Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid5 Sindrom Gunung Salju

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Sindrom Gunung Salju



"Taek."

Haruhi, di depanku, menguraikan apa yang ia benar-benar pikirkan.

"Ga bisa ngeliat apa-apa di depan nih!"

Inginkah kalian tahu dimana kami berada? Kami ada di semacam pulau terpencil saat musim panas, lalu musim dingin apa? Posisikan dirimu itu Haruhi dan tebaklah.

"Memang ganjil."

Suara Koizumi hanyut dari belakang.

"Kita seharusnya berada di dasar gunung setelah jalan begitu jauh."

Petunjukku untuk kalian semua adalah kami berada di tempat yang dingin dan bersalju.

"Dingin, banget, oh... Uuuhh~"

Musim dingin yang menusuk menghembuskan suara Asahina-san. Kuputar kepalaku untuk meyakinkan orang yang memakai jaket ski terhuyung-huyung seperti anak bebek dan mengangguk menghiburnya, lalu kembali menuju ke depan."

"..."

Barangkali hanya hal psikologis saja, tapi kurasa Nagato, yang memimpin jalan, tampaknya menyeret langkahnya. Kristal salju menempel di sepatu botnya, mereka berakumulasi dengan setiap langkah berlalu. Dimanakah orang akan mengalami hal seperti ini?

Aku takkan membuat kalian menebak-nebak lebih lama lagi. Inilah jawabannya:

Dunia putih perak sejauh mata memandang, dimana lagi tempat yang hanya ada salju dan salju kemanapun kamu berada.

Selain gunung salju dimana lagi coba?

Dan ini adalah gunung salju yang diterpa badai.

Lebih akuratnya -- berkat badai salju yang sedang datang, perjalanan kembali kami ke pondok jadi bencana total -- deskripsi ini akan cocok dengan keadaan kami sekarang 100%.

Kembali ke topik, emang siapa sih yang bikin ini naskah? Hanya sekarang aku bersedia percaya bahwa ada akhir dan bahwa kami berlima akan menghadapi ancaman kematian, barangkali hanya untuk melihat cahaya hari saat lima mayat membeku muncul ketika musim semi melelehkan saljunya.

Koizumi, pikirin sesuatu dong!

"Saya kehabisan ide."

Kata Koizumi sambil menatap kompas.

"Arahnya tampaknya betul. Navigasi Nagato tak terbandingkan. Namun, kita sudah berjalan berjam-jam yang pada akhirnya tanpa melihat kaki gunung. Biasanya, ini merupakan situasi seganjil-ganjilnya."

Terus, sekarang gimana? Apa kita keperangkap di naungan ski gede ini selamanya?

"Kesimpulan satu-satunya yang bisa diambil sekarang ini adalah ini peristiwa ganjil, keabnormalan tak terprediksi. Bahkan Nagato-san pun tidak mengerti penyebabnya dan hanya tahu pasti bahwa kita sedang menghadapi kesulitan."

Loe ga usah ngasih tau abisnya gue juga dah tau. Aneh banget Nagato yang mimpin aja ga bisa nyari jalan pulang.

Ini mesti salah satu kerjaan dari-luar-dunianya si Haruhi.

"Janganlah menyimpulkan seperti itu dulu. Insting saya mengatakan pada saya bahwasanya Suzumiya-san takkan membakar jembatannya sendiri."

Kok bisa loe yakin banget soal itu?

"Oleh sebab Suzumiya-san sedang menanti pembunuhan misterius di pondok. Untuk misteri itu saya telah membuat beberapa pengaturan dan memikirkannya baik-baik."

Semenjak musim panas, pembunuhan misteri sudah sewajarnya direncanakan untuk liburan musim dingin. Yang terakhir kali adalah cerita horror yang berakhir dengan antiklimaks, dan kali ini game pengambilan kesimpulan yang semua orang sudah tahu apa yang mesti dilakukan. Para pemerannya sama, menampilkan Arakawa si butler dan Mori si maid. Tamaru juga ikut sebagai bintang tamu dengan peran yang sama, hubungan yang sama, dan nama yang sama.

"Bener juga......"

Haruhi mungkin tak sabaran untuk menyingkap konspirasi si pelaku dan indentitas si pembunuh, jadi ia takkan melakukan sesuatu di bawah sadar yang akan menghalangi kami kembali ke pondok mengingat misteri pembunuhan menunggunya.

Selain itu, adikku, Tsuruya-san si figuran yang mengisi setiap waktu, dan juga Shamisen sedang menunggu kami di pondok.

Jujur saja, pondok yang kami pinjam milik keluarga Tsuruya. Kakak kelas berenergi tiada batas itu langsung saja setuju menyediakan pemondokan asalkan dia juga ikut. Membawa Shamisen serta karena si Koizumi menginginkannya sebagai bagian dari set. Adikku jadi bagasiku oleh keinginannya sendiri. Dua plus satu tapi bukan bagian tim yang sedang menghadapi bencana tertentu. Shamisen seharusnya sedang meringkuk jadi bola di sebelah perapian dan Tsuruya-san seharusnya sedang bikin manusia salju dengan adikku yang tidak tahu bagaimana berski. Itulah yang terakhir kuingat mereka.

Bagi Haruhi, mereka bertiga adalah anggota cadangan, yang itulah alasannya kenapa Haruhi tak keberatan bertemu dengan mereka lagi.

Kenapa sih? Kenapa kita ga bisa balik ke tempat perlindungan musim dingin Brigade SOS dengan penghangat?

Bahkan dengan restu sang Nagato Yuki, kita masih aja ga bisa nemu jalan pulang. Emangnya apa sih yang salah?

"Kita tetap aja ketemu sama badai mau di musim panas kek ato musim dingin kek..."

Jangan-jangan ada hukum alam yang nentuin kalo pas lagi liburan panjang, kita bakalan kedesak ke dalam semacam anomali yang di luar pemahaman manusia?

Aku, seakan-akan mabuk akan koktail tercampur oleh kegelisahan dan ketakpastian, memanggil atas ingatanku dalam kekaburan.

"Kenapa semuanya bisa jadi begini?"

Mode flashback, mulai.

.........

......

...

Liburan musim dingin hampir ditakdirkan. Bila kami dapat melihat masa depan, kalaupun memang terjadi di kehidupan nyata, kami takkan terpengaruh.

Lagipula, disaat pesiar pembunuhan pulau terpencil (lengkap dengan topan badai) berakhir, seseorang sudah memproklamirkan keras-keras apa yang akan datang. Siapa lagi kecuali Haruhi? Orang-orang yang menelan kekuasaannya dan ekspresinya bakalan kami semua kecuali Haruhi. Pemandu turnya bakalan Koizumi.

Tadinya aku berharap Haruhi akan teralihkan oleh musim dingin, tapi waduh, ingatan komandan tak gagal di waktu-waktu seperti ini -

"Hitung Mundur Tahunan dalam Hujan Salju."

Haruhi membagikan tumpuk demi tumpuk kertas terkokot berbarengan kepada kami. Setelah membagikan semuanya, dia menyenyumkan senyum cabul penculik.

"Seperti yang udah direncanain, musim dingin kali ini kita bakalan pergi ke pemondokan tertutup salju, buat loncatan-awal kedua tur misteri!"

Lokasi di ruangklub, dan waktunya empat-duapuluh, tepat setelah upacara akhir tahun. Kami punya panci keramik diatas kompor gas portabel kecil, ditempatkan pada sudut meja yang bergoyang-goyang saat kami lontarkan berbagai macam bahan ke dalam panci, menggantikan hotpot untuk makan siang.

Haruhi melontarkan daging, ikan dan sayur-mayur tidak dalam urutan tertentu saat Asahina-san versi-maid, diperelok dengan kudung kepala, memisahkan makanan dengan sepasang sumpit dan membagikan kaldu sekali-kali. Nagato, Koizumi, dan aku diarahkan untuk makan. Selain daripada lima anggota Brigade SOS, kami punya tamu hari ini.

"Waah! Huebat tenan iki! Apa ini? (ngegerogotin)...Haruhi, ndak bakalan jadhi iron chef? (ngunyah)... Yoho! Kaldhu sup ini paling muantep! Nyamnyamnyam~ (melahap)"

Si tamu tiada lain tiada bukan adalah Tsuruya-san. Pencipta nada yang begitu riang tampaknya bertanding melawan Nagato yang makan diam-diam saat dia berseru dan menggerakkan sumpitnya tergesa-gesa, mengeduk muatan ke piringnya.

"Orang emang musti makan hotpot pas musim dhingin! Kyon jadi rusa juga sukses berat, haa, seneng banget aku hari ini!"

Jadi satu-satunya orang yang memberiku encore pertunjukannya ya Tsuruya-san dan Tsuruya-san saja. Haruhi dan Koizumi hanya memalsukan senyum mereka. Asahina-san tiba-tiba menutupi mukanya dan mengoncang-goncangkan pundaknya; Nagato dari atas sampai bawah memperlihatkan tanda-tanda berusaha mencari sumber humornya menggunakan logika, sementara aku merasa malu total saat keringat mengucur di wajahku. Sampai disitu aja secarik ambisi buat masuk industri hiburan... Ya udahlah, toh lebih baik begini.

Pasti ada semacam alasan Tsuruya-san jadi tamu kami, bukan hanya untuk berkubang dalam pesta makan juga bukan pengiring Asahina-san. Untuk alasan khususnya...

"Soal tuh pondok di badai salju."

Deskripsi Haruhi baru ditingkatkan dari hujan salju jadi badai salju.

"Senanglah, Kyon! Siapa tau Tsuruya-san itu bakalan minjemin vilanya ke kita gratis! Itu, dan benar-benar mantap! Aku dah ngegolak nih nungguin! Ayo, ayo, ayo! Jangan malu-malu, makan!"

Haruhi melontar beberapa daging babi ke piring Tsuruya-san sambil mengeduk potongan ikan angler kepadanya.

"Biasanya sih keluargaku bakalan pergi kesana kalo liburan..."

Tsuruya-san menjejali mulutnya penuh daging babi dan menelannya.

"Tapi bapakku lagi dhinas ke Eropa tahun ini jadi beliau keluar. Karena kerjaannya bakalan beres tiga hari, kami mutusin buat ke Switzerland buat main ski. Makanya aku bakalan ikut kalian ke vila! Bakalan seru!"

Rupanya Tsuruya-san menyerahkan vilanya sendiri buat pengasingan liburan disaat Asahina-san bilang-bilang soal rencana musim dingin kami. Koizumi ikut mendorong dan setuju sepenuh hati saat dia mengangguk sepanjang waktu, dan Haruhi segirang kucing mendapati sepiring penuh sashimi ketika rencana terakhir diberikan kepadanya.

"Tsuruya-san, ini buat kamu!"

Haruhi mengeluarkan ban lengan violet, tercoret "Konsultan Kehormatan", lalu menyerahkannya ke dia -- dan itulah akhir bab itu.

Koizumi punya senyuman cerah di wajahnya saat dia melihat Haruhi, Nagato, dan Tsuruya-san makan seolah-olah sedang dalam kontes makan. Mungkin menyadari pandanganku, dia membuka mulutnya:

"Mohon jangan khawatir. Kali ini kami takkan menakuti siapapun. Hanya sebuah game pengambilan kesimpulan yang sudah diatur. Sebenarnya kita akan punya kru yang sama."

Berarti, Arakawa si butler, Mori si maid, dan Tamaru bersaudara bakalan datang buat sandiwaranya. Ga masalah. Yang lebih penting, emangnya mereka biasanya ngapain? Apa mereka itu staf administrasi 'Organisasi'?

"Mereka aktor golongan kecil yang kebetulan saya tahu... Bisakah anda terima itu sebagai penjelasan?"

Selama Haruhi ok, gue ga kuatir.

"Fokus Suzumiya-san adalah apakah acaranya menarik atau tidak dan yang lain tak jadi soal. Walaupun itu adalah masalah tersulit untuk diatasi... Saya tidak yakin kalau dia akan mendapati skenarionya memuaskan, dan memikirkan ini membuat saya sakit perut."

Koizumi menekan perutnya, berlagak mulas, tapi masih mempertahankan senyumnya. Dasar aktor jelek.

Aku orang yang lebih normal dari Haruhi, mengingat aku tak bisa menempatkan asik di tengah-tengah dan mengabaikan sisanya. Kulihat sekeliling untuk sesuatu yang dapat menenangkan urat syarafku, dan aku berhenti pertama kali pada tampang tak berekspresi Nagato. Wajah tak berekspresi Nagato yang baik. Si tipikal Nagato Yuki yang jadi kukenal sedang menelan bahan makanan hotpot seakan-akan tiada yang terjadi.

"..."

Terserahlah, pikirku sendiri.

Seharusnya sih ga ada kecelakaan kali ini yang bisa ngebebanin Nagato dahsyat banget. Engga, lebih ke kejadian macam begitu seharusnya ga terjadi. Ngeliat keteraturannya sih, seharusnya kita bakalan mulus kali ini. Nagato ga terlalu aktif pas liburan musim panas dan gue harap bakalan sama juga di liburan yang ini. Mendingan gue serahin aja semuanya ke Koizumi dan temen-temennya.

Kupikir semua ini saat aku membaca brosur di sebelahku.

Menurut jadwal di brosur, tanggal berangkat 30 Desember, sehari sebelum Malam Tahun Baru. Gunung salju tidak begitu jauh. Bisa dijangkau dengan bus beberapa jam, lumayan banyak di hari yang sama.

Ketika kami tiba, yang biasa dilakukan adalah ski, ski, dan ski. Pesta di malam hari (alkohol dilarang), dengan makan malam diurus oleh Arakawa-san si butler dari pulau terpencil tersebut (walau butler palsu, beliau begitu tiada cela bahkan lebih meyakinkan dari butler betulan, jadi aku tidak komplain) juga Mori-san (walau maid palsu... de el el). Tamaru bersaudara akan muncul sehari setelahnya sebagai tamu kehormatan yang telat, dan setelah itu tabir pada permainan detektif naik.

Mengikuti itu, Malam Tahun Baru akan dihabiskan membedah lakon dan konspirasi di belakangnya. Kelompok akan bertemu saat dini hari, bergantian menebak "Kasus Coklat Beracun" lalu, Koizumi si dalang akan mengungkapkan kebenaran dengan santai seperti yang sudah diatur di muka. Semuanya lalu bisa mengucapkan perpisahan kepada tahun yang lewat tanpa menyesal, dan menyapa tahun baru. Selamat Tahun Baru!

-- dan itulah seluruh rencana liburan singkatnya.

Disaat aku mendongak, aku lari ke wajah senang-akan-kesulitan-orang Haruhi. Bukan benar-benar kejutan baginya untuk melihatku di jam terkutuk ini lagi.

"Kita seharusnya ngerayain datangnya tahun baru!"

Haruhi mengambil daun bawang dengan sumpitnya.

"Dan lalu, ngasih rasa syukur yang bener ke tahun baru, jadinya tahun baru bakalan baik juga. Aku percaya banget kalo tahun ntar tahun yang dimana keberuntungan Brigade SOS bakalan jadi ngedukung kita."

Non, boleh-boleh aja dan semua yang loe suka buat mewujudkan tahunnya. Tapi, gue pikir definisi elo soal tahun yang baik ga sama dengan kita semua.

"Iya gitu? Aku selalu mikir kalo tahun ini menarik banget, yang makanya itu aku berharap yang sama buat tahun depan. Ahh, Mikuru-chan, kaldunya mau nguap tuh, cepetan pake air."

"Oke, segera."

Asahina-san menuju teko teh dengan langkah berlari.

"Hup ah."

Hati-hati dia menuangkan air dari teko teh yang sepertinya berat ke dalam panci.

Menyaksikan wajah memikat Asahina-san, menuntunku melihat balik pada ketidakberuntungan tahun ini, dan emosiku bimbang sedikit. Kata Haruhi tahun ini menarik. Kalau aku ditanyakan pertanyaan yang sama, jawabanku sudah pasti adalah iya.

Sebenarnya, ketika aku masih kecil aku berharap pada perjumpaan yang dapat kupamer-pamerkan. Apakah itu pertemuan dengan alien atau apapun semacam itu. Aku ingin sekali sesuatu seperti itu terjadi, jadi buat menambah-nambah halaman baru, yang menegangkan bagi masa kecilku. Bakal aneh sekali tidak menyambut hangat fantasi yang jadi kenyataan. Walaupun, seperti sekarang ini, mendapati bab-bab baru kehidupan ditambahkan tanpa henti memang melebihi ekspektasiku.

Berkata begitu, setelah menghidupi kejadian-kejadian ini, bagaimana perasaanku adalah berikut ini --

-- ya, sangat senang.

Aku bisa menyatakan ini keras-keras hanya setelah kekacauannya berakhir. Memang memerlukan waktu lumayan lama untuk mencapai keadaan pikiran ini. Namun, kalau aku punya kesempatan untuk bilang lebih lagi bagaimana rasa ini di dalam, aku akan bilang kalau aku mengharapkan hari-hari damai. Menurut diri pribadi, aku memang mengharapkan lebih banyak waktu berleha-leha di ruangklub; sedikit lebih banyak lagi.

"Elo dan semua omongan gila loe."

Pipi Haruhi dipenuhi hati ikan angler saat dia menyalak:

"Kamu tuh cuman maen-maen aja kerjanya! Jangan datang dan bilang ke aku kalo kamu belom cukup. Kalo kamu masih pengen lebih, gunain aja hari-hari sebelum Tahun Baru dan pesta berat bener-bener sampe saat terakhir!"

"Engga, makasih."

Hina-dina ini samasekali ga tau segimana derita yang gue tahan dan gimana gue pulih dari semua luka itu. Menangin tuh tanding baseball, ngakhirin liburan musim panas, mulihin realitas keluar jalur karena bikin film, bolak-balik dari masa lalu ke masa depan dan bahkan memperbaikin masa lalu belakangan ini. Emang bener sih semua ini kebebasan gue bertindak jadi gue ga bisa nyalahin orang, tapi gue ga bisa membenarkan ini mengingat betapa gue ga seharusnya sesibuk ini sekarang kalo gue ga punya rencana buat jadi guru.

Bodo ah, gue ga bisa lepas dari Haruhi bahkan waktu gue ngeluh ke dunia.

"Masih banyak waktu buat pesta berat abis kita sampe ke pondok."

Kusapu kepinggir sumpit panjang Haruhi untuk mengambil kol di panci. Ini hidangan langka buatan Haruhi nih. Mendingan gue keduk nih makanan ke perut gue sebelum regu cewek kelaparan (kecuali Asahina-san) ngeklaim semuanya, abisnya gue ga tau kalo kita bakalan dapat kelezatan kayak gini lagi.

"Masih sempat."

Haruhi menghempaskan daging ke piringnya.

"Pesta doang belum cukup, kita harus bikin berkobar-kobar. Dengerin, cuman ada satu Malam Tahun Baru tiap tahun. Coba pikirin, Malam Tahun Baru tahun ini cuman sekali seumur hidup, sama kayak hari ini. Hari ini ga bakalan datang lagi setelah pergi. Makanya, kamu ga bakalan hidup hari ini kalo kamu ga hidup sepenuh-penuhnya. Karena itu aku berharap bisa menghidupi semua hari sepenuh-penuhnya; bikin hari-hari itu ga terlupakan paling bagus."

Mendengar kata-kta naif tersebut, Tsuruya-san menyahut saat dia mengunyah daging ayam setengah matang:

"Whuah! Haruhi, kamu ingat tigaratus enampuluh lima hari semuanya satu tahun itu? Mantap buanget! Ahh, Mikuru, aku butuh teh."

"Tentu aja, segera!"

Asahina-san mengambil teko tanah liat itu, dan menuangkan teh mendidih ke dalam cangkir yang Tsuruya-san angkat tengah jalan. Walaupun diperlakukan seperti pelayan biasa, Asahina-san tampaknya lebih dari bahagia melakukan ini. Haruhi, si koki yang melontar apapun yang dapat ia comot ke dalam panci juga diam sebentar, senyum menawan Koizumi dapat memantul bahkan pada panci panas beruap sebagai kanvas, dan si makan diam-diam Nagato mengaduk-aduknya diam-diam. Tsuruya-san, si Konsultan Kehormatan disini hanya sebagai anggota cadangan, tapi tak benar-benar mempengaruhi suasana kami semua untuk rukun bersama seperti biasa di Brigade SOS.

Sekarang ini aku yakin sekali betapa benar-benar berharganya waktu ini. Karena aku akhirnya telah memilih dunia ini, lebih banyak cerita luar biasa mengelilingi Haruhi yang takkan diragukan lagi menetapkan jalan kami. Sebelum di hari gue jatuh ke tanah, gue harap bisa melalui satu ato dua lagi sakit kepala gara-gara krisis.

Lagian, si slider belum muncul juga.

"Cepetan muncul aja napa!"

Lidahku kepeleset. Untunglah si Haruhi dan Tsuruya-san sudah setinggi lutut dalam pertarungan memperebutkan jamur, jadi sepertinya tiada orang yang menangkap apa yang kukatakan pada diriku sendiri.

Namun, kusadari bulumata Nagato bergerak sedikit.

Kupandang keluar jendela, dan langit malu-malu membuat seseorang merasa malas saat salju melayang-layang. Koizumi menangkap kemana pandanganku diarahkan.

"Tempat tujuan perjalanan kita akan membuat anda muak akan salju ketika selesai. Omong-omong, anda suka ski atau meluncur? Bagian pekerjaan saya adalah mengurus peralatan."

"Gue ga pernah ngeluncur."

Melontarkan jawaban ambigu ini, pandanganku kembali ke langit musim dingin. Koizumi menjaga senyum tak berbahayanya, tapi membuka mulutnya untuk mengorekku:

"Anda sedang melihat Yuki (salju) yang mana? Yang melayang jatuh dari langit, atau-"

Tak menguntungkanku menatap Koizumi. Kuangkat bahuku dan menimbrungkan diri dalam pertarungan jamur.

Makan-makan hotpot ini lolos dari radar para guru dan tak terlihat oleh pengadu apapun. Yah barangkali mereka memang tahu, tapi malahan jadi buta mata pada kami. Apapun itu, ketika kami sudah kenyang, kami membersihkan mangkuk-mangkuk dan sampah dan segera meninggalkan ruangklub. Disaat kami keluar gerbang, turun saljunya berhenti.

Setelah mengucap sampai jumpa ke Tsuruya-san, yang harus buru-buru kembali ke makanmalam Natal keluarganya, Brigade SOS langsung menuju toko roti. Setelah kami mengambil kue ekstra-besar yang Haruhi pesan, kami lanjut ke apartemen Nagato.

Bukannya kami kasihan Nagato merayakan Natal sendirian, malah tempat Nagatolah yang menyediakan kesempatan unik untuk kami nikmati kue bersama dan gila-gilaan tanpa ada yang memberengut pada kami. Aku penasaran mana yang lebih beruntung: Koizumi dengan Twister atau aku dengan kue. Haruhi, yang memimpin dan menari lompat-lompat, terlihat agak senang; tiada keraguan soal Asahina-san (yang kedua tangannya dipegang dan diayun kesana-kemari) dan bahkan si bisu Nagato bergerak langkah demi langkah pastilah sudah terinfeksi oleh suasana ceria.

Dari kelihatannya, aku bisa bilang insiden seperti para Sinterklas menghujani kami semua bukannya salju seharusnya takkan terjadi. Haruhi sudah sepenuhnya mengalami Malam Natal para orang biasa dan tampak menikmatinya. Semangatnya bertaraf sama dengan yang adikku. Yah, bisa jadi ini hanya harinya saja yang menonjol.

Tanpa alasan tertentu, aku lebih memaafkan pada saat ini. Walaupun Haruhi berburu Sinterklas dan menghabiskan waktu menguntit di jalanan dalam udara musim dingin, mungkin kulayani sampai akhir dengan senyum masam.

Saat kami bermain berbagai macam game yang Koizumi bawa serta, masing-masing dari kami sepertinya bersenang-senang. Perhatian Nagato ada pada game eliminasi <<Hari Sagitarius 3>> di dua laptop terhubung, sementara Haruhi dan aku mendorong dan menyorong Twister. Ini benar-benar malam gila-gilaan yang mana pasangan lagi lewat akan lompat masuk bersenang-senang.



Dengan begitu, kami telah mengalami Malam Natal yang penuh kegembiraan.



Hari-hari antara Malam Natal dan Malam Tahun Baru lewat dengan cepat begitu saja seolah-olah Haruhi mendorong-dorong Chronos, sang dewa waktu. Kami melakukan pembersihan total ruangklub, dan bahkan dapat telepon dari mantan teman SMP yang tampaknya gagal otak. Setelah dimohon-mohon, mau juga aku diajak ke pertandingan rugby dengannya. Akhir tahun mendekat saat sekarang ini.

Tahun Baru. Akankah tahun baru yang baik atau buruk, aku tak tahu. Menurutku, kalau aku tak menaikkan nilai-nilaiku, aku akan jatuh terpuruk pada mukaku.

Keinginan Ibu mendorongku ikut les sudah melebihi retorik biasa. Bila aku bergabung dengan semacam klub olahraga mapan dan benar-benar mendalaminya, atau bahkan hanya semacam klub resmi yang tak begitu menonjol, aku mungkin masih punya beberapa alasan. Hanya saja kebetulan aku dalam sebuah kelompok yang kurang dan tak jelas yang tak terlibat dalam apapun kecuali mengacau -- paling tidak begitulah yang tampak bagi orang luar. Kalau pernah ada sekumpulan murid yang jelek dalam sekolah tapi masih ingin maju, aku jadi penasaran apa yang mereka pelajari di SMA.

Mungkin tiada yang namanya keadilan, habisnya nilai-nilai Haruhi menakjubkan tinggi keluar skala. Nilai-nilai Koizumi dari ujian akhir sebelumnya akan cukup untuk jadi bagian teratas, Asahina-san juga amat tekun mengikuti pelajaran barangkali karena minatnya pada arkeologi, dan Nagato di luar kepala sudah.

"Yah sudahlah, dipikirin ntar aja."

Masalah yang mendesak adalah menghadapi acara liburan musim dingin. Baik-baik saja bila hanya mengurusi itu untuk sekarang ini. Tugas sekolah bisa menunggu sampai datangnya tahun baru. Hitung mundur liburan tahun baru harus terlaksana tahun ini.

Dengan begitu --

"Ayo pergi!"

Haruhi memanggil di muka!

"Yahoo~!"

Tsuruya-san berteriak membalas.

"Cuaca rupanya cerah, membuat hari ini sempurna untuk berski. Walaupun tergantung pada cuaca di saat seperti ini."

Koizumi menyampaikan ramalan cuaca.

"Main ski? Dimana kamu lari-lari di salju?"

Komentar Asahina-san saat dia menaikkan dagunya, yang tertutup rapat oleh syal.

"..."

Nagato berdiri tenang saat dia membawa koper kecilnya di satu tangan.

"Hai!"

Adikku melompat.

Kami berdiri di seberang stasiun di pagi yang cerah. Kami akan naik kereta, dan turun-naik diantara kendaraan penghubung. Waktu estimasi sampai di gunung salju yaitu setelah siang. Itu bukan masalahnya; lebih kepada gimana adik gue bisa muncul ga diundang itu baru masalah beneran...

"Ga masalah, kamu mau ngapain kalo dia udah disini? Kita ajak aja deh, mungkin lebih gampang mecahin ini kalo kita bebarengan. Kamu ga bakalan bikin masalah, kan?"

Haruhi condong ke depan dan menyorotkan senyuman kepada adikku.

"Kalo itu orang yang ga kupeduliin, bakalan kutendang dia sudah, tapi adikmu beda sama kamu, punya watak yang jujur begitu, ga ada alasan buat bilang ga OK. Itu dan dia ambil bagian di film dan Shamisen butuh teman main."

Betul, bahkan Shamisen, kucingku pun termasuk dalam bagasi. Ingin tahu kenapa begitu? Dengarkan pada apa yang seksi acara liburan musim dingin Brigade SOS harus katakan:

"Kucingnya perlu ada disana untuk alur drama suspensenya."

Apa itu misteri suspense mirip-mirip Si Kucing Tahu?

Koizumi, duduk diatas kopernya sendiri melanjutkan:

"Tidak masalah kucing yang mana, dengan satu cara atau cara yang lainnya, selama si kucing bisa memecahkan kasus. Penampilan akting luar biasanya di film membuat saya ingin dia kembali dan berakting sekali lagi."

Shamisen yang sekarang cuman kucing rumahan biasa yang ga bisa ngomong. Lebih baik ga terlalu berharap deh sama skill aktingnya. Aku lanjut pergi dan berkata yang berikut kepada Haruhi, yang berhadap-hadapan dengan adikku:

"Berkat dia, gue ketahuan pas gue mau ninggalin rumah."

Memang terlalu awal pergi saat fajar menyingsing. Sudah kusegel mulutku dari Ibuku untuk menjaga persembunyianku. Adikku tak mengira kalau aku mau pergi jalan-jalan dengan Haruhi dan kawan-kawan. Namun, kebocoran muncul. Tepat saat aku sedang di kamar, menyorong-nyorong Shamisen yang mengantuk ke dalam kandang perjalanan untuk kucing, adikku harus kebetulan masuk. Bisa saja dia mau ke kamarmandi dan salah jalan, setengah tidur, kuduga.

Keadaan di luar kendali setelah itu. Mata kabur adikku tiba-tiba membelalak lebar --

"Mau dibawa kemana Shamisen? Kenapa pake baju kayak gitu? Kenapa ada koper segala?"

Duhh, diem. Dengan begitu kusaksikan kemurkaan yang lebih buruk daripada musim panas, dari anak kelas lima sebelas tahun yaitu adikku, menggunakan penuh kedua tangan dan kakinya saat dia gelayutan di tasku dan tak mau melepaskan. Persis seperti kerang-kerang berwarna yang punya cengkraman baja kuat di karang yang mereka tempel dan takkan melepasnya apapun yang terjadi.

"Masih bisa diatur kok dengan tambahan satu orang lagi." Koizumi tersenyum. "Kita takkan overbudget membayar ongkos anak-anak. Lagipula, baik Suzumiya-san maupun saya merasa bahwa mengingat dia sudah datang sejauh ini, akan terlalu kejam mengirim dia pulang."

Setelah bercanda ria dengan Haruhi, adikku menyelinapkan wajah kecilnya dalam payudara penuh Asahina-san, dan memeluk kedua lutut Nagato yang diam. Akhirnya, dia diayun-ayun dalam lingkaran oleh Tsuruya-san yang tertawa dan tak henti-hentinya memekik.

Untung aja dia itu adik cewe. Lha kalo adik cowo, dia bakalan udah diselimutin kantong di semacam gang gelap kecil sekarang ini.

Di kereta ekspress menuju Gunung Salju, desakan adikku untuk bermain tak surut-surut dan dia menerobos diantara kami semua, membakar semua energinya. Semangat begitu sekarang bukannya ntar kamu bakalan benar-benar kecapean pas kita nyampe. Ntar gue bakalan harus ngegendong adik gue yang bobo lagi, tapi peringatanku jatuh ke telinga tuli. Haruhi dan Tsuruya-san, di tingkatan yang sama dengan adikku, masih heboh saja; bahkan Asahina-san yang lebih sopan pun tampaknya bersemangat. Bahkan Nagato, yang menyorong masuk bukunya ke kopernya hanya setelah beberapa halaman, mengamati adikku dengan tatapan diam.

Kutopang daguku di depan kaca jendela, termenung menatap pemandangan sekilas. Koizumi duduk di kursi sebelahku. Haruhi dan para cewek lainnya duduk didepan kami. Mereka memutar tempat duduknya biar saling berhadapan, jadi mereka berlima bisa main UNO sama-sama. Jangan keras-keras, ntar bikin kaget penumpang lain loh.

Koizumi dan aku yang terdiskriminasi main Joker selama sepuluh menit setelah keretanya jalan. Secara bertahap makin lama makin membosankan, jadi aku menyerah. Kenapa kita cowo berdua musti dibuang jadi umpan tragis begini?

Kalau sudah begini, yang tersisa hanyalah membiarkan mata benak melayang-layang ke pesta gilang gemilang. Membayangkan pakaian ski Asahina-san yang mau muncul jauh lebih konstruktif. Tepat saat aku sedang tenggelam dalam pikiran tentang bagaimana seharusnya kutempa adegan hanya untukku dan dia di landaian ski dalam mode mesra-mesraan...

"Meong~"

Suara datang dari kandang perjalananku, dan kumis kucing muncul dari bukaan.

Setelah fenomena film, Shamisen berubah jadi kucing rumahan berkelakuan baik dengan biaya minim, tak meninggalkan jejak kalau pernah jadi kucing liar pada siapapun. Dia takkan bertingkah dan menunggu waktu makan tiba, dan takkan menggaruk atau mengunyah barang-barang. Mungkin itu karena prioritas utamanya tiada lain hanya untuk tidur. Dia bobo disaat dia dimasukan ke kandang kucing pagi-pagi. Setelah berkata begitu, sebagaimanapun malasnya kucing, ia bakalan bosan tidur terus dan bangun pada akhirnya. Dia menyikat pinggiran tutupnya seakan-akan ia bosan. Namun, tak mungkin kubiarkan dia berkeliaran di gerbong.

"Tahan sedikit lagi ya."

Kubujuk dia, saat dia terletak diantara kedua kakiku.

"Abis kita nyampe, tak kasih elo makanan kucing baru."

"Meong~"

Shamisen jatuh sunyi, sepertinya mengerti maksudku. Koizumi, terkagum-kagum, berkomentar:

"Pertama kali, ketika dia mulai bicara, saya amat terkesan. Menangkap kucing ini adalah menyambar emas. Bukan maksud saya menemukan calico jantan, tapi untuk membuatnya begitu pengertian akan emosi bikin dia luar biasa."

Kan Haruhi yang ngambil dari sekelompok kucing liar, yang ternyata punya mutasi di kromosomnya yang cuman terjadi sekali di ribuan kucing. Seharusnya gue nyuruh Haruhi beli lotere. Apapun yang ntar kita dapet, entah gimana kita bisa ngeganti rugi pengeluaran aktivitas kita. Agak engga enak juga pake dana Klub Sastra terus.

"Lotere... Kalau Suzumiya-san benar-benar menang lotere, buntut-buntutnya mungkin susah juga mengatasi. Coba pikir, apa yang akan terjadi bila dia punya jutaan yen ditangan?"

Gue pikir yang begituan ga sering-sering amat, tapi gue yakin si bawel bakalan mulai beli jet fighter bekas dari orang Amrik. Satu dudukan ok, yang musingin kalo dua dudukan. Loe ga perlu mikir siapa yang bakalan dijejalin ke belakang buat jadi ko-pilot.

Kayak gitu, ato dia bakalan foya-foya lemparin semuanya ke iklan. Di hari-hari kayak gini pas elo lagi duduk dan nonton hiburan di jam-jam utama, mungkin loe tiba-tiba kedapatan "Acara ini sepenuhnya disponsori oleh Brigade SOS" di layar TV. Cuman pikiran iklan kita lagi ditayangin ke setiap keluarga di tanah air bikin punggung gw merinding. Kalo Haruhi jadi producer, acara apapun bakalan beneran ancur. Anak TK aja bakalan lebih sukses main saham daripada dia yang mimpin.

"Boleh jadi dia akan melakukan sesuatu yang menguntungkan masyarakat, seperti menyediakan dana untuk penemuan, atau membuat laboratorium."

Koizumi dengan sengit meluncurkan balon-balon arah angin ke udara. Loe kehilangan 90% waktu di kehidupan tapinya dan taruhannya emang ketinggian. Bahkan ahli statistik yang jago pun bakalan ragu soal ini. Kita mendingan ga usah minta masalah lagi tanpa alasan kuat.

"Akan cukup menyuruh dia membeli es lilin di supermarket yang mungkin dapat hadiah."

Kulihat pemandangan luar sekali lagi. Koizumi condong ke belakang, tenggelam dalam kursi dan menutup matanya untuk sedikit istirahat. Saat kami sampai disana kami akan amat disibukkan, jadi menyimpan energi adalah hal benar untuk dilakukan sekarang ini.

Pemandangan luar makin lama semakin jadi pedesaan. Saat kami melewati setiap terowongan, pemandangannya semakin menjadi putih keperakan. Kutuju mimpi indah saat aku menikmati pemandangan.

Dengan begitu, kami menutup perjalanan kereta kami saat kami memeluk koper-koper kami dan menggelinding keluar stasiun kereta. Apa yang menyambut kami adalah pemandangan dwiwarna langit biru cerah ditemani salju putih menyolok dan sapaan tak asing dari sekelompok dua.

"Selamat datang, semuanya. Sudah agak lama semenjak terakhir kita bertemu."

Dengan bungkukan dalam, disini ada aktor terbaik sebagai butler --

"Kalian pasti capai dari perjalanan panjang. Selamat datang."

-- bersama maid cantik berumur tak diketahui.

"Tidak juga, tidak juga, maaf sudah membuat anda sekalian begitu sibuk."

Koizumi, dari dulu bisa saja bicara begitu, menuju ke arah mereka dan berdiri berdampingan dengan keduanya.

"Ini adalah pertama kalinya Tsuruya-san menemui mereka. Mereka teman-teman saya, Arakawa-san dan Mori-san. Saya sudah meminta bantuan soal akomodasi makanan untuk jalan-jalan ini."

Pakaian mereka tetap persis sama dengan waktu di Pulau Terpencil...disini memakai tiga potong pakaian, ada seorang pria berambut abu-abu yaitu butler Arakawa-san, dan memakai celemek polos diatas gaun, yaitu maid Mori-san.

"Saya Arakawa."

"Saya Mori."

Mereka berdua menyapa kami disaat bersamaan.

Di temperatur dingin begini, mereka menyambut kami bahkan tanpa mengenakan mantel. Apakah ini bagian dari akting, atau apakah ini rasa profesionalisme timbul dari peran mereka yang mendesak mereka ke situasi ini?

Tsuruya-san mengayun-ayunkan koper beratnya.

"Hai! Senang bertemu kalian! Karena Koizumi ngerekomendhasikan kalian semua, aku samasekali ndak ragu. Mohon titip kami ya. Monggo pake pondhoknya segimana kalian suka!"

"Terimakasih banyak."

Arakawa-san yang tulus hati membungkuk sekali lagi, dan mengangkat kepalanya setelah agak berupaya, saat dia memperlihatkan senyum kaku pada wajahnya.

"Melegakan sekali melihat anda sekalian begitu bersemangat."

"Saya minta maaf akan jamuan buruk pada saat musim panas, mohon maafkan kami."

Mori-san menampakkan senyum hangat, dan disaat dia melihat adikku, senyum itu lebih melembut lagi.

"Wow, benar-benar gadis cilik yang manis ya."

Si tamu tak diundang cepat-cepat memegas kembali hidup bagaikan rumput laut lakukan ketika mengenai air mendidih. "Hai!" katanya dan segera berlari ke rok Mori-san.

Haruhi jalan ke depan dan menginjak padang salju.

"Udah terlalu lama. Aku benar-benar menanti liburan musim dingin. Angin topan yang bertiup di musim panas emang ngecewain banget, jadi aku berencana nebus semuanya dalam satu serokan kali ini!"

Dengan begitu, dia berputar dan terus lanjut seolah-olah dia itu benteng mau menyerang.

"Ayo pergi! Kita bisa gila-gilaan setelah ini! Ayo kita singkirin keluar semua kotoran dari tahun ini dari kita, dan menyongsong tahun baru sekali lagi! Bahkan tak satupun bintik penyesalan bisa diambil ke tahun baru. Oke!"

Kami semua menjawab dengan cara kami sendiri. Tsuruya-san mengangkat tangan tinggi-tinggi, berseru "YA~!" Asahina-san tampaknya agak malu dan takut-takut mengangguk, Koizumi hanya tersenyum dan tersenyum, Nagato seperti biasa bungkam total sementara adikku tak mau melepaskan Mori-san.

Sedangkan diriku, aku melihat ke cakrawala menghindari muka senyum berseri-seri-sampai-melotot Haruhi.

Langitnya mutlak cerah dan tak menampakkan tanda badai akan terjadi.

Pada saat ini.

Kami pergi dengan 4x4 untuk sampai ke pondok Tsuruya-san. Supirnya Arakawa-san dan Mori-san, jadi orang bisa menyimpulkan kalau Mori-san pastilah setidaknya berumur sah untuk mendapatkan SIM. Ini sebuah terobosan karena aku punya sedikit keraguan kalau dia itu seumuran kami sebelumnya. Tidak, tidak, aku tiada maksud lain kok. Punya Asahina-san jadi satu-satunya maid sibuk itu cukup. Aku tak punya hasrat pada Mori-san, hanya untuk memperjelas. Ini penting.

Perjalanan mobil menembus pemandangan terselimuti salju itu agak sebentar. Hanya menghabiskan sekitar limabelas menit saja, dan para monster 4wd berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat berkelas.

"Suasananya lumayan!"

Haruhi, yang pertama keluar mobil, berkomentar suka.

"Ini vila yang paling mungil dhan elok dhari vila-vila yang kami punya." kata Tsuruya-san. "Tapi aku suka sekali dhisini, abis paling nyaman rek."

Tempat ini tak jauh dari stasiun, ada tempat ski dapat dijangkau dengan jalan kaki. Dari lokasinya saja, jelas bahwa vila itu bisa menghasilkan uang cukup banyak. Uraian bahwa ini vila terkecil bukanlah kebohongan, baginya bilang ini yang paling kecil dan paling elok pastinya karena dibandingkan dengan rumah bergaya Jepangnya sendiri. Kalau aku yang memakai kesan rakyat biasa untuk mendeskripsikan ini, aku harus bilang luasnya properti ini sama dengan yang di pulau terpencil saat kami kesana waktu musim panas. Emangnya apa sih kecurangan yang keluarga Tsuruya lakuin biar bisa dapetin rumah-rumah mewah begini?

"Silahkan masuk."

Si butler Arakawa memimpin di depan. Dia dan Mori-san mendapat ijin dari Tsuruya-san dan mendapat kunci sebelumnya, dan kesini sehari sebelumnya, yang berarti mereka sudah menata panggung dari kemarin. Ini berkat perencanaan menit-ke-menit Koizumi serta menampakkan sebagaimana santainya keluarga Tsuruya, hanya dengan detail ini saja.

Vila konstruksi segala kayu ini akan kelebihan pesanan bila dibuka untuk publik saat musim ski. Tepat ketika aku melangkah masuk merasa amat bersyukur, sedikit firasat menyelinap melewatiku.

Apakah itu tak bisa kuutarakan dengan kata-kata. Namun, jelas aku punya sedikit firasat menyelinap melewatiku.

"Hmm...?"

Aku berbalik dan terkagum-kagum pada perabotan dalam villa.

Tsuruya-san tak bisa berhenti tersenyum bersama Haruhi yang menghujaninya dengan pujian memabukkan, dan Tsuruya-san membalas dengan tawa menggelegar. Koizumi dan Arakawa-san bersama dengan Mori-san sedang bercakap-cakap. Adikku langsung mengeluarkan Shamisen dan memeluknya saat Asahina-san menghela nafas panjang ketika meletakkan kopernya ke lantai. Nagato mengunci pandangannya ke langit pada sebuah target tak jelas, tak diketahui.

Ga ada anomali.

Setelah itu, kami akan menghabiskan beberapa hari kedepan untuk menikmati R&R vacation yaitu liburan sekolah namanya dan untuk kembali ke alam masing-masing menikmati hidup sehari-hari...

Teorinya.

Kami semua tahu kalau lakon pembunuhan misteri yang akan diadakan ya hanya lakon saja, bukan kasus betulan, jadi suasana hati Haruhi takkan terguncang. Seharusnya Nagato dan Asahina-san tak perlu ikut campur. Kekuatan Koizumi juga tiada gunanya.

Dengan lain kata, apa yang akan datang hampir seperti perdagangan dalam dan bukan kasus pembunuhan fantastis dalam kabut tebal juga bukan semacam kamadouma raksasa yang bakal loncat begitu kau penasaran membuka pintunya, jadi tak ada yang luar biasa.

Cuman, ini perasaan apa sih? Cuman bisa digambarin sebagai ketaklogisan, yang toh sekarang istilah umum... engga kayak dilewatin hantu. Iya, tepat kayak liburan musim panas tiada-akhir yang ngebingungin kita itu. Rasanya agak sama, kecuali tanpa dejavu...

"Sebodo."

Bagaikan menangkap badan licin ikan, perasaan itu menghilang dari kedua tanganku.

"Apa gue mikir kebanyakan ya?"

Kugeleng-gelengkan kepalaku dan menaiki tangga dalam vila, langkah-demi-langkah menuju kamar alokasiku. Perabotan dalam tak bisa dikatakan mewah, atau barangkali hanya aku saja yang tak punya mata buat barang berkualitas. Mungkin disaat aku mulai bertanya berapa harga birai tangga yang tampaknya simpel ini, kutipan astronomis akan menghampiriku.

Kami ada di ruangtidur mengisi lantai dua.

"Kyon-kun."

Tsuruya-san mendekatiku dengan senyum.

"Boleh aku tidhur bareng adhekmu? Jujur aja, kita ndak punya cukup kamar. Aku bisa beresin kamar yang kupake waktu aku masih kecil buat dhia, tapi kalo dhia bobo sendhirian bukannya nanti kesepian?"

"Ga masalah kok dia sekamar bareng aku."

Haruhi tiba-tiba menyempilkan kepalanya.

"Aku ngeliat kamarnya; kasurnya guede. Tidur tigaan disini ga masalah. Mau digimanain juga, cewe tidur bareng cewe lebih sehat."

Sehat apaan? Soal adik gue di kamar gue... Kayak gue bakalan apa-apain dia aja. Gue sih mau aja nurunin landaian licin kalo gue sekamar sama Asahina-san. Mau itu adik gue kek ato Shamisen kek bener-bener ga ada bedanya buat gue.

"Oy, jadi gimana?"

Tanya Haruhi pada adik kecilku yang menempatkan Shamisen di pundaknya. Dia cekikikan dan menjawab ga pake peduli sama suasana umum:

"Saya mau bobo sama Mikuru-oneechan!"

Adikku menyelinap ke kamar Asahina-san begitu saja dan meninggalkan Shamisen bersamaku. Kumulai menawarkan kepada kalian semua sebuah kesempatan emas untuk menghabiskan malam dengan famili Felidae cemerlang --

"Terimakasih akan maksud baik anda, tapi saya tak memiliki kesabaran untuk mengurus kucing bicara."

Koizumi memukulku dengan kuku lembut sementara Nagato menatap bulumata si calico selama sekitar tigapuluh detik --

"Tak perlu."

Dengan jawaban pendek itu, dia segera berputar dan pergi.

Terserah, ngebiarin dia keliaran di bangunan kayaknya ga jelek juga. Biarpun di daerah asing, Shamisen bertingkah tak berbeda dengan waktu di rumah, waktu dia langsung loncat ke kasur dan langsung mengorok. Dia sudah tidur begitu lama di kereta. Aku pun kepengin sekali membaringkan diri, tapi Haruhi tak menyisakan waktu untuk istirahat, jadi orang harus mengikuti perintahnya di hari itu dan berkumpul di bawah tangga.

"Bagus! Yuk pergi! Main ski!"

Kupikir ini sudah mulai berlebihan, tapi Haruhi bahkan takkan membuang satu detikpun saat sedang panas-panasnya. Dengan si enerjik Tsuruya-san yang mengompori, Haruhi mungkin sudah menggandakan kecepatannya saja bersama yang bahkan lebih hiper Tsuruya-san di sisinya.

Pakaian dan peralatan ski disewa di tempat lain oleh Koizumi. Tak dapat dipercaya bagaimana dia mendapat ukuran pas kami semua. Bahkan ada satu untuk adikku yang datang di saat terakhir dan itu pun dengan nyaman pas dengannya. Aku hampir-hampir bisa menggambarkan para mata-mata 'Organisasi' (berbaju jas hitam dan berbayang hitam) mengendap-ngendap ke SMA North dan SD adikku dan menggerebek ruang klinik demi catatan kesehatan. Hmm, gue seharusnya tanya ukuran Asahina-san ke dia ntar-ntar. Ini bukan buat alasan macem-macem kecuali murni rasa ingin tau doang.

"Aku belum main ski udah agak lama. Sejak kumpul-kumpul pas SD, aku belum dapat kesempatan. Abisnya ga ada salju di tempat kami tinggal. Seharusnya ada salju di musim dingin biar bener-bener dapet suasana hatinya!"

Ocehan anak bandel yang ga tahu mara bahayanya padang salju. Ada banyak orang yang benci salju. Dari yang dapat kusimpulkan, Uesugi Kenshin dari periode Sengoku juga orang seperti itu.

Dibebani sepatu bot dan papan ski di punggung kami, kami akhirnya bergerak ke landaian besar ski. Seperti Haruhi, aku belum sempat main ski sudah agak lama. Terakhir kali ketika SMP. Ini pertama kalinya untuk adikku dan, rupanya, Asahina-san juga. Aku yakin benar Nagato tak pernah mengalami ini, tapi dugaan terdidikku mengatakan bahwa dia akan menyaingi profesional siapapun tepat saat dia mendapati landaian.

Tanda-tanda berbagai warna yang tersebar yang ternyata jaket-jaket ski memasuki penglihatanku saat kami menaiki lift, yang membikin aku sadar betapa sedikitnya orang disana dibandingkan dengan yang di bayanganku sendiri, dan Tsuruya-san mulai menjelaskan:

"Ini tuh tempat sembunyi yang cuman dhiketahui sedhikit orang; tempat ski rahasia yang cuman dhiketahui para pakar. Karena tadhinya ini area ski pribadhi satu dhekadhe lalu."

Walaupun sudah sejak saat itu dibuka jadi tempat umum, tambahan Tsuruya-san tak menunjukan aura prasangka. Memang ada orang seperti ini di dunia, tampang bagus, bobot hebat, situasi finansial hebat, bibit bagus, dan pada dasarnya sempurna tiada daya.

Haruhi berucap saat dia memakai papan ski ke sepatu botnya:

"Ngapain, Kyon? Aku kepengen langsung pergi ke jalur pakar, tapi apa semua orang tau cara main ski? Kamu gimana?"

"Kita latihan aja."

Kulihat adikku dan Asahina-san, yang setelah memakaikan papan ski ke sepatu bot mereka, terpeleset setelah pergi sejarak tak sejauh tigapuluh sentimeter, dan segera menjawab Haruhi.

"Kalo elo ga ngajarin mereka dasarnya, jangankan jalur pakar, naek ke kursi lift aja butuh waktu selamanya."

Asahina-san, yang berlumuran salju karena jatuh ke tanah, seorang model alami peralatan ski. Adakalanya aku berpikir apakah ada suatu hal di dunia ini yang takkan cocok dengannya?

"Yuk begini aja! Aku melatih Mikuru, Imouto-chan sama Haruhi-nyan. Buat Kyon-kun dhan sisanya, pikir sendhiri ya."

Anjuran Tsuruya-san tak datang di waktu yang lebih tepat lagi. Aku butuh membiasakan diri di atas papan ski. Saat aku melempar pandangan ke samping...

"..."

Si sepenuhnya tak berekspresi Nagato, dengan tongkat di kedua tangan, sudah lepas landas dengan mulus.

Akhirnya, adikku tak belajar apapun. Apa cara ajar Haruhi yang cacat ya?

"Satukan kedua kaki kamu, dan dorong keras-keras tongkatnya, gerak cepat dan kamu bisa sudah, dan pokoknya terus maju aja secepatnya, dan juga berhenti secepatnya. Sip! Sekarang kamu udah siap!"

Lebih kayak merayap sedikit demi sedikit. Kalo cuman lari secepatnya yang elo butuhin, maka mobil hibrid pertama bakalan benar-benar punya kesempatan buat diperbanyak. Sayangnya, usaha adikku untuk secepatnya hanya memperpanjang ketahanannya dari tigapuluh sentimeter ke tiga meter sebelum dia menghantam tanah. Namun, dia menikmatinya saat dia bersorak dan jatuh dan makan salju. Apapun hasilnya, ini adalah bentuk sehat relaksasi. Walau harus hati-hati juga jadi sakit perut karena hal ini dan jadi terlalu hanyut.

Sekarang, di sisi lain, antara Asahina-san punya bakat atau Tsuruya-san itu instruktur hebat, karena Asahina-san sudah menguasai ski hanya dalam tigapuluh menit.

"Wah, Wah! Asik nih! Wah! Mantap banget!"

Di latar belakang putih bersih, wajah tersenyum Asahina-san main ski itu, untuk meringkas dan memotong pendek komentarku, seperti lukisan peri salju tercipta bermutu tinggi, sama mempesonanya dengan sebuah karya seni. Hanya melihat kecantikan ini cukup bagiku bila aku dikirim buat berkemas setelah ini. Sebelum itu tapinya, waktunya memotret.

Haruhi melirik sembunyi-sembunyi pada Koizumi dan aku yang berlatih berduaan, dan melihat adikku yang tak maju-maju. Dari mukanya, dia tampaknya menyampaikan bahwa dia ingin naik ke puncak bukit dan difoto di lereng, tapi tak mungkin bawa-bawa anak kelas lima.

Tsuruya-san pastilah melihat menembusnya, yang karena itu dia bilang:

"Haruhi-nyan! Kalian semua bisa dhuluan naik lift!"

Tsuruya-san terjatuh tapi tertawa tulus hati saat dia buru-buru menggali adikku keluar.

"Aku bakal ngajarin Imouto-kuntu! Itu ato aku bikin orang-orangan salju bareng dia, ato bahkan main kereta luncur, cuman masalah rental keretanya aja."

"Yang bener?"

Haruhi melihat adikku dan Tsuruya-san, saat dia berterimakasih padanya.

"Makasih banyak~ Sori~"

"Ora opo-opo ora opo-opo~ Yok, Imouto-kuntu! Mau pelajaran ski, bikin orang-orangan salju, ato main kereta salju?"

"Orangan salju!"

Adikku menjawab nyaring saat Tsuruya-san membongkar peralatan skinya.

"Oke, orang-orangan salju kalo gitu. Ntar kita bikin yang guede, ya?"

Melihat mereka berdua saat mereka lanjut membikin bola salju, Asahina-san berkata iri:

"Orang-orangan salju... saya ingin tinggal dan bikin orangan salju..."

"Ga boleh."

Cepat-cepat Haruhi menahan lengan Asahina-san, dan berkata dengan senyum full:

"Kita pergi ke puncak bukit, dan kita bakalan ngelawan satu sama lain. Yang pertama sampe di kaki bukit bakalan dikasih gelar Jendral Musim Dingin olehku. Lakukan yang terbaik!"

Si bandel ini tak diragukan lagi akan berhenti ketika dia muncul sebagai pemenangnya. Ga masalah, tapi nantangin puncak langsung begitu emang bikin gw takut. Mendingan satu-satu dari yang bawah dulu.

Haruhi mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan mengejek.

"Banci. Kalo pengen senang-senang main ski. ya seharusnya kamu langsung mulai dari paling atas!"

Walaupun dua memang bilang begitu, dia masih memilih saranku, yang merupakan suatu kelangkaan. Kami putuskan menggasak landaian level menengah dulu, dan menyimpan acara utama hari ini, jalur level pakar, untuk tantangan terakhir.

"Yok naek lift. Yuki, kita pergi! Sini kamu!"

Nagato. yang pergi melengkung lebar di sekitar kami, buru-buru ke posisi kami ketika Haruhi tak bersuara, dan berhenti tepat di sebelahku.

"Kita bakalan ngelawan satu sama lain! Tanding! Aku punya cukup voucher lift gratisan buat kita semua sampe sore... Engga! Bahkan sampe senja, kita masih bisa naik lift! OK, ikut aku!"

Gue bakal lakuin tanpa loe teriak-teriak begitu. Lagian, kalaupun gue bilang gue pengen gabung pelajaran ngebangun orangan salju, elo bakalan ngeveto. Janganlah bicara soal Koizumi, toh ada Nagato dan Asahina-san memberi Haruhi rezim bebas untuk melakukan apapun yang dia inginkan, menurutku jangankan badai salju, bahkan kembalinya zaman es pun tak keluar dari gambaran. Dengan demikian, absennya seorang lelaki berpikiran terbuka akan etika itu pokoknya takkan bisa. Aku tak yakin aku punya pikiran terbuka buat melihat kehebatan diantara kami, dan Koizumi akan pesta pora saat dia menemukan beberapa bantahan terhadapku. Jadi aku tak peduli lagi. Itu, habisnya tak ada yang penting sekarang.

Seluruh brigade berdiri bersemangat. Saljunya salju bubuk, langit cerah menyilaukan berbayang cyan. Si komandan, dengan ekspresi secerah langit diatasnya, melebarkan tangannya.

"Kursinya dua-dua, jadi biar adil, kita janken aja!"

Selanjutnya...

... bentuk orang-orangan salju jadi makin jelas, dengan Tsuruya-san dan adikku sepenuhnya bersenang-senang seakan-akan mereka itu berumur sama.

Samasekali tiada yang pantas disebutkan. Adikku dan Tsuruya-san memutuskan tinggal untuk melakukan aktivitas sendiri, saat anggota inti Brigade SOS perlahan naik dengan lift, dan menikmati sensasi ski biasa. Disaat kami berski turun ke kaki bukit, bentuk orang-orangan salju jadi makin jelas, dengan Tsuruya-san dan adikku sepenuhnya bersenang-senang seakan-akan mereka itu berumur sama. Apakah itu memakaikan ember, atau memasang hidung, mereka hanyut di dalamnya. Tak lama, mereka memulai orangan salju kedua. Ini merupakan adegan paling sering dalam ingatanku.

Atau, barangkali ingatan terakhir mereka melakukan itu.

Udah berapa kali sih turnamen skinya sekarang?

Setelah menuruni gunung tanpa ada bencana, entah bagaimana... Kami benar-benar tak memperdulikan waktu. Langsung begitu saja, hampir tiba-tiba, kami mendapati diri kami di tengah-tengah badai. Hanya pandangan putih di depan kami, dan apapun lebih jauh dari semeter tak terlihat oleh pandangan kami.

Hembusan badai tercampur pecahan-pecahan salju menghantam kami. Sakitnya lebih nyata dari dingin. Wajah terbuka kami dengan cepat menjadi beku. Kami hanya bisa bernafas normal dengan menunduk; itulah sebagaimana kuat badai salju yang kami dapati.

Benar-benar tiada peringatan sebelumnya.

Haruhi memimpin di depan jadi berhenti, dan Nagato yang berhadapan dengannya juga berhenti berdecit, sementara Asahina-san dan aku menyusul, dengan Koizumi muncul di belakang --

-- kami sudah terkepung dalam badai salju.

Hampir seperti dipanggil oleh seseorang di luar sana.

...

......

.........

Akhir flashback. Sekarang kau lihat kenapa kami ada dalam situasi malang di atas gunung salju?

Jarak penglihatannya terlalu buruk, dan bila ada tebing beberapa meter di depan, kami bisa jatuh dan bertemu kematian kalau tidak hati-hati. Seharusnya tak ada tebing samasekali, tapi takkan mengejutkan bila sesuatu tak teridentifikasi di peta muncul di depan kami. Naungan ski ini tak punya tempat melompat, bukannya aku ingin menantang bukit besar. Bilang jatuh itu berlebihan, tapi kami bisa saja terantuk batang hidung kami kalau kami terkena benturan langsung dengan pohon berkamuflase putih.

"Kita sekarang dimana sih?"

Aku agak merasa putus asa harus mengandalkan Nagato di waktu-waktu ini, tapi tiada yang lebih penting dari nyawa kita sendiri. Tapi kami dalam situasi dimana Nagato tak bisa menuntun kami setelah berjam-jam berjalan dan kami masih nyangkut di petak pertama.

"Aneh banget."

Bahkan omelan Haruhi menyandang bau-bau kebingungan.

"Emangnya ada apaan sih? Kok bisa kita ga ngeliat bayangan orang? Keganjilan nih. Udah berapa lama kita berjalan?"

Dia melihat ke Nagato di depan, saat Nagato menunjukan ekspresi yang entah bagaimana kelihatannya berpikir apakah dia sudah salah jalan menuruni gunung atau tidak. Yang begitu harus dikesampingkan dulu. Ini bukan negeri ajaib. Selama kami teguh sama perkiraan kasar haluan kami, kami seharusnya sudah sewajarnya tiba di bawah gunung karena kami menuju ke bawah sepanjang landaian. Masalahnya yaitu kami tak sampai-sampai ke tujuan, omong-omong soal ajaib.

"Kita ga punya pilihan, kita gali lobang di salju aja dan bikin kemah. Lanjut jalan pas badainya reda."

"Bentar."

Kudiamkan Haruhi, saat aku menuju Nagato yang tampaknya menyapu salju ke samping.

"Emangnya ada apa sih?"

Gadis muda dengan wajah tak berekspresi, dengan rambut pendeknya kaku oleh udara dingin mendongakkan kepalanya perlahan kepadaku.

"Kejadian tak dapat dipahami telah terjadi."

Dengan tenang ia berkata. Iris gelap itu melihat padaku dengan sungguh-sungguh.

"Apabila koordinat dimensional yang saya kenali itu benar, dimana kita sekarang seharusnya sudah melewati titik asal."

Apa dan apa? Kalo emang begitu kita seharusnya nyampe di tengah-tengah tanda-tanda manusia. Tapi bahkan dengan jalan sebegitunya, kita gagal ketemu sama kabel lift ato bahkan pondok apapun.

"Kejadian yang diluar kendali kemampuan manipulasi dimensionalku telah terjadi."

Mendengar suara dingin Nagato, kuhela nafas panjang. Kata-kata lenyap dari tepi bibirku seperti bagaimana serpihan salju lenyap seketika itu juga ketika bersentuhan dengan ujung lidah.

Kejadian melebihi kemampuan Nagato buat dikontrol?

Apa firasat aneh itu ngarah ke sini ya?

"Siapa yang bisa berbuat begini di saat kayak gini?"

Nagato jatuh sunyi, tak mengedipkan mata saat serpihan salju menari-gila dan menghembus langsung padanya.

Tiada dari kami yang bawa jam, tiada pula yang bawa HP ketika kami buru-buru ke tempat ski, jadi tiada orang yang benaran tahu waktu sekarang. Kami hanya tahu kalau kami meninggalkan vila kira-kira jam tiga sore. Tapi kami yakin kami sudah keluar agak lama. Langit mendung masih punya cahaya redup, tapi penutupan awan tebal dan badai salju mencegah kami melihat dimana matahari berada. Kira-kira sama terangnya dengan gua berlumut. Rasa karat yang aneh memancar keluar dari dalam geraham bungsuku dan sakit sedikit mulai terasa.

Tampaknya kami takkan bisa keluar dari dinding salju ini, dan abu-abu seragam menyelubungi langit.

Kayak gue ga pernah ngalamin yang kayak gini aja.

Jangan-jangan --

"Ahh!"

Haruhi yang berdiri di sampingku tiba-tiba berseru. Aku kaget sampai-sampai jantungku mau loncat keluar, menembus rusuk-rusukku.

"Oy! Jangan nakut-nakutin orang kayak gitu ah! Loe ngapain sih jadi tiba-tiba teriak kayak gitu!?"

"Kyon, lihat itu!"

Haruhi menunjuk ujung jarinya, dan mengoceh tak gentar pada angin kencang --

Sinar redup di depan.

"Apaan tuh?"

Kuamati sinar tersebut. Dikarenakan prahara, sinarnya meredup dan menerang, asalnya masih konsisten. Sama dengan kelip redup kunang-kunang setelah kawin.

"Cahayanya dari jendela!"

Nada Haruhi penuh rasa keriang-gembiraan.

"Pasti ada rumah disana! Ayo pergi dan lihat-lihat. Kita bakalan beku sampe mati kalo kita diem disini terus."

Tetap diam, maka kita akan binasa seperti yang dia bilang. Tapinya... rumah? Emang bisa ada rumah di tempat terpencil begini?

"Kesini kesini! Mikuru-chan, Koizumi-kun! Semuanya tetap ikuti aku!"

Haruhi jadi manusia mesin pembajak, dan dengan gagah membuka jalur untuk kita di depan. Kedinginan, kegelisahan, dan kelelahan membuat badan Asahina-san menggigil. Koizumi mengikuti Haruhi sambil memeganginya. Kalimat-kalimat yang dia muntahkan saat dia melewatiku mendinginkan hatiku sampai kedasar lubang.

"Ini pastilah sinar buatan. Namun, saya amat yakin bahwa tiada sinar keluar dari arah ini sebelumnya, karena aku sudah mengawasi situasi dekat-dekat sini."

"..."

Nagato dan aku tak berucap sepatah kata, saat kami menatap punggung Haruhi yang menggunakan papan skinya untuk menyekop salju.

"Cepetan! Kyon, Yuki! Jangan ketinggalan!"

Tiada pilihan lain. Daripada bikin mayat beku kami jadi headline berita seabad kemudian, akan kupertaruhkan kesempatan ini yang tampaknya tipis untuk bertahan hidup. Kalaupun ternyata jebakan yang sudah dibikin sebelumnya, kami tak punya pilihan lain saat ini.

Kudorong punggung Nagato, saat aku menyusuri jalan yang Haruhi buka.

Makin dekat kami, makin terang sinarnya. Haruhi lebih baik dari penglihatan 20/20 itu bukan olokan. Ini memang penerangan indoor menembus dari jendela.

"Mansion ternyata! Dan gede pula..."

Haruhi menghentikan langkah kaki, melempar kepalanya tegak, dan setelah mengekspresikan pikirannya, terus berjalan.

Kutatap bangunan besar itu, dan suasana hitam hatiku semakin tenggelam. Latar belakangnya tersusun oleh salju keperakan dan langit abu-abu pensil, berdiri seperti rumah dalam wayang, semua ini membuatnya makin tak menarik. Tak begitu bagus yang tampilannya tak biasa terlihat. Bilang itu vila, yah bangunan itu seagung kastil. Beberapa menara berkegunaan tak diketahui menjulang dari atap, dan walau bisa jadi karena pencahayaan yang tak memadai, menara itu terlihat amat gelap. Untuk mendapati bangunan seperti ini dalam gunung salju adalah definisi amat tepat dari kata ganjil. Kalau tidak, berarti semua kamus di dunia seharusnya ditulis ulang dengan definisi kata yang baru.

Lokasinya di gunung salju diawani oleh badai salju. Pemerannya adalah kami yang dalam kemalangan. Menemukan cahaya redup selagi tersesat di jalan, kebetulan mendapati mansion aneh setelah mengikuti cahaya tersebut --

Tinggal kurang satu bumbu. Apa selanjutnya nanti kemunculan pemilik rumah, yang bahkan lebih ganjil lagi daripada mansionnya, atau bahkan semacam monster alien? Akankah ceritanya mengarah ke suspense, misteri, atau horor?

"Halo --"

Haruhi cepat-cepat menghadap gerbang, dan mengeraskan suaranya. Pintunya tak ada interkom ataupun bel. Kepalan Haruhi mengetok pintu tak elegan itu.

"Ada orang disini!?"

Kuberi mansionnya pandangan lain lagi, sambil berdiri di belakang Haruhi.

Bukannya gue sinis, tapi keadaan ini terlalu disiapin banget, seakan-akan emang disiapin buat kita aja. Namun, gue sadar ini bukan kerjaan si Koizumi. Bakalan hebat banget pas pintunya kebuka, Arakawa-san dan juga Mori-san ada disana nyambut kita... tapi bahkan Nagato pun udah bilang kalo situasi sekarang ini diluar kendalinya, bukti kalo ini ga mungkin kerjaan Koizumi, habisnya kayaknya ga mungkin deh Koizumi bisa ngeboongin Nagato. Kalaupun dia bareng Nagato, dan bikin dia jadi bagian kejutan, Nagato ga bakalan boong ke gue.

Haruhi berteriak dengan suara menggelegar berimbang dengan prahara ini.

"Kami tersesat! Bisakah kami memohon anda membiarkan kami masuk kedalam? Kami kejebak di salju dan mau mati!"

Kuputar punggungku untuk memeriksa semuanya masih ada. Nagato melihat punggung Haruhi dengan ekspresi marionette tipikalnya. Asahina-san memeluk tubuhnya sendiri dengan wajah panik, kadang-kadang melepaskan bersin imut dan mengelap seluruh hidung merahnya. Senyum khas Koizumi hilang sudah. Lengannya tersilang sepertinya sedang berpikir keras, dengan kepalanya teleng ke suatu sudut. Ekspresinya bagaikan dia sudah mengecap sesuatu yang pahit. Dia tampak seperti kebimbangan Hamlet mungkin, menimbang-nimbang apakah musti membuka pintunya atau tidak.

Tingkat kebisingan Haruhi begitu tinggi yang bila dia melakukan ini dekat rumahku, para tetangga akan langsung angkat senjata. Pertanyaannya adalah tak ada jawaban sejauh ini.

"Apa ga orang dirumah ya?"

Haruhi, dengan sarung tangan terlepas dan tiupan uap di kepalannya, berucap sebal:

"Ada lampu di dalam, jadi tak kirain ada orang di dalam... Kyon, gimana dong?"

Gue ga bisa ngasih elo jawaban langsung gitu aja kalaupun loe nanya gue. Cuman pahlawan galak, yang bakalan ngelakuin apapun yang lewat di kepalanya, lari tunggang-langgang ke tempat terselubung misteri macam begini.

"Bisa sih kalo kita nemu tempat buat berlindung... apa ada garasi ato gubuk dekat-dekat sini?"

Namun, Haruhi tidak memilih selingan seperti berusaha mencari tempat berlindung. Dia memakai sarung tangan di depan kami, memegang pegangan pintu yang terakumulasi es, dan menghembuskan nafas yang tampak seperti doa. Dengan ekspresi serius, perlahan diputarnya pegangan pintu itu.

Mungkin aku seharusnya menghentikannya. Paling tidak, setelah mendengar saran Nagato, aku seharusnya punya bayangan soal apa di depan nantinya. Tapi sudah terlambat sekarang --

-- seolah-olah si mansion sedang membuka mulutnya.

Pintunya terbuka.

Penerangan buatan menerangi wajah-wajah kami.

"Jadi ga kekunci toh. Mereka bakalan mampus ga ya ngebuka pintu kalo ada orang di rumah?"

Haruhi menyerbu masuk di depan saat dia menaruh papan ski dan tongkatnya ke sisi dinding.

"Ada orang? Apa ada orang disini? Maaf sudah masuk ga bilang-bilang!"

Mau gimana lagi? Kami hanya bisa meniru apa yang komandan lakukan. Koizumi yang terakhir masuk, menutup pintu, dan kami akhirnya mengucapkan perpisahan sementara pada jam-jam dingin dan suara tajam-menusuk angin ribut, jadi kami bisa mudah beristirahat.

"Hoo~!"

Asahina-san mendarat tepat di lantai.

"Halo! Ada orang disini~?!"

Pekikan riuh rendah Haruhi berdenging di samping telingaku, saat kehangatan dan kecerahan rumah tenggelam ke dalam tulangku. Seperti rasa yang seseorang dapat dari mandi air panas setelah kembali ke rumah pada saat musim dingin. Salju yang terakumulasi di jaket kami juga di kepala kami dengan cepat menjadi tetesan yang jatuh ke lantai. Penghangatnya pasti dihidupin agak tinggi disini.

Anehnya, tiada orang di rumah. Seharusnya ini waktunya seseorang muncul untuk mengekspresikan sebagaimana terganggunya mereka oleh Haruhi dan mengusirnya keluar dari sini, tapi tetap tak ada jawaban dari panggilan Haruhi.

"Jangan-jangan ini rumah hantu?"

Gumamku saat aku melihat-lihat rumah. Aula muncul saat langkah pertama melalui pintu ganda. Lebih gampangkah kalau dibilang ini seperti lobi hotel mewah? Langit-langitnya lumayan tinggi, dengan kandil besar yang tergantung diatas untuk penerangan. Lantainya dialasi oleh karpet merah tua. Eksteriornya mungkin seperti kastil hantu, tapi didalamnya cukup modern. Lift mengesankan yang mengarah ke lantai dua berada tepat di tengah-tengah aula. Kalau ada ruang mantel dekat-dekat sini, mungkin aku akan salah menyebutnya sebagai lantai dasar hotel.

"Aku pergi lihat-lihat."

Absennya pemilik rumah membuat Haruhi tak sabaran. Dia melepaskan jaket ski bagaikan meluruhkan kulitnya, dan menendang sepatu botnya.

"Ga bisa terlalu kuatir abisnya ini kan darurat, tapi aku ga mau dipanggang lantaran masuk lahan orang tanpa ijin. Aku pergi dan lihat kalo-kalo ada orang disini. Kalian semua tunggu disini."

Sudah diduga dari komandan; membikin pernyataan selayaknya pemimpin. Tepat saat Haruhi mau meluncur, hanya dengan kaus kakinya saja --

"Tunggu."

Kupanggil dia.

"Gue ikut. Amit-amit deh kalo loe pergi sendirian dan ngelakuin sesuatu diluar batas."

Buru-buru kulepas sepatu bot dan jaketku. Badanku seketika itu jadi lebih lincah. Seluruh kelelahan dari tersesat di gunung salju dikelilingi badai tampaknya sudah hilang. Kudorong pakaian berat ke samping.

"Koizumi, jagain Asahina-san dan Nagato sementara ini."

Senyum meliuk muncul di wajah si anak esper yang samasekali tak bisa membantu kami keluar dari gunung salju, dan dia mengangguk enteng. Kulihat paras khawatir Asahina-san, dan menatap Nagato yang masih berdiri tegak.

"Yok pergi. Tempat ini gede, kali pemiliknya ada jauh di dalam yang makanya mereka ga ngedengar elo teriak-teriak."

"Sejak kapan kamu yang main perintah? Di waktu beginian cuman aku yang ngasih perintah! Lakuin yang aku perintahin!"

Si lidah-tajam Haruhi memamerkan kekuasaannya, menangkap pergelanganku, dan bilang ke tigaan sedang siap-siaga:

"Kami kembali sebentar lagi. Koizumi-kun, jaga mereka berdua."

"Dimengerti."

Koizumi memjawab Haruhi dengan senyum tiapharinya, dan menganggukkan kepalanya kepadaku.

Kuduga anak itu pasti memikirkan hal yang sama denganku.

Ga ada hantu ato orang ditemukan bahkan habis ngejelajahin semua sudut rumah ini.

Untuk beberapa alasan, aku hanya merasa begitu.

Haruhi memutuskan untuk menjelajahi lantai yang lebih atas dulu. Hanya menaiki tangga besar, koridor panjang di sebelah kiri dan kanan membuka diri, dan dinding kedua koridor tersebut mempunyai pintu-pintu kayu tak terhitung jumlahnya. Kami putuskan untuk membuka salah satu pintu, dan pintunya terbuka mudah. Kamar tidur rapi bergaya Eropa di dalamnya.

Ternyata ada tangga di akhir setiap koridor, dan kami naik, tentu saja mengikuti kemanapun Haruhi putuskan.

"Disitu, abis itu pergi kesini."

Haruhi menunjuk tujuan dengan satu tangan, dan menggunakan tangan lainnya untuk menarik-narik pergelanganku. Setiap kali kami masuk ke lantai baru, dia menyahut: "Ada orang disini?" volumenya begitu keras sehingga aku tergoda menutupi telingaku, tapi aku bahkan tak bisa berbuat itu, jadi semua yang kulakukan hanyalah apa yang Haruhi suruh, dan ikut bersamanya.

Karena ada sejumlah kamar tak terhitung, kami hanya bisa secara acak membuka beberapa pintu untuk mengintip isinya. Ketika kami memverifikasi kamartidur yang sama jenisnya, kami berada di lantai empat. Apa lampu malamnya selalu di koridor ya? Setiap lantai kayaknya nyala terang.

Buka pintu yang mana ya? Saat kuambil pilihanku --

"Jadi ingat waktu itu pas musim panas ketika kita keluar buat ngeliat apa perahunya masih ada."

...hmm, yang begituan emang terjadi. Pada waktu itu, aku diseret Haruhi seperti sekarang ini dan lari sambil hujan-hujanan.

Saat kuputar triplek-triplek ingatanku, Haruhi tiba-tiba berhenti, dan karena dia memegang pergelanganku aku juga berhenti.

"Yah aku..."

Haruhi melanjutkan pelan-pelan:

"... ga bisa ingat kapan mulainya... aku mulai nyoba milih jalan yang lebih sedikit ditempuh kapanpun punya kesempatan. Ahh, bukan maksudku jalan beneran pas aku bilang jalan, tapi malah kayak sesuatu dengan arah ato tujuan, misal jalan bertahan hidup contohnya."

"Oh." kubayar pelayanan bibir. Jadi? Kenapa tuh?

"Makanya itu, aku bakalan ngambil jalan beda dari orang lain langsung dari awal, jadinya aku bakalan punya pengalaman beda dari orang lain, mengingat pilihan tipikal biasanya agak ngebosenin. Kenapa orang-orang milih hal-hal ngebosenin itu aku engga ngerti. Setelah itu, aku nemu sesuatu. Selama aku mulai bikin pilihan beda sama kebanyakan orang langsung dari awal, aku bakalan punya hal-hal menarik yang menungguku buat kutemukan."

Si pembangkang dari lahir akan milih jalan lain hanya karena sesuatunya terlalu umum, memilih alternatif tanpa mempertimbangkan resiko dan manfaat. Aku sendiri punya kecenderungan itu, jadi bukannya aku tak mengerti apa yang Haruhi bilang. Tapi, gue pikir loe sedikit terlalu ekstrim, dan lagi beroperasi ngelebihin kadar dari apa yang masuk akal.

Haruhi membalas dengan senyum Mona Lisa.

"Ga usah dipikirin, bukan masalah serius kok."

Apa! Ini jelas ga butuh balasan dari gue, jadi ga usah repot nanya-nanya dari awal! Liat dong keadaan kita sekarang! Ini bukan waktunya becanda dan santai-santai!

"Meskipun, ada sesuatu di pikiranku."

"Apa lagi sih kali ini?"

Tanyaku tak sabar.

"Ada apa kamu sama Yuki?"

...

Haruhi tak melihatku, dan menatap kedepan di koridor.

Tanggapanku ketinggalan satu ketukan.

"...Loe bilang apa sih? Ga ada apa-apa gue sama dia."

"Bohong. Aku bisa lihat kamu merhatiin dia dari Malam Natal. Setiap kali aku ngeliat kamu, kamu ngeliatin Yuki terus."

Haruhi masih menatap kedepan.

"Bukan karena kepala kamu kejedot ato ada sesuatu? Ato apa kamu ngerencanain sesuatu buat Yuki?"

Gue ga ngerasa udah ngeliatin Nagato berlebihan. Rasio dibandingin dengan ngeliat Asahina-san seharusnya paling top 6:4... tapi sekarang bukan waktunya ngomong begitu!

"Kalaupun..."

Kucing menangkap lidahku. Semenjak kejadian hilangnya, tepat seperti yang digugat Haruhi, aku sedikit lebih memperhatikan Nagato. Aku merasa agak tak nyaman soal ini, yang itulah kenapa aku menyangkalnya. Tapi aku tak mengantisipasi Haruhi akan menyadarinya, jadi tak pernah kupikirkan naskah untuk kugunakan. Itu, dan seolah-olah aku bisa bilang padanya yang sebenarnya saja.

"Ngomong!"

Haruhi melafalkan setiap kata jelas-jelas.

"Yuki agak berubah. Walaupun dia kelihatannya sama dari dulu, pokoknya aku tahu aja. Sesuatu emang terjadi antara kamu dan Yuki, kan?"

Hanya dalam dua-tiga kalimat, kami beralih dari 'maksud buruk' ke 'tak dapat berubah'. Kalau dia dibiarkan terus seperti ini, disaat kita kembali ke Koizumi dan kawan-kawan, akan jadi 'betulan' antara Nagato dan aku. Memang benar sesuatu telah terjadi diantara kami, jadi sulit menyangkal tegas tuduhan ini, untuk tiba-tiba berpikir tentang hal tersebut.

"Eh... um... yah..."

"Jangan coba-coba berdalih! Dasar bajingan sampah!"

"Engga! Kami ga ngelakuin yang jelek-jelek kok! Masalahnya cuman, cuman... sebenarnya..."

Paras Haruhi makin dan semakin seperti mata elang membidik sasaran.

"Sebenarnya apa?"

Aku berhasil memeras keluar kata-kataku dengan kesulitan hebat dengan pelototan provokatif Haruhi terkunci padaku.

"Nagato punya beberapa masalah. Ya, itu dia. Dia datang ke gue buat curhat soal itu."

Berpikir disaat bersamaan dengan berbicara itu pekerjaan lumayan berat. Makin sulit kalau kamu harus bikin kebohongan disaat yang sama.

"Sebenarnya, masalahnya belom beres. Gimana ya maksudnya... kayak... pokoknya ini terserah Nagato mecahinnya gimana. Gue cuman ngedengerin, dan mesti gimana itu sesuatu yang Nagato harus putusin. Nagato belum bilang ke gue dia mau gimana, jadi tentu aja gue kuatir, dan mungkin itu alasannya gue ngeliat dia sekali-kali."

"Apa yang Yuki kuatirin? Kok dia curhatnya ke kamu sih? Curhat ke aku juga oke kok!"

Dia masih terdengar skeptis.

"Menurutku Yuki ga bakalan nganggap kamu itu lebih bisa diandelin daripada aku ato Koizumi."

"Pokoknya orang selain elo itu bagi Nagato oke-oke aja buat curhat."

Tangan bebasku menangkap Haruhi yang alismatanya naik jauh tinggi, dan otakku akhirnya melanjutkan kebebasan berpikirnya.

"Beneran kok. Loe tau kenapa Nagato harus tinggal sendirian?"

"Masalah keluarga? Aku ga suka ikut campur masalah pribadi, jadi aku ga begitu tau."

"Ada perubahan sama situasi keluarganya. Tergantung hasilnya, Nagato mungkin harus nyudahin hari-harinya tinggal sendirian, nyewa apartemennya."

"Emangnya ada apaan sih?"

"Simpelnya sih, dia mungkin harus pindah. Ninggalin kost-kostan mewah itu, dan pindah ke tempat yang jauh... mungkin ke tempat sodara. Tentu aja, bakalan ngaruh sama sekolah, abisnya dia bakalan butuh pindah. Dia mungkin harus pindah sekolah musim semi ntar pas kita naik ke kelas dua..."

"Yang bener?"

Alis Haruhi udah turun, jadi dikit lagi aja udah bisa.

"Bener. Tapi ga masalah ortunya bilang apa, dia ga mau pindah sekolah. Dia pengen tinggal di SMA North sampe lulus."

"Jadi dia kuatir toh soal ini..."

Haruhi menundukan kepala beberapa lama, tapi dia menghadapiku dengan amarah saat dia mendongakkannya:

"Makin banyak alasan buat bilang itu ke aku! Yuki adalah anggota brigade yang penting, aku ga bakalan ngebolehin dia pergi sendirian!"

Aku puas saat aku mendengarnya bilang begitu.

"Bilang ke elo... Elo malah bakalan melebih-lebihkan masalah ini. Elo barangkali bakalan lari ke rumah sodaranya dan protes ke mereka soal pindah sekolah Nagato."

"Bener sih."

"Nagato udah mutusin buat ngeberesin ini sendirian. Walau dia mungkin sedikit kebingungan, hatinya terpatri dengan ruangklub itu. Terus mikirin itu beban mental yang agak lumayan, jadi dia mutusin buat curhat ke gue. Waktu itu gue rawat inap, jadi dia bilang ke gue pas dia nengok sendirian. Abisnya ga ada orang kecuali gue disana."

"Jadi begitu ya..."

Haruhi mendesah enteng.

"Jadi Yuki kuatir soal itu toh...? Dia keliatan seneng banget akhir-akhir ini jadi aku ga nyadar. Sebelum liburan, aku ngeliat anak buah Denkensha ngebungkuk sembilanpuluh derajat full ke dia. Dia keliatannya ga keberatan..."

Aku berusaha sekuat tenaga membayangkan tampang tak keberatan Nagato, tapi aku hanya tak bisa, jadi kulepaskan saja. Tepat setelah itu Haruhi tiba-tiba mendongak dan berkata:

"Tapi, hmm, ya udahlah. Itu kedengarannya kayak bukan Yuki aja."

Sepertinya dia menerimanya. Kukeluarkan udara dalamku. Emangnya bagian mana sih suara-suara gombal ini yang kayak Nagato bakal lakukin? Bahkan menurut gue pun itu ga bisa dipercaya. Gue musti ngeberesin ini mengingat Haruhi tampaknya menyimpulkan kalo Nagato itu tipe cewek semacem itu.

"Jangan cerita-cerita sama orang ya, dan apalagi jangan ke Nagato. Jangan kuatir, dia bakalan masih duduk di ruangklub dan baca bukunya tahun depan ntar."

"Ya iya lah, ato aku ga akan ngebiarin gitu aja!"

"Tapi..."

Aku, yang pergelangannya terbakar oleh cengkraman baja Haruhi, menawarkan penjelasan lebih lanjut.

"Misal, misalnya aja, kalo Nagato masih harus pindah atau diambil paksa, loe boleh deh bikin kacau semau elo dan gue bakalan nemenin elo sampe akhir."

Haruhi menatapku dengan mata lembut dan berkedip dua kali, berikutnya senyum lebar dan berkata:

"Tentu aja!"

Pada waktu kami kembali ke aula utama di lantai satu, para tigaan yang ditinggal sudah melepas jaket mereka, dan mereka menyambut kami dengan paras bervariasi.

Untuk beberapa alasan, Asahina-san tampaknya masih seakan-akan hampir menangis.

"Kyon-kun, Suzumiya-san... kalian kembali, akhirnya..."

"Kenapa kamu nangis, Mikuru-chan. Bukannya aku bilang kami bakalan balik bentar lagi?"

Dengan riang Haruhi menenangkan Asahina-san, dan menyentuh rambut halusnya, sementara Koizumi memberiku paras paling mengganggu. Emangnya pandangan itu pengen bilang apa sih? Ngerayu gue dengan tatapan kayak gitu ga ada gunanya, ga bakalan sampe ke hati sampe segimanapun juga.

Si Nagato penyendiri hanya berdiri disitu, melihat langsung pada Haruhi dengan pupil gelapnya. Dia terlihat lebih tak bernyawa dari sebelumnya. Bahkan untuk makhluk organik buatan alien, jalan-jalan di semua salju itu seperti blower salju mungkin terlalu berat. Kujelaskan seperti ini sehingga akupun bisa memahaminya sendiri. Nagato bukan individu sempurna. Aku benar-benar mengerti sampai di tahap ini sekarang.

"Ada sesuatu yang ingin saya katakan pada anda..."

Dengan santai Koizumi mendekati kupingku.

"Tapi anda musti merahasiakannya dari Suzumiya-san."

Karena dia nganggapnya begitu, mending gue dengarin aja.

"Menurut anda berapa lama anda dan Suzumiya-san pergi?"

"Seharusnya ga lebih dari tigapuluh menit."

Walau aku mendengar igauan omong kosong Haruhi dan harus berbohong padanya, aku merasa sepertinya kami hanya pergi selama itu.

"Sudah saya duga anda akan bilang begitu."

Koizumi terdengar bingung namun agak puas.

"Bagi kami yang tetap tinggal, tiga jam sudah berlalu dari waktu anda dan Suzumiya-san berangkat menjelajahi sampai anda kembali."

Nagatolah pencatat waktunya, kata Koizumi.

"Mikuru-chan buncah gara-gara anda terlalu lama."

Cowok ini mengibas beberapa poni keringnya ke samping, dan lanjut tersenyum:

"Karena itulah saya memutuskan untuk bereksperimen. Saya meminta Nagato-san pergi ke sudut dimana kami tak dapat melihatnya, dan memintanya menghitung waktunya sendiri selama sepuluh menit sebelum dia kembali."

Nagato melakukannya tanpa bantahan. Dia pergi menuju lorong di samping aula, dan menghilang di sudut --

"Namun, bahkan sebelum saya menghitung sampai duaratus, Nagato-san sudah kembali. Saya tak bisa apa-apa kecuali berpikir, karena saya merasa seolah-olah dia hanya pergi selama tiga menit, tapi Nagato-san sesungguhnya memang menghitung sendiri sampai sepuluh menit."

Nagato ga mungkin salah. Bisa aja elo ketiduran, ato ngitungnya salah?

"Asahina-san juga menghitung pelan-pelan bersama saya, dan kira-kira sama hasilnya."

Gitu ya... Gue masih ngerasa angka Nagato lebih tepat.

"Saya bahkan tidak meragukan ketepatan Nagato-san. Dia tak bisa membuat kesalahan dengan hitungan simpel."

Apa dong? Dunianya kayak gitu.

"Saya curiga aliran waktu dalam mansion ini bervariasi tergantung lokasinya... atau persepsi waktu masing-masing dari kita dan waktu umumnya punya ketidaksesuaian. Saya tidak bisa bilang mana yang benar... bisa saja keduanya benar."

Koizumi melihat Haruhi bersenang-senang menenangkan Asahina-san dengan cara kurang ajar, dan kepadaku.

"Lebih baik bergerak berkelompok, sesungguhnya saya khawatir bentrokan kronologis mungkin makin memburuk. Agak melegakan kalau lingkupan masalahnya hanya itu saja, karena ada maksud menyeimbangkan bila kekacauan waktu hanya berlaku dalam gedung ini saja. Namun, bagaimana kalau bentrokan kronologis ini sudah berlangsung sebelum kita dipancing kesini? Bilang apa kita soal badai tiada tanda itu, dan perjalanan tak sampai-sampai ke tujuan? Bagaimana kalau kita ditarik ke ruang-waktu lain maka..."

Aku melihat Asahina-san yang rambutnya dikusuti oleh Haruhi, dan pada Nagato. Gaya rambutnya, yang meledak tak berbentuk, sekarang sudah kering dan kembali normal, dan bahkan air mukanya kembali putih lebih hangat daripada salju putih.

Aku mulai membisiki Koizumi.

"Terus, elo dan Nagato dan Asahina-san pastinya udah ngadain rapat kelompok dong? Ada hasilnya ga?"

"Asahina-san tak menyarankan sesuatu."

Bukti tersendiri melihat dia menangis seperti itu. Fokusnya sekarang pada yang satunya.

Koizumi lebih merendahkan suaranya.

"Dia samasekali tidak bilang apa-apa. Dia pergi juga tanpa berkata ketika saya minta tolong padanya sebelumnya, dan tetap bungkam saat dia kembali. Ketika saya tanya padanya apakah dia memang benar menghitung sampai sepuluh menit, dia hanya membalas dengan anggukan. Jikalau tidak dia tak mengungkapkan pendapat lain."

Nagato masih terus menatap karpet merah. Wajah tak berekspresinya hari ini sama dengan kemarin. Walau aku merasa seakan-akan dia keheranan entah bagaimana... apa aku mikir kebanyakan ya?

Tepat saat aku mau menunjukan beberapa tanda prihatin pada Nagato --

"Kyon, kamu ngapain sih? Cepetan lapor sama semuanya!"

Haruhi, dengan pelototan menusuk, bicara soal hasil penjelajahan:

"Kami balik abis muter sekali, dan semuanya kamar tidur dari lantai dua ke atas. Tadinya kami kira bakalan ada telepon..."

"Iya, tapinya kami ga nemu apa-apa." tambahku. "Tambahan lagi ga ada TV dan ga ada radio pula. Kami juga ga nemu kabel telepon ato peralatan wireless."

"Begitu."

Koizumi menyentuh dagunya dengan ujung jarinya.

"Dengan kata lain, ga ada hubungan ato kontak ato ngambil informasi dari dunia luar."

"Paling engga dari lantai dua keatas."

Tak secarikpun kecemasan di senyuman Haruhi:

"Ga masalah kalo ada sesuatu di lantai satu, walau ada ga ya? Rumah ini gede banget, mungkin ada kamar yang digunain khusus buat berkomunikasi entah dimana."

Kita berangkat nyariin itu -- Haruhi memakai isyarat tangan alih-alih tanda bendera, dan menarik si prihatin Asahina-san kesisinya.

Kuikuti di belakang Koizumi dan Nagato, dan kami berjalan keluar.

Kami menetap di ruangmakan tak lama setelahnya. Di ruangan berhiaskan gaya antik itu kami menemukan sebuah tempat lilin emas gemerlap, berkilau, yang mewah duduk di atas meja makan dengan dengan kain putih menutupinya. Yang seperti itu dapat dilihat di hotel-restoran bintang tiga yang tak pernah kunikmati sebelumnya jadi aku sedikit sekali tahu soal itu. Lihat saja keatas dan ada kandil lain menggantung di langit-langit, mengawasi anggota-anggota Brigade SOS dengan dingin.

"Benar-benar ga ada orang lain lagi."

Haruhi mengangkat cangkir teh beruap ke bibirnya.

"Orang-orang pada kemana sih? Lampu dan penghangat masih nyala. Ngomong-ngomong soal boros listrik nih. Ga ada ruang komunikasi. Kok bisa gitu sih?"

Teh susu panas yang Haruhi sesap baru diambil dari dapur, yang sama kelasnya dengan yang di restoran-restoran kelas-atas, bersama dengan cangkir-cangkir teh dan botol-botol air. Sementara menunggu airnya mendidih, Asahina-san dan Haruhi menggali sana-sini dan menemukan peralatan memasak berkilau di laci penyimpanan yang kelihatannya mau dicuci dan dikeringkan. Kulkas ekstra besar menyimpan stok makan begitu banyak, makin sulit membayangkan kalau ini adalah rumah yang ditinggalkan. Rasanya kayak pas kita tiba, penghuni tempatnya langsung berkemas dan pergi. Engga, bahkan hipotesis itu punya kelemahannya. Kalo misalnya emang benar, maka seharusnya masih ada tanda-tanda kehidupan disini.

"Hampir sama kayak Mary Celeste ya."

Haruhi ingin meringankan suasana, tapi tiada hasil.

Penjelajahan lantai satu dilaksanakan oleh kami berlima. Berjalan dalam barisan, kami membuka pintu apapun yang kami lewati, dan tiap kali kami temukan sesuatu yang bisa kami gunakan. Ada ruang laundry dengan mesin cuci besar, kamar mandi besar seukuran pemandian umum, dan bahkan ruang game lengkap dengan meja bilyar, meja pingpong dan meja Mahjong otomatis...

Aku hanya berharap kamar-kamar di sepanjang koridor ini bukan ruang yang baru dibuat.

"Ada kemungkinan lain lho..."

Koizumi menaruh cangkir teh pada lepek, dan main-main dengan tempat lilin yang berkelip redup. Kupikir dia ingin mengklaimnya sebagai miliknya sendiri, tapi setelah memberinya taksiran bagus, dia menaruhnya lagi ke tempat semula.

"Penghuni mansion pergi jalan-jalan sebelum badai datang, tapi tak bisa kembali di bawah cuaca tak bersahabat ini."

Dia menunjukan senyum enteng, tampaknya demi Haruhi.

"Bila begitu, mereka akan kembali ketika badainya sudah reda. Mudah-mudahan saja mereka mengerti, dan memaafkan kita yang tak sopan memaksa masuk ke properti mereka."

"Pastilah, abisnya kita kan ga tahu lagi harus kemana. Ahh, jangan-jangan mansion ini disiapin buat penampungan darurat para peski kayak kita yang tersesat ini?"

"Penampungan darurat macam mana yang ga punya telepon?"

Aku terdengar agak jemu. Kami berhasil begitu sedikit setelah kami berlima menuju pintu-ke-pintu di satu lantai ini. Bangunan ini tak bermaksud untuk mengontak atau mengambil informasi dari dunia luar, terlebih lagi tidak ada jam.

Tapi diatas semua ini, menurutku mansion ini jelas-jelas menyalahi aturan bangunan dan kebakaran.

"Siapa sih di dunia ini yang mau bikin penampungan darurat luas dan ga praktis ini?"

"Mungkin semacam organisasi kota ato nasional? Beroperasi dengan uang pajak rakyat? Ngeliatnya begini bikin aku ngerasa benar minum teh item ini. Aku kan bayar pajak. Mikuru-chan, bantuin aku."

"Eh? Ahh, oke."

Asahina-san diseret ke dapur beberapa saat setelah melempar paras khawatir pada kami. Ini tak adil bagi Asahina-san, tapi teori distorsi waktu Koizumi menggangguku, jadi dengan Haruhi keluar dari pandangan tak bisa datang di waktu yang lebih tepat.

"Nagato," kataku kepada cewek berambut pendek yang menatap bagian bawah porselen jauh di samping.

"Emangnya mansion ini apaan sih? Kita sebenarnya ada dimana?"

"Ruang ini memberikan tekanan signifikan padaku."

Dia melontarkan kalimat seperti itu padaku.

Aku ga ngerti. Apa maksudnya? Bukannya kamu bisa ngontak pembuat ato bekingan kamu, dan minta bantuan mereka? Ini situasi luar binasa. Apa nolong sekali-kali itu terlalu susah ngasihnya?

Wajah yang akhirnya menoleh padaku masih memperlihatkan tiada tanda-tanda emosi.

"Koneksiku ke Entitas Gabungan Benak Data terputus. Sebab tak diketahui."

Aku tak mengerti karena dia mengatakannya begitu enteng. Setelah menyiapkan diriku sendiri, aku kembali bertanya.

"...Kapan ini terjadi?"

"Dari perspektif waktuku sendiri, sejak enam jam tigapuluh menit lalu."

Sulit membuatnya mengungkapkan dalam istilah numerik dengan hilangnya kesadaran waktu. Tepat saat aku merenung --

"Sejak saat kita terjerumus dalam badai salju."

Pupil gelap itu masih sama seperti sebelumnya, tapi hatiku sekarang sedang bergolak deras".

"Kenapa kamu ga bilang waktu itu?"

Bukannya aku menyalahkannya. Ajian bungkam Nagato itu ciri pribadinya sendiri. Mendingan bilang kalau dia lahir dengan itu daripada bilang dia mengambilnya.

"Jadi maksudmu, tempat ini bukan dunia nyata? Bukan cuman mansion ini... tapi juga gunung salju yang kita ga bisa keluar darinya. Semua ini ruang pengganti yang dibikin sama orang diluar sana?"

Nagato jatuh sunyi beberapa saat sebelum berkata:

"Saya tidak tahu."

Ia menenggelamkan kepalanya seolah-olah kalah. Aku agak cemas karena ini mengingatkanku pada Nagato di hari itu. Tapi, apa ada apapun selain Haruhi yang bisa bikin anomali macam begini yang bahkan orang ini pun ga ngerti?

Kulihat langit-langit, dan bertanya pada anggota lain Brigade SOS.

"Menurut loe gimana? Ada yang mau ditambahin?"

"Mengeyampingkan ulasan Nagato, anomali ini diluar pemahaman saya."

Aku memperhatikan pada yang mulia terhormat tuan wakil komandan Brigade yang menegakkan dirinya sedikit:

"Dari yang saya tahu, ini bukan Dimensi Tertutup dalam kasus sebelumnya. Ini bukan ruang yang dibuat oleh keinginan Suzumiya-san."

Loe yakin?

"Ya. Anda bisa bilang saya adalah ahlinya soal kajian aktivitas mental Suzumiya-san. Kalau dia merubah dunia fisik, saya pasti tahu. Namun, Suzumiya-san tidak melakukan hal semacam ini kali ini, karena dia tak berharap kemungkinan seperti ini terjadi. Saya dapat menjamin bahwa ini tidak ada hubungannya dengan dia. Mari kita bertaruh bila anda mau; apapun yang anda taruhkan, kugandakan taruhannya."

"Jadi siapa dong?"

Aku merasa sedikit menggigil. Mungkin karena badai, tapi pemandangan dari ruangmakan berwarna abu-abu seragam. Kalaupun Avatar biru neon tiba-tiba mengintip ke dalam, itu takkan benar-benar bentrok dengan latar belakang.

Koizumi melakukan ekspresi Nagato, dan dengan diam mengangkat bahunya. Dia tampaknya tak terlalu khawatir. Bisa saja itu hanya kemampuan aktingnya di sandiwara tapinya, karena dia tak ingin menunjukan wajah cemasnya padaku.

"Sori dah bikin kalian semua nunggu!"

Saat itu, Haruhi dan Asahina-san membawa piring besar penuh roti isi ke arah kami, setinggi gundukan kecil.

Jam biologisku berkata padaku bahwa kami belum menunggu selama itu. Mustinya tak lebih dari lima menit semenjak Haruhi menyeret Asahina-san serta ke dapur. Namun ketika aku tanya Haruhi sambil berakting tiada sesuatu yang terjadi, ternyata harus butuh paling tidak tigapuluh menit untuk membuat semua roti isi itu. Menilai dari hasilnya, menurutku dia tidak melebih-lebihkan. Setiap roti panggang telah dipanggang, semua ham dan kol harus dibumbui, telurnya diiris setelah direbus matang, dan diolesi mayones diatasnya. Hanya menyiapkan bahannya saja menghabiskan waktu lebih dari lima menit. Lagipula, mengingat kuantitas roti isi yang dibuat, tak peduli berapapun sudut yang dipotong, komitmen waktu yang cukup itu akan diperlukan bagaimanapun juga. Ini diluar topik, tapi harus kusebutkan bahwa rasanya lumayan enak. Tentu saja, aku sudah berkesempatan mengalami keahlian kuliner Haruhi di hotpot Natal. Emangnya orang ini ga pinter apa sih? Kalo gue ketemu dia waktu SD, pelajaran satu-satunya yang gue bisa ngalahin dia ya cuman etika mungkin...

Kupukul kepalaku sendiri.

Sekarang bukan saatnya mikirin masalah sepele. Hal buat dikuatirin itu ya situasi kita sekarang ini.

Asahina-san sepertinya memperhatikan siapa yang memakan kerjaannya. Kapanpun aku mulai mengambil roti isi baru, dia akan melihat tajam menunggu-nunggu, dan ekspresi wajahnya akan berubah selang-seling dari santai ke tegang. Kau bisa mudah sekali bilang kalau yang sebelumnya itu punya Haruhi dan yang setelahnya itu Asahina-san.

Ada sesuatu yang dia tak ketahui. Aku bahkan belum cerita ke Koizumi. Haruhi paling jelas tak boleh tahu.

Hanya Nagato dan aku yang sadar bahawa ada sesuatu yang aku belum lakukan.

Bener juga --



Gue belum balik ke masa lalu buat nyelamatin dunia.



Tadinya gue pikir ini bukan prioritas, dan ngelakuinnya setelah Tahun Baru bakalan oke. Fakta kalo gue harus entah gimana bilang ke Asahina-san cuman bikin gue nunda lebih jauh. Jadi ngebiarinnya sampai tahun baru dan ngelupainnya itu ga bakalan bisa? Gimana kalo kita ga bisa keluar dari nih rumah...

"Bentar, tunggu dulu."

Aneh ini. Nagato dan gue, serta Asahina-san pasti ke masa lalu kira-kira tengah-tengah Desember. Gimana lagi loe bisa nerangin soal gue ngeliat tuh tigaan waktu itu? Dengan kata lain, kita pasti bakalan balik ke ruang-waktu kita sendiri. Berpikir seperti itu memberiku beberapa jamninan.

"Ayo, ayo, semuanya makan."

Haruhi mengambil roti-roti isinya dan menjejali mulutnya penuh dengannya sambil meneguk teh hitam disaat yang bersamaan.

"Sisanya masih banyak, makan, aku bisa bikin apapun yang kalian pengen. Ada makanan lebih dari cukup di gudang buat kita untuk ngelewatin ini."

Koizumi memberi senyum canggung saat dia menikmati roti isi ham dan daging babi.

"Lezat. Sungguh lezat. Sama bagusnya dengan yang disajikan di restoran-restoran besar."

Pujian berlebihan ini tentu saja diarahkan ke Haruhi, walaupun aku tak terlalu khawatir soal dia. Juga tidak khawatir soal Asahina-san yang tampaknya tidak menikmati makanan lantaran rasa bersalahnya bertingkah dari menggunakan nama baik orang lain.

"..."

Malahan, soal Nagato.

Hanya mengambil satu demi satu gigitan kecil bukan caranya yang khas.

Selera makan buas robot kecerdasan buatan organisir buatan alien tak terlihat dimanapun. Gerakan tangan ke mulut kelihatannya berkurang setengah setidaknya.



Setelah adegan merosot ke Haruhi dan aku bersaing sama kuatnya untuk menyikat sebagian besar makanan ringan tersebut --

"Pergi mandi."

Anjuran tiba-tiba Haruhi tidak dibantah. Sudah dari sananya dia berasumsi tiada bantahan berarti persetujuan langsung dari semuanya.

"Kamar mandinya lumayan gede, tapi ga ada pembagian cewe-cowo, jadi kita mesti gantian. Sebagai komandan, aku ga bisa mengijinkan perilaku tak senonoh terjadi di Brigade. Cewe duluan, ada masalah?"

Ketidaktahuan apa yang harus pertama dilakukan membuat orang seperti Haruhi mengarahkan semua orang selangkah demi selangkah itu hal yang baik. Dengan begitu kami bisa fokus ke lain-lainnya. Bila seseorang buntu tanpa pemimpin, kita mendingan menggerakkan tubuh dengan gaya mekanis untuk menstimulasi otak. Siapa tahu tiba-tiba percikan inspirasi akan muncul. Inilah kekuatan otakku.

"Sebelum itu, kita putusin pembagian kamar. Mana yang kalian mau? Dan ya, semuanya sama aja."

Menurut hitotesis Koizumi, akan lebih baik untuk menjejali semuanya dalam kamar yang sama, tapi kalaupun seseorang berani menyarankan hal itu, kamu bisa menantikan jotosan langsung dari Haruhi datang padamu. Terkadang penjagaan diri adalah yang utama.

"Lebih baik bagi kita untuk tidur dekat-dekat. Sesuatu seperti kamar bersebrangan atau bersebelahan selama kita semua dapat menjangkau kita berlima."

Dibilangi kata-kata yang lebih serius ini, Haruhi berdiri.

"Oke kalo gitu, kita tidur di lantai dua."



Haruhi melangkah lebar, dan kami buru-buru mengikutinya. Sebelum menuju keatas kami menempatkan begitu saja jaket-jaket ski yang ditinggal di aula ke dalam pengering di ruang laundry.

Haruhi memilih lima kamar terdekat dengan tangga untuk mengatasi masalah menuruni tangga disaat pemilik mansion sudah kembali. Aku tidur di sebelah Koizumi, dan kamar-kamar di seberang diambil oleh Nagato, Haruhi, dan Asahina-san. Kamar Haruhi tepat bersebrangan denganku.

Suasana kamar tidur tetap sama waktu ketika Haruhi dan aku menginspeksinya sebelumnya. Setiap kamar punya furnitur kecil dan hanya sebuah tempat untuk tidur. Selain meja rias kuno, hanya ada tirai dan kasur. Jendelanya terkunci rapat-rapat. Dilihat lebih dekat, dan kau akan lihat kalau itu tipe dua lapis. Mungkin itu mengedapkan suara lebih baik, karena walaupun ada cuaca mengerikan terjadi di luar, tetap samasekali tak ada suara di dalam, yang sebenarnya malah memberikan suasana suspense.

Karena kami tak punya koper pribadi untuk disusun, kami memutuskan bahwa setelah mengklaim kamar-kamar, kami harus bertemu di lorong beralaskan karpet merah.

Haruhi bicara dengan senyum bermaksud memprovokasi:

"Kyon, kamu tau ga?"

Gue tau apa?

"Masa ga tau? Pokoknya kamu ga boleh ngelakuin satu hal yang cowo kuatiran bakal lakuin di keadaan kayak gini. Benci aku pola kelakuan yang biasa banget itu."

Terus gue mesti gimana?

"Makanya..."

Haruhi menangkap lengan kedua anggota cewe, mencondongkan kepalanya di sebelah kanan ke rambut sisi Nagato yang tak bergerak, membeberkan semuanya dengan sahutan:

"Jangan ngintip!"



Aku pergi, lebih ke menyelinap keluar kamarku segera setelah cewek tigaan itu berjalan pergi, si gelisah Haruhi ada di antara mereka. Udaranya hangat dan lorongnya amat sunyi, tak terpengaruh oleh badai salju di luar, tapi hatiku apapun kecuali tenang. Aku tak bersyukur oleh kehangatan ini kontras dengan dingin di hatiku.

Aku berjinjit ke kamar tetangga dan mengetuk ringan pintunya.

"Bisa saya bantu?"

Koizumi memunculkan wajahnya dan menyingkap senyum selamat datang. Tepat saat dia mau bicara, kutaruh jari telunjukku menyandar bibirku dan dia merespon dengan menutup mulutnya. Tanpa bicara, aku menyelinap ke dalam kamar Koizumi. Aku sebenarnya lebih ingin menyelinap ke kamar Asahina-san, tapi ini bukan waktunya untuk itu.

"Ada sesuatu yang harus gue omongin dulu ke elo."

"Oh?"

Koizumi duduk di pinggir kasurnya dan memberi isyarat untuk duduk juga.

"Apakah itu? Saya penasaran. Apakah ini sesuatu yang harus dirahasiakan ke tiga lainnya?"

"Yah, Nagato tau ini juga ok."

Apa ini? Kalian masih saja tanya ini tuh apaan?

Tentu saja ini tentang apa yang terjadi dari saat Haruhi telah menghilang sampai aku bangun di bangsal rumah sakit. Kebangkitan Asakura Ryouko, kedatangan kedua Tanabata tiga tahun lalu, anggota Brigade SOS yang disetel total pengaturannya, Asahina-san dewasa dan proyek pemulihan dunia di masa depan --

"Ini bakalan makan waktu banyak."

Koizumi itu pendengar hebat. Dia tidak hanya memberi feedback yang baik ketika aku berhenti sebentar, dia juga mempertahankan perhatian murid teladan sepenuhnya sampai akhir.

Karena aku hanya fokus dengan poin-poin utama, tak begitu lama bagiku untuk menjelaskan semuanya. Kupikir untuk masuk ke detail yang mengerikan sebagai bagian cerita, tapi dengan kepentingan memudahkan pemahaman dulu, aku memilih ringkasan padat.

Koizumi berseru setelah mendengar semuanya.

"Jadi begitu."

Dia tampaknya tidak bergerak secara khusus. Kulihat dia menyentuh sisi mulutnya dengan satu jari.

"Jika semuanya yang anda katakan itu benar adanya, maka saya hanya bisa bilang bahwa semua itu amat menarik."

Apa loe berusaha sopan dengan 'menarik' itu?

"Tidak, saya memang sebenar-benarnya berpikir seperti ini, oleh sebab saya pun memikirkan sesuatu di benak saya. Bila anda sudah mengalami semua kejadian itu, maka kecurigaan saya akan ada dukungan."

Ekspresi wajahku seharusnya bersama kalimat: "Ga bagus itu. Emangnya apaan sih yang dia pikirin?"

"Saya duga sudah melemah."

Apa tuh?

"Kekuatan Suzumiya-san. Itu dan kemampuan manipulasi data Nagato."

Ngomong apaan loe? Kulihat Koizumi. Dia menunjukan senyum polosnya.

"Suzumiya-san menciptakan Dimensi Tertutup sudah semakin jarang, yang telah saya katakan pada anda saat Natal. Hampir menanggapi ini, saya merasa Nagato-san... bagaimana saya bilangnya ya? Hawa aliennya? Perasaan atau tanda semacam itu tampaknya menurun drastis."

"...Apa?"

"Suzumiya-san jadi semakin lebih dan lebih seperti gadis biasa. Juga Nagato-san, yang semakin kurang dan kurang seperti terminal untuk Entitas Gabungan Benak Data."

Koizumi melihat padaku.

"Menurut hemat saya, saya tak bisa meminta perkembangan yang lebih baik lagi. Jika Suzumiya-san dapat menerima keadaannya sendiri dalam realita, dia takkan perlu berpikiran hal-hal seperti merubah dunia, yang dengan efektif akan mengakhiri misi saya. Juga menguntungkan saya bila Nagato-san menjadi gadis SMA biasa tanpa kekuatan khusus. Sedangkan Asahina-san... yah, tak ada bedanya dengan seseorang dari masa depan tak peduli bagaimanapun akhirnya."

Koizumi lanjut dengan monolognya, seakan-akan aku tidak ditempat.

"Anda harus kembali ke masa lalu untuk memulihkan dunia dan diri anda sendiri kembali normal. Itu karena diri masa lalu anda menyaksikan diri masa depan anda dengan Nagato-san dan Asahina-san -- itu benar?"

Yoi.

"Namun kita sekarang tersesat di gunung terselimuti badai salju. Kita mendapati diri kita sendiri di dalam mansion aneh yang seseorang bersusah-payah menyiapkannya untuk kita, terkunci di dalam ruang pengganti yang bahkan tak dipahami Nagato. Jika keadaan ini terus berlangsung, kalian semua takkan pernah kembali ke masa lalu. Oleh karena itu, setidaknya anda, Nagato-san dan Asahina-san musti kembali ke ruang normal. Tidak, seharusnya untuk kepastian bahwa kalian semua kembali ke ruang normal adalah fakta yang tak dapat dipungkiri..."

Bakalan aneh kalo engga gitu. Gue ga parno karena itu. Waktu itu, gue jelas-jelas ngedenger suara gue sendiri. Walaupun, kalo gue belum balik ke periode waktu itu, kembali ke masa lalu pasti sesuatu yang dilakuin di masa depan. Ini nunjukin kalo kita ga bakalan kejebak di rumah gila ini dengan amarah badai diluar selamanya pas jalan keluar yang aman udah dengan tegas ga bisa diubah-ubah lagi. Kata Asahina-san (besar) juga: "kalo engga, kamu yang sekarang ga bakalan disini".

"Jadi itu saja."

Koizumi mengulang kalimat yang sama, dan tersenyum padaku.

"Namun, saya punya teori lain, tapi semuanya pesimis. Singkatnya, teori tersebut adalah sanggahan yang menimbulkan kesan bahwa tidak masalah kalaupun kita tak pernah bisa kembali ke ruang-waktu original."

Berhenti muter-muter begitu, langsung aja.

Setelah introduksi tersebut, Koizumi menurunkan suaranya hati-hati --

"Andaikan kita sekarang ini bukan 'asli kita', dan hanyalah duplikat yang eksis di dunia pengganti."

Koizumi tetap menatapku, seakan-akan menungguku mencerna kata-kata itu. Jujur saja, aku memang punya masalah pencernaan.

"Akan saya katakan dengan cara lain supaya memudahkan anda memahaminya. Andaikan akal kita dicopy apa adanya dan dipaste ke ruang digital, apakah yang akan terjadi? Kita asumsikan hanya akal saja yang dipindahkan apa adanya ke realitas imajiner."

"Ini maksud loe duplikat?"

"Ya. Apapun bisa diduplikasi, tidak hanya akal. Memang mungkin di tingkatan Entitas Gabungan Benak Data. Dengan kata lain, kita yang tertangkap dalam ruang pengganti ini bukan yang asli, dan hanya kopian akurat dibuat pada waktu tertentu. Dan sedangkan yang asli... yah, barangkali mereka lagi pesta senang-senang di mansion selagi kita berbicara."

Tunggu bentar. Ini diluar kemampuan gue. Mungkin cuman gue aja kurang ilmu kali ya?

"Tidak juga. Untuk contoh yang lebih bagus. Misalkan anda bermain semacam video game, katakan saja salah satu game RPG fantasi. Akan bijak untuk mengesave permainan sebelum anda memasuki gua yang entah apa yang ada didalamnya. Mengesave permainan adalah hal yang jelas untuk dilakukan. Kalaupun seluruh rombongan disapu habis oleh monster, anda bisa mulai kembali dari titik save tersebut. Selama anda menduplikasi seluruh datanya, anda bisa menyimpan aman kopian utama dan membiarkan versi duplikat anggota Brigade yang menerima resikonya. Bila ada sesuatu berjalan salah, menekan tombol Reset akan memecahkan semuanya. Akankah anda bilang bahwa memang masuk akal untuk memakai ini sebagai kiasan situasi kita sekarang?"

"Koizumi..."

Rasa yang amat sangat kukenal mengenaiku disaat aku bilang begitu. Tepat seperti perasaan yang kualami waktu endless Agustus dengan ingatan yang tiba-tiba terputus. Apa sih itu? Aku berteriak dalam benakku demi ingatan yang semestinya tak kuingat. Ayolah! Cepat!

Samar-samar kuberkata:

"Kita pernah ngalamin yang sama ga dulu-dulu?"

"Maksud anda terperangkap di gunung salju? Tidak, secara pribadi tidak."

"Bukan itu."

Ini ga ada hubungannya dengan gunung salju. Maksud gue selain kejadian ini, gue terus-terusan mikir kalo entah dimana di kepala gue ada ingatan soal kita dilempar ke dimensi lain... dan semacam tempat yang ga nyata banget...

"Maksud anda waktu kita melumpuhkan kamadouma raksasa? Itu terjadi di ruang pengganti."

"Itu juga bukan."

Aku terus mengobrak-abrik otakku dan ada secercah bayangan hampir-hampir muncul. Ada Koizumi memakai baju aneh, Haruhi, Nagato dengan Asahina-san, dan yang terakhir diriku.

"Ahh itu dia. Koizumi, entah kenapa, gue terus kepikiran soal elo bawa harpa di tangan dan semuanya pake baju bersejarah dan ngelakuin sesuatu..."

"Apakah anda ingin bilang bahwa anda mempertahankan memori reinkarnasi sebelumnya? Saya pikir anda tak mempercayainya."

Kalo misalnya reinkarnasi itu emang ada, orang-orang seharusnya lebih pengertian dan bakalan maaf-memaafkan satu sama lainnya. Barang begituan cuman khayalan doang buat orang-orang yang mau nyari alasan buat kabur dari realita sekarang.

"Tepat sekali."

Sial. Gue ga bisa ingat apa-apa. Logika gue sendiri mendikte kalo gue ga punya ingatan soal ruang pengganti apapun, tapi insting gue jauh di dalam bilang kalo ini bukan masalahnya.

Apa itu ya, walaupun gue cuman bisa ngingat kata-kata kunci dalam potongan-potongan, emang ada visi sekilas kayak raja-raja, bajak laut, dan tembak-menembak di pesawat luar angkasa melayang-layang di benak gue. Emangnya ini apaan sih? Ingatan gue sendiri bilang ga ada yang semacam itu, tapi ada apa dengan potongan-potongan yang kayaknya ga bisa gue sambungin semuanya yang kejalin-jalin dalam hati gue? Gue ga bisa nyusun semua potongan gambarnya.

Entah bagaimana Koizumi menafsirkan paras kebingunganku? Dia melanjutkan dengan nada tenang:

"Jika Nagato-san pun tak kuasa menafsirkan semuanya yang terjadi disini, bersama dengan bagaimana ruang ini membebaninya, maka pada dasarnya tidaklah sulit untuk menyimpulkan siapa dalangnya, yang sudah mengatur bencana gunung salju ini bersama dengan mansionnya."

Aku tak bisa bilang apa-apa.

"Harus seseorang yang sama levelnya atau melebihi Nagato-san."

"Kalo gitu siapa?"

"Saya tidak tahu, tapi, mengasumsikan maksud musuh itu memaksa kita ke dalam krisis ini dan membuat kita tetap tinggal disini, Nagato-san akan menimbulkan rintangan terhebat kepada rencana itu."

Koizumi menyentuh bibir bawahnya.

"Jikalau saya adalah individu tersebut, saya akan menargetkan Nagato-san dulu, karena dia, tak seperti saya sendiri yang tak berkekuatan dan tak seperti Asahina-san, Nagato-san adalah android alien dengan koneksi langsung ke Entitas Gabungan Benak Data."

Dari penggambaran itu, orang ini mungkin diatas Haruhi. Apakah itu orang ato sekelompok, gue samasekali ga ngerti. Tapi Nagato emang bilang kalo koneksi dengan bosnya keputus.

"Boleh jadi si dalang lebih kuat bahkan dari pencipta Nagato-san. Kalau memang begitu, maka kita secara efektif sudah keluar dari permainan..."

Tepat ditengah-tengah pidatonya, si bujang laki ini tampaknya berpikir tentang sesuatu, dan menyilangkan lengannya di dadanya.

"Anda ingat Asakura Ryouko?"

Tadinya gue hampir lupa, tapi rentetan kejadian tak terlupakan bulan ini udah nyentak ingatan gue.

"Eksis minoritas dalam Entitas Gabungan Benak Data adalah unsur-unsur radikal. Pikir saja, kalau mereka sukses kudeta, apa yang mungkin terjadi? Dari sudut pandang kita, mereka adalah entitas-entitas yang mahakuasa. Untuk mengisolasi Nagato-san dan menawan kita di dunia lain dalam semacam dimensi lain akan semudah membalikkan telapak tangan bagi mereka."

Gue ingat ketua kelas yang mudah bergaul, terkenal, dan easy going itu, juga sama belati tajamnya. Gue diserang dia dua kali, dan diselamatin Nagato-san dua kali.

"Bagaimanapun juga, ini takkan mempengaruhi hasilnya. Kalau kita tak bisa meninggalkan mansion ini, kita harus tinggal disini selamanya."

Apa? Ini Ryugu-jo toh?

"Tepat sasaran. Saya bahkan bisa bilang kalau kita diberi pelayanan VIP. Semuanya sudah disediakan. Mansion nyaman, kulkas penuh makanan, kamar mandi penuh air panas, kamar tidur nyaman...hampir semuanya ada disini kecuali kebutuhan yang dapat membantu kita meninggalkan rumah."

Eksistensi begitu bakalan ga ada artinya. Gue ga sebegitu kecewanya sama hidup gue sampe-sampe mau tinggal di ruang ga jelas ini dan nikmatin hidup santai. Emang terlalu singkat nyebut kehidupan SMA gue beres kurang dari setahun. Selain orang yang disini, masih ada yang lain yang pengen gue ketemuin lagi. Tragis banget lah ga bisa ngeliat keluarga gue juga Shamisen, dan loe bisa itung Taniguchi dan Kunikida juga deh. Apalagi gue ga suka musim dingin, sori ya Icelanders, kayaknya gue ga bisa terbiasa ngabisin hidup gue di es dingin dan salju. Panggil aku laki-laki yang mendambakan panas musim panas dan bisingnya cicada.

"Lega sekali saya mendengar anda bilang begitu."

Koizumi mendesah dramatis.

"Akibat dari Suzumiya-san melepaskan kekuatannya setelah menyadari masalah dalam situasinya adalah dugaan semua orang. Mungkin itulah maksud utama si pelaku. Kalau tiada kemajuan, seseorang lebih baik memasukan semacam perangsang dan memprovokasinya beraksi. Ini taktik umum. Bila ini sesungguhnya lingkungan yang dirangsang, dan kalau kita semua hanya duplikat yang asli, si tangan tersembunyi takkan perlu terlalu hemat soal apapun. Amat jarang anda lihat ada seseorang menyesal akan karakter video game yang mati. Bukankah anda juga seperti itu?"

Karena dia menyebutkannya, tentu saja aku tak merasa menyesal. Namun, karakter video game hanya nomor-nomor, dan aku lebih memilih jadi karakter nyata di dunia nyata.

"Prioritasnya sekarang adalah kabur dari sini. Lebih baik menghadapi bencana di dunia nyata daripada tinggal di dunia pengganti ini. Akan ada jalan; tidak, malahan kita harus memikirjan jalan. Siapapun yang membuat Suzumiya-san dan kita semua terperangkap adalah terbukti musuh 'kita'. Bukan maksud saya 'kita' itu 'Organisasi' atau Entitas Gabungan Benak Data, melainkan Brigade SOS."

Apapun jadi deh. Selama loe setuju sama gue, gue anggap loe sodara.

Setelah itu, aku mulai berpikir keras. Koizumi bergabung dalam pikiran saat dia mengangkat dagunya dengan tangannya.

Tak lama kemudian --

Suara ketukan ringan memecah keheningan antara aku dan Koizumi. Kuangkat badanku, yang seberat seakan-akan ditempel di kasur oleh lem dan membuka pintunya.

"Umm... kamar mandinya sekarang kosong. Kalian berdua bisa pake sekarang."

Muka depan Asahina-san menunjukan rona yang amat tepat untuk membeberkan rasa kemanisan dan kepolosan. Sehelai rambut yang dibilas menempel di sebelah pipi menggelorakan rasa sayang, dan paha yang terekspos dari kaos sedikit panjang itu luar biasa seksi. Kalau status mentalku dalam status normalnya, aku bakalan berpikir soal membawanya kembali ke kamarku, menempatkannya di sudut dan menikmati pemandangannya.

"Haruhi dan Nagato ada dimana?"

Kupandang lorong, dan Asahina-san tersenyum cantik.

"Mereka lagi minum jus di ruang makan."

Tampak sadar akan mata hausku, dia menarik-narik tepian kaosnya.

"Ahh, baju ganti ada di ruang ganti. Saya dapat kaosnya juga dari situ. Handuk dan keperluan mandi semuanya..."

Sulit mengekspresikan rasa keindahannya yang begitu takut-takut dan malu.

Kutolehkan kepalaku dengan tatapan untuk menghalangi pergerakan Koizumi, cepat-cepat bergerak ke lorong dan menutup pintu dengan tangan dibelakangku.

"Asahina-san, aku punya pertanyaan nih."

"Apa itu?"

Mata lebar, yang bulat ini melihatku saat kepalanya condong ke samping dengan ketidakpastian.

"Kamu bisa bilang apa soal mansion ini? Kurasa aneh, menurutmu gimana?"

Asahina-san mengedipkan bulumata tebal dan panjangnya dan menjawab begono:

"Umm, Suzumiya-san mikirnya sih ini bagian dari game detektif Koizumi.. apa ya namanya? Ya, sesuatu kayak pendahuluan gitu. Itu yang dia bilang di kamar tidur."

Sudah yang paling baik kalau Haruhi bisa berpikir seperti itu, walaupun bakalan jadi masalah kalau Asahina-san juga melihatnya seperti itu.

"Terus gimana kamu nerangin ketidakteraturan aliran waktu? Kamu nyaksiin langsung eksperimen Koizumi, kan?"

"Iya. Tapi itu bagian dari rencana... ya kan? Ato bukan?"

Kutekan jidatku, berusaha menahan desahanku. Gue sebenarnya ga tau kalo Koizumi semampu itu, tapi kalaupun pemuluran waktu itu bagian dari seluruh pengaturan, bakalan ga adil ga ngasih peringatan awal ke Haruhi. Lagian, bukannya waktu itu keahliannya Asahina-san?

Kuputuskan untuk mencobanya.

"Asahina-san, bisa ga kamu ngontak ke masa depan? Sekarang, disini?"

"Ehh?"

Wajah bingung kekanakan si senior itu melihat padaku.

"Gimana bisa saya bilang itu ke kamu? Huhu. Itu informasi rahasia!"

Dia ngikik seakan-akan dia merasa itu lucu, tapi aku tidak bercanda atapun merasa itu lucu.

Namun, Asahina-san terus tertawa.

"Udah ah, pergi aja sana dan mandi, ato engga Suzumiya-san bakalan marah lagi lho. Hoho."

Dengan langkah kaki seringan kupu-kupu terbang di sekitar padang bunga Rapeseed saat musim semi, si senior mungil hanyut menuju tangga, dan menghilang setelah menoleh ke atas dan melontarkan paras menawan, yang tak biasa padaku.

Ga bagus ini. Asahina-san ga bisa diandelin. Yang bisa diandelin cuman...

"Sial!"

Aku mendesah ke karpet merah.

Gue bener-bener ga pengen nambahin stress ke dia sekarang. Karena beruntung tapinya, dia itu satu-satunya yang bisa ngebalikin keadaan buat kita. Semua tebakan Koizumi cuman maen teori doang dan siapa yang tau kekacauan macam apa yang Haruhi bakal lepasin dengan caranya sendiri. Kalaupun gue megang kartu truf, setelah semua omongan horor yang si Koizumi kasih ke gue, gue ga bakalan bertindak gegabah. Bisa aja orang itu yang bikin kita di situasi kayak gini udah ngantisipasi.

"Sekarang gimana dong?"



Aku percaya akan dapat ide bagus setelah mandi dan meningkatkan peredaran darahku, tapi otakku tahu lebih baik soal dirinya sendiri. Kalaupun kuperas, bahkan tak setengahpun ide yang mungkin membalikkan suasana akan keluar. Yang begitu itu hanya hal simpel. Aku tak merasa kecil hati, tapi rasanya sedih juga kalau kupikir-pikir.

Tepat seperti yang Asahina-san bilang, ruang ganti ada handuk dan baju ganti yang siap. Celana panjang elastis dan kaos dijajarkan di gantungan dekat situ. Kuambil secara acak, dan pergi menuju ruang makan dengan Koizumi.

Tigaan yang mandi sebelumnya sudah menaruh satu teko jus di meja makan dan sudah menunggu kami.

"Lambat banget, ngapain aja sampe lama begitu?"

Bagiku, hanya sedikit lebih lama dari gagak mandi mungkin.

Kusesap jus jeruk yang Haruhi ulurkan, dan pandanganku diarahkan bukan ke Nagato, tapi keluar jendela. Boleh jadi karena badannya sudah hangat, Haruhi sedang dengan gembira menenggak jus kaleng dengan telunjuk baiknya mengarah keatas, Asahina-san memiliki senyum yang lupa akan situasi sekarang, sementara Koizumi yang nyata-nyatanya mengerti semuanya melakukan yang sama. Nagato tampaknya lebih mungil dari biasanya, apa itu bisa karena rambut basahnya menggantung lurus ke bawah?

Tapi, sekarang jam berapa sih? Pemandangan diluar jendela masih badai salju seperti sebelumnya, tapi kelihatannya suram dan tidak gelap gulita, yang bikin aku merinding.

Haruhi kelihatannya sudah kehilangan kesadaran akan waktu.

"Main di ruang game yuk."

Masih pengen main aja.

"Karaoke juga boleh, tapi kita udah lama banget ga main Mahjong. Taruhannya tiga kali jumlah balok, dan apa aja boleh, tapi aku pengen main balok besar, jadi ga perlu ada chip atau nambah-nambah poin. Kita bakal putusin dengan poin terakhir. Kokushi Shisan-men sama Su-ankou Tanki di yakuman ya?"

Walaupun aku tak ingin mengeluh soal aturan game, aku masih perlahan menggelengkan kepalaku. Sekarang ini, apa yang musti dilakukan bukan Karaoke, bukan pula Mahjong, tapi berpikir.

"Menurut gue kita seharusnya nutup mata barang bentar. Masih banyak waktu main ntar. Gue capek banget."

Sebelum ini kami sudah berjalan berjam-jam sambil memanggul papan ski, setengah terkubur di salju. Hanya otot Haruhi saja yang tak kelelahan tampaknya.

"Bener juga..."

Haruhi kelihatannya ingin tahu yang lain ada di pihak mana. Setelah memeriksa ekspresi semua orang:

"Oke, baiklah, kita tidur aja. Tapi begitu kita bangun aku ingin semuanya main bareng-bareng."

Ia mengumumkan dengan pendaran dua hingga tiga nebula datang dari pupilnya.



Setelah semuanya kembali ke sarang masing-masing, aku mulai terlibat dalam rapat kepribadian-diri di dalam kepalaku saat aku berbaring di kasur untuk memikirkan jalan keluar. Sayangnya, kepribadian-kepribadianku mesti menampakkan ketidakgunaan tepat pada saat ini karena tak satupun anjuran konstruktif yang keluar. Semuanya tetap bungkam, berharap seseorang mempelopori. Saat waktu berlalu, menit demi menit, kesadaranku makin lama makin kabur. Kenapa aku bilang begitu?

"Kyon-kun".

Aku bahkan tak menangkap suara pintu tertutup, atau langkah kaki seseorang memasuki ruanganku, tidak pula suara kersikan baju. Aku jadi takut karena ini omong-omong, dan aku hanya syok melihat siluet orang yang sedang berdiri di tengah ruangan.

"Asahina-san?"

Penerangan ruangan memantul dari salju, bersinar menembus jendela dengan bayangan tertarik ke satu sisi. Namun, bahkan dalam penerangan redup seperti ini, aku yakin apa yang kulihat itu benar. Yang disini adalah peri manis yang ditempatkan di ruangklub, jimat keberuntungan Brigde SOS, Asahina-san.

Asahina-san menampakkan senyum pada wajahnya saat dia memanggil nama panggilanku, bergerak begitu ringan dan duduk di sampingku. Aku susah-payah duduk tegak, saat kaki telanjangnya menutup satu sama lain.

"Kyon-kun".

Asahina-san menampakkan senyum pada wajahnya saat dia memanggil nama panggilanku, bergerak begitu ringan dan duduk di sampingku. Aku susah-payah duduk tegak, saat kaki telanjangnya menutup satu sama lain. Ada rasa surreal tak dapat dijelaskan entah bagaimana. Dilihat lebih dekat, apa yang dia pakai sekarang ini berbeda dengan waktu itu yang saat kami saling mengucapkan selamat tidur di sepanjang lorong. Bukan kemeja lengan panjang begitu, tapi kuantitas pakaian belum meningkat banyak.

Saat ini, Asahina-san menatapku, berpakaian kemeja putih yang hampir koyak di khayalanku, dan dia tak bisa lebih dekat lagi padaku.

"Yah..."

Wajah cantik, kekanakan itu kelihatannya menginginkan sesuatu.

"Boleh saya tidur disini?"

Omongannya cukup untuk menaruh kedua paru-paruku dalam mulutku. (gila)


Mata basah tersebut melihat langsung ke wajahku saat si muka-tebal Asahina-san ini bersandar lembut pada pundakku. Ap... apapapaan niihh?

"Saya takut sendirian, bolak-balik terus dan ga bisa bobo...kalau saya bareng Kyon-kun, saya seharusnya bisa tidur dengan baik..."

Panas tubuh yang panas rembes menembus kemeja itu. Ini adalah bara yang orang bisa salah artikan sebagai membara. Sesuatu yang empuk menekanku. Asahina-san memeluk lenganku, dan menekan wajahnya lebih dekat padaku.

"Apa OK?"

Ini bukan masalah OK atau tidak. Tak ada cowok atau cewek di muka bumi ini yang punya hati untuk menolak Asahina-san yang memohon. Jadi jawabannya tentu saja, iya, kasur ini memang terlalu besar buat satu orang... (tunggu bentar)

Hoho, dia melepaskan lenganku dengan senyuman elok, dan mulai membuka kancing kemeja yang sudah longgar. Lengkungan empuk, yang menyilaukan pelan-pelan mulai menyingkap dirinya sendiri. Dada padat yang kulihat waktu dia dipaksa jadi bunny girl oleh Haruhi, yang kulihat saat aku tak sengaja menerjang masuk ke ruangklub dan melihatnya ganti baju, yang kuambil foto yang sekarang tidur jauh dalam hidden folder di hardisk komputer... sekarang ada di depanku. (bangun oy, bukan itu.)

Hanya tinggal dua kancing lagi di kemeja putih...tidak, satu. Ini lebih menggoda daripada telanjang full, secara modelnya berkualitas tinggi. Lagipula, bagaimanapun juga, yang berbuat pose-pose provokatif adalah Asahina-san. (woi)

Asahina-san menatapku dengan bola matanya miring ke atas, dan melemparkan senyum menggoda, yang malu-malu favoritku. Jarinya akhirnya melonggarkan kancing terakhir. Haruskah kugerakkan pandanganku ke tempat lain? (tetap fokus!)

Dari dalaman kemeja yang total terbuka kancingnya, kulit putih bersih bergerak keatas dan kebawah mengikuti nafas. Pada tubuh orang ini yang dibikin begitu ahli, begitu berseni sampai pada kesempurnaan yang bahkan Venus sendiripun akan meringkuk dalam kulit kerang (ga nyuruh elo lho ngeliat kesana), diatas gundukan setengah pada payudara yang bulat dan mulus tersebut, terpampang amat jelas sebuah tanda lahir...

Nafas dalam keluar dari kedalaman tenggorokanku.

"Hoo...!"

Aku loncat keluar kasur seolah-olah aku punya per dalam diriku.

"Ga mungkin!"

Liat baik-baik! Kenapa gue ga sadar sebelumnya? Orang di depan gue ini bukan 'Asahina-sanku'. Seharusnya gue lebih tau dari orang lain. Bukannya gue ngelakuin ini pas terakhir kali nguji keasliannya? Loe bakalan tau setelah ngeliat 'tempat itu' di Asahina-san.

"Siapa kamu?"

-- Tiada ada tahi lalat di dada kiri Asahina-san ini.

Si cantik setengah telanjang yang sedang duduk di kasur berbicara dengan paras sayu rayu.

"Kenapa? Kau ga menginginkanku?"

Kalau dia Asahina-san asli (Gue dah bilang lho kalo dia bukan!), aku seharusnya masih bisa bertahan. Tidak, bukan. Masalahnya bukan itu. Asahina-san takkan pernah menyelinap dan merayuku. Aku sudah kecantol tanpa dia harus melakukan itu.

"Kamu bukan Asahina-san."

Aku terus mundur, dan menatap mata memikat yang mau meletup jadi airmata. Akal sehatku mau tergelincir. Bagaimana bisa seorang lelaki membuat seorang wanita sedih. Ini ga ada hubungannya sama dia bukan Asahina-san, kan? (bertahanlah)

"Tolong jangan lakukan ini."

Akhirnya kuucapkan ini.

"Siapa kamu? Apa kamu yang bikin rumah aneh ini, alien ato slider? Kenapa kamu berbuat begini?"

"...Kyon-kun."

Asahina-san di depanku terdengar begitu sedih. Kepalanya menunduk dalam dan bibirnya terpilin karena depresi. Dan lalu --

"!"

Dia berbalik dan terbang ke pintu seperti angin, kemejanya terangkat kemana-mana di udara. Disaat dia meninggalkan kamar, dia berbalik, melihat padaku dengan airmata di matanya dan menuju ke lorong. Suara brak herannya keras, dan suara itu membangunkan ingatanku. Gue kunci dari dalem. Ga ada kunci seharusnya ga mungkin bisa masuk dari luar.

"Mohon, tunggu sebentar!"

Seketika itu juga tiba-tiba aku berkata begitu dalam nada halus dan lari ke pintu untuk membukanya.

Brak! Ada suara keras. Tak peduli sebagaimana memaksanya aku, suara pintu terbuka seharusnya tak sebegitu kerasnya sampai-sampai abdomenku gemetaran. Tepat saat aku memikirkan ini --

"Ehh, kamu..."

Aku lari langsung ke Haruhi. Haruhi, dengan kamarnya tepat bersebrangan denganku, menyempilkan kepalanya keluar pintu, dan melihatku dengan mulut terbuka lebar.

"Kyon, kamu di kamarku barusan... atau apa bener?"

Ada lebih banyak orang selain Haruhi dan aku dengan kepala mereka menyempil di lorong.

"Umm..."

Tetangga sebelah kanan Haruhi, Asahina-san berpakaian 'kaos' juga kebingungan dan membuat pintunya setengah terbuka. Sedangkan tetangga sebelah kiri --

"..."

Tubuh ramping Nagato hadir. Kulihat ke samping --

"Apakah itu tadi..."

Koizumi menyentuh ujung hidungnya, dan memberiku pandangan aneh bersama dengan senyum yang amat canggung.

Jadi jelas bahwa alasan kenapa gaung pembukaan pintu begitu keras itu karena kami berlima membuka pintu kami bersamaan. Ini berarti resonansi gabungan berlima.

"Kenapa kalian? Ada yang terjadi?"

Benak Haruhi yang pertama kembali dan bicara bagaikan dia sedang menatap langsung padaku.

"Kenapa kalian semuanya keluar ruangan barengan begini?"

Gue ngejar Asahina-san palsu -- tepat saat aku berpikir begitu, aku menyadari sesuatu. Kata-kata Haruhi sebelumnya tidak terdengar benar tatabahasanya.

"Terus elo gimana? Loe ga bakalan keluar buat pergi ke toilet."

Yang mengejutkan, Haruhi benar-benar merendahkan kepalanya, menggigit bibir bawahnya dan hanya terbuka setelah beberapa saat.

"Aku mimpi paling aneh. Aku mimpi kalo kamu nyelinap ke kamarku dan kamu ga ngomong kayak kamu... urrr, dan kamu berbuat hal-hal yang ga bakalan kamu lakuin. Kurasa itu aneh... akhirnya, kupukul kamu keras-keras dan kamu kabur! Mimpi aneh tuh! Ya ga? Tapi ga kerasa kayak mimpi."

Kalo itu mimpi, berarti ini kelanjutannya mimpi. Saat aku melihat Haruhi dongkol dengan alismata berkerut, Koizumi menuju ke arahku.

"Aku, juga."

Dia menatap tepat pada wajahku.

"Anda muncul di kamar saya juga. Penampilan luar mungkin anda, tapi kelakuannya sungguh mengerikan...omong-omong, anda berbuat sesuatu yang takkan anda lakukan."

Aku mulai ketakukan tiba-tiba. Pandanganku bergerak dari wajah tersenyum Koizumi, tampaknya sedang merencanakan sesuatu, dan malah berputar ke arah Asahina-san. Ini baru betulan. Sekali liat dan ga ada pertanyaan lagi. Kok bisa-bisanya gue bisa salah ngira orang itu dia? Mau itu rasa kek atau tingkah lakunya kek, dia ga bisa dibandingin sama si bonafit Asahina-san.

Mungkin tatapanku membuatnya malu. Asahina-san tersipu. Apa aku yang muncul di depannya? Tepat saat kuasumsikan kalau begitu adanya --

"Suzumiya-san masuk ke kamarku."

Jari-jarinya saling terkait satu sama lain dan bergerak-gerak gelisah.

"Suzumiya-san itu aneh... Saya ga tau gimana ngegambarinnya, kayak yang palsu..."

Yup, pastinya palsu. Sudah pasti itu, masalah ini memang kejadian. Kenapa versi-versi palsu kita muncul di kamar masing-masing? Asahina-san di gue, gue pergi ke kamar Haruhi dan Koizumi, dan Haruhi ke kamar Asahina-san...

"Nagato." terus kutekan. "Siapa yang datang ke kamarmu?"

Wajah tabah Nagato, yang berkaos sama dengan Asahina-san, mendongak dan melihat langsung padaku:

"Kau."

Mengucapkannya dengan berbisik, dia perlahan menutup kelopak matanya.

Dan lalu --

"...Yuki?!"

Dengan musik latar terkomposisi dari seruan bingung Haruhi di samping, aku menyaksikan adegan yang tak dapat dipercaya.

Nagato, Nagato yang itu jatuh, seolah-olah ditekan oleh tangan setan tak kasat mata, tersungkur di tanah.

"Yuki! Kenapa? Yuki..."

Semuanya terlalu kaget untuk mengutarakan sebuah kata, dan beku kelu di tempat, dengan hanya Haruhi buru-buru mendekat dan mengangkat tubuh kecilnya keatas.

"Huah... panas banget! Yuki, kamu ga papa? Yuki? Yuki!"

Wajah tidur Nagato menutup kelopak matanya dan kepala miring kebawah. Instingku berkata tapinya, bahwa Nagato tidak betulan tidur.

Haruhi memeluk pundak Nagato dan berteriak-teriak dengan pandangan tajam:

"Koizumi-kun, bawa Yuki ke kasurnya cepetan. Kyon, pergi cari bantal es. Seharusnya ada beberapa disana. Mikuru-chan, pergi siapin handuk basah."

Melihat bagaimana aku, Asahina-san, dan Koizumi masih berdiri, Haruhi membentak lagi:

"Cepetan!"



Setelah melihat Koizumi mengangkat Nagato yang pingsan sepenuhnya, buru-buru kutuju tangga. Bantal es, bantal es, bantal es dimana ya?

Itu karena aku belum sepenuhnya pulih dari syok melihat Nagato pingsan yang membawaku jadi beku di tempat sebelumnya. Kelihatannya mustahil saja. Karena itulah masalah Asahina-san palsu di kamarku dan versi palsu diri kami sendiri berkeliaran di kamar masing-masing adalah sesuatu yang amat memuakkan sampai ingin kulupakan. Biarin aja. Ga ada hubungannya sama gue.

"Sial!"

Buruk ini. Terkutuk. Tadinya gue berharap Nagato hidup damai kayak orang biasa beberapa hari ke depan, siapa yang tau malah kebalikannya yang terjadi.

Tak ada jejak bantal es dimana-mana, jadi kusudahi saja ke dapur dengan insting. Kompresan es gue bukan di kotak P3K, tapi di kulkas. Dimana sih tuh barang di rumah aneh ini?

"Bentar."

Kuhentikan tanganku saat menggenggam pegangan pintu kulkas. Aku berdoa sekeras yang kubisa di kepalaku setelah memvisualisasikan gambar sebuah bantal es di kepalaku.

Berikutnya, kubuka kulkas itu.

"...itu dia"

Bantal es biru bertengger diatas kol.

Semuanya udah disediain. Ini terlalu nyaman. Gue ga tahu siapa yang perhatian banget sampai ke rinciannya, tapi itu bakalan cuman ngarah ke hasil yang ga diinginkan. Aku lebih tegas berkat orang itu.

Kita benar-benar ga boleh tinggal di tempat ini.



Aku sudah berjalan keluar dari ruang makan dengan bantal es keras padat, dan kulihat Koizumi berdiri di aula masuk, memperhatikan pintu di gerbang. Ngapain dia disini? Apa yang mulia terhormat Haruhi merintahin dia ngegali salju buat ngedinginin Nagato?

Tepat saat aku mau memberinya beberapa kata-kata nasihat, Koizumi melihatku dan pertama membuka:

"Anda datang tepat pada waktunya. Coba lihat ini."

Dan dia menunjuk pintu.

Kutelan air liurku dan melihat ke arah dimana ia tunjuk. Kulihat sesuatu yang agak luar biasa, dan begitu terkejut sampai-sampai tersedak kata-kata.

"Apa... apaan tuh!"

Hanya itu saja yang dapat kuperas keluar dari diriku.

"Kita ga ngeliat ini sebelumnya."

"Ya, tadinya ini tak disini. Sayalah yang terakhir memasuki rumah. Ketika saya tutup pintunya, saya tak melihat sesuatu seperti ini pada waktu itu."

Pada bagian dalam pintu, sesuatu yang sulit dideskripsikan tertambat disana. Hal terdekat untuk dibandingkan yaitu panel kontrol atau panel antarmuka kukira.

Sebuah papan kira-kira limapuluh sentimeter panjangnya tertanam dalam pintu -- ato itu panel antarmuka ya? Kumpulan simbol dan angka yang tak memberiku apapun kecuali sakit kepala tertulis di panel.

Kulihat kumpulan itu dengan sabar. Baris atas adalah --


x-y = (D-1)-z


Baris bawah dilabeli:


x = □ , y = □ , z = □


Bagian □ cekung ke dalam. Hanya semacam pemberitahuan kalau kau bisa memasukan sesuatu ke dalam. Tepat saat aku melihat lekukan-lekukan itu dengan rupa bingung --

"Aksesorinya ada disebelah sini."

Koizumi menunjuk sekumpulan balok bernomor ditaruh dalam rangka kayu di lantai. Dilihat baik-baik, kulihat tiga baris angka dari 0 sampai 9 disimpan disana. Aku membungkuk untuk mengambil satu dan melihatnya. Rupanya sepert balok Mahjong juga beratnya. Perbedaannya hanyalah pola yang terukir disana adalah satu digit Angka Arab.

Sepuluh angka dibagi tiga kelompok, dan ditempatkan dalam sebuah kotak kayu pipih.

"Ini seharusnya angka-angka yang kita gunakan untuk memecahkan persamaannya." Koizumi mengambil satu juga untuk memeriksanya. "Mungkin ini dimasukkan ke kotak kosong."

Kulihat kembali persamaan itu dan kepalaku kembali sakit. Matematika selalu jadi sumber penyakit sebagai hal yang biasa bagiku.

"Koizumi, loe bisa mecahin ini?"

"Sepertinya saya ingat persamaan ini, tapi petunjuk ini tidaklah cukup. Bila ini hanya menyamakan nilai di kedua sisi, maka ada tak terhitung banyaknya kombinasi yang mungkin. Untuk mengurangi jumlah tersebut hanya menjadi satu himpunan, perlu lebih banyak fungsi himpunan."

Kulihat huruf yang paling unik diantara keempatnya.

"D ini apa ya? Mungkin ga perlu dipecahin."

"Cuman itu yang pake huruf besar."

Koizumi bermain-main dengan balok nomor 0 dan berkata dengan suara rendah:

"Persamaan ini... saya sesungguhnya pernah lihat sebelumnya, tapi saya tak pernah menyangka akan muncul disini... apa ini? Saya terus berpikir bahwa saya melihatnya baru-baru ini..."

Dikerutkan alismatanya dan diam tak bergerak. Jarang sekali Koizumi menunjukan wajah berpikir kerasnya.

"Jadi? Loe pikir ada arti khusus disitu?"

Kutaruh balokku kembali ke rangka kayu.

"Gue tau ada soal matematika tiba-tiba muncul dari dalam pintu, tapi itu maksudnya apa ya?"

"Hmm."

Perhatian Koizumi kembali.

"Saya pikir mungkin ini kuncinya, karena pintu gandanya terkunci. Untuk membukanya dari dalam itu tidaklah mungkin. Sia-sia berusaha memutar pegangannya."

"Loe bilang apa?"

"Silahkan dan coba sendiri. Benar kan, tiada lubang kunci di bagian dalam pintu, juga tiada selot kunci." kucoba dan tak bisa membukanya.

"Siapa yang ngunci ya? Kalaupun ini otomatis, seharusnya bisa dibuka dari dalam."

"Ini secara tidak langsung lebih membuktikan bahwa ruang ini diluar akal sehat."

Koizumi kembali ke senyum tak berartinya.

"Identitas pelakunya tak diketahui, tapi jelas bahwa musuh bermaksud memenjarakan kita disini. Jendela-jendela ditutup rapat dan pintu-pintu terkunci..."

"Kalau begitu, emang buat apaan sih persamaan di panel antarmuka ini? Semacem teka-teki buat kita ngabisin waktu?"

"Jika dugaan saya, benar, persamaan ini adalah kunci bagi kita untuk membuka pintu."

Koizumi meneruskan dengan nada santai:

"Saya juga berpikir ini adalah usaha kabur terakhir yang Nagato-san tinggalkan untuk kita."



Sudah kubangkitkan kembali ingatanku baru-baru ini, dan terbenam total dalam ingatan, tapi Koizumi tak mengindahkannya dan berpegang teguh pada retoriknya.

"Ini bisa disebut sebagai perang informasi. Semacam perang yang dibawah beberapa bentuk keterbatasan. Seseorang telah memenjarakan kita di ruang pengganti ini, dan Nagato-san meninggalkan kita dengan sebuah jalan keluar sebelumnya untuk melawan golongan gelap ini. Persamaan ini adalah hasilnya. Kita seharusnya bisa kembali ke dunia kita dengan memecahkan persamaannya, kalau tidak kita akan tetap disini."

Koizumi mengetuk pintu.

"Saya tidak paham pertempuran macam apa itu, tapi bila itu adalah pergumulan habis-habisan antara beberapa makhluk benak, itu akan dilancarkan pada bidang di luar imajinasi kita, dan ini hanyalah manifestasi dari pergumulan tersebut. Antarmuka itu seharusnya produk akhir dari pertarungan ini."

Sebuah persamaan yang benar-benar janggal di rumah aneh, yang misterius ini.

"Bukan kebetulan segera setelah mimpi teraneh kita, Nagato-san pingsan dan panel antarmuka ini muncul... kejadian-kejadian ini bukan fenomena sendiri-sendiri, tapi entah bagaimana saling berhubungan."

Koizumi terus melanjutkan, sedang bagus-bagusnya menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya.

"Ini adalah kunci keluar dari ruang pengganti ini, sebuah kunci yang ditempa oleh Nagato-san."

Jadi membuatku mencari-cari pada papannya tanda apapun seperti 'Copyright © Yuki Nagato'. Sayangnya, aku tak menemukannya.

"Pada dasarnya, ini hanya prediksi saya sendiri. Nagato-san hanya memiliki kekuatan terbatas yang dapat digunakan semaunya dalam ruang ini. Melihat koneksinya dengan Entitas Gabungan Benak Data telah terputus. Ia hanya dapat menggunakan kemampuan yang ada padanya saja, yang menghasilkan solusi tak langsung ini."

Katanya prediksi, tapi nada loe agak tegas.

"Hmm, itu benar. 'Organisasi' telah berusaha berhubungan dengan sumber-sumber koneksi lain, jadi saya memang memegang sejumlah informasi."

Walaupun aku benar-benar ingin mendengar lebih banyak soal alien-alien lain, sekarang bukan waktunya untuk itu. Masalah mendesaknya adalah memecahkan persamaan yang tertulis pada antarmuka menarik ini. Saat aku melihat simbol-simbol di panel antarmuka juga sekumpulan nomor-nomor di rangka kayu, suara tenang Nagato datang ke pikiran.

"Ruang ini memberikan tekanan signifikan padaku."

Gue ga tau siapa yang bikin jebakan buat mancing kita ke rumah aneh ini di salju, tapi gue pastinya ga bisa maafin orang yang bikin Nagato demam tinggi dan pingsan. Itu dan si alien bangsat ga bakalan bisa seenaknya! Ga peduli gimana, kita tinggalin tempat ini dan kembali ke vila Tsuruya-san! Ga ada pengecualian, semua Brigade SOS bakal ninggalin tempat ini.

Nagato udah ngerjain bagiannya. Walau gue ga ngeliatnya ato ngedengernya, ga ragu lagi dia emang udah perang lawan 'musuh' ga keliatan sejak kita masuk ke ruang pengganti ini. Ini pasti alasannya kenapa dia kelihatannya lebih penyendiri dari biasanya. Dia berjuang abis-abisan, tapi dia masih ninggalin kita kesempatan kecil. Oke kalo gitu, selanjutnya giliran kita buat buka pintu ini.

"Kita musti ninggalin tempat ini."

Koizumi membalas dengan senyum renyah akan maklumatku.

"Rencana saya juga begitu. Tak peduli sebagaimana nyamannya, ini bukan tempat untuk tinggal. Utopia dan Distopia adalah dua sisi dari cermin yang sama."

"Koizumi."

Keseriusan dalam nadaku bahkan mengejutkan diriku sendiri.

"Bisa ga loe ngebor lobang ke gerbang entah gimana gitu caranya? Situasinya agak suram. Nagato udah jatuh sakit, jadi satu-satunya orang yang punya kekuatan cuman elo."

"Anda sudah meninggikan saya selama ini."

Bahkan menghadapi kesulitan begini, Koizumi masih merespon dengan senyum.

"Saya tidak pernah bilang kalau saya itu esper super-kuat. Kemampuanku hanya bisa dipicu dibawah kondisi-kondisi tertentu. Ini sesuatu yang seharusnya anda --"

Kurenggut bagian depan kemejanya dan menariknya mendekat sebelum Koizumi menyelesaikan omong kosongnya.

"Gue ga mau denger itu!"

Kupelototi Koizumi dan bibir menyeringai mengejeknya.

"Ruang pengganti itu spesialis loe. Asahina-san ga bisa diandelin, dan Haruhi itu bom yang bisa meledak kapan aja. Bukannya loe mamerin kekuatan loe terakhir kali kita ngelawan kamadouma? Ato 'Organisasi' itu ngeborokin sekelompok orang bego ga ada guna?"

Sebenarnya, gue juga kayak gitu. Gue ga bisa apa-apa, bahkan suara penilaian paling dasar pun engga. Gue bisa bilang kalo gue itu lebih rendah dari Koizumi. Hal yang bisa gue pikirin sekarang cuman ngehajar Koizumi sampe babak belur, terus bikin dia nonjok balik gue. Gue ga bisa ngelepasin amarah gue dengan mukulin gue sendiri abisnya gue bakalan ngegampangin gue sendiri.

"Kalian ngapain sih?"

Suara tajam menyembur dari belakang kami, dan tampaknya kurang senang.

"Kyon, bukannya aku nyuruh kamu nyari bantal es? Aku lari turun abis nungguin kamu selamanya, dan coba lihat, kamu dan Koizumi lagi latihan tengkar. Emangnya kepala kalian ini isinya apa sih?"

Haruhi bertolak pinggang, dan berdiri tegak dengan kedua kaki. Adegannya seperti seorang tua yang tinggal di sekitar rumahku menangkap basah maling yang sedang mencuri buah kesemek.

"Masih aja main-main di jam ini! Pikirin Yuki, barang sedetik aja!"

Haruhi menganggap kebuntuan antara Koizumi dan aku hanya main-main saja, mungkin karena hatinya di tempat lain. Kulepas Koizumi dan mengambil bantal es yang jatuh ke tanah beberapa waktu lalu.

Haruhi merebutnya dariku.

"Apa itu?"

Pandangan Haruhi dengan cepat berpusat pada persamaan aneh itu. Koizumi menegakkan dirinya dan menjawab:

"Tidak tahu. Kami berdua tadi memikirkan ini. Apa Suzumiya-san punya pendapat?"

"Bukannya itu rumus Euler?"

Kata Haruhi bahkan tanpa berpikir, duh ganggu aja. Koizumi membalas:

"Maksud anda Leonhard Euler? Matematikawan itu?"

"Iya, si matematikawan itu, tapi aku ga tau nama depannya."

Koizumi memeriksa ulang panel antarmuka aneh itu, dan menatap selama beberapa detik.

"Ya."

Dia menjentikkan jarinya seakan-akan sedang berakting di depan seseorang.

"Ini Rumus Graf Planar Euler, atau malah variasinya. Sudah diduga dari Suzumiya-san."

"Mungkin bukan. D itu pasti artinya faktor dimensional. Kayaknya."

Apakah itu benar atau tidak, aku punya sekumpulan pertanyaan di kepalaku. Euler siapa, dan dia itu dulu ngapain? Teorema Graf Planar itu apa? Pernah ada gitu di pelajaran matematika? Tepat saat aku mau mengajukan pertanyaan-pertanyaanku, tiba-tiba aku ingat kalau aku kebanyakan tidur di pelajaran matematika! Jadi aku tak berani mengangkat keraguanku.

"Tidak, ini bukan bagian kurikulum sekolah. Namun, masalah tujuh jembatan Konigsberg seharusnya tidaklah asing bagi anda."


Ahh, yang itu gue tau. Matematika yang diajarin sama Yoshizaki kadang-kadang ngarah ke masalah-masalah sulit kayak gini pas pelajarannya. Masalah ini yang ada dua pulau dan sungai dengan jembatan yang nyambungin? Gue inget ga ada solusinya.

"Benar." Koizumi mengangguk. "Masalahnya ada pada bidang datar, tapi Euler membuktikan bahwa orang dapat melihat permukaan sebagai objek tiga dimensi. Rumus Planar adalah salah satu dari banyak karya legendarisnya."

Koizumi terus menjelaskan.

"Prinsip ini berlaku untuk semua polihedra. Hasil dari jumlah titik sudut ditambah jumlah sisi dikurang jumlah rusuk haruslah 2."

"..."

Setelah melihat ekspresi yang ingin membuang semua hal yang berhubungan dengan matematika, Koizumi tersenyum masam dan meletakkan satu tangan ke belakang punggungnya.

Dia mengeluarkan spidol marker hitam berbahan dasar minyak. Darimana dia dapat itu? Apa sengaja disembunyiin? Ato sama caranya dengan cara gue ngedapetin bantal es?

Koizumi berlutut di lantai dan mulai corat-coret di karpet merah. Baik Haruhi maupun aku tak mencoba menghentikannya, karena tiada yang peduli bila seseorang menggambar grafiti dimana-mana.

Koizumi membuat gambar polihedra seperti dadu.


Square.jpg


"Seperti yang anda lihat, ini heksahedra biasa. Jumlah titik sudut ada 8, jumlah sisi ada 6. Ada 12 rusuk. 8+6-12=2... itu benar, atau tidak?"

Seakan-akan belum cukup, Koizumi menggambar bentuk baru.


Pyramid.JPG


"Kali ini saya menggambar piramid. Ada 5 titik sudut, dan 5 sisi. Juga ada 8 rusuk. 5+5-8 masih 2. Oleh karena itu, kalaupun jumlah sisi ditambah sampai ratusan, jawabannya masih 2 (Karakteristik Euler), yang merangkum asas polihedra Euler."

"Yang bener? Kayaknya gue ngerti deh. Tapi... apa maksud Haruhi soal faktor dimensional?"

"Amat simpel. Asasnya dapat digunakan tidak hanya pada objek tiga-dimensi, tapi juga pada permukaan datar. Hanya saja rumusnya jadi 'titik sudut + sisi - rusuk = 1'. Masalah tujuh jembatan berakar dari asas ini."

Sketsa baru muncul di karpet.


Five point star.JPG


"Seperti yang anda lihat, ini adalah bintang lima titik digambar dengan satu goresan."

Kali ini gue itung sendiri. Ada 1,2... 10 titik sudut. Sisi yah... 6 permukaan. Garis paling banyak dengan um... total 15. Jawabannya 10+6-15 adalah 1.

Selama aku sibuk hitung-hitung. Koizumi sudah menyelesaikan graf keempat. Kelihatannya seperti Biduk salah digambar.


Big dipper.JPG


"Bahkan berlaku dengan coretan begini."


Loe sebenarnya sih ga usah repot-repot. Okeh, karena loe dah gambar, mendingan gue luangin waktu dan ngitungin itu. Umm... ada 7 titik sudut, 1 permukaan... garis... mungkin 7? Oh gitu, jadi jawabannya emang 1.

Koizumi memasukkan tutup spidol kembali ke spidolnya dengan senyum khasnya.

"Bagaimanapun juga, ciri khasnya adalah 2 untuk objek tiga-dimensi polihedra, dan 1 untuk objek planar. Paham? Sekarang lihat persamaannya."

Spidol menunjuk ke panel antarmuka.

"x-y = (D-1)-z. x adalah jumlah titik sudut, dan kita dapat peroleh dengan mengutak-ngutik Rumus Euler bahwa y adalah jumlah rusuk. Bukti satu-satunya setelah pemeriksaan bahwa z, tadinya di sebelah kiri, adalah jumlah sisi dan telah dipindah ke kanan dan dinegasikan. Sedangkan untuk (D-1) ini, bila kita ganti dengan Karakteristik Euler dimana 2 untuk objek dimensional dan 1 untuk planar, D secara berurutan berarti 3 atau 2. D itu inisialnya 'Dimensi'"

Kudengarkan dengan diam dan mempekerjakan otakku sambil begini. Hmm, gue tau gambaran besarnya sekarang. Jadi persamaan di papan itu ada hubungannya sama asasnya Pak Euler, gue ngerti.

"Terus?"

Tanyaku.

"Jawabannya apa? Nomor yang mana di rangka yang kita gunain buat ngeganti x, y, dan z?"

"Yah..."

Jawab Koizumi.

"Tanpa ada polihedra asli atau graf planar untuk digunakan sebagai acuan, saya tak dapat memecahkannya."

Bukannya itu cuman segunung taek, dimana tuh? Dimana kita nyari graf asli yang loe sebutin?

Ga tau -- Koizumi mengangkat bahunya, dan aku mulai panik.

Ketika itu --

Haruhi, kelihatannya tenggelam total dalam persamaan, tiba-tiba menyalak seakan-akan dia ingat sesuatu:

"Ini ga terlalu penting -- oh ya, Kyon!"

Apaan sih!

"Mendingan kamu ngejenguk Yuki ntar-ntar!"

Gue bakalan pergi tanpa loe ingetin gue juga, tapi emangnya loe harus main perintah gitu ke gue dan ngebujuk gue kayak gitu?

"Abisnya tuh cewe manggil nama loe, cuman sekali sih tapinya."

Nama gue? Nagato yang itu? Loe becanda kali?

"Dia manggil gue apa?"

"Cuman 'Kyon'!"

Nagato ga pernah manggil nama gue, ga sekalipun. Ahh, maksudnya, baik itu nama gue ato panggilan gue, Nagato ga pernah manggil gue dengan itu. Kapanpun kami ngomong berhadap-hadapan dia selalu manggil gue orang kedua...

Emosi tipis yang lain daripada biasanya terangkat dari dadaku.

"Bukan..."

Koizumi keberatan.

"Apa itu benar-benar 'KYON'? Anda yakin tidak salah?"

Dia mau ngapain sih? Punya pendapat sama igauan Nagato?

"Suzumiya-san, ini penting sekali. Tolong coba ingat-ingat."

Tuturan yang agak kuat buat Koizumi. Bahkan Haruhi pun terkejut, saat dia berpikir ulang dengan kedua matanya melihat ke atas.

"Hmm... yah aku ga dengerin jelas sih. Mungkin bukan KYON. Itu dan dia itu ngebisikinnya. Bisa aja HYON ato ZEON. Yang pasti bukan KYAN ato KYUN."

"Oh begitu."

Koizumi menjawab puas.

"Jadi itu berarti suku kata pertama tidak jelas jadinya kita hanya menangkap yang terakhir. Hahaha, jadi begitu toh. Nagato-san mungkin tak bermaksud bilang KYON, atau bahkan ZYON, tapi YON (empat)."

"Empat?" kataku.

"Ya, nomor '4'."

"Jadi, kalo misalnya itu 4..."

Aku berhenti dan menoleh ke belakang ke persamaan itu.

"Hei!"

Haruhi memekik tak sabaran.

"Kita ga ada waktu maen-maen dengan game angka-angka begini! Mbok ya kuatirin Yuki barang sebentar? Ga tahan aku sama kalian berdua!"

Dia melempar-lempar bantal esnya saat matanya membentuk segitiga.

"Kalian mendingan ngeliat Yuki! Kalian denger!"

Setelah teriak-teriak, dia menghentak, menghentak, dan menghentak saat dia naik ke atas. Kami mengantarnya dengan pandangan mata, dan Koizumi hanya memulai percakapan setelah dia pergi, penuh percaya diri dalam nada dan rupa.

"Semua kondisi sudah terpenuhi. Kita sekarang bisa memecahkan x, y, z."



"Tolong pikirkan peristiwa kita sebelumnya. Kejadian versi palsu yang Suzumiya-san pikir sebagai mimpi, tapi saya dapati nyata samar-samar."

Koizumi mengambil spidolnya lagi saat dia membungkukkan punggungnya.

"Mari kita gambar sebuah graf yang menunjukkan penampakan siapa muncul di kamar siapa."

Koizumi mulai dengan menggambar sebuah titik pada karpet, dan menamainya 'KY'.

"Ini anda. Asahina-san pergi ke kamar anda."

Dari sana, sebuah garis direntangkan dan sebuah titik dibuat di ujungnya dan dinamai 'ASA'.

"Suzumiya-san muncul di kamar Asahina-san."

Kali ini, dia menggambar garis ke kiri bawah secara diagonal, dan menulis 'SUZU' di titik barunya.

"Orang yang masuk ke kamar Suzumiya-san adalah anda."

Dan berikutnya, dia merentangkan garis dari 'SUZU' ke 'KY' dan merampungkan segitiga siku-siku.

"Dan orang yang masuk ke kamar saya adalah anda. Ahh, saya seharusnya bilang orang yang terlihat seperti anda tapi bukan anda. Saya yakin kalau anda takkan berbuat apa yang dia lakukan kalaupun anda jadi gila."

Sebuah garis digambar ke bawah melalui 'KY' dan titiknya disebut 'KO'.

"Nagato-san juga bilang bahwa anda telah memasuki kamarnya."

Ngerti gue sekarang. Koizumi menutup spidolnya dan berhenti setelah menggambar garis yang direntang dari titikku ke kanan, sebuah titik akhir disebut 'NAGA'.

"Semuanya berhubungan. Hampir sepertinya bahwa versi-versi palsu kita yang kelihatannya muncul di mimpi dan nyata adalah penampakan yang dibuat oleh Nagato-san."

Kutatap graf terbaru yang dibuat Koizumi tanpa menggerakkan mataku darinya.


Four.JPG


Persis angka 4 digambar dengan satu goresan.

"Sekarang hanya masalah menerapkan langsung graf ini ke persamaan di pintu. Graf ini ternyata berkaitan dengan kembaran kita. Karena ini graf planar, D berarti '2'."

Koizumi mengibas poninya ke samping dan meneruskan dengan senyum:

"x=5, y=5, z=1. Itu jawabannya. Kedua bagian jadi 0."



Kuhemat waktu diriku untuk diam terkagum-kagum atau memujinya samasekali, karena kugegaskan diriku untuk mengambil balok-balok itu. Ada tiga. Sekarang jawabannya sudah ketahuan, nunggu apa lagi!

Namun, Koizumi tampaknya masih punya keraguan terakhir.

"Apa yang saya takutkan adalah apakah ini program hapus atau bukan?"

Kita tanya dulu. Apaan tuh?

"Kalau kita sebenarnya adalah kopian duplikat dari kepribadian kita, maka tak ada alasan untuk benar-benar keluar dari ruang pengganti ini, selama kita yang asli tetap selamat sentausa di dunia asli."

Koizumi merentangkan tangannya.

"Mekanisme ini mungkin diatur sehingga disaat kita memecahkan persamaannya, kita akan dihapus. Bagi kita, tindakan seperti itu sama saja dengan bunuh diri. Apa anda berharap meneruskan hidup kita disini selamanya tanpa ada perubahan apapun, ataukah anda lebih suka dihapus? Mana yang lebih anda suka?"

Bukan keduanya. Walaupun aku tak ingin hidup selamanya, tapi aku tak sebegitu jatuhnya sampai-sampai berharap pada kematianku sekarang. Aku adalah aku. Ga ada orang yang bisa ngegantiin gue.

"Gue percaya sama Nagato."

Bahkan akupun kaget tampak betapa tenang diriku ini.

"Saya percaya padamu juga, karena saya yakin jawaban anda yang benar. Namun, kepercayaan itu hanya terbatas pada persamaan itu saja."

"Oh gitu."

Koizumi tersenyum ramah seolah-olah dia tahu telekinesis. Setelah itu dia mundur satu langkah.

"Kuserahkan semuanya padamu. Jikalau sesuatunya berjalan salah, saya akan berada denganmu disisi Suzumiya-san, karena tugas saya dan misi saya."

Beres lah kalau itu mau loe, selama loe seneng aja. Ga banyak lho kerjaan yang loe bener-bener senang ngerjainnya di dunia ini.

Koizumi menarik senyumnya sedikit, dan menunjukkan tingkat kesungguhan hati.

"Bila kita memang benar-benar kembali ke ruang normal, maka saya ingin berjanji padamu."

Dia melanjutkan dengan tenang.

"Setelah ini, bila ada kejadian apapun yang akan amat menyudutkan Nagato-san, saya akan mengkhianati 'Organisasi' sekali dan berada disisimu tak peduli sebagaimana menguntungkannya bagi 'Organisasi'."

Kenapa disisi gue? Disisi Nagato itu baru bener.

"Bila situasi seperti itu berkembang, anda tak diragukan lagi adalah yang pertama mendukung Nagato-san. Menolong anda sama saja dengan menolong Nagato-san, walaupun diwakilkan."

Bibirnya berkedut.

"Menurut diri pribadi, saya percaya Nagato-san adalah anggota penting. Ketika waktunya tiba, saya akan menolong Nagato-san. Walaupun saya mungkin bagian 'Organisasi', saya adalah wakil komandan Brigade SOS diatas itu."

Pandangan prihatin memenuhi kedua mata Koizumi, dan ekspresi wajahnya tampaknya punya kebulatan tekad untuk menolak cara apapun untuk mundur, juga melepaskan hak untuk mempertahankan dirinya. Kalau begitu, aku tak perlu setengah-setengah dan hanya melakukan apa yang naluriku bilang padaku.

Di pertengahan Desember -- aku ditinggalkan sendiri di dunia asing, dan hanya berhasil kabur dengan lari kemana-mana. Kali ini tentu saja akan kulakukan hal yang sama. Namun, tak seperti waktu itu aku tak bertarung sendirian, malahan bahu-membahu bersama semua orang di Brigade SOS untuk mencari jalan keluar dari sini. Ryugu-jo tak pantas didambakan. Bukanlah kita tapi ruang inilah yang musti hilang.

Tanpa suatu keraguan, kusorong balok-baloknya ke dalam selot yang ditunjuk.

klik -- suara kecil namun jelas terdengar. Lebih seperti suara pintu sedang dibuka kuncinya.

Kufokuskan perhatianku ke pegangan pintu, dan pegangan itu berputar!

Gerbangnya perlahan terbuka.

"--"



Adakalanya dimasa lalu ketika aku terlalu tergoncang untuk berkata sesuatu. Atau aku tercengang, atau histeria atau bahkan sepenuhnya terhina! Segala macam pengalaman yang sama terpikirkan: "Ga becanda loe?" Tapi setelah hidup melalui waktu dan ruang dilenturkan seperti karet gelang, bahkan aku pun sama tahannya dengan kecoa setelah disemprot, dan untuk benar-benar roboh kira-kira sekarang takkan mengejutkan.

Kayaknya gue mendingan mundur deh sekarang.

Aku, yang membuka gerbang berat --

"--"

-- telah masuk ke dalam keadaan dimana aku tak bisa bersuara tak peduli betapa kerasnya aku berusaha.

Aku tak percaya pada apa yang kulihat. Kenapa syaraf-syaraf optikku mengirimkan penglihatan macam begini ke otakku? Apa karena aku akhirnya jadi gila? Apa retina dan korneaku akhirnya menyerah?

Sinar menembus membuatku puyeng. Sinar terang matahari bersinar dari atas.

"-- ini..."

Cuacanya sejernih bola kristal. Tak satupun serpihan salju menjatuhi kami, apalagi badai salju. Jernih sejauh mata memandang, tanpa awan di langit. Yang ada hanya...

...kabel lift memotong melintasi pandangan kami. Bangku-bangku yang berayun ada banyak dua sejoli ski diatasnya.

Kaki kakuku, entah kenapa, jadi begitu sulit diangkat.

Ternyata salju. Aku terperangkap dalam padang salju. Pemandangan gemerlap putih menyilaukan mataku, membuatku jadi makin lemas.

Kurasa seperti ada yang mendekat, dan ketika kuangkat kepalaku, ada sosok bergerak cepat melewatiku sedang terburu-buru.

"Whoa!?"

Aku reflek loncat begitu kuikuti bayangannya dengan mataku. Seorang peski mengelak dariku seakan-akan aku penghalang di arena ski.

"Ini..."

Tempat ski, sesimpel itu. Bahkan tanpa melihat dengan seksama, orang bisa melihat para peski dimana-mana sedang bersenang-senang saat mereka muncul di pandangan secara agak alami.

Kulihat ke samping, dan tiba-tiba aku merasa seakan-akan pundakku dibebani beban berat. Itu karena peralatan ski dan tongkatnya ada di punggungku. Setelah itu kulihat kakiku, dan kudapati diriku mengenakan sepatu bot ski. Soal apa yang kupakai sekarang, yah ini pakaian ski yang dikasih sebelum aku keluar dari mansion Tsuruya-san.

Buru-buru aku berbalik.

"Aaa..."

Asahina-san terlihat seperti Koinobori tertiup angin, dengan mulut dan matanya terbuka lebar.

"Tak bisa dipercaya..."

Koizumi melihat langit keheranan. Kami berdua dengan setelan yang biasanya dan pastinya bukan kaos.

Rumah aneh itu hilang tak berbekas. Tampaknya takkan muncul lagi. Ini hanya surga ski yang biasanya. Mansion tak tercatat di peta sudah menguap sampai ke titik yang bahkan tak ada uap lagi...

...dengan kata lain.

"Yuki!?"

Dari asal suaranya sepertinya Haruhi ada jauh di depan! Kuputar-putar kepala dan bola mataku untuk mencarinya.

Haruhi berada tepat di sebelah Nagato saat dia menolong Nagato keluar dari salju.

"Kamu ga papa, Yuki? Kamu masih demam... eh?"

Haruhi melihat kesana-kemari seperti Hyrax mengintip keluar dari sarangnya.

"Aneh... tadi kita di mansion."

Dan lalu, dia akhirnya melihatku.

"Kyon, ada yang..."

Tak kubalas, dan hanya menaruh papan ski dan tongkat dan berlutut di sebelah Nagato. Haruhi dan Nagato keduanya mengenakan setelan yang sama sebelum badai salju, ketika kami 'berpacu'.

"Nagato."

Menjawab panggilanku, rambutnya bergerak sedikit dan perlahan dia mengangkat kepalanya.

"..."

Wajah tak berekspresi masih membeku saat pupil tersebut sebesar yang biasanya sedang melihat padaku. Nagato, dengan salju di sekujurnya, memusatkan pandangannya pada wajahku begitu saja.

"Yuki!"

Haruhi merobohkanku keluar arah, dan sekarang menyangga Nagato.

"Aku ga tau apa yang terjadi, tapi... Yuki, kamu sadar? Kamu masih demam?"

"Tidak."

Nagato menjawab enteng, saat dia berdiri dengan kakinya sendiri.

"Saya hanya terpeleset."

"Yang bener? Tapi kamu demam sebelum... eh? Apa yang terjadi?"

Haruhi menaruh tangannya pada kening Nagato.

"Wow! Demam kamu ilang. Tapi..."

Matanya kembali setelah melihat perlahan ke sekitar pemandangan.

"Eh? Badai salju...? Mansion...? Ga mungkin? Tadi itu ga kayak mimpi... Ehhhh? Ato... apa tadi itu mimpi?"

Jangan tanya gue. Gue bisa nolak pelayanan technical support buat elo dan cuman elo.

Saat aku berencana untuk pura-pura tak berdosa, suara lincah "hey~!" datang padaku dari jarak dekat.

"Lagi ngapain?"

Seru Tsuruya-san. Tiga orangan salju dari besar, agak besar sampai kecil berdiri di sebelahnya, dan sosok hampir setinggi yang agak besar juga di sebelahnya. Sosok melompat-lompat yang melihat ke sini adalah adikku.

Kami berhasil kembali menyadarkan diri kami sendiri.

Kami tak jauh dari letak lift dan dekat dari jalur pemula. Kami berlima hadir.

"Haah, udahlah."

Haruhi memutuskan untuk tak mendesak lebih jauh.

"Yuki, kamu tak gendong, berdiri."

"Tak perlu," kata Nagato.

"Oh ya!" Haruhi bertekad. "Aku ga begitu tau apa yang terjadi, juga ga tau kenapa aku ga tau soal itu, tapi kamu terlalu maksa diri kamu sendiri. Walaupun kamu ga demam lagi, semua orang bisa liat kalo kamu ga sehat. Kamu butuh istirahat!"

Tanpa menunggu feedback dari Nagato, Haruhi sudah mengangkatnya dan mulai lari ke arah Tsuruya-san dan adikku. Kecepatan langkahnya bahkan akan meninggalkan blower salju tercepat dalam debu. Kalau pernah ada kategori lari cepat di salju sambil menggendong orang di Olimpiade Musim Dingin, Haruhi takkan diragukan lagi akan dapat medali emas.



Setelah itu,

Arakawa-san menjemput kami setelah diberitahu Tsuruya-san.

Nagato agak protes soal dianggap pasien oleh Haruhi, saat dia menunjukan vitalitasnya dengan cara Nagato, tapi pandanganku padanya sepertinya ada efeknya karena dia akhirnya mengalah pada instruksi Haruhi.

Nagato, Haruhi, Asahina-san dan adikku lebih dulu menuju vila. Koizumi, Tsuruya-san dan aku kembali jalan kaki.

Di tengah-tengah jalan kaki, Tsuruya-san memulai obrolan seperti:

"Aneh, kenapa kalian keluar dhari gunung dhengan langkah berat dhan bawa papan ski di punggung? Sesuatu terjadhi?"

Uhhh, ga ada badai salju?

"Hmm? Ahh, kamu pasti lagi ngomongin turun salju yang lamanya sepuluh menit itu? Bukan masalah gedhe kok. Cuman tiba-tiba turun salju, yang sebentar."

Dari kelihatannya, kami berputar-putar di salju dan melewatkan kekekalan di rumah aneh itu hanya beberapa menit bagi Tsuruya-san.

Tsuruya-san melanjutkan, penuh hidup dalam langkah dan nadanya:

"Aku tadhinya mikir kenapa kowe semua turun dhan jatuh ke mana-mana. Owalah, karena Nagato-chi jatuh nggilani toh. Syukur dia pulih cepat dhari itu."

Koizumi hanya bisa tersenyum kaku dan bungkam. Aku pun tak bicara. Pengamat yang dengan tenang menganalisa seluruh situasi, dalam hal ini Tsuruya-san, menemukan kami seperti yang dia bilang. Kalau begitu, kita gunakan sudut pandangnya jadi referensi saja. Kita mungkin sudah melewati negeri ajaib atau dunia mimpi, tapi ini kenyataan, yang dimana versi asli dunia terletak.

Setelah berjalan dalam keheningan agak lama, Tsuruya-san mulai tertawa sekali lagi, saat dia menempelkan mulutnya ke kupingku.

"Kyon-kun, tak tanyai sesuatu ya."

Apakah itu, sempai?

"Aku bisa bilang kalo Mikuru dhan Nagato-chi bukan orang biasa, mungkin Haruhi-nyan juga dhiatasnya?"

Kuselidik Tsuruya-san dengan keseriusan, dan mendapati bahwa wajah cemerlangnya itu hanya, memandang berbinar polos yang --

"Jadi kamu juga udah tau itu."

"Kudhuga udhah agak lama kok! Masalahnya aku belum nyusun total dharimana asal mereka. Tapi kutebak mereka ngelakuin hal-hal aneh di belakang kita. Ahh, jangan bilang-bilang Mikuru ya. Anak itu terus aja nganggap dhirinya biasa-biasa aja!"

Dia tertawa dari perutnya, yang pasti karena bagaimana reaksiku.

"Hmm, tapi Kyon-kun sekarang lumayan normal. Baumu sama tipenya dhenganku."

Setelah itu, dia mulai menatap mukaku.

"Yo weis lah. Aku ndak terlalu mau gali-gali soal orang macam apa Mikuru itu. Kamu bakalan susah ngejawab'e. Sopo pedhuli dhia siapa, teman itu teman."

Haruhi, berhenti ajalah soal anggota kehormatan kek ato penasihat kehormatan kek dan rekrut Tsuruya-san jadi anggota inti. Cewe open-minded ini mungkin lebih cocok dari gue buat peran jadi orang biasa yang pengertian.

Tsuruya-san menepuk ringan pundakku.

"Titip Mikuru ya. Kalo anak itu punya sesuatu yang dhia ga ingin kubantu, kamu harus menanggungnya."

Itu... pastinya iya.

"Tapi..."

Mata Tsuruya-san berkerlip lebih terang:

"Film waktu itu, yang buat festival itu lho. Apa CGnya beneran?"

Koizumi mungkin mendengarnya, karena kulihat dia pergi ke samping, mengangkat bahunya dan tak berkomentar.



Saat kami sampai di vila, Nagato disegerakan ke kasur oleh Haruhi.

Ekspresi tertahan sudah hilang dari wajah pucatnya dan digantikan oleh rupa tenang. Dia kembali dari orang yang bimbang begitu mudah seperti rumput bergoyang oleh embusan angin, kembali jadi Nagato yang kukenal.

Bagaikan sedang terjaga, Asahina-san dan Haruhi keduanya sedang duduk di sebelah kasur Nagato sementara adikku dan Shamisen siaga di sudut. Barangkali mereka menungguku, Koizumi dan Tsuruya-san, yang datang belakangan. Ketika kami semua hadir, Haruhi bicara:

"Hei Kyon. Entah napa, aku terus mikir kalo aku ngalamin mimpi yang paling realistis. Aku mimpi kita tiba di mansion, mandi juga makan roti isi disana."

Loe cuman ngayal -- tepat ketika aku mau bilang begitu, Haruhi melanjutkan.

"Yuki bilang dia ga tau, tapi Mikuru-chan bilang kalo dia ingat persis sama dengan yang kubilang."

Aku melihat Asahina-san, dan nona-maid yang hanya membangkitkan rasa kasihan mengembalikan pandangan 'maaf ya'.

Ga bagus ini. Gue tadinya berharap nutupin kesalahan cuman dengan nyebut itu semua mimpi di siang bolong ato semacam ilusi, dan sekarang gue ga mikir jalan bagus lain buat ngejelasin kenapa ada dua punya mimpi persis sama.

Saat aku merenung bagaimana membohongi Haruhi,

"Itu hipnotis kolektif."

Koizumi melihatku dengan ekspresi 'udah udah, serahin aja ke gue' dan menginterupsi.

"Saya sebenarnya ingat akan hal-hal yang sama."

"Kamu lagi bilang kalo kamu dan aku dua-duanya kena hipnotis?" Kata Haruhi.

"Ini bukan hipnotis buatan manusia. Hipnotis untuk Suzumiya-san biasanya takkan berhasil karena mungkin anda ragu bila diberitahukan sebelumnya bahwa anda mau dihipnotis."

"Benar."

Haruhi jatuh sunyi.

"Namun, kita sudah jalan berputar-putar di gunung salju, hanya dengan pemandangan putih seragam. Apa anda mengetahui Hipnotis Jalan Tol? Orang yang berkendara di jalan tol bisa jatuh pada keadaan hipnotis dengan melihat pemandangan lampu-lampu jalan merenggang secara seragam. Mungkin ini fenomena yang mengarah ke situasi kita. Orang jatuh tertidur di kereta karena getaran ritmik gerbong. Prinsipnya sama dengan yang berlaku pada menidurkan bayi dengan menepuk perlahan punggungnya dengan berirama."

"Beneran?"

Haruhi menampakkan paras 'pertama kalinya gue denger ini' saat Koizumi mengangguk dalam.

"Tepat sekali."

Dia melanjutkan:

"Sementara kita berjalan di badai salju, kukira ada orang berkata: 'Sepertinya asyik bila ada rumah buat bersembunyi, dan bagus sekali kalau isinya lengkap, nyaman sekali...' atau sesuatu seperti itu. Pokoknya, keadaan mental orang dalam bencana itu takkan terlalu baik dan, dalam keadaan stress berat, tak mengejutkan penampakan luar biasa mungkin membingungkan kita. Dalam buku cerita, bukankah pengelana melewati gurun terkadang melihat fatamorgana?"

Sial Koizumi, cantik banget tuh!

"Umm... mungkin kamu benar. Jadi itu toh yang beneran terjadi?"

Haruhi mengangguk-anggukkan kepalanya dan melihatku.

Memang benar. Aku terus ikut mengangguk, berusaha memaksakan ekspresi sadar tiba-tiba. Koizumi menekan bersamaku:

"Suara jatuh Nagato-san pastilah yang membangunkan kita ke realitas, pastilah memang seperti itu."

"Kalo kamu bilangnya kayak gitu, kayaknya emang benar-benar kayak gitu..."

Haruhi menganggukkan kepalanya lebih jauh lagi, tapi cepat-cepat dia luruskan kembali ke semula.

"Oke, begitu ajalah. Konyol juga mikirin kalo ada rumah buat kita berlindung pas kita lagi kena masalah. Ingatanku mulai kabur soal ini. Semua ini kayak mimpi dalam mimpi."

Betul, mimpi. Rumah aneh itu ga beneran disana jadi jangan terlalu dipikirin, cuman khayalan imajinasi kita dari kecapekan.

Satu-satunya yang membuatku khawatir adalah dua asing yang bukan anggota SOS. Kupandang Tsuruya-san.

"Umm!"

Tsuruya-san berkedip padaku, tersenyum penuh. Kubaca sebagai kode untuk "oke oke, kita biarin aja kayak gitu", walau mungkin cuma aku saja yang terlalu khawatir. Tsuruya-san tak berkomentar dan dia tak bilang apa-apa lagi, hanya ada senyum khasnya sendiri di wajahnya.

Sedangkan orang satunya -- adikku sudah jatuh tertidur di pangkuan Asahina-san. Walau dia bisa seribut kucing mengeong saat bangun, dia manis sekali waktu tidur. Asahina-san melihat adikku seakan-akan dia terpuaskan. Jelas sekali bahwa Asahina-san dan adikku tak menangkap satupun kata dari bagian kedua penjelasan Koizumi.

Akhirnya! Abis bersusah-payah luama buanget, malam pertama liburan musim dingin telah tiba!

Nagato tampaknya kesulitan tinggal di kasur, tapi akhirnya didiamkan dengan selimut oleh yang berteriak dan melompat Haruhi si primata.

Kupikir tak perlu memaksa Nagato tidur. Kalaupun kau bermimpi indah, hanya akan jadi mimpi saja saat kau bangun. Yang penting kami semua masih bersama. Tak peduli sebetapa mendebarkannya berada di panggung berkelap-kelip itu, bila hanya ilusi yang akan lenyap disaat kau membuka matamu, tiada artinya. Jelas aku sudah amat menyadari ini.

--

Sudah kuputuskan untuk mengenyampingkan masalah-masalah tertentu untuk sekarang ini. Semuanya bisa dipastikan nanti, apakah itu cerita dibalik rumah aneh di gunung salju atau untuk memikirkan apakah Haruhi benar-benar menerima pidato mempesonakan bersarat jargon Koizumi. Tentu saja itu semua sepertinya tak masalah dengan dia sibuk mengurus Nagato tepat saat ini.

Entah kenapa, aku ingin cari udara segar di luar, yang secara tidak sengaja berarti kabur dari suara setan Haruhi sampai ke kepalaku. Aku tak merasa kedinginan entah kenapa sementara bintang-bintang, dan cahaya terpantulnya yang datang dari pemandangan keperakan tak biasanya begitu menarik.

"Tapi,"

Besok berarti hari terakhir tahun ini. Drama detektif yang direncanain hati-hati sama Koizumi bakalan kebeber sendiri di Malam Tahun Baru. Haruhi juga bakalan berbuat yang terbaik di pesta liburannya.

Bodo ah, ntar juga bakalan beres. Gue cuman perlu kuatir soal ngurusin diri gue sendiri sebelum hal-hal itu kejadian. Kebetulan ini juga kesempatan langka buat Nagato dapetin R&R. Siapa peduli kapan dia biasanya tidur ato kalaupun dia butuh dari awalnya juga, dia beneran bisa ngaso dan ngelaksanain dorongan buat tidur sekarang-sekarang ini. Naruh Shamisen di kasurnya ide lumayan bagus tuh, abisnya kan bagus ada penghangat kasur instan!

Kulihat pada padang salju tak berujung saat kubicara pada diriku sendiri.

"Cuman malam ini aja, tolong dong jangan ada badai salju lagi."

Kalau Nagato emang mimpi pas dia tidur, semoga dia mimpi indah... cuman malam ini, paling engga.

Paling engga gue, secara pribadi, ga punya alasan buat pengen dia ga mimpi indah malam ini.

Terakhir, gue mau bikin permohonan ke bintang-bintang. Walau bukan Tanabata, juga bukan Malam Tahun Baru, dan samasekali ga nyambung ke cerita Altair dan Vega, tapi gue pengen paling engga satu bintang ngabulin permohonan gue, mengingat banyak bintang di alam semesta sana.

"Semoga tahun yang akan datang jadi tahun yang baik."

Mohon dikabulkan dong, siapapun diatas sana di bintang-bintang itu.


Balik ke Prolog - Musim Dingin Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Catatan Penulis