Toaru Majutsu no Index ~ Bahasa Indonesia: Railgun SS: Liberal Arts City Chapter1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 1[edit]


Itu adalah suatu hari di musim panas yang menyegarkan. Mungkin mengekspresikannya secara sederhana dan abstrak seperti itu adalah salah, tapi itulah yang pertama kali dipikirkan oleh Misaka Mikoto ketika dia melihat ke langit biru. Dia merasakan sengatan sinar matahari membakar kulitnya, angin dengan kelembaban rendah berhembus ke wajahnya, dan pasir lembut di bawah kakinya melalui sendalnya. Angin membawa suara ombak yang berdebur dan bau garam. Dia sedang berada di suatu pantai. Dia sedang berada di suatu pantai di California. Nnn... Setelah naik pesawat, kereta api bermotor linear, dan kendaraan lainnya, ini terasa sangat bebas. Mikoto mengangkat tangannya dan meregangkan tubuhnya. Dia memakai baju renang lomba berwarna hitam dengan corak garis putih melengkung. Baju renang ini memberi tampilan seperti paus pembunuh. Bagian punggungnya terbuka, dan baju renang ini dapat melekat di badan akibat suatu pita berbentuk huruf “H”. Ini adalah baju renang resmi untuk pengukuran kekuatan siswi SMP Tokiwadai. Baju renang ini memiliki banyak sekali teknologi paling mutakhir, sehingga seorang perenang Olimpiade pun akan iri ketika melihatnya, tapi Mikoto tidak terlalu suka dengannya. Teknologinya terlalu efektif hingga dia merasa kalau dia seolah-olah sedang tidak memakai apa pun. Ah, sial. Aku membawa baju renang ini karena event ini berkaitan dengan sekolah. Aku tidak tau kalau peserta dibebaskan memilih baju renang masing-masing. Seharusnya aku benar-benar membaca pamflet-nya... Tidak adanya “rasa” pada baju renang tersebut membuat dia merasa sedang tidak memakai apa-apa, dan dia menggigil untuk kesekian kalinya hari itu. Dia menarik bagian dada dan menyentuh sepanjang bagian bokong pada baju renangnya untuk memastikan bahwa dia benar-benar memakai baju renang dan bukan body paint*. [Body paint adalah suatu karya seni erotis, di mana tubuh seseorang dicat dengan berbagai pola. Karena teknik pengecatannya begitu baik, seakan-akan orang tersebut “mengenakan” sesuatu, padahal tidak.] Lalu... “M-Misaka-saaan...” suatu suara kecil datang dari kejauhan. Misaka menoleh dan melihat Uiharu Kazari berlari ke arahnya. Sendalnya yang sepertinya terbuat dari gabus menjejaki pasir ketika dia berlari. Gadis ini memakai dekorasi bunga yang banyak di kepalanya. Seolah bunga adalah bagian dari identitasnya, baju renangnya adalah one-piece berwarna pink muda dengan motif bunga. Itu adalah baju renang yang sangat sehat. Baju renangnya tidak terlalu “terbuka”, tapi Uiharu pasti tidak terlalu menyukainya, karena wajahnya terlihat merah padam, air mata menggenang di kelopak matanya, dan dia berusaha menutupi bagian atas tubuhnya dengan tangan. Mungkin dia cuma tidak terbiasa berada di daerah dengan banyak orang asing. Sambil memerhatikan sekelilingnya, Uiharu menghela napas, ”Haah... Misaka-san, aku iri dengan seberapa ‘tajamnya’ baju renangmu. Punyaku tidak fashionable sama sekali, atau mungkin tiruan...” “Engga kok, aku rasa tidak begitu.” Suasana hati Mikoto sendiri sedang tidak terlalu baik karena dia telah “menyabotase” dirinya dengan memakai baju renang yang dirancang untuk sekolah. Sepertinya Uiharu tidak menyadarinya, dan melihat ke bagian dada baju renang miliknya sendiri. “Aku tidak menyangka bahwa aku akan terpilih dalam lotere untuk ini. Aku tidak punya waktu dan biaya untuk memilih baju renang, jadi ini sebenarnya hanyalah satu-satunya baju renang yang tersisa di toko...” Keduanya menghela napas. Seorang penantang baru lalu mendatangi mereka. Dia adalah Saten Ruiko, teman sekelas Uiharu Kazari. Seorang gadis ceria dengan rambut hitam yang panjangnya sedikit melebihi bahu, dan suatu hiasan bunga di atas rambutnya. Dia sering terpengaruh oleh eksistensi Level 5 Misaka Mikoto dan si Level 4 Shirai Kuroko, tapi... “Yahoo, Misaka-saaan, Uiharu!! Lama menunggu?” “!?” “!?” Yang mendatangi mereka sambil tersenyum dan mengayunkan tangan adalah seorang gadis jauh dari kesan polos. Badan Saten dibalut oleh bikini segitiga warna merah, dan dia lebih terlihat seperti seorang gadis yang siap menikmati musim panas dibandingkan kedua orang lain yang tidak menyukai baju renang mereka. Dan dia pasti membelinya di toko lumayan elit karena bagian dadanya dikencangkan seperti suatu bikini dengan kait di depan, tetapi sebenarnya itu menggunakan resleting. Tubuh Uiharu bergetar ketika dia memfokuskan pandangannya ke dada Saten. “A-apa itu, Saten-san? Benda misterius apa itu...?” “Hm? Uiharu-kun, kau masih perlu banyak belajar. Namanya adalah zip-up bikini. Lihat ini, lihat. Ketika aku bergerak, bagian dadanya terlihat seperti akan keluar. Ada perasaan ‘berbahaya’ yang mengasyikkan, bukan?” “Gyaah!! W-walaupun aku seorang cewek, melihatnya saja membuatku takut, Saten-san!!” “Jangan khawatir. Sebenarnya ini seperti NuBra*. Seluruh atasan bikini ini menempel ke dadaku, jadi tidak akan ada ‘bagian’ yang akan keluar, walaupun resletingnya dibuka. [NuBra adalah semacam BH yang melekat pada payudara tanpa adanya tali.] Sembari melihat kombo Uiharu dan Saten yang memanas, Misaka Mikoto terlihat serius dan berpikir dengan tenang. Dia tidak berusaha mengelabui orang lain tentang ukuran dadanya, tapi berhasil meningkatkan kesannya sebagai “karakter dada” dengan memberikan kemungkinan kalau dadanya akan keluar dari baju renangnya... Jadi begitu. Kau bisa bertarung dengan cara ini juga! Saten menyadari kalau Mikoto memperhatikannya, dia pun balas memandang Mikoto dengan bingung. “Umm, ada yang aneh, Misaka-san?” “Afh!? Ti-tidak ada apa-apa!!” Mikoto dengan panik menggelengkan kepalanya. Saten masih terlihat bingung, tapi dia tidak membahas masalah ini lebih jauh. Dia lalu memperhatikan baju renang Uiharu. “Hei, Uiharu. Apa kau sedang mencoba jadi ‘karakter loli’ supaya kau bisa mengincar pria yang lebih tua?” “Abhah?! A-apa yang kaukatakan, Saten-san!? Itu pendapat paling buruk yang bisa kupikirkan untuk baju renangku!!” “Tapi one-piece warna peach* dengan motif bunga itu jelas-jelas memberimu imej sebagai cewek imut, dan bukan dari perspektif cewek lain. Kau adalah jenis cewek imut yang dibayangkan oleh cowok macho penuh dengan keringat dan air mata.” [Peach adalah warna oranye kemerah-mudaan, seperti buah persik. Kamus Oxford.] “Aku tidak punya pilihan!! Sebenarnya aku ingin memakai baju renang yang tajam!! Tapi cuma ini yang tersisa di toko!! Gyaahh!!” Uiharu berteriak sembari menahan malu, dan Saten menunjuknya sambil tertawa. Mikoto menyadari kalau kepekaan style-nya berbeda dari kebanyakan orang karena dia baru saja berpikir bahawa one-piece dengan motif bunga itu cantik dan imut. Dan Mikoto menyadari sesuatu. “Hah? Mana Kuroko?” “Aku tadi bertemu dengannya di hotel, tapi dia menyuruhku pergi duluan karena dia akan sedikit lama untuk bersiap,” jawab Uiharu. Mikoto mengeryitkan alisnya. “Apa yang sedang dia lakukan sampai selama ini? Jangan-jangan dia mau memasang make-up hanya untuk bermain di pantai?” “Dia kelihatan seperti seseorang yang peduli pada tingkat kecoklatan kulitnya. Mungkin dia ingin menyapukan minyak ke seluruh tubuhnya sebelum keluar,” tebak Saten. Tiba-tiba, punggung mereka disapu oleh hawa dingin yang aneh. Ada semacam keributan di kejauhan. Sesuatu sedang mendekat, bersamaan dengan suara ribut-ribut dari orang-orang yang berbicara. Sebutir keringat tergumpal di dahi Mikoto, mengalir melewati hidungnya, dan menetes jatuh dari dagunya. Mata Uiharu melirik ke sana-ke mari. Seluruh bulu kuduk di tubuh Saten berdiri. Sesuatu sedang datang. Seekor monster sedang mendekat. Saat itu, gadis-gadis yang masih suci itu mempunyai beberapa pilihan: mereka bisa berpura-pura tidak kenal, lari menjauh dengan kecepatan suara, atau kabur ke laut. Tapi mereka tidak punya waktu. Sebelum mereka bisa memilih di antara pilihan yang ada, bencana yang sedang mendekat itu menolehkan wajahnya ke arah mereka. Yang berdiri di sana adalah seorang gadis “dengan warna kulit” di seluruh tubuhnya, memakai suatu “penutup tubuh” yang tak dapat dijelaskan. “Byaaahhh!?” Suara teriakan tinggi barusan pastilah berasal dari mulut Uiharu. Saten memakai zip-up bikini yang cukup terbuka, tapi dia pun goyah seakan terkena serangan jantung. Entah kenapa, pandangan Mikoto kabur seolah-olah dia sedang memotong bawang. Dia mendengar beberapa suara dalam bahasa Inggris. “A-Apa-apaan itu!?” “Bisakah kau melakukan itu...? Apa ‘kemanusiaan’ benar-benar bisa menerima itu!?” “Jadi inilah samurai dari Jepang itu...” Biasanya, pria-pria yang berkeringat akan mencari cara untuk merayu seorang wanita memakai baju renang terbuka. Tapi kerumunan pria itu merasa sangat aneh karena baju renang tersebut sudah jauh melebihi batas keseksian. Gadis berkuncir dua yang mengacaukan pikiran orang-orang di sekitarnya ini bernama Shirai Kuroko. Senyumannya terlihat begitu polos ketika pandangannya terkunci pada arah Mikoto. “Onee-samaaa. Maafkan aku. Butuh banyak waktu untuk bersiap. Heh heh. Aku tidak mungkin menunjukkan tubuhku ketika ‘belum cantik’ di depanmu, Onee-sama.” “B-berhenti!! Jangan berbicara seolah-olah aku menyukai hal ini!! Kita ada di negara lain! Apa yang sedang kau lakukan? Dulu aku sempat memikirkannya, tapi sekarang aku yakin: kau benar-benar gila!!” “Oh, ya ampun. Bukankah suatu baju renang cukup untuk menutupi tiga titik terpenting pada tubuh wanita?” “Baju renang itu memang hanya ‘cukup’ untuk menutupi bagian-bagian tersebut...” gumam Uiharu dengan wajah putus asa. Shirai benar-benar tidak merasa terganggu karena ekspresi wajahnya tidak berubah. Baju renangnya terbuat dari benang dan sedikit kain yang hanya cukup untuk membentuk struktur dasar suatu bikini. Bagian atasnya berbentuk dua segitiga dengan tali yang membentuk huruf Y dari kain, dan membaginya sama rata. Hanya bagian dekat “belahan dada”nya yang tertutupi oleh kain. Bawahan bikininya cuma “setitik” kain berbentuk segitiga di dalam “bingkai” yang dihubungkan dengan benang. Benang hiasan menekan keluar “sedikit daging putih” di dadanya, dan memberikan kesan kalau dia sedang diikat dengan tali. Ini bertujuan untuk membuat para pria jadi mimisan. Baju renang ini lebih terlihat seperti sesuatu yang hanya dipakai kalau “dipaksa” oleh orang lain, dan bukannya sesuatu yang dipakai karena keinginan sendiri. Tapi... bagian punggungnya seperti apa? Saten Ruiko berjalan mengelilingi Shirai seperti orang yang melihat pemandangan mengerikan. “Uuh!? Uhuk uhuk uhuk!!” “K-kau tidak apa-apa, Saten-san!? Saten-san!!” “J-jangan coba-coba lihat, Uiharu... Bagian punggungnya juga menakutkan!! Walaupun bokongnya tidak benar-benar terangkat, ini mempunyai ‘dampak’ lebih besar daripada T-back*, yang hanya menekan di satu titik.” [T-back adalah celana dalam seksi yang hampir tidak menutupi bagian pantat. Luas permukaan kainnya sangat sedikit.] “Nnn. Ini cuma bikini jenis lain. Yah, baju renang kalau tidak one-piece, ya two-piece. Bahkan slingshot* pun, kalau seseorang mengamatinya dengan tenang, tidak akan mengejutkan sedikit pun. Ada juga tipe yang materialnya langsung diletakkan di kulit, jadi kurasa sudah saatnya kita memulai revolusi.” [Slingsot adalah jenis bikini super seksi yang membuka 80% permukaan kulit. Hanya dua titik pada payudara, dan satu titik pada area V yang ditutupi oleh bikini jenis ini. Ketiga titik tersebut dihubungkan oleh semacam tali. Selebihnya, tidak ada sehelai kain pun.] “... Jangan bilang kau akan mulai memakai body painting?” Mikoto bertanya dengan ekspresi lemah. Baju renangnya kemungkinan tidak akan lepas dengan mudah, seperti zip-up bikini milik Saten, tapi sepertinya, “keterbukaannya” sudah terlalu parah. Sehingga, tak ada bedanya apakah ada bagian pakaian yang lepas ataukah tidak. Lalu, Uiharu Kazari yang baru saja berhasil menenangkan dirinya, mulai berbicara dengan pipi memerah. “Y-yah, mendebatkan ini juga tidak ada gunanya. Kata orang, buanglah rasa malumu ketika berlibur, 'kan?” “??? Rasa malu apa?” “... Tidak ada gunanya, Uiharu-san. Dia sudah membuang rasa malu itu jauh hari. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya,” ujar sang Ace SMP bergengsi Tokiwadai dalam nada komplain yang jarang terdengar darinya. Ketika Mikoto berdiri mematung di atas pasir putih, seorang gadis lebih tua berambut pirang yang kelihatannya adalah seorang pekerja sambilan melirik (mungkin ke Shirai), dan menahan napasnya. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya. Gadis itu memakai kacamata hitam dan bikini sporty yang membuatnya terlihat seperti pemain voli pantai. Dia sedang memegang kotak putih. Awalnya, Mikoto berpikir bahwa dia sedang menjual es krim, tetapi dia salah. Gadis pirang yang mirip pemain voli mulai berbicara dalam bahasa Inggris. “Saya akan mengambil pistol Anda di sini. Siapa pun yang tidak ingin partner berharganya dirusak oleh pasir, air laut dan angin laut, sebaiknya memakai jasa kami. Pistol dari delapan perusahaan besar mendapatkan perawatan tambahan.” Pengumuman itu pastilah membuat orang di Jepang melongo, tapi sepertinya di sini sudah menjadi kewajaran. Semua orang, dari pria hitam macho sampai ibu rumah tangga langsing, menyerahkan tumpukan logam hitam bersinar ke gadis itu. Si gadis melilitkan karet gelang di gagang pistol, lalu meletakkannya ke dalam kotak. Karet gelang itu memiliki chip di dalamnya yang terdapat sistem GPS dan informasi tentang si pemilik pistol. “Wow,” kata Saten yang melihat dengan kagum. Sepertinya Shirai dan Uiharu sudah pernah berurusan dengan senjata ketika mereka masih dalam pelatihan Judgment, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut mereka. Mikoto hanya menghela napas. “... Kita benar-benar ada di Amerika, yah?”

Semuanya dimulai dengan tamasya berskala besar. Suatu kelompok murid yang dipilih secara acak dari Academy City di Jepang dikirim ke tempat-tempat yang tersebar di seluruh penjuru dunia selama satu minggu, antara tanggal 3 sampai 10 September, sebagai satu kelompok belajar. Kelompok yang berjumlah sekitar dua puluh orang dikirim ke satu kota yang sama. Sementara itu, anak-anak dari seluruh dunia diundang ke Academy City. Walaupun disebutkan sebagai “seluruh dunia”, kebanyakan tempat tujuannya adalah kota-kota di Amerika. Kemungkinan besar, ini disebabkan oleh hubungan kerja sama mereka ketika Academy City didirikan. Maka dari itu, jelaslah kenapa lebih banyak pelajar yang dikirimkan ke Amerika dibandingkan negara-negara lain. “Aku lega, beberapa orang yang kukenal seperti kalian ada dalam kelompokku, Saten-san, Misaka-san.” “Yah, lebih banyak pelajar yang dikirim ke sini dibanding tempat lain. Tapi yah, tempat tujuan dan grup kita memang ditentukan secara acak, jadi kita cukup beruntung.” Pada akhirnya, ini hanyalah suatu tamasya. Selain menulis laporan sederhana, yang perlu mereka lakukan hanyalah bersenang-senang, jadi ini adalah seperti surga bagi seorang pelajar. Pelajar lain dan beberapa guru dari Jepang ada di sana bersama Mikoto dan tiga temannya, tapi mereka tidak yakin di mana anggota kelompok tersebut berada, karena mereka bebas melakukan apa pun yang diinginkan. Satu-satunya yang terjadwal hanyalah absen di hotel pada awal dan akhir hari. Ketika mereka pertama kali berkumpul di hotel Liberal Arts City, Mikoto melihat seorang gadis Psikometri* yang memakai bikini dengan bagian berbentuk cincin sebagai pengganti tali. Ada juga seorang gadis Aero Hand yang memakai one-piece dengan punggung terbuka lebar. Dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya. Sebebas itulah mereka melakukan apa saja yang mereka mau dalam tamasya ini. [Psikometri adalah kemampuan seorang esper di mana dia bisa mengungkap fakta hanya dengan memegang suatu benda mati. Kamus Oxford. Misalnya, ada cincin yang hilang dicuri orang. Dia bisa mengungkap siapakah pencurinya hanya dengan memegang cincin itu.] “Amerika benar-benar melakukan semuanya dalam skala besar,” kata Saten Ruiko sambil melihat-lihat sekeliling pantai. “Aku tidak percaya semua ini adalah buatan manusia hanya untuk syuting suatu film Hollywood. Di Academy City hal ini tidak dapat dibayangkan sama sekali. Yah, kita punya teknologinya, tapi kita tidak punya cukup lahan.” Mereka sedang berada di suatu pulau buatan raksasa dengan diameter sekitar sepuluh kilometer. Letaknya adalah lima puluh kilometer dari pantai California. Samudera di sekitar daerah itu mempunyai kedalaman beberapa ribu meter, tapi sepertinya, daerah-daerah berbatu sedikit demi sedikit mengalami kenaikan. Itu membuat kedalaman di daerah tersebut menjadi sekitar dua puluh meter. Benda buatan manusia ditumpukkan di atas daerah berbatu tersebut, dan ditambah dengan pasir berjumlah besar untuk membuat suatu pulau buatan. Aku pernah mendengar tentang pantai buatan manusia di sekitar Hawaii, tapi skala di sini jauh lebih besar... Pulau buatan ini dibagi menjadi beberapa area. Mikoto, Saten, dan yang lainnya sedang berada di area paling luar. Setelah pantai berpasir adalah area laut dangkal. Dan setelah laut dangkal tersebut, adalah Samudra Pasifik. Nama pulau ini adalah Liberal Arts City. Sesuai dengan suatu negara besar yang terkenal dengan hiburan dan film, seluruh areanya diisi oleh bermacam-macam wahana. Berbagai roller coaster yang berbeda seakan-akan saling melilit di udara, dan roda-roda Ferris Wheel* tanpa pusat seolah-olah bersatu seperti cincin Olimpiade. Ini adalah suatu taman hiburan yang seluruhnya, mulai dari eksterior hotel hingga bentuk tong sampah, dirancang dengan imut. Pulau ini dirancang sebagai perpaduan antara laut dan entertainmen, jadi kau bisa melakukan berbagai hal (mulai dari tidur di hotel, sampai beraktifitas di luar) dengan menggunakan pakaian renang. [Ferris Wheel adalah kincir ria pertama di dunia yang dibangun oleh George Washington Gale Ferris, Jr. di Chicago, sehingga disebut Chicago Wheel (Roda Chicago). Kincir ria ini tingginya 324-metre (1,063 ft), dan merupakan atraksi terbesar di World's Columbian Exposition tahun 1893 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Pembangunannya dimaksudkan untuk menyaingi Menara Eiffel setinggi 324 m yang dijadikan atraksi utama di Pameran Dunia Paris 1889. Kincir ria ini dibongkar untuk dibangun kembali pada tahun 1895 di dekat Lincoln Park, Chicago, lalu dibongkar dan dibangun untuk ketiga kali sekaligus terakhir kalinya di Pameran Dunia 1904 di St. Louis, Missouri. Sejarah kincir ria pertama di dunia ini berakhir setelah dibongkar pada tahun 1906. Wikipedia Bahasa Indonesia tanpa perubahan.] “Jadi ini adalah tempat syuting film, hm? Saten-san, kau pernah melihatnya?” “Hmm. Sayang sekali, filmnya dirilis lebih dari dua puluh tahun yang lalu, dan sepertinya ada kejadian tertentu, jadinya tidak pernah dirilis di Jepang.” Saten tertawa. “Kurasa filmnya adalah film Fiksi Ilmiah. Settingnya adalah Bumi di masa depan, jadi mereka membuat lingkungan palsu yang terdiri dari tanaman dan hewan dari lima puluh tahun di masa depan. Kalau tidak salah, bahkan ada jaring di seliling Liberal Arts City yang disebut sebagai ‘penjaga biologis’ yang mencegah makhluk hidup masuk dan keluar.” “Hmm.” Mikoto memandang ufuk di atas laut. “Jadi karena itu, pulau ini terhubung ke Amerika dengan terowongan kereta api motor linear. Mereka mau menjaga pemandangannya seseragam mungkin.” “Saat syuting film, mereka belum punya teknologi motor linear, itu membuatnya sulit. Katanya, perjalanan memakan waktu satu jam.” Kereta api motor linear mungkin kedengaran futuristik, tapi ini sudah digunakan di Cina. Kereta api ini tidak banyak terlihat di Academy City karena kota tersebut tidak mempunyai banyak perjalanan jarak jauh yang harus ditempuh dengan kereta api motor linear. Bagi Mikoto, berjalan melalui terowongan bawah laut yang transparan dan melihat berbagai jenis ikan sudah membuat pengalaman ini begitu dinamis dan menarik. “Pokoknya, setelah syuting selesai, orang-orang mulai mengatakan bahwa akan sia-sia jika semua fasilitas ini ditelantarkan. Jadi mereka memutuskan untuk membuat pulau buatan ini menjadi taman hiburan.” “Begitu ya. Tidak, menjauhlah dariku, dasar eksibisionis*.” [Eksibisionis adalah orang yang suka pamer kecakapan.] Mikoto mendorong gadis yang memakai baju renang cabul agar menjauh, yaitu orang yang pura-pura tidak dikenali olehnya. Hiasan bunga Uiharu melambai-lambai karena tertiup angin. “Kalau aku tidak salah ingat, peraturan konservasi lautan negara bagian tidak memperbolehkan mereka mentelantarkan fasilitas yang tidak digunakan. Perusahaan film pun menjadi marah, mereka mengatakan bahwa politikus tidak mengerti berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk menghancurkan fasilitas sebesar itu,” katanya. “Beberapa orang membuat argumen konyol, yaitu mereka hanya perlu memastikan fasilitas tersebut tetap digunakan. Kebetulan di waktu yang sama, perusahaan film sedang mencari lahan untuk membangun suatu taman hiburan. Jadi, mereka memecahkan kedua masalah itu dengan membangunnya di sini.” Fakta tersebut sedikit menakutkan, suatu taman hiburan raksasa akhirnya dibangun karena argumen konyol seperti itu. Mikoto melihat ke langit dan menghela napas sambil memperhatikan suatu roller coaster melintasinya. Dan saat itu... “Kau salah, dasar cewek berbunga yang memakai one-piece motif bunga tidak fashionable!!” “Hagwah!?” Uiharu Kazari syok karena seorang yang tak dikenal tiba-tiba menghina “pendiriannya” tentang baju renang. Orang misterius yang mau repot-repot berbicara kepada mereka dalam bahasa Jepang itu adalah seorang gadis Amerika lebih tua dengan rambut pirang, mata biru, dan dada besar. Dia kelihatannnya berumur sekitar delapan belas tahun. Kulitnya putih, matanya biru, dan rambutnya pirang panjang dengan sedikit warna karamel yang terangkat oleh bando secara kasar. Dia mengenakan baju renang two-piece yang kelihatan sangat fungsional, dan suatu T-shirt dengan suatu logo perusahaan film. Kaos yang dipakainya menonjol karena... “B-Besar!?!?!? Besar sekali. Terlalu besar! Maksudku, apa-apaan ini!?” “M-Misaka-san, tenanglah! Dada itu tidak akan menggigit orang!!” Saten menggenggam bahu Mikoto, mengumpulkan tenaga, dan berteriak. “Dan jangan khawatir! Aku sudah berpikir bahwa ini akan terjadi, jadi aku mencari rumor tentang Bust Upper*, yaitu alat yang bisa dengan mudah memperbesar dada cewek!!” [Baca manga Railgun Chapter 77.] “Oooohhhhhhhhhhhhhhhhhh!!” “T-tunggu, Misaka-san! Kau juga, Saten-san! Kalian pasti akan terjebak masalah jika melakukan itu!!” “... Um, apa kalian mendengarkanku?”

RAILGUN SS1 01 013.jpg

Setelah mendengar itu, akal sehat Mikoto pun kembali. Gadis bermata biru, berambut pirang, berdada besar itu berusaha menenangkan suasana sembari berbicara. “Keadaan tentang asal-usul Liberal Arts City sedikit lebih rumit dari yang kau ceritakan itu. Yang ingin kukatakan adalah, aku bisa memberitahu kalian jika kalian mau, wahai cewek-cewek yang belum tumbuh!!” Gadis berdada besar menyerang mereka tepat di “titik kelemahan”, yaitu ukuran dada. Pelipis Mikoto berdenyut, tapi semakin dia merasa marah, dia semakin kelihatan menyedihkan. Ini karena perbedaan ukuran dada yang terlalu jauh. “... Memangnya kau ini siapa?” “Hah!? Jangan bilang kau adalah tipe orang yang menjelaskan berbagai hal tanpa permisi, lalu memaksa kami membayar biaya sepuluh dolar untuk penjelasannya*!!” [Ya, di beberapa daerah, ini adalah suatu motif pemerasan. Targetnya adalah para wisatawan yang minim pengetahuan. Seseorang akan menceritakan beberapa kisah atau informasi kepada para wisatawan tanpa diminta. Namun di akhir cerita, orang itu akan meminta sejumlah uang dengan paksa. Ini adalah pemerasan secara tidak langsung, karena para wisatawan sejatinya tidak pernah meminta informasi-informasi tersebut.] Saten “berubah” menjadi mode waspada, tapi si gadis berdada besar hanya tertawa dengan bangga dan menjawab, “Aku harap, aku bisa memberikan kartu nama dan mengatakan ‘inilah saya’, tapi ini adalah pantai! Aku tidak membawa potongan kertas seperti itu!! Karena itu, aku harus memperkenalkan diriku dengan mulut walaupun aku mengetahui bahwa itu tidaklah sopan. Namaku Beverly Seethrough. Walaupun mungkin kelihatannya tidak mudah dipercaya, aku adalah seorang sutradara.” Suatu tatapan mata bernada : “Yang benar saja...?” hampir tampak di wajah Mikoto. Gadis itu kelihatan berumur delapan belas tahun. Kalau yang dikatakannya benar, dia bukan lagi berada pada level gadis jenius. Mikoto tidak punya bayangan yang jelas akan seorang sutradara, tapi dia mempunyai feeling bahwa seseorang tidak bisa menjadi sutradara hanya dengan sedikit bakat. Yah, peduli amat kalau dia bohong. Kata orang, buanglah rasa malumu ketika berlibur. Dibodohi mungkin bisa sedikit menyenangkan, selama tidak melibatkan uang dan nyawa. Sementara itu, gadis berdada besar yang menyebut dirinya sutradara menyengir. “Kalian pelajar Jepang dari Academy City, kan?” “Oh, kau tahu?” tanya Saten dengan wajah kebingungan. Beverly mengangguk sekali dan menunjuk ke Shirai Kuroko. “Bahkan di Amerika, kau tidak bisa melihat sesuatu seperti itu. Hanya Academy City yang mungkin menjual baju renang se-cabul itu.” “... Kau bahkan telah mengungguli ‘tanah kebebasan’.” “Jangan pikir Amerika adalah nomor satu pada segalanya, Onee-sama.” “Jangan bersaing jadi nomor satu dalam hal keburukan,” Mikoto menghela napas, tapi tentu saja Shirai tidak terlihat peduli. “Jadi, kenapa seorang sutradara sepertimu ada di sini?” “Bukankah sudah jelas?” “?” Gadis itu tiba-tiba membusungkan dadanya bangga, tapi Mikoto tidak mengerti. Teriakan dari roller coaster yang melesat di atas kepala mereka terdengar bodoh. Gadis berambut pirang dan berdada besar berdeham sebagai tanggapan dari ekspresi kosong Mikoto. “Kau tahu, Liberal Arts City didirikan oleh perusahaan film besar, 'kan? Kaupikir, kenapa mereka melakukan itu? Untuk mencari teknik syuting yang baru. Itulah kenapa berbagai jenis orang dari beragam bidang kerja yang sama dikumpulkan di sini.” Beverly mengayunkan jari telunjuknya. “Film adalah tentang kenikmatan, dan film adalah sarana terbaik Amerika untuk mendapatkan mata uang asing. Secara kasar, bisa dikatakan bahwa beberapa persen dana Amerika didukung oleh film. Jadi, tidak terlalu mengejutkan bila sesuatu seperti taman hiburan ini dibangun.” “Wow. Itulah Hollywood. Kurasa, begitulah cara pikir orang-orang yang membangun kota di gurun pasir.” Uiharu hanya mengekspresikan kekagumannya, tapi Beverly tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, ada satu sumber kekhawatiran di industri film Amerika, dan itu adalah Academy City di Jepang.” “?” “Bagian paling epik dari industri film negara ini adalah dunia CG* dan VFX*. Beberapa orang bersikeras tentang nilai dari suatu film dan karya seni yang terkandung di dalamnya. Tapi pada akhirnya, sedikit efek yang menyilaukan mata penonton diperlukan untuk membuat hit yang besar. Jadi, kalau Academy menggunakan semua teknologinya untuk membuat suatu film dengan serius, pekerjaan kami akan terlihat bobrok jika dibandingkan dengan hasil pekerjaan kalian. Sama seperti ponsel model lama yang terlihat kuno ketika suatu model baru dirilis, walaupun model-model sebelumnya masih bekerja dengan baik. “ [CG yang merupakan singkatan dari Computer Graphics adalah bagian dari ilmu komputer yang berkaitan dengan pembuatan dan manipulasi gambar (visual) secara digital. Bentuk sederhana dari grafika komputer adalah grafika komputer 2D yang kemudian berkembang menjadi grafika komputer 3D, pemrosesan citra (image processing), dan pengenalan pola (pattern recognition). Grafika komputer sering dikenal juga dengan istilah visualisasi data. Wikipedia Bahasa Indonesia tanpa perubahan.] [VFX adalah singkatan dari Visual Effect, yaitu seni memanipulasi gambar pada suatu film dengan penambahan effect dari bantuan teknologi multimedia.] Beverly memutar-mutar jari telunjuknya dengan semacam isyarat. Saten terlihat bingung. “Kau yakin...? Aku memutuskan film yang akan kutonton berdasarkan pemeran yang main film tersebut.” “Ya, dan ada orang-orang yang mengawasi hal seperti itu. Mereka menggunakan uang dan informasi untuk mencari aktor-aktor dari seluruh dunia, mengundang mereka, dan membuat kontrak dengan mereka – dan semuanya adalah tindak pencegahan melawan Academy City.” “Wow,” kata Uiharu terkejut. Shirai mengernyit. “Tapi, apakah Academy City benar-benar mencoba untuk membuat film?” “Tidak, tapi kami ingin mempunyai teknik syuting yang bisa melebihi Academy City sebelum mereka memutuskan untuk mulai membuat film, dan jauh melesat melewati kami, sehingga kami tidak bisa menyusulnya. Hebat sekali. Perusahaan film, pondasi investasi film, senat dan DPR mendukung ini.” Beverly, yang mengaku sebagai seorang sutradara, tertawa. “Karena itu, aku ingin membuat sedikit kontak dengan Academy City dari Jepang, yaitu markas sisi ilmu pengetahuan. Karena itu, aku menyapa kalian. Aku berharap kalian dapat memberiku semacam motivasi. Ingat, beberapa barang yang kalian gunakan secara biasa sebagai turis mempunyai nilai yang tinggi bagi kami.” “... Um, kurasa kau tidak akan mendapatkan apa pun dari kami. Kami cuma orang biasa. Kami bukan alien atau semacamnya, jadi kuharap kau tidak sedang mengharapkan pertukaran teknologi, bidaya, atau semacamnya,” jawab Mikoto dengan capek. Beverly memandang baju renang cabul Shirai Kuroko dari atas ke bawah dengan tatapan kosong. “... Yang benar?” “Oh, maaf. Tolong jangan gunakan ini sebagai ‘titik pertimbanganmu’.”

Meskipun sudah mendengar apa yang dikatakan oleh gadis mengaku sutradara bernama Beverly Seethrough... “Huh!? Kemana perginya dua bongkah dada itu!?” “Dia mengeluh tentang keharusan pergi bekerja, lalu dia pergi ke arah sana,” kata Shirai sambil melihat sekitar area itu. Dia mungkin bisa menemukannya dengan memakai kekuatan teleportasinya, tapi sepertinya hal itu tidak terlalu dibutuhkan. “Tapi katanya, dia akan menunjukkan daerah sekeliling tempat ini pada kita. Mungkin dia seorang yang gila kerja,” kata Uiharu. Sementara itu, Saten bergumam pelan sambil menatap Beverly pergi. “... Liberal Arts City sangat mengagumkan. Inilah kota film...” “Yeah, tapi apakah dia benar-benar seorang sutradara?” Mikoto mulai berpikir bahwa dia hanyalah seorang pegawai taman hiburan, atau seorang pemain drama sambilan. Mungkin suatu atraksi yang memberikan taman hiburan atmosfer tambahan sebagai kota film. Tapi kemudian Saten berbicara dengan nada bingung. “Eh? Tadi itu Beverly Seethrough yang asli. Aku pernah melihat gambarnya di majalah film dulu. Dia adalah sutradara jenius baru yang mendapat banyak pujian di Cannes* tahun lalu. Dia menjadi berita besar karena pada usianya yang masih di bawah umur, dia berhasil mengungguli para veteran yang menjadi lawannya.” [Festival Film Cannes (French: Le Festival International du Film de Cannes) adalah festival film paling bergengsi di dunia. Itu diadakan pertama kali dari 20 September hingga 5 Oktober 1946 di kota peristirahatan Cannes di Perancis bagian selatan. Sejak itu, festival ini diadakan setiap tahunnya pada bulan Mei kecuali pada beberapa saat. Wikipedia Bahasa Indonesia tanpa perubahan.] Misaka Mikoto menelan ludah. “Ap— Tung— Daahh!! Maksudmu, dia itu yang membuat “An Iron Bridge is a Sign of Love”!? Kalau begitu... gmaaaahhh!! Aku butuh tandatangannya!!” Mikoto berteriak, tapi si gadis berdada besar sudah menghilang dalam kerumunan orang. Teriakan menyedihkan Mikoto bergema di daerah itu. “Orang-orang memperlakukannya, seolah-olah dia adalah bintang masa depan di film roman Eropa, tapi kurasa dia berakhir di sini. Mereka pasti sedang berusaha membuat film yang penuh efek.” “... K-kau cukup tenang, Saten-san.” “Hm? Film miliknya cantik, tapi terlalu susah untuk dimengerti anak-anak sepertiku. Kurasa kau adalah tipe-tipe orang yang pergi menonton film roman subjektif seperti itu, Misaka-san.” “T-t-t-tidak juga. Bukannya aku cuma suka genre itu atau semacamnya.” Muka Mikoto memerah dan dia mengayun-ayunkan tangan di depan wajahnya. Tiba-tiba, suara ledakan menghantam gendang telinga Mikoto. “!! ...!?” Itu terjadi begitu tiba-tiba sehingga dia lupa menutup telinganya, dan dia sama terkejutnya seperti ketika ada seseorang yang menyerangnya dari belakang. Dia berputar ke arah sumber suara, dan melihat kapal bajak laut mengambang di jalur air, seakan-akan kapal itu memotong daratan yang dilaluinya. Asap membumbung dari ujung meriam pada sisi kapal. Seorang pria besar seperti kapten bajak laut dengan jenggot yang mencolok berdiri di depan kapal, dan mengangkat kedua lengannya ke udara sambil berteriak dalam bahasa Inggris. “Aku tidak punya kewajiban untuk melindungi kalian, wahai cacing-cacing, tapi aku akan susah tidur di malam hari kalau aku menelantarkan kalian!! Aku akan bekerja tanpa imbalan, jadi kalian lebih baik berterima kasih!!” Segera setelah Mikoto menyadari bahwa itu adalah “perkataan populer” dari suatu film terkenal, penonton di sekitarnya berteriak, bertepuk tangan, dan bersiul. Melihat reaksi seperti itu, aktor yang memainkan peran kapten mengangguk puas. Meriam-meriam kapal bajak laut lalu menembakkan peluru berganti-gantian. Suatu kapal lain sudah berada di lautan lepas pantai, tepat di seberang kapal pertama. Kapal kedua lalu membalas tembakan meriam. Suaranya yang menggelegar sepertinya cukup untuk menggoyangkan seluruh bagian kepala manusia. Mikoto akhirnya menutup telinga dengan tangannya, dan berteriak pada Saten, Shirai, Uiharu yang berdiri di sampingnya. “A-ada apa ini!? Apa ini juga bagian dari pertunjukan taman hiburan ini!?” “Ohhhh!! Itu the Skull and the Broad dari “The Pirates’ Scarlet”!! Kalau kau ingin menyajikan atraksi di kota film, beginilah caranya!!” Sepertinya Saten tidak mendengar Mikoto, karena dia mengangkat tangannya dengan senang di tengah suara raungan tembakan. Sebenarnya kapal-kapal bajak laut itu tidak menembakkan peluru meriam yang besar. Kemungkinan besar, mereka menembakkan peluru kosong dan mesiu yang sudah disiapkan di kapal satunya, lantas diledakkan pada saat yang sama. Walaupun begitu, betapa banyak bagian kapal bajak laut tebal yang dihancurkan, adalah suatu pemandangan yang mengagumkan. Tapi Mikoto merasa sedikit kecewa, karena dia seakan-akan dipaksa untuk berpartisipasi dalam suatu event. Bukannya melihat dengan kemauannya sendiri. (Kurasa film roman yang lebih tenang dan lebih diam, memang lebih cocok untukku...) Lalu ekspresi Mikoto berubah menjadi sedikit bingung. “Tunggu dulu, bukankah jalur air dan area lautan itu cukup untuk mengambangkan suatu kapal? Aku cukup yakin bahwa orang-orang baru saja berenang di sana.” “Sebelum event, mereka meminta pengunjung keluar dari air, lalu mereka mengaktifkan alat yang bisa membuat dasar laut naik atau turun. Awalnya, tempat ini 'kan hanyalah suatu titik di tengah lautan berjarak 50 kilometer dari California. Kita sedang berada di atas pulau buatan yang dibangun di atas area berbatu, tapi normalnya tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh dasarnya.” “Begitu ya,” Mikoto menjawab setengah tidak acuh. Setelah beberapa saat, pertarungan bajak laut kelihatannya selesai. Orang-orang di atas kapal terjun ke laut dan kedua kapal tersebut tenggelam. Tidak terlalu jelas apakah kapalnya bisa menyelam, atau kapalnya berada di atas rel yang mengarah ke bawah, atau semacam trik lainnya. Pengunjung biasa kelihatannya tidak terlalu peduli. Mereka hanya bertepuk tangan. Lalu suara keributan lainnya dimulai. Suara mesin bernada tinggi menghantam telinga Mikoto. Suara itu bukan berasal dari suatu mobil. Suara ribut itu berasal dari pesawat-pesawat tempur siluman supersonik berwarna hitam yang terbang melintasi langit, dari daratan ke arah laut. Dengan penuh gairah, Saten menunjuk ke arah suatu unit yang terdiri dari lima pesawat. “Gwaahh! Itu Skuadron Laveze dari Alien Wars!! Amerika memang menakjubkan!! Negeri Hollywood memang cinta sekali pada senjata mereka!!” “Aku lebih suka gaya lembut yang bisa mengaduk-aduk emosi penonton...” Mikoto terus bergumam, tapi tidak ada yang meresponnya. “Wah!” teriak Uiharu setengah kagum dan setengah terkejut ketika dia melihat ke langit. “Di film, pesawat-pesawat ini seharusnya adalah F-22 yang dimodifikisi untuk melawan UFO, tapi mereka benar-benar melakukannya, Shirai-san. Kudengar satu unit berharga lebih dari lima belas milyar yen.” “Aku yakin mereka cuma menghiasnya sehingga terlihat seperti spesifikasi yang ada dalam film. Bukankah itu cuma suatu model akrobatis yang dibuat dari F-35 yang dilucuti senjatanya?” Walaupun begitu, mereka telah membeli berbagai pesawat tempur modern, memodifikasinya untuk syuting, dan benar-benar mengirimkannya ke udara. Ide dengan skala sebesar itu bahkan tidak akan diungkit pada rapat di Jepang. “Ohh! Bereka sedang bertempur di sana!!” Saten berteriak sambil menunjuk ke arah ufuk. Ini pasti adalah tipe pertunjukan yang menggunakan bahan peledak karena beberapa pesawat tempur terbang dengan lengkungan tajam di udara. Jejak asap melengkung yang lebih kecil pasti adalah sisa dari misil palsu. Terlihat juga kilatan cahaya yang sepertinya berasal dari senjata mesin. Yang terdengar bukanlah suara berulang-ulang, tetapi satu suara berkelanjutan yang bisa terdengar sampai ke pinggir pantai. Suaranya cukup kuat untuk seukuran peluru kosong. Pertunjukannya terkesan cukup mewah. Dan skuadron Laveze sedang bertempur melawan... “? ... Apa itu?” tanya Saten yang kelihatan bingung, meskipun dialah yang paling banyak tahu tentang hal ini pada sekumpulan gadis SMP itu. Benda itu ada di permukaan air. Suatu kapal berbentuk elips sepanjang 5 meter. Walaupun wujudnya elips, bentuk kapal ini tidak seperti bola rugby. Sudutnya lancip, seperti dua unit kano* yang ditumpuk layaknya roti burger. Kapal ini juga mempunyai suatu sayap besar dan sayap kecil di bagian depan kedua sisinya, membuatnya terlihat seperti ikan terbang. Bukan, karena hanya ujung sayapnya yang menghadap ke bawah menyentuh permukaan air, dan sayap ini kelihatan seperti mendayung air untuk bergerak maju, maka kapal ini lebih mirip serangga air. Apa pun bentuknya, kapal aneh ini melaju di atas laut dalam kecepatan tinggi seakan-akan ditolak oleh air. Kapal ini bergerak begitu cepat, sejumlah besar air laut terciprat ke udara untuk mengikuti si ikan terbang. [Kano adalah sebuah perahu kecil dan sempit, yang biasanya digerakkan dengan tenaga manusia, tapi juga lazim diberi layar. Kano biasanya lancip pada kedua ujungnya dan terbuka di bagian atasnya. namun bagian ini dapat diberi tutup. Wikipedia Bahasa Indonesia tanpa perubahan.] Si ikan terbang menghindari tembakan senapan mesin dari langit dengan bergerak sedikit zig-zag. Sebagai balasan, benda itu menembakkan benda berbentuk seperti misil. Sesuatu yang terlihat seperti jejak asap berwarna putih melesat memotong udara. “Aku tidak pernah melihat itu. Uiharu, apakah kau tahu benda itu berasal dari film apa?” “T-tidak.” “Taman hiburan ini mendapatkan dukungan dari perusahaan film, jadi mungkin ini adalah promosi untuk film baru. Tapi pertunjukannya terlalu jauh. ...Ah!? Jangan bilang ini adalah trik murahan untuk membuat kita membayar setelah menyewa teropong!” kata Saten dan dia mulai menoleh ke kiri-kanan. (...?) Sementara itu, Mikoto mengernyit. Melihat Shirai, dia juga dapat memastikan kalau Shirai juga sedikit curiga. Kalau kau melihat sekilas, ini tidak lebih dari sekedar pertunjukan dengan pesawat tempur di langit dan ikan terbang di atas laut, tapi ada sesuatu yang aneh jika kau memikirkannya lebih jauh. (Bagaimana ikan terbang itu bisa bergerak begitu cepat?) Mikoto belum pernah mendengar kapal yang bisa menyamai kecepatan suatu pesawat tempur. Walaupun kau mempertimbangkan kendaraan amphibi, kapal tercepat di dunia hanya mampu mencapai kecepatan sekitar 90 kph. Mach 1—lebih dari 1200 kph—tidak pernah ada sesuatu seperti itu. Secara teknis, si ikan terbang bukanlah suatu “kapal murni” karena dia mengambang di atas permukaan laut, tapi hal ini membawa masalah tersendiri. Lautan mempunyai ombak yang menyebabkan permukaannya tidak rata. Fakta bahwa si ikan terbang bisa mengontrol keseimbangannya dengan kecepatan seperti itu, adalah sangat mengejutkan. “Skalanya memang sangat berbeda di Amerika. Di Jepang, mereka tidak akan membiarkanmu meledakkan barang-barang seperti itu walaupun di atas lautan.” Sepertinya Saten Ruiko berpikir bahwa ini hanyalah pertunjukan yang menggunakan peledak. Turis lain di area itu juga memiliki respon yang mirip. Mereka berteriak untuk mendukung dan tertawa. Beberapa bahkan berteriak untuk protes karena pertempurannnya kurang “terasa”, dan mereka perlu membuatnya lebih menyilaukan. Tetapi, Mikoto-lah satu-satunya yang menyimpan pertanyaan di dadanya. Dia berpikir sejenak sambil memerhatikan pertempuran terjadi di ufuk yang jauh. (Jangan-jangan... ?) Suara ledakan berlanjut. Suatu misil berhasil mengenai sisi kapal yang mirip ikan terbang, dan meledak. Si ikan terbang kehilangan keseimbangannya dan jatuh menghantam permukaan air laut. “Kau bercanda...!?” Tubuh Mikoto menegang. Si ikan terbang yang tidak terkontrol melesat ke arah pantai dan menghantam pasir.

Pasukan Pertahanan Udara Liberal Arts City, yang dikenal juga sebagai lima pesawat tempur dari skuadron Laveze, terbang berputar-putar di ketinggian sekitar 200 meter di atas permukaan laut, dan berbelok dengan sudut tajam berulang-ulang. Nama musuhnya adalah Mixcoatl. Kata itu berarti Ular Lautan Awan jika diterjemahkan dalam suatu bahasa. Ini mengacu kepada musuh-musuh bersayap empat yang hampir bisa dibilang meluncur dengan kecepatan tinggi di atas permukaan air untuk menghindari bidikan pesawat-pesawat tempur mutakhir. Hanya ada dua, walaupun begitu, skuadron Laveze yang terdiri dari lima pesawat tempur bahkan belum bisa menggores kapal musuh. Ombak cukup tinggi, tapi keempat sayap Mixcoatl bergerak dengan lincah, dan membuatnya terus meluncur dengan cepat di atas laut, tanpa bergoyang ke atas-bawah sedikit pun. Dan yang paling mengejutkan adalah, Mixcoatl tidak menggunakan pelat baja seperi kapal militer pada umumnya. Badan utamanya yang lancip terbuat dari kayu seperti suatu barel, dan bentuknya seperti dua buah kano yang ditumpuk. Sisanya terbuat dari kain dan obsidian*. Tidak ada secercah logam pun pada permukaannya. [Obsidian adalah batuan vulkanis berwarna gelap, keras, seperti kaca, yang terbentuk dari pengendapan lava dengan cepat, tanpa proses kristalisasi. Kamus Oxford.] Kumpulan kayu dan kain yang memutarbalikkan logika tentang persenjataan modern itu berhasil mencegah pesawat tempur mutakhir untuk “mengunci” targetnya. Benda itu membuat sedikit gerakan ke depan-belakang, sehingga pergerakannya terlihat zig-zag. Pilot yang menggenggam tongkat kemudi mendecakkan lidahnya. “Dia tidak mau diam!!” Sembari membidik Mixcoatl yang kabur “membelah” laut, dia menembakkan senapan mesinnya. Suatu garis lintasan peluru terbang seperti mesin jahit yang dihidupkan, tapi garisnya hanya menembus lautan. Pelurunya tidak berhasil mendekati Mixcoatl. Tetapi, Mixcoatl terpaksa kabur ke arah kanan untuk menghindari garis tembakan peluru itu. Itu adalah gerakan yang dapat diperkirakan. Pesawat tempur berhasil mengunci targetnya untuk melepaskan misil. Tanda di HUD* menunjukkan bahwa penguncian sasaran sudah selesai. [Sebuah head-up display systems, atau disingkat HUD, adalah suatu tampilan transparan yang menyajikan data tanpa mengharuskan pengguna untuk melihat dari sudut pandang biasa mereka. Asal usul nama ini berasal dari pilot yang dapat melihat informasi dengan kepala “dinaikkan” dan melihat ke depan, bukan memandang sudut bawah untuk melihat ke instrumen yang lebih rendah. Meskipun HUD pada awalnya dikembangkan untuk penerbangan militer, HUD sekarang telah digunakan dalam pesawat komersial, mobil, dan aplikasi lainnya. Wikipedia Bahasa Indonesia tanpa perubahan.] Dia langsung menembak. Misil yang dilepaskan dari pesawat melesat ke arah lautan dengan kecepatan tinggi. Hulu ledak terbang dalam lengkungan tajam, dan meledak di sekitar jangkauan Mixcoatl. Sejumlah besar air laut meledak ke udara, dan membuat semacam tirai berwarna putih. “Sialan! Apa aku berhasil membunuhnya!?” Si pilot mencoba mengintip melewati sejumlah besar percikan air, tapi kecepatan pesawat tempur membawanya melewati titik pandang dalam sekejap. Kemudian... “Idiot! Di atasmu!!” Ekspresi si pilot berubah menjadi syok ketika mendengar transmisi itu dari rekannya sesama pilot. Ketika dia menyadari bayangan di atasnya, Mixcoatl sudah meluncur padanya dengan keempat sayap terentang. Suatu lubang di badan kapal yang berbentuk seperti dua unit kano mengarah langsung ke tubuh si pilot, seakan-akan lubang itu adalah moncong senapan. (Apa dia melompat ke atas untuk menghindar seketika!?) “Kurang ajar!!” Pesawat biasa tidak akan bisa melakukan apa pun, dan pasrah menunggu kokpit meledak, tapi si pilot dengan sigap menggenggam tongkat kemudi lebih kuat. Pesawat itu berputar. Itu adalah suatu manuver spesial yang bertujuan mengangkat hidung pesawat seperti sedang melakukan wheelie*. [Baca NT 13.] Mengetahui gaya tahan udara akan membuat kecepatannya menurun dengan drastis, dia pun memaksa pesawat untuk mengarahkan hidungnya pada Mixcoatl yang ada di atasnya. Dengan melakukan ini, dia telah membidik senapan mesin dan misiln ke kapal satunya. Keduanya telah membidikkan senjata masing-masing. Jeda waktu itu bahkan tidak bertahan sampai satu detik. “Gwoooooooooohhhhhh!!” Sembari berteriak, dia menarik pelatuk senapan mesin yang ada di tongkat kemudinya. Dengan suara gemuruh, pecahan kayu dan percikan berwarna oranye terbang dari bagian Mixcoatl, tapi tidak ada kerusakan serius. Mixcoatl menembakkan sesuatu yang mirip misil dari lubang kecil yang terbuka di badan utamanya. Si pilot merasa, dia mendengar sedikit suara ketika benda itu ditembakkan. Dalam sekejap, sesuatu yang mirip anak panah meninggalkan jejak asap, dan ditembakkan ke arah pesawat tempur. Benda ini menusuk penyeimbang horizontal kiri pesawat, mematahkan sayapnya, dan melemparkan pesawat itu ke udara. Si pilot mendengarkan perkataan rekannya dari radio untuk menggunakan parasutnya, tapi dia tidak melakukan itu. Seakan-akan, Mixcoatl melirik pesawat tempur yang rusak, sampai akhirnya mulai jatuh ke lautan setelah kehilangan daya angkat dari lompatannya. Pesawat tempur itu mulai berputar seperti daun setelah kehilangan sayapnya. Tapi itu bukan karena si pilot kehilangan kontrol, melainkan karena ekor pesawat yang hancur. Si pilot menggunakan keahliannya untuk membidik Mixcoatl yang sedang terjatuh. “Kau bajingan...” Tidak seperti ketika terbang dalam gerakan loop-the-loop, pesawat tempur ini berputar seolah-olah bagian tengahnya sedang ditusuk. Si pilot memperbaiki posisi pesawat, mengarahkannya ke bawah, yaitu ke arah Mixcoatl yang sedang jatuh, seakan-akan pesawat itu sedang berdiri di ujung. Dia mengerahkan sisa-sisa tenaga terakhirnya ke tongkat kemudi. “Kau pikir kau bisa melukaiku dan kubiarkan begitu saja!?” Sembari berteriak, dia menembakkan misil udara ke Mixcoatl.

Si ikan terbang mengarah padanya dengan kecepatan tinggi. Ketika tubuh Mikoto menegang, si ikan terbang sudah melesat ke pantai. Pasir dalam jumlah besar terhambur ke udara, dan si ikan terbang masih terus melaju. Tergesek di jalan aspal, percikan listrik beterbangan dan akhirnya si ikan terbang menabrak shower pribadi untuk para perenang. Salah satu bagian dari dinding yang hancur terbang berputar di udara. Reruntuhan raksasa itu mempunyai panjang lebih dari tiga meter dan melewati kepala para turis. “!!” Sesaat kemudian, cahaya terpercik dari poni Mikoto. Pasir putih di sekitar kakinya menggelembung ke atas. Bukan, secara teknis itu adalah pasir besi yang tercampur dengan pasir putih. Pasir besinya membentuk suatu pedang hitam dan terbang beberapa meter ke udara dengan gerakan seperti ular. Tanpa ampun, pedang pasir Mikoto meledakkan puing dinding yang sedang jatuh. Awalnya, para turis hanya berdiri terdiam di sana, tapi beberapa saat kemudian, suara teriakan menyerang gendang telinga Mikoto. Tetapi... “Wow!! Liberal Arts City memang beda!!” “Apa itu tadi? Iklan? Kapan filmnya keluar?” “Oh, jadi mereka membuat pertunjukan di tempat yang jauh untuk membuat ketegangan ini.” “Jadi ada pemain yang membaur bersama dengan penonton. Memang, kau tidak boleh lengah di kota film.” “Siapa cewek itu? Jarang-jarang ada pemain yang berasal dari Asia. Promosi aktris baru?” “Ya, Tuhan. Pasir masuk ke dalam mulutku.” Teriakan-teriakan itu adalah suara teriakan dukungan dalam bahasa Inggris. Mikoto merasakan hawa dingin di punggungnya. (Mereka ngomong apa...?) Tentu saja, Mikoto bukan seorang pemain film. Kejadian tadi bisa menjadi bencana besar jika dia tidak ikut campur. Tetapi mereka tidak sadar. Di area spesial yang dikenal sebagai kota film, segila apa pun dan seaneh apa pun kejadian yang terjadi, orang-orang akan menganggapnya sama seperti ketika mereka bertualang di dalam rumah hantu. Mikoto mempunyai pandangan yang buruk. Kalau dia tidak menyerang puing itu, bagaimana mereka akan menganggap bencana yang ada di depan mata mereka? Kalau ada seseorang yang jatuh dengan berlumur darah di depan mereka, apa mereka masih berpikir bahwa korban tersebut adalah seorang pemain film, dan darahnya adalah darah palsu? Tentu saja, akan ada beberapa orang yang kenal si korban. Mereka akan mengatakan kalau itu bukan akting dan si korban benar-benar kesakitan, tapi adakah yang akan percaya? Kalau orang lain berpikir bahwa yang menangisi si korban adalah aktor lain, maka sepertinya semuanya akan baik-baik saja. Dan jika orang-orang yang menangis dianggap sebagai pemain film untuk atraksi selanjutnya, keributan akan hilang. Suatu atraksi. Itulah keadaan yang terjadi karena terlalu terbiasa hidup damai. Di sini adalah suatu dunia di mana tidak ada seorang pun yang percaya bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Walaupun mereka melihatnya di depan mata mereka sendiri. Apakah Liberal Arts City menyembunyikan sesuatu yang sangat berbahaya? “...” Tiba-tiba, suara ribut yang tidak mengenakkan memukul gendang telinga Mikoto. Dia menoleh dan melihat si ikan terbang mundur menjauh dari shower pribadi dengan gerakan menggeliat. Dengan ini, sekali lagi terbukti bahwa itu adalah kapal yang aneh. Tidak memakai logam, badannya terbuat dari kayu seperti suatu barel, dan empat sayapnya terbuat dari kain dan obsidian. Mikoto bahkan tidak dapat menebak bagaimana kapal itu berhasil bergerak sehebat itu dengan bahan-bahan seperti itu. Tapi saat ini, bukan waktu yang tepat untuk membicarakan teknologi. Masalahnya adalah, si ikan terbang mulai bergerak di tengah kerumunan turis. (Ini buruk...) Turis-turis di sekitarnya tidak merasakan bahaya sama sekali. Beberapa di antaranya bahkan mendekat untuk mengambil foto dengan ponsel mereka. Badan kapal yang terlihat seperti dua unit kano yang ditumpuk, bergerak. Lubang seperti moncong senapan mulai membidik ke arah turis-turis yang mengambil gambar. Sesuatu yang mirip misil ditembakkan. Itu adalah benda sama persis seperti yang digunakannya pada “pertunjukan” barusan. “Dasar... sialan!!” “O-Onee-sama!?” Mengacuhkan usaha Shirai untuk menghentikannya, Mikoto berlari di atas pasir, ke arah si ikan terbang. Percikan listrik terbang dari poninya. Suatu tombak petir dengan tegangan satu milyar volt terbang lurus dan menyerang sisi ikan terbang itu. Dengan suara menggelegar, goncangannya membuat badan ikan terbang bergeser ke samping dan bagian yang tersambar petir sedikit terbakar. Tapi dia tidak berhenti. Si ikan terbang mengubah sasarannya, dari para turis ke arah Mikoto. Mikoto mendengar suara aneh dari dalam lubang di badan kapal. “Sial! Jadi kapal ini benar-benar menggunakan amunisi hidup!?” Tubuh Mikoto menegang karena syok. Misilnya kelihatan seperti ditembakkan dalam kecepatan tinggi dan dibalut berkas uap air. Mikoto langsung menjatuhkan serangan misil itu dengan tembakan petir. (Aku kurang yakin dengan detailnya, tapi mungkin misilnya menggunakan propelan* hidrogen) [Propelan = bahan bakar.] Dia menggerakkan kakinya dengan cepat untuk mendekati si ikan terbang. (Hidrogen terkompresi bereaksi dengan oksigen di udara yang membakarnya. Kurasa, misilnya terbalut dengan berkas uap air karena atom-atom hidrogen-oksigen saling mengikat dan membentuk air setelah ledakannya terjadi!!) Si ikan terbang pasti sudah memutuskan untuk menghindari resiko lebih jauh, karena dia menggunakan keempat sayapnya yang mirip kaki untuk mundur dan menjauh dari Mikoto. Dia mematahkan pohon palem yang tumbuh di sisi jalan, sembari dia berpindah dari pantai ke bagian pulau lebih dalam. Kecepatannya tidak begitu hebat, tapi gerakannya yang mirip seperti serangga sedikit menjijikkan. Si ikan terbang lalu menyelip ke dalam celah antara dua bangunan. “Ahh, sialan! Kenapa dia tidak kembali saja ke laut!?” Mikoto berlari dan meraih bagian tumit sendalnya. Di menarik paksa sesuatu yang ditahan dengan tali pengikat. Yang ditariknya adalah benda seperti pisau milik pasukan khusus yang terbuat dari plastik. Panjangnya adalah 10 cm, dan terlihat seperti magasin* suatu pistol. Tapi yang tersimpan di dalamnya adalah koin arcade, bukannya peluru. Artinya, benda yang ditarik Mikoto adalah semacam tempat penyimpanan koin. [Magasin adalah kotak peluru yang biasanya ditanamkan pada bagian gagang psitol.] (Di mana benda itu? Apa ada orang di dalamnya? Atau dia bergerak berdasarkan suatu program seperti robot?) Si ikan terbang sepertinya tidak dirancang untuk pergerakan di darat karena dia bergerak jauh lebih lambat dibandingkan di air. Sayap dari kayu, kain, dan obsidian... semuanya hancur di bagian bawah. Badan utamanya yang mirip dua unit kano bergesek dengan tanah ketika bergerak. Mikoto mengalihkan perhatian pada tempat penyimpan koin di tangannya. (Aku bisa menggunakan Railgun-ku...!!) Dia bisa menggunakan gaya elektromagnetis untuk menembakkan sekeping koin arcade dengan kecepatan tiga kali kecepatan suara. Menggunakan Railgun untuk menghentikan si ikan terbang secepatnya merupakan metode terbaik untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, tetapi... “!?” Mikoto menggunakan jempolnya untuk mengeluarkan sekeping koin arcade dari tempatnya, tapi tidak berhasil. Menyimpan kotak koin di sendal adalah suatu kesalahan, karena terdapat sejumlah pasir yang tertumpuk pada pegas kotak tersebut. Sehingga, koinnya tersendat dan tidak bisa keluar. (Sialan. Kenapa harus sekarang, sih...!?) Di atas dataran pasir putih buatan manusia, terdapat tenda-tenda yang tidak terhitung jumlahnya. Kumpulan tenda-tenda tersebut adalah semacam distrik perbelanjaan. Semua tenda merupakan toko suvenir untuk para turis. Beberapa keluarga yang memakai baju renang menonton Mikoto dan si ikan terbang, sambil berteriak menyemangati. Mereka benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Wajah Mikoto berekspresi kelu dan si ikan terbang membuat gerakan lain. Badan utama yang seperti tumpukan dua unit kano tiba-tiba berputar 180º. Dua sayap yang lebih panjang digunakan untuk mengangkat badannya. Dua sayap yang lebih pendek digunakan layaknya tangan depan seekor hewan karnivora. Seluruh badan kapal meliputi tubuh Mikoto, seakan-akan dia ingin menghancurkannya. Sayapnya bak jebakan beruang. Kemudian, sayap-sayapnya menutup dengan kecepatan layaknya seekor belalang sembah. “Sial...!?” Mikoto mencoba untuk melompat ke samping dengan panik, tapi dia berakhir tepat di bawah si ikan terbang. Mikoto terjatuh pada posisi telentang, dan dua sayap menahan lengannya agar tidak bergerak. Panas dari pasir seperti menusuk punggungnya, tapi itu adalah masalah yang tidak penting. Dia dapat melihat bagian bawah badan utama yang berbentuk seperti dua unit kano. Badan utama bersudut lancip kelihatan seperti langit-langit yang tergantung di atasnya. Ada suatu bagian berbentuk persegi yang terdapat pada sisi bawah ikan tersebut. (Apa itu? ...Apakah itu kokpitnya!?) Hal ini membuat Mikoto terkejut, tapi ada hal lain yang lebih penting. Lubang persegi itu kemungkinan besar adalah semacam kabin keselamatan darurat. Dia tahu bahwa sekarang tidak ada orang di dalamnya. Si pilot telah kabur sambil menjaga benda itu dalam mode otomatis. (Sialan!! Kapan itu terjadi!?) Mikoto menggertakkan giginya, tapi dia menyadari sesuatu yang berkedip di dalam kabin keselamatan darurat. Ada beberapa hieroglif yang Mikoto tidak ketahui, bahkan dengan pengetahuannya yang luas. Ada empat buah bilangan di bawahnya. Dia tidak bisa mengerti arti hieroglif itu, tapi dia bisa tahu bahwa nomor-nomor itu sedang menghitung mundur. Mikoto memiliki firasat buruk tentang ini. (Jangan bilang benda ini punya alat penghancuran diri!!) Dia mengingat kembali misil yang dia tembak jatuh dengan menggunakan propelan hidrogen. Kalau semua misil yang masih tersisa di dalamnya diledakkan, ini akan membuat kerusakan cukup besar. Kalau benda ini dimuat dengan hidrogen cair dengan tujuan khusus untuk peledakan diri... “Sial! Ini bukan lelucon!!” Mikoto berusaha menggerakkan lengannya sekuat tenaga sampai wajahnya memerah, tapi lengannya ditahan terlalu ketat. Tempat koin Railgun-nya juga terlempar sedikit jauh ketika dia dirobohkan oleh kapal itu. Masih ditahan oleh si ikan terbang raksasa, Mikoto menggerakkan kepalanya. Para turis yang terbiasa berada dalam kedamaian tidak menunjukkan tanda-tanda akan melarikan diri. “Wow! Kelihatan benar-benar nyata!” Mikoto menoleh dan melihat gadis berumur sekitar 10 tahun mendekatinya. Sepertinya, si gadis ingin menyentuh kapal itu karena penasaran. Kalau penghitung waktu mundur di dalam kabin keselamatan itu benar-benar alat peledakan diri, maka semuanya akan lenyap. Keluarga yang berlibur untuk membuat kenangan indah, anak-anak kecil yang merengek pada orangtuanya untuk membeli es krim, dan para pekerja yang sibuk di toko suvenir... semuanya akan tenggelam ke dalam lautan darah. Mikoto mendengar suara robek. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari kalau suara itu berasal dari giginya yang menggigit bibirnya. “Buruk sekali...” Dia tidak bisa menggerakkan lengannya yang sedang ditahan. Kotak penyimpan koin yang dibutuhkannya untuk menembakkan Railgun berada pada jarak agak jauh darinya. Kelihatannya, Mikoto tidak bisa melakukan apapun pada alat peledak diri yang akan segera meledak itu. Tapi, hal itu sama sekali tidak ada di dalam pikirannya. Seseorang tidak boleh meremehkan Ace SMP Tokiwadai, yaitu sekolah pengembangan kekuatan psikis bergengsi di Academy City. Dia bukan tipe yang bisa dikalahkan hanya karena satu-atau-dua kartu As-nya tidak bisa dipakai. Tiba-tiba meledak suara gaduh. Itu adalah suara pasir besi dalam jumlah besar yang bergerak dari area pantai di sekelilingnya. Kumpulan bubuk hitam menyebar ke sekitar badan ikan terbang dengan radius lima meter. Ini adalah barikade untuk mencegah para turis mendekat, dan kunci utama untuk membalikkan keadaan ini. Sesuai kehendak Mikoto, pasir besi menyerang si ikan terbang dari semua sisi dan membalutnya tanpa meninggalkan sedikit pun celah. (Kalau aku tidak punya koin untuk Railgun-ku...) Mikoto tersenyum. Percikan putih kebiruan keluar dari poninya, menandakan keberadaan arus listrik bertegangan tinggi. (... maka kau saja yang kugunakan sebagai amunisinya!!) Suara yang menggelegar terdengar. Si ikan terbang raksasa yang menimpa Mikoto terbang ke angkasa. Si ikan terbang dan pasir besi yang menyelimutinya terbang jauh. Tentu saja, karena bukan sekeping koin, kecepatannya tidak sampai tiga kali kecepatan suara, tapi itu tidak begitu masalah. Si ikan terbang melayang pada posisi miring, dan akhirnya tertarik gaya gravitasi di ketinggian sekitar 200 meter. Layaknya lemparan jauh dalam olahraga baseball, dia melewati area turis, dan akhirnya menghilang di balik ufuuk. Lalu suara ledakan besar menenggelamkan semua suara lain. Walaupun jaraknya begitu jauh, beberapa tenda toko suvenir rubuh. Awalnya, turis-turis mengenakan baju renang terkejut, tapi mereka kemudian mulai tertawa dan menunjuk-nunjuk para pekerja yang berusaha keluar dari bawah tenda rubuh. Apapun yang terjadi, ini semua adalah pertunjukan yang menegangkan, tetapi aman. (Sial! Kemana perginya orang yang mengendarai ikan terbang itu!?) Mikoto bangkit dari pasir panas, lantas menyapu pasir putih yang menempel di punggung dan bokongnya. Sorot matanya dan sorot mata si gadis kecil saling bertemu. Si gadis kecil mengacungkan jempol kecilnya, dan berbicara dalam bahasa Inggris. “Kerja bagus, kak.” “... Terima kasih.”

Beverly Seethrough menjauhkan teropong dari matanya. Dia datang ke Liberal Arts City sebagai seorang tamu, jadi dia tidak tahu jadwal pertunjukan dengan pasti. Jadi, dia pun tidak tahu apakah skuadron Laveze dan kapal aneh yang mirip ikan terbang itu termasuk dalam pertunjukan ataukah tidak. Tapi ada sesuatu lain yang dia tahu. Gadis berbaju lomba renang itu bukan bagian dari staf Amerika. Dia tidak tahu detail kejadian yang terjadi, tapi dia berasumsi bahwa gadis itu bergabung dalam pertunjukan di menit terakhir karena alasan tertentu. Beverly tertawa garing. Keringat membasahi tangannya yang memegang teropong. “Itulah Academy City. CG dan VFX tidak akan bisa menyamai itu.” Rasa ingin tahu terlihat membara di matanya. Beverly menelan ludah dan menjilat bibirnya dengan lidahnya yang kecil. “... Kurasa, paling tidak aku bisa cukup puas karena telah bertemu orang-orang yang menarik.”