Rokujouma no Shinryakusha!? (Indonesia): Jilid 8.5 Bab 5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Sang Puteri Perak dan Sang Ksatria Biru[edit]

Part 1[edit]

Semenjak Koutarou mendapat SIgnaltin, kemajuan pasukan Forthorthe baru menjadi tak terhentikan.

Rumor dimana Koutarou berhasil mengangkal serangan kaisar naga api, Alunaya, menyebar dengan cepat ke seluruh Forthorthe bagai api yang terus menyambar, membuat lebih banyak orang dan perbekalan berkumpul bagi mereka. Dengan keadaan seperti ini, pasukan Forthorthe baru akan tampil menjadi pemenangnya. Sebagai hasilnya, pasukan-pasukan ksatria yang tadinya ragu untuk bergabung dengan pasukan Forthorthe baru pun akhirnya bergabung satu demi satu, dan membuat kekuatan pasukan kudeta menurun drastis. Kekuatan pasukan Forthorthe baru sekarang sudah lebih dari cukup untuk bisa menandingi pasukan kudeta.

Sementara itu, kekuatan pasukan kudeta terus menurun dengan stabil. Kekhawatiran bahwa mereka akan kalah melawan musuh yang bisa melawan naga dan masih bertahan hidup menyebar luas ke seluruh pasukan kudeta. Sebagai hasilnya, semangat mereka pun menurun dan banyak di antara mereka yang berpindah sisi. Kalau Alunaya, yang telah menghilang, kembali muncul, mereka mungkin bisa membalikkan keadaan ini, namun tidak ada tanda-tanda bahwa hal itu akan terjadi. Karena itulah, situasi pasukan kudeta semakin memburuk.

Meskipun hampir tidak ada perbedaan yang tampak dari antara kedua pasukan itu, pasukan dengan semangat yang lemah tetap akan kalah dalam pertempuran yang sebetulnya bisa dimenangkan oleh pasukan itu. Sementara kekuatan pasukan Forthorthe baru terus meningkat, pasukan kudeta tidak bisa mempersiapkan diri mereka dengan baik dan menghadapi kekalahan demi kekalahan dari seluruh penjuru negeri. Hal itu membuat situasi yang dihadapi pasukan kudeta menjadi semakin buruk.

Sebagai hasilnya, pasukan Forthorthe baru bisa melangkah maju dengan mulus tanpa harus menggunakan Signaltin yang sudah berada di tangan Koutarou. Karena itulah, bertepatan dengan mulai turunnya salju, pasukan Forthorthe baru sudah berada dekat dengan ibukota negeri itu, Fornorn.

Koutarou dan Clan sedang melihat proyeksi 3D yang dibuat oleh gelang Clan, yang menampilkan tampilan kota yang dibangun dari batu-batu bata. Pada masa modern seperti sekarang ini, kota seperti itu akan dianggap sebagai kota yang kuno, tapi pada masanya, kota itu disebut sebagai kota yang indah yang tiada tandingnya. Sebagaimana mestinya sebuah ibukota dari sebuah kekaisaran, desa-desa dan kota-kota lain yang sudah mereka berdua lihat tidak ada bandingannya dengan ibukota itu.

"Jadi, ini ibukotanya, Fornorn ya....besar juga."

"Inilah kota terbesar di benua ini, yang dilengkapi dengan saluran air dan pembuangan, dan bahkan lampu-lampu jalan, dari yang aku dengar."

Populasi kota Fornorn sendiri mencapai lebih dari 100,000 orang. Jika dibandingkan dengan kota-kota bersejarah lainnya di Bumi, Fornorn bisa dikatakan sebagai kota yang besar. Sebelum ditemukannya mesin uap, ada batasan seberapa besar sebuah kota bisa dibandingkan dengan kota pada zaman modern. Karena itulah, jumlah penduduk sebesar 100,000 orang sudah lebih dari cukup untuk membuat Fornorn disebut sebagai kota metropolitan.

Karena kotanya sendiri juga merupakan ibukota begitu besar, pasukan yang disiagakan disana pun tidak kalah banyaknya, yakni sekitar 10,000 orang prajurit yang sudah menanti mereka disana. Kalau pasukan kudeta menggerakkan seluruh kekuatan tempur mereka, jumlah itu bisa berubah menjadi beberapa kali lebih besar. Namun, karena pasukan mereka sedang kewalahan meredam keributan dan menjaga perbatasan, jumlah kekuatan mereka tidak akan melebihi angka 10,000. Tapi tetap saja, jumlah prajurit itu sudah begitu banyak.

"Tapi...aneh juga."

"Bener juga. Kenapa mereka ngga nerjunin prajurit mereka?"

"Siapa yang tahu...tapi akan merepotkan kalau mereka sampai pakai metode bumi hangus..."

Pasukan Forthorthe baru sudah menyiagakan pasukan mereka untuk mengepung bagian kota dari Fornorn, dengan jumlah 8,000 orang, yang nantinya akan mendapat bantuan dan akan naik menjadi hampir 10,000 orang.

Meski begitu, pasukan kudeta tidak terlihat akan mencegah mereka. Meskipun mereka memiliki 10,000 orang prajurit, tidak ada tanda-tanda bahwa para prajurit itu akan diterjunkan, bahkan membentuk posisi berlindung saja pun tidak mereka lakukan.

"Puteri Alaia nggak suka pertempuran kayak gitu."

"Jahatnya, aku juga tidak ingin bertempur seperti itu."

"Maaf, Clan."

"Butuh berapa lama bagimu, untuk mengakui bahwa aku ini adalah seorang tuan puteri?"

"Udah aku bilang, maaf."

Yang dikhawatirkan oleh Koutarou dan Clan adalah apakah pasukan kudeta sudah menyiagakan prajurit mereka di dalam kota. Kalau memang itu yang terjadi, akan ada banyak kerusakan yang terjadi kalau pertempuran sampai terjadi, membuat serangan mereka terhadap Fornorn menjadi sia-sia. Kalau sampai ibukota mereka hancur menjadi abu hanya agar para dalang dibalik kudeta bisa ditangkap, kerusakan yang timbul akan jauh lebih parah dibandingkan dengan saat kudeta terjadi.

"Yang lebih penting lagi, kalau itu tujuan mereka, kita harus nyari cara biar bisa nyerang istana."

"...Yang lebih penting lagi, ya? Hhh...perbaikan Cradle sudah mau selesai. Kalau kita pakai itu, kita bisa menyerang istana dengan memakai Cradle."

"Oke...kumpulin info lebih banyak lagi, Clan. Tolong fokus ke baraknya."

"Aku mengerti. Aku akan kumpulkan informasi lebih dalam sebelum tim pengintaian kembali."

Karena permasalahan itulah Koutarou dan yang lainnya berhati-hati dalam menyerang Fornorn. Mereka harus mempertimbangkan apa yang terjadi setelah perang usai, karena semuanya belum berakhir hanya dengan menekan pasukan kudeta. Itulah hal yang rumit dalam perang saudara: kalau mereka sampai bertempur dengan suatu cara yang bisa membuat kerusuhan lebih besar lagi, perang itu tidak akan pernah berakhir. Baik sejarah Forthorthe maupun Bumi sudah membuktikan hal itu.

"Yang Mulia!!"

Tepat pada saat itu, pemuda yang menjadi ajudan Koutarou melesat masuk ke dalam tenda Koutarou dan Clan. Biasanya, dia tidak akan melakukan hal semacam itu, karena dia akan selalu berhenti di pintu masuk tenda itu. Jadi, kenyataan bahwa dia langsung melesat masuk ke dalam tenda seperti itu menandakan bahwa ada sesuatu yang betul-betul serius yang sudah terjadi.

"Tenanglah dulu, ada apa?" tanya Koutarou pada ajudannya. Koutarou tahu kalau apa yang akan dikatakan si ajudan adalah sesuatu yang penting, tapi dia tidak bisa mengerti mengapa ajudannya panik seperti itu. Agar bisa menenangkannya, Koutarou bertanya dengan nada yang kalem.

"S-sebenarnya, pasukan kudeta telah menyerah!!"

"Apa!?"

"A-Apa!?"

Namun, setelah mendengar laporan itu, baik Koutarou maupun Clan tidak bisa tinggal diam.

Alasan mengapa pasukan kudeta telah menyerah adalah karena para dalang dibalik pasukan itu, Maxfern dan Grevanas, telah menghilang.

Maxfern dan Grevanas telah menghilang sejak beberapa hari yang lalu dan tidak pernah terlihat lagi. Di saat yang bersamaan, para alkemis dan dewan penyihir pun turut menghilang sambil membawa para murid mereka. Mereka semua menghilang meninggalkan pasukan kudeta tanpa meninggalkan perintah apapun. Seperti halnya anak kecil yang sudah bosan dengan mainannya, mereka terlihat sudah tidak peduli lagi.

"...Dan karena kami juga tidak mau bertempur, kami menyerah."

"Meskipun kalian berkata seperti itu, itu semua sulit dipercaya..."

Meskipun pembawa pesan dari pasukan kudeta sudah menjelaskan keadaan mereka, Koutarou tetap keheranan dengan situasi itu. Dia mengerti apa yang dikatakan oleh si pembawa pesan itu, tapi sulit baginya untuk mencerna itu sebagai hal yang sebenarnya.

"Saya bisa mengerti bahwa anda merasa seperti itu, tapi memang itu yang sebenarnya."

Pembawa pesan itu pun juga sama-sama keheranan dengan situasinya saat itu, dan dengan susah payah mencoba membuat Koutarou mengerti akan situasi itu.

"Yang Mulia, saya sudah mengirim pasukan untuk memastikan hal itu, dan semua yang dikatakannya adalah benar. Maxfern dan kelompoknya tidak bisa ditemukan di dalam istana, ditambah fasilitas penelitian alkemis dan menara penyihir juga sudah dikosongkan", kata si ajudan yang mengkonfirmasi bahwa si pembawa pesan memang mengatakan yang sebenarnya.

"Hmmm...saya mengerti. Kelihatannya ini memang situasi yang rumit bagi kedua belah pihak."

"Saya senang anda bisa mengerti."

Meskipun situasinya masih tidak bisa dimengerti, memang itulah situasi yang sedang terjadi: Maxfern dan Grevanas sudah mengabaikan pasukan kudeta dan menghilang begitu saja.

"Clan."

Setelah mengerti situasi yang ada, Koutarou memanggil Clan. Setelah dia mendekat, Koutarou berbisik kepadanya.

"...Ini kenapa sih? Jadinya beda banget sama yang di naskah."

"...Aku sendiri juga tidak tahu. Menurut sejarah, Ksatria Biru bertarung melawan Maxfern dan Grevanas."

Baik dalam naskah Theia maupun sejarah Forthorthe, sang Ksatria Biru bertarung melawan Maxfern dan Grevanas. Meskipun ada berbagai perbedaan tentang bagaimana pertarungan itu terjadi di dalam buku-buku sejarah, kenyataannya mereka pasti akan bertarung.

Walau begitu, meskipun pasukan Forthorthe baru sudah mencapai ibukota, Maxfern dan Grevanas justru tidak bisa ditemukan. Naskah Theia sendiri dibuat berdasarkan buku sejarah yang menyampaikan bahwa pertempuran terakhir terjadi di Fornorn. Ditambah, berdasarkan bagaimana sejarah telah berjalan, tentu saja hal itulah yang seharusnya sekarang terjadi. Karena itulah, akhir seperti yang ada di naskah sudah diharapkan oleh Koutarou.

"...Kalau sejarahnya ternyata beda sama yang di naskah, selanjutnya gimana?"

"...Rasanya aneh, tapi Alaia harus dinobatkan menjadi kaisar, jadi mari kita jalankan itu dahulu."

"...Oke, kita jalanin itu dulu."

Setelah pembicaraan pribadinya dengan Clan, Koutarou kembali berbicara dengan si pembawa pesan.

"Kami akan menerima penyerahan diri pasukan kudeta. Segeralah bersiap untuk membiarkan kami masuk."

"T-terima kasih banyak, Yang Mulia!!" jawab si pembawa pesan dengan cerianya setelah mendengar jawaban Koutarou, karena dia sendiri juga masih bingung dengan situasi saat itu. Ada kemungkinan bahwa Koutarou tidak akan percaya padanya dan curiga bahwa itu adalah jebakan, jadi dia datang ke tempat itu dengan kesadaran bahwa dia akan dibunuh. Itulah sebabnya, saat dia mendengar jawaban Koutarou, dia menjadi begitu lega. Dengan begini, perang pun usai dan dia bisa kembali pulang ke keluarganya. Perasaannya pun berubah menjadi air mata yang mengalir membasahi pipinya.

"Hhh...."

Koutarou pun menghela nafas lega sambil melemaskan pundaknya, membuat Clan yang melihatnya langsung mengernyitkan alisnya.

"Masih terlalu cepat untuk merasa santai, Veltlion."

"Yah, aku tahu, tapi...udah bagus kalau perangnya udah selesai."

"Benar juga. Bukannya aku tidak mengerti apa yang kamu rasakan."

Tidak peduli seberapa banyak dia sudah mengalaminya, Koutarou tidak pernah menjadi terbiasa dengan peperangan. Dia merasa bahwa yang terbaik baginya adalah untuk terus melangkah tanpa harus bertarung lagi. Meskipun perubahan yang akan terjadi pada sejarah masih mengganggunya, Koutarou hanya bisa merasa lega. Hal yang sama juga dirasakan oleh Clan. Meskipun dia sendiri sudah berkata untuk jangan bersantai, dia sendiri juga sebetulnya merasa lega.

Namun, pertempuran belum betul-betul berakhir.

"Veltlion, ini gawat!!"

Suasana di dalam tenda menjadi lebih tenang saat mereka bisa melihat akhir dari perang. Tepat pada saat itulah, Flair melesat masuk dengan wajah yang terlihat pucat pasi.

"Puteri Alaia dan Puteri Charl sudah diculik oleh Maxfern!"

Dengan pesan yang disampaikan oleh Flair, babak pertarungan akhir pun telah dimulai.


Part 2[edit]

Sementara Koutarou dan yang lainnya disibukkan dengan penyerangan ibukota, Maxfern menyerang pasukan Alaia yang terletak di bagian belakang pasukan penyerang dengan diam-diam. Karena keseluruhan pasukan kudeta ditinggalkan di Fornorn, tidak ada seorang pun yang menyangka akan adanya serangan mendadak pada saat seperti ini.

Maxfern menggunakan gerombolan monster aneh bersayap, yang dipanggil oleh Grevanas dan dewan penyihirnya, untuk melakukan serangan itu pada Alaia. Dengan adanya serangan dari langit oleh pasukan yang seharusnya tidak pernah ada, pasukan Forthorthe baru pun menjadi hancur dan baik Alaia maupun Charl diculik.

Mary dan Fauna, yang ada bersama Alaia dan Charl, turut dibawa serta karena mereka berada di dalam tenda yang sama.

Setelahnya, Maxfern meninggalkan pesan yang aneh untuk pasukan Forthorthe baru, yang berisi bahwa Koutarou harus datang ke kastil yang berada di Sariachal tanpa membawa pasukannya.

"Oh ya, tempat seperti apa, kastil yang berada di Sariachal itu?"

Sambil menunggangi kuda, Koutarou bertanya pada Lidith yang berada di dekatnya. Karena nama Sariachal tidak ada di dalam naskah Theia, Koutarou tidak tahu-menahu apapun mengenai tempat itu.

"Sariachal berada di sisi barat laut Fornorn. Itu adalah nama kastil tua yang dulunya adalah milik keluarga Maxfern. Kastil itu menjadi terbengkalai saat Fornorn dibangun, dan sekarang seharusnya kastil itu sudah kosong", jawab Lidith sambil menunggangi kudanya dengan lihai. Karena dia lebih mampu menunggangi kuda daripada Koutarou, dia bisa mengimbangi kecepatan Koutarou sambil terus menjelaskan.

"Tidak diragukan lagi, ini adalah jebakan, Veltlion."

Clan menunggangi kuda bersama Flair di kuda yang lain, dengan Flair yang mengendalikan kuda karena dirinya hanya bisa membuat kuda yang ditungganginya berjalan, betul-betul menunjukkan bahwa Clan sama sekali tidak bisa melakukan kegiatan yang membutuhkan banyak gerak dengan baik. Dia hanya bisa berusaha keras berpegangan pada Clair agar tidak jatuh, dan sambil melakukan itu, dia tetap merasa khawatir pada Koutarou.

"Mereka akan tetap membunuh Alaia-san dan yang lainnya mau bagaimanapun keadaannya nanti. Mereka kemungkinan hanya ingin menyingkirkan diri anda lebih dulu sebelum melakukan itu."

Bagi Maxfern dan Grevanas yang sudah memulai kudeta itu, Alaia dan Charl adalah pengganggu bagi mereka berdua. Membunuh kedua puteri itu akan menjadi jalan yang paling praktis agar kudeta mereka berhasil, jadi Alaia dan Charl pasti akan dibunuh pada akhirnya nanti, tidak peduli apakah Koutarou datang atau tidak.

Saat ini, Koutaroulah yang lebih berada dalam bahaya dibandingkan Alaia dan Charl. Kalau Alaia dan Charl sampai mati, Koutarou sebagai pemimpin pasukan bisa menyerukan serangan balasan yang akan membuat repot para dalang kudeta. Kemungkinan besar pasukan Forthorthe baru justru akan mendapat dukungan yang besar daripada kehilangan dukungan. Untuk bisa menghindari hal itu, akan lebih baik jika kondisi Koutarou, Alaia maupun Charl menjadi tidak pasti antara hidup atau mati. Meskipun mereka betul-betul mati, Maxfern dan Grevanas masih bisa menghindari dukungan para penduduk yang masih berpihak pada Alaia dengan membuat penduduk percaya bahwa sebenarnya orang-orang itu masih hidup.

"Tapi, saya tidak akan membiarkan mereka melakukan itu! Tidak peduli apapun yang terhadi, saya akan menyelamatkan para puteri! Bahkan jika saya harus mati sekalipun!"

Flair terlihat begitu geram saat berkata demikian sambil mencambuk kudanya. Karena dia mempunyai sifat yang selalu serius, kemarahan dan kebenciannya terhadap Maxfern yang telah menyandera tuannya yang begitu terhormat menjadi sangat hebat.

"Tolong tenang, Nona Pardomshiha. Kalau saya sampai membiarkan anda mati, puteri Alaia pasi akan memarahi saya."

"Tapi, Veltlion, tidak ada artinya kita berhati-hati kalau sampai puteri Alaia dan puteri Charl mati!"

Flair pun mempercepat laju kudanya. Baginya, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi justru telah terjadi. Sudah tidak ada lagi ketenangan yang bisa terlihat pada gadis yang biasanya terlihat kalem itu.

"Tolong pelankan kuda anda sedikit, Nona Pardomshiha. Kalau terus begini, kuda anda akan kelelahan sebelum kita sampai disana."

"...Ugh, m-maaf..."

Flair pun tersipu malu begitu mendengar saran dari Koutarou, dan lalu memperlambat laju kudanya. Kalau dia memaksakan kudanya berlari terus-menerus, dia tidak akan sampai ke tempat tujuannya, dan kalau Flair sendiri berusaha terlalu keras, dia sendiri juga tidak akan mencapai tujuannya. Karena dia sudah sadar kalau dirinya menjadi panik dengan situasi itu, Flair akhirnya menegur dirinya sendiri dalam benaknya.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan, Ksatria Biru?" tanya Caris yang duduk di tongkat sihir terbang yang berada di sebelah Koutarou. Untuk Caris, dia lebih baik terbang dengan tongkatnya daripada menunggangi kuda, dan saat itu dia sedang terbang mundur sambil berhadapan dengan Koutarou.

"Kalau kita terus bergerak seperti ini, kita akan masuk ke dalam jebakan mereka. Ditambah, kita hanya berlima. Ada batasan seberapa jauh kita bisa bertindak."

Ada lima orang yang saat itu sedang berpacu menuju Sariachal: Koutarou, Lidith, Flair, Clan dan Caris. Jumlah orang sebanyak itu tidak akan cukup untuk menyelamatkan bahkan seorang tuan puteri. Karena mereka semua tahu kalau mereka akan melangkah masuk ke dalam jebakan, mereka semua tentunya merasa khawatir, termasuk Caris.

"Yah, saya rasa kita tidak bisa terlalu memikirkan masalah detailnya...Clan."

"Kenapa wajahmu seperti itu?"

Clan langsung merasa kuatir begitu melihat wajah Koutarou yang menjadi serius. Pada saat-saat seperti ini, Koutarou akan selalu mengatakan sesuatu yang nekat.

"Anda tidak mendapat ide yang aneh lagi, benar?"

"Bisa jadi. Clan, kita tidak bisa pilih-pilih dalam situasi seperti ini. Kita harus menggunakan segala macam cara yang ada untuk bisa menyelamatkan puteri Alaia dan yang lainnya."

"...Apa anda yakin?" tanya Clan sambil menunjuk ke arah para gadis yang lain dengan matanya. "Cara apapun" berarti menggunakan semua perlengkapan yang ada di dalam Cradle, yang berarti sama saja dengan mengatakan pada Flair dan yang lainnya siapa mereka berdua sebenarnya. Tingkatan situasi itu berada pada tingkatan yang jauh berbeda dari terlihat saat terbang dan menggunakan senjata yang canggih. Dengan melakukan itu, kemungkinan mereka berdua untuk tidak bisa kembali ke dunia asal mereka menjadi sangat tinggi.

"Ya. Akhir semua ini sudah dekat, dan seperti yang Caris katakan, ada batasan seberapa jauh kita bisa bertindak."

"...Aku mengerti", balas Clan dengan menganggukkan kepalanya. Meskipun ada resiko dibalik keputusan itu, Clan percaya bahwa keputusan Koutarou sudah tepat. Mereka bisa percaya pada Flair dan yang lainnya, dan mereka memang hanya membawa sedikit orang. Mereka berdua lebih memilih resiko identitas mereka terbongkar daripada kehilangan Alaia dan Charl.

"Dan tolong siapkan itu juga, mungkin kita akan memerlukannya."

"I-Itu juga!? Aku masih mengaturnya, dan--"

"Sudah saya bilang, kita tidak bisa begitu mempermasalahkan detilnya" balas Koutarou sambil mengeluarkan senyuman sinis, yang hanya ditunjukkannya pada Clan saat dia mengatakan lelucon yang kasar. Namun, kali ini senyuman itu nampak berbeda, dan Clan pun sadar saat melihat senyuman itu.

"...Veltlion, apa sebenarnya anda betul-betul sangat marah?"

Bagi Clan, Koutarou terlihat seperti bersikap dengan tenang, namun Clan bisa merasakan murka yang begitu besar yang berada dibalik senyuman itu. Maxfern dan Grevanas sudah mengusik sesuatu yang tidak seharusnya.

"Tidak, saya tenang", jawab Koutarou sambil memegang lencana gelar di dadanya.

"...Tenang ya....Hhh, kelihatannya ini tidak akan berakhir dengan baik..."

Sekarang, Clan menjadi yakin kalau Koutarou sedang marah. Dia bertingkah dengan tenang agar orang-orang disekitarnya tidak khawatir padanya.

Begitu rupanya, memang tidak mungkin aku bisa menang melawan orang yang tidak masuk akal seperti dia...

Koutarou pasti merasakan hal yang sama saat Clan bertarung melawannya. Setelah menyadari alasan dibalik kekalahannya, Clan bisa merasakan kalau pertarungan yang sudah menanti mereka akan begitu sengit.


Part 3[edit]

Setelah dibawa ke kastil tua Sariachal, Alaia dan yang lainnya dikurung di dalam penjara bawah tanah. Namun, setelah menghabiskan beberapa jam di dalam penjara, mereka dibawa ke taman kastil itu.

Taman kemana mereka dibawa terlihat begitu tandus. Karena letaknya yang berada diantara gerbang masuk dengan kastil, taman itu dulunya memiliki banyak sekali tanaman dan patung-patung yang berwarna, yang menyambut setiap mereka yang bertamu ke kastil itu. Namun, karena kastil itu sudah lama tidak digunakan, tidak ada orang yang mengurus taman itu dan taman itu pun menjadi hancur. Semua tanamannya sudah mengering, patung-patung yang ada sudah retak di sana-sini, dan air mancur yang ada sudah terisi oleh pasir. Itulah keadaan taman sepanjang 100 meter yang sudah menjadi hancur dan tandus itu.

Alaia dan yang lainnya dibawa ke dalam taman itu dan diikat ke tiang-tiang kayu yang ditancapkan ke tanah. Tali yang mengikat mereka begitu kuat, membuat Alaia dan yang lainnya tidak bisa melepaskan ikatan mereka untuk bisa kabur. Dalam situasi seperti itu, sulit untuk bisa tetap tenang, terlebih lagi bagi Charl yang masih kecil.

"...Apa yang akan terjadi pada kita selanjutnya?" tanya Charl dengan gugupnya. Fauna dan Mary yang melihat hal itu pun berusaha menyemangati Charl.

"Kita akan baik-baik saja! Tidak mungkin para penjahat itu bisa melakukan apapun!"

"Betul sekali, Layous-sama pasti akan menyelamatkan kita!"

Hanya itulah yang bisa dilakukan oleh mereka yang sudah tidak bisa bergerak lagi.

"Aku tahu! Aku tahu itu! Tapi..."

"Charl...kau takut karena Layous-sama pasti akan datang, benar?"

Alaia sendiri tahu betul seberapa sedihnya Charl saat itu, karena mereka berdua tahu betul bahwa Koutarou pasti akan datang menyelamatkan mereka berdua, dan itulah yang membuat mereka takut.

"Kakak! Ksatria Biru itu idiot, jadi dia pasti akan datang! Dan dia pasti akan terbunuh saat mencoba menyelamatkan kita!"

"Charl..."

Koutarou tidak akan bisa melakukan apapun jika Alaia dan yang lainnya disandera, karena Koutarou pasti akan menghadapi bahaya apapun demi mereka, dan kemungkinan besar akan mati karenanya. Itu adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, dan kenyataan itulah yang membuat mereka takut.

"Tidak apa-apa, Charl. Layous-sama pasti akan menang. Ksatria Biru kita tidak akan mati dengan mudahnya", kata Alaia yang melanjutkan bicaranya pada Charl, seakan meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, kenyataannya Alaia justru mempercayai hal yang sebaliknya. Koutarou pasti akan datang, dan akan merelakan dirinya sendiri terbunuh tanpa bertarung sedikitpun. Alaia tahu betul orang seperti apa Koutarou itu, dan karena itulah Alaia mencintainya. Namun, dia tidak bisa mengatakan hal itu pada adiknya, yang gemetar ketakutan, bahwa Koutarou akan dibunuh.

Rokujouma V8.5 183.jpg

Tolong, jangan datang, Koutarou-sama...saya rela, apapun alasannya...

Alaia hanya bisa berdoa, menahan keinginannya untuk menangis dan berusaha untuk terus tersenyum di hadapan Charl.

"Tidak perlu khawatir, puteri Alaia, puteri Charl. Selama Ksatria Biru mematuhi kami, kami tidak perlu membunuhnya."

"Maxfern!"

Sebelum mereka sadar, Maxfern sudah muncul di dekat Alaia dan yang lainnya. Biorbaram Maxfern, perdana menteri Forthorthe selama beberapa periode. Namun, dia jugalah yang sudah membunuh orang tua Alaia dan memicu perang di negeri itu. Di hadapan orang seperti itu, Alaia sekalipun tidak bisa menyembunyikan amarahnya. Senyuman Alaia pun seketika menghilang dan dia melotot ke arah Maxfern dengan kegeraman yang amat sangat.

"Kau penuh dengan kebohongan..."

"Itu tidak benar", balas Maxfern menepis tatapan tajam Alaia dengan menunjukkan apa yang bisa dianggap sebagai senyuman tulus. Namun, sudah jelas kalau senyuman itu hanya sekedar tipuan.

"Selama Ksatria Biru menyetujui permintaan kami, tidak akan mungkin baginya untuk bisa melukai kami. Seekor singa tidak punya alasan untuk menghancurkan seekor semut."

Pada saat itu, Maxfern dipenuhi dengan rasa percaya diri yang begitu aneh. Dia merasa begitu yakin dengan kemenangannya, dan terlihat tidak tertarik dengan nyawa Koutarou. Nada bicara dan perliakunya menunjukkan betapa besarnya rasa percaya dirinya.

Kenapa dia bisa begitu percaya diri...?

Alaia merasakan ada sesuatu yang mengerikan mengenai hal itu dan tidak bisa berkata apa-apa tentang keresahan itu.

"Maxfern-sama, kelihatannya ksatria yang anda maksudkan sudah tiba."

Di dekat Maxfern, mantan kepala dewan penyihir, Grevana, menunjuk ke arah gerbang yang berada di sisi lain taman.

"Jadi kau datang, Ksatria Biru...fufufu, dia memang ksatria yang patut dicontoh. Betul-betul hebat...", tawa Maxfern sambil melihat ke arah yang ditunjuk oleh Grevanas. Saat yang telah dinantikannya akhirnya telah tiba.

"Ksatria Biru!"

"...Ah...Koutarou-sama...mengapa..."

Di hadapan pintu gerbang yang sudah terbuka itu, berdiri seorang ksatria berzirah biru. Alaia tahu bahwa ksatria itu adalah Koutarou, bahkan dari jauh sekalipun.

Koutarou datang ke tempat itu sendirian. Setelah turun dari kudanya, Koutarou melihat ke sekeliling taman itu. Pada saat itu, pandangan Koutarou dan Alaia bertemu sesaat, dan Koutarou menunjukkan senyum tenangnya sekilas sebelum kembali serius. Koutarou tahu bahwa saat itu bukanlah saat baginya untuk bahagia.

"Jangan, Layous-sama!! Ini jebakan!!"

Koutarou melangkah dengan pelan tapi pasti, lurus ke pusat taman itu. Melihat Koutarou seperti itu, Alaia bisa mengerti tekad seperti apa yang dipegang Koutarou saat dia datang ke tempat ini.

"Jangan pedulikan kami!! Maxfern akan tetap membunuh kami!!"

Meski dia mengetahui hal itu, Alaia tetap berteriak, berusaha sebisanya untuk menghentikan Koutarou.

"Jangan khawatir, saya akan segera menyelamatkan kalian semua."

Namun, Koutarou tidak berhenti juga. Dia terus melangkah tanpa kehilangan iramanya dan sekarang sudah sampai ke tengah taman itu.

"...Saya lihat kalau dia sudah membawa itu."

Setelah Koutarou berada cukup dekat, Maxfern memandanginya sejenak sebelum mengeluarkan senyuman sambil mengelus jenggotnya.

"Kelihatannya seperti itu. Saya bisa merasakan kekuatan sihirnya."

Grevanas si penyihir juga melihat Koutarou tidak hanya dengan matanya saja, tapi juga dengan sihirnya. Dia bisa merasakan kekuatan sihir yang begitu besar yang memenuhi badan Koutarou. Semua itu rupanya berjalan sesuai apa yang direncanakan oleh Maxfern dan Grevanas.

"Tolong pastikan kalau itu memang yang sebenarnya atau tidak dengan segera."

"Baiklah, tuanku."

Grevanas lalu mengangkat tangannya, dan sebagai gantinya, sebuah makhluk yang aneh pun muncul. Makhluk itu mempunyai badan layaknya binatang buas yang berdiri tegak, dengan kepala yang mirip dengan reptil dan sayap pada punggungnya. Penampilannya yang aneh seakan menandakan bahwa makhluk itu terdiri dari beberapa makhluk yang dicampur menjadi satu. Rupanya, makhluk itu adalah makhluk yang dipanggil oleh Grevanas dan dewan penyihirnya dari dunia yang berbeda yang disebut sebagai Hell.

"Serang dia!" seru Grevanas sambil mengayunkan tangannya ke arah Koutarou. Monstre itu pun mulai mengepakkan sayapnya dan lalu terbang. Rupanya sayapnya bukan hanya sekedar hiasan.

"A-apa itu!?"

Koutarou baru menyadari keberadaan monster itu saat monster itu terbang. Bahkan Koutarou sekalipun bisa kehilangan kata-kata karena kaget dengan wujud makhluk itu. Namun, Koutarou sudah melihat berbagai macam makhluk aneh lainnya semenjak dia tiba di Forthorthe: kuda yang bertanduk, kadal yang mempunyai sayap, bahkan seekor naga pun baru saja dilihatnya. Sebagai hasilnya, dia sudah menjadi tidak begitu kaget dengan adanya makhluk-makhluk aneh.

"Begitu rupanya, itu makhluk yang menculik Yang Mulia dan yang lainnya!"

Koutarou sudah mendengar tentang monster aneh itu, yakni si setan, dari prajurit yang bertugas mengawal Alaia. Gerombolan makhluk yang berjalan tegak dan terbang melintasi langit yang menculik Alaia dan yang lainnya. Deskripsi dari para prajurit itu cocok dengan makhluk ini.

"Tapi, dia bukan sesuatu yang tidak bisa kukalahkan!"

Karena berbagai situasi itulah, Koutarou bisa menghunus pedangnya tanpa terperanjat sedikitpun.

Dibandingkan sama naga itu, setan ini bukan apa-apa! Lagian, aku punya pedang ini!

Pedang yang dihunusnya adalah Signaltin, kekuatan barunya yang telah diberikan kepadanya oleh Alaia.

"Hyaaaaaaah!!"

Setan itu pun menjerit dengan kerasnya, mengepakkan sayapnya lalu melesat menyerang Koutarou.

"Maju sini!!"

Koutarou pun membalas berteriak dan mengarahkan pedangnya pada setan itu. Pedang itu pun merasakan keinginan Koutarou untuk bertarung dan mulai menembakkan cahaya putih yang begitu murni.

Gelombang ini...gitu rupanya, ini dari puteri Alaia...

Koutarou bisa merasakan kehangatan dari cahaya itu, yang rupanya sudah pernah dirasakannya. Kehangatan itu pernah dirasakannya saat mereka berdansa, dan saat mereka berpegangan tangan disaat dirinya terluka.

"Kau sangat tidak beruntung--"

Koutarou begitu yakin bahwa saat cahaya itu masih ada, dia tidak akan kalah, karena tidak mungkin baginya untuk kalah sementara Alaia berada disisinya untuk melindunginya.

"---aku sedang sangat marah hari ini!!"

Koutarou mengayunkan pedangnya dengan seluruh kekuatannya ke arah wajah si setan. Dia mengincar serangan balasan sementara si setan melesat menyerang ke arahnya dengan mulutnya yang terbuka lebar.

"Hyaaaaaaaah!! Gugegegegege!!"

Namun, gerakan si setan begitu gesit. Dia dengan tangkas mengayunkan sayap dan ekornya dan menghindar dari seranga Koutarou. Sebagai hasilnya, serangan Koutarou hanya mengenai sedikit ekor si setan.

"Meleset!?"

"Gegege, gegege."

Si setan yang dengan cepat kabur ke langit meremehkan Koutarou dan mengejeknya, seakan mengatakan bahwa serangan Koutarou tidak akan pernah mengenainya.

"...Hebat juga."

Koutarou melihat ke arah si setan sambil merasa kagum. Namun, kekagumannya bukan tertuju pada kegesitan si setan, melainkan pada sesuatu yang lain.

"Huhyah!? Gyaooo!?"

Tepat pada saat itulah si setan sadar ke arah mana Koutarou sedang melihat, yakni ekornya sendiri. Anehnya, sebagian ekornya sudah menghilang.

"Gugaaaaaa, hyaaaaaaaaaah!!"

Ditambah, bagian yang menghilang semakin bertambah. Sebagian ekor itu berpendar putih, dan kemilaunya membuat ekor itu menghilang. Kemilau putih itu pun akhirnya mulai merambat ke badan si setan dan menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Guga, Aaaaaaa, Gugyaaaaaa!! Ga--"

Jeritan si setan tiba-tiba berhenti. Dia tidak bisa menjerit meskipun dia ingin. Kemilau itu sudah mneyelimuti seluruh tubuhnya, menyisakan kepalanya saja. Setan itu pun berusaha untuk menjerit ketakutan, tapi tanpa tenggorokannya, tentu saja dia tidak bisa melakukannya. Pada akhirnya, kepalanya pun menghilang, menyisakan onggokan abu. Saat onggokan abu itu mulai jatuh ke tanah, onggokan itu pun lenyap ditiup oleh angin.

Maxfern, yang menyaksikan semua itu, dengan girangnya berbalik ke arah Grevanas.

"Grevanas, apa setan itu mati?"

"Tidak."

Berlawanan dengan Maxfern, Grevanas terlihat tenang dan mulai menjelaskan apa yang terjadi.

"Saat seekor setan dipanggil ke dunia ini, dia membuat sebuah badan dengan mengeraskan kekuatan sihir. Pedang itu menghapus kekuatan sihir itu dan mengirim paksa setan itu kembali ke Hell."

"Dengan paksa mengirimnya kembali ke Hell hanya dari sebuah goresan...menarik sekali."

"Tentu saja, dia bisa saja mati sebagai hasilnya..."

"Entah apa yang terjadi, kekuatan pedang itu begitu luar biasa! Betul-betul diluar perkiraan."

"Benar. Kelihatannya itu memang pedang yang asli."

Meskipun prajurit setan mereka dikalahkan, baik Maxfern maupun Grevanas tidak terlihat gentar sama sekali, justru terlihat gembira karenanya.

"Apa maksud kalian melakukan itu pada saya? Saya sudah datang tepat seperti yang kalian minta", seru Koutarou pada Maxfern. Karena dia tidak tahu apa yang diincar oleh Maxfern, Koutarou memutuskan untuk maju dengan hati-hati.

"Maaf tentang itu, Ksatria Biru. Saya tidak tahu apakah anda adalah si Ksatria Biru yang asli atau tidak. Maafkan saya mengenai sambutan yang tidak sopan itu."

"...Jadi, anda Maxfern?"

Koutarou tidak tahu seperti apa wajah dari Maxfern. Meskipun dia sudah diberitahu oleh Lidith bahwa Maxfern adalah seorang pria paruh baya dengan jenggot yang panjang, baru kali itulah Koutarou bertemu dengannya secara langsung.

"Benar sekali. Sayalah Biorbaram Maxfern, dia yang akan menjadi raja dunia ini", kata Maxfern yang memperkenalkan dirinya dengan gagahnya. Sikapnya yang gagah itu memang pantas untuk diberi gelar seorang kaisar, kalau bukan karena sifatnya yang serakah.

"Raja dunia ini....anda cukup berani juga. Apa anda pikir anda benar-benar bisa menjadi raja dunia ini?"

"Tentu saja. Itu sebabnya saya meminta anda untuk datang."

"Saya...?" tanya Koutarou dengan heran.

Apa dia pikir dia bisa jadi raja dunia hanya dengan membunuhku? Itu....

Maxfern sudah memanggil Koutarou untuk datang agar dia bisa membunuh Koutarou dengan menggunakan Alaia sebagai sandera - itulah yang dipikirkan oleh Koutarou. Tapi, kalau seseorang bisa menjadi raja hanya dengan membunuh seorang murid SMA, dunia ini akan menjadi sesak dengan banyaknya raja yang muncul - pemikirian itulah yang tidak bisa dimengerti oleh Koutarou.

"Tidak mungkin..."

Namun, tepat pada saat itulah raut wajah Alaia berubah. Koutarou masih belum mengerti apa yang diinginkan oleh Maxfern, tapi Alaia sudah mengerti.

"Maxfern, apa jangan-jangan semua yang kau lakukan ini hanya untuk itu!?"

"Oh, tentu saja! Seperti dari yang kuharapkan dari sang puteri perak, yang dikenal dengan kebijaksanaannya! Kelihatannya puteri Alaia sudah mengerti akan segala sesuatunya! Fuhahahahaha!!"

Alaia betul-betul terperanjat, sementara Maxfern tertawa dengan nyaringnya. Maxfern lalu mengangkat tangannya dan berusaha meraih ke arah Koutarou sambil berkata:

"Baiklah, Ksatria Biru, mari kita selesaikan urusan kita! Setelah urusan kita selesai, saya akan menyerahkan sang puteri kepada anda!"

Suaranya saat itu seperti mencemooh Koutarou dan Alaia.

"Sekarang, serahkan pedang itu!! Pedang suci itu akan membuat si empunya menjadi raja dari dunia!!"

Dan sikapnya saat itu tampak seperti berusaha menggenggam dunia di dalam tangan kanannya yang terjulur.


Part 4[edit]

Tujuan Maxfern sejak awal bukanlah untuk mengambil alih kekaisaran Forthorthe, melainkan Signaltin, atau lebih tepatnya, pedang suci yang mengandung kekuatan dewi fajar didalamnya yang dikatakan bisa membuat dia yang memilikinya menguasai takhta kekaisaran. Harta nasional keluarga kekaisaran, yakni pedang suci itu, dikatakan bisa menebas jalan menuju masa depan bagi yang memlikinya dan membawa sang pemilik untuk bisa duduk di atas takhta. Dengan mendapat pedang itu, Maxfern bisa menjadi raja atas dunia.

Namun, segel yang digunakan untuk mengurung pedang itu terlalu kuat, dan bahkan kekuatan gabungan dewan penyihir pun tidak bisa menghancurkan segel itu.

Jadi, pada awalnya Maxfern mengancam untuk membunuh Alaia dan Charl untuk membuat sang kaisar membuka segelnya. Namun, bahkan sang kaisar tidak mau melakukannya. Bahkan meskipun nyawa kedua anak perempuannya dalam bahaya, dia tidak mau membantu ambisi Maxfern untuk menggunakan pedang suci itu untuk menguasai dunia.

Dengan begitu, Maxfern mengubah rencananya. Segel pedang suci itu hanya bisa terbuka jika negeri itu berada dalam krisis yang betul-betul hebat. Itulah yang membuat Maxfern membunuh kaisar dan istrinya dan juga memulai kudeta untuk menciptakan krisis itu. Kudeta itu bukanlah tujuan akhirnya, melainkan caranya.

Selanjutnya, Maxfern membiarkan Alaia, yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, untuk melarikan diri. Alaia dan yang lainnya tidak pernah benar-benar bisa kabur dengan sendirinya, karena Maxfern sudah membuatkan jalan bagi mereka untuk kabur.

Jadi, saat keponakan Maxfern, Lidith, membiarkan Alaia kabur, Maxfern merasa ingin memeluk dan memuji keponakannya itu, karena tindakan Lidith adalah apa yang betul-betul diharapkannya.

Semenjak saat itu, Maxfern sudah mengawasi Alaia, dan disaat yang bersamaan, memastikan bahwa Alaia selalu merasa berada dalam bahaya. Maxfern akan mengirim orang-orang untuk mengejar Alaia, dan bahkan meracuni desa dimana Alaia sedang bersembunyi. Tujuannya melakukan itu adalah untuk membuat Alaia percaya bahwa krisis yang dihadapinya adalah krisis nasional yang sebenarnya.

Itulah mengapa misi yang didapat oleh Caris adalah hanya untuk mengawasi Alaia, dan juga sebab mengapa Dextro tidak diizinkan untuk membunuh Alaia secara langsung. Semua itu hanya untuk membuat Alaia percaya bahwa itu adalah krisis nasional agar Alaia membuka segel pedang suci itu.

Namun, Maxfern membuat satu kesalahan perhitungan, yakni munculnya Koutarou, sang Ksatria Biru.

Semenjak Koutarou muncul, rencana-rencana Maxfern selalu menjadi gagal. Para pengejar Alaia berhasil dikalahkan, racun yang disebar menjadi diobati, dan raksasa besi pun berhasil dikalahkannya. Serangan pasukan kudeta pada markas pasukan Forthorthe baru selalu berakhir dengan kegagalan, dan tidak mungkin bagi mereka untuk menghentikan kemajuan pasukan Forthorthe baru. Terlebih lagi, keberadaan Koutarou memberi Alaia harapan, dan Alaia menjadi percaya bahwa selama Koutarou ada, negeri itu bisa diselamatkan, meskipun Maxfern ingin agar Alaia percaya bahwa pedang suci itulah yang sebenarnya dibutuhkannya.

Dengan begitu, Maxfern mengubah rencananya sekali lagi. Dia memutuskan bahwa agar Alaia merasa berada betul-betul dalam bahaya adalah dengan mengancam nyawa Koutarou sendiri.

Maxfern menerima laporan dari mata-mata yang disusupkannya ke dalam pasukan Forthorthe baru bahwa Koutarou dan Alaia adalah pasangan kekasih, atau sesuatu yang dekat dengan itu. Kalau nyawa Koutarou berada dalam bahaya, Maxfern menduga bahwa Alaia akan membuka segel pedang suci itu baik demi negeri itu dan juga demi Koutarou. Mengirim Alunaya dan para pembunuh yang mengincar Koutarou adalah demi tujuan itu juga.

Sebagai hasilnya, segel pedang suci itu pun terbuka, dan sekarang pedang itu sudah ada di dalam jangkauan tangannya. Meskipun pada awalnya dia membenci Koutarou, sekarang Maxfern merasa begitu berterimakasih padanya.


Part 5[edit]

Tepat pada saat Maxfern menuntut Signaltin dari Koutarou, Alaia berseru dengan sedihnya, nyaris seperti berteriak.

"Kau membunuh ayah dan ibu hanya untuk itu!? Kau memulai kudeta, membunuh banyak orang , dan memojokkan saya, hanya untuk membuka segel pedang itu!?"

Bagi Alaia, situasi seperti itulah yang membuatnya jatuh ke dalam keputusasaan. Semuanya sudah berjalan sesuai dengan rencana Maxfern. Perjuangan keras pasukan Forthorthe baru, banyaknya jumlah orang yang meninggal dan bahkan hati Alaia, semuanya sudah diperalat oleh Maxfern hanya untuk membuat Alaia membuka segel pedang suci itu.

"Benar sekali!! Kalau tidak, saya tidak akan pernah bisa mendapatkan pedang itu!! Dan saya tidak akan pernah bisa menjadi raja dunia!! Saya sudah melayani keluarga kekaisaran selama bertahun-tahun, hanya untuk bisa mendapatkan kesempatan itu!! Semua itu adalah untuk ini, puteri Alaia!!"

Inilah momen paling penting dalam kehidupan Maxfern, dimana dia sudah menunggu kesempatan ini selama bertahun-tahun. Kalau dia bisa mendapatkan Signaltin, semuanya akan berjalan sesuai dengan apa yang sudah dia rencanakan. Maxfern bisa menikmati kehidupan yang abadi yang didapatkannya dari kekuatan pedang itu, atau mulai menaklukkan dunia. Kalau dia bisa mendapatkan pedang itu, kemungkinan hal-hal yang bisa dilakukannya menjadi tidak terbatas. Maxfern sudah tidak merasakan ketakutan lagi, karena didalam bayangannya, masa depannya sudah terbentang dihadapannya, jauh dan tidak terbatas.

"...Tidak disangka, anda mengincar pedang ini..."

Keinginan Maxfern rupanya datang sebagai sebuah kejutan bagi Koutarou, karena di dalam daskah drama Theia, tujuan Maxfern hanyalah untuk mengambil alih negeri itu. Namun, kenyataany yang terjadi rupanya betul-betul berbeda dengan apa yang ada di naskah, sejak awal.

"Sekarang, berikan pedang itu pada saya, Ksatria Biru. Kalau kau melakukannya, saya akan melepaskan puteri Alaia dan yang lainnya kepada anda. Ini seharusnya bukanlah tawaran yang buruk bagi anda juga", kata Maxfern yang mulai melangkah dengan santainya ke arah Koutarou. Maxfern sudah begitu yakin bahwa tidak mungkin bagi Koutarou untuk menolak tawaran itu.

"Kalau kau mau, saya bisa membiarkan Forthorthe tidak tersentuh selam beberapa ratus tahun. Selama saya punya pedang itu, saya pasti punya waktu untuk melakukannya."

"Cih..."

Koutarou pun mulai ragu. Haruskah dia menyerahan pedang itu dan menyelamatkan Alaia serta yang lainnya? Atau, haruskah dia mengalahkan Maxfern dan menyelamatkan Forthorthe? Dia hanya bisa memilih satu dari kedua pilihan itu.

"Jangan, Koutarou-sama!! Meskipun apa yang kau lakukan adalah untuk kami, kau tidak bisa memberikan pedang itu kepada Maxfern!!"

Alaia rupanya memilih pilihan kedua, persis seperti apa yang dipilih oleh kaisar sebelumnya. Namun, jika begitu, Alaia dan yang lainnya pasti akan dibunuh.

Kalau Koutarou memilih pilihan pertama, kedamaian akan kembali ke Forthorthe untuk sementara waktu. Namun, jika pedang itu memang memiliki kekuatan seperti yang dibayangkan oleh Maxfern, keturunan Alaia dan Charl nantinya pasti akan ditindas oleh Maxfern.

Hasil akhirnya akan menjadi sama, perbedannya hanyalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai kepada akhir itu.

"Tapi, Yang Mulia--"

"Kalau anda adalah ksatria saya, tolong jadikan impian saya menjadi nyata!! Tolong bunuh Maxfern dan setidaknya selamatkan diri anda sendiri!!"

"Benar, Ksatria Biru!! Kau harus hidup!! Hiduplah, dan lindungilah Forthorthe!!"

"Bungkam mereka, Grevanas!!"

"Baik."

Grevanas lalu memberi isyarat pada para bawahannya yang berada didekatnya. Mereka lalu membentuk sebuah lingkaran mengelilingi sebuah kristal yang besar dan mulai merapal mantra. Sesaat kemudian, sesuatu pun muncul.

Sesuatu yang begitu besar melesat turun ke tanah dengan kecepatan yang luar biasa, dan tepat sebelum benda itu menyentuh tanah, benda itu mengibaskan sayapnya yang besar, memperlambat dirinya, dan lalu mendarat. Namun demikian, suara mendaratnya tetap terdengar luar biasa hebatnya.

Dialah sang kaisar naga api, Alunaya, yang dengan badannya yang sebesar 20 meter mampu membuat baik bumi maupun udara bergetar hebat.

"Ini naga raksasa waktu itu!?"

"Kakak!"

Meskipun Alaia dan Charl sudah berusaha untuk tetap tegar hingga saat ini, mereka tidak bisa berbuat apa-apa begitu badan raksasa Alunaya muncul di hadapan mereka. Yang bisa dilakukan para gadis yang sedang dibelenggu itu hanyalah menahan nafas mereka di hadapan kebrutalan berwujud naga itu.

"Jadi, kau datang lagi, monster...", kata Koutarou yang mengangkat Signaltin mengikuti intuisinya. Melihat itu, Maxfern langsung menghentikan Koutarou.

"Hati-hati, Ksatria Biru, jangan sampai kau melakukan sesuatu yang bodoh. Kalau kau melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, Alunaya akan menggigit kepala para puteri ini dengan gigi-giginya yang tajam."

"Grrrrr."

Seakan mendengar apa yang baru saja dikatakan Maxfern, Alunaya menggeram dan lalu membuka mulutnya yang besar. Kalau dia sampai menutup mulut itu, Alaia dan yang lainnya akan langsung habis tercabik seketika. Karena Koutarou sadar akan betapa besar kekuatannya, ancaman ini memberikan dampak yang besar baginya.

"Kuh", keluh Koutarou sambil menurunkan pedangnya.

"Bagus, bagus sekali. Selama kau patuh, mereka tidak harus mati."

Maxfern pun mulai berjalan lagi, hingga akhirnya dia tiba di depan Koutarou.

"Koutarou-sama..."

Alaia hanya bisa menggigit bibirnya melihat Koutaoru dari jauh. Seperti yang sudah diduganya, Koutarou tidak akan membiarkan mereka dalam keadaan seperti itu, dengan tindakannya yang menghunus pedangnya sebagai bukti dari hal itu. Kenyataannya, Koutarou bisa langsung menebas Maxfern di tempat dimana dia berdiri saat ini, namun Koutarou tidak bisa melakukannya. Dia pasi lebih memilih untuk menyerahkan pedang itu pada Maxfern. Sudah tidak ada lagi cara untuk mencegah Koutarou melakukan hal itu.

Maxfern pun berhenti di depan Koutarou dan dengan santainya mengulurkan tangan kanannya, dengan senyum penuh kemenangan menghiasi wajahnya.

"Nah, Ksatria Biru, tolong pedangnya."

"...Kau menang, Maxfern", kata Koutarou yang terlihat jengkel sambil mengangguk, sebelum ikut mengulurkan tangan kanannya dan menyerahkan Signaltin kepada Maxfern.

"Ooooooooh, akhirnya pedang ini ada di tanganku, pedang suci ini!!" seru Maxfern sambil mengangkat pedang itu setelah menerimanya, yang tampak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru.

"Kami sudah berada dalam posisi!! Maju, Veltlion!!" kata Clan yang berasal dari alat komunikasi Koutarou.

"Kau terlambat, Clan!!"

Tepat pada saat dia mendengar suara Clan, Koutarou mengepalkan tangannya dan mengayunkannya pada Maxfern, dengan tujuan untuk merebut kembali Signaltin. Waktu bagi Koutarou untuk melakukan serangan balasan akhirnya tiba.

"Mau bagaimana lagi! Karena ada Alunaya, kami harus merubah posisinya!"

"Aku nggak mau denger alasannya!!"

"A-apa!?"

Karena masih terfokus dengan pedang di tangannya, Maxfern tidak bisa menghindari tinjuan dari Koutarou, yang mengenai dagunya dan membuatnya jatuh berputar hingga tak sadarkan diri. Koutarou lalu dengan cepat berusaha mengambil kembali pedang yang berada pada Maxfern.

"Saya tidak akan membiarkan itu terjadi."

Namun, sebelum Koutarou bisa meraih pedangnya, Grevanas mengeluarkan mantranya, yang berasal dari tongkat yang memiliki sihir spesial yang dimasukkan ke dalamnya. Sihir yang dipakainya pun tidak perlu menggunakan gerakan ataupun rapalan mantra untuk bisa dijalankan, melainkan hanya memerlukan penggunanya untuk hanya memikirkan suatu mantra untuk mengaktifkannya. Panah sihir yang dibuat Grevanas pun menghujani area di dekat Maxfern, membuat Koutarou tidak bisa mendekat dan membuat Maxfern mendapat kesempatan untuk bisa bangun dan lepas dari Koutarou.

"Sial, segera bunuh Alaia dan yang lainnya!!"

Maxfern, yang menjadi sangat marah setelah mendapat serangan dadakan dari Koutarou, langsung mengeluarkan perintah untuk membunuh Alaia dan yang lainnya sebagai pembalasan dendam. Memang, nyawa seorang puteri terlalu mahal untuk menjadi bayaran balasan atas sebuah tinju, namun bagi Maxfern, yang merasa bahwa dirinya sudah menjadi raja dunia, hal itu tidak bisa dimaafkan.

"Lakukan!"

Grevanas pun memerintahkan bawahannya untuk membunuh Alaia. Lingkaran yang mereka bentuk di sekitar kristal itu mengirimkan perintah itu pada Alunaya.

ROAAAAAAAAAR

Perintah itu pun dengan cepat sampai pada Alunaya, membuat naga itu mengeluarkan raungan yang keras yang mengguncang udara di sekitarnya. Naga itu lalu membuka mulutnya dan mulai menyerang Alaia dan yang lainnya yang masih terikat.

Namun, sebelum taring naga itu menyentuh Alaia dan yang lainnya, sebuah ledakan besar terjadi di kaki naga itu. Ledakan yang tidak terduga itu membuat Alunaya kehilangan keseimbangannya dan membuatnya terjatuh. Benturan yang dihasilkannya menyaingi ledakan itu, membuat jalan bebatuan tempat Alunaya terjatuh menjadi hancur.

"Uwah!?"

Berkat ledakan itu, Alaia dan yang lainnya berhasil selamat dari taring Alunaya, namun bukan berarti mereka semuanya selesai dengan baik. Pecahan-pecahan jalan bebatuan itu terbang ke arah Koutarou.

"Sialan, itu berlebihan, Clan."

Koutarou jatuh terduduk setelah terkena batu sebesar sepuluh senti. Berkat pelindungnya, dia hanya jatuh terduduk. Kalau tidak, sesuatu yang lebih buruk pasti sudah terjadi.

"Aku harus bagaimana!? Naga itu tiba-tiba muncul, jadi aku tidak bisa membetulkannnya lagi!!"

Ledakan itu rupanya berasal dari bom yang sudah dipasang oleh Clan. Dengan menggunakan alat buatannya sendiri untuk membuatnya menjadi tidak terlihat, Clan memasang bom itu sementara Koutarou mengalihkan perhatian Maxfern dan yang lainnya.

Setelah ledakan itu terjadi, Flair dan yang lainnya yang menggunakan alat yang sama dengan Clan mengambil kesempatan itu untuk menyelamatkan Alaia dan yang lainnya. Itulah rencana penyelamatan yang dibuat oleh Koutarou dan Clan.

"Veltlion, kami sudah menyelamatkan puteri Alaia dan yang lainnya!!"

Rencana itu pun berhasil, membuat Alaia dan yang lainnya yang tadinya terikat menjadi bebas. Koutarou bisa melihat kalau mereka sudah berkumpul di sudut pandangannya.

"Bagus!"

Hal yang perlu dilakukannya sekarang adalah merebut kembali Signaltin dan mengalahkan Maxfern. Koutarou pun berusaha bangkit sambil menyemangati dirinya sendiri.

"Koutarou-sama, awas!!"

Teriakan Alaia bisa terdengar melewati taman kastil tua itu. Sesaat setelahnya, Maxfern muncul di hadapan Koutarou dengan Signaltin yang sudah diangkatnya di atas kepalanya, siap untuk diayunkan.

"Semuanya tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang kau inginkan, Ksatria Biru!"

Tidak seperti Koutarou yang terkena pecahan-pecahan batu, Maxfern aman dari hal itu. Dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatannya saat melihat Koutarou terjatuh.

"Maxfern!!"

Koutarou, yang baru saja akan berdiri, terlihat lengah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Kalau begini, aku yang mati!!

Karena sadar akan bahaya yang dihadapinya, Koutarou dengan cepat memberi perintah pada zirahnya.

"Naikkan pelindungnya! Kekuatan penuh!"

"Baiklah, tuanku. Menjalankan pemasangan darurat medan distorsi."

Zirah itu pun menjalankan perintah Koutarou dan memasang pelindung di sekitarnya, membuat segienam-segienam putih muncul berderet diantara Koutarou dan Maxfern dan menghalangi serangan Maxfern.

Sesaat setelahnya, segienam-segienam itu menghadang serangan Maxfern. Namun, Koutarou kembali terjatuh dari guncangan serangan itu. Di saat yang sama, sistem zirah itu mengeluarkan peringatan.

"Peringatan. Fungsi medan distorsi sudah berhenti. Kerusakan yang ada sudah berada di atas batas toleransi."

"Dari satu serangan!?"

Segienam-segienam itu pun langsung menghilang seketika. Hanya dengan satu serangan, Maxfern sudah menghancurkan pelindung zirah itu. Bahkan zirah yang bisa bertahan dari segala macam serangan sudah tidak berkutik lagi dihadapan Signaltin.

"Kelihatannya pertarungannya sudah selesai, Ksatria Biru", kata Maxfern sambil kembali mengangkat pedangnya. Dengan Koutarou yang kembali terjatuh dan kehilangan pelindungnya, jika Maxfern mengayunkan Signaltin, Koutarou pasti akan langsung terbelah.

"Tidak, masih belum!"

Koutarou berkonsentrasi pada tangan kirinya, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk membuat sebuah bola api besar dan melemparkannya pada Maxfern.

"Hal seperti itu bukan tandingan bagi pedang ini!!"

Maxfern lalu kembali mengayunkan pedangnya tanpa merasa terkejut sedikitpun. Signaltin dengan mudahnya memotong bola api itu dan terus melaju ke arah Koutarou.

"Jadi itu juga tidak mempan!?"

Koutarou sudah menggunakan semua kekuatan spiritualnya untuk membuat bola api itu. Namun, Signaltin menghapus semua usaha Koutarou dengan mudahnya. Dengan semua kekuatan serangan maupun bertahan Koutarou tidak berhasil menghadapi Maxfern, Koutarou sudah tidak bisa lagi melawan Maxfern.

Maaf, Yang Mulia...meskipun aku udah janji aku bakal ngelindungin anda, kelihatannya aku cuma bisa sampai sini...

Kematian sudah tidak bisa dihindarinya dengan semakin dekatnya pedang itu datang ke arahnya, dan Koutarou sudah siap menyambut itu.

"Tapi!!"

Namun, walau begitu, Koutarou tetap melawan Maxfern. Meskipun dia dilukai dan sampai terbunuh, Koutarou ingin bisa melukai Maxfern sebisanya dan mengulur waktu sebanyak mungkin agar Alaia dan Charl bisa kabur.

Meskipun dia tidak bisa menghindari kematian, Koutarou ingin memenuhi sumpahnya sampai ke detik-detik terakhir. Saat itulah, Koutarou betul-betul menjadi sang Ksatria Biru yang sesungguhnya.

"Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!" seru Alaia dengan kerasnya.

Bagi Alaia, apa yang ada dihadapannya tampak seperti gerakan lambat. Koutarou tahu bahwa dirinya akan mati, tapi masih berusaha melawan Maxfern sementara Signaltin masih terayun ke arahnya. Namun, pemandangan itu terganti dengan kenangan-kenangan saat Alaia bertemu Koutarou dan waktu yang mereka berdua habiskan bersama-sama.

Koutarou akan mati, dan yang lebih parahnya, dia akan mati karena Signaltin, yang Alaia buka segelnya untuk melindungi Koutarou. Bagi Alaia, hal itu sama seperti dirinya sendiri yang telah membunuh Koutarou. Dia tidak bisa menerima kenyataan itu.

Tidak mungkin Alaia bisa menerima hal itu.

Nyawa Alaia sudah menjadi bagian dari Signaltin dan akan selalu melindungi Koutarou, terus berada disisinya. Itulah sumpah Alaia sendiri, dan juga satu-satunya keinginannya karena dia tidak bisa hidup dengan bebas.

"Koutarou-samaaaaaaaaaa!!"

Namun, tidak peduli seberapa keras Alaia berteriak, waktunya telah tiba. Signaltin mendekati Koutarou dan menyentuh rambutnya. Di saat itu, Alaia sudah dipenuhi dengan keputusasaan.

"Wahahahaha, mati, matilaaah, Ksatria Biru!! Terimalah hukuman karena sudah melawan raja dunia!!" tawa Maxfern yang terus mengayunkan pedang itu dengan seluruh kekuatannya.

Semua orang saat itu percaya bahwa Koutarou akan terbelah menjadi dua.



Akan tetapi..



Signaltinlah yang terbelah menjadi dua.



Tepat saat Signaltin menyentuh badan Koutarou, pedang itu hancur sambil mengeluarkan dering yang keras, membuat Koutarou menjadi tidak terluka. Wujud Signaltin saat itu menjadi tampak seperti pedang yang dibuat dari bubur kertas dan lem.

Tidak ada seorangpun yang bisa percaya dengan apa yang sudah terjadi. Tentu saja, yang paling terkejut di antara mereka semua adalah Maxfern.

"Tidak mungkin ini bisa terjadi!! Tadi, tadi pedang ini punya kekuatan yang besar!!"

Maxfern begitu terkejut melihat Signaltin yang sudah hancur, yang sudah kehilanan kemilaunya dan berubah menjadi pedang berkarat. Padahal, beberapa saat lalu pedang itu masih memiliki kemilau keperakan yang begitu indah.

"Bukankah aku harusnya menjadi raja dunia!? Bukankah pedang ini punya kekuatan dewi fajar didalamnya!? Dia seharusnya bisa menghancurkan kejahatan yang ada di dalam manusia!! Ada apa ini, Grevanas!? Ini cuma barang rongsokan!!"

Maxfern, yang sudah gemetar karena murka, melempar sisa-sisa Signaltin, yang kemudian pecah begitu menyentuh tanah dan hanya meninggalkan gagangnya saja. Gagang pedang itu sendiri juga sudah penuh dengan retakan, seakan-akan sentuhan sedikit saja akan membuatnya ikut hancur.

"S-saya juga tidak mengerti! Pedang itu tiba-tiba kehilangan kekuatannya..."

"Sekarang semuanya jadi sia-sia, Grevanas!!" teriak Maxfern dengan marahnya pada Grevanas, dengan wajah yang memerah karena murka. Bahkan Grevanas yang tadinya tenang sekarang sudah terlihat gentar dengan situasi yang ada saat ini.

"...Signal...tin..."

Hanya Koutarou yang terlihat tenang di tengah peristiwa yang mengejutkan ini. Dia lalu mengambil gagang pedang itu dan melihat ke arah Alaia.

"...."

Tidak seperti orang-orang lain, Alaia menutup matanya dan menundukkan wajahnya, mengabaikan apapun yang ia dengarkan. Dia tidak ingin melihat saat-saat dimana Koutarou terbunuh, tidak ingin mendengar teriakan terakhir Koutarou. Karena Alaia begitu terfokus untuk melakukan itu, dia tidak sadar bahwa Koutarou selamat.

"...Jadi...ini yang sebenarnya terjadi...pedang ini, Signlatin...jadi ini rupanya..."

Lambang pedang di dahi Alaia saat itu sedang bersinar dengan terangnya, seakan-akan menunjukkan bahwa lambang itulah Signaltin yang sebenarnya.

"Puteri Alaia."

Setelah mengerti semuanya, Koutarou memanggil Alaia. Sementara baik musuh dan teman-teman mereka masih kebingungan dan situasi yang ada menjadi tertahan, itu tidak mengubah fakta bahwa mereka masih berada dalam wilayah musuh. Agar bisa lepas dari situasi ini, pertolongan Alaia menjadi penting.

"Eh...?"

Saat mendengar suara Koutarou, Alaia perlahan-lahan membuka matanya. Awalnya, dia merasa kalau suara itu mungkin hanya khayalannya saja. Namun, saat dia membuka matanya untuk melihat, dia bisa melihat bahwa Koutarou berdiri disana.

"Koutarou-sama?"

"Tolong maafkan saya karena sudah membuat anda khawatir, Yang Mulia."

"Koutarou-sama, b-bukankah anda, terbunuh, baru saja...?"

Koutarou, yang seharusnya sudah terbunuh, masih hidup. Pemandangan yang misterius dan tidak terduga itu membuat Alaia mengedipkan matanya beberapa kali. Dia merasa bahagia dan kebingungan disaat yang bersamaan karena dia masih belum mengerti situasinya, membuatnya tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Kelihatannya Signaltinlah yang hancur."

"Pedangnya...ah..."

Alaia lalu melihat ke tangan Koutarou, dimana dia bisa melihat gagang Signaltin yang digenggam Koutarou. Tepat pada saat dia melihat pedang yang hancur itu, Alaia teringat dengan bagaimana rupa pedang itu saat pedang itu pertama kali terlihat di dalam kuil.

Begitu rupanya...kalau saya adalah bagian dari pedang itu, pedang itu juga adalah bagian dari saya. Kalau begitu, sumpah saya berarti--

Alaia pun menjadi bersemangat begitu mengerti apa makna dibalik semua itu.

"Mari kita berangkat, Yang Mulia. Saya akan menggunakan hidup saya dan pedang ini untuk melindungi anda."

"Saya percaya pada anda, Koutarou-sama. Dan saya juga akan melindungi nyawa anda."

Mereka berdua saling mengangguk sebelum memasang kuda-kuda. Koutarou mengarahkan ujung pedang yang sudah tidak ada itu pada Maxfern, sementara Alaia mengarahkan kedua tangannya ke arah Koutarou.

Melihat mereka berdua melakukan itu, Maxfern mengeluarkan ejekan.

"Apa yang akan kalian lakukan dengan rongsokan itu? Apa kalian sudah menjadi gila karena pedang itu hancur?"

Kalau Maxfern memerintahkan Grevanas dan dewan penyihirnya untuk menyerang sekarang, hasil pertarungannya mungkin akan berbeda. Namun, karena rasa kagetnya, Maxfern mengabaikan tindakan Koutarou dan Alaia, karena dia sudah yakin bahwa mereka berdua sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

"Kau tidak bisa menebasku karena pedang ini kelihatannya hancur."

"Apa!?"

Koutarou tersenyum saat dia melihat Maxfern yang kaget, dan lalu mulai berlari menyerang ke arahnya. Gerakan larinya yang membawa gagang pedang itu membuatnya terlihat seperti membawa pedang yang betul-betul kuat, dan di saat itulah Alaia mulai mengucapkan sesuatu.

"Dulu, sekarang dan masa yang akan datang, oh ibu dari segala sesuatu, dewi fajar."

Yang diucapkannya adalah apa yang diucapkannya saat di kuil untuk membuka segel. Saat Alaia meneruskan ucapannya, lambang pedang di dahinya mulai bersinar semakin dan semakin terang, menyelimuti seluruh badannya dan akhirnya keluar dari seluruh badannya.

"Seorang anak dari Forthorthe, pelayanmu yang setia memohon kepada engkau. Sekaranglah waktunya untuk membuka segel ini, dan berikanlah kami kekuatan untuk menghadapi bencana ini."

Cahaya itu mengarah ke pecahan-pecahan pedang yang berada di atas tanah. Setelah cahaya itu menyinari semua pecahan itu, pecahan-pecahan itu mulai melayang di udara, dan berkumpul di gagang pedang yang dipegang oleh Koutarou.

"Angin surgawi. Tanah yang subur. Air samudra. Api gunung. Dengan jiwa saya sebagai sumbernya, ungkapkanlah kekuatan untuk menyatukan segala sesuatunya!"

Pecahan yang terkumpul itu pun mulai membentuk kembali sebuah pedang mulai dari bagian dekat gagang dan terus sampai ujungnya. Tepat pada saat Koutarou sudah dekat dengan Maxfern, pedang itu sudah kembali ke bentuk asalnya.

"Nama saya adalah Alaia! Sang salju putih perak dari Mastir! Oh, pedang suci dari kuil, ukirlah nama saya pada mata anda dan hiduplah kembali!"

Koutarou lalu mengangkat pedang itu ke atas kepalanya, dan di saat yang sama, pedang itu mendapatkan kembali kemilau keperakannya dan mulai memancarkan sihir putih murninya. Pedang yang telah hancur itu, yang tadinya hanyalah rongsokan penuh karat, kembali diberi nama dan mendapatkan kembali kekuatannya.

Pedang suci Signaltin.

Karena sekarang perasaan Koutarou dan Alaia telah menjadi satu, pedang itu dipenuhi kekuatan yang lebih banyak lagi dibandingkan sebelumnya.

"Tidak mungkin! Pedang yang hancur dan kembali utuh itu tidak mungkin! Dia tidak mungkin mendapatkan kembali kekuatannya!"

"Karena anda bukan seorang ksatria, anda tidak akan pernah mengerti mengapa pedang ini bersinar, meskipun hal itu sederhana!!"

Yang terpenting bukanlah pedangnya. Tidak masalah apakah pedang itu rusak atau tidak, melainkan, apa yang ditempatkan kedalam pedang itu, itulah yang penting. Faktanya, kekuatan di dalam pedang itu sendiri juga bukan suatu masalah.

Koutarou bisa merasakan kehangatan yang memancar dari pedang itu, yang akan melindunginya dan semua kehidupan di dunia ini.

"Saya tidak bisa menerimanya!! Hanya karena saya tidak terlahir sebagai ksatria!!"

Namun, Maxfern tidak memperhatikan hal itu. Dia terlalu terfokus pada garis keturunannya, dan fakta bahwa pedang itu hancur dan kehilangan kekuatannya. Kalau saja dia memperhatikan apa yang penting, pedang itu mungkin akan menuruti keinginannya.

"Dengan ini, semuanya selesai, Maxfern!"

"Sialan! Dasar sialan!!"

"Maxfern-sama!!"

Koutarou lalu mengayunkan pedangnya dan berusaha menyerang Maxfern, namun tepat di saat itu, Koutarou bisa merasakan ada niat menyerang yang menyelubungi seluruh tempat dimana dia berdiri saat itu. Koutarou langsung melompat mundur menggunakan intuisinya saat merasakan itu, dimana sesaat setelahnya, sebuah cakar besar berayun di tempat dimana dia berdiri sebelumnya.

"Alunaya!!"

Rupanya, serangan itu berasal dari sang kaisar naga api, Alunaya, yang tadinya terjatuh karena ledakan dari Clan tapi sekarang sudah berdiri dan menyerang Koutarou.

"Bunuh mereka, Grevanas!! Jangan biarkan mereka kabur hidup-hidup!!" seru Maxfern dengan amarah yang begitu besar dan mata yang memerah, yang menginginkan agar Koutarou dan yang lainnya mati.

"Tolong hentikanlah semua ini, paman! Apa yang akan bisa paman dapatkan dari terus bertempur seperti ini!?"

"Diam, diam! Kau akan kubunuh juga!"

"Paman..."

Bahkan keponakan Maxfern sekalipun, Lidith, sudah tidak dianggapnya lagi. Sebesar itulah kemarahan yang berada di dalam diri Maxfern, sampai-sampai membuat badannya gemetaran.

Maxfern tidak bisa menerima bahwa pedang suci itu tidak menerima dirinya, orang yang seharusnya akan menjadi raja dunia, dan juga Koutarou yang sudah menggunakan pedang itu. Membiarkan hal-hal itu terus ada akan sama saja dengan mengakui bahwa keberadaannya sendiri sebagai tidak bermakna - bahwa usahanya selama ini adalah sia-sia. Itulah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh Maxfern yang angkuh.

"Pasukan, kejar mereka!"

Berlawanan dengan Maxfern yang penuh dengan angkara murka, Grevanas dengan kalem memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Saat Grevanas melakukan itu, gerombolan setan pun muncul dengan jumlah yang lebih dari 100 ekor. Rupa mereka bermacam-maca, tapi mata mereka semua dipenuhi niatan untuk membunuh. Tidak hanya itu, beberapa raksasa besi yang pernah dilawan Koutarou sebelumnya bisa terlihat dari antara para setan itu.

Inilah pasukan Maxfern saat ini, bukan, bukan lagi pasukan, tapi gerombolan monster. Dalam usahanya untuk mengejar kekuatan, Maxfern beralih menggunakan makhluk-makhluk aneh, yang mana makhluk-makhluk itu mencerminkan dirinya sendiri. Maxfern sendiri telah menjadi monster dalam rupa manusia.

Gerombolan monster itu pun menyerang Alaia dan ketujuh gadis lainnya.

"Yang Mulia!! Semuanya!!"

Koutarou dengan cepat bergerak untuk menyelamatkan mereka.

"Oh, tidak. Lawanmu ada disini!!"

ROAAAAAAAAAAAAAR!!

Namun, Alunaya berdiri menghalangi Koutarou. Setelah menggeram, Alunaya memamerkan taringnya dan mengancam Koutarou, membuatnya tidak bisa menolong para gadis itu.

"Kuh!"

"Kukuku, Ksatria Biru, meskipun kau tidak terkalahkan, para perempuan itu tetaplah manusia biasa. Apakah mereka bisa bertahan cukup lama sampai kau tiba ke arah mereka? Wahahahahaha!!" tawa Maxfern mengejek Koutarou.

Dengan Signaltin ditangannya, Koutarou memang kuat. Dia bahkan bisa mengalahkan naga raksasa itu. Namun, tidak peduli apakah dia menang atau kalah, pertarungan antara Koutarou dan naga itu akan memakan banyak waktu hingga selesai. Selama mereka bertarung, Maxfern akan membunuh semua gadis itu.

"...Kau terlalu naif, Maxfern."

Namun, Koutarou justru tersenyum. Meskipun Maxfern tertawa mengejeknya, Koutarou tidak terlihat gentar sedikitpun.

"Apa!?"

"Maaf saja, tapi kelihatannya semua tidak akan berjalan seperti yang kau rencanakan."

Koutarou tahu bahwa gadis-gadis itu bukanlah orang-orang lemah yang akan tumbang tanpa melawan.


Part 6[edit]

Saat gerombolan setan itu menyerang, para gadis itu mengikuti arahan Flair dan membentuk formasi dengan tenang.

Di depan ada Clan dan Flair, yang menjadi tameng pelindung karena kemampuan tempur mereka. Clan masih menggunakan senapannya seperti biasa, namun senjata yang dipegang oleh Flair berbeda dari biasanya.

"Anda tahu cara menggunakan senjata itu, benar?"

"Ya! Keseimbangannya sedikit berbeda, tapi karena saya selalu menggunakan pedang yang tipis, perbedaannya tidak terlalu jauh!"

Flair sedang memegang sebuah pedang yang terbuat dari cahaya. Mata pedang yang bercahaya, yang mirip dengan lampu neon itu terhubung dengan gagang pedang yang terbuat dari metal. Inilah beam saber dengan mata pedangnya yang sangat panas, terbuat dari partikel logam berat dalam medan elektromagnet yang membentuk sebuah pedang. Flair mendapat dua pedang itu dari Clan dan memegang satu di setiap tangannya, dan lalu mulai menyerang setan-setan yang datang menyerang.

"Seperti ini?"

Flair menahan serangan si setan dengan satu pedang dan menyerang menggunakan pedang yang lain. Suhu tinggi dari mata pedang itu dengan mudahnya memotong badan setan itu dan membakarnya. Jika digabungkan dengan kemampuan Flair sendiri, dia akan tampak seperti tornado kecil bersinar yang memotong para pasukan setan.

"Bagus sekali! Tolong teruskan seperti itu!"

Sementara itu, Clan menembak para setan yang tidak bisa dijangkau oleh Flair dengan pedangnya. Dengan begitu, Flair bisa menyerang dengan lebih berani lagi, dan jika Flair akan terkena serangan, Clan akan menghalangi serangan itu untuk melindungi Flair. Medan pelindung yang melindungi Clan begitu kuat dan bisa menangkis serangan cakar para setan.

Dibelakang tameng pelindung yang juga bertugas menyerang adalah Lidith si alkemis dan Caris si penyihir.

"Caris, sudah waktunya untuk serangan beriktunya!"

"Baik, aku siap!"

Lidith dan Caris bekerjasama untuk menyerang para setan dengan skala besar menggunakan serangan skala besar, dan juga untuk melawan para raksasa besi.

Lidith meminjam komputer strategi dan alat pemantau milik Clan untuk membidik banyak sekali musuh. Karena Caris dan Lidih terhubung melalui sihir, informasi bidikan itu pun juga tersampaikan kepada Caris. Dengan menggunakan informasi itu, Caris bisa menyerang musuh yang tidak bisa dilihat oleh dirinya sendiri. Karena Lidith memprioritaskan musuh yang masuk ke dalam jarak serangan Caris, para setan yang menyerang langsung ditembak jatuh tanpa bisa berbuat apa-apa.

Ini adalah strategi yang bisa dijalankan berkat Lidith. Biasanya, tidak ada orang yang bisa menggunakan komputer strategi di zaman ini, namun setelah menjadi asisten bagi Clan, Lidith sudah mempelajari bagaimana cara menggunakan komputer itu. Berkat itulah Lidith dan Catis bisa mengeluarkan serangan gabungan antara sains dan sihir.

"Caris, raksasanya!"

"Aku tahu! Aku, sedang memasangnya!...Oke, ledakkan!"

"Meledakkan!"

Sebuah raksasa besi jatuh bersamaan dengan munculnya suara ledakan. Kerusakan pada raksasa itu tidak besar, yakni hanya sebuah penyok dan bekas terbakar di sekitar dadanya. Namun, itu saja sudah cukup untuk menaklukkan raksasa itu. Ini juga adalah salah satu serangan gabungan dari Lidith dan Caris.

Setelah pertarungan pertama mereka melawan raksasa besi, Clan sudah menyiapkan sebuah peledak khusus, yang mana peledak itu bisa dipasang pada target sebelum diledakkan dan ledakannya tidak begitu besar. Namun, ledakan itu berubah menjadi gelombang kejut yang bisa menghancurkan sesuatu di dalam target tersebut. Karena sudah tahu bagaimana struktur raksasa besi itu, Clan mengincar kristal yang menjadi sumber tenaga mereka. Meskipun zirah raksasa-raksasa itu terbuat dari besi yang tebal, di dalamnya terdapat hanya sebuah kristal. Dengan cara itu, menghancurkan kristal itu menjadi mudah.

Caris akan menggunakan sihirnya untuk memasang peledak itu pada si raksasa dan lalu Lidith akan menggunakan komputer untuk meledakkannya. Bahkan para raksasa itu tidak berdaya melawan serangan seperti ini. Meskipun pertarungan pertama mereka melawan raksasa itu begitu sulit, saat ini mereka sudah bisa melawan para raksasa itu dengan mudahnya.

Di belakang Caris dan Lidith adalah Fauna si pendeta dan Alaia. Fauna bertugas untuk menggunakan kekuatan spiritual untuk menyembuhkan dan meningkatkan kekuatan fisik semuanya. Dengan begitu, keempat orang yang berada di depan bisa bertarung tanpa harus kelelahan. Alaia sendiri bertugas untuk memberi perintah dan membantu menggunakan sihir.

"Saya mulai mengerti bagaimana caranya menggunakan sihir, Fauna."

"Anda hebat. Ini sudah sangat hebat bagi seseorang yang baru pertama kalinya menggunakan sihir, Alaia-sama!"

Alaia tidak mempunyai pengetahuan dalam menggunakan sihir, tapi dia sedang menerima kekuatan sihir dari Signaltin melalui lambang di dahinya. Alaia lalu mengendalikan kekuatan itu menggunakan bahasa yang digunakan untuk ritual yang dipelajarinya dalam seminar untuk membuat sihir. Sebagai pemula, dia tidak bisa membantu dalam menyerang, tapi dia bisa membantu dalam memperkuat dan bertahan. Dengan dibantu kepiawaiannya dalam memberi perintah, Alaia menggunakan kekuatan barunya untuk mendukung semuanya.

Lalu, yang berada di paling belakang adalah Charl dan Mary.

"Tolong tetap disini, puteri Charl."

"Aku tahu, aku tahu."

Charl yang masih kecil tidak punya tugas apapun, hanya berdiri saja. Kalau dia berjalan kesana kemari, dia akan menjadi penghalang bagi yang lain dan akan membuat mereka khawatir. Karena dirinya sendiri sudah cukup bijak untuk seseorang seusianya, Charl mengerti akan hal itu dan tetap diam dari barisan itu.

"...Uhm, Yang Mulia, saya merasa kalau saya tidak berguna."

"Jangan sedih, Mary. Aku pun juga sama."

Tugas dari Mary si pelayan adalah untuk melindungi Charl. Meskipun dirinya sudah mempelajari seni bela diri, Mary belum cukup mampun untuk ambil bagian dalam pertempuran sesungguhnya. Sebagai hasilnya, dia ditempatkan di belakang untuk melindungi Charl. Namun, tugasnya itu ternyata cukup penting, karena keselamatan Charl akan berpengaruh pada semangat tempur semuanya. Rupanya, tugas yang dikeluhkan oleh Mary adalah tugas yang paling penting diantara semuanya.

Tepat seperti yang dipikirkan oleh Koutaoru, kedelapan gadis itu tidak terbunuh dengan mudahnya. Sebaliknya, mereka sudah memberikan serangan balasan dan mengurangi jumlah musuh yang ada. Meskipun mereka sudah mendapat perlengkapan dan senjata dari Clan, mereka bisa bertahan dengan gigih melawan gerombolan monster itu.

"Grevanas, kenapa mereka masih ada! Mereka hanya gadis-gadis!"

"Tapi, Maxfern-sama, senjata mereka--"

"Diam! Saya tidak mau mendengar alasan!"

Situasi itu membuat Maxfern marah. Tidak ada hal yang berjalan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dia sudah mendapat pedang yang diincarnya hanya untuk kehilangan pedang itu. Dia sudah mencoba membunuh musuh-musuhnya, tapi tidak berhasil. Semuanya sudah berjalan dengan lancar sampai orang-orang itu tiba di kastil itu, tapi tepat saat orang-orang itu datang keberuntungan Maxfern pun habis. Situasi ini sudah menjadi mimpi buruk bagi Maxfern.

"Kelihatannya rencanamu sudah hancur, Maxfern. Saya rasa anda hanya penjahat kelas teri."

Koutarou pun bersiap dengan pedangnya sambil terus mengawasi Alunaya dan meledek Maxfern. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat Maxfern terfokus padanya dan mengurangi tekanannya pada para gadis. Kenyataannya, Koutarou takut kalau sampai Alunaya mengeluarkan nafas apinya kepada para gadis.

"Diam! Kalau begitu, setidaknya kau akan kubunuh!! Lakukan, Grevanas! Bunuh si Ksatria Biru!!"

Seperti yang Koutarou rencanakan, Maxfern akhirnya terfokus padanya. Mungkin dia tidak perlu menghasut Maxfern sejak awal, karena Maxfern betul-betul membenci Koutarou yang bisa menggunakan pedang yang tidak bisa digunakannya.

"Baiklah."

Grevanas lalu memerintahkan prajuritnya untuk mengganti sebagian prajurit yang menyerang para gadis untuk menyerang Koutarou, dan Grevanas sendiri menggunakan tongkatnya untuk mengendalikan Alunaya untuk terus menyerang Koutarou.

"Semuanya sesuai rencana...tapi kalau begini terus aku yang bakal mati. Waktunya pindah tempat."

Koutarou, yang menyadari bahwa dia akan segera terdesak, menghindari serangan api Alunaya lalu mengaktifkan roket pendorongnya dan terbang. Dia sudah memutuskan bahwa akan berbahaya baginya untuk bertarung di darat dengan banyaknya penyihir dan setan yang mengincarnya.

ROAAAAAAAAAAAAR

Alunaya pun mengejar Koutarou setelah mengeluarkan raungan. Dengan mengepakkan sayapnya yang besar, badan raksasa Alunaya pun terbang di udara. Sayap dan sihir yang menyelubungi seluruh badannya membuatnya bisa terangkat dan terbang layaknya burung. Sekitar sepuluh setan mengikuti Alunaya di belakangnya.

Alunaya sedang dikendalikan oleh Grevanas sementara bawahan Grevanas mengendalikan para setan. Dalam kata lain, anggota dewan penyihir sedang mengerahkan kekuatan penuh untuk menghancurkan Koutarou. Meskipun itu yang direncanakan oleh Koutarou, itu jugalah bahaya terbesar yang dialaminya selama ini.

"Kalau aku terpaksa bertahan, aku yang bakal kalah! Kalau gitu--!"

Medan pelindung zirahnya masih belum pulih, jadi dalam kondisi seperti ini akan berbahaya baginya untuk menerima serangan secara terus-menerus. Koutarou dengan cepat memutuskan untuk menyerang dengan Signaltin, dengan incaran seragannya adalah Alunaya. Dia harus mengalahkan naga itu dan membuat jalur kabur yang aman.

"Semuanya! Tolong pinjamkan kekuatan kalian!"

Kata-kata itu secara tidak sadar diucapkan oleh Koutarou, karena semua kekuatan yang ada padanya adalah pinjaman. Dulu, dia menyedihkan kenyataan itu, namun sekarang Koutarou merasa bahwa itulah yang terbaik. Koutarou sadar, kalau dirinya sampai berubah seperti Maxfern, semuanya tidak akan berarti tidak peduli seberapa besar kekuatan yang dia miliki.

Tidak peduli apakah Koutarou sendiri memiliki kekuatan selama dia bisa mencapai tujuannya dengan bekerjasama dengan orang lain. Koutarou juga menyadari bahwa bekerjasama itulah yang terpenting. Satu-satunya alasan mengapa Koutarou berada disini adalah semua bentuk kerja sama yang telah terkumpul.

"...Saya ingin anda mengatakan itu pada saya sebagai yang pertama."

"Puteri Alaia!?"

Saat pertarungan akan dimulai, suara Alaia sampai ke telinga Koutarou. Suara itu bukanlah suara biasa yang dihantarkan lewat udara, melainkan melalui kemilau pada Signaltin. Koutarou langsung menoleh ke arah taman, dimana dia bisa melihat Alaia sedang menyatukan tangannya di depan dadanya dan berdoa sambil melihat ke arahnya. Beberapa saat lalu, apa yang dilakukan Alaia akan terlihat sangat berbahaya. Namun, dengan jumlah musuh yang sudah berkurang, kemungkinan dirinya akan terkena serangan pun turun.

"Koutarou-sama, saya akan bertarung dengan anda."

"Apa yang anda--"

Sebelum Koutarou bisa bertanya pada Alaia, seekor setan muncul dihadapan Koutarou. Koutarou memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaannya dan langsung mengayunkan Signaltin pada setan itu.

Pada saat itu, sebuah kemilau yang kuat memancar dari Signaltin, yang jika dilihat, seperti merasakan niatan Koutaoru untuk menyerang. Setan itu pun terbelah dari cahaya yang memancar dari pedang itu bahkan sebelum pedang itu menyentuhnya. Sesaat setelahnya, Signaltin menembus melewati si setan, tanpa hambatan sama sekali, layaknya membelah ilusi. Namun, setan itu sendiri berubah menjadi debu dan menghilang.

"Koutarou-sama, bertarunglah dengan cara apapun yang anda mau. Saya akan membantu anda dari sini."

"Oh, jadi itu maksud anda! Mohon bantuannya, puteri Alaia!"

"Baik!"

Fenomena ini dibuat oleh Alaia rupanya dibuat oleh Alaia, yakni dengan menggunakan lambang di dahinya untuk mengatur energi yang dikeluarkan oleh Signaltin. Biasanya, Signaltin akan mengeluarkan kekuatan sihir dala jumlah tertentu secara terus menerus, tapi dengan mengendalikannya secara langsung, Alaia bisa mengatur kapan Signaltin harus melepaskan energi itu. Dengan begitu, jumlah energi yang digunakan tidak akan berubah karena energi sihir yang digunakan dilepaskan dalam rentetan. Memang, bukan peningkatan kekuatan yang besar, tapi kekuatan sihir yang digunakan menjadi lebih efisien.

"Saya akan maju, puteri Alaia!"

"Saya akan melindungi anda! Berkonsentrasilah pada apa yang ada didepan anda, Koutarou-sama!"

"Saya mengerti!"

Koutarou lalu maju menyerang setan yang paling dekat. Karena Alaia mempercepat lajunya untuk sementara waktu, jarak antara Koutarou dan setan itu langsung menjadi pendek hanya dalam sekejap. Jika si setan itu ingin menghindar, dia sudah tidak sempat lagi. Signaltin mulai memancarkan sinar sekali lagi dan setan itu pun terpotong bahkan sebelum dia sempat bergerak.

"Hyaaaaaaah!"

"Kah kah!"

Dua setan maju menyerang Koutarou secara bersamaan, dengan yang satu berkepala serangga dan yang satu lagi berkepala bebek. Mereka mengincar punggung Koutarou dengan cakar mereka yang tajam, dengan niatan untuk merobek-robeknya.

Namun, para setan itu terkena gelombang kejut kecil sebelum cakar mereka bisa menyentuh Koutarou. Gelombang itu hanya memiliki kekuatan yang cukup untuk sedikit melukai mereka, tapi bisa membuat mereka berhenti. Karena sayap mereka sedang terbentang, mereka dengan mudahnya terkena gelombang kejut itu. Sementara mereka sedang terhenti, Signaltin pun terayun ke arah mereka.

Signaltin memotong mereka berdua tanpa suara, membuat badan mereka terpisah antara kekuatan sihir dan debu. Serangan kombinasi antara Koutarou dan Alaia itu tampak begitu menakjubkan.

"Saya bisa melakukannya! Dengan ini, saya bisa melakukannya!"

Karena Alaia yang bisa mengendalikan Signaltin dengan akurat, pedang itu menjadi jauh berbeda dengan sebelumnya. Kekuatan serangnya meningkat drastis, dan kekuatan sihir yang tersisa bisa digunakan untuk mempercepat gerak Koutarou, bertahan dan hal-hal lainnya. Sebagai hasilnya, Koutarou bisa menaklukkan para setan itu sendirian. Hanya butuh beberapa detik baginya sebelum sekitar sepuluh lebih setan habis dikalahkan menjadi jumlah yang bisa dihitung dengan jari.

ROOAAAAAAAAAAAAAR!

Dengan musnahnya sebagian besar pasukan setan, giliran Alunaya yang maju menyerang Koutarou. Sementara itu, sisa-sisa pasukan setan yang tersisa pun mundur. Maxfern dan yang lain yakin bahwa para setan sudah tidak bisa berkutik melawan Koutarou.

"...Waktunya babak utama."

Koutarou tidak menggunakan kuda-kuda yang biasa dia pakai untuk menghadapi para setan, melainkan menggenggam pedang itu dengan kedua tangannya dan mengacungkan Signaltin.

"Koutarou-sama, saya akan mengawasi keadaan disekitar anda. Tolong urus Alunaya."

"Baiklah, tuan puteri."

Sementara Koutarou bertarung dengan Alunaya, ada kemungkinan bahwa para setan akan kembali menyerang. Jadi, dengan adanya Alaia yang mengawasinya, Koutarou bisa berkonsentrasi penuh pada Alunaya.

"Kita hampir menang! Anda bisa melakukannya, Koutarou-sama!"

"Baik, tuan puteri!!"

Sambil berseru, Koutarou menyiapkan pedangnya dan terbang lurus dengan kecepatan penuh. Dia bisa merasakan niatan menyerang Alunaya yang semakin luas, yang berarti dia akan menyerang dengan ekornya atau nafas api. Kalau Koutarou tetap diam, dia akan menjadi sasaran empuk, dan kalau mendekat, akan sulit bagi Alunaya untuk mengeluarkan serangan sebesar itu.

Alunaya ternyata menyerang menggunakan ekornya, yang terayun dari samping layaknya cambuk raksasa yang sampai membuat udara di sekitarnya bergetar.

"Aku nggak bisa nahan itu!"

Koutarou membuat gerakan menghindar yang terlalu besar untuk menghindari serangan ekor itu. Tanpa medan pelindungnya, satu serangan saja akan berakibat fatal baginya, dan tanpa bantuan ilusi dari Caris, Koutarou harus mengutamakan keselamatannya dibandingkan yang lain.

"Biarkan saya membantu."

Namun, Alaia meningkatkan kecepatan Koutarou untuk mengganti jaraknya yang hilang saat Koutarou melakukan manuver itu, dan membuat Koutarou bisa maju menyerang kembali ke arah Alunaya dengan kecepatan yang sama dengan sebelumnya.

"Majuuuuuuuu!!"

Alunaya memiliki medan pelindung yang kuat yang melindunginya. Meskipun Signalin memiliki kemampuan untuk menghapus sihir, apakah itu akan cukup untuk menembus medan pelindung itu? Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah untuk mencoba.

ROOAAAAAAAAAAAAAAR!!

Signaltin dengan hebatnya menembus medan pelindung Alunaya, mengakibatkan salah satu sisiknya lepas karena serangan itu dan membuatnya berteriak kesakitan.

"Berhasil!? Tapi terlalu pendek!!"

Karena Alunaya bukan makhluk yang dipanggil melalui sihir, badannya tidak terbuat dari sihir. Itulah sebabnya Alunaya tidak hancur menjadi debu seperti para setan, dan luka di badannya hanyalah sisiknya yang terlepas.

"Jadi aku bisa melukainya, tapi pedangnya tidak akan melukainya begitu banyak ya...", gumam Koutarou sambil menghindari cakar Alunaya.

Dengan badannya yang sebesar 20 meter, Alunaya sulit untuk dilukai menggunakan pedang sekecil itu. Hasil yang sama juga berlaku kalau Koutarou menggunakan senjata yang ada pada zirahnya. Hal itu sama seperti menantang sebuah tank hanya dengan menggunakan senapan.

"Apa aku harus bergantung sama ini kayak tadi?"

Pelindung tangan Kiriha, jika digabungkan dengan kemampuan Signaltin untuk menembus medan pelindung, akan menjadi lebih efektif. Dan jika serangan itu ditambahkan lagi dengan senjata yang ada pada zirah, Koutarou setidaknya bisa menambah luka pada sang naga.

"Kalau saja dia punya titik lemah..."

"Titik lemah? Saya rasa dia punya..."

Berkat Alaia, Koutarou menjadi ingat dengan kristal di tengkuk naga itu, dan bahwa dia bisa membuat Alunaya mundur setelah menyerang kristal itu.

"Ada titik semacam itu. Ada kristal sihir yang terletak di bagian belakang leher Alunaya."

"Begitu rupanya...kalau begitu kristal itu akan menjadi incaran yang bagus untuk pedang ini. Dengan menghapus sihirnya, kita mungkin bisa mengubah arah pertarungan ini."

"Saya akan mencoba menyerangnya!"

Koutarou lalu menyiapkan Signaltin dan menjalankan roket pendorongnya. Karena bahan bakar roket itu akan segera habis, akan lebih baik baginya untuk segera mencoba hal yang mungkin bisa bekerja, persis seperti sebelumnya.

Koutarou mencoba menggunakan kegesitannya untuk bisa berada di punggung Alunaya, namun tidak seperti dulu, saat ini dia sendirian. Tanpa adanya celah dari Alunaya, akan sulit bagi Koutarou untuk mengitari badannya, dan tanpa adanya bantuan dari Caris, Koutarou hanya membuang-buang waktu saja.

"Apa yang harus aku...aku nggak punya waktu buat nunggu bantuan dari Caris..."

Clan dan yang lainnya masih bertermpur dengan para setan di bawah sana. Meskipun jumlah setan yang ada sudah berkurang drastis, yang bisa dilakukan oleh mereka hanyalah membiarkan Alaia untuk membantu Koutarou. Mereka tidak bisa mengirim bantuan lebih banyak lagi, dan tidak ada cukup waktu untuk menunggu Clan dan yang lainnya menyelesaikan pertempuran mereka.

"Awas, Koutarou-sama!!"

"Haaah!"

Persis setelah Alaia memperingatkan Koutarou, nafas api Alunaya melintas tepat di sebelah Koutarou. Saking dekatnya Koutarou dengan nafas api itu, sebagian rambutnya sampai terbakar.

"Tolong berhati-hatilah, Koutarou-sama! Anda akan mati kalau anda sampai terkena itu!"

"Maaf, saya sedang melamun...tunggu dulu?"

Setelah memastikan kalau nafas apinya meleset, Koutarou mendapat sebuah ide yang gila, dan lalu menyampaikannya pada Alaia.

"Yang Mulia, apakah saya bisa memotong melewati nafas api itu?"

Alaia langsung terdiam begitu mendengar ide dari Koutarou.

"....Bisa jadi, tapi jika gagal, tidak ada kesempatan kedua."

Nafas api Alunaya adalah nafas biasa yang diubah menggunakan sihir. Dalam kata lain, Signaltin mungkin bisa menghapusnya. Ditambah, saat Alunaya mengeluarkan nafas api itu, di saat itulah dia menunjukkan celahnya. Alunaya harus diam untuk mengeluarkan nafas apinya dan sebagian wilayah pandangannya menjadi tertutup oleh api. Dengan menerima serangan nafas api itu dengan sengaja sambil menggunakan Signaltin untuk menghapusnya, Alunaya tidak akan bisa melihat Koutarou.

Namun, kalau Koutarou gagal, kalau dia sampai salah memperkirakan waktunya atau mengenai sisi yang salah, dia akan habis dilalap api. Alaia, yang mempertimbangkan resiko itu, tidak bisa menyetujui ide itu.

Setelah mendengar jawaban Alaia, Koutarou tersenyum dan memanggil namanya.

"Puteri Alaia."

"Ada apa?"

"Yang mana yang lebih anda percaya? Nafas api itu? Atau saya?"

"...Kou..."

Alaia menjadi terdiam dibuatnya.

"K-K-Koutarou-sama!! Anda mengganti topiknya!! Itu curang!!"

Alaia hanya bisa membalasnya dengan nada yang tinggi sambil mengkritknya. Baginya, pertanyaan itu hanya memiliki satu jawaban.

"Dasar Koutarou-sama bodoh!!"

Alaia tidak menjawab pertanyaan itu, tapi justru meledek Koutarou layaknya anak kecil.

"Sikap anda jelek sekali, Yang Mulia...Clan, apa kamu punya saran?" balas Koutarou sambil tersenyum dan lalu bertanya pada Clan menggunakan alat komunikasinya, karena dia juga ingin mendengar pendapat si ilmuwan.

"...Tentu tidak, bodoh. Kalau ada yang bisa kukatakan, nafas api itu bisa dikatakan terbuat dari plasma, jadi kalau kau menggunakan medan elektromagnet, kau bisa melindungi dirimu sedikit, tolol."

Kenyataannya, Clan akan menyarankannya untuk berhenti. Namun, karena dia sudah mengetahui kepribadian Koutarou, Clan tahu bahwa Koutarou sudah memutuskan untuk melakukan hal itu saat dia menanyakan hal itu kepadanya. Jadi, Clan menyerah dan memberikannya saran mengenai medan elektromagnet. Namun, saran itu pun tidak begitu menjamin, dan kalau yang melakukan hal itu adalah orang selain Koutarou, Clan pasti akan menyuruh mereka untuk berhenti.

Saat plasma terkena medan elektromagnet, sebuah pergerakan yang kompleks pun terjadi. Dengan begitu, plasma yang berasal dari nafas itu akan menjadi terpencar dan medan elektromagnetnya akan menjadi semacam tameng. Hal yang sama juga terjadi pada medan magnet Bumi yang menjadi pelindung terhadap angin matahari. Namun, kalau momentumnya terlalu besar, efeknya tidak akan terlalu besar. Itulah yang kemungkinan akan terjadi saat berhadapan dengan nafas api Alunaya, tapi hal itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.

"Baik, saya akan mencobanya", kata Koutarou sambil tersenyum mengejek dan mengarahkan Signaltin ke wajah Alunaya.

"Koutarou-sama, tolong pikirkanlah lagi."

"Yang Mulia, saya masih belum mendengar jawaban anda."

"Uh."

Alaia menjadi ragu untuk menjawab, dan setelah terdiam selama beberapa detik, akhirnya dia menggumam:

"...Tolong kembalilah dengan selamat, Ksatria Biru Forthorthe."

"Baiklah, tuan puteri."

Namun, pada akhirnya Alaia tidak benar-benar menjawab pertanyaan itu.

Saat Koutarou dan Alunaya sedang terpisah jauh, Alunaya akan sering menggunakan nafas apinya karena dia tahu seberapa kuat Koutarou dalam jarak dekat. Karena itulah, tidak sulit bagi Koutarou untuk memancingnya mengeluarkan nafas api itu.

Alunaya membuka mulutnya dan mulai menarik nafas. Setelah memastikan itu, Koutarou mengatur dirinya agar tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Keseimbangan jaraknya memang cukup sulit, karena kalau dia berada terlalu dekat, Alunaya akan mengganti serangannya. Tapi kalau dia berada cukup jauh, Koutarou tidak akan bisa menggunakan nafas api itu untuk menutupi serangannya. Koutarou harus menemukan tempat yang tepat dengan jarak yang tepat juga.

"Sekarang, Koutarou-sama!"

Setelah memastikan kalau Alunaya menggunakan kekuatan sihirnya, tepat sebelum dia mengeluarkan nafas apinya, Koutarou mengatur roket pendorongnya untuk kekuatan penuh dan maju menyerang naga itu. Selama dia bisa melewati jarak itu, sisanya akan mudah baginya. Itulah sebabnya mengapa Koutarou memilih untuk menghabiskan bahan bakarnya disini.

Sesaat setelahnya, Alunaya mengeluarkan nafasnya, yang begitu putih dan panas. Api yang bahkan jauh lebih panas dari permukaan matahari itu menyerang Koutarou.

Rokujouma V8.5 241.jpg

"Makan iniiiiiiiiiiiiiiii!!"

Dengan menggunakan roket pendorongnya untuk mengatur sudut serangannya, Koutarou mengarahkan Signaltin maju untuk menusuk, layaknya payung. Di saat yang sama, dia membuat medan elektromagnet dan bersiap menghadapi plasma yang tidak bisa dihapus oleh Signaltin.

Koutarou terbungkus oleh cahaya yang putih bersih. Kekuatan sihir dari Signaltin menyelimuti seluruh tubuhnya sementara sekitarnya ditutupi oleh api. Namun demikian, meskipun pedang itu bisa menghapus plasmanya, pedang itu tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap udara yang sudah menjadi panas. Suhu disekitar Koutarou pun meningkat drastis dan membuatnya merasa seperti dimasukkan ke dalam oven.

"Kuh."

Untungnya, zirahnya bisa bertahan dari suhu setinggi itu, berkat waktu yang sudah dijalaninya dan fakta bahwa zirah itu memang diperuntukkan untuk penggunaan di luar angkasa. Sistem zirah itu melaporkan beberapa erro sementara zirahnya sendiri mulai berubah warna karena suhu tinggi yang diterimanya, namun tidak ada perubahan besar yang terjadi pada fungsi-fungsi zirah itu.

Koutarou lalu menukik keluar dari api itu dan memutar ke punggung Alunaya. Karena Alunaya tidak bisa melihat Koutarou karena nafas apinya sendiri, dia tidak memperhatikan pergerakan Koutarou. Sebagai hasilnya, Alunaya mempertunjukkan punggungnya yang tidak terlindungi pada Koutarou.

"Terimaaaa iniiiiiiiiiiiiii!!"

Dan tanpa memperlambat roket pendorongnya, Koutarou melesat langsung ke bagian kepala Alunaya, dengan kristal biru yang berada di tengkuk naga itu sebagai incarannya.

Signaltin menembus medan pelindung Alunaya dan menyerang kristal itu. Dengan sihir yang berada di dalam kristal itu dihapuskan, kristal itu pun hancur dan pecahannya terbang.

ROOOOAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAR!

Pada saat itulah, Alunaya menjerit kesakitan. Suaranya yang keras luar biasa membuat dunia seakan bergetar.

"Apa itu berhasil!?"

"Koutarou-sama!!"

Saat Koutarou terus melihat, Alunaya mulai ditarik oleh gravitasi dan jatuh ke atas tanah. Tepat pada saat kristal itu hancur, Alunaya kehilangan kendali atas badannya sendiri. Saat dia mulai jatuh, Alunaya berusaha mengepakkan sayapnya untuk bisa mengendalikan badannya, tapi pada akhirnya, naga itu terjatuh ke atas tanah.


Part 7[edit]

Maxfern hanya bisa melongo melihat Alunaya yang terjatuh ke atas taman. Namun, setelah beberapa saat, dia mulai tertawa diam-diam. Tawanya yang bagaikan iblis dari dalam neraka terdengar mengerikan, membuat siapa saja yang mendengarnya akan menjadi gemetar ketakutan.

"Ku, kuku, kukukuku, bagus....betul-betul bagus...meskipun kau punya pedang suci itu, tidak kusangka kau bisa mengalahkan Alunaya..." Saat tawanya menyebar ke seluruh penjuru taman, para setan yang masih menyerang kelompok Alaia berkumpul dan melindungi Maxfern. Di sekitarnya juga terdapat para bawahannya yang setia, yakni para alkemis, dan juga Grevanas beserta dewan penyihirnya. Mereka akan setia mengikuti Maxfern hingga akhirnya.

"Menyerah sajalah, Maxfern."

Setelah mendarat, Koutarou mendekatinya hingga beberapa meter saja. Namun, kelompok yang melindungi Maxfern tidak terlihat akan menyerang. Antara mereka takut dengan Koutaoru, atau tidak diperintahkan untuk menyerang. Yang manapun yang terjai, mereka tidak mengganggu percakapan antara Koutarou dan Maxfern. Kedelapan gadis yang selamat dari bahaya pun melihat situasi itu dari belakang Koutarou.

"Anda kalah."

"...Itu benar. Saya akan mengakui itu. Anda menang, Ksatria Biru."

Yang mengejutkan, Maxfern terlihat menerima kekalahannya. Setelah tidak mendapat pedang yang diincarnya, senjata utamanya, Alunaya, berhasil dikalahkan, semua rencananya digagalkan, dan yang tersisa pada dirinya hanyalah beberapa pengikutnya saja dan gerombolan monster, bahkan sampai kehilangan Forthorthe dari genggamannya, Maxfern sudah tidak punya cara lain lagi untuk membalikkan situasi ini.

"Namun!! Saya tidak berniat untuk mengakui bahwa anda yang memiliki negeri ini, atau dunia ini, Ksatria Biru!! Dunia ini adalah milikku!! Saya tidak akan menyerahkannya kepada siapapun!!"

Sebelum ada yang menyadarinya, para setan sudah memegang botol dengan cairan hitam didalamnya. Namun, mereka tidak berniat untuk melakukan apapun pada Koutarou dan yang lainnya, tapi justru akan terbang ke langit.

"Lakukan, Grevanas!"

"Maxfern-sama, apakah kita harus bertindak sejauh ini?"

"Diam!! Apa kau bisa menerima bahwa apa yang sudah kita lakukan sejauh ini adalah sia-sia!?"

"S-saya tidak berkata demikian, tapi..."

Grevanas, yang sedari tadi menuruti perintah Maxfern dengan tenang, mulai terlihat ragu. Koutarou, yang menyadari hal itu, merasa bahwa ada sesuatu yang salah.

"Kalau begitu, lakukan seperti yang kuperintahkan!!"

"Saya mengerti..."

"Apa yang kau rencanakan, Maxfern!?" tanya Koutarou dengan nada serius. Rasa curiga yang dirasakannya menjadi semakin kuat, membuatnya merasa bahwa sesuatu akan segera terjadi, tapi entah apa. Koutarou tidak bisa terus berdiam diri.

"Seperti yang sudah kukatakan, Ksatria Biru! Saya tidak berniat memberikan kepadamu negeri ini, ataupun dunia ini!"

"Jadi itu rupanya niatmu, Maxfern!!"

Pada saat itulah Alaia angkat bicara, dengan wajah yang menunjukkan rasa terkejut dan ketakutan. Dia tahu apa yang direncanakan oleh Maxfern, apa yang telah diperintahkannya kepada para setan itu.

"Cairan hitam itu, itu racun yang dulu kau gunakan, benar!?"

"Benar sekali!! Bagus sekali, anda memang hebat, puteri Alaia!!"

Botol-botol yang dibawa para setan itu membawa virus berbahaya yang sama yang digunakan Dextro pada sebuah desa. Virus itulah yang telah dikumpulkan, dipelajari dan dibuat oleh para alkemis. Maxfern berencana membuat para setan membawa virus itu ke langit dan menyebarkannya ke seluruh penjuru Forthorthe.

"Apa kau berniat menghancurkan Forthorthe!?"

Saat dia mengerti tujuan Maxfern, Koutarou menjadi menggigil karena takut. Penyebaran virus itu tidak hanya akan menghancurkan Forthorthe saja, tapi juga bisa menyebar ke seluruh penjuru benua atau bahkan dunia itu.

"Hahahaha, bukankan itu cara bagaimana sebuah negeri ditaklukkan!?" tawa Maxfern mengejek Koutarou. Kegilaan bisa terlihat di matanya, dan sesaat kemudian, senyumnya menghilang, matanya memerah dan seluruh wajahnya berubah menunjukkan kegilaannya.

"Negeri dan dunia ini adalah milikku!! Pedang itu mungkin milikmu, tapi aku tidak akan pernah memberikanmu dunia ini!! Lebih baik aku berikan pada mereka yang berada dalam kegelapan daripada kuberikan padamu!!"

Maxfern begitu dipenuhi oleh kebencian dan iri yang besar terhadap pedang suci yang tidak memilihnya, dan juga pada Koutarou yang dipilih oleh pedang itu. Kalau pedang suci itu memilih Koutarou sebagai raja dunia, maka Maxfern akan menghancurkan dunia ini dan membuat terpilihnya Koutarou menjadi sia-sia, demi menolak pilihan pedang suci itu.

"Kukuku, Hahahahaha!! Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang! Dunia akan berakhir! Dan kau, Ksatria Biru, kau akan berkuasa di atas takhta dari mayat!!"

"Maxfern, kau bangsat!!"

Dengan tawa Maxfern yang memenuhi taman itu, para setan itu pun terbang tinggi, membawa botol yang penuh dengan virus. Jumlah mereka ada sekitar lebih dari 50 setan, dan Koutarou tidak bisa melawan mereka semua sambil menjaga botol itu tetap aman.

"Clan, kamu nggak ada ide!?"

"Aku tidak bisa memikirkan sesuatu secara langsung seperti ini! Kalau satu saja botol-botol itu pecah, sesuatu yang buruk akan terjadi. Tidak mungkin kita menjaga mereka tetap aman..."

Cara seperti itu tidak ada. Kalau satu saja botol itu sampai pecah, virus itu akan menyebar ke area ini, dan sesaat setelahnya akan menyebar ke Fornorn. Ibu kota itu akan menjadi penuh dengan mayat, dan virus itu akan terus menyebar dengan Fornorn sebagai pusatnya.

"Paman! Tolong hentikan itu!"

"Diam, Lidith! Aku tidak mau kau memanggilku paman setelah kau memilih Ksatria Biru!"

"Maxfern!! Semua ini tidak ada artinya!"

"Memang betul, puteri Alaia, memang betul!! Tujuanku adalah menghapus artinya!!"

Sudah tidak ada lagi cara yang tersisa selain membua Maxfern memanggil kembali para setan itu. Namun, karena sudah kehilangan kewarasannya, Maxfern tidak akan pernah mau. Hal yang diinginkannya sekarang adalah membalas dendam pada sang dewi yang sudah salah menilainya.

"Sudah tidak bisa lagi, Veltlion! Forthorthe akan hancur!"

Clan bisa membuat obat untuk virus itu, namun negeri itu harus hancul lebih dulu sebelum dia bisa mengobati semua orang. Waktu yang ada terlalu sedikit, dan situasinya jauh lebih berbeda daripada saat menyelamatkan sebuah desa.

"Ksatria Biru! Tolong lakukan sesuatu! Kau pasti bisa melakukan sesuatu, benar!? Tolong katakan kalau ada jalan!"

"Puteri Charl...", balas Koutarou yang hanya bisa menggertakkan giginya.

Sialan, apa aku cuma bisa nonton doang!?

Kenyataannya, Koutarou ingin berkata pada Charl bahwa dia bisa melakukan sesuatu, tapi dia tidak bisa, karena dia tidak tahu harus berbuat apa.

"Caris-chan, apa kau tidak bisa menggunakan sihirmu untuk melakukan sesuatu?"

"Tidak mungkin. Mereka sudah menyebar jauh, jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa."

"Flair-sama, apa yang harus kita lakukan?"

"Maafkan saya, Mary. Saya tidak tahu."

Setan-setan itu terbang satu demi satu di hadapan Koutarou yang lainnya, seakan menunjukkan bahwa seperti inilah dunia mereka akan berakhir.

Ini pertama kalinya aku ngelihat sesuatu yang serem kayak gini...nggak, tunggu dulu, apa bener ini yang pertama?

Pada saat itulah, sebuah keraguan masuk ke pikiran Koutarou. Dia merasa bahwa dia pernah melihat pemandangan ini sebelumnya.

Kapan itu? Kapan aku pernah ngelihat ini? Ingatan yang mana?

Dengan putus asa, Koutarou berusaha menelusuri ingatannya, yang mungkin menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah ini. Saat ini, Koutarou ingin mencoba apapun yang bisa dia lakukan.

"Ah..."

Sebentar kemudian, Koutarou akhirnya kembali mengingat apa yang ingin diingatnya, yakni saat dia bertarung melawan Clan. Saat Clan akan meluncurkan serangan terakhirnya, Koutarou mendengar sebuah suara entah darimana, dan si empunya suara itu menunjukkan kepadanya monster-monster yang aneh, yang terbang ke langit membawa botol hitam, dan--

"Clan!"

Mata Koutarou pun berbinar dan dia langsung bergegas ke arah Clan, memegang pundaknya lalu mengguncang-guncangnya. Koutarou betul-betul sudah tidak peduli dengan sekitarnya begitu sudah mendapatkan solusinya.

"A-ada apa!?"

Karena tiba-tiba digoyang-goyangkan seperti itu, mata Clan berputar-putar dibuatnya.

"Kita gunakan itu! Kau tahu, itu!"

"Tolong tenang dulu, apa yang kau bicarakan!?"

"Maksudku, bom yang mengirim kita ke sini!! Pakai itu buat ngeledakkin setan-setan itu sama botolnya, sekaligus!!"

Bom itu, yakni peluru super repulsi ruang waktu, adalah senjata terhebat yang dibuat oleh Clan. Jika ditembakkan, peluru itu bisa membuat apapun yang berada dalam jarak ledakannya terlempar dari jagad raya. Koutarou ingin agar Clan menggunakan peluru itu untuk melempar baik setan-setan dan botol-botol itu keluar dari dunia ini.

"B-benar, kalau begitu, kalau begitu!! Tapi, peluru itu masih dalam pengaturan, kita tidak tahu kemana--"

"Tolol!! Sekarang bukan waktunya!! Buruan tembak sebelum telat!!"

"Aku mengerti, aku mengerti!! Cradle!! Segera bersiap untuk menembakkan peluru super repulsi ruang waktu!"

"Baiklah, tuan puteri."

Tepat disebelah Clan yang berteriak dengan putus asa, sebuah lubang hitam muncul dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran yang biasanya untuk mengeluarkan senjata. Sebuah kerucut berujung bulat muncul dari lubang hitam itu, yakni hulu ledak peluru itu. Clan membuat dua peluru misil, dimana yang satu sudah dihancurkan oleh Koutarou, dan yang kedua adalah yang sekarang akan ditembakkannya. Kenyataannya, dia ingin menggunakan peluru itu untuk kembali pulang, tapi Clan sudah tidak punya pilihan lagi sekarang.

"Tembak kalau udah siap, Clan!"

"Paling tidak, biarkan aku lakukan pemeriksaan terakhir!"

"Nggak usah!"

"Baik, baik, aku mengerti! Hhh!!"

Peluru repulsi itu sudah diisi penuh dengan energi. Karena Koutarou sudah berkata untuk menggunakan segala macam cara, Clan sudah mengisinya jauh sebelumnya.

"Sudah terlambat, tidak peduli apapun yang kalian rencanakan! Duduk saja dan pasrahlah!" ujar Maxfern dengan sombongnya. Dia tidak tahu apa yang direncanakan oleh Koutarou atau apa yang akan ditembakkan oleh Clan. Karena dia sudah yakin bahwa sudah terlambat bagi mereka untuk melakukan apapun, Maxfern membiarkan mereka mencoba apapun yang mereka mau.

"Apa yang anda lakukan, Koutarou-sama? Apa yang harus kami lakukan?"

Namun, lain halnya dengan Alaia. Dia bisa merasakan sesuatu yang serius dari tindakan Koutarou dan Clan dan meminta petunjuk dari mereka berdua.

"Menunduk! Sebentar lagi akan ada ledakan besar!"

"Aku sudah selesai memasukkan koordinat target dan parameternya!! Target sudah terkunci! Ini dia,Veltlion!!"

"Tembak!!"

"Semuanya, merunduk!!"

"Tembaaaaaaak!!"

Para gadis menuruti perintah Alaia dan menundukkan badan mereka. Sesaat setelahnya, sebuah misil yang berukuran sebesar badan Alaia keluar dari lubang hitam itu. Mesin misil itu lalu mengeluarkan api dan terbang menuju para setan yang berada di atas Maxfern.

Bener juga, memang seperti ini yang aku lihat...

Pemandangan misil yang terbang itu bertumpuk dengan tepat dengan apa yang diingat Koutarou.

Misil itu mengejutkan Maxfern dan bawahannya.

"Apa!? Grevanas, apa itu!?"

Maxfern, yang kaget melihat sesuatu yang tidak diketahuinya terbang ke arahnya, bertanya pad Grevanas. Dia yakin bahwa benda itu adalah benda sihir atau semacamnya.

"Saya tidak tahu! Itu mungkin sebuah senjata, tapi sesuatu seperti itu tidak mungkin mengalahkan semua--"

Grevanas dengan cepat memulai penjelasannya, namun dia tidak bisa menyelesaikannya. Misil itu terbang lebih cepat daripada penjelasannya, dan mengaktifkan hulu ledak super repulsi ruang waktu di koordinat yang ditentukan.

Sesaat setelahnya, sebuah kilatan besar terjadi dan gerombolan setan itu terbungkus dalam sebuah kubus raksasa, yang tidak hanya membungkus mereka saja tapi juga Maxfern, orang-orang disekitarnya dan juga kastil itu.

Kubus itu hanya muncul selama beberapa saat saja, dan kemudian menghilang dalam sekejap, dengan membawa serta semua yang berada di dalamnya, baik para setan, botol yang dibawa oleh mereka, Maxfern dan bawahannya, beserta kastil yang ada di belakang mereka. Setelah kubus itu menghilang, kubus itu meninggalkan sebuah lubang besar, dan sebuah gempa bumi disertai gemuruh terjadi yang seakan mengguncang seluruh dunia.

"Uwaaaaaaaaaaa!!"

"Kyaaaaaaaaaaa!!"

Koutarou dan para gadis pun berteriak. Medan pelindungnya bisa menghalangi gelombang gemuruh itu, tapi tidak dengan gempa buminya. Semuanya berusaha dengan keras untuk tetap bertahan di atas tanah. Kalau tidak, mereka pasti akan jatuh dan terluka karena guncangan yang luar biasa itu.

"...A-apa semuanya sudah berakhir?"

Namun, karena itu bukan gempa bumi asli, guncangannya pun segera mereda. Koutarou dengan cepat bangkit dan melihat sebuah lubang berbentuk kotak yang berada di tanah. Sudut-sudut tajam pada lubang itu bisa menggambarkan seberapa besar kekuatan peluru super repulsi ruang waktu itu.

"Apa, kita berhasil...?"

"Kita berhasil, Veltlion!! Mereka semua sudah hilang!!"

Para setan itu sudah tidak terlihat lagi, dan juga botol-botol yang mereka bawa. Semuanya sudah terlempar ke luar jagad raya, membuat Forthorthe selamat dari krisis.

"Tidak, belum selesai, Veltlion! Lihat itu!"

Namun, pada saat itulah Flair menunjuk ke arah langit dengan wajah yang terlihat panik.

"Gawat!! Kelihatannya ada satu yang selamat!!"

Seekor setan bisa terlihat di arah dimana Flair menunjuk, masih terbang dengan goyah setelah terkena gelombang kejut itu. Dia juga masih membawa botol itu di tangannya. Untungnya, setan itu yang terkena sebagian besar gelombang kejut itu karena botolnya tidak hancur.

"Kita tidak bisa membiarkan yang itu kabur!! Cepat--"

Dan tepat saat Koutarou akan terbang untuk mengejarnya...

"Koutarou-sama, dia jatuh!!"

"Apa!?"

Setan yang terbang dengan gemetaran itu pun tiba-tiba terjatuh. Luka yang didapatnya sewaktu terkena gelombang kejut itu pastilah cukup berat, dan akhirnya dia kehabisan tenaga.

"Gawat, botolnya akan pecah!!"

Tentu saja, botol itu pun turut jatuh bersama dengan si setan. Kalau sampai pecah, virus di dalamnya akan menyebar dan menyebabkan bangkitnya mimpi buruk yang lain.

Gawat, aku nggak sempat!

Meskipun mereka tahu kalau akan ada sesuatu yang buruk kalau sampai botol itu pecah, tidak ada di antara mereka yang bisa meraihnya. Setan itu sudah terlalu jauh dan Koutarou tidak bisa sampai ke sana tepat waktu. Sudah tidak ada lagi hal yang bisa mereka lakukan.

"Tidak usah khawatir."

Tepat di saat itulah, sesuatu yang besar menghalangi sinar matahari dan membuat Koutarou dan yang lainnya berada dalam bayangan. Koutarou, yang melihat ke atas, terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Alunaya!? K-kau masih hidup!?"

"Kau harusnya bersyukur karena aku masih hidup."

Sesaat setelahnya sebuah garis cahaya keputihan bisa terlihat melintasi langit, yakni nafas api yang dikeluarkan Alunaya.

Suhu yang sangat tinggi dari api itu membakar habis si setan, beserta botol dan juga isinya.


Kembali ke Bab 4 Ke Halaman Utama Selanjutnya ke Bab 6