Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid1 Bab01

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1[edit]

Setelah aku masuk SMA dekat rumah, langsung saja kusesali, karena sekolah yang kudatangi itu duduk di atas bukit yang tinggi, yang terjal. Bahkan saat musim semi, aku menjadi gerah dan keringatan hanya karena mendaki jalan yang rasanya seperti mendaki gunung. Setiap kali kuingat ini, dan fakta bahwa untuk tiga tahun kedepan aku harus mengulang hal yang sama setiap pagi, aku sudah merasa capek dan muram lagi. Aku agak kesiangan hari ini, dan mungkin karena itulah aku berjalan agak cepat, atau barangkali karena itulah aku sangat lelah. Bisa saja aku bangun 10 menit lebih cepat, tapi seperti yang kalian semua tahu, tidur terbaikmu adalah tepat sebelum waktu bangun. Aku tak ingin menyia-nyiakan 10 menit yang berharga itu. Jadi kusadari aku memang takkan bisa bangun pagi, yang berarti aku harus mengulang latihan pagi ini selama tiga tahun ke depan. Ini terlalu menyedihkan.

Itu adalah alasan muka cemberutku waktu upacara penerimaan murid baru. Semua orang di dalam aula besar berparas ‘memulai perjalanan baru’ yang tak berguna di muka mereka. Kalian tahu lah, paras unik: penuh harapan, namun juga penuh ketakpastian yang setiap murid baru kenakan saat mereka masuk ke sekolah baru. Untukku, tidak begitu — banyak teman sekelas dari SMP-ku dulu yang juga masuk sekolah ini. Singkatnya, beberapa temanku juga ada di sini. Jadinya, aku tak terlihat secemas — atau segembira — orang lain.

Laki-laki pakai jas blazer, dan perempuannya pakai seragam sailor. Wow, kombinasi yang lumayan aneh ya. Kali si kepala sekolah yang lagi ngasih ceramah monoton punya semacam fetish sama seragam sailor. Saat aku berpikir hal tak berguna ini, upacara bodoh ini akhirnya selesai. Aku, bersama teman-teman tak-begitu-menyambut sekelas yang baru, masuk ke ruang kelas 1-5.

Guru wali kelas kami, Okabe-sensei, dengan senyuman berlatih-selama-satu-jam-di-depan-cermin dia, berjalan ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Pertama-tama dia berkata bahwa dia adalah guru olahraga, dan pelatih tim handball. Terus, dia lanjut ke hari-hari silam, seperti bagaimana, dulu ketika dia masih mahasiswa, dia pernah main handball di sebuah tim, bahkan memenangkan kejuaraan, dan bagaimana sekolah ini kurang sekali pemain handball, jadi siapapun yang masuk tim akan langsung jadi reguler. Dan lalu, dia melanjutkan tentang bagaimana handball itu olahraga yang paling menarik di dunia, dan seterusnya dan sebagainya, sebagainya, sebagainya. Tepat ketika aku berpikir dia takkan pernah berhenti, tiba-tiba dia berseru:

“Sekarang, kenapa kalian tidak memperkenalkan diri satu-satu?”

Hal semacam ini memang sudah diduga, jadi aku tidak benar-benar kaget.

Satu demi satu, anak-anak yang ada di sebelah kiri kelas mulai memperkenalkan diri mereka. Mereka mengacungkan tangan, lalu mengumumkan nama, asal sekolah mereka, dan hal sepele lainnya, seperti hobi atau makanan favorit. Sebagian bergumam melewatinya, beberapa memperkenalkan diri dengan menarik, sementara beberapa mencoba menceritakan lelucon garing yang menurunkan suasana ruangan. Saat orang lain memperkenalkan diri mereka, giliranku makin mendekat. Aku mulai gugup! Pastinya kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu, kan?

Setelah aku berhasil menyelesaikan perkenalan yang kupikir baik-baik, yang pendek tidak gagap sebaik-baiknya yang kubisa, aku duduk, merasa lega setelah selesai melakukan sesuatu yang tak menyenangkan tapi tak terelakkan. Orang di belakangku berdiri untuk gilirannya dan — ah, mungkin aku takkan pernah lupa seumur hidupku — mengucapkan kata-kata yang akan jadi legenda.

“Namaku Suzumiya Haruhi, aku lulus dari SMP East.”

Sampai sini perkenalannya masih normal, jadi aku pun tak perlu repot menengok ke belakang untuk melihat. Aku hanya menatap ke depan dan mendengar suara renyahnya.

“Aku ga ada minat sama orang biasa. Kalau diantara kalian ada alien, penjelajah waktu, slider, atau esper, silakan, temui aku! Itu aja.”

Mendengar hal tersebut, aku tak bisa tidak menengok.

Dia memiliki rambut hitam panjang. Wajahnya yang manis dipenuhi dengan rupa berani dan menantang saat seluruh kelas menatapnya. Kesungguhan dan ketetapan hatinya bersinar melalui mata berkilaunya dan alis matanya yang panjang. Bibir tipisnya tertutup rapat. Inilah kesan pertamaku pada gadis ini.

Aku masih ingat sebagaimana berkilaunya leher putihnya — berdiri dis ana adalah kecantikan yang menakjubkan.

Haruhi, dengan mata provokatifnya, pelan-pelan mengamati kelas, berhenti untuk untuk memelototiku (mulutku terbuka lebar), dan lalu duduk tanpa banyak tersenyum.

Tadi itu ngelucu ya?

Ketika itu aku yakin di pikiran semua orang dipenuhi dengan tanda tanya, dan semuanya bingung apa seharusnya reaksi mereka. “Gue harus ketawa?” tiada yang tahu.

Nah, dilihat dari kesimpulannya, itu bukan lelucon ataupun bahan tertawaan, karena Haruhi tak pernah berkata semacam itu.

Dia selalu serius.

Ini berdasarkan pengalaman masa laluku — jadi tak bisa salah.

Setelah sunyi gaib melayang ke sekeliling ruang kelas selama sekitar tiga puluhan detik, guru wali kelas, dengan ragu-ragu, mengisyaratkan murid selanjutnya untuk melanjutkan, dan suasana tegang terangkat.


Begitulah cara kami bertemu pertama kali satu sama lain.

Dengan khidmat aku bersumpah— aku pengin sekali percaya kalau ini semua hanya kebetulan.



Setelah menarik perhatian semua orang di hari pertama, Haruhi kembali jadi gadis SMA lugu.

Ini adalah saat tenang sebelum badai! Aku akhirnya mengetahui semua itu sekarang.

Omong-omong, semua murid di sekolah ini datang dari salah satu dari keempat SMP di kota ini — orang-orang dengan nilai ujian biasa-biasa saja. Termasuk, tentu saja, SMP East; Oleh karena itu, seharusnya ada murid yang lulus bareng Haruhi yang tahu arti kebisuan Haruhi. Tapi sayangnya, aku tak kenal seorang pun murid lulusan SMP East; Makanya, tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan padaku seberapa seriusnya situasi ini. Akibatnya, beberapa hari setelah perkenalan yang konyol itu, aku melakukan sesuatu hal yang sangat bodoh — aku mencoba mengajaknya bicara sebelum pelajaran dimulai!

Domino ketidakberuntunganku sudah mulai berjatuhan, dan akulah orang yang mendorong blok pertama.

Jadi begini, ketika Haruhi duduk diam di kursinya, dia terlihat seperti gadis manis yang normal. Lagipula, aku memang seharusnya duduk di depannya, dan kupikir supaya sekalian juga bisa dekat dengannya. Aku benar-benar berpikir ini akan berhasil. Naif sekali aku. Seseorang, tolong dong, pukul aku biar sadar.

Tentu saja, aku memulai percakapannya dengan insiden waktu itu.

“Hei!”

Kuputar kepalaku ke belakang, dengan senyuman santai di wajahku.

“Hal yang kamu sebutin pas perkenalan itu, semuanya serius tuh?”

Dengan tangan terlipat di dadanya, bibir tertutup rapat, Suzumiya Haruhi mempertahankan postur tak ramahnya, lalu menatap langsung ke mataku.

“Hal macam apa?”

“Hal soal alien dan semua itu lho.”

“Apa kamu alien?”

Dia terlihat serius.

“...bukan, tapi—”

“Kalo kamu bukan, terus, kamu mau apa?”

“...Engga, engga apa-apa.”

“Kalau gitu, jangan ngomong denganku. Kamu buang-buang waktuku aja”

Pandangannya dingin sekali hingga kudapati diriku menggagapkan ”maaf” sebagai balasannya, bahkan sebelum aku menyadarinya. Suzumiya Haruhi lalu melepaskan tatapannya dariku dengan penuh kehinaan, dan mulai mengernyit ke papan tulis.

Tadinya aku mau balas bicara satu atau dua kalimat, tapi aku tak bisa berpikir apapun yang baik untuk diucapkan. Untunglah, pada saat itu, guru wali kelas datang ke ruang kelas, dan aku terselamatkan.

Bingung, kuputar kepalaku kembali ke mejaku. Lalu aku sadar ada beberapa teman sekelas sedang melihatku dengan paras tertarik pada wajah mereka. Setelah aku balik memandang mereka, bagaimanapun juga, aku menyadari kalau mereka punya ekspresi yang sama pada wajah mereka seolah-olah mereka mau bilang, "engga heran". Beberapa dari mereka bahkan menganggukan kepala merasa simpati.

Entah bagaimana aku merasa terganggu! Tapi kemudian, aku jadi tahu bahwa mereka semua itu lulusan SMP East.



Mengingat kontak pertamaku dengan Haruhi berakhir buruk tiada hasil, kusadari aku harus jaga jarak dengannya sementara ini, demi keselamatan. Dengan pikiran seperti itu, satu minggu pun berlalu.

Tapi tetap saja, selalu saja ada orang-orang naif yang ingin mengobrol dengan Suzumiya Haruhi, yang selalu mengerutkan alisnya dan mengerucutkan bibirnya.

Kebanyakan dari mereka itu cewek-cewek rewel yang hanya ingin membantu teman perempuan sekelas yang kesepian. Ini hal yang baik, tapi, paling tidak mereka seharusnya memgecek target mereka dulu sebelumnya!

“Hai, kamu nonton sinetron ga semalem? Yang jam 9 itu lho.”

“Engga.”

“Eh, kenapa engga?”

“Sapa peduli.”

“Kamu harus nonton deh. Nonton dari tengah-tengah juga, ga bakalan jadi pusing. Perlu kuceritain cerita sebelum-sebelumnya?”

“Sekarang, pergi sana. Kamu ngeganggu!”

Yah, begitulah kejadiannya.

Kasar dan tak berekspresi. Seharusnya dia bisa saja memperlihatkan mereka satu ons tata krama! Caranya itu hanya akan membuat si korban percaya bahwa dia melakukan kesalahan. Pada akhirnya mereka tak punya pilihan selain berkata, “Gitu yah... kalau gitu, aku...”, dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku salah omong ya?”, sebelum merengek pergi.

Ga usah sedih gitu; kamu ga salah. Masalahnya ada pada otak Suzumiya Haruhi, bukan kamu.



Walau aku tak keberatan makan sendirian, aku tak ingin orang lain berpikir aku ini penyendiri sementara yang lain asik makan siang bersama teman mereka. Itulah kenapa aku makan siang bersama Kunikida, teman satu SMP-ku dulu dan cowok bernama Taniguchi dari SMP East, yang bangkunya dekat denganku.

Dan akhirnya, kebetulan kami bergosip soal Haruhi.

“Lo nyoba ngobrol ama Suzumiya, kan?” tanya Taniguchi tiba-tiba.

Aku mengangguk.

“Dan, terus, dia ngomong soal hal-hal aneh dan ngehina lo dengan dingin?”

Bener banget.

Taniguchi menaruh potongan telur rebus ke dalam mulutnya, mengunyah, lalu berkata, mulutnya penuh:

“Kalau lo tertarik sama tuh cewek, gue ga bakalan cerewet soal itu. Yang bisa gue saranin cuman, 'Lupain aja!' Loe harusnya udah tahu sekarang — yeah, dia itu sinting.”

Dia menambahkan bahwa dia sekelas denganya tiga tahun berturut-turut, dia mengenalnya baik sekali. Lalu, dia mulai menceritakan anekdot tentangnya.

”Tingkah lakunya itu ga masuk di akal. Gue tadinya pikir paling engga dia bakalan berusaha ngontrol dirinya sendiri begitu masuk SMA, tapi ternyata, engga tuh. Lo denger perkenalannya, kan?”

“Maksudmu soal alien itu?”

Kunikida, yang sedang sibuk memisahkan tulang dari ikan gorengnya, menyela.

”Benar, yang itu. Bahkan pas SMP, dia selalu ngomong dan ngelakuin banyak hal aneh. Ya, gue jadi inget -- insiden vandalisasi sekolah, contohnya!”

“Apa tuh?”

“Loe tahu alat yang dipake buat ngegambar garis dengan kapur putih, kan? Apa namanya ...yah, pokoknya itu, suatu malam dia nyelinap ke sekolah, dan, dengan tuh alat, ngegambar piktogram yang besar banget di tengah-tengah lapangan atletik.”

Taniguchi mulai menyeringai — mungkin dia lagi mengenang kejadian itu.

“Ngagetin gue banget! Gue pergi ke sekolah pagi-pagi, dan gue lihat ada lingkaran dan segitiga gede di tanah. Gue ga tahu apa tuh maksudnya, jadi gue pergi ke lantai empat biar dapet pandangan lebih luas. Itupun ga membantu — gue masih ga tahu itu simbol apaan.”

“Ah, kayaknya saya pernah ngeliatnya. Kayaknya di koran juga ada cerita itu? Ada gambar yang diambil dari udara! Simbol itu kelihatannya kayak garis-garis Nazca yang rusak.” Kata Kunikida.

Gue ga pernah denger yang kayak begituan.

“Iya! Gue tau! Judulnya kalo ga salah ‘Bentuk misterius di Lapangan Lari SMP’, ya? Yah, coba tebak siapa yang ngelakuinnya?”

“Jangan bilang kalo itu dia.”

“Dia sendiri ngaku kok, jadi ga salah lagi. Tentu aja, ngagetin para guru. Dia dipanggil ke kantor kepala sekolah. Semua guru ada di sana dan mereka semua menginterogasinya.”

“Terus, kenapa dia ngelakuin itu?”

“Menegetehe”, jawab Taniguchi datar, sambil berusaha menelan semulut penuh nasi.

“Gue denger dia nolak ngomong apapun. Jelas aja, pas dia melototin elo, lo cenderung nyerah sama apapun yang mau lo omongin. Beberapa bilang dia ngegambar simbol itu buat manggil UFO, yang lain bilang kalo itu tuh simbol magis dan digunain buat manggil setan, atau dia lagi nyoba ngebuka gerbang ke dunia paralel segala lah, bla-bla-bla Banyak spekulasinya, tapi selama si pelaku nolak berbicara, kita mungkin ga bakalan pernah tahu apakah rumor itu bener atau engga. Sampai hari ini, masih jadi misteri.”

Karena beberapa alasan, gambaran Haruhi, dengan rupa serius, sibuk menggambar garis di tengah-tengah lapangan sekolah di malam hari, melayang-layang di benakku. Dia pasti sebelumnya ngambil alat gambar dan bubuk kapurnya dari gudang penyimpanan; bahkan mungkin juga dia bawa lampu senter! Di bawah temaramnya lampu kuning Suzumiya Haruhi mungkin terlihat suram, kalo ga tekun... OK, ini cuman imajinasi gue aja.

Tapi, jujur aja, keliatannya Suzumiya Haruhi benar-benar mengharapkan UFO atau monster, atau bahkan gerbang dimensi, buat muncul. Dia mungkin kerja keras semalam penuh di lapangan, tapi, karena ga ada yang muncul, yang tersisa padanya hanyalah depresi, pikirku sendiri.

“Bukan cuman itu doang!”

Sekarang Taniguchi selesai makan siang, dan sedang membereskan bangkunya. Dia melanjutkan:

“Pas gue dateng ke kelas pagi-pagi dan nemuin semua meja udah dikeluarin ke koridor, dan ada gambar bintang-bintang gede di atap sekolah. Kali lain, dia keliling ga jelas ke sekitar sekolah nempelin O-fuda di mana-mana... lo tahu kan, jimat itu, kayak yang ditempelin di jidatnya vampir cina. Gue bener-bener ga ngerti dia.”

Betul, Suzumiya Haruhi sedang tidak ada di kelas saat itu, kalau tidak kami takkan mengobrol tentang ini. Tapi juga, kalaupun dia mendengar kami, dia mungkin takkan peduli. Biasanya, Suzumiya Haruhi langsung pergi keluar kelas setelah jam keempat, terus kembali tepat sebelum jam kelima. Dia tidak bawa bekal, jadi kuduga dia pergi ke kantin buat makan siang; tapi makan siang takkan makan waktu satu jam penuh, kan? Apalagi, tiap akhir jam pelajaran, dia menghilang. Dia pergi kemana sih ngomong-ngomong...?

“Tapi, dia tekenal banget di kalangan murid cowok!”

Taniguchi mulai lagi:

“Dia manis, atletis, dan cerdas. Walaupun dia itu aneh, kalau dia tetap tutup mulut, dia sebenarnya lumayan juga.”

“Darimana kamu dengar semua gosip ini?” tanya Kunikida, kotak bekalnya dua kali lebih penuh dari punya Taniguchi.

“Satu waktu dia nonstop gonta-ganti pacar. Dari yang gue denger, hubungan paling lama bertahan selama seminggu, yang paling sebentar cuman 5 menit setelah jadian. Sebagai tambahan, satu-satunya alasan Suzumiya mutusin pacarnya adalah ‘aku ga punya waktu buat bergaul sama manusia normal.'”

Kayaknya si Taniguchi ini ngomong dari pengalaman. Setelah sadar akan tatapanku, dia jadi sedikit gugup.

“Gue denger ini dari orang lain! Sumpah! Karena beberapa alasan, dia ga pernah nolak kalo ditembak. Pas kelas tiga, semuanya ngerti; jadi, ga ada lagi yang pengen nembak dia. Gue punya perasaan aneh kalo sejarah itu bakal terulang lagi di SMA. Jadi, gue peringatin lo sekarang: nyerah aja lah. Ini nasehat dari seseorang yang dulu sekelas dengannya.”

Ngomong terserah lo lah, gue ga tertarik sama dia dengan cara gitu.

Taniguchi menaruh kotak bekal kosongnya ke dalam tas, dan tertawa tertawa sinis.

“Kalau gue harus milih, gue bakal milih dia, Asakura Ryouko.”

Taniguchi menganggukkan dagunya ke arah kumpulan cewek-cewek beberapa bangku dari sini. Di tengah-tengah grup yang sedang ngobrol, dengan senyum cerah di wajahnya, ada Asakura Ryouko.

“Berdasarkan analisis gue, dia tentunya masuk ke dalam daftar ‘Tiga Top Cewek Kelas Satu Termanis’.”

“Lo ngecek semua murid cewek kelas satu di sekolah ini?”

“Gue kelompokin dari kategori A sampai D, dan percaya ga, gue cuman ingat nama cewek-cewek A. Kita ngalamin masa SMA cuma sekali — gue pengen ngalamin dengan sebahagia mungkin.”

“Jadi Asakura Ryouko itu kategori A?” tanya Kunikida.

“Dia itu AA+! Ayolah, lihat aja wajahnya. Kepribadiannya udah pasti nomor wahid.”

Walaupun mengabaikan komentar egois Taniguchi, Asakura Ryouko memang cewek manis yang lumayan beda jenis dengan Suzumiya Haruhi.

Pertama, dia itu sangat cantik; tambah lagi dia selalu memberi kesan peduli, seperti tersenyum. Kedua, kepribadiannya cocok dengan penjelasan Taniguchi. Hari-hari ini, tak ada lagi orang yang berani mengajak Suzumiya Haruhi bicara, kecuali Asakura Ryouko. Sebagaimana bengisnya Suzumiya Haruhi, Asakura Ryouko masih terus mencoba mengobrol dengannya dari waktu ke waktu. Dia begitu bersemangat hingga hampir berperan seperti pengawas kelas. Ketiga, dari caranya menjawab pertanyaan dari guru saja, kamu akan tahu dia itu sangat cerdas. Dia selalu menjawab benar pertanyaan-pertanyaannya — di mata para guru mungkin dia murid teladan. Terlebih lagi, dia populer sekali dengan cewek-cewek. Sekolah baru berlangsung seminggu, tapi dia sudah berhasil di perjalanannya untuk jadi pusat murid cewek di kelas. Seolah-olah dia itu jatuh dari langit dan dilahirkan dengan daya tarik mengagumkan!

Dibandingkan dengan si Suzumiya Haruhi yang kadang-kadang cemberut, terobsesi sama fiksi ilmiah, pilihannya sudah jelas. Tetapi sekali lagi, kedua kandidat ini mungkin keduanya terlalu tinggi di atas bukit bagi pahlawan kita Taniguchi untuk dipanjat. Tak mungkin dia akan dapat salah satu dari keduanya.



Waktu itu masih bulan April, dan pada waktu itu, Suzumiya sebenarnya berprilaku cukup baik. Bagiku, ini merupakan bulan yang lumayan tenang. Paling tidak, akan ada satu bulan lagi sebelum Haruhi mulai tak terkendali.

Tapi pada saat seperti ini pun, aku sudah meneliti beberapa tingkah eksentrik Haruhi.

Kenapa bisa-bisanya aku bilang begitu?

Petunjuk #1: dia mengubah gaya rambutnya setiap hari. Lebih jauh lagi, menurut pengamatanku, ada semacam pola disana. Hari senin, Haruhi datang ke sekolah dengan rambutnya tergerai, tanpa diikat sama sekali. Hari selanjutnya, dia mengikat kuncir kuda. Walaupun aku benci mengakuinya, gaya rambut itu memang terlihat bagus untuknya. Lalu, dia akan mengikatnya jadi dua kuncir kuda di hari berikutnya, kemudian tiga kuncir kuda pada hari berikutnya; di hari jum’at, ada empat ikatan-pita kuncir kuda di kepalanya. Tindakannya penuh teka-teki!

Senin = 0, Selasa = 1, Rabu = 2...

Dengan bertambahnya hari di satu minggu, begitu juga jumlah kuncir kudanya; hari senin selanjutnya, seluruh proses akan dimulai lagi dari awal. Aku tak mengerti kenapa dia melakukan itu. Melanjutkan logika sebelumnya, dia seharusnya punya enam kuncir kuda di hari minggu... tiba-tiba aku ingin melihat gaya rambut hari minggunya.

Petunjuk #2: Saat pelajaran olahraga, kelas 1-5 dan 1-6 digabungkan dan belajar bersama, dengan yang cewek dipisah dari yang cowok. Ketika ganti pakaian, para cewek pergi ke ruang kelas 1-5, dan cowok ke ruang kelas 1-6; ini artinya setiap pelajaran sebelumnya berakhir, cowok-cowok dari kelas kami (1-5) akan pindah ke ruangan lain untuk ganti pakaian.

Sayangnya, Haruhi benar-benar tak mengindahkan cowok-cowok di kelas kami, dan membuka seragam sailornya sebelum kami sempat pindah kelas.

Seolah-olah, baginya, kami ini buah labu atau kantung kentang, dan dia sama sekali tak peduli. Tanpa ekspresi apa-apa, dia melempar seragamnya ke atas meja dan mulai memakai seragam olahraganya.

Pada saat itu, Asakura Ryouko mendorong para cowok yang terbelalak, terpaku, termasuk aku, keluar dari kelas.

Menurut desas-desus, para cewek, dengan Asakura Ryouko sebagai pemimpinnya, mencoba membicarakan masalah ini dengan Haruhi, tapi tiada hasil. Setiap pelajaran olahraga, Haruhi mengabaikan seluruh kelas dan membuka seragamnya tanpa banyak lirik-lirik. Dan jadinya, kami para cowok diminta meninggalkan kelas di detik bel berbunyi — atas permintaan Asakura Ryouko.

Tapi, beneran lho, Haruhi punya badan yang sangat bagus... argh, ini bukan saatnya ngomongin hal kayak gitu.

Petunjuk #3: setiap akhir pelajaran, Haruhi akan pergi AWOL. Ketika bel sekolah berbunyi, dia akan menarik tasnya lalu melesat keluar kelas. Logisnya, aku pikir dia langsung pulang ke rumah; tak pernah kepikiran olehku kalau dia berpartisipasi di semua klub ekskul di sekolah. Suatu hari, kalian akan melihatnya mengoper bola di Klub Basket, dan selanjutnya kalian akan melihatnya menjahit sarung bantal di Klub Menjahit. Hari berikutnya, kalian akan melihatnya mengayunkan tongkat di Klub Hoki. Kupikir dia juga gabung sama Klub Basket. Jadi, pada dasarnya, dia mengikuti semua klub olahraga di sekolah. Tentu saja semua klub mengincarnya untuk jadi anggota, tentu saja, tapi dia menolak semuanya. Penjelasannya adalah: ”Menjengkelkan buatku ngelakuin aktivitas klub yang sama tiap hari.” Pada akhirnya, dia tidak mengikuti klub yang manapun juga.

Maunya apa sih nih anak?

Dari hal ini saja, kabar “cewek kelas satu yang aneh” secara instan menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Dalam waktu sebulan, tak ada seorang pun yang tak mengenal siapa Suzumiya Haruhi. Percepat ke bulan Mei, orang-orang mungkin masih banyak yang belum tahu siapa kepala sekolah di sini, tapi nama Suzumiya Haruhi sudah terkenal.

Jadi, dengan segala hal yang terjadi — dan Haruhi selalu jadi penyebabnya — Mei telah tiba.

Walau secara pribadi aku pikir bahwa takdir itu bahkan kurang bisa dipercaya daripada monster Loch Ness, kalau takdir, di suatu tempat yang tak diketahui, aktif mempengaruhi hidup manusia, roda takdirku mungkin sudah mulai berputar. Bisa dibayangkan, di suatu gunung terpencil, mungkin ada orang tua yang sibuk menulis ulang takdirku.

Setelah liburan Golden Week berakhir, aku berjalan ke sekolah, tak yakin hari apa hari ini. Cuaca Mei yang cerah tak seperti biasanya meledakkan kulitku dan membuatku mandi keringat – jalan bukit terjal pun seperti tidak berujung. Bumi ini pengen apaan sih? Apa kena demam kuning atau semacamnya gitu?

“Yo, Kyon.”

Dari belakang, seseorang menepuk pundakku. Dia adalah Taniguchi.

Jas blazernya tergantung serampangan di pundaknya, dan dasinya kusut dan menceng ke satu sisi.

“Pas hari libur Golden Week pergi kemana?”

“Gue ngajak adik gue ke rumah nenek di desa.”

“Bosen banget.”

“Oke, terus lo sendiri kemana?”

“Kerja paruh waktu tiap hari.”

“Lo ga keliatan kayak orang macam gitu.”

“Kyon, lo ini dah SMA sekarang — ngapain juga masih bawa-bawa adik ke rumah kakek dan nenek lo? Elo seenggaknya harus keliatan kayak murid SMA.”

Ngomong-ngomong, Kyon itu aku. Bibiku lah yang pertama memanggilku seperti itu. Beberapa tahun yang lalu, bibi lama-tak-bertemu-aku tiba-tiba bicara kepadaku: “Astaga, Kyon sekarang sudah besar yah!” Adikku pikir kalau itu lucu dan mulai memanggilku Kyon. Setelah itu sisanya adalah sejarah — teman-temanku, mendengar adikku memanggilku Kyon, memutuskan untuk mengikutinya. Semenjak hari itu, panggilanku berubah jadi Kyon. Sialan, dulu adikku memanggilku "Onii-chan"!

“Udah jadi tradisi di keluarga gue kumpul ama saudara-saudara selama liburan Golden Week,” jawabku sambil mendaki bukit.

Sensasi berkeringat membuatku merasa tak nyaman.

Taniguchi, panjang nafasnya seperti biasa, sesumbar tentang bagaimana dia bertemu dengan banyak gadis cantik di tempat kerjanya, dan bagaimana dia berencana menggunakan uang tabungannya untuk berkencan dan semacamnya. Terus terang saja, topik seperti mimpi yang orang-orang punya, atau betapa mengagumkan atau lucunya piaraan seseorang, adalah, dalam kamusku, topik yang paling membosankan di dunia ini.

Saat aku mendengarkan jadwal kencan Taniguchi (tampaknya dia tak dihentikan oleh masalah kecil seperti bagaimana ketiadaan orang yang mau pergi dengannya), kami tiba di gerbang sekolah.


Suzumiya Haruhi sudah duduk di belakang bangkuku, melihat ke luar, ketika aku memasuki kelas. Tampak dua penjepit rambut seperti roti bundar di kepalanya; jadi hari ini hari rabu yah. Setelah duduk – karena beberapa alasan yang aku tak tahu, penjelasan yang masuk akal mungkin hanyalah aku yang jadi gila - sebelum kusadari, kudapati diriku sekali lagi bicara dengan Suzumiya Haruhi.

“Lo ganti gaya rambut tiap hari gara-gara alien?”

Seperti robot, Suzumiya Haruhi pelan-pelan memutar wajahnya menghadapku, dan menatapku dengan ekspresi yang sangat serius sekali. Sangat menakutkan sekali, sebenarnya.

“Kapan kamu merhatiin?”

Nada bicaranya sangat dingin seakan-akan sedang bicara dengan batu di pinggir jalan.

Aku berhenti sebentar untuk berpikir.

“Hmmm… baru-baru ini.”

“Yang bener?”

Haruhi menyandarkan dagu pada telapak tangannya, terlihat jengkel.

“Kupikir setiap harinya ngasih image yang berbeda.”

Ini pertama kalinya kami mengobrol dengan baik dan benar!

“Buat warna: Senin warna kuning, Selasa warna merah, Rabu biru, Kamis hijau, Jum’at warna emas, Sabtu coklat, dan Minggu warna putih.”

Aku agak mengerti apa yang dia katakan.

“Jadi, berarti, kalau pake angka buat ngeganti warna, Senin itu nol dan Minggu itu enam, kan?”

“Benar.”

“Tapi, bukannya seharusnya Senin itu satu.”

“Sapa yang nanya pendapat kamu?”

“...Iyah, bener sih?”

Sepertinya tak puas dengan jawabanku, Haruhi bersungut padaku. Aku hanya duduk diam tak nyaman disana dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.

“Apa aku pernah ngeliat kamu sebelumnya? Dulu banget?”

“Kayaknya engga.”

Setelah kujawab, Okabe-sensei masuk kelas, dan percakapan pertama kami pun berakhir.



Walaupun percakapan pertama kami tiada apa-apanya untuk ditulis di rumah, ini bisa jadi titik perubahan yang kucari-cari!

Dan lagi, satu-satunya kesempatanku mengobrol dengan Haruhi hanya waktu sebentar sebelum absensi, karena dia tak pernah ada di tempat waktu istirahat. Tapi karena aku duduk di depannya, aku cukup yakin kesempatan mengobrol dengannnya lebih besar daripada orang lain.

Tapi hal yang paling mengejutkanku adalah Haruhi benar-benar menanggapiku dengan semestinya. Tadinya kupikir dia bakal jawab, “Dasar bego, diam kau! Peduli amat!” Kukira aku sama anehnya sama dia, karena benar-benar punya keberanian berbicara dengannya.

Karena itu, waktu aku datang ke sekolah hari esoknya dan menemukan bahwa, daripada mengikat rambutnya jadi tiga kuncir kuda, Haruhi telah memotong pendek rambut panjang dan semampainya, aku merasa agak depresi.

Rambut sepinggang telah dipendekkan jadi potongan sebahu. Maksudku, walaupun gaya rambut itu memang terlihat cocok dengannya, dia memotongnya sehari setelah aku mengobrol tentang rambutnya! Jelas-jelas disengaja, kan?

Waktu kubilang ke Haruhi tentang itu -

“Engga juga.”

Dia menjawab dengan nada bicara jengkel khasnya, tapi tak menunjukkan semacam ekspresi spesial. Dia takkan memberitahuku alasannya.

Tapi aku sudah menduganya, jadi tak apa-apa.



“Lo beneran nyobain ikutan semua klub?”

Dari hari itu seterusnya, berbicara dengannya sebentar sebelum absensi jadi rutinitas sehari-hari. Tentu saja, kalau aku tak mencoba mengawalinya, Haruhi takkan bereaksi. Satu hal lagi, kalau aku bicara soal bagaimana acara TV semalam, atau bagaimana cuaca hari ini, dll — yang dia anggap sebagai “topik idiot” — dia hanya akan mengabaikanku. Tahu begitu, aku hati-hati memilih topik pembicaraan kapanpun aku mengobrol dengannya.

Dia memalingkan mukanya jengkel, menandai akhir percakapan hari ini.

“Ada klub yang lebih asik ga daripada yang lain? Gue sendiri pengen ikutan juga.”

“Ga ada.” Haruhi menjawab datar. “Sama sekali ga ada.”

Dia menegaskannya lagi, lalu perlahan menghembuskan nafas. Dia menghela nafas tadi?

“Kupikir SMA bakal sedikit lebih baik. Ternyata, sama aja kayak pendidikan wajib. Ga ada perubahan sama sekali. Kayaknya aku salah masuk SMA.”

Mbak, kriteria sekolah apakah yang anda gunakan ketika anda memutuskan sekolah mana untuk anda hadiri?

“Klub olahraga dan klub kebudayaan sama saja. Kalo aja ada beberapa klub unik di sekolah...”

“Yah, elo punya hak apa mutusin suatu klub itu normal apa engga?”

“Berisik. Kalau aku suka sebuah klub, jadi itu klub unik; kalo engga, biasa aja.”

“Iya gitu? Udah gue duga lo bakal ngomong gitu.”

“Huh!”

Dia memalingkan mukanya jengkel, menandai akhir percakapan hari ini.



Di hari yang lain:

“Gue denger-denger kemaren... ga terlalu penting sih... beneran lo mutusin semua pacar lo?”

“Kenapa aku harus dengar ini dari kamu lagi sih?”

Dia mengibaskan rambutnya keluar dari bahunya, lalu menatapku dengan mata hitam bercahayanya. Ampun deh, daripada ga berekspresi, ekspresi marah ini kayaknya lebih sering keliatan.

“Apa si Taniguchi yang cerita? Ampun deh, aku ga percaya sekelas ama si idiot itu lagi bahkan setelah aku lulus SMP. Dia bukan semacem penguntit psycho, kan?”

“Kayaknya engga,” pikirku.

“Aku ga tau kamu denger apa, tapi ga masalah. Lagian sebagian besar emang benar.”

“Bukannya ada orang di luar sana yang pengen kamu pacarin serius?”

“Ga ada satupun!”

Penolakan total kayaknya jadi mottonya.

“Semuanya goblok. Pokoknya aku ga bisa pacaran serius sama mereka. Tiap orang mesti ngajakin ketemuan di stasiun kereta pas hari sabtu, trus pasti pergi nonton, ke taman hiburan, atau ke tempat game. Pertama kalinya makan bareng mesti makan siang kencan, terus buru-buru ke kafe buat minum teh. Sore hari, mereka pasti bakal ngomong ‘Sampai besok!’”

“Gue pikir itu ga salah!” pikirku pribadi, tapi aku tak berani bilang keras-keras. Kalau Haruhi bilang itu jelek, maka, pasti jelek buat dia.

“Terus, tanpa gagal, mereka bakalan nembak lewat telepon. Apa-apaan tuh! Ini subjek serius, paling engga bilang langsung hadap-hadapan!!”

Aku bisa bersimpati sama mereka. Bikin pengakuan penting — buat mereka, paling tidak — seperti itu ke seseorang yang melihatmu seakan-akan kamu itu cacing mungkin membuat siapapun merasa gelisah. Mereka hilang keberanian pas ngeliat ekspresi lo! Aku membayangkan apa yang mereka pikirkan saat aku merespon Haruhi.

“Hmm, lo bener. Kalo gue sih bakal ngajak tuh cewek keluar dan ngomong langsung ke dianya.”

“Siapa yang peduli sama kamu!”

Apa yang... Apa gue salah ngomong lagi?

“Masalahnya, apa semua cowok di dunia itu makhluk bego? Aku keganggu terus sama pertanyaan ini dari SMP.”

Sekarang ga makin baik, kan!

“Terus, cowok macam apa yang lo anggep ‘menarik’? Apa emang harus alien?”

“Mau alien kek ato yang semacem itu kek yang penting ga normal. Bisa cowok bisa cewek.”

“Napa sih lo nuntut banget sama yang selain manusia?”

Waktu aku mengoceh tentang itu Haruhi melihat remeh padaku.

“Abisnya manusia itu sama sekali ga asik!”

“Itu... mungkin lo bener.”

Bahkan aku pun tak bisa membantah pemikiran Haruhi; kalo emang murid pindahan yang manis ini setengah-manusia setengah-alien, bahkan gue sendiri pun bakalan nganggap itu keren. Kalo Taniguchi, yang lagi duduk di dekat gue mata-matain Haruhi dan gue, ternyata seorang detektif dari masa depan, bakalan lebih keren lagi. Kalau Asakura Ryouko, yang, entah napa, selalu senyam-senyum ke gue, punya semacam kekuatan supranatural, maka kehidupan sekolah gue bakalan seasik yang bisa didapetin.

Tapi ga satupun yang mungkin – ga ada alien, pejelajah waktu, ato kekuatan supranatural eksis di dunia ini. Oke, misalnya aja ada. Mereka ga bakalan muncul gitu aja ke depan rakyat rendahan macam kita dan ngomong, “Halo, aku sebenarnya alien lho.”

“MAKANYA!”

Haruhi tiba-tiba berdiri dan menjatuhkan kursinya ke belakang, mengakibatkan semua orang menoleh dan melihatnya.

“MAKANYA AKU BERUSAHA SEKUAT TENAGA!!”

“Maaf saya terlambat!”

Okabe-Sensei yang selalu optimis, yang lumayan kehabisan nafas, buru-buru masuk ke kelas. Ketika dia melihat seluruh kelas sedang melihat Haruhi yang sedang berdiri tegak, dia mengepalkan tangan, matanya menatap langit-langit, dia jadi sama terkejutnya dan hanya berdiri disana.

“Mmm… Absensi akan segera dimulai!”

Haruhi langsung duduk lalu memelototi sudut mejanya. Phiuh!

Aku berbalik; seluruh kelas mengikuti dan memutar kepala mereka juga. Lalu Okabe-sensei, terang sekali kebingungan karena kericuhan itu, terhuyung-huyung ke panggung kelas dan mengeluarkan batuk pelan.

“Saya minta maaf karena telat. Eh... kalau gitu, kita mulai saja!”

Dia mengulangi dirinya lagi, dan suasana kelas akhirnya kembali normal — walaupun suasana macam ini sangat dibenci Haruhi!

Mungkinkah hidup memang seperti itu?



Tapi jujur saja, jauh di lubuk hatiku, aku sangat iri dengan sikap Haruhi terhadap kehidupan.

Dia masih yakin bahwa dia akan bertemu seseorang dari dunia supranatural, keyakinan yang kutinggalkan lama sekali, dia antusias sekali berusaha meraih mimpinya. Kalau hanya duduk-duduk menunggu takkan menghasilkan apa-apa, itulah kita semua! Inilah kenapa Haruhi melakukan sesuatu seperti menggambar garis putih di lapangan sekolah, menggambar simbol di atap sekolah, menempel kertas jimat terkutuk dimana-mana.

Hah!

Aku tak tahu kapan waktu Haruhi mulai melakukan hal-hal aneh yang membuat orang salah mengira kalau dia itu okultis. Menunggu tiada hasilnya, jadi, kenapa engga ngelakuin upacara aneh buat manggil mereka? Pada akhirnya, bagaimanapun juga, tak ada yang terjadi. Mungkin itu alasannya kenapa Haruhi selalu memakai paras "seluruh-dunia-sialan" di mukanya...?

“Hei, Kyon.”

Setelah kelas berakhir, Taniguchi, dengan wajah kebingungan, mencoba memojokkanku. Taniguchi, lo bener-bener kayak orang bego tau ga dengan wajah kayak gitu!

“Berisik! Gue gak peduli lo ngomong apa. Ngomong-ngomong pelet apa yang lo gunain?”

“Pelet apaan?”

Setiap teknologi terdepan tiada bedanya dengan sihir! Aku jadi ingat kutipan ini saat bertanya balik kepadanya. Dia lalu menunjukkan jarinya pada bangku kosong Haruhi.

“Ini pertama kalinya gue liat Suzumiya ngobrol sama orang lama banget! Lo berdua ngomong apaan aja sih?”

Itu, ah, apa yang kita omongin ya? Gue cuman nanya pertanyaan yang biasa-biasa aja, itu aja.

“Ini fenomena!”

Dengan sinis Taniguchi memakai ekspresi terkagum-kagum. Lalu, Kunikida muncul dari belakang Taniguchi.

“Emang Kyon itu suka sama cewek-cewek aneh.”

Woi, jangan ngomong yang bisa bikin orang salah paham dong.

“Ga masalah kalo Kyon itu suka ama cewek-cewek aneh. Yang gue ga ngerti itu, kenapa si Suzumiya mau ngomong sama lo? Gue sama sekali ga ngerti.”

“Mungkin Kyon sama anehnya sama dia?”

“Mungkin. Maksud gue, lo ga bisa ngarepin orang dengan panggilan kayak Kyon itu orang normal.”

Berhenti manggil gue Kyon, Kyon, Kyon! Daripada dipanggil dengan panggilan bodoh itu, mendingan panggil nama asli gue! Paling engga, gue pengen denger adik gue sendiri manggil gue “Onii-chan”!

“Saya juga kepengin tahu.”

Suara riang seorang gadis muncul entah darimana. Kuangkat kepalaku, dan, tentu saja, melihat wajah tersenyum lugu Asakura Ryoko.

“Saya nyoba ngomong sama Suzumiya-san udah beberapa kali, tapi sama sekali ga bisa. Bisa ajarin saya gimana caranya bicara sama dia?”

Aku bertingkah seolah-olah sedang berpikir tentang hal ini sebentar, tapi sebenarnya, aku sama sekali tidak sedang berpikir.

“Entahlah.”

Mendengar hal ini, Asakura tersenyum.

“Saya lega banget sekarang. Dia ga bisa terus-terusan terisolasi dari teman sekelasnya kayak gitu, jadi baguslah kamu jadi temannya.”

Asakura Ryouko peduli dengannya seperti seorang pengawas kelas, yah, dia memang pengawas kelas. Dia terpilih jadi pengawas kelas saat sesi absensi lama kami yang terakhir.

“Teman, ya?”

Aku menggelengkan kepala tak yakin. Emang bener kayak gitu ya? Tapi satu-satunya ekspresi yang Haruhi tunjukin ke aku kapan pun aku ngomong sama dia hanya wajah bersungutnya itu!

“Kamu harus terus nolong Suzumiya-san biar dia bisa rukun sama semuanya. Kita toh satu kelas, jadi kami mengandalkanmu.”

Hah. Kalaupun kamu ngomong begitu, aku ga tahu apa yang harus kulakukan!

“Jika ada sesuatu yang perlu kusampaikan ke Suzumiya-san, saya hanya tinggal minta kamu sampaikan pesannya ke dia!”

Engga, tunggu! Aku kan bukan juru bicaranya!

“Plis?” pintanya tulus, sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.

Berhadapan dengan permintaannya, aku hanya bisa memberi respon tak jelas seperti “erm” dan “ahh...”. Asakura anggap itu sebagai "oke", memberi senyumannya yang seperti tulip kuning, dan lalu kembali ke cewek-cewek lainnya. Setelah melihat kalau cewek-cewek lain sedang melihatku, rasanya jantungku telah jatuh kedasar lembah.

“Kyon, kita sahabat, kan..?” tanya Taniguchi, menatapku curiga.

“Apa yang terjadi sih disini?”

Bahkan Kunikida, dengan mata tertutup dan kedua tangan bersilang di dada, pun mengangguk.

Ya Tuhan! Kok bisa gue dikelilingin orang-orang idiot ini?


Tampaknya seseorang memutuskan bahwa semua di kelas perlu tukaran bangku tiap bulan. Karena itu, sang pengawas kelas, Asakura, menulis semua nomor bangku di secarik kertas kecil, menaruhnya ke dalam kaleng Hatosabure, dan kami semua menarik darinya. Pada akhirnya, aku dapat tempat duduk di baris kedua dari belakang sebelah jendela yang menghadap lapangan. Tebak siapa yang duduk tepat dibelakangku? Benar sekali, si selalu bersungut Haruhi!

“Kenapa hal menarik itu blom kejadian juga sih?! Kayak anak-anak SD menghilang satu persatu, atau beberapa guru terbunuh di ruang kelas yang terkunci?”

“Jangan ngomong yang serem-serem ah!”

“Aku gabung Kelompok Riset Misteri.”

“Oh? Terus gimana?”

“Bloon banget. Ga ada yang menarik terjadi! Apalagi, semua anggota klubnya pencinta novel detektif, tapi ga ada satupun yang mirip detektif!”

“Bukannya itu normal?”

“Aku sebenarnya berharap sama Kelompok Riset Supranatural.”

“Yang bener?”

“Tapi, ternyata mereka semua cuman sekumpulan maniak okultisme. Itu kedengerannya asik ga menurutmu?”

“Ga juga sih.”

“Ah, men, bosen banget! Napa sih sekolah ini ga punya klub menarik yang bener?”

“Yah, ga banyak yang bisa lo lakuin soal itu.”

“Kupikir setelah lulus trus masuk SMA aku bakalan nemuin klub mantep! Ha~h, ini kayak nyoba ikut Liga Utama Baseball dan terus nemu kalo di sekolah yang lo datengin bahkan ga punya tim Baseball.”

Haruhi terlihat seperti semacam banshee yang siap pergi ke ribuan biara Buddha untuk memberi beberapa kutukan. Dia tatap langit dengan hina dan menghembuskan desahan besar.

Haruskah gue kasihani dia?

Aku tak tahu klub macam apa yang Haruhi suka. Mungkin bahkan dia sendiri pun tak tahu jawabannya. Dia hanya ingin “melakukan hal yang menarik.” "Sesuatu yang menarik" itu apa? Apa itu termasuk memecahkan misteri pembunuhan? Mencari UFO? Atau pengusiran setan? Kupikir dia juga tak tahu.

“Menurut gue apa boleh buat kalo emang ga ada.”

Kuputuskan untuk mengekspresikan pendapatku.

“Menilai dari hasilnya, manusia biasanya puas dengan keadaan mereka sekarang. Mereka yang tidak, tapinya, bakalan nyoba menciptakan atau menemukan sesuatu buat memajukan peradaban. Ada orang pengen terbang, jadi dia menciptakan pesawat. Ada orang pengen berpergian dengan gampang, maka dibuatlah mobil dan kereta. Tapi hal tersebut hanya dibuat oleh orang-orang yang punya bakat spesial. Hanya orang jenius yang bisa ngubah khayalan jadi kenyataan. Orang biasa kayak kita sebaiknya menjalani hidup kita sepenuhnya. Kita seharusnya ga boleh terlalu impulsif cuman karena kita ngerasa kayak petualang.”

“Berisik.”

Haruhi memotong begitu saja ceramahku yang agak bermutu itu, atau setidaknya begitulah yang tadinya kupikir, dan memalingkan kepalanya ke arah lain. Kayaknya sekarang dia lagi murung banget. Tapi sekali lagi, kapan sih dia engga gitu? Gue udah terbiasa kok.

Cewek ini mungkin tak peduli dengan apapun — kecuali yang berhubungan dengan kekuatan supranatural yang melewati batas kenyataan. Dunia ini ga punya yang kayak gitu, tapinya. Ga ada, beneran.

Panjang umur Hukum-Hukum Fisika! Berkat kamu, kita para manusia bisa hidup dengan damai. Walau Haruhi mungkin jijik sama hal beginian.

Aku normal, kan?


Sesuatu pasti telah memicunya.

Mungkin karena percakapan diatas?

Karena aku sama sekali tak pernah menduganya!


Sinar hangat matahari membuat semua orang di kelas mengantuk. Tepat ketika aku terkantuk-kantuk dan mulai tertidur, tenaga hebat tiba-tiba terkerahkan sendiri menuju kerah bajuku dan menarikku ke belakang. Karena tenaganya kuat sekali, kepalaku sampai terbentur ujung bangku di belakangku. Air mata keluar seketika dari mataku.

“Lo ngapain sih!?”

Kuputar kepalaku marah dan melihat Haruhi, yang satu tangannya masih menarik kerahku, tersenyum lebar secerah matahari tropis — sumpah, ini pertama kalinya aku melihat senyumnya! Kalau senyuman bisa diukur dengan suhu, mungkin senyuman dia sama panasnya dengan hutan hujan tropis.

“Aku ngerti!”

Woi, jangan muncratin ludah lo dong!

“Kenapa sebelumnya ga kepikiran ya?”

Mata Haruhi bersinar seterang bintang Alpha Albireo. Dia menatapku tajam. Dengan segan aku bertanya:

“Emang apa yang baru kepikiran?”

“Kalo ga ada, ya kubikin sendiri aja!”

“Bikin apaan?”

“Bikin KLUB!”

Kepalaku tiba-tiba sakit, dan kukira tak ada hubungannya dengan kepalaku yang kebentur meja barusan.

“Beneran? Ide yang sungguh cemerlang. Bisa lepasin gue sekarang?”

“Sikap apaan tuh? Kau harusnya lebih senang!”

“Soal ide lo tadi, kita omongin ntar. Sekarang ini, gue pengen lo mempertimbangkan dimana kita sekarang. BARU lo bisa bagi-bagi suka-cita elo itu sama gue. Tapi pertama-tama, tenang dulu, oke?”

“Maksudnya apa?”

“Pelajaran masih berlangsung.”

Haruhi akhirnya melepas kerahku. Aku mengusap belakang kepalaku yang mulai mati rasa dan perlahan berputar kembali. Aku perhatikan seluruh kelas tampak total terkagum-kagum. Guru bahasa Inggris pemula yang baru lulus, dengan kapur di tangannya, menatapku dan kelihatannya seperti akan menangis.

Kuberi isyarat pada Haruhi untuk segera duduk dan mengangkat bahu pada guru malang itu.

"Silahkan, lanjutkan pelajarannya, Bu."

Kudengar Haruhi bergerutu tentang sesuatu sebelum dia duduk dengan segan. Guru lalu lanjut menulis pada papan tulis...

Bikin klub baru, ya?

Hmmmm...

Jangan-jangan gue disuruh kerjasama lagi.

Cerebrumku yang sakit hanya mulai menambah kekhawatiranku saja.


Balik ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2