan untuk kita pada awalnya?" Kata Watase, yang duduk di sebelah Taichi. Mereka berdua duduk di dekat satu sama lain pada semester pertama juga semester kedua.

"Aktivitas ini membutuhkan pertisipasi semua orang, kurasa."

Setiap kelas di kelas satu SMA Yamaboshi dapat memutuskan mau pergi ke mana dan apa yang akan dilakukan pada karyawisata musim gugur. Sudah berkali-kali mereka mendiskusikan hal ini dalam pertemuan kelas, dan diskusi kali ini adalah yang terakhir.

"Betapa melelahkan. Ini kan hanya jalan lintas alam biasa. Ini pasti karena para guru bermalas-malasan dan menyuruh para murid untuk memutuskan."

"Daripada itu katakan sesuatu yang membantu, dong."

"Hei, lagipula yang mulia Fujishima ada di sini. Hari ini pun dia menakjubkan dan cantik."

Watase menyebutkan nama Fujishima dari waktu ke waktu. Apa dia super masochist?

"Tapi kenapa 'yang mulia'?"

Taichi menoleh untuk melihat Fujishima. Rambutnya disisir ke belakang dan poninya juga disisir dengan rapi seperti biasanya.

"Jadi, mari bicara tentang kelompok, di mana setiap kelompok akan melakukan aktivitas utama dalam kunjungan ini—membuat nasi kare."

Wali kelas mereka, Gotou Ryuuzen, pergi setelah mengatakam, "Terima kasih banyak. Aku akan membiarkan Fujishima mengambil alih di sini," dan Fujishima dengan cepat mengambil alih.

"Aku berencana membuat delapan kelompok, setiap kelompok beranggotakan lima orang. Sebenarnya aku ingin membuat sepuluh kelompok, tapi karena kelas 1A juga akan menggunakan fasilitas kita, aku mengubahnya menjadi delapan jadi kita tidak akan kekurangan."

"Apakah akan ada terlalu banyak kelompok?"

"Bukankah akan lebih baik jika ada lebih banyak orang dalam satu kelompok?"

Para murid mulai mengutarakan pendapat (komplain) mereka.

"Apa yang kau bicarakan?" Kata Fujishima, menggelengkan kepala dengan pasrah.

Koko 2 00179-1-.jpg

"Memang penting untuk mengisi masa muda kita dengan memori bermain-main bersama teman-teman kita, tapi apakah kalian puas hanya dengan itu saja? Apakah tidak ada hal yang lebih penting?"

Kelas hening sejenak; semuanya berkonsentrasi pada apa yang akan Fujishima katakan.

"Benar. Hal itu adalah—cinta!"

Bagaikan menunjuk kriminal seperti detektif terkenal, dia menunjukkan jarinya dengan penuh semangat.

"Saat anggota kelompok lebih sedikit, semua orang harus berusaha lebih keras. Karena sedikitnya anggota kelompok akan mencegah fenomena itu—perempuan dan laki-laki berbicara dengan sesamanya—terjadi. Kemudian mereka akan, sedikit demi sedikit, mulai bekerja bersama, dan mengerti satu sama lain, atau bahkan melakukan kontak tubuh! Apa kalian benar-benar ingin kesempatan bertunasnya sesuatu ini hilang begitu saja? Oke, kutanya sekali lagi: kalian mau delapan kelompok? Atau kurang?"

"Ayo buat delapan kelompok! Fujishima-sama!" Teriak mayoritas laki-laki di kelas.

Watase juga ikut berteriak.

Meski begitu, sejak kapan Fujishima menjadi karakter seperti itu? Seharusnya dia lebih seperti ketua kelas yang tegas. Tunggu? Kenapa dia tidak bisa mengingat bagaimana dia terlihat ketika dia masih tegas?

"Aku mengerti. Jadi, karena ada dua puluh delapan orang pada kedua jenis kelamin, kita harus memisahkan perempuan dan laki-laki dalam masing-masing empat kelompok dengan tiga orang dan empat kelompok dengan dua orang. Jika ada yang menginginkan, kita dapat memperbolehkan untuk membentuk kelompok dengan jenis kelamin yang sama saja. Aku akan membuat penyesuaian jika ada kelompok yang tidak dapat terbentuk. Ayo mulai!"

Atas perintah Fujishima, semua orang meninggalkan kursinya dan memulai diskusi yang hangat. Taichi berpikir akan berpasangan dengan siapa. Jangankan laki-laki, apa dia harus mengajak Nagase dan Inaba menjadi anggota kelompoknya untuk mencegah hal yang tidak diinginkan? Meski begitu, mereka menjaga jarak mereka untuk mencegah bahaya. Tidak, jika dia berpikir terlalu banyak lagi, maka dia akan...Ia teringat saat Nagase terbentur lemari. Untung lukanya kecil dan bukannya luka yang fatal, , tapi jika waktu itu dia terbentur jendela, kaca, atau benda yang lain...

"Ayo masuk dengan kelompok yang sama denganku, Yaegashi!"

"Baik. Tidak masalah bagiku," Taichi menganggukkan kepala menyetujui perkataam Watase.

"Lalu, untuk perempuannya, aku ingin Fujishima!"

"Um..."

"Hei, mungking kau ingin Nagase dan Inaba bersamamu, tapi kali ini dilarang. Kau punya cukup waktu menggoda mereka pada aktivitas klubmu; tidakkah kau sebaiknya membantuku kali ini? Oke, aku akan merekomendasikan tempat kencan yang bagus untukmu lain kali. Aku janji," kata Watase, menggoncangkan pundak Taichi, matanya sangat serius.

"Sejak kapan aku menggoda cewek?"

Tidak tahu harus memikirkan atau melakukan apa, Taichimencoba mengalihkan perhatiannya pada topik lainnya.

"Watase, aku harus mengatakannya. Meski aku tahu kau populer dengan perempuan, dan pengalaman cintamu luas, Fujishima bukanlah orang yang kau inginkan."

"Karena itu aku menginginkannya. Selain itu, kenapa kau bicara seperti kau tahu banyak tentangnya?"

"I-Itu sulit dijelaskan dengn cepat."

Selagi Taichi menghindari pertanyaan Watase, ia melihat sekeliling kelas, sekilas melihat Nagase dan Inaba berbicara agak jauh darinya.

"Sebaiknya kita sekelompok, Inaban."

"Jagalah jarak dariku; tidakkah kau ingat apa yang kukatakan?" kata Inaba, sepertinya marah.

"K-Kau tidak harus mengatakan itu," kata Nagase dengan gontai.

Sepertinya suasananya kurang baik.

"Ini untuk kebaikanmu sendiri."

"Aku juga melakukan ini untuk kebaikanmu."

"Aku yang benar, bukan kau."

"Itu sulit untuk dikatakan!" Teriak Nagase.

Murid-murid di sekitarnya menoleh padanya dengan terkejut. Suasana yang kurang bagus itu menggelisahkan orang-orang. Apakah hasrat Nagase terlepaskan? Haruskah kuhentikan dia? Meskipun aku hentikan...

"Berhenti mengeluh, bodoh! Tsk, tolong menjauhlah dariku."

Inaba terlihat lesu, meski sepertinya hasratnya tidak terlepas. Ini membuat Taichi lebih gelisah. Nagase menggertakkan giginya untuk menahan kepedihannya, wajahnya terlihat seperti mau menangis.


"Aku akan mencuci muka," gumam Nagase, pada dirinya sendiri, dan pergi keluar kelas setelahnya.

Kelas menjadi sunyi senyap.

"Nagase..."

Ia sebaiknya mengejarnya, pikir Taichi, selagi berdiri. Pada saat itu, sebuah suara yang jernig dan tegas terdengar dalam kelas yang sunyi.

"Inaba dan juga Nagase akan berada dalam kelompok yang sama denganku," kata sang ketua kelas, Fujishima Maiko.

"Apa?!" Protes Inaba.

"Aku yang akan disalahkan jika Inaba dan Nagase tidak bisa akur dengan satu sama lain dan menghancurkan suasana kelas kita."

"Aku tidak harus mendengarkan omong kosongmu!"

Inaba menunjukkan kemarahannya. Sepertinya kata pengendalian diri tidak ada dalam benaknya.

"Sebagai ketua kelas, aku harus melindungi cinta dan kedamaian dalam kelas kita."

"Meski begitu, kau tidak punya hak untuk memutuskan!"

"Tentu aku punya. Aku ketua kelasnya."

Fujishima terlihat seperti pembela keadilan, Tapi Taichi tidak menyangka dia juga akan melindungi cinta di kelas mereka.

"Apakah boleh kalau begitu, Yaegashi?"

"Eh? Apa?" Taichi bersuara aneh karena terkejut.

"Sebentar... Kau satu kelompok dengan Watase. Jadi, sudah diputuskan. Nagase, Inaba, Yaegashi, Watase, dan aku akan membentuk kelompok dengan lima orang. Bagaimana, Yaegashi?"

"Kenapa kau tanya padaku..."

"Diamlah."

Terpikir olehnya bahwa Fujishima yang bertanya padanya terlebih dahulu—sepertinya belakangan dia brilian dalam terlalu banyak hal.

"Tsk!" Decak Inaba.

Di sisi lain, Watase menepuk pundak Taichi, "Yaegashi, aku akan menraktirmu jus lain kali—dua kaleng."


□■□■□


Pelajaran selesai begitu Perteuan kelas berakhir. Selagi Taichi berpikir akan melakukan apa, dia melihat sekeliling, dan melihat Inaba berjalan ke sisi Nagase. Meski dia tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan, sepertinya mereka sedang berdiskusi. Bagaimanapun juga, Inaba dengan cepat meninggalkan Nagase dengan punggungnya menghadap Nagase.

"Inaba," Nagase memanggil Inaba, tetapi Inaba mengabaikan Nagase dan pergi.

Nagase menurunkan pundaknya dengan sedih. Kelihatannya, selagi pundaknya turun, tas sekolahnya meluncur turun dari pundaknya dan jatuh ke lantai. Nagase kemudian perlahan mengambil tas yang tadinya meluncur di lantai. Saat itu, matanya bertatapan dengan Taichi. Taichi dengan cepat mengalihkan pandangannya, kemudian merasa sesuatu yang tidak baik terjadi.

Kenapa? Kenapa ia mengalihkan pandangannya? Sudah jelas tindakannya itu seperti mengabaikan Nagase. Meskipun mereka sebaiknya tidak terlalu dekat untuk menghindari saling menyakiti, dia tidak perlu mengabaikannya. Bukankah ini juga menyakiti Nagase? Itu benar-benar omong kosong. Taichi melirik mejanya, memikirkan ulang hal tersebut, dan melirik ke atas dengan hati-hati: Nagase telah berjalan keluar dari ruang kelas, sedih dan lelah. Taichi ingin memanggil dan menenangkannya, tapi ketika dia berpikir keinginan ini hanya karena dia tidak mau melihat wajah sedihnya, dia membenci dirinya sendiri.

Taichi sendirian di kelas. Jam di dinding menunjuk angka empat. Orang-orang yang akan pulang sudah memulai perjalanannya; orang-orang yang memiliki aktivitas klub sedang menuju klub mereka. Akan lebih baik jika dia pulang cepat agar dapat merasa aman. Meskipun dia tahu itu, dia tidak dapat berdiri.

Ketika dia sedang bermalas-malasan, pintu kelas terbuka. Yang masuk kelas adalah wali kelas 1C sekaligus pembimbing klub mereka—Gotou Ryuuzen. Mungkinkah itu «Fuusenkazura»? Pikir Taichi sekilas.

"Oh, Yaegashi, apa yang kau lakukan di kelas sendirian?"

Itu bukan «Fuusenkazura». Dia hanya Gotou yang normal.

"Bukan apa-apa. Sungguh."

Gotou berjalan masuk ke kelas.

"Hei, tinggalkan saja apa yang sedang kau lakukan untuk nanti. Jadi, beberapa guru mengomel padaku bahw ameja guru ini goyang terus, jadi aku meminta sekolah untuk menggantinya dengan yang baru, tapi mereka menyuruhku menggantinya sendiri. Apa ini masuk akal? Ini bukan bagian dari pekerjaan guru, kan? Meski sepertinya mereka akan membantu menggantinya besok, tapi guru yang komplain padaku bilang besok dia ada pelajaran. Guru ini sangat pemarah, kau tahu."

Selagi dia bicara tanpa akhir, dia mengangkat meja guru dan berhenti.

"Sepertinya kau menganggur. Ayo, bantu aku."

Jadi, Taichi membawa meja guru bersama Gotou. Taichi menghadap ke arah tempat tujuan mereka untuk menghidari melihat Gotou secara langsung. Meski Gotou tidak melakukan apapun yang membuatnya marah, tidaklah menyenangkan untuk mengingat «Fuusenkazura» setiap kali dia melihatnya.

"Yo. Sungguh beruntung ada kau yang membantuku. Akan berbahaya membawa benda ini melewati tangga."

"Oh," kata Taichi tak berdaya.

Biasanya, Taichi dapat membedakan Gotou dan «Fuusenkazura», tapi sekarang dia tidak dapat memperlakukan Gotou dengan kepala jernih. Dia takut dia akan marah pada Gotou.

Berbalik di ujung koridor, mereka memasuki bagian lain sekolah.

"Yo," kata Gotou, dengan nada bicara yang sedikit berubah, "apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Diserang pada tempat yang tepat, Taichi hampir menjatuhkan meja guru dan memegangnya dengan baik setelahnya.

"Tidak ada. Aku baik-baik saja."

"Sungguh tida meyakinkan menyangkalnya dengan wajah seperti itu. Apa kau ditolak? Coba kutebak... Nagase atau Inaba? Atau mungkin... Kiriyama?"

"Bukan hal semacam itu," kata Taichi datar. Dia harap tidak semua hal akan langsung dihubungkan dengan cinta.

"Kau harus mencari teman untuk mendiskusikannya pada waktu seperti ini."

"Eh?"

Karena Gotou menjawab dengan serius, seperti layaknya seorang guru, Taichi mau tidak mau menjawab dengan suara terkejut.

"Aku bilang—bicarakan hal itu dengan seorang teman. Oh, jangan minta saran padaku! Aku tidak peduli soal masalah cinta murid SMA."

Taichi tidak menjawab, tapi dia menggumamkan apa yang dikatakan Gotou: "Kebanyakan masalah dapat diselesaikan jika kau membicarakannya dengan seorang teman."

Ketika Gotou mengatakannya dengan penuh perasaan, dia tidak terdengar seperti guru yang tidak peduli apapun dan bertingkah seperti murid. Dia terdengar seperti orang dewasa yang dapat diandalkan. Perlindungan diri Taichi sedikit melemut, dan dia mengeluarkan sedikit pikirannya, "Tapi jika aku membicarakannya dengan teman-temanku, mereka akan terluka."

Mereka ingin mendiskusikan cara membantu Kiriyama, tapi mereka malah menyakiti satu sama lain sampai entah seberapa dalam.

"Apa? Bukankah tema adalah orang yang saling menyakiti dan menyusahkan satu sama lain?"

Taichi menatap Gotou dengan terkejut, tapi Gotou hanya menatapnya dengan wajah yang seakan berkata 'apa maksudmu? Itu kan sudah jelas'.

"Omong-omong, apa maksudmu terluka karena curhat? Oh, apa ini tentang cinta segitiga?"

Selagi Gotou bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri, dia melanjutkan perkataannya.

"Jika kau ada dalam situasi seperti ini, sebaiknya jangan kabur, buatlah semuanya jelas dan saling mengertilah satu sama lain. Selalu ada cara menyelesaikan masalah jika kau membicarakannya dengan satu sama lain secara langsung. Itulah yang dilakukan teman. Kadang, kau mungkin gagal, tapi jika kau tidak bicara dan membiarkannya, kau akan menyesalinya seumur hidupmu. Daripada begitu, bukankah lebih baik melakukan sesuatu dan gagal?"

Itu bukannya bersikap optimis, bukan juga khawatir akan resikonya. Itu adalah percaya semuanya akan membaik pada akhirnya dan mengambil langkah. Taichi mendengarkan Gotou dengan penuh perhatian.

"Kau mungkin gagal, tetapi tanpa pertengkaran , kau tidak akan menjadi teman sejati. Bagaimana aku harus mengatakannya? Jika kau hanya main aman saja, kau mungkin kehilangan hal yang terpenting."

Kata-kata itu perlahan meresap ke hati Taichi: akankah dia kehilangan hal yang terpenting jika dia hanya main aman saja?

"Yah, omong-omong, tidakkah aku terdengar seperti guru ketika aku berkata hal semacam itu? Bisakah kau sedikit lebih tersentuh?"

"Jika kau tidak bilang begitu, sejujurnya aku tersentuh."

"Apa. Di saat seperti ini, harusnya kau bilang dengan jujur, 'Aku tersentuh, pak!' Atau haruskah kubilang, oh, hei, Fujishima, ngapain di sini?"

Gotou memanggil Fujishima, yang bertemu dengannya di koridor.

"Saya harus mengurus sesuatu tentang karya wisata. Apa anda juga punya sesuatu yang harus diurus, pak? Terima kasih banyak," kata Fujishima dengan formal.

"Sepertinya begitu. Omong-omong, Fujishima, bisa tolong dengarkan Yaegashi?"

"Eh?"

"Apa?"

Taichi dan Fujishima bersuara, bingung.

"Aku sedang membicarakan dengan Yaegashi tentang pentingnya teman. Jadi, Fujishima, bisakah kau dengarkan dia? Sepertinya ada yang mengganggunya."

"Pak, meskipun saya ketua kelas dan anda wali kelasnya, anda tidak bisa menyuruhk saya melakukan semuanya. Lagipula, Yaegashi bukan teman saya melainkan musuh saya."

Jadi begitu Taichi di mata Fujishima.

"Apa? Fujishima musuhnya? Hei, hubungan rumit macam apa yang kalian miliki? Anak SMA sekarang sungguh unik. Bagaimana pun, bukankah bagus Fujishima berhubungan langsung dengan masalahnya? Jadi, kalian berdua harus berbicara."

"T-Tunggu, 'Go'!"

Meski Taichi memanggil Gotou dengan nama panggilannya, Gotou tidak mendengarkannya.

Gotou, yang sepertinya telah sangat diremehkan, menggunakan kekuatannnya untuk mengangkat meja guru yang dia dan Taichi angkat sendiri, dn meninggalkan Taichi dan Fujishima.

Taichi dan Fujishima kemudian ditinggalkan di tengah koridor dimana tidak akan ada orang yang lewat.

"Apa-apaan? Lupakan saja. Yaegashi, apa yang mengganggumu?" tanya Fujishima, menaikkan kacamatanya pada waktu yang sama.

"Tidak ada."

Tidak banyak yang dapat dibicarakan dengan Fujishima. Selain itu, dia pernah berpikir untuk mendorong Fujishima. Tidak baik terlalu dekat dengannya.

Meski begitu, Taichi berhenti berpikir sejenak.

Terpikir olehnya bahwa di salah.

"Tidak? Ya, sudah. Oh, apa mungkin berkaitan dengan Inaba dan Nagase?"

"Mmm..."

Ditusuk di tempat yang tepat, Taichi mau tidak mau mengubah wajahnya.

"Oke! Sebagai pelindung kedamaian dan cinta di kelas, aku tidak bisa membiarkannya. Apa masalahnya? Katakan saja."

Fujishima memaksanya menjelaskan; matanya di belakang kacamata mempertegas tekanan yang menakutkan itu.

Dia mungkin tidak dapat kabur jika dia bilang tidak ada apa-apa.

Lagipula, dia mungkin bisa mengerti sesuatu jika dia mengatakan sesuatu.

Bagaimana pun juga, suasana hatinya sedang tidak buruk, dan kekerasan di hatinya sudah melunak. Meskipun hasratnya terlepas, keadaan tidak akan terlalu buruk.

Taichi kemudian mencoba menanyakan pertanyaan yang dia tanyakan pada Gotou.

"Oke. Jika kau akan melukai orang lain jika kau berbicara dengan mereka, apa yang akan kau lakukan?"

Mendengar pertanyaan Taichi, Fujishima menghela napas. Dia seperti mengatakan: "Kau bahkan tidak tahu itu?"

"Jadi, tidak bisakah kau menghindari bicara dengan mereka?"

"Ya, ini jawaban yang paling mungkin, tapi jika tidak ada pembicaraan yang terjadi, ada hal yang tidak dapat dilakukan."

"Jadi bicarakan saja."

"Tapi mereka mungkin akan terluka."

"Coba kutanya, Yaegashi. Mana yang paling penting? Apakah itu menyakiti orang yang kau ajak bicara atau menyelesaikan suatu tugas dengan berbicara? Mana tujuanmu yang terpenting? Apa hal yang kau anggap paling penting? Coba tanyakan pada dirimu pertanyaan-pertanyaan itu," kata Fujishima.

Tujuannya yang terpenting.

Hal yang dia anggap paling penting.

"Saat kau dapat memutuskan hal yang terpenting dengan kepercayaan dan kepastian, keadaan akan membaik sendiri pada akhirnya. Sebaliknya, biasanya, jika kau tidak memutuskan, tidak akan ada yang terjadi," kata Fujishima, kemudian tersenyum.

Melihat Fujishima, yang selalu berwajah datar, tersenyum, akan menimbulkan perasaan apakah bagus melihat senyum seperti itu pada wajahnya.

Meski begitu, Taichi menganggapnya sebagai senyum dengan pesona yang baik.

"Omong-omong, kupikir manusia adalah makhluk yang akan menyakiti satu sama lain. Bagaimana kau menanggapinya adalah kebebasanmu."

Manusia adalah makhluk yang akan menyakiti satu sama lain. Ini adalah apa yang Fujishima katakan dan percayai.

Pada saat itu, Fujishima berkata, "Oh, maaf," dan mengeluarkan ponselnya. Sepertinya seseorang meneleponnya.

"Halo? Ada apa? Oke, jai kau mau curhat tentang cinta? Serahkan padaku."

Ketua kelas mereka yang dapat diandalkan itu sepertinya memang sibuk.

"Oke, dah."

Menutup ponselnya, Fujishima menatap Taichi.

"Maaf, ada beberapa hal yang harus kuurus. Apa ada hal lain yang ingin kau tanyakan?"

"Tidak, tak apa. Kau harus mengurus hal-hal tersebut sekarang."

"Benarkah? Baiklah. Silahkan curhat padaku kapan saja. Jika hal itu berpengaruh terhadap kelas kita, aku bahkan akan membantumu," kata Fujishima dengan elegan, dan pergi meninggalkannya.

Melihatnya terlalu elegan, Taichi tiba-tiba berkata, setengah bercanda, "Fujishima, sebenarnya kau itu apa?"

"Aku?"

Fujishima menoleh, rambutnya yang disisir ke belakang berkibar tertiup angin.

Dia menaikkan kacamatanya.

"Coba kupikir. Sepertinya aku bisa disebut pendeta cinta," kata Fujishima dengan wajah serius meski sedang mengatakan sesuatu yang seperti candaan.

Fujishima meninggalkannya dan menghilang setelah dia berbelok di tangga.

Taichi ditinggal di koridor sendirian.

Meski dia sendirian, dia tidak merasa dia sedang di sana sendirian.

Pengumuman sekolah terdengar pada saat itu: "Pak Gotou, Pak Gotou. Datanglah ke ruang guru secepatnya."

Pengumumannya memanggil Gotou. Taichi berharap itu bukan karena dia lupa iktu rapat.

Setelah pembicaraan itu, Taichi melangkah dan mulai berjalan.

Setelah anggota klub, termasuk dirinya, terkena fenomena «Fuusenkazura», mereka selalu mendiskusikannya bersama.

Itu dapat dimengerti jika memikirkan situasi mereka.

Meski begitu, masih ada orang selain mereka di dunia ini. Mereka akan mempengaruhi orang di sekitar mereka; mereka akan minta bantuan orang di sekitar mereka dan merepotkan mereka.

Setiap saat, dia akan terhubung dengan berbagai macam orang.

Taichi, pada akhirnya, mengingat fakta yang hampir dia lupakan.


□■□■□


Taichi memasuki ruang klub sendiri.

Baru beberapa hari kepergiannya, tapi dia sudah sangat merindukan tempat ini.

Dia duduk di sofa hitam yang dapat memuat tiga orang.

Kedua meja panjang diletakkan bersama, tanpa seorang pun yang duduk di kursi lipat yang mengitarinya.

Sudah dua minggu sejak pertemuan terakhir mereka.

Taichi menarik napas dalam-dalam.

Dia mulai berpikir apa yang harus dilakukan.

Normalnya dia mudah ragu dan khawatir akan apa yang akan dia lakukan jika dia berpikir sendirian, tapi sekarang dia merasa tidak ada masalah.

Dia tahu mengatakan dia tidak takut itu bohong, apalagi ketika pemikirannya untuk membantu orang lain, malah mungkin menyakiti orang, yang cukup berbahaya.

Meski begitu, dia pikir dia mungkin akan mengerti beberapa hal jika dia berusaha lebih keras.

Ada sesuatu dibalik pencerahan yang diberikan Gotou dan Fujishima.

Dia tidak akan tersesat, jadi jangan sampai dia tidak bisa melihat hal-hal yang penting baginya.

Jadi dia mulai berpikir.

Dia telah berusaha untuk menjaga jarak dengan semua orang di klub. Mengapa? Ini karena dia tidak ingin menyakiti siapa-siapa. Dia memilih tidak melakukan apapun karena ini. Tetapi, apakah ini adalah pilihan yang tepat? Memang, fenomena terlepasnya hasrat mungkin berakhir saat dia tidak melakukan apapun, tapi tak ada yang tahu kapan hal ini akan berakhir. Lagipula, sudahkah mereka sampai ke tahap di mana mereka tidak dapat menghindar lagi?Jika terus berlanjut seperti ini, tidakkah semuanya akan mengurung diri pada akhirnya? Jika hal ini berlanjut, mereka pasti akan hancur karena mereka tidak akan dapat menahannya. Mereka harus mencegah hal itu terjadi. Juga, apakah yang terpenting baginya?

Dia sekarang sedang berusaha tidak menyakiti siapapun. Ini tentu saja hal yang penting. Adalah hal yang penting untuk menghindari menyakiti orang yang mendekati diri kita. Meski begitu, apakah itu tujuannya? Apakah bagus hanya mencapai tujuan ini? Apakah dia hidup hanya untuk itu? Tentu saja tidak. Tidak mungkin itu tujuannya. Jadi, kenapa dia berusaha untuk tidak menyakiti siapapun? Ini karena mereka adalah rekannya, dan dia menghargai mereka. Memang, perasaan dalam dirinya bukan hanya perasaan yang disebabkan ketidakinginannya melihat orang terluka, tapi kenapa rasanya masih sakit jika dia hidup bukan untuk mencegah dirinya menyakiti orang? Apa yang harus dia lakukan untuk menyelesaikan masalah ini? Apa hal yang paling dia harapkan? Apa harapannya hanya agar semuanya berkumpul bersama?

Kiriyama mengurung diri di rumahnya karena dia terkejut. Awalnya semuanya berencana menyelesaikan masalah ini bersama, tetapi mereka malah mendendam satu sama lain, dan pada akhirnya, hubungan mereka memburuk.

Jadi, apa yang harus dia lakukan sekarang?

Dia ingin situasinya berubah jadi apa?

Solusi apa yang paling ideal?

Hubungan mereka membaik lagi, dan mereka dapat bekerja sama untuk menyelesaikan masalah Kiriyama mengurung diri di rumahnya—bukankah itu tujuan yang ingin ia capai?

Ini jelas-jelas solusi yang paling ideal, tetapi mengapa ia belum berusaha mencapai hal itu? Itu karena dia telah mengacaukan semuanya, melupakannya, dan kehilangan hal yang terpenting.

Apa yang harus dilakukannya saat membela diri hanya memperburuk situasi?

Jawabannya adalah serangan.

Kadang serangan adalah pembelaan diri terbaik.

Dia sama sekali tidak ingin melihat orang terluka, jadi dia akan mengorbankan segalanya untuk menyelesaikan masalah ini.

Dia terlalu keras kepala.

Bisakah orang yang keras kepala mengharapkan hal-hal ini? Dia tidak tahu. Meski begitu, tidak masalah bertanya pada orang lain jika dia tidak tahu. Jika tidak, situasi hanya akan memburuk. Jadi, kenapa tidak langsung akhiri saja semuanya?

Dia punya tujuan yang ingin dikejarnya.

Apa akan ada yang setuju dengan keinginannya?

Wajah Nagase, Inaba, Kiriyama, dan Aoki muncul dalam benaknya.

Dia ingin bersama semuanya lagi.

Dia ingin semuanya bisa berkumpul di ruang klub ini sekali lagi.

Mungkin dia terlalu keras kepala, tapi apa yang benar-benar ingin dia lakukan sekarang?

Dia ingin bersatu kembali.

Apa yang dipikirkan yang lainnya?


□■□■□


Taichi memutuskan untuk menghubungi Nagase Iori.

Dialah satu-satunya yang tidak menjaga jarak dengan aktif.

Taichi menunggu Nagase di ruang klub.

Sepertinya Nagase masih di sekolah; dia bilang dia akan segera datang ke ruang klub.

Saat itu, pintunya terbuka dengan keras.

"Ta-Taichi!" Teriak Nagase, terengah-engah.

"Hai. Kau tidak perlu terburu-buru begitu."

"I-Itu karena kau bilang kau ingin mengatakan sesuatu."

Nagase menahan lututnya dengan tangannya, membungkukkan badan, sepertinya kelelahan. Taichi membiarkannya menenangkan diri sebelum bicara.

Nagase terengah-engah berulang kali.

Ada rasa khawatir dalam dirinya saat menghadapi Nagase seperti ini. Apapun alasan yang dipakainya, dia mungkin secara tidak sengaja melukai Nagase, atau jika tidak ada lepasnya hasrat... Tetap saja, kenyataan bahwa ia telah melukai Nagase tidak akan menghilang. Selain itu, ia hampir melukai Fujishima. Semua ini bukti yang tidak dapat ia abaikan.

Melukai seseorang secara fisik adalah hal terburuk.

Dia adalah yang terburuk karena dia melakukannya.

Meskipun tindakannya disebabkan oleh lepasnya hasrat, hal itu tidak akan terjadi jika dia tidak menginginkannya. Sekali ia memikirkan sesuatu, pikiran ini akan menjadi satu-satunya hal yang penting baginya—dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya saat itu.

Dia adalah orang orang semacam itu, meskipun dia orang seperti itu...

"Jadi, Taichi. Ada apa?" Tanya Nagase, napasnya lebih teratur sekarang.

Taichi menatap wajah Nagase, mata mereka menatap satu sama lain.

Mata yang menyerupai batu mulia tersebut mencerminkan gambaran Taichi.

Nagase tidak memiliki niat untuk kabur. Ia memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi.

Apa yang ingin dia, Taichi, lakukan?

Apa ini sesuatu yang dapat dimaafkan?

"Dengarkan aku, Nagase. Aku sangat egois dan keras kepala. Sekali aku yakin suatu hal itu benar, aku akan segera melakukannya tanpa memperhatikan hal lainnya."

Nagase menatap Taichi dengan tenang.

"Selain itu, aku salah satu orang yang tidak akan berubah pikiran jika mereka berpikir bahwa mereka benar."

Itulah mengapa ia menyakiti Inaba, bertengkar dengan Aoki, dan bahkan menyakiti Nagase.

"Jadi, a-aku masih egois sekarang."

Taichi harus mengakuinya terang-terangan.

"Itu karena aku seorang bajingan sehingga aku menjaga jarakku dari semua orang untuk mencegah diriku menyakiti orang lain. Sepertinya kau tahu hal itu."

Dia gagal, bagaimanapun, dan dia benar-benar kecewa dan berkecil hati.

"Tapi, setelah kita berpisah, aku memikirkannya lagi. Aku masih ingin bersama kalian semua."

Apakah ini permintaan yang egois?

"Tapi sudah kukatakan. Aku orang yang egois. Terkadang aku mungkin menyakiti orang lain. Tentu saja, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga diriku agar tidak melakukannya. Tapi tetap saja..."

Apakah manusia dapat hidup tanpa menyakiti orang lain?

"Aku benar-benar membenci diriku karena sifat-sifatku. Aku yakin tak ada orang yang suka disakiti, tapi aku masih ingin bersama semuanya."

Hubungan mereka berlima sangat penting bagi Taichi.

"Daripada kita berpisah karena tidak ingin disakiti, aku memilih kadang tersakiti agar mendapat kesempatan bersama semuanya. Jadi, jika kau tidak masalah sekali-kali disakiti, apakah kau masih mau... dapatkah aku berada di sisimu?"

Biarkan aku mencoba berharap. Biarkan aku mencoba bertanya.

Apa yang Nagase pikirkan tentang hal ini?

Selagi Taichi berbicara, Nagase menatap mata Taichi tanpa berkedip.

Nagase mengisap ingusnya. Mulutnya berkedut, alisnya berkerut, matanya penuh air mata.

"Eh... ah... hei..."

Taichi kebingungan sebab ia tidak menyangka Nagase akan menangis.

Sesaat kemudian, Nagase terduduk di lantai.

"Taichi, kau sungguh kejam!"

"Eh... Um... Maaf. Caraku mengatakannya..."

"Bukan itu masalahnya!" Lanjut Nagase, terduduk di lantai.

"Aku selalu bekerja keras agar kita dapat berkumpul kembali, meskipun kalian selalu menyuruhku berhenti! Meski pada saat tidak ada yang datang ke ruang klub, aku selalu mengunjungi Yui sendirian!"

Setelah mendengar perkataan Nagase, Taichi menyadari satu hal.

Ia selalu berpikir ialah orang yang selalu memikirkan semua orang dan berusaha keras untuk tidak menyakiti siapapun, tetapi ia bahkan tidak sadar bahwa Nagase sangat terluka.

Semua perhatian yang dikiranya telah diberikannya pada yang lain terbukti tidak berguna.

"Tapi jika semuanya akan tersakiti karena ini, tak ada yang dapat kita lakukan jika kita harus menjaga jarak... Inilah yang awalnya kupikirkan."

Nagase tiba-tiba mengangkat kepalanya. Meskipun matanya merah dan bengkak, dia tidak menitikkan air mata.

"Tapi kau memberitahuku bahwa menyakiti satu sama lain tak dapat dielakkan. Apakah ini mungkin?"

Taichi tidak tahu jawabannya.

Ini tergantung bagaimana Nagase dan yang lainnya akaan menanggapinya.

Nagase menundukkan kepalanya lagi.

Kemudian, ia mengangkat kepalanya.

"Tapi, kupikir itu mungkin," kata Nagase, dengan senyum manis di wajahnya.

Taichi merasa tenang karena senyumnya, dan ia juga tersenyum, merasa agak aneh karena sudah lama tidak tersenyum.

Ia mengulurkan tangannya, dan Nagase berdiri dengan bantuan tangannya.

Mereka berdua saling menatap dalam jarak yang sangat dekat, jarak di mana mereka dapat saling peluk jika mereka mengulurkan tangan mereka.

Mereka cepat-cepat mengalihkan pandangan mereka dan mundur. Ya, jarak mereka tadinya terlalu memalukan.

"Ta-Taichi. Apa kau bermaksud mengatakan hal yang sama kepada semuanya, sehingga semuanya dapat berkumpul kembali di ruang klub?" Tanya Nagase, wajahnya menjadi lebih cerah.

"Ya. Itulah rencanaku."

Taichi ingin melakukannya, dan ia berharap semuanya juga mau—meski ini hanyalah harapannya.

Bagaimana ia dapat menentukan apakah yang dilakukannya itu benar atau salah?

Jawabannya sangat sederhana: kau hanya harus berbicara pada orang lain.

"Benarkah? Aku masih merasa tidak enak. Aku memikirkan banyak hal juga, dan aku telah bekerja keras, tapi kau mengambil kata-kata yang ingin kuucapkan sekaligus," kata Nagase, sedikit cemberut.

"Um... itukah yang kau pedulikan..."

"Aku hanya bercanda. Aku hanya ingin membuatmu lengah. Aku benar-benar tidak peduli! Tidak masalah siapapun yang menyelesaikan masalah ini."

Ia kira hubungan mereka telah membeku, tetapi bekunya meleleh dalam waktu singkat setelah berkomunikasi.

Meskipun mereka berpisah sebentar, hubungan di antara mereka masih ada.

"Omong-omong, Taichi, bukankah baru saja kau berkata kau egois?"

"I-Iya."

"Kau memang mementingkan diri sendiri."

"Wuaghh!"

Memang, ia masih akan terkejut jika mendengar seseorang mengatakan hal tersebut padanya.

"Walaupun kau egois, kebanyakan hal yang kau rencanakan adalah hal yang benar, meski kadang ada masalah yang menghalangi, kau tetap menjalankan rencanamu. Bagaimana aku harus mengatakannya?" Kata Nagase, menelengkan kepalanya selagi ia berbicara.

"Kau terlalu kaku, seperti kakek tua."

"Jadi itu bukan berarti aku pria tua, bukan?"

Taichi merasa terganggu akan hal ini sejak adiknya mengatakan hal yang sejenis padanya.

"Ahaha. Mungkin kau memang seperti itu."

Pada waktu ini, ia membuka pikirannya untuk berbicara pada Nagase, yang sangat memuaskan. Taichi mulai merasa situasi mereka bukanlah masalah besar. Lagipula, mereka harusnya dapat menekan efek dari lepasnya hasrat seminimal mungkin.

"Bagaimanapun, aku tidak percaya aku akan mendengarmu berkata bahwa menyakiti satu sama lain tidak dapat dielakkan."

"Aku benar-benar tidak suka ini. Aku benar-benar membencinya, tapi kenapa? Ini mungkin karena derita yang kita alami karena pilihan kita dalam menjalani hidup."

Taichi masih agak bingung, tapi keinginannya agar semuanya berkumpul jauh lebih penting daripada semua yang ada di hatinya. Mungkin, sepenting inilah hubungan pertemanan baginya.

"Oh, sati hal lagi. Aku harus meminta maaf padamu secara resmi. Maafkan aku karena mendorongmu dan menyakiti kepalamu."

Nagase menunjukkan wajah terganggu selagi Taichi mulai berbicara.

"Berapa kali kau mau minta maaf? Bukankah itu hanya ketidaksengajaan karena kau ingin aku memberi jalan? Lagipula, hal itu disebabkan oleh lepasnya hasrat."

Brapa kali pun ia harus meminta maaf, Taichi merasa itu masih belum cukup.

"Tapi aku..."

"Taichi," potong Nagase.

"Bukankah kau bilang tidak dapat dielakkan bahwa kadang kita akan saling menyakiti?"

"Ini agak sedikit berbeda."

"Ya, mungkin. Tapi itu tidak penting! Ini karena, aku, sebagai korbannya, berkata tidak masalah. Tidak apa-apa jika kau lebih berhati-hati lain kali."

Nagase tersenyum lembut.

"Ya. Hal yang terpenting adalah untuk tidak melakukan hal ini lagi lain waktu."

"Itulah yang kukatakan."

"Tapi bisakah aku melakukannya? Tidak. Aku harus berusaha keras untuk itu. Aku harus bekerja keras."

Meski Taichi mengakui bahwa teman akan saling menyakiti, ia tidak berpikir bahwa teman dapat saling menyakiti tanpa alasan.

Ia tidak tahu seberapa kuat niatnya akan bertahan dalam situasi mereka, tetapi jika itulah yang ia pikirkan, mungkin akan terjadi perubahan.

Orang seperti apakah dia sekarang?

Orang seperti apakah dia ingin menjadi di masa depan?

"Baiklah! Taichi, rencanamu tidak hanya untuk memanggilku ke ruang klub, bukan?"

Nagase menyeringai.

Melihat senyum Nagase, Taichi tahu ia dapat mengatasi segalanya.

"Ya. Tentu saja. Kuharap semuanya dapat berkumpul bersama lagi. Kupikir itu lebih baik untuk semuanya. Tentu saja, kita tetap harus melihat apa yang mereka pikirkan."

"Bagus, tapi apa yang harus kita lakukan? Telepon... tidak, lebih baik jika kita bertemu secara langsung, bukan? Jadi, biarkan aku mencari Inaba. Lagipula, aku bertengkar dengannya di kelas hari ini."

"Oke. Jadi aku akan mencari Aoki. Selain itu, kupikir lebih baik kau bicara empat mata dengannya. Aku juga bertengkar hebat dengan Aoki, jadi aku ingin bicara serius dengannya."

"Ya. Kau benar. Akhirnya, yang terpenting adalah Yui."

"Ya."

Kiriyama adalah yang paling banyak terluka. Meskipun tidak dapat dielakkan bahwa mereka akan saling menyakiti, hal ini tidak dapat dipaksakan pada Yui.

Meski begitu, pasti ada jalan jika mereka bekerja keras bersama.. Meski mereka tidak tahu apakah mereka akan berhasil, Taichi percaya mereka akan berhasil, dan ia bekerja keras lagi.

Klubnya hanya dapat berdiri ketika kelima anggotanya ada.

"Jadi, ayo pergi. Waktu berikutnya kita kembali ke ruang klub, aku harap kita berlima akan ada di sini."

"Ya!"

Taichi dan Nagase memukulkan tinju mereka satu sama lain untuk meningkatkan semangat mereka.


□■□■□


Taichi menelepon Aoki. Saat Taichi mengirim pesan yang intinya, "Aku ingin bicara secara langsung denganmu tak peduli apapun yang terjadi," Aoki, meski terkejut akan semangat Taichi, setuju untuk bicara.

Karena Taichi ingin menemuinya lebih awal, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Aoki.

Mereka bertemu di pinggir sungai di sebelah stasiun yang dekat dengan rumah Aoki.

Aoki masih memakai seragamnya. Saat melihat Taichi, Aoki tersenyum masam karena malu dan melambai.

"Yo. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kita bertemu," kata Taichi, mendekati Aoki dengan sedikit berlari.

Meski mereka baru empat hari tidak bertemu, empat hari itu anehnya terasa lama sekali dalam hati mereka.

"Ya. Kau benar."

Aoki memalingkan pandangannya.

Aoki biasanya bertingkah ceria. Jarang sekali Taichi merasakan atmosfer semacam itu dengan Aoki.

Apa yang akan terjadi. Apa yang akan dia katakan? Apa yang sedang kupikirkan? Pemikiran-pemikiran yang menakutkan inin memenuhi pikirannya.

Jika ia gagal lagi, atau jika ia terlibat dalam pertengkaran...

Terlepasnya hasrat akan membongkar semua aspek dalam diri seseorang, tapi jika mereka masih dapat menjadi teman meski telah terbongkar, maka fenomena ini bahkan tidak layak untuk disebut.

Aoki pernah berkata pada Taichi, "Kau pikir siapa dirimu?", dan bahkan mengkritiknya karena keegoisannya. Ini sangat menyedihkan Taichi.

Meski begitu, kata-katanya benar.

Taichi pernah berpikir berpisah lebih baik daripada dibenci juga.

Meski begitu, ia masih ingin berteman dengan Aoki.

Inilah yang ia pikirkan. Yang tersisa adalah bagaimana Aoki akan menerimanya.

"Um, Aoki. Aku... mengatakan beberapa hal buruk sebelumnya. Aku arogan dan keras kepala, dan selalu berpikir aku selalu benar; bagaimanapun juga, hal itu salah. Aku tidak dapat menghapus kesalahanku, tapi biarkan aku meminta maaf. Maafkan aku."

Taichi menundukkan kepalanya sebagai permintaan maaf.

Aoki tidak langsung menjawabnya, maka ada keheningan sejenak di antara mereka.

Taichi mengangkat kepalanya dengan khawatir, penasaran akan apa yang akan terjadi, hanya untuk melihat Aoki memainkan rambutnya dengan tangannya dan menghadap arah dungai.

"Ahh. Sial! Aku memang dikalahkan! Wuaghh," teriak Aoki dengan galak.

"Hei, hei. Kenapa kau berteriak keras sekali? Pikirkan orang yang ada di sekitarmu."

Taichi panik. Aoki, di sisi lain, tersenyum dengan tenang.

"Ya, Taichi. Ayo duduk dan bicara. Bukankah terasa seperti masa muda ketika dua orang pria berbicara sambil melihat matahari terbenam di sungai? Ayo sedikit lebih 'muda'!"

Hasilnya, Taichi duduk di samping Aoki.

Cahaya matahari terpantul di sungai yang bergerak, bersinar. Angin bertiup melewati pipi Taichi. Meski sudah agak malam, suhunya masih terasa nyaman.

"Yah. Sebenarnya, aku juga ingin minta maaf! Meskipun, aku tahu aku dikalahkan saat kau meneleponku," kata Aoki, tersenyum.

"Kau mengirimiku pesan permintaan maaf sebelumnya, tapi aku tidak menghiraukannya. Bagaimana aku harus mengatakannya? Perkataan Iori menyadarkanku. Kata-katanya membuatku terlihat seperti orang yang pelit. Oh, maksudku bukan Iori mengatakan hal yang buruk, hanya saja aku tertegun karena kata-katanya menyadarkanku."

"Mereka menyadarkanmu?"

"Itu karena ketidakmampuanku membuatku iri padamu yang dapat menyelamatkan semuanya. Meski saat aku tidak mau mengakuinya dan mencoba kabur... terutama dari diriku sendiri... Aku pikir aku memikirkan Yui setiap waktu, tapi yang palingg kupikirkan adalah diriku sendiri. Ini benar-benar menyadarkanku."

"Yang kau sebut menyelamatkan itu hanya kebetulan. Lagipula, aku juga bilang aku akan menyelamatkan Kiriyama, tapi ternyata sebenarnya hanya untuk diriku sendiri."

Fuh. Mereka berdua menghela napas panjang.

"Taichi, aku benar-benar minta maaf. Karena keirianku yang tidak berguna aku mengatakan hal yang buruk padamu. Jika kau mau memaafkanku..."

"Tidak apa, Aoki. Itu karena perkataanmu juga benar bahwa aku perlu mengakui."

Ia harus mengakui bahwa ia adalah orang semacam itu.

"Aku juga merupakan bajingan yang arogan. Jika kita tetap bersama, aku pikir kita akan sering beradu mulut. Apa kau masih iingin bersama denganku meski begitu? Kuharap aku bisa bermain dan bicara denganmu di ruang klub lagi."

Aoki melirik wajah Taichi dan mengedipkan mata beberapa kali.

"Oh, spa kay mash harus mengatakan hal itu sekarang? Atau haruskah kukatakan ini terasa seperti kata-kata orang pacaran? Ini sungguh memalukan! Aku tidak punya minat itu, kau tahu."

"Aku juga tidak!"

Mereka tertawa bersama sekarang.

"Huh, tapi aku memang tidak berguna. Aku dendam padamu, tapi yang memberanikan diri untuk minta maaf adalah kau."

"Tapi, kau tidak mengatakan hal yang salah, Aoki."

"Jika dipikirkan, bukankah itu berarti kau selalu memikirkan cara untuk menyelamatkan Yui? KUrasa itu sesuatu yang sangat hebat. Selain itu, jika hasratmu tidak terlepas dan kau dapat tetap tenang, kupikir kau tidak akan menggunakan cara yang dapat melukai yang lainnya."

"Bisa dibilang begitu jika kita melihatnya dengan positif. Omong-omong, hal yang serupa berlaku bagimu, Aoki. Kau melakukannya untuk Yui, bukan?"

"Kau bisa bilang begitu, tetapi sepertinya pada akhirnya hal itu untuk diriku sendiri. Bertindak benar-benar hanya untuk orang lain, bagaimanapun, sebenarnya mustahil. Hal-hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mengerti semuanya," gumam Aoki, memandang jauh.

Aoki kadang akan mengatakan hal-hal yang pintar.

Meski ia terlihat seperti orang yang tidak serius, ia tahu apa yang benar-benar penting.

Apapun yang mereka lakukan, mereka masih orang yang tidak dewasa.

Mereka tidak dapat hanya hidup untuk satu orang.

Meski begitu, mereka dapat belajar untuk menerimanya.

"Kau benar tentang hal itu pada akhirnya hanya untuk diri kita sendiri, tapi kita tetap..."

Taichi berhenti, dan Aoki melanjutkan kata-katanya, "ingin membantu Yui, kan?"

Aoki menepuk paha Taichi.

"Baiklah. Kalau begitu, ayo pikirkan cara untuk membantunya! Oh, jika hasrat kita terlepas di tengah-tengah diskusi... bagaimanapun, hal-hal ini tidak penting lagi bagiku sekarang."

"Ya. Juga..."

Sesaat setelah ia bicara, ia menggelengkan kepalanya dan berkata, bukan apa-apa.

Ia awalnya ingin menghubungi Nagase yang sedang mencari Inaba. Jika ia berhasil, maka mereka akan mencari tempat untuk bertemu. Meski begitu, ia memutuskan untuk menundanya dulu. Lagipula Nagase akan mencari Taichi jika keadaan memburuk.

Terpikir olehnya ia akan dapat melakukan sesuatu jika ia berkerja sama dengan Aoki. Jika mereka benar-benar dapat menyelesaikan masalah Kiriyama, maka baguslah. Jika tidak, mereka dapat mencari cara yang lain atau meminta bantuan yang lainnya.

"Jadi, ayo pikirkan cara mennyelesaikan masalah Yui. Tidak, 'menyelesaikan' masalahnya terdengar terlalu arogan, haruskah kukatakan: apa yang kita harapkan akan Yui lakukan?" Aoki berkata.

"Aku masih berpikir membiarkannya sendiri bukan pilihan. Karena, kita tidak tahu kapan terlepasnya hasrat akan berakhir."

Dalam kasus terburuk, jika ia tidak mau, mereka dapat membiarkannya menjaga jarak dengan mereka. Tidak masalah meski ia tidak datang ke ruang klub.

Itu masih, paling tidak, lebih baik daripada membiarkannya mengurung diri di kamarnya tanpa datang ke sekolah.

"Akan bagus jika kita tidak menyakiti siapapun karena hal ini. Ya."

Mereka tiba-tiba merasa menderita.

"Yah, meski sulit mengatakannya pertama, bukankah ini terlalu sulit untuk kita berdua? Kupikir Kiriyama juga harus melakukan bagiannya."

Jika mereka dapat menemukan cara yang dapat menyelesaikan masalahnya dari akarnya, maka bagus; bagaimanapun, melihat keadaan mereka, mereka tahu itu hal yang sulit. Inilah mengapa Kiriyama harus memiliki kesadaran untuk mengambil resiko.

"Kau benar!"

"Selain itu, kita sudah tahu kita dapat menekan efek terlepasnya hasrat dengan memperhatikan perubahan suasana hati kita, meskipun kita dapat gagal 'kadang-kadang'."

Aoki mengoreksi dirinya. Ia benar.

"Tidak dapatkah kita menghentikan Kiriyama saat kita di sisinya?"

"Apa kita punya cara untuk menahannya?"

Kelihatannya mustahil, karena apa yang mereka hadapi adalah Kiriyama Yui, yang dulunya karateka jenius.

Taichi melanjutkan, mempertahankan tekadnya, "BUkankah akan berhasil jika kita cukup berkata 'Tidak masalah jika kita cukup hati-hati!' ?"

"Eh, apa yang salah dengan tekad Jaman Showa itu? Taichi, apa kau memakai otakmu?"

"Ah, aku ditegur Aoki."

Sungguh mengejutkan.

"Atau haruskah kukatakan, karena teorimu waktu itu Yui dapat mengatasi traumanya. Oh, tapi bukankah itu karena aksi hebatmu menendang area fatal? Sebenarnya, logika macam apa yang kau pakai sehingga kau dapat memikirkan hal semacam itu?"

"Pada waktu itu.. Aku pikar itu karena fenomena pertukaran kepribadian. Atau bisa dikatakan, hal itu hanya dapat terjadi karena adanya pertukaran kepribadian."

"Sungguh cara berpikir yang hebat dan positif! Kau dapat berpikir ke belakang!"

Aoki memutar tubuhnya ke belakang denga berlebihan.

"Tapi tak ada yang hanya dapat kita lakukan di waktu ini... ah!"

Tubuh Aoki jatuh ke belakang.

Ia mengangkat tangannya, seperti menangis bahagia.

"Ada apa?" Tanya Taichi.

"A-Aku pikir aku mendapat inspirasi."

"B-Benarkah?"

"Ya. Aku tidak tahu apakah akan bekerja. J-Jadi, aku harus memikirkan cara mengatakannya! Mm, jika saja Inaba di sini, akan bagus. Ia hebat dalam mengatakan hal-hal seperti itu, kau tahu."

Setelah mendengar perkatan aoki, Taichi, setelah agak ragu, memutuskan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya, "Aku juga hebat dalam hal itu!"

Meski ini bukan hal yang dapat dibanggakan, Taichi masih mencoba mengatakannya.

Ini karena keberanian di dalam dirinya.


□■□■□


Buatlah jerami selagi matahari bersinar[1] — dengan peribahasa ini dalam pikiran mereka, Taichi dan Aoki memutuskan untuk segera mengambil tindakan.

Mereka sampai di rumah Kiriyama agak malam.

Mereka bertemu ibu Kiriyama di pintu dan berbicara sejenak. Sepertinya ia lupa membeli sesuatu, jadi dia pergi ke supermarket untuk membelinya.

Dibandingkan dengan penampilannya minggu lalu, ibu Kiriyama terlihat lebih kurus — bahkan Taichi yang baru saja mengenalnya saja menyadarinya. Seberapa besar rasa sakit yang ia rasakan? Seberapa khawatir anggota keluarga Kiriyama yang lain?

Ia harus menyelamatkan Kiriyama demi orang-orang sekitarnya ini, pikir Taichi.

Setelah mendapatkan ijin dari ibu Kiriyama, mereka memasuki rumah Kiriyama. Melewati pintu dan menuju lantai dua di mana kamar Kiriyama berada, mereka sadar bahwa tidak ada orang di rumah, meski ibu Kiriyama sepertinya tidak peduli.

Taichi menghembuskan napas diam-diam. Ia merasa lega dengan fakta bahwa tidak ada orang lain di rumah, yang akan mempermudah pekerjaan mereka.

Saat menuju pintu, Taichi dan Aoki menatap satu sama lain.

Meski aneh bagi Taichi untuk berpikir seperti ini, ia pikir ini merupakan rencana hebat yang dipikirkan oleh mereka berdua.

Wajah Aoki bersinar penuh tekad seperti tentara yang akan pergi berperang. Ia mengangguk, dan Taichi mengangguk balik.

Aoki mengetuk pintu.


"Siapa itu?" SUara kecil Kiriyama terdengar dari balik pintu.

"Taichi dan aku."

"Masuklah."

Hal yang sama terjadi pada waktu kedua mereka datang. Bagaimanapun, Kiriyama tidak masalah membiarkan mereka masuk.

Ini ketiga kalinya mereka masuk ke kamar Kiriyama.

Mereka berdua melihat sekeliling kamar Kiriyama, di mana mereka mulai familier dengan kamar tersebut.

Warna-warna di kamarnya cerah, dengan banyak benda-benda imut. Meski kamar tersebut memiliki kesan feminin, suasananya suram dan kelam.

Kiriyama terlihat lelah, bagaikan mimpi, seperti cahaya yang memudar.

Mereka dapat melihat melalui pakaian olahraganya bahwa kulitnya sangat pucat, seperti seorang pasien. Mereka tidak dapat menemukan dirinya yang biasanya sehat dan lincah.

"Sudah lama kita tidak bertemu," sapa Taichi.

"Ya."

Meski ia bicara dengan suara kecil yang tidak dapat didengar tanpa perhatian ekstra, ia masih, paling tidak, membalas kata-kata Taichi.

"Yui, ayo keluar. Ayo pergi ke sekolah. Tidak apa-apa, kok," kata Aoki, mengeluarkan kata-kata itu dahulu.

Mereka tidak mengamati apa yang akan terjadi.

Mereka tidak melakukan tindakan-tindakan kecil.

Mereka tidak secerdik itu.

"Apa? Mengapa kau datang untuk mengatakan hall ini lagi? Sudah berkali-kali kuulang. Aku tak tahu kapan aku akan melawan orang lain. Tidak mungkin aku akan keluar. Meski kupikir yang dikatakan Inaba benar, tetap saja aku tidak..." gumam Kiriyama dengan wajah yang terluka dan sedih.

Meski begitu, kau tidak bisa mengunci dirimu di rumah. Kau tidak bisa tetap begini selamanya," kata Taichi.

"Tapi... tapi..."

Kiriyama menundukkan kepalanya dan terus mengatakan 'tapi' entah berapa kali.

Semuaanya masih sama seperti sebelumnya.

Sekarang waktu untuk berubah — untuk membalik keadaan.

Taichi mundur untuk membiarkan Aoki mengurusnya. Ia melihat mereka dari samping. Ia bukan tokoh utamanya hari ini tapi penonton yang mengarahkan mereka.

Tidak ada artinya jika bukan Aoki yang mengatakannya.

"Kau terlalu banyak memikirkan hal ini. Kalau Yui tidak masalah. Tidak akan terjadi hal-hal seperti itu. Walaupun terjadi, kita tetap akan berhasil melewatinya!" Kata Aoki datar dengan tekad kuat.

Dukungan tanpa kata Taichi sepertinya telah mencapai mereka dan meningkatkan tekad Aoki.

"J-Jangan bercanda. Meski aku ingin berdiri teguh, tidak ada harapan saat hasratku terlepas. Kau juga mengerti, bukan?"

"Tidak. Bukan begitu. Tidak peduli sekuat apa hasrat kita, tidak peduli apa yang terjadi, tidak peduli apa yang akan terjadi sebagai akibatnya, kalau saja kita dapat benar-benar menahan diri kita agar tidak melakukannya dengan segenap tekad dan kekuatan kita, kita benar-benar tidak akan melakukannya!"

Aoki tidak hanya menggunakan kata-kata tetapi juga wajah dan seluruh tubuhnya untuk menyampaikannya pada Kiriyama.

"Bukankah pelepasan hasrat akan menekan pikiran itu? Saat hal itu terjadi, berpikir untuk menahan diri akan percuma. Bukankah ini yang sedang kita hadapi?"

"Benar, tapi tidak juga!"

"Eh?"

Kiriyama mengerutkan dahi, ia memiringkan kepalanya dalam keraguan.

"Tidak masalah karena bukan begitu!" Ulang Aoki.

"Apa?"

Kiriyama mengerutkan kening lebih dalam.

Ups. Sepertinya Kiriyama tidak mengerti sama sekali apa maksud Aoki.

Atau dapat dikatakan Taichi berpendapat Aoki mengatakannya dengan terlalu menggebu-gebu sehingga usahanya sedikit sia-sia. Apa tidak masalah? Haruskah Taichi ikut campur? Rasanya lebih gugup di posisi penonton.

"Jika aku dapat membuktikan bahwa memang tidak masalah, bahwa kita dapat menahan diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan, maka kau akan keluar, pergi ke sekolah, dan kembali ke ruang klub, oke?"

"Ah...eh... Jika aku juga dapat menahannya... maka..."

Lalu sebelum Kiriyama dapat menyelesaikan kalimatnya...

"Oke. Mari kita buat ini sebuah kesepakatan! Aku akan melakukannya!"

Aoki tersenyum lebar, menunjukkan gigi putihnya, mengatakan, "Bukannya aku pamer, tapi aku benar-benar menyukaimu, Yui! Aku sangat, sungguh-sungguh, super menyukaimu!"

Pada saat ini, kekerenan Aoki telah mencapai tahap yang mengejutkan.

Mungkin pengakuan ini terlalu mendadak, Kiriyama tidak merona tetapi hanya mendengarkannya dengan seksama.

"Dan, bukannya aku pamer, tapi aku agak mesum. Bukan. Sejujurnya, aku sangat mesum. Kau dapat menyebutku seseorang yang cukup mesum atau bahkan sungguh sangat mesum!"

Aoki telah merusak imagenya dalam sekejap.

Meskipun ini demi rencananya, dia akan terlihat keren jika tidak mengatakan kata-kata terakhir itu...

"Jadi, jika hasratku terlepas—sejujurnya—tidak heran jika aku mendorongmu, Yui, ke bawah kapan pun hal itu terjadi!"

Aoki mengatakan kalimat terburuk dengan senyum penghabisan.

Kiriyama, asalnya membatu, sekarang mulai perlahan-lahan merona.

"K-Kau bicara apa! Kaulah yang terburuk!"

Sambil berteriak, ia melemparkan bantal di sampingnya pada Aoki, mengenai perut Aoki secara langsung.

Inilah yang pantas Aoki dapatkan.

"T-Tidak, Yui. Aku belum selesai. Masih ada yang belum kukatakan!"

Aoki berhenti sejenak, dan kemudian berdiri lagi.

"Tunggu, biarkan aku berpikir...oh ya! Tidak heran jika aku mendorongmu ke bawah kapan pun hal itu terjadi, tapi aku akan menggunakan tekad kuatku—tekadku yang sekuat baja untuk tidak akan melakukan hal-hal itu—untuk mengalahkan hasratku!"

Ini merupakan pernyataan yang hanya berguna dalam situasi seperti ini.

"Saat aku menang atas hasrat itu dan berhasil dalam tidak mendorongmu, itulah bukti bahwa meski kita punya hasrat, kita dapat mengalahkannya dengan tead kuat untuk tidak melakukannya!"

Itu adalah kata-kata yang berarti hanya karena Aoki yang mengatakannya.

"A-Apa kau bodoh? Aku tidak mengerti maksudmu. Tidak, mungkin aku bisa..."

"Apakah aku benar? Jadi, Yui, ayo habiskan malam ini di hotel! Jika aku tidak mendorongmu di hotel, maka kau harus percaya bahwa kata-kataku benar!"

Rencana ini memang mengejutkan. Taichi hanya dapat tetap tenang karena ia hanyalah penonton.

Karena suatu alasan, semuanya begitu malu sampai wajah mereka memerah.

"Aku tidak mau! Kenapa aku harus pergi ke tempat seperti itu dan menanggung risiko didorong seperti idiot!"

Mungkin ia gelisah, suaranya mengeras sedikit demi sedikit.

"Aku tidak mau, aku tidak akan melakukannya! Kenapa kau bisa begitu yakin hal itu tidak akan terjadi meski hasratmu bisa saja terlepas?"

Aoki dengan tegas menjawab pada Kiriyama yang sedang marah. "Ini karena aku tidak mau kau terluka apapun yang terjadi! Ini karena aku benar-benar menyukaimu!"

Kiriyama berhenti bergerak.

Wajahnya kaku, dan wajahnya menjadi datar.

"Aku percaya bahwa hasratku untuk tidak melukaimu pasti lebih kuat!"

Hasilnya, seseorang hanya akan bertindak demi diri sendiri—orang yang mengakui hal ini berkata bahwa ia akan mementingkan perasaan orang lain di atas dirinya dan bahwa ia dapat melakukan hal ini—bukan karena kekuatannya, tapi apa yang ia dapatkan setelah memikirkannya dengan masak.

Koko 2 00225-1-.jpg

Ia tidak akan dapat mengataknnya jika ia tidak mengakui perasaannya atas orang lain di hatinya.

Berapa orang di dunia ini menghiraukan kata-kata mereka sejauh ini?

Meski dipengaruhi oleh pelepasan hasrat, Taichi tetap saja membentur Nagase. Ia merasa bersalah akan hal itu, meski ia tidak memiliki hak untuk mengatakan hal yang sama seperti Aoki.

Ia harap ia dapat mengatakan kata-kata tersebut dengan percaya diri suatu hari nanti.

"Selain itu, meski ini tidak akan terjadi, jika aku benar-benar dikalahkan oleh terlepasnya hasrat, kau tidak akan terdorong karena pada saat aku mencoba mendorongmu, itulah saat kau akan meninjuku habis-habisan!"

"H-Hal itu lebih tidak kuinginkan. Aku tidak mau menyakiti siapapun, termasuk kau," Kiriyama mengeluarkan beberapa kata-kata dengan nadanya yang telah berubah yang tercampur air mata.

Nada yang sedih dan lembut.

Hal itu hanya akan terjadi jika aku kalah. Lagipula, bukankah normal bagi pria yang dikalahkan hasrat mereka untuk mendapat hukuman? Meski aku tidak mungkin kalah sih... hahaha!"

Aoki tertawa pada Kiriyama dengan suara ceria yang terdengar agak disengaja.

Seakan terinfeksi, Kiriyama tertawa sembari menangis.

Meski wajahnya dipenuhi air mata, senyumnya masih sangat indah.

Udara lembab dan hangat menyelimuti kamar itu.

"Atau kalau tidak, kau bisa berpakaian agak erotis! Lalu akan lebih meyakinkan jika misiku berhasil! Apakah hanya pakaian dalam, kostum kelinci, atau hanya celemek saja..."

Aoki mulai memikirkan hal-hal yang aneh dengan semangat.

Bukankah ini terlalu berlebihan?

Tepat saat Taichi berpikir begitu...

"Hentikan imajinasi anehmu!"

Kotak tissue yang aslinya ada di rak melayang di udara.

"Aduh! Ujung kotaknya!"

"Bodoh, bodoh! Dasar bodoh!"

Adegan ini sungguh seperti perkiraan Taichi. Ia tidak dapat menahan tawanya.

"Tai-Taichi. Ini bukan waktu untuk bercanda!"

Setelah merasakan rasa sakit yang amat sangat sampai ia berguling di lantai, Aoki menghadap Taichi.

"Bagus. Bagus! Jadi, Taichi, ucapkan beberapa omong kosongmu untuk menyelesaikan ini."

"Jangan menyebutnya omong kosong sebelum kau membiarkanku bicara! Setidaknya sebutlah dengan sebutan kata-kata mutiara!"

"Aha. Ahahaha! Kalian memang bodoh. Hahaha!"

Percakapan bodog mereka membuat Kiriyama tertawa.

Mereka merasa sudah lama tidak mendengar tawanya.

"Haha. Aku tertawa terlalu banyak sampai aku capek. Jadi, ayo dengarkan omong kosongmu."

"Kenapa kau juga menyebutnya omong kosong!"

Apa-apaan? Sekarang, apa yang harus ia katakan?

"Yah. Kupikir, pada intinya, hasrat terkuat di saat itulah yang terlepas, bukan?" Kata Taichi, meningkatkan semangatnya.

"Ya. Sepertinya begitu."

"Jadi, meski Kiriyama membuat kekacauan di stasiun, apa sebelumnya ia pernah benar-benar menyakiti seseorang?"

"Beberapa kali saat aku lomba dan latihan karate, tappi hal itu berbeda dengan menyakiti seseorang denga sengaja. Jadi, itulah saat pertamaku."

"Bagus. Itu yang kupikirkan. Jadi, Kiriyama tidak tahu rasanya menyakiti orang sampai saat ini, bukan?"

"Benar."

"Tapi sekarang kau tahu betapa bahayanya hal itu. Bukan hanya orang lain tapi juga dirimu dapat merasakan sakitnya. Selain itu, meski kau tidak tetap tinggal di rumah, kau tetap dapat memiliki pikiran untuk tidak menyakiti orang lain."

Karena mereka telah menunjukkan perasaan mereka sehingga mereka dapat merasakan rasa sakit yang tidak mereka rasakan sebelum sekarang.

"Jadi, hasrat kuat untuk tidak menyakiti orang lain dapat mengalahkan hasrat untuk memukul orang sampai babak belur, bukan? Aku pikir begitu juga, tapi jika kita menyebutnya hasrat..."

Meski kelihatannya benar, mereka tidak yakin. Lagi pula, mereka belum sepenuhnya mengerti fenomena terlepasnya hasrat. Tentu saja, mereka tidak akan tahu apakah hal ini benar.

Meski begitu, yang terpenting adalah membiarkan Kiriyama menerima hal ini.

Dengan kata lain, ini membantunya mengumpulkan keberanian untuk mengambil langkah.

Jadi tidak masalah meski hanya omong kosong.

Yang terpenting adalah mereka dapat berubah dari omong kosong itu.

"Sebenarnya, aku telah menyakiti Nagase karena terlepasnya hasrat."

"Eh..."

Kiriyama diam membisu.

"Eh, aku tidak memukulnya secara langsung, tapi tetap saja aku menyakitinya. Mungkin bisa dikatakan akulah yang menyebabkannya...meski hal itu membuatku depresi...dan membuatku ingin menjaga jarak dengan semuanya...kurasa aku sedikit mengerti perasaanmu."

Di luar dugaan, wajah Taichi berkedut.

Sebagai respons, Kiriyama menunjukkan wajah lembut, seakan mengatakan padanya tidak masalah.

"Meski saat aku seperti ini, aku masih ingin bersama kalian semua. Meski aku sekeras kepala ini, aku ingin Kiriyama memiliki perasaan yang sama denganku. Jadi, mengapa tidak mencoba untuk lebih percaya pada dirimu?"

Taichi berharap Kiriyama dapat memiliki harapan yang sama dengannya.

"Jadi inilah yang ingin kau katakan, Kerja bagus, Taichi! Bagaimanapun juga, apa yang kau katakan hanyalah hipotesis tanpa bukti. Jadi, seperti yang kukatakan, Yui, ayo pergi ke hotel!"

Untungnya hanya Kiriyama yang ada di rumah.

"Pergi sana ke neraka! Meski kita ke hotel, belum tentu kita mengalami pelepasan hasrat!"

"Kalau begitu tinggal di sana lebih lam! Kita akan lanjut sampai kau berkata cukup atau kau mengerti!"

"Ahah. Aku mengerti. Aku mengerti! Aku akan pergi."

"Apa?"

"Kau serius?"

Taichi dan Aoki sama-sama terkejut.

"Maksudku akan akan pergi ke sekolah," kata Kiriyama dengan suara lemah.

Sedikit menurunkan kepalanya, Kiriyama memelingkan matanya. Pipinya, seakan menyesal, berwarna merah muda,

"J-Jadi, maksudmy kau tidak akan mengurung diri di rumah lagi?" Tanya Aoki dengan khawatir.

"I-Itu hanya karena ratusan kali lebih baik pergi ke sekolah daripada pergi ke tempat itu denganmu."

"Ratusan kali? Paling tidak ubahlah menjadi sepuluh kali!"

"Masalahnya bukan itu, tahu?" Gumam Taichi di samping.

"Tapi aku masih agak takut. Atau sebaiknya kukatakan, aku tidak tahu aku akan jadi apa. Jadi, jika ada bahaya, tolong pikirkan cara menghentikanku," pinta Kiriyama dengan nada serius. Ia terlihat seperti menunduk pada mereka, selagi ia menundukkan kepalanya sambil duduk diatas lututnya di tempat tidurnya.

Taichi langsung menyatakan persetujuannya, tapi Aoki menghentikannya.

"Permintaan 'tolong hentikan aku' kurang tepat, bukan?"

Aoki menyilangkan tangannya, menggerakkan jarinya di depan wajahnya, dan membunyikan lidahnya.

"A-Apa maksudmu kurang tepat?"

Mata Kiriyama mulai basah.

"Apa yang kau lakukan!" Taichi tidak dapat menahan dirinya untuk berteriak pada Aoki. "

Aoki menggerakkan bibirnya, mengirim kata-kata pada Yui tanpa bersuara.

"B-Bukan! Yui. Harusnya kau mengatakannya seperti ini! Coba perhatikan!

Kiriyama menatap bibir Aoki. Kemudian, dengan takjub, ia berkata dengan lembut, "Maukah kau melindungiku?"

"Dengan senang hati."

Ksatria yang tinggi dan kurus berlutut di depan putri yang heran yang rambut kastanyenya masih tersebar di tempat tidur dan menurunkan persetujuannya.

Memang benar bahwa orang tidak akan menyakiti orang lain saat sedang sendirian.

Seseorang hanya akan menyakiti orang lain saat ia sedang tidak sendirian.

Meski begitu, ada banyak hal yang hanya dapat diperoleh dengan bersama orang lain.

Ada hal yang tidak dapat dilakukan sendirian.

Tapi, dengan berusaha bersama orang lain, mereka dapat menyelamatkan seseorang.

Tentu saja tidak akan selalu berhasil.

Mereka tidak dapat melawan hal itu.

Meski begitu, mereka masih dapat mengumpulkan kekuatan-kekuatan kecil itu, agar tidak kalah pada «Fuusenkazura».


□■□■□


Akulah yang terburuk.

Aku terjebak dalam situasi terburuk.

Bagaimanapun, stres telah terkumpul dalam diriku, dan kekuatanku berkurang setiap harinya karena kurang istirahat. Aku lelah secara mental dan fisik.

Dan hal yang terpenting, tidak berada di sana menciptakan suatu lubang besar di hatiku.

Perasaan kehilangan sesuatu yang tidak dapat kuperbaiki menyiksaku, membuatku tidak sabar.

Inilah mengapa aku dengan ceroboh menutupnya dengan terlalu banyak kekuatan.

Niatku awalnya hanya menjaga jarak agar aku tidak melukai mereka, tapi aku melukai mereka dengan cara lain. Sungguh percuma. Aku mengeluarkan uang yang baik setelah yang buruk. [2]

Meski begitu, bukankah lebih baik begini daripada membiarkan mereka mendekatiku?

Bukankah lebih baik daripada membiarkan mereka bersama orang seburuk aku?

Hari ini, aku kehilangan pensil mekanik yang baru saja kubeli.

Kupikir mungkin aku lupa memasukkannya ke kotak pensilku, jadi aku pulang dan mengecek di kamarku. Meski aku dapat masalah di sekolah hari itu, aku masih ingat hal ini.

Masalahnya, aku tetap tidak menemukannya setelah pencarian ayng begitu seksama. Sepertinya aku telah kehilangan pensil itu, jadi aku pergi ke toko alat tulis terdekat untuk membeli yang baru.

Setelah masuk toko dan menemukan pensil yang ingin kubeli, tiba-tiba sebuah pemikiran muncul di kepalaku.

Rasanya bodoh sekali untuk membeli pensil lain yang serupa dengan yang baru saja kubeli yang harganya cukup mahal (200 yen) dan yang juga dapat digunakan untuk waktu yang lama.

Hasratku terlepas pada saat itu.

Saat kesadaranku kembali ke tubuhku, aku telah memegan barang yang belum dibayar, sepuluh yard jauhnya dari toko.

Saat aku kembali normal—yaitu, saat terlepasnya hasrat telah berhenti, meski kebingungan, aku mengembalikannya ke toko dan meletakkan barang itu kembali di raknya, dan aku pergi tanpa membeli apa-apa.

Aku hampir saja tidak mencapai rumah dengan langkah kaki yang gemetar.

Aku tidak mau percaya hal ini.

Aku benar-benar berpikir mengeluarkan uang untuk membelinya merupakan hal yang bodoh, tapi harusnya aku tidak berpikir untuk mendapatkannya dengan mencuri.

Itu merupakan kejahatan.

Meski tidak ada hukum seperti itu, tetap saja secara etis tidak diperbolehkan.

Meski begitu, sepertinya aku salah.

Kepribadianku tak dapat tertolong. Kepribadianku merupakan kepribadian buruk yang hanya memikirkan kepentingan prbadiku.

Percuma mengarang alasan bahwa pelepasan hasrat mengubah sifat asli hatiku.

Ini karena tak seorang pun telah melakukan hal ini.

Jadi, ini hanya merupakan masalahku.

Aku, memang, merupakan orang semacam itu.

Orang semacam itu sebaiknya tidak mendekati mereka lagi.

Selagi aku masih berpikir, Iori meneleponku.

Aku sedang tidak dalam mood untuk menerima telepin, jadi aku membiarkannya.

Hasilnya, ia mengunjungiku.

Merasa tidak berdaya, aku membiarkannya masuk kamarku.

Pertama, kami saling meminta maaf atas kesalahan kami.

Setelah itu, Iori berkata ia harap aku dapat kembali ke ruang klub.

Ia berkata semua orang mungkin bertengkar dan saling menyakiti, tapi ia masih ingin bersama dengan semuanya.

Aku merasa senang mendenga rperkataan Iori.

Menyakiti satu sama lain tidak masalah—ini mungkin bijak, tapi tetap saja ada batasnya.

Meski aku tidak tahu bagaimana keadaan yang lainnya, aku tahu aku terlalu berbahaya saat hasratku terlepas pada saat apapun.

Selain itu, alasanku menjaga jarak lebih karena aku tidak ingin dibenci daripada tidak ingin menyakiti orang lain.

Aku tak tahu apa yang aku, yang selalu memikirkan kepentingan pribadi, akan lakukan.

Kubilang ada Iori aku harap ia dapat memberiku waktu untuk menyesuaikan perasaanku.

Suatu hari aku pasti akan kembali—meski aku tidak yakin apa aku mampu melakukannya.

Setelah mendengar jawabanku, Iori menunjukkan wajah yang terluka dan sedih; meski begitu, ia berkata ia akan menghormati keputusanku.

Iori bertanya untuk konfirmasi apakah aku membenci mereka. Aku menjawab dengan tersenyum bahwa hal itu mustahil.

Akhirnya, Iori pergi sambil berkata mereka akan menungguku kembali.

Dengan perasaan bersalah, aku mendesah sambil berpikir bahwa aku dapat menghadapinya setelah sekian banyak usaha. Saat aku sadar bahwa kemampuanku menghadapinya memonopoli mayoritas kebahagiaanku, aku langsung merasakan kebencian pada diriku sendiri.

Omong-omong, kenapa Iori? Aku berpikir si pengganggu Taichi yang akan datang pada saat seperti ini, meski Iori telah menyebutkan bahwa ia telah mendiskusikan sesuatu dengannya.

Aneh.

Mengapa hal seperti itu menggangguku?



Catatan Penerjemah[edit]

  1. Make hay while the sun shines: Manfaatkan semua kesempatan dengan baik selagi kita memilikinya.
  2. Throw good money after bad: Mengeluarkan uang demi suatu masalah di mana ia telah mengeluarkan uang demi hal itu, dengan harapan(yang biasanya percuma) untuk memperbaiki atau mengembalikan investasi sebelumnya.