Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search



Bagian Dalam[edit]

Ditulis oleh Yamaguchi Noboru

Lahir pada Februari, 1972. Debut pertamanya adalah “Canary/This thought on a Song”, yang diserialkan dalam Kadakokawa Sneaker Bunko. Hasil tulisan lainnya adalah “Green Green Kane no oto Fantastic,” “Tsuppare Arisugawa” (keduanya ada di Kadokawa Sneaker Bunko), “Green Green kane no oto Stand By Me” (ada di MF bunko J), dan beberapa novel serial lainnya, termasuk “Fujimi Fantagia Battle Royal," "Green Green," "Gonna Be??" "Yukiuta," "Shiritsu Akihabara Gakuen," dan "Makai tenshi Gibliel". Dia juga bekerja sebagai penulis skenario untuk beberapa game.

Illustrasi oleh Usatsuka Eiji

Lahir dan di besarkan di Osaka. Ulang tahunnya tanggal 16 Agustus.

Saat ini, dia menggambar illustrasi selagi bekerja sebagai pegawai kantor. Usatsuka telah menggambar untuk novel terdahulu dengan judul ”Doushi sama to issho” (diserialkan di Dengeki Bunko)


Sampul Belakang[edit]

Zero no Tsukaima oleh Yamaguchi Noboru

"Kamu siapa?"

Hiraga Saito baru saja tersadar ketika mengetahui seorang gadis cantik menanyakan pertanyaan tersebut kepadanya. Melihat sekelilingnya, dia menemukan bahwa dirinya berada di tempat yang tidak dikenalnya, orang-orang berpakaian seperti penyihir berdiri disekeliling mereka berdua.

Gadis itu, memperkenalkan dirinya sebagai Louise, menjelaskan bahwa dia telah “mengundang” Saito dari dunianya untuk menjadi ”familiar”. Saito semakin bingung, terutama setelah gadis itu menciumnya dan menegaskan bahwa ciuman itu merupakan sebuah ”kontrak”! Ciuman pertamaku, keluhnya, tetapi sebelum dia sempat marah, simbol yang aneh telah terukir di tangan kirinya, menandakan bahwa dirinya merupakan seorang familiar.

Selama mencari jalan untuk kembali ke dunianya, Saito, karena dipaksa, harus mengatasi kehidupannya sebagai familiar Louise...

Dan, dimulailah kehidupan komedi Hiraga Saito sebagai 'Familiar Zero.'




Bab 1 : Aku Seorang Familiar[edit]

"Siapa kau?" Tanya perempuan itu, sambil memeriksa wajah Saito, langit biru yang cerah di belakangnya. Sepertinya perempuan itu seusia dengan umur Saito. Dengan jubah hitam, dia memakai blouse putih dan rok mini berwarna abu-abu. Dia merunduk dan melihat Saito, terkejut, di depan wajahnya.

Wajahnya…manis. Matanya yang coklat kemerah-merahan terhias di antara keindahan kulit putih dan rambut blondenya yang berwarna pink stroberi. Sepertinya ia orang asing. Faktanya, ia haruslah orang asing. Orang asing yang manis, mirip dengan boneka. Mungkin ia kelahiran setengah Jepang?

Walau begitu, yang dia pakai adalah baju sekolah kan? Aku tidak mengenalinya.

Saito terbaring di tanah, dengan wajah melihat ke atas, walau dia tidak yakin kenapa dia bisa di sini. Dia bangkit dan melihat sekelilingnya. Rombongan orang yang mengenakan jubah hitam sedang memeriksa dirinya. Lalu di tempat yang lain, sepanjang mata memandang hanya terlihat padang hijau, terdapat pula kastil besar berdindingkan batu, sama seperti di foto tur Eropa.

Seperti sebuah Fantasi…

Kepalaku sakit sekali. Setelah memukul-mukul kepalanya, Ia menjawab, "siapa aku..? aku Hiraga Saito."

"Darimana asalmu, orang biasa?"

Orang biasa? Apa yang dia maksud? Semua orang di sekitarnya memegang sesuatu seperti tongkat dan memakai baju yang sama dengan baju perempuan itu. Apakah aku berada di sekolah Amerika atau semacamnya?

"Louise, Apa yang kau pikirkan? Memanggil orang biasa dengan ‘Pemanggilan Servant’?" Tanya seseorang dan semuanya selain perempuan yang melihat wajahnya mulai tertawa.

"Aku…Aku hanya melakukan kesalahan kecil!" Teriak perempuan di depan Saito dengan suara seperti bell.

"masalah apa yang kau bicarakan? Tidak ada hal yang aneh terjadi."

"Tentu saja! Tentunya, dia kan Louise the Zero!" Kata seseorang, dan rombongan itupun mulai tertawa lagi.

Sepertinya perempuan yang melihat wajah Saito bernama Louise.

Lagi pula, ini bukan sekolah Amerika. Tak mungkin ada gedung seperti ini. Apakah ini tempat syuting sebuah film? Apa mereka sedang membuat film? Namun Saito menjawabnya sendiri. Tapi, tempat ini terlalu besar untuk syuting sebuah film. Apakah tempat seperti ini ada di jepang? Apa ini sebuah taman bermain? Lalu, kenapa aku tertidur di sini?

"Tuan Colbert!" Perempuan itu, Louise, berteriak.

Rombongan itupun memisah, memunculkan sosok pria tengah baya. Saito berpikiran aneh tentang pria ini, karena baju pria ini kelihatan aneh dengan tongkat kayu besar yang ditutup oleh kain hitam.

Apa yang dia mainkan? Dia berpakaian seperti seorang penyihir. Apakah ia masih waras? Oh, Aku tahu. Tempat ini pasti tempat berkumpulnya para Cosplay. Tapi tempat ini tidak beratmosfir seperti itu. Tiba-tiba Saito merasa ketakutan. Bagaimana kalau ini adalah perkumpulan religius? Mungkin saja. Mereka bisa saja membuatku tertidur entah bagaimana caranya saat aku berjalan-jalan di kota. Cermin itu pasti sebuah jebakan. Jika tidak, aku tidak memiliki penjelasan yang lain.

Saito memutuskan untuk tetap diam hingga ia mengetahui apa yang sedang terjadi.

Perempuan yang bernama Louise itu tampaknya sedang panik, memohon untuk mengulangi sesuatu.

Aku jadi merasa kasihan dengannya, karena terjebak di kerumunan religius aneh ini, karena dia sangat manis.

"Apa lagi yang ingin anda minta dari saya, Nona Vallière?"

"Saya mohon, biarkan saya mencoba untuk memanggil sekali lagi!"

Pemanggilan? Apa itu? Mereka telah membicarakan hal itu sebelumnya.

Tuan Colbert, lelaki paruh baya dengan baju hitam. Melihat ke arahnya. "Saya ridak dapat mengizinkannya, nona Vallière."

"Mengapa tidak?"

"Itu dilarang dalam peraturan. Saat kamu sudah menjadi pelajar tahun ke-dua, kamu harus memanggil Familiar. Seperti yang tadi kamu lakukan."

Familiar? Apa itu?

"element yang dapat kamu kuasai diketahui dari Familiar yang kamu panggil. Dari hal itu kamu dapat melanjutkannya kepada kemampuan elementalmu yang lebih tinggi. Kamu tidak dapat mengganti Familiar setelah kamu memanggil Familiarmu, karena pemanggilan Familiar musim semi adalah ritual yang sakral. Walaupun kamu suka atau tidak, kamu harus menerimanya."

"Tapi… Aku tidak pernah mendengar kalau orang biasa menjadi Familiar!"

Semua orang disekitarnya tertawa. Louise memarahi mereka, namun tertawa mereka tidak berhenti.

Pemanggilan Familiar musim semi? Apa itu? Aku tidak mengerti. Apa yang sedang mereka bicarakan? Bagaimana aku bisa sampai di tempat seperti ini? Pasti ini merupakan salah satu dari agama yang baru! Hal yang paling aman untuk dilakukan adalah mencari kesempatan untuk kabur dari sini. Sial, tempat apa sih ini? Apakah aku dibawa ke Negara asing? Penculikan! Aku pasti diculik! Aku sedang dalam masalah! Pikir Saito.

"ini adalah tradisi, nona Vallière. Aku tak dapat memberikan pengecualian. Dia…" Cosplayer penyihir paruh baya itu menunjuk pada Saito. "…mungkin adalah orang biasa, namun selama ia dipanggil olehmu, maka dia harus menjadi Familiarmu. Tidak ada dalam sejarah manusia dipanggil sebagai Familiar, namun Pemanggilan Familiar musim semi sudah diatur. Dengan kata lain, tidak ada jalan lain, dia harus menjadi Familiarmu."

"Anda pasti bercanda…" Louise menghela nafas tanda kekecewaan

"Baiklah, lanjutkan upacaranya."

"dengan Dia?"

"Ya, dengan dia. Cepatlah. Kelas berikutnya akan dimulai sebentar lagi. Mau sampai kapan upacara ini akan berlangsung? Setelah kesalahan demi kesalahan, akhirnya kau berhasil memanggilnya. Buatlah kontrak dengannya, Cepat." Semuanya setuju dan mulai mendesaknya untuk cepat menyelesaikannya.

Louise menatap wajah Saito menunjukkan ia dalam masalah.

Apa ini? Apa yang akan dia lakukan padaku?

"Hey," Louise menunjuk kepada Saito.

"Ya?"

"Kau seharusnya bersyukur karena kau beruntung. Takkan kau dapatkan dalam seumur hidupmu seorang bangsawan melakukan hal ini padamu."

Bangsawan? Bodohnya. Bangsawan apa yang kau bicarakan? Bukannya kalian hanya sekumpulan cosplayer agama baru yang aneh? Louise menutup matanya seperti sedang berdoa. Dia menggerakkan tongkat kayu yang ada di tangannya.

"namaku adalah Louise Françoise Le Blanc de La Vallière. Pentagon dari kekuatan lima elemental, restui makhluk rendah ini dan jadikan dia Familiarku."

Dia terus menerus mengatakan hal itu, seperti sebuah mantra sihir, lalu ia menyentuh dahi Saito dengan tongkat kayunya. Lalu bibirnya mulai mendekat.

A..Apa yang kau lakukan?!

"Diamlah." Kata Louise dengan suara yang kasar. Wajahnya mulai mendekat.

"Oi, t..tunggu dulu. Aku…belum siap tentang hal ini."

Wajahnya mulai panik

"agh.. ! kan sudah kukatakan padamu untuk diam!" Louise memegang wajah Saito dengan kasar dengan tangan kirinya.

"huh?"

"Mmm…"

Bibir Louise menyentuh bibir Saito.

Apa yang terjadi?! Bentuk kontrak apa ini? Sentuhan bibir lembutnya semakin lama semakin menyentuh Saito. Ciuman pertamaku! Dicuri di tempat aneh oleh perempuan aneh yang motifnya saja tidak bisa kumengerti! Saito tetap membeku, tak dapat bergerak. Louise melepaskan bibirnya. “sudah selesai.”

KISU!

KISU!

Wajahnya memerah. Apakah si idiot ini malu atas keberaniannya itu? Pikir Saito.

"Seharusnya aku yang merasa malu, Bukannya kau! Akulah yang dicium secara tiba-tiba!" Namun Louise tidak mempedulikan Saito sedikitpun.

Kau menciumku dan sekarang kau meninggalkanku? Kalau ini tidak kasar, jadi apa lagi? Sebenarnya siapa mereka?! Sungguh, aku ketakutan. Aku ingin pulang sekarang juga. Aku hanya ingin pulang dan bermain internet. Pikir Saito. Dia baru saja ikut dalam sebuah situs pencarian jodoh. Jadi dia ingin memeriksa e-mailnya.

"kau telah gagal memanggil Servant berkali-kali, namun kau berhasil dalam hal membuat kontrak servant hanya dalam sekali coba."Kata Colbert dengan bahagia.

"Itu karena ia adalah orang biasa"

"Kalau berupa binatang buas sihir yang kuat, tentunya dia tidak akan bisa membuat kontrak." Beberapa dari murid tertawa.

Louise marah kepada mereka "Jangan meremehkanku ya! terkadang aku melakukan hal yang benar."

"benar, ‘terkadang’ Louise si Zero." Sanggah perempuan dengan rambut keritingnya yang indah dan keindahan tanpa noda di wajahnya.

"Tuan Colbert! Montmorency si Flood baru saja mengangguku."

"siapa yang kau sebut ‘si flood’? Aku adalah Montmorency si Fregeance!"

"aku dengar bahwa dulu kau sering membasahi tempat tidurmu seperti banjir. Nama ‘si Flood’ cocok untukmu!"

"aku tidak perlu merasa rendah dari Louise si Zero."

"hentikan. Para bangsawan seharusnya memperlihatkan kehormatannya lebih banyak." Sanggah Cosplayer penyihir paruh baya tersebut. Apa yang sedang mereka katakan? Kontrak apa? Siapa yang mereka sebut Servant?

Tiba-tiba, Saito merasa tubuhnya memanas.

"AAAHH!" Saito berdiri. "aku terbakar!"

"Hal itu akan berhenti sebentar lagi. Tunggulah sebentar. Rune Familiar sedang dalam proses penulisan." Kata Louise, menyakitkan.

"Hentikan! Apa yang kau lakukan padaku?!"

Tidak ada yang dapat kulakukan, tapi aku tak dapat berbaring dengan tenang di sini, di sini sangat, sangat panas!

"Omong-omong…"

"Apa?"

"kenapa kau menggunakan cara bicara seperti itu kepada bangsawan padahal kau adalah orang biasa?"

Rasa panas itu akhirnya berhenti, tubuhnya mulai mendingin.

"Cepat sekali..." Cosplayer penyihir paruh baya yang diketahui dengan nama Colbert, mendekzt dan membungkuk untuk memeriksa punggung tangan Saito. Dia memeriksa tangannya, tertulis disana huruf yang aneh.

Apakah ini rune? Sepertinya hanya sebuah derik ular yang membentuk suatu pola. Saito melirik huruf itu dan berpikir, kalau ini bukan trik, jadi ini apa? "Hmmm…"

"Sepertinya rune ini agak berbeda," Kata penyihir paruh baya itu agak bingung.

Dari saat itu juga, Saito sudah tidak tahan lagi. "Siapa kalian sebenarnya?!" jeritnya. Namun tidak ada yang bereaksi.

"Baiklah, ayo kembali ke kelas."

Cosplayer penyihir paruh baya mengayunkan tongkatnya, lalu perlahan terbang ke langit. Saito terbelalak melihatnya. Apa…apa dia benar-benar terbang? Apa dia betul-betul melayang di udara? Tak mungkin! Orang disekitarnya yang terlihat seperti murid juga melakukan hal yang sama.

Tidak mungkin! Mereka semua? Kalau satu orang pasti menggunakan sebuah trik, tapi kalau sebanyak ini? Saito mencari kawat atau semacam alat pengangkat, namun yang ia lihat hanyalah padang rumput hijau yang luas. Tidak ada bukti penggunaan trik atau alat disana.

Semua yang melayang di udara bergerak melewati dinding batu kastil tersebut.

"Louise, sebaiknya kau kembali dengan berjalan kaki saja!"

"sebaiknya dia tidak mencoba untuk terbang, dia bahkan tak bisa menggunakan Levitation"

"orang biasa memang cocok untuk menjadi Familiarmu!" Para murid meneriakinya sambil terbang menjauh.

Yang tertinggal hanyalah Saito dengan seorang perempuan bernama Louise.

Karena mereka hanya berdua, Louise menarik nafas dalamm-dalam, dan menjerit di depannya, "Siapa kau?!"

Perkataan itu membuat Saito marah. Seharusnya itu perkataanku! Pikirnya.

"Siapa kau? Tempat apa ini? Siapa orang-orang itu? Kenapa mereka bisa terbang? Apa yang kau lakukan terhadap tubuhku?!"

"Aku tak tahu dari desa mana kau berasal, namun baiklah, Aku akan menjelaskannya padamu."

"Desa? Tempat ini desa! Tokyo bukan seperti ini!"

"Tokyo? Tempat apa itu? dari negara apa itu?"

"Jepang."

"tidak pernah dengar tentang itu."

"Ayolah! Tapi kenapa mereka bisa terbang?! Kau melihatnya juga! Mereka terbang! Semuanya!"

Tapi Louise tidak memperhatikannya, ia hanya mengatakan, "Apa masalahnya dengan terbang?"

"Tentu saja mereka terbang. Apa yang harus kami lakukan jika para penyihir tak dapat terbang?"

Saito menarik bahu Louise dan berteriak, "Penyihir? Sebenarnya aku ada dimana?!"

"Ini Tristain! Dan tempat ini dikenal dengan nama Akademi Sihir Tristain!"

"Akademi sihir?"

"Aku adalah pelajar tahun kedua, Louise de La Vallière. Aku adalah majikanmu mulai dari sekarang, ingat itu!"

Semua kemarahan Saito tiba-tiba menghilang. Dia mulai merasa sesuatu yang akan buruk pasti akan terjadi di situasi saat ini.

"uh…Nona Louise…"

"Apa?"

"apakah kau memang memanggilku ke sini?"

"Itu yang dari tadi ku katakan padamu. Aku tak percaya kalau kamu enggak ngeh sejak dari tadi. Kenapa Familiarku harus yang tidak keren… Aku ingin sesuatu yang hebat seperti Naga, Griffin, atau Manticore, paling tidak elang atau burung hantu."

"Naga atau Griffin, benarkah?"

"Ya…Pastinya Familiar itu yang terkeren."

"Apakah mereka benar-benar ada?"

"Tentunya, kenapa?"

"Kau pasti bercanda," tawa Saito. Tapi Louise sepertinya tidak bercanda

"Sepertinya kamu tidak pernah melihat mereka." Kata Louise dengan serius.

Para penyihir yang terbang dan kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya menyambung antara satu dengan yang lainnya. Kakinya terasa dingin, dan akhirnya dia berkeringat dingin. "Mungkin…mereka, mereka itu para penyihir kan? Apakah kau juga penyihir?"

"Tentu saja! Sekarang, lepaskan bahuku! Dan malah seharusnya kau tidak berbicara denganku!"

Mimpi… ini pasti mimpi… Perlahan, Saito kehilangan tenaga dan terduduk di tanah.

"Louise," Panggilnya dengan suara lemah.

"Jangan panggil aku langsung dengan nama."

"Pukul aku."

"Apa kau bilang?"

"Kumohon, pukul aku dengan keras di kepala."

"Kenapa?"

"Aku ingin terbangun dari mimpiku. Aku harus bangun dan harus membuka internet. Makan malam hari ini adalah Steak Hamburger. Itulah yang kudengar dari ibuku."

"Internet?"

"Tidak, bukan apa-apa. Lagipula kau hanya bagian dari mimpiku, Jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Sekarang cepat buat aku terbangun dari mimpiku."

"aku tak tahu apa yang kau katakan, tapi kau memintaku untuk memukulku kan?" Louise mengambil ancang-ancang dengan mengepalkan tangannya.

"Ya."

Kepalan tangannya mulai bergetar. Ekspressi Louise menjadi tidak terbaca. Namun sepertinya banyak sekali yang ia pikirkan di dalam kepalanya. "Apa kau merasa terganggu karena kau terpanggil ke sini?"

"Bagaimana aku bisa tahu?"

"Bagaima aku bisa, Anak ketiga dari keluarga Vallière… bangsawan yang terkenal akan kehormatannya dan keturunan legendaris, harus berakhir dengan menjadikanmu sebagai Familiarku."

"bagaimana aku bisa tahu?" ulang Saito.

"dan bagaimana bisa kontrak harus di kunci dengan sebuah ciuman?"

"bagaimana aku bisa tahu? Bisakah kau melakukannya dengan cepat? Aku benci mimpi buruk."

"Mimpi buruk? Seharusnya aku yang mengatakan itu!" Louise memukulnya dengan segala kekuatannya. "Ciuman itu adalah ciuman pertamaku!"

Mungkin dia terlalu memaksakan diri… Aku juga, Pikir Saito, kehilangan kesadaran.

  • * *

Hiraga Saito. Umur tujuh belas tahun dan murid tahun kedua di SMA.

Kemampuan olahraga : normal. Nilai : rata-rata. Durasi tidak bersama perempuan : 17 tahun. Keseluruhan : tidak ada positif maupun negatif.

Evaluasi guru : "Ah, Tuan Hiraga. Dia tidak pernah menyerah, dan dia memiliki keingintahuan yang besar, namun dia sedikit lambat."

Evaluasi orang tua : "kau harus belajar lebih giat, kau sedang berada di sisi lambat."

Menjadi lambat, Dia tidak pernah terganggu dengan berbagai kecelakaan. Dan menerima hampir semuanya – bersahabat dengan orang banyak, paling tidak. Belum lama, saat ia melihat orang terbang, dia hanya berpikir bahwasanya orang biasa yang melihat orang terbang pasti akan terkejut. Dan akhirnya ia hanya berhutang kepada posisinya yang salah.

Untuk mempermudah, ia tak berpikir terlalu dalam tentang sesuatu sebelum bertindak.

Dan juga, dia memiliki kemauan untuk berkompetisi yang sangat besar. Kalau disamakan, dia memilki beberapa kesamaan dalam kepribadian dengan Louise.

Bagaiamanapun, tiga puluh menit yang lalu, Saito sedang berjalan di jalanan Tokyo, Jepang; di Bumi.

Dia sedang dalam perjalanan setelah notebooknya diperbaiki. Dia cukup senang, faktanya, karena ia dapat berinternetan lagi. Dia telah bergabung dalam sebuah situs perjodohan dan memiliki sebuah kesempatan untuk mendapatkan seorang pacar.

Walau dia ingin sekali mendapatkan sesuatu yang hebat di kehidupannya yang monoton, dia tidak menemukannya di internet, melainkan menemukannya di tengah jalan.

Dia sedang melewati stasiun kereta api dalam perjalanan menuju rumah, tiba-tiba ia menemukan objek bersinar berbentuk kaca di depannya. Saito berhenti untuk melihatnya secara seksama. Ingat, keingintahuannya dua kali lebih banyak daripada orang biasa. Bentuknya seperti elips besar dengan tinggi dua meter dan satu meter lebar, dengan ketidakadaan substansi ketebalan. Ia menyadari bahwa benda itu sebenarnya sedikit melayang dari tanah.

Hal itulah yang membuatnya tertarik. Fenomena alam apa ini, kagumnya. Memeriksa objek bersinar yang mirip dengan kaca. Fenomena yang aneh, aku tak pernah melihat hal yang seperti ini. Dia berpikir untuk membiarkannya, namun rasa keingintahuannya yang tinggi memaksanya untuk berjalan melewatinya.

Tidak, sebaiknya jangan, Katanya dalam hati. Tapi, untuk beberapa langkah… Pikirnya. Dia itu sangat tidak memiliki kepribadian. Tapi pertama, dia mengambil sebuah klereng dan melemparnya ke tempat itu. klereng tersebut menghilang di tengah-tengah benda tersebut.

Oho, pikirnya. Saat dia memeriksa di sisi yang lain, klereng tersebut tidak terlihat. Selanjutnya, ia mulai mencoba memasukkan kunci rumahnya ke dalam benda tersebut.

Tak terjadi apa-apa.

Saat kunci itu ditarik kembali, ia tidak melihat perubahan terhadap kunci tersebut. Saito berkesimpulan bahwasanya benda ini takkan membahayakan dirinya jika ia masuk kedalam. Hal ini membuat ia semakin bersemangat untuk mencobanya langsung.

Akhirnya, walau ia tahu seharunya ia tidak melakukannya, dia berjalan melewatinya. Seperti membuka sebuah komik padahal sudah memutuskan untuk tidak melakukan apapun tapi akhirnya mempelajari sesuatu.

Langsung saja, ia merasa menyesal. Bagaikan sebuah kejutan yang datang terus-menerus di perasaannya. Tiba-tiba ia teringat tentang masa lalunya. Saat ia masih kecil, ibunya membawakannya obat aneh yang seharunya membuat orang menjadi pintar dengan mengalirkan listrik kepada tubuhnya. Lebih kurang rasanya sama seperti itu.

Saito pingsan.

Saat ia membuka matanya…

Dia berada di dunia aneh yang sama seperti buku fantasi.

  • * *

"Apa itu benar?" Tanya Louise. Melihat Saito dengan ekspressi tidak percaya sambil memegang roti untuk makan malam hari ini. Mereka berada di kamar Louise. Sepertinya luas kamar ini lebih kurang 12 tatami mats. Kalau kita jadikan jendela sebagai patokan selatan, maka tempat tidur berada di sisi barat, pintu di utara, dan lemari besar di timur. Semua perabotan di sini tampak seperti barang antik berharga. Louise membawa Saito ke sini setelah ia sadar.

Saito, berusaha tidak memperdulikan rasa sakit dari serangan tadi, menjawabnya "bagaimana kalau memang iya?"

Saito tak pernah merasakan penyesalan sedikitpun dengan rasa keingintahuannya hingga akhirnya sekarang. Aku seharusnya tidak melewati benda bodoh itu… ini bukan Jepang, bahkan ini bukan Bumi.

Jika memang ada negara yang memiliki penyihir yang bisa terbang di angkasa, walau sedikit, dia pastinya tidak mempelajarinya di geografi SMP. Dan bahkan jika memang ada, bagaimana tentang bulan besar yang melayang di udara? Mereka pastinya dua kali lebih besar dari Bumi. Besarnya bukanlah masalah; ada kemungkinan beberapa negara mengalami hal itu di malam hari. Tapi, kalau dua bulan pastinya aneh. Bisakah bulan menjadi dua tanpa Saito tahu?

Tidak, tidak mungkin. Pastinya ini bukan Bumi.

Sudah gelap… malam telah datang. Kurasa keluargaku mengkhawatirkanku sekarang, simpulnya sedih.

Dari jendela, ia melihat padang hijau tempat ia terbaring. Di kejauhan, disinari oleh sinar bulan, dia dapat mlihat gunung yang tinggi. Di kanannya Nampak hutan yang lebat. Saito hanya bisa mengeluh.

Hutan seperti itu seharunya tak ada. Berbeda sekali dengan yang bisa kau lihat di Jepang.

Kastil dan tanah yang ia lewati tampak seperti abad pertengahan. Tempat ini pasti tempat yang sangat mengagumkan jika dia memang datang kesini untuk berlibur.

Sebuah pintu masuk dan sebuah tangga kokoh, terbentuk dari batu… disini adalah Akademi sihir Tristain, Louise sudah menjelaskan. Semua pelajar disini tinggal di kos yang terletak di lantai terbawa sekolah.

Akademi sihir? Hebat! Kos-kosan? Keren! Sama seperti sebuah film!

Tapi ini bukanlah Bumi…!

"Aku ‘gak percaya"

"Memangnya aku percaya."

"dari dunia lain, maksudmu?"

"Tidak ada penyihir, dan bulannya cuman satu."

"Memang ada dunia seperti itu?"

"Kukatakan lagi, aku memang dari sana!" Teriak Saito.

"Jangan meneriakkiku, orang biasa."

"Siapa yang kau bilang orang biasa?!"

"Yah, kamu bukan penyihir kan? Jadi, kau orang biasa."

"memangnya ada masalah kalau aku ini bukan penyihir?"

"Tunggu, kau memang tak tahu tentang dunia ini?"

"Sudah dari tadi kubilang, Aku bukan dari dunia ini!"

Setelah itu, Louise meletakkan sikunya di meja dengan wajah yang menunjukkan sedang bermasalah.

Di atas meja ada lampu dengan gaya seni bayangan. Benda itu menerangi ruangan dengan cahaya redup. Tampaknya tempat ini tidak menggunakan listrik.

Begh… listrik tak sesulit itu untuk dipasang kan? Aku seperti kembali ke gubuk tua yang keluargaku pergi beberapa waktu lalu. Tunggu, ‘dipasang…’ oh, mungkinkah… ini…

"Aku tahu."

"Apa yang kau tahu?" Tanya Louise, melihatnya.

"pasti ini salah satu program Candid Camera. Pasti mereka mencoba untuk menipuku, ya kan?"

"apa itu ‘Candid Camera’?"

"Mereka berhenti beberapa waktu yang lalu setelah seseorang kesakitan, tapi kau tidak memiliki materi jadi kau melakukan hal yang sama, ya kan?"

"apa yang kau bicarakan?"

Saito bergerak menuju Louise.

"Kya--! Apa yang kau lakukan?!"

Menjatuhkannya dari kursi, sekarang ia berada di atasnya.

"Dimana mic-nya? Apa mereka disini?"

Sambil memegangnya dengan kasar, dia mulai membuka kancing blouse itu. Namun, tendangan cepat ke tubuhnya membuatnya berhenti dan membuatnya terjatuh ke lantai, kesakitan.

"Gaaaaaaaarrrrrgghhh…"

"Beraninya kau… dengan bangsawan sepertiku…" Louise berdiri, dengan suara yang bergetar karena geram.

Walau suasana memanas, Saito berpikir, ini bukan mimpi. Ditambah, ini bukan Bumi. Ini benar-benar dunia lain.

"kumohon…"

"apa?!"

"Kembalikan aku pulang…"

"Tak mungkin."

"kenapa?"

"karena kau t’lah terikat kontrak sebagai Familiarku. Tidak masalah jika kau berasal dari negara lain atau dunia lain seperti yang kau bilang. Jika kontrak itu telah terbentuk, tidak dapat di hilangkan."

"kau bercanda…"

"Lihat, aku ‘gak suka ini! Ngapain aku harus terjebak dengan Familiar sepertimu?!"

"Kalo gitu, kebalikan aku."

"Kau memang dari dunia yang lain ya?” Tanya Louise, masih merasa tak percaya"

"Ya." Saito mengangguk.

"Tunjukkan buktinya."

Masih menahan sakit, Saito berdiri dan membuka tasnya.

"apa itu?"

"itu computer notebook." jawab Saito.

"Aku tak pernah lihat seperti itu. Artifak sihir apa itu?"

"ini bukan sihir. Ini ilmu pengetahuan."

Saito menekan tombol power, dan computer mulai menyala.

"Uwah! Apa itu?!" Louise terkejut saat layar itu hidup.

"itu layar notebook."

"hebat… element sihir apa yang digunakan? Angin? Air?"

"Ilmu pengetahuan."

Louise melihat Saito dengan bingung. Dia benar-benar tak mengerti. "jadi, element apa ‘ilmu pengetahuan’ itu? nampaknya berbeda dengan empat kekuatan element?"

"Argh! Cukup! Aku katakan, ini bukan sihir!" Saito menggerakkan tangannya dengan membabi-buta.

Louise duduk di ujung tempat tidurnya dan melipat kakinya. Lalu, dengan tidak bersemangat ia berkata "Hmm. Tapi aku tidak mengerti…"

"kenapa? Memangnya tak ada seperti ini di dunia ini?"

Louise menjawab. "Tidak, tapi…"

"Percayalah padaku! Tidak ada yang bisa dimengerti!"

Sambil memegang rambutnya yang panjang, Louise menjawab "Baiklah! Aku percaya!"

"Benarkah?”"

Ia melipat tangannya dan melihat ke arah lain dengan sombong, Ia menjawab dengan menggerutu. "hanya karena kau pasti akan terus mengatakan hal itu jika aku tak mengataknnya."

"Yah, itu ‘gak masalah, selama kau tahu. Sekarang, kembalikan aku."

"sudah kubilang, tak mungkin."

"kenapa?"

Wajah Louise mulai menunjukkan rasa tak nyaman saat ia menjawab pertanyaan Saito. "karena tidak ada mantra yang dapat menyambungkan dunia ini dengan duniamu."

"jadi, bagaimana aku bisa berakhir disini?"

"kalau saja aku tahu!"

Saito dan Louise menatap satu sama lain.

"Dengar, Aku sudah sangat jujur untuk mengatakan kalau tidak ada mantra seperti itu. Tidak ada orang sini yang pernah mendengar dunia lain."

"Tentu ada karena aku ada disini!"

"’Summon Servant’ hanya digunakan untuk memanggil makhluk hidup yang ada di Halkeginia. Biasanya, hanya hewan atau makhluk buas sihir yang terpanggil. Inilah yang pertama kalinya manusia terpanggil."

"hentikan pembicaraan ini seolah-olah kau tak terlibat. Kalau begitu, coba gunakan sihir itu terhadapku satu kali lagi."

"mengapa?"

"bisa jadi dapat mengembalikanku ke duniaku."

Terlihat bingung. Louise menyandarkan kepalanya ke satu sisi.

"…tidak akan berhasil. ‘Summon Servant’ itu hanya mantra satu arah. Tidak ada mantra yang bisa mengembalikan Familiar setelah ia terpanggil."

"apapun, coba saja."

"Tidak mungkin. Aku bahkan tak bisa menggunakan sihir itu lagi."

"apa? Kenapa?"

"…Menggunakan ‘Summon Servant’ Lagi…"

"ya?"

"…tak berguna kecuali Familiar yang dipanggil pertama kali mati."

"kau bilang apa?" Saito terdiam.

"Kau mau mati?"

"Err… sepertinya aku menyerah." Dia menunduk. Matanya melihat runes yang tertulis di tangan kirinya.

"Kau mau tahu apa itu?"

"ya…"

"seperti sebuah stemple yang mengatakan kalau kau adalah Familiarku."

Louise berdiri dan melipat tangannya. Dalam keadaan ini, dia sebenarnya cukup manis. Kaki yang bagus dan proporsional, pergelangan kaki yang kurus. Tidak terlalu tinggi, sekitar 155 cm. Matanya seperti mata kucing yang ingin tahu, dan alis matanya seperti garis di atas matanya.

jika Saito bertemu dengannya melalui situs perjodohan, dia pasti melompat kegirangan. Namun sayang, ini bukan Bumi. Betapa besar keinginan ia ingin pulang, tetap saja tak bisa. Saito terjebak di pikiran ini, dan bahunya jatuh dengan lunglai.

"..Ya, baiklah. Untuk sekarang, aku rasa aku adalah Familiarmu."

"Benarkah?"

"Apa? Kau ada masalah dengan hal itu?"

"Aku rasa kau tak bisa menggunakan bahasa formal. Seharusnya, ‘adakah yang sebenarnya ingin anda katakan, nona?'" koreksi Louise. Salah satu jarinya naik seperti sedang mengajari sesuatu. Cara mengajarinya manis, tapi nada bicaranya agak disiplin.

"Tapi, um, apa sebenarnya tugas Familiar?" Tanya Saito. Tentu saja, di sering melihat elang atau burung hantu yang menjadi Familiar di film kartun yang melibatkan penyihir. Tapi kebanyakan mereka hanya duduk di bahu majikannya dan tidak melakukan hal yang hebat.

"Pertama, Familiar bisa memberikan kekuatan penglihatan dan pendengaran kepada majikannya."

"seperti?"

"artinya, apapun yang Familiar lihat, majikannya juga bisa melihatnya."

"Oh."

"Tapi sepertinya aku tak melihat apapun…"

"Ya, tapi masalahnya bukan seperti," Saito menjawab dengan tak bersemangat.

"juga, Familiar akan mengambilkan barang sesuai yang majikannya minta. Contoh, reagent."

"Reagent?"

"Katalisator untuk menggunakan beberapa sihir. Seperti sulfur…"

"uh-huh…"

"Tapi sepertinya kau takkan bisa memberikan barang seperti itu kepadaku, ya kan? Jika dilihat dari ketidaktahuanmu tentang Reagent."

"Memang tidak."

Louise mengerutkan dahinya dengan marah, namun tetap melanjuti pembicaraannya. "Dan Yang terpenting dari semuanya adalah Familiar ada untuk melindungi majikannya! Prioritas melindungi majikannya dari segala musuh adalah segalanya. Namun, sepertinya ada sedikit masalah untukmu…"

"semenjak aku adalah manusia…"

"… mungkin seekor hewan buas sihir yang kuat mampu mengalahkan lawannya, tapu aku ‘gak yakin kalo kau bisa mengalahkan burung gagak."

"Diam!"

"Jadi aku hanya akan memberikan tugas yang pasti bisa kau lakukan : mencuci pakaian, bersih-bersih, dan tugas-tugas lainnya."

"kau memojokkanku. Lihatlah, aku yakin aku akan menemukan jalan pulang!"

"Tentu, bahkan, aku akan senang sekali kau melakukan hal itu. Karena jika kau kembali ke duniamu, aku bisa memanggil Familiar baru."

"Kau…"

"baiklah, semua pembicaraan ini membuatku mengantuk," kata Louise sambil menguap.

"dimana aku tidur?"

Louise menunjuk ke lantai.

"Aku bukan Anjing atau Kucing."

"Tapi tidak ada tempat lain. Dan disini cuman ada satu ranjang." Dia melempar Selimut kepada Saito.

Dan dia mulai membuka kancing bajunya.

Lalu, saat ia ingin membuka celana dalamnya, wajah Saito memerah. "W..wa…wa..wa.. apa yang kau lakukan?!"

Louise menjawab seperti hal itu biasa terjadi. "Aku akan tidur, jadi aku mau ganti baju."

"Lakukan itu di tempat aku tak bisa ngelihat kau!"

"Kenapa?"

"Karena! Ini akan membuat situasinya menjadi aneh! Serius!"

"aku rasa tidak aneh."

"Karena kau penyihir? Tak apa kalau kau melakukan hal itu di depan cowo’?"

"Cowo’? Siapa? Aku tak berpikir apapun jika dilihat Familiarku."

Apa ini. Sudah pasti kau memperlakukanku seperti anjing atau kucing. Saito mengambil selimut, melemparnya ke atas kepalanya, dan melihat ke belakang. Dia memutuskan untuk menarik kembali semua pikirannya tentang paras manisnya. Dia hanya membuat Saito marah. Perempuan seperti itu, seorang penyihir? Ya.. serahlah.

"Oh, dan ini. Cuci baju ini besok." Beberapa benda terbang dan mendarat mulus di sampingnya. Saito memungutnya, untuk mengecek benda apa yang terbang itu.

Sebuah pakaian dalam berenda dan celana dalam berwarna putih. Pakaiannya indah dan lembut, pikir Saito saat wajahnya mulai memerah. Dia meremas pakaian itu dengan perasaan bercampur antara marah dan senang.

"mengapa aku harus – pakaian dalammu?! Mencucinya?! Jujurnya, aku merasa senang sekaligus terpojok!" dia bergerak kedepan, tanpa sadar apa yang sebenarnya ia lakukan. Louise sedang memakai baju tidur. Dan cahaya lampu padam, Saito dapat melihat bagian dari figurnya. Dimana ia tidak dapat mengetahui lebih jauh, tampaknya ia tidak merasa malu. Sungguh mengecewakan. Saito merasa dia tidak dianggap sebagai laki-laki.

"siapa memang yang akan membantumu? Siapa yang kau pikir akan memberimu makan? Dan di tempat siapa kau akan tidur sekarang?"

"Uhh…"

"kau Familiarku kan? Mencuci pakaian, bersih-bersih, pekerjaan kasar lainnya – hal itu memang tugasmu."

Saito menarik selimut di kepalanya.

Cewe’ payah, Pikir Saito. Dia tak melihatku sebagai laki-laki.

Aku ingin pulang. Aku rindu kamarku. Aku rindu orang tuaku.

Perasaan rindu rumah memenuhi jiwanya.

…kapan aku bisa pulang?

Apa ada jalan untuk pulang?

Aku pengen tahu apa keluargaku sedang merindukanku…

Aku harus mencari jalan pulang…

Tapi apa? Apa aku harus lari? Trus, apa?

Mungkin, aku akan Tanya seseorang, tapi seperti yang dikatakan Louise, takkan ada seseorang yang tahu kalau dunia lain itu ada, jadi mereka pasti enggak kan percaya.

Tidak, aku harus berpikir melewati rasionalitas. Dalam kasus ini, walau aku berjuang pulang pun aku takkan bisa karena aku tak punya petunjuk, dan kalaupun aku kabur dari sini, belum tentu aku akan menemui jalan pulang.

Aku bahkan tak punya keluarga di dunia ini. Aku tak bisa bergantung pada siapapun kecuali pada gadis sombong ini yang bernama Louise.

Kurasa tak ada pilihan lain. Untuk sekarang, aku akan menjadi Familiarnya. Paling enggak dia akan memberikanku makan. Pasti akan sulit, semenjak aku bukanlah sesuatu lebih dari Familiar untuknya.

Pastinya, ia sedikit arogan, tapi… paling tidak dia manis. Aku rasa aku bisa berpikir kalau aku sudah mendapat pacar. Seseorang yang kuharap dapat bertemu di situs perjodohan. Anggap saja aku datang hanya untuk melihatnya. Atau anggap kalau aku menjadi murid asing. Ya, itu lebih cocok. Aku hanya berpikir itu saja. Hah, simple. Hebat!

Ok, pikir Saito. Ini bukan seperti aku terdampar di pulau yang ditinggalkan. Meratapi nasib tidak akan membawa hasil apapun. Aku akan hidup sebagai Familiar, dan saat itu pula, aku akan mencari jalan pulang.

Setelah rencananya selesai, Saito mulai menguap.

Apapun situasinya, kemampuan Saito untuk beradaptasi selalu meyelamatkannya. Saat semuanya panik, Saito bisa bertahan karena kepribadiannya yang fleksibel.

Louise menjentikkan jarinya, dan cahaya lampu itu padam.

Lampu itu juga sihir? Aku pikir listrik tidak berguna di sini. Pikir Saito.

Kegelapan mulai menyelimuti kamar.

Diluar jendela, dua bulan bersinar dengan misterius.

Nyonya Hiraga, Anakmu Saito telah berada di dunia yang terdapat penyihir di sana. Dia tidak bisa datang ke sekolah dalam waktu yang lama, dan dia pun juga tak bisa belajar. Tolong maafkan dia.

Dan mulailah kehidupan Saito sebagai Famiiliar.




Bab 2 : Louise Si Zero[edit]

Saat Saito bangun, hal pertama yang ia lihat merupakan baju dalam Louise yang berserakan.

Entah bagaimana, benda itu muncul di jangkauan matanya, yang dengan cerobohnya dilempar.

Louise masih tertidur di tempat tidurnya, mendengkur lembut. Wajah tidurnya membuatnya mirip seperti anak kecil. Dia adalah perempuan yang bersuara keras dan menjengkelkan saat berbicara - ini "Bangsawan", itu "Penyihir" - namun, saat ia tidur, dia sangat manis. Saito hampir berharap agar keadaannya tetap seperti ini selamanya.

Lalu kenyataan muncul di benaknya. Jadi, malam tadi bukan mimpi. Dia pikir ia akan berada di kamarnya, namun, kenyataannya, itu tidak terjadi. Dia merasa tidak bersemangat.

Namun tetap saja, pagi ini merupakan pagi yang segar. Silau sinar matahari menyinari kamar. Karakteristik Saito yang selalu ingin tahu kembali muncul.

Sekarang kalau aku pikir-pikir, Keadaan ini lebih mirip kayak tur. Aku pengen tahu dunia seperti apa tempat ini? Sewaktu aku secara tidak langsung menjadi Familiarnya penyihir perempuan yang kasar ini, aku harus melakukan yang terbaik dalam peranku, paling tidak.

Yang paling pertama, dia menarik paksa selimut Louise.

"A-Apa? Apa yang Terjadi!"

"Ini sudah pagi, Nona Besar!"

"Huh? O-Oh... Tunggu, Siapa kau?!" Teriak Louise dengan suara tak enak didengar. Ekspresinya menyatakan ketidaksenangan ditambah dengan menggerutu.

Apa perempuan ini tidak apa-apa?

"Hiraga Saito?"

"Oh, Familiar. Benar. Aku memanggilmu malam yang lalu, kan?"

Louise bangun dan menguap. Lalu, ia menyuruh Saito:

"Baju."

Saito melempar baju seragam yang sudah disiapkannya di kursi. Louise mulai memakai baju pelan-pelan.

Saito dengan cepat melihat ke arah lain untuk menyembunyikan wajah malunya.

"Pakaian dalam."

"A-Ambil Sendiri."

"Tempatnya ada di laci paling bawah... di lemari itu..."

Nampaknya ia berencana untuk menggunakan Saito.

Sambil diam, Saito pergi dan membuka laci yang bersangkutan. Saat dilihat, laci itu penuh dengan pakaian dalam. Ini pertama kalinya Saito melihat pakaian dalam perempuan, terkecuali ibunya. Saito mengambilnya secara acak, ia melemparnya kepada bahunya tanpa melihat kebelakang.

Setelah Louise memakainya, dia berbicara lagi.

"Baju."

"Aku kan sudah memberikannya padamu."

"Pakaikan padaku."

Jangan macam-macam. Saito melihat ke arah Louise dengan marah, hanya melihat Louise duduk di atas tempat tidur sambil mengantuk hanya memakai celana dalam yang Saito lemparkan padanya. Tiba-tiba ia bingung untuk melihat kemana sekarang.

Louise mencibir dengan perasaan tidak senang.

"Kau harus tahu, bila seorang bangsawan memiliki seorang pesuruh, maka pesuruh itu akan memakaikannya pakaian."

Perkataan itu membuatnya kesal.

"Paling tidak kau bisa pakai baju sendiri kan?"

"Baiklah, sebagai hukuman karena tidak menjadi Tsukaima yang patuh… Tak ada sarapan," kata Louise sambil menunjukkan jarinya ke atas dengan bangga.

Setelah itu, Saito mengambil blouse Louise

* * *

Saat Saito meninggalkan kamar bersama Louise, Ia melihat tiga pintu yang identik di dinding. Salah satunya terbuka dan muncullah sosok perempuan dengan warna yang rambut seperti api. Nampaknya ia lebih tinggi dari Louise dan hampir sama tingginya dengan Saito. Dia memiliki aura menggoda yang sangat kuat. Wajahnya juga menarik, serta juga memiliki tubuh yang menawan hati. Payudaranya seperti melon. Dua kancing paling atas dari blousenya tidak terpasang, membuang sebuah pemandang belah dada yang hebat dan pastinya menarik pandangan mata. Kulitnya juga bagus, membuatnya memiliki kecantikan yang sehat dan natural. Tingginya, warna kulit, dan juga ukuran payudaranya… membuatnya perbedaan kontra dengan Louise yang kurang akan poin-poin menggoda tersebut.

Saat ia melihat Louise, memanggilnya dengan keras.

"Pagi Louise!"

Louise hanya menjawabnya dengan ketus.

"Pagi… Kirche."

"Itu…Familiarmu?" Tanya Kirche dengan nada menyindir, menunjuk Saito.

"Iya."

"Hahahah! Jadi itu memang manusia! Hebat!"

Saito merasa terhina. Maaf kalau aku manusia. Memangnya kau apa? Ia melihat Payudara Kirche. Kau cuman alien berpayudara besar. Ya, P-p-ayudara besar. Saito menatap dengan khidmat

"Sepertinya kamu memang memanggil orang biasa saat ‘Pemanggilan Servant.’ Apa lagi yang bisa kita harapkan dari Si Louise Zero?"

Pipi Louise yang putih memerah.

"Diam."

"Aku memanggil Familiar juga kemarin, Tidak seperti orang lain, aku berhasil dari percobaan pertama."

"Ya"

"Dan kalau memang ingin punya familiar, harus sehebat ini. Flame!"

Kirche memanggil familiarnya dengan bangga. Dari kamarnya, seekor kadal merah yang besar muncul. Gelombang api mengenai Saito.

"Uwah! Benda apa itu?"

Kirche tersenyum.

"Ohoho! Jangan bilang kalau kau belum pernah melihat kadal api?"

"Letakkan rantai atau sesuatu padanya! Benda itu berbahaya! Memangnya apa itu kadal api?"

"jangan khawatir. Selama aku meberi perintah untuk tidak menyerang, dia takkan menyerang. Kau takut kan?"

Kirche meletakkan tangannya di dagunya dan menaikkan kepalanya dengan sangat menyebalkan.

Makhluk itu paling tidak sebesar macan. Ujung ekornya tterdapat api yang menyala, dan dari mulutnya keluar percikan api.

"jangan khawatir. Selama aku meberi perintah untuk tidak menyerang, dia takkan menyerang. Kau takut kan?"


"Kau tidak merasa panas dekat dengan itu?" Tanya Saito. Ia menenangkan dirinya dan melihat benda itu lagi. "Wow, itu monster… Hebat!"

"Bagi ku ia cukup keren."

"Apa itu seekor salamander?" Tanya Louise dengan iri.

"Betul! Seekor kadal api! Lihat ekornya. Api yang sebesar ini berarti ia pasti berasal dari Gunung Naga Api! Kadal ini tak ternilai harganya! Bahkan kolektor pun takkan bisa membelinya!"

"Itu bagus," kata Louise, suaranya nyelekit.

"Tentu! Dia sangat cocok dengan affinitasku!"

"Affinitasmu itu api kan?"

"Ya. Lagi pula, aku kan Kirche si Ardent. Ardent yang dengan lembut memberikan gairah dimanapun aku pergi, dan aku punya semua laki-laki yang menyukaiku. Tak sepertimu. Benar kan?"

Kirche memegang dada dengan bangga. Tak ingin kalah, Louise melakukan hal yang sama, namun perbedaan yang sangat jelas mengalahkannya.

Karena itu, Louise menatap tajam Kirche. Nampaknya Louise sangat benci kalah.

"Aku tak punya waktu untuk menggoda semua yang kulewati, tak sepertimu."

Kirche hanya tersenyum tenang. Lalu, ia melihat Saito.

"Dan siapa namamu?"

"Hiraga Saito."

"Hiraga Saito? Nama yang aneh."

"Hey!"

"Baiklah, aku pergi dulu."

Ia mengibaskan rambut merahnya dan pergi. Salamander itu pun mengikutinya dengan gerakan lucu yang jadi tampak aneh untuk makhluk sebesar dia.

Saat ia menghilang, Louise memegang tinjunya dengan geram.

"Ooh, perempuan itu membuatku naik darah! Hanya karena ia bisa memanggil salamander dari gunung naga api. Argh!"

"Tenanglah, itu kan cuman pemanggilan."

"Tentu saja tidak! Kau bisa merasakan kekuatan asli penyihirnya hanya dari familiarnya! Kenapa si idiot itu dapat salamander sedangkan aku dapat kau?"

"Ugh! Maaf kalau aku jadi manusia. Tapi kau juga manusia toh."

"Membandingkan penyihir dengan orang biasa seperti membandingkan serigala dengan anjing!" Jelas Louise menyakitkan.

"Baik, baik. Daripada itu, dia memanggilmu ‘Louise si Zero’, tapi Zero untuk apa? Nama panggilanmu?"

"Tentu bukan! Namaku Louise de La Vallière! Zero hanya nama sanggahan."

"Nama sanggahan.. aku mungkin mengerti bila ia dipanggil Ardent, tapi kenapa kau Zero?"

"Kau tak perlu tahu," Jawab Louise dengan tidak enak.

"Karena payudaramu?" Tanya Saito, menatap Louise. Yup. Kayak papan catur.

Tangan Louise melayang. Saito menghindarinya.

"Kembali kau!"

"Jangan Pukul aku tahu!"

Sebuah tamparan?

Aku teringat… gadis ini… kemarin, saat orang lain terbang, ia berjalan. Dan, kemarin malam, saat aku memegannya, ia menendangku di bagian pribadiku. Kalau ia memang ingin menghukumku, kan lebih baik kalau ia memakai sihir daripada memukul atau menendangku? Itu akan lebih efektif, dan lebih seperti penyihir. Kenapa ya? Pikir Saito.

* * *

Aula Makan Akademi sihir adalah yang terpanjang dan terletak di tengah bangunan. Di dalamnya terdapat tiga meja panjang yang sangat panjang yang menghubungkan orang yang makan di sana. Paling tidak ratusan orang bisa muat untuk makan di situ. Meja untuk Louise dan murid tahun kedua adalah di tengah.

Tampaknya para murid di sini bisa di idntifikasi dengan warna jubah mereka. Dilihat dari pintu masuk, Semua yang duduk di sebelah kiri tampak lebih tua dengan jubah ungu - Tahun ketiga.

Murid yang duduk di paling kanan mengenakan jubah coklat - Tahun pertama. Jadi seperti Pembagian Tahun ajaran di Jersey, Pikir Saito.

Setiap Penyihir di sekolah, murid, dan gutu, berkumpul disini untuk sarapan, makan siang, dan makan malam.

Di tingkat atas, Saito bisa melohat para guru sedang asik mengobrol.

Semua meja dihias dengan sangat indah.

Lilin yang banyak, Banyak bunga, keranjang penuh dengan buah…

Mulut Saito terbuka karena takjub akan keindahan di aula ruang makan. Louise mengangkat kepalanya dengan bangga dan mulai menjelaskan. Matanya memiliki sorot kenakalan.

"Akademi Sihir Tristain tidak hanya mengajarkan sihir."

"Ya…"

"Hampir semua penyihir adalah bangsawan. Sang bangsawan mendapatkan kebangsawanan tersebut dengan cara menggunakan sihir merupakan sebuah fondasi utama dari semua pelajaran yang kami terima sebagai bangsawan. Lalu, aula ruang makan kami pun harus sesuai dengan status bangsawan kami."

"Okay..."

"Mengerti? Biasanya, orang biasa sepertimu takkan bisa menginjakkan kaki di dalam aula ruang makan Alvíss. Berterima kasihlah."

"Ya… ntar dulu, apa itu Alviss?"

"Itu nama orang-orang kecil. Lihat patung di sebelah sana?"

Louise menunjukkan sebuah dinding yang di sana terdapat barisan patung-patung orang kecil.

"Mereka dibuat dengan sangat baik. Err, benda itu takkan.. yah… kau tahu kan… hidup di malam hari atau melakukan sesuatu?"

"Rupanya kau tahu ya?"

"Jadi memang iya?"

"yah, mereka menari.cukup. Tarik kursiku, bisa kan? Kau ini memang enggak kompeten sebagai familiar," Cap Louise, Melipat tangannya dan menaikkan kepalanya, sehingga rambutnya yang seperti stroberi itu terkibas. Yah… Cewek duluan deh. Saito menarik kursi Louise untuknya.

Bahkan Louise tidak berterima kasih. Saito juga membawa sebuah kursi untuk duduk.

"Wow!" Teriak Saito. Makanan ini terlalu hebat untuk sarapan. Sebuah Ayam bakar besar memanggil Saito. Di tempat lain ada kue pie berbentuk ikan trout dan wine.

"Aku takkan bisa memakan semua! Aku akan mati jika aku melakukannya! Hey, nona!" dia mengguncang bahu Louise, hanya untuk mendapatkan sebuah tatapan tajam dari Louise. "Kenapa?" Tanya Saito lugu. Louise tetap mempertahankan tatapannya. "iya! Aku akan menjaga kelakukannku. Aku akan berlaku seperti bangsawan! Walaupun aku bukan bangsawan."

Louise menunjuk ke lantai, dimana sebuah mangkuk terletak di situ.

"Itu mangkuk."

"Emang."

"Nampaknya ada yang mencurigakan di situ."

Louise menopang dagunya di tangannya dan bicara.

"Kau tahu, seharusnya familiar itu di letak di luar. Kamu ini ada di sini karena aku yang memintanya."

Lalu, Saito jadinya duduk di lantai seperti orang bodoh, melihat mangkuk yang ada di depannya. Di dalamnya ada daging yang kalau dilihat saja sudah bikin nafsu makan menghilang ditambah dengan sup yang sedikit. Di pojok mangkuk tersebut ada sebuah roti yang nampaknya sangat keras.

Ia berusaha melihat ke atas meja.

Ia hanya bisa melihat makanan yang spektakuler yang terhidang di meja tersebut. Kalau di bandingkan dengan makanannya, bagaikan langit dan tanah, bertolak belakang.

"Brimir yang hebat, dan Ratu kami yang agung, kami berterima kasih atas makanan sederhana yang telah kalian berikan secara sukarela kepada kami pagi ini," Suara yang serentak dan harmonis untuk berdoa terdengar. Louise juga ikut dalam doa tersebut sambil memejamkan mata.

Bentar dulu, siapa yang memangnya dapat makanan sederhana? Saito mengeluh, sambil tetap menatap makanan tersebut. Itu mah makanan untuk pesta. Kalau memang ada yang dapat makanan sederhana, itu pasti aku. Sekarang lihat dong isi mangkok ini? Bahkan makanan ini lebih buruk dari memberi makan hewan. Ia ingin protes. Bahkan hewan di Jepang dapat makanan yang lebih baik dari ini!

Sakit hati karena di perlakukan seperti itu, ia meletakkan tangannya di meja. Hanya untuk ditampar Louise.

Saito menatap Louise dengan penuh kebencian.

"Apa yang kau lakukan?"

"Kasih aku ayam. Sedikitpun sudah cukup."

"Ugh…" Menggerutu, Louise mengoyakkan sedikit kulit ayam dan menjatuhkannya di mangkuk Saito.

"Bagaimana dengan daging?"

"Enggak, aku enggak mau membuat kebiasaan buruk."

Louise pun kembali melanjutkan makannya dengan antusias.

"Ah, sangat enak, Enak! Aku rasa aku ingin menangis," Kata Saito, saat ia mengunyah rotinya yang keras.

* * *

Kelas di Akademi sihir sama dengan Kelas yang ada di universitas. Dan seperti yang lain, semuanya terbuat dari batu. Guru yang mengajar terletak di tingkat yang paling bawah dan lantainya bertingkat seperti tangga. Saat Saito dan Louise masuk, Semua murid langsung menatap mereka.

Dan mereka pun tertawa terbahak-bahak. Kirche ada disana, sedang dikerubuti oleh para lelaki. Jadi dia memang diperlakukan seperti ratu oleh laki-laki di sini. Yah, mau bagaimana lagi. Kalau dia punya ‘yang besar’ itu, pasti semuanya mendekatinya.

Familiar-familiar di sini sangat beragam.

Salamander Kirche sedang tertidur di bawah kursinya. Ada juga murid yang memiliki burung hantu yang tidur di bahunya. Di jendela, seekor ular besar masuk ke dalam kelas. Seorang anak bersiul dan kepala ular tersebut menaikkan kepalanya. Ada juga yang punya elang dan kucing.

Tapi yang membuat Saito tertarik adalah sebuah makhluk fantasy di dunianya. Dia menjadi bersemangat. Banyak sekali hewan-hewan ajaib di sekitarnya.

Ia menemukan sebuah kadal dengan enam kaki. Itu pasti…uh… saito berusaha mengingat-ingat di game yang ia mainkan. Basilisk! Aku ingat di game. Ada juga sebuah bola mata besar melayang dengan anggun di tengah udara. Apa itu ya? Saito memutuskan untuk bertanya pada Louise.

"Monster apa itu yang punya mata aneh?"

"Seekor Bugbear."

'yang seperti gurita itu?"

"Seekor Skua." Louise menjawab dengan suara menyedihkan dan duduk. Saito duduk di sampingnya. Louise menatap Saito dengan tajam.

"apa lagi?"

"Itu tempat duduk penyihir, Familiar tidak boleh duduk di situ.”

Sambil menggerutu, Ia turun ke lantai. Sudah tak dikasih sarapan di meja, tak boleh pula duduk di situ. Tapi mejanya ganggu nih. Terserah deh, aku duduk di situ aja. Kena marah kena marah dah, Pikir Saito, dan kembali duduk di kursi.

Louise menatap tajam pada Saito lagi, namun tidak berkata apa-apa.

Pintu terbuka, Seorang guru pun masuk.

Ia adalah wanita setengah baya yang memakai jubah ungu yang berkembang dan memakai topi. Wajahnya juga menandakan ia seoang yang bersahabat.

"Apa wanita itu juga penyihir?" bisik Saito pada Louise.

"Bukannya sudah pasti?" jawab Louise.

Wanita tersebut melihat sekeliling dan bebicara dengan senyum yang hangat.

"Baik semua. Nampaknya Pemanggilan Familiar di musim semi berjalan dengan sukses. Aku, Chevreuse, selalu terhibur akan familiar-familiar baru yang muncul di tiap musim semi."

Louise menatap ke bawah.

"Hmm… kau memanggil familiar yang agak… aneh, nona Vallière," Capnya saat ia melihat Saito. Komentar itu sebenarnya tanpa maksud apapun, namun seluruh kelas tertawa terbahak-bahak.

"Louise si Zero! Jangan mengambil orang biasa dari jalan secara tiba-tiba hanya karena kau tak bisa memanggil apapun!"

Rambut Louise yang panjang terkibas saat ia berdiri. Ia meninggikan suaranya yang manis karena marah.

"Tidak! Aku melakukan semuanya sesuai dengan perintah! Yang muncul memang dia!"

"Jangan bohong! Aku bertaruh kau tak bisa menggunakan sihir ‘summon servant’ secara benar, kan?"

Semuanya tertawa kecil.

"Nyonya Chevreuse! Aku dihina! Malicorne si Flu biasa sudah menghinaku!"

Louise memukul mejanya dengan tinjunya tanda protes.

"Flu biasa? Aku ini Malicorne si Angin bertiup! Dan aku juga tidak sedang flu!"

"yah, suaramu itu menandakan kau sedang flu!"

Laki-laki yang bernama Malicorne tersebut berdiri dan menatap Louise tajam. Chevreuse menunjuk mereka dengan tongkat sihirnya dan tiba-tiba mereka berdua seperti diikat oleh tali yang memaksa mereka untuk duduk.

"Nona Vallière, tuan Malicorne. Tolong hentikan argument yang tidak berguna ini."

Louise tampaknya sangat kesal. Semua usaha perlawanan yang ia tunjukkan tadi langsung menghilang.

"Memanggil temanmu dengan Zero atau Flu biasa tidak dapat diterima. Mengerti?"

"Nyonya Chevreuse, aku hanya memanggilnya sebagai lelucon, tapi Louise menganggapnya serius."

Beberapa tawa kecil tersengar dari suatu tempat.

Chevreuse melihat sekeliling dengan ekspresi yang keras. Ia menunjuk tongkat sihirnya lagi, dan, entah dari mana, mulut murid yang tertawa tadi langsung terisi oleh lumpur merah.

"kalian mungkin akan belajar sesuatu dari hal ini."

Hal ini pasti membuat semua terdiam.

"Mari kita mulai pelajarannya."

Chevreuse batuk dengan keras dan menggerakkan tongkat sihirnya. Beberapa batu kecil muncul di atas mejanya.

"Kekuatan sihirku di sebut dengan lumpur merah. Chevreuse si lumpur merah. Tahun ini, aku akan mengajarkan kalian semua tentang sihir dari elemen tanah. Kau tahu empat element utama, Tuan Malicorne?"

"Y-Ya, Nyonya Chevreuse. Mereka adalah Api, Air, tanah dan Angin."

Chevreuse mangangguk.

"Dan juga tambahan dengan element yang hilang ‘Void’, mereka merupakan lima element. Setelah semuanya tahu, dari lima element tersebut, tanah merupakan element dengan peran terpenting. Bukan karena afinitasku adalah tanah dan juga bukan karena dari referensi sendiri."

Sekali lagi, Chevreuse batuk dengan keras.

"Sihir tanah sangat penting untuk pembentukan segala sesuatu. Jika bukan karena sihir tanah, kita takkan bisa membuat dan membentuk bahan-bahan yang berguna. Mendirikan bangunan dari batu dan juga memetik hasil bumi juga akan membutuhkan banyak tenaga. Karena itulah, sihir tanah diperlukan dalam kehidupan kita."

Oo.. Pikir Saito. Jadi dalam dunia ini, sihir sama dengan sains dan teknologi di duniaku. Aku pikir aku tahu kenapa Louise sangat bangga menyebut dirinya seorang penyihir.

"Baik, semua, tolong ingat shir dasar tanah yang bernama ‘transmutasi’. Mungkin beberapa sudah mempelajarinya di tahun pertama, jadi mari kita mengulang sebentar."

Chevreuse memalingkan wajahnya kepada batu kecil tersebut dan mulai menunjuk tongkatnya ke arah benda tersebut.

Lalu ia membacakan mantra sihir, dan perlahan batu kecil tersebut mulai bersinar.

Saat cahaya itu redup, batu tersebut telah berubah menjadi unsur yang bersinar.

"Apa itu e-emas, nyonya Chevreuse!?"

Kirche menyandarkan dirinya ke depan mejanya.

"Bukan, ini hanya kuningan biasa. Hanya penyihir segiempat yang bisa mentransmutasikannya ke dalam bentuk emas. Aku hanya…." Chevreuse kembali batuk. "Penyihir segitiga…"

"Louise." Saito mengganggunya.

"apa? Ini sedang di tengah jam pelajaran!"

"Apa maksud dari segiempat dan segitiga tadi?"

"itu adalah banyaknya element yang bisa kau tambahkan dalam sihir, juga sebagai penanda dari tingkat sang penyihir."

"huh?"

"Contohnya, kau bisa menggunakan sihir elemen tanah. Tapi bila kau menambahkan sihir api juga, kekuatan keseluruhan juga akan bertambah besar," Louise menjelaskannya dengan pelan.

"Oo.."

"Para penyihir yang bisa menggabungkan dua sihir tadi disebut penyihir garis. Nyonya Chevreuse, dapat mengabungkan tanah-tanah-api, sehingga disebut penyihir segitiga."

"Apa yang terjadi jika kau menambahkan sebuah element kepada element tadi juga?"

"Ia akan memperkuat element tadi dan menjadikannya lebih kuat dari sebelumnya."

"Baiklah, jadi dengan kata lain, kau bisa bilang guru itu sudah digolongkan sebagai penyihir kuat karena ia adalah penyihir segitiga?"

"Benar."

"berapa yang bisa kau tambahkan Louise?"

Ia tidak menjawab.

Guru mengetahui mereka sedang berbicara.

"Nona Vallière!"

"Y-Ya?"

"Tolong jangan berbicara di jam pelajaran."

"Maaf…"

"Karena kau punya waktu untuk berbicara, mungkin aku bisa memintamu untuk mendemonstrasikannya untukku?"

"eh? Aku?"

"Ya. Coba ubah batu-batu kecil ini menjadi unsure yang kamu suka."

Louise tidak berdiri. Dia masih tetap duduk dengan raut muka serba salah.

"ayo sana! Dia memanggilmu!" Suruh Saito.

"Nona Vallière! Ada masalah?"

Nyonya Chevreuse memanggilnya lagi, namun Kirche mengangkat tangannya untuk bicara. Suaranya terdengar seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu.

"um…"

"Ya?"

"Aku rasa lebih baik jika kau tidak membiarkannya melakukannya…"

"Mengapa?"

"Itu sangat berbahaya," Jawab Kirche cepat. Semua murid mengangguk setuju.

"Berbahaya? Kok bisa?"

"Ini kali pertama kau mengajar Louise kan?"

"Ya, tapi aku dengar ia pekerja keras. Nah, Nona Vallière. Jangan takut. Coba saja. Takkan terjadi apapun walaupun kau melakukan kesalahan."

"Jangan Louise!" teriak Kirche. Wajahnya pucat.

Tapi Louise berdiri.

"Aku akan melakukannya."

Dengan ekspresi gugup, ia berjalan ke depan kelas dengan cepat.

Chevreuse berdiri di samping Louise dan tersenyum.

"nona Vallière, Kau harus memvisualisasikan metal yang ingin kau transmutasikan."

Louise mengangguk dengan lucu, lalu ia mulai menggerakkan tongkat sihirnya. Dia tak pernah nampak begitu menawan saat bibirnya mulai melakukan chanting mantra - yang memang berasal dari dunia lain.

Walau mengetahui sifat aslinya, Saito terdiam takjub sejenak.

Karena sinar matahari pagi yang menembus jendela, Rambut stroberi Louise nampak berkilau dengan indah. Matanya nampak seperti permata, dan kulitnya yang putih bersih. Hidungnya pun nampak pas untuk seorang bangsawan.

Kalau saja payudaranya sedikit terisi, dia pasti sempurna - malah sangat bagus. Namun bagaimanapun manisnya dia, sifatnya betul-betul mengerikan. Lamun Saito.

Namun saat ia melamun. Semua murid yang duduk tiba-tiba sembunyi di bawah kursi dengan alasan yang tidak jelas. Apa mereka tidak melihat bagaimana manisnya Louise? ia memang tidak terkenal, malah di panggil ‘Zero’ dan dijadikan bahan tertawaan. Namun, coba lihat. Tak ada seorang gadis pun yang manisnya seperti dia. Paling yang bisa mengalahkannya hanya Kirche dalam bentuk penampilan.

Sambil menutup matanya, Louise membaca mantra pendek dan menghentakkan tongkatnya.

Lalu, tiba-tiba batu kecil itu meledak.

Louise dan Chevreuse terkena ledakan dan terpental ke papan kapur, saat semuanya menjerit. Familiar yang ketakutan menjadi tak terkendali. Salamander Kirche tiba-tiba terbangun dan berdiri dengan kaki belakangnya, menghembuskan api yang sangat besar. Seekor Manticore terbang dan memecahkan jendela untuk lari. Lalu dari lubang, seekor ular besar yang dari tadi mengintip mulai berdesis dan memakan elang seseorang. Kelas berada dalam kekacauan.

Kirche berdiri dan menunjuk Louise dengan jarinya.

"itulah mengapa aku tak mengijinkanmu melakukannya."

"Ugh, Vallière! Berikan kami sedikit waktu dan pulanglah!"

"Lucky-ku dimakan seekor ular! Lucky!"

Saito melihat keadaan sekitarnya dengan shok.

Nyonya Chevreuse tertidur di lantai; nampak dari kejangan yang masih tedapat di tubuhnya, dia nampaknya belum mati.

Louise yang mempunyai bekas terbakar mulai berdiri. Dia nampaknya sangat menyedihkan. Bajunya yang koyak menampakkan bahunya yang ramping, dan celana dalamnya nampak dari roknya yang koyak.

Namun, tetap saja ia gadis yang hebat. Bahkan ia tidak merasa bersalah atas apa yang terjadi dalam ruangan kelas. Dia mengambil sapu tangannya untuk menghapus debu di wajahnya.

"Nampaknya aku melakukan kesalahan kecil…" Katanya dengan suara kecil.

Pasti, semuanya tidak menyetujui apa yang Louise katakan.

"Itu tidak kecil!. Louise si Zero!"

"Keberhasilanmu masih dan selalu Zero! NOL!"

Saito akhirnya mengerti mangapa mereka semua memanggilnya Zero.




Bab 3 : Legenda[edit]

Pak Colbert, guru yang telah mengabdikan dirinya 20 tahun hidupnya untuk Akademi sihir Tristain, menjadi tokoh utama sekarang

Nama lainnya adalah Colbert sang Ular Api, dan tentunya, dia adalah penyihir khusus sihir api.

Sejak Pemanggilan Familiar musim semi beberapa hari yang lalu, dia mulai memperhatikan pemuda biasa yang telah dipanggil Louise. Lebih tepatnya, dia hanya memperhatikan tanda yang muncul pada tangan kiri pemuda tersebut. Tanda tersebut sangat jarang, jadi malam-malam belakangan ini, dia mengunci dirinya di perpustakaan, mendalami berbagai macam teks yang ada.

Perpustakaan Akademi sihir Tristain berada di menara yang sama dengan ruang makan. Rak bukunya sangat tinggi, tingginya kira-kira 30 mail, dan kenyataan bahwa mereka dibariskan berdampingan dengan tembok merupakan pemandangan yang sulit dipercaya. Dan itu wajar saja, mengingat tempat ini dipenuhi sejarah segalanya sejak penciptaan dunia baru di Halkeginia oleh Brimir sang pendiri.

Colbert sedang berada di bagian “perpustakaan Fenrir”, yang hanya boleh dimasuki para guru.

Rak buku yang biasa, yang bisa diakses para murid, tak memberikan jawaban yang memuaskannya

Dia melayang ke rak yang tak terjangkau lalu secara intensif mencari-cari sebuah buku. Usahanya terjawab saat judul buku tersebut terlihat olehnya. Buku itu merupakan sebuah teks tua yang memegang deskripsi dari familiar yang telah digunakan Brimir Sang pendiri.

Perhatiannya terpusat pada suatu paragraf tertentu dalam buku tersebut, dimana matanya dibuka lebar-lebar seiring dengan diteruskannya kalimat demi kalimat, yang dilakukannya dengan perasaan yang meluap-luap. Dia membandingkan sketsa tanda di tangan kiri pemuda buatannya dengan tanda di buku.

Ah!, dia terlompat dalam keterkejutannya. Pada detik itu, konsentrasi yang dibutuhkannya agar tetap melayang hilang dan dia hampir terjerembab ke lantai

Dengan mengapit buku di lengannya, ia segera turun ke lantai dan lari keluar perpustakaan

Tujuannya adalah Kantor Kepala Sekolah


* * *


Kantor sang kepsek terletak di lantai tertinggi menara. Sir Osmond, Kepsek yang sedang menjabat, sedang duduk dengan siku di meja Sequoia(ingat pohon tertinggi di dunia?) yang elegan, terlihat membusuk kebosanan, menggoyang-goyangkan janggut dan rambut putihnya.

Sambil memetik keluar rambut hidungnya, suara hrm didengungkannya dan dibukalah lemari mejanya. Dari sana, dikeluarkannya pipa rokok. Miss Longueville, sang sekretaris yang sedang menulis sesuatu di meja lainnya di sisi lain ruangan, melambaikan pena bulunya.

Pipa rokok melayang di udara dan mendarat di tangan Miss Longueville. Sir Osmond menggerutu, "Apakah mengambil kesenangan orang tua ini adalah sesuatu hal yang lucu? Miss. um...”

"Mengatur kesehatanmu adalah salah satu tugasku, sir Osmond."

Sir Osmond bangkit dari kursinya dan menuju ke Miss Longueville yang tenang dan dingin. Berhenti di belakang sang nona yang duduk, dia menutup mata, dan ekspresinya muncul, terukir pada wajahnya.

"Jika hari-hari terus berlalu dengan damai, mencari tahu bagaimana menghabiskan waktu akan menjadi masalah besar."

Kerutan-kerutan yang tertancap dalam pada Wajah Osmond hanyalah petunjuk riwayat kehiodupannya. Orang-orang mengira-ngira umurnya 100, ah, tidak, mungkin 300 th. Tapi usia sebenarnya tak pernah diketahui orang. Mungkin juga dia sendiri tak ingat.

"sir Osmond..." Miss Longueville angkat bicara tanpa mengalihkan matanya dari pena bulu yang menari-nari di atas perkamen.

"Ada apa? Nona..."

"Tolong berhenti berkata kau sedang bebas tugas sebagai alasan untuk menyentuh pantatku."

Sir Osmond membuka mulutnya perlahan-lahan dan mulai berjalan kesana kemari dengan langkah terhuyung-huyung.

"Tolong jangan berpura-pura pikun lagi saat keadaan memburuk," tambah Longueville. Sir Osmond mendesah dalam-dalam, sebuah desahan dari seseorang yang memikul beban yang sangat banyak tentunya.

"Dimana kebenaran utama itu ada? apakah kau pernah membayangkannya? Nona...”"

"Dimanapun dia, kuyakinkan kau, ia tak ada dibawah rokku, jadi berhentilah memasukkan tikusmu dibawah meja."

Wajah Sir Osmond tertelungkup, dan dengan sedih berbisik,"Mótsognir."

Dari bawah meja Miss Longueville, seekor tikus kecil muncul, segera berlari ke kaki Osmund dan naik ke bahunya, menengadahkan kepala kecilnya. Dikeluarkannya beberapa kacang dari sakunya dan diberikannya satu pada si tikus.

"Chuchu," si tikus mencicit, nampaknya tikus itu tersenyum dengan perlakuan itu.

"Mótsognir, hanya kaulah teman kepercayaanku."

Sang tikus mulai menggigiti kacang, yang segera habis. Si tikus mencicit "chuchu" sekali lagi "ya, ya, ya. Mau lebih? OK, nih kukasih. Tapi, pertama-tama, kau kuperintahkan untuk melapor, Mótsognir."

"Chuchu"

"Begitu ya, Putih dan putih bersih,hrm. Tapi Miss Longueville seharusnya tetap hitam. Kau setuju kan, oh Mótsognirku yang lucu?"

Alis Miss Longueville bertautan.

"Osmond tua."

"Ya, ada apa?"

"Lain kali kau lakukan itu, kulaporkan ke istana."

"Kah! Kau pikir aku bisa jadi kepsek akademi ini jika terus takut pada istana sepanjang waktu?!"

Sir Osmond membuka matanya lebar-lebar dan berteriak marah. Itu adalah pertunjukan yang bagus, sangat tak terduga bagi seseorang yang tampak akan jatuh bila ditiup.

"Jangan macam-macam hanya karena kuintip Celana dalammu! jika begini terus, kau takkan pernah kawin! Ah~~masa muda~~Nona...”

Tanpa malu-malu, Osmond tua mulai mengelus pantat Miss Longueville.

Miss Longueville bangkit dan tanpa berkata apa-apa lagi mulai menendang-nendang bosnya.

"Ampun.Berhenti.Ow. Aku takkan melakukannya lagi. Percayalah."

Osmond tua menutupi kepalanya dan bergemetaran. Miss Longueville menarik nafas dalam-dalam sambil terus menendang-nendang Osmond.

"Ack! Bagaimana mungkin kau! memperlakukan Orang tua! seperti ini! Hey! Ouch!"

Momen yang bisa dibilang damai ini terputus dengan interupsi mendadak.

Pintu terbuka dengan terbanting dan Colbert bergegas masuk.

"Osmond tua!"

"Ada apa?"

Miss Longueville kembali ke mejanya, duduk kembali seakan-akan tidak ada apa-apa. Sir Osmond menempatkan lengannya di belakang, dan menghadap sang pengunjung dengan ekspresi serius. Ini tentu pemulihan yang cepat.

"sa-sa-sa-ya punya berita besar!"

"Tidak ada itu yang namanya berita besar. Semuanya hanyalah kumpulan kejadian-kejadian kecil."

"Ha-ha-harap lihat ini!"

Colbert menyerahkan buku yang telah dibacanya kepada Osmond.

"Ini adalah buku Para Familiar dari Brimir, Sang Pendiri kan? Apakah kau masih menggali literatur lama seperti ini? Jika kau punya waktu untuk itu, kenapa kau tak memikirkan cara-cara yang lebih baik untuk mengumpulkan uang sekolah dari para bangsawan keparat itu? tuan, err...Siapa namanya?"

Sir Osmond menengadahkan kepalanya

"Colbert Pak! Anda lupa?!"

"Ya,ya. sekarang aku ingat. Hanya...kau berbicara sangat cepat sehingga aku tak pernah menangkapnya. Jadi, Colby, ada apa dengan buku ini?"

"Lihat juga yang ini!"

Colbert lalu memberikan sketsa tanda pada tangan kiri Saito.

Pada saat dia melihatnya, air muka Osmond berubah seketika. Seberkas cahaya nampak di matanya.

"Miss Longueville, permisi, apa kau bisa keluar?"

Miss Longueville bangkit dan meninggalkan ruangan. Osmond baru berbicara saat yakin dia telah benar-benar di luar.

"Jelaskan ini padaku secara terperinci, Mister Colbert..."


* * *


Saat itu adalah sesaat sebelum waktu makan siang saat mereka akhirnya selesai membereskan kelas yang diobrak-abrik Louise. Sebagai hukuman, sihir dilarang untuk digunakan saat bersih-bersih, sehingga dibutuhkan waktu lama. Tapi, sebagaimana kita tahu, Louise tak bisa menggunakan kebanyakan mantra, jadi hal itu tak terlalu berpengaruh. Mrs. Chevreuse baru sadar dua jam setelah ledakan, dan sementara dia kembali ke kelas, dia tak lagi memberikan pelajaran soal transmutasi selama hari itu. Kemungkinannya dia trauma dengan apa yang terjadi sebelumnya.

Setelah selesai beres-beres, Louise dan Saito menuju Aula makan untuk makan siang. Selama di jalan, Saito mengolok-olok Louise terus-terusan. Memang, adalah kesalahan Louise sehingga dia hsrus mengerjakan semua yang tadi. Adalah Saito yang membawa kaca jendela baru, menata meja yang berat kembali, dan... tentu saja Saito yang membersihkan kelas yang penuh jelaga nan hitam dengan lap. Yang dilakukan Louise hanyalah mengelap beberapa meja, dan itupun dengan enggan.

Aku harus tidur di lantai. Makanannya ga enak. dan diatas semua itu, aku harus mencuci pakaian dalam.(Tak berarti aku sudah.)

Dengan semua perlakuan buruk dari Louise, tiada jalan bagi Saito untuk tetap diam tentang kelemahan Louise yang baru ditemukannya. Dia menggoda Louise seperti tiada hari esok.

"Louise sang Zero. Aku tahu sekarang~ Sempurna ~ Tingkat keberhasilan nol. Tapi Bangsawan dengan hal itu...luar biasa sekali!”

Louise diam saja, membuat Saito makin menjadi-jadi

"Transmutasi! Ah! Kaboom! Transmutasi! Ah! Kaboom! Oh, Aku salah! Hanya Sang Zero yang salah disini!"

Saito menari-nari dalam lingkaran sambil sesekali mengangkat lengannya saat mengucapkan 'kaboom', meniru ledakan. Penampilan yang cukup rinci rupanya.

"nona Louise. Familiar yang rendah ini telah menggubah lagu untukmu."

Sambil berkata begitu, Saito membungkukkan kepalanya. Tentu saja, Sikap itu dimaksudkan untuk mengejek, sebuah satire yang sadis.

Alis Louise berkenyit marah. Dia tengah berada dalam puncak kemarahan yang akan meledak, tapi Saito terlalu terserap dalam kegairahan untuk menyadarinya.

"Kenapa tak segera kau nyanyikan?"

"'Lou-Lou-Louise yang tak bisa apa-apa~penyihir yang tak bisa sihir! Tapi tak apa-apa! Karena dia seorang perempuan..."

Saito memegang perutnya saat meledakkan tawanya ke udara.

"Bwahahaha!!"

Dia tertawa atas lawakannya sendiri. Mungkin dia memang sudah tak ada harapan lagi


* * *


Saat mereka tiba di Aula makan, Saito menarik kursi Untuk Louise.

"Harus diingat, jangan menyihir makanan anda. Bayangkan saja Bagaimana bila ia meledak."

Louise duduk dengan mulut terkunci. Saito merasa puas sekali, mendapatkan Louise yang arogan dan kasar dalam genggamannya. Bahkan hukuman biasa yaitu tak makan tidak dihiraukannya.

Sementara sup meager dan roti yang disajikan terasa sakit untuk dirasa, ia merupakan bayaran yang seimbang dengan tawa yang banyak sebelumnya.

"Baiklah, Pendiri...entah siapapun itulah... dan Yang mulia sang Ratu. Nuhun untuk Makanan sampah ini. Itadakimasu."

Saat dia mulai makan, piringnya direbut paksa

"Apa yang kau lakukan?!"

"K-k-ka-..."

"K-k-ka-?"

Bahu Louise bergetar saking marahnya, begitu juga suaranya. Entah bagaimana, dia tetap bisa mengontrol kemarahan yang mengalir deras ini hingga tiba di meja makan. Mungkin...Untuk menurunkan hukuman yang pantaskah?

"K-k-kau Familiarku, berani-be-beraninya mengata-ta-takan i-i-itu pada A-aku, Tuanmu?"

Saito menyadari dia keterlaluan dalam hal ini

"Ampuni aku! Aku takkan mengatakannya lagi, jadi bisakah kudapatkan kembali makananku?"

"Tidak! Tentu saja TIDAK!"

Louise berteriak, menegangkan urat leher dan otot mukanya yang manis itu.

"Satu potongan jatah untuk tiap kali Zero yang kau ucapkan, dan itu sudah Final, tiada lagi ampun bagimu!"


* * *


Pada akhirnya, Saito meninggalkan Aula makan tanpa menelan apapun.

Aku tak seharusnya sebegitunya tentang hal itu.... Tapi sudah telat untuk menyesal

"Haa, lapar nih...sial..."

Sambil memeluk perutnya, dia berjalan dengan satu tangan di dinding.

"Ada sesuatu?"

Dia berbalik untuk melihat seorang perempuan yang terlihat normal dalam pakaian maid membawa nampan perak besar, terlihat perhatian padanya. Rambut hitamnya dihiasi rapih dengan ban kepala, dan bintik-bintiknya lucu.

"Bukan apa-apa..." Saito mengibaskan tangan kirinya.

"Apa kau...yang menjadi familiarnya nona Vallière?"

Ini mungkin karena dia mengenal tanda pada tangan kiri Saito

"Kau mengenalku?"

"Sedikit. rumor sudah kemana-mana, kau tahu, Bahwa seorang biasa dipanggil oleh sihir pemanggil."

Sang gadis tersenyum manis.Itu adalah senyum terindah yang pernah dilihat Saito sejak dia datang ke dunia ini.

"Apa kau juga seorang penyihir?" Saito bertanya.

"Oh, tidak.Aku hanya seorang biasa, sama sepertimu, aku melayani para bangsawan disini dengan mengerjakan pekerjaan rumahan."

Aku sebenarnya dari bumi dan bukan seorang biasa, tapi mungkin menjelaskan itu tiada gunanya. Saito memutuskan untuk memperkenalkan dirinya.

"Oh, begitu...Erm, saya Hiraga Saito. Senang bertemu denganmu."

"Itu nama yang agak aneh...Aku Siesta."

Pada titik itu, perut Saito menggerung.

"Kau pasti lapar."

"Ya"

"Mohon ikuti aku ke arah sini."

Siesta lalu berjalan menjauh.


* * *


Saito dibimbing ke dapur yang terletak di belakang Aula makan. Banyak panci dan Tungku besar dibariskan didalam. Juru masak dan pembantu lain seperti Siesta tengah sibuk menyiapkan makanan.

"Tunggu sebentar ya?"

Siesta menyilahkan Saito duduk di Kursi pada sudut dapur dan menghilang ke belakang.

Dia lalu kembali dengan Mangkuk penuh sop di tangannya.

"Ini sop dari sisa-sisa makanan para bangsawan tadi. Jika tak keberatan, silahkan dimakan."

"Boleh?"

"Ya. meski ini hanya konsumsi para staf sih..."

Kelembutannya sangat menyentuh. Ini terbalik 180 derajat dengan sup yang diberikan Louise. Saito mengambil sesendok penuh lalu memasukkannya ke mulut. Lezat, Membuatku menangis

"Lezat, Membuatku menangis."

"Ini sangat ena~k!"

"Baguslah. Masih ada lebih nih jika kau masih mau, jadi santai saja."

Saito melahap sup bagaikan sedang dalam mimpi. Siesta berdiri menontonnya sambil selalu tersenyum manis.

"Apa kau tak diberikan sesuatu untuk dimakan?"

"Gadis itu datang dan merebut piringku begitu saja saat kuejek dia ‘Louise sang Zero.’"

"Ya ampun! Tak seharusnya kau berkata begitu kepada para bangsawan!"

"Bangsawan kek, Bangsewot kek, terserah. Mentang-mentang bisa sihir sombong.”

"Kau pasti sangat berani..."

Siesta terkagum-kagum memandang Saito.

Saito memberikan kembali mangkuk yang telah kosong kepada Siesta.

"Tadi itu sangat lezat. Makasih."

"Aku senang kau suka. Silahkan berkunjung kapan saja kau lapar. Jika kau tak berkeberatan denga apa yang kami dapat, aku akan senang berbagi."

Sebuah penawaran yang ramah. Saito semakin tersentuh.

"Maksih..."

Air mata tiba-tiba menetes dari sudut mata Saito, mengejutkan Siesta.

"Ada masalah?"

"Tidak... Hanya saja ini kali pertama seseorang begitu baik padaku sejak ku disini...Aku jadi sedikit terharu..."

"I-Itu kayanya berlebihan."

"Tentu saja tidak. Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, kataan saja. Akan kubantu."

Saito sedang tak tertarik dengan susuatu semacam mencuci pakaian dalam Louise, dan lebih tertarik membantu gadis ini.

"Kalau begitu, bisakah kau bantu aku menyajikan makanan-makanan penutup ini."

Siesta mengucapkannya dengan senyum

"OK," Saito mengangguk, antusias sekali tampaknya.


* * *


Banyak dari kue penutup yang ditempatkan pada nampan besar perak. Saito membawa nampan itu sementara Siesta mengambil Kue beserta tongnya dan menyajikannya satu per satu pada para bangsawan.

Seorang penyihir berdiri. Dia berambut blonde keriting, mengenkan kemeja frill-trimmed, dan terlihat rada-rada narsis. Ada Mawar yang bertengger pada saku kemejanya. Teman-temannya sedang bercanda melepas tawa dan kegembiraan kepadanya.

"Jadi, Guiche! Kau dengan siapa sekarang?"

"Siapa Cintamu, Guiche?"

Nampaknya sang penyihir nan bangga itu dipanggil Guiche. Dia perlahan-lahan mengangkat telunjuk ke bibir.

"Dengan siapa? Aku tak memberikan satu wanitapun perlakuan khusus. Kau tahu, Sebuah mawar merekah untuk kesenangan semuanya."

Orang ini menyamakan dirinya dengan mawar. Seorang narsis yang sudah tenggelam terlalu dalam. Dia cuma seorang narsis yang membuat orang lain lebih malu dari dirinya. Saito menatapnya, berharap dia mati saja.

Tepat saat itu, sesuatu jatuh dari kantong Guiche. Sebuah botol gelas kecil dengan cairan ungu terkocok didalamnya.

Aku tak suka orang ini, tapi tetap saja aku harus mengatakan dia menjatuhkan sesuatu. Saito memanggil Guiche.

"Oi, kau menjatuhkan botol ini dari kantongmu."

Tapi Guiche tak menoleh. Dia mengacuhkanku!

Saito memberikan nampan pada Siesta dan membungkuk untuk mengambil botol tersebut. "Kukatakan, kau jatuhkan sesuatu, playboy."

Ditaruhnya botol di meja. Guiche menatap Saito penuh rasa jijik dan mendorong botol menjauh.

"ini bukan punyaku. Apa sih yang kau bicarakan?"

Teman-teman Guiche kemudian menyadari darimana botol itu dan menyebabkan keributan.

"Oh?, parfum itu, punya Montmorency kan?"

"Yep! Warna ungu itu adalah parfum yang hanya diracik Montmorency untuk dirinya!"

"Tidak, Tunggu, dengarkan. Kukatakan ini untuk kebaikan dirinya, tapi..."

Saat Guiche hendak berkata lebih banyak, seorang gadis, yang memakai jubah coklat dan sedang duduk di meja di belakang mereka, bangkit dan menuju kursi Guiche.

Dia seorang gadis manis dengan rambut berwarna chestnut. Berdasarkan warna Jubahnya, dia merupakan siswa tahun pertama.

"Guiche-sama..."

Dan dengan itu, dia mulai menangis tak terkendali.

"Aku tahu semuanya, kau dan Montmorency adalah..."

"Itu hanya salah paham. Dengar Katie, Orang yang ada dalam hatiku hanyalah kau..."

Tapi gadis bernama Katie menampar wajah Guiche sekeras-kerasnya.

“Parfum yang kau jatuhkan dari kantongmu lebih dari cukup sebagai bukti! Selamat tinggal!”

Guiche mengelus pipinya.

Pada titik ini, seorang gadis dengan rambutnya yang bergulung-gulung bangkit dari kursi nun jauh di belakang. Saito mengenalnya sebagai gadis yang berdebat dengan Louise saat dia pertama kali menginjakkan kaki di dunia ini.

Dengan ekspresi sangar, dia menghampiri Guiche dengan langkah cepat yang berbunyi,

“Montmorency. Ini hanya salah paham, Yang kulakukan hanyalah bersamanya untuk perjalanan juah ke Hutan La Rochelle....”kata Guiche, menggeleng-gelengkan kepalanya. sementara dia berpura-pura untuk tetap tenang, setetes keringat dingin mengalir menuruni dahinya.

“Tepat seperti pikiranku! Kau sedang menggarap tahun pertama itu kan?

“Ayolah, Montmorency nan harum. Jangan peras muka mawarmu dalam kemarahan seperti itu. Itu hanya membuatku bertambah sedih tiap kali ku melihatnya!”

Montmorency menggenggam sebotol anggur di meja dan menuangkan isinya perlahan-lahan ke atas kepala Guiche.

Lalu...

“Kau pendusta!”

Dia berteriak dan mengamuk.

Aula hening sejenak.

Guiche menambil saputangan dan mengelap mukanya pelan-pelan. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berbicara dengan dramatisnya.

“Sepertinya mereka tak mengerti ari dari kehadiran sekuntum mawar.”

Ya, dan kau teruskan itu, Pikir Saito, sambil mengambil nampan lagi dari Siest dan mulai menjauh. Guiche menyuruhnya berhenti

“Berhenti disitu.”

“Ada apa sekarang.” Guiche memutar tubuhnya lalu duduk dengan kaki kanan diatas kaki kiri dan tangan di dagunya. Itu membuat pening Saito yang melihat adegan yang sungguh arogan di tiap geraknya.

“Karena tindakanmu yang mengambil botol parfum tanpa pikir panjang, reputasi dua wanita telah rusak. Bagaimana tanggung jawabmu?”

Saito membalas dengan nada sini.

“Hello, lihat siapa yang mendua disini.”

Teman-teman Guiche meledak dalam tawa.

“Itu benar Guiche! semuanya salahmu!”

Wajah Guiche merah padam seketika.

“Dengarkan, pesuruh. Saat kau taruh botol parfum di meja, ku berpura-pura tak tahu apa-apa kan? Memangnya salah kalau kau sedikit mengerti dan berlalu dengan itu?”

“Apapun itu, sikapmu yang mendua pasti tersingkap juga, satu lagi, aku bukan seorang pesuruh.”

"Hmph... Ah, kau...”

Guiche mendengus, seakan merendahkan Saito.

“Kau pasti si jelata yang dipanggil oleh "Louise Sang Zero" itu. Mengharapkan sikap ningrat dari seorang jelata sepenuhnya salahku. Silahkan pergi.”

Saito meledak, Cowok cantik ataupun bukan, taiada jalan bagi Saito untuk diam saja dari kenarsisan nan parah ini. Dia tak bisa menahan komen pemanas suasana dari bibirnya.

“Tutup mulutlah kau sang narsis goblok. Napa ga nyeruput mawar ampe kubur?”

Mata Guiche menyempit.

“Sepertinya kau tak tahu etika memanggil seorang ningrat.”

“Sayang sekali, ku datang dari dunia dimana tiada orang macam bangsawan.”

Saito mengangkat tangan kanannya dan berbicara dengan mantap, meniru Guiche.

“Baiklah. Kau kan kuberi pelajaran tentang hormat. Sebuah cara sempurna melepas stres.”

Guiche bangkit

“Luar biasa.”

Saito menggigit giginya dan menggeram. Satu, Aku tak suka orang ini sejak bertemu. dua, dia jalan dengan dua gadis lucu – meski tak selucu Louise sih. Terakhir, dia mempermainkanku.

Itu lebih dari cukup sebagai alasan untuk berkelahi. Dan selama itu, akan kuhajar dia berlipat kali sebagai bagiannya Louise. Karena, meski dengan apa yang terjadi, dia cewek gitu lho!

“Disinikah?”kata Saito

Meski lebih tinggi dari Saito, Guiche merupakan tipe2 rapuh dan terlihat lemah. Ada ungkapan Playboy lemah di duit dan otot. Saito tak terlalu kuat tentu saja, tapi dia ta berpikir dia akan kalah.

Guiche membuang muka.

“Kabur?”

“Jangan salah, aku tak bisa menodai meja makan para ningrat dengan darah seorang jelata kan? Aku akan menunggu di Vestri Court. Datanglah setelah kau habis membagikan kue-kue itu.”

Terlihat bersemangat, teman-teman Guiche bangkit dan mengikutinya pergi.

Namun Satu orang tinggal, mungkin agar yakin Saito tak melarikan diri.

Siesta memandangi Saito, seluruh badannya bergetar. Saito berbicara dengan menyeringai.

“Tidak apa-apa. Tiada jalan aku akan kalah terhadapnya. Ningrat ya, huh?”

“Kau...Kau akan dibunuh.”

“Apa?”

“Jika benar-benar memantik amarah seorang ningrat...”

Siesta lari, menghilang dengan terburu-buru.

Apaan itu? gumam Saito. Apa Guiche benar-benar kuat?

Louise lari menuju Saito dari belakang

“Hey! Apa yang kau pikirkan saat kau lakukan ini? Ku melihat semuanya!”

"Yo, Louise."

“Ini bukan waktunya Yo-yo-an denganku! Bagaimana kau janji berduel seperti itu hal remeh saja!?”

“Tapi dia itu benar-benar mengusikku...”

Saito berkata avuh tak acuh

Louise mendesah dan mengangkat bahu, kecewa

“Minta maaflah.”

“Apa?”

“Jika kau tak ingin terluka, pergi dan minta maaflah. Jika kau lakukan itu sekarang, mungkin dia akan memaafkanmu.”

“Apa kau bercanda! Mengapa aku harus minta maaf?! Dia menghinaku duluan! Lagipula, Aku hanya menolong...”

“Lakukan sajalah.”

Louise menatap tajam Saito

“Tidak akan.”

“Keras kepala...Kau tahu? kau takkan menang, Kau akan cedera parah. Sebenarnya, kau beruntung bila kembali hidup-hidup dan hanya terluka.”

“Aku takkan tahu bila tak mencoba kan?”

“Dengar! Seorang jelata takkan pernah mengalahkan seorang penyihir!”

“Jadi dimana Vestri Court ini>”

Saito pergi. Teman Guiche yang dari tadi menonton Louise dan Saito menunjuk dengan dagunya.

“Kesini, Orang biasa.”

“Aduh! benar-benar deh!Napa Faniliar ini terus pergi dan berbuat semaunya sendiri?!”

Dengan itu, Louise memburu Saito.


* * *


Vestri Court merupakan taman pusat diantara Menara elemen api dan angin. Terletak di barat membuat Court ini tak menerima banyak sinar matahari, bahkan saat tengah hari, tapi merupakan tempat sempurna untuk duel.

Tepat saat ini...Tempat ini dipenuhi orang-orang yang telah mendengar desas-desus.

“Tuan-tuan! Ini adalah duel!”

Guiche mengangkat mawar buatan-nya tinggi-tinggi, yang disambut sorakan hadirin.

“Guiche akan berduel! Lawannya Familiar Louise!”

Aku punya nama juga tahu...pikir Saito pahit.

Melambaikan tangannya, Guiche menyambut sorakan.

Dan, seperti baru menyadiri kehadiran Saito, Guiche menghadapinya.

Saito dan Guiche berdiri di tengah court, saling memandang tajam satu sama lain.

“Satu, aku salut karena kau datang dan tidak kabur!” Guiche menyambutnya dengan suara yang seolah bernyanyi, sambil memutar-mutar mawarnya.

“Seperti aku akan lari saja!”

“Baiklah, Ayo mulai,” kata Guiche.

Mulut diam, otot bicara. Saito maju. Pertarungan dimenangkan mereka yang memukul pertama!

Jaraknya sekitar 10 langkah dari Guiche. Peduli amat dengan Ningrat atau penyihir. Aku akan remukkan hidung aroganmu rata!

Guiche mengamati Saito dengan senyum liciknya dan menjentikkan mawarnya.

satu kelopak melayang ke bawah bagaikan menari di udara...

dan menjelma menjadi Sebentuk Baju besi dari Ksatria wanita,

Tingginya kira-kira sama degan orang biasa, namun tampaknya terbuat dari logam keras tertentu. Dibawah sinar matahari, kulitnya tampak mengkilat.

Ia berdiri menghadang jalan Saito.

“Apa-apaan ini?!”

“Aku penyihir, maka aku bertarung dengan sihir. Tentu kau tak keberatan bukan?”

“Ke-kenapa kau...”

“Kurasa kulupa memberitahukannya. Nama runeku adalah ”sang perunggu.” Guiche sang Perunggu. Sehingga, golem perungguku “Valkyrie” akan menjadi lawanmu yang sesungguhnya.”

“Eh?”

Golem berbentuk ksatria maju menuju Saito.

Kepalan kanannya meninju keras perut Saito.

“Egh!”

Saito meringis dan tumbang karena rasa sakit. Kurasa ini apa yang dimaksud, serasa ditinju petinju pro. pikirnya

“Apa, sudah selesai?”

Suara Guiche menandakan ketidakpuasan. Dari kerumunan, Louise menyeruak keluar.

“Guiche!”

"Oh, Louise! sialnya, aku hanya meminjam Familiarmu sebentar.”

Louise menggeleng-gelengkan rambut panjangnya dan meneriaki Guiche, marah.

“Sudah cukup! apalagi, duel sangat dilarang!”

“Hanya antar-ningrat. Tiada yang melarang duel antara ningrat dan jelata.”

Untuk sesaat, Louise kehilangan kata-kata.

“I-Itu karena ini tak pernah terjadi sebelumnya...”

“Louise, kau cinta padanyakah?”

Wajah Louise terbakar dalam amarah.

“Tidak!jangan mengada-ada! Hanya saja aku tak tahan Familiarku dihajar di depan mataku!”

“...Si-siapa yang dihajar? aku baik-baik saja.”

"Saito!"

Melihat Saito bangkit, Louise spontan meneriakkan namanya,

“...hehehe, akhirnya kau sebut juga namaku.”

Louise gemetar.

“Kau mengerti sekarang? seorang jelata takkan pernah mengalahkan seorang penyihir!”

“...Aku sedikit ceroboh, itu saja. Aku tak apa-apa, jadi kembalilah.”

Saito mendorong Louise kembali.

“Apaam nih? Tak kukira kau bakal bangkit lagi...Mugkin aku terlalu lembek?” kata Guiche, memanasi Saito.

Saito berjalan pelan menuju Guiche. Louise mengikutinya dan mencengkram bahunya.

“Kau harus berhenti! Dasar! Mengapa kau masih berdiri?”

Saito melepaskan tangan Louise dari bahunya.

“Karena aku panas meliahtnya.”

“Dia membuatmu terhina? lihat, tak perlu malu jika kalah dari seorang penyihir!”

“Diamlah,” Saito bergumam sambil terus maju melangkah terhuyung-huyung.

"Eh?"

“Benar-benar, Kau mulai mengikis kesabaranku... Aku tak tahu keningratan ataupun kejelataan, tapi bagiku, kalian semua hanyalah anak-anak sombong. Jadi apa itu sihir? dasa bodoh.”

Guiche menonton Saito dengan senum tipis di wajahnya.

“Semakin kau berusaha, semakin ini tak berarti.”

Semangat bertary=ung khas Saito menyala, dan diucapkannya sahutan pendek.

“Ini bukanlah apa-apa. Patung kecilmu terlalu lemah.”

Senyum itu lenyap. Tangan kanan golem mehajar keras Wajah saito. Dia mendapatkannya di Pipinya dan tumbang ke tanah.

Darah menetes dari hidungnya yang patah.

Mencoba menahan darah yang mengucur, Saito terkejut.

Waduh...Jadi ini kekuatan seorang penyihir. Aku pernah berkelahi beberapa kali, tapi hantaman tadi tak pernah kurasakan sebelumnya.

Meski begitu, dia bangkit meski terhuyung-huyung. Golem Guiche kembali menerbangkannya dengan sebuah tendangan.

Dia bangkit lagi. Dan dihantam jatuh lagi.

Terus begitu, prosesnya selalu sama.

Pukulan kedelapan mengenai tangan kanan Saito. Ada bunyi retak terdengar.

Tak bisa melihat dengan mata kirinya yang bengkak, dia memeriksa lengannya dengan mata kanannya. Tampaknya bengkok parah.

Selama Saito terpaku dengan lengannya, si golem datang lagi dan mendaratkan kakinya di muka Saito

Kepalanya membentur tanah dengan keras, dan pingsan untuk sejenak.

Saat sadar, dia melihat Wajah Louise yang dilatari angkasa biru.

“Aku mohon, berhentilah.”

Mata Louise yang reduk tampak berkaca-kaca.

Saito mencoba mengeluarkan suara, tapi rasa sakit di dadanya dari hantaman yang berulang sulit dilawan.

Meski begitu, dengan keinginan kuatnya, dia berhasil mengeluarkan suara yang lemah.

“Apa kau menangis?”

“Tidak! Siapa yang menangis? bagaimanapun juga, ini sudah cukup. Kau telah berusaha sekerasmu. Ku tak pernah melihat orang biasa sperti ini sebelumnya.”

Tangannya yang patah tersengat dengan keras. Saito meringis

“Ah...Sakit.:

“Tentu saja! Pasti! Apa sih yang kau pikirkan?”

Air mata mengalir di wajah Louise dan jatuh di pipi Saito.

“Kau Familiarku, mengerti? aku takkan mengampunimu untuk aksi bodoh lebih dari ini.”

Suara Guiche terdeangr kembali.

“Sudahan?”

“...Tahan kudamu. Aku hanya mengambil napas.”

“Saito!”

Guiche tersenyum, dan menjentikkan mawarnya. kali ini, kelopaknya menjadi pedang. Guiche memegangnya dan melemparnya ke tempat Saito. Pedang itu menancap di tanah tak jauh dari tempat Saito .

“Jika mau lanjut, ambillah pedang itu. Jika tidah, yang perlu kau katakan hanyala”Maaf.” dan aku akan meaafkanmu dan masalah beres.”

“Jangan menghinanya!”

Louise berteriak, bangkit. Tapi Guiche seolah tak mendengarnya dan terus mengoceh.

“Mengerti?Pedang. Dengan kata lain sebuah senjata. Ini bekal minimal bila kau ingin membalas dendam terhadap kami, para ningrat. Jadi, jika kau masih lanjut, ambillah pedang itu!”

Saito merengkuh pedang itu dengan tangan kanannya. Tapi dengan lengan yang patah, dia tak bisa menggenggamnya dengan baik.”

Tangannya dihentikan Louise.

“Jangan! Takkan kubiarkan ini! jika kau menagmbil pedang itu, Guiche takkan memberi ampun!”

Aku tak bisa kembali ke duniaku,,,yang berarti aku terjebak disini kan? saitu menggumam, lebih pada dirinya sendiri. Tak ditengoknya Louise.

“Itu benar. Terus kenapa?! Itu tak berarti sekarang!!”

Louise memegang tangan Saito erat-erat. Saito berbicara dengan sura yang keras nan jelas.

“Aku taka pa-apa bila jadi Familiar… Aku bias tidur di lantai…Aku tak peduli bila makannannya tidak enak…Mencucui pakaian dalam pun akan kulakukan. Sepertinya memang aku tak bias memilih.”

Saito berhenti sejenak sembari mengepalkan tangan kirinya.

“Tapi…”

“”Tapi…”apa?”

“Aku takkan menundukkan kepala untuk hal yang melawan hatiku.”

Menarik seluruh sisa tenaganya, Saito memaksakan diri untuk berdiri. Mendorong Louise ke samping, dia mengambil Pedang yang tertancap dengan tangan kirinya.

Dalam sekejap…

Tanda yang tertera di tangan kirinya mulai bersinar terang

* * *

Mari mengubah lokasi untuk sementara dan kembali ke kantor Kepsek.

Mister Colbert sedang berbusa-busa menerangkan sehalanya kepada Sir Osmond tentang pemuda biasa yang dipanggil Louise saat Springtime Familiar Summoning…Tentang bagaimana dia memperhatikan tanda yang muncul pada tangan sang pemuda sebagau bukti kontraknya dengan Louise…dan apa yang telah dilakukannya untuk mencari tahu lebih lanjut…

“Kau meneliti Gandalfr, familiar Brimir sang Pendiri?” Osmond memeriksa dengan seksama sketsa Colbert dari tanda di tangan kiri Saito.

“Ya! Tanda yang muncul pada tangan kiri pemuda tersebut sama persis dengan tanda yang terukir pada Gandalfr. Sang familiar legendaries!”

“Jadi kesimpulanmu?”

“Anak itu adalah Gandalfr! Kalau ini bukan berita besar, terus apa?” Colbert bangkit sambil mengelap kepala botaknya dengan saputangan.


“Hrm…Tandanya memang sama persis. Tapi untuk pemuda jelata menjadi Gandalfr hanya karena tanda yang sama,,,bagimana itu bias terjadi.”

‘Apa yang kita lakukan?”

“Namun, mungkin terlalu dini untuk mengklaim langsung.”

“Benar juga.”

Sir Osmond memukul-mukul meja dengan jari-jarinya.

Ada ketokan di pintu.

“Siapa?”

Dari sebelah terdengar suara Miss Longueville.

“Aku, Osmond tua.”

“Ada apa?”

“Sepertinya ada murid yang berduel di Vestri Courts, menyebabkan keributan dimana-mana, Beberapa guru kesana dan mencoba menghentikannya, tapi dimentahkan jumlak murid yang banyak.”

“Demi Tuhan, tiada lagi yang lebih buruk selain ningrat dengan waktu luang yang terlalu banyak. Jadi, siapa yang terlibat?”

“Salah satunya Guiche de Gramont.”

“Ah, si anak idiot dari Gramont. Pengejar rok mesti mengalir dalam darah keluarganya, toh bapaknya juga playboy. Takheran anak ini tahu semua perempuan di sekolah. Lawannya?

“,,,Bukan penyihir. Saya diberitahu lawannya familiar Nona Vallière.”

Osmond dan Colbert saling bertukar pandangan.

“Para guru meminta “Bell of Sleep" untuk menghentikan duel.”

Mata Osmond berkilat seperti elang.

“Ga masuk akal, masa artifact penting seperti itu digunakan untuk menghentikan duel yang kekanaka-kanakan ini. Biarkan saja.”

“Siap!” Langkah Miss Longueville menghilang diantara lorong-lorong

Colbert menelan ludah laluu menoleh pada Osmond.

“Osmond tua.”

"Hrm."

Sir Osmond mengayunkan stafnya dan sebuah cermin besar did dinding mulai menampilkan situasi Vestri Courts.


* * *


Saito benar-benar terkejut. Tepat saat dia menggenggam pedang itu, seluruh nyeri badannya hilang.

Dia menyadari tanda di tangan kirinya menyala.

Kemudian…

Badanku terasa ringan bagai bulu. Aku hampir bisa lepas landas dan melayang.

Sebagai tambahan, Pedang di tangan kirinya terasa begitu menyatu sebagai bagian dari tubuhnya,

Ini aneh. Aku tak pernah menyentuh sebuah pedang sebelumnya...

Melihat Saito dengan senjata di tangannya, Guiche tersenyum dingin,

“Pertama, aku memberi selamat padamu. Jujur saja, aku terkesan dengan seorang biasa yang telah melangkah begitu jauh melawan penyihir.”

Sembari begitu, dia memutar-mutarkan mawar di tangannya.

Mawar buatan itu pasti tongkat sihirnya. Benar-benar deh, mau seindah apa sih dirimu?”

Satio heran bahwa dia bahkan sempat memikirkan hal itu.

Aku dihajar begitu keras tadi. Apa yang sebenarnya terjadi denganku?”

Golem Guiche menyerang lagi.

Kaleng bodoh.

Patung yang dibentuk menyerupai Valkyrie mistik menuju Saito seolah-olah dalam gerak lambat.

Apa-apaan ini, pikir Saito

Aku ditendang-tendang bagaikan anjing kurap oleh sampah ini?

Saito melompat dan beraksi.

“Kaleng bodoh.”

Melihat Golemnya dibelah dua bagaikan tanah liat dibelah, Guiche menggumam desahan sakit.

Kedua belahan mengenai tanah dengan suara “clang”.

Semntara, Saito berbegas menuju Guiche dengan kecepatan tinggi.

Panik, Guiche mengayunkan mawarnya secara liar. Kelopak menari dan enam golem baru dimunculkan.

Dengan ini, tujuh golem meripakan isi terpenuh Guiche.Tak pernah terlintas di benaknya bahwa seorang jelata akan menjadi tandingannya, bahkan satu sekalipun.

Para golem mengepung Saito dan menyerang bersamaan.

Dan pada saat dia tampaknya sudah kena, 5 dari mereka ditebas. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga tiada yang meliaht gerak pedangnya, membuat semuanya memikirkan kemampuan super macam apa itu?.

Golem yang tersisa segera mundur untuk melindungi Guiche.

Tapi segera dikalahkan oleh tebasan pedang yang tak terlihat.

"Hiii!!"

Sebuah tendangan ke muka mengirim Guiche berguling-guling ke tanah.

Dilihatnya Saito melompatinya.

Aku akan mati, pikirnya, sambil melindungi kepalanya.

Sesuatu membuat suara “Thunk” yang keras.

Saat matanya dibuka setelah bersusah payah...

Saito telah menancapkan Pedangnya di tanah tepat di sebelah kanan kepala Guiche.

“Masih mau lanjut?” tanya Saito.

Guiche menggeleng-gellengkan kepalanya ketakutan. Semangatnya untuk bertarung sudah menguap.

Dan dengan suara yang berat dan lemah, dia berkata,

‘Aku menyerah.”

Saito melepaskan tangannya dan pergi menjauh.

Didengarnya kerumunan mendukungnya dengan “Wah, luar biasa familiar itu!” atau “ya ampun, Guiche kalah!”

Aku...menang?

Bagaimana?

Pikiran Saito tengah berbelit disini.

...Apa yang baru saja terjadi padaku?

Aku hendak dihantam tanpa ampun

Lalu tiba-tiba, begitu tanganku menyentuh pedang, tubuhku ringan seketika. Selanjutnya, Semua Golem Guiche hancur berkeping-keping.

Aku bahkan tak tahu aku bisa pedang.

Aku tak mengerti, tapi biarinlah. Aku menang dan sudahlah. Kupikirin nanti aja. Sekarang sih lagi cape, mau tidur dulu.

Dilihatnya Louise berlari menuju dia.

‘Hey aku menang’ ingin diteriakkannya, tapi lututnya lemas.

Kelelahan menderanya, dan kesadarannya perlahan-lahan memudar. Saito pingsan.

Saat Saito mulai jatuh, Louise berlari lebih cepat untuk mendukungnya, tapi kalah cepat. Saito ambruk ke tanah dengan kerasnya.

"Saito!"

Louise menggoyang-goyangkannya. Tidak, tampaknya dia belum mati.

"Guu..."

Didengarnya Saito mendengkur. Ya, dia tidur.

“Dia tidur...”

Louise tampak sangat lega dan mengeluarkan napas lega.

Guiche bangkit dan mengeleng-gelengkan kepalanya, masih terkejut rupanya.

“Louise, siapa orang ini? Semua Valkyrieku dikalahkan dengan mudahnya...”

“Dia hanyalah seorang biasa.”

“Tak mungkin golemku bisa kalah dari “Seorang biasa.””

“Hmph. Bukannya karena kau lebih lemah?”

Louise mencoba mengangkat Saito, tapi karena tak bisa, malah jatuh lagi dengan saito diatasnya.

“Egh!Kau berat banget! Bodoh!”

Salah satu murid di kerumunan menggunakan mantra melayang pada Saito.

Louise mulai mendorong lembut Saito pergi. Dia perlu dibawa ke kamar Louise dan diperban.

Di sudut belokan, Louise melirik wajah Saito. Dia terlihat menderita dan nyeri, Louise tak bisa menahan diri untuk menangis. Dia menjadi kuat tiba-tiba saat memegang pedang, tapi jika tak begitu, mungkin dia sudah titik.

Sekarang, itu jauh lebih penting dari kemenangan Saito. Pasti si bodoh ini berpikir matipun tak apa-apa. Pergi kesana-kemari dan keras kepala begini saat kau hanya seorang jelata...

“Kau hanya seorang familiar. Jadi mengapa kau bertindak seenaknya sendiri?!”

Louise berteriak pada Saito yang tertidur. Kelegaannya segera berganti dengan perasaan terganggu.


* * *


Sir Osmond dan Colbert telah selesai menyaksikan seluruh kejadian melalui “Cermin Penglihatan Jauh”. Mereka saling bertukar pandang

“Osmond tua.”

"Hrm."

“Orang biasa itu akhirnya menang…”

"Hrm."

"Guiche hanyalah penyihir titik tingkat satu, tapi tak seharusnya dia kalah olh jelata biasa. Kecepatan yang luar biasa! Tak pernah kulihat jelata seperti dia sebelumnya! Tidak diragukan lagi, dialah Gandalfr!”

"Hrmm..."

Mister Colbert mendesak Osmond.

“Osmond tua. Kita harus melapor ke istana secepatnya dan bertanya untuk intruksi lebih lanjut…”

“Tidak perlu.”

Sir Osmond mengangguk perlahan sembari memainkan janggut putihnya.

“Tapi Pak! Ini penemuan terbesar abad ini! Gandalfr yang terlahir kembali di zaman modern!”

"Mister Colbert. Gandálfr bukanlah familiar biasa."

“Tepat sekali! Familiar yang digunakan oleh Brimir sang pendiri! Tidak pernah ada keterangan mengenai dirinya, tapi katanya ia diciptakan khusus untuk melindungi Brimir sang pendiri selapa pembacaan mantra.”

“Benar. Mantra Brimir sang pendiri sangat panjang…Meski begitu, itu yang membuat mantranya luar biasa. Dan sebagaimana kau tahu. Penyihir tak terlindungi selama pembacaan mantra. Gandalfr adalah familiar yang digunakannya untuk perlindungan selama keadaan itu. Kekuatannya…”

Colbert berhenti disitu, terlihat luar biasa semangat.

“Ia bisa ,enghancurkan 1000 tentara sendirian! Katanya, penyihir biasa bukan tandingannya!”

“Jadi. Mister Colbert.”

“Ya?”

“Pemuda itu, dia hanya jelata biasa kan?”

“Ya, tak peduli sebarapa sering kuperiksa, dia hnayalah jelata kebanyakan. Aku bahkan mememeriksanya dengan mantra pendeteksi sihir saat Miss Vallière memanggilnya, tapi dia hanyalah jelata kebanyakan.”

“Dan siapa yang membuatnya jadi Gandalfr zaman ini?”

“Itu pasti Miss Vallière, hanya saja…”

“Dia pasti penyihir berbakat luar biasa kan?”

“Tidak sama sekali. Sepertnya malah tidak berbakat sama sekali…”

“Duet yang memusingkan ini.”

“Ya.”

“Jadi bagaimana seorang jelata biasa yang dikontrak penyihir tak berbakat menjadi Gandalfr? Paradoks macam apa ini? Tak bisa kulihat dimana ujungnya.”

“Ya, benar.”

“Bagaimanapun juga, tidak perlu bagi kita untuk menyerahkan Gandalfr dan tuannya kepada orang-orang tolol di istana. Berikan mereka mainan seperti ini dan mereka hanya akan berperang yang tiada gunanya. Advisor di Court mempunyai terlalu banyak waktu bebas dan suka sekali pertumpahan darah.”

“O-oh, aku mengerti. Aku minta maaf untuk melewatkan hal penting itu.”

“Aku akan mengurus kasus ini sendiri. Jangan bilang hal ini pada orang lain, Mister Colbert.”

“Y-Ya!Aku mengerti!”

Sir Osmond mengambil stafnya dan melihat keluar jendela. Dia membuka pikirannya pada sejarah yang lampau.”

“Gandalfr sang Familiar legendaries…Apa ya bentuknya dahulu? Aku hanya bisa bertanya-tanya.”

Colbert bergumam seakan sedang bermimpi.

“Gandalfr katanya bisa menggunakan semua senjata untuk mengalahkan musuknya…”

"Hrm."

“kupikir, setidaknya dia punya lengan dan tangan.”

* * *

Cahaya pagi membuka mata Saito. Seluruh badannya dibalut perban.

Ohya.

Aku berduel dengan Guiche dan dihajar begitu parah.

Lalu aku tiba-tiba menang secara tiba-tiba menggunakan pedang itu…

Lalu aku pingsan.

Dia di kamar Louise. Tampaknya, dia tidur di kasur Louise juga.

Louise sendiri duduk di kursi dan tidur nyenyak dengan kepala di meja.


Mata Saito jatuh pada tanda di tangan kirinya. Saat tanda tersebut bersinar, badannya terasa seringan bulu, pedang yang serasa kepanjangan lengannya, dan dibelahnya golem Guiche dengan begitu mudahnya.”

Saat ini, tanda itu tak bersinar.

Apa sih itu sebenarnya?

Selama dia memandang tangan kirinya, penasaran, ada ketukan di pintu dan pintu pun terbuka.

Itu Siesta. Gadis biasa yang menyajikannya sop di dapur. Dia memakai pakaian maidnya seperti biasa, lengkap dengan bando penghias rambutnya.

Dia menatap Saito dan tersenyum. Di nampan perak yang dibawanya tampak roti dan air.

“Siesta…?”

“Jadi kau sudah bangun Saito?”

“Ya…Aku…”

“Setelah semua itu, Miss Vallière membawamu kesini untuk menidurkanmu. Dia membawa guru untuk membacakan mantra penyembuh padamu juga. Waktu itu sangat parahlah.”

“Mantra penyembuh?”

“Ya.sihir untuk membantu penyembuhan penyakit dan luka. Kau tak tahu?”

“Tidak.”

Saito menggelengkan kepalanya. Ini membingungkan Siesta, Saito tak tahu terminologu dasar, tapi dia takkan kemana-mana dengan tidak mengatakan apa-apa.

“Miss Vallière membayar untuk reagen yang dibutuhkan pada mantra penyembuh, jadi ga ysah khawatir.”

“Apa reagennya mahal?”

“ya…yang jelas bukan sesuatu yang bisa dibayar seorang jelata.”

Saito mencoba bangkit, tapi berteriak karena nyeri.

"Ouch!"

“Ah, jangan gerak dulu! Lukamu parah hingga mantra penyembuh tak bisa sempurna menyembuhkannya! Bersabarlah!”

Saito mengangguk dan kembali berbaring.

“Aku bawa sedikit makanan. Ayo, makanlah.”

Siesta menaruh nampan di sisi tempat tidur Saito.

“Makasih…Berapa lama aku tertidur.?”

“3 hari 3 malam. Semuanya khawatir kau takkan pernah bangun.”

“Semua?”

“Seluruh staff dapur…”

Siesta menundukkan pandangannya sambil malu-malu.

“Ada apa?”

“Em…maafkan aku.Aku melarikan diri waktu itu.”

Dia sedang berbicara mengenai bagaimana dia melarikan diri ketakutan saat Saito marah-marah pada Guiche di aula makan.

“Tak usah dipikirkan. Itu bukan apa-apa.”

“Para ningrat selalu menakutkan bagi kami para jelata, kita ga bisa make sihir sih…”

Siesta tiba-tiba mengangkat kepalanya. Matanya tampak berkilat-kilat.

“Tapi aku tak takut lagi! Aku sangat terkesan Saito! Kau menang melawan ningrat, meski kau seorang jelata!”

“Benar-benar…Haha.”

Meski aku tak tahu mengapa aku bisa sampai menang.

Agak malu, Saito menggaruk-garuk kepalanya. Kemudian dia menyadari dia menggunakan lengan kanannya, yang sebelumnya patah. Ia terlihat baik-baik saja. Meski terasa sedikit nyeri saat digerakkan, tapi nampaknya tulangnya telah tersambung lagi.

Wow, jadi inilah sihir. Piker Saito dengan agak kagum.

…Sepertinya ini sesuatu yang bisa dibanggakan.

“Ngomong-ngomong, apa kau yang merawatku selama ini?”

“Oh, bukan, bukan aku. Sebenarnya Miss Vallière yang merawatmu…”

“Louise?”

“Ya, dia mengganti seluruh perban dan mengelap keringat dari wajahmu…Dia tak tidur sedikitpun, jadi dia pasti cape.”

Saat dia tidur, napas Louise teratur dan tenang. Meski ada lingkaran gelap dibawah matanya.

Wajah tidurnya sangat manis. Seperti boneka cantik saja.

Jadi dia bisa jadi baik juga, piker Saito. Tiba-tiba penampilannya menjadi semakin manis.

Mata Louise membuka perlahan.

"Fuaaaaaaaaa~~"

Dia melemaskan badan dan menguap dalam ayunan besar, dan pandangannya menuju Saito, yang tengah duduk di tempat tidur sambil mengedip-ngedipkan matanya, terkejut.

Ah, bangun kau rupanya.” “Ya…”

Saito menundukkan pandanganbya. Dia merasa harus berterima kasih pada Louise.


“Um. Louise.”

“Ya?”

“Makasih. Dan maafkan aku yang membuatmu khawatir.”

Louise berdiri.

Dan mendekati Saito.

Saito berdetak makin kencang.

Apa dia akan mengatakan sesuatu seperti ”Baguslah, kau benar-benar keren saat itu” dan mungkin menciumku?

Tapi itu tak terjadi.

Louise menarik Selimut Saito dan mencengkram kerahnya.

“Jika kau merasa lebih baik, enyahlah dari tempat tidurku!”

Dengan masih mencengkram kerahnya, Louise menarik Saito dari tempat tidur.

"Wah! Ow!"

Saito jatuh ke lantai.

“Hey, aku masih terluka!”

“Jika kau sudah bisa mengeluh, kau pasti sudah bisa mengerjakan yang lainnya.”

Saito bangkit. Badannya masih terasa sakit, tapi itu bukan sesuatu yang dia tak bisa tahan. Apa tak bisa dia membiarkanku tidur lebih lama sedikit?

“Kalau begitu, aku akan pergi sekarang…”

Siesta meninggalkan kamar dengan senyum tertahan. Tepatnya, dia terbang dari kamar.

Louise melemparkan gunung pakaian dan pakaian dalam ke Saito.

"Ack!"

“Itu cucian yang menumpuk selama kau tidur. Begitu kau selesai dengannya, bersihkan kamar. Buruanlah!”

“Em, kau tahu…”

Louise menatap Saito dengan galaknya.

“Apa? Hanya dengan mengalahkan Guiche, kau piker kau akan diperlakukan khusus? Kau piker kau akan dihargai? Apa kau bodoh?”

Saito memandangi Louise dengan putus asa.

Dia memutuskan menelan kembali pikirannya tentang Louise yang manis.

Hanya saja…cara Louise duduk di tempat tidurnya sambil mengayunkan kaki merupakan tingkat “manis” yang tak bisa dibantah di dunia ini.

Rambut blonde Stroberinya terurai. Mata kacanya bersinar dengan halus, Dia kasar, arogan dan memntingkan diri sendiri, namun tak bisa dibantah, penampilannya memang menawan.

Mengangkat satu jari dengan tegas, Louise mengatakan.

“Jangan lupa! Kau familiarku!”




Bab 4 : Hari Familiar[edit]

Seminggu telah berlalu sejak Saito memulai hidupnya sebagai Familiar Louise di Tristain Magic Academy. Jika ada yang bisa menerangkan apa itu hari biasa bagi Saito, maka akan menjadi seperti ini.

Satu, seperti kebanyakan manusia dan hewan di Tristain, dia bangun pagi. Tempat tidurnya, seperti biasa, lantai, meski dibandingkan hari pertama sudah ada peningkatan. Tahu badannya bakal sakit sepanjang malam bila tidur di lantai yang keras. Saito meminta Siesta beberapa dedak yang diberikan pada Kuda dan menyusunnya di pojok kamar. Saito tidur di tumpukan dedak, dan hal pertama yang dilakukan Saito tiap pagi adalah membangunkan Louise, seperti ayam. [mungkin lebih cocok menggunakan istilah jerami daripada dedak]

Tapi dia harus melakukannya, karena akan jadi masalah kalau Louise yang bangun pertama. [Louise yang bangun lebih dulu]

“Familiar bodoh yang harus dibangunkan tuannya mesti dihukum.” Louise tak pernah lupa mengingatkannya.

Jika Saito ketiduran, dia bakal melewatkan sarapan.

Begitu bangun, Louise ganti pakaian. Dia memakai pakaian dalamnya sendiri, tapi menyuruh Saito memakaikan seragamnya. Ini sudah dijelaskan sebelumnya.

Dengan penampilannya yang menawan, Saito sesak setiap kali melihat Louise dengan pakaian dalamnya.

Mereka bilang kau akan biasa dengan cinta cantikmu dalam 3 hari, tapi sepertinya Saito takkan terbiasa dengan Louise dalam waktu dekat.

Mungkin karena dia familiarnya, bukan cintanya. Meski dengan selalu bersama Louise, dia sejatinya ia. Perbedaannya hanyalah sikap dan perlakuan Louise padanya. [daripada istilah cinta cantik mungkin lebih baik menggunakan kekasih cantik]

Dapat melihat Louise setiap hari tak begitu buruk. Tetapi itu merupakan luka abadi di harga dirinya. Saat membantu memakaikan sepatu Louise misalnya, dia tak bisa menyembunyikan perasaan tertusuk dari wajahnya.[perasaan kesal?]

Setidaknya itu masih bisa diterima, tapi jika Saito mulai berceloteh untuk memanasi Louise, segalanya menjadi berantakan.

“Seorang familiar kasar yang menyusahkan tuannya pagi-pagi begini perlu dihukum,” merupakan moto lain Louise.

Jika Saito menggoda Louise mengenai ukuran dadanya, atau jadi menyebalkan dan mengatakan sesuatu seperti, “Kancing saja sendiri.” Dia bakal melewatkan sarapan.

Setelah memakai seragamnya, yang berupa jubah hitam, blus putih dan rok abu-abu yang dipleat. Louise lalu mencuci muka dan menggosok gigi. Kamar itu tak memiliki air terpasang, jadi Saito harus ke mata air dan mengambil air untuk keperluan Louise dalam ember. Dan tentu saja, Louise tidak mencuci muka sendiri, Saito yang melakukannya.

Suatu pagi, Saat Saito mengelap wajah louise dengan handuk, dia menggores wajah Louise pelan-pelan dengan sepotong batu bara yang ditemukannya.

Melihat karyanya di wajah Louise, Saito menahan tawa. Kemudian dengan kesopanan palsu, dia dengan santun membungkukkan badannya pada Louise.

“Putri, Kaulah pemimpin kecantikan hari ini.”

Karena tekanan darah rendah, Louise hanya bisa memberikan jawaban dalam kantuknya.

“…Merencanakan sesuatu?”

“Aku? Aku hanyalah familiar yang melayani putrid. Aku takkan berkonspirasi!”

Louise curiga akan kesantunan Saito yang tiba-tiba dan sangat santun, namun karena hamper terlambat untuk kelas, dia tak menanyainya Saito lebih lanjut.

Dengan pipi yang merah mawar, mata kaca yang menawan, dan bibir yang seolah terpahat dari koral terbaik, Louise tahu dia tak harus berdandan. Dengan kata lain, dia tak perlu berkaca sering-sering. Hasilnya: dia tak tahu sama sekali riasan yang dikenakan Saito padanya.”

Louise menuju kelas dalam keadaan itu. Pada waktu itu, dia tak bertemu siapa-siapa di lorong maupun tangga.

Louise membuka pintu kelas sambil terengah-engah. Serentak seluruh teman sekelasnya memandangi Louise dan meledak dalam tawa.

“Hey, terlihat baik, Louise!”

“Ya Tuhan! Ini sangat lo!”

Setelahnya, saat Mister Colbert memuji halus kacamata bergaya dan kumis yang disketsa di wajahnya, Louise mengamuk. Dia keluar ke lorong dimana Saito memegang perutnya dan berguling-guling di lantai dalam tawa nan histeris, Menaboknya berulang kali, dan memotong jatah makannya untuk sehari.

Menurut Louise, familiar yang memperlakukan tuannya seperti kanvas adalah setan yang dulu melawan Brimir sang pendiri dan dew-dewaa temannya, dan setan seperti ini tak pantas mendapatkan roti dan sup yang diberkahi Sang Ratu.


* * *


Setelah sarapan, Saito membersihkan kamar Louise. Ini termasuk menyapu lantai dengan sapu dan mengelap meja serta jendela dengan lap.

Dan tentunya ada cucian nan nikmat. Dia membawa cucian ke bawah ke pancuran dan menggosoknya bersih dengan papan cuci. Tioada air hangat, hanya air sedingin es yang menggigit ganas jarinya. Pakaian dalam Louise terlihat merupakan potongan mahal dengan frill . Dia bakal kehilangan satu jatah makan bila merusak satu, jadi dia harus mencucinya dengan lembut. Ini merupakan kerja yang menyakitkan. Cape dengan semua ini, suatu hari dia meninggalkan satu dengan karet yang agak robek di gunungan. Beberapa hari kemudian, Louise keluar dengan mengenakan potongan itu, saat akhirnya karetnya putus. CDnya meluncur ke lututnya, menngikat kaki Louise bagaikan jebakan.

Kejadiannya di puncak tangga, sehingga dia terjatuh secara spekatkuler ke bawah.

Untungnya, tidak ada siapapun disana sehingga tiada yang melihatnya berguling ke bawah dengan bagian bawah badannya terbuka, jadi setidaknya reputasinya terselamatkan. Mengetahui ini bakal jadi Pembantaianm Saito berhati-hati untuk tidak mengintip roknya saat dia meminta maaf dengan sungguh-sungguh ke Louise, yang pingsan di Lantai bawah. Dia tak bermaksud candaannya menjadi seperti ini. Malah, dia mengharapkan itu terjadi itu terjadi di lorong untuk malu maksimum.

Saat Louise sadar dan menyadari apa yang terjadi, dia melemparkan potongan yang robek kepada Saito yang duduk manis di sisi tempat tidur.

"Ada yang robek.”

“Benar sekali Putri.”

Suara Louise bergetar karena amarah

“Jelaskan.”

“Pasti karena air pancuran, Putri. Kenapa? Karena ia dingin sehingga membekukan jari-jari. Aku percaya karetnya tak tahan itu.”

Saito menjawab pelan.

“Jadi kau katakana ini kesalahan karetnya?"

“Aku mengatakan itu kesalahan airnya. Airnya jelek, Aku yakin ada kutukan padanya sehingga ia dingin dan bisa mempengaruhi karet.”

“Kalau begitu, aku seharusnya tak menyajikan sup dari air jelek itu untuk familiarku yang setia.”

“Sangat murah hatimu, oh Putri.”

“Kupikir perlu 3 hari untuk airnya kembali seperti sediakala.”

Saito mendapati jatahnya dipotong 3 hari.


* * *


Meski begitu, Saito baik-baik saja selama 3 hari itu. Dia hanya berpura-pyra mondar-mandir dan mampir ke dapur di belakang Aula Alviss, dimana Siesta yang bersemangat dan manis akan menyajikannya makanan seperti sup, dan daging tulang. Dia kesana meski jatahnya tak dipotong. Sup yang dikatakan Louise “Berkah yang tersebar dari Yang Mulia, Sang Ratu” tak pernah cukup untuk sebuah berkah mengenyangkannya.

Biasanya, dia merahasiakan kunjungannya ke dapur dari Louise. Louise begitu terobsesi untuk tidak memberinya lebih hingga kelakuannya diperbaiki, jadi akan menjadi masalah bila Louise tahu tentang daging dan sup yang diberikan Siesta. Louise pasti melarang dia berkunjung demi “mendidik” familiarnya.

Namun untuk sekarang, dia sama sekali tak tahu, Saito lebih memilih Siesta dan dapur seratus kali dbandingkan dengan Sang Ratu dan Brimir sang Pendiri yang tak pernah ditemuinya.


* * *


Suatu pagi, setelah meminum habis supnya di depan Louise, dia pergi ke dapur. Saito yang telah mengalahkan Guiche di Vestri Court, sangat terkenal disana.

“Pedang kita hadir disini!”

Yang berteriak adalah Marteau, Koki kepala, pria gemuk di 40-1nnya. Sejatinya, dia seorang jelata, tapi dengan posisinya sebagai Koki kepala akademi, dia memperoleh posisi ningrat rendah, fakta yang bisa dibanggakannya.

Berpakaian sederhana tapi rapi, dia memerintahkan seisi dapur dengan lambaian dan ayunan tangannya.

Meski posisinya terhormat sebagai koki kepala dari akademi sihir untuk ningrat, Marteau sama sekali tak arogan, dan yang mengejutkannya, membenci baik sihir maupun ningrat.

Dia menyebut Saito, yang menggunakan pedang untuk mengalahkan Guiche, dengan sebutan “Pedang kami” dan memperlakukannya bagai raja. Berkat dia, dapur serasa oasis untuk Saito.

Saito duduk di kursinya, dan dengan senyum, Siesta menyajikan semangkuk sup dan roti putih yang lembut dengan hangat.

“Makasih.”

“Sup hari ini sangat istimewa,”

Kata Siesta, terlihat bahagia. Saito dengan penasaran memasukkan sesendok ke mulut dan wajahnya langsung menyala.

"Wow, ini lezat! Dunianya lain dengan serpihan yang kudapat!”

Tepat saat itu, Marteau menghampiri meja dengan pisau dapur di sebelah tangannya.

“Tentu saja. Sup itu sama dengan apa yang kami sajikan ke anak-anak ningrat.”

“Ku tak percaya ini yang mereka makan setiap hari…”

Marteau mendengus mendengar komen Saito.

"Hmph! Benar mereka bisa sihir. Membuat pot dan panci dari debu, memunculkan permata nan indah, bahkan mengendalikan naga – terus apa! Dari yang kulihat, menciptakan sajian seluar biasa ini sendiri merupakan sihir. Kau setuju kan, Saito?

Saito mengangguk.

“Jelas.”

“Teman yang baik! Kau ramah!”

Dia menaruh lengannya di bahu Saito.

“Sini, “Pedang kami”! Biarkan aku mengecup keningmu! Ayolah! Aku mohon!”

“Sebaiknya jangan. Dan berhenti memanggiku begitu,” kata Saito.

“Mengapa?”

“Itu…aneh”

Dia melepaskan Saito dan melebarkan tangannya untuk membantah.

“Tapi kau mebelah golem penyihir berkeping-keping! Masih tak mengerti?”

“Memang sih.”

“Katakana, di mana kau belajar menggunakan pedang? Ceritakan padaku dimana aku bisa pergi untuk mengayunkan pedang seperti itu.”

Marteau menatap lekat-lekat Saito. Dia terus menanyakan hal yang sama saat Saito datang untuk makan, dan jawaban Saito selalu sama.

“Aku tak tahu. Aku tak pernah memegang pedang sebelumnya. Badanku bergerak sendiri.”

“Kalian semua dengar itu!?”

Dia berteriak, suaranya bergema ke seluruh dapur.

Koki-koki muda dan murid-murid menyahut balik.

“Kami mendengarmu, Boss!”

“Inilah seorang ahli sebenarnya! Mereka tak pernah menyombongkan keahliannya! Lihat dan pelajari!

Para koki mengobrol dengan antusias.

“Seorang ahli yang benar tak pernah menyombong.”

Kemudian Marteau berputar dan menoleh pada Saito.

“Kau tahu, “Pedang Kami.” Aku semakin tergila-gila padamu. Terus bagaimana?”

“Ym, tentang apa…?”

Dia selalu mengatakan yang sebenarnya, tapi Marteau pikir dia hanya merendahkan diri. Ini membuat frustasi. Dia merasa mempermainkan orang baik. Pandangan Saito beralih pada Tanda di tangan kirinya.”

Sejak hari itu. Ia tak pernah bersinar. Itu apan sih?...Bahkan saat Saito mencoba menjelaskan dengan menatap tandanya, Marteau berpikir dia sedang merendah.

Sang koki menoleh pada Siesta.

"Siesta!"

"Ya?"

Siesta, yang dengan gembira menonton keduanya akrab, menjawab dengan jelas.

“Bawakan pahlawan kita beberapa dari yang terbaik di Albion.”

Senyumnya melebar, lalu mengambil sebotol anggur yang diminta dari rak, kemudian dituangkannya sebagian ke gelas Saito. Siesta terserap wajah Saito yang semakin merah seiring tegukan anggur. Kejadian ini berulang terus, hampir selalu:.

Saito mengunjungi dapur. Marteau semakin dekat dengan Saito, dan respek Siesta padanya semain mendalam.


* * *


Meski pada hari itu…ada bayangan merah mengintai Saito dari jendela Dapur. Salah satu koki menyadarinya.

“Hey, ada sesuatu diluar sana.”

Bayangan itu bersuara ‘kyuru kyuru’ dan pergi menjauh.


* * *


Lalu setelah sarapan, bebersih dan cucian, dia menemani Louise ke kelas. Biasanya, dia dibuat duduk di lantai, tapi setelah Louise menyadari dia mengintip isi rok gadis lainnya, akhirnya dia dipersilahkan duduk di kursi. Dan dibuat jelas bahwa begitu Saito memalingkan perhatiannya terlalu jauh dari papan tulis, jatah makan siangnya hangus.

Awal-awalnya pelajarannya begitu memukau Saito,: merubah air jadi anggur, mencampur berbagai reagen menjadi potion khusus, memunculkan bola api dari ketiadaan, mengapungkan kotak, tongkat, dan bola keluar dari jendela kelas untuk ditangkap familiar-familiar, dll… tetapi setelah beberapa saat, semuanya jadi biasa.

Jadi dia tidur saja. Profesor dan Louise selalu menatapnya penuh benci setiap beberapa saat, tapi tiada aturan yang melarang familiar tidur selama pelajaran. Dan melihat sekeliling kelas, seluruh familiar malam mendengkur, bahkan burung hantu seseorang. Bahkan, bila mereka membangunkan Saito, itu sama saja mengakui dia adalah manusia. Louise menggigit bibirnya dari keinginan terpendamnya untuk memberi Saito fikirannya, tapi tak bisa karena melakukan itu berarti membohongi dirinya sendiri bahwa dia tidak lebih dari sekedar familiar.


* * *


Pada hari yang sama, bermandikan sinar matahari, Saito tertidur nyenyak selama pelajaran lain.

Anggur yang diminumnya pagi itu sedang bekerja, dan Saito bermimpi.

Merupakan mimpi yang sukar dipercaya tentu saja.

Sebuah mimpi dimana Louise merangkak menuju tumpukan jeraminya saat malam di kala dia tidur.

“Ada yang salah Louise…?”

Mendengar namanya dipanggil, Louise menoleh pada Saito.

“Kau tak bisa tidur? Oh, baiklah…selalu saja. Munya~”

Oh, dia hanya menggigau dalam tidurnya,

Pikirnya, dan dia kembali menghadap ke depan.

“…Munya. Hei, jangan memelukku tiba-tiba.”

Pandangan Louise kembali terarah pada Saito. Murid lain mulai menyadari situasi dan membuka telinga mereka lebar-lebar.

“…Yah, untuk penindas budak selama siang, kau adalah hal termanis dan terlucu di tempat tidur.”

Saito ngacai dari bagian pinggir mulutnya dan mimpinya pun terus berlanjut.

Louise mencengkeram bahunya dan mengguncangnya keras-keras.

"Hey! Mimpi macam apa kau ini?!”

Teman sekelasnya meledak dalam tawa. Malicorne sang Windward memberi komen.

"Oi oi, Louise! Apa itu yang kau lakukan dengan familiarmu saat malam? Aku terkejut!”

Para murid wanita saling berbisik.

“Hai!itu hanya igauan tidur bodoh! Ah, grrr! Ayo bangunlah!”

“Louise,Louise, kayak kucing aja; berhenti menjilatiku seperti itu…”

Pada titik ini, Tawa meledak memenuhi ruangan hingga ke atap.

Louise menendang Saito dari kursi, secara kasar dikembalikannya alam nyata dari mimpi indah nan lembutnya.

“Ta-Tadi itu untuk apa?!”

“Sejak kapan aku pernah menyelinap ke tumpukan jeramimu?!”

“Louise,Louise, kayak kucing aja; berhenti menjilatiku seperti itu…”

Louise menyilangkan tangannya dan menatap tajam ke bawah pada Saito.

Saito menggeleng-gelengkan kepalanya tak sadar, hanya untuk mengejutkan kelas lebih jauh lagi.

“Saito, jelaskan pada orang-orang yang rada-rada kasar ini bahwa aku tak pernah melangkah satu kaki pun dari tempat tidurku saat malam.”

“Ya. Kalian semua, yang dikatakannya benar. Aku hanya bermimpi yang keterlaluan saat ini. Louise takkan pernah melakukan sesuatu seperti itu.”

Para murid berbalik menjauh dengan agak kecewa.

"Bukankah itu sudah pasti? Kayak aku bakal melakukan hal seperti itu! Dengan INI, tak mungkin! Dengan INI! Bahkan untuk berpikir aku bakal seselimut dengan bentuk hidup nan rendah ini sudah sangat kelewatan, bahkan untuk lelucon sekalipun!”

Louise mengangguk-angguk meyakinkan diri, sambil mengalihkan pandangannya ke atas.

“Tapi, kadang mimpiku menjadi nyata.”

Saito memanasi lagi.

“Tentu saja! Kita tahu mimpi memiliki kekuatan untuk mengatakan masa depan!” Seseorang di ruangan menyokong dengan persetujuan.

“Tuanku di sini, dengan kepribadiannya, kemungkinan takkan pernah menemukan cintanya.”

Kebanyakan murid menangguk, Louise menatap Saito suatu pandangan tajam nan menusuk, tapi itu sudah terlambat. Panggung sepenuhnya di bawah kuasa Saito.

“Tuanku yang sial ini terkadang frustasi sebagai akibatnya, dan mengalihkannya dengan cara menyelinap ke tumpukan jerami Familiar yang sederhana ini.”

Louise berkacak pinggang dan langsung menutup “pertunjukan” Saito hari itu.

"Cukup! Tutup mulut kotormu sekarang juga!”

Itu juga tak bisa menghentikan Saito.

“Saat dia lakukan itu, aku harus menyayanginya sedikit…”

Pada titik ini, dia sudah keterlaluan. Bahu Louise mulai bergetar dengan amarah.

“Dan kataku padanya,’Ini bukanlah tempatmu untuk tidur.’”

Kelas memberikan applaus. Saito menirukan sebuah gerakan membungkuk nan elegan dan duduk kembali.

Louise menendangnya jauh-jauh, mengirimnya berguling-guling melewati lantai.

“Jangan menendangku!”

Tapi Louise sudah terlihat siap meledak. Pandangannya terarah lurus ke depan, dan, seperti biasa, bahunya bergetar dengan amarah yang siap menyembur.

Sekali lagi,ada bayangan merah yang menonton Saito.

Ternyata Salamander Kirche. Dengan perut menyentuh tanah, ia menatap Saito melalui celah di antara barisan kursi.

"Hm?"

Menyadari hal ini, Saito melambaikan tangan padanya

“Kau Salamander Kirche kan? Aku tahu kau punya nama. Apa ya…Ohya, namamu Flame. Flame~”

Saito menyuruhnya mendekat, Tapi si Salamander mengibaskan ekornya dan menyemburkan beberapa lidah api sebelum berlari menuju tuannya kembali.

“Mengapa seekor kadal sangat tertarik padaku?”

Saito membenggokkan kepalanya dalam kebingungan.


* * *


Dan selama Saito kontes tatap-tatapan dengan seekor salamander selama kelas…

Di Kantor Kepsek, Miss Longueville sang sekretaris sedang sibuk menulis sesuatu.

Dia berhenti menulis untuk sesaat dan menatap ke meja sequoia dimana Sir Osmond sedang sibuk terlelap.

Dari pinggir bibir mawar Miss Longueville, tersungging sebuah senyum tipis, sebuah ekspresi yang belum pernah ditunjukkannya kepada siapapun.

Dia bangkit dari mejanya.

Dengan suara rendah, diucapkannya mantra untuk “Spell of Tranquility”. Dengan menjinjitkan kakinya agar tak membangunkan Osmond, dia menyelinap keluar dari kantor.

Tujuannya adalah tempat Harta, yang berada di lantai yang tepat berada dibawah kantor kepsek.

Turun dari tangga, dihadapinya pintu besi nan besar. Mereka dikunci dengan mekanisme bolt tebal, yang diamankan dengan Padlock yang juga besar.

Tempat ini merupakan tempat penyimpanan artifak yang bahkan ada yang berasal dari zaman sebelum akademi didirikan. Setelah dengan hati-hati memeriksa tempat itu, Miss Longueville mengeluarkan tongkatnya dari kantong. Panjangnya sepensil, tetapi dengan sekali sentakan dari pergelangan, ia memanjang hingga sebaton konduktor, yang sangat mahir digunakannya.

Miss Longueville mengucapkan lagi mantra.

Setelah pembacaan selesai, dia menunjuk tongkatnya pada padlock.

Namun…Tidak ada yang terjadi.

“Yah, bukan berarti aku harap “Spell of Unbinding” untuk bekerja juga sih.”

Tersenyum nakal, dia mulai membacakan kata-kata dari salah satu mantra keahliannya.

Ia merupakan sihir transmutasi. Mengucapkannya keras dan jelas, diayunkannya tongkat ke Kunci yang berat itu. Sihirnya menyelimutinya…Tapi setelah menunggu cukup lama, tidak ada perubahan yang terlihat.

“Sepertinya ia diperkuat secara sihir oleh penyihir kelas segi-4,” gumamnya.

“Spell of Reinforcement” merupakan sihir yang mencegah oksidasi dan penguraian materi. Apapun yang dikenai sihir ini akan dilindungi dari setiap reaksi kimia, dan menjadikannnya terus dalam keadaan yang ajeg. Bahkan sihir transmutasi pun takkan berefek pada sesuatu yang dilindungi seperti ini. Hanya jika keahlian sihir seseorang melampaui yang menyihir benda tersebut, sihir tersebut akan dipatahkan.

Dari yang terlihat, penyihir yang memantrai pintu ini sepertinya penyihir yang sangat kuat, mengingat Miss Longueville, seorang ahli sihir bumi dan transmutasi, tak bisa mempengaruhi pintu itu.

Mencopot kacamatanya, dipandanginya sekali lagi pintu itu. Pada titik ini, dia mendengar langkah kaki menaiki tangga. Dikecilkannya tongkat dan dimasukkannnya lagi ke kantongnya.

Orang yang muncul ternyata Colbert.

“Salam, Miss Longueville. Apa yang kau lakukan disini?”

“Mr. Colbert, aku hendak mengatalogkan isi dari tempat harta, tetapi…”

“Wah, itu nampaknya berat. Mungkin perlu seharian untuk pergi ke semua dan tiap benda. Ada banyak sampah tercampur dengan mereka, dan ruangan tempat mereka disusun juga agak sesak.”

“Betul itu.”

“Kenapa tak kau pinjam saja kunci dari Osmond tua?”

Si Wanita tersenyum.

“Yah…aku tak ingin mengganggu tidurnya. Bagaimanapun juga, aku tidak diburu untuk menyelesaikan catalog…”

“Oh, begitu, Tidur, kau bilang. Si orang tua itu, maksudku, Osmond tua, sepertinya seorang yang tidur lelap. Sepertinya aku harus mengunjunginya di lain waktu.”

Mr. Colbert mulai pergi menjauh, tapi berhenti sejenak, dan memutar balik.

“Err… Miss Longueville?”

“Ada masalah?”

Colbert terlihat malu-malu ketika mulai membuka mulutnya untuk bicara.

“Bagaimana kalau kau, jika kau bisa,…bersamaku makan siang?”

Dia perlu waktu untuk berpikir, kemudian tersenyum cerah saaat menerima tawaran tersebut.

“Tentu, dengan senang hati.”

Keduanya lalu menuruni tangga.

"Hey, Mister Colbert."

Dengan nada yang agak formal, Miss Longueville memulai lagi pembicaraaan.

“Y-Ya? Ada apa?”

Agak terkejut bagaimana undangannya diterima, Colbert merespon agak cepat.

“Apa ada sesuatu yang penting di dalam ruang harta?”

"Ada.”

“Terus, apa kau tahu tentang 'Staff of Destruction'?"

“Ah, itu benda yang berbentuk menarik tentu saja.”

Matanya berkilat.

“Bentuknya…bagaimana?”

“Sulit sekali untuk dijelaskan, kecuali aneh, ya, begitulah. Tapi ga usah dipikirkanlah, apa ada yang mau kau makan? Menu hari ini adalah flounder yang dipanggang dalam herba…tapi aku berhubungan cukup baik dengan Marteau sang koki kepala, jadi aku bisa memeintanya membuat makanan terbaik se—“

"Ahem."

Miss Longueville memotong pembicaraan Colbert.

“Y-ya?”

“Harus kukatakan, ruang harta dibangun dengan sangat luar biasa. Tidak peduli sihir apapun yang dicoba, ia mustahil dibuka, ya kan?”

“Ya, itu benar, Mustahil untuk satu penyihir. Karena ia dibangun sekelompok penyihir kelas segi-4 untuk menahan seluruh sihir.”

Aku sangat terkesan kau sangat tahu dalam hal ini Mr Colbert.”

Dia memberinya ekspresi yang menyenangkan.

“Eh? Ya…Haha, aku hanya kebetulan melewati berbagai dokumen yang menjelaskan lantai ini, itu saja kok…Aku menyukainya sebagai bagian dari penelitianku, Haha. Dan terima kasih untuk itu, karena kau masih sendiri pada usia segini…ya.”

“Kuyakin wanita yang kau temukan akan menjadi bahagia denganmu. Kau bisa mengajarinya begitu banyak tentang hal-hal yang tak diketahui orang lain sih…”

Miss Longueville menyorotnya dengan pandangan terkagum.

“Ah, tidak! Jangan menggodaku seperti itu!”

Colbert tersipu-sipu saat dilapnya keringat dari dahi botaknya. Lalu, dengan ketenangan yang kembali, dia menghadapi Miss Longueville, serius.

“Miss Longueville, apa kau dengar “Ball of Frigg” yang dilaksanakan pada Hari Yule?”

“Tidak, belum.”

“Haha, kukira itu karena kau baru di Tristain selama dua bulan. Ya, ia tak istimewa sih, hanya pesta biasa. Meski begitu, katanya pasangan yang menari bersama di pesta ini ditakdirkan untuk bersama atau sesuatu seperti itu. Hanya legenda murahan tentu saja!”

“Jadi?”

Tersenyum, dipaksanya dia untuk melanjutkan.

“Jadi…kalau bisa, aku berharap kau berdansa denganku, yah, begitu.”

“Aku sebenarnya ingin. Meski pesta seperti itu sangat berarti, aku lebih tertarik dengan harta sekarang ini. Aku tertarik dengan benda-benda sakti, kau tahu.”

Karena ingin membuat kagum Miss Longueville lebih jauh, Colbert memutar otak. Dia bilang harta, harta,…”

Mengingat sesuatu yang mungkin mernarik bagi Miss Longueville, dia mulai berbicara sesuatu yang dianggapnya penting.”

“Oh ya, ada satu hal yang bisa kubilang padamu. Meski, ia tak terlalu penting…”

“Dengan segala hormat, mohon dikatakan.”

“Tentu saja, ruangan itu tak bisa ditembus serangan sihir, tapi kupercaya ia memiliki satu kelemahan mendasar.”

"Oh, itu sangat menggoda.”

“Kelemahan itu adalah…kekuatan fisik.”

“Kekuatan fisik?”

“Ya! Sebagai contoh, meski tak mewakili, tapi golem raksasa bisa—“

“Sebuah golem raksasa?”

Colbert menuangkan opininya dengan bangga kepada Miss Longueville. Dan begitu dia selesai bicara, Miss Longueville tak bisa menyembunyikan senyum puasnya.

“Itu merupakan hal yang paling menark, Mr Colbert.”




Bab 5 : Kirche si Ardent[edit]

Di Malam Hari Saito mempermalukan Louise di kelas dengan igauan tidurnya, Louise tanpa tedeng aling-aling melemparkan tumpukan jeraminya ke lorong.

“Apa yang kau lakukan?”

“Akan mengganggu bila aku menyusup ke tempat tidurmu lagi kan?”

Sepertinya masih dendam atas apa yang terjadi di kelas sebelumnya.”Tapi di luar sana agak dingin karena angin berembus dimana-mana.”

“Yah, tidak diragukan lagi aku akan datang dan menghangatkanmu dalam mimpimu,” kata Louise, sambil mengernyitkan alisnya. Aduh, gadis dingin ini. Dia terlihat bersemangat untuk membaut Saito tidur di luar, di lorong, tak peduli bagaimanapun juga.

Dia ambil selimutnya dan pergi keluar ke lorong. Tepat saat dia meninggalkan kamar, pintu dikunci dengan suara klik yang keras. Angin menerpa dari jendela yang terbuka, membuat Saito menggigil.

Menggumam tentang dingin itu, Saito menyelimuti dirinya dan berbaring di jerami. rasa beku dari batu lantai menusuk badannya. Ga ada pemanas lagi. Aku bakal beku. Membuatku menderita seperti ini hanya karena sebuah mimpi! Saito menendang pintu Louise. Tentu saja, tiada respon.

Saito mulai memplot balas dendamnya. Memotong karet CDnya tak lagi cukup. Saat dia berbaring menggigil di selimutnya sambil berpikir gimana dia bisa membalas satu pada gadis kecil itu...

Pintu ke kamar Kirche terbuka.

Salamandernya, Flame, merayap keluar, dengan ekor menyala yang memberikan cahaya yang hangat. Keduanya saling memandang. Si Salamander bergegas mendekat ke Saito, yang secara tak sadar mulai mundur.

“A-Apa yang kau lakukan?”

"Kyurukyuru," ia bersuara dengan nyaman. Ia terlihat tak berbahaya sebelum gerahamnya menggigit lengan baju Saito, menggelengkan kepalanya, sepertinya menginginkannya mengikutinya.

“Hei, lepaskan! Kau bakal bakar selimutku dengan apimu itu!” kata Saito pada Flame yang terus memaksa, menarik lebih keras.

Kamar Kirche tetap terbuka. Apa ia mencoba menarikku kesana? Tentu saja ia melakukannya. Aku tak berpikir Flame menarikku untuk bersenang-senang. Apa yang mungkin diinginkan Kirche dariku? Saito mencoba mencari alasannya. Mungkin dia hanya ingin menguliahiku tentang bertengkar denganm Louise. Kemudian, begitu saja, Saito melangkah ke kamar Kirche.

* * *

Kamar tersebut gelap gulita, untunglah masih ada nyala lemah dari Flame. Suara Kirche memerintah dari kegelapam,”Tutup pintunya.” Saito menurut.

“Selamat datang di kamarku.”

“Agak gelap euy disini.”

Dia mendengar Kirche menjentikkan jarinya. Dimulai degan yang terdekat dengannya, lampu menyala satu demi satu menuju Kirche seperti lampu yang melayang di atas jalan.

Diterangi cahay tipis ini, Kirche duduk di tempattidurnya, dengan pandangain khawatir di wajahnya.. dia memakai pakain dalam yang menarik, atau, hanya pakaian dalam yang tawar. Tapi ada satu hal yang pasti: disokong hanya oleh bra seksinya, buah dadanya berukuran raksasa.

“Jangan hanya berdiri disana. Datanglah padaku.” goda Kirche dengan suaranya yang paling halus. Sambil bergetar, Saito menuju ke Kirche yang tersenyum, semuanya terasa bagai mimpi.

“Duduklah.” Saito duduk di sisinya sebagaimana diperintahkan. Pikirannya dipenuhi badan “hampir” telanjang Kirche.

“A-Ada Apa ini?” Saito bertanya, agak tegang dia, Kirche hanya menatapnya sambil pelan-pelan menyibak rambut merah menyalanya. Di bawah cahaya lampu yang agak muram, kulit coklat Kirche terlihat erotis nan liar, seperti hendak menangkap Saito dalam jaringnya.

Kirche mendesah panjang dan menggelengkan kepalanya penuh kekhawatiran.

“Kau pasti berpikir aku wanita rendah yang kotor.”

“Kirche?”

“Dianggap seperti itu tak bisa dihindari. Kau mengerti? Nama runeku adalah “Ardent.”

“Aku tahu itu.”

Belahan di celah branya sangat seksi…

“Nafsuku terbakar bagai jerami…Karena itu aku tiba-tiba memanggilmu kesini. Apa kau tahu? Bukankah ini bagian diriku yang terburuk?”

“Tentu saja itu buruk.” Saito terlihat ragu-ragu dan hanya mengikuti arus. Dia tak pernah mendapati seorang gadis asing membicarakan hatinya pada dirinya seperti ini, jadi dia agak tegang.

“Tapi…Kuyakin kau akan memaafkanku.”

Kirche menatap Saito dengan mata yang berkaca-kaca. Setiap lelaki akan menunjukkan insting paling primitifnya setelah menatap mata seperti ini.

“Me-memaafkan apa?”

Kirche tiba-tiba meraih tangan Saito, menggenggamnya dengan telapak tangannya yang hangat sebelum mengelus melalui setiap jari, mengirimkan kejut melalui tulang belakangnya.

“Mencintaimu, sayangku. Untukmu, cintaku datang begitu saja.”

“Yeah, Itu tiba-tiba kan!” Pikiran Saito kusut. Dia pasti bercanda, Meski begitu, wajah Kirche terlihat serius.

“Aksimu mengalahkan Guiche…begitu…Keren…seperti pahlawan dari legenda. Aku…Sejak aku melihatmu, aku telah jatuh cinta. Apa kau percaya? Aku tertarik padamu hanya karena itu! Kehendak! Oh, ini adalah Cinta yang sangat membara!”

“Ke-kehendak...huh?Uh…”

“Nama runeku, ‘Ardent’, penuh dengan kehendak juga. Aku telah menulis lagu-lagu cinta sejak hari itu! Kidung-kidung Cinta! Hanya untukmu…Saito. Kau muncul di mimpiku setiap malam, Jadi aku suruh Flame untuk melihat keadaanmu…oh, aku sangat malu, Kau pasti berpikir sama kan? Tapi itu semua karenamu!”

Saito hanya duduk disana, kehilangan kata-kata.

Kirche menyangka diamnya sebagai maunya, dan perlahan, dengan mata terttup, menghampiri Saito dengan bibirnya. Seksi sekali, maksudku…Louise menarik juga. Tapi kalau dalam keseksian, dia bukan lawan Kirche. Meski Louise sangat lucu, bagian itu hanyalah kulit luarnya saja. Tetapi, Saito mendorong bahu Kirche menjauh. Karena dia merasa akan ditimpa hal buruk jika diteruskan.

Kirche melihat Saito dengan muka heran, sepertinya menanyakan”Kenapa?”, Saito memalingkan pandangannya dari tubuhnya.

“Em…dari yang kau bilang…”

“Hmm?”

"Kau…terlalu gampang jatuh cinta.” Saito bersuara, menembak titik lemah Kirche. Wajahnya memerah seketika.

“Yeah…sepertinya aku memiliki…lebih banyak kehendak dari yang lain. Itu sudah sifatku. Cinta itu kilat, dan ia begitu cepat membakar tubuhku…”

Tepat saat itu, suatu suara dari luar jendela menginterupsi.

Seorang playboy ganteng melihat ke dalam tak senang.

“Kirche…Aku dating untuk mengecek kenapa kau tak disana tepat waktu…:

“Berisson! Kita bertemu dua jam lagi kalau begitu!”

“Itu bukan yang kita sepakati! Mereka ada di lantai 3, sepertinya Berrison ini melayang di udara dengan suatu mantra sihir.

Kirche langsung mengeluarkan tongkatnya dari antara buah dadanya, dan mengayunkannya tanpa melihat dia. Api menyembur dari lampu terdekat dan terbang ke arah Berisson di jendela bagaikan ular.

“Dasar burung hantu, ngeganggu aja.”

Saito menonton dalam keterkejutannya

“Eh…Kau tak mendengar semua itu kan?”

“Uh…Siapa tadi?”

“Hanya teman. Bagaimanapun juga…sekarang ini, Cinta terdalamku yang paling membara hanyalah kau, Saito…”

Kirche menghampirinya dengan bibirnya lagi. Saito tak menggerakkan satu otot pun, sepertinya ada keinginan tak tertahan yang merasukinya.

Lagi-lagi, saat itu diinterupsi lagi.

Seorang lelaki bermata tajam menatap isi kamar dengan wajah sedih.

“Kirche! Siapa orang ini? Bukankah kau akan menghangatkan malam denganku?”

“Styx! Bagaimana kalau 4 jam lagi?”

“Siapa orang itu, Kirche?”

Si Styx ini mulai marah, dan begitu dia hendak memasuki ruangan, Kirche mengayunkan tongkatnya lagi. Api terbang dari lampu lagi, mengenai lelaki tersebut, dan emngirimnya ke tanah.

“…Itu temanmu juga kan?’

“Teman…em, katakana saja aku baru mendengarnya. Oh baiklah, aku tak ingin membuang waktu kita. Siapapun yang mengatakan’malam masih panjang’ tak tahu betapa cepatnya matahari terbit.”

Kirche mendekati Saito lagi. Tapi sekali lagi, sebuah teriakan terdengar dari jendela. Saito menoleh tak sabar.

Tiga pria tengah melihat kedalam, dan mengatakan hal yang sama bersamaan.

“Kirche! Siapa itu?! Kau bilang kau tak punya pacar!”

“Manican! Ajax! Gimli!”

Oh wow... Lima orang berbda menunjukkan diri. Saito terkesan dengan ini.

“Yah…Kalau begini enam jam lagi,” Kirche mengayun tak acuh.

“Itu pagi!!!”Ketiganya berkata serentak.

“Flame” Kirche dengan gayanya yang biasa memerintahkan salamandernya, yang tengah tertidur di sudut. Flame mengirimkan sebuah tembakan pada ketiga pria di jendela, dan mereka jatuh bersama-sama ke tanah. “dan mereka adalah…?”

“Mereka? AKU BAHKAN TAK TAHU SIAPA MEREKA. Tapi dari itu semua, aku mencintaimu!” Kirche memegang wajah Saito dengan tangannya dan langsung mengarah bibirnya.

“N...nhhhh...”

Saito panik. Ciuman Kirche terasa tak aneh, tapi penuh bara . Saito tidak melawan ketika dibaringkan ke tempat tidur.

Tepat saat itu…

Kali ini giliran pintu. Seseorang menendangngnya hingga terbuka.

Saito piker itu pria lainnya. Tapi dai salah. Dengan memakai pajama tipisnya. Louise berdiri dan menatap mereka berdfua dari lorong.

Kirche mengarahkan pandangannya kepada Louise, namun Bibirnya tetap mengunci Saito. Louise dengan aura membunuhnya menuju Kirche dan saito, menjatuhkan beberapa lamdu saat maju. Tangan Louise bergerak lebih cepat dari mulutnya, Lebih mengesankan lagi, kakinya bergerak lebih cepat dari tangannya.

“KIRCHE!” Louise berteriak ke arah Kirche. Kirche bersikap seakan baru menyadari kehadirannya, dan dengan perlahan melepaskan diri dari Saito, sambil mengayunkan tangannya tak acuh.

“Tak bisakah kau lihat kami sedang sibuk saat ini, Vallière?”

“Zerbst! Kau piker familiar siapa yang kau sentuh?”

Saito dalam kebimbangan. Mata coklat Louise terbakar nyala amarah.

Kirche mengangkat tangan di atas kepala. Terjepit, Saito hanya bisa panic. Sepertinya membiarkan situasi berkembang hingga Kirche menciumnya membuat Louise luar biasa marah.

“Cinta dan api adalah tujuan keluarga Zerbst. Ia adalah takdir yang membakar hingga ke dalam tubuh kami. Adalah tujuan hidup kami untuk memeluk nyala penuh kehendak ini. Kau seharusnya tahu itu.” Kirche berucap, sementara Louise gemetar karena amarah.

“Kesini, Saito.” Louise menatap familiarnya.

“Oh? Louise…dia memang familiarmu, tapi dia juga punya keinginannya sendiri juga, bukankah begitu? Mohon untuk menghormati pilihannya.” Kirche berkata dari samping.

“Di-dia benar! Dengan siapa aku barengan adalah urusanku!” Saito menambahkan.

“Oh, tiada masalah dengan itu. Tidakkah kau lihat seberapa baik dia di Vestri Court?” Louise mengibaskan tangan kanannya.:Hmph…jadi keahlian berpedangnya memang bagus, tapi itu tak berarti apa-apa saat dia diserang bola api dari belakang dan topan dari depan.”

“Tidak masalah! Aku akan melindunginya” Kirche member Saito pandangan yang “panas” Meski begitu, karena kata-kata Louise, Saito memikirkannnya sekali lagi. Jika para cowok yang tadi mengunjungi kita dari jendela menemukan tentang diriku, mungkin mereka akan menyerangku. Kirche takkan bisa melindungiku sepanjang waktu, meski dia katakana dia akan. Itu satu dan Kirche juga seringkali berubah pikiran. Dia akan bosan melindungiku dalam sekejap. Setelah memikirkannya masak-masak, Saito dengan enggan bangkit.

“Aww...apa kau pergi cepat? Kirche dengan sedih memohon pada Saito, dengan rambutnya tersebar pada punggungnya, dan matanya yang berkerlap-kerlip terlihat sakit dan berkaca-kaca. Kirche merupakan kecantikan yang membuat ketagihan…Jika seorang gadis sepertinya menempel padaku, appa peduliku jika aku dihantam sihir kanan-kiri? Pikir Saito liar.

“Itu taktiknya yang biasa! Jangan sampai dikibuli olehnya.” Louise menarik tangan Saito dan melangkah keluar.

* * *

Kembali ke kamarnya, dia menutup pintu dengan kesunyian yang mencekam, dan menghadap Saito. Memaksakan menggigit bibirnya, dia mengirimkan tatapan membunuh pada Saito.

“Seperti anjing sesat saat bergairah…” Suaranya bergetar. Tangan Louise bergerak lebih cepat dari mulutnya, dan kakinya lebih cepat dari tangannya. Sepertinya suaranya bakal jadi lebih bergetar. Amarah memenuhi wajahnya.

“A-apa sekarang?”

“Aku hampir memandangmu sebagai manusia. Sepertinya aku salah.”

“Kau bercanda kan?” Yap, memandangku sebagai manusia? Itu bohong bagaimanapun aku memikirkannya.

“Dan kau pergi menggoyangkan ekormu pada penyihir Zerbst itu…” Louise meraih sesuatu dalam lemari di mejanya. Sebuah cambuk.

“Uhh..,putri…” saito mulai bersuara.

“Anjing mesti diperlakukan seperti anjing. Aku terlalu lembut padamu.”

“Tapi mengapa cambuk?” pandangan Saito tertuju pada cambuk di tangan Louise. Ia dibuat cukup baik.

“Aku sampai bertindak terlalu jauh dengan menggunakan cambuk kuda padamu, Kau hanyalah anjing.”

“Seekor anjingkah?”

Louise mulai mencambuk. Wutt. Ctar-ctar~!

“Auw! Sakit tahu! Hentikan, Bodoh!”

“Apa? Bagaimana mungkin gadis itu lebih baik? Apa yang baik sih darinya?” Louise berteriak sambil mencambuk.

Saito menyadari sebuah celah, dan menggenggam tangan Louise. Dia berontak, tapi kekuatan seorang wabita tidaklah cukup. Saito menjaga kunciannnya pada pergelangan, dan kemudian dia berhenti.

“Ahh! Lepaskan, Bodoh!”

“Apa kau…” Saito menggali Louise. Mata coklat ditatap balik. Dari dekat, siapapun bisa melihat wajah yang tak tersentuh.

Kirche mungkin cantik, agak seksi, Tapi Louise bagaikan kanvas kosong. Tiada setitikpun noda…Sebuah kanvas nan bersih. Hanya saja karakternya agak-agak…Tidak peduli bagaimanapun Saito mengatakannya, dia lebih menyukai Louise. Jantungnya mulai berdetak dalam 16 nota. Apa dia cemburu? Apa dia menyukaiku? Di mata Saito, berpikir seperti ini membuat Louise terlihat lebih lucu, Dengan memperhitungkan segalanya, Saito selemah Kirche dalam percintaan.

“Apa kau cemburu? Apa kau menyukaiku?” kata saito. “Apa kau marah karena aku tak tidur denganmu dan pergi dengan Kirche dan melakukan semua itu? Oh, aku tak menyadarinya. Aku minta maaf.” Dia merendahkan kepalanya, dan mengangkat dagu Louise.

“Aku piker kau tak jelek juga. Lihatlah, saat kau membantu membalutku, kau benar-benar…”

Bahu Louise bergetar.

“…Aku seharusnya menuju dirimu karena aku lelaki. Mala mini, aku akan tidur di tempat tidurmu, jadi kau tak perlu datang ke tempatku.”

Kaki kanan Louise tiba-tiba bergerak bagaikan angin, dan menghantam saito diantara kaki.

“......ahhh....ohhh.......” Saito tumbang pada lututnya, badannya dibasahi keringar dingin. Oh…itu sakit. Aku piker aku akan mati, Itu BENAR-BENAR sakit.

“Suka? Aku…lakukan…padamu?”Louise dengan marahnya menginjak kepalanya.

“Apa aku salah?’

“Tak diragukan lagi!” dia melanjutkan injakannya.

“Ba-Baiklah…Aku salah…”

Louise duduk di kursi, menyilangkan kaki, napasnya masih memburu. Setelah dengan ganasnya menyiksa Saito selama beberapa saat, emosinya tampak sedikit stabil.

“Tentu saja…Kau bisa kencan dengan siapapun yang kau pilih. Tapi, tak peduli bagaimanapun juga, kau tidak boleh kencan dengan wanita itu.”

“Ke-kenapa?” Saito berguling kesana kemari seakan untuk mengecilkan nyerinya.

“Satu, Kirche bukan orang Tristain; dia ningrat dari negri jiran Germania. Hanya dengan itu saja, kencan dengannnya sangat tak bisa diterima. Aku benci orang Germania.”

“Bagaimana kau harapkan aku untuk tahu hal-hal seperti ini?”

“Keluargaku, Vallière, memiliki estates di tapal batas Germania, jadi kami yang pertama ada di medan untuk melawan Germania bilamana perang berkobar. Lebih buruk lagi, tepat di sebrang kami di tapal batas itu adalah tempat kelahiran Kirche.” Louise menggigit giginya keras. “Jadi pada dasarnya, keluarga Zerbst adalah musuh sejati kami.”

“Dan mereka mengatakan diri mereka sebagai keluarga yang penuh kehendak.’

“Hanya keluarga rendahan yang tak berharga, Kakeknya kakek Kirche mencuri cinta kakeknya kakekku! Itu sekitar 200 tahyn lalu.”

“Itu sudah lamaaaa sekali.”

“Sebagai tambahan, Zerbst itu selalu menyengat Vallière. Tunangan kakeknya kakekku dicuri karenanya.”

“Huh?”

“Kakeknya kakekku! Istrinya terambil begitu saja.”

“OK, apapunlah…jadi pada dasarnya, ini semua terjadi karena keluargamu kehilangan seorang cinta pada keluarga Kirche?”

“Tak hanya itu. Kami tak bisa menghitung berapa anggota keluarga kami yang hilang dari perang yang terjadi.”

“Aku hanyalah familiar rendahan…aku tak begitu berharga untuk dicuri.”

“Tidak. Aku takkan membiarkan Kirche burung seekorpun. Aku akan mempermalukan leluhurku kalau itu terjadi.” Dengan itu, Louise menuangkan segelas air, dan meneguknya dalam satu tegukan. “Itulah kenapa Kirche terlarang.”

“Leluhurmu tak ada hubungannnya denganku.”

“Tentu saja mereka punya! Kau familiarku kan? Sepanjang kau makan dari keluarga Vallière, kau akan menurutiku.”

“Familiar ini, familiar itu…” Saito berkata tak jelas pada Louise.

“Kau punya masalah dengan itu?”

“Tidak, karena aku tak bisa hidup bila tidak kulakukan apa yang kau ucapkan, Jadi aku harus menjalaninya…” Saito menutup bibirnya ke atas, dan duduk di lantai dengan sebuah gubrakan.

“Dan kupikir kau harus berterima kasih padaku?”

“Berterima kasih untuk apa?”

“Jika berita seorang jelata menjadi cinta Kirche beterbangan, apa kau piker kau bakal bertahan?” Saito ingat para pria yang dihush Kirche, dan ditepak bagai lalat ke tanah…jika itu adalah aku…Apa ya rasanya? Saito juga mengingat pertarungannya dengan Guiche, dan bulu kuduknya berdiri.”

“...Louise.”

“Apa?”

“Berikan aku sebuah pedang. Sebuah pedang.” Saito ingin melindungi dirinya sendiri.

“Bukankah kau punya satu?”

“Bagaimana mungkin? Yang terakhir itu dari Guiche.”

Louise menyilangkan tangannya.’Apa kau seorang ksatria berpedang?”

“Tidak…Aku tak pernah memegang pedang sebelumnya.”

“Tapi kau terlihat begitu alami dalam pertarungan itu.”

“Tetap saja…”

“Hmmm…”Louise berpikir keras.

“Apa?”

“Aku dengar para familiar mendapatkan kekuatan khusus ketika kontrak dibuat.’

“Kekuatan khusus?”

“Yap…seperti saat seekor kucing hitam menjadi familiar…”Louise mengangkat jari telunjuknya sambil menjelaskan.

“Uh-huh...”

“Ia mendapatkan kemampuan untuk berbicara kepada orang.”

“Tapi aku bukan kucing.”

“Aku tahu. Masalahnya…manusia menjadi familiar adalah sesuatu yang tak pernah terdengar sebelumnya, jadi tak mustahil kau bisa begitu saja mengambil sebuah pedang dan menggunakannya secara alami.”

“Huh…”Aku tak hanya menggunakannya secara alami. Tubuhku terasa ringan dan cepat bagai bulu. Di samping itu, patung-patung Guiche terbuat dari perunggu. Tak mungkin kau bisa membelah logam sebegitu mudahnya, tak peduli seberapa ahli berpedang seseorang.

“Jika itu sebegitu mengagumkan, kita harus menanyakan academia Tristain.”

“Akademia?”

“Yap, ia merupakan agen riset sihir Royal Court.”

“Apa yang akan mereka lakukan padaku untuk penelitian?’

“Ah…bermacam-macam eksperimen. Seperti…otopsi.”

“Kau pasti bercanda.” Saito bangkit. Percobaan pada manusia? Tidak, terma kasih!

“Jika kau berpikir itu memuakkan, jangan menyebarkan’menggunakan sebuah pedang seperti ahli seketika’ kemana-mana tanpa alasan yang jelas.”

“Aku mengerti. Kita bisa diam soal itu.” Saito mengangguk dalam ketakutan.

“Ah... aku tahu sekarang…”Louise mengangguk dalam kepahaman.

“Ada apa?”

“Aku akan membelikanmu sebuah pedang.”

“Oh?” Wah, ini tiba-tiba nih.Louise selalu kikir.

“Kau takkan pernah punya cukup nyawa bila Kirche telah mengejarmu. Kita yang mendatangkannya, jadi kita harus mengurusnya.”Louise berucap lemah.

“Jarang-jarang nih…”

“Apa?”Louise menatap Saito.

“Aku kira kau seorang yang kejam. Kau bahkan mencak-mencak soal makananku.”

“Aku tak bisa membiarkan seorang familiar terbiasa dengan kemewahan. Ia membuat kebiasaan buruk. Jika ia mutlak perlu, aku akan membelinya. Aku bukanlah orang yang kikir.” Louise berkata dengan bangga.

“Huh?!”

“Sekarang kau mengerti, tidurlah. Besok adalah hari void, jadi aku akan membawamu berbelanja.”

Oh…jadi dunia ini punya minggu juga. Saito berpikir sambil bergerak menuju lorong.

“Kau kemana?”

‘Kemana? Ke lorong.”

“Tak apa-apa. Kau bisa dtidur di kamarku. Akan menjadi masalah bila Kirche merebutmu lagi.” Saito memandangi Louise.”Kau benar-benar…”

Louise baru hendak mengambil cambuknya lagi saat Saito berhenti, merebahkan diri ke tempat tidur jeraminya, dan menyelimuti dirinya dalam selimut. Dia melihat lagi tanda di tangan kirinya.

Sebagai pencerah, ini membantuku mengalahkan Guiche, membuat Kirche tergila-gila padaku, dan membuat Louise membelikan pedang untukku. Apalagi yang akan dibawanya untukku ya? Selama dia berpikir, kantuk menyerangnya. Sebuah hari yang panjang…begitu itu terlintas di benaknya, Saito jatuh tertidur lelap.




Bab 6 : Penjual Senjata Tristain[edit]

Kirche bangun sebelum siang. Sekarang adalah hari Void. Dia melihat ke jendela, dan menemukan seluruh kacanya hilang, dengan tanda terbakar mengelilingi kerangkanya. Masih mengantuk, dia menatap jendela sesaat sebelum mengingat apa yang terjadi malam tadi.

"Yah...Ada banyak orang datang, dan kuterbangkan mereka keluar."

Dia berhenti memerhatikan jendelanya setelah itu. Dia bangkit dan mulai berdandan, sementara pikirannya bersemangat berpikir bagaimana dia harus menaklukkan Saito hari ini. Kirche adalah seseorang yang memang dilahirkan sebagai pemburu.

Setelah beres, dia meninggalkan kamar dan mengetuk pintu Louise. Dia menopangkan dagunya pada satu tangan, menyembunyikan senyumnya. Saito akan membuka pintunya, dan aku akan langsung memeluk dan menciumnya. Oh...Apa ya yang akan dilakukan Louise bila dia melihat itu...Pikir Kirche.

Dan kemudian, tentu saja...Aku bisa mencoba meliriknya diluar kamar, dan mungkin dia bakal sendirian menghampiriku. Pikiran ditolak tak pernah terlintas di kepalanya.

Tapi, tiada jawaban setelah ketukannya. Dia mencoba membuka pintu tapi terkunci. Tanpa pikir dua kali, dia menggunakan mantra pelepas kuncian pada pintu Louise, dan dihadiahi sebuah klik. Sebenarnya, mantra pelepas kuncian dilarang di akademi, tapi Kirche tak ambil pusing.”Kehendak diatas segalanya” adalah aturan keluarganya.

Tapi kamar itu kosong. Keduanya tak ada.

Kirche melihat sekeliling kamar. “Tak berubah...kamar yang tawar.”

Tas Louise tak ada disana. Tambahan fakta bahwa Har Void berarti mereka pergi keluar entah kemana. Kirche melihat keluar jendela dan melihat dua orang di punggung kuda, siap pergi. mereka adalah Saito dan Louise.

“Apa? Pergi keluar, kah? gumam Kirche yang kecewa.

Setelah berpikir sebentar, dia cepat-cepat pergi meninggalkan kamar Louise.

Tabitha sedang di kamarnya, tenggelam dalam lautan bukunya. Di bawah rambut biru terang dan kacamatanya adalah mata biru terangnya yang bersinar bagai lautan. Tabitha terlihat 4 atau 5 tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Dia bahkan sedikit lebih pendek dari Louise yang sudah pendek, dan tubuhnya agak kurus. Meski begitu, dia tak peduli hal-hal seperti ini. Dia seorang gadis yang tak peduli apa yang dipikirkan orang tentangnya.

Tabitha menyukai Hari Void. Itu adalah waktu dia bisa tenggelam dalam dunia kesukaannya. Di matanya, orang lain adalah penyusup dalam dunia kecilnya, ini memberi perasaan melankolis padanya.

Belum lama berselang, ketukan keras menggoncang pintunya. Tanpa berdiri, Tabitha hanya mengambil dan mengayunkan tongkatnya, yang terlihat melebihi tingginya.. Dia mengeluarkan “Spell of Tranquility”, sebuah mantra jenis angin. Tabitha merupakan penyihir ahli angin. “Spell of Tranquility” secara mangkus menghalangi ketukan pintu yang mengganggu. Puas dengan itu, dia kembali membaca, ekspresinya tak berubah selama itu.

Kemudian seseorang membuka paksa pintu. Menyadari sang pengganggu, Yabitha menjauhkan pandangannya dari bukunya. Itu Kirche. Dia mulai mengobrolkan sesuatu, tapi karena sihir pesunyi, tiada kata yang sampai pada Tabitha.

Kirche mengambil Buku Tabitha, dan kemudian menggenggam bahu si pembaca untuk membuatnya memandangnya. Tabitha menatap Kirche dengan pandangan kosong, wajahnya tak terbaca. Namun, siapun bisa melihat dia memandang tak ramah. Tapi Kirche adalah teman Tabitha. Dia mungkin akan menerbangkan keluar orang lain dengan topan. Melihat tiada jalan lain, Tabitha membatalkan sihirnya. Bagaikan kunci yang terbuka, suara Kirche langsung deras keluar.”Tabitha! Bersiaplah, Kita akan pergi!”

Tabitha hanya dengan lembut berkata,”Hari Void>” Penjelasan itu cukup bagi Tabitha, yang ingin mengambil bukunya kembali dari genggaman Kirche. Kirche bangkit dan mengangkat buku itu tinggi-tinggi, perbedaan tinggi mereka menghalangi Tabitha dari bukunya.

“Ya, aku tahu seberapa pentingnya Hari Void bagimu, aku benar-benar mengerti. Tapi sekarang bukan waktunya untuk pembicaraan ini! Aku jatuh cinta! Ini Cinta! Apa kau mengerti sekarang?” Dia tidak, dan emnggelengkan kepalanya. Kirche terbawa emosinya, tapi Tabitha pemikir yang tenang dan dingin. Hanya Tuhan yang tahu mengapa dua orang yang begitu bertolak belakang bisa menjadi sahabat yang baik.

“Benar...kau takkan bergerak hingga aku menjelaskannya.Ya ampun...AKU JATUH CINTA! Tapi dia Pergi dengan Louise si penganggu itu hari ini! Aku ingin mengejarnya. Dan mencari tahu kemana mereka pergi! Kau mengerti sekarang?” Tabitha tetap tak mengerti, karena dia tetap tak tahu mengapa itu harus diurusinya.

“Mereka baru pergi! Dengan kuda! Kau tahu, aku tak bisa mengejar tanpa familiarmu? Tolonglah, paling tidak dengan itu!” Kirche mulai menangis. Tabitha akhirnya mengangguk. Jadi itu…kau perlu familiarku untuk mengejar.

“Oh, terima kasih…Jadi …Ayo buruan!” Tabitah mengangguk lagi. Kirche adalah temannya, dan dia tak bisa menolak untuk membantu temannya yang memiliki masalah yang tak bisa diatasi sendiri. Agak mengganggu sih, tapi dia tak punya pilihan. Dia membuka jendelanya, dan bersiul, Suara siulan bergema di langit biru untuk sesaat. Kemudian dia melompat keluar jendela.

Mereka yang tak tahu bakal mikir itu aneh, jika tidak melarangnya. Meski begitu, Kirche mengikuti langkah Tabitha dan melompat keluar tanpa piker-pikir lagi. Sebagai catatan, kamar Tabitha ada di lantai limka. Dia lebih memilih melompat keluar dari jendela dibandingkan lewat pintu karena itu jauh lebih cepat baginya.

Sayap nan tangguh dan kuat menibak udara. Kemudian, seekor naga angin terbang ke udara dan menerima kedua penumpangnya.

“Sylphidmu tetap mengagumkan tak peduli sesering apa kumelihatnya!” Kirche menyentuh bagian punggung yang menonjol dan mendesah dalam kekaguman. Ya, benar…familiar Tabitha adalah bayi naga angin.

Sang naga, yang dinamai "Fairies of the Air" oleh Tabitha, secara sempurna dan meyakinkan menangkap aliran keatas disekitar menara, dan mencapai 200 mail di udara dalam sekejap.

“Kemana?” Tabitha menanyai Kirche, datar.

Kirche langsung berteriak,”Ku tak tahu…aku lagi panik.”

Tabitha tak ambil pusing dan memerintahkan naga anginnya,”dua orang dengan kuda.Jangan dimakan.” Naganya berkoar pendek tanda mengerti. Sisik birunya berkilau, dan sayapnya mengepak kuat di udara. Ia terbang tinggi di udara, melihat ke bawah untuk mencari seekor kuda; sebuah tugas mudah bagi naga angin.

Puas bahwa familiarnya melakukan tugasnya, Tabitha merebut kembali bukunya dari tangan Kirche, menyandarkan diri pada naganya, dan mulai membaca lagi.

* * *

Sementara itu, Saito dan Louise berjalan santai di jalan kota Tristain, setelah mearkir kuda pinjaman dari sekolah di kandang kuda gerbang kota.

Pinggang saito nyeri dan kaku, ini kali pertama dia naik kuda sih.”Pinggangku sakit…” Saito melenguh sambil berjalan pelan.

Louise menatap Saito dan cemberut.”Kau tak berguna. Kau bahkan tak pernah naik kuda sebelumnya? Jelata memang…” “Dan kau sangat mengganggu. Kita sudah diatasnya tiga jam penuh.” “Memangnya kita bisa jalan kaki kesini?”

Meski nyeri, Saito dengan penasaran melihat sekelilingnya. Jalan batu cobble putih…rasanya seperti taman bermain disini. Dibandingkan dengan akademi, ada lebih banyak orang dengan kenampakan biasa disini. Di sisi jalan pedagang menjual buah dan daging.

Cinta saito pada tempat eksotis tiba-tiba bangkit. Tapi ini merupakan dunia yang aneh. Ada orang yang jalan satai dan ada pula yang berlari terburu-buru. Lelaki dan perempuan dari segala usia berjalan di jalan. Ini tak beda dengan dunia Saito, meski jalannya sedikit lebih sempit.

“Sedikit padat dsini…”

“Padat? Ini merupakan jalan yang lebar tahu.”

“Hanya segini?” bahkan lebarnya kurang dari 5 meter. Dengan begitu banyak orang, setiap langkah trasa sempit. ‘Bourdonné Street, jalan terlebar Tristain. Istana tinggal lurus saja.” Louise menunjuk.

“Ke istana kalau begitu.”

“Apa urusannya kita mengunjungi Yang Mulia Ratu?”

“Aku ingin memintanya meningkatkan porsi makananku.”

Louise tertawa.

Jalan-jalan dipenuhi took-toko. Saito, dengan penuh rasa kepenasaran, tak bisa melepaskan matanya. Saat dia melihat pada katak berbentuk aneh dalam botol di tikar pedagang, Louise menarik dengan menjewernya.”Hey, jangan berjalan di sudut. Ada banyak copet dan pencuri disana. Kau menjaga dompetku dalam jaketmu kan?”

Louise bilang dompet adalah untuk dibawa pelayan, dan tanpa ampun memberikan tugas itu pada Saito. Dompetnya penuh terisi koin emas.

“Iya…Iya…Dengan sangat hati-hati. Bagaimana bisa orang mencuri sesuatu yang begitu berat?”

“dengan sihir, itu bisa dilakukan dalam sedetik.”

Tapi tidak ada seorangpun disekitar yang terlihat seperti penyihir. Saito belajar untuk membedakan antara jelata dan penyihir di akademi. Penyihir selalu berjubah, dan terlihat sangat arogan ketika berjalan. Berdasarkan perkataan Louise, itu adalah sikap berjalan ningrat.

“Bukankah mereka semua jelata?”

“Tentu saja, tapi tidak semua penyihir ningrat. Jika dengan alasan tertentu seorang ningrat keluar dari keluarganya, membuang nama keluarganya atas keinginannya sendiri, diturunkan statusnya menjadi tentara bayaran atau penjahat…Hey! Apa kau mendengar?”

Saito mengacuhkannya. Dia terlalu terpaku dengan tanda-tanda jalan.

“Apa yang tertulis di tanda berbentuk botol itu’

“Brewery.”

“Dan apa yang tertulis di tanda dengan silang yang besar itu?”

“Itu pusat perekrutan penjaga.”

Saito berhnti pada tiap tanda yang memiliki arti, dan Louise harus menarik pergelangannya setiap waktu.

“OK., ok, aku mengerti, kau tak harus buru-buru seperti itu. Diamana took Blacksmith?”

“Di sini. Mereka tak hanya menjual pedang.”

Louise berjalan masuk jalan yang lebih sempit. Bau menyengat, dari kumpulan sampah dan yang kotor-kotor di lantai, menyerang hidung mereka.

“Benar-benar kotor disini.”

“Kubilang kan ningrat tak sering-sering kesini.”

Pada persimpangan keempat, Louise berhnti dan memperhatikan sekelilingnya.

“Seharusnya dekat Toko Potion Peyman…Aku ingat ia disekitaran sini…”

Dia melihat tanda perunggu dan berteriak gembira.”Ah! Ketemu juga!”

Sebuah tanda berbetuk pedang tergantung dibawahnya. Sepertinya inilah Toko persenjataan. Dinding dan raknya terisi senjata yang berantakan. Sbuah Baju besi nan detil menghiasi ruangan. Seorang tua dalam 50-nya dan merokok dengan pipa memandang Louise curiga. Itu, hingga ia melihat pentagram pada kancing emasnya. Dia melepaskan pipanya dan mengatakan,:Hai putrid! Putri bangsawan ku! Seluruh barangku disini asli dan harganya tepat! Tiada kejahatan disini!”

“Aku akan menjadi pelangganmu.”

“Oh…itu agak aneh…seorang ningrat membeli sebuah pedang! Agak mengherankan.”

“Mengapa begitu?”

“Ya…pendeta mengayunkan tongkat suci, prajurit mengayunkan pedang, dan ningrat mengayunkan tongkat sihir. Bukankah itu aturannya?”

“Oh, bukan aku yang akan menggunakannya, tapi familiarku.”

“Ahh…seorang familiar yang bisa pedang, hah?” sang penjaga took berkata ddengan suara yang hidup, dan memandang Saito. “Aku percaya itu adalah dia yang disana?”

Louise mengangguk. Pada saat ini, Saito telah tertarik dengan koleksi pedang toko yang melimpah, terkadang berteriak “Wah!” dan “ini keren banget!”

Louise mengacuhkan Saito, dan melanjutkan,” Aku kurang tahu tentang pedang, jadi tunjukkanku apapun yang masuk akal.” Sang penjaga toko dengan ringannya memasuki bengkelnya, diam-diam ttersenyum.”Oh, ini terlalu untuk nyata…Aku bisa menaikkan harga tinggi-tinggi dengan ini…”Sesaaat kemudian, dia kembali dengan pedang panjang sekira satu mail.Ia merupakan pedang yang terhias indah. Ia terlihat bisa diayunkan dengan satu lengan. Bahkan ada pelindung tangan di pegangan pendeknya.

Sang penjaga tolo berkata seakan dia baru saja memikirkan sesuatu,” Pikir-pikir, sepertinya para ningrat mulai suka membolehkan pelayan mereka berpedang akhir-akhir ini. Terakhir kali mereka kesini untuk mengambil satu, mereka mengambil yang ini.”

Ooh…Sebuah pedang berkilau dan berkilat.Sangat cocok untuk seorang ningrat, piker Louise.

“Apa itu trendnya?”Tanya louise. Si penjaga toko mengangguk secara alami.

“Ya benar. Sepertinya ada peningkatan pencurian di jalan kota tristain akhir-akhir ini…”

‘Pencurian?”

“Ya. Beberapa pencuri penyihir yang memanggil dirinya “‘Fouquet the Crumbling Dirt,” dan aku dengar dia mencuri banyak harta dari para ningrat. Para ingrate itu mencak-mencak, jadi mereka mempersenjatai pelayan mereka dengan pedang.”

Louise tak tertarik dengan pencuri dan fokus pada pedangnya. Sepertinya ia akan patah dalam sekejap. Saito memakai pedang yang jauh lebih besar dulu.

“Sebaiknya lebih besar dan lebar.”

“Nona, tolong maafkan diriku – pedang dan orang memiliki kecocokan, seperti lelaki dan peperempuan. Dari yang kulihat, pedang ini sangat cocok sekali untuk familiar nona ningrat.

“Tidakkah aku mengatakan aku ingin yang lebih besar dan lebar?”kata Louise, merendahkan kepalanya tak sabar. Sang penjaga toko masuk lagi, , sambil ingat untuk diam-diam menggerutu,”Oh, si latmen…”Setelah berapa saat, dia kembali, dengan satu tangan menggosok barang baru dengan kain berminyak.

“Bagaimana dengan yang ini?” Ia merupakan pedang besar yang bagus sekir 1,5 mail. Pegangannya dibuat untuk dua tangan dan dihiasi permata-permata. Bilah pedang yang bagai kaca memantulkan cahaya dengan sinar yang tak tertndingi. Siapapun bisa melihat dan mengatakan ia bilah yang lebar dan sangat tajam.“Ini yang terbaik dari yang kumiliki. Daripda mengatakan ini untuk para ningrat, ia lebih seperti sesuatu yang ingin dipakai para ningrat di pinggang, tapi itu hanyalah untuk orang kuat. Jika tidak, menyandangnya di punggung tak buruk juga.”

Saito mendekat, matanya menatap pedang itu.’Keren, Pedang ini terlihat begitu perkasa.” Saito langsung menginginkannya. Ia merupakan pedang yang luarbiasa tak peduli bagaimanapun dia melihatnya. Aku pikir ini yang terbaik…piker Louise, melihat kegirangan Saito.

“Berapa?”Tanyanya.

“Yah…Ia dibuat alkemis terkenal Germania Lord Shupei. Ia bisa memotong menembus logam bagaikan mentega karena sihir disuntikkan padanya! Lihat tanda disini?” Sang penjaga toko dengan bangga menunjuk kata-kata di pegangannya. “Kau tak bisa mendapatkannya lebih murah di tempat lain.”

“Yah…aku kan ningrat.” Louise mengangkat kepalanya tinggi.

Saat itu, sang penjaga toko terang-terangan member harga,”itu hanya 3000 koin emas baru.”

“Apa?! Kau bisa beli rumah liburan lengkap dengan tamannya dengan itu! Kata Louise, terkejut. Saito, yanbg tak tahu bagaiaman harga uang disini, berdiri saja.

“Sebuah pedang terkenal memang seharga satu benteng, Nona. Sebuah rumah liburan murah bila dibandingkan dengan ini.” “…Aku hanya bawa 100 koin emas baru…”.Louise, sebagai ningrat, hanya punya sedikit keahlian menawar, dan membuat tabu memberikan detil isi dompetnya. Sang penjaga toko melambaikan tangannya tak acuh. “Ayolah…bahkan pedang panjang standar pun sekurang-kurangnya 200 koin emas baru.” Muka Louise berubah merah…Aku bahkan ga tahu pedang segitu mahalnya.

“Apa…kita ga bisa beli ini?” kata Saito dengan nada kecewa.

“Ya…harus ke yang lebioh murah euy.”

“Bangsawan selalu arogan, dan sekarang…”keluh Saito. Pada titik ini, Louise menatapnya tajam.

“Apa kau tahu seberapa mahal ramuan, karena seseorang mendapati dirinya terluka parah?”

“Maaf,” Saito menundukkan kepalanya dalam malu. Dia masih dengan enggan mengelus pedang itu.”Tapi aku benar-benar suka pedang ini…”

Pada saat itu, sebuah suara lelaki nan berat terdengar dari tumpukan pedang yang berantakan,”Jangan bangga duylu, bocah.”

Louise dan Saito mencari sumber suara. Sang penjaga toko memegang kepalanya sesaat.

“Mengapa kau tak berkaca pada dirimus sendiri?Kau? Menyandang pedang itu? Jangan buatku tertawa. Kau hanya pantas untuk tongkat!”

“Apa kau bilang?” saito tak menerima penghinaan itu dengan ramah, tapi tiada apapun di arah suara yang bisa jadi sasaran.Hanya tumpukan pedang.

“Jika kau mengerti, pulanglah.Ya,Kau! Si gadis ningrat yang disitu!”

“Kasar sekali kau!”

Saito pelan-pelan menghampiri sumber suara.”Apa…tidak ada siapapun disini.”

“Apa matamu Cuma hiasan?”

Saito melihat kebelakang. Apa? Rupanya pedanglah sumber suaranya. Suara itu datang dari pedang yang sudah rusak dan berkarat.”Pedang berbicara!” klaim Saito.

Sang penjaga toko tiba-tiba berteriak marah.”Derf! Jangan berkata tak sopan pada pelanggan!”

“Derf?”Saito dengan hati-hati memeriksa pedang tersebut. Panjangnya sama dengan pedang panjang tadi, meski bilahnya kurang lebar. Ia tipis, meski permukaannya dilapisi karat, dan siapapun tak bisa mengatakannya dibuat dengan baik. “Pelanggan? Pelanggan yang tak bisa menyandang pedang?kau pasti bercanda.”

Apa mungkin…ini pedang sentient?” Tanya Louise,

“Ya, benar, Nona. Ia pedang sentient, magis dan pintar. Aku membayangkan siapa penyihir yang membuat pedang bicara…tapi lidahnya busuk, dan selalu berdebat dengan para pelangganku..Hei, Derf! Teruskan itu dan kuminta ningrat disini melelehkanmu!”

“Terdengar bagus bagiku! Aku ingin melihat kau mencobanya! Aku agaknya lelah dengan dunia ini. Rasanya senang sekali dilelehkan!”

“Bagus! Ku akan melelehkanmu!” Sang penjaga toko menghampiri, tapi Saito menghentikannya.

‘Itu sangat disayangkan…bukankah pedang yang berbicara agak penting?” Saito menatapnya ”Kau Derf, kan?”

“Salah besar! Derflinger-sama! Ingat itu!”

“Sama kaya orang, ia bahkan punya nama beneran.” Gumam Saito.

“Namaku Hiraga Saito.Senang bertemu denganmu.”

Sang pedang diam, dan tampaknya meneliti Saito, setelah berapa lama, ia angkat bidara, pelan. ”Jadi kau datang…kau seorang pemakai?”

“Pemakai?”

“Hmm…kau bahkan ga tahu kekuatanmu yang sebenarnya, huh? Ya sudahlah! Beli aku, teman!”

“Baiklah, aku membelimu,”kata Saito. Si pednag diam lagi.

“Louise, aku ambil ini.”

Louise dengan enggan berkata,”oh…kau menginginkannya? Kau tak bisa ambil yang lebih baik yang tak bicara?”

“Kau juga tak menyukainya? Kupikir pedang berbicara keren juga.”

“Makanya aku ga suka.” Keluh Louise. Tapi dia tak cukup untuk mendapatkan yang lain, jadi dia menanyai penjaga toko,”Itu berapa?”

“Eh…100-lah.”

“Bukannya itu kemurahan?”

“Untuk yang itu? Biar saja itu diambil murah.” Dia mengibaskan tangannya tak acuh.

Saito mengambil dompet Louise dari kantung jaketnya, dan menumpahkan isinya ke counter. Satu per satu, koin-koin emas berjatuhan pada permukaan kayunya. Setelah menghitungnya dengan hati-hati, sang penjaga toko akhirnya mengangguk.”Terima kasih atas kepercayaannya!” kata sang penjaga toko sambil menyarungkan pedang itu dan memberikannya pada Saito.”Jika ia berisik, asah saja di batu asah, dan ia bakal diam.”

Saito mengangguk dan menerima Derflinger.

Dua orang menonton Louise dan saito meninggalkan toko senjata—Kirche dan Tabitha. Kirche melihat keduanya dari baying-bayang jalan, dan dengan gemas menggigit bibirnya.”Louise si Zero…mencoba menghangatkan hubungan mu dengan Saito dengan sebuah pedang, huh? Menyerang dengan hadiah cepat-cepat setelah tahu dia mangsaku? Apaan tuh? ”Kirche menginjak tanah, marah. Tabitha, yang tugasnya sudah selesai, ayik dengan bukunya kaya biasa. Sylphid berputar-putar di angkasa di atas mereka. Mereka telah membuntuti keduanya segera setelah menemukan mereka.

Kirche menunggu hingga mereka sudah jauh, dan langsung berlari masuk toko senjata. Sang penjaga toko menatap Kirche, sepertinya terkejut tak percaya.”Wow…ningrat lain? Apa sih yang terjadi hari ini?”

“Hei bos disana…” Kirche memainkan rambutnya, dan memasang senyum manis di bibirnya. Wajah sang penjaga toko berupah merah padam dibawah godaan yang tiba-tiba ini.

“Apa kau tahu apa yang dibeli ningrat tadi?”

“Sebuah pedang…dia membeli sebuah pedang.”

“Oo…Jadi dia mendapatkannya sebuah pedang…pedang macam apa?”

“Yang kotor dan berkarat.”

“Berkarat? Mengapa?”

“Karena uangnya tak cukup.”

Kirche tertawa, tangannya di dagu. ‘Dia bangkrut! Vallière! Rumahmu bakal nagis untuk ini!”

“Uh…apa nona hendak membeli pedang juga?” Sang penjaga toko bergairah, tak hendak melepaskan kesempatan. Bangsawan ini terliahat kaya dan penuh terisi dibandingkan yang kecil itu.

“Hmm…Tunjukkan yang terbaik darimu.”

Dia lalu masuk kedalam, menggosok tangannya dalam kegembiraan. Dia kembali, tentu saja, dengan pedang panjang yang ditunjukkannya pada Saito tadi.

“Ahh..sebuah pedang yang dibuat dengan luar biasa!”

“Kau punya pandangan yang bagus. Pelayan bangsawan tadi benar-benar menginginkan yang ini, tapi kemahalan buat mereka.”

“Begitukah?” Pelayan bangsawan? Jadi Saito pengen ini toh!

“Tentu saja…Pedang ini dibuat alkemis terkenal Germania Lord Shupei. Ia bisa membelah melalui logam bagai mentega karena sihir disuntikkan kedalamnya! Lihat tanda disini?” Sang penjaga toko mengulang apa yang dikatakannya sebelumnya.

Kirche mengangguk.”Berapa?”

Sang penjaga toko menginginkan lebih karena Kirche tyerlihat lebih kaya,”Hmm…Untuk koin emas baru, 4500.” “Hmm…itu sangat berharga rupanya.” Kata Kirche masam.

“Yah…Pedang hebat perlu dibayar untuk kegunaannya, kan?”

Kirche berpikir sebentar, lalu menggerakkan badannya pelan-pelan ke sang penjaga toko.”Boss…Bukankah ini sedikit mahal?” Dielus di lehernya, sang penjaga toko tiba-tiba kehilangan napasnya. Nafsunya merebak di kepalanya. “Uh…tapi pedang hebat…”

Kirche duduk di counter, mengangkat betis kirinya,”Bukankah harganya agak ketinggian?” Dia pelan-pelan mengangkat kaki kirinya pada counter.. Sang penjaga toko tak bisa menahan matanya untuk memandang pahanya. “I-itu benar, 4000 emas baru kalau begitu…”

Kirche mengangkat pahanya lebih jauh sehingga dia hamper bisa melihat apa yang ada di antaranya. “Ah, tidak-tidak, 3000 juga bisalah…”

“Sepertinya mulai panas disini…” Kirche mengacuhkannya, hanya membuka kancing kemejanya.”Aku merasa benar-benar panas disini. Tolong bantu melepaskan kemejaku, aku mohon…” Dia melemparkan ekspresinya yang paling menggoda pada sang penjaga toko.

“Ah…salah,salah… harganya 2500!”

Kirche melepaskan satu kancing, dan memandang penjaga toko.

“!800! 1800 jadilah!”

Sebuah kancing lain dilepas dan memperlihatkan belahannya Kirche memandangnya lagi.

“Hey, 1600 sajalah!”

Kirche menghentikan aksi kancingnya dan beralih pada roknya, mengangkatnya sedikit. Sang penjaga toko terlihat tak bisa menahan dirinya lagi.

“Bagaimana kalau 1000?” usulnya, dan pelan-pelan mengangkat roknya lebih tinggi. Sang penjaga terlihat ngos-ngosan dan siap meledak.

Kemudian Kirche berhenti. Napas cepat penjaga toko berubah jadi desahan yang menyedihkan.

“Oh…ohhhhh…”

Kirche meluruskan dirinya, dan menanyakan lagi,”1000.’

“Oh! 1000 bisa!”

Kirche turun dari counter, cepat-cepat menulis cek, dan membantingnya ke counter. ”Terbeli!” Dia kemudian mengambil pedang itu dan meninggalkan toko, meninggalkan penjaga toko untuk menatap ceknya.

Setelah beberapa saat, dia kemudian mendapatkan kembali akal sehatnya, dan memegang kepalanya.”SIALAN! AKU JUAL DIA HANYA UNTUK 1000?!” Dia lalu mengambil sebotol liquor dari kabinetnya.”Ohh…aku dihabisi hari ini…”




Bab 7 : Fouquet si Crumbling Earth[edit]

Di Tristain, ada pencuri penyihir bernama “Tanah yang ambruk,” yang membuat setiap ningrat di negeri ini berada dalam ketakutan. Nama lengkapnya Fouquet sang Tanah ambruk.

Saat Fouquet mendengar ada ningrat di utara yang memiliki mahkota bertahtakan permata, dia bakal pergi kesana untuk mencurinya. Saat Fouquet mendengar bangsawan di selatan memiliki sebuah tongkat yang dihadiahkan oleh raja sebagai harta keluarganya, dia mendobrak dinding untuk mencurinya. Di Timur, tiada cincin mutiara terbaik dari seniman kepulauan Putih yang tersisa di Mansion manapun. Fouquet juga tanpa pandang bulu mengambil botol tak ternilai berisi anggur berumur tua dari pabrik anggur di barat. Sang pencuri ada dimana-mana.

Taktik Fouquet macam-macam, dari penyusupan tak terlacak sampai mendobrak langsung. Bank nasional diserang pas siang bolong, dan rumah-rumah dimasuki diam-diam dalam kegelapan malam. Pada semua kejadian, Taktik Fouquet sesederhana meninggalkan para penjaga dengan debu. Fouquet diidentifikasi hanya dari penggunaan alkemi untuk memasuki kamar sasaran, merubah pintu dan dinding jadi tanah dan pasir, kemudian masuk lewat lubang yang menganga. Para ningrat tidaklah bodo, tentu saja mereka telah berusaha “mengeraskan” apapun diantara harta mereka secara sihir untuk menghentikan alkemi, tapi sihir Fouquet terlampau kuat, dan merubah segalanya, yang dijaga maupun tidak, jadi tanah.

Jika Fouquet memutuskan untuk mendobrak masuk, sebuah golem tanah setingi 30 mail digunakan. Menghantam kesamping penjaga sihir dan meruntuhkan dinding benteng, membuatnya mampu secara terang-terangan mengambil hadiahnya pada siang bolong.

Tiada seorangpun yang pernah melihat Fouquet dari dekat. Tiada yang tahu apakah dia lelaki atau perempuan. Yang mereka tahu hanyalah Fouquet adalah penyihir tanah dari , paling tidak, kelas segitiga, bahwa dia meninggalkan catatan-catatan yang menghinakan, seperti”Aku dapatkan hartamu.~ Fouquet sang Tanah Ambruk” pada setiap TKP, dan di menyukai harta dan artifak dengan kekuatan sihir yang besar.

* * *
Dengan menekan satu kaki pada dinding, Fouquet merasakan kekuatan dinding dan tak bisa untuk tidak mengaguminya.

Dua bulan besar menyinari jalan-jalan pada dinding-dinding diluar lantai ke-5 akademi sihir, yang melindungi sebuah kamar harta. Cahaya menarik sebuah bayangan, yang berdiri tegak pada dinding. Fouquet sang Tanah Ambruk.

Rambut Fouquet yang hijau panjang berkibar karena diterpa angin, dan Fouquet berdiri tegak, menunjukkan dirinya sebagai orang yang telah menusukkan ketakuutan pada seluruh ningrat negeri ini.

Dengan menekan satu kaki pada dinding, Fouquet merasakan kekuatan dinding dan tak bisa untuk tidak mengaguminya. Menara utama Akademi sekuat keliahatannya...apa hanya serangan fisik kelemahannya? Aku tak bisa mendobrak melalui sesuatu setebal ini tanpa menarik perhatian. Bukan sesuatu yang sulit untuk ahli sihir bumi seperti Fouquet untuk memeriksa ketebalan suatu dinding dengan kaki mereka, tapi mendobraknya adalah hal yang lain. Sepertinya mereka hanya menggunakan mantra pengeras, tapi bahkan akupun tak bisa mendobraknya dengan seekor golem. Mntra pengerasnya sangat kuat...alkemiku takkan berbuat banyak.

“Sial...dan aku sudah jauh-jauh sampai ini.” Gigi si pencuri digigitkan keras dalam frustasinya.”Aku takkan pergi meninggalkan “ Staff of Destruction”, apapun yang terjadi.”Fouquet menyilangkan tangannya dan tenggelam dalam pikiranya sendiri.

* * *

Sementara Fouquet memikirkan dinding, kamar Louise tengah Chaos. Louise dan Kirche saling menatap dengan marah, dan Saito, di tempat tidur jeraminya, dengan bersemangat mempelajari pedang yang baru saja diberikan Kirche. Tabitha acuh tak acuh dan terus membaca di kasur Louise.

Louise berkacak pinggang.”Apa maksud dari ini, Zerbst?” Louise menatap lawannya.

Kirche menonton kekaguman saito,”Sudah kukatakan padamu, aku dapatkan apa yang Saito mau, jadi aku kesini untuk memberikan itu padanya.”

“Ah, sia-sia saja. Aku sudah mendapatkan senjata untuk familiarku. Benar kan Saito?”

Berlawanan dengan itu, Saito tak bisa melepaskan pemberian Kirche. Dia melepaskan sarung pedang dan menatapnya. Saat dia memegang pedang itu, tanda di tangan kirinya bersinar, sementara badannya menjadi seringan bulu. Dia ingin mengayun-ayunkannya, tapi dia di kamar. Dia tetap tak bisa menemukan ada apa dengan tangan kirinya. Yang dia tahu hanyalah bahwa ia bersinar bila dia memegang pedang.

Tapi perhatiannya kini tertuju pada Pedang yang dihiasi dengan indah ini.

“Ini luar biasa…Aku masih lebih menyukai yang ini…dan ia bersinar!”

Louise menendangnya ke udara.

“Apa yang kau lakukan?!” teriak Saito.

“Balikkan itu. Bukankah kau sudah punya pedang berbicara?”

“Uh…bener sih…menarik juga bila pedang bias bicara, tapi tetap saja…”Ia sangat berkarat, tua dan rusak. Jika seorang ksatria hendak menggunakan sesuatu, harusnya sesuatu yang berkilat dan keren, kan? Lagipula, Kirche memberikannya gratis…

“Vallière, kata-kata dengki tidaklah sopan!” Sela Kirche, keras.

“Iri? Siapa yang iri?”

“Bukannya kau? Aku, Kirche, dengan mudahnya mendapatkan Pedang yang paling diinginkan Saito sebagai hadiah. Kau tak bias bilang kau iri, kan?”

“Iri gimana sih! Selain itu, aku takkan bias nerima bahkan sedikit dari kemurahan hati seorang Zerbst! Itu saja!!”

Kirche memandang saito, yang menatap dengan enggan pada pedang yang terhiasi di tangan Louise.

‘Kau lihat itu? Saito menyukai pedang ini, tahu? Pedang ini yang diciptakan alkemis dari Germania sendiri, Lord Shupei!”Kirche melemparkan pandangan menggoda pada saito.”Dengarlah…Apa yang baik dibawah matahari, mau pedang ataupun wanita, hanya bias dating dari Germania! Wanita Tristainian, seperti Louise, semuanya pengiri, tak sabaran, sombong, ga bias apa-apa yang ekstrim, dan tidak ada yang bias mengubah mereka!”

Louise menatap Kirche. “Apa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.” “Oh,...Sangat…mengagumkan. Perempuan sepertimu adalah orang-orang yang kepalanya hanya disisi hal-hal romantic saja! Apa kau nyambung dengan terlalu banyak lelaki di Germania, membuat semuanya tak percaya padamu, dan berakhir dengan pengusiran dan melarikan diri kesini, ke Tristania?” serang Louise sambil tertawa dingin dan tak mengenakkan, ditambah amarah yang menggigilkan tubuhnya.

“Kau sangat berani Vallière…” Wajah Kirche menjadi gelap.

“Apa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.” Timpal Louise yang merasa menang.

Secara bersamaan, keduanya mengeluarkan tongkat mereka, tapi…

Tabitha menggerakkan tongkatnya lebih cepat dari keduanya, menerbangkan kedua tongkat mereka dengan sebuah topan.

“Dalam ruangan,” katanya kaku.

Mungkin bermakna berbahaya kalau bertarung disini.

Louise sambil marah-marah bergumam,”Dan siapa ini? Dia sudah duduk di kasurku selama-“

“Dia temanku,” balas Kirche

"Dan mengapa temanmu di kamarku?"

Kirche menatapnya,”Ada yang salah dengan itu?”

“Hmmmph.”

Saito mencoba ngobrol dengan Tabitha, tapi dia tak pernah membalas, dia terus saja membaca bukunya, sepertinya percakapan tak menyenangkan buatnya.

Sementara itu, Louise dan Kirche saling menatap.

Kircghe mengalihkan pandangannya,”Bagaimana kalau Saito yang memutuskan?”

“Aku? Memutuskan?” Saito langsung merasa tertekan disaat diarah seperti ini.

“Ya. Ini soal pedang pilihanmu.” Louise juga memandangnya.

Saito tiba-tiba merasa sial. Dia lebih menyukai pemberian Kirche tentu saja. Tapi Louise takkan pernah membiarkanku memilih itu, atau aku takkan mendapat makan malam selama seminggu, meski aku bisa dapat makan dari Siesta, tetep aja…

Dia memandang Louise, yang menatapnya. Louise mungkin ingin menang sendiri, sombong, dan tak tahu terima kasih, tapi dia merawatku selama aku pingsan berhari-hari…dan dia tipe yang membuatku tertarik…

Lalu…Kirchememebelikanku pedang yang sangat mahal ini. Dan dari segalanya, seorang cantik sepertinya menembakku. Sebelumnya, tiada jalan bagiku untuk mendaratkan seseorang seperti ini sebuah tembakan…

OK, itu hanya membuat ini semakin sulit. Sekarang malah seperti memilih diantara keduanya daripada memilih diantara kedua pedang.

“Yah? Yang mana?” Kirche dan Louise menatapnya.

“Emm…apa boleh dua-duanya? Saito membengkokkan kepalanya dan mencoba terlihat lucu.

Tak mempan. Dia meluncur ke udara oleh tendangan kombinasi, membuatnya terhempas ke kasur jeraminya. “Hei.” Kirghe menghadap Louise sekarang.

“Apa?”

“Sepertinya ini harus diselesaikan sekarang.”

“Hmm…kau benar.”

“Kau tahu? Aku benar-benar membencimu.”

“sama-sama.”

“Kiata berpikiran sama nih.” Kirche tersenyum dan mengangkat alisnya.

Louise, juga mengangkat dagunya.

“Ayo berduel!” Mereka berteriak satu suara.

‘Ampun deh…itu tak perlu…” Saito terkejut. Keduanya saling menatap seolah tak mendengarnya.

“Tapi tentu saja, kita harus melakukannya dengan sihir!” Kirche mengatakannya bersemangat.

Louise menggigit bibir atasnya, dan mengangguk” OK, tempat?”

“Benarkah? Kau yakin? Oh, Louise si Zero. Kau yakin ingin bertarung denganku dalam duel sihir?” Kirche mengejek.

Louise menunduk. Yakinkah aku? Tentu saja…tidak. Tapi ini tantangan dari seorang Zerbst, jadi dia harus meladeninya.”Tentu saja! Aku takkan kalah darimu!”

Sementara itu, Fouquet yang tengah berdiri di tembok menara pusat akademi merasakan langkah-langkah kaki. Dia melompat ke tanah, dan tepat saat akan mendarat, dibisiknya “Mantra Melayang”, mendarat bagaikan bulu, menyerap momentumnya. Fouquet lalu menghilang diantara semak-semak.

Louise, Kirche, Tabitha dan Saito memasuki halaman.

“Baiklah, ayo mulai.” Kata Kirche.

“Apa kalian benar-benar hendak bertarung?” Saito bertanya, penasaran.

“Ya, kami akan.” Jawab Louise percaya diri.

“Bukankah itu sedikit…berbahaya? Mari kita hentikan ini dan sudahan saja, ayolah.”

“Itu benar, jadi siapapun yang mendapat luka adalah yang bodoh,” kata Kirche.

“Yap,” Angguk Louise.

Tabitha menghampiri Kirche, dan membisikkan sesuatu ke telinganya. kemudian dia menunjuk Saito.

"Hmm...itu ide yang bagus!" Kirche tersenyum kecil

Kirche kemudian membisikkan sesuatu pada Louise.

"Ah...tak buruk." Louise mengangguk.

Keduanya kini menatap Saito. Dia langsung merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.

* * *

"Hey...Apa kalian serius?" Mohon Saito, tapi tiada yang peduli.

Dia digantung di udara, terikat tali pada menara utama. Yep...seharusnya aku pilih salah satu dan menyudahi

ini. Di tanah yang terlihat sangat, sangat jauh, dia bisa melihat bayang-bayang Kirche dan Louise. Meski tengah

malam, kedua bulan membuat segalanya terang. Dia bahkan bisa melihat Tabitha di Naga anginnya. Ia memegang dua

pedang di mulutnya.

Kedua bulan menyinari Saito dengan hangatnya.

Kirche dan Louise menengadah, melihatnya, yang tengah berayun-ayun dan memberontak di udara.

Kirche melipat lengan bajunya," ini atuaran mainnya...Yang pertama memutuskan tali dan membuat Saito jatuh

menang. Kemudian pedang pemenang di ke-Saito-kan. Jelas?"

"Mengerti." Louise mengangguk dengan wajah hampa.

"Tiada batas pada jenis mantrayang digunakan. Kau boleh jadi yang pertama...ku traktir kau."

"Baiklah."

"OK...Semoga berhasil."

Louise mengeluarkan tongkatnya. Di udara, Tabitha mulai menggoyangkan tali, membuat saito terayun ke kiri dan

kanan. Mantra seperti bola api memiliki tingkat akurasi yang tinggi, dan selama sasaran tak bergerak, pasti

kena. tetapi Louise memiliki masalah yang lebih besar dari itu - pertama-tama, mantranya harus bisa jadi.

Louise berpikir keras. apa yang bisa? Angin? Api? Air dan tanah tak bisa...mereka tak punya banyak mantra yang

bisa memotong tali. Mantra api adalah pilihan terbaik...dan Louise tahu itu adalah keahlian Kirche.

Bola api Kirche bisa memotong tali itu dengan sangat mudah. Aku tak bisa gagal disini.

Dia pilih bola api pada akhirnya. Membidik pada yang kecil sebagai sasaran, dia mengucapkan mantra pendek. Jika

dia gagal, Saito mendapatkan pedang Kirche, dan untuk seseorang yang seperti Louise, ini sangat tak bisa

diterima. Dia selesai berucap, dan dengan konsentrasinya yang paling penuh, menyentakkan tongkatnya. Jika

berhasil, sebuah bola api seharusnya keluar dari ujung.

Tapi tiada yang keluar dari si tongkat. sedetik kemudian, tembok dibelakang Saito meledak. Gelombang getarannya

menggoyang Saito lebih keras."Ada apa ini?! Ingin membunuhku ya?!" Saito berteriak marah pada mereka.

Tali tetap tersambung. Jika dia pikir bisa menggunakan Gelombang getara untuk memutuskan tali, dia tak

berpikir. Sebuah celah besar muncul di dinding.

Kirche kolaps dalam tawa. "Zero! Zero Louise! kau hancurkan tembok,bukan talinya! itulah Kemampuanmu!"

Louise tertunduk.

"Benar-benar deh, apa sih yang kau lakukan untuk membuatnya meledak seperti itu?! Ya Tuhan...pinggangku

sakit..."

Louise memegang kepalannya dan bersimpuh di tanah karena frustasinya.


"Selanjutnya giliranku." Kirche mnyasar tali bagai Pemburu ke buruannya. Tabitha menggoyangkan tali, jadi bakal

sulit membidik. Meski begitu, Kirche tersenyum tak peduli. Membaca sebuah mantra pendek, Kirche mengayunkan

tongkatnya, mantra api memang keahliannya sih.

Dari tongkatnya, muncul bola api sebesar melon, yang terbang menuju saito, menghantam tali, dan membakarnya

dalam sekejap. saito mulai jatuh ke tanah, tapi Tabitha mengayunkan tongkatnya dari atap, menmbacakan mantra

melayang padanya, membuatnya mendarat lambat ke tanah.

"Aku menang, Vallière!” Kirche mengumumkan kemenangannya.

Louise terduduk, menarik rumput dengan tangannya dalam keputusasaan.

smentara itu, Fouquet menonton mereka dari semak-semak. si pencuri melihat celah di dinding dari tembakan

Louise. Sihir macam apa itu? Dia menmbca mantra bola api, tapi tiada yang keluar dari tongkatnya, dan

dindingnya meledak seperti itu. Aku tak pernah mendengar ada mantra yang bisa membuat sesuatu meledak seperti

ini. Fouquet menggelengkan kepalanya. Lebih penting lagi, dia tak bisa melewatkan kesempatan ini. Fouquet mulai

membaca sebuah mantra panjang, mengayunkan toangkatnya ke tanah. Saat selesai, senyum tipis terbentuk di

wajahnya. Mengikuti suara Fouquet, sebuah gundukan terbentuk di tanah. Fouquet si Tanah Ambruk tengah

menunjukkan kemampuannya.

"Memalukan sekali, Vallière!” Kirche tertawa.


Dia telah kalah bertarung, dalam kesedihan dan kehampaannya, dadanya bergetar. Saito melihatnya dengan emosi

yang rumit di wajahnya."...Mengapa kau...tak...melepaskanku dulu?" suaranya keluar dengan nada rendah. Dia tak

bisa bergerak dengan tali yang membungkusnya berlapis-lapis.

Kirche tersenyum," Oh, tentu saja, dengan senang hati!"

Tiba-tiba, Kirche merasakan sesuatu di belakangnya. Dia menoleh. Dia tak bisa mempercayai matanya.

"Apa...apa-apaan ini?!" Mulutnya menganga. Apa yang dilihat adalah golem tanah raksasa yang menuju mereka.

“Kyaaaaaaaaaa!!!!!” Kirche melarikan diri sambil berteriak.

Saito berteriak di belakangnya,"Hoi! Hoi! jangan tinggalkan aku disini!" dia panik. Ya, dia memang tak pernah

melihat golem yang sebegitu besar sebelumnya, dan itu sedang menuju ke tempatnya."a-apa-apaan ini>! gede

banget!" Saito ingin lari, tapi tali membuatnya tetap di tanah.

Louise tersadar dan berlari ke arahnya.

"Kau...mengapa kau terikat seperti ini?!"

"Bukannya ini idemu?!"

Diatas mereka, si golem mengangkat kakinya.

Saito kehilangan harapan."Louise, pergi dari sini!" teriaknya.

"Sial...Tali ini..." Louise tetap berusaha untuk melepaskan ikatannya.

Kaki golem jatuh. Saito menutup matanya.

Tepat saat itu, Naga angin Tabitha menukik dari langit dan mencengkram mereka dengan talonnya dan menarik

mereka dari bawah kaki dengan hanya seinci dari kaki, sebelum ia jatuh dan meremukkan segala dibawahnya dalam

sedetak jantung.Sambil tergantung di bawah naga angin, Saito dan Louise menonton si golem. Saito yang gemetaran

bertanya"A-A-Apaan itu?"

Aku tak yakin...tapi itu golem tanah raksasa! Seseorang pasti memanggilnya!"

"Yang segede itu?!"

"...Siapapun yang memanggilnya pasti setidaknya sekelas penyihir segitiga."

Saito menggigit bibirnya, dan berpikir tentang Louise, yang mencoba melepaskannya meski berbahaya."disamping

itu..mengapa kau tak lari?"

"Tiada tuan yang terhormat yang akan meninggalkan familiarnya seperti itu."Jawabnya tegas.

Saito menontonnya diam-diam. Untuk alasan tertentu, dia melihatnya sangat menarik...saat ini.

Fouquet yang berdiri di bahu golem, tersenyumn dan tak menaruh perhatian pada naga angin atau Kirche yang

melarikan diri. Sebuah jubah gelap menyelimutinya dari kepala sampai ujung kaki sehingga mereka tak bisa tahu

wajahnya. Fouquet mengubah kepalan golemnya menjadi logam, dan memerintahkannya untuk meninju tembok. Sebuah

suara menggelegar begitu kepalan logam menghantam dan merobohkan dinding. Di bawah Jubah yang gelap, Fouquet

menyeringai.

Si golem memindahkan Fouquet ke dalam dengan tangannya, dan si pencuri masuk melalui lubang dan menuju bagian

harta. Ia menyimpan berbagai barang yang berharga, tapi Fouquet hanya menyasar satu.

"Staff of Destruction".

Sebaris tongkat dari berbagai jenis tergantung di dinding, tapi ada satu yang oleh Fouquet sama sekali tak

tampak seperti sebuah tongkat. panjangnya semail, dan terbuat dari semacam logam yang tak pernah dia lihat

sebelumnya. Dia melihat pelat logam di bawahnya, tertulis,"Tongkat kehancuran, jangan dipindahkan." Senyumnya

berubah jadi tawa kecil.

Fouquet mengambil "Staff of Destruction", dan terkejut karena ringannya. Ini terbuat dari apa sih? Dia tak

punya waktu untuk bingung dan berlari kembali ke bahu golem.

Fouquet membakar sebuah pesan ke dinding sebelum pergi""Aku dapatkan 'Staff of Destruction'.-Fouquet si Tanah

Ambruk."

Dengan pemanggil berjubah duduk di bahunya, si golem melompati tembok akademi, mendarat dengan dentuman yang

keras, lalu bergerak ke padang rumput dan terus menjauh.

Diatas golem, si Naga angin berputar-putar. Tabitha yang duduk di Naga angin, mengayunkan tongkatnya untuk

mantra melayang, yang menggerakkan Saito dan Louise ke punggung naga. Dia mengayun lagi, dan angin disekitar

saito bresonansi menjadi gelombang pemotong, memutuskan tali yang mengikat menjadi tercerai-berai.


"Terima kasih," katanya pada Tabitha.

Wajahnya tetap kosong, hanya mengangguk.

Saito menonton golem tanah raksasa, dan bertanya pada Louise,"Penyihir itu...memecahkan tembok. Tapi untuk

apa?"

"Bagian harta." jawab Tabitha.

"Dia memegang sesuatu saat keluar dari lubang itu."

"Itu sebuah pencurian. Tapi itu...sangat 'tabrak langsung'."

Mereka menonton hingga golem raksasa tiba-tiba ambruk saat tengah berlari, menjadi gundukan tanah yang besar.

Mereka turun ke tanah.

Diterangi kedua bulan, tidak ada apapun selain segunung tanah. Hanya dengan itu saja, penyihir yang memanggilnya telah menghilang di kegelapan malam.




Bab 8 : Tongkat Kehancuran[edit]

Paginya.

Di Akademi sihir Tristain, terjadi ribut-riut dari kejadian tadi malam, bagaikan sarang lebah yang terusik.

Mengapa? karena Tongkat kehancuran telah dicuri.

Dan dicurinya terang-terangan menggunakan golem tanah untuk mendobrak tembok gudang.

Guru-guru di akademi sihir yang berkumpul di dalam gudang tak bisa berkaa apa-apa saat melihat lubang yang menganga di dinding.

Tanda yang ditinggalkan di dinding oleh Fouquet si Tanah Ambruk menceritakan segalanya:

Aku telah mendapatkan tongkat kehancuran. Fouquet si Tanah Ambruk.

Pada saat ini, yang bisa dilakukan para guru hanyalah bersumpah serapah dan menghentakkan hati.

"Adalah pencuri itu yang menelanjangi para ningrat, Fouquet si Tanah Ambruk! Berani-beraninya dia menarget akademi!"

'Apa sih yang dikerjain para penjaga?"

"Bahkan bila para penjaga disini, mereka tiada gunanya! Mereka hanya jelata! Ngomong-ngomong, siapa ningrat yang tugas jaga tadi malam?"

Bu Chevreuse merasa tegang. Seharusnya dia yang berjaga malam itu." Tapi siapa yang akan mencuri dari akademi?" pikirnya saat tidur lelap dikamarnya daripada berada di dekat pintu gudang seperti yang seharusnya dilakukan ningrat yang tengah berjaga.

Salah satu guru tiba-tiba menunjuk dan berkata,"Bu Chevreuse! Kau seharusnya bertugas malam tadi! apa itu benar?"

Bu Chevreuse langsung menangis," Ampunilah aku...aku sangat menyesal..."

"Bahkan jika kau kau menangisi hingga jantungmu belah, apa ia akan kembali? atau apa kau akan membayar untuknya?"

"Tapi...tapi aku baru saja selesai membayar rumahku." Bu Chevreuse jatuh berlutut di lantai dan menangis.

Tepat saat itu, Osman tua tiba."Erm...ini ukan saat yang tepat untuk keras pada wanita, kan?"

Para guru yang mengerubungi Bu Chevreuse membantah,"Tapi Osman, Bu Chevreuse gagal menjalankan tugasnya! Dia tertidur lelap di kasurnya saat dia seharusnya berjaga!"

Osman tua mengelus janggutnya perlahan sambil melihat guru yang sangat terguncang dan kehilangan dirinya.

"Erm...Siapa ya namamu?"

"Gimli! masa kau lupa?"

"Ohya! Gimli! Hmm, Pak Gimli, jangan marah-marah. Jujurlah pada diri sendiri, berapa banyak dari kalian disini yang bisa mengatakan kalian disiplin saat bertugas jaga?" Balas Osman tua.

Semua guru saling memandang dan menundukkan kepalanya karena malu. Sekarang semuanya hening.

"Yah, itulah keadaan kita sekarang. Berbicara tentang tanggung jawab, saya pikir kita semua, bahkan saya sendiri, harus mempertanggungjawabkan kejadian ini. Mengapa kita berpikir pencuri takkan pernah menyusup ke akademi? Apakah karena jumlah penyihir di akademi yang ada disini yang membuat kita yakin kita takkan diserang? Cara pikir seperti ini sudah salah sejak awal."

Osman tua memandangi lubang di dinding dan melanjutkan," Adalah sikap menyepelekan kita yang memberi Fouquet keberanian untuk menerobos dan mencuri Tongkat Kehancuran. Kita semua salah."

Bu Chevreuse memandang Osman tua penuh rasa terima kasih dan berkata,"Oh! Osman, Pak Osman! Terima kasih atas kepedulianmu. Mulai sekarang aku akan melihat engkau sebagai Ayahku."

"Yah, itu...hehe...Bu...: Osman tua mulai mengelus pantat Bu Chevreuse.

"Jika kau tak keberatan...semua tergantung kepsek sekarang."

Osman tua, yang tak ingin menyalahkan siapa-siapa, memutuskan bahwa itulah cara terbaik melegakan kembali udara yang terasa menyesakkan. Setelah itu, dia berdehem untuk menyiapkan suaranya, dan semuanya terdiam, menunggunya berbicara.

"Baiklah, siapa saja yang melihat si pencuri?" tanya Osman.

"Mereka bertiga yang melihatnya." kata Pak Colbert sambil menunjuk pada 3 orang di belakangnya.

Merekalah Louise, Kirche dan Tabitha. Saito hadir namun karena dia hanyalah seorang familiar, dia tak dihitung sebagai orang. "Oh...Kalian..." kata Osman sambil melihat Saito penuh keingintahuan.

Saito tak tahu mengapa dia ditatap, tapi tetap bersikap normal.

"Mohon ceritakan kejadianya secar jelas."

Louise maju dan mendesripsikan apa yang dilihatnya."Mm...seekor golem tanah liat yang besar muncul dan hancurkan dinding. Penyihir berkerudung yang berdiri di pundaknya masuk dan mengambil sesuatu...Sepertinya itu Tongkat Kehancuran...Setelah itu penyihir berkerudung mengendarai golem dan kabur melewati tembok sekolah...golemnya menjadi setumpuk tanah di akhir."

"Setelah itu, apa yag terjadi?"

"Setelahnya, yang kami lihat hanyalah segunduk tanah, tiada tanda dari penyihir berkerudung."

"Jadi itu yang terjadi..." kata Osman sambil mengelus-elus janggutnya.

"Meski kita ingin meneruskan pengejaran, tapi tanpa petunjuk apa-apa, kami tak bisa. Jadi..."

Disini, Osman tua tiba-tiba ingat sebuah pertanyaan yang diajukannya pada Pak Colbert,"Ah, dimana Bu Longueville?"

"Aku tak yakin, aku belum melihatnya sejak pagi."

"Kemana ya dia pergi di saat-saat sulit begini?"

"Ya, benar, kemana dia?"

Di tengah gumaman itu, Bu Longueville akhirnya muncul.

"Bu Longueville! Kemana saja kau? Sesuatu yang buruk telah terjadi! kata Pak Colbert, panik.

Bu Longueville berbicara kepada Osman tua dengan sikap yang tenang dan dingin." Aku mohon maaaf dengan sangat atas keterlambatanku! Aku sedang mengerjakan beberapa investigasi. jadi..."

"Investigasi?"

"Ya. saat aku bangun, sudah terlalu banyak keributan yang terjadi, jadi aku pergi ke gudang dan melihat tanda di dinding yang dibuat Fouquet. Aku tahu si pencuri yang terkenal ke seantero daratan beraksi lagi. Karenanya, aku segera memulai investigasi."

"Kau benar-benar sangkil, Bu Longueville." Pak Colbert bertanya lagi dengan dengan sikap mementingkan urusan ini,"Tapi, pada akhirnya, apa kau menemukan sesuatu?"

"Ya, aku sudah dapatkan keberadaan Fouquet."

"Apa!?" Pak Colbert bersuara penuh kekaguman,"Darimana kau dapat info ini, Bu Longueville?"

"Berdasarkan jelata di sekitar daerah tersebut, mereka melihat apa yang tampak seperti seseorang mengenakan Jubah hitam berkerudung memasuki rumah yang ditinggalkan di dekat hutan. Saya pikir orang itu kemungkinan besar Fouquet dan rumah yang ditinggalkan itu adalah persembunyiannya."

Mendengar itu, Louise langsung angkat bicara,"Jubah hitam berkerudung? tak salah lagi, itu pasti Fouquet!"

Osman tua bangkit minatnya dan menanyakan Bu Longueville,"Seberapa jauh itu dari sini?"

"Dengan kaki, setengah hari, dengan kuda, harusnya hanya empat jam ."

"Kita harus melaporkan ini ke pengadilan Imperial sekarang juga! Kita harus mencari bantuan dari armada imperial!" Teriak Pak Colbert lagi.

Osman tua menggelengkan kepalanya dan menatap Colbert dan dengan sikap yang tak pada tempatnya untuk seorang tua, berteriak, "Bodoh! Saat kita laporkan ini ke pengadilan Imperial, Fouquet pasti sudah kabur! Terus, kalau kita tah bisa menangani masalah kecil begini dengan tangan kita sendiri, kita tak pantas dipanggi ningrat! Karena tongkat dicuri dari akademi, adalah tanggung jawab akademi untuk mendapatkannya kembali!"

Bu Longueville tersenyum, sepertinya memang jawaban itu yang diharapkannya.

Osman tua berdehem, lalu mulai merekrut sukarelawan."Sekarang, kita akan membentuk tim pencari untuk menemukan Fouquet. siapa yang mau bergabung, mohon angkat tongkat kalian."

Seluruh ningrat saling pandang satu sama lain dalam kebisuan, tiada yang mengangkat tongkatnya.

"Tidak ada? aneh sekali. Tiada yang ingin dikenal sebagai pahlawan yang menangkap Fouquet si Tanah Ambruk?"

Louise berada diantara mereka yang menundukkan pandangannya, tapi dia memutuskan untuk mengangkat tongkatnya."

“Miss Vallière!” Kata Bu Chevreuse, terkejut."Kau tak harus! Kau masih murid! Mohon biarkan ini diurus para guru!"

"Tapi tiada di antara kalian yang ingin membantu..."gumam Louise.

Saito melihat Louise dengan mulut ternganga. Louise yang terlihat serius dan dengan lembut menggigit bibirnya terlihat begitu menggetarkan sehingga telah menarik saito.

Melihat Louise mengangkat tongkatnya, Kirche juga melakukannya, meski dengan agak enggan.

Pak Colbert lebih terkejut lagi, dan berkata;"Nona Zerbst! Bukankah kau murid juga?"

Kirche membalas acuh tak acuh,"Ya...aku tak bisa begitu saja kalah dengan seorang Vallière."

Melihat Kirche mengangkat tongkatnya, Tabitha mengikuti.

"Tabitha! kau tak perlu lakukan ini! Ini tiada hubungannya denganmu!" kata Kirche.

Tabitha hanya menjawab,"Aku khawatir."

Tersentuh, Kirche menatap Tabitha dengan rasa terima kasih.

Di saat yang sama, Louise juga mengucapkan,"Terima kasih...Tabitha."

Melihat mereka bertiga, Osman tua tertawa dan berkata,"Baiklah, semuanya tergantung kalian bertiga sekarang."

"Pak! Kepsek Osman! Aku Sangat tak setuju! Kita Tak seharusnya membahayakan hidup para murid!"

"Oh, Kau akan pergi menggantikan mereka, Bu Chevreuse?"

“Ah... Erm… Well…Aku sedang tak enak badan akhir-akhir ini, jadi..."

'Mereka telah melihat Fouquet sebelumnya, dan Tabitha, meski masih sangat muda, kudengar dia telah dianugrahi sebutan Chevalier, apa aku salah?"

Tabitha tak menjawabnya dan hanya berdiri saja.

Semua guru melihat Tabitha dalam keterkejutan sekaligus kekaguman.

"Apa itu benar, Tabitha?" kata Kirche dengan perasaan yang sama.

Meski chevalier adalah penghargaan terendah yang dapat diberikan keluarga Imperial pada seseorang, Kirche tetap kagum bahwa Tabitha dapat memperolehnya pada umur yang masih sangat muda. Penghargaan sebagai Baron atau Marquis dapat didapatkan dengan membeli banyak lahan, namun untuk orang yang ingin disebut sebagai chevalier


Sekali lagi, keributan terjadi dalam gudang.

Osman tua terus melangkah, menatap Kirche dan berucap," Nona Zerbst dari Germania berasal dari Keluarga yang terdiri dari pahlawan perang, dan dia sendiri memiliki dasar yang kuat dalam sihir api."

Kirche menggoyangkan rambutnya, tampak percaya diri.

Louise yang berpikir sekarang saatnya dia dipuji, dengan lucunya berdiri untuk mendapat perhatian.

Osman tua dalam keadaan sulit sekarang.Hampir tiada yang dapat dipuji dari Louise...

"Ahem!" Sambil menyegarkan tenggorokannya, Osman membersihkan pandangannya dari kehadiran Louise dan mengatakan,"Ah...Nona Vallière dari keluarga Vallière yang prestisius, keluarga yang dikenal karena penyihirnya. Dan...Dia akan menjadi yang menjanjikan di masa depan...dan familiarnya..."

Menempatkan pandangannya pada Saito, Osman lalu berkata;"Meski dia jelata, dia telah mengalahkan anak Jenderal Gramont, Guiche de Gramont dalam pertarungan." Osman menyimpan pikirannya sendiri: dan jika dia benar-benar Gandalfr yang legendaris itu...Fouquet si Tanah Ambruk bukanlah tandingannya."

PAk Colbert sambil bersemangat menambhakan,"Ya! Ya! karena dialah sang legenda, Gand..."

Osman tua cepat-cepat menutup mulut Pak Colbert sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya."A..Hahaha..dia hanya membual! Haha!..."

Kemudian hening lagi.

Osman sang Kepala sekolah berbicara dengan nada dingin," Jika ada yang berpikir mereka lebih mampu dari yang ada disini, mohon maju ke depan."

Tiada yang maju.

Melihat itu, Osman tua menghadap ke mereka berempat dan berkata,"Akademi menunggu tertangkapnya Fouquet!"

Louise, Kirche dan Tabitha bangkit dan berkata," Kami bersumpah demi tongkat kami untuk menagkap Fouquet!"

"Baiklah, siapkan perbekalan dan segera berangkat. Kalian mesti menghemat energi sebelum mencapai tujuan."

"Bu Longueville, kau bisa pergi dengan mereka?"

"Ya, Kepala sekolah Osman tua. Aku sudah ingin pergi dengan mereka juga," kata Bu Longuville.

  • * *

Jadi, dibawah pimpinan Bu Longueville, keempatnya cepat-cepat pergi.

Meski disebut kendaraan, sebenarnya ia hanya gerobak dengan kayu terpasang sebagai tempat duduk. Hal bagusnya, kalau mereka diserang, mereka bisa dengan mudah melompat dari gerobak dengan segera.

Bu Longueville yang menyetir kendaraan.

Kirche bertanya pada Bu Longueville yang tengah konsen ke jalan,"Bu Longueville, kerjaaan kaya gini bisa dilakukan seorang jelata. Mengapa kau lakukan ini?"

Bu Longueville tersenyum dan menjawab;"Tidak apa-apa. Aku juga bukan seorang ningrat."

Kirche terdiam sebentar, dan bertanya lagi,"Tapi bukankah kau sekretaris kepala sekolah?"

"Ya. Tapi Osman tua bukanlah orang yang peduli pada status saat mencari pertolongan. Tak peduli jelata ataupun ningrat."

"Jika memungkinkan, mohon ceritakan padaku secara detil bagaimana kau kehilangan statusmu."

Tapi Bu Longueville hanya tersenyum pada Kirche. sEPERTINYA DIA SUDAH TAK INGIN MEMBICARAKANNYA lagi.

"Tolong ceritakan padaku, meski hanya sedikit." Kirche terus membujuk dengan menyender lebih dekat dengan Bu Longueville, Tepat saat itu, dia merasa ada seseorang yang mencengkram bahunya. Louise, Kirche berbalik arah dan mengatakan,"Apa maumu, Vallière?”

"Lupakanlah. Berhentilah mengendus masa lalu orang."

“Humph, aku bosan, karenanya aku perlu seseorang untuk teman ngobrol."Balas kirche sambil menempatkan tangannya di belakang kepala dan bersender pada sisi kendaraan."

"Aku tak tahu apa ini berlaku di negrimu, tapi di Tristain, adalah memalukan untuk memaksa seseorang menyingkap apa yang tak ingin dia ceritakan."

Kirche tak menjawab. Dia bangkit dan duduk bersila dan berkata,"Ini semua karena ulahmu, kini aku masuk ini Menangkap Fouquet..."

Louise menatap Kirche marah,"Apa maksudmu? Bukannya kau mengajukan diri?"

"Jika kau sendirian, bukankah Saito bakal berada dalam bahaya? Benar kan, Louise si Zero?"

"Mengapa kau berkata begitu?"

Yah, ngomong-ngomong, klo golem raksasa itu muncul lagi, kau pasti kabur ke belakang dan membiarkan Saito bertarung sendirian,kan?"

"Siapa yang bakal kabur? Aku akan gunakan sihirku, lihat saja!"

"Kau, menggunakan sihir? Bercanda ya!?"

Keduanya mulai bertengkar lago. Tabitha terus membaca bukunya.

"Cukup! Bisakah kalian berheti." sela Saito.

Kirche pasang pose dan berkata,"Humph, aku berhenti. Bukan salahku juga sih."

Louise menggigit bibirnya.

"Baiklah. Sayangku, ini untukmu." Kirche memandang Saito dengan pandangan menggoda, dan menempatkan tangannya di pedang yang

dibelikannya untuk Saito."

"Wow! terima kasih!" kata Saito sambil mengambil pedang.

"Aku menag saat itu, atau, apa kau ingin mengatakan sesuatu? Louise si Zero?"

Louise menatap mereka berdua, tapi tetap diam.

Tiba-tiba, semuanya gelap. Kendaraan telah memasuki hutan. Kegelapan dan bau aneh di hutan membuat impuls mengalir menuruni punggung mereka.

"Kita harus berjalan dari sini." kata Bu Longueville. Kelompok itu lalu meninggalkan kendaraan, dan meneruskan melalui jalan setapak kedalam hutan.

"Aku takut akan gelap dan tak suka suasana disini..." kata Kirche sambil melingkarkan tangannya diantara tangan Saito.

"Bisakah kau tak terlalu dekat?"

Tapi aku takut!" kata Kirche dengan reaksi berlebihan. Siapapun tahu dia berbohong...

Saito, mengkhawatirkan Louise, meliriknya,

Louise membuang muka,"Humph"

Kelompok itu mencapai daerah jarang di hutan. Ukurannya kira-kira se Vestri Court dan di tengahnya ada rumah yang telah ditinggalkan. Rumah itu dibangun dari kayu dengan tungku berkarat. Disampingnya ada gudang yang telah runtuh.

Mereka bersembunyi di belakang semak-semak dan mengamati rumah itu.

Bu Longueville menunjuk rumah dan mengatakan,"Dari info yang kukumpulkan, itulah tempatnya."

"Sepertinya tiada orang didalam. Benaran Fouquet sembunyi disitu?"

Mereka mulai berdiskusi, menggunakan ranting-ranting untuk menggambarkan strategi mereka di tanah. Mereka semua setuju serbu langsung adalah pilihan terbaik. Leebih baik lagi jika dia tidur.


Pertama-tama, mereka harus memeriksa sekeliling rumah dan mengetahui apa yang terjadi didalam. Setelah itu, jika Fouquet didalam, sang pemandu akan memancingnya keluar, karena tanah di dalam rumah tk cukup untuk membuat seekor golem tanah. Begitu diluar, yang lain akan membacakan mantra mereka terhadapnya, tanpa memberikannya kesempatan untuk memunculkan golemya.

"Jadi siapa yang akan memancingnya keluar?"tanya Saito.

Tabitha menjawab,"Yang punya refleks paling baik."

Semua menatap Saito.

"Aku?"keluh Saito. Dia mengeluarkan pedang yang diberikan Kirche padanya.

Tanda di tangan kirinya mulai bersinar. Di saat yang sama, Saito merasakan tubuhnya menjadi seringan bulu.

Saito mendekat ke rumah dan mengintip melalui jendela. Hanya ada satu ruangan disana, dengan meja dan kursi rusak yang berdebu. Ada juga sebotol anggur di meja dan di salah satu sudut ada kayu bakar.

Tiada orang didalam dan tampaknya tiada tempat untuk bersembunyi didalamnya.

Apa dia sudah meninggalkan tempat ini?

Tapi lawan mereka adalah Fouquet, seorang penyihir segitiga. Jadi mungkin dia masih bersembunyi didalam meski tampaknya tiada tempat bersembunyi didalam.

Jadi Saito memutuskan memanggil semuanya.

Saito menggunakan tangnnya untuk membuat isyarat "X" di atas kepalanya, yang berarti rumah kosong.

Sisanya yang tengah bersembunyi dengan hati-hati menuju rumah.

"Tiada orang didalam." kata Saito sambil menunjuk jendela.

Tabitha mengayunkan tongkatnya didekat pintu dan berucap,:tiada perangkap." Dia kemudian membuka pintu dan masuk, Kirche dan Saito mengikuti dan memasuki rumah.

Louise mengatakan pada yang lainnya bahwa dia akan berjaga dan tinggal di luar.

Bu Longueville bilang dia akan memeriksa daerah sekitar hutan dan menghilang.

Kelompok Saito masuk dan mulai mencari tanda-tanda keberadaan Fouquet.

Lalu, Tabitha menemukan sesuatu didalam kotak...Tongkat Kehancuran.

"Tongkat Kehancuran." kata Tabitha sambil menimbang-nimbangnya.

"Bukannya ini terlalu mudah?" kata Kirche.

Saito memandangi Tongkat Kehancuran dan mengatakan penuh keterkejutan,"Kirche, benarkah ini Tongkat Kehancuran?"

Kirche mengangguk dan mengatakan,"Tak salah lagi, aku melihatnya sekali lagi selama kunjungan ke gudang harta."

Saito membawa Tongkat itu mendekat dan mengamatinya dengan seksama."Jika aku tak salah, ini adalah..."

Teapt saat itu, Louise yang berjaga di luar berteriak yang mendirikan bulu kuduk."Ahhhh!!"

"Louise, apa yang terjadi?!"

Begitu semua melihat keluar, sebuah suara keras terdengar. Krek! Tiba-tiba rumah kehilangan atapnya dan semua melihat keatas.

Di tempat atap ada golem tanah raksasa.

"Itu seekor golem tanah!" teriak Kirche

Tabitha yang pertama bereaksi. Mengayunkan tongkatnya, dia mulai membacakan mantra sihirnya. Sebuah tornado muncul dari tongkatnya dan menghantam si golem.

Setelah tornado itu reda, si gole tetap tak tergores.

Mengikuti langkah Tabitha, Kirche mengeluarkan tongkat yang disembunyikan di belahan dadanya dan mulai membacakan.

Sebuah bola api ditembakkan dari tongkatnya dan menelan si golem. Meski seluruh golem berkobar, sepertinya ia tidak terpengaruh api sama sekali.

"Ia terlalu tangguh bagi kita yang sedikit ini!" teriak Kirche.

"Mundur" kata Tabitha lembut.

Kirche dan Tabitha pergi ke arah yang berbeda dan lari keluar dari rumah.

Sementara itu, Saito tengah mencari Louise.

"Disana!"

Louise berdiri di belakang golem, membacakan sesuatu dan menodongkan tongkatnya pada golem.

Sesuatu meledak di kulit golem. itu adalah sihir Louise! Si golem menyadari ini, berputar dan menoleh pada Louise.

Saito, yang berdiri dekat pintu rumah sejauh 20 mail dari Louise berteriak,"Lari! Louise!"

Louise menolak,"Tidak! Jika aku mengalahkan ini, tiada yang bakal memanggilku Louise si Zero lagi." Louise tampaknya sangat serius. Si golem memiringkan kepalanya, berpikir apakah lebih baik menghadapi Louise atau mencari Tabitha dan Kirche yang kabur.

"Lihat perbedaan ukuran antara kau dan si golem! Kau tak mungkin menang!"

"Kau takkan pernah tahu hingga kau coba."

"Terlalu sulit itu! Tak mungkin!"

Louise menatap Saito dan mengatakan,"Bukankah kau mengatakan ini sebelumnya?"

"Apa?"

"saat kau dihantam begitu telak oleh Valkyrie-Valkyrie Guiche, saat kau tetap berdiri dan mengatakan, kau tak mau menundukkan kepala, dan takkan."

"Ya...aku mengatakan itu...tapi..."

"Aku merasakan hal yang sama. Meski aku tak bisa menyelesaikan apapun, ini adalah soal harga diri. Jika aku kabur, orang-orang akan mengatakan,'Karena dia Louise si Zero, makanya dia kabur'."

"Apa urusannya? Biarkan orang mengatakan apa yang mereka mau!"

"Tapi aku seorang ningrat. Ningrat adalah orang yang bisa sihir." Louise mengeraskan genggamannya ke tongkatnya."Dan ningrat tak pernah menunjukkan punggung mereka pada musuh."

si golem memutuskan untuk menghadapi Louise dulu, ia mengangkat kakinya, siap-siap meremukkannya.

Louise mengangkat tongkatnya menunjuk golem dan mulai membacakan lagi...

Tapi gagal, meski Louise menggunakan bola api.

Kemudian sebuah ledakan kecil muncul di dada golem dan kepingan-kepingan kecil jatuh dari dadanya. Si golem tak terpengaruh serangan itu sama sekali.

Saito menggenggam pedangnya dan lari menuju Lousie.

Louise melihat kaki golem semakin mendekat. Dia menutup matanya dan bersiap untuk yang terburuk.

Saat itu, Saito sampai dengan kecepatan topan, memegangnya dan berguling dari langkah golem.

Saito memberi tamparan pada wajah Louise.Pak!

"Apa kau benar-benar ingin mati?"

Louise melihat Saito, kaku.

"Apa-apaan tuh harga diri ningrat! Saat kau mati, Habios urusanmu! Bodoh!"

Airmata mulai mengalir dari mata Louise bagai air terjun.

"Ayolah, jangan menangis!" "Tapi...tapi aku tak bisa membuatnya jatuh...aku selalu diperlakukan seperti orang tolol oleh yang lain..."

Melihat Louise yang meanangis, Saito tak bisa apa-apa.

Terus-terusan dipanggil "Zero", diperlakukan sebagai si tolol, siapapun tak bisa menerimanya begitu saja. Dia ingat pertarungannya dengan Guiche. Louise juga menangis waktu itu. Meski Louise keras kepala dan seenaknya sendiri, sebenarnya dia membenci pertarungan dan tak ahli disitu.


Dia hanya seorang gadis...Wajah cantik Louise sekarang ditutupi airmata, seperti tangisan anak kecil.

Tapis ekarang bukan waktu untuk menenangkannya. Saito menoleh kebelakang dan melihat si golem mengangkat kepalannya, siap-siap meninju mereka.

"Tak bisakah kau menenangkanku sedikitpun?" Louise protes begitu Saito membawanya dan kabur.

Si golem mengejar mereka, meski si golem tak lincah, kecepatannya sebanding dengan Saito.

Naga angin Tabitha mendarat didepan Saito untuk membantu pelarian mereka.

"Naiklah." kata Tabitha.

Saito menaruh Louise di punggung naga.

"Cepatlah, kau juga!" kata Saito pada Saito dengan nada lantang, tak seperti dirinya yang biasa.

Tapi Saito tak naik, malah berlari ke arah golem.

"Saito!" teriak Louise.

"Terbanglah sekarang!" teriak Saito

Tabitha memandangi Saito sesaat tanpa emosi, dan terpaksa menerbangkan Sylphid begitu golem mencapai mereka.

Bang!

Kepalan golem dihantamkan ke tanah tempat Saito berdiri. Hanya dengan perbedaan setipis kertas, Saito melompat dan menghindari serangan. si golem mengangkat lagi kepalannya dan sebuah lubang selebar 1 meter terbentuk.

Saito berguma pada dirinya sendiri," Jangan menangis bila kau tak bisa merubuhkannya. Bodoh! Ini benar-benar membuatku merasa harus berbuat sesuatu untukmu!" Saito menghadapi si golem dan berkata,"Jangan meremehkanku! Kau hanya tumpukan debu!"

Dia mencengkram pedangnya erat-erat dan berteriak,"Akulah familiar Louise!"

"Saito!" Louise hendak melompat turun dari Sylphid yang tengah terbang, tapi segera ditahan Tabitha.

"Tolong selamatkan Saito!" mohon Louise.

Tabitha menggelengkan kepalanya."Mustahil mendekat."

Bila Sylphid mencoba mendekat, si golem bakal mencoba menyerangnya. Jadi Tabitha tak akan mampu mencapai Saito.

"Saito!"teriak Louise lagi.

Louise melihat Saito bersiap dengan pedangnya menghadapi golem.

Si golem bergerak dan meninju. Di tengah-tengah, kepalan itu berubah jadi logam.

Saito melihatnya, dan menahannya dengan pedangnya.

Saito tersentak, Benarkah pedang ini dibuat oleh Lord Shupei, alkemis terkenal Germania? Tak berguna sama sekali!

Tak bersenjata, Saito hanya bisa menghindari serangan-serangan golem.

Melihat Saito tersudut, Louise putus asa. Tak adakah jalan untuk menolongnya? Saat itu, Louise menyadari "Tongkat Kehancuran" yang dipegang Tabitha.

"Tabitha! Berikanitu padaku!"

Dia mengangguk dan memberikan Tongkat Kehancuran pada Louise

Tongkat Kehancuran memiliki bentuk aneh yang tak pernah dilihat Louise.

Tapi karena sihir Louise tak mempan, semuanya kini tergantung pada Tongkat Kehancuran.

Louise menutup matanya dan mengambil napas dalam-dalam. Sambil membuka mata, dia berucap,"Tabitha! Gunakan melayang padaku." dan melompat dari punggung Sylphid. Tabitha cepat-cepat membacakan "Melayang" pada Louise.

Dibawah pengaruh mantra, Louise pelan-pelan turun dan menghadapi saito dan si golem, mengayunkan Tongkat Kehancuran.

Tiada yang terjadi. Tiada reaksi dari Tongkat Kehancuran.

"Benarkah ini tongkat sihir?" Louise berteriak heran.

Apa perlu sesuatu yang khusus untuk mengaktifkannya?

Saito melihat Louise yang turun dan terkejut karenanya. Mengapa dia kembali? Lebih baik baginya untuk tetap di naga!

Di saat yang sama, Saito melihat Tongkat Kehancuran yang tengah dipegang Louise.

Sepertinya Louise tak tahu cara menggunakannya dan hanya mengayunkannya kesana kemari.

Saito berlari menuju Louise.

Jika kita gunakan ini, mungkin kita bisa kalahkan golem ini!

"saito!" teriak Louise pada Saito yang berlari menuju tempatnya.

Saito mengambil alih Tongkat Kehancuran dari Louise.

"Aku tak tahu cara menggunakan ini!"

"Caranya gini nih!"

Saito bersiap pada Tongkat Kehancuran, mengeluarkan pembidik, membuka tutup belakang dan menarik keluar serta memanjangkan tabung dalamnya.

...Mengapa aku tahu caranya?

Tapi sekarag bukan waktunya berpikir

Dia mengeluarkan arahan dari tabung dan membidik.

Melihat kelihaiannya menangani Tongkat Kehancuran, Louise terlalu terkejut untuk mengatakan apapun.

Saito Memegang Tongkat Kehancuran di bahunya dan megarahkan ujung tongkat pada si golem.

Karena jarak diantara mereka yang pendek, Saito memutuskan mengarah langsung pada golem. Dengan jarak yang begitu dekat, beda bidikan dan yang kena ga terlalu besar dan bila kena langsung, kemungkinan ia tak meledak.

"Lupakan itu, Coba saja!" pikir Saito sambil berteriak pada Louise,"Jangan berdiri di belakang tongkat, bakal ada ledakan ke belakang!"

Louise buru-buruminggir.

Si golem terus mendekati Saito, yang lalu melepas pengaman dan menembakkan senjatanya.

Sebuah gelegar yang keras langsung keluar dari tongkat dan sebuah proyektil dengan sayap terbang menuju golem.

Proyektil itu mengenai si golem dengan ledakan nan dahsyat.

Insting saito menyuruhnya menutup telinga.

Sebuah raungan yang menulikan menyeruak dan bagian atas golem pecah berkeping-keping dan beterbangan ke segala arah, menyebabkan hujan tanah.

Saito pelan-pelan membuka mata.

Begitu asap dari ledakan menghilang, hanya bagain bawah dari golem yang tetap tinggal.

Yang tinggal menghabiskan satu langkah maju sebelum akhirnya berhenti bergerak dan berlutu.

Dan, pelan-pelan, dari pinggang, ia ambruk...dan menjadi asalnya - tanah.

Seperti terakhir kali, si golem menjadi gundukan tanah.

Louise, yang menyaksikan semuanya, merasa kakinya melemah dan terduduk di tanah.

Kirche, yang bersembunyi dekat semak-semak, keluar sambil berlari.

Saito akhirnya mendesah lega.

Kirche memeluk Saito dan berkata,"Saito, oh sayangku! Kau berhasil!"

Sylphid, yang membawa Tabitha, turun. Tabitha memandangi gundukan tanah dan bertanya,"Dimana Bu Longueville?"

Baru saat itu mereka sadar Bu Longueville tidak ada.

Tepat saat itu, Bu Longueville keluar dari hutan.

'Bu Longueville! Apa kau dapatkan darimana Fouquet mengontrol si golem?" tanya Kirche.

Bu Longueville menggelengkan kepalanya. Keempatnya mulai memeriksa gundukan tanah untuk mencari petunjuk. Saito menonton mereka, dan kemudian memandangi Tongkat Kehancuran, memikirkan:"Mengapa benda semacam ini muncul di dunia ini?

Saat dia sedang berpikir, Bu Longueville mengambil Tongkat Kehancuran dari Saito.

"Bu Longueville?" ucap Saito yang kebingungan.

Bu Longueville memperlebar jarak diantara mereka dan berkata,"Kerja kalian bagus sekali!"

"Bu Longueville!"Sahut Kirche."Apa-apaan ini?"

Louise menatap Bu Longueville, terlalu terkejut untuk mengatakan apapun.

"Yang mengontrol si golem selama ini adalah aku."

"Apa? berarti...kau..."

Bu Longueville melepaskan kacamatanya, ekspresinya yang lembut berubah menjadi penuh hawa membunuh.

"Ya, aku Fouquet si Tanah Ambruk. Tongkat kehancuran benar-benar kuat; ia bisa mengalahkan golemku dalam satu serangan!"

Fouquet memegang tongkat di bahunya persis seperti saito tadi.

tabitha mengayunkan tongkatnya dan mulai membacakan.

"Semuanya jangan bergerak! Aku punya Tongkat Kehancuran mengarah pada kalian. Jatuhkan tongkat, sekarang!"

Mereka tak punya pilihan lain selain menurutinya. Tanpa tongkat mereka, mereka tak bisa sihir apapun.

"Pak Familiar nan lincah, jatuhkan pedangmu patahmu juga. Kau ancaman bagiku bila kau memegang senjata."

Saito menuruti perintahnya dan menjatuhkan pedangnya.

"Mengapa?" tanya Louise marah.

"Hmm...Sebaiknya aku jelaskan saja ya agar kalian mati dalam kedamaian." kata Fouquet dengan senyum iblis di wajahnya.

"Aku dapatkan Tongkat Kehancuran, tapi aku tak tahu cara menggunakannya."

"Cara menggunakannya?"

"Ya. Tak peduli aku mengayunkannya atau memantrainya, tiada reaksi sama sekali. itu membuatku frustasi. Kalau aku tak tahu cara menggunakannya, ia hanya akan jadi hiasan saja, kan?

Louise ingin berlari menuju Fouquet, tapi dihentikan Saito.

"Saito!"

"Biar dia selesaikan ini."

"wow, perhatian sekali nampaknya, kau, tuan Familiar. Aku lanjutkan. Karena aku tak tahu cara menggunakannya, cara satu-satunya adalah membiarkan orang lain menunjukkan caranya."

"Makanya kau bawa kami kesini."

"Jika murid dari akademi, siapa tahu ada yang bakalan bisa menggunakannya."

"Jika tiada diantara kami yang tahu bagaimana cara menggunakannya, apa yang akan kau lakukan?"

"Kalau itu yang terjadi, kalian semua bakal kuremukkan dengan golemku, Setelah itu aku akan membawa kelompok siswa berikutnya kesini. Tapi aku ucapkan terima kasih pada kalian, karena aku akhirnya tahu cara menggunakan Tongkat Kehancuran."

Fouquet tersenyum dan berkata,"Meski waktu kita bersama pendek, aku benar-benar senang. Selamat tinggal."

Kirche merasa hilang harapan, dan menutup matanya.

Tabitha dan Louise juga.

Tapi saito tidak.

"Kau benar-benar seorang pemberani."

"Yah, bukan keberanian sih, sebetulnya." sahut Saito.

Fouquet menekean pelatuknya seperti yang dilakukan Saito yadi.

Tapi sihir yang terjadi tadi tak terulang.

"Apa!?" Fouquet menekan pelatuknya lagi.

"Ia peluru r=tunggal; Ia tak bisa menembak lagi."

"Apa yang kau maksud dengan satu tembakan?"

"Bahkan jika aku menjelaskan, kau takkan mampu mengerti. Ini bukanlah tongkat sihir dari duniamu."

"Apa kau bilang?" Fouquet menjatuhkan Tongkat Kehancuran dan mengeluarkan tongkatnya sendiri.

Saito bergerak secepat kilat, mengirim pukulan pada perut Fouquet dengan gagang pedangnya.

"Ini sebuah senjata dari duniaku. Hmm...tepatnya peluncur roket M72.

Fouquet jatuh ke tanah. saito kemudian mengambil Tongkat Kehancuran.

"Saito?" Louise dan dua yang lainnya menatap saito.

Saito menjawab,"Kita telah menangkap Fouquet dan memperoleh Tongkat Kehancuran kembali."

Louise, Kirche dan tabitha saling memandang, kemudian berlari menuju saito.

Saito, dengan perasaan yang bercampur aduk, memeluk mereka bertiga semua.


  • * *

Didalam Kantor Kepsek, Kepsek Osman mendengarkan cerita tim tentang apa yang terjadi.

"Hmm...jadi Bu Longueville adalah Fouquet si Tanah Ambruk...karena dia cantik, aku tak berpikir lagi ketika merekrutnya sebagai sekretarisku."

"Bagaimana kau merekrutnya?" tanya Pak Colbert yang juga hadir.

"Di Tavern. Aku pelanggan dan dia pelayan disitu. Saat aku pelan-pelan mengelusnya dari tangan sampai ke pantatnya..."

"lalu apa yang terjadi?" tanya Pak Colbert lagi.

Osman sang Kepsek mengaku sambil malu-malu,"Karena dia tak marah sama sekali atas apa yang kulakukan, aku menanyakannya apakah dia inin menjadi sekretarisku atau tidak."

"Mengapa?" tanya Pak Colbert yang terus mendesak.

"Sudahlah!" teriak Osman sang kepsek dengan sikap yang tak patut untuk seorang pak tua sepertinya.

Osman mulai berdehem. Dan berkata sambil memelas,"dan dia bisa sihir juga."

"Ya. sihir yang bisa membunuh."gumam Pak Colbert pada dirinya sendiri.

Osman sang kepsek berdehem lagi dan berkata pada Pak Colbert dengan mimik serius,"Coba pikir, alasan Fouquet membiarkanku menyentuhnya, menyajikan anggur dengan riangnya, dan pujian bahwa aku tampan di tavern hanyalah bagian dari rencananya untuk menyusup ke dalam akademi. Semua pujian itu kemungkinan besar hanyalah dusta...."

Mendengar ini, Pak Colbert teringat saat dia juga dimanfaatkan, saat dia mengungkapkan kelemahan dinding gudang padanya.

Pak Colbert berjanji bakal menutup rahasia hingga berkalang tanah.

"Ya, wanita cantik merupakan penyihir yang mematikan."

"Aku tak bisa mebantah, Colbert."

Saito, Louise, Kirche dan Tabitha menatap kosong pada keduanya.

Menyadari para murid menatap dingin pada mereka, Osman yang malu menyegarkan tenggorokannya dan kembali bersikap serius.

"Tugas telah dilaksanakan dengan sangat baik oleh kalian, kalian telah mengembalikan Tongkat Kehancuran dan menangkap Fouquet."

Tiga orang disamping Saito menerima pujian itu dengan bangga.

"Fouquet akan diserahkan pada penjaga kota, dan Tongkat Kehancuran akan dikembalikan pada gudang harta. terakhir, kasus ini ditutup."

Sambil mengelus perlahan kepala ketiganya, Osman berkata,: Aku telah meminta Imperial Court untuk memberikan gelar Chevalier, Aku yakin kiya seharusnya sudah dapat beritanya. Dan karena Tabitha sudah bergelar chevalier, aku telah meminta dia diberikan medallion Elven."

Wajah ketiganya cerah begitu mendengar berita ini.

"Benarkah?"kata Kirche yang tak bisa menahan perasaannya.

"Ya. Kalian telah melakukan lebih dari cukup agar layak dianugrahi gelar ini, ya kan?"

Louise memandangi Saito yang tak tersebut sejak mereka memasuki ruangan kantor.

"Kepala sekolah, pak Osman, Saito tak dapet apa-apa?"

"Ya, spertinya begitu. Karena dia bukanlah ningrat..."

Saito menyahut,"Aku tak perlu apa-apa."

Osman sang kepsek dengan lembut bertepuk tangan dan berkata,"Aku hampir lupa, Pesta Frigg malam ini akan diadakan sesuai tencana arena kita telah mendapatkan kembali Tongkat Kehancuran.

Wajah Kirche menyala."Benar itu. Ayo lupakan Fouquetdan berdansa sepanjang malam!"

"Kalian bertiga aan menjadi bintang utama pesta. Jadi bersiaplah dan segera berdandan!"

Ketiganya membungkuk, dan pergi lewat pintu.

Louise berhenti dan menoleh pada Saito.

"Kau duluan." Kata Saito pada Louise.

Meski Louise masih khawatir, dia mengangguk dan meninggalkan ruangan.

Sekarang, Osman menghadapi Saito dan berkata,"Punya sesuatu untuk ditanyakan?"

Saito mengangguk.

"Mohon bertanya. Aku akan mencoba menjawabnya sebisa mungkin. Meski aku tak bisa memintakan gelar untukmu, ini adalah sesuatu yang paling tidak bisa kulakukan untuk menunjukkan rasa terima kasihku."

Setelah itu, Pak Colbert segera diminta Osman untuk meninggalkan ruangan. Pak Colbert, yang menunggu-nunggu Saito berbicara, menunjukkan rasa tak senang saat dia meninggalkan ruangan.


Setelah Pak Colbert pergi, Saito mulai berbicara,"Tongkat Kehancuran itu, asalanya dari duniaku."

Mata Osman terbelabak."Dari duniamu?"

"Aku bukan dari dunia ini."

"Benarkah?"

"Ya,. AKu terkirim kesini karena disummon Louise."

"Oooh.Jika begitu..." Osman menyipitkan matanya.

"Tongkat Kehancuran adalah senjata dari duniaku. Siapa yang membawanya ke dunia ini?"

Osman mendesah dan berkata,"Orang yang memberiku Tongkat Kehancuran adalah penyelamatku."

"Dimana dia sekarang? Orang itu pasti berasal dari dunia yang sama denganku."

"Dia mati. Kejadiannya 30 tahun yang lalu..."

"Apa kau bilang?"

"30 tahun lalu, saat aku mengembara dalam hutan, naga berkepala dua menyerangku. Orang yang menyelamatku adalah pemilik Tongkat Kehancuran ini. Dia gunakan Tongkat Kehancuran miliknya yang satu lagi untuk membunuh si naga berkepala dua, setelah itu dia ambruk ke tanah. Dia sudah terluka parah saat itu. Aku mengirimnya ke akademi dan merawat luka-lukanya, tapi, tak malang tak bisa ditolak..."

"Dia meninggal?'

Osman sang kepala sekolah mengangguk.

"Aku kubur Tongkat Kehancuran yang digunakannya untuk menyelamatkanku bersamanya, yang satunya lagi aku namakan Tongkat Kehancuran dan kusimpan didalam gudang sebagai pengingat akan penyelamatku..."

Osman memandang jauh ke depan dan berkata,"Selama dia di tempat tidur hingga hari kematiannya, dia terus mengatakan secara berulang-ulang'Dimana ini? Aku ingin kembali ke duniaku.' Aku pikir dia pasti berasal dari dunia yang sama denganmu."

"Lalu siapa yang membawanya ke dunia ini?"

"Aku tak tahu. Sampai akhir, aku tetap tahu bagaimana dia bisa disini."

"Sial! Pas aku kira aku punya petunjuk." kutuk Saito. Petunjuk itu mengarahkannya pada jalan buntu. Penyelamat Osman kemungkinan besar seorang Prajurit dari negara itu. Tapi bagaimana dia ke dunia ini? Meski Saito sangat penasaran, tiada jalan lagi untuk mengetahui lebih lanjut.

Osman memegang tangan kiri Saito,"Tanda di tanganmu..."

'Oh ya. Aku ingin menanyakan hal ini juga. Jika mereka bersinar, Aku bisa menguasai penggunaan senjata apapun. Tidak hanya pedang, bahkan senjata dari duniaku juga..."

Osman menghela napas sesaat dan emngatakan,"...Itu sudah kuketahui. Itu adalah tanda dari Gandalfr, sang familiar legendaris."

"Tanda dari familiar legendaris?"

"Ya. Gandalfr merupakan familiar legendaris yang bisa gunakan senjata apapun sesuai keinginannya. Sepertnya inilah alasan mengapa kau bisa gunakan Tongkat kehancuran."

Saito kebingungan"...terus, mengapa aku si familiar legendaris?"

"Aku tak tahu." sahut Osman cepat.

"Aku mita maaf. Tapi ada kemungkinan bahwa tanda Gandalfr itu berhubungan dengan dikirimnya kau ke dunia ini."

"Haa...",desah Saito.

Saito mengira dia bisa dapatkan jawaban yang diinginkannya dari Kepala sekolah, tapi sepertinya dia juga tak tahu terlalu banyak...

"Aku minta maaf karena tak bisa memberikan jalan keluar. Aku akan selalu berada di sisimu, Gandalfr!" Osman memeluk saito."Aku mesti berterima kasih padamu sekali lagi untuk tindakanmu membawa kembali benda milik penyelamatku."

"Itu bukanlah apa-apa..."kata saito yang kelelahan.

"Aku mencoba mencari tahu bagaimana kau sampai di dunia ini untukmu, tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi aku tak bisa menemukan apa-apa, mohon jangan putus asa. Kau akan terbiasa disni seiring perjalanan waktu, Mungkin setelah itu, kau bisa mendapatkan seorang istri disini juga..."

Saito mendesah lagi. Petunjuk untuk kembali ke dunia aslinya terlepas dari genggamannya begitu saja.


  • * *

Di atas Aula makan Alviss, ada aula yang besar. Disanalah pesta digelar, saito bersender pada pegangan balkon dan menonton resepsi yang mewah tersebut.

Para murid dan guru yang berpakaian sangat mewah berkumpul disekeliling meja yang terisi makanan eksotis dan mengobrol diantara sesamanya. Saito kesini lewat tangga yang mengarah ke balkon. Melihat mereka, Saito merasa dia tak pantas sama sekali untuk masuk dan karenanya, memisah.

Di samping Saito, ada sejumlah makanan dan sebotol anggur yang dibawakan Siesta untuknya tadi. Saito menuang segelas anggur dan menenggaknya.

"Eh, bukannya kau sudah kebanyakan?" kata Derflinger yang bersandar di pembatas balkon dengan nada khawatir. Karena pedang yang diberikan Kirche patah saat pertarungan, saito membawa Derflinger untuk jaga-jaga. Seperti biasa, lidahnya tajam, tapi kepribadiannya yang selalu gembira dan easygoing membuatnya berharga sebagai teman minum.

"Berisik! Kukira aku sudah temukan jalan pulang, tapi pada akhirnya itu hanya khayalan...tak bisakah aku tenggelamkan kesedihanku ini?"

Tepat sebelum pesta, Kirche, yang berpakaian sangat indah dalam gaun malamnya menemani Saito, Tapi begitu pesta dimulai, dia tak lenyap tak terlihat lagi.

Saito tak punya pilihan lain selain Derflinger sebagai teman untuk menguras kebosanan.

Di tengah-tengah lantai dansa, Kirche dikelilingi sejumlah lelaki. Mereka berbicara dan tertawa. Meski Kirche berjanji untuk berdansa dengannya, akan sangat lama hingga gilirannya tiba.

Tabitha yang memakai gaun hitam sibuk melahap makanan di meja.

Sepertinya semuanya menikmati dansa sepenuhnya...

Pintu ke aula besar terbuka dan Louise muncul.

Para penjaga di pintu memberitahu semuanya tentang kedatangan Louise."Putri Duke Vallière, Louise Françoise Le Blanc de La Vallière telah tiba!" saito menahan napas. Louise mengenakan gaun malam putih dengan rambut blond pink panjangnya terikat dengan gaya poni. Tangannya ditutupi dengan sarung tangan putih bersih yang memancarkan keangguannya. wajah petitnya, bersama-sama dengan gaun malam belahan rendahmembuatnya berkilau bagai permata.

Setelah jelas bahwa sang tamu telah tiba, para musisi melai memainkan musik yang membuaitelinga. Semua yag mengelilingi Louise adalah pria yang terjerat kecantikan Louise dan memintanya untuk berdansa. Sebelumnya, tiada yang menyadari kecantikan Louise dan hanya mengetahuinya sebagai "Si Zero louise". Sekarang, mereka yang berpikir begitu mencoba memenangkan hatinya.

Para ningrat mulai berdansa dengan luwesnya di lantai dansa. Louise menolak seluruh udangan berdansa, lalu saat meliaht Saito di Balkon, dia segera menuju kesana. Louise berdiri di depan Saito yang agak mabuk dan berkacak pinggang,"Sepertinya kau asyik dengan dirimu sendiri"kataya.

"Tidak juga..." Saito membuang muka dari Louise yang tampak berkilau, dan berpikir bahwa dia beruntung menenggak sejumlah anggur, sehingga Louise takkan menyadari wajahnya bersemu merah.

Derflinger menatapi Louise dan berkata,"Haha. Orang itu tergantung pakaiannya ya?!"

"Bukan urusanmu." Louise menatap si pedang dan menyilangkan lengannya.

"Kau tak berdansa?" kata Saito sambil menghindari mata Louise.

"Aku tak punya teman berdansa."jawab Louise

"Bukannya tadi banyak yang memintamu berdansa bersama?" tanya Saito.

Louise tak menjawab dan mengukurkan tangannya.

"Huh?"

"Meski kau hanyalah seorang familiar, aku bisa membuat perkecualian." kata Louise yang bersemu merah sambil menghindari tatapan Saito.

"Maksudmu'Bisakah aku berdansa denganmu?'?" ucap Saito yang juga mencoba menghindari tatapan Louise.

Setelah hening sejenak, Louise mendesah.

"Hanya saat ini!" katanya

Louise lalu memegang ujung gaunya dan memberikan penghormatan.

"Maukah kau berdansa denganku, tuan?"

Tindakan ini membuat Louise yang berkilau terlihat makin cantik dan menarik dari sebelumnya.

Saito sambil gemetaran menangkap tangan Louise dan bersama-sama menuju lantai dansa.

"Aku tak pernah berdansa sebelumnya." kata saito

"Ikuti saja iramaku," kata Louise, yang kemudian dengan lembut memegang tangan Saito. Saito meniru tindakan Louise dan mengikuti iramanya. Louise tampaknya tak ambil pusing dengan gerak Saito yang kaku dan fokus pada dansa."Saito, sekarang aku mempercayaimu," katanya.

"Apa?"

"...sebelumnya kau berkata kau dari dunia lain," jawab Louise sambil tetap berdansa denganluwesnya.

"Huh? Bukannya kau sudah mempercayainya sebelumnya?"

"Tadinya aku mengira itu isapan jempol...tapi Tongkat Kehancuran...Itu senjata duniamu, kan? saat aku melihat itu, aku hanya bisa percaya," Louise merendahkan kepalanya dan bertanya," Apa kau ingin kembali?"

"Ya. aku ingin kembali, tapi belum ada jalan untuk itu, jadi aku harus terbiasa dengan hidup disini untuk sementara."

"Kau benar..." gumam Louise pada dirinya sendiri kemudian melanjutkan dansanya.

Setelah itu, Wajah Louise masih saja bersemu merah dan dia masih tak berani menatap Saito."Terima kasih" ucapnya tiba-tiba

Mendengar itu, Saito bingung. Mengapa dia bersikap sagat lucu hari ini?

"Yah...bukannya kau menyelamatkanku saat hampir diremukkan golem Fouquet?" jawab Louise.

Para musisi memainkan nada yang lebih cepat. Pelan-pelan, Saito bersemangat kembali. Suatu hari nanti...Aku akan kembali ke rumah...tapi disini juga tak terlalu buruk.

Louise sangat cantik hari ini, aku seharusnya puas.

"Terima kasih kembali. Itu yang seharusnya kulakukan."

"Mengapa?"

"Karena aku familiarmu."

Louise tersenyum.

Derflinger yang masih bersandar pada balkon menonton keduanya,"Tak bisa dipercaya!" katanya pada dirinya sendiri.

Bulan kembar di langit menyinari lantai dansa, dan bersama cahaya lilin, menciptakan suasana romantis di lantai dansa.

"Teman! kau mengagumkan!"

Sambil melihat rekannya berdansa dengan tuannya,"Familiar berdansa dengan tuannya? Ini pertama kalinya kulihat ini terjadi!"




Return to Main Page