Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4 Bab6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 6 - Arwah Air[edit]

Bukit dan gunung membayangi ombak Danau Ragdorian yang berwarna biru gelap, begitu mereka berayun. Penyinaran matahari pada danau disebarkan bagai selayar gelas yang berkilauan. Saito dkk tiba di danau menggunakan kuda. Karena Louise tak suka berkuda sendiri, dia dan Saito di kuda yang sama. Dia duduk di depan. Sepertinya dia tak mau menginggalkan sisi Saito meski sesaat. Montmorency dan Guiche sama-sama berkendara pada kuda abu-abu nan bagus secara terpisaj.

"Ini pasti Danau Ragdorian yang terkenal itu! Tidak, keindahan danau ini tak terlukiskan! Roh air ada disana! Aku terkesan! HO-HO-HO – YAHOO!" teriak Guiche sambil meccambuk kudanya dan membuatnya berlari menuruni bukit.

Tapi kudanya takut air dan saat ia mencapai tepian, ia berhenti dengan tiba-tiba. Mengikuti hukum Inersia, Guiche terlempar dari kuda dan dengan bantingan yang bergemuruh, jatuh dengan kepala di bawah kedalam danau.

"Tak bisa menjejak tanah! Ini dalam! Dalaaaaaaaam!"

Guiche dengan putus asa berteriak meminta tolong selama bergerak-gerak dalam air. Sepertinya Guiche tak tahu cara berenang.

"Sepertinya aku harus berpikir ulang soal hubungan kita ya?" gumam Montmorency.

"Itu sangat baik sekali." angguk Saito.

Louise menatap Saito dengan wajah khawatir. "Montmorency baik?'

"Aku t-tak bermaksud begit-tu. Tunggulah. Aku akan mengembalikanmu pada diri asalmu."

Saito membawa kudanya mendekat ke tepian. Guiche, setelah usaha yang sekian lama, gemetaran dan kebasahan dari kepala hingga ujung jari kaki begitu dia mencapai tepian. Dia berwajah nanar.

"Hei Hei, bukankah seharusnya kau menolongku? Jangan meninggalkan seseorang yang tak bisa berenang!"

Namun, Montmorency sama sekali tak memedulikan Guiche dan malah memandangi danau dengan curiga.

"Ada apa/" tanya Saito.

"Aneh."

"Apanya yang aneh?"

"Tinggi air naik. Tepian Ragdorian mestinya agak jauh diatas sana."

"Benarkah?'

"Ya. Lihat disana. Ada atap menyembul. Sepertinya desa itu kebanjiran."

Mengikuti mata Montmorency, memang mereka bisa melihat atap tersebut. Saito bahkan bisa menyadari bayangan hitam rumah yang terendam permukaan air. Montmorency berjalan menuju tepian, mencemplungkan jarinya kedalam air dan menutup matanya.

"Sepertinya Roh air marah."

"Bagaimana kau tahu itu?'

"Karena aku pengguna elemen air, Monmorency si Wangi. Keluarga Kerajaan Tristain telah berhubungan dnengan Roh Air danau Ragdorian berdasarkan sebuah sumpah kuno. Keluarga "Air" Montmorency telah bernegoisiasi dengannya selama sekian generasi."

"Dan kini?"

"Kini, untuk berbagai alasan, ningrat lainnya yang melakukan itu."

"Lalu, apa kau pernah melihat roh air itu?"

"Hanya sekali saat masih kecil duku. Saat kami perlu drainase untuk tanah kami, keluarga kami meminta bantuan roh air. Sebuah wadah gelas besar dibuat untuk memindahkannya. Namun, karena harga diri roh air sangat tinggi, ia bisa sangat-sangat aredif. Faktanya, adalah karena keagresifan mereka, skema drainase keluarga kami gagal. Ayahku bilang pada roh air 'Jangan berjalan, Lantainya jadi basah'..."

"Bagaimana penampakan roh air ini?" tanya Saitom penasaran dia.

"Sebenarnya aku tak pernah benar-benar melihatnya."

Guiche, yang mengibas-ngibaskan kemeja basahnya yang dikepas, mengangguk tanda setuju, Louise, yang sama sekali tak tertarik diskusi ini, bersembunyi dibelakang Saito dan tanpa sadar menggenggam erat ujung parkanya.

"Indah! begitulah...:

Tepar saat itu, seorang petani tua yang sendirian dan selama ini bersembunyi di bekalang pohon, melangkah keluar. "Sepertinya, kalian, adalah bangsawan."

Seorang petani berusia pertengahan menengadah dengan wajah malu.

"Ada apa?" tanya Montmorency.

"Tuan-tuan, apa kalian datang untuk bernegosiasi dengan Roh Air? Jika ya, maka kami terselamatkan! Kami mohon, cepatlah bersepakat dan selesaikan masalah banjir ini."

Mereka saling memandang. Sepertinya petani ini seorang penduduk desa yang ditenggelamkan kedakam danau.

"Itu, yah, kami... kami hanya datang kesini untuk melihat-kihat danau."

Sudah pasti, Montmorency ta bisa mengatakan bahwa mereka datang untuk medapatkan air mata Roh Air.

"Oh, begitu...Memang sih, para tuan tanah dan sang ratu hanya tertarik dengan perang melawan Albion, tak memedulikan desa terpenxil seperti milik kami. Mereka bahkan tak bisa membayangkan bagaimana susahnya memanen..."

"Haa," desah si petani dalam-dalam.

"Memangnya apa yang terjadi pada Danau Ragdorian?"

"Air mulai naik sekitar 2 tahun lalu. Permukaan naik perlahan, pertama-tama membanjiri pelabuhan, lalu kuil dan ladang...Lihat kan? Sekarang, bahkan sarang para elang dibanjiri. Para tuan tanah setempat yang bertanggung jawab pada daerah ini menceburkan diri dalam kesenangan urusan kerajaan dan tak memerhatikan permohonan kami."

“Yoyoyo,” isak si petani tua nanar.

"Sekama bertahun-tahun hidup kami di tanah ini, kami bergantung pada suasana hati Roh Air. Jujur saja, adalah bagus sekali jika ia tinggal di dasar danau...Kami benar-benar ingin mengerti mengapa tiba-tiba ia tertarik dengan tanah ami. Karena tanah ini milik manusia! Tapi, hanya seorang ningrat yang bisa berbicara dengannya. Aku ingin tahu apa yang kami, para petani yang menderita ini, lakukan sehingga membuatnya kehilangan kontrol."

Saito dan yang lainnya menunduk malu. ____________________

Setelah si petani selesai menggerutu dan pergi, Montmorency mengeluarkan sesuatu dari tas yang diikatkan ke pinggangnya, sebuah katak mungil. Warnanya kuning terang dengan banyak bintik hitam. Montorency lalu menaruhnya di telapak tangannya, ia menengadah dan menatap pada Monmon dengan pandangan heran.

"Katak!"

Louise, yang takut akan katak, berteriak dan mendekati Saito.

"Ada apa dengan katak berwarna yang beracun ini?"

"Kubilang padamu, Ia tak beracun! Ia familiarku tercinta!"

Jelaslah bahwa katak mungil ini adalah familair Montmorency. Montmorency mengangkat jarinya, dan memerintahkan pada familairnya. "Dengarkan Robin, aku ingin kau menghubungi seorang teman lamamu."

Kemudian Montmorency merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah jarum, dalam sekejap dia menusukkannya ke jarinya, membuat darah merah seterang sebuah rubi mengucur. Membalikkan jarinya, dia membiarkan setetes jatuh pada kataknya. Setelah itu, Montmorency melantunkan sebuah mantra, menyembuhkan luka di ujung jarinya, Kemudian dia mendekatkan lagi si katak.

"karena dia tahu siapa aku, dia seharusnya tahu kau siapa. Tolonglah Robin, demi nama roh-roh besar dari yang meninggal, cari Roh Air tua, dan bilang padanya aku berharap berbicara dengannya karena aliansi kita. Lakukan itu untukku, mengerti?"

Si katak mengangguk pelan dan menghilang kedalam air dengan sebuah plas.

"Kini, Robin pergi untuk memanggil Roh Air, Jika dia bisa menemukannya, sepertinya dia bakal membawanya kesini."

Saito terlihat meragukannya. "Saat-saat begini, kita harus menceritakannya sebuah cerita menyedihkan, tapi aku membayangkan apa itu bisa ya? Mungkin cerita yang aku tahu soal seorang tuan dan seekor anjing bisa menjelaskannya. Tapi, itu sangat tua, aku membayangkan apa ini bakal cocok dengan orang-orang ini..."

"Cerita menyedihkan? Apaan sih yang kau katakan?"

Karena kita perlu airmata dari Roh Air. Bagaimana cara kita mendapatkannya bila kita tak membuatnya menangis?"

"Kau benar-benar Tak tahu apa-apa. Yah, sepertinya karena bahkan penyihir elemen bukan air juga tak tahu, jadi mustahilberharap seorang jelata sepertimu tahu, Airmata Roh Air hanyalah sebuah sebutan. Ia tak benar-benar menangis."

Saito dan Guiche saling memandang. Louise yang kesepia tanpa perhatian Saito, "Sok-sok" menggosokkan pipinya pada punggung Saito. Ini benar-benar aneh! Meski seseorang bisa mati dari seorang Louise yang begitu manis, yang dipedulikannya kini hanyalah cerita Montmorency.

"Lalu, apa sih airmata Roh Air itu?" tanya Guiche.

"Sang Roh Air...dibandingakan dengan rentang hidup manusia, ia bisa hidup selama waktu yang sangat, sangat lama. Katanya ia sudha ada sejak 6.000 tahun yang lalu, saat Brimir sang Pendiri mendirikan Halkegenia. Tubuhnya, seperti juga air, dapat berubah bentuk...dan diterangi sinar matahari, ia berkilauan dnegan tujuh warna..."

Tepat saat Montmorency mengatakan ini, permukaan air mulai bercahaya...Sang Roh Air muncul. _________________________________

30 meter dari tepain dimana Saito dkk berdiri, permukaan air bersinar. Permukaan air mulai beriak tiada henti. Kemudian air mengembang bagai kue yang diragi. Saito menonton itu semua dengan wajah kosong saking terkejutnya. Airnya terus berubah bentuk sehingga tiada yang bisa melihat tangannya. Ia terlihat bagai amoeba raksasa. Meski cahaya yang berwarna-warni indah...itu membuat mereka tak nyaman.

Si Katak familiar Montmorency, meloncat balik ke tuannya dnegan sebuah plas. Montmorency mengulurkan telapak tangannya dan menangkap si katak. Dia menepuk kepala kataknya dengan jarinya. "Terima kasih kau membantu membawanya kesini."

Kemudian Montmorency bangkit, mengembangkan tangannya pada Roh Air, dan membuka mulutnya. "Saya adalah Montmorency Margarita La Fère de Montmorency. Pengguna air, anggota dari keturunan pengemban sumpah kuno. Saya telah menempatkan darah pada katak itu untuk membantumu mengingatnya. Jika anda mengingatnya, jawablah dengan cara dan kalimat yang kami mengerti."

Roh air...naik dari permukaan air...perlahan mulai membentuk sosok tanah liat. Mata Saito terbelabak saking terkejutnya menonton ini semua. Massa air perlahan membentuk dirinya jadi bentuk Montmorency dan tersenyum tipis. Namun, ia lebih besar dan tak berpakaian. Ia terlihat bagaikan Montmorency yang transparan dan telanjang. Seperti patung es saja.

Ekspresi Roh Air berubah dalam kedalam berbagai bentuk. Setelah senyum, marah mengikuti, lalu - wajah menangis. Tiap kali dia mencoba sebuah ekspresi baru, bentuk wajah dari air itu bergerak. Memang dia terlihat indah. Bagaikan permata yang selalu berubah.

Kemudian wajahnya jadi dingin kembali begitu sang Roh Air menjawab pertanyaan Montmorency. "Saya ingat, manusia nan rendah. Saya ingat cairan yang mengaliri tubuhmu. Bulan telah berganti 52 kali sejak pertemuan terakhir kita."

"Saya bahagia, Roh Air, Saya perlu meminta sesuatu pada anda. Meski ini sepertinya tak sopan, bisakah anda memberikan saya sebagian kecil dari tubuhmu?"

Sebagian tubuhnya? Saito membayangkannya. Apa itu? Saat dia mencolek Monmorency, Montmorency berbalik dan merasa terganggu.

"Meski itu airmata, adalah mustahil membuat roh abadi menangis. Mereka...berbeda dnegan kita. Aku bahkan tak tahu apa mereka bisa disebut makhluk hidup. Bagaimanapaun jua, airmata Roh Air adalah sebuah bagian dari tubuhnya."

"Jadi kita harus memotong tubuhnya?!" teriak saito terkejut.

"Shh! Jangan keras-keras! Toh Air bisa menjadi sangat pemarah! Itulah mengapa mendekati mustahil untuk mendapatkan airmatanya. Bagaimana orang-orang di pasar gelap kota bisa mendapatkannya...aku benar-benar tak bisa membayangkannya."

Sang Roh Air tersenyum

"Oh, ia tersenyum! Pasti dia setuju!"

Tapi, kata-kata yang datang dari mulutnya...mungkin karena ia masih tak mengerti cara berbicara yang benar, benar-benar bertolak belakang. "Aku menolak, manusia nan rendah."

"Begitukah? Tak beruntunglah kami. Yah, Kami akan kembali sekarang."

Saito terkejut atas bagaimana mudahnya Montmorency menyerah. 'Hei Hei! Tunggu sebentar! Jangan menyerah atas Louise begitu saja! Hei, Roh Air!"

Saito mendorong Montmorency kesisi dan menghadap sang Roh Air.

"Tunggu! Kau! Hentikan! Jangan membuat Roh Air marah!"

Montmorentcy mencoba mendorong Saito kesamping, tapi Saiyo bahkan tak bergeming. Guiche menundukkan kepalanya membayangkan apa yang akan terjadi. Louise dengan diam-diam mendekati Saito. Melihat pemandangan seperti itu, sulit dibilang siapa yang merupakan familiar diantara mereka.

"Roh Ait nan Agung! Kumohon! Aku akan lakukan apapun untuk meminta airmatamu! Secuplik! Hanya secuplik!"

Roh air berbentuk Montmorency tak menjawab Saito sama sekali, yang bersujud.

"Kumohon! Orang paling penting bagiku kini dalam masalah! Bukankah kau juga punya seseorang yang penting bagimu? Orang yang penting bagiku kini tengah membutuhkan pertolongan...dan untuk itu, sebagian tubuhmu diperlukan! Karenanya, kumohon! Lihatlah!"

Mendengar ini, Montmorency berhenti mencoba menarik Saito menjauh dan mendesah dalam-dalam. Guiche, yang begitu tersentuh hingga berurai airmata, mengangguk. Louise, yang merasa tak aman, terus memegangi Saito.

Sang Roh Air merubah penampilannya beberapa kali sebelum mengambil bentuk Montmorency lagi, dan berkata pada Saito, "Baiklah."

"Yay! Benarkah?"

"Tapi dengan satu syarat. Sebagai manusia rendahan yang tak tahu alasan dunia ini, kau berkata kau akan lakukan apapun?"

"Ya! Itulah yang kukatakan!"

"Maka hentikanlah mereka yang menyerangku, kawan-kawanmu."

Mereka saling memandang. "Menghentikan?"

"Ya, aku telah meninggikan permukaan air sejauh yang kubisa. Aku tak mempunyai tenaga lagi untuk melawan mereka. Jika kalian bisa menang melawan mereka. Aku akan menganugrahi kalian dengan airmataku."

"Tidak, aku benci perkelahian."

Saito menaruh tangannya di bahu Montmorency dan menepuknya. "Kau lebih ingin memakan makanan penjara?"

Sekali lagi, Saito mengamcam Montmorency soal ramuan terlarang dan dia, seperti hari sebeumnya, tak bsa apa-apa dan menurut.

"Aku sudah tahu itu! Aku akan melakukannya!"

Jadi, diputuskan bahwa mereka perlu mencari tahu jatidiri orang-orang yang menyerang Roh Air. _________________________________________________

Tempat dimana Roh Air hidup adalah di dasar terdalam danau. Seseorang, dengan menggunkan sihir, menyerangnya pada tengah malam. Saito dkk bersembunyi dalam bayang-bayang pepohonan di tepian bagian Gallia - sebuah tempat yang ditunjukkan Roh Air pada mereka - dan menunggu diam-diam kedatangan para penyerang.

Guiche, untuk menyenangkan dirinya sebelum pertarungan. menyeruput anggur yang dibawa Saito. Saat seluruh ketegangannya pergi dan da mulai menyenyi, Saito mendorong kepalanya kesamping. Hati Louise dalam keadaan luar biasa buruk karena Saito hanya berbicara dengan Montmorency.

Mengapa dia lebih sayang pada Montmorency daripada aku, apa dia mencintainya, atau mungkin dia membenciku, Waah waah - dia menangis marah, dan dengan raungannya seperti itu, Saito harus mencium pipinya berkali-kali untuk menenangkannya dan menidurkannya. Karena itu, kini dia tengah terlelap tenang disisinya, bernapas lembut dengan sebuah selimut membungkusnya. Sepertinya siapapun bakal seperti itu jika sebuah ramuan membuat mereka jatuh cinta gila.

"Orang-orang yang menyerang Roh Air pergi ke dasar danau. Bagaimana mereka bisa bernapas dibawah permukaan air?" tanya Saito pada Montmorency.

Montmorency berpikir sejenak. "Mungkin mereka pengguna elemen air? Menggunakan gelembung udara disekitar pngguna, takkan sulit ke dasar danau. Di waktu yang sama, bahkan jika kau menggunakan sihir air dan bisa bernapas dibawah permukaan air, menyentuh air secara langsung sama dengan bunuh diri karena Roh Air yang mengendalikannya disini. Jadi mungkin ia penyihir elemen udara, sehingga mereka bisa tak menyentuh air sama sekali."

Menurut Roh Air, dia diserang tiap malam secara terus-terusan, sehingga beberapa bagian tubuhnya tercabik.

"Tapi bagaimana seseorang bisa melukainya dan tetap dapat melenggang tanpa diketahui?"

"Gerakan Roh Air lambat...Lagipula, bila kau memisahkannya dengan sumber airnya, sihirnya akan perlahan habis. Sebuah nyala api yang kuat bakal membuanya menguap perlahan-lahan. Akan menjadi mustahil untuk menjadi cairan kembali begitu dirubah menjadi gas."

"Mustahil untuk kembali?"

"Jiwa Roh Air bagaikan sebuah gumpalan. Meski dicabik-cabik hinga menjadi serpihan, ia bisa menyambung kembali jadi satu, asalkan ia memiliki seluruh bagiannya. Ia makhluk yang sangat rumit dibandingkan dengan kita."

"Hmm..." Saito mengangguk

"Dan karena para penyerangnya tak menyentuh air, Roh Ait tak bisa menyentuh mereka."

"Jadi ia tak begitu kuat ternyata."


"Benar-benar deh...Kau tak tahu seberapa menakutkannya Roh Air...Bila untuk sesaat saja kau kehilangan fokus dan gelembung menghilang dan air masuk untuk terhubung denganmu -- maka hasilnya mengerikan. Air mengendalikan hidup makhluk air. Jika kau kehilangan perlindungan gelembung, maka kau akan memasuki wilayah Roh Air dimana menantangnya adalah sesuatu yang bahkan seharusnya tak dilakukan, bahkan oleh iblis terhebat sekalipun."

Saito mendesah. Benar-benar, Halkegenia diisi makhluk-makhluk yang tak bisa dia bayangkan sebelumnya, Dua bulan tengah bersinar, tinggi nun jauh di langit, Kini tengah malam. Saito menutup mulutnya dan dengan satu tangan meraih Derflinger, yang tergantung di punggungnya, mendekat. Montmorency, yang ketakutan oleh ketegangan yang tba-tiba, bergumam denagn suara bergetar. "Bagiamanapun, karena aku benci perkelahian, aku menyerahkan semuanya padamu."

"Jangan khawatir Montmorency, aku disini. Aku akan dengan berani melindungi sang gadis dari peperangan dan menghukum si jahat."

Guiche, yang jelas-jelas minum anggur terlalu banyak, mulai bersender pada Montmorency.

"Dengarkan, pergi tidur sajalah kau. Kau penuh bau alkohol."

"Guiche, jadi umpan."

Guiche mengangguk dengan wajah merahnya.

Saito mengambil napas dalam-dalam. Intuisi petarung yang dia peroleh dari banyak pertarungan yang dilaluinya kini mengatakan padanya seseorang ada di dekatnya. Mulutnya dipenuhi air liur. Musuhku mereka? Tapi, semuanya bakal baik-baik saja. Aku adalah Gandálfr yang legendaris. Aku seharusnya bisa menghajar para penyihir. Apa sih susahnya dibandingkan dengan para ksatria naga yang menyerangku sebelumnya?

Tak sadar diri, Saito menjadi terlalu pede. Dia menerawangi wjaha Louise yang tengah terlelap. Tunggulah, aku pasti membawamu kembali -- gumamnya pelan. ______________________________________________

Sejam telah berlalu sejak saat itu. Bayangan muncul di tepian. Dua irang, Karena sosok-sosok tersebut memakai junah hitam pekat bertudung, sulit ditebak apa mereka pria atau wanita. Saito mencengkram pegangan Derflinger. Tanda di tengan kirinya mulai bersinar, Namun, dia belum meninggalkan titik persembunyiannya. Dia masih belum bisa memutuskan apa mereka yang menyerang roh air apa bukan.

Tapi, pasangan itu mengeluarkan tongkat mereka sambil berdiri di tepian. Sepertinya mereka mulai melantunkan mantra. Merasa yakin bahwa kini tiada kesalahan, Saito bangkit dari perlindungan pepohonan dan bergerak menuju keduanya. Dua orang seharusnya bakal jadi pertarungan yang mudah. Karena aku telah...mengalahkan Wardes dan setan Orc yang 10x lebih besar, dan ini hanya sepasang orang. Hei, mereka bahkan tak melihat ke arahku. Kemenangan yang mudah, pasti menang ini, aku bisa mengalahkan mereka dalam sehembus angin.

Saito menyembunyikan dirinya dibelakang pohon disamping pasangan tersebut. Melihatnya berjingkok, Guiche mulai melantunkan mantranya. Tanah dimana pasangantersebut berdiri tiba-tiba naik dan menjadi tentakel bagaikan tangan yang mncengkram kaki para penyerang....hening...Saito keluar dan menyerbu dari bayang-bayang pohon. Jarak ke para penyihir sekitar 30 meter. Saito, menunjukkan kekuatan Gandálfr, menolkan jarak dalam 3 detik kurang.

Tapi, reaksi musuh sangat cepat, Para penyerang mulai melantunkan mantra di saat yang sama dengan naiknya tanah. Api terbang dari ujung tongkat, membakar tanah yang mencengkram kaki pasnagn tersebut. Bayangan yang lebih kecil bertindak lebih mengejutkan. Daripada melepaskan mantranya pada Guiche, dia mengarahkannya pada Saito, yang tak siap untuk ini.

Tubuh itu berbalik dengan cepat. dan tongkatnya diayunkan. Tepat seperti dalam pertarungan dengan Wardes sebelumnya, sebuah palu udara menghantam tubuh Saito. Saito, yang tak menduga serangan semacam ini, terkena di bagain depan dan dengan mudah diterbangkan. Dalam sekejap, sebuah panah es mengikuti. Saito membalikkan badan dan menghindarinya dengan meloncat, tapi penyihir yang tinggi menembakkan sebuah bola api besar padanya. Meski Saito juga mencoba menghindarinya, arahnya akurat bagaikan gerakan Saito sudah diantisipasi sebelumnya.

"Rekan! Angkat aku!" teriak Derflinger.

Saito buru-buru menahan bola api dengan pedangnya, namun meski ia diserap kedalam pedang, ia meledak, menyebarkan pecahan api. Saito nampak terpana dan terhenti. Meski dia dengan sekerasnya berusaha menyingkirkan rqasa nyeri, matanya masih sakit. percikan masuk matanya, Saito menjadi ragu-ragu. Sial! Tongkat mereka.

Dia mengurangi kewaspadaannya

karena mengira musuh akan fokus pada Guiche, Tapi musuh sudah berpengalaman dalam pertarungan dan mengantisipasi sebuah serangan dari arah yang berbeda

, tak terkejut sedikitpun.

Terlebih lagi, mereka bekerjasama dengan baik. saat yang lain menyiapkan mantra, yang lain melepasnya. Meski ini taktik sederhana, hasilnya mangkus. Bagaimanapun, tiada celah. Angin yang meraung melepas pedang dari genggaman Saito yang terpana. Tubuhnya jadi terasa berat. Di sudut matanya, dia dapat melihat bola api besar lainnya tengah mendekat. saito menyerah. Kepercayaan dirinya yang berlebihan telah enyah begitu cepat.

Aah, aku ternyata seorang amatiran. Kekuatan Gandálfr memberikanku kepercayaan diri lebih dari kemampuanku yang sebenarnya. Menyerang langsung tak bekerja pada semua lawan! aah, Louise, maaf! Louise!

Tapi, dewi fortuna tak meninggalkan Saito, meski pada saat ini sekalipun. Di saat bola api menghantam saito, daerah di hadapannya meledaj. Bola api dan Saito diterbangkan. Sihir ini adalah 'Void' Louise!

"Jangan menyakiti Saitooo!"

Jeritan Louise bergema sepanjang malam. Ini hampir membuat Saito menangis. Louise menolongku. Meski dia terlelap...tapi dia mungkin terbangun oleh semua keributan ini. Louise menunggu serangan, tapi penjagaan mereka telah turun. Karenanya, kini dia bisa memulihkan diri. Entah bagaimana, saito memaksa membuka mata kanannya dan mengambil Derflinger.

Tapi sebelum dia menyerbu dan menyerang lagi...Pasangan itu berhenti bergerak. Teriakan Louise membuat mereka menyadari sesuatu. Kedua bayangan itu saling memandang....dan membuka tudung mereka. Wajah yang nampak oleh cahaya rembulan adalah...

“Kirche! Tabitha!” teriak Guiche keras.

Merasa lega, Saito yang kelelahan berlutut di tanah.

"Kau? Kenapa, sayang?!"

Terkejut, Kirche juga berteriak.