Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume3 Bab10

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search


Bab 10 - Sang Void


Berita deklarasi perang telah mencapai Akademi Sihir Tristain hari berikutnya. Kontak telah ditunda karena rusuh di istana. Louise, bersama saito, tengah menunggu di gerbang Akademi Sihir untuk sebuah kereta dari istana. Namun, hanya seorang utusan yang kehabisa napas yang tiba di akademi di pagi berkabut itu. Utusan itu menanyakan mereka dimana ruangan Osman, dan berlari cepat meninggalkan mereka setelah menerima jawabannya. Kejadian yang tak biasa ini menyebabkan Louise dan Saito saling memandang. Merasa sesuatu telah terjadi di istana, keduanya berlari mengejar sang utusan. Osman tengah sibuk dengan persiapan untuk upacara pernikahan. Dia akan meninggalkan akademi selama seminggu sehingga dia tengah menyusun berbagai dokumen dan mengepak barang-barangnya,

Sebuah ketokan keras datang pada pintunya.

"Siapa?"

Utusan dari istana menyerbu masuk kedalam ruangan sebelum Osman selesai berbicara.

"Melapor dari istana! Albion telah mengumumkan perang pada Tristain! Pernikahan putri telah ditunda hingga pemberitahuan lanjutan! Tentara kini menuju La Rochelle! Untuk alasan keamanan, sebuah perintah dikeluarkan, menyatakan bahwa seluruh murid dan pengurus berlindung di benteng!"

Wajah Osman memucat. "Sebuah deklarasi perang? Akan ada pertempuran?"

'Ya! Kekuatan musuh telah berkamp di ladang-ladang Tarbes dan menatap kekuatan kita didekat La Rochelle."

"Tentara Albion pasti sangat kuat,"

Sang utusan membalas dengan nada sedih."Kekuatan musuh berjumlah lusinan dan dipimpin sebuah kapal perang besar bernama Lexington. Jumlah keseluruhan prajurit diperkirakan 3.000. Angkatan udara utama kita telah dihancurkan, dan menghitung jumlah seluruh prajurit kita, kita hanya punya sekitar 2.000. Kita tak siap perang, jadi hanya segitu yang bisa berangkat. Namun, yang terburuk adalah mereka punya dominasi udara nan sempurna. Prajurit kita pasti diserpihkan oleh meriam-meriam mereka."

"Bagaimana situasi terkini?"

"Para dragoon musuh membuat kebakaran di desa Tarbes...Kami meminta bantuan dari Germania, tapi mereka bilang mereka bisa datang paling cepat paling 3 minggu..."

Osman mendesah dan berkata."...Mereka berencana meninggalkan kita. Selama itu, kota-kota Tristain akan jatuh cepat ke tangan musuh."


Dengan telinga mereka ditekankan pada pintu ruangan kepsek, Louise dan Saito saling memandang, Wajah Louise memucat saat perang dsebutkan, dan Saito memucat saat Tarbes disebutkan. Bukankah itu desa Siesta? Saito beranjak dan berlari. Louise panik dan mengikutinya, Saito emncapai Halaman depan dan mulai mendaki masuk Zero fighter. Louise memeluk pinggangnya dari belakang. "Kemana kau hendak pergi?!"

"Ke Tarbes!"

"Mengapa?!"

"Bukankah sudah jelas?! Aku akan menyelamatkan Siesta!"

Louise mencengkram lengannya dan mencoba membuatnya terlepas, tapi dia dengan erat berpgang.

"Tak bisa! Ini Perang! Bahkan jika kau pergi, ia takkan membuat perbedaan!"

"Aku punya Zero fighter ini. Musuh menyerang dengan kapal perang itu kan? Ini juga bisa terbang, Aku akan memikirkan jalannya."

"Apa yang bisa kau lakukan dengan mainan seperti ini?!"

"Ini bukan mainan."

Saito mencengkram sayap Zero fighter dengan tangan kirinya. Tandanya bersinar. "Ini adalah sebuah senjata dari duniaku. Ini alat untuk membunuh orang. Ini bukan sebuah mainan."

Louise menggelengkan kepalanya. "Apapunlah, tak peduli ini senjata dari duniamu atau bukan, tak mungkin kau bisa menang melawan kapal-kapal perang yang begitu besar itu? Kau tak bisa membuat perbedaan! Tinggalkan ini pada para prajurit!" kata Louise yang menatap mata ke mata pada Saito.

Orang ini...familiar cerobaoh ini tak tahu apapun tentang perang, pikir Saito. Ini berbeda dari perjalanan mereka ke Albion. Medan pertempuran adalah sebuah tempat yang berisi kematia dan kehancuran, jika seorang amatiran pergi, ia hanya akan menghasilkan kematiannya.

"Dia bilang angkatan udara Tristain telah disapu bersih kan?"

Saito pelan-pelan menepuk Louise di kepala dan berbicara dengan nada rendah. "Ia mungkin tak berarti apa-apa. Aku tak bisa membayangkan kapal-kapal perang itu. Tapi..."

"Tapi apa?"

Aku tak sepenuhnya mengerti, tapi aku telah menerima kekuatan familiar legendaris ini. Jika aku hanya orang biasa dan normal, aku takkan berpikir pergi untuk menyelamatkan mereka. Tapi ini berbeda. Aku punya kekuatan Gandálfr. Aku mungkin bisa menyelamatkan mereka. Aku mungkin bisa menyelamatkan Siesta...dan penduduk desa itu."

"Kemungkinannya hampir 0."

"Kutahu itu. Tapi, ia tak 0. Jadi, aku akan melakukannya."

Terkejut, Louise membalas. "Apa kau tolol? Kau ingin kembali ke duniamu sendiri kan? Bagaimana mati disini akan membantu?!"

"Siesta memperlakukanku dengan baik. Kau juga Louise."

Wajah Louise memerah.

"Aku bukan dari dunia ini. Aku tak perlu peduli apa yang terjadi di dunia ini, tapi aku ingin setidaknya busa melindungi orang-orang yang telah memperlakukanku dengan baik."

Louise menyadaro tangan Saito gemetaran. Mengangkat kepala, dia berkata, "Bukankah kau taku? Tolol. Berhentilah bertingkah keren jika kau takut!"

Aku takut. Aku bahkan enggan melakukan ini. Tapi pangeran itu bilang, pentingnya melindungi sesuatu, akan membuatmu melupakan takut akan kematian. Kupikir dia benar, Waktu itu, saat 50.000 prajurit Albion datang menyerbu kita...Aku tak takur. Aku sibuk berpikir melindungimu, jadi aku tak takut. Aku tak berbohong."

"Apa kau bilang? kau hanya seorang jelata. kau bukan pangeran yang berani atau apapun."

"Kutahu itu. Ini toada hubungannya dengan apakah aku seorang pangeran atau jelata. Negara dimana kau dilahirkan,zaman...bahkan di tiap dunia, itu tiada hubungannya. jika kau seorang lelaki, maka kau pasti berpikiran sama."

Wajah Louise mulai kacau sebab dia berusaha menahan airmatanya. "Jika kau mati. apa yang akan kulakukan...? Tidak///Aku, jika kau mati..."

"Aku takkan mati. Aku akan kembali. Jika aku mati, aku takkan bisa melindungimu kan?'

"Aku juga pergi."

"Tidak, kau tinggal disni."

"Tidak. Aku juga pergi.'

"Kau tak bisa."

Begitu keberaniannya yang denagn susah payah ditemukan hendak kabur darinya, Saito melepaskan dirinya dar Louise dan mendaki ke kokpit dari sayap. Tiba-tiba dia sadar dia. Dia belum isi ulang bahan bakar pesawatnya. Saito meninggalkan Louise disana dan buru-buru ke lab Colbert. Dengan kepalannya tekepal erat, dia menggeram. Mengapa dia begitu keras kepala! Meski kubilang ini bakal berbahaya...Louise menggigit bibirnya dan menahan airmatanya. Tiada yang akn dihasilkan dari menangis. Louise memandangi Zero fighter. "Apa kesempatan yang dimiliki oleh barang ini melawan tentara Albion!?"


Saito membangunkan Colbert yang tidur.

"Huh? Apa?"

"Pak Colbert! Apa kau sudah membuat gasolinnya?"

"Huh? Ya. Aku membuatnya sejumlah yang kau perlukan. Ia disana."

"Maka bantulah aku embawanya! Cepatlah!"

Colbert membawa gasolinnya untuk saito. Colbert, yang masih setengah tertidur, tak tahu apa-apa tentang perang. Saito tak ambil pusing menjelaskan.

"Kau akan menerbangkannya begitu pagi? Setidaknya biarkan aku menyegarkan diri."

"Kita tak punya waktu untuk itu."

Louise tak terlihat dimana. Dia lega. Jika Louise memohon padanya untukt ak pergi sekali lagi, kehendaknya bakal luntur. Tiada alasan bagi dia untuk tak takut. Pangeran memang mengatakan bahwa pentingnya melindungi sesuatu akan membuat takut akan mati pergi, tapi...tidak. ia tetap menakutkan. Meski begitu, saito duduk di kokpit dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk memulai mesin. Colbert lalu menggunakan sihirnya seperti sebelumnya dan mesin mulai jalan. Mesin mulai dengan suara keras dan baling-baling mulai berputar.

Dia mengecek gauge. Tanda di tangan kirinya bilang padanya semuanya normal. Dia memeriksa senapan mesin dihadapannya. Pelurunya terisi. Senapan mesin di sayap juga terisi. Melepas remnya, Zero fighter itu mulai bergeral. Dia melihat hadapannya dan menuju arah untuk titik lepas landas terbaik. "Austri" bukanlah halaman kecil tapi tanda Gándalfrnya bilang ini agak terlalu pendek untuks ebuah landasan. Di saat itu, Derflinger, yang bersender di kokpit, bilang"Rekan, bilang pada sang ningrat untuk menggunakan angin untuk mendorongmu dari belakang."

"Angin?'

"Ya, jadi barang ini bisa lepas landas meski dengan jarak yang kependekan."

"Bagaimana kau tahu itu? Kau tak tahu apapun soal pesawat terbang."

"Ini "senjata" kan? Aku selalu bersamamu. Aku tahu soal ini dalam hal umum. Apa kau lupa? Aku legendaris."

Saito menyembulkan kepalanya dari penghalang angin dan berteriak memanggil Colbert, Suaranya tak mencapainya. Dia mencoba beberapa tanda, memberitahukan Colbert untuk meniupkan angin dari belakang. Colbert cepat mengerti. Dia mengerti tanda Saito dan mengangguk. Begitu pembacaan mantra selesai, sebuah hembusan angin nan kuat datang dari belakang. Dia mengenakan kacamata yang Siesta percayakan padanya dan mengendurkan tekanan pada rem.

Dia membuka flap cowl dan menyeimbangkan tuas pitch baling-baling. Dia lalu melepas ren dan menekan tuas throttle ke bawah. Bagai per, Zero fighter maju dipercepat dengan gaya hebat. Dia menekan tongkat kontrol perlahan kedepan. Ekor telah meninggalkan tanah, Zero fighter tengah melayang. Ia mencapai dinding akademi. Saito menelan ludah.

"Rekan! Sekarang!"

Tepat ketika mereka hendak menabrak dinding, dia menarik tongkat kendali. Zero fighter melayang ke atas seketika. Menggesek dinding sedikit, Zero fighter terbang ke udara, Dia menarik masuk roda pendaratan. Cahaya indikator, bawah kiri dari gauge berubah dari hijau ke merah. Zero fighter terus meninggi. Saito melihat pada tanda dengan wajah lega.

"Wow! IA terbang! Ini menarik sekali!: kata Derflinger yang bergairah.

"Tentu saja. Ia dibuat untuk terbang."

Dibawah matahari nan terang, Zero fighter membelah angin, dan meninggi ke langit dari dunia lain.


Api yang berkobar di Tarbes telah mereda tapi daerah itu telah berubah jadi medan pertempuran nan kejam. Batalion telah disusun di medan dan menunggu saat mereka akan bertemu dengan tentara Tristain di kota pelabuhan La Rochelle. Diatas mereka ada Naga-naga Lexington yang melindungi mereka. Dragoon-dragoon Tristain menyerang secara sporadis, tapi mereka semua dipaksa untuk mundur.

Sebelum pertempuran, Komando Albion memutuskan bahwa mereka akan menggunakan meriam-meriam dari kapal perang untuk mengurus tentara Tristain. Dan karenanya, angkatan udara menyiapkan meriam-meriamnya. Satu dragoon dipengintaian diatas tarbes menyadari ada dragoon musuh mendekat dari atas, sekitar 2500 meter jauhnya, Si dragoon membuat naganya berteriak, memperingatkan yang lain bahwa seorang msuuh mendekat. _______________________________________________

Saito melihat keluar dari perisai angin dan melihat Tarbes dibawah. Tiada bekas dari desa sederhana nan indah yang dilihatnya sebelumnya. Rumah-rumah dikotori dengan asap hitam yang membumbung dari mereka. Dia mengertakkan gigi. Dia mengingat bagaimana kemarin-kemarin dia dan Siesta melihat-lihat di ladang. Perkataan Siesta terngiang dalam kepalanya. "Bukankah ladang ini indah? Ini yang ingin kutunjukkan padamu Saito."

Sebuah unit dragoon menyemburkan api pada hutan di luaran desa. Hutan itu langsung berkobar. Saito menggigit bibir. Dia bisa meraskan darah di mulutnya.

"Kubunuh kau." katanya dengan nada rendah.

Saito menekan tongkat kendali ke bawah kiri sambil menekan throttle dengan pasti. Zero fighter mulai menyusur ke bawah menuju Tarbes.


"Apa sih yang bisa dilakukan satu dragoon?" gumam dragoon yang meninggi begitu mereka bersiap menyerang.

Namun, ia punya bentuk yang tak biasa. Ia punya dua sayap horizontal yang terentang keluar, seakan ia kaku dan tak berkepak. Ia juga membuat raungan bagai halilintar mereka tak pernah dengar sebelumnya. Apa naga semacam ini ada di Halkegenia?

Namun...tak peduli naga macam apa itu. oa akan dihabisi dengan sekali semburan dari naga api Albion, seperti yang lain. Saat sayapnya terbakar, ia mungkin jatuh, Menggunakan strategi ini, mereka sudah membunuh dua dragoon Tristain.

"Ini yang ketiga." kata dragoon yang menunggu musuh yang turun, dengan ujung mulut yang membengkok tersenyum.

Dia terkejut, Ia cepat. Lebih cepat dari naga apapun. Panik, si dragoon membuat naganya menyemburkan api. Saat itu, sayap dari musuh yang turun berkilat. Sesuatu nan putih dan bersinar degan jumlah tak terhitung terbang menuju dia. Lubang-lubang besar muncul di badan dan sayap naga. Sebuah peluru masuk mulut naga, Seekor naga api punya kantong-kantong minyak untuk pembakaran yang kuat di lehernya, Keping meriam otomatis kena satu dari kantong itu. Si naga api meledak.

Melewati naga yang meledak di udara, Saito terus turun dalam Zero fighternya. Jangkauan senapan mesin si fighter 10x semburan naga api. Membarkan amarahnya mengendalikannya. dia menembakkan 20 mm keping meriam auto dan senapan mesin 7,7 mm pada kedua sayap naga. Empat naga lain terbang diatas langit diatas desa. Mereka telah melihat naga yang meledak dari serangan musuh. Serangannya bukan berupa semburan. Yang berarti itu kemungkinan serangan berdasar sihir. apapun serangan itu, satu dragoon sendiri takkan bisa berbuat apa-apa. Tiga dragoon naik untuk menyerang.

"Tiga lagi datang dari bawah kiri," kata Derflinger dengan nadanya yang biasa.

Tiga naga tersebar dibawahnya dan naik.

"Jangan kena semburan mereka. kau akan terbakar jadi abu seketikan."

Saito mengangguk. Dia melakukan putaran 180 derajat diatas para dragoon. Menggambarkan jalan mirip spiral di leher botol, dia berakhir di belakang para dragoon. Para dragoon tak bisa mengikuti. Kecepatan naga api sekitar 150 km/jam, Zero fighter mendekati 400 km/jam. Ini seperti menyerang sesuatu yang tak bergerak.Begitu dragoon yang panik berbalik, mereka sudah terkunci. Saito mengarahkan penunjuk pada panel gelas di alat pennglihatan dan menekan tombol tuas throttle penembak.

Dengan sebuah suara desingan yang diikuti getaran pesawat, meriam auto pada kedua sayap membuka tembakan. sayap naga api hancur, dan mereka jatuh berputar. Ini langsung diikuti penekanan kaki Saito pada tuas kaki kanan dan melayangkan si Zero fighter, menyasar naga berikutnya. Saito menembak lagi. Kena tembakan sebegitu banyak dari meriam auto pada perutnya, naga api berteriak kesakitan dan jatuh menuju tanah. Saat yang ketiga tiba-tiba menyelam untuk kabur, senapan mesin 7,7 mm mengisi tubuhnya dengan lubang, naga api itu mati dan jatuh lurus ke bawah.

Saito dengan cepat menaikkan pesawat, mengendalikan pesawat secara alami. Dia menukar kecepatannya ke tinggi. Melawan naga-naga, Zero fighter yang memiliki mesin resipokrasu, punya kelebihan di kecepatan itu. Begitu Zero fighter turun, kecepatan akan meningkat. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengendalikan daerah di atas musuh, Dengan tanda bersinar di tangan kirinya, dia memanuverkan Zero fighter bagai seorang veteran. Derflinger, yang menjadi mata untuknya, bilang soal target berikutnya. Tepat ketika dia hendak mengarahkan pesawat kesana, Dia mendengar sebuah suara di belakangnya. "I-I-I-I-itu luar biasa! Para naga Albion ini katanya tak tertandingi, tapi mereka jatuh bagai lalat!"

Kaget, Saito berbalik. Kepala Louise menyembul dari celah diantara kursi dan sisa pesawat. Aslinya, dibelakang kursi ada radio besar nan bodong, tapi karena ini dunia dimana tiada orang yang bakal mengontaknya melalui radio, dia melepasnya saat dia menyesuaikan pesawat. Setelah melepasnya, hanya kabel-kabel yang tersambung ke rudder yang tersisa. Louise telah menyusup masuk sana,

"Kau disini selama ini!? Turun!"

"Tak mungkin aku turun sekarang!"

Tangan Louise memegang Buku Doa snag Pendiri. Sepertinya dia tak kemana-mana seperti yang saito pikirkan dan malah menyusup masuk pesawat.

"Ini bahaya! Tolol!"

Lousie dengan erat mencekik lehernya. "Jangan lupa!"

"KAU...ADALAH...FAMILIARKU...JADI...JANGAN....PERGI...MELAKUKAN...SEMAUMU! AKU....TAKKAN...MEMAAFKANMU...MENGERTI!?"

Karena mesin menenggelamkan suaranya, dia berteriak di kuping Saito.

"Aku tuanmu! Jika seorang tuan tak memimpin jalan, maka si familiar takkan mendengarkan! dan aku akan membenci itu!"

Saito menjatuhkan bahunya, mendesah berat. Sepertinya perkataan seperti "Ini bahaya, jangan datang" tak punya efek sama sekali pada Lousie.

"Bagaimana kalau kau mati?!"

"Ya berusahalah lebih keras! Bahkan jika kau atau aku mati. Aku masih akan mencari jalan untuk membunuhmu!" teriaknya pada Saito dengan mata membelabak.

Saito merasakan pening dari hal-hal tak waras yang keluar dari mulut Louise,

"Rekan, maaf menyela, tapi..."

"Apa?"

"10 dari kanan baru saja tiba."

Semburan lima naga api terbang pada mereka. Dia langsung menekan dengan cepat tongkat kendali ke kiri saat itu. Pesawat berputar dan menghindari semburan naga. Louise terjatuh dalam pesawat dengan tangis kecil.

"Kendalikan ia lebih elegan!"

Saito berteriak, "Jangan beromong kosong!", dan membuat pesawat turun. Para dragoon tak bisa mengikuti gerakannya. Mengambil keuntungan dari gerakannya, dia buat pesawat naik, dan saat puncak dia berbalik lagi. Menyasar para dragoon yang mengejar dia sebelumnya, dia menembakkan meriam auto dam senapan otomatis pada mereka. Louise, yang terjatuh dalam pesawat, tengah hendak menangis ketakutan. "Mungkin seharusnya aku tak ikut>" Takutnya menanyinya. Dia menggigit bibirnya dan menggengga, Buku Doa sang Pendiri erat-erat. Bukankah aku menyusup naik karena aku tak bisa biarkan Saito mati? Hei, jangan berpura-pura kau berjuang sendirian, aku juga berjuang!

Meski begitu, dia tak bisa berbuat apa-apa. Selalu saja seperti ini, tapi kali ini dia merasakan segurat sesal. Tapi, meski begitu, kalah dari ketakutanmu takkan menyelesaikan apa-apa. Dia mencari-cari di kantongnya untuk Rubi Air yang diberikan Henrietta padanya, dan mengenakannya. Dia menggenggam jari itu erat.

"Putri, tolong lindungi kami..." bisiknya.

Dia menepuk Buku doa Sang Pendiri di tangan kanannya dengan lembut. Pda akhirnya, dia belum menyelesaikan eprosa. Dia mengutuk dirinya yang kekurangan bakat bersyair. Dia berharap memikirkan prosa pada kereta ke Germania. Itu benar, Aku akan ke upacara pernikahan. Aku tengah menunggu kereta datang diluar gerbang akademi. Aku lalu belajar perang telah berkobar. Takdir adalah hal yang sinis. Doa membuka Buku Doa sang Pendiri sambil bergumam pada dirinya sendiri. Doa berencana berdoa pada Sang Pendiri untuk keselamatan mereka. Dia membuka buku dan membalik acak sebuah halaman. Rubi air dan Buku Doa sang Pendiri tiba-tiba bersinar, mengejutkan Louise. ________________________________________

"Mereka...disapu bersih? Hanya dalam 20 menit, mereka disapu bersih?"

Sir Johnston, Komandan tertinggi tentara penyerbu, yang berada di dek kapal pemimpin, Lexington, melihat-lihat persiapan serangan pembombardiran dengan meriam-meriam. kapal, memucat mendengar laporan.

"Berama unit mush disana? seratusan? Tristain punya dragoon segitu banyak tersisa?"

"Pak, M-menurut laporan, hanya satu."

"Sebuah unit tunggal?"

Johnston berdiri mematung tak bergerak, Dia membanting topinya ke tanah. "Omong kosong! 20 naga dikalahakan satu unit musuh? Pasti dusta!"

Ketakutan melihat tingkahkomandan tertinggi, sang utusan mundur selangkah. "Berdasarkan laporan, dragoon musuh punya kecepatan dan kellncahan tinggi, dan juga serangan berdasar sihir yang kuat dan jangkauannya jauh. Unit kita dibunuh satu demi satu..."

Johnston mencengkram si utusan. "bagaimana dengan Wardes?! Wardes, yang diberikan komando para dragoon, bagaimana dengannya?! Apa yang terjadi dengan orang Tristain sombong itu?! Apa dia juga terbunuh?!"

"Naga angin viscount tak masuk daftar. Tapi...sepertinya dia tak terlihat dimana-mana..."

"Jadi dia mengkhianati kira! Atau sebaliknya dia terlalu pengecut! Yang manapun itu, kita tak bisa mempercayainya..."

Sambil diam-diam menjulurkan tangannya, Bowood berkata,"Bereaksi seperi itu di hadapn seluruh prajurit akan menurunkan gairah mereka, ketua komandan."

Marah, Johnston melampiaskannya pada Bowood.

"Apa kau bilang?! Salahmu para dragoon disapu bersih! Kekurangan kompetensimu meminta para dragoon kita yang berharga hancur! Aku akan melaporkan ini pada Yang Mulia. Aku akan melaporkannya!" teriak Johnston begitu dia menjulurkan lengannya untuk mencengkram Bowood.

Bowood menghunus tongkatnya dan memukul perut Johnston. Putih matanya terlihat dan Johnston pingsan ke tanah. Bowood memerintahkan para prajurit untuk membawanya pergi. Seharusnya kubaut tidur dari tadi. pikir Bowood. Keributan selain ledakan dan meriam hanya mengesalkan para tentara. Sebuah keputusan tungga; bisa jadi perbedaan diantara kemenangan dan kekalahan, terutama selama pertempuran. Bowood menghadap utusan yang tengah menatapnya khawatir. Dia berkata dengan nada tenang dan dingin. "Meski kekuatan dragoon telah disapu bersih, Lexington tak kena. Juga, Wardes kemungkinan menjalankan sebuah rencana. Jangan khawatir, terus berusahalah dalam apa yang tengah kau lakukan."

"Sebuah unit tunggal menghancurkan 20 unit? Seorang pahlawankah..." bisik Bowood.

Tapi hanya seorang pahlawan. Berarti, hanya satu orang, Tak peduli sekuat papun satu orang, akan ada hal yang bisa dia ubah dan yang tak bisa dia ubah..

"Dan kapal ini yang terakhir," bisik Bowood.

Dia mengeluarkan perintah. "Majukan seluruh kloter. Siapkan meriam-meriam kiri."

Setelah sesaat, nun jauh disana, di ujung lain dari padang Tarbes, Susunan perang dari tentara Tristain, bertempat di la Rochelle, yang merupakan benteng alami karena guung-gunung yang mengelilinginya, dapat terlihat.

"Seluruh kloter maju pelan-pelan. Kapal ke kanan."

Kloter berputar sehingga tentara Tristain bakal menghadapi sisi kiri mereka.

"Tembakkan meriam-meriam kiri. Terus menembak hingga perintah lebih lanjut."

"Bagian bawah dan atas, siapkan meriam kanan. Gunakan peluru anggur." _______________________________________

500 m didepan tentara Tristain yang menyemut di La Rochelle, tentara musuh dapat terlihat. Ia berbendera panji Reconquista berwarna tiga, dan mendekat perlahan. Tak pernah melihay musuh nyata sebelumnya, Henrietta, yang menaiki seekor unicorn, gemetaran. Dia menutup matanya untuk berdoa meminta agar para tentara disekelilingnya takakn melihatnya gemetaran ketakutan. Tapi...ketakutannya tak berhenti dengan begitu mudah. Henrietta menengadah pada kloter raksasa musuh dan memucat. Itu kloter Albion. Sisi kloter berkilat. Itu tembakan musuh. Kepingan meriam yang dipercepat gravitasi beterbangan menuju tentara Tristain.

Kena. Ratusan kepingan meriam menghujam tentara di La Rochelle. Bebatuan, kuda-kuda, dan orang-orang terlempar bersama, diterbangkan ke udara. Tentara mencoba menghindar dari kekuatan yang melampaui mereka. Tempat itu tenggelam oleh suara raungan kilat.

"Tenanglah! Tenanglah Semuanya !" teriak Henrietta, didorong oleh takutnya.

Mazarini berbisik ke telinga Henrietta. "Kau mesti tenang dulu. Jika sang Jendral kebingungan, maka akan kacau dalam sekejap mata."

Mazarini cepat-cepat berbisik pada jendral didekatnya. MEski Tristain negeri kecil, ia berisi sejarah. Sejarahnya melibatkan banyak ningrat-ningrat yang terhormat. Dari seluruh negeri di Halkegenia, tentara Tristain punya persentase tertinggi dalam soal penyihir di barisannya. Dengan perintah Mazarini. para ningrat menciptakan dinding udara di celah antara gunung-gunung. Kepingan akan mengenainya dan pecah. tapi beberapa kepingan menerobosnya. Teriakan dapat terdenagr dengan bebatuan dan darah yang muncrat.

Begitu musuh menghentikan bombardir mereka, mereka hampir pasti melakukan serangan besar-besaran. Tiada jalan lain selain menghadapi mereka." bisik Mazarini.

"Apa ada kesempatan menang?"

Mazarini menyadari bahwa para prajurit mulai gemetaran pada bombardir musuh. Mereka telah maju dengan keriuhan yang besar tapi...ada batas pada keberanian orang. Dia tak ingin mengatakan kenyatannnya pada putri yang membuatnya mengingat sesuatu yang telah dia lupakan.

"Kita seimbang."

Kena.Tanah dibawah mereka bergetar bagai gempa. Mazarini dengan perih mengeri keadaan. 3.000 tentara kuat yang disusun oleh jumlah musuh, sedangkan tentara mereka, yang retak akibat bombardir, hanya berjumlah 2.000. Mereka tak punya kesempatan. ____________________________________

Louise melihat huruf-huruf yang muncul dalam cahaya. Ia...tertulis dalam huruf kuno. Karena Louise serius di kelas, dia bisa membaca bahasa kuno. Louise mengejar huruf-huruf dalam cahaya. Maju. Karenanya, aku akan merekam kebenaran yang kuketahui. Seluruh materi di dunia tersusun dari zat halus. Keempat cabang bertemu dengan zat-zat halus ini dan mempengaruhi mereka, yang merubah mereka kedalam mantra. Inilah bagaimana "Api", "Air", "Angin" dan "Bumi" terjadi.

Louise sangat penasaran. Dengan perasaan tak sabar, dia membalik halaman.

Para dewa memberkahiku sebuah kekuatan yang lebih kuat. Zat-zat halus, dimana keempat cabang mempengaruhi, tersusun oleh zat yang lebih halus lagi. Kekuatan yang diturunkan padaku oleh para dewa, tak berasal dari keempatnya. Cabang yang kubawa bercampur dengan zat-zat yang lebih halus dan mempengaruhinya, merubah mereka menjadi mantra-mantra. Sebuah Zero yang tak berasal dari keempatnya. Zero yang disebut ini adalah "Void". Kunamakan Zero yang para dewa turunkan padaku sebagai "Void".

"Cabang Void...Bukankah itu sebuah legenda? Bukankah itu cabang legendaris itu?!"

Berbisik pada dirinya sendiri, Louise membalik halaman. Denyutnya semakin cepat. Saito, yang telah menyapu bersih kloter dragoon, melihat langit sekeliling. Diatas padang, dia menemukan sebuah kapal perang besar diantara celah awan-awan, nun jauh disana. Dibawah kapal itu, adalah kota pelabuhan La Rochelle.

"Rekan, itu kepalanya. Tak peduli seberapa banyak kecoa yang kau jatuhkan, jika kau tak menjatuhkan yang itu,,,tiada yang berubah..."

"Kutahu itu."

"Ia mustahil."

Saito tetap diam dan membuka throttle Zero fighter. Ia berkecepatan penuh, Zero fighter naik menuju kapal perang besar itu.

"Ini mustahil, rekan. tak peduli seberapa banyak kau coba, ini mustahil."

Derflinger, yang telah memeriksa perbedaan kekuatan, bilang itu pada Saito dalam nadanya yang biasa. Tapi, Saito tak merespon. 'Aku mengerti...tapi rekanmu seorang tolol."

Saito mendekatkan Zero fighter. Sisi kanan kapal bersinar. Menyasar Zero fighter, sesuatu terbang menuju mereka. Mereka peluru timbal yang tak terhitung jumlahnya. Mereka merobek pesawat hingga berlubang sembari menggetarkannya. Memecahkan pemecah anginnya, sebuah selongsong menggores pipi Saito. Sealir darah mengalir menuruni wajahnya.

"Jangan mendekatinya! Mereka menggunakan tembakan anggur!" teriak Derflinger.

Saito menyelamkan Zero fighter, menghindari putaran kedua tembakan.

'Sial, mereka mengisikan peluru-peluru kecil dalam meriam-meraim raksasa itu!"

Saito menggigit bibirnya. Dia tak bisa mendekati kapal, apalagi menenggelamkannya. Dibelakang kursi, Louise telah kehilangan jiwanya dalam membaca buku Doa Sang pendiri. Suara yang bergemuruh tak mencapai telinganya. Dia hanya bisa mendengar denyutnya sendiri yang bertambah keras dan semakin keras.

Yang bisa membaca ini, akan mewarisi tindakan, pikiran dan tujuanku. Mereka akan menjadi penanggung kekuatan ini. Jadilah bijaksana, wahai pemakai kekuatan ini. Untuk kawan-kawanku dan aku, yang mati tanpa terpenuhi maksud kami, kau harus berusaha mengambil kembali "Tanah Suci" yang dicuri para kafir. "Void" sangat kuat. Tapi, pembacannya sangat panjang dan memakan banyak energi. Perhatikanlah, pembaca. Dari waktu ke waktu, hidupmu akan mengecil tergantung kekuatannya. karenanya, aku memilih pembaca buku ini. Bahkan jika ada yang tak pantas mengenakan cincin, mereka tak bisa membuka buku ini. Hanya pembaca terpilih yang memakai cincin dari "Cabang yang empat" yang bisa membuka buku ini.

Brimir Ru Rumiru Yuru Viri Vee Varutori (ブリミル・ル・ルミル・ユル・ヴィリ・ヴェー・ヴァルトリ)

Berikut, adalah rekamanku atas mantra "Void" yang kugunakan. Langkah pertama di saat paling awal. "ledakan".

Sebuah mantra dalam bahasa kuno terpampang setelahnya. Mematung. Louise berbisik, "Brimir sang Pendiri, bukankah kau lupa sesuatu? Jika aku tak mengenakan cincin ini, aku takkan bisa membaca Buku Doa sang Pendiri kan? Hal tentang pembaca terpilih...dan bagian "perhatikanlah" tiada artinya kalau begitu."

Kemudian dia menyadarinya. Pembaca terpilih...itu berarti...akulah si pembaca terpilih?...Aku tak benar-benar mengerti tapi...Aku bisa mebaca kata-katanya. Jika aku bisa membacanya, aku mungkin bisa melakukan mantra yang tertulis disini. Louise ingat tiap kali dia dia membaca mantra, sebuah ledakan bakal ada. Itu...dengan kata lain, "Void" yang tertulis disini?....Saat dia memikirkannya, tiada yang bisa bilang padanya alasan dia membuat segalanya meledak. Orang tuanya, kakak-kakak perempuannya, guru-gurunya...teman-temannya juga...mereka hanya menertawainya sebagai sebuah "kegagalan". Mereka tak berfikir apa-apa soal ledakannya.

Mungkin aku memang sang pembaca terpilih. Aku tak bisa benar-benar mempercayainya, tapi mungkinaku adalah sang pembaca terpilih. Ini mungkin bisa dicoba. Dan juga...Tiada lagi yang akan kehilangan sekarang. Dia tenang dan dingin. Huruf yang dia baru saja baca ada di ujung lidahnya seakan mereka telah seringn bersalaman. Bagai nyanyian yang didengarnya di masa kecil, nada mantra entah kenapa rasanya mirip.

Aku akan mencobanya.

Louise bangkit. Dari belakang kursi, dia mulai menuju kedepan melalui celah.

"Apa yang kau lakukan?! Diam sajalah! Argh! Aku tak bisa lihat depanku! hei!"

bagai seekor ular, dia menyusup melalui celah denagn tubuh mungilnya. Dia telah berhasil ke depan kursi, dimana Saito tengah duduk. Dia mendudukkan pantat kecilnya di antara kaki Saito yang melebar.

"...Aku tak bisa mempercayainya tapi...Aku tak bisa benar-benar mengatakannya tapi...Aku mungkin telah dipilih. Meski, Ini kemungkinan hanya sebuah keslahan." gumam Louise.

"Hah?"

"Dengarkan saja aku. Terbang dekat kapal perang, Ini mungkin basbang...tapi mencobanya lebih baik daripada tak berbuat apa-apa. Lagipula, tiada jalan lain untuk menenggelamkan kapal perang itu...Jalan satu-satunya adalah aku yang melakukan itu. Aku mengerti. Aku akan mencobanya."

Saito mematng oleh Louise yang sibuk sendiri. "Apa kau baik-baik saja? Kau akhirnya jadi gila karena ketakutan?"

Louise berteriak pada Saito. 'Aku bilang padamu untuk mendekatinya kan?! Aku tuanmu! Para familiar mematuhi perintah tuan mereka tanpa membantah!"

Tiada gunanya melawan Louise saat dia menggunakan sikap mengancam begitu. Saito dengan enggan mendekati kapal perang raksasa itu. Tembakan anggur terbang menuju mereka. Pergi ke sisi kiri kemungkinan hasilnya sama. Kapal itu juga punya meriam-meriam di bawahnya. Lexington bagaikan landak dengan meriam.

"Apa yang kau lakukan?!"

"Mustahil! Aku tak bisa mendekatnya sama sekali!:

Bagaikan tiba-tiba terpikir sesuatu, Derflinger buka mulut. "Rekan, lurus ke atas kapal."

"Eh?"

"Ada titik mati disana. Dimana meriam-meriam tak bisa mencapainya."

Saito naik hingga di atas Lexington sebagaimana dia dibilangin. Louise naik ke bahu Saito. Dia membuka kanopi. Sehembus angin kuat bertiup melewati wajahnya.

"Hei! Apa yang kau lakukan?! Tutup itu!"

"Hingga aku memberimu tanda, tetap berputar disekitar sini."

Louise mengambil napas dalam-dalam dan menutup matanya. Kemudian, seakan terpantik, dia membuka matanya dan mulai mebaca huruf-huruf dalam Buku Doa sang Pendiri. Dia membaca mantra diantara raungan mesin. Saito berputar-putar diatas Lexington dalam Zero fighter sebagaimana dibilang padanya. Saat itulah...

"Rekan, belakangmu!"

Cepat-cepat menoleh kebelakang, sebuah dragoon dapat terlihat terbang menuju mereka bagai sebuah topan. Itu Wardes!!! _________________________________

Menaiki seekor naga angin, Wardes menyeringai, Dia tersembunyi awan-awan diatas Lexington, menunggu kesempatan menyerang, Jadi ini dragoon misterius yang meremukkan seluruh naga api. Wardes tak punya banyak kesempatan menang bila dia berhadapan muka ke muka. Yang adalah mengapa dia harus menyasar titik lemah. Rencananya bergantung pada si kapal perang. Sasaran musuh pastilah kapal perang ini, Dan jika ia seorang musuh yang ahli, dia pasti bisa menemukan titik matinya. Karenanya, bersembunyi di dekatnya dan menunggu adalah pilihan terbaik. Perkiraan Wardes tepat.

Sasarannya mulai menukik. Oh begitu...dia menghindari naga-naga api seperti itu. Tapi kecepatan naga anginku lebih tinggi dari para naga api itu. Wardes dengan pasti memendekkan jarak yang memisahkan mereka. Dengan rasa ketertarikan yang tinggi, dia memandangi Zero fighter. Ia bukan seekor naga. Itu...bukan sesuatu yang terbuat dari logika Halkegenia..."Tanah Suci"kah?...Dia melihat wajah yang dikenalnya, dengan rambut pink blondenya, didalam kokpit. Seringai pada wajah Wardes semakin lebar.

Jadi kau masih hidup...Berarti yang mengendalikan naga palsu adalah...Lengan kiri yang pernah dia kehilangan berdegup...Semburan naga anginnya tak berguna. tapi dia punya mantranya yang kuat. Menggenggam kekang dengan tangan kiri buatannya, Wardes membaca sebuah mantra. "Tombak Udara;. Udara memadat untuk membentuk sebuah tombak untuk merobek mereka. ____________________________________

Saito tak bisa melepaskan naga yang mengikuti mereka. Dengan Louise menaiki bahunya, Saito mulai merasa frustasi. Tapi...jika aku mati disini, aku takkan bisa melindungi Louise atau Siesta. Tanda pada tangan kiri Saito bersinar terang. Dia mengeset throttle ke minimum dan membuka seluruh flap. Bagaikan ada yang mencengkram Zero fighter, kecepatannya turun drastis. Dia menekan tongkat kendali ke bawah kiri. Di saat yang sama, dia menginjak pedal kaki. Bumi dan langit disana berputar-putar mengelilingi mereka.

Zero fighter telah menghulang dari pandangan wades, yang baru saja selesai membaca mantranya. Tanpa lelah, dia melihat sekitar. Mereka tiada dimana-mana untuk dilihat. Tapi, merasakan denting rasa membunuh dari belakang, wardes berbalik. Si Zero fighter dengan mulus membentuk spiral menukik bagaikan membentuk jalan dalam sebuah botol. Ia dengan cepat berada di belakang naga angin Wardes. Diikuti cahaya terang, peluru senapan mesin menembus si naga angin, yang sisiknya lebih tpis daripada naga api. Wardes terkena di bahu dan punggung, wajahnya tak karuan kesakitan. Si Naga angin mengerang. Bagaikan melayang turun perlahan, naga yang dinaiki Wardes menabrak tanah.

Saito menaikkan Zero fighter sekali lagi. bahkan saat dia melakukan manuver-manuver tadi, Louise mencengkram bahu Saito erat. Tentu saja, Louise kan sangat ahli dalam menunggangi kuda. Louise melanjutkan bacaannya dengan nada rendah, Apa-apaan sih yang dilakukannya, pikir Saito.

"Eoruu Suunu Firu Yarunsakusa"

Sebuah irama mulai berdenyut melalui Louise. Dia merasa seolah-olah dia tahu irama itu entah darimana. Tiap kata demi kata dibacakan, irama itu menguat. IA mengasah indranya, dan tiada suara apapun disekitar yang mencapai telinganya. Ia bagaikan sesuatu dalam tubuhnya terlahir, dan tengah mencari sebuah ujuan...Louise teringat apa yang pernah sekali dikatakan padanya dulu. Saat kau membacakan mantra cabangmu sendiri, sebuah perasaan mirip dengan apa yang dirasakannya dapat terasa. Apa ini benar apa yang kurasa? Aku, yang selalu dihina sebagai seorang zero. Aku, yang dikatakan tak punya bakat apapun dalam sihir oleh para guru, orang tua, kakak perempuan dan murid. Apa inikah aku yang sebenarnya?

"Osu Suunu Uryu Ru Rado"

Dia bisa merasakan sebuah gelombang lahir didalam dirinya, pelan-pelan membesar.

"Beoozusu Yuru Suvyueru Kano Oshera"

Gelombang didalam dirinya, yang mencari sebuah tujuan, mengamuk. Louise memberi Saito tanda dengan kakinya. Saito mengangguk dan menekan tongkat kendali kebawah. Zero fighter mulai menukik pada Lexington dibawah mereka. Membuka matanya, dia memaskan pembacaannya,

“Void”

Cabang legendaris dari sihir...Seberapa kuatkan ia?...Tiada yang tahu...Tentu saja. tiada alasan bagiku untuk tahu...Ini seharusnya melebihi legendaris.

"Jera Isa Unjyuu Hagaru Beookun Iru…"

Setelah pembacaan yang begitu panjang, mantranya sempurna. Tepat saat itu, Louise mengerti kekuatan mantra itu. Ia akan menelan semua. Seluruh orang dalam sudut pandangnya, akan tertelan sihirnya. Ada dua pilihan. Bunuh, atau tidak. Apa yang diinginkannya untuk hancur? Dengan angin menerpa wajahnya, dia melihat ke bawah. Sebuah kapal perang besar muncul di hadapannya. Lexington. Mengikuti denyutnya, dia menyasar satu titik dan mengayunkan tongkatnya ke bawah. ____________________________________

Sebuah pemandangan yang sukar dipercaya terbentang di hadapan mata mata Henrietta. Kapal pernag yang membombardir mereka...sebuah bola cahaya muncul di langit. Ia bagaik versi kecil matahari, dan ia membesar. Dan...ia menelannya. Ia menelan kapal perang di langit. Cahaya itu terus mengembang hingga hanya itu yang bisa dilihatnya. Ada keheningan sempurna. Henrietta langsung menutup matanya. Bola cahaya sangat pekat sehingga siapapun bakal mengira mata mereka akan terbakar dari melihatnya. Dan kemudian...setelah cahaya memudar. Seluruh kloter terbakar. Kloter yang dipimpin Lexington mendapati seluruh dek dan layar mereka berkobar. Bagaikan sebuah dusta, kepala kloter yang telah menyerang tentara Tristain, terbenam ke tanah.

Getaran di bumi dapat dirasakan. Kloter telah karam. Henrietta mematung. Kesunyian sempurna menyelimuti semuanya. Seluruhnya menatap pemandangan yang sukar dipercaya itu. Yang pertama sadar adalah kardinal Mazarini. Dia tengah melihat sayap keperakan, berkilauan dibawah maytahari di langit. Itu Zero fighter Saito. Mazarini berteriak,"Semuanya! Lihat! Kloter musuh telah dihancurkan Phoenix nan legendaris!"

"Phoenix? Sang burung abadi?"

Sebuah ribut-ribut menyebar diantara para prajurit. "Lihat burung yang terbang di langit! Itu burung legendaris yang dikatakan akan datang pada saat-saat yang diperlukan Tristain! Itu Phoenix! Sang Pendiri telah memberkahi kita!"

Teriakan bergairah dapat terdengar dimana-mana. "Hidup Tristain! Hidup Sang Phoenix!"

Henrietta menanyai Mazarini diam-diam. "kardinal, Phoenix itu...apa itu nyata? Aku tak pernah mendengar apapun soal Phoenix yang legendaris..."

Mazarini tersenyum licik. "Ia dusta besar. Tapi indra penghakiman orang hilang saat ini. Mereka tak bisa mempercayai pemandangan yang mereka lihat. Akupun begitu, Tapi, kebenarannya adalah ada burung tak dikenal mengitari sekitar kloter musuh yang telah karam. Tiada pilihan lain selain menggunakannya."

"Hah..."

"Apa? Tiada yang peduli bila apa yang kukatakan benar atau dusta. Apa yang mereka pedulikan adalah apa mereka hidup atau mati. Dengan kata lain, menang atau kalah."

Mazarini menatap dalam mata sang putri. "Kau harus menggunakan segala yang bisa kau gunakan. Ia salah satu dasar politik dan perang. Ingatlah itu baik-baik, Putri. karena mulai hari ini dan seterusnya, kau penguasa Tristain."

Henrietta mengangguk. Ia sebagaimana yang dikatakan Kardinal. Berfikirnya...nanti saja.

"Semangat musuh akan rendah dan tanpa keraguan mereka pasti mencoba kabur. Kloter yang mendukung mereka telah hilang. Tiada kesempatan yang lebih baik untuk menyerang."

"Ya."

"Putri. Akankah kita maju menuju kemenangan?" tanya Mazarini.

Henrietta mengangguk kuat sekali lagi. Dia lalu mengangkat tongkat kristal berkilatnya. 'Seluruh prajurit, maju! Prajurit kerajaan, ikuti aku!" ___________________________________________________

Kelelahan, Louise memeluk Saito.

"Hei Louise."

"Hm?: jawab Louise, kosong.

Sebuah perasaan lelah menderanya. Tapi ia perasaan lelah yang enak. ia kelelahan yang datang bersama kepuasan menyelesaikan sesuatu.

'Apa aku bisa menanyaimu sesuatu?"

"yah."

"Apaan tadi barusan?"

"Ia sebuah legenda."

"Legenda?"

"Aku akan menjelaskannya nanti. Aku lelah."

Saito mengangguk dan tersenyum. Dia menepuk Louise dengan lembut di kepala. Di bawah mereka, Para prajurit Tristain baru saja menyerbu tentara Albion. Gairah tentara Tristain terlihat jelas, bahkan bagi seorang awam. Ia begitu bergairah sehingga bisa melampaui musuh yang melebihi mereka.

"Yah, nanti saja juga tak apa."

Melihat desa yang terbakar dan menghitam, Saito cemas apa Siesta baik-baik saja. ______________________________________

Sore itu... Bersama saudaranya, Siesta dengan malu-malu keluar dari hutan. Berita kekalahan tentara Albion telah mencapai penduduk desa yang berlindung dalam hutan. Tentara Albion diremukkan oleh gebrakan Tristain, dan banyak yang telah menyerah. Yah, tiada prajurit Albion yang jalan-jalan disekitar desa pada tengah hari. raungan kemarahan, adu alat perang dan ledakan-ledakan telah berhenti. Asap hitam membumbung dari ladang, tapi pertempuran telah usai.

Sebuah suara gemuruh dapat terdengar dari langit. Setelah menengadah, sebuah objek yang biasa terlihat tengah terbang di angkasa. Itu "Baju Naga", wajah Siesta jadi cerah. Saat Zero fighter itu mendarat di ladang, Saito membuka kanopi. Seseorang dari hutan, yang berada di selatan desa, datang berlari ke arahnya. Itu Siesta. Saito melompat turun dari Zero fighter dan berlari mendekatnya.

Louise menonton saito yang berlari pergi dan mendesah."Baiklah, sepertinya bagus bahwa gadis itu masih hidup, tapi tak bisakah dia menghabiskan lebih banyak waktu mengayomiku? Mantra yang barusan tadi..."Ledakan" dari cabang sihir Void. Sepertinya itu tak terjadi. Mungkin ia tak terasa nyata karena itu sihir Void. Apa aku benar-benar "Pengguna sihir Void"? Apa ada suatu kesalahan disini? Tapi itu menjelaskan bagaimana aku bisa memberi Saito kekuatan Gandálfr, sang familiar legendaris. Ada banyak sekali legenda, ya kan?" bisiknya.

"Bagaimanapun juga, kemungkinan semuanya bakal sibuk dari sekarang. Aku benar-benar merasa seakan ini tak terjadi...dan aku tak bisa percaya bahwa aku yang dimaksud dalam legenda..."desah Louise. Jika ini hanya mimpi, aku pakan sangat lega. Tapi aku telah memutuskan untuk tak terlalu memikirkannya. Aku seharusnya belajar dari familiar tololku. Meski dia familiar legendaris itu, dia sama sekali tak terlihat seperti itu. Tapi mungkin itu yang terbaik. Bagaimanapun juga, hal "legendaris" ini terlalu buatku.

"Hei, penyihir legendaris."

"Apa, pedang legendaris?"

Derflinger telah memanggil Louise dengan nada menggoda. "Tak apa-apa keras kepala...tapi jika kau tak mengejarnya, dia akan diambil gadis desa itu."

Pipi Louise memerah. "Aku tak peduli."

"Benarkah?" bisik Derflinger.

Sambil berteriak tan da frustasi, Louise meloncat keluar dari kokpit dan mengejar Saito. Derflinger menonton sosok Louise yang berlari dan berkata dengan keras. "dan dia bahkan mengerti bahwa dialah yang dimaksud dalam legenda...Mungkin kisah cintanya lebih penting baginya. Manusia masa kini tak tertolong lagi."

Sambil berlari, Sebuah aliran pikiran-pikiran memasuki alam pikirannya, Saat dia melihat Saito, detaknya terganggu. Pikirannya bakal kosong. Ini aneh. Si tolol itu. Dia bahkan menciumku. Apa gadis itu sebegitu hebatnya? Dia mungkin manis. Dia juga jago memasak. Aku tahu lelaki suka gadis seperti itu, Tapi, aku...aku,...

Buku Doa sang Pendiri, Cabang sihir Void...mereka meninggalkan pikiran Louise tanpa bekas untuk saat itu.

Jika aku tak mengejar familiarku itu, dia akan menghilang entah kemana...Jika aku tak membuka mataku lebar-lebar dan berlari, aku akan ditinggalkan....Tapi, jika akan menjadi seperti itu..Aku akan terus mengejarnya...Aku akan mengejarnya kemanapun dia pergi...dan saat dia berbalik, aku akan menerjangnya dengna keras.