Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 1 Kebetulan

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Jika sebuah kebetulan terjadi berkali-kali, apakah hal itu akan menjadi sebuah kesengajaan?

Sebagai contohnya, anggaplah kamu berjalan di kota dan bertemu dengan seseorang yang kamu kenal. Kamu belum merencanakan apapun sebelumnya, tidak pula dia satu tujuan atau tahu kemana kamu akan pergi.

Pada kesempatan itu, kamu mungkin menganggapnya sebagai sebuah kebetulan. Kedua kali kamu mungkin menganggapnya sebagai kebetulan yang lucu, dan ketiga kali, yah, mungkin kamu akan terkejut dengan kebetulan yang berturut-turut itu.

Akan tetapi, kalau jumlah pertemuan menjadi terlalu banyak, kamu mungkin mulai berfikir kalau orang ini mengikutimu.

Tapi bertemu dengan seseorang yang tidak satu tujuan ataupun tahu kemana tujuanmu tanpa perencanaan apapun sebelumnya adalah dan akan tetap menjadi murni kebetulan tidak peduli berapa kali kamu bertemu dengannya.

Jika kamu bertemu seseorang yang tahu kemana kamu akan pergi dan dia memang mengikutimu, lalu itu bukanlah kebetulan.

Dan ini membawaku kembali ke pertanyaan semula:

Jika sebuah kebetulan terjadi berkali-kali, apakah hal itu akan menjadi sebuah kesengajaan?

Ini adalah jawabanku:

Bagaimana aku melihatnya, sebuah kebetulan tidak akan menjadi kesengajaan tidak peduli berapa kali hal itu terjadi.

Kebetulan tetaplah kebetulan bahkan jika kebetulan itu terjadi berulang-ulang, dan kesengajaan tetaplah kesengajaan meskipun kesengajaan itu hanya terjadi sekali.

Kebetulan tidak akan pernah menjadi kesengajaan dan kesengajaan tidak akan pernah menjadi kebetulan.

Kebetulan hanyalah kebetulan, kesengajaan hanyalah kesengajaan.

“Terus kenapa?” Kamu mungkin bertanya, dan sebenarnya kamu benar.

Tapi ada satu hal yang bisa kukatakan:

Kita bertemu tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah kebetulan.



Kalau aku menyebutkan sebuah kebetulan sambil mengayunkan bandulku, hal itu menjadi kenyataan.

Secara kebetulan, aku memungut tiket lotre dan menang.”

Pendulum itu berdenting.

Aku menemukan sebuah tiket lotre secara kebetulan dan menang. Meskipun itu bukanlah hadiah utama, aku tidak memiliki masalah keuangan lagi.

Secara kebetulan, delapan puluh persen jawabanku di tes masuk benar.”

Pendulum itu berdenting.

Aku dengan mudah lolos tes masuk lembaran-membulatkan untuk SMP meskipun aku hampir tidak belajar sama sekali.

Secara kebetulan, aku mengetahui rahasia sekolahku.”

Pendulum itu berdenting.

Tepat setelah masuk SMP, aku tanpa segaja menemukan daftar catatan semua murid yang menyogok untuk dapat masuk. Saat aku memberitahukan penemuanku itu pada pimpinan sekolah, aku dijanjikan perlakuan khusus sebagai ganti untuk tetap diam. Sejak saat itu, aku selalu lolos tanpa dihukum meski saat melanggar peraturan, dan aku tidak harus mengulang tes apapun saat mendapat nilai jelek.

Berjalan seperti ini, aku mendapatkan berbagai hal karena kebetulan.

Tapi ada batas pada apa yang bisa kamu dapatkan dengan kebetulan.

Tidak mungkin kamu bisa mendapatkan segalanya .

Aku tidak bisa secara kebetulan mendapatkan hati gadis yang kebetulan satu kelas denganku.

Aku tidak bisa secara kebetulan mendapatkan hati gadis yang kebetulan duduk di sampingku.

“Aku tidak bisa secara kebetulan mendapatkan hati gadis yang kebetulan ada di komite sekolah yang sama denganku.

Aku tidak bisa mendapatkan hal yang paling aku inginkan secara kebetulan.


---Aku tidak bisa mendapatkan hati siapapun.

“Aku ingin kita tetap berteman.”

“Aku tidak melihatmu seperti itu.”

Dengan kata-kata semacam itu perasaanku berulangkali ditolak oleh mereka yang kutembak. Alasan mereka tidak pernah kongkrit, tapi selalu ada rasa jijik di mata mereka.

Dulu saat aku masih di sekolah dasar, aku tidak takut apapun dan tidak menutupi perasaanku. Saat aku menyadari apa yang akan dibawa oleh perasaanku ini, aku menemukan diriku sendirian.

Ada saat dimana aku berfikir mungkin masalahnya adalah penampilanku, kepribadianku atau hal yang lain. Tapi ada banyak cowok yang berhasil menaklukan hati gadis-gadis, tidak peduli seberapa buruk penampilan mereka atau seberapa buruk kepribadian mereka.

Baik nilai yang di dalam maupun di luar, tidak jarang kita melihat seseorang dan heran bagaimana orang semacam itu bisa berpacaran dengan orang itu.

(Pada akhirnya, adalah aku yang salah. Aku berbeda dari lahir.)

Dengan pikiran ini, aku sudah hampir menyerah.

Di sekolah menengah aku menjaga untuk tidak membuat kesalahan yang sama dan menahan perasaanku yang sesungguhnya. Aku juga mengubah bagaimana aku bicara, dan di dalam kesuraman, aku melewati waktu tanpa menyatakan perasaanku pada siapapun.

Tapi pada akhirnya, aku tidak tahan sendirian. Aku tidak bisa menyerah semudah itu.

Jadi aku mulai berfikir:

Bagaimana aku bisa mendapatkan hati seseorang?

Bagaimana aku bisa mendapatkan hati seseorang secara kebetulan?

Dan kemudian aku memohon, aku memohon dengan sangat.

Untuk bertemu dengan seseorang dengan pikiran yang sama secara kebetulan.

Segera setelah itu, aku bertemu secara kebetulan dengan seorang gadis bernama Miki Kano.

Dia sejenis denganku. Dia mencari hal yang sama denganku. Dia adalah satu dari sedikit orang sejiwa yang kumiliki di antara sejumlah besar orang di dunia.

Kita tertarik satu sama lain dan kemudian bersama.

Ini dan hanya ini saja yang pasti.

Akhirnya aku berhasil mendapatkan apa yang paling aku inginkan—atau itu yang aku pikirkan,

Tapi waktu berlalu dan ikatan kami terputus. Olehnya.

Aku merasa dikhianati. Tidak ada rasa iri ataupun perasaan buruk lain semacamnya.

Sebuah perasaan yang lebih murni dan indah karena dikhianatinya.

Dan di hari dia menghianatiku, dia jatuh di jalur kereta diperjalanan pulang dan ditabrak sebuah keretaa——secara kebetulan.’’


Sampai hari itu, aku sudah menciptakan kebetulan tanpa kehilangan rasionalitas.

Sampai hari itu, aku sudah menjaga jarak yang sehat dengan kebetulan.

Sampai hari itu, aku hanya menggunakan kebetulan untuk membuat hidupku sedikit lebih mudah.

Tapi hanya sampai hari itu.

Hari itu benar-benar membuat garis pemisah dalam kehidupanku.

Aku berubah sejak hari itu.

Sejak hari dimana aku menyebabkan sebuah kecelakaan maut——


“Apa kalian memiliki semacam jimat keberuntungan?”

“Jimat keberuntungan?”

“Ya, seorang teman baikku baru saja mengalami kecelakaan... jadi aku berfikir memberinya jimat keberuntungan.”

“Aku mengerti. Bagaimana dengan benda ini?”

“Ini?”

“Ya. Ini adalah boneka yang bisa membuatmu memindahkan nasib burukmu pada orang lain. Masukkan sehelai rambut seseorang pada boneka ini dan jika temanmu mati, pemilik helai rambut itu akan mati menggantikannya.”

“Um... apa kamu memiliki benda yang lebih normal...?”

“Baiklah. Bagaimana kalau yang ini?”

“Ini?”

“Ya. Ini adalah bandul yang membuatmu dapat menggunakan keberuntunganmu di muka. Temanmu mungkin akan dapat menghindari kematian. Sebagai gantinya, jika keberuntungannya habis dipakai, sisa hidupnya akan berlalu tanpa ada kejadian baik apapun.”

“Um... apa kamu memiliki sesuatu yang lebih normal...?”

“Baiklah. Bagaimana dengan yang ini?”

“Ini?”

“Ya. Ini adalah cincin yang membalikkan masa depan. Kalau temanmu seharusnya mati, dia akan bertahan hidup. Tapi sebaliknya, jika dia seharusnya hidup, dia akan mati.”

“Um... apa kamu memiliki sesuatu yang lebih normal...?”

“Baiklah. Kalau begitu...” dia memulai dan menunjuk keluar, “Di sana ada kuil. Aku menyarankanmu untuk meminta jimat dari sana.”


Sesudah menerima sebuah batu seharga 100 yen sebagai hadiah selamat datang, pelanggan yang sepenuhnya disingkirkan, seorang gadis SMP dari penampilannya, meninggalkan toko.

Sesudah menunggu kepergiannya, aku memasuki toko yang cukup suram itu. Meski bukan sebagai pelanggan.

Toko tua dan kecil ini, “Toko Barang Antik Tsukumodo (PALSU)”, adalah tempatku bekerja paruh waktu.

“Tokiya,” bisik Saki Maino, penjaga toko yang baru saja menyarankan produk-produk, saat menyadari kedatanganku.

Meskipun dia memiliki rambut pucat yang mencapai kurang lebih setengah punggungnya dan bersinar perak saat terkena cahaya, juga kulit yang putih bersih, dia berpakaian serba hitam, mengenakan baju hitam dengan jumbai-jumbai, dan sebuah rok hitam panjang dan sepasang sepatu boot hitam. Dia sedikit pendek dan sangat ramping sehingga mungkin akan patah kalau dipeluk. Bukan berarti aku bermaksud memeluknya, tentu saja.

Tsukimodou V1 P019.jpg

Dia berumur enam belas tahun dan karenanya satu tahun lebih muda dariku. Meski dia terlihat sesuai umurnya, sikapnya terlihat sedikit lebih dewasa. Sebuah senyuman indah seperti bunga yang mekar, kesan yang diberikan arti namanya, sama sekali tidak menghiasi wajahnya, daripada itu dia sepenuhnya tanpa ekpresi seolah menolak ucapan “nomen est omen”[1].

“Kamu sama sekali tidak ingin menjual apapun, benar kan?”

“Kenapa kamu berfikir begitu? Kamu seharusnya sudah melihat caraku menjual tadi.”

“Aku bertanya ‘’karena’’ aku melihatnya!”

“Jadi semuanya sudah jelas kan? Menggunakan pengetahuan yang luas mengenai barang yang dijual untuk memilih barang yang paling sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan dengan profesional mengajukannya pada pelanggan. Dasar dari pelayanan pelanggan.”

“Tapi kamu belum menjual apapun, benar?”

“Karena sayangnya kita tidak memiliki benda yang dicari pelanggan. Bagaimanapun juga itu bukan kesalahanku.”

“Dan pada akhirnya kamu bahkan menyuruhnya untuk mengunjungi kuil.”

“Benda yang diinginkan tidak ada di sini, jadi aku menyarankan pilihan lain yang cocok dengan kebutuhan pelanggan, meskipun aku harus mengarahkannya pada pesaing. Aku melakukannya karena pelanggan adalah prioritas utama. Aku bahkan memberikan batu kekuatan dengan gratis. Jadi ya, aku tidak bisa menjual apapun kali ini, tapi pelanggan yang senang seperti itu pasti akan datang lagi.”

“Kamu tidak akan melihat gadis itu lagi, kamu tahu? Dia jelas-jelas ketakutan.”

“Ketakutan? Kenapa begitu?”

“Karena kamu membuatnya seolah semua yang kita jual benda terkutuk!”

“Tapi mereka palsu, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Kamu seharusnya mengatakan hal ini pada’’nya’’!”

“...Oh cerobohnya aku,” Saki berbisik dengan muram dalam keterkejutannya sambil meletakkan tangannya di meja kasir,”Akan menjadi penipuan kalau dia membeli sesuatu mempercayai kalau itu asli. Aku membuat kesalahan lagi.”

(Demi Tuhan dengarkan aku. Dan lagipula kamu menganggap hal ‘’itu’’ sebagai masalah? Sebelum mengkhawatirkan tentang keaslian, kamu seharusnya memikirkan tentang apakah itu ide yang bagus menawarkan benda terkutuk pada pelanggan yang ingin membeli jimat keberuntungan... Dari awal, jangan memulai dengan anggapan kalau temannya akan mati!”)

Sambil mengatakan beberapa kritik, yang tidak mungkin kukatakan padanya, dalam pikiranku, aku menekan tombol di register untuk mencetak penjualan hari ini. Kertas slipnya hanya keluar beberapa milimeter.

Pendeknya slip itu adalah bukti kalau kita tidak menjual apapun.

Melihat slip register kas menunjukkan kalau penjualan kami hari ini turun menjadi nol sempurna.

Yah, tidak ada yang perlu diributkan sih.

Toko itu berada di sisi jalan yang gelap dan sepi, dan beberapa pelanggan yang datang dari waktu ke waktu harus berhadapan dengan “pelayanan pelanggan” Saki, tapi masalah terbesarnya adalah barang-barang yang kami jual.

Karena namanya adalah “Toko Barang Antik Tsukumodo”, rak-raknya memang berisi barang-barang seperti gelas jepang kuno, tembikar dari barat, atau pipa radio dan lampu saku.

Tapi itu hanya sebagian kecil.

Sebagian besar tempat itu terisi dengan benda-benda seperti boneka, bandul, cincin, dan berbagai macam benda lain yang tidak ada hubungannya dengan antik yang ada pada nama toko ini bagaimanapun juga.

Tentu saja mereka tidak memiliki kekuatan spesial seperti kesan dari penjelasan Saki. Mereka hanya barang palsu dari benda yang muncul di dongeng dan rumor.

Lebih tepatnya, benda-benda di rak-rak adalah barang palsu yang dibeli oleh pemilik toko ini, mempercayai kalau mereka asli, yang sekarang dijual kembali dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pembelian.

Bagian “PALSU” dari nama toko ini sepertinya berasal dari sana.

Kebetulan, Toko Barang Antik Tsukumodo rupanya memiliki cabang. Bagian “PALSU” mungkin ditambahkan untuk membedakan mereka.

“Ngomong-ngomong, dimana Towako-san?” Aku bertanya karena tidak melihat pemilik toko, Towako Setsutsu, dimanapun.

“Melakukan pembelian. Dia bilang dia tidak akan pulang selama seminggu.”

“Dan aku bertaruh kita akan melihat barang palsu yang lain.”

Kegemaran Tawako-san sudah jelas, melihat bagaimana dia pergi mencari padanan-yang asli dari barang-barang yang ada di sini. Yah, meskipun dia hampir tidak pernah mendapatkan yang asli. Aku masih berfikir apakah aku harusnya senang karena dia menemukan sebanyak yang bisa ditemukan orang buta, atau tidak.

“Tokiya, cepatlah dan segera berganti pakaian. Aku ingin berganti shift dan pergi belanja untuk makan malam hari ini.”

Tidak seperti aku, Saki tidak hanya bekerja di sini, tapi juga tinggal di sini, jadi dia harus melakukan berbagai pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci dan merapikan selain pekerjaan normalnya di toko.

“Ok,” Aku berkata dan berjalan menuju ruangan di belakang sesudah memindahkan pegangan ditasku. “Ah, aku hampir lupa,” Aku menambahkan saat melewatinya,”Dasar dari melayani pelanggan bukan hanya menunjukkan pengetahuanmu akan barang-barang, kamu tahu?”

“Apa ada yang lain?”

“Senyum!” Aku mengajarinya sambil menekan kedua ujung bibirku ke atas.

“Itu sudah jelas kan?” Saki menjawab tanpa ekspresi.



Aku dulu membenci kebetulan.

Aku menganggap mereka ambigu, tidak jelas, dan tidak pasti.

Aku membenci kebetulan yang dibawa oleh “Tuhan” atau “takdir” atau apapun panggilan mereka—kebetulan yang tidak bisa kau hindari apapun yang kau lakukan, bagaimanapun kuatnya keinginanmu dan bagaimanapun kau berharap.

Tidak, mungkin kau bisa bilang kalau kebetulan yang membenci‘’ku’’ terlebih dahulu.

Lagipula aku dikhianati bahkan sebelum aku lahir—oleh sebuah kebetulan seorang bayi dilahirkan tanpa memiliki pilihan.

Karenanya, aku membenci kebetulan.

Karenanya, aku ‘’jijik’’ pada kebetulan.

Namun demikian...hanya karena sebuah kebetulanlah, aku mendapatkan ‘’benda itu’’.

Dalam perjalanan pulang dari sekolah aku menemukan sebuah dompet secara kebetulan. Hanya ada 5000 yen di sana, tapi jumlah segitu sudah bagus untuk anak SD sepertiku saat itu.

Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk mengembalikannya pada pemiliknya.

Aku sedang terjepit hari itu, jadi ini adalah kesempatan dari langit untuk melepaskan stres. Aku mengambil lima lembar uang 1000-yen, membuang dompet itu dan pergi ke video arcade.


Aku sudah bersenang-senang dan menghamburkan uangku, tapi anehnya aku sedang beruntung hari itu dan masih mempunyai lebih dari 3000 yen di tangan saat aku berfikir untuk pulang.

Aku tidak ingin membawa uang temuanku itu pulang. Kalau orang tuaku mengetahui kalau aku memiliki koin sebanyak ini sebelum mendapatkan uang saku mereka akan menanyaiku.

Makan sesuatu sebelum makan malam diluar pertanyaan. Aku berfikir untuk membeli sesuatu, tapi tidak bisa memutuskan apa.

Saat aku berjalan di jalan belakang setelah meninggalkan game arcade, masih bimbang dengan apa yang harus kulakukan dengan uang itu, sebuah toko menarik perhatianku.

Bangunannya sangat kecil dan tua sampai kupikir kalau toko itu mungkin sudah bangkrut saat pertama melihatnya.

Meskipun begitu, seolah tertarik akan sesuatu aku memasukinya.

Bagian dalamnya terlihat tua seperti yang terlihat dari luar dan di sana tidak ada barang di rak yang terlihat seperti benda aslinya.

Di belakang counter duduk seorang wanita.

Aku tidak ingat bagaimana penampilannya. Yah, ada beberapa kesan samar yang aku ingat. Contohnya, dia terlihat berumur dua puluhan akhir, terlihat lesu dan mengenakan sesuatu seperti gaun hitam panjang. Tapi semua ingatan ini tidak meyakinkan—seolah tertutup kabut. Terutama aku tidak bisa mengingat wajahnya.

Satu-satunya hal yang kuingat dengan jelas adalah dia menatap sebuah bandul yang dipegangnya tinggi-tinggi seolah tidak sadarkan diri.

Setelah beberapa saat dia menyadari keberadaanku dan bertanya,”Apa kamu mencari sesuatu?”

Baru kemudian aku akhirnya meyakinkan diriku kalau kau benar-benar bisa membeli sesuatu di sini.

Setengah tertarik, setengah spontan aku bertanya,”Apa kamu mempunyai sesuatu yang menarik?”

“Aku punya sesuatu yang tidak biasa,” dia menjawab dan menunjukan bandul yang dipegang ditangannya. “Aku barusan berfikir kalau seseorang mungkin akan datang secara kebetulan.”

Itu adalah sebuah bandul sederhana yang terdiri atas sebuah rantai dan sebuah bulatan—tidak terlihat menarik ataupun tidak biasa.

“Apakah ini dimaksudkan sebagai gantungan kunci atau sesuatu?”

“Terserah padamu bagaimana kamu menggunakannya. Tapi bukan seperti itu kamu biasanya menggunakanya kan?”

Aku tidak tahu bagaimana biasanya seseorang menggunakan bandul.

“Kamu menggunakannya seperti ini!” dia berkata sambil memegang bandul kecil itu tinggi-tinggi di ujung rantainya. Bulatannya mulai bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan tempo yang teratur.

(Yah, itulah bagaimana kau menggunakan bandul. Baik.)

“Lalu kamu mengatakan hal ini,” tambah wanita itu dengan senyuman seolah dia membaca pikiranku,”’’Secara kebetulan’’, anak ini menemukan sebuah dompet.”

“?”

(Apa dia tahu kalau aku menemukan dompet?)

Saat aku yakin dia tidak mungkin tahu, nuraniku mendorongku ke belakang—dan membuat kakiku menyentuh sesuatu.

Aku tanpa sadar memandang ke bawah dan menemukan sebuah dompet tergeletak di kakiku.

Saat aku mengambilnya, wanita itu, masih tersenyum, berkata,”Bukankah kamu beruntung menemukan sebuah dompet secara kebetulan?”

Aku pikir aku mendengar dentingan nyaring saat itu.

“Ini adalah sebuah Relik yang bisa menciptakan kebetulan. Namanya adalah Pendolo.”

Relik?’’Pendolo?”

Sebuah ‘relik’ bisa berarti barang antik atau benda seni klasik—aku mengerti hal itu. “Pendolo”, di sisi lain, mungkin adalah “Pendulum” di suatu bahasa lain.

Wanita itu, akan tetapi, menggelengkan kepalanya pelan, menandakan kalau aku salah.

“Aku tidak membicarakan mengenai benda antik atau seni. Apa yang aku maksud adalah alat dengan kemampuan spesial yang diciptakan oleh kekuatan kuno atau penyihir, dan benda yang sudah menyerap dendam pemilikinya atau kekuatan spiritual alami. Benda seperti sebuah batu yang membawa kesialan, sebuah boneka voodoo terkutuk atau cermin rangkap tiga yang menunjukkan bagaimana kamu akan mati. Aku kira kamu sudah mendengar sebagian besar dari mereka, dan pendulum pemanggil-kebetulan ini adalah salah satu darinya. Jadi? Bagaimana menurutmu? Benda ini akan menjadi milikmu dengan sebanyak apapun uang yang kamu bawa.”

Bukannya aku percaya padanya. Aku bahkan ragu kalau dia waras. Tapi ini hanya uang yang kutemukan lagipula, dan aku tidak bisa membawanya pulang. Yang paling utama, aku memasukki toko ini karena aku ingin membeli sesuatu, jadi tidak ada hal yang menghalangiku untuk menghabiskannya.

‘’Bagus juga punya aksesoris untuk tasku’’, itu yang kupikirkan.

“Tapi kenapa kamu mau memberikannya padaku...?”

“Ini bukan keputusanku. Relik itun memilih sendiri pemiliknya. Aku cuma perantara.”

“Itu membuatku lebih penasaran—kenapa aku?”

“Mmm...” dia mengeluh dan, sesaat kemudian, menunjukkan senyuman nakal,”Secara kebetulan, mungkin?”

Aku membayar dengan sisa 3000yen yang kumiliki dan selembar 1000yen yang ada di dompet yang barusan aku pungut, dan mendapatkan Pendolo itu.

Anehnya, aku memiliki perasaan kalau benda itu adalah milikku selama ini.

“Sebuah bandul yang dapat memanggil kebetulan...”

Bukannya aku percaya padanya—anak SD zaman sekarang tidak punya cukup khayalan untuk percaya hal yang tidak masuk akal seperti itu. Walau begitu, aku menemukan diriku meniru apa yang dilakukannya tadi.

Secara kebetulan, aku menemukan sebuah dompet,” Aku berkata dan mau tidak mau menertawakan diriku sendiri.

(Apa yang aku lakukan? Tidak mungkin kau benar-benar bisa membuat kebetulan semaumu. Aku rasa paling bagus aku bisa menggunakanya sebagai aksesoris.)

Aku melangkah menuju pintu depan untuk pulang ke rumah, saat aku tiba-tiba menendang sesuatu.

Sebuah dentingan terdengar di seluruh toko.

“!”

(Tidak mungkin...!)

Meskiun begitu aku perlahan menurunkan pandanganku... dan menemukan sebuah dompet merah.

“Apa yang...”

Aku menoleh pada penjual wanita itu. Dia tersenyum. Dengan tenang. Seolah tidak ada yang terjadi.

Terdorong akan hal ini, aku menyerbu keluar dari toko.

Di saat-saat terakhir, kata-katanya mencapaiku:

“Ingatlah satu hal ini: Pendolo itu hanya bisa memanggil kebetulan. Kalau kamu mencoba memanggil kepastian, kamu akan menciptakan konflik. Terserah padamu bagaimana kamu menggunakannya!”


Tidak bisa melepaskan bandul itu meski menganggapnya seram, aku tetap ragu-ragu dengan apa yang harus kulakukan sampai matahari terbenam.

Pada akhirnya, aku pulang ke rumah tanpa membuangnya dan dimarahi ibuku karena pulang terlambat.

“Kau pikir sekarang jam berapa?!”

(Baru jam tujuh. Belum melewati jam malam, tapi ini masih terlalu awal.)

Aku mengatakan padanya kalimat semacam itu, yang dia jawab,”Aku mengkhawatirkanmu, kau tahu kan? Kau cuma...”

Aku tidak tahan dengan omelannya, jadi, kuabaikan dia, aku mempercepat langkah kakiku di tangga. Dia tidak membiarkan hal ini, tentu saja, dan menggenggam lenganku menghalangi. Aku mencoba melepaskan diri, tapi aku terlalu lemat. Daripada itu, aku berbisik tanpa berfikir:

Secara kebetulan, ibu jatuh dari tangga.”

Aku tidak tahu kenapa aku mengatakannya.

Belumkah aku percaya kalau tidak ada yang akan terjadi?

“Eh? Aku tidak mendengarmu dengan jelas. Apa yang kamu katakan...?”

Saat berikutnya, pegangannya yang erat melemah dan tangannya terlepas.

Sebuah dentingan terdengar.

Dentingan itu, akan tetapi, tenggelam dalam suara yang lebih keras sesuatu terguling ke bawah tangga. Tidak perlu dikatakan lagi ‘’apa’’ yang jatuh. Ibuku.

Hari itu, ibuku mengalami terkilir yang membutuhkan waktu seminggu untuk sembuh.

Di hari berikutnya, aku mengunjungi toko itu sekali lagi.

Untuk komplain karena menerima yang asli daripada yang palsu terdengar seperti lelucon jelek, tapi bandul itu menjadi teralu menakutkan untukku, jadi aku ingin mengembalikannya.

Akan tetapi, toko itu sudah tidak ada di sana.

Tidak, lebih tepatnya, toko itu masih di di sana.

Tapi penjaga toko yang menjual Relik itu padaku tidak terihat di manapun. Terlebih lagi, bagian dalam toko terlihat sepenuhnya berbeda dari hari sebelumnya.

Apakah semua itu hanya mimpi? Tapi di tanganku sendiri aku memegang bukti kalau itu bukan mimpi. Bersama kata-katanya:

—Terserah padamu bagaimana kamu menggunakannya!

(Tepat. Asalkan aku tidak menggunakannya di jalan yang salah!)

Aku tidak mengembalikan Relik pemanggil-kebetulan itu. Tapi aku juga tidak membuangnya.

Pada akhirnya, aku gagal menahan diri akan godaan untuk menaklukkan dan memanfaatkan kebetulan, yang dulunya aku benci.

Aku tidak pernah mengunjungi toko itu sejak saat itu. Aku bahkan lupa di mana tempatnya.

(Dan lagipula, apa nama toko itu?)

Suara sirine membangunkanku dari ingatanku akan masa lalu.

Dari titian dimana aku berdiri, dapat dilihat sisa mobil yang rusak karena menabrak tiang listrik dan ceceran darah. Daerah tabrakan dikelilingi oleh mobil polisi dan sebuah ambulan, dan sedikit lebih jauh segerombolan penonton.

Ini adalah kecelakaan mautku yang kedua.

Tapi ini adalah kesalahannya sendiri. Dia seharusnya tidak menjelek-jelekan perasaanku pada Miki.

(Kenapa, berterimakasihlah padaku dia bisa menderita seperti cowok kesayangannya. Dia pasti mengharapkan hal ini untuk terjadi. Lagipula, dia bisa menganggap dirinya beruntung karena dia tidak perlu menyadari kalau dirinya sudah di khianati sampai akhir.

Dia seharusnya benar-benar merasa berterimakasih.)

...Ingatan buruk kembali kedalam pikiranku.

Aku tidak ingin mengingat Miki lagi.

Dia, yang sama denganku.

Dia, yang tidak lagi sama denganku.

Dia, yang tidak dibutuhkan lagi.

Dia, yang tidak ada lagi di sini.

Aku dengan keras menggelengkan kepalaku untuk melupakannya, tapi aku selalu akan terus mengingatnya. Aku merasa kesal dengan diriku karena menjadi begitu lembek.

(Kumohon, seseorang gantikan keberadaannya dihatiku.)

Pada kenyataannya, aku berfikir untuk sendirian untuk sedikit lebih lama, tapi sepetinya aku tidak bisa bertahan dengan itu.

Aku mengeluarkan bandul itu dari sakuku.

Secara kebetulan, aku bertemu dengan seseorang yang...” Aku memulai, tapi kemudian aku berhenti.

(Aku tidak boleh mengandalkan sesuatu yang tidak pasti seperti “pikiran yang sama”. Hal ini sudah pernah gagal sekali. Perasaan bisa berubah. Kau tidak perlu harus memiliki pikiran yang sama.)

Karenanya, aku memohon sesuatu yang tidak bisa tergoyahkan.

Secara kebetulan, aku bertemu sejenisku.”

Sesaat kemudian, seorang gadis menarik perhatianku.

Rambutnya perak, sedangkan mata dan pakaiannya hitam. Dia sedikit menonjol.

(Apakah dia sejenisku yang kutemui secara kebetulan?)

Seolah menjawab pertanyaanku, sebuah dentingan mencapai telingaku.

Tidak ada keraguan lagi. Dia adalah sejenisku yang kucari-cari.

Dia berjalan melewatiku tanpa sedikitpun berniat melihat ke arah tempat kecelakaan. Aku berputar dan mengikutinya.

Saat melakukan hal itu, aku mulai berfikir.

(Bagaimana kami harus bertemu?)

(Lebih dramatik, lebih bagus. Jadi kurasa paling baik kalau menyelamatkannya saat dia hampir kecelakaan. Aku tahu bagaimana efektifnya cara itu.)

Saat dia mencapai sisi akhir jembatan dan menuruni tangga, aku juga melakukan hal yang sama.

Dia dengan santai berjalan di trotoar.

Juga di sisi ini ada penonton, yang melihat ke arah tempat tabrakan di seberang jalan, tapi dia menghiraukan mereka juga. Aku mengikutinya lagi.

Tidak seperti yang lain, kami satu-satunya yang tidak terganggu oleh kecelakaan itu dan terus berjalan.

Sesudah yakin kalau tidak ada penonton di sekitar kami, aku mengeluarkan Pendolo-ku dan berbisik:

Secara kebetulan, dia hampir mengalami kecelakaan.”

Sebuah dentingan terdengar, sesaat sesudahnya, bunyi decitan rem ditambahkan padanya.

Seorang pengemudi, yang rupanya melakukan salah setir, menikung tiba-tiba dan dengan kecepatan tinggi ke arah trotoar.

Tepat di depan mobil—dia.

Karena aku sudah siap, aku bisa bereaksi lebih cepat dari siapapun dan mulai berlari dengan cepat.

(Aku menyelamatkannya saat dia hampir mengalami kecelakaan!)

Itulah apa yang aku bayangkan—tapi ada seseorang yang melakukannya sebelum aku.

Orang itu meraihnya dan segera melompat menjauh, membuatnya bisa menghindari mobil yang lepas kendali itu dengan nyaris.

(Siapa dia? Seharusnya aku yang menyelamatkan gadis itu!)

Saat orang itu memeluknya dengan kedua tangannya, dia menepuk pipi gadis itu untuk membantunya sadar. Saat gadis itu akhirnya tenang, mereka bertukar sepatah dua patah kata. Si pria rupanya terluka, itulah kenapa gadis itu menggenggam tangannya dengan khawatir.

Melihat dari percakapan dan sikap mereka, mereka saling kenal.Si pria ke sana untuk memintanya membeli sesuatu yang dia lupa bilang.

(Kebetulan sialan)

Meski sekarang aku mampu memanggil berbagai macam kebetulan, aku masih tidak bisa membuat diriku menyukainya.

Mereka sepertinya akrab satu sama lain, aku harus mengingatnya. Kemungkinan besar, mereka teman. Atau mungkin lebih, melihat kalau dia barusan memintanya melakukan pembelian.

(Pengganggu. Aku akan menyelesaikannya terlebih dahulu. Yah, itu ide yang bagus.)

Dia menjelaskan padanya apa yang dibutuhkanya dan pergi ke jurusan lain.

Tepat saat aku akan mengejarnya, ponselku mulai bergetar. Nama teman sekelasku muncul di layar.

“Hello? Kabar buruk! Manami barusan kecelakaan!”

(Mm? Itu saja? Itu bukan berita bagiku. Aku sudah lihat, lagipula. Yah, aku tidak cuma melihat, sih.)

Informasi itu belum lama sampai. Aku menduga paramedis di ambulan itu sudah memanggil kontak paling baru di catatan panggilan ponsel korban.

Orang yang ada di ujung telepon mengatakan padaku rumah sakit mana si korban di bawa. Teman-teman sekelas berniat berkumpul di saba. Pada awalnya, aku ingin menolak, tapi lalu aku merasa kalau hal ini akan melukai hubungan sosialku.

Jadi aku tidak punya pilihan selain mengangapnya cukup hari ini dan pergi.

(Yah, aku bisa bertemu dengannya kapan saja—secara kebetulan. Dan yang berikutnya kita pasti akan bertemu dengan cara yang lebih dramatis. Pertemuan yang tidak akan dilupakannya.)

(Untuk itu, aku harus melatih kesabaranku.)


Terpantul di gelas di sebuah rak, yang penuh dengan porselen dan keramik tembikar, terlihat seorang pria muda.

Pria muda itu memiliki rambut yang agak kusut—rupanya dia belum mengeringkannya—dan dia mengenakan kemeja hitam yang belum disetrika dan sebuah celana jins hitam. Sebenarnya, itu aku.

Lebih dari yang lain, mataku, yang terkenal karena terlihat tak bertenaga dan mengantuk, terlihat lebih mengantuk dari biasanya.

Dengan kata lain, di sini terlalu sedikit pekerjaan—seperti biasa.

Pada kenyataannya, tidak ada pelanggan satupun yang datang sejak aku menggantikan Saki. Sejujurnya, aku ragu kalau seorang karyawan bahkan dibutuhkan, meski aku tidak ada dalam posisi untuk mengatakan hal itu.

Namun meski penjualannya buruk, pemiliknya, Towako-san, tidak memecat satupun dari kami.

Dan selama hal berjalan seperti itu, aku tidak bermaksud untuk mengundurkan diri dengan kemauanku sendiri—aku punya alasannya.

Aku masih berhutang[2] pada Towako-san. Sampai aku menyelesaikan hutang itu aku tidak mungkin berhenti.

Meski aku belum pernah bertanya pada Saki alasannya tinggal di sini, aku kira alasannya juga sama untuknya.

Saat ini dia sedang beristirahat di ruang belakang toko.

Sebuah pintu di dinding samping ruangan menghubungkan toko ini ke sebuah tempat tinggal, dimana lantai dasar terdiri atas kamar tamu, sebuah dapur dan kamar mandi. Satu lantai di atasnya, di sana ada kamar Saki dan Towako-san, dan sebuah gudang.

Melewati pintu yang terbuka aku menemukan Saki di ruang tamu, asik membaca buku, judulnya, kebetulan, adalah “Pelayanan Pelanggan Berkharisma membuatnya mudah!”.

Di sampulnya ada seorang wanita, berpenampilan sexy seperti di Shibuya dan lingkungannya, memberikan tanda V, menujukkan punggung tangannya, sambil tersenyum pada kamera. ...Penting untuk meningkatkan diri kita. Biasanya akan berguna.

Karenanya, aku tidak mengatakan apapun dan memandangnya dengan peduli. Bukannya aku tidak bisa bersusah payah membetulkannya!

“Terlalu sedikit yang perlu dilakukan...”

Karena bosan aku dengan hati-hati aku menyentuh bekas luka yang mengering di punggung tanganku.

Karena menyelamatkan Saki dari kecelakaan sehari sebelumnya, tanganku tergores. Dan sebuah bekas luka terbentuk dalam semalam.

Saat aku mempertimbangkan apakah aku harus mengikisnya sekarang atau tidak, dan memutuskan untuk tidak, pintu masuk toko terbuka dan bell yang terpasang di sana berbunyi.

Dua anak SMP, yang mengenakan seraga yang sama dengan gadis yang datang sehari sebelumnya, memasuki toko. Setahuku, seragam itu adalah dari SMP swasta di dekat sini.

Kata-kata Saki terlintas di benakku.

—Ya , aku tidak bisa menjual apapun kali ini, tapi pelanggan yang senang seperti itu pasti akan datang lagi.

(Apa dia benar-benar mengiklankan kita pada teman-temannya atau semacamnya?)

“Gak mungkin.”

Saat aku berfikir seperti itu, salah satu dari pelajar itu menajamkan pandangannya yang menusuk dan menghentak maju ke kasir sambil mengguncangkan rambutnya yang dikuncir dua hingga melonggar.

“Hey, apa kamu ingat gadis yang datang kemarin yang memakai seragam yang sama?”

“Uh? Err, ya. Kami memang meiliki pelanggan semacam itu.”

“Dia kecelakaan,” Dia mengatakannya dengan tiba-tiba, mengejutkanku.

“Saya turut berduka cita,” Aku menjawab tanpa menemukan kata-kata penenang apapun.

“Apa kamu mengatakannya saat tahu salah siap ini?”

“Salah siapa... ?”

“Toko ini, tentu saja!” dia berteriak sambil memukul meja kasir.

Aku sekali lagi terkejut dengan tuduhannya yang tidak terduga, tapi aku tidak bisa terus menerus kebingungan.

“Kamu bilang toko kami bersalah... Aku khawatir aku tidak mengerti apa yang kamu maksud?”

“Dia bilang di telepon kalau toko ini menghinanya dengan hanya menawarkan benda-benda terkutuk yang mengerikan meski dia hanya ingin membeli jimat keberuntungan. Kau bisa percaya itu? Pada akhirnya sebuah batu menakutkan diberikan padanya dan dia diusir ke kuil!”

Aku melihat pada keranjang kecil di meja kasir yang penuh dengan batu-batu 100 yen. Kami menjual batu-batu dengan bentuk-bentuk atau warna yang aneh seharga 100 yen, cuma yang biasa dilakukan toko aksesoris murah. Kalau ingatanku tidak salah, Saki memberinya satu sebagai hadiah selamat datang, tapi rupanya gadis itu berpikir kalau itu adalah sebuah batu terkutuk.

(Cukup adil, kalau kamu melayani pelanggan seperti ‘’itu’’...)

“Minta maaf sekarang karena memberikannya batu terkutuk semacam itu padanya!”

Sejujurnya, aku tidak bisa menahan diri untuk mendesah. Batu terkutuk? Itu omong kosong. Tuduhan salah yang ekstrim.

Aku bisa memahami kalau keterkejutan dari kecelakaan seorang teman bisa membuatnya menyalahkan seseorang, tapi dia benar-benar salah arah. Kalau memang ada yang perlu di salahkan, dia seharunya pergi ke yang menabraknya.

“Dengar, saya ikut berduka untuk teman anda. Sungguh. Tapi sangatlah absurd menyalahkan kecelakaan pada sebuah batu, kau tahu? Lagi pula, barang-barang yang ditawarkan penjaga toko kami tidak benar-benar dikutuk atau semacamnya. Tidak ada hubungan apapun dengan kecelakaan itu. Itu sepenuhnya cuma kebetulan!” aku membalas, tidak lagi memperdulikan nada sopan.

Gadis itu, akan tetapi, menggelengkan kepalanya.

“Aku juga berfikir begitu. Pada awalnya.”

“?”

Gadis itu memukul meja kasir sekali lagi. Di bawah tangan yang ditariknya menjauh, ada sebuah batu lain yang terlihat mirip.

“Seorang temanku yang lain membeli batu ini di sini! Di hari dia membelinya, dia jatuh ke rel dan tertabrak... Kebetulan, kau bilang? Dua orang punya batu semacam itu dan keduanya mengalami kecelakaan! Kau masih menyatakan itu kebetulan?!”

(Ya. Itu cuma kebetulan.)

Sangatlah mudah megatakan hal itu. Tapi membuatnya menerimanya sepertinya sulit. Aku terkena masalah.

“Bagaimanapun, tenang. Kau membuat takut teman kecilmu di sini, juga, lagipula...”

“Apa yang bisa aku lakukan?” tanya Saki, yang berhenti membaca dan datang kemari tanpa kusadari. Dia mungkin mendegar kami.

“Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu merasa nyaman? Silahkan, kamu hanya perlu bilang.”

Aku pikir dia akan tersinggung oleh tuduhan yang salah itu, tapi rupanya, Saki merasa bertanggung jawab dengan caranya sendiri.

“Seperti kataku, minta maaf sekarang!”

“Maafkan aku. Aku tidak bisa meminta maaf untuk hal itu.”

‘’Kamu baru saja melakukannya’’, aku hampir menyahut, tapi aku tidak ingin menjadi seorang penemu kesalahan.

“Tidak ada kekuatan semacam itu di batu-batu ini. Aku sangat menyesal untuk temanmu, tapi aku tidak bisa menyalahkan batu ini dan meminta maaf,” Saki berkata dan mengambil satu dari batu berkekuatan (palsu) di meja kasir. “Jadi aku khawatir aku tidak bisa bilang aku minta maaf, tapi kalau ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membuatmu merasa lebih nyaman, silahkan beritau aku. Apa yang bisa aku lakukan?”

“...Baiklah. Kalau kau membawa batu itu dan tidak ada hal yang terjadi, aku akan mengakui kalau itu hanya kebetulan,” gadis itu berkata.

Aku tidak percaya kalau dia menyerah dengan begitu cepat.

(Apa dia percaya pada kutukan? Terdengar seperti membuang-buang waktu bagiku.)

Saki menerimanya, bagaimanapun, tanpa keraguan.

“Baik. Kita lakukan seperti itu. Tokiya, tolong jaga toko saat aku pergi.”

“Apa kamu yakin?” Aku bertanya sambil khawatir apakah aku benar-benar bisa membiarkannya pergi seperti ini.

Dia dengan tenang berbalik ke arahku,”Ini mudah. Ini adalah bagian dari pelayanan sesudah-penjualan-ku!” dia meyakinkan tanpa semangat dengan ekspresi kosong sambil memberikan tanda “peace” terbalik setinggi mata seperti wanita di sampul majalah itu.

(Memang, keinginan untuk memberikan pelayanan sesudah penjualan itu penting.)

(Meski begitu, lebih baik aku menyita majalah itu saat dia kembali.)


Kami meninggalkan toko dan memutuskan untuk berjalan-jalan ke sekeliling kota.

...Yah, untuk suatu alasan atau yang lain aku ikut perjalanan tidak berguna gerombolan ini.

Berlawanan dengan apa yang mungkin dia pikirkan, Saki sedikit tidak terbiasa dengan hal semacam akal sehat. Dia mungkinmemiliki sekrup yang longgar di suatu tempat, membuatnya mengkhawatirkan untuk dilihat. Aku sedikit khawatir meninggalkannya sendirian dengan beberapa anak SMP yang tidak dikenal. Mungkin, aku sedikit overprotektif?

Kedua gadis ini bernama Mitsuko Atobe dan Karu Mineyama. Bocah berisik yang menyerbu ke arah kami sambil menggoyangkan rambut berkuncir duanya adalah Atobe, dimana yang lebih tenang, mengenakan sebuah anting agak besar yang tidak cocok dengannya sama sekali, adalah Mineyama.

...Mungkin ketidak puasanku akan situasi ini mebuatku sedikit gelisah.

Bagaimanapun, aku membawa batu terkutuk itu (penamaan sementara) dan berjalan di depan. Di sampingku adalah Saki. Aku tidak percaya cerita mengenai batu terkutuk atau semacamnya, tapi aku juga tidak suka ide kalau Saki membawanya. Pada jarak tertentu di belakang kami, Atobe dan Mineyama berjalan mengikuti kami.

“Hey, berhenti menatap ke arahku,” Atobe dengan segera komplain padaku.

“Aku dari awal tidak menatap ke arahmu .”

“Jadi kau menatap ke arah Kaoru selama ini? Hentikan itu. Bukan hanya tidak terbiasa dengan laki-laki, tapi dia juga menderita androphobia[3]. Kau mencoba mendekatinya maka kau akan dapat masalah denganku!”

“Seolah aku akan melakukan hal itu.”

Karena dia membuatku emosi, aku menatap ke depan, saat Saki menyikutku.

“Kamu seharusnya tinggal seperti kataku.”

“Tidak ada yang bisa dilakukan di sana lagipula, dan kalau aku menyerahkan ini padamu, kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi.”

“Apa yang kamu maksud?”

Kami sampai di tempat kecelakaan. Beberapa bagian kecil dari mobil yang menabrak tersebar dan pagarnya terlihat bengkok. Ini adalah sisi berlawanan dari jalan dimana Saki hampir mengalami kecelakaan. Rupanya, pengemudi yang secara kebetulan berbelok ke arah Saki melakukannya karena dia pikirannya dikacaukan oleh tempat tabrakan.

Tentu saja, tidak ada penonton lagi di sini dan orang-orang terus lewat seolah tidak ada yang terjadi.

Atobe dan Mineyama, akan tetapi, berhenti.

“Ada apa?”

“...Ini tempat Manami kecelakaan!” Atobe menjelaskan dengan pahit.

“Dimana dia sekarang?”

Di rumah sakit. Dia bertahan entah bagaimana... tapi sepertinya akan ada efek kemudian. Kam tidak dijinkan untuk mengunjunginya untuk beberapa waktu,” dia berkata dan memutar tubuhnya. :Aku tidak mau pergi ke sana. Ke arah sini.”

Tidak mau berjalan melewati tempat kecelakaan Manami, Atobe berjalan kembali ke tangga jembatan penyeberangan. Mineyama mengikutinya dengan sedikit tertunda, dan juga Saki dan aku, tidak punya pilihan lain.

“Kejadian-kejadian ini seolah tidak mau berhenti...” Atobe berbisik dengan nada sedih. “Sudah ada tiga temanku yang mengalami kecelakaan.”

“Tiga?”

“Yang pertama adalah pacar Manami. Kemarin adalah Manami sendiri.”

“Sekarang karena kamu mengatakannya, gadis itu memang ingin membeli jimat keberuntungan karena seorang temannya mengalami kecelakaan,” Saki mengatakannya padaku. Sepertinya, “teman” yang dimaksudnya adalah pacarnya.

(Cukup adil kalau dia merasa tersinggung dengan benda terkutuk yang ditawarkan Saki padanya. Kalau dipikir-pikir, Saki menganggap temannya akan mati saat dia menawarkan benda-benda itu...)

Tidak heran Atobe memusuhi kami kalau dia mendengar hal itu.

“Siapa yang ketiga?”

“Sudah lupa? Dia ditabrak kereta dihari dia memberli batu itu di tokomu...”

Atobe tetap diam tentang bagaimana keadaan gadis itu. Aku juga menahan diri untuk tidak bertanya.

Pada saat itu, saat pikiranku ada di suatu tempat dan menaiki tangga, seorang pejalan bertabrakan denganku. Aku terhuyung beberapa langkah, sebelum menabrak pegangan tangan dengan punggungku.

“?”

Meskipun aku menabrak pegangan tangan, aku kehilangan keseimbangan; karena kesialan, cuma bagian pegangan dimana aku bersandar rusak karena karat.

“Wha—?!”

“Huh?!”

Teriakan kecil keluar dari mulutku dan bergabung dengan suara terkejut orang lain.

Kehilangan keseimbanganku, tubuhku miring kebelakang ke ruang kosong.

“Ugh!”

Aku dengan reflek menggapai bagian pegangan yang tidak rusak. Dengan jarak yang sempit aku berhasil memegangnya dan menarik diriku kembali ke jembatan.

Pegangan yang rusak itu masih tergantung bebas.

(Hampir saja! Aku hampir mencium jalanan.)

Tangan dan punggungku basah oleh keringat dingin.

“Apa kamu baik-baik saja? Saki bertanya sambil berlari ke arahku.

Saat aku akan meyakinkannya akan keselamatanku, Atobe menyahut dengan senyuman menyindir,”Batu terkutuk itu, mungkin?”

“Omong kosong. Pegangan tangan itu sedikit berkarat, itu saja. Murni kecelakaan!”

Sesudah meyakinkan kalau bagian yang rusak tidak akan terjatuh dengan menariknya dan menempatkannya di tangga, kami menyebrangi jembatan.

Ini adalah kesialan yang hebat karena terjadi sekarang dari semua waktu saat aku mencoba membuktikan kalau batu ini tidak berbahaya. Kalau seperti ini aku cuma menembak diriku sendiri tepat di kaki.

Saat mereka sudah turun dari jembatan, Atobe dan Mineyama berjalan di depan, diikuti oleh kami.

Di sisi tangan-kanan terbentang pembatas jalan adalah jalanan, di sisi tangan-kiri adalah deretan berbagai macam toko. Ini adalah dimana Saki hampir mengalami kecelakaan di hari sebelumnya.

“Ngomong-ngomong, soal kemarin...” Saki memulai.

“Mm? Ah, ada apa soal itu?”

“Tidak ada yang khusus, tapi..te...kasih”

Dia menggumamkan sesuatu, tapi aku tidak cukup mengerti karena suara lalu lintas.

“Mm? Apa yang kamu bilang...?”

“Uh...”

Lalu, pandanganku tiba-tiba menjadi lebih gelap.

Aku menatap ke atas dan menemukan sebuah benda di udara yang terjatuh ke arahku.

“Whoa!”

Aku dengan reflek melindungi kepalaku dan menunduk.

Benda itu, akan tetapi, menghantam tepat di kepalaku—dengan suara lembut.

“...Huh...?”

Aku mengambil benda yang terjatuh ke tanah sesudah menghantam kepalaku. Itu adalah sebuah bantal.

“Maaf pak! Terlepas dari tanganku saat aku akan membawanya masuk!”

Mendengar seseorang meminta maaf, aku menatap ke atas lagi. Itu adalah seorang laki-laki, kira-kira seumuran SMP, yang rupanya menjatuhkan sebuah bantal saat akan membawanya masuk.

Aku merasa kikuk karena merasa sangat ketakutan pada hal yang ternyata bukan apa-apa.

“Beruntung itu hanya sebuah bantal, benar kan? Kalau itu adalah sesuatu yang berat, kau sudah terluka parah!” Atobe berkata dengan seringai di wajahnya. Dia tidak benar-benar tampak khawatir. “Ayolah, tidakkah kau mau mengakui kalau ada kutukan di sana? Aku bahkan akan memaafkanmu kalau kau meminta maaf!”

“Kutukan? Itu hanyalah sebuah kebetulan kataku.”

“Pertama, kau hampir terjatuh dari jembatan dan sekarang kau terhantam di kepala—satu langkah salah dan kau pasti sudah ada di rumah sakit! Bagaimana bisa berbagai macam kebetulan bisa terjadi dalam satu waktu?”

“Jadi kau pikir itu sebuah kutukan? Sekarang, itu adalah kutukan yang memuakan!” Aku balik tertawa padanya dan berjalan menjauh.

Pada saat itu, aku merasakan kalau pandanganku menggelap lagi.

“!”

Aku dengan segera menatap ke atas. Sebuah bongkahan beton terjatuh ke arahku. Bagian dari dinding bangunan bertingkat empat di sampingku runtuh.

“Uwa!”

“Kyaa!”

Aku dengan segera menggunakan kakiku yang terulur untuk melompat kebelakang. Bongkahan beton yang terjatuh itu menyentuh rambutku sebelum terjatuh ke tanah.

(Hampir saja! Itu tidak hanya akan membuatku mengalami luka parah kalau mengenai kepalaku!)

Aku tanpa sadar menatap ke arah Atobe, berpikir kalau dia akan membawa-bawa batu kutukan itu lagi, tapi dia tidak bermaksud menambahkan komentar apapun. Sebaliknya—dia menatapku terkejut dengan wajah pucat. Sepertinya dia yang berteriak barusan.

Dia cuma bercanda soal kutukan, tapi saat ini, hal-hal terjadi seolah membuatnya benar-benar terjadi sebagai sebuah isyarat.

Entah pejalan, pegangan yang berkarat, bantal atau bongkahan beton—semua itu terjadi karena kecelakaan.

Tapi sangatlah absurd kalau hal itu terjadi berturut-turut.

Apakah ini hanya hari yang buruk?

Atau batu itu benar-benar terkutuk?

(Tidak mungkin. Tidak ada kutukan apapun pada benda ini.)

“Tokiya!” Saki berteriak memperingatkanku akan sebuah sepeda yang datang ke arahku di trotoar dengan kecepatan penuh.

Aku menahan pikiranku dan berjalan ke samping ke pinggir jalanan pejalan kaki, saat tiba-tiba—aku mendengar remmendadak di belakangku.

Aku menoleh dengan cepat, cuma untuk menemukan sebuah truk miring ke arah kami dengan cuma dua roda.

“Hah!” keluar dari mulutku.

(Lagi? Bagaimana mungkin aku berada dalam keadaaan bahaya berkali-kali dalam satu waktu?

Tidak mungkin.

Ini tidak mungkin bisa dijelaskan sebagai murni kebetulan.)

Tapi berteriak keras-keras hanyalah yang bisa kulakukan.

Truk itu terbalik di satu sisi dengan kemiringan penuh dan meluncur ke pembatas jalan. Hantaman itu membuat kontainernya terbuka darimana sebuah longsoran merah menghujaniku.



Hal ini tidak mau berjalan dengan lancar.

Dia seharusnya terjatuh ke jalanan karena bersandar pada pegangan tangan secara kebetulan.

Dia seharusnya remuk karena bongkahan beton yang runtuh dari sebuah bangunan secara kebetulan.

Dia berhasil menghindari kecelakaan-kecelakaan ini. Aku harus menggunakan cara yang lebih bisa diandalkan. Tapi cara apa yang bisa diandalkan? Cara apa yang tidak mungkin dihindarinya?

Secara kebetulan, sebuah gempa bumi besar terjadi... Tidak, ini akan membuatku juga terkena, dan cara itu juga tidak benar-benar bisa diandalkan.

Secara kebetulan, dia terlumuri racun... Tidak, tidak mungkin ada racun apapun di sini, jadi hal ini tidak mungkin terjadi.

Terutama kebetualan terakhirku benar-benar sangat memalukan.

Sebuah truk seharusnya terjatuh ke samping secara kebetulan dan entah menabraknya atau menguburnya dengan apa yang diangkutnya.

Aku kehabisan keberuntungan. Kenapa dari semua hal benda itu yang ada dalam kontainer?

Yah, mungkin aku seharusnya membuat sebuah truk dengan beban berat jatuh dan menjatuhkan isinya padanya selanjutnya...

Tidak, aku sama sekali tidak tahu kapan akan ada sebuah truk dengan beban berat muncul di sini. Kemungkinan hal ini untuk terjadi akan jatuh secara dramatis.

Kebetulan memang hanya kemungkinan.

Kalau kesengajaan setara dengan 100%, kebetulan adalah nilai yang sangat dekat dengan 0%. Tapi itu tidak akan terjadi kalau kemungkinannya turun sampai 0%. Sebuah kebetulan dengan kemungkinan 0% tidak akan terjadi.

Dengan kata lain, kecuali sebuah truk dengan beban berat berjalan melewati tempat ini, truk itu tidak akan terguling dan menjatuhkan isinya padanya.

Tentu saja, cepat atau lambat akan ada truk semacam itu yang lewat. Tapi aku butuh satu sekarang.

Aku tidak bisa membuat sebuah truk terguling kalau tidak ada satupun yang lewat. Dan meski ada banyak mobil-mobil, aku tidak bisa menemukan truk apapun di jalanan...

Lagipula, aku tidak bisa memutuskan hasil dari kebetulan-kebetulanku.

Aku bisa membuat pegangan tangan rusak secara kebetulan saat dia bersandar padanya, tapi aku tidak bisa membuat hasil dia terjatuh dari jembatan penyeberangan.

Aku bisa membuat sebuah bongkahan beton runtuh dari sebuah bangunan secara kebetulan, tapi bongkahan beton itu tidak harus menghantam kepalanya.

Aku bisa membuat kabel listrik terputus secara kebetulan, tapi itu mungkin tidak akan menyentuhnya.

Hasil dari kebetulan-kebetulanku benar-benar hanya kebetulan. Jadi, hasilnya bisa dibilang cuma murni kebetulan. Karenanya, aku harus membuat sebuah kebetulan yang hasilnya pasti.

Tidak adakah cara yang lebih bisa diandalkan?

Tidak adakah cara yang lebih bisa diandalakan untuk membunuhnya?


“Ptah!”

Aku memuntahkan kelopak-kelopak bunga di mulutku dan berusaha berdiri.

(Hampir saja! Aku pasti sudah rata seperti kue dadar sekarang kalau saja truk itu tidak dimuati dengan bunga tapi sesuatu yang berat seperti drum minyak yang isinya penuh.)

Saat menatap pada truk toko bunga yang terbalik dan menabrak sebuah toko yang ada didekat situ, mewarnai sekelilingnya, aku mendesah lega.

“Apa kamu baik-baik saja?”

Saki berlari ke arahku dan mengulurkan tangannya. Sesudah menjawabnya dengan ya, aku berdiri.

Atobe, seperti aku, terkubur dalam bunga dan tetap terduduk, mukanya berubah ketakutan.

Mineyama rupanya lebih beruntung dan berdiri sedikit di sisi luar, tidak terluka.

Ada satu orang lagi: pengendara sepeda sebelumnya, yang kira-kira murid SMP, terjatuh dari sepedanya dan berjongkok.

Aku sedang akan berbicara pada mereka,

“———!”

Tapi lalu aku mendorong jatuh Saki, menutupi tubuhnya dengan tubuhku dan berteriak:

“Cepat lari! Truknya akan meledak!”

Tepat saat aku selesai, truk itu meledak dengan letusan kecil.

Beberapa bagiannya terlempar menjauh, dan aku bisa merasakan satu di antaranya tepat di atas punggungku. Kalau aku masih berdiri, aku pasti akan tertusuk pecahan itu.

“Saki, apa kamu baik-baik saja?”

Saki menatap ke atas ke arahku tanpa ekspresi.

Aku mencoba menepuk pipinya. Tidak ada reaksi.

Aku mencoba mencolek dahinya. Tidak ada reaksi.

Aku mencoba mencubit pipinya. Tidak ada reaksi.

Tidak, ada reaksi. Dia memukul balik.

“Kalau kamu baik-baik saja, bereaksilah!”

Aku tidak bisa membaca dari wajahnya apakah dia sedang ada di suatu tempat lain dalam pikirannya atau cuma seperti biasa.

“Aku barusan melakukannya!”

Sesudah meyakinkan kalau Saki, masih dalam pelukanku, aman dan baik-baik saja, aku berdiri. Atobe bertiarap sedikit jauh dari tempat sebelumnya bersama dengan si pesepeda. Mineyama, yang berdiri agak jauh, sepertinya cukup ketakutan dan jatuh terduduk.

“Hey, sadarlah!”

Aku mendirikannya dalam pelukanku dan menepuk pipnya untuk membuatnya kembali tersadar. Sambil menggerutu, dia membuka matanya dan menatap ke arahku.

“Bagaimana dengan Kiritani?”

“Kiritani?”

Menghiraukan pertanyaanku, dia berlari ke arah anak yang mengendarai sepeda. Untungnya, ledakan itu tidak mengenainya.

Sesudah menggelengkan kepalanya beberapa kali, dia, atau lebih tepatnya Kiritani, berdiri.

“Hey, apa kalian baik-baik saja?” seseorang bertanya sambil berlari keluar dari sebuah bangunan ke arah Atobe dan Kiritani. Itu adalah anak laki-laki yang tadi menjatuhkan bantal di kepalaku. Sangat jelas kalau mereka saling mengenal satu sama lain.

“Apa maksudnya ini?”

Si pelempar-bantal secara jelas berubah air mukanya, menandakan kalau dia berfikir “Sial!” terlebih, si pengendara sepeda ternyata adalah orang yang bertabrakan denganku di jembatan setelah kuamati lebih lanjut.

“Apa kalian bersekongkol?”

Hal-hal mulai jadi masuk akal. Anak SMP biasanya tidak akan percaya pada benda semacam batu terkutuk. Merka cuma meminta untuk berjalan melewati kota dan melihat apa ada yang terjadi, karena mereka memiliki rencana licik.

“Tidak heran kau sangat yakin kalau akan ada yang terjadi.”

Untuk menghinari para penonton yang bertambah, aku membawa mereka berjalan menjauh. Masih lumpuh karena terkejut, Atobe harus dipapah Kiritani atau apapun panggilannya. Dia mendapat apa yang pantas didapatkannya.

“Baik, bisa kalaian jelaskan apa maksudnya ini?” aku memintanya sesudah melihat satu persatu dari mereka. Atobe tidak mengangkat wajahnya, dan kedua anak laki-laki itu sibuk menyalahkan satu sama lain dengan pandangan mereka. Mengejutkan bagiku, yang memulai menjelaskan adalah Mineyama.

“Dua dari teman kami membawa batu semacam itu saat mereka kecelakaan, jadi kami memutuskan untuk membalas dendam untuk mereka pada toko itu. Tentu saja, tidak ada satupun yang benar-benar percaya pada cerita batu terkutuk, tapi sesudah terjadi dua kecelakaan, kami sangat kesal. Percayalah padaku, yang kami inginkan hanya untuk membuat kalian meminta maaf dengan sedikit tekanan.”

“Hanya permintaan maaf yang kalian inginkan?”

“...Yah, dengan meminta maaf kalian bisa dibilang mengakui kesalahan, jadi kami juga berfikir untuk meminta kompensasi...”

“Itu namanya pemerasan!”

“Aku minta maaf, tapi kami tidak bermaksud melukai kalian, sungguh!” Mineyama menundukkan kepalanya serendah mungkin.

“Ya ampun, anak jaman sekarang...”

“Kamu terdengar seperti orang tua,” Saki meledek.

“Diamlah!”

Itu cuma hal kecil kalau untuk membuat meminta maaf, tapi beda urusannya kalau memeras uang adalah tujuan mereka.

“...Hey kau, pergi belikan aku air di toko sebelah sana,” Aku memerintahkan Mineyama dan memberinya beberapa uang logam. Aku ingin melakukan sesuatu pada rasa menjijikkan bekas bunga dimulutku.

Mineyama mengangguk patuh dan pergi ke toko.

(Aku akan membiarkan Mineyama karena sudah jujur padaku. Tapi yang lain harus mendapatkan pelajaran. Meski ini akan membuatku terlihat seperti orang tua.)

“Baiklah kalau begitu, bagaimana kau akan meminta maaf untuk kekacauan ini?”

Saat aku melangkah maju ke arah mereka, Atobe tiba-tiba mendorongku ke belakang.

“!”

Pada saat itu, sebuah papan penanda melayang dari suatu tempat dan terjatuh tepat diantara kami, kemudian melambung setelah menghantam jalanan dan menggelinding menjauh.

“——!”

“HYY!”

Itu cuma berjarak sehelai rambut. Sebuah penanda dari lantai tiga toko yang tertabrak oleh truk, rusak dan terjatuh. Kalau bukan karena Atobe, papan itu pasti sudah menghantam tepat padaku.

Aku tidak yakin apakah aku harus berterima kasih atau marah padanya karena mendorongku menjauh. Tapi pertama-tama, aku ingin membantunya berdiri. Akan tetapi.

“Jangan mendekat!” dia mendesis, hampir menjerit.

“Atobe?”

“...Ini aneh. Ada yang tidak benar! Batu itu pasti memang benar-benar terkutuk...” dia berceloteh dengan wajah pucat.

“Hey, sudah, hentikan omong kosong tentang kutukan itu! Bukankah kau bilang kalau ini semua adalah—a”

“Kami cuma mencoba membuatmu terjatuh atau menjatuhkan sebuah bantal padamu atau membuatmu tertabrak sepeda! Kami tidak merusak pegangan tangan itu, atau membuat dinding runtuh! Kecelakaan itu juga bukan kami...”

Air muka Atobe berubah dan menjauh dariku.

“Tapi...”

“Mereka mati dan terluka! Dan penanda barusan... Pergi... menjauh! Jangan libatkan aku!’

Sebelum aku bisa melakukan sesuatu, Atobe sudah berdiri sendiri dan melarikan diri. Dua ank laki-laki itu, terkejut dengan kepanikannya, mengejarnya dengan segera.

Sebelum aku sadar, mereka semua sudah pergi.

Aku sebenarnya berfikir kalau semua ini cuma iseng. Tapi seperti kata Atobe, hal-hal yang terjadi ada yang bisa dilakukan dengan sengaja dan ada yang tidak. Menabrakku atau melempar bantal bukan hal sulit bahkan untuk Atobe dan teman-temannya. Tapi menghancurkan pegangan tangan, membuat sebuah dinding runtuh, menyebabkan kecelakaan mobil dan menjatuhkan penanda jelas-jelas melebihi dari apa yang bisa mereka lakukan.

Jadi apa yang sebenarnya menyebabkan hal ini—

“...Saki, kamu bisa pulang sekarang.”

Kata-kataku yang tiba-tiba sangat jelas membuatnya bingung.

“Ada hal yang perlu kamu pastikan untukku.”


Sesudah beberapa saat, Mineyama kembali dengan wajah curiga. Karena dia tidak bisa menemukan teman-temannya.

“Atobe lari dengan teman-temannya.”

“...Aha.”

Dia tetap tenang meski ditinggal sendirian.

“Aku menyuruhnya pulang. ‘’Aku’’ membawa batunya, jadi tidak apa-apa kan?”

“...Apa kamu masih ingin meneruskannya?”

“Temanmu kabur percaya kalau ini adalah karena batu terkutuk. Tidak bisa berhenti sampai kita membuktikan yang sebaliknya.”

“Aku... mengerti.”

Dia mungkin bermaksud untuk pergi segera setelah menyerahkan botol minuman itu padaku. Pandangan matanya ke bawah seolah mencari alasan untuk pergi membuatku merasa tidak enak.

“Katakan, apa kamu percaya pada kutukan itu?”

“Aku memang berfikir kalau hal itu terdengar konyol, tapi sekarang karena berbagai hal aneh terus menerus terjadi satu persatu, aku mulai ragu.”

“Apa saja contohnya, selain dari kejahilan kalian?”

“Um, pegangan yang rusak, tembok itu, kecelakaan mobil dan penanda, kurasa.”

“Dan tidak lupa ledakan itu, benar kan?”

“Ya.”

Aku meniupkan udara dalam kantong plastik dari toko dan meledakkannya dengan keras. Suara letusan kantong plastik itu membuat Mineyama mejerit.

“Ja-jangan mengejutkanku!”

“Oh? Kamu juga bisa berteriak? Aku cukup yakin kalau kamu tidak akan berteriak, seperti Saki.”

Pada gurauanku dia menjawab dengan tidak senang,”Tentu saja aku bisa.”

“Bagaimanapun, karena hal-hal yang sudah terjadi sampai sekarang, aku mau tidak mau heran sendiri, jadi temani aku sebentar lagi.”

Aku tidak bisa membiarkannya pergi sekarang. Ada hal yang harus kupastikan.


Sial! Kalau dia tidak mengganggu, papan penanda pasti sudah mengenainya.

Dia mungkin tidak menyadarinya saat dia mendorongnya kebelakang. Itu murni kecelakaan. Aku hampir tidak percaya kebetulan seberuntung itu bisa terjadi.

Sepertinya kemungkinan untuk bertahan hidup pada umumnya lebih tinggi dari pada kemungkinan mati.

Yah, tapi hal itu juga berlaku untukku: Yang pertama tadi sangat beresiko.

Aku tidak memperkirakan ledakan.

Aku hampir membuat diriku terlibat.

Kebetulan bisa menjadi sangat menakutkan.

Untung aku menjaga jarak agar tidak ada di jalur truk.

Tapi kenapa dia tidak mati saja dalam ledakan itu?

Aku cukup yakin kalau dia akan berhenti untuk kebaikannya sekarang, tapi sesuatu semacam harga diri membuatnya tidak kembali ke tokonya.

Pada waktu ini, dia membawaku ke daerah pembangunan terdekat karena suatu alasan.

Aku tidak bisa meminta kondisi yang lebih baik dari ini, sebenarnya.

Kalau dia kembali ke toko, semua yang terpikir cuma kebakaran atau sebuah truk menabrak tepat ke toko, tapi itu akan mebuat gadis itu dalam bahaya juga.

Cukup laki-laki itu saja yang mati.

Bangunan itu sepertinya mencapai 8 lantai dan dikelilingi oleh kerangka baja. Lembaran-lembaran kain diletakkan disekitarnya.

Tidak ada orang lain lagi di sana karena jam kerja rupanya sudah usai, dan angin bertiup dengan keras menghantam lembaran kain, mengangkatnya sedikit. Tiupan angin menjadi semakin kuat bersama matahari terbenam.

Aku tidak tahu kenapa dia membawaku ke tempat semacam ini.

Tapi tidak perlu, bagaimanapun—dia akan diremukkan di bawah truk derek yang terjatuh secara kebetulan.

Tepat seperti apa yang aku harapkan, truk itu mulai bergoyang terkena angin dan lau perlahan berputar ke sisinya bersamaan dengan suara yang keras—tepat ke arah targetku yang berbicara dengan seseorang di telepon.

Pengaruhnya mengguncangkan tanah dan menaikkan bau keras yang tidak enak.

Ini seharusnya berhasil melakukannya dengan baik. Dia tidak punya cukup waktu untuk bereaksi. Bahkan kalau dia menyadari truk itu, dia tidak mungkin berhasil menghindarinya.

Sebuah dentingan terdengar.

“Sekarang itu adalah bunyi yang indah,” Aku mendengarnya dari gumpalan awan debu.

“...”

Sedikit di samping truk yang miring, dia berdiri.

Lalu berkata, bahkan dengan senyuman di wajahnya,”Apa kau berpikir kalau aku akhirnya mati, Kaoru Mineyama?”


“Apa kau berpikir kalau aku akhirnya mati, Kaoru Mineyama?” Aku bertanya, tapi Mineyama masih terkejut seperti keliahatannya.

“K-kamu baik-baik saja? Untunglah. Aku pikir kamu tertimpa truk pengait itu...” dia berkata dengan nada peduli setelah mendekat.

“Yeah, aku juga berpikir begitu! Hari yang hebat! Ini bukan salah satu dari kejahilanmu kan?”

“T-tentu saja tidak. Tapi apa itu berarti... kalau batu itu memang terkutuk?”

“Batu yang mana yang kau maksud dengan ‘itu?”

“Um, yang kamu bawa...”

“Maaf, tapi aku tidak membawanya. Aku sudah membuangnya sebelumnya.”

“Eh?”

“Yang berarti kalau semua kecelakaan ini bukan karena suatu kutukan. Tidak pula dengan pegangan tangan yang rusak, tembok yang runtuh, papan penanda atau kecelakaan lalu lintas itu.”

Tsukumodo V1 P065.jpg

“Tapi, tapi kalau begitu kamu menganggap semuanya cuma kebetulan?”

“Tidak mungkin begitu banyak kebetulan bisa terjadi berturut-turut!” Aku menolak akting blak-blakannya dengan senyuman mengejek. “Kaulah yang menyebabkan semua kecelakaan-kecelakan yang terjadi hari ini, benar kan?”

“A-apa yang kamu katakan? Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal-hsl itu?”

“Apa kau yakin?”

“Tidak mungkin aku bisa membuat kecelakaan-kecelakaan seperti itu!”

“Yah, biasanya itu benar. Tapi kau tahu tidak? Ada cara-cara yang tidak bisa dijelaskan akal sehat. --contohnya menggunakan sebuah Relik.”

Bulu mata Mineyama yang indah tersentak.

“Terkejut karena aku tahu mengenai Relik?”

“Apa itu?”

“Benda antik, tentu saja?”

“Ah...”

“Kalau kau ingin berpura-pura bodoh, itu yang seharusnya kau katakan. Kau salah melakukannya.”

“Relik” bukan sebuah kata yang tidak diketahui orang banyak. Kata itu bisa ditemukan dimanapun. Perbedaannya cuma pada artinya.

“Apa yang membuatmu mencurigaiku?”

Mencurigai seseorang tidak memerlukan terlalu banyak basis. Masalahnya adalah bagaimana membuktikannya, tapi aku tidak perlu melakukannya sejauh itu. Aku hanya perlu membuatnya mengaku.

“Aku berfikir kau berdiri cukup jauh dari tabrakan truk bunga itu, kau tahu. Seolah seperti kau sudah memprediksi kecelakaan itu? Meski Atobe hampir terkena meski dia berjalan di sampingmu hampir setiap waktu.”

“Itu hanya karena dia berhenti secara kebetulan...”

“Ada yang lain. Reaksi Atobe pada kecelakaan berbeda dengan yang dibuatnya dan yang terjadi secara kebetulan. Kau selalu bereaksi sama. Kau tidak terkejut dengan serangan bantal, tidak pula dengan bongkahan beton. Tapi kau ‘’tadi’’ terkejut karena sebuah tas plastik.”

“Aku cuma terlalu tekejut, kamu tahu...”

“Kau cukup terkejut dengan ledakan itu kan?”

“Yah, kukira...”

“Dan sebuah ledakan tidak membuatmu terlalu terkejut, katamu?”

“...”

“Juga, saat kau menyebutkan semua kecelakaan itu, kau lupa dengan ledakan itu. Karena kau tidak merencanakan yang satu itu kan?”

“Aku cuma lupa mengatakannya, itu saja...”

“Terlebih lagi, bagaimana kau tahu tentang papan penanda? Kau tidak sedang ada di sana waktu itu, benar kan?”

“!”

Hampir semua ini cuma gertakan. Sangat mungkin seseorang tidak tahu kata “relik”. Juga, aku tidka benar-benar mengingat semua tindakannya. Papan penanda yang terjatuh juga bisa dilihatnya dari tempat itu.

Aku sangat jauh dari seorang detektif ahli dari suatu novel misteri yang memotong jalan kabur pelaku selangkah demi selangkah. Tapi Mineyama dengan senang memberikan alasan untuk semua kartu andalanku. Yang merupakan bukti kalau ada sesuatu yang lain di sana. Bisa dibilang ini juga merupakan kartu andalan di sisi yang berbeda, kurasa?

Akan tetapi, ada satu fakta, yang aku yakini.

“Sepertinya kau ingin memanfaatkan rencana Atobe dan menimpakan semua kesalahan pada batu terkutuk itu, tapi batu itu benar-benar ‘’tidak’’ terkutuk. Batu itu bukan batu yang membawa kesialan bagi orang lain. Batu yang asli disembunyikan jauh di dalam toko.”

“...Eh?”

Karena itu adalah sebuah Relik yang pemiliknya, Towako-san, koleksi, semua benda di rak adalah barang palsu dari Relik yang dia coba dapatkan.

Tentu saja, dia juga berhasil sesekali, dan toko itu penuh dengan data mengenai hal ini.

Sebuah batu yang membawa kesialan memang benar-benar ada. Tapi batu itu disimpan, dan karena sifat alaminya, dengan tegas dilarang untuk dikeluarkan.

Aku tidak menyatakan kalau batu itu tidak terkutuk karena aku percaya kalau batu itu tidak ada. Aku menyatakan seperti itu, karena aku tahu benda itu ada di tempat lain.

Yah, aku mulai sedikit tidak yakin, sih, karenanya aku menyuruh Saki memastikan hal itu untukku.

“Akui sajalah! Itu bukan kebetulan kan?”

“Padahal aku pikir aku melakukannya dengan cukup bagus sih,” gumam Mineyama sesudah menarik nafas dalam.

Kalau dia terus bersikap bodoh atau bertanya mengenai bukti seperti drama misteri, aku tidak akan punya pilihan lain selain menyerah dan pulang.

“...Apa Relik sangat terkenal?”

“Tentu saja tidak. Aku rasa sebagian besar orang tidak mengetahui mereka. Hanya saja aku tahu—secara kebetulan.”

“Kebetulan lagi?” dia mendesis. Kemarahan membuatkannya kehilangan keinginan untuk menyembunyikan motifnya lebih lama lagi. “Aku salah berfikir kalau tidak ada yang mungkin tahu mengenai Relik, setidaknya sedekat ini...”

“Yah, itu normal. Aku juga tidak berfikir kalau kecelakaan ini berhubungan dengan Relik pada awalnya! Tapi saat kecelakaan terus terjadi seperti itu, kau tahu...”

“Karena kau terus menghindarinya! Pada kenyataannya, hal ini akan terselesaikan dengan kau jatuh ke jalanan dan tertabrak. Disamping itu, kalau kau tidak tahu mengenai Relik, kau pasti percaya kalau semua itu adalah kebetulan.”

“Mungkin, yah.”

“Boleh aku bertanya juga? Bagaimana kau bisa menghindari semua kecelakaan yang aku arahkan padamu? Kecuali kau diberkati dengan keberuntungan yang sangat besar, seharusnya tidak mungkin untuk menghindari kecelakaan-kecelakaan itu berkali-kali.”

“Apa yang kau pikirankan?”

“Aku berpikir mungkin semua itu karena Relik yang kau miliki.”

“50%. Tebak Relik apa itu dan kau akan mendapat nilai 100%.”

“Aku tidak masalah meski mendapat nilai nol. Aku tidak berminat memainkan kuis kecilmu itu. Aku tidak tahu bagaimana kau melakukannya, tapi aku bisa menyelesaikan hal ini dengan membuatnya tidak mungkin bisa dihindari!”

Punggungku mulai basah keringat.

Masalahnya dimulai sekarang. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Mineyama sekarang setelah dia mengakui semuanya.

“—Jangan meremehkan kebetulan yang aku ciptakan.”


—Saat itulah suara menyakitkan itu terdengar menembus melalui kepalaku.

Beberapa tiang baja berjatuhan ke arahku dengan kecepatan yang terus meningkat.

Aku meghindari yang pertama ke kanan. Tiang itu tertancap di tanah.

Satu lagi aku hindari dengan melompat ke belakang. Kali ini tiang itu tidak menancap ke tanah tapi terpental ke arahku.

Aku melindungi kepalaku dan berjongkok, menghindari balok itu dengan jarak sehelai rambut.

Tapi tiba-tiba, tiang baja lain tertancap tepat di depanku dan menjatuhkan badai serpihan, yang menghantamku seperti bebatuan.

Serpihan itu menghantam pipi, tangan dan kakiku.

Tidak bisa menahan hantaman itu, aku terjatuh pada punggungku.

Di depan mataku aku bisa melihat bentuk “H” karena suatu alasan.

Saat aku menyadari itu adalah ujung dari tiang baja, kepalaku sudah remuk.


“————“


Beberapa tiang baja berjatuhan ke arahku dengan kecepatan yang terus meningkat.

Aku meghindari yang pertama ke kanan. Tiang itu tertancap di tanah.

Satu lagi aku hindari dengan melompat ke belakang. Kali ini tiang itu tidak menancap ke tanah tapi terpental ke arahku.

Aku melindungi kepalaku dan berjongkok, menghindari balok itu dengan jarak sehelai rambut.

Tapi tiba-tiba, tiang baja lain tertancap tepat di depanku dan menjatuhkan badai serpihan, yang menghantamku seperti bebatuan.

Serpihan itu menghantam pipi, tangan dan kakiku.

Tidak bisa menahan hantaman itu, aku terjatuh pada punggungku.

Di depan mataku aku bisa melihat bentuk “H” karena suatu alasan.

Saat aku menyadari itu adalah ujung dari tiang baja—

—Aku sudah berguling menjauh dan menghindari hantaman baja itu. Tiang baja itu menghantam tanah dan terlempar menjauh secara diagonal.

Suara yang sangat keras itu menyakitkan telingaku.

“...A-apa? Bagaimana bisa kau menghidarinya?!”

Memang, tiang baja yang sangat banyak itu tidak bisa dihindari dengan mudah.

Mineyama pasti yakin kalau aku sudah mati.

“Siapa yang tahu?"


Lagi, sebuah suara yang menyakitkan melewati kepalaku——

Beberapa balok baja terjatuh lagi ke arahku.

Kali ini ada lima dan terjatuh ke arahku pada saat yang sama.

Entah bagaimana aku bisa menghindari tiga darinya, tapi yang keempat menghantamku.


——Tapi ini bukan kenyataan.


Bukan kenyataan tapi masa depan yang ditunjukkan Relik-ku padaku.

Mata kananku adalah mata tiruan. Sebuah Relik bernama Vision[4] tertanam dimana mata asliku dulunya berada.

Vision akan menunjukkan padaku masa depan yang akan datang.

Akan tetapi, ia tidak akan menunjukkan semua masa depan. Aku tidak bisa meramalkan nomor yang akan menang dari sebuah lotre, atau pemenang dari pertandingan olahraga. Bahkan tidak bisa meramalkan cuaca. Tidak pula aku bisa melihat kejadian di masa depan sesuai keinginanku.

Tapi ada satu tipe masa depan yang pasti akan ditunjukkannya tanpa gagal.

Itu adalah, saat aku atau seseorang yang aku kenal berada dalam bahaya. Pada saat seperti itu, ia akan menunjukkan padaku saat kematian mereka.

Saat hal itu terjadi, sebuah rasa sakit akan mengalir melalui kepalaku, seperti suara statik TV, diikuti dengan sebuah potongan tayangan masa depan.

Dan kemudian aku akan mengambil tindakkan yang berbeda dengan yang di masa depan yang telah ditunjukkan, mencoba menghindari kematian yang diramalkan.

Tadi, Mineyama mengatakan kalau dia “membuat” kebetulan.

Dari hal itu, aku menebak dia memiliki sebuah Relik yang bisa membuatnya menyebabkan kebetulan.

Benda yang mengerikan, memang.

Kebetulan tidak bisa diramalkan, karenanya kebetulan juga tidak bisa dicegah.

Tapi Vision-ku kebetulan merupakan pasangan yang cocok dengan Relik –nya.

Kalau kebetulan ‘’bisa’’ diramalkan, bukan tidak mungkin untuk mencegahnya.

Apakah itu kecelakaan Saki, jatuhnya aku dari jembatan, bongkahan beton meremukkan tengkorakku, terhantam oleh ledakan truk atau jatuhnya truk derek, aku sudah meramalkan semuanya sesaat sebelum mereka benar-benar terjadi.

Akan tetapi, aku tidak melihat, satupun kejahilan Atobe atau terkuburnya aku dalam bunga. Kemungkinan karena nyawaku tidak terancam.

Sedang untuk papan nama, aku tidak meramalkannya karena masa depan di mana aku terhantam olehnya sejak awal tidak ada.

“Tidak mungin...”

Sepertinya, setelah melihat kalau aku bisa menghindar dari tiang-tiang baja itu dua kali, dia menyadari kalu itu bukan karena sesuatu yang tidak pasti seperti kebetulan atau keberuntungan yang membuatku bisa menghindari kebetulan-kebetulannya.

Mineyama menggerutu dengan kalut,”Ka-Kali ini aku akan mengenaimu...!”

“Kau harus berhenti.”

“Eh?”

“Seberapa lama kebetulan tetaplah kebetulan?”

“Apa maksudmu?”

“Yang aku maksud, kecelakaan biasanya tidak terulang sesering itu.”

Relik tidaklah maha kuasa. Ada larangan-larangan dan batas-batasnya.

Kalau Relik Mineyama terbatas hanya dapat membuat kebetulan-kebetulan, menyimpang dari larangan itu akan membuatnya berada dalam bahaya.

“Dengar. Ini adalah peringatan yang bermaksud baik. Tiang baja tidak terjatuh tiga kali berturut-turut hanya ‘secar kebetulan’. Itu bukanlah kebetulan kalau terjadi berkali-kali. Kalau Relik-mu ditujukan untuk menciptakan kebetulan, ia tidak bisa menciptakan kepastian. Cobalah dan kau akan menyebabkan konflik. Kalau itu terjadi, relik itu akan hancur atau nyawamu akan berada dalam bahaya.”

“...”

“Berhenti ‘’sekarang’’ saat kau masih bisa!”

“...Kebetulan akan terjadi sebanyak apapun aku berharap!”

“Bodoh! Hentikan itu!”

Akan tetapi, tidak ada suara.

Tidak ada masa depan yang ditunjukkan padaku.

Dan tidak ada tiang baja yang terjatuh ke arahku.

Daripada itu, aku mendengar suara retak yang jelas.

Bagian bulat dari anting besarnya pecah menjadi dua dan terjatuh ke tanah.

“Relik, Relik ku...!”

Teriakan muram Mineyama mengubur suara retak itu dan bergema melalui daerah pembangunan sore itu.


Kenapa aku terlahir sebagai seorang perempuan?

Seseorang tidak bisa memilih menjadi laki-laki atau perempuan saat mereka dilahirkan. Kalau kita bisa melakukannya, aku pasti sudah memilih untuk menjadi laki-laki. Aku selalu berfikir begitu.

Hal itu tidak berubah bersama dengan waktu. Tidak, bahkan bertambah buruk saat aku memasuki masa remaja.

Aku selalu jatuh cinta pada para perempuan.

Saat SD, aku memberanikan diri dan menyatakan perasaanku berkali-kali.

Jawabannya selalu tidak.

Bahkan lebih buruk; aku kehilangan teman-temanku dan dianggap tidak normal setiap kali.

Saat SMP, aku memutuskan untuk berhenti.

Kau tidak bisa merubah hatimu, tapi kau bisa merubah tindakanmu.

Tapi berharap bisa memberiku satu kesempatan lagi, aku memohon pada Pendolo

Untuk bertemu dengan seseorang dengan pikiran yang sama secara kebetulan.

Segera setelah itu, aku bertemu dengan Miki Kano.

Dia sepertiku.

Dia juga tertarik pada perempuan, dan karenanya kami tertarik satu sama lain dan membuat kami bersama.

Pada saat itu, aku tidak berani berpikir kalau perasaannya mungkin akan beruah.

Tapi akhirnya datang dengan begitu cepat.

Cuma seperti luka yang sembuh dari sebuah kecelakaan, perasaannya padaku menghilang.

Miki dan aku, kami berdua belajar di SD yang dikhususkan untuk perempuan. Karenanya, hanya ada wanita yang bisa menjadi target kekagumannya. Tapi dengan lulusnya dia ke SMP campuran, dia mendapatkan kembali sesuatu yang disebut “pikiran sehat”.

Itu hanyalah sebuah cerita sederhana, benar. Dia jatuh cinta pada laki-laki.

Lebih dari itu, dia adalah pacar dari temannya Manami.

Pacar Manami memang mengalami kecelakaan, tapi itu dikarenakan dia menyelamatkan Miki saat dia hampir mengalaminya, dan terluka menggantikannya. Pertemuan dramatis itu mengubah perasaannya padaku berbelok padanya.

Mungkin, aku akan menerima perubahan pikirannya kalau dia jatuh cinta pada seorang gadis.

Tapi tidak.

Itu adalah penghianatan. Menghianati hatiku.

Perasaanku padanya sangat serius, sangat tulus, yang mebuatku semakin ingin melakukan pembalasan.

Aku membalas dendam pada Miki—menggunakan kebetulan.

Aku melakukan kecelakaan maut dengan membuatnya terjatuh ke rel di stasiun secara kebetulan.

Sesudah itu, Manami mendengar hubunganku dengan Miki. Pacar Manami mendengarnya dari Miki, dan Manami mendengarnya dari pacarnya.

Dan kemudian dia menyangkal perasaanku. Mengatakan kalau semua itu salah.

Dia tidak mengerti. Dia sama sekali tidak memahami rasa sakit yang kurasakan.

Karenanya, aku menghukumnya.

Menciptakan kecelakaan maut dengan membuatnya tertabrak oleh sebuah mobil yang mengamuk.

Tapi sekarang aku sudah idak bisa melakukannya lagi.

Pendolo ku hancur.

Seharusnya ini tidak terjadi.

Seharusnya ini tidak terjadi.

Dimana dia? Dimana orang yang menghancurkan Pendolo-ku yang sangat berharga?

Aku mendengar suara langkah kaki seseorang berhenti tepat dihadapanku.

Aku dengan cepat mengangkat kepalaku.

Itu bukan dia, tapi dia[5].

Aku tidak menyebabkan hal ini. Aku tidak bisa lagi membuat kebetulan.

Tapi kenapa dia ada di sini kalau begitu?

Apakah ini benar-benar sebuah kebetulan?

“Bukan karena kebetulan aku ada di sini,” dia menyatakan.

Benar. Aku tidak bisa lagi menyebabkan kebetulan, dan tidak mungkin ada kebetulan lemah lembut akan terjadi di saat yang tepat sekali seperti ini.

Jadi pasti ini adalah takdir.

Sudah ditakdirkan sejak awal kalau ini akan terjadi.

Lagipula, kamu adalah jodohku.

“Bukan pula karena takdir.”

Akan tetapi pikiranku disangkalnya.

“Ta-tapi harapanku adalah untuk bertemu seseorang yang sejiwa!”

“...Ya, dalam satu hal kita sama,” dia berbisik,”dalam hal menggunakan Relik untuk melakukan dosa.”

Dia menatap ke bawah ke arahku dengan pandangan sedih.

“Sepertinya Tokiya tidak berfikir sejauh itu, tapi kalau kamu ikut menyebabkan kecelakaan pada teman sekelasmu, kamu pasti akan melihatnya sendiri. Dosa yang datang dari Relik tidak bisa disucikan siapapun. Jadi kalau kamu sudah berfikir kalau dirimu aman, tenanglah karena kamu akan mendapatkan tagihan dari mempermainkan takdir orang lain. Takdir tidaklah samar ataupun selemah lembut kebetulan. Aku cuma ingin kamu tahu.”


...Saat aku tersadar, aku berdiri di sana sendirian.

Dia tidak lagi terlihat dimanapun. Tidak ada bekas dia ada di sini. Apakah itu hanya mimpi?

Mungkin.

Kebetulan membenciku, jadi tidak mungkin aku bisa bertemu dengannya cuma karena kebetulan.

Tiba-tiba, aku tersilaukan oleh cahaya terang yang seolah ingin membangunkanku.

Kemudian aku menyadari kalau itu adalah lampu depan dari sebuah truk yang memasuki daerah pembangunan. Pengemudinya menyadari keberadaanku dan berteriak,”Apa yang kau lakukan di sini?! Ini daerah terlarang!”

Memang, aku salah karena memasukki tempat ini, tapi itu bukan alasan untuk berteriak padaku, benar kan?

...Sial. Kalau aku masih memiliki Pendolo, aku akan membuatmu mengalami kecelakaan yang bagus...!

Tapi aku sudah tidak memilikinya.

Saat aku mengatupkan gigiku kesal, truk itu berjalan ke arahku.

Akan tetapi, kendaraan itu tiba-tiba mulai miring.

Setelah kuamati lebih dekat, aku menyadari kalau truk itu berjalan di atas balok baja yang kujatuhkan.

Seperti slow-motion, truk itu perlahan miring dan di saat akhirnya terjatuh sejajar dengan tanah, ia akhirnya jatuh dengan suara yang memekakkan telinga.

Lalu, sesudah suara tali putus, longsoran pipa baja yang tebal berjatuhan ke arahku.

“Huh?”

Saat pandanganku terpenuhi pipa0pipa yang tidak terhitung jumlahnya, satu pikiran memenuhi kepalaku:

—Bukankah aku sudah pernah memikirkan sebuah kebetulan dimana sebuah truk dengan beban berat terguling?



Saat aku sampai di toko dan menutup pintu, aku mengeluarkan desahan lega.

“Aku pikir aku sudah mati.”

Memang, aku bisa memprediksi kematianku dengan Vision, tapi bukan berarti aku aman.

Hanya karena aku bisa melihat masa depan, tidak ada jaminan kalau aku bisa mencegahnya.

Pada kejadian ini aku mungkin memang tahu dimana tiang itu akan terjatuh, tapi aku nasih bisa gagal dalam menghindarinya.

Lahipula, kalau dia benar-benar menemukan kebetulan yang tidak mungkin gagal, meramalkannya tidak akan berarti apa-apa.

Sebagai contoh absurdnya, bahkan aku akan menyerah kalau aku secara kebetulan diserang teroris dengan senapan mesin.

Itulah kenapa aku harus membuat ‘tempat pertunjukkan’ yang berbahaya.

Untuk membuat Mineyama percaya kalau aku bisa menghindari semua kebetulannya, aku dengan sengaja menempatkan diriku dalam bahaya dan menghindari pipa baja itu dua kali.

Aku lalu mencoba membuatnya untuk menyerah, menggertak kalau Relik-nya akan hancur atau dia akan ada dalam bahaya.

Meski begitu, dia tidak mendengarkan dan mencoba membuat beberapa tiang baja berjatuhan untuk ketiga kalinya.

Aku tidak cukup yakin apakah aku akan bisa menghindarinya.

Pada akhirnya, adalah aku yang selamat karena kebetulan.

Baru sekarang kakiku mulai gemetaran.

Aku bersandar ke pintu—tapi gagal, karena pintu itu terbuka tepat di saat itu, jadi aku terjatuh dipunggungku dengan sempurna.

“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Saki dari atas.

“Berguling kebelakang!” candaku. “Tapi hey, darimana kamu barusan?”

“...Aku cuma mencarimu karena kamu terlalu lama! Aku pikir dia mendapatkanmu dengan Relik-nya.”

“Kamu menghawatirkanku?”

“Ya.”

Bagian “khawatir” nya tersembunyi dengan sangat baik dalam ucapan tanpa ekspresinya.

“Katakan padaku Tokiya, kenapa kamu pikir dia mengincarmu?”

“Aku rasa dia berfikir kalau batu itu Relik asli yang membawa kesialan, karena dia tahu soal Relik. Dan kemudian dia memutuskan untuk membalas dendam pada kita karena menjualnya. Yah, tapi sepertinya dia juga tidak berfikir kalau kita mengetahui mengenai hal itu. Adalah hal baik mengkhawatirkan teman kita, tapi dia seharusnya mulai belajar untuk berfikir sebelum bertindak!”

“Hmm.” Aku tidak tahu dari ekspresi kosongnya apakah dia puas dengan jawabanku atau tidak. “Yah, bukannya aku peduli, tapi kenapa kamu tidak berdiri malah mengakar di bawah situ?”

Saki berjalan masuk ke dalam toko.

“Aku tidak mau mendengarnya darimu!”

Aku berdiri dan mencoba memasuki toko, tapi karena kakiku masih gemetaran, aku tersandung ambang pintu.

“Whoa!”

Kehilangan keseimbangan, aku secara reflek meraih ke depan dan memegang benda pertama yang bisa aku raih.

‘’Benda’’ itu kebetulan adalah Saki, dan kenyataan kalau aku berpegangan padanya adalah tidak lain,”Cu-cuma kebetulan! Sebuah kecelakaan!”

“Kamu terjatuh secara kebetulan dan harus berpegangan padaku?” dia berkata tanpa menunjukkan keterkejutan padaku yang berpegangan kepadanya... tidak, padaku yang menggunakannya sebagai sandaran. “Mana mungkin kebetulan yang sangat beruntung seperti itu bisa terjadi.”


Catatan Penerjemah:[edit]

  1. secara literal “Nama adalah pertanda” menunjukkan kalau nama sesuai dengan benda atau orangnya
  2. aku tidak yakin hutang apa yang dimaksud di sini, kemungkinan hutang budi
  3. sindrom takut pada laki-laki
  4. penglihatan
  5. yang pertama dia=laki-laki, yang kedua dia=perempuan
Mundur ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Maju ke Patung