Tate no Yuusha Jilid 4 Bab 7 (Indonesia)

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 82 : Kunjungan ke Pemakaman[edit]

Bagian 1[edit]

“Kita akan segera sampai di kota pelabuhan.”


Titik pertemuan untuk acara ini bertempat di kota pelabuhan.

Para Pahlawan yang lain sepertinya berangkat dengan menaiki kereta yang telah disiapkan oleh pihak kerajaan. Mereka memulai keberangkatan lebih awal, tapi Filo akan dengan mudah menyusul mereka.

Karena kami bertiga sudah agak lama melakukan perjalanan tanpa kereta, Filo terlihat senang.


“Ah, Tuan Naofumi... Apa boleh kita mengambil jalan memutar?”

“Hm?”


Raphtalia mengatakan padaku, ada suatu tempat yang ingin dia kunjungi.

Tempatnya tidak jauh dari posisi kami sekarang, jadi tidak ada salahnya mengiyakan permintaan Raphtalia.


“Tentu, tidak masalah.”

“Filo, tolong berbalik arah dari sini, dan bawa kita ke arah pantai.”


“Baik~!”


Lalu kami pun tiba di... Desa yang telah ditinggalkan.

Dari puing-puing bangunan yang tersisa, bisa ditebak kalau tempat ini dulunya adalah sebuah desa. Ada banyak rumah tanpa atap dan dinding, bahkan beberapa dari rumah tersebut telah terbakar dan rata dengan tanah.

Rubuhnya rumah yang sepertinya milik seorang penguasa wilayah... tidak memberikan keraguan lagi. Nampaknya rumah ini masih baru sebelum ditinggalkan oleh pemiliknya. Tapi... aku tidak bisa memperkirakan sudah berapa lama...

Aku harus mencari tahu, sejak kapan tempat ini ditinggalkan penduduknya...


“...”


Raphtalia hanya memandangi desa kosong tersebur, hingga kami melewatinya...

Saat kuperhatikan lagi, terdapat banyak kuburan di pinggiran desa. Kalau dipikir lagi, Raphtalia pernah mengatakan, kalau dia berasal dari sebuah desa pertanian di dekat laut, dan desanya lah yang pertama kali diserang oleh Gelombang Bencana.

Mungkinkah... ini adalah desa di mana Raphtalia lahir dan dibesarkan?

Tiga bulan telah berlalu sejak aku tiba di dunia ini. Kalau memperhitungkan waktu ritual pemanggilan Pahlawan, berarti paling lama sudah empat bulan berlalu sejak desa ini diserang.

Dari menyaksikan keadaan desa Demi-human ini saja, aku sudah bisa membayangkan kerusakan yang terjadi saat gelombang pertama menyerang.

Aku ingat jelas, sang ratu pernah mengatakan kalau dia telah mempercayakan urusan dalam negeri pada seseorang, yang akhirnya gugur saat terjadinya gelombang pertama. Karena pria tersebut dihormati oleh para Demi-human, mungkin dia juga menjabat sebagai pimpinan desa ini.


“Kakak Raphtalia, kita akan pergi ke mana?”

“Kita akan pergi ke puncak tebing untuk melihat pemandangan laut.”

“Baik, Filo mengerti~”


*Trek trek trek*

Selagi kereta kami menimbulkan suara dalam perjalanan, aku terus memandangi desa yang mungkin menjadi tempat Raphtalia dilahirkan.



Tidak lama, kami tiba di sebuah tebing yang memanjang ke arah laut. Raphtalia pun turun dari kereta.

Terlihat setumpuk bebatuan kecil di ujung tebing... Kupikir itu adalah sebuah kuburan. Raphtalia memetik beberapa tangkai bunga yang bermekaran di sekitar tebing, dan menaruhnya di depan “nisan” tersebut. Kemudian dia menepuk kedua tangannya untuk berdo’a.

Matahari mulai terbenam, dan mewarnai semuanya dengan jingga. Hari ini aku tidak bisa mengobrol dengan Raphtalia.

Kalau dipikir lagi, Raphtalia kehilangan kedua orangtuanya sekitar empat bulan yang lalu. Aku pikir sekarang dia sudah menjadi lebih kuat secara mental. Kehilangan keluarganya dan terus menjalani hidup... Tidak heran saat pertama kali aku bertemu dengannya, pandangan matanya terlihat kosong.

Tidak ada kah sesuatu yang bisa kulakukan untuk Raphtalia? Tunggu... apa yang akan terjadi pada Raphtalia, jika aku kembali ke dunia asalku? Untuk Filo, dia punya Melty untuk menemaninya, tapi Raphtalia tidak memiliki siapapun lagi di sampingnya...

Mungkin karena itu, sesekali Raphtalia dengan gelisah menanyakan alasanku kembali ke duniaku, setelah semua ini berakhir.


“Maaf sudah membuat kalian menunggu.”

“Tidak apa-apa. Ayo kita pergi.”

“Baik!”


... Setelah serangan Gelombang Bencana berakhir, aku harus memikirkan keputusanku untuk Raphtalia.



“Uuu...”


“U-...”


“U-n.”


Setelah semua Pahlawan telah tiba di kota pelabuhan, kami pun naik ke kapal. Kebetulan karena besarnya kapal yang kami naiki, bahkan kereta Filo juga bisa dimuat di sana, kami bertiga jadi tertolong.

Baru setengah hari berlalu dalam perjalanan di atas kapal, Ren, Motoyasu, dan Itsuki terkapar karena mabuk laut. Karena ruangan kabin[1] telah disediakan, harusnya tidak akan jadi masalah. Walau bagaimanapun, semua Pahlawan diharuskan berkumpul karena para awak kapal ingin menyambut kami, dan ketiga Pahlawan itu muntah ke laut sembari mengerang kesakitan.


“Mabuk laut, huh...”


Sejak aku masih kecil, entah kenapa apapun kendaraan yang kunaiki, aku tidak pernah terkena mabuk perjalanan. Mungkin dari melihat mereka terkena mabuk laut bersamaan, ketiga Pahlawan itu sudah sangat akrab satu sama lain.

Jujur saja, aku tidak ada niatan mengakrabkan diri dengan mereka, tapi...


“Naofumi kelihatannya baik-baik saja...”

“Yah, aku tidak gampang terkena mabuk perjalanan.”


Sepertinya Motoyasu merasa aneh karena aku tidak terpengaruh apapun.


“Kyahho~!!!”


Ngomong-ngomong, Filo dalam wujud monsternya sedang berenang di lautan. Tidak, tunggu... dia itu sedang berenang atau mengambang?

Karena ini pertama kalinya Filo pergi ke laut, dia menceburkan diri dengan bersemangat. Sesekali dia akan naik ke kapal, lalu kembali melompat ke laut untuk bermain.

Meski kapal ini cukup besar, aku masih merasa agak gelisah. Mungkin aku tidak perlu khawatir, karena Filo sendiri bisa menggunakan sihir angin.

Dalam saat-saat genting, Filo harusnya bisa mempertahankan diri dengan baik.


“Ah...”


Ada seekor ikan besar yang mendekati Filo dari belakang.


“Filo, awas!”

“Hm~?”


Saat Filo berbalik, seekor monster-mirip-hiu membuka rahangnya untuk menyerang.


“Tei!”


*BUKK!!*


Filo menendang rahang monster hiu itu, hingga membuatnya terpental ke udara. Monster hiu itu terus melayang dan jatuh di dek kapal. Para awak kapal dan petualang pun menjerit karena terkejut.

Selagi monster hiu itu terus menggeliat dengan beringas di dek, Filo segera menghabisinya.


“Salah besar kau sudah menganggap Filo sebagai makananmu.”


Lalu Filo pun mulai menyantap daging monster hiu itu.


“Jangan kotori dek-nya.”

“... Aku pikir kau akan mengomentari hal yang lebih penting dari itu, Naofumi...”


Itsuki yang menjadi pucat pasi, bergumam begitu padaku.

Yah, memang terlihat luar biasa. Dan berbicara tentang luar biasa, yang terbayang di pikiranku adalah Filo. Karena perangkat Ballista[2] juga terpasang di bagian belakang kapal, aku sendiri tidak perlu ikut bertarung.

Bagian 2[edit]

Ngomong-ngomong, hiu ini adalah korban Filo yang kedua.

Monster hiu yang pertama telah kubongkar, dan diserap oleh perisaiku.


Perisai Hiu Biru telah Terbuka!
Perisai Gigitan Hiu telah Terbuka!
Perisai Kulit Hiu telah Terbuka!
Perisai Daging Hiu telah Terbuka!
Perisai Hiu Biru
Bonus Pemakaian : Keterampilan Berenang 1
Perisai Gigitan Hiu
Bonus Pemakaian : Keterampilan Bertarung di atas Kapal 1
Kemampuan Khusus : Taring Hiu
Perisai Kulit Hiu
Bonus Pemakaian : Pengurangan Damage 2% dari serangan Elemen Air
Kemampuan Khusus : Kulit Hiu
Perisai Daging Hiu
Bonus Pemakaian : Ketangkasan +3


Tentang penjelasan keterampilan berenang... Sejak awal aku sudah bisa berenang seperti yang lainnya.


“...”


“Aku yakin kau pasti ‘takkan bisa berkutik’.”

“Yah...”


“Kalau kalian pikir aku akan tenggelam kalau tercebur ke laut, sayang sekali; aku bisa berenang.”


Motoyasu, Ren, dan Itsuki yang terkena mabuk laut, saling berbisik tentang ‘apakah aku akan jatuh ke laut dan tenggelam atau tidak’ , jadi aku coba peringati mereka.


“Bukan itu yang sedang kubicarakan.”

“Lalu apa?”

“Aku pikir Itsuki yang takkan bisa berkutik.”


“... Kok aku?!”

“Aku juga berpikir Ren yang takkan berkutik.”

“Aku pikir Motoyasu yang takkan berkutik...”


Ren, Itsuki, dan Motoyasu sekarang malah saling menuduh. Apa kalian ini sedang mencari tahu kemampuan berenang masing-masing?

Oh, terserahlah... apa “Keterampilan Bertarung di atas Kapal 1” juga akan meningkatkan pergerakanku di atas kapal? Apa nantinya memang ada, situasi di mana aku bertarung di atas kapal? Akan kucoba kalau ada waktu luang.

Karena ini adalah monster yang sama, akan kutinggalkan saja. Kelihatannya walau sedang melakukan perjalanan di atas kapal, aku tetap bisa mendapatkan poin EXP dan loot.


“... Apa kalian baik-baik saja?”


Seseorang yang mengenakan pakaian mirip-bajak laut, dengan cemas menanyakan keadaan ketiga Pahlawan yang lain.


“Mereka hanya terkena mabuk laut. Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, takkan lama sampai mereka mulai terbiasa.”

“... Benar juga.”

“Jadi, kau ini siapa?”

“... Kapten.”


Setelah memperhatikan lebih seksama, ternyata orang yang mengaku sebagai Kapten itu adalah seorang wanita. Ukuran badannya sedikit pendek, dibandingkan dengan Raphtalia yang lebih tinggi. Meski aku tidak melihat seluruh penampilannya karena tertutupi pakaiannya, dia ini termasuk seorang gadis yang cantik. Dengan wajahnya yang rupawan ini, sudah cukup untuk memancing Motoyasu hingga pecinta wanita itu “menggombali”nya.

Dia juga terlihat masih muda. Gadis seusianya sudah menjadi seorang kapten kapal... ada apa dengan dunia ini?


“Aku adalah kapten... Aku juga yang membangun kapal ini.”

“Kapten dan pembuat kapal?”

“... Benar.”

“Sungguh seorang yang terampil.”

“... Benar.”


Dari tadi yang dia katakan hanya “... Benar” dan “... Benar”, membuat kesal saja.

Meski dia cukup terampil, tapi dia kurang luwes dalam berbicara.


“... Lautnya mulai tidak bersahabat.”

“Begitu ya.”

“... Badai akan datang.”

“Kau sampai bisa tahu badai akan datang?!”

“... Tidak masalah. Tuan Pahlawan bisa beristirahat di dalam kabin.”

“Aku baru ingat, kalau kami belum memperkenalkan diri. Aku adalah Pahlawan Perisai. Mereka bertiga yang terkapar di lantai itu adalah ketiga Pahlawan lainnya.”

“... Baiklah. Semoga beruntung.”


Di saat sang kapten menggumamkan itu, seorang awak kapal meneriakkan ada badai yang mendekat. Dengan begitu, aku dan Raphtalia pun kembali ke ruangan kabin. Filo yang merasakan ombak laut mulai meninggi, berubah kembali ke wujud manusianya dan ikut memasuki ruangan kabin kami.

Walau kapten kapal hanya sedikit berbicara, tapi dia adalah seorang pekerja keras. Kapalnya terus berlayar meski diterjang badai.


“Raphtalia, sepertinya kau tidak terkena mabuk laut.”

“Itu karena aku tinggal di desa dekat laut.”

“Ah... kau sudah pernah menaiki perahu sebelumnya?”

“Iya.”


Ngomong-ngomong, tentang apa yang terjadi pada ketiga Pahlawan dan semua rekan mereka... Mereka selanjutnya beristirahat di kabin mereka selama perjalanan.

Kapal yang kami tumpangi terombang-ambing ke sana ke mari oleh badai besar, tapi akhirnya kami bisa sampai di Pulau Cal Mira pada keesokan paginya.



Filo terlihat sangat bersemangat, bahkan Raphtalia sampai membelalakkan mata dengan kagum melihat pemandangannya. Yah... bisa kalian tebak reaksi para petualang dan awak kapal yang baru...

Pulau Cal Mira adalah sebuah pulau dengan gunung berapi, yang melebihi apa yang kubayangkan. Apa karena aku membayangkan pulau ini seperti pulau Hawaii...? Dan tidak ada jaminan tentang ketepatan gambaran peta pulau ini.

Ngomong-ngomong, Pulau Cal Mira adalah nama panggilannya, nama resminya adalah Kepulauan Cal Mira. Kalau begitu, berarti ada pulau-pulau lainnya di sini.

Dibandingkan dengan perjalanan laut dari Melromarc yang tidak bersahabat, gelombang laut di sekitar kepulauan begitu tenang, bahkan kau bisa pergi ke pulau lain dengan berjalan kaki saat air laut surut...

Apa kami bisa mengendarai Filo saat ingin ke pulau lain? Di sana sini, beberapa pulau lain bisa terlihat.


“Baiklah, sekarang kita sudah sampai di Pulau Cal Mira, tapi...”


Aku terkesan melihat ketiga Pahlawan lain begitu senang saat mereka sampai di pulau ini, walau mereka terlihat mengantuk, karena hampir mustahil untuk tidur saat kapal yang kami naiki terombang-ambing ke sana ke mari.

Si Jalang saja wajahnya menjadi pucat, dan akhirnya dia muntah juga. Rasakan itu!


“Apa kalian ini tidak terbiasa menaiki kendaraan?”


“Naofumi... kau ini orang yang aneh.”

“Saat ruang kabin-nya terjungkir balik, aku pikir kita sudah tenggelam.”


“Sejak datang ke dunia aneh ini, ada banyak hal menakjubkan yang terjadi.”


Begitulah pendapat Motoyasu, Ren, dan Itsuki.

Tentu saja, kapalnya seakan telah terbalik beberapa kali. Setiap kali kupikir kapalnya akan tenggelam, aku terus dibuat terkejut dengan kenyataan kapal yang masih bisa berlayar. Karena dibuat berguling-guling itu cukup merepotkan, aku membuat sebuah hammock[3] di dalam ruangan kabin dan tidur di dalamnya.

Aku penasaran apa para awak kapal memang terbiasa dengan hal semacam ini. Mereka menyarankanku agar membuat hammock untuk tidur saat badai datang. Bahkan kapten kapal saja mengatakan, badai sebesar ini cukup jarang terjadi.

Apa cuaca ekstrim ini dikarenakan munculnya Gelombang Bencana? Jika badai seperti ini muncul di dunia asalku, maka kapal laut manapun bisa tenggelam.

Setelah perjalanan di atas kapal ini berakhir, sekali lagi aku sadar, kalau ini adalah dunia paralel.

Referensi[edit]

  1. Kabin adalah ruangan di dalam kapal laut yang digunakan sebagai kamar tidur.
  2. Ballista (Latin, dalam bahasa Yunani “βαλλίστρα” - “ballistra”, dan berasal dari kata βάλλω / ballō, yang berarti “melempar”) atau kadang-kadang disebut Pelontar Panah, adalah sebuah senjata tembak kuno yang melontarkan panah besar ke arah sasaran dari jarak yang jauh. (dikutip dari Wikipedia)
  3. Hammock adalah jenis tempat tidur berupa kain/tali tambang/jaring, seperti ayunan yang digantung pada kedua objek tumpuan yang kokoh, misalnya pada pohon atau tiang. (dikutip dari Wikipedia)