Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Penutup

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Epilog

Gandálfr adalah tangan kiri Tuhan, sang perisai buas milik-Nya. Tangan kirinya menghunus sebilah pedang besar dantangan kanannya menghunus tombak panjang, melindungiku dengan kewaspadaan tak terhingga.

Vindalfr adahlah Tangan kanan Tuhan, Seruling berhati lembut Milik-Nya. Dia mengendalikan seluruh Makhluk hidup, menunjukkan jalan melalui tanah, udara dan air.

Myoznitnirn adalah otak Tuhan, Buku yang membawa kristalisasi pemikiran. Dia membawa seluruh Pengetahuan dan memberikan nasehat kapanpun aku memerlukannya.

Ada satu orang lagi, tapi mengingat namanya mendatangkan masalah bagiku...

Dengan membawa empat pengikut, aku datang ke tanah ini...

Dari luar terdengar nyanyian anak-anak bersama cahaya yang mulai terbit. Seorang gadis muda bangun. Dia perlahan dan dengan agak malas-malasan bangun. Rambutnya yang menawan bagai gelombang laut rmas, bagaikan jubah yang menyingkap tubuhnya. Rambutnya begitu indah sehingga membuat orang-orang menahan napas, namun bila diperhatikan lebih seksama, rambutnya lebih tipis uda kali lipat dari orang biasa. Saat rambut yang begitu indah terayun, dapat terdengar suara udara yang mengelusnya dan cahaya dari rambutnya bisa menyilaukan.

Bahkan meski kau bilang rambutnya biasa, bagian tubuhnya yang lain juga sangat langsing.

Seakan Tuhan sendiri yang memahat tubuhnya. Perut langsing dipasangkan dengan sembulan dada besar nan padat ynag mengangkat pakaian malamnya yang kapanpun dia bernapas, tampak lebih besar. Gadis muda ini hanya mngenakan satu bagian dari piyama, dan menguap sedikit sambil membangunkan diri.

Dari cara kulitnya bersinar, umur gadis ini sekitar 15-16, tapi tubuhnya yang menyihir, yang pasti merupakan mahakarya seorang dewa mencegah siapapun menebak umurnya dengan tepat.

Gadis itu meluruskan tangannya dan membuka jendela, dan sekelompok anak berlarian menuju dia.

“Tiffania onee-chan!”

“Tiffa onee-chan!”

Sekelompok anak-anak yang saling mngikuti berlari menuju jendela, berteriak sekeras-kerasnya kepada gadis muda bernama Tiffania ini.

Sepertinya si cantik yang semenawan peri adalah idola anak-anak ini.

“Ao Ya! Ada apa? Jack, Sam, Emma, Samantha, dan yang lainnya datang bersama-sama. Aku mendengarkan lagu-lagumu dan aku terbangun, Kau menyanyikan lagu yang itu-itu lagi, apa kau tak tahu cara menyanyikan lagu lain?”

“Ga tahu...!”

“Kalau begitu, ajari kami bernyanyi, Tiffania onee-chan.”

Tiffania tersenyum, dia menganggap anak-anak ini sebagai adik lelaki dan perempuannya.

Dia tiba-tiba mnyadari bahwa salah satu yang terkecil terlihat ingin menyampaikan sesuatu.

“Emma, ada apa? Apa kau punya sesuatu yang hendak kau utarakan?”

Gadis kecil bernama Emma itu gemetaran tak terkendali.

“Itu...”

“Jangan takut, ceritakanlah.”

Di dalam hutan, dalam hutan, aku pergi untuk memanen stroberi dan kutemukan...”

“Apa yang terjadi di hutan?”

Emma, ada apa? Jika ada sesuatu, harusnya kau bilang ke kita-kita!”

“Mengapa kau tidak bilang pada kami.”

“Karena aku ketakutan...tubuhnya berlumuran darah...woo...woo,” Emma terlihat berkaca-kaca dan airmatanya hendak tumpah.

“Semuanya, berhentilah mrisak mma. Emma, apa yang terjadi? Ceritakan pada Kakak.”

“...Disana, disana ada seseorang yang pingsan.”

Wajah Tiffania langsung mendung.

“Lagi?”

Anak-anak mulai saling berbicara di antara mereka.

“Kemungkinannya itu lho, perang, perang!

“Ya!” anak-anak mengangguk bersama-sama.

“Karena pagi ini, tentara melewati jalan dekat sini.”

Tiffania memakai jubah di atas piyamanya, dan melompat keluar dari jendela.

“Emma, dimana dia?”

“..Disana.”

Gadis itu terbang melalui hutan yang dia kenali dengan baik seakan itu halamannya, diikuti anak-anak di belakang.

Mereka menemukan seorang pemuda terbaring di pohon besar, punggungnya menghadap kayu.

Tiffania membungkuk dan menempatkan telinga ke dada pemuda tersbut.

“...Masih bernapas. Tapi lukanya parah, aku harus cepat menanganinya.”

Emma bergumam khawatir,

“Tiffania onee-chan, apa dia bisa sembuh?”

“Bodoh!” Satu anak berteriak. “Mana ada luka yang tak bisa disembuhkan Tiffania onee-chan? Apa kau tak tahu apa-apa?”

“Mari kita bawa dia kembali ke desa dulu.”

Para lelaki mengangkat tubuhnya, Tiffania memperhatikannya lebih dekat.

“Rambut hitam, memakai pakaian yang tak pernah kulihat sebelumnya.”

“Dia orang asing.”

Tapi tampaknya dia tak berasal dari Tristain maupun Germania. Darimana ya asal pakaiannya?

Tidak...Tiffania menggelengkan kepanya dan menyunggingkan senyum kecil, meski sebenarnya aku sendiripun juga memiliki darah asing, pikir Tiffania. Angin nan lembut perlahan mengelus rambut emasnya.

Rambut di sekitar telinganya mulai mengalir.

Saat itulah, rambutnya tersibak dan menampakkan telinga yang panjang nan runcing.