Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4 Bab4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 4 - Rahasia Tabitha[edit]

Beberapa hari sebelumnya, di ujung pagi hari Louise mengejar Saito kemana-mana. Kirche dan Tabitha duduk di kereta yang ditarik kuda. Mereka telah menjelajah dari tenggara, dari akademi sihir. Kirche menarik keluar kepalanya dari jendela dan berteriak. "Tabitha! Lihat ini! Sapi! Banyak lho! Lihat! Ada banyak sekali!"

Rancah berada dikedua sisi jalan dan sapi-sapi tengah merumput.

"Mereka merumput! Moo, Moomoo!"

Tapi Tabitha tak bereaksi. Dia terus membaca bukunya sebagaimana biasa. Merasa bosan, Kirche melemaskan lengannya keluar.

"Hei, Tabitha. Ini perjalanan pulang yang sudah lama ditunggu kan? bukankah kau seharusnya lebih senang?"

Karena Louise dan Saito tak ada karena dipanggil ke Istana Kerajaan, saat dia mendatangi kamar Tabitha untuk bermain, dia terkejut menemukan Tabitha mengemas barang-barangnya,

"Apa kau hendak melakukan perjalanan?" tanya Kirche padanya.

Tabitha menjawab bahwa dia hrus pulang untuk melihat ibunya, Meski Tabitha dingin sebagaimana biasanya, Kirche merasakan ada yang beda dalam suaranya. Jadi Kirche dan Tabitha berangkat bersama. KArena keluarga Tabitha mengirimkan sebuah kereta, mereka tak perlu menggunakan naga anginnya. Ia berputar-putar diatas mereka di langit selama pejalanan sambil membawa Salamander Kirche di punggungnya.

"Karena sekolah telah memberikan izin resmi untuk kepergian kita, ia takkan dihitung sebagai absen dan kita tak perlu khawatir soal membersihkan menara sebaagi hukuman."

Tabitha terus melihat bukunya tanpa menjawab. Aku telah menjadi temannya selama lebih dari 3 tahun, dan aku tetap tak tahu apa yang dipikirkannya.

Kirche memutuskan untuk mencoba dan memulai pembicaraan yang berbeda. "Ini kali pertama aku mempelajari bahwa ibu pertiwimu bukan Tristain, melainkan Gallia. Kaus eorang murid pindahan?"

Mereka sebentar lagi melewati perbatasan, Kirche sudah meminta Kepsek Osman untuk menandatangani dan menyediakan dokumen-dokumen untuk keamanan pelewatannya. Kirche punya rasa samar-samar bahwa nama Tabitha adalah psudonym...Tapi dia tak pernah menanyakannya soal asal namanya. Tabitha. Ia sebenarnya nama yang cukup biasa. Bahkan jelata akan memakai nama yang lebih baik. Ia semacam nama yang bisa diberikan pada kucing. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa Tabitha mungkin menyembunyikan perihalbahwa dia berasal dari keluarga aristokrat terhormat Tristain, tapi dia salah, dia sebenarnua berasal dari bangsawan Kerajaan kuno Gallia yang berbatasan dengan Germania.

Tanah Halkegenia dikelilingi lautan dan punya busuran yang lemah, menciptakan semenanjung raksasa. Hanya orang-orang asli tanah ini tahu kata-kata untuk menggambarkannya, Gallia berada di tenggara dan Germania, di timur laut. Tristain berada diantara keduanya dan ukurannya sama dengan Belanda+belgia di dunia saito. Luas wilayah kedua negara ini sektar 10x Tristain. Penduduk Tristain memanggil ibu pertiwi mereka 'negeri kecil' dalam mempermainkan diri sendiri. Di semenanjung kecil di selatan yang menghadap laut, Negara-negara seperti Germania harus berperang untuk penguasaan lokal. Romalia sang negeri relijius terlibat dalam perang untuk penguasaan; kantor paus mengadvokasi kepercayaan tentang Brimir sang Pendiri dan para Tuhan. Kebetulan Kardinal Mazarini berasal dari Romalia.Terus-terusan melayang diataslautan dan tanah utama Halkegenia adalah benua melayang Albion. Bila mau ikut aturan, Albion bukanlah bagian dari Tanah utama Halkegenia.

Kirche berbalik untuk menanyai Tabitha, "Mengapa kau belajar di sebrang?"

Namun, Tabitha tak menjawab perkataan Kirche. Dia terus duduk dan membaca bukunya sebagaimana sebelumnya. Kemudian Kirche tiba-tiba menyadari sesuatu. Halaman di bukunya tak pernah berubah, ia sama seperti sebelumnya. Selama ini, Tabitha terus memandangi halaman yang sama. Kirche memutuskan untuk tak bertanya lagi. Apapun alasannya untuk belajar sebrang atau kembali pulang, dia akan menunggu hingga Tabitha bilang soal itu sendiri. Dia mengerti bahwa pada saat itu, saat Tabitha mengemas barang-barangnya, dia dikelilingi suasana yang berbeda.

Meski umur mereka berbeda, mereka berteman, dan tak hanya karena sekolah mereka sama. Meski berteman, ada hal-hal yang kedua sisi tak dpat dipaksakan untuk membicarakannya. Tabitha yang tak buka mulut sering-sering. Kirche perhatian sebagai seorang senior. Keduanya punya alasan masing-masing untuk melewati perbatasan dan pergi ke Tristain. Sambil meneruskan berjalan. Kirche teringat pada berbagao situasi politik berbagai negeri. Meski dia tak tertarik politik. Namun dengan isu-isu perang yang beterbangan di sekelilingm dia tak bisa tidak tapi mengira-ngira dengan pikirannya.

Gallia tetap netral dan terus diam soal penyerbuan Tristain oleh Albion. Meski ancaman dpat terasa dari perubahan politik di Albion dan pemerintahan baru mereka. Sebuah proposal aliansi dibuat oleh Tristain, tapi ditolak. Hampir pasti mereka akan mempertahankan netralitas mereka selama wilayah mereka aman. Ada isu yang masuk kupingnya soal Gallia yang membakar krisis dalam negeri ini. Dengan seluruh masalah internal dan eksternal ini, bukan perkara mudah untuk membayangkan pening yang diahadapi para politikus. Dia terus menemani Tabitha ke Kerajaan Gallia. Meski mereka datang sebagai turis, Kirche punya firasat kuat sesuatu yang salah tengah berlangsung. Saat dia memikirkan ini, dia dengan kosong mengeluarkan kepalanya dari kereta.

Sebaris penduduk desa muncul muncul jauh didepan kereta. Perhatian Kriche tertuju pada barisan yang terdiri dari kurdang dari 10 penduduk desa. Semuanya memakai jubah bertudung yang menutupi wajahnya. Kirche menyadari bahwa mereka semua membawa tongkat sihir. Kalau dilihat lebih seksama, bentuk tongkat mereka sepertinya menunjukkan mereka adalah tentara. Karena kini perang berkobar, hal semacam itu tak asing.

Kuda terus melaju. Melalui celah tudung jubah, dia dapat melihata wajah salah satu ningrat. Itu mata seorang pemuda yang sangat tampan. Dia menyenderkan kepalanya pada lengannya dan mendesah. "Seorang ganteng, di tempatku berada."

Setelah itu dia tiaba-tiba menyadarinya. Kupikir akau tahu dia. "Diamana aku melihatnya ya...siapa ya..."

Dia memandanginya saat dia masih terlihat, panas tubuhnya naik lalu mendingin. Aantusiasmenya segera pergi saat dia tak lagi bisa melihatnya, pria itu segera terlupakan. Kirche maju dan memandangi Tabitha. Mata biru intannya yang disembunyikan dibelakang kacamatanya memandang ke bawah pada halaman buku yang sama. Sambil dengan lembut menaruh tangannya di abahu Tabaitha, dia aberkata dengan suara bersemangatanya yang biasa. "tak apa-apa. Apapun yang terjadi, aku akan bersamamu."

Jadi, mereka terus melanjutkan perjalanan selama 2 hari hingga mereka mencapai gerbang. Di titik pemeriksaan tapal batas, para penajaga membaca dokumen mereka dan menyilahkan mereka masuk. Ini Gallia. Bahasa dan tradisi Gallia serta Tristain miripsatu sama lain. Mereka juga dikenal sebagai "Mahkota kembar". Saat mereka tiba adi persimpangan perbatasan, para penjaga menghampiri dan meminta bukti perjalanan. Sambil memegang tombak besar, merekaa membuka pintu dan mengonfirmasi izin wisata Tabaitha dan Kirche.

Dia melihatnya dan berkata dengan enggan. "Jalan didepan tak dapat digunakan lagi, kau harus memutar."

"Mengapa, apa yang sedang terjadi?"

"Karena kini, danau meluap dan beberapa jalan sudah penuh kebanjiran."

Danau Ragdorian merupakan danau abesar yang terbentang disepanjang perbatasan Gallia dan Tristain. Ia tempat dengan apemandangan terindah di Halkegenia dan punya reputasia besar. Setelah maju sebentar dia jalan itu, mereka akhirnya amencapai daerah terbuka. Jalannya terletak di ujung sejumlah kecil bukit rendahm dan pembukaan di ketinggian terpisah dari Danau Ragdorian. Di seberang pesisir danau adalah Tristain. Sebagaimana yang dikatakan penjaga, permukaan air danau dipastaikan telah naik. Tanpa melihat batas danau pun, mereka bisa menyaksikan air sudah mencapai bukit-bukit terdekat. Bunga dan rumput yang terendam air dapat terlihat. Tabitha menutup bukunya dan memandang keluar jendela.

'Apa rumahmu dekat sini?"

"Bentar lagi."

Ini pertama kalinya Tabitha buka mulut sejak mereka naik kereta, Tapi dia diam lagi. Berganti ke jalan pegunungan, kereta kuda terus maju menuju rumah keluarga Tabitah. Mereka memasuki hutan dan mencapai tempat dimana pepohonan oak besar tumbuh. Petani-petani tengah beristirahat di bawah naungan bayanga-bayang, Kirche menyadari seorang petani dengan sekeranjang apel dan menghentikan laju kereta, Kemudian dia berteriak memanggil petani tersebut. "Itu sepertinya apel-apel yang lezat, berapa kau jual padaku?"

Petani itu mengambil sebuah apel dari keranjang dan menyerahkannya pada Kirche untuk ditukar beberapa koin perunggu.

"Ini cukup untuk membeli seisi keranjang!"

"Dua cukup!"

Kirche menggigit apel begitu petani tersebut menyerahkan apel kedua padanya. Kirche dengan cepat memberikannya pada Tabitha. Dia terus mengatakan. "Apel ini sangat enak. Apa nama daerah ini?"

"Daerah disekitar Ragdoriam merupakan area kendali langsung."

"Apa? Area kendali langsung?"

Area yang langsung dipegang dan diatur raja.

"Tanah ini dibawah penguasaan langsung Paduka, dan kami kini merupakan vassalnya." kata petani tersebut sambil tersenyum.

Tanah itu sangat subur dan bagaikan keluar dari lukisan dengan keindahan ala gambar. Mengapa raja menginginkan tanah ini dapat dimengerti. Kirche memandangi Tabitha. "Area ini dikuasai keluargamu...apa kau..."

Setelah sekitar 10 menit, akhirnya mereka bisa melihat rumah Tabitha didepan. Ia berupa mansion Tuan tanah feodal nan kuno, yang dibangundengan penuh agung. Kirche memandangi ukiran sabit yang dapat dilihat di gerabng. Napasnya tertahan. Tanda itu berupa dua tongkat sihir yang bersilangan dan tertulis "untuk maju". Ini adalah crest Keluarga kerajaan Gallia. namun, saat mereka mendekat, sebuah celah dapat terlihat pada crest itu. Itu tanda cela. Meski itu berarti ini adalah keluarga kerajaan, mereka dicabuti haknya. Kereta berhenti didepan pagar, dan seorang pelayan tua menghampiri mereka, membungkuk, lalu membuka pintu untuk Tabitha untuk bisa keluar.

"Nona, selamat kembali."

Tiada orang lain yang datang dan ini membuat Kirche merasa daerah ini ditinggalkan. Dia turun dari kereta sambil memikirkan ini. Tabitha dan Kirche tiba di ruang tengah dengan bimbingan pelayan tua itu. Ruangan itus angat rapih, namun, kebisuannya aneh, hampir tampak tak beruh. Ia bagai kuil yang bersiap untuk pemakaman. Kirche duduk di sofa ruangan tengah dan berkata. "Bisakah kita pertama-tama mengatakan spunten pada ayahmu?"

Namun Tabitha menggelengkan kepalanya. "Tunggu disini."

Dia lalu meninggalkan ruang tengah. Kirche duduk di sofa dan memandang ke kanan begitu pelayan tua itu mendekat dengan anggur dan suguhan dan menyiapkannya untuk Kirche. Tapi dia tak menyentuhnya dan malah bertanya langsung pada pelayan tua itu. ;ini ruahnya, tapim sepertinya, kecuali engkau, tiada lagi yang tinggal disini."

"Aku butler keluarga Orléans, Percerin. Apa kau sahabat Nona Charlotte?"

Kirche mengangguk. Charlotte d'Orléans sepertinya merupakan nama asli Tabitha. Orléans, Orléans, dia terus memikirkan nama itu, kemudian tiba-tiba dia memikirkan sesuatu. Orléans, bukankah itu nama keluarga adik Raja Gallia?

"Mengapa ada tanda cela di crest rumah ini?"

"Sepertinya kau seorang asing, mohon ampuni aku, apa aku bisa menanyakan namamu?"

"Saya Von Zerbst dari Germania. ngomong-ngomong, ada apa dengan rumah ini? MengapaTabitha belajar di sebrang menggunakan nama alias? Mengapa saat dia masih kanak-kanak?"

Butler itu mendengarkan pertanyaan Kirche kemudian mendesah. " Nona menyebut dirinya Tabitha...Begitukah...dia tak pernahmembawa teman sebelumnya. Karena kau orang yang bisa dia membuka diri, sehrausnya tak masalah untuk menceritakannya padamu."

Setelah itu Percerin membungkuk dalam-dalam lalu melanjutkan pembicaraan. "Kediaman ini sebenarnya adalah penjara."


Tabitha mengetuk pintu kamar terdalam di kediaman itu. Tiada jawaban. Semuanya biasa saja. Dalam lima tahun ini, tiada yang pernah membuka pintu saat ia diketuk. Saat itu, tabitha baru 10 tahun. Tabitha membuka pintu. Keadaan didalam kamar berbeda dengan bagian mansion lainnya. Yang ada di kamar hanyalah sebuah tempat tidur, meja, dan sebuah kursi. Tiada yang lain, Hembusan sejuk mengalir masuk melalui jendela yang terbuka. Renda bergelombang saat ditiup angin. Sis ruangan tak terganggu selaan. Ada wanita tinggi dan kurus, memegangi erat sebuah boneka di tangannya. Apa yang tersisa dari wajah cantiknya kini hilang karena sebuah penyakit. Dia diantara 35-40 tahun, tapi terlihat seperti 20 tahun. Dia mengintip Tabitha dengan mata ketakutan bagaikan seorang anak kecil.

'Siapa?"

Tabitha membungkuk dalam-dalam sambil menghampiri wanita itu. "Aku telah kembali, ibu."

Namun, wanita itu tak mengakui Tabitha sebagai putrinya, Tak hanya itu, dia juga berbalik dari Tabitha dengan dingin dan berkata. "Enyahlah kau gadis murahan! Apa kau mata-mata dari keluarga kerajaan? Kau ingin merenggut putri cantikku Charlotte dari tanganku? Aku takkan pernah memberikan Charlotte padamu!"

Tabitah tak bereaksi dan tetap menundukkan kepalanya.

"Betapa buruknya untuk berpura-pura bahwa anak ini suatu hari ini akan menginginkan tahta...Aku sudah kenyang oleh hidup kotor istana! KAmi hanya ingin hidup tenang...Tinggalkan saja aku!"

Ibunya melempar gelas berisi air di meja pada Tabitha. Tabitha tak menghindarinya. Itu mengenai kepalanya dan jatuh ke lantai. Ibunya kembali menggosok-gosok wajah boneka. Sebagian wajah boneka terkuak dan menampakkan kapas dibawahnya, hampir pasti habis dari seluruh gosokan tangan ibu di masa lalu. Tabitha menampakkan sebuah senyum sedih, sebuah ekspresi yang hanya akan ditunjukkannya di kamar ini di hadapan ibunya.

"Suamimu telah dibunuh, itulah emngapa kau begini; bagaimanapun juga, aku akan meninggalkanmu sekarang, tapi aku akan kembali cepat ataupun lambat. Hingga hari itu, mohon berdoa untuk keselamatan boneka putrimu."

Angin bertiup mengalir masuk kamar melalui jendela-jendela yang terbuka, menggoyangkan tirai. Meski ini awal musim panas, angin yang bertiup dari danau terasa dingin nan menusuk.


"Seorang korban dari perang suksesi?" Saat Kirche menanyakan itu, Percerin mengangguk.

"Ya, kejadiannya 5 tahun lalu saat raja mangkat. Dia meninggalkan 2 putra mahkota. Yang kini bertahta adalah putra sulung, Joseph. Ayah Nona Charlotte, Duke Orleans. adalah putra kedua."

"Jadi dia memang berasal dari keluarga kerajaan."

"Duke Orleans berbakat dan dicintai semuanya, dia tampak sebagai penguasa yang pantas di mata rakyatm medki dia dia harus menghadapi kesulitan karena menjadi putra kedua. Karena ini, banyak orang mendukung sang Duke dan menginginkannya yang bertahta. Istana kemudian terbagi kedalm dua kelompok, keduanya meluncurkan usaha kotor untuk kekuatan. Akhirnya, Duke Orleans dibunuh. Dia kena panah beracun didadanya, Seseorang yang lebih terhormat dari siapapun di negeri ini dibunuh bukan oleh sihir, tapi panah beracun. Penyesalan dan amarah tak dapat dibayangkan. Namun tragedi masih lama berakhinya."

Percerin mengambil napas dalam-dalam dan melanjutkan. "Kemudain, mereka yang menjadikan Joseph raja mulai menyasar Nona. Mereka ingin mnyingkirkan kemungkinan masalah di masa depan. Orang-orang ini mendatangkan Madam dan Nona ke pesta yang diadakan mereka. Namun, mereka meracuni minuman nona. Madam telah menyadari ini, dan untuk melindungi Nona, dia sendiri yang meminumnya. Sebuah sihir yang merusak pikiran seseorang telah ditempatkan di air itu. Sejak itu, Madam menjadi gila."

Kirche, terkejut dan kehilangan kata-kata, mendengarkan pengakuan butler itu.

"Sejak itu, Nona menyegel mulut dan ekspresinya, Nona Charlotte asalnya ceria dan cerah, orang yang berbeda dengan saat ini. namun ini bisa dimengerti. Siapapun yang menyaksikan ibu mereka jadi gila akan jadi seperti itu.

Yang lainnya, mengetahui mereka telah gagal dan untuk melindungi mereka sendiri, mengirimkan perintah kerajaan pada Nona Charlotte, Tugasnya luarbiasa sulit, tiada yang pernah bisa menyelesaikannya hidup-hidup. Namun Nona menyelesaikan tugas dan menyatakan loyalitasnya pada keluarga kerajaan, untuk melindunginya. Tapi Nona Charlotte tetap diperlakukan semena-mena oleh keluarga kerajaan. Biasanya, prestasi ini cukup untuk mendapatkan sebuah daerah, tapi dia malah dihadiahi gelar Chevalier dan dipaksa belajar di sebrang. Madam tinggal disini, di rumah ini, dengan keadaan yang kini dia alami."

Percerin menggigit bibirnya penuh sesal. "Lalu...! Kapanpun keluarga kerajaan punya tugas sulit untuk diselesaikan, mereka memintanya melakukanpekerjaan kotor mereka? ayahnya dibunuh, ibunya diracun dan jadi gila, dia sendiri dipimpin dan disuruh-suruh mush pribadinya bagai duri dalam daging! Kutak pernah tahu sesuatu setragis ini, bagaimana orang bisa menjadi sebegitu jahatnya."

Kirche kini menyadari mengapa Tabitha tetap diam. Dia tak pernah tahu alasan mengapa Tabitha diberikan gelar Chevalier untuk tugas yang tak dimintanya. Di perjalanan, dia terus menatap halaman yang sama dari bukunya. Nama runenya adalah 'Badai salju'. Angin dingin telah bertiup kedalam hatinya dan belum mereda. Rasa dingin yang dirasakannya, pikir Kirche, tak dapat dibayangkan.

"Bukankah kau bilang Nona memperkenalkan dirinya sebagai Tabitha?"

"Ya."

"Madam merupakan orang yang sangat sibuk, namun, Nona kecil tetap bersikap terbuka dan ceria. Nona kecil sebenarnya sangat kesepian. Madam pergi ke kota dan memilihkan sebuah boneka khusus untuk Nona kecil selama jadwal padatnya. Nona sangat bahagia dan memperlakukannya bagaikan adik perempuannya. Kini boneka itu ada di tangan madam. Karena keadaan pikirannya saat ini, ida percaya boneka itu adalah Nona charlotte."

Kirche kaget.

"Tabitha. itu nama yang Nona kecil berikan untuk boneka itu."

Tiba-tiba Pintu terbuka dan Tabitha berjalan masuk.

Sang Butler membungkuk, menyembunyikan wajah nyerinya dan menyerahkan sebuah surat dari keluarga kerajaan. "ini perintah dariakeluarga kerajaan."

Tabitha melepas segel setelah menerima surat dan mulai membcanya secara biasa. Saat dia selesaia membacanya, dia mengangguk ringan.

'Kapan kau mulai?"

Tabitha menjawab bagaikan menjadwalkan jalana-ajalan. "Besok."

"Diterima, Akua akan menyampaikan ini pada utusan. Akua mengharapkan keselamatnmu sat tugasini selesai."

Sang Butler membungkuk hormat alalu meninggalkan ruangan. Tabitha berjalan melewati menuju Kirche. "Tunggu disini."

Kirche menggelengkan kepalanya. "Maaf, aku dengar semuanya, aku juga ikut."

"Berbahaya."

"Kutak bisa amembiarkanmu pergi sendiri."

Tabitha tak menjawab. Tapi dia menundukkan kepalanya dengan ringan.


Malamnya, keduanya tidur di kamar yang sama. Begitu Tabitha mengenai kasur, dia segera terlelap. Kirche tak abisa tidur dan berbaring di sofa dengan satu tangan di bawah bantal. Tabitha talh menjelaskan pada Kirche soal tugas macam apa yang bakal dilaksanakan, dan menyanyai Kirche apa dia benar-benar ahendak datang.

-Meski aku telah berjanji...Ini pasti bukan tugas biasa. Besar kemungkinan mereka bisa tewas untuk menyelesaikan tugas ini. Tapi sebagai ningrat, resiko tewas tak pernah jauh-jauh. Daripada itu, dia lebih mengkhawatirkan anak ini. Kesepian macam apa yang kemungkinan telah ditanggung anak ini?

Tabitha tengah gelisah di kasurnya. Dengan tanggalnya kacamata, wajah tidurnya menyerupai seorang gadis kecil tanpa dosa. Wajah yang tak menunjukkan dia menanggung ketakbahagiaan yang tak pantas untuk seusianya, pengabdian terhormat yang memberinya gelar Chevalier dan tugas sulit yang harus dia selesaikan.

"Morn."

Tabitha berkata dalam tidurnya. Bahu Kirche bereaksi pada perkataannya.

"Bunda, jangan minum itu. Bunda."

Tabitha memanggil ibunya beberapa kali dalam tidurnya. Dahinya terus mengucurkan keringat yang makin menyangat setelah tiap panggilan. Kirche dengan lembut bangkit, berbaring di kasur di samping Tabitha, dan mendekapnya mendekat. Tabitha mengubur kepalanya dalam dada Kirche. Detak jantungnya tersalurkan pada Tabitha begitu mereka berbaring disana, mungkin itu terasa bagaikan milik seorang ibu. Beberapa saat kemudian, Tabitha tenang kembali, keringat malamnya pergi meninggalkannya.

Bagi Kirche, Dia pikir bahwa dia entah bagaimana mengerti alasan mengapa Tabitha memperlakukannya sebagai seorang teman. Hatinya belum beku sempurna, sedikit kehangatan masih tersisa didalamnya. Hanya saja angin es yang bertiup menyumbatnya. Dia mungkin merasakan bahwa api didalam Kirche dapat melelehkannya. Kirche, sambil perlahan terlelap, berkata dengan lembut."Hai Charlotte. 'Ardent' menghangatkan dan melelehkan segalanya, jadi kau bisa beristirahat dengan tenang."