Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid1 Bab04

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 4



Lelucon apaan nih!? Minta-minta ketemuan jam sembilan pagi pas akhir pekan! Walaupun begitu, tapinya, gue tetap aja ngayuh keras sepeda gue ke stasiun. Gue ga ada harapan banget deh!

Terletak di tengah kota, Stasiun Kitaguchi berfungsi sebagai penghubung penting rel kereta, dan setiap akhir pekan, alun-alun depan stasiun penuh sesak dengan para muda-mudi yang melihat-lihat. Selain pergi ke kota yang lebih besar, tak terlalu banyak yang bisa dilakukan di kota ini selain pergi ke mal dekat stasiun. Selalu memukauku bagaimana orang-orang bisa hidup normal di kota ini dengan begitu sedikit yang bisa dilakukan.

Menaruh sembarangan sepedaku di dekat pintu masuk bank yang tertutup, aku berlari ke pintu putar di gerbang utara stasiun. Masih ada lima menit sebelum jam sembilan, tetapi yang lain sudah pada datang.

Haruhi menolehkan kepalanya dan berkata.

"Kamu telat! Kamu harus didenda!"

"Tapi kan belum jam sembilan."

"Walau kamu ga datang telat, orang terakhir yang datang masih harus dihukum. Itu aturannya!"

"Kok bisa gue ga pernah tahu soal aturan itu sebelumnya?"

"Karena baru aja kupikirkan!"

Berpakaian T-shirt lengan panjang dan rok denim pendek, Haruhi terlihat sangat ceria.

"Kamu harus nraktir kita semua minum."

Bertolak pinggang dengan santai, Haruhi terlihat lebih mudah didekati daripada dia yang biasanya cemberut terus. Tak mampu berdebat, dengan patuh kusetujui perintahnya dan membimbing semuanya ke kafe terdekat.

Asahina-san memakai gaun terusan putih tanpa lengan dengan kaus rajutan biru muda di atasnya. Rambut panjang berombaknya diikat di belakang kepalanya dengan jepit rambut. Setiap kali dia berjalan, rambutnya bergoyang sedikit, membuatnya kelihatan manis. Senyumannya memberikan kesan wanita muda manis berbudaya baik. Bahkan tas tangannya pun kelihatan trendi.

Berdiri di sampingku, Koizumi memakai kemeja pink dengan jaket di atasnya, juga memamerkan dasi merah terang, membuatnya terlihat sangat formal. Aku merasa kesal tapi harus kuakui kalau dia terlihat agak keren, plus dia lebih tinggi dariku.

Nagato, seperti biasa, berdiri di belakang mengenakan seragam sailornya. Walaupun dia benar-benar melihat dirinya sendiri sebagai anggota Brigade SOS, secara teknis dia masih anggota Klub Sastra. Mendengarnya mengatakan semua hal-hal aneh kepadaku di malam itu membuatku semakin prihatin akan ekspresi tenangnya. Omong-omong, kenapa dia masih pakai seragam sekolah bahkan di akhir pekan?

Saat Si Misteri Lima berjalan memasuki kafe dekat bunderan dan duduk di kursi masing-masing, seorang pelayan mulai mencatat pesanan kita. Hanya Nagato yang mempelajari menu dengan serius -- masih kelihatan tanpa ekspresi, tentunya -- berlama-lama untuk memutuskan. Sejujurnya, waktu yang diperlukannya untuk memutuskan apa yang mau diminum cukup untuk memasak semangkuk ramen!

"Teh almond." Katanya pada akhirnya.

Sebenarnya sih ga masalah apa yang kamu pesan, ngomong-ngomong, abisnya kan aku yang bayar.



Haruhi membuat usul berikut ini:

Kami akan dibagi jadi dua kelompok. Bila salah satu dari kami menemukan sesuatu yang terlihat misterius, kami langsung mengontak satu-sama lain dengan HP lalu ketemuan untuk mendiskusikan apa tindakan selanjutnya. Setelah semuanya selesai, tanya-jawab akan diadakan untuk meninjau dan menyiapkan perkembangan lebih jauh.

Itu saja.

"Sekarang, yuk kita narik undian!"

Haruhi mengambil lima tusuk gigi dari tempat tusuk gigi, lalu dengan bolpoin yang dipinjam dari pelayan, dia menandai dua tusuk gigi. Dia lalu membungkuskan jari-jarinya ke sekeliling tusuk gigi untuk kami undi.

Aku menarik yang ada tandanya; begitu pula Asahina-san, yang berkata sambil melihat ke tusuk gigi bertandanya, "Hmmm, kombinasi yang luar biasa, ya..."

Untuk suatu alasan, Haruhi menatap dingin kepadaku dan Asahina-san, dan lalu menyahut, "Kyon, dengar kamu, ini bukan kencan! Yang serius, kamu ngerti?"

"OK sudah!"

Apa gue tadi baru ngeliatin pikiran gue ke dia ya? Apapun itu, ini mantap! Aku menari kegirangan di dalam hati saat kulihat Asahina-san yang menatap tusuk gigi bertanda sedang bersemu memerah hebat. Oh yes!

"Apa tepatnya yang kita cari?" Koizumi bertanya santai, sementara Nagato meminum tehnya secara metodis.

Menghabiskan tetes terakhir es kopinya, Haruhi mengibas rambut di belakang telinganya dengan ringan.

"Apa aja yang kelihatan mencurigakan. Apapun atau siapapun yang kelihatan aneh. Juga cari gerbang yang menuju dimensi lain dan alien yang nyamar sebagai manusia."

Hampir kusemburkan teh mint yang sedang kuminum. Aneh, kenapa Asahina-san punya ekspresi yang sama? Tentu aja, Nagato tetap sama seperti biasanya.

"Oh begitu." Kata Koizumi.

Loe yakin loe beneran ngerti?

"Jadi, yang kita perlu lakukan adalah mencari alien, penjelajah waktu dan esper dengan kekuatan supranatural, dan jejak yang mereka tinggalkan di bumi. Saya mengerti sepenuhnya." Kata Koizumi riang.

"Benar! Pintar juga kamu, Koizumi-kun! Seperti yang kamu bilang! Kyon, kamu harus belajar darinya!"

Berhenti ngasih makan egonya! Merasa kesal, kulihat Koizumi yang hanya tersenyum balik kepadaku dan mengangguk.

"Baiklah! Ayo jalan!"

Haruhi menyodorkan tagihannya kepadaku dan melangkah keluar dari kafe.

Walau aku sudah mengatakan ini berkali-kali, aku masih harus mengatakannya lagi:

"Ampun deh."



Ingat, ini bukan kencan! Kalau sampai ketahuan kamu senang-senang sama dia, kubunuh kamu! Begitulah Haruhi berkata, pergi dengan Koizumi dan Nagato. Kami masing-masing mengarah ke Timur dan Barat. Aku masih tidak mengerti apa yang seharusnya kita cari.

"Kita mesti ngapain ya?"

Asahina-san melihatku, menggenggam tasnya dengan kedua tangannya. Aku ingin pulang tapi tahu kalau itu mustahil. Jadi, aku pura-pura berpikir sejenak sebelum mengatakan, "Percuma cuman berdiri di sini doang, jadi yuk kita keliling-keliling."

"OK."

Asahina-san dengan patuh berjalan bersamaku. Dia sungkan saat berjalan di sampingku. Setiap kali dia tak sengaja tubrukan dengan bahuku dia akan tersentak mundur malu-malu. Dia terlihat begitu polos seperti itu. Kami menelusuri jalur di pinggir sungai dan tanpa tujuan ke arah utara. Kalau kami datang sebulan lalu, kami masih bisa menikmati bunga sakura yang mekar, tapi sekarang hanya jalan-jalan biasa di sepanjang sungai.

Karena ini tempat populer untuk jalan-jalan, banyak keluarga dan pasangan yang ikutan berjalan. Jika tidak ada yang tahu, mereka akan berpikir kami ini pasangan muda, dan bukan sekelompok yang sedang mencari sesuatu yang misterius.

Melihat ke pinggir sungai, Asahina-san bergumam pelan sendiri, "Ini pertama kalinya saya jalan-jalan kayak gini!"

"Maksudnya?"

"...Itu, dengan cowo, cuma duaan aja..."

"Kaget banget aku. Jangan-jangan kamu belum pernah jalan sama cowo sebelumnya?"

"Belum..."

Aku menghadap Asahina-san yang rambut lembutnya berkibar ringan oleh angin dan bertanya, "Wow! Tapi bukannya banyak cowo yang nembak kamu, kan?"

"Mm..."

Asahina-san malu-malu menundukan kepalanya. "Tapi, itu ga bisa. Saya ga bisa menjalin hubungan dengan siapapun, paling engga jangan sekarang..."

Dia jadi bungkam tiba-tiba. Selama aku menunggu dia melanjutkan, tiga pasangan bahagia melewati.

"Kyon-kun..."

Aku sedang menghitung jumlah dedaunan yang telah jatuh ke sungai saat Asahina-san memanggilku.

Asahina-san melihatku malu-malu bingung, dan lalu, memberanikan diri, dia berkata, "Saya punya sesuatu yang ingin kukatakan."

Matanya yang bulat, seperti mata rusa menampakan kebulatan tekadnya yang kuat.



Kami duduk di kursi taman di antara pepohonan sakura dan untuk waktu yang lama Asahina-san tidak berbicara. Dia menundukan kepalanya dan bergumam, "Darimana saya harus mulai ya? Saya ga pandai ngejelasin sesuatu. Mungkin dia ga bakalan percaya."

Akhirnya dia mengangkat kepalanya dan mulai berbicara dalam nada yang agak malu-malu. "Saya bukan dari waktu dan jaman ini. Saya orang dari masa depan. Saya ga bisa katakan kapan asal saya, atau dari bidang waktu yang mana. Toh saya ga bakalan bisa, meskipun saya ingin. Ngasih informasi apapun tentang masa depan dengan siapapun dari masa lalu amat dilarang -- dan oleh karena itu -- sebelum saya naik mesin waktu saya harus ngejalanin pengkondisian mental yang ketat. Bila saya berniat bilang sesuatu yang seharusnya ga boleh dikatakan, ingatanku akan informasi tersebut akan disegel."

Asahina-san mengambil nafas panjang dan melanjutkan, "Ga kayak air yang mengalir di sungai, tiap bingkai waktu terbentuk dari bidang datar dua dimensi yang berbeda."

"Kamu udah bikin bingung aku dari awal."

"Hmmm, gimana kalau gini, coba bayangin itu tuh kayak kartun. Pas kita nonton kartun kita ngeliat karakternya bergerak mulus tapi, sebenarnya, mereka semua kebentuk dari sejumlah urutan gambar yang diam. Sama halnya, waktu juga begitu, versi digital. Tapi kalo saya pakai urutan gambar diam sebagai penggambaran, mungkin kamu bisa lebih ngerti."

"Di antara satu bingkai waktu dengan yang lainnya ada yang disebut garis retakan temporal. Mereka benar-benar ada lho, meski frekuensi garis retakan mendekati nol; jadi, ga ada kesinambungan antara bingkai waktu yang berbeda. Perjalanan waktu adalah usaha untuk melakukan pergerakan tiga dimensi di antara bidang temporal dua dimensi. Buat saya yang udah datang dari masa depan ke bidang temporal ini, itu kayak nambahin objek ekstra, digambarin ke gambar diam. Kalaupun saya berusaha ngubah sejarah di jaman ini, ga bakalan ngaruh ke masa depan, sebab ga ada kesinambungan di antara bingkai waktu. Semuanya bakalan tetap di bidang temporal ini. Kayak nambahin beberapa kata di satu gambar diam dari ratusan gambar diam: cerita keseluruhannya ga bakalan kepengaruh, kan?"

"Waktu ga kayak sungai disini: setiap momen milik bidang temporal digital tertentu. Kamu ngerti sekarang?"

Aku ragu apakah akan kutaruh tanganku di dahiku, yang kemudian akhirnya kulakukan. Bidang temporal, digital. Istilah ini ga masalah buatku, tapi, ada apa dengan perjalanan waktu?

Asahina-san melirik sekilas ke jari-jari kaki di sandalnya dan melanjutkan, "Biar kukatakan alasan saya datang ke bidang temporal ini..."

Pasangan dengan anak kecil melewati kami pada saat itu.

"Tiga tahun lalu kami mendeteksi terjadinya gempa waktu yang besar. Hmmm, seharusnya sekitar tiga tahun sebelum hari ini, tepat ketika Suzumiya-san baru masuk SMP. Kami terkejut saat kami melintas mundur buat investigasi, karena kami ga bisa melintas lebih jauh ke masa lalu."

Kenapa mesti tiga tahun yang lalu lagi?

"Kami menyimpulkan kalo disana ada garis retakan temporal yang amat besar, tapi kami ga tahu kenapa cuman muncul pas bingkai waktu tertentu itu aja. Baru-baru ini aja kami nemu alasan...maaf, maksudku baru-baru aja untuk di jaman saya datang."

"...Dan kenapa tuh?"

Pelakunya ngga mungkin dia, kan?

"Itu karena Suzumiya-san."

Asahina-san mengucapkan kata yang tak ingin kudengar.

"Dia terletak tepat di tengah-tengah dimensi keempat. Mohon jangan tanya kenapa, karena itu dilarang, jadi saya ga bisa ngasih tau kamu. Namun, kami yakin kalau Suzumiya-sanlah yang udah ngeblok jalur buat ngelintas ke masa lalu."

"...Kayaknya Haruhi ga bisa ngelakuin itu deh..."

"Tadinya saya kira juga begitu. Jujur aja, mustahil manusia normal ngehalang-halangin bidang-bidang temporal. Ini masih misteri tak terpecahkan, dan Suzumiya-san sendiri ga sadar kalau dia itu sumber dari semua distorsi temporal dan gempa waktu. Saya datang ke sisi Suzumiya-san biar saya bisa ngamatin dari dekat semua perubahan baru di bidang temporal... Maafin saya, saya ga bisa nemuin kata-kata yang tepat buat ngejelasin ini, bilang aja saya ini lagi ngurusin surveillance."

"....." aku terlalu kelu untuk menanggapi.

"Kamu ga percaya sama saya, ya?"

"Ngga...benar, jadi kenapa kamu bilang ini ke aku?"

"Karena kamu udah dipilih sama Suzumiya-san."

Asahina-san berputar dan menghadapiku.

"Saya ga bisa ngejelasin detailnya. Tapi, kalo saya nebaknya benar, kamu itu orang sangat penting bagi Suzumiya-san. Ada alasannya untuk setiap perbuatannya."

"Jadi Nagato-san dan Koizumi..."

"Mereka mirip denganku, tapi Suzumiya-san masih ga sadar kalau dialah yang ngumpulin kami ke sisinya."

"Jadi kamu tahu mereka itu apa?"

"Itu informasi rahasia."

"Apa yang bakal terjadi kalau kita cuman ninggalin Haruhi sendirian?"

"Informasi rahasia."

"Karena kamu dari masa depan, seharusnya kamu tau apa yang bakalan terjadi selanjutnya, kan?"

"Informasi rahasia."

"Apa yang terjadi kalau aku bilang ke Haruhi semua ini?"

"Informasi rahasia."

"..."

"Maafkan saya, saya benar-benar ga bisa ngasih tau kamu. Apalagi sekarang-sekarang ini, karena saya ga punya hak untuk itu."

Kata Asahina-san dengan paras maaf di wajahnya.

"Ga masalah kalaupun kamu ga percaya sama saya; saya cuman pengen kamu tau soal ini."

Aku ingat pernah ngedenger hal yang sama dikatakan di dalam apartemen yang membosankan, yang sepi.

"Maafkan saya."

Melihatku terdiam, Mata Asahina-san terlihat depresi memerah.

"Saya sungguh minta maaf, karena tiba-tiba ngomongin semua ini kepadamu."

"Ga papa, beneran..."

Pertama ada Nagato yang ngomong ke gue kalo dia itu Antarmuka Manusia Buatan Hidup bikinan alien, sekarang ada Asahina-san yang ngaku kalo dia dari masa depan. Gimana gue bisa percaya begituan? Seseorang, tolongin gue!

Saat kutaruh tanganku di kursi, tak sengaja kusenggol tangan Asahina-san. Meskipun aku hanya menyapu ringan jari-jari mungilnya, Asahina-san menarik jari-jarinya secepat kilat dan menundukan kepalanya.

Kami lalu menatap sungai dalam diam.

Waktu berlalu.

"Asahina-san."

"Ya...?"

"Bisa kuanggap percakapan ini ga pernah terjadi? Masalah apakah aku percaya kamu atau tidak, kita dikesampingkan dulu untuk sekarang."

"OK."

Sebuah senyum muncul dari wajah Asahina-san. Senyuman yang amat cantik.

"Selama semuanya berjalan, ini solusi terbaik. Tolong perlakukan saya seperti biasanya, saya mengandalkanmu."

Mengatakan itu, Asahina-san membungkuk dalam-dalam kepadaku. Woi, ga perlu lah sampai sebegitunya.

"Bisa kutanya satu hal?"

"Apa itu?"

"Tolong beritahu umurmu sebenarnya?"

"Informasi rahasia~"

Asahina-san tersenyum nakal.

"Informasi rahasia~"



Sesudah itu, kami jalan-jalan di sekitar jalanan. Meski seruan Haruhi untuk tidak pergi kencan, aku tidak bermaksud untuk menaatinya. Kami pergi melihat-lihat etalase toko-toko mode di mall, asyik makan es krim, dan lihat-lihat kios suvenir di pinggir jalan...hal yang biasa dilakukan pasangan untuk mengisi waktu luang. Bakalan sempurna kalau aja kita bisa saling pegangan tangan...

Pada saat ini HPku berdering: Haruhi menelpon.

"Kita kumpul lagi pas tengah hari, di stasiun dimana kita ketemuan pagi ini."

Dia langsung menutup setelah mengatakan itu. Kulihat jam tanganku, dan sudah pukul sebelas lebih limapuluh. Mana mungkin bisa keburu!



"Tadi itu Suzumiya-san? Dia bilang apa?"

"Dia bilang kita harus kumpul lagi pas tengah hari, jadi mendingan kita buru-buru!"

Kugenggam tangan Asahina-san, tahu bahwa kita tak ada peluang sampai tengah hari kecuali kami lari, dan kami lepas-landas berlari menuju stasiun. Reaksi Haruhi apa ya, kalo dia ngeliat kami lari-lari sambil gandengan tangan? Gue kepengen tau. Kayaknya dia bakalan jadi gila.

"Jadi, ada hasil?" Haruhi menanyai kami, saat kami sampai.

Kami terlambat sepuluh menit, dan itu hal pertama yang Haruhi katakan saat dia melihat kami. Dia kelihatannya agak marah.

"Kamu nemu sesuatu ga?"

"Ga ada."

"Kamu nyari ga sih? Kamu ga cuman keluyuran saja, ya kan? Kalo Mikuru-chan gimana?"

Asahina-san menggelengkan kepalanya.

"Terus kalian nemu apaan aja?"

Haruhi terdiam. Koizumi, berdiri di belakangnya, menggaruk kepalanya, sementara Nagato berdiri tak bergerak.

Setelah sejenak tak seorangpun yang berkata apapun Haruhi hampir-hampir menggeram, "Kita makan siang dulu terus kita lanjutin abis itu."

Loe masih pengen lanjut!?



Ketika kami sedang makan siang di restoran burger, Haruhi berkata kalau ini waktunya mengundi lagi, dan mengeluarkan beberapa tusuk gigi ekstra yang dicolongnya dari kafe sebelumnya tadi pagi. Dia benar-benar sudah sangat siap!

Koizumi dengan gesit mengambil sebuah tusuk gigi.

"Tiada tanda lagi."

Gigi yang putih sekalee! Gue ngerasa nih cowo senyam-senyum melulu!

"Yang saya juga gitu."

Asahina-san menunjukanku tusuk gigi yang baru diambilnya.

"Kalo Kyon-kun gimana?"

"Sayang, punyaku ada tandanya."

Haruhi tampaknya semakin dan makin masam dan menggegaskan Nagato menarik tusuk gigi.

Pada akhirnya, Nagato dan aku berkelompok bersama, sementara tiga sisanya di kelompok lainnya.

"..."

Haruhi memelototi ke tusuk gigi tak bertandanya bagai menatap orang yang telah membunuh ayahnya, lalu menoleh padaku dan Nagato, yang sibuk memakan chesseburgernya, dan mengernyit.

Kenapa loe marah banget sih?

"Kita ketemuan di depan stasiun jam empat. Pastiin nemuin sesuatu sebelum itu!"

Dia menghabiskan minumannya dalam satu tegukan, setelah mengatakan itu.



Kali ini kami pergi ke Selatan dan Utara, dengan kelompokku yang menangani bagian Selatan. Sebelum kita berpisah, Asahina-san melambaikan salah satu tangan mungilnya ke arahku. Membuatku merasa begitu hangat!

Sekarang hanya ada aku dan Nagato berdiri bengong di depan stasiun yang sibuk.

"Kita ngapain ya sekarang?"

"....." Nagato tak berkata apa-apa.

"...Yuk jalan."

Aku melangkah maju, dan mendapati kalau dia mulai mengikuti. Tampaknya aku mulai terbiasa bergaul dengannya sekarang.

"Nagato, soal hal yang kau omongin ke aku kemaren-kemaren..."

"Ada apa dengan itu?"

"Aku mulai percaya dikit."

"Begitukah?"

"Ho oh."

"....."

Jadi dibawah suasana kosong kami berjalan dengan diam di sekitar stasiun.

"Bukannya kamu punya pakaian kasual?"

"....."

"Pas liburan kamu biasanya ngapain?"

"....."

"Kamu lagi senang sekarang?"

"....."

Begitulah bagaimana percakapan kami berlangsung di hari itu.

Tiada gunanya jalan keliling-keliling tanpa tujuan jadi aku membawa Nagato ke perpustakaan baru di pinggir laut yang dibangun bersamaan dengan pihak berwenang membangun lahan untuk stasiun. Aku belum pernah masuk sebelumnya, karena aku jarang pinjam buku. Namun, kupikir aku bisa istirahat saat kita sampai di dalam, hanya untuk mendapati semua kursi sudah diisi. Orang-orang ini mungkin juga tidak punya tempat lain untuk didatangi di waktu luang mereka. Kulihat sekilas sekeliling perpustakaan, tampaknya agak bingung, sementara Nagato sudah hanyut menuju ke lemari buku seolah-olah dia sedang tidur berjalan. Biarin dia mau ngapain aja deh!

Dulu aku sering membaca. Ketika aku masih SD, dulu ibuku sering memimjam buku bergambar dari bagian buku anak-anak untuk kubaca. Disana ada semua jenis buku, tapi aku ingat semua yang kubaca agak menarik. Namun, aku tak bisa mengingat nama-namanya lagi. Kapan ya gue berhenti baca? Kapan ya baca itu jadi ngebosenin buat gue?

Kuambil sembarang buku dari lemari buku dan membolak-balik cepat beberapa halaman, sebelum mengembalikannya lagi dan lalu mengambil buku lainnya. Butuh waktu selamanya buat gue untuk nemu buku menarik di lautan buku ini, kalo gue ga lagi belajar sih. Berpikir seperti itu, aku keluyuran di antara lemari buku, tanpa tujuan.

Saat aku menuju mencari Nagato, kutemukan dia membaca di depan lemari buku yang berbuku hardcover tebal-tebal. Dia emang cinta berat sama buku hardcover tebal!

Akhirnya, setelah melihat seorang lelaki yang membaca koran meninggalkan kursinya, aku pergi dan duduk, membawa novel yang asal kuambil. Mustahil mencoba baca buku yang tak pernah kuniatkan untuk kubaca. Sejenak kemudian, kudapati diriku semakin mengantuk, dan jatuh tertidur.

Pada saat itu kantong celanaku tiba-tiba bergetar.

"HUAH!?"

Aku loncat terkejut. Ketika kulihat semua orang mengernyit padaku, aku ingat aku ada di perpustakaan. Mengelap iler di wajahku, aku lari keluar perpustakaan dan menjawab telepon genggamku, yang di set ke mode getar.

"Kamu idiot! Kamu lagi ngapain aja!?"

Suara memekakkan meraung menembus telingaku. Berkat itu aku bangun dari rasa kantukku.

"Kamu pikir sekarang jam berapa?"

"Sori, gue baru aja bangun barusan!"

"Apa!? Dasar bego!"

Loe tuh dibawah kualifikasi buat manggil gue bego!

Kulihat jam tanganku dan sudah jam setengah lima. Dia bilang kalau kita kumpul lagi jam empat!

"Pindahin pantatmu kesini segera! Aku kasih waktu tiga puluh detik!"

Berhenti napa bikin tuntutan yang mustahil buat dipenuhin!

Setelah Haruhi menutup telepon dengan kasar, kusimpan kembali teleponku di kantungku dan kembali ke perpustakaan. Disana kudapati Nagato masih berdiri di situ, membaca yang tampaknya seperti ensiklopedi tebal.

Yang selanjutnya sedikit rumit. Membutuhkan waktu agak lama berusaha mengerakkan Nagato -- yang kelihatannya berakar di tempat -- dan kemudian kami harus pergi ke loket untuk mengisi formulir untuk meminjam buku tersebut. Selama waktu itu aku membiarkan semua panggilan telepon Haruhi.

Ketika kami kembali ke stasiun, dengan Nagato membawa buku filosofi tebal seperti barang yang begitu berharga, ditulis oleh penulis asing yang namanya sangat sulit disebut, tiga orang yang menunggu tersebut punya reaksi yang berbeda-beda. Asahina-san, terlihat amat kelelahan, tersenyum dengan desahan lega; Koizumi mengangkat bahunya seperti idiot; sementara Haruhi membentak seakan-akan dia baru saja minum sup dingin.

"Kamu telat; bayar dendanya!"

Gue harus nraktir kalian lagi?



Akhirnya, kami akhiri kegiatan luar-ruangan hari ini, setelah membuang-buang waktu kami dan uangku.

"Saya capek banget! Suzumiya-san jalan cepet banget jadi saya sulit ngikutin." kata Asahina-san padaku saat kami berpisah, dan kemudian dia berbisik di telingaku, "Makasih udah ngedengerin apa yang kuomongin hari ini." Kemudian dia merendahkan kepalanya dan tersenyum malu-malu.

Apa semua orang dari masa depan itu senyumnya elegan banget ya?

"Kalo gitu, dadah!" Asahina-san melambaikan perpisahan dan pergi. Koizumi perlahan menepuk bahuku dan berkata, "Hari ini menyenangkan! Saya bilangnya mesti bagaimana ya? Suzumiya-san benar-benar orang yang amat menarik. Sangat disayangkan saya tidak bisa bersama anda hari ini, mungkin kali lain."

Setelah Koizumi pergi dengan serangainya yang menyebalkan, kutemukan Nagato sudah pergi saja.

Tinggal Haruhi yang menatapku.

"Kamu ngapain aja seharian ini?"

"Hmm, gue ngapain aja ya seharian ini?"

"Kamu ngga bisa terus kayak gini!"

Kayaknya dia jengkel banget.

"Oh ya, kamu gimana? Kamu nemu sesuatu yang menarik?"

Haruhi menggigit bibirnya dan tak berkata apa-apa. Kalau aku tak menghentikannya, dia akan terus menggigitnya sampai bibirnya berdarah.

"Yah, ga mungkin mereka ceroboh banget dan ngebiarin kamu nemuin mereka dalam satu hari."

Melihatku berusaha mencerahkan suasana, Haruhi cepat-cepat memalingkan pandangannya.

"Kita adakan tanya-jawab lusa, di sekolah."

Haruhi berbalik dan berjalan menuju keramaian, tanpa melihat ke belakang.

Dengan pikiran akhirnya bisa pulang ke rumah, aku kembali ke bank, hanya untuk mendapati sepedaku hilang. Menggantikannya adalah tanda di tiang lampu yang bertuliskan, "Sepeda anda telah diderek sebagai hasil parkir tanpa ijin."


Balik ke Bab 3 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 5