Toradora! ~ Indonesian Version:Volume1 Chapter2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 2[edit]

Walaupun dimulai dengan kehebohan, kehidupan Takasu Ryūji sebagai siswa kelas 2 SMA berjalan lumayan lancar.


Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan.

Gosip bahwa "Takasu-kun adalah berandalan" telah hilang lebih cepat dari apa yang dibayangkan oleh Ryūji yang pesimis. Untungnya, banyak teman sekelas lama Ryūji, termasuk Kitamura, yang sekelas lagi dengannya tahun ini. Pentingnya lagi, dia telah dikalahkan oleh Palmtop Tiger dalam hitungan detik, sehingga orang-orang langsung berpikir bahwa dia hanyalah 'pemuda normal' (bahkan Ryūji ingin berterima kasih kepada Aisaka Taiga dari lubuk hati yang paling dalam karena hal ini).

Kedua, dia menghindari posisi sebagai pengurus kelas dan bangkunya yang dipilih melalui undian, yaitu bangku ketiga dari depan dan di pinggir jendela, adalah lokasi yang tepat untuk bersantai. Wali kelasnya sama dengan tahun lalu (Koigakubo Yuri, 29 tahun, dan lajang); selain alasan kenapa ia masih lajang di umur segitu, Ryūji tidak ada masalah dengan gurunya itu.

Selain itu...

"…Jika aku melakukan itu bagian ini akan mengeras! Apa ya namanya? Bagian dekat pinggir ini lho? Tapi karena bagian tengah masih lembek, ketika aku menuang jelly itu lewat pinggir seperti ini, aku harus…"

"Ow!"

"Wah, Takasu-kun! Maafkan aku…"

Alasan yang paling penting adalah ini:

Mataharinya, Kushieda Minori, sekarang menjadi teman sekelasnya. Alasan ini saja telah membuat hidup Ryūji berwarna seperti mawar dan menyilaukan seperti sinar mentari… Walaupun dia secara tidak sengaja menusuk mata Ryūji, kilauannya tetap tidak berkurang.

"A, apa kau tidak apa-apa? Maafkan aku, aku tidak sadar kau ada di belakangku! Uwaa.. Apakah jari tengahku menusuk matamu?"

"… Jangan khawatir, tidak masalah kok."

"Maafkan aku! Hmm, sampai dimana kita tadi? Oh ya, kalau aku harus menuang jelly di dalam ember seperti ini…"

"Ow!"

"Wah…! Sepertinya aku menusukmu lebih dalam! Maafkan aku!"

Tak apa, aku baik-baik saja, Ryūji melambaikan tangannya. Bahkan ini adalah anugerah buatnya. "Maafkan aku, maafkan aku!" kata Minori sambil menundukkan kepalanya, yang menguarkan wangi yang bahkan tak dapat ditolak oleh lalat sekalipun. Apapun yang terjadi, Minori yang sedang meminta maaf hanya menatapnya seorang, jadi, walaupun matanya tertusuk dua kali, itu hanyalah harga murah yang harus dibayar untuk menikmati anugerah seperti ini.

Ryūji tidak berharap Minori akan berbicara padanya. Dia sudah akan bahagia jika Minori berbincang di sekitarnya karena dia bisa mendengar suara Minori yang imut. Sewaktu menjelaskan betapa besar ember itu, dia membentuk tangannya seperti lingkaran; dan tiap kali dia akan menatap Ryūji (walaupun cuma bola mata Ryūji saja).

Tapi, ember apa sih yang sedang dia bicarakan? Menyadari ekspresi Ryūji yang kebingungan dia menjelaskan,

"Kami sedang membicarakan puding yang aku buat menggunakan ember."

Minori menggenggam jarinya (semoga kali ini aku tidak menusuk siapapun!) sambil berbicara dengan nada serius. Walaupun sepertinya 'menjelaskan' bukanlah kata yang tepat…

"Apa Takasu-kun suka puding?"

Dia berbicara kepadaku! Hati Ryūji mulai berdetak kencang sampai-sampai dia tidak bisa berkata-kata, gugup membuatnya gila. Padahal dia telah lama menunggu kesempatan ini..

"…Er…"

Hanya itu yang bisa dia ucapkan. Mungkin dia berpikir betapa membosankannya orang ini… Pasti dia tidak mau berbicara dengan orang seperti ini… Sewaktu Ryūji panik memikirkan apa yang harus dilakukan, Minori terus berceloteh tentang keinginannya untuk membuat puding di dalam ember.

"Tapi aku belum berhasil. Mungkin karena terlalu besar, jadi sulit untuk menyatukan jelly itu… Oh ya, aku bisa menunjukkannya padamu Takasu-kun! Sebagai permintaan maaf karena telah menusuk matamu!"

"Eh? …Me…Menunjukkan padaku?"

Apa dia mau aku mencicipi pudingnya? Mata Ryūji makin menajam saat menatap senyum manis Minori. Minori mengangguk dan menjawab,

"Ya, aku akan menunjukkannya padamu. Biar ku ambil."

Apakah aku bisa lebih beruntung daripada ini? Aku bahagia mataku ditusuk! Sambil melihat Minori yang berjalan ke bangkunya dengan gembira, tiba-tiba Ryūji merasa ingin kabur.

Jika dia benar-benar membawa puding itu aku harus berekspresi seperti apa saat memakannya? Sekarang bukan waktu makan siang, jadi aneh kalau harus memakan puding itu dengan rakus. Lagipula, jika dia membawa puding, haruskah aku makan langsung? Atau berterima kasih dan memakannya nanti?

"Sial… A, Aku tidak tahu lagi…!"

Gugup, dia mengusap wajahnya. Apapun yang terjadi, aku harus membersihkan mejaku. Dia telah memutuskan untuk makan di tempat.

Merasa bersemangat, hati Ryūji berdetak makin kencang. Dia mengalihkan pandangan dari Minori, yang baru saja kembali, karena terlalu menyilaukan untuk dilihat secara langsung. Minori tersenyum ceria dan memiringkan kepalanya sambil berdiri di dapan Ryūji, kemudian…

"Ini dia, Takasu-kun,"

Dengan suaranya yang lembut Ryūji berpikir bahwa dia bisa melihat bentuk hati muncul setelah dia berkata 'Takasu-kun.' Mengangkat kepalanya pelan Ryūji menerima benda yang diberikan kepadanya dengan sopan.

"…Ah, um. Ini…"

Benda itu lebih tipis dan ringan dari apa yang dia bayangkan…

"…Ini foto yang hebat…"

"Tapi kelihatan menjijikkan bukan?"

Jadi dia menunjukkan foto, bukan puding. Walaupun benda yang terlihat di foto kelihatan menjijikkan, foto itu tetap hebat. Di atas tikar plastik ada ember besar yang berisi krim kuning kecoklatan… Tidak, kelihatannya lebih seperti lendir. Walaupun berkata seperti ini akan menyinggung minori, itu tidak terlihat seperti puding. Di foto kedua, lendir itu dituang dengan pelan dan lengket, membuat tempat disekitarnya ternoda cairan padat dan encer. Lalu di foto ketiga…

"Bahkan baunya aneh… Kurasa karena embernya tidak dicuci dengan bersih!"

Minori berlutut di satu kaki sambil makan lendir itu dengan sendok yang besar. Aku mau foto itu! Saat Ryūji baru saja memikirkan hal itu…

"Makasih sudah mau lihat! Aku masih harus menunjukkan ini ke Taiga juga. Eh? Kemana dia? Tadi dia masih ada disini."

Minori mengambil kembali fotonya dan dengan cepat meninggalkan Ryūji dan berlari untuk mencari si Palmtop Tiger, Aisaka Taiga. Berakhirlah sudah anugerah tersebut.

…Masih harus menunjukkan ini ke Taiga… Eh?

Ryūji menghela napas sambil melihat gadis impiannya meninggalkan kelas untuk mencari si sahabat. Dia sangat beruntung bisa sekelas dengan gadis itu. Dia bisa melihat Minori kapanpun selama waktu sekolah, jadi dia tidak lagi harus menyelinap keluar kelas dan mengintip lewat pintu hanya untuk melihat senyumnya. Bahkan seorang pemain belakang mempunyai kesempatan untuk mencetak gol. Jika ini bukan suatu keberuntungan, dia tidak tahu apa lagi itu.

Tapi, untuk lebih dekat ke Minori, dia harus menghadapi satu rintangan… Yaitu Aisaka Taiga yang selalu berada di sisi Minori kapanpun.

Sejak Upacara Pembukaan, Ryūji telah menjaga jarak dengan Aisaka. Sepertinya gadis itu sulit didekati, tapi jika dia menjauhi Aisaka maka dia tidak akan bisa mendekati Minori, dan itu adalah hasil yang paling buruk untuknya (walaupun ini bukanlah satu-satunya alsan dia tidak bisa mengobrol dengan Minori).

Sepertinya Aisaka tidak mendeteksi Ryūji dalam radarnya, sedangkan Ryūji berusaha keras menghindari semua kesempatan yang membuat mereka berinteraksi; sejauh ini gadis itu belum menjadi rintangan.

Tujuan utama Ryūji adalah mencoba menyingkirkan Palmtop Tiger dan mendekati Minori seorang. Ini mungkin jika dia bisa mengumpulkan momen keberuntungan seperti tadi.


Dan itulah, kehidupan Ryūji yang pahit manis berjalan cukup lancar.

…Sampai hari ini, tepatnya, saat sekolah telah usai.


* * *


"WHOA…!"

Dia tidak bisa berkata apapun saat membuka pintu kelas dan melihat keadaan di dalam…

Ada dua, tidak, tiga kursi terlempar ke udara.

Diikuti dengan suara keras saat kursi itu mendarat di lantai. Di antara suara keras dan kursi-kursi yang melayang, dia bisa melihat sekilas sosok manusia.

Apa yang telah terjadi? pikir Ryūji sambil mengedipkan matanya yang garang. Sesungguhnya, dia sangat ketakutan hingga tak bisa menarik napas.

Sebagai murid yang sedang bertugas, dia harus meninggalkan kelas untuk mengurus beberapa hal, jadi dia tidak bisa langsung pulang. Normalnnya, tidak akan ada orang di dalam kelas saat ini, tapi yang baru saja dia lihat…

Tidak salah lagi, dia telah melihat seorang gadis berseragam beberapa saat yang lalu. Mungkin karena melihat Ryūji masuk kelas dia berlari ke pojok dan bersembunyi di lemari sana. Pada waktu yang sama, Ryūji juga melihat kursi-kursi terlempar ke udara dan jatuh dengan suara keras. Walaupun begitu, dia masih bisa melihat orang itu dengan sangat jelas sekarang, karena ada cermin di pojok atas ruang kelas yang benar-benar menampakkan punggung dan kepala gadis itu.

Hebatnya, orang tersebut berusaha menyembunyikan tangan dan kakinya dengan bergelung diam. Sepertinya dia tidak menyadari cermin di atasnya, karena dia bahkan menjulurkan lehernya untuk mengecek keberadaan Ryūji.

Glek! Ryūji menelan ludah dan berpura-pura tidak melihat apapun. Ini karena gadis kecil itu… Yang dinamakan Palmtop Tiger. Hanya dengan melihat pantulan punggungnya di cermin Ryūji sudah tahu siapa dia. Rambut yang panjang dan wajah yang putih pucat… Selain itu, untuk orang sekecil ini, satu-satunya yang bisa Ryūji pikirkan hanyalah Aisaka. Mungkin gadis itu sedang mengerang, Kenapa dia harus muncul sekarang!?

Akhirnya, Ryūji memutuskan dia tidak melihat apapun, tidak mendengar apapun, dan tidak tahu apapun.

Setelah mengambil keputusan itu, Ryūji memutuskan untuk memasuki kelas. Walapun dia tidak ingin masuk ke tempat dimana (untuk alasan apapun) Palmtop Tiger bersembunyi, dia meninggalkan tasnya di dalam dan tidak bisa pergi tanpa itu.

Kelas yang disinari oleh matahari senja itu hening, rasanya seperti Aisaka adalah laba-laba yang sedang menebar jaringnya atau membuat medan yang kuat sehingga memasuki kelas itu membuat tulang-tulang serasa tertekan. Ryūji berjalan hati-hati, berusaha keras untuk berjalan seakan tidak terjadi apapun dan bersikap seolah-olah dia tidak tahu gadis itu ada disana…

"Ah…"

Satu gerakan yang salah dan seluruh kelas diisi oleh sahutan gugup.

Objek yang sedang menggelinding keluar itu membuang semua usaha Ryūji ke luar jendela. Dengan menggelung tubuhnya erat, Aisaka Taiga kehilangan keseimbangan dan menggelinding keluar dari pojok lemari. Sial untuk gadis itu karena dia berhenti tepat di depan Ryūji.

"…"

"…"

Aisaka menatap ke atas, sedangkan Ryūji ke bawah. Ini bukanlah jarak dimana seseorang bisa berpura-pura tidak ada apapun. Keduanya bertukar pandangan untuk beberapa detik…

"Apakah kau… baik-baik saja?"

Ryūji berhasil mengeluarkan kata-kata itu dari tenggorokannya. Ragu-ragu, dia mengulurkan tangannya ke Aisaka yang berusaha untuk bangun, tapi yang dia dapat hanyalah gumaman seperti, "Aku tidak butuh bantuanmu" atau "urus saja urusanmu." Pandangan tajam Aisaka menusuk Ryūji lewat poninya.

Ryūji hanya bisa mundur dan memberikan tempat untuk Aisaka bangun. Dia menundukkan kepalanya sambil membersihkan debu di roknya dan tetpa menjaga jarak dari Ryūji, dengan punggung menghadap jendela dan mata tajam ke mangsanya. Sepertinya dia tidak berencana untuk meninggalkan kelas. Bukankah seharusnya dia merasa malu? Mungkin pemikiran seperti ini tidak berlaku untuk Palmtop Tiger.

Jika Aisaka tetap di kelas ini maka Ryūji harus pergi secepatnya.

"O ya, tas…"

Ryūji sengaja mengeraskan suaranya agar didengar Aisaka dan segera mengambil tasnya.

Aisaka Taiga tetap berdiri di sebelah jendela sambil menatap Ryūji. Ryūji tidak tahu ekspresi macam apa yang dipasang Aisaka karena dia terlalu takut untuk menoleh. Bagaimanapun, dia berjalan sediam mungkin untuk mengurangi keberadaannya. Saat Ryūji melangkah, dia merinding karena ditatap oleh Aisaka. Aku tidak boleh bereaksi. Aku tidak boleh memancingnya. Aku harus berjalan santai…

Tapi tasnya tidak di atas meja. Dia ingat bahwa dia sedang berbicara dengan Kitamura sewaktu hendak keluar kelas dan meletakkan tasnya di atas meja Kitamura. Ketika dia telah mengambil tas itu, dia akan segera keluar kelas. Menahan kegugupannya, Ryūji meraih tasnya pelan, 20cm lagi, 10 cm…

"AH!"

…Dia terlonjak.

Apa yang terjadi?

Apakah Aisaka Taiga ingin menghentikanku? Ryūji menolehkan kepalanya dan menatap boneka kecil yang sedang berdiri di samping jendela itu.

"A, apa?"

"…A…Apa. Yang. Kau. Lakukan?"

Sesuatu yang mustahil sedang berlangsung disini… Si Palmtop Tiger tiba-tiba terlihat sangat pucat hingga hampir pingsan.

"…A, Aku cuma mengambil tasku, dan… Ai, Aisaka? Ada apa? Kau terlihat aneh."

Bibirnya yang mungil kemerahan membuka dan menutup, sambil berjalan maju mundur seperti sedang menarikan tarian aneh, jemarinya bergetar di depan wajahnya.

"K, k, k, kau bilang tasmu? Tapi bukannya mejamu disana? K, k, k, kenapa, kenapa ada di s, s, s, s, situ?"

Dia terbata-bata sambil menatap Ryūji tidak setuju.

"…Kenapa ada disitu? Aku sedang berbicara kepada Kitamura ketika dipanggil guru…jadi aku letakkan disitu… WHOA!"

Aisaka, yang seharusnya berjarak beberapa meter, telah memendekkan jarak diantara mereka dalam sekejap dan muncul di hadapannya. Darimana dia mendapatkan pergerakan yang sedemikian hebat dengan badan sekecil itu?

"…! …! …!"

"Tu, tunggu!? Ai, Ai…saka?!"

Dengan kekuatan dahsyat gadis itu memegang tas Ryūji yang sedang didekap Ryūji di dada dan berusaha menariknya.

"Pi, pinjamkan padaku…! Lepaskan!"

Dengan jarak sedekat itu, Ryūji bisa melihat wajah Aisaka lebih merah daripada senja di luar. Wajah imutnya seperti iblis dan ekspresinya sangat menakutkan.

"Meminjamkannya… padamu?! Berhenti bermain-main…!"

"Umph~!"

Ryūji tidak bisa mendorongnya, jadi dia memutuskan untuk bertahan di tempat, karena jika dia melepaskan Aisaka, tubunhnya yang munggil akan melayang cukup jauh.

Betapa baiknya Ryūji.

"Uuuuuuuuummmmph~!"

Aisaka memutar pinggulnya dan menarik tas itu dengan kedua tangan, matanya tepejam erat dan pembuluh darah di keningnya mulai terlihat. Dia berusaha menang dengan kekuatan penuh.

Jari demi jari, Ryūji perlahan mulai kehilangan pegangan di tasnya. Bahkan kakinya, yang menapak ke bumi, mulai terseret. Singkatnya, dia hampir kalah.

"H, hei, bahaya… Lepaskan, sekarang!"

"Uuuuuuuuummmmph… Ah…? Ahhhh…"

Aku tidak bisa menahannya lagi…! Saat Ryūji memikirkan itu, tiba-tiba Aisaka terlihat pusing dan jatuh ke belakang, tangan mungilnya membentang ke lantai dan melepaskan tas Ryūji… Dia melepaskan?!

"…AHHHH!!!"

"HATSYIM!"

Bruak!

"…AHHHH!!!" diucapkan oleh Ryūji, "HATSYIM!" diucapkan oleh Aisaka, sedangkan suara jatuh karena Ryūji lagi. Jadi, intinya, Ryūji berteriak horor, Aisaka bersin dan kepala Ryūji membentur sesuatu.

"Owww… Sakit! K, kau… Apa sih yang kau lakukan… Sakit, tahu tidak? …Aku bisa mati!" Ryūji protes, matanya berair.

"Ugh…"

Aisaka membuat suara bersin yang aneh, mengabaikan situasi di sekitarnya. Setelah menyebabkan Ryūji kehilangan keseimbangan, dia bersin dan jatuh di lorong antara meja-meja.

"Ai, Aisaka?! Hei, kau tak apa?"

Rambut panjangnya tersebar di lantai, badan mungilnya tergelung dan dia mengerang pelan. Tidak ada respon. Apakah dia sakit? Ryūji mengusap bagian belakang kepalanya sambil berlari ke arah gadis itu. Wajah yang tadinya merah padam sekarang tidak berwarna, bibirnya yang bergetar kini seputih kertas, dan keningnya berkeringat.

"Wua… Kau, kau terlihat pucat! Apa kau anemia? Hei, pegang tanganku."

Gadis itu sama dengan Yasuko. Kali ini, dia tidak ragu-ragu dan mengulurkan tangannya…

"…!"

Tangan itu ditampar oleh tangan Aisaka yang sedingin es. Walaupun gemetar hebat, Aisaka bisa berdiri dengan memegang meja.

"Ai, Aisaka! Apa kau baik-baik saja?"

Masih tidak ada respon. Tiap langkah yang dia ambil membuat meja yang dipegangnya bergetar dan rambut panjangnya bergetar. Sosok mungilnya seperti ingin lari secepat mungkin. Saat dia duduk beberapa saat yang lalu, roknya tersingkap dan menampakkan pahanya yang kecil dan mulus.

"Tunggu, bukankah sebaiknya kau ke UKS dulu?"

Mungkin kedengarannya berisik, tapi dia tidak bisa meninggalkannya sendirian, tapi saat Ryūji akan mengikuti…

"Menjauh dariku… Kepala babi!"

Dia berucap dengan nada garang yang terdengar seakan-akan telah terpojok. Ryūji langsung menghentikan langkah kakinya. Jika dia masih punya tenaga untuk beteriak, berarti dia baik-baik saja, ya kan…?

"K, kacaunya…"

Ryūji yang sekarang sendirian, menghembuskan napas capek.

Langkah kaki Aisaka di koridor makin memelan, dan orang yang dipanggil kepala babi, masih berada di kelas.

Kepalanya masih sakit karena jatuh, dia melihat tasnya, yang seperti bayi di cerita Ooka Tadasuke, hampir terkoyak dua dan sekarang tertutupi cakaran Aisaka. Kelas yang tadinya rapi sekarang berantakkan, tidak dapat diterima.

Kacaunya.

Meja-meja, Aisaka, semuanya kacau. Betapa menyusahkan.

Karena sensitif oleh hal-hal seperti ini, Ryūji mulai membereskan meja-meja sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kelas yang seharusnya kosong selepas sekolah, Aisaka Taiga yang menggelinding, tasnya yang hampir direbut, bersin, kepalanya yang terantuk, anemia… Tidak, dia tidak bisa memikirkan tentang apa ini.

"Aku tidak jago dengan hal-hal membingungkan seperti ini…"

Ryūji bergumam dan menghela napas.

Butuh tiga jam lagi sebelum Ryūji bisa memahami apa yang baru terjadi.


* * *


Untuk Kitamura Yusaku-kun, Dari Aisaka Taiga

"I, ini… AH…!"

7pm. Karena Yasuko harus bekerja dengan teman-temannya malam itu, dia pergi lebih awal dari biasanya. Setelah membuat makan malam untuk satu orang, Ryūji akhirnya memahami kejadian misterius sepulang sekolah tadi.

Tepatnya, saat dia masuk ke kamar empat setengah lantai tataminya untuk mengerjakan PR dan membuka tas untuk mengeluarkan buku. Saat itulah dia menyadari sesuatu itu…

Sebuah amplop berwarna pink muda. Inikah kertas yang disebut washi? Motif bunga sakura keperakan menghiasi kertas semi-transparan itu.

Di depan amplop tertulis: "Untuk Kitamura-kun"

Sedangkan di belakang tertulis: "Dari Aisaka Taiga. Aku menghabiskan banyak waktu untuk menulis ini. Jika mengganggumu silakan dibuang saja!"

Kata-kata itu ditulis dengan tinta berwarna biru muda.

Kelihatannya bukan undangan duel, juga bukan seperti memo pengurus kelas, dan pastinya bukan surat hutang.

"A, apakah ini… surat cinta…!?"

Sangat tak terduga.

Penasaran, Ryūji mengernyitkan mata garangnya, bukan karena dia marah, tapi karena dia sangat stres.

Singkatnya, Palmtop Tiger salah tas. Merasa tas itu adalah tas Kitamura, dia menyelipkan amplop itu diam-diam. Ini juga menjelaskan kenapa dia berusaha sangat keras untuk mengambil tas itu darinya.

"…Ini, kau salah memasukkannya ke tasku kan? Aku tidak membaca isinya, jadi aku tidak tahu apa ini. Ambillah…"

Ryūji mulai berlatih cara mengembalikan surat itu dengan cuek.

"Mustahil!"

Tapi itu hanya sekejap. Aku tidak bisa melakukan ini, sulit sekali. Aku tidak bisa lagi berkata aku tidak tahu apapun! Tapi aku tidak bisa memikirkan yang lebih baik. Baiklah, aku akan mengembalikan ini ke Aisaka seakan tidak terjadi apa-apa! Hanya itu yang bisa kulakukan.

Walaupun ini surat cinta, mungkin dia tidak tahu kalau aku tahu, jadi aku tidak usah mengatakan apapun dan membuatnya makin rumit. Walaupun agak mustahil, tidak ada jalan keluar dari ini. Agar Aisaka tidak malu dan melukai harga dirinya dan membuatnya benci dirinya sendiri, inilah satu-satunya cara.

Ryūji memaksa dirinya untuk menerima keputusan itu dan mulai memasukkan benda berbahaya itu ke dalam tas, kemudian sesuatu yang tak diharapkan terjadi…

"…Eh..."

Jantungnya berhenti berdetak sesaat.

Agar tidak merusak amplop itu, Ryūji berhati-hati memegangnya di telapak tangan, namun tiba-tiba amplop itu terbuka sendiri. TIDAK! Jangan terbuka! Walaupun telah berteriak di dalam hati, segel amplop itu yang lumayan longgar dan terbuka karena beratnya sendiri, ini membuat Ryūji hilang napas sekejap.

Dan kemudian, kriminal yang membuka surat untuk orang lain pun lahir.

"Tidak, tidak… TIDAK! Tapi aku tidak lihat apapun! Benar! Aku harus mengelemnya…! Dan tidak seorangpun yang akan tahu!"

Benar! Inko-chan membeo dari ruang keluarga. Ryūji mencari lem di dalam lacinya membabi buta.

Setelah menemukan lem itu, Ryūji hendak mengelem kembali amplop itu tanpa jejak saat…

"…Eh, ehhh~?"

Ryūji sangat terkejut dan langsung menghentikan pekerjaannya.

Tidak ada surat di dalam amplop itu. Ragu-ragu, dia membuka amplop itu lagi, mengintip ke dalam dan memastikan kembali dengan menyinari amplop semi-transparan itu… Tidak ada apapun di dalam.

…A… Apa!?

Ryūji menjatuhkan wajahnya ke atas meja. Apa-apaan? Sungguh, berhentilah bermain-main! …Dia sungguh kikuk!

Aisaka Taiga, dasar bodoh!

Bersembunyi di tempat yang terlihat, menggelinding di depanku, salah tas, menghabiskan energi untuk merebut tas itu, bersin, pingsan… Semuanya hanya untuk mengambil amplop kosong… Bodoh itu ada batasannya!

Setelah sadar, Ryūji kembali mengelem amplop kosong itu karena dia sudah merasa murung.

Apakah aku masih bisa berpura-pura tidak terjadi apapun saat aku mengembalikan ini ke Aisaka besok? Ketika dia menyadari betapa bodohnya semua hal ini, Ryuji berdoa semoga dia tidak tertawa besok, karena mungkin saja dia bakal dimakan hidup-hidup oleh si Palmtop Tiger.

Pokoknya, masalah selesai sekarang.

Dan malam yang menakjubkan itu makin gelap…


2am.

Tiba-tiba Ryūji terbangun dan membuka matanya perlahan.

Sepertinya dia memimpikan sesuatu… Setelah melihat jam, dia menggaruk perutnya dan berpikir. Biasanya dia bisa tertidur sampai pagi, kenapa dia terbangun tengah malam begini?

Mungkinkah karena dia hanya memakai t-shirt dan boxer? Ryūji menggigil walaupun saat ini sudah pertengahan April… Apa karena jendelanya terbuka? Karena apartemen mewah itu tepat di seberang jendelanya, keamanan di rumah cukup kendur. Walaupun tidak ada apapun di dalam rumah itu yang bisa dicuri, Ryuji tetap menutup jendela dan menguncinya.

Setelah bangun dari tempat tidur (yang dibelinya sendiri), Ryuji menguap pelan, dia merasa gelisah. Apa mimpi buruk? Jantungnya berdetak kencang… seseorang seperti sedang mengawasinya… rasanya ada atmosfer aneh yang tak bisa dijelaskan.

"…Tenang…"

Berjalan di atas tatami, dia berpikir apakah ada yang salah di tempat kerja Yasuko. Ryūji mengecek telepon, tapi tidak ada panggilan dari bar. Mungkin aku terlalu berlebihan. Ryuji mengela napas, Aku ingin ke kamar mandi. Dia mulai berjalan telanjang kaki di lantai dapur menuju kamar mandi.

Saat itu…

"…WHOA…!?"

Dia merasa ada kibasan dingin di sekitar lehernya. Insting menyuruhnya untuk berbalik, tapi kakinya menginjak koran di lantai dan dia pun terjatuh dengan indah ke belakang. Duak! Punggungnya menghantam lantai dan menyebabkan getaran dari pinggul sampai ke kepalanya dan dia tidak dapat bernapas sesaat.

"……!"

Dia juga tidak bisa berteriak.

Dengan instensitas tinggi, sesuatu baru saja membelah dimana kepala Ryūji berada tadi. Setelah gagal menyentuh Ryūji, objek tersebut memukul sesuatu di samping Ryūji dan menyebabkan bunyi yang menakutkan.

"…Uuu…"

Di dalam apartemen dua kamar dan satu dapur itu berdiri sesosok siluet yang mencurigakan. Orang itu kembali mengayunkan objek yang berbentuk seperti tongkat langsung ke Ryūji… Ryūji diserang!

Tapi, kenapa!? Apakah ini mimpi? Seseorang tolong aku!

Ryūji berputar di lantai diam-diam. Haruskah aku nyalakan lampunya? Atau menelepon polisi? Atau induk semang? Pikirannya kosong, dia tidak bisa memikirkan apapun, dan badanya kaku sehingga dia hanya bisa mengindari serangan itu dan mencoba merangkak ke pintu keluar, tapi…

"UWAAAAAA!"

Dia hampir kena! Senjata itu diarahkan tepat ke kepalanya! Refleks, Ryūji mengayunkan kedua tangannya dan mencoba menghentikannya…

"Ah… A, Aku berhasil menangkapnya…!"

Dia tidak percaya bisa menangkap senjata itu, walaupun sepertinya hanya karena keberuntungan.

"…Ugh…!"

Saat senjata itu tertahan, penyusup itu berusaha lepas dengan kekuatan dahsyat. Ryūji juga megerahkan seluruh kekuatannnya. Kedua kekuatan itu saling mendorong dan bayangan mereka berkedip dalam kegelapan. Llau dia menyadari sosok kecil dan yang terlihat seperti rambut panjang itu… Yang benar saja!? Ryūji tahu identitas penyusup itu; sesungguhnya, dia sudah menyadarinya sejak awal.

Menggeretakkan giginya sambil bertahan, Ryūji mengambil kesimpulan. Pasti dia! Siapa lagi selain anak itu yang bisa melakukan kekacauan seperti ini!?

Tapi, saat dia hendak memastikan identitas penyusup itu… Ahh! Tidak bisa! Lengannya bergetar hendak menyerah, bahkan leher kerasnya sudah hampir mencapai batas. Aku bakal mati…

"…Heh…HAA…"

HATSYIM!

Keseimbangan itu langsung hancur!

Bersamaan dengan suara bersin yang aneh, tekanan hebat itu hilang, menyerah ke kekuatan yang masih dikerahkan Ryūji. Penyusup itu terdorong sambil berteriak pelan, "Ah, wah!" sebelum terjatuh ke kasur. Ryūji berdiri cepat dan menyalakan lampu…

"Aisaka!"

"…"

"Pakai tisu, hoi!"

Ryūji melemparkan kotak tisu ke arah Palmtop Tiger, Aisaka Taiga yang sedang mengusap hidung dengan gaunnya seperti tidak terjadi apapun.


* * *


Rambut panjangnya tergerai ke belakang. Dia memakai gaun longgar yang bertumpuk-tumpuk dan dihiasi pita. Sungguh baju yang pas untuk sosok kecilnya…

"Be, berikan aku pedang kayu itu…"

Ryūji menyesal tidak membuang senjata Aisaka Taiga sedari tadi…

Dia bisa mengambilnya saat menyalakan lampu, dia bahkan bisa mengambilnya saat memberikan tisu kepada gadis itu, akhirnya, krisis belum terpecahkan. Mata Aisaka berkilat seperti harimau mengincar mangsanya, dan mulai mengelilingan ruang sempit itu. Tentu saja, Ryūji juga mnejaga jarak dan mengelilingi ruangan itu dalam balutan boxer.

Ini harus diselesaikan. Saat dia memikirkan hal itu…

"Aisaka… Aku tahu apa yang kau pikirkan, kau ingin aku mengembalikan surat… cinta itu kan? Surat yang kau salah masukkan ke tasku."

"…!"

Sesaat setelah Ryūji berani bicara, secepat kilat, Aisaka, yang masih berkeliaran, tiba-tiba menjadi besar… kelihatannya. Dia seperti bom yang hampir meledak… dengan sumbu yang telah disulut.

"A, aku akan mengembalikannya kepadamu! Jadi tolong tenang! Aku tidak membaca isinya!"

"… Kau pikir bisa lari dengan hanya mengembalikannya?!"

Dia mengeram dengan nada rendah seperti akan meloncat dan menerkam,

"Jangan bercanda… Karena kau sudah tahu keberadaan surat itu.."

Wuuss! Pedang kayu itu mengayun anggun ke arah kepala Ryūji.

"Bersiaplah mati!"

"WUA!!"

Toradora vol01 067.jpg

Dia menyerang Ryūji dengan pedang kayunya mengarah lurus ke kepala Ryūji. Bagaimana bisa dia begitu cepat? Dari beberapa meter hingga dalam sekian detik sudah mencapai dada Ryūji, dan kalau pedang kayu itu tidak meleset dan menghancurkan dinding (Depositku!), Ryūji pasti sudah mati,

"Sial!"

"Brengsek!"

Dengan air mata, Ryūji berusaha kabur dan berteriak sekencang mungkin,

"Orang macam apa yang ingin membunuh teman sekelasnya sendiri?!"

"Diam! Karena kau sudah tahu surat itu, bagaimana bisa aku menunjukkan wajahku? Hanya kematian yang bisa menyelamatkanku dari hal memalukan ini!"

Dia mengarahkan pinggir pedangnya ke leher Ryūji.

"Hei! Jika kematian satu-satunya jalan keluar, kenapa aku yang harus mati!?"

Ryūji berhasil menghindari serangannya itu dengan insting dan keberuntungan, tapi kekuatan Aisaka terlalu dahsyat dan merobek fusuma (Aku baru saja menggantinya!). Tanpa menunjukkan tanda-tanda keraguan, matanya seolah berkata Aku akan membunuhmu dengan segenap tenaga!

"Aku belum mau mati, jadi aku harus membunuhmu! Maaf ya, makanya cepat mati! Jika tidak, aku akan menghapus semua ingatanmu tentang hal itu!"

"Tidak mungkin!"

"Tentu saja mungkin, asal aku menggunakan ini…"

Dia menatap pedang kayunya yang berkilauan,

"Yang harus aku lakukan hanyalah memukul kepalamu dengan ini, kau tidak akan mati, tapi mungkin bisa menghapus seluruh ingatanmu!"

"Jangan menghapus ingatan orang sembarangan!"

Bagaimana mungkin dia sangat egois!? Mustahil berdebat dengannya. Akal sehat, etika, memikirkan orang lain, semua ini tidak berlaku untuk Aisaka.

Ahh! Makanya aku tidak mau berurusan dengannya!

Kebalikan dengan Ryūji, yang hampir muntah darah, Aisaka sibuk mengamuk di tempat itu. Untuk menyerang Ryūji, yang terus kabur, dia memukul ember di atas lemari, melubangi fusuma, dan menendang meja kecil sambil berteriak,

"Hilangkan ingatan tentang surat cinta itu!"

Apakah kau mengaku telah menulis surat cinta itu sendiri, dasar Palmtop Tiger!? Tidak bakal ada yang tahu kalau itu surat cinta jika kau tidak bilang apapun. Hebat, sekarang dia mengaku terang-terangan dan membuat semua lebih kacau lagi. Tidak, dari detik pertama aku berurusan dengan Aisaka, semuanya sudah kacau, belum lagi…

"Kau lihat kan!? Kau lihat! Kau pasti berpikir aku ini idiot… i… idiot… hiks, hiks, uuu…"

"Ap!? Hei! Tunggu… apakah kau… menangis?"

"Tidak!"

Dari lolongan ganasnya seseorang pasti merasakan helaan napas yang tertahan dilepas, mata yang mengamati Ryūji agak merah dan pinggirnya agak berair. Aisaka terlihat sedang menangis sedikit. Tapi seharusnya aku yang menangis… Lebih bagus lagi kalau aku bisa menangis tanpa harus menghindar, tapi ini masalah hidup atau mati…

Argh, sialan, apa-apaan sih ini sebenarnya!? Kenapa aku yang diserang? Seperti aku melakukan kejahatan saja.

Merasa capek, Ryūji memutuskan untuk menerima nasib saja. Setelah berpura-pura menghindari serangan, dia memegang pergelangan tangan Aisaka. Saat itu, Ryūji merasa betapa kecilnya tangan gadis itu hingga bisa diputar dengan mudah, dan dia merasa takut lagi.

"Lepaskan!"

Dia harus mengeluarkan kartu as-nya sekarang. Dengan satu tarikan napas. Aku minta maaf, para tetangga! Maafkan aku, ibu induk semang! Dia pun berteriak dengan segenap jiwa raga,

"Tidak akan ku lepas! Dengarkan aku Aisaka! Kau membuat kesalahan hebat! Amplop itu…"

"Le… pas… kan…"

Setelah memaksa lepas dari genggaman Ryūji, dia bisa menyerangnya dalam jarak dekat! Saat mata Aisaka berkilauan dengan niat membunuh…

"AMPLOP ITU KOSONG!!!"

Teriakan Ryūji tepat pada waktunya.

Pedang kayu itu terhenti pas di atas kepala Ryūji, hampir membelah sebagian rambutnya. Lalu diikuti oleh keheningan yang canggung. Setelah beberapa detik, akhirnya dia berkata.

"…Kosong…?"

Suara kekanakannya bertanya pada Ryūji, dan dia menggangguk-angguk kencang.

"Be, benar, amplop itu kosong… makanya aku bilang tidak melihat apapun di dalam, dan, o ya, syukurlah kau tidak memberikan amplop itu kepada kitamura. Apakah kau tahu kau hampir jadi bahan lelucon?"

Mata berkaca-kaca itu membesar dan Aisaka tidak bergerak. Mengambil kesempatan, Ryūji merangkak cepat dari gadis itu dan menuju kamarnya di balik fusuma. Tangannya gemetar saat dia berusaha mencari surat itu di dalam tas.

"Ini! Lihat, lihat?"

Dengan mata yang terlihat uratnya, Ryūji menjejalkan surat itu ke tangan mungilnya. Pedang kayu itu berbunyi saat jatuh ke lantai, dia mulai goyah, walaupun masih berdiri dengan kaki terbuka, dan memeriksa amplop itu lewat cahaya lampu.

"… Ah…"

Bibir merahnya terbuka kecil.

"Ah, ah… Ahhh… AHHH! UWAAA!"

Dengan rambut berantakkan, Aisaka merobek amplop itu dan mengguncangnya atas bawah. Setelah memastikan tidak ada apapun di dalam, dia berbalik dan menatap Ryuujji tanpa ekspresi,

"… Aku tidak bisa diharapkan…"

Setelah mengucapkan itu, dia duduk perlahan di lantai. Matanya yang terbuka lebar, perlahan menutup. bibir tipisnya gemetar pelan, sedangkan dagunya bergemeretak.

"Ai, Aisaka?"

Mati sesaat…

Duduk di sebelah Ryūji, wajahnya menjadi pucat dan badan mungilnya yang terbalut gaun jatuh seperti itu di ruang keluarga apartemen dua kamar dan satu dapurnya,

"Hei! Aisaka! Kau tidak apa-apa?"

Semua terlalu tiba-tiba, Ryūji berlari cepat dan membawa boneka yang tak sadarkan diri itu di lengannya.

Saat itu…


Kriuk~ Kriuk~


"Apakah itu… perutnya… yang berbunyi?"


* * *


Di kediaman Takasu, selalu ada makanan.

Bawang putih dan jahe telah dikupas sebelumnya, sedangkan bawang merah tersedia setiap saat. Sedikit lobak ditambahkan dan terakhir daging asap dan telur. Tentu saja, agar tidak kekurangan rasa, dapur itu selalu mempunyai bubuk sup, cabe, serta bumbu sup tulang ayam.

Sedikit minyak jarak ditambahkan ke satu setengah cangkir nasi, lalu ditaburi lobak. Nasi itu berwarna kuning saat ditambahkan telur, sisanya tinggal menambahkan bawang merah dan daging asap.

Setelah memasukkan adiktif - sedikit merica, garam, dan saus tiram - terakhir hanyalah menghiasnya dengan ketumbar.

Disajikan bersama sup, yang hanya membutuhkan air panas di atas potongan bawah putih dan bumbu sup ayam, seluruh hidangan itu selesai dalam 15 menit. Bahkan masih ada waktu untuk membersihkan cucian sembari memasak makanan itu.

Walaupun waktu menunjukkan pukul 3 pagi, kemampuan memasak Ryūji masih tanpa cela.

"Ba… bawang…"

Kriuk~….. Ryūji bisa mendengar gadis itu berbicara dalam tidur di antara gemuruh lapar. Apakah gadis ini harus didorong…

"…Ai, Aisaka Taiga, bangun! Jika kau mau bawang, ini, dengan minyak jarak juga."

Ryūji mengguncang pelan sosok kecil yang sedang tidur di kasur itu.

"Goreng… goreng…"

"Iya, nasi goreng!"

"Nasi… goreng…"

Liur mulai mengalir dari pinggir bibir pucatnya. Karena sudah aku lihat, tidak mungkin ku biarkan saja. Ryūji berpikir dan tidak bisa menahan diri untuk mengelap mulutnya dengan tisu.

"Bangun, atau nasi gorengnya bakal dingin!"

Bulu mata Aisaka bergetar. Agar tidak menyentuh Aisaka, Ryūji menariknya turun dari matras dengan menarik gaunnya. Bahkan Aisaka berkedut saat bangkit.

"… Ah… Eh?"

Sepertinya dia sudah bangun. Sambil merengut, dia menyentakkan tangan Ryūji dan menyingkirkan handuk basah dari keningnya. Mengendus kecil, dia berkata,

"… Apa itu? Baunya… seperti bau bawang…"

Matanya berputar untuk melihat sekeliling.

"Bukankah aku sudah bilang itu nasi goreng? Cepat makan, biar gula darahmu naik! Atau kau akan pingsan lagi."

Ryūji menunjuk sepiring nasi goreng di atas meja pendek. AH! Matanya berkilat sebentar, tapi…

"… Apa yang kau rencanakan…?"

Dia menyipitkan matanya dan merengut, menatap Ryūji langsung, yang memakai baju training.

"Kenapa aku ingin merencanakan sesuatu? Aku rasa yang bisa membangunkanmu cuma nasi goreng ya? Perutmu keroncongan, tahu tidak? Kau juga seperti orang anemia di sekolah… Hei, jangan bilang kalau kau tidak pernah makan?"

"Bukan urusanmu! Biarkan aku! … Apartemen ini, apakah kau tinggal sendirian?"

"Ada ibuku, walaupun dia sedang bekerja. Dan sewaktu mencoba menyerang seseorang, setidaknya cari tahu dulu siapa di dalam! Orang lain pasti sudah memanggil polisi dari tadi."

"Ah, diam… Kau, kau tidak melakukan hal aneh padaku kan?"

Aisaka terlihat galak sambil melindungi badannya dengan kedua lengan, matanya menyipit hingga tinggal garis dan mengamati Ryūji dengan pandangan menuduh. Kau yang berbuat aneh disini! Ryūji menelan kembali apa yang mau dia katakan.

"… Kau tidak berhak berkata seperti itu, karena kau lah yang menyusup ke rumah orang dan menyerangnya, tapi kemudian pingsan karena kelaparan! Sudah, cepat makan!"

Walaupun begitu, sekarang masih jam tiga pagi dan bukanlah waktu yang tepat untuk berdebat dan mengganggu tetangga.

"Aku tidak… mmmmm!"

Ryūji menyendok nasi goreng itu dan menjejalkannya ke mulut Aisaka saat gadis itu masih berisik di kasurnya. Butuh keberanian besar, namun Ryūji sudah menyerahkan diri kepada nasib. Sesaat, dia merasa keren.

"A, apa yang kau lakukan!?"

Aisaka mendorong sendok itu dan matanya berkilat, tapi sepertinya dia tidak berencana untuk meludahkan apa yang ada di mulutnya. Wajah kecilnya mengunyah makanan itu tanpa berhenti, dia terlihat seperti tupai.

"Mmm… mmm, ja, jangan pikir kau bisa kabur dengan ini…"

Glek. Dia menelan makanan itu.

"… Aku belum selesai denganmu!"

Dia merebut sendok yang dia dorong semenit yang lalu dari tangan Ryūji dan melanjutkan,

"Yang lebih penting, bagaimana kau bisa tahu amplop itu kosong?"

Gadis itu mengangkat gaunnya dan beranjak dari kasur,

"Pasti kau melihat ke dalam dan membukanya, kan!? Kau yang terburuk! Dasar mesum!"

Hmph! Dia membalikkan badannya dan duduk di depan meja pendek.

"… Tidak, bukan begitu! Aku… ya… aku melihatnya lewat cahaya."

Walaupun tidak sepenuhnya benar, Ryūji memilih jawaban itu, walaupun dia tidak yakin gadis itu mendengarkan. Duduk di depan meja, dia meratakan mangkok nasi itu dengan sendoknya dan dengan atmosfer kental, perlahan membawa nasi itu ke mulut kecilnya.

Nyam, nyam, nyam, nyam, glek. Kemudian dia menyeruput sesendok sup. Ah… Dan melepaskan napas puas sebelum menyeruput lagi. menghadap Aisaka, Ryūji mengangkat isu yang dia pikirkan sambil memasak,

"Hei, Aisaka, dengarkan aku. Begini…"

Nyam nyam nyam nyam

"Suratmu… Maksudku amplop itu, tidak ada yang memalukan, walaupun aku melihat isinya…"

Nyam nyam nyam nyam nyam nyam nyam nyam! Kriuk!

"Aku rasa…"

Kunyah kunyah kunyah kunyah kunyah kunyah kunyah kunyah kunyah!

"Hei, dengarkan aku!"

"Tambah!"

"Oke."

Syukurlah aku buat banyak… Ryūji bergumam, menyendok nasi dari penggorengan ke mangkok dan menyerahkannya ke Aisaka,

"Seperti yang aku bilang… Hoi, dengarkan aku!"

Sepertinya dia tidak mendengarkan. Inikah yang disebut konsentrasi penuh? Kemana perginya semua makanan itu dalam tubuh mungilnya? Aisaka fokus hanya kepada nasi goreng, nasi goreng, dan masih nasi goreng… Ini adalah Festival Nasi goreng miliknya sendiri.

Tidak bakal ada habisnya dan nasi gorengnya bakal ludes sebentar lagi. Ryūji memutuskan untuk berdiri dan membawa sangkar burung dari pojokan ruang keluarga.

"Hei Aisaka, lihat ini… enak lho!"

"Enak?"

Akhirnya dia berpaling… Wush! Ryūji mencopot kain penutup sangkar burung itu dan menunjukkan isinya.

"WAH!!"

"Bagaimana? Menjijikan bukan?"

Pengalaman menunjukkan bahwa hanya gempa 4 skala Ritcher ke atas yang bisa membangunkan Inko-chan… Wajah berkedut, mata putih yang berputar, paruh yang terbuka lebar, dan lidah anehnya yang menjulur keluar… Wajah tidur jelek itu mulai menunjukkan sihirnya dan Aisaka mundur ke belakang.

"Menjijikkan! Kenapa kau memperlihatkan hal seperti ini kepadaku!?"

Akhirnya dia mendengarkan Ryūji.

"… Maafkan aku Inko-chan, kembalilah tidur… Ngomong-ngomong, Aisaka!"

Setelah menutupi Inko-chan dengan kain itu, Ryūji duduk di seberang Aisaka yang akhirnya sadar. Apa yang kau inginkan!? Matanya berkata sambil melotot pada Ryūji, walaupun masih ada mangkok di tangannya dan dia masih melanjutkan Festival Nasi Goreng-nya.

"Makan saja dan dengarkan. Yang ingin ku katakan adalah… hal itu tidak memalukan. Kita murid 2 SMA, jadi wajar kalau menyukai satu atau dua orang, tidak ada yang salah dengan menulis surat cinta. Bukankah semua pasangan harus melalui semua masalah ini untuk bisa bersama?"

"…"

Dia mengunyah sambil menutupi wajahnya dengan mangkok. Sepertinya dia masih malu.

"Tapinya lagi, siapa yang meletakkan surat cinta di tas yang salah? … Belum lagi lupa memasukkan surat ke dalam amplop."

Setelah Ryūji selesai bicara…

"Ini semua salahmu!"

Brak! Tiba-tiba Aisaka meninju meja. Dia mendongak dan menodongkan sendok ke Ryūji,

"… Dari tadi kau cerewet. Biar ku luruskan, aku ragu-ragu untuk meletakkan surat itu ketika kau muncul. Aku panik dan ingin mneyembunyikan surat itu, jadi akhirnya salah memasukkan… Tak pernah terpikirkan kalau itu tasmu…"

"Hei, Aisaka… ada nasi di pipimu."

"Kau. Menyebalkan."

"Ugh…"

Matanya berkilat menakutkan seperti silet. Dengan tatapan seperti itu, Ryūji langsung diam. Sepertinya dia kembali mendapatkan tenaga setelah makan. Hmph, dia mengangkat dagunya bangga dan menatap Ryūji dengan mata pembunuh itu. Si Palmtop Tiger, telah bertenaga penuh dan siap untuk membunuh, menggeram rendah dan ganas.

"Takasu Ryūji… semua ini tidak akan terjadi jika kau patuh memberikan tas itu… Sekarang, bagaimana cara untuk menghukummu? Bagaimana caranya menghilangkan ingatanmu! Setelah melakukan hal memalukan ini bagaimana bisa aku hidup!?"

Kita berputar-putar disini. Ryūji mencengkram kepalanya, dan...

"Bukankah aku bilang tak perlu malu!? Lihat, diam disini dan tunggu!"

Ryūji memutuskan untuk membakar kedua ujung lilin.

Meninggalkan ruang keluarga, dia masuk kamar dan keluar sambil membawa banyak barang kemudia meletakkannya di depan Aisaka. Banyak buku catatan dan CD, buku ilustrasi, pemutar MD, dan banyak lagi. Sudah terlanjur basah, aku akan menunjukkan semuanya padamu. Semuanya.

"Apa ini?"

"Lihat saja. Apapun yang kau mau."

Cih! Dengan menyebalkan, Aisaka mengambil buku catatan terdekat dan membukanya. Jarinya berhenti dan dia merengut sambil melihat buku itu dan Ryūji.

"Beneran, apa ini? Apa yang kau lakukan?"

"Itu 'katalog'. Mungkin kau tidak tahu apa ini. Itu adalah playlist dari lagu konser yang aku kumpulkan untuk gadis yang aku suka. Asal kau tau, lagu-lagu itu disusun berdasarkan musim yang berbeda-beda, jadi ada total empat tema. Aku bahka membuat rekaman MD lagu-lagu itu."

"Dan ini." Ryūji menghidupkan pemutar MD dan menjejalkan earphone ke telinga Aisaka. Dari musik pelan yang keluar dari earphone itu, Ryūji tahu kalau itu lagu pertama dari konser musim panasnya.

"Dan ini adalah puisi yang aku tulis. Saat itu aku berpikir 'Kado natal apa yang harus aku berikan padanya setelah menjadi pasangan?' ketika menulis ini. Parfum apa yang bagus? Pokoknya harus Eau de Toilette! Bahkan aku sudah mencatat semua merek parfum, aku juga kesulitan mencari harga tiap parfum itu dan menulis semuanya… Bagaimana? Inilah yang biasa aku lakukan."

"Menjijikkan!"

Aisaka melepas earphone dan melemparnya ke Ryūji dengan jijik. Walaupun dipukul dengan earphone, Ryūji tidak mundur,

"Jika menjijikkan, biarkan saja. Tapi alasan kenapa aku memberitahumu ini adalah karena aku tidak merasa malu! Apa salahnya menyukai seorang gadis!? Aku akui aku menyedihkan karena tidak punya keberanian untuk mengutarakan perasaanku dan hanya berfantasi, tapi aku tidak merasa malu sedikitpun!"

Baiklah, mungkin aku sedikit malu, tapi karena sudah terlanjur bilang… Pada saat itulah, Ryūji kehilangan keseimbangan saat hendak memutar badan dan benda yang tidak ingin dia perlihatkan kepada Aisaka meluncur ke arah kaki gadis itu.

"Ah! Jangan itu…"

"… Apa ini? Amplop?"

Dia berusaha keras merebut amplop itu kembali, tapi kalah cepat dengan sepasang tangan mungil dan hanya berhasil menggenggam udara.

"Dari Takasu Ryūji… Kepada Kushieda Minori-san… Kushieda Minori-san!!??"

"I, itu… tidak, tu, tunggu, jangan…"

"Surat cinta!? Dan… untuk Minorin!? Kau!? Semua ini!? Dan ini!?"

Tidak ada alasan untuk mengelak lagi. Ketiga surat cinta yang hanya ditulis untuk membuatnya lebih baik, dan tidak dimaksudkan untuk dikirim, sekarang semuanya ada di bawah lampu sorot.

"Uwaa… kau? Suka Minorin… Eh!? … Kau bercanda!? Bukankah kau terlalu sombong sekarang…"

"Kau, kau sama saja, kan!? Apa-apaan 'eh' itu!? Bukankah kau menyukai sahabatku Kitamura…"

"… Di, diam, bukankah sudah aku bilang untuk melupakan hal itu? … Dan daripada mojok begitu, cepat nyatakan perasanmu!"

"Seharusnya kau juga!"

"Kau mau bawa pedang kayumu? Atau kau mau membuangnya!?"

"Kau mau membunuhku? Atau mau yang lain?" Setelah beradu mulut sementara waktu…

"AH!"

Tiba-tiba Ryūji menyadari bahwa langit di luar jendela mulai terang… Matahari mulai terbit.

"Sial! Sudah jam empat!"

Hampir waktunya Yasuko pulang kerja. Keadaan bakal merepotkan kalau Aisaka tetap disini karena Yasuko akan bertanya-tanya, dan lagi, aku tidak ingin ada orang lain yang melihat wajah Yasuko sepulang kerja, dengan erangannya "Ryū-chan, ini Ya-chan~, aku ha~us~, mmm" dan sebagainya.

Belum lagi induk semang akan bangun saat koran pagi datang. Bahkan, dia mungkin sudah bangun untuk protes dengan keributan yang kami buat pagi-pagi begini… Tidak, mungkin dia sudah bangun dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk muncul. Ryūji langsung memucat dengan kemungkinan ini. Brengsek. Kalau induk semang mengusir kami sekarang, tidak akan ada uang untuk mencari rumah lagi… Tabungan sudah dipakai bulan lalu (secara egois oleh Yasuko) untuk membeli TV layar datar yang tidak coock dengan apartemen ini…

"Ja~di! Aku tidak akan menceritakan ini kepada siapapun dan tidak akan melihat Aisaka seperti idiot, karena aku juga begitu. Jadi, ayo sudahi ini, ya?"

"… Tidak, tidak bisa."

"Kenapa!? Sekarang pergilah ke neraka… Maksudku, tolong pulanglah ke rumahmu sekarang…! Ibuku yang sakit akan segera pulang…"

Yah, dia lumayan sakit, jadi Ryūji tidak benar-benar berbohong, tapi…

"Tidak! Aku tidak percaya padamu, lagipula… lagipula…"

Seperti anak kecil, Aisaka berlutut di tengah ruangan. Menatap lututnya, dia memutar jarinya di tatami dan berkata,

"… Um, itu… surat cinta, apa yang harus aku lakukan… Aku merasa kalau kalau waktunya belum tepat…"

Hebat! Disaat seperti ini Aisaka malah meminta nasihat percintaan! "AHHH!" Ryūji menjambak rambutnya dan berkata,

"Kita bicarakan itu lain hari! Ayo, pulanglah… Aku mohon!"

"… Apa kau yakin akan memberitahuku nanti?"

"Ya! Pasti! Aku akan mendengarkan semuanya, dan aku akan membantumu appaun itu. Aku berjanji!"

"… Kau akan membantuku? Apapun yang terjadi?"

"Ya! Apapun, apapun!"

"Apapun itu? Kau bilang… Seperti anjing? Melakukan apapun untukku sebagai anjingku?"

"Ya, ya! Aku akan bekerja keras, aku janji! Sebagai anjing atau apapun, akan aku bantu! … Jadi, kita akhiri disini, ya? Ya?"

"Oke… Aku pulang."

Akhirnya dia menurut. Aisaka memungut pedang kayunya dan bangun. Dia mengerling ke arah jendela, ada sepasang sepatu kecil di beranda. Jadi dia benar-benar merangkak ke sini… Aisaka berpaling ke Ryūji yang sedang bergumam, lalu memungut sepatunya dan melangkah ke pintu. Tiba-tiba dia berbalik,

"Hei!"

Apa lagi!? Ryūji memasang pose bertahan, tapi…

"Masih ada… nasi goreng?"

"Huh? Oh, tidak… sudah kau makan semua."

"Iya ya? Baiklah."

"Kau masih lapar? Itu empat mangkok nasi lho. Apakah kau begitu lapar?"

Tidak ada jawaban. Aisaka membalikkan badan dari Ryūji dan memasang satu sepatu.

"… Fusuma…"

Dia berkata pelan dan berbalik tanpa peringatan lagi

"Ya ampun, kau bicara terus."

"Ada lubang di fusuma… Apakah biaya perbaikannya mahal?"

Dia bertanya sambil menatap Ryūji, mata besarnya berkedip dua tiga kali. Merasa detak jantungnya menggila, Ryūji menghindari mata Aisaka. Bukan karena takut, tapi karena bingung. Ini pertama kalinya dia melihat Aisaka tidak terlihat marah.

"Ahh… um… kalau memperbaiki, tidak masalah kok… aku rasa. Lubangnya tidak begitu besar, jadi tidak apa-apa kalau aku mempunyai washi berkualitas bagus. Walaupun kau hanya bisa menemukan washi biasa untuk bagian ini."

"Hmm…"

Dia tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya dengan wajah tanpa ekspresi seperti itu.

"Washi… Jika mungkin, pakai ini!"

Aisaka menyodorkan sesuatu. Dia ingin aku menggunakan ini? … Ryūji terlihat bingung pada benda yang dijejalkan ke tangannya itu. Bagaimana ya? Menyuruhku menutup lubang di fusuma menggunakan amplop surat cintanya yang tanpa surat cinta itu…

"Jika berguna, pakai saja! Jika butuh uang, akan aku bayar."

"Ah… er… um!"

Tanpa menjawab apakah dia kenyang atau tidak, Aisaka mengikat tali sepatunya sambil merengut. Melihat punggungnya, Ryūji merasa…

"… Hei, tunggu!"

Dia merasa harus memanggil gadis itu.

"Ada apa lagi?!"

"… Berapa lama kau tidak makan?"

"Kenapa peduli? Bukannya aku tidak makan… Aku bosan makanan dari supermarket… Jadi setelah membeli aku tidak bisa memakannya…"

"Supermarket? Tiga kali dalam sehari? Bukankah itu buruk untuk kesehatan?"

"Ada warung cepat saji di depan stasiun, tapi tutup bulan lalu. Jadi aku hanya bisa beli makanan dari supermarket… Makanan yang dimasak di supermarket… Bagaimana ya… Aku tidak tahu cara membelinya…"

"Tidak tahu cara membeli? Ambil saja yang kau suka dan masukkan ke kotak transparan, lalu bawa ke kasir untuk ditimbang, begitu saja… Ngomong-ngomong, dimana orang tuamu?"

Setelah mengikat tali sepatunya, Aisaka berdiri. Ryūji melihatnya menggelengkan kepala ambigu. Ya ampun. Tiap keluarga punya rahasia, terutama keluarga Aisaka yang penuh teka-teki. Bahkan jika hal yang terbayangkan terjadi dalam sebuah keluarga, tidak ada yang menakjubkan. Latar belakang keluargaku lumayan hebat, tapi aku bisa mengatasinya, jadi, bagaimana bisa aku mengajukan pertanyaan seperti itu? Merasa malu, Ryūji tidak bertanya lebih jauh dan hanya berdiri sambil mengamati sosok berambut panjang itu membuka pintu dan berjalan keluar.

"Ah, tunggu! Biar aku antar pulang! Berbahaya kalau pulang sendirian jam segini…"

"Tenang, aku tinggal di dekat sini… Selain itu, aku punya pedang kayu."

"Tidak, bukankah itu lebih berbahaya?"

"Dekat kok! Ya sudah, dah, Ryūji, sampai ketemu besok."

Dia berbalik dan lari. Ryūji memakai sandalnya cepat-cepat dan tanpa mengunci pintu berusaha mengejar gadis itu. Tapi, saat melihat ke lantai bawah, Aisaka sudah tak terlihat lagi… Dia memang memiliki kaki yang luar biasa cepat.

"… Akhirnya aku membiarkannya pulang sendirian. Ngomong-ngomong…"

Apakah baru saja dia memanggil nama depanku?

Ryūji berkedip dan menatap arah perginya Aisaka dengan wajah kacau… Dia tidak marah, hanya bingung.


Sebelum matahari terbit, tepat sebelum Yasuko pulang, Ryūji telah merapikan kamarnya. Terima kasih kepada kebiasaanya yang suka bersih-bersih.

Sejak hari itu, kelopak bunga sakura kecil berwarna pink muda menempel di fusuma kediaman Takasu.


Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 3