Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4 Bab1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1 - Orang Suci[edit]

Pada Jalan Bourdonné di kota sebelum Istana Tristain, tampak parade luar biasa yang diadakan sebagai perayaan kemenangan. Parade dipimpin kereta perang Putri Henrietta, yang ditarik oleh hewan legendaris yang dikenal sebagai unicorn. Bangsawan terkenal dalam kereta perang mereka mengikuti. Disekitar mereka, skuad sihir pertahanan berlaku sebagai penjaga mereka. Jalan sempit itu dipenuhi penonton. Orang-orang bersorak begitu mereka melihat kereta-kereta perang tersebut lewat dari jendela-jendela dan atap-atap bangunan.

"Hidup Putri Henrietta!"

"Hidup Tristain!"

Kerumunan snagat antusias. Putri Henrietta telah membimbing tentara Tristain pada kemenangan di Padang Tarbes di hari sebelumnya melawan tentara Albion yang merusak perjanjian. Putri Henrietta, yang mengalahkan musuh yang melebihi jumlah mereka, dipuja sebagai seorang "santo" dan seterkenal yang seharusnya. Setelah Parade selesai, upacara penobatan menunggu Henrietta, dimana dia yang akan meneruskan tahta. Ini diajukan Kardinal Mazarini, yang disetujui mayoritas ningrat senat dan menteri kabinet. Perkawinan pangeran dengan negeri tetangga, Germania, demham Henrietta dibatalkan, lebih karena kekecewaan mereka. Yah, mereka tak bisa menerima mereka tak berguna bagi negera yang telah mengalahkan tentara penyerbu dari Albion.

Tentu saja, pembatalan aliansi tak pernah terlintas dalam pikiran. Tristain adalah negara kuat yang Germania, yang ketakutan oleh kemarahan Albion, tak bisa abaikan untuk diajak. Dengan kata lain, Henrietta mendapatkan kebebasannya melalui tangannya sendiri.


Sekelompok tentara Albion yang kalah tengah menonton keramaian dari sudut plaza. Mereka adalah ningrat dari tentara Albion yang ditawan. Meski mereka tawanan, mereka diperlakukan baik, Tongkat mereka diamankan, tapi mereka tak diikat, dan bisa dnegan bebas berdiri, Penjaga ditempatkan disekitar mereka, tapi tiada yang berpikir untuk kabur. Saat ningrat ditangkap sebagai tawanan, mereka terkena sumpah. Jika mereka merusak sumpah itu, maka kehormatan dan nama mereka menjadi abu. Untuk ningrat, yang sangat menghargai kehormatan, itu sama dengan kematian.

Didalamnya, ada seorang lelaki dengan wajah terbakar sedikir dengan wajah polos. Itu Tuan Bowood, kapten dari kapal perang Lexington, yang Louise tenggelamkan dengan membuatnya tertelan nyala sihir Voidnya. Dia menyikut seorang ningrat disebelahnya dan berbicara padanya. "Lihat Horatio, itu 'santo' yang mengalahkan kita."

Ningrat yang dipanggil Horatio membalikkan sosok gemuknya dan menyahut. "Hm...Belum pernah ada penobatan seorang putri di Halkegenia sebelumnya. Dan meski mereka mengalahkan kita, perang belum selesai. Lebih jauh lagi, tidakkah dia sedikit terlalu muda?"

"Horatio, kau seharusnya beljar sedikit sejarah. Ada satu kejadian di Gallia dan dua di Tristain dimana putri dinobatkan."

Horatio menggaruk kepalanya. "Sejarah kau bilang? Jika ya, kita hanya pita yang menghiasi lembar pertama dari sejarah brilian Santo Henrietta. Cahaya itu! Tak hanya menghancurkan kapalku, tapi juga milikmu!"

Bowood mengagguk, Bola cahaya yang menyinari diatas Lexington mengembang menjadi raksasa hanya dalam beberapa detik. Tidak hanya menyebabkan kloter ditelan dalam nyala api, ia juga menghancurkan 'batu angin' di kapal, menyebabkan mereka tenggelam menuju tanah. Yang lebih mengejutkan lagi, cahaya itu tak membunuh satu orangpun. Cahaya itu menghancurkan si kloter, tapi tak berefek pada mereka. Mereka bisa melayang turun ke tanah dengan sedikit kontrol yang tersisa pada mereka. Nyalanya memang mencederai banyak orang tapi tiada kematian.

"Sebuah cahaya mukjizat...Aku tak bisa mempercayainya, Aku belum pernah mendengar atau melihat sihir semacam itu sebelumnya. Negara kita punya musuh yang mengerikan." bisik Bowood.

Dia memanggil seorang prajurit yang tengah memegang sebuah halberd raksasa. "Kau, ya, kau."

Sambil mengangkat alisnya, prajurit tersebut menghampiri Bowood. "Apa anda memanggil saya, Tuan?"

Tak peduli lawan maupun kawan, ningrat diperlakukan dengan hormat, Si prajurit menunggu Bowood berbicara dengan sikap sopan.

"Bawahanku tak dipenjarakan kan? Apa mereka diberi makan dengan baik?"

"Tentara yang ditawan dikumpulkan dan diundang masuk tentara Tristain. Apa pekerjaan yang harus dikerjakan mereka tapi kebanyakan mereka seharusnya mau bergabung dengan tentara kami. Bagaimanapun juga, ia adalah kemenangan besar. Jangan khawatir tentang perut mereka, Tristain bukanlah negara miskin yang berhitung untuk memberikan atau tak memberikan tawanan makanan."

"Ini secangkir untuk merayakan kemenangan 'santo."

Prajurit itu tertawa. "Mohon persilahkan saya untuk menawarkan sebuah cangkir untuk kesehatan Yang Mulia."

Merasa senang, Bowood berbisik saat dia melihat prajurit itu pergi. "Jika perang yang menggusarkan ini berakhir dan kau kembali pulang, apa yang akan kau lakukan, Horatio?"

"Aku akan pensiun dari ketentaraan. Aku bahkan bersedia melepas tongkatku, setelah melihat cahaya itu."

Bowood tertawa keras. "Kita berpikiran hal yang sama! Aku juga merasa begitu."


Sebuah senyum mengembang di wajah Kardinal Mazarini selama dia duduk disebelah Henrietta. Itu senyum yang dia tak pernah tunjukkan selama 10 tahun, sebuah senyum tanpa kekhawatiran. Sambil membuka jendela kereta, dia melambaikan tangannya untuk membalas sorakan dari kerumunan. Dia senang dua beban di bahunya terangkat. Administrasi internal dan diplomasi. Dia mempertimbangkan untuk menyerahkannya pada Henrietta dan berlaku sebagai penasehat saja. Mazarini menyadari tuan barunya berwajah sedih. Sambil memainkan kumisnya, dia menanyakan. :Sepertinya kau tak merasa bahagia. Aku belum melihat keceriaanmu sejak kau melangkah masuk kereta ini."

"Mengapa aku mesti naik tahta? Bukankah masih ada Ibu?"

"Dia bahkan takkan bereaksi bila kami memanggilnya 'Yang Mulia Ratu'/ Dia mengatakan dia bukanlah seorang raja, dia hanyalah istri seorang raja dan ibumu. dan pasti takkan mengenakan mahkota."

"Mengapa ibuku menolak menermanya?"

Segurat kesedihan terpancar dari wajah Mazarini. "Sang ratu masih bersedih. Dia masih merindukan ayahmu yang tiada."

Henrietta mendesah. "Maka aku akan jadi seperti ibuku. Tahta bisa tetap dikosongkan. Penobatan takkan dilakukan."

"Jangan mengatakan hal yang egois begitu! Penobatanmu adalah sesuatu yang juga diharapkan ibumu. Tristain tak bisa jadi sebuah negara lemah sekarang ini. Para ningrat dan rakyat dari Tristain, juga negara sekutu, berharap kau untuk mengambil alih tahta."

Henrietta mendesah lagi. Dia menatap rubi angin pada jari manis kirinya. Itu cincin yang dibawa Saito kembali padanya, sebuah pengingat dari Wales. Kemenangan yang mengangkatnya ke tahta...dalam sudut pandang tertentu adalah kemenangan Wales, Cincin itu memberi Henrietta keberanian untuk menghadapi musuh. Jika ibu membiarkan tahta kosong karena merindukan ayah...maka aku ingin melakukan hal yang sama. Aku tak ingin jadi seorang ratu. Tapi dia bisa mendengar sorakan kerumunan. Seakan membujuknya, Mazarini dengan pelan berbisik. "Seluruh Rakyat mengharapkan penobatan ini. Badan Yang Mulia sudah bukan lagi milik anda."

Dengan sebuah deheman, dia melanjutkan. "Aku akan menjelaskan tatacara penobatan. jadi kau takkan membuat kesalahan apapun."

"Ia hanya mengenakan sebuah mahkota...Mengapa begitu cerewet."

"Jangan berkata begitu. Ia adalah sebuah ritual suci. Ritual dimana kau dibebani kekuatan yang diberkahi Sang Pendiri dan menyatakannya pada dunia. Seluruh Tatcaranya adalah sebuah tradisi."

Dalam suasana 'penting', Mazarini menjelaskan tatacaranya. "...Kemudian, saat ritual selesai, Yang Mulia akan emnghampiri Sang Ratu di altar. Kau akan membacakan sumpah yang ditulis Sang Pendiri dan Dewa, kemudian ibumu akan mengenakan mahkota padamu. Kemudian seluruh Halkegenia, termasuk aku, akan menyebutmu dengan 'Paduka'."

Sebuah sumpah...Bersumpah akan sesuatu yang tak benar-benar dipegang teguh dlam hatinya,,,bukankah itu pengkhianatan? Pikir Henrietta.

Aku tak bisa berpikir diriku adalah ratu. Kemenangan itu...Kemenangan di Tarbes yang mengangkatku ke tahta tak dicapai dengan kepemimpinanku, tapi karena berlebihnya pengalaman dan keteguhan dari para jenderal dan Mazarini. Aku hanya memimpin, aku tak melakukan selain itu. Jika Wales masih hidup, apa yang akan dikatakannya padaku? Aku, yang telah diberikan tugas untuk melayang ke puncak kekuatan...

Wales. Walesku yang tersayang. Satu-satunya yang pernah kucintai...

Sebelum itu atau bahkan setelahnya, Satu-satunya saat dimana aku benar-benar bersumpah dengan kata-kata yang bergema dengan sebenar-benarnya dalam hatiku adalah saat itu di Danau Ragdorian. Kemenangan Besar dan kecemerlangan penobatan tak meringankan Hati Henrietta dari pikiran semacam itu. Dia menatap parkemen di tangannya dengan tatapan kosong.

Itu laporan yang dikirim pada Henrietta pada hari sebelumnya. Yang tertulis disana adalah hasil interogasi tawanan yang dilakukan penjaga. Ada stertulis sesuatu tentang Zero fighter Saito menembak jatuh para naga. Seorang tawanan yang menjadi pengendara naga mengatakan ia terbang dengan kelincahan tinmggi dan menggunakan serangan berdasar sihir yag kuat, menembak jatuh sekutunya satu demi satu. Tapi naga semacam itu tak ada di tentara Tristain. Bingung dengan ini, si penjaga memeriksa hal ini lebih lanjut, Sebuah laporan dari Desa Tarbes berlanjut. 'Naga' yang digunakan pengendaranya adalah tak lain dan tak bukan merupakan barang sihir yang dinamakan 'Baju Naga' milik Desa Tarbes. Tapi sepertinya ia bukan barang sihir, tapi lebih sebagai mesin yang tak dikenal.

Yang mengendalikannya adalah familiar temannya, La Vallière. Dan...Juga Ada sedikit petunjuk info mengenai cahaya yang menghancurkan kloter musuh. Cahaya itu, muncul dekat mesin terbang itu. Penjaga telah berhipotesa, bahwa La Vallière dan familiarnya merupakan sumber cahaya itu. Namun, penjaga itu merasa bingung apa dia harus menghubungi mereka berdua. Laporan itu diakhiri dengan permintaan untuk arahan lebih lanjut soal investgasi ini.

Cahaya yang membawakanku kemenangan...Cahaya kuat yang menyerupai matahari...Bahkan memikirkan soal cahaya itu membuat tubuhku menghangat...

"Apa itu kau Louis?" Bisik Henrietta perlahan.


Sementara itu, berlawanan dengan keriuhan di jalan Bourdonné, hari-hari tua yang berulang terus berlangsung di Akademi Sihir. Kepala Akademi, Osman, telah memuji kemenangan Tentara kerajaan di Tarbes, tapi selain itu, tiada yang terjadi. Tapi, sekali lagi, mereka berada di sekolah, sebuah lingkungan yang tak memiliki tempat untuk politik. Bahkan dalam kecamuk perang, para murid entah kemana mengerjakan keperluan mereka sendiri. Bagi ningrat Halkegenia, perang adalah sesuatu yang terjadi tiap tahun. Selalu ada pertengkaran dimanapun di dunia ini. Dan saat semua menjadi lebih serius, akan selalu ada kekacauan, tapi saat perang telah usai, semua kembali seperti sediakala.

Didalam proses ini, sebuah perang kecil lain telah terbangun dan menggelinding di Lapangan Vestri yang sunyi. Pada sebuah bangku dibawah matahari nan hangat, Saito membuka bungkusan di tangannya. Wajahnya berseri-seri, "wow! Hebat sekali! Sebuah syal!"

Siesta yang wajahnya memerah duduk di sampingnya, "Yahh, em, apa ya...pesawat? Dingin kan kalau naik itu?"

Kini tiga jam lewat tengah siang. Karena Siesta mengatakan memiliki sesuatu untuk diberikan padanya, dia bilang supaya Saito datang ke lapangan Vestro. Dan hadiahnya berupa syal. Sebuah syal seputih salju. Ia hangat bagai kulit lembut Siesta.

"Ya! Memeng jadi agak dingin sih klo buka pelindung anginnya."

Saito mengenakannya di leher untuk mencobanya. Kini awal musim panas, tapi langit masih dingin dan lebih dingin lagi kalau pelindung angin dibuka. Selama lepas landas dan pendaratan, dia perlu menyembulkan kepalanya keluar pelindung angin untuk memeriksa bawahnya, Ini berbeda dengan pesawat modern dimana mereka bisa melakukan semuanya dengan pelindung angin tertutup. Di syal putih itu, ada kata-kata tertul;is dengan wol rajut hitam. Mulanya mereka terlihat sebagai huruf-huruf dari alfabet, tapi bila dilihat lebih dekat, mereka adalah karakter-karakter Halkegenia, agak berbeda dari alfabet.

"Apa artinya ini?"

"Hm? Ah. kau tak bisa membaca tulisan kami karena kau dari dunia lain. Um, Namamu tertulis disitu."

"Oh, begitu."

Saito tersanjung, "Ah, jadi begini cara namaku ditulis dalam karakter dunia ini." pikirnya sambil melihatnya terkagum-kagum. Empat karakter tersusun berderet, yang mungkin dibaca "Saito. Didekatnya ada susunan karakter berjumlah 6.

"Kalau ini bagaimana?"

"hehe...tiu namaku. Maaf, aku tak bisa tidak. kau tak suka?"

"Ti-tidak, buikan begitu1"

Saito dengan panik menggelengkan kepalanya.

"Aku benar-benar senang kau merajut sebuah syal untukku."

Ini kali pertama dalam hidupnya dia menerima hadiah dari seorang gadis. Dia teringat tragedi yang terjadi tiap tahun. Ulang tahunnnya jatuh pada hari libur nasional, jadi sekolah libut. Dia tak punya pacar sekalipun yang menyelamatinya. Pernah sekali, ibunya memberi sebuah jam padanya, yang rusak di hari berikutnya. Pada hari valentine, pernah kejadian kursinya tertukar dengan orang disebelahnya dan sebauh coklat diletakkan di mejanya.

"Siapa ya?! Siapa ya yang suka padaku?! teriaknya, menari kemana-mana saking bahagianya. Seorang gadis berpenampilan biasa mendatanginya dan mengatakan "Maaf, kursnya tertukar." Malu karena tingkahnya, dia berakhir dengan ngambek dalam toilet. Dan karena itulah, menerima sebuah hadiah dari seorang gadis cukup untuk membuanya berkaca-kaca. Fakta bahwa ia buatan tangan menguatkan manisnya Siesta 120%. Siesta yang biasanya manis kini terangkat derajatnya menjadi malaikat. "Ta[i apa tak apa-apa memberikan ini padaku? Pasti butuh kerja keras untuk merajut ini." kata Saito perlahan.

"Tak apa-apa. kau tahu, saat tentara Albion menyerang, aku sangat ketakutan. Tapi saat kudengar pertempuran berakhir dan keluar hutan, kau sudah mendarat dengan pesawat itu kan?"

Saito mengangguk.

"Aku benar-benar senang. Itulah mengapa aku..."

Keduanya tersadar bahwa wajah mereka memerah. Siesta telah memeluk dan mencium saito di saat itu. Penduduk desa keluar hutan sebentar setelahnya. Banyak dari mereka telah menonton Saito mengalahkan naga musuh dengan Zero fighternya dengan penuh perhatian. Mereka memuji Saito dan Louise sebagai pahlawan karena telah meremukkan mush. Perayaan diadakan tiga hari tiga malam, dan keduanya menerima perlakuan setara keluarga kerajaan. Mereka juga telah mengembalikan kehormatan Kakek Siesta, dengan membuktikan bahwa Zero fighter memang bisa terbang. Selama perayaan, Siesta dengan rajin mendekati Saito dan merapat padanya, Seperti sekarang, tubuhnya menyender ringan pada Saito. Kebingungan, Saito mengucek-ucek Syal di lehernya.

"Uh?"

Dia menyadari sesuatu. :Siesta, syalnya agak panjang..."

"Hehe...itu karena ia dibuat untuk melakukan ini."

Siesta mengambil ujung syal dan melilitkannya di lehernya. Saat dia melakukan itu, panjang syalnya sudah pas.

"I-ia dibuat untuk dua orang/"

"Yap. Kau tak menyukainya?"

Ada aura kuat terpancar begitu Siesta memandangi kedalam mata Saito setelah berkata begitu. Ini bagai dia memiliki mata seekor pupi nan manis. Sebuah syal untuk berdua...Kau ini apa, pelayan nan sempurna? Pelayan sepertimu akan dihukum mati di jepang, k-k-k-kau... Pikiran Saito mulai ga beres. Sikap bagai-pelayan Siesta telah mendaratkan hantaman kritis di fikirannya. Siesta meluncurkan serangan lainnya. Sambil menutup mata, dia memajukan bibirnya dan bersender pada Saito.

Saito menelan ludah. Reaksi dia akan membuatnya menekankan bibirnya pada milik Siesta. Tapi...ingatan tentang perkataan ayah Siesta selama pesta mengemuka dalam pikirannya. Dia telah menghampiri Saito saat Siesta meninggalkan kursinya sebentar, Dia memuji Saito sebagai pahlawan desa, untuk aksinya mengalahkan para naga dari Albion. Namun, wajah tersenyumnya memancarkan aura gelap saat dia mengarahkan pandangan mengerikannya pada Saito. "Kau penyelamat desa ini, dan pahlawan yang melindungi Tristain dari Albion. Aku mencintaimu untuk itu. Tapi..."

"Um, tapi apa?"

"Jika kau membuatku putriku menangis, aku akan membunuhmu."

Saito takkan pernah melupakan wajah ayah Siesta saat dia mengatakan itu. Ia lebih menakutkan dari para orc, naga, bahkan sihir Louise yang menghancurkan kloter mush. Dia tak bisa dengan santai menggapai Siesta. Dia adalah seseorang yang bagaimanapun juga harus kembali pulang...Jika dia menciumnya, maka dia akan membuat Siesta sedih. Dan jika itu terjadi, ayah Siesta mungkin akan mengikutinya ke bumi dan memburunya. Teror yang dipancarkan wajah ayah Siesta, cukup mengancam untuk menghentikannya dari menertawakan ide itu.

Tapi, begitu bibir Siesta mendekat semakin dekat, keengganannya mulai goyah. Karena Saito tak juga bergerak mendekat, sepertinya Siesta berencana menolkan jarak sendiran. Sambil memegangi kepala Saito, dia dengan berani mendekatkannya. Siesta adalah seorang gadis dengan keberanian yang seukar dipercaya saat dia berani. Saito tak bisa melawan. Ah, tidak...tapi jika hanya sebuah ciuman...Pikirnya begitu tubuhnya mengkaku. dang dengan "duk" nan keras, Saito pingsan karena sebuah batu besar dilemparkan pada kepalanya. Sekitar 15 meter di belakang bangku yang ditempati saito dan Siesta, ada sebuah lubang menganga di tanah. Didalamnya, ada seirang gadis yang tengah mengumpulkan napas. Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Louise. Louise menginjak keras tanah. disampingnya, ada tikus tanah raksasa yang menggali lubang itu, Verdandi dan si pedang pintar, Derflinger. Setelah memaksa tikus tanah Guiche menggali lubang, Louise bersembunyi didalamnya, menyembulkan kepalanya dalam sunyi dan mengawasi Saito dan Siesta. Dia telah membawa Derflinger bersamanya karena dia ingin menanyakan beberapa hal padanya.

"Apaan sih familiar itu?!"

Racaunya sembari meninju dinding lubang dengan kepalannya.

"Jangan mati Saito!" dapat terdengar dari bangku, begitu Siesta memapah saito. Louise telah melemparkan batu yang mengenai Saito di kepala. Adalah tak terampuni untuk mencium gadis lain karena dia familiarnya.

"Hei gadis ningrat." kata Derfilnger dengan suara tak bernada.

"Apa? Mulailah mengingat namaku dari sekarang."

"Siapa peduli tentang itu? daripada itu, apakah kini tengah tren menggali tanah untuk mengawasi familiar?"

"Mengapa ia bisa ngtren?"

"Lalu mengapa kau mengintip dari lubang ini?"

"Jika aku terlihat, aku akan terlihat buruk." kata Louise sambil menatap pedang.

"jadi bukankah lebih baik untuk berhenti mengintipnya? Tak apa-apa kan meninggalkannya melakukan apa yang disukainya kan?"

"Tidak, itu tidak apa-apa. Familair tolol itu, bahkan tanpa meminta nasihat dariku, menghabiskan seharian berc-c-c-c-cumbu dengan gadis itu."

Suara Louise mulai bergetar ketika dia mencapai kata "bercumbu." dia cukup marah.

"Aku mungkin adalah penyihir 'Void' nan legendaris, tapi aku tak bisa menemukan seorangpun untuk membicarakannya. Aku bahkan hendak mencari familiarku yang tolol, tak guna nan inkompeten tapi dia pergi entah kemana berc-c-c-cum..."

"C-c-c-cum-"

'Jangan meniruku!"

"Tapi bukankah melemparkan sebuah batu sedikit berlebihan? Rekanku mungkin bisa mati."

Louise menyilangkan lengannya sambil duduk didalam lubang. "Bercumbu di suatu tempat tanpa memenuhi tugas seorang familiar; dia masih 10 tahun terlalu muda untuk itu!"

"Cemburu."

"Tidak. kau salah."

Saat Louise membuang mukanya yang memerah, Derflinger meniru nada biacara Louise. "Mengapa dia tak mencoba menciumku?"

"Diamlah."

"Aku bahkan berpura-pura terlelap. Aku akan menangis, kau tahu."

"Jika kau mengatakan itu lagi, aku akan melelehkanmu dengan sihir 'Void'ku. Aku bersumpah, aku akan melelehkanmu."

Derflnger gemetar tak karuan dengan tawa. Sambil memicingkan mata tanda ketidaksenangannya, Louise menanyai Derflinger. "Hei, sepertinya tiada lagi yang bisa ditanya selain kau. Seorang ningrat terhormat seperti aku, tengah menanyai sebuah pedang karatan sepertimu sebuah pertanyaan, berterima kasihlah."

"Apa?"

Louise berdehem. Dengan wajah memerah, dia menanyai Derflinger dalam nada suara yang dengan habis-habisan mencoba menyelamatkan tiap harga diri yang dimilikinya. "Katakan di bagain mana pelayan itu lebih menarik daripadaku, dengan singkat dan mudah dimengerti."

"Apa gunanya bertanya itu?"

"Itu bukan urusanmu. Jawab saja pertanyaannya."

"Kecemburuan."

"Kukatakan bukan itu kan?!"

"Bahkan kau dnegan sepenuh hatimu menciumku saat itu...aku akan menangis kau tahu."

"Baiklah, kini saatnya melelehkanmu."

Louise dengan erat memegang tongkatnya sambil menggumamkan sebuah mantra. Derflinger dengan cepat menjawab dalam kepanikan. Dia tak mungkin menahan sebuah ledakan dari cahaya bersihir."O-OK, aku mengerti! Itu tak membantumu ya?! Pertama-tama, gadis itu bisa masak."

"Kukira juga begitu. Terus apa. Kau bisa hanya memesan makanan."

"Cowok suka cewek yang bisa. Dia juga tampak mahir dalam menjahit."

"Aku juga bisa. Aku diajar ibuku kau tahu."

"Kau bagai kadal, dan dia naga bila ada yang membandingkan kalian dalam menjahit."

"Berikutnya."

"Yah, wajah...Kupikir ini masalah kesukaan. Kau cukup bagus dalam bagian ini tapi gadis itu juga punya auranya sendiri. Tapi gadis itu punya senjata yang tak kau miliki."

"Dan apakah itu?"

"Buah dada."

"Orang akan tumbuh, tahu."

Louise mengatakan itu sambil membusungkan dadanya. Sebuah dada yang benar-benar datar.

"Berapa usiamu?"

"16."

"Oh, Sudah dewasa. Tiada harapan tersisa."

Louise mulai menggumamkan mantra.

"Tungu! Hentikan! Hei! Cowok secara alami menyukai cewek dengan buah dada besar. Dia nyata-nyata terbang ke tanah peri saat dia mandi bersama gadis itu."

Saat Derflinger bicara begitu, amarah mulai mengisi mata Louise.

"Apa? Apa yang baru saja kau katakan?'

"Eh? Saat mereka mandi bersama..."

Derflinger menjelaskan kejadian saat Saito dan Siesta mandi bersama. Louise menghirup dan menghembuskan napasnya dalam-dalam. Dia gemetar karuan karena marahnya. Derflinger memutuskan tetap diam setelah ditakuti olehnya, sesuatu yang jarang bagi pedang seperti dia untuk dirasakan. Sementara itu, si tikus tanah telah menyembulkan kepalanya dari lubang. Ia telah melihat sosok senang tuannya yang sedari tadi mencari-carinya.

Sambil berjongkok, Guiche melingkarkan lengannya pada familiarnya dan menggosokkan dagu padanya. "Ah! Aku tadi mencari-carimu, Verdandi! kau si lucu berambut! Demi Hakkegenia, apa yang tengah kau lakukan, menggali lubang di tempat seperti ini? Hm? Eh. Lousie?"

Guiche tampak terkejut saat dia menjorok ke lubang dan menemukan Louise. "Mengapa kau berada dalam lubang ini?"

Dengan wajah khawatir, Verdandi memandangi Guiche dan Louise. Guiche memberikan anggukan pelan dan mulai berbicara dengan sikap yakin.

"Aku mengerti Louise. Kau membiarkan Verdandi menggali lubang, sehingga kau bisa mencari cacing tanah? Untuk membuat serum kecantikan ya. Dan familiarmusepertinya bersama pelayan dari aula makan juga..." kata Guiche, sambil melirik adegan Siesta merawat Saito. Seperti biasanya, Saito pingsan. Siesta akan memegangi dadanya dan membuat keributan besar.

"Ahaha! Kau akan harus bekerja keras pada kecantikanmu untuk memenangkan kembali familiarmu itu! Diambil oleh seorang gadis desa...kehormatanmu dengan pasti akan hancur!"

"Sial." gumam Derflinger.

Louie menggenggam lutut Guiche dan menarknya kedalam lubang. dalam dua detik, dia sudah menghabisi Guiche. Si tikus tanah dengan khawatir menyentuh-nyentyhkan hidungnya pada wajah pingsan Guiche. Sambil mengeraskan kepalannya. Dia bergumam dalam nada rendah. "Berikutnya dia."

"Sepertinya 'Zero' ini 100x lebih mengerikan daripada sebelumnya." kata Derflinger pada dirinya sendiri.


Sambil menguisap kepalanya yang nyeri, Saito kembali ke kamar Louise, dan menemukan Louise yang tengah duduk sambil menyilanglkan kaki di kasur sambil menatap jendela. Kamarnya agak gelap. Kinis udah sore tapi Louise belum menyalakan cahaya apapun. Saito merasakan bulu kuduknya berdiri dari suasana ngeri ini.

"Apa ada saah Louise? Bukankah kamarnya agak gelap?"

Louise tak menjawab. Dia terus membelakangi Saito. Seprtinya dia tengah pundung(maaaf, ini bahasa sunda). Apa ya kira-kira yang bikin dia marah? fikir Saito.

"Waktu yangagak telat untuk kembali ya? Apa saja yang kau lakukan?" kata Louise tanpa bergerak seincipun. Nada suaranya dingin, tapi sepertinya dia tak marah.

Saito mendesah lega dan menjawab "Aku bertemu Siesta di lapangan Vestro. Dia bilang dia memiliki sesuatu yang ingin diberikannya. Dan setelahnya ada batu entah darimana yang menghantam kepalaku...Ia benar-benar sakit."

"Benar-benar deh. Pasti hukuman langit. Ngomong-ngomong, aku punya sesuatuuntuk dikatakan padamu...jadi duduklah di lantai."

"Eh, lantai?"

"Kau anjing."

"Ah, kembali pada anjing~", gumam Saito sambil perlahan kembali ke pintu. Jangan mengutuk para dewa, kate mereka. Uh, Louise lebih mengerikan dari seorang dewa. Apa itu karena sihir Void sang Pendiri, dia tak tahu, tapi ini Louise - yang menghancurkan seluruh kapal musuh dnegan sebuah mantra. Louise menyentak tongkatnya saat Saito mencoba membuka pintu.

"Huh?" saat dia mencoba memotar pegangan pintu, ia tak mau memutar.

"Aneh, huh,...sepertinya kini aku bisa sihir biasa dengan mudah." kata ouise dengan punggungnya tetap membelakangi Saito.

"L-Louise?" tanya Saito dengan suara bergetar.

Louise mengerikan. Suaranya biasa, tapi tetap saja dia mengerikan.

"Aku selalu gagal pada mantra keempat cabang sihir sampai titik ini...mungkin memang benar aku adalah yang terpilih untuk memakai void. Dan dari hari ke hari, akan ada pertumbuhan. Menurutmu bagaimana, anjing?"

Saito kini habis-habisan mencoba memutar pegangan pintu, tapi ia tak mau bergerak.

"Tiada gunanya. Aku menyihir sebuah mantra "Pengunci" disitu. Ngomong-ngomong, anjing, tuanmu tengah gelisah. Aku mungkin yang terpilih untuk memakai sihir void, tapi aku bahkan tak bisa menemukan seorangpun untuk berbicara. Tiada yang tahu kini aku bisa menggunakan sihir void. Sepertinya sihir ledakanku hanya diperlakukan sebagai mukjizat oleh orang-orang...Tapi kupikir istana akan segera tahu. Allu apa jadinya aku? Dalam situasi sulit begini, familiarku yang tolol nan memalukan memutuslan untuk pergi berkencan dengan seorang pelayan."

Dan kau bahkan menc-c-c-ciumku - Louise hampir mengatakannya sebelum dengan cepat menutup mulutnya. Setelah mengambil napas dalam-dalam, dia pilah kata-kata berikutnya. Wajah Saito makin memucat daripada yang sudah-sudah setelah terus berusaha memutar pegangan pintu. Tak peduli seberapa keras dia mencoba memutarnya, pegangan tetap tak terputar. Sihir 'pengunci'nya sangat kuat.

"Sebuah kencan kurasa takapa-apa. Tapi mandi bersama. Kini itu tak bisa. It yang terburuk dari yang terburuk. Mengabaikan tuanmu dan mandi bersama dengan seorang pelayan? Aku cukup yakin itu pantas dihukum mati. Kau sangat beruntung aku orang yang lembut."

Louise mulai gemetaran.

Kau bahkan menc-c-c-ciumku. Mandi bersama. Mandi bersama dengan si pelayan.

Sesuatu terbang menuju jendela. Itu seekor pelikan.

"Ah, cepat ya."

Louise membuka paket di kaki pelikan, menempatkannya di kasur dan menaruh beberapa koin emas di paruhnya. Sepertinya pelikan digunakan sama dengan pelayanan kiriman di dunia ini.

"A-Apa yang kau beli?"

"Aku kini menyadari anjing tak jua kapok bila kau hanya menggunakan sebuah cambuk."

Wajah Saito membeku sambil dengan gila-gilaan mencoba memutar pegangan pintu.

"T-Tolong! Tolong!"

"Kukatakan padamu, itu taida gunanya."

Saat dia melirik ke belakang, Louise berdiri tepat dibelakangnya. Saito menjerit saat melihat wajah Louise. Louise tengah menggigit bibir dengan mata terbakar. Dia mungkin lebih mengerikan dari Ayah Siesta. Seperti biasanya, Louise mengarahkan sebuah tendangan pada bagian bawah Saito, yang hasilnya berupoa kolapsnya Saito di lantai.

"Aaaaaah...mengapa kau sangat tak manusiawi pada bagia sensitifku?"

Louise menekankan satu kaki pada leher Saito. "Dengarkan anjing. Sepertinya kau kurang hormat. Selalu mengibaskan ekormu disini dan disana - itulah menapa aku beli ini."

Louise mulai mengikat sesuatu yang sepetinya mirip tali kulit pada tubuhnya. Dan dengan sebuah 'clink' kunci didadanya terkunci. Ini semacam pengikat tubuh.

"A-Apa ini?"

"Alat sihir penahan yang biasanya digunakan untuk menjinakkan binatang buas."

"Kau pasti bercanda!" teriak Saito sambil mencoba berdiri. Louise menggumamkan sebuah mantra pendek. "Vasra."

Dengan geliatan kesakitan, Saito jatuh ke tanah.

"Ia punya sihir air dan angin padanya. Dengan sinyal dari tuannya, ia akan mulai memberikan struman listrik." Jelas Louise, tapi Saito sudah pingsan karena setruman tadi.

Louise menarik tubuhnya melewati lantai dan melemparkannya kedalam tumpukan jemari. "Kau kecepatan 100 tahun untuk mandi bersama seorang gadis!"