Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ilustrasi berwarna berikut ini dimasukkan dalam Jilid 1, kepemilikan oleh Itou Noizi (いとうのいぢ).



Prolog[edit]

Sejak kapan aku berhenti percaya Sinterklas? Sejujurnya, pertanyaan bodoh semacam ini benar-benar tak ada artinya buatku. Namun, jika maksudmu itu bertanya kapan aku berhenti percaya kalau orang tua berkostum merah itu Sinterklas, maka, dengan penuh percaya diri aku bisa bilang, "gue ga pernah percaya sama Sinterklas, satu kali pun". Aku tahu Sinterklas yang muncul di pesta natal TK itu palsu, dan, baru kepikiran sekarang, semua teman sekelasku juga berbagi tatapan tak percaya yang sama saat melihat guru kami pura-pura jadi Sinterklas. Walau aku tak pernah melihat mommy kissing Santa Claus, aku sudah cukup bijak untuk curiga soal keberadaan orang tua yang hanya bekerja di malam Natal.

Tapi, butuh waktu agak lama bagiku untuk menyadari kalau alien, penjelajah waktu, hantu, monster dan esper yang seperti di dalam anime penuh efek 'orang baik versus organisasi jahat' itu sebenarnya juga tidak ada. Tidak, tunggu, aku mungkin memang menyadarinya, hanya aku tak mau mengakuinya. Jauh di lubuk hatiku, aku masih ingin agar alien, penjelajah waktu, hantu, monster, esper dan organisasi jahat itu tiba-tiba muncul. Dibandingkan dengan hidupku yang membosankan, normal-normal saja ini, dunia pertunjukan yang gemerlap itu lebih mengasyikkan; aku juga pengin hidup di dunia seperti itu!

Aku ingin jadi orang yang menyelamatkan gadis yang diculik alien dan dipenjarakan di benteng berbentuk mangkok. Aku ingin menjadi orang yang menggunakan keberanian, kecerdikan dan pistol laser kepercayaanku untuk melawan penjahat dari masa depan yang mencoba mengubah sejarah untuk keuntungan mereka. Aku ingin jadi orang yang dapat mengusir setan dan monster dengan sebuah mantra, bertempur melawan mutan atau paranormal dari organisasi jahat dan terlibat dalam perkelahian telepatis.

Tapi, tunggu, tenang. Jika aku betul-betul diserang alien atau apalah itu, gimana mungkin aku bisa melawan mereka? Aku tak punya kekuatan spesial apapun!

Nah gini, gimana kalau gini: pada suatu hari, seorang murid baru yang misterius pindah ke kelasku. Tapi dia itu sebenarnya alien dari masa depan, dan dia punya kemampuan telepatis. Saat dia bertempur dengan penjahat, yang perlu kulakukan hanya cari cara biar aku bisa terlibat di dalam pertempurannya. Dia yang akan mengurus semua perkelahian dan aku cukup jadi jongos konconya. Ya Tuhan, ini mantap, gue pintar banget!

Atau mungkin, kalau yang itu tidak bisa, gimana kalau gini: suatu hari, sebuah kekuatan aneh dalam diriku tiba-tiba bangkit, misalnya seperti telekinesis atau kemampuan supranatural lain. Aku menyadari kalau ada banyak orang lain di dunia ini yang juga punya kemampuan yang mirip, dan, kemudian, sejenis komunitas paranormal merekrutku. Aku akan jadi bagian dari organisasi ini dan melindungi bumi dari mutan-mutan jahat.

Sayangnya, kenyataan itu ternyata kejam... Tidak ada murid pindahan di kelasku. Aku tak pernah melihat UFO. Ketika aku mendatangi tempat yang katanya ada hantunya, tak muncul apa-apa. Dua jam tatapan tajam tidak membuat pensilku bergerak satu milimeter pun, dan melotot ke kepala teman sekelasku juga tak mengungkapkan apa isi pikirannya kepadaku. Aku tak bisa apa-apa kecuali jadi depresi terhadap bagaimana normalnya hukum fisika. Aku mulai berhenti mencari UFO dan memperhatikan acara paranormal TV soalnya aku akhirnya meyakinkan diriku kalau hal-hal tersebut adalah mustahil. Bahkan aku sampai pada titik dimana aku merasa rindu pada hal-hal tersebut.

Setelah SMP, aku benar-benar terlepas dari dunia fantasi tersebut dan jadi sama sekali berdasar pada realitas. Tak terjadi apapun pada tahun 1999, walau aku terus berharap, hanya sedikit, agar sesuatu terjadi; umat manusia belum kembali ke bulan atau pun pergi lebih jauh. Kurasa, dari yang terlihat sekarang ini, aku pasti sudah lama mati sebelum kamu bisa pesan tiket pulang-pergi dari bumi ke Alpha-Centauri.

Dengan macam-macam pikiran pejalan-kaki itu di benakku, aku jadi murid SMA yang normal, yang santai. Begitulah, sampai di hari aku bertemu Suzumiya Haruhi.



Bab 1[edit]

Setelah aku masuk SMA dekat rumah, langsung saja kusesali, karena sekolah yang kudatangi itu duduk di atas bukit yang tinggi, yang terjal. Bahkan saat musim semi, aku menjadi gerah dan keringatan hanya karena mendaki jalan yang rasanya seperti mendaki gunung. Setiap kali kuingat ini, dan fakta bahwa untuk tiga tahun kedepan aku harus mengulang hal yang sama setiap pagi, aku sudah merasa capek dan muram lagi. Aku agak kesiangan hari ini, dan mungkin karena itulah aku berjalan agak cepat, atau barangkali karena itulah aku sangat lelah. Bisa saja aku bangun 10 menit lebih cepat, tapi seperti yang kalian semua tahu, tidur terbaikmu adalah tepat sebelum waktu bangun. Aku tak ingin menyia-nyiakan 10 menit yang berharga itu. Jadi kusadari aku memang takkan bisa bangun pagi, yang berarti aku harus mengulang latihan pagi ini selama tiga tahun ke depan. Ini terlalu menyedihkan.

Itu adalah alasan muka cemberutku waktu upacara penerimaan murid baru. Semua orang di dalam aula besar berparas ‘memulai perjalanan baru’ yang tak berguna di muka mereka. Kalian tahu lah, paras unik: penuh harapan, namun juga penuh ketakpastian yang setiap murid baru kenakan saat mereka masuk ke sekolah baru. Untukku, tidak begitu — banyak teman sekelas dari SMP-ku dulu yang juga masuk sekolah ini. Singkatnya, beberapa temanku juga ada di sini. Jadinya, aku tak terlihat secemas — atau segembira — orang lain.

Laki-laki pakai jas blazer, dan perempuannya pakai seragam sailor. Wow, kombinasi yang lumayan aneh ya. Kali si kepala sekolah yang lagi ngasih ceramah monoton punya semacam fetish sama seragam sailor. Saat aku berpikir hal tak berguna ini, upacara bodoh ini akhirnya selesai. Aku, bersama teman-teman tak-begitu-menyambut sekelas yang baru, masuk ke ruang kelas 1-5.

Guru wali kelas kami, Okabe-sensei, dengan senyuman berlatih-selama-satu-jam-di-depan-cermin dia, berjalan ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Pertama-tama dia berkata bahwa dia adalah guru olahraga, dan pelatih tim handball. Terus, dia lanjut ke hari-hari silam, seperti bagaimana, dulu ketika dia masih mahasiswa, dia pernah main handball di sebuah tim, bahkan memenangkan kejuaraan, dan bagaimana sekolah ini kurang sekali pemain handball, jadi siapapun yang masuk tim akan langsung jadi reguler. Dan lalu, dia melanjutkan tentang bagaimana handball itu olahraga yang paling menarik di dunia, dan seterusnya dan sebagainya, sebagainya, sebagainya. Tepat ketika aku berpikir dia takkan pernah berhenti, tiba-tiba dia berseru:

“Sekarang, kenapa kalian tidak memperkenalkan diri satu-satu?”

Hal semacam ini memang sudah diduga, jadi aku tidak benar-benar kaget.

Satu demi satu, anak-anak yang ada di sebelah kiri kelas mulai memperkenalkan diri mereka. Mereka mengacungkan tangan, lalu mengumumkan nama, asal sekolah mereka, dan hal sepele lainnya, seperti hobi atau makanan favorit. Sebagian bergumam melewatinya, beberapa memperkenalkan diri dengan menarik, sementara beberapa mencoba menceritakan lelucon garing yang menurunkan suasana ruangan. Saat orang lain memperkenalkan diri mereka, giliranku makin mendekat. Aku mulai gugup! Pastinya kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu, kan?

Setelah aku berhasil menyelesaikan perkenalan yang kupikir baik-baik, yang pendek tidak gagap sebaik-baiknya yang kubisa, aku duduk, merasa lega setelah selesai melakukan sesuatu yang tak menyenangkan tapi tak terelakkan. Orang di belakangku berdiri untuk gilirannya dan — ah, mungkin aku takkan pernah lupa seumur hidupku — mengucapkan kata-kata yang akan jadi legenda.

“Namaku Suzumiya Haruhi, aku lulus dari SMP East.”

Sampai sini perkenalannya masih normal, jadi aku pun tak perlu repot menengok ke belakang untuk melihat. Aku hanya menatap ke depan dan mendengar suara renyahnya.

“Aku ga ada minat sama orang biasa. Kalau diantara kalian ada alien, penjelajah waktu, slider, atau esper, silakan, temui aku! Itu aja.”

Mendengar hal tersebut, aku tak bisa tidak menengok.

Dia memiliki rambut hitam panjang. Wajahnya yang manis dipenuhi dengan rupa berani dan menantang saat seluruh kelas menatapnya. Kesungguhan dan ketetapan hatinya bersinar melalui mata berkilaunya dan alis matanya yang panjang. Bibir tipisnya tertutup rapat. Inilah kesan pertamaku pada gadis ini.

Aku masih ingat sebagaimana berkilaunya leher putihnya — berdiri dis ana adalah kecantikan yang menakjubkan.

Haruhi, dengan mata provokatifnya, pelan-pelan mengamati kelas, berhenti untuk untuk memelototiku (mulutku terbuka lebar), dan lalu duduk tanpa banyak tersenyum.

Tadi itu ngelucu ya?

Ketika itu aku yakin di pikiran semua orang dipenuhi dengan tanda tanya, dan semuanya bingung apa seharusnya reaksi mereka. “Gue harus ketawa?” tiada yang tahu.

Nah, dilihat dari kesimpulannya, itu bukan lelucon ataupun bahan tertawaan, karena Haruhi tak pernah berkata semacam itu.

Dia selalu serius.

Ini berdasarkan pengalaman masa laluku — jadi tak bisa salah.

Setelah sunyi gaib melayang ke sekeliling ruang kelas selama sekitar tiga puluhan detik, guru wali kelas, dengan ragu-ragu, mengisyaratkan murid selanjutnya untuk melanjutkan, dan suasana tegang terangkat.


Begitulah cara kami bertemu pertama kali satu sama lain.

Dengan khidmat aku bersumpah— aku pengin sekali percaya kalau ini semua hanya kebetulan.



Setelah menarik perhatian semua orang di hari pertama, Haruhi kembali jadi gadis SMA lugu.

Ini adalah saat tenang sebelum badai! Aku akhirnya mengetahui semua itu sekarang.

Omong-omong, semua murid di sekolah ini datang dari salah satu dari keempat SMP di kota ini — orang-orang dengan nilai ujian biasa-biasa saja. Termasuk, tentu saja, SMP East; Oleh karena itu, seharusnya ada murid yang lulus bareng Haruhi yang tahu arti kebisuan Haruhi. Tapi sayangnya, aku tak kenal seorang pun murid lulusan SMP East; Makanya, tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan padaku seberapa seriusnya situasi ini. Akibatnya, beberapa hari setelah perkenalan yang konyol itu, aku melakukan sesuatu hal yang sangat bodoh — aku mencoba mengajaknya bicara sebelum pelajaran dimulai!

Domino ketidakberuntunganku sudah mulai berjatuhan, dan akulah orang yang mendorong blok pertama.

Jadi begini, ketika Haruhi duduk diam di kursinya, dia terlihat seperti gadis manis yang normal. Lagipula, aku memang seharusnya duduk di depannya, dan kupikir supaya sekalian juga bisa dekat dengannya. Aku benar-benar berpikir ini akan berhasil. Naif sekali aku. Seseorang, tolong dong, pukul aku biar sadar.

Tentu saja, aku memulai percakapannya dengan insiden waktu itu.

“Hei!”

Kuputar kepalaku ke belakang, dengan senyuman santai di wajahku.

“Hal yang kamu sebutin pas perkenalan itu, semuanya serius tuh?”

Dengan tangan terlipat di dadanya, bibir tertutup rapat, Suzumiya Haruhi mempertahankan postur tak ramahnya, lalu menatap langsung ke mataku.

“Hal macam apa?”

“Hal soal alien dan semua itu lho.”

“Apa kamu alien?”

Dia terlihat serius.

“...bukan, tapi—”

“Kalo kamu bukan, terus, kamu mau apa?”

“...Engga, engga apa-apa.”

“Kalau gitu, jangan ngomong denganku. Kamu buang-buang waktuku aja”

Pandangannya dingin sekali hingga kudapati diriku menggagapkan ”maaf” sebagai balasannya, bahkan sebelum aku menyadarinya. Suzumiya Haruhi lalu melepaskan tatapannya dariku dengan penuh kehinaan, dan mulai mengernyit ke papan tulis.

Tadinya aku mau balas bicara satu atau dua kalimat, tapi aku tak bisa berpikir apapun yang baik untuk diucapkan. Untunglah, pada saat itu, guru wali kelas datang ke ruang kelas, dan aku terselamatkan.

Bingung, kuputar kepalaku kembali ke mejaku. Lalu aku sadar ada beberapa teman sekelas sedang melihatku dengan paras tertarik pada wajah mereka. Setelah aku balik memandang mereka, bagaimanapun juga, aku menyadari kalau mereka punya ekspresi yang sama pada wajah mereka seolah-olah mereka mau bilang, "engga heran". Beberapa dari mereka bahkan menganggukan kepala merasa simpati.

Entah bagaimana aku merasa terganggu! Tapi kemudian, aku jadi tahu bahwa mereka semua itu lulusan SMP East.



Mengingat kontak pertamaku dengan Haruhi berakhir buruk tiada hasil, kusadari aku harus jaga jarak dengannya sementara ini, demi keselamatan. Dengan pikiran seperti itu, satu minggu pun berlalu.

Tapi tetap saja, selalu saja ada orang-orang naif yang ingin mengobrol dengan Suzumiya Haruhi, yang selalu mengerutkan alisnya dan mengerucutkan bibirnya.

Kebanyakan dari mereka itu cewek-cewek rewel yang hanya ingin membantu teman perempuan sekelas yang kesepian. Ini hal yang baik, tapi, paling tidak mereka seharusnya memgecek target mereka dulu sebelumnya!

“Hai, kamu nonton sinetron ga semalem? Yang jam 9 itu lho.”

“Engga.”

“Eh, kenapa engga?”

“Sapa peduli.”

“Kamu harus nonton deh. Nonton dari tengah-tengah juga, ga bakalan jadi pusing. Perlu kuceritain cerita sebelum-sebelumnya?”

“Sekarang, pergi sana. Kamu ngeganggu!”

Yah, begitulah kejadiannya.

Kasar dan tak berekspresi. Seharusnya dia bisa saja memperlihatkan mereka satu ons tata krama! Caranya itu hanya akan membuat si korban percaya bahwa dia melakukan kesalahan. Pada akhirnya mereka tak punya pilihan selain berkata, “Gitu yah... kalau gitu, aku...”, dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku salah omong ya?”, sebelum merengek pergi.

Ga usah sedih gitu; kamu ga salah. Masalahnya ada pada otak Suzumiya Haruhi, bukan kamu.



Walau aku tak keberatan makan sendirian, aku tak ingin orang lain berpikir aku ini penyendiri sementara yang lain asik makan siang bersama teman mereka. Itulah kenapa aku makan siang bersama Kunikida, teman satu SMP-ku dulu dan cowok bernama Taniguchi dari SMP East, yang bangkunya dekat denganku.

Dan akhirnya, kebetulan kami bergosip soal Haruhi.

“Lo nyoba ngobrol ama Suzumiya, kan?” tanya Taniguchi tiba-tiba.

Aku mengangguk.

“Dan, terus, dia ngomong soal hal-hal aneh dan ngehina lo dengan dingin?”

Bener banget.

Taniguchi menaruh potongan telur rebus ke dalam mulutnya, mengunyah, lalu berkata, mulutnya penuh:

“Kalau lo tertarik sama tuh cewek, gue ga bakalan cerewet soal itu. Yang bisa gue saranin cuman, 'Lupain aja!' Loe harusnya udah tahu sekarang — yeah, dia itu sinting.”

Dia menambahkan bahwa dia sekelas denganya tiga tahun berturut-turut, dia mengenalnya baik sekali. Lalu, dia mulai menceritakan anekdot tentangnya.

”Tingkah lakunya itu ga masuk di akal. Gue tadinya pikir paling engga dia bakalan berusaha ngontrol dirinya sendiri begitu masuk SMA, tapi ternyata, engga tuh. Lo denger perkenalannya, kan?”

“Maksudmu soal alien itu?”

Kunikida, yang sedang sibuk memisahkan tulang dari ikan gorengnya, menyela.

”Benar, yang itu. Bahkan pas SMP, dia selalu ngomong dan ngelakuin banyak hal aneh. Ya, gue jadi inget -- insiden vandalisasi sekolah, contohnya!”

“Apa tuh?”

“Loe tahu alat yang dipake buat ngegambar garis dengan kapur putih, kan? Apa namanya ...yah, pokoknya itu, suatu malam dia nyelinap ke sekolah, dan, dengan tuh alat, ngegambar piktogram yang besar banget di tengah-tengah lapangan atletik.”

Taniguchi mulai menyeringai — mungkin dia lagi mengenang kejadian itu.

“Ngagetin gue banget! Gue pergi ke sekolah pagi-pagi, dan gue lihat ada lingkaran dan segitiga gede di tanah. Gue ga tahu apa tuh maksudnya, jadi gue pergi ke lantai empat biar dapet pandangan lebih luas. Itupun ga membantu — gue masih ga tahu itu simbol apaan.”

“Ah, kayaknya saya pernah ngeliatnya. Kayaknya di koran juga ada cerita itu? Ada gambar yang diambil dari udara! Simbol itu kelihatannya kayak garis-garis Nazca yang rusak.” Kata Kunikida.

Gue ga pernah denger yang kayak begituan.

“Iya! Gue tau! Judulnya kalo ga salah ‘Bentuk misterius di Lapangan Lari SMP’, ya? Yah, coba tebak siapa yang ngelakuinnya?”

“Jangan bilang kalo itu dia.”

“Dia sendiri ngaku kok, jadi ga salah lagi. Tentu aja, ngagetin para guru. Dia dipanggil ke kantor kepala sekolah. Semua guru ada di sana dan mereka semua menginterogasinya.”

“Terus, kenapa dia ngelakuin itu?”

“Menegetehe”, jawab Taniguchi datar, sambil berusaha menelan semulut penuh nasi.

“Gue denger dia nolak ngomong apapun. Jelas aja, pas dia melototin elo, lo cenderung nyerah sama apapun yang mau lo omongin. Beberapa bilang dia ngegambar simbol itu buat manggil UFO, yang lain bilang kalo itu tuh simbol magis dan digunain buat manggil setan, atau dia lagi nyoba ngebuka gerbang ke dunia paralel segala lah, bla-bla-bla Banyak spekulasinya, tapi selama si pelaku nolak berbicara, kita mungkin ga bakalan pernah tahu apakah rumor itu bener atau engga. Sampai hari ini, masih jadi misteri.”

Karena beberapa alasan, gambaran Haruhi, dengan rupa serius, sibuk menggambar garis di tengah-tengah lapangan sekolah di malam hari, melayang-layang di benakku. Dia pasti sebelumnya ngambil alat gambar dan bubuk kapurnya dari gudang penyimpanan; bahkan mungkin juga dia bawa lampu senter! Di bawah temaramnya lampu kuning Suzumiya Haruhi mungkin terlihat suram, kalo ga tekun... OK, ini cuman imajinasi gue aja.

Tapi, jujur aja, keliatannya Suzumiya Haruhi benar-benar mengharapkan UFO atau monster, atau bahkan gerbang dimensi, buat muncul. Dia mungkin kerja keras semalam penuh di lapangan, tapi, karena ga ada yang muncul, yang tersisa padanya hanyalah depresi, pikirku sendiri.

“Bukan cuman itu doang!”

Sekarang Taniguchi selesai makan siang, dan sedang membereskan bangkunya. Dia melanjutkan:

“Pas gue dateng ke kelas pagi-pagi dan nemuin semua meja udah dikeluarin ke koridor, dan ada gambar bintang-bintang gede di atap sekolah. Kali lain, dia keliling ga jelas ke sekitar sekolah nempelin O-fuda di mana-mana... lo tahu kan, jimat itu, kayak yang ditempelin di jidatnya vampir cina. Gue bener-bener ga ngerti dia.”

Betul, Suzumiya Haruhi sedang tidak ada di kelas saat itu, kalau tidak kami takkan mengobrol tentang ini. Tapi juga, kalaupun dia mendengar kami, dia mungkin takkan peduli. Biasanya, Suzumiya Haruhi langsung pergi keluar kelas setelah jam keempat, terus kembali tepat sebelum jam kelima. Dia tidak bawa bekal, jadi kuduga dia pergi ke kantin buat makan siang; tapi makan siang takkan makan waktu satu jam penuh, kan? Apalagi, tiap akhir jam pelajaran, dia menghilang. Dia pergi kemana sih ngomong-ngomong...?

“Tapi, dia tekenal banget di kalangan murid cowok!”

Taniguchi mulai lagi:

“Dia manis, atletis, dan cerdas. Walaupun dia itu aneh, kalau dia tetap tutup mulut, dia sebenarnya lumayan juga.”

“Darimana kamu dengar semua gosip ini?” tanya Kunikida, kotak bekalnya dua kali lebih penuh dari punya Taniguchi.

“Satu waktu dia nonstop gonta-ganti pacar. Dari yang gue denger, hubungan paling lama bertahan selama seminggu, yang paling sebentar cuman 5 menit setelah jadian. Sebagai tambahan, satu-satunya alasan Suzumiya mutusin pacarnya adalah ‘aku ga punya waktu buat bergaul sama manusia normal.'”

Kayaknya si Taniguchi ini ngomong dari pengalaman. Setelah sadar akan tatapanku, dia jadi sedikit gugup.

“Gue denger ini dari orang lain! Sumpah! Karena beberapa alasan, dia ga pernah nolak kalo ditembak. Pas kelas tiga, semuanya ngerti; jadi, ga ada lagi yang pengen nembak dia. Gue punya perasaan aneh kalo sejarah itu bakal terulang lagi di SMA. Jadi, gue peringatin lo sekarang: nyerah aja lah. Ini nasehat dari seseorang yang dulu sekelas dengannya.”

Ngomong terserah lo lah, gue ga tertarik sama dia dengan cara gitu.

Taniguchi menaruh kotak bekal kosongnya ke dalam tas, dan tertawa tertawa sinis.

“Kalau gue harus milih, gue bakal milih dia, Asakura Ryouko.”

Taniguchi menganggukkan dagunya ke arah kumpulan cewek-cewek beberapa bangku dari sini. Di tengah-tengah grup yang sedang ngobrol, dengan senyum cerah di wajahnya, ada Asakura Ryouko.

“Berdasarkan analisis gue, dia tentunya masuk ke dalam daftar ‘Tiga Top Cewek Kelas Satu Termanis’.”

“Lo ngecek semua murid cewek kelas satu di sekolah ini?”

“Gue kelompokin dari kategori A sampai D, dan percaya ga, gue cuman ingat nama cewek-cewek A. Kita ngalamin masa SMA cuma sekali — gue pengen ngalamin dengan sebahagia mungkin.”

“Jadi Asakura Ryouko itu kategori A?” tanya Kunikida.

“Dia itu AA+! Ayolah, lihat aja wajahnya. Kepribadiannya udah pasti nomor wahid.”

Walaupun mengabaikan komentar egois Taniguchi, Asakura Ryouko memang cewek manis yang lumayan beda jenis dengan Suzumiya Haruhi.

Pertama, dia itu sangat cantik; tambah lagi dia selalu memberi kesan peduli, seperti tersenyum. Kedua, kepribadiannya cocok dengan penjelasan Taniguchi. Hari-hari ini, tak ada lagi orang yang berani mengajak Suzumiya Haruhi bicara, kecuali Asakura Ryouko. Sebagaimana bengisnya Suzumiya Haruhi, Asakura Ryouko masih terus mencoba mengobrol dengannya dari waktu ke waktu. Dia begitu bersemangat hingga hampir berperan seperti pengawas kelas. Ketiga, dari caranya menjawab pertanyaan dari guru saja, kamu akan tahu dia itu sangat cerdas. Dia selalu menjawab benar pertanyaan-pertanyaannya — di mata para guru mungkin dia murid teladan. Terlebih lagi, dia populer sekali dengan cewek-cewek. Sekolah baru berlangsung seminggu, tapi dia sudah berhasil di perjalanannya untuk jadi pusat murid cewek di kelas. Seolah-olah dia itu jatuh dari langit dan dilahirkan dengan daya tarik mengagumkan!

Dibandingkan dengan si Suzumiya Haruhi yang kadang-kadang cemberut, terobsesi sama fiksi ilmiah, pilihannya sudah jelas. Tetapi sekali lagi, kedua kandidat ini mungkin keduanya terlalu tinggi di atas bukit bagi pahlawan kita Taniguchi untuk dipanjat. Tak mungkin dia akan dapat salah satu dari keduanya.



Waktu itu masih bulan April, dan pada waktu itu, Suzumiya sebenarnya berprilaku cukup baik. Bagiku, ini merupakan bulan yang lumayan tenang. Paling tidak, akan ada satu bulan lagi sebelum Haruhi mulai tak terkendali.

Tapi pada saat seperti ini pun, aku sudah meneliti beberapa tingkah eksentrik Haruhi.

Kenapa bisa-bisanya aku bilang begitu?

Petunjuk #1: dia mengubah gaya rambutnya setiap hari. Lebih jauh lagi, menurut pengamatanku, ada semacam pola disana. Hari senin, Haruhi datang ke sekolah dengan rambutnya tergerai, tanpa diikat sama sekali. Hari selanjutnya, dia mengikat kuncir kuda. Walaupun aku benci mengakuinya, gaya rambut itu memang terlihat bagus untuknya. Lalu, dia akan mengikatnya jadi dua kuncir kuda di hari berikutnya, kemudian tiga kuncir kuda pada hari berikutnya; di hari jum’at, ada empat ikatan-pita kuncir kuda di kepalanya. Tindakannya penuh teka-teki!

Senin = 0, Selasa = 1, Rabu = 2...

Dengan bertambahnya hari di satu minggu, begitu juga jumlah kuncir kudanya; hari senin selanjutnya, seluruh proses akan dimulai lagi dari awal. Aku tak mengerti kenapa dia melakukan itu. Melanjutkan logika sebelumnya, dia seharusnya punya enam kuncir kuda di hari minggu... tiba-tiba aku ingin melihat gaya rambut hari minggunya.

Petunjuk #2: Saat pelajaran olahraga, kelas 1-5 dan 1-6 digabungkan dan belajar bersama, dengan yang cewek dipisah dari yang cowok. Ketika ganti pakaian, para cewek pergi ke ruang kelas 1-5, dan cowok ke ruang kelas 1-6; ini artinya setiap pelajaran sebelumnya berakhir, cowok-cowok dari kelas kami (1-5) akan pindah ke ruangan lain untuk ganti pakaian.

Sayangnya, Haruhi benar-benar tak mengindahkan cowok-cowok di kelas kami, dan membuka seragam sailornya sebelum kami sempat pindah kelas.

Seolah-olah, baginya, kami ini buah labu atau kantung kentang, dan dia sama sekali tak peduli. Tanpa ekspresi apa-apa, dia melempar seragamnya ke atas meja dan mulai memakai seragam olahraganya.

Pada saat itu, Asakura Ryouko mendorong para cowok yang terbelalak, terpaku, termasuk aku, keluar dari kelas.

Menurut desas-desus, para cewek, dengan Asakura Ryouko sebagai pemimpinnya, mencoba membicarakan masalah ini dengan Haruhi, tapi tiada hasil. Setiap pelajaran olahraga, Haruhi mengabaikan seluruh kelas dan membuka seragamnya tanpa banyak lirik-lirik. Dan jadinya, kami para cowok diminta meninggalkan kelas di detik bel berbunyi — atas permintaan Asakura Ryouko.

Tapi, beneran lho, Haruhi punya badan yang sangat bagus... argh, ini bukan saatnya ngomongin hal kayak gitu.

Petunjuk #3: setiap akhir pelajaran, Haruhi akan pergi AWOL. Ketika bel sekolah berbunyi, dia akan menarik tasnya lalu melesat keluar kelas. Logisnya, aku pikir dia langsung pulang ke rumah; tak pernah kepikiran olehku kalau dia berpartisipasi di semua klub ekskul di sekolah. Suatu hari, kalian akan melihatnya mengoper bola di Klub Basket, dan selanjutnya kalian akan melihatnya menjahit sarung bantal di Klub Menjahit. Hari berikutnya, kalian akan melihatnya mengayunkan tongkat di Klub Hoki. Kupikir dia juga gabung sama Klub Basket. Jadi, pada dasarnya, dia mengikuti semua klub olahraga di sekolah. Tentu saja semua klub mengincarnya untuk jadi anggota, tentu saja, tapi dia menolak semuanya. Penjelasannya adalah: ”Menjengkelkan buatku ngelakuin aktivitas klub yang sama tiap hari.” Pada akhirnya, dia tidak mengikuti klub yang manapun juga.

Maunya apa sih nih anak?

Dari hal ini saja, kabar “cewek kelas satu yang aneh” secara instan menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Dalam waktu sebulan, tak ada seorang pun yang tak mengenal siapa Suzumiya Haruhi. Percepat ke bulan Mei, orang-orang mungkin masih banyak yang belum tahu siapa kepala sekolah di sini, tapi nama Suzumiya Haruhi sudah terkenal.

Jadi, dengan segala hal yang terjadi — dan Haruhi selalu jadi penyebabnya — Mei telah tiba.

Walau secara pribadi aku pikir bahwa takdir itu bahkan kurang bisa dipercaya daripada monster Loch Ness, kalau takdir, di suatu tempat yang tak diketahui, aktif mempengaruhi hidup manusia, roda takdirku mungkin sudah mulai berputar. Bisa dibayangkan, di suatu gunung terpencil, mungkin ada orang tua yang sibuk menulis ulang takdirku.

Setelah liburan Golden Week berakhir, aku berjalan ke sekolah, tak yakin hari apa hari ini. Cuaca Mei yang cerah tak seperti biasanya meledakkan kulitku dan membuatku mandi keringat – jalan bukit terjal pun seperti tidak berujung. Bumi ini pengen apaan sih? Apa kena demam kuning atau semacamnya gitu?

“Yo, Kyon.”

Dari belakang, seseorang menepuk pundakku. Dia adalah Taniguchi.

Jas blazernya tergantung serampangan di pundaknya, dan dasinya kusut dan menceng ke satu sisi.

“Pas hari libur Golden Week pergi kemana?”

“Gue ngajak adik gue ke rumah nenek di desa.”

“Bosen banget.”

“Oke, terus lo sendiri kemana?”

“Kerja paruh waktu tiap hari.”

“Lo ga keliatan kayak orang macam gitu.”

“Kyon, lo ini dah SMA sekarang — ngapain juga masih bawa-bawa adik ke rumah kakek dan nenek lo? Elo seenggaknya harus keliatan kayak murid SMA.”

Ngomong-ngomong, Kyon itu aku. Bibiku lah yang pertama memanggilku seperti itu. Beberapa tahun yang lalu, bibi lama-tak-bertemu-aku tiba-tiba bicara kepadaku: “Astaga, Kyon sekarang sudah besar yah!” Adikku pikir kalau itu lucu dan mulai memanggilku Kyon. Setelah itu sisanya adalah sejarah — teman-temanku, mendengar adikku memanggilku Kyon, memutuskan untuk mengikutinya. Semenjak hari itu, panggilanku berubah jadi Kyon. Sialan, dulu adikku memanggilku "Onii-chan"!

“Udah jadi tradisi di keluarga gue kumpul ama saudara-saudara selama liburan Golden Week,” jawabku sambil mendaki bukit.

Sensasi berkeringat membuatku merasa tak nyaman.

Taniguchi, panjang nafasnya seperti biasa, sesumbar tentang bagaimana dia bertemu dengan banyak gadis cantik di tempat kerjanya, dan bagaimana dia berencana menggunakan uang tabungannya untuk berkencan dan semacamnya. Terus terang saja, topik seperti mimpi yang orang-orang punya, atau betapa mengagumkan atau lucunya piaraan seseorang, adalah, dalam kamusku, topik yang paling membosankan di dunia ini.

Saat aku mendengarkan jadwal kencan Taniguchi (tampaknya dia tak dihentikan oleh masalah kecil seperti bagaimana ketiadaan orang yang mau pergi dengannya), kami tiba di gerbang sekolah.


Suzumiya Haruhi sudah duduk di belakang bangkuku, melihat ke luar, ketika aku memasuki kelas. Tampak dua penjepit rambut seperti roti bundar di kepalanya; jadi hari ini hari rabu yah. Setelah duduk – karena beberapa alasan yang aku tak tahu, penjelasan yang masuk akal mungkin hanyalah aku yang jadi gila - sebelum kusadari, kudapati diriku sekali lagi bicara dengan Suzumiya Haruhi.

“Lo ganti gaya rambut tiap hari gara-gara alien?”

Seperti robot, Suzumiya Haruhi pelan-pelan memutar wajahnya menghadapku, dan menatapku dengan ekspresi yang sangat serius sekali. Sangat menakutkan sekali, sebenarnya.

“Kapan kamu merhatiin?”

Nada bicaranya sangat dingin seakan-akan sedang bicara dengan batu di pinggir jalan.

Aku berhenti sebentar untuk berpikir.

“Hmmm… baru-baru ini.”

“Yang bener?”

Haruhi menyandarkan dagu pada telapak tangannya, terlihat jengkel.

“Kupikir setiap harinya ngasih image yang berbeda.”

Ini pertama kalinya kami mengobrol dengan baik dan benar!

“Buat warna: Senin warna kuning, Selasa warna merah, Rabu biru, Kamis hijau, Jum’at warna emas, Sabtu coklat, dan Minggu warna putih.”

Aku agak mengerti apa yang dia katakan.

“Jadi, berarti, kalau pake angka buat ngeganti warna, Senin itu nol dan Minggu itu enam, kan?”

“Benar.”

“Tapi, bukannya seharusnya Senin itu satu.”

“Sapa yang nanya pendapat kamu?”

“...Iyah, bener sih?”

Sepertinya tak puas dengan jawabanku, Haruhi bersungut padaku. Aku hanya duduk diam tak nyaman disana dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.

“Apa aku pernah ngeliat kamu sebelumnya? Dulu banget?”

“Kayaknya engga.”

Setelah kujawab, Okabe-sensei masuk kelas, dan percakapan pertama kami pun berakhir.



Walaupun percakapan pertama kami tiada apa-apanya untuk ditulis di rumah, ini bisa jadi titik perubahan yang kucari-cari!

Dan lagi, satu-satunya kesempatanku mengobrol dengan Haruhi hanya waktu sebentar sebelum absensi, karena dia tak pernah ada di tempat waktu istirahat. Tapi karena aku duduk di depannya, aku cukup yakin kesempatan mengobrol dengannnya lebih besar daripada orang lain.

Tapi hal yang paling mengejutkanku adalah Haruhi benar-benar menanggapiku dengan semestinya. Tadinya kupikir dia bakal jawab, “Dasar bego, diam kau! Peduli amat!” Kukira aku sama anehnya sama dia, karena benar-benar punya keberanian berbicara dengannya.

Karena itu, waktu aku datang ke sekolah hari esoknya dan menemukan bahwa, daripada mengikat rambutnya jadi tiga kuncir kuda, Haruhi telah memotong pendek rambut panjang dan semampainya, aku merasa agak depresi.

Rambut sepinggang telah dipendekkan jadi potongan sebahu. Maksudku, walaupun gaya rambut itu memang terlihat cocok dengannya, dia memotongnya sehari setelah aku mengobrol tentang rambutnya! Jelas-jelas disengaja, kan?

Waktu kubilang ke Haruhi tentang itu -

“Engga juga.”

Dia menjawab dengan nada bicara jengkel khasnya, tapi tak menunjukkan semacam ekspresi spesial. Dia takkan memberitahuku alasannya.

Tapi aku sudah menduganya, jadi tak apa-apa.



“Lo beneran nyobain ikutan semua klub?”

Dari hari itu seterusnya, berbicara dengannya sebentar sebelum absensi jadi rutinitas sehari-hari. Tentu saja, kalau aku tak mencoba mengawalinya, Haruhi takkan bereaksi. Satu hal lagi, kalau aku bicara soal bagaimana acara TV semalam, atau bagaimana cuaca hari ini, dll — yang dia anggap sebagai “topik idiot” — dia hanya akan mengabaikanku. Tahu begitu, aku hati-hati memilih topik pembicaraan kapanpun aku mengobrol dengannya.

Dia memalingkan mukanya jengkel, menandai akhir percakapan hari ini.

“Ada klub yang lebih asik ga daripada yang lain? Gue sendiri pengen ikutan juga.”

“Ga ada.” Haruhi menjawab datar. “Sama sekali ga ada.”

Dia menegaskannya lagi, lalu perlahan menghembuskan nafas. Dia menghela nafas tadi?

“Kupikir SMA bakal sedikit lebih baik. Ternyata, sama aja kayak pendidikan wajib. Ga ada perubahan sama sekali. Kayaknya aku salah masuk SMA.”

Mbak, kriteria sekolah apakah yang anda gunakan ketika anda memutuskan sekolah mana untuk anda hadiri?

“Klub olahraga dan klub kebudayaan sama saja. Kalo aja ada beberapa klub unik di sekolah...”

“Yah, elo punya hak apa mutusin suatu klub itu normal apa engga?”

“Berisik. Kalau aku suka sebuah klub, jadi itu klub unik; kalo engga, biasa aja.”

“Iya gitu? Udah gue duga lo bakal ngomong gitu.”

“Huh!”

Dia memalingkan mukanya jengkel, menandai akhir percakapan hari ini.



Di hari yang lain:

“Gue denger-denger kemaren... ga terlalu penting sih... beneran lo mutusin semua pacar lo?”

“Kenapa aku harus dengar ini dari kamu lagi sih?”

Dia mengibaskan rambutnya keluar dari bahunya, lalu menatapku dengan mata hitam bercahayanya. Ampun deh, daripada ga berekspresi, ekspresi marah ini kayaknya lebih sering keliatan.

“Apa si Taniguchi yang cerita? Ampun deh, aku ga percaya sekelas ama si idiot itu lagi bahkan setelah aku lulus SMP. Dia bukan semacem penguntit psycho, kan?”

“Kayaknya engga,” pikirku.

“Aku ga tau kamu denger apa, tapi ga masalah. Lagian sebagian besar emang benar.”

“Bukannya ada orang di luar sana yang pengen kamu pacarin serius?”

“Ga ada satupun!”

Penolakan total kayaknya jadi mottonya.

“Semuanya goblok. Pokoknya aku ga bisa pacaran serius sama mereka. Tiap orang mesti ngajakin ketemuan di stasiun kereta pas hari sabtu, trus pasti pergi nonton, ke taman hiburan, atau ke tempat game. Pertama kalinya makan bareng mesti makan siang kencan, terus buru-buru ke kafe buat minum teh. Sore hari, mereka pasti bakal ngomong ‘Sampai besok!’”

“Gue pikir itu ga salah!” pikirku pribadi, tapi aku tak berani bilang keras-keras. Kalau Haruhi bilang itu jelek, maka, pasti jelek buat dia.

“Terus, tanpa gagal, mereka bakalan nembak lewat telepon. Apa-apaan tuh! Ini subjek serius, paling engga bilang langsung hadap-hadapan!!”

Aku bisa bersimpati sama mereka. Bikin pengakuan penting — buat mereka, paling tidak — seperti itu ke seseorang yang melihatmu seakan-akan kamu itu cacing mungkin membuat siapapun merasa gelisah. Mereka hilang keberanian pas ngeliat ekspresi lo! Aku membayangkan apa yang mereka pikirkan saat aku merespon Haruhi.

“Hmm, lo bener. Kalo gue sih bakal ngajak tuh cewek keluar dan ngomong langsung ke dianya.”

“Siapa yang peduli sama kamu!”

Apa yang... Apa gue salah ngomong lagi?

“Masalahnya, apa semua cowok di dunia itu makhluk bego? Aku keganggu terus sama pertanyaan ini dari SMP.”

Sekarang ga makin baik, kan!

“Terus, cowok macam apa yang lo anggep ‘menarik’? Apa emang harus alien?”

“Mau alien kek ato yang semacem itu kek yang penting ga normal. Bisa cowok bisa cewek.”

“Napa sih lo nuntut banget sama yang selain manusia?”

Waktu aku mengoceh tentang itu Haruhi melihat remeh padaku.

“Abisnya manusia itu sama sekali ga asik!”

“Itu... mungkin lo bener.”

Bahkan aku pun tak bisa membantah pemikiran Haruhi; kalo emang murid pindahan yang manis ini setengah-manusia setengah-alien, bahkan gue sendiri pun bakalan nganggap itu keren. Kalo Taniguchi, yang lagi duduk di dekat gue mata-matain Haruhi dan gue, ternyata seorang detektif dari masa depan, bakalan lebih keren lagi. Kalau Asakura Ryouko, yang, entah napa, selalu senyam-senyum ke gue, punya semacam kekuatan supranatural, maka kehidupan sekolah gue bakalan seasik yang bisa didapetin.

Tapi ga satupun yang mungkin – ga ada alien, pejelajah waktu, ato kekuatan supranatural eksis di dunia ini. Oke, misalnya aja ada. Mereka ga bakalan muncul gitu aja ke depan rakyat rendahan macam kita dan ngomong, “Halo, aku sebenarnya alien lho.”

“MAKANYA!”

Haruhi tiba-tiba berdiri dan menjatuhkan kursinya ke belakang, mengakibatkan semua orang menoleh dan melihatnya.

“MAKANYA AKU BERUSAHA SEKUAT TENAGA!!”

“Maaf saya terlambat!”

Okabe-Sensei yang selalu optimis, yang lumayan kehabisan nafas, buru-buru masuk ke kelas. Ketika dia melihat seluruh kelas sedang melihat Haruhi yang sedang berdiri tegak, dia mengepalkan tangan, matanya menatap langit-langit, dia jadi sama terkejutnya dan hanya berdiri disana.

“Mmm… Absensi akan segera dimulai!”

Haruhi langsung duduk lalu memelototi sudut mejanya. Phiuh!

Aku berbalik; seluruh kelas mengikuti dan memutar kepala mereka juga. Lalu Okabe-sensei, terang sekali kebingungan karena kericuhan itu, terhuyung-huyung ke panggung kelas dan mengeluarkan batuk pelan.

“Saya minta maaf karena telat. Eh... kalau gitu, kita mulai saja!”

Dia mengulangi dirinya lagi, dan suasana kelas akhirnya kembali normal — walaupun suasana macam ini sangat dibenci Haruhi!

Mungkinkah hidup memang seperti itu?



Tapi jujur saja, jauh di lubuk hatiku, aku sangat iri dengan sikap Haruhi terhadap kehidupan.

Dia masih yakin bahwa dia akan bertemu seseorang dari dunia supranatural, keyakinan yang kutinggalkan lama sekali, dia antusias sekali berusaha meraih mimpinya. Kalau hanya duduk-duduk menunggu takkan menghasilkan apa-apa, itulah kita semua! Inilah kenapa Haruhi melakukan sesuatu seperti menggambar garis putih di lapangan sekolah, menggambar simbol di atap sekolah, menempel kertas jimat terkutuk dimana-mana.

Hah!

Aku tak tahu kapan waktu Haruhi mulai melakukan hal-hal aneh yang membuat orang salah mengira kalau dia itu okultis. Menunggu tiada hasilnya, jadi, kenapa engga ngelakuin upacara aneh buat manggil mereka? Pada akhirnya, bagaimanapun juga, tak ada yang terjadi. Mungkin itu alasannya kenapa Haruhi selalu memakai paras "seluruh-dunia-sialan" di mukanya...?

“Hei, Kyon.”

Setelah kelas berakhir, Taniguchi, dengan wajah kebingungan, mencoba memojokkanku. Taniguchi, lo bener-bener kayak orang bego tau ga dengan wajah kayak gitu!

“Berisik! Gue gak peduli lo ngomong apa. Ngomong-ngomong pelet apa yang lo gunain?”

“Pelet apaan?”

Setiap teknologi terdepan tiada bedanya dengan sihir! Aku jadi ingat kutipan ini saat bertanya balik kepadanya. Dia lalu menunjukkan jarinya pada bangku kosong Haruhi.

“Ini pertama kalinya gue liat Suzumiya ngobrol sama orang lama banget! Lo berdua ngomong apaan aja sih?”

Itu, ah, apa yang kita omongin ya? Gue cuman nanya pertanyaan yang biasa-biasa aja, itu aja.

“Ini fenomena!”

Dengan sinis Taniguchi memakai ekspresi terkagum-kagum. Lalu, Kunikida muncul dari belakang Taniguchi.

“Emang Kyon itu suka sama cewek-cewek aneh.”

Woi, jangan ngomong yang bisa bikin orang salah paham dong.

“Ga masalah kalo Kyon itu suka ama cewek-cewek aneh. Yang gue ga ngerti itu, kenapa si Suzumiya mau ngomong sama lo? Gue sama sekali ga ngerti.”

“Mungkin Kyon sama anehnya sama dia?”

“Mungkin. Maksud gue, lo ga bisa ngarepin orang dengan panggilan kayak Kyon itu orang normal.”

Berhenti manggil gue Kyon, Kyon, Kyon! Daripada dipanggil dengan panggilan bodoh itu, mendingan panggil nama asli gue! Paling engga, gue pengen denger adik gue sendiri manggil gue “Onii-chan”!

“Saya juga kepengin tahu.”

Suara riang seorang gadis muncul entah darimana. Kuangkat kepalaku, dan, tentu saja, melihat wajah tersenyum lugu Asakura Ryoko.

“Saya nyoba ngomong sama Suzumiya-san udah beberapa kali, tapi sama sekali ga bisa. Bisa ajarin saya gimana caranya bicara sama dia?”

Aku bertingkah seolah-olah sedang berpikir tentang hal ini sebentar, tapi sebenarnya, aku sama sekali tidak sedang berpikir.

“Entahlah.”

Mendengar hal ini, Asakura tersenyum.

“Saya lega banget sekarang. Dia ga bisa terus-terusan terisolasi dari teman sekelasnya kayak gitu, jadi baguslah kamu jadi temannya.”

Asakura Ryouko peduli dengannya seperti seorang pengawas kelas, yah, dia memang pengawas kelas. Dia terpilih jadi pengawas kelas saat sesi absensi lama kami yang terakhir.

“Teman, ya?”

Aku menggelengkan kepala tak yakin. Emang bener kayak gitu ya? Tapi satu-satunya ekspresi yang Haruhi tunjukin ke aku kapan pun aku ngomong sama dia hanya wajah bersungutnya itu!

“Kamu harus terus nolong Suzumiya-san biar dia bisa rukun sama semuanya. Kita toh satu kelas, jadi kami mengandalkanmu.”

Hah. Kalaupun kamu ngomong begitu, aku ga tahu apa yang harus kulakukan!

“Jika ada sesuatu yang perlu kusampaikan ke Suzumiya-san, saya hanya tinggal minta kamu sampaikan pesannya ke dia!”

Engga, tunggu! Aku kan bukan juru bicaranya!

“Plis?” pintanya tulus, sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.

Berhadapan dengan permintaannya, aku hanya bisa memberi respon tak jelas seperti “erm” dan “ahh...”. Asakura anggap itu sebagai "oke", memberi senyumannya yang seperti tulip kuning, dan lalu kembali ke cewek-cewek lainnya. Setelah melihat kalau cewek-cewek lain sedang melihatku, rasanya jantungku telah jatuh kedasar lembah.

“Kyon, kita sahabat, kan..?” tanya Taniguchi, menatapku curiga.

“Apa yang terjadi sih disini?”

Bahkan Kunikida, dengan mata tertutup dan kedua tangan bersilang di dada, pun mengangguk.

Ya Tuhan! Kok bisa gue dikelilingin orang-orang idiot ini?


Tampaknya seseorang memutuskan bahwa semua di kelas perlu tukaran bangku tiap bulan. Karena itu, sang pengawas kelas, Asakura, menulis semua nomor bangku di secarik kertas kecil, menaruhnya ke dalam kaleng Hatosabure, dan kami semua menarik darinya. Pada akhirnya, aku dapat tempat duduk di baris kedua dari belakang sebelah jendela yang menghadap lapangan. Tebak siapa yang duduk tepat dibelakangku? Benar sekali, si selalu bersungut Haruhi!

“Kenapa hal menarik itu blom kejadian juga sih?! Kayak anak-anak SD menghilang satu persatu, atau beberapa guru terbunuh di ruang kelas yang terkunci?”

“Jangan ngomong yang serem-serem ah!”

“Aku gabung Kelompok Riset Misteri.”

“Oh? Terus gimana?”

“Bloon banget. Ga ada yang menarik terjadi! Apalagi, semua anggota klubnya pencinta novel detektif, tapi ga ada satupun yang mirip detektif!”

“Bukannya itu normal?”

“Aku sebenarnya berharap sama Kelompok Riset Supranatural.”

“Yang bener?”

“Tapi, ternyata mereka semua cuman sekumpulan maniak okultisme. Itu kedengerannya asik ga menurutmu?”

“Ga juga sih.”

“Ah, men, bosen banget! Napa sih sekolah ini ga punya klub menarik yang bener?”

“Yah, ga banyak yang bisa lo lakuin soal itu.”

“Kupikir setelah lulus trus masuk SMA aku bakalan nemuin klub mantep! Ha~h, ini kayak nyoba ikut Liga Utama Baseball dan terus nemu kalo di sekolah yang lo datengin bahkan ga punya tim Baseball.”

Haruhi terlihat seperti semacam banshee yang siap pergi ke ribuan biara Buddha untuk memberi beberapa kutukan. Dia tatap langit dengan hina dan menghembuskan desahan besar.

Haruskah gue kasihani dia?

Aku tak tahu klub macam apa yang Haruhi suka. Mungkin bahkan dia sendiri pun tak tahu jawabannya. Dia hanya ingin “melakukan hal yang menarik.” "Sesuatu yang menarik" itu apa? Apa itu termasuk memecahkan misteri pembunuhan? Mencari UFO? Atau pengusiran setan? Kupikir dia juga tak tahu.

“Menurut gue apa boleh buat kalo emang ga ada.”

Kuputuskan untuk mengekspresikan pendapatku.

“Menilai dari hasilnya, manusia biasanya puas dengan keadaan mereka sekarang. Mereka yang tidak, tapinya, bakalan nyoba menciptakan atau menemukan sesuatu buat memajukan peradaban. Ada orang pengen terbang, jadi dia menciptakan pesawat. Ada orang pengen berpergian dengan gampang, maka dibuatlah mobil dan kereta. Tapi hal tersebut hanya dibuat oleh orang-orang yang punya bakat spesial. Hanya orang jenius yang bisa ngubah khayalan jadi kenyataan. Orang biasa kayak kita sebaiknya menjalani hidup kita sepenuhnya. Kita seharusnya ga boleh terlalu impulsif cuman karena kita ngerasa kayak petualang.”

“Berisik.”

Haruhi memotong begitu saja ceramahku yang agak bermutu itu, atau setidaknya begitulah yang tadinya kupikir, dan memalingkan kepalanya ke arah lain. Kayaknya sekarang dia lagi murung banget. Tapi sekali lagi, kapan sih dia engga gitu? Gue udah terbiasa kok.

Cewek ini mungkin tak peduli dengan apapun — kecuali yang berhubungan dengan kekuatan supranatural yang melewati batas kenyataan. Dunia ini ga punya yang kayak gitu, tapinya. Ga ada, beneran.

Panjang umur Hukum-Hukum Fisika! Berkat kamu, kita para manusia bisa hidup dengan damai. Walau Haruhi mungkin jijik sama hal beginian.

Aku normal, kan?


Sesuatu pasti telah memicunya.

Mungkin karena percakapan diatas?

Karena aku sama sekali tak pernah menduganya!


Sinar hangat matahari membuat semua orang di kelas mengantuk. Tepat ketika aku terkantuk-kantuk dan mulai tertidur, tenaga hebat tiba-tiba terkerahkan sendiri menuju kerah bajuku dan menarikku ke belakang. Karena tenaganya kuat sekali, kepalaku sampai terbentur ujung bangku di belakangku. Air mata keluar seketika dari mataku.

“Lo ngapain sih!?”

Kuputar kepalaku marah dan melihat Haruhi, yang satu tangannya masih menarik kerahku, tersenyum lebar secerah matahari tropis — sumpah, ini pertama kalinya aku melihat senyumnya! Kalau senyuman bisa diukur dengan suhu, mungkin senyuman dia sama panasnya dengan hutan hujan tropis.

“Aku ngerti!”

Woi, jangan muncratin ludah lo dong!

“Kenapa sebelumnya ga kepikiran ya?”

Mata Haruhi bersinar seterang bintang Alpha Albireo. Dia menatapku tajam. Dengan segan aku bertanya:

“Emang apa yang baru kepikiran?”

“Kalo ga ada, ya kubikin sendiri aja!”

“Bikin apaan?”

“Bikin KLUB!”

Kepalaku tiba-tiba sakit, dan kukira tak ada hubungannya dengan kepalaku yang kebentur meja barusan.

“Beneran? Ide yang sungguh cemerlang. Bisa lepasin gue sekarang?”

“Sikap apaan tuh? Kau harusnya lebih senang!”

“Soal ide lo tadi, kita omongin ntar. Sekarang ini, gue pengen lo mempertimbangkan dimana kita sekarang. BARU lo bisa bagi-bagi suka-cita elo itu sama gue. Tapi pertama-tama, tenang dulu, oke?”

“Maksudnya apa?”

“Pelajaran masih berlangsung.”

Haruhi akhirnya melepas kerahku. Aku mengusap belakang kepalaku yang mulai mati rasa dan perlahan berputar kembali. Aku perhatikan seluruh kelas tampak total terkagum-kagum. Guru bahasa Inggris pemula yang baru lulus, dengan kapur di tangannya, menatapku dan kelihatannya seperti akan menangis.

Kuberi isyarat pada Haruhi untuk segera duduk dan mengangkat bahu pada guru malang itu.

"Silahkan, lanjutkan pelajarannya, Bu."

Kudengar Haruhi bergerutu tentang sesuatu sebelum dia duduk dengan segan. Guru lalu lanjut menulis pada papan tulis...

Bikin klub baru, ya?

Hmmmm...

Jangan-jangan gue disuruh kerjasama lagi.

Cerebrumku yang sakit hanya mulai menambah kekhawatiranku saja.



Bab 2[edit]

Dilihat dari hasilnya, ramalanku sudah jadi kenyataan.

Setelah pelajaran, Haruhi tidak langsung menghilang dari ruang kelas seperti biasanya. Kali ini, dia menarik paksa tanganku dan menyeretku keluar ruangan, melalui koridor, dan naik tangga, sebelum akhirnya berhenti di depan pintu yang menuju atap.

Pintu tersebut biasanya terkunci, dan tangga di atas lantai empat tampaknya sudah dijadikan gudang oleh Klub Seni. Kanvas raksasa, pigura hampir-rusak, patung-patung dewa perang kehilangan hidung dan semacamnya ditumpuk di atas tangga kecil ini, bikin tempat yang seharusnya sudah sempit jadi makin sempit.

Dia pengen ngapain sih bawa-bawa gue ke sini?

"Aku butuh bantuanmu."

Haruhi berkata demikian sambil tetap menarik dasiku. Dengan tatapan tajam terarah ke bagian bawah kepalaku, aku dapat perasaan dia sedang mengancamku.

"Bantu lo apaan?"

Aku berlagak cuek.

"Bantu aku bikin klub baru!"

"OK, terus bilang ke gue, kenapa gue musti bantu elo nyelesain hal yang baru aja lo pikirin?"

"Karena aku harus mengamankan ruangan buat klubnya dan juga anggotanya, jadi kamu harus cari tau administrasi apa aja yang perlu diberesin buat sekolah."

Dia bahkan ga ngedengerin. Kutampik tangan Haruhi.

"Klub apa yang mau lo bikin?"

"Itu ngga penting! Yang penting bikin klub dulu."

Gue benar-benar ngga yakin deh sekolah bakal ngijinin klub yang kerjaannya ngga jelas.

"Sekarang dengerin! Abis sekolah beres, kamu pergi dan cari tahu apa aja yang perlu diselesaiin, dan aku pergi nyari ruangan buat klubnya, ngerti?"

'NGGA!'

Jikalau aku balas seperti itu, aku yakin akan dibunuh. Saat aku ragu-ragu bagaimana menjawabnya, Haruhi sudah terlanjur berbalik dan menuruni tangga, meninggalkan murid laki-laki yang kebingungan berdiri sendirian di tangga penuh debu.

"...Gue bahkan belum setuju bantuin..."

Hah, mengatakan hal ini ke patung plaster itu tiada gunanya. Aku hanya bisa menyeret kaki beratku maju ke depan, memikirkan bagaimana caraku menjelaskan semua hal ini kepada teman-teman sekelasku yang penasaran.


Persyaratan untuk membuat "asosiasi":

Lima orang anggota atau lebih. Seorang guru pendamping, nama klub, ketua klub dan aktivitas klub atau ringkasan tujuan itu diperlukan — yang kemudian juga memerlukan persetujuan dari OSIS. Aktivitas klub harus sesuai dengan filosofi kreativitas dan semangat sekolah. Berdasarkan catatan aktivitas dan hasilnya, OSIS akan memperdebatkan apakah asosiasi tersebut akan dipromosikan menjadi "kelompok riset". Selebihnya, sebagai asosiasi, sekolah tidak akan memberikan dana apapun.


Aku tak perlu susah payah mencari semua persyaratan karena semuanya tercatat di dalam buku pegangan siswa.

Anggota sih gampang; kita bisa cari siapapun buat gabung, jadi itu bukan masalah. Guru pendamping lebih susah dicari, tapi kayaknya gue bisa ngatasinnya. Dan untuk nama, sesuatu yang ga ofensif bisa-bisa aja. Dan ketua klubnya, ga diragukan lagi, Haruhi sendiri.

Gue berani bertaruh, tapinya, kalo aktivitas atau tujuan klub kita pasti ga bakalan sejalan sama "kreativitas dan semangat".

Itu cuma jadi omongan, kayak Haruhi itu orang yang peduli sama peraturan aja.


Saat bel berdering tanda sekolah berakhir, Haruhi menunjukan keperkasaannya yang mengerikan dengan mencengkeram lengan jaketku dan menarikku keluar kelas dengan kecepatan seperti penculik. Membutuhkan usaha keras agar aku tak meninggalkan tas sekolahku di kelas.

"Kita pergi kemana?"

Aku bertanya hal ini karena, yah, aku kan normal.

"Ke Ruang Klub."

Haruhi, begitu penuh dengan energi sampai-sampai dia bisa menendang minggir orang-orang yang berjalan lambat di depan kami, hanya menjawab dengan kalimat singkat dan lalu menutup rapat mulutnya. Tolong dong, seenggaknya bisa ga elo ngelepasin tangan gue dulu?

Setelah kami keluar dari lorong lantai satu, kami kembali masuk ke gedung lain dan naik tangga. Kami berjalan menuju lorong gelap dan di tengahnya, Haruhi berhenti. Tentu saja, aku ikut berhenti.

Di depan kami ada pintu.

Klub Sastra.

Papan nama melengkung tertempel di pintu.

"Di sini."

Bahkan tanpa mengetuk pintu, Haruhi membuka pintu dan berjalan memasuki ruang kelas tanpa pikir panjang. Tentu saja, aku mengikutinya ke dalam.

Ruangan itu herannya luas, atau mungkin tampak seperti itu karena hanya berisi meja persegi panjang, beberapa kursi logam, dan rak buku. Beberapa retakan di langit-langit dan dinding menunjukan betapa tuanya bangunan ini.

Seolah-olah dia muncul bersama ruangan, seorang gadis duduk sendirian di kursi logam, membaca buku hardcover yang sangat tebal.

"Mulai sekarang ini akan jadi ruang klub kita."

Haruhi merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan mengumumkannya dengan resmi. Wajahnya bersinar dengan senyuman enerjik. 'Kalau aja dia nunjukin senyum itu di kelas...' — walau pikirku begitu, aku tak berani mengatakannya keras-keras.

"Tunggu bentar, ini tempat apa?"

"Gedung Kebudayaan dan Kesenian. Tempat ini punya ruang kesenian dan musik untuk Klub Seni dan Klub Orkestra. Klub dan asosiasi yang ga punya ruang tetap semuanya ngelakuin aktivitasnya di sini, dikenal dengan sebutan Komplek Lama. Dan ruangan ini milik Klub Sastra."

"Terus Klub Sastranya gimana?"

"Setelah semua murid kelas tiga lulus musim semi ini, nih klub punya nol anggota. Karena ga ada anggota baru direkrut, klub ini mau ditutup. Ngomong-ngomong, dia anak kelas satu yang satu-satunya anggota baru."

"Kalau gitu ini klub emang belum ditutup dong!"

"Nyaris! Klub yang anggotanya cuman satu sama aja dengan ga ada."

Goblok lo! Lo lagi nyoba ngambil alih ruang klub orang lain? Aku melirik ke cewek Klub Sastra.

Dia adalah seorang gadis berkacamata dan berambut pendek.

Haruhi sudah seberisik ini. Gadis itu, akan tetapi, bahkan tidak mengangkat kepalanya sekalipun. Selain terkadang membalikan halaman dengan jarinya, ia tampak tak bergerak, benar-benar mengabaikan keberadaan kita. Kayaknya gadis ini juga aneh!

Kurendahkan suaraku dan bertanya pada Haruhi.

"Terus tuh cewek gimana?"

"Dia bilang ngga masalah!"

"Beneran?"

"Aku udah nanya dia pas makan siang. Aku bilang aku butuh agar dia minjemin ruangannya dan dia bilang 'silahkan', selama dia bisa baca bukunya dengan damai. Sekarang baru kepikiran, dia itu lumayan aneh ya."

Dari semua orang elo yang bilang begitu!

Kuperhatikan cewek Klub Sastra aneh dengan seksama kali ini.

Dia memiliki kulit pucat dan wajah tanpa ekspresi. Jari-jarinya bergerak seirama seperti robot. Hanya menutupi wajah cantiknya, rambut pendeknya membuat seseorang ingin melepas kacamatanya untuk pandangan yang lebih jelas. Dia memberikan kesan sebuah boneka yang tak menonjol. Dengan kata lain, orang aneh yang misterius dan tak berekspresi.

Mungkin menyadari observasiku yang mengganggu, gadis itu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan mendorong jembatan kacamatanya keatas dengan jarinya.

Aku melihat mata gelapnya menatapku dari balik lensa. Baik mata maupun bibirnya tak menunjukan ekspresi apapun, hampir seperti topeng. Dia berbeda dengan Haruhi — wajahnya seperti jenis yang pada dasarnya tak menunjukan emosi.

"Nagato Yuki."

Nada suaranya memberikan kesan kalau namanya akan segera dilupakan oleh kebanyakan orang dalam tiga detik mendengarnya.

Nagato Yuki sejenak menatapku; lalu seperti kehilangan minat, ia kembali mengarahkan perhatiannya ke buku.

"Eh, Nagato-san," Panggilku, "Cewek ini mau ngegunain ruang klub kamu buat klub mau-dikasi-nama. Kamu ga papa?"

"Ya."

Pandangan Nagato tak pernah lepas dari buku sekalipun.

"Tapi mungkin bisa ngerepotin kamu."

"Tidak masalah."

"Bahkan mungkin kamu bakalan diusir?"

"Silahkan bebas-bebas saja."

Walaupun ia segera menjawab, ia tak menunjukan ekspresi. Tampak olehku sepertinya dia benar-benar tak peduli soal ini.

"Oke, kalau gitu udah diputusin," sela Haruhi tiba-tiba.

Dia terdengar hiper sekali, yang memberiku firasat buruk.

"Mulai sekarang, kita kumpul di ruang ini seberes sekolah. Ntar datang ya! Atau kamu bener-bener celaka!"

Katanya dengan senyum seperti mekar bunga sakura. Dengan enggan kuanggukkan kepalaku.

Plis deh, gue belum mau mati dulu!


Jadi sekarang kita udah nemu ruangan klub, tapi administrasinya sama sekali ga ada kemajuan. Kita masih belum mutusin nama maupun kegiatan klub yang pengen dilakuin. Sudah kutanyakan hal ini kepada Haruhi, tapi sepertinya dia punya pikiran lain.

"Kita bisa putusin semua itu ntar!" Haruhi menyatakan dengan keras. "Sekarang yang paling penting ngerekrut anggota. Kita masih butuh paling sedikit dua orang lagi."

Jadi, lo udah masukin cewek Klub Sastra juga? Lo ga mungkin memperlakukan Nagato Yuki kayak aksesoris klub doang, kan?

"Ngga usah khawatir soal itu. Aku pasti bisa ngumpulin orang-orang segera; aku udah punya seseorang di pikiranku."

Gimana gue ngga khawatir? Keresahan gue malah makin gede!


Besoknya sehabis sekolah, setelah menolak tawaran Taniguchi dan Kunikida untuk pulang bareng, dengan enggan kuseret kaki beratku menuju ruang klub.

Haruhi hanya bilang "Kamu pergi duluan!" dan buru-buru keluar ruang kelas dengan kecepatan yang sangat dibutuhkan Klub Atletik. Dia begitu cepat sampai-sampai aku berpikir kalau dia menambah booster di sepatunya. Aku tak tahu antara dia buru-buru mencari anggota baru, atau hanya sangat bersemangat kalau dia sudah melangkah maju untuk bertemu makhluk luar angkasa?

Di lain pihak, aku hanya bisa membawa tasku, jadi aku bergerak perlahan menuju ruang Klub Sastra.


Memasuki ruang klub, ternyata Nagato Yuki sudah di dalam dan duduk di posisi yang sama dari yang sebelumnya sambil membaca bukunya. Perlahan kudekati dia, tapi seperti kemarin kepalanya terbenam di dalam buku, keberadaanku diabaikan. Emang Klub Literatur itu cuman klub membaca aja? Kalo engga kenapa dia baca terus-terusan?

Hening di ruangan.

"...Lagi baca apa?"

Tanyaku, tak tahan dengan keheningan lebih lama lagi. Nagato Yuki menjawabnya dengan mengangkat buku dan menunjukkan sampulnya. Mataku melihat sejumlah besar huruf asing yang memusingkan; keliatannya kayak semacem novel fiksi ilmiah.

"Itu menarik ya?"

Nagato Yuki mendorong kacamatanya ke atas tanpa tenaga sebelum menjawabnya dengan nada kosong.

"Unik."

Tampaknya dia sudah menjawab semua pertanyaanku.

"Bagian mananya?"

"Semuanya."

"Jadi kamu suka baca?"

"Sangat."

"Oh gitu..."

"..."

Kembali hening.

Gue bisa pulang sekarang?

Pikirku begitu sambil menaruh tasku ke atas meja. Tepat saat aku hendak duduk di kursi logam, tiba-tiba pintunya kebanting terbuka seperti baru ditendang.

"Hei, sori aku telat! Butuh waktu nih nangkap cewek ini!"

Haruhi akhirnya tiba, melambaikan sebelah tangannya pada kami. Tangan yang lain sedang menggenggam pergelangan orang lain — dia menculik orang lain lagi! Ketika Haruhi memasuki ruangan, untuk suatu alasan tertentu dia mengunci pintunya. Ceklek! Mendengar suara itu, gadis berukuran kecil itu gemetaran tak nyaman.

Wow, dia emang cantik.

Dia pasti "calon terpilih"-nya Haruhi.

"A...apa yang kamu lakukan?"

Kata gadis tersebut, hampir menangis sekarang.

"Di-dimana ini? Kenapa kamu bawa saya ke sini? Dan, ke-kenapa kamu ngunci pintu? Kamu mau apa sama saya?"

"Diam!"

Haruhi berteriak begitu keras sampai-sampai gadis itu hanya diam terpaku.

"Biar kukenalin: ini Asahina Mikuru-chan."

"Biar kukenalin: ini Asahina Mikuru-chan."

Setelah mengumumkan nama gadis tersebut, Haruhi berhenti bicara. Sepertinya perkenalannya sebegitu saja.

Keheningan sekali lagi menelan ruangan. Haruhi terlihat puas dengan "kerjaan beres dengan baik"; Nagato Yuki, seperti biasa, tetap membaca bukunya tanpa reaksi; dan gadis yang dipanggil Asahina Mikuru hanya takut-takut tolol. Hei, kenapa ngga ada yang ngomong? Dan jadinya aku yang memulai percakapan.

"Dia lo culik darimana?"

"Bukan penculikan kok! Aku cuman maksa dia datang ke sini sama aku."

Itu sama aja!

"Aku nemu dia lagi ngelamun di ruang kelas dua, jadi kutangkap dia dari sana. Aku udah nelusurin sekolah pas istirahat, jadi aku udah ngeliatnya beberapa kali."

Jadi itu toh yang lo lakuin pas istirahat waktu lo engga keliatan dimana-mana di ruang kelas. Engga, bentar, ini bukan waktunya mikirin beginian.

"Gimanapun juga, dia senpai kita!"

"Terus?"

Kulihat dia dalam ketakpercayaan. Ya Tuhan, nih cewek benar-benar ga mikir dia itu udah ngapain!

"Ya udah... kasih tau aku, kenapa lo butuh nyari dia, emm, Asahina-san, kan?"

"Sini, lihat deh."

Haruhi tiba-tiba menunjuk ke arah hidung Asahina Mikuru, membuatnya langsung mundur.

"Dia imut, kan?"

Cuman penculik berbahaya yang bakalan ngomong gitu! Itulah yang kupikir, omong-omong.

"Aku percaya kalo karakter moe itu penting!" lanjutnya.

"...Maaf, lo bilang apa?"

"Aku bilang moe! Faktor yang bikin orang horny! Pada dasarnya, kebanyakan cerita detektif punya karakter yang bisa bikin orang horny dan ngebangkitin rasa kasihan."

Otomatis aku berputar dan mengamati Asahina Mikuru: dia memiliki badan kecil dan wajah yang bisa mudah disalahsangkakan sebagai anak SD. Rambut coklatnya sedikit berombak, tergantung di punggungnya. Sepasang mata anak anjing besar memberikan aura "tolong lindungi aku". Bibir setengah terbukanya menunjukan sebaris gigi seputih gading yang, dipasangkan dengan wajah mungilnya, menciptakan kombinasi yang sempurna. Kalo dia dikasih tongkat sihir dengan permata yang berkilauan, dia mungkin bakalan berubah jadi peri kecil! Aarghh~, gue mikir apaan sihh!?

"Dan ga cuman itu doang!"

Haruhi tersenyum penuh percaya diri, dan memeluk Asahina Mikuru-san dari belakang dengan kedua tangannya.

"Kyaaaa!!!"

Asahina-san langsung berteriak. Tapi Haruhi tetap tidak bergerak, meremas dadanya lewat seragam sailornya.

"Aaaaa!"

"Dia itu mungil banget, tapi susunya lebih gede dariku! Wajah imut plus susu gede itu juga faktor penting yang bisa bikin orang horny!"

Oh Tuhan, gue mau pingsan.

"Wow, bener-bener gede banget."

Haruhi memasukan tangannya kedalam seragam Asahina-san dan mulai grepe-grepe. Brenti, dasar mesum!

"Wah, bikin kesal aja! Wajahnya imut banget, tapi susunya lebih gede dari aku!"

"T-Tolong!!"

Asahina-san merona merah terang. Dia mencoba membebaskan diri dengan lengan dan kakinya, tapi kekuatannya bukan tandingan pelecehnya. Saat Haruhi mulai menggerakan tangannya menuju rok Asahina-san, aku tak bisa tahan lebih lama lagi dan menarik gadis mesum ini menjauh dari Asahina-san.

"Lo pikir loe itu lagi ngapain sih!?"

"Tapi benar-benar gede lho! Benaran! Kenapa ga kamu cobain juga?"

Asahina-san mengerang lemah.

"Tidak terima kasih."

Hanya itu yang bisa kuucapkan.

Yang mengejutkanku, selama kericuhan ini, Nagato Yuki tetap membaca bukunya, tak sekalipun mengangkat kepalanya. Nih cewek sebenarnya kenapa sih?

Tiba-tiba, aku memikirkan sesuatu.

"Hei, lo ngga mikir kan kalo... alasan lo satu-satunya bawa Asahina-san ke sini karena dia itu imut dan punya susu gede?"

"Kenapa, tentu aja!"

Ya Tuhan, lo ini benar-benar bego!

"Karakter maskot kayak dia itu perlu!"

Perlu dari hongkong! Siapa sih yang ngomong gitu ngomong-ngomong?

Asahina-san merapikan seragam kusutnya dan mengangkat kepalanya, melihatku. Hei, jangan liat aku kayak gitu, kamu masukin aku ke situasi memalukan aja.

"Mikuru-chan," tanya Haruhi, "Kamu ikutan klub lain?"

"I... Iya... Klub Kaligrafi..."

"Keluar dari situ! Bakalan ngeganggu aktivitas klubku."

Haruhi! Bukannya kamu terlalu egois!?

Asahina-san memiliki ekspresi korban dalam misteri pembunuhan tertentu, melihatku dengan mata yang berharap untuk diselamatkan. Lalu seolah-olah dia tiba-tiba menyadari kehadiran Nagato Yuki. Matanya membelalak lebar dan menunjukan keragu-raguan. Sejenak kemudian, dia mendesah dan berbisik dengan suara rendah:

"Oh gitu... saya ngerti."

Kamu ngerti apa?

"Saya akan berhenti dari Klub Kaligrafi, dan bergabung dengan klub kamu..."

Suaranya begitu penuh dengan kesedihan.

"Tapi saya ga tahu Klub Sastra itu ngapain aja."

"Kita bukan Klub Sastra," Haruhi membetulkan.

Melihat Asahina-san kebingungan, aku segera memotong untuk menjelaskan.

"Kita cuman minjem ruangan ini sementara buat aktivitas klub kita. Klub yang kamu gabungi sebenarnya asosiasi baru yang Suzumiya Haruhi bakalan bikin bentar lagi. Kami belum tahu apa aktivitasnya ntar; kita bahkan ga punya nama."

"... Apa?..."

"Oh, dan yang lagi duduk di sana, dialah anggota Klub Sastra beneran."

"Oh..."

Asahina-san berdiri kehabisan kata-kata, mulut imutnya setengah terbuka. Reaksinya? Benar-benar normal.

"Itu takkan jadi masalah!"

Gembira sampai ke titik yang tak bertanggungjawab pada apapun, Haruhi menepuk bahu Asahina-san keras-keras.

"Aku baru aja kepikiran satu nama!"

"... Oke, coba kita dengerin," ucapku dengan nol antusiasme.

Kalau mungkin, aku benar-benar tak ingin mendengarnya! Tapi karena aku terlanjur bertanya, Suzumiya Haruhi menggunakan suara beningnya untuk mengumumkan keras-keras nama yang baru saja dia pikirkan.



Semua orang tahu, semuanya berawal dari hasil visi Suzumiya Haruhi yang sederhana dan naif, dan tak ada alasan lain. Dan jadinya... nama klub baru kami sudah diputuskan:

Brigade SOS!

Sekai wo
Ooini moriagerutame no
Suzumiya Haruhi no Dan

Brigade Selamatkan Dunia dengan Operasi Sukaria Suzumiya Haruhi, disingkat Brigade SOS.

Kalian semua bisa tertawa sekarang.

Tapi sebelum aku bahkan bisa lakukan itu, aku berdiri tercengang.

Kenapa disebut "Brigade"? Bukannya seharusnya "Asosiasi Selamatkan Dunia dengan Operasi Sukaria Suzumiya Haruhi", tapi karena klub ini belum memenuhi jumlah minimum yang dibutuhkan untuk jadi asosiasi dan tak seorang pun yang yakin klub ini tentang apa, Haruhi dengan simpelnya menjawab "Kalo emang gitu, kita sebut brigade aja!" Dan dengan demikian sekarang nama klub ini telah dilahirkan dengan agung.

Mendengar nama tersebut, Asahina-san menutup mulutnya dengan sedih. Nagato Yuki bisa dihitung sebagai orang luar, dan aku tidak tahu harus bicara apa. Dan jadinya, mosi untuk nama klub telah diterima, dengan satu suara dan tiga abstain. Brigade SOS sekarang terbuka untuk bisnis! Sungguh kejadian yang begitu mengagumkan!


Huh, terserah lo aja deh!


Setelah mengatakan "Pastiin ngumpul disini tiap hari sepulang sekolah!", Haruhi membubarkan kami. Bahu Asahina-san terkulai, sosok tak bernyawanya berjalan menyusuri koridor memberikan kesan sedih yang lebih jauh. Aku tak tahan melihatnya, maka kupanggil dia.

"Asahina-san."

"Ya?"

Asahina-san melihatku dengan wajah polosnya, yang bahkan terlihat tak lebih tua dariku.

"Kamu ga harus gabung sama klub aneh macam ini kalo kamu ga mau! Kamu ga usah peduliin dia, aku bakalan nyari cara buat ngejelasin ke dianya."

"Engga."

Dia berhenti, berkedip, dan tersenyum.

"Gapapa. Saya emang pengen gabung."

"Tapi, mungkin klub ini klub membosankan!"

"Ga masalah; bukannya kamu juga udah gabung?"

Engga! Gue mau gabung atau engga bukan masalahnya di sini!

"Mungkin, ini hasil absolut di Lintasan Waktu ini..."

Katanya dengan mata bulatnya memandang ke kejauhan.

"Apa maksudnya itu?"

"Lagian, saya tertarik sama kehadiran Nagato-san..."

"Tertarik?"

"Eh? Engga, bukan apa-apa."

Asahina-san menggelengkan kepalanya gentar, menggoncangkan rambut berombaknya.

Lalu Asahina-san tersenyum, terlihat malu, dan memberiku bungkukan dalam.

"Saya mungkin jadi ngerepotin, jadi mohon tahan dengan saya mulai sekarang ini."

"Kau ga harus begitu... kamu bikin aku jadi susah aja..."

"Tolong panggil saya Mikuru mulai sekarang."

Dia tersenyum.

Wah, dia imut banget sampe-sampe bikin gue gugup.


Yang di bawah ini adalah percakapanku dengan Haruhi pada suatu hari.

"Kamu tau kita butuh apa selanjutnya?"

"Menegetehe!"

"Aku berpikir nyari murid pindahan misterius."

"Mohon jelaskan kepada saya definisi dari murid pindahan 'misterius'."

"Mereka yang pindah dua bulan setelah sekolah dimulai pastilah murid pindahan misterius. Gimana menurutmu?"

"Karena orangtuanya pindah dinas kali dan mereka harus ikut pindah."

"Ngga, itu terlalu dipaksakan dan ga alami!"

"Terus menurut lo alami itu apa? Gue bener-bener pengen tau."

"Murid pindahan misterius...mereka bakalan muncul ga ya?"

"Lo tuh ga pernah dengerin omongan gue, ya?"


Desas-desus mulai mengalir di sekolah kalau Haruhi dan aku sedang merencanakan sesuatu.

"Yo, emang lo lagi ngapain bareng Haruhi?"

Taniguchi akan menanyakan hal itu.

"Kalian ga lagi pacaran, kan?"

Tentu aja engga! Jujur aja, gue sendiri juga pengen tau lagi ngapain!

"Usahain jangan ngelakuin hal-hal yang terlalu konyol; lo tuh bukan anak SMP lagi! Kalo mereka tau lo ngerusak lapangan sekolah atau semacemnya, lo bisa diskors!"

Kalo cuman Haruhi yang beraksi sendirian, gue tinggal cuekin dia aja. Tapi sekarang ada Nagato Yuki dan Asahina Mikuru yang harus diurus — gue ga bisa ngeresikoin mereka buat terlibat. Ketika aku sadar betapa perhatiannya aku pada mereka, tiba-tiba aku merasa bangga pada diriku sendiri.

Tapi masalahnya, ngga ada cara gue bisa nyetop si Haruhi gila itu!


"Aku pengen banget komputer!"

Semenjak Brigade SOS didirikan, ruang Klub Sastra mulai punya banyak dan semakin banyak barang selain meja persegi panjang, kursi logam dan rak buku.

Di pojokan sekarang berdiri sebuah lemari pakaian portabel, teko dan cangkir, poci teh, radio CD/MD, kulkas, perekam suara, pan masak, mangkuk, dan berbagai jenis peralatan masak. Sekarang apa? Apa dia ngerencanain buat kita tinggal disini?

Pada saat ini, Haruhi duduk di meja yang dia colong entah-dari-mana. Untuk alasan tertentu, sebuah piramid segitiga hitam bertuliskan "Komandan Brigade" berdiri di atas meja.

"Di jaman informasi sekarang, kita bahkan ga punya komputer. Ga bisa dibiarkan!"

Siapa sih yang bilang begitu?

Ngomong-ngomong, semua anggota hadir hari ini. Nagato Yuki berada di tempatnya seperti biasa, membaca buku hardcover tentang satelit kecil Saturnus lagi jatuh, atau semacam itu. Asahina-san, yang seharusnya tidak perlu datang, tetap patuh datang dan duduk di kursi logam, melihat bingung.

Haruhi loncat dari mejanya dan lari ke arahku dengan senyum sinis.

"Itulah kenapa aku akan dapatkan satu sekarang," ucap Haruhi, seperti pemburu mencari mangsa.

"Dapetin satu, maksudnya komputer? Darimana? Lo ga ada rencana buat ngerampok toko elektronik, kan?"

"Ya engga lah! Bakalan ke tempat yang lebih dekat!"

"Ikut aku!" Asahina-san dan aku menuruti perintah Haruhi dan mengikutinya di koridor, pada akhirnya tiba di Kelompok Riset Komputer dua ruangan jauhnya.

Rupanya begitu!

"Ini, ambil ini."

Haruhi menyerahkanku sebuah kamera instan.

"Sekarang dengar baik-baik! Aku bakalan bilang rencananya, dan kamu harus ngikutin gimana pun juga! Kamu cuman punya satu kesempatan."

Haruhi menarikku ke bawah dan membisikan "rencana"-nya ke telingaku.

"Apa!? Kamu ngga bisa gitu!"

"Emang masalah?"

Tentu aja itu ngga masalah buat elo, non! Aku berpaling ke arah Asahina-san yang kebingungan, berusaha memperingatinya dengan berkedip padanya.

Sebaiknya kamu lari sekarang juga!

Tapi Asahina-san melihat padaku, terkejut, dan mulai tersipu. Oh tidak, dia benar-benar salah sangka.

Saat aku mau menyelamatkan Asahina-san dari bencana, Haruhi sudah mengetuk pintu ruangan Kelompok Riset Komputer.

"Halo semuanya! Aku datang mau ngambil satu komputer dari kalian!"

Ruangnya mirip, tapi dibandingkan dengan ruangan kami, ruangan ini lebih sempit. Setiap meja yang berukuran sama memiliki satu komputer desktop di atasnya dengan efek suara CD. Kipas komputer yang berputar hanyalah suara yang bisa terdengar di ruangan ini.

Empat orang cowok yang sedang duduk di kursinya dan mengetik di keyboard masing-masing semuanya melongo ke arah pintu untuk melihat apa yang akan dilakukan Haruhi.

"Siapa ketuanya di sini?"

Haruhi tersenyum dengan angkuhnya. Seorang murid laki-laki berdiri dan menjawab.

"Aku ketuanya, ada yang bisa kubantu?"

"Apa aku harus mengulanginya lagi? Aku cuman bilang: kasih aku komputer."

Ketua Kelompok Riset Komputer tanpa nama itu menampakan ekspresi "Maksudnye?" dan menggelengkan kepalanya keras-keras.

"Itu ngga mungkin. Soalnya sekolah ga cukup mendanai kami, semua komputer ini kami beli dengan uang hasil keringat kami! Kami ga bisa gitu aja ngasih kamu gratis. Kamu pikir kami bodoh apa?"

"Masalahnya apa sih? Satu aja udah cukup, kalian toh punya banyak!"

"Itu... tunggu dulu, kalian ini sebenarnya siapa sih?"

"Aku Suzumiya Haruhi, Komandan Brigade SOS, dan mereka berdua adalah Bawahan Satu dan Bawahan Dua."

Tunggu, siapa yang mutusin kami jadi bawahan lo!?

"Aku perintahkan kamu atas nama Brigade SOS: serahkan sebuah komputer segera! Jangan pake alasan macam-macam!"

"Aku ngga tahu siapa kalian ini, tapi tentu aja engga! Kamu beli aja komputermu sendiri!"

"Karena kamu udah bilang begitu, kami punya cara sendiri."

Mata Haruhi melotot tiada takut. Oh tidak, ini pertanda buruk.

Haruhi mendorong Asahina-san, yang berdiri ketakutan di sampingnya, ke arah si ketua, dan lalu Haruhi mengambil tangannya dan meletakannya di dada Asahina-san.

"Kyaaaa~~!!!"

"Apa!?"

Klik!

Pada saat mereka berteriak, kutekan tombol kamera.

Haruhi memegang Asahina-san, mencegahnya kabur, sambil tangannya yang lain menekan tangan si ketua semakin keras ke dada Asahina-san.

"Kyon, satu foto lagi!"

Ragu-ragu kutekan tombolnya sekali lagi. Asahina-san, dan ketua tanpa nama, kalian dapat permintaan maaf paling tulusku. Saat Haruhi mau memasukan tangan ketua ke balik rok Asahina-san, si ketua akhirnya terbebas.

"LO PIKIR LOE TUH LAGI NGAPAIN SIH!?"

Haruhi melambaikan jarinya dengan elegan ke ketua yang merona hebat.

"Hu hu hu! Sekarang kami punya bukti foto kalo kamu ngelakuin pelecehan seksual ke salah satu anggota kami! Kalo kalian ga mau satu sekolah tahu soal foto ini, serahkan komputernya!"

"Candaan macam apa ini!?"

Ketua itu memprotes marah. Gue paham perasaan lo, men.

"Elo yang maksa narik-narik tangan gue! Gue ga bersalah!"

"Oh ya? Kamu bisa coba ngejelasin, tapi siapa yang bakal percaya?"

Aku berpaling dan melihat Asahina-san tergeletak di lantai terlumpuhkan. Dia pasti terkejut sekali sampai-sampai kehilangan semua tenaganya.

Di lain pihak, si ketua tetap bertahan.

"Anggota gue saksi gue ga bersalah! Tadi bukan kemauan gue sendiri!"

Ketiga anggota lainnya yang berdiri terbengong-bengong semuanya bersemangat menganggukan kepalanya.

"Benar!"

"Ketua ga bersalah!"

Kalau Haruhi bisa ngedenger kalian semua, maka dia bukan Suzumiya Haruhi.

"Ya udah, kalau gitu aku tinggal bilang kalo kalian semua nge-gangbang dia!"

Kalau sudah begini, wajah semuanya jadi pucat, termasuk aku dan Asahina-san. Ya Tuhan, emangnya harus sampai jadi begini?

"S...Suzumiya-san...!"

Asahina-san putus asa melingkarkan lengannya ke kaki Haruhi, tapi Haruhi dengan mudah menendangnya. Haruhi kemudian membusungkan dada dan berkata angkuh:

"Jadi gimana? Mau kasih satu apa ngga?"

Wajah ketua berubah dari merah ke putih, akhirnya jadi gelap.

Akhirnya, dia menyerah.

"Pilih satu sana dan keluar!"

Berkata seperti itu, si ketua terduduk muram. Semua anggotanya segera mendatanginya.

"Ketua!"

"Bertahanlah!"

"Kamu ga papa?"

Kepala ketua itu terkulai bagaikan boneka yang putus talinya. Melihat sosok begitu hancur, bahkan sebagai komplotan Haruhi, aku tak bisa apa-apa kecuali meneteskan air mata kesedihan untuknya.

"Mana model yang paling baru?"

Dasar cewek berdarah dingin!

"Kenapa kami musti beritahu kamu!?"

Para anggota yang marah itu tetap melanjutkan sedikit perlawanan, tapi Haruhi cukup menunjuk ke arahku dan kameraku.

"S...sialan! Yang itu!"

Haruhi melihat ke arah yang ditunjukan anggota tersebut dan memeriksa model dan nomor seri komputernya. Lalu, dia mengambil secarik kertas dari kantong roknya.

"Aku udah pergi ke toko elektronik dan nanya daftar semua model terbaru. Kayaknya ini ga termasuk deh."

Cewek ini sudah merencanakan semuanya begitu teliti sampai-sampai jadi menakutkan.

Setelah memeriksa semua komputer lainnya, Haruhi menunjuk ke salah satunya.

"Aku pengen yang ini."

"T...tunggu! Kami baru beli itu bulan kemarin!"

"Kamera."

"...A-ambil sana, dasar maling!"

Seperti kata dia, kami memang benar-benar maling.

Keserakahan Haruhi tak mengenal batas. Setelah mencabuti seluruh kabel-kabel, dia memindahkan seluruh peralatan yang dibutuhkan ke ruang Klub Sastra tanpa pertimbangan. Dia lalu menyuruh anak-anak Kelompok Riset Komputer memasangkan kembali kabel untuk kami dan menarik kabel internet dari ruangan mereka ke tempat kami, jadi kami bisa menggunakan internet. Dia bahkan memaksa mereka untuk mengatur intranet untuk kami. Cara hinanya tiada bedanya dengan perampok!

"Asahina-san."

Tak berdaya sepanjang waktu, aku hanya bisa mengangkat perlahan Asahina-san yang hancur, yang berlutut di lantai, menutupi wajahnya dan terisak tanpa henti.

"Balik yuk."

"Hiks..."

Haruhi, dasar bego, bisa ga sih lo ngegrepe susu lo sendiri!? Buat orang yang buka baju di depan cowok tanpa pikir panjang, ini sih ga ada apa-apanya! Kuhibur Asahina-san, sambil menggerutu soal Haruhi ingin komputer itu buat apa.

Sebentar lagi, aku akan mengetahuinya.


Dan itu adalah untuk membuat situs Brigade SOS!

Baiklah, disini muncul pertanyaan: Siapa yang mesti bikin situsnya?

"Kamu lah, tentu aja!" Kata Haruhi.

"Karena kamu senggang banget, mendingan kamu aja yang bikin! Aku sibuk nyari anggota sisanya!"

Komputer tersebut diletakkan di atas meja berdampingan dengan piramid "Komandan Brigade". Haruhi menambahkan, sambil surfing internet dengan mousenya:

"Selesaikan besok atau dua hari lagi. Kita ga bisa apa-apa tanpa website."

Tubuh Asahina-san tergeletak di meja, pundaknya gemetaran, disebelah Nagato Yuki duduk, yang seperti biasa hanya membaca bukunya, mengabaikan apapun. Sepertinya hanya aku yang mendengar omongan Haruhi. Aku tak punya pilihan lain selain mematuhinya. Paling tidak aku cukup yakin itulah yang dipikirkan Haruhi.

"Gue ngga bisa apa-apa kalau lo bilang begitu."

Itulah yang ingin kukatakan, jujur saja. Aku tak biasa menerima perintah Haruhi! Alasan aku setuju semata-mata karena membuat halaman web. Aku tak pernah melakukannya sebelumnya, tapi memang kedengarannya menarik.

Dan jadinya, perancangan halaman webku yang sukar dimulai di hari kedua.


Setelah ngomong seperti itu, ternyata lebih gampang dari yang kubayangkan. Karena anak-anak Kelompok Riset Komputer telah menginstall semua software-software yang dibutuhkan di hardisk, yang perlu kulakukan hanyalah ikuti programnya dan lakukan beberapa kopi dan paste, itu saja.

Masalahnya, apa yang harus kutulis di websitenya?

Saat ini, aku masih tak tahu Brigade SOS itu apaan, jadi aku sama sekali tak punya apa-apa untuk ditulis. Setelah mengetik "Selamat Datang di Halaman Brigade SOS!" di bagian atas, aku hanya berhenti. "Cepetan selesaiin, kamu dengerin ga sih?" Kata-kata Haruhi terdengar seperti kutukan berdering menembus telingaku, jadi aku harus memakai waktu istirahat makan siang untuk melanjutkan desainku sambil makan.

"Nagato-san, kamu punya ide mau nulis apa?" tanyaku, yang sepertinya dia tetap datang ke sini saat istirahat.

"Tidak juga."

Dia tidak menengadah. Aku tahu ini bukan urusanku, tapi aku penasaran apa dia memperhatikan pelajaran selama di kelas.

Memutar mataku dari Nagato kembali ke monitor 17", aku kembali berpikir keras.

Tiba-tiba aku memikirkan sebuah masalah : bakalan terjadi apa ya kalo sekolah tahu asosiasi belum-diakui make bandwidth mereka buat ngehosting website?

"Ngga masalah asal ga ketahuan!" aku membayangkan Haruhi menjawab, "Kalo ketahuan, tinggal kita buang aja websitenya. Soal beginian duluan datang, duluan dilayani, tau?"

Benar-benar deh, dalam beberapa hal aku agak iri sama keoptimisan dan sikap melihat-ke-depan Haruhi.

Setelah membuat beberapa link website dan menuliskan alamat email — terlalu dini untuk membuat forum — kuunggah websitenya, yang hanya berisikan halaman muka tanpa ada detail padanya.

Seharusnya bisa lah! Setelah memastikan halamannya bisa dibuka, kumatikan komputernya. Saat aku mau meregang, aku terkejut saat menemukan Nagato sedang berdiri di belakangku.

Aneh, kok bisa gue ga denger langkahnya ya? Aku bahkan tak tahu kapan Nagato sudah ada di belakangku. Wajahnya seputih topeng. Dia menatapku dengan wajah pokernya, seolah-olah aku ini semacam bagan tes mata.

"Ambil ini."

Dia memberiku sebuah buku yang sangat tebal, yang reflek kuterima. Benar-benar berat! Dilihat dari sampulnya, ini adalah novel fiksi ilmiah yang dibaca Nagato beberapa hari yang lalu.

"Untukmu."

Setelah mengatakan itu, Nagato keluar ruangan bahkan tanpa berbalik; aku bahkan tidak sempat mengatakan apapun. Kenapa kamu minjemin buku tebal begini ke aku? Pada saat ini, bel berbunyi tanda istirahat berakhir. Kayaknya ga banyak orang yang ngehormatin pendapat gue.

Setelah kubawa buku hardcover itu kembali ke kelas dan duduk, aku merasa seseorang menoel-noel punggungku dengan pensil mekanik.

"Jadi, websitenya dah beres?"

Haruhi memegang ujung meja dan menatapku dengan wajah kaku. Kuperhatikan kalau buku notesnya penuh coretan di sana-sini. Aku berusaha tak mempedulikan tatapan teman-teman sekelasku dan menjawab:

"Udah beres sih, cuman simpel banget, website jelek."

"Bisa lah, yang penting ada emailnya."

Kenapa lo ga daftar email gratis punya lo sendiri!?

"Ya ga bisa lah! Gimana kalo banyak orang yang ngirim email dan menuhin inbox-ku?"

Gue ngga ngerti gimana bisa alamat email baru didaftarin bisa cepet dipenuhin sama email.

"Itu rahasia!"

Setelah mengatakan itu, dia memberikan senyuman licik yang misterius. Gue punya perasaan ga enak nih.

"Kamu ntar tahu begitu sekolah hari ini beres, tapi sampe saat itu, ini rahasia top."

Kumohon, mendingan lo ga pernah kasih tahu gue apa itu!


Di jam pelajaran keenam, Haruhi tak kelihatan sama sekali di kelas. Dia ngga mungkin udah pulang ke rumah, kan? Itu ga mungkin. Mungkin ini pertanda buruk lainnya.


Tak lama kemudian sekolahpun berakhir, dan aku otomatis berjalan ke ruang klub. Walau aku heran kenapa aku melakukannya, langkah kakiku tak pernah berhenti. Akhirnya, aku tiba di ruang klub.

"Halo yang disana!"

Sudah diduga, disana duduk Nagato Yuki dan Asahina-san.

Aku tahu aku tak pantas mengomentari, tapi dua orang ini sungguh punya banyak waktu luang!

Melihatku masuk, Asahina-san menyambutku dengan ekspresi lega. Tampaknya menghabiskan waktu sendirian bersama Nagato bisa melelahkan.

Tunggu bentar, kamu baru aja menderita cengkraman jahat Haruhi kemaren, tapi kamu masih datang hari ini?

"Suzumiya-san dimana?"

"Tauk lah. Dia udah ngga ada di kelas dari jam pelajaran keenam. Paling dia pergi nyolong peralatan dari mana gitu."

"Apakah saya harus ngelakuin apa yang kemaren Suzumiya-san paksa lakukan padaku lagi...?"

Melihat betapa depresinya Asahina-san, aku berkata lembut :

"Jangan kuatir! Kalo dia nyoba ngelakuin hal aneh-aneh ke kamu, kan kulakukan semuanya yang kubisa untuk menghentikan dia. Dia bisa pake badannya sendiri buat pemerasan! Kayak aku ngga bisa ngalahin dia aja pas datang baku hantam!"

"Terima kasih."

Melihatnya membungkuk imut padaku, ingin rasanya kudekap erat dia. Tapi tentu saja tak kulakukan.

"Kalau gitu, aku mengandalkanmu."

"Ngga masalah sama sekali!"

Walaupun berulang-kali kuyakinkan dia, lima menit kemudian semuanya terlempar keluar jendela, jatuh ke laut dan menguap bagaikan tetesan air di permukaan matahari. Oh, betapa naifnya aku!

"Haiya!"

Haruhi menyapa kami bersemangat dan memasuki ruangan, dengan membawa dua kantong kertas.

"Sori guys, aku terlambat."

Alangkah sopannya anda! Untuk orang seperti Haruhi, perhatian sama orang lain mungkin hal terakhir di dalam pikirannya.

Menaruh kantong kertas di lantai, Haruhi berbalik dan mengunci pintu. Asahina-san refleks gemetar begitu mendengar suara pintu dikunci.

"Suzumiya, lo mau ngapain hari ini? Gue bakal terus terang, gue ga bakalan ngelakuin hal-hal kayak menjarah ato memeras lagi!"

"Kamu ngomong apa sih? Aku ga kan pernah ngelakuin hal itu!"

Masa? Terus gimana lo ngejelasin komputer yang ada di meja!?

"Dengan cara damai, tentu aja! OK, pertama-tama, coba lihat ini."

Dia mengeluarkan beberapa kertas A4 dengan tulisan tangan di atasnya dari salah satu kantong kertas.

"Ini selebaran yang dibuat untuk ngenalin Brigade SOS ke semua orang. Aku berusaha keras menyelinap ke ruang fotokopi dan ngefotokopi sampe 200 lembar!"

Haruhi menyerahkan selebaran itu kepada kami. Jadi karena itu lo bolos, hah? Lo beruntung ga ketangkep. Aku tak tertarik dengan apa yang tertulis di selebaran, tapi karena aku sudah menerima satu, mendingan kubaca saja apa yang tertulis disana.


Prinsip Pendirian Brigade SOS:

Kami, Brigade SOS, mencari segala macam kejadian paranormal di dunia. Kami menyambut siapa saja yang pernah mengalami, sedang mengalami atau merasa akan mengalami segala macam kejadian supranatural atau misterius untuk datang berkonsultasi kepada kami. Kami akan melakukan yang terbaik untuk menjawab pertanyaan anda. Tolong dicatat, tapinya, kami tidak mengurus kejadian paranormal yang normal; haruslah kejadian paranormal yang kami anggap sangat mengejutkan. Alamat email kami adalah...


Aku mulai dapat gambaran sekilas tentang apa itu Brigade SOS sekarang. Sepertinya apapun yang terjadi, Haruhi ingin melibatkan dirinya di dunia fiksi ilmiah, misteri, dan novel fantasi.

"Oke, waktunya nyebarin selebaran ini."

"Dimana aja kita lakukan itu?"

"Di gerbang sekolah. Saat ini masih banyak murid yang belum pulang."

Ya, ya, ya, terserah kata lo deh, nyonya. Saat aku mau mengambil kantong kertas berisi selebaran itu, Haruhi menyetopku.

"Kamu ngga usah ikut, aku dan Mikuru-chan aja udah cukup."

"Apa?"

Asahina-san, yang sedang memegang selebaran di tangannya, menolehkan kepalanya kebingungan. Aku menoleh dan melihat Haruhi merogoh-rogoh kantung kertas lainnya, mengeluarkan sesuatu.

"Ta-da!"

Tersenyum sama senangnya seperti kucing robot, Haruhi mengeluarkan sepotong kain hitam. Oh tidak, ini ngga mungkin! Ketika Haruhi selesai mengeluarkan isi kantong kertas dari dimensi keempat, aku langsung mengerti kenapa dia ingin Asahina-san yang menyebarkan selebarannya, dan aku berdoa untuk kesejahteraan orang yang terakhir. Asahina-san, semoga arwahmu beristirahat dengan tenang!

Sebuah leotard hitam, net stoking, telinga kelinci, dasi kupu-kupu, manset putih, dan ekor kelinci.

Bukannya itu kostum bunny girl!?

"U...untuk apa semua itu?" tanya Asahina-san malu-malu.

"Kamu pasti tahu. Buat berpakaian jadi bunny girl!" kata Haruhi terus terang.

"K...kamu ngga pengen saya pakai itu, k...kan?"

"Tentu aja! Aku bahkan udah nyediain satu buat kamu!"

"Sa...saya ngga mau pakai itu!"

"Jangan khawatir, ukurannya pas banget kok dengan kamu."

"Bu...bukan itu masalahnya! K...kamu ngga pengen saya pake itu di gerbang sekolah, k...kan?"

"Kenapa, ya tentu aja."

"Engga, saya ga mau!"

"Berhenti ngeluh!"

Berakhirlah; dia sudah diincar. Haruhi meloncat ke Asahina-san, bagaikan ibu macan memangsa kijang yang tak berdaya, dan mulai mencabik-cabik baju sailornya.

"TIDAAAAK...."

"Sekarang jadilah anak baik dan jangan bergerak!" Haruhi berkata kasar sambil mencopot lancar bagian atas pakaian Asahina-san, lalu dia pindah ke rok Asahina-san. Tepat saat aku mau menghentikan kegilaan Haruhi, mataku bertemu dengan mata Asahina-san.

"J...JANGAN LIAT!!!"

Mendengar teriakannya, aku segera berlari menuju pintu... Sialan! Pintunya kekunci! Butuh beberapa saat sebelum aku bisa membuka kuncinya dan bergegas keluar ruangan.

Sebelum keluar, aku intip sekilas — aku mendapati Nagato sedang membaca bukunya bagaikan tiada yang terjadi. Bukannya dia keberatan soal ini!?

Aku bersandar di pintu, mendengar teriakan Asahina-san dari belakangnya.

"Kyaaa~~!!!" "Tidaaak!" "P...paling engga biarkan saya ngelepasin sendiri... Hiks~~!"

Itu tercampur dengan teriakan kemenangan Haruhi.

"Hebat!" "Lepasin itu! Cepat!" "Kamu seharusnya dengerin omonganku!"

Sialan, jangan minta gue ngebayangin apa yang terjadi di dalam!

Sejenak kemudian, suara Haruhi keluar menembus pintu.

"Kamu bisa masuk sekarang!"

Saat aku masuk sambil menghembuskan nafas, aku disambut oleh dua bunny girl cantik. Baik itu Haruhi atau Asahina-san, mereka berdua cocok dengan kostumnya.

Sebagian besar punggung dan belahan dada mereka terekspos, net stoking membungkus kedua kaki mereka dengan baik dan sepasang telinga kelinci bergoyang-goyang di kepala mereka...

Haruhi itu kurus tapi proporsinya pas; Asahina-san itu mungil, tapi sosoknya juga sempurna. Jujur saja, mereka benar-benar santapan lezat untuk dipandang mata!

Tepat saat aku menimbang-nimbang apakah mengatakan "Kostumnya cocok sama kamu," ke Asahina-san yang menangis, Haruhi berkata:

"Menurutmu gimana?"

Dan elo masih berani nanya-nanya apa pendapat gue. Tengkorak lo retak parah!?

"Ini pasti bakalan narik perhatian semua orang. Kalau begini terus, orang-orang pasti bakalan datang buat ngambil selebarannya!" kata Haruhi.

"Kalau elo pake kostum aneh begini di luar, orang lain bakalan nganggep lo lucu... Tunggu bentar, kenapa Nagato-san ga perlu pake ini?"

"Aku cuman beli dua set aja. Karena belinya dengan aksesoris, harganya mahal banget."

"Emangnya lo beli ini dimana?"

"Di internet."

"...Oh gitu."

Saat aku berpikir kapan Haruhi jadi lebih tinggi dariku, aku sadar dia sedang pakai sepatu hak tinggi juga.

Haruhi mengambil kantong kertas yang berisi selebaran.

"Ayo pergi, Mikuru-chan."

Asahina-san menyilangkan tangan di depan dadanya dan melihatku dengan memohon. Aku hanya bisa menatapnya yang berkostum bunny girl.

Maafin aku, aku bener-bener ga bisa ngasih perlawanan apapun.

Asahina-san berusaha menyabet meja dan bertahan, menangis seperti anak kecil, tapi dia bukan tandingan tenaga Haruhi. Dia diseret keluar oleh Haruhi, dan kedua bunny girl menghilang dari ruangan. Tepat ketika aku gundah-gulana, merasa bersalah...

"Itu."

Nagato Yuki menunjuk ke lantai. Kulihat dan kutemukan dua seragam sailor tergeletak di situ... Emm, itu BH yang gue liat?

Gadis rambut-pendek, berkacamata menunjuk ke lemari di sisi lain ruangan dan kemudian kembali membaca bukunya.

Bisa ga sih kamu ambil baju-baju itu sendiri!?

Aku mendesah dan mengambil pakaian mereka, meletakannya ke lemari. Ah~!, lo masih bisa ngerasain hangat badan mereka di bajunya. Baju-baju ini masih anget!

Setengah jam kemudian, Asahina-san yang kecapaian kembali. Wah, matanya semerah mata kelinci — sebaiknya aku jangan bicara apapun dulu. Segera kuberikan dia kursi, dan seperti yang sebelumnya, dia hanya terduduk dan terkulai ke arah meja, bahunya gemetaran. Tampaknya dia sudah tak punya kekuatan lagi untuk ganti baju. Tapi berhadapan dengan punggungnya yang terbuka, aku tak tahu kemana lagi aku melihat, jadi kulepas jaketku dan menyampirkannya ke bahu gemetarannya. Keberadaan gadis menangis dan kutubuku yang tak peduli apa yang sedang terjadi, bersama denganku, yang bingung harus bagaimana, membuat suasana ruangan menjadi hening. Teriakan Klub Baseball bisa terdengar di kejauhan.

Saat aku mau berpikir tentang makan malam nanti, Haruhi kembali. Hal pertama yang dilakukannya adalah bersungut dan marah berkata:

"Sialan mereka! Apa-apaan, guru-guru sial itu! Mereka selalu ngeganggu!"

Tak yakin mengapa dia begitu marah, aku bertanya:

"Ada masalah?"

"Aku bahkan belum sempat ngebagiin setengah dari selebaran ini dan datanglah datang guru bego itu minta aku berhenti ngebagiin selebaran! Ada apa sih sama orang itu?"

Dasar tolol. Kalo guru-guru ngebiarin aja sesuatu kayak murid pake baju bunny girl dan ngebagiin selebaran di gerbang sekolah, maka itu abnormal!

"Mikuru-chan mau nangis, dan aku dibawa ke kepala sekolah, terus si Okabe dari Klub Handball datang!"

Kayaknya si kepala sekolah dan Okabe-sensei bingung kemana ngarahin mata mereka pas ngeliat elo berpakaian kayak gitu.

"Ampun deh, bikin aku kesal aja! Cukup buat hari ini! Bubar!"

Haruhi perlahan melepas telinga kelincinya dan kemudian lanjut melepaskan kostum bunny girlnya. Aku langsung buru-buru keluar ruangan.

"Sampai kapan kamu mau nangis kayak gitu? Cepetan ganti!"

Aku bersandar di dinding koridor dan menunggu mereka ganti baju. Kelihatannya Haruhi bukan seorang eksebisionis dari lahir, hanya saja dia tak punya bayangan apa efek pemandangan setengah telanjangnya kepada laki-laki. Alasan dia pakai kostum bunny girl bukan untuk memamerkan badannya yang seksi, tapi malah untuk menarik perhatian orang.

Kalau gini terus, ga mungkin dia bisa ngalamin hubungan romantis yang normal.

Gue harap dia bisa lebih perhatian dengan gimana pikiran cowok itu. Paling engga perhatian dikit lah ke gue! Jujur aja, berteman dengan orang gila semacam ini benar-benar bikin capek. Lagian, demi Asahina-san aku harus ngarepin itu. Benar... Nagato-san, paling engga kasih tau kita dong apa pendapat kamu!

Sejenak kemudian, Asahina-san muncul dari ruangan, memberikan ekspresi sedih yang sama dengan orang yang baru saja gagal ujian. Dia harus menyangga dirinya ke dinding atau dia pasti akan jatuh. Tak tahu harus bilang apa, aku hanya berdiri terdiam saja.

"Kyon-kun..."

Suara tak jelasnya terdengar seperti salah satu hantu dari kapal berhantu, yang tenggelam.

"Kalau sesuatu terjadi hingga saya ga bisa jadi pengantin, maukah kau mengambilku...?"

Emm, gue harus ngomong apa ya? Dan, kenapa kamu manggil aku Kyon juga!?

Asahina-san mengembalikan jaketku dengan seperti robot. Saat aku berpikir kalau dia akan jatuh ke dekapanku dan menangis, dia sudah berjalan jauh.


Sial... sayang banget!


Keesokan harinya, Asahina-san absen.

Haruhi sudah cukup terkenal di sekolah, tapi semenjak insiden bunny girl, nama dan keensentrikannya sudah jadi bahan legenda sekolah. Bukan berarti aku benar-benar peduli, karena aku tak bertanggungjawab akan tindakan Haruhi!

Yang memang kupedulikan adalah bagaimana tindakan Suzumiya Haruhi telah menyebabkan semua orang mulai mengosipkan Asahina Mikuru-san juga. Itu, dan tatapan aneh yang kuterima dari semua orang di sekolah.

"Hey, Kyon... tampaknya elo lagi senang-senang sama Suzumiya..."

Kata Taniguchi kepadaku dengan nada simpatik setelah sekolah. "Gue ngga pernah nyangka elo bisa temanan baik sama dia... kayaknya ga ada yang mustahil di dunia ini!"

Ah, diam lo!

"Gue kaget kemaren! Ngeliat bunny girl pas mau pulang ke rumah, tadinya gue pikir gue lagi bermimpi!"

Kunikida ikut mengobrol, membawa selebaran yang kukenal.

"Brigade SOS itu apa? Soal apaan sih?"

Sana tanya Haruhi. Gue ngga tahu, dan ngga mau tahu. Kalaupun gue tahu, aku ga pengen ngasih tau kalian!

"Ini minta kita ngasih kejadian paranormal apa aja, tapi ini ga nyebutin itu tuh apa. Dan, apa maksudnya ga ngurus kejadian paranormal yang normal?"

Bahkan Asakura Ryouko datang untuk berbicara denganku.

"Kayaknya kalian lagi ngelakuin hal yang menarik. Tapi kalo hal itu sudah kelewatan, kusarankan kalian langsung berhenti. Jujur saja, kalian kemarin udah kelewatan banget."

Kalau aja gue tau, gue juga mau bolos hari ini!


Haruhi masih marah. Di satu pihak, dia marah karena guru-guru menghentikannya membagikan selebaran; di lain pihak, dia marah karena email inbox Brigade SOS sama sekali kosong. Kuperkirakan akan ada satu-dua email iseng di inbox, tapi ternyata orang lain lebih rasional dari yang kukira. Mungkin tak ada yang mau berurusan dengan Haruhi atau dapat masalah?

Haruhi mengernyit pada inbox kosong, mengoyang-goyangkan mouse optikal dengan bersemangat.

"Kenapa ga ada orang yang ngirim email?"

"Kemarin ga ada hari ini juga ga ada. Mungkin semua orang emang punya sesuatu yang bisa dibilangin ke kita, tapi cuman ga bisa percaya aja ke klub mencurigakan kayak kita?"

Kucoba jelaskan dengan tak meyakinkan.

Kamu pernah ngalamin kejadian paranormal? Pernah. Oh, bagus dong, kalau gitu tolong beri tahu aku. Baiklah, sebenarnya...

Plis deh! Sesuatu kayak gitu ga bakalan terjadi, OK? Sekarang lo dengerin, Haruhi! Hal-hal semacem itu cuman bakal kejadian di buku komik atau novel. Kehidupan nyata itu sangatlah kejam dan ketat. Hal-hal kayak konspirasi ngancurin dunia dari SMA normal di daerah, organisme mutan berkeliaran di daerah pinggiran kota yang damai, atau pesawat luar angkasa tersembunyi di balik gunung, semua hal itu mustahil. Mustahil! Lo dengerin gue ga? Lo ngerti sekarang, kan? Semua kelakuan eksentrik lo itu hasil dari elo yang ga bisa nemuin jalan buat ngelepasin emosi ga bahagia lo itu, bukan begitu? Tapi, ini saatnya lo sadar. Elo seharusnya tenang dan cari pacar yang mau nganterin elo pulang tiap hari dan ke bioskop tiap hari Minggu, atau mungkin lo masuk aja ke semacam klub olahraga buat ngelepasin energi lo yang berlebihan. Dengan kemampuan lo, lo bisa masuk ke tim universitas dengan cepat, jadi anggota yang aktif.

...Aku ingin mengatakan lebih, tapi aku hanya berpikir sampai lima baris saat kepalan Haruhi diayunkan, jadi sebaiknya aku berhenti sampai situ.

"Mikuru hari ini ga masuk, kudengar?"

"Mungkin dia ga bakalan balik. Cewek yang malang, gue harap dia ga trauma karena kejadian kemarin."

"Sial, dan aku udah nyiapin kostum baru buat dicoba dia hari ini!"

"Emangnya lo ngga bisa nyoba sendiri?"

"Tentu aja bisa! Tapi bakalan terlalu ngebosenin tanpa Mikuru-chan."

Nagato Yuki menyatu dengan latar belakang seolah-olah dia tak terlihat. Aneh, kenapa lo terobsesi banget sama Asahina-san; kenapa lo ngga nyobain kostum ke Nagato dan maksa dia ikutan maen-maen sama elo? Aku tahu aku tak sebaiknya mengatakan hal ini, tapi coba pikirkan, aku ingin sekali lihat bagaimana Nagato yang biasanya tanpa ekspresi itu terlihat pakai kostum bunny girl. Sudah tentu dia akan memberikan perasaan yang berbeda dibandingkan Asahina-san yang sering menangis.


Murid pindahan misterius yang diduga Haruhi akhirnya tiba!

Haruhi mengatakan berita ini padaku sebelum absensi suatu hari.

"Kau pikir ini hebat kan? Si anak pindahan benar-benar datang!"

Haruhi condong ke depan ke arahku, bicara dengan heboh. Senyum cemerlangnya bagaikan anak TK yang akhirnya dapat mainan yang diinginkannya.

Aku tak tahu dia dengar darimana, tapi anak pindahan itu akan masuk Kelas 1-9.

"Ini kesempatan sekali seumur hidup. Sayang dia ga sekelas, tapi jelas dia anak pindahan misterius, ga salah lagi!"

Lo bahkan belum pernah ketemu sama dia, gimana lo tau dia itu anak pindahan misterius ato engga?

"Bukannya aku pernah bilang? Persentasenya tinggi kalo mereka yang pindahan di tengah-tengah semester sekolah adalah abnormal!"

Siapa sih yang bikin tuh statistik? Kayaknya misteri juga tuh.

Kalo semua yang pindahan di tengah-tengah bulan Mei itu abnormal, maka pasti ada banyak murid pindahan misterius di seluruh Jepang.

Tapi, cara berpikir Haruhi tak bisa dibatasi oleh logika. Setelah bel jam pertama berbunyi, Haruhi langsung lari keluar dari ruang kelas. Dia mungkin pergi mengunjungi Murid Pindahan Misterius di Kelas 1-9.

Tepat sebelum bel akan berbunyi tanda kelas dimulai, Haruhi kembali, memakai ekspresi yang kebingungan.

"Jadi beneran dia anak pindahan misteriusnya...?"

"Hmmm... rasanya ngga deh."

Ya tentu aja engga!

"Kami ngobrol, tapi aku masih kurang informasi. Mungkin mereka cuman pura-pura aja di depan jadi orang normal; Aku percaya kemungkinannya besar. Lagian, kayaknya engga deh mereka bakalan ngebongkar jati diri mereka sebenarnya di hari mereka pindah. Aku bakalan nanya lagi pas istirahat ntar."

Tolong jangan nanya lagi! Bisa kubayangkan murid Kelas 1-9, yang tak punya urusan apa-apa dengan Haruhi, jadi ketakutan setengah mati karena kedatangannya yang tiba-tiba saat dia merampas salah satu muridnya hanya untuk bertanya, "Mana anak pindahannya?", sebelum dia menyerbu masuk. Itu, atau dia langsung menerobos ke dalam saat dia sedang mengobrol dengan teman-temannya dan mulai menginterogasi si anak pindahan yang terkejut dengan pertanyaan seperti "Darimana kamu? Siapa kamu sebenarnya?"

Pada saat ini, aku berpikiran lain.

"Anaknya cowo apa cewe?"

"Walau ada kemungkinan lagi nyamar, dia muncul jadi cowo."

Kalau gitu dia cowo!

Tampaknya Brigade SOS punya kesempatan merekrut anggota cowok lain selain aku. Haruhi mungkin langsung menyeret anak pindahan itu tanpa mendengar opininya hanya karena dia anak baru. Tapi, dia mungkin tak sebaik aku atau Asahina-san. Bisakah Haruhi membawanya masuk ke klub? Tidak. Tak peduli sebagaimana kuatnya keinginan Haruhi, seseorang dengan opini yang kuat hanya akan mengabaikannya.

Selama kita cukup jumlahnya, "Brigade Selamatkan Dunia dengan Operasi Sukaria Suzumiya Haruhi" mungkin bisa terbentuk sebagai asosiasi. Tak peduli sekolah mau mengakuinya atau tidak, orang yang harus mengerjakan administrasi dan pekerjaan kotor kemungkinan besar adalah...aku! Untuk tiga tahun kedepan, aku harus membawa nama "Bawahan Suzumiya Haruhi" dan menjalani hariku dalam keputusasaan.

Belum kupikirkan apa yang akan kulakukan setelah lulus. Tapi aku tahu kalau aku ingin pergi ke universitas, jadi aku harus menjaga tingkah lakuku. Tapi, selama aku masih bersama Haruhi, tampaknya harapan ini tak pernah bisa jadi kenyataan.

Gue harus ngapain dong?


Aku tak bisa memikirkan apapun.

Aku tahu kalau aku seharusnya melabrak Haruhi saja, bikin dia membubarkan Brigade SOS, dan lalu berusaha keras membujuknya menjalani hidup SMA yang normal. Mungkin aku bisa membuatnya berhenti memikirkan alien atau penjelajah waktu, tenang dan cari pacar atau gabung dengan beberapa klub olahraga, dan puas diri dengan tiga tahun SMA ini.

Haah, bakalan hebat banget kalo gue bisa begitu!

Kalau saja aku punya kemauan yang lebih kuat, aku takkan terhisap pusaran tak berdaya yang berpusat di sekitar Suzumiya Haruhi. Aku akan menjalani tiga tahun masa SMA dengan damai dan lulus dengan normal.

...Aku berharap akan jadi begitu!

Namun, alasanku mengatakan ini adalah kejadian-kejadian aneh yang terjadi padaku setelah ini; aku percaya semuanya mengerti sekarang?

Darimana sebaiknya aku mulai?

Benar, mari kita mulai saat anak pindahan misterius itu datang pertama kali ke ruang klub kami.



Bab 3[edit]

Dikarenakan insiden bunny girl yang terkenal, Asahina-san juga jadi nama yang umum di sekolah. Setelah absen sehari, dia berani muncul lagi di ruang klub.

Karena belum ada aktivitas klub sungguhan, aku membawa papan Othello, yang terkubur dalam di rumahku, lama terlupakan, dan main beberapa kali bersama Asahina-san sambil mengobrol dengannya.

Websitenya beres, tapi sama tiada gunanya karena tak ada pengunjung, ataupun satu email. Komputer itu hanya berguna untuk surfing internet. Kalau ketahuan sama anak-anak dari Kelompok Riset Komputer, mereka akan menangis sendirian sampai mati.

Duduk di sebelah Nagato Yuki, yang membaca buku seperti biasa, aku memulai ronde ketiga dengan Asahina-san.

"Suzumiya-san lama banget ya." Asahina-san berkata lembut sambil menatap ke papan.

Melihat bahwa dia tak terpengaruh dengan apa yang terjadi sebelumnya, aku menghembuskan desah lega. Apapun itu, bisa bersama dalam satu ruangan dengan cewek imut yang satu tahun lebih senior cukup membuat seseorang jadi puyeng.

"Ada anak pindahan datang hari ini, aku yakin dia pergi buat ngeliat dia."

"Anak pindahan?"

Asahina-san mengangkat kepalanya seperti burung kecil.

"Haruhi jadi semangat pas dia dengar kalo ada anak pindahan di Kelas 1-9. Dia kayaknya suka banget sama anak pindahan!"

Kutempatkan keping hitam di papan dan membalikan keping putih.

"Uh huh..."

"Oh iya, Asahina-san, aku ga nyangka kalo kamu bakalan datang hari ini!"

"Um... saya emang ragu-ragu sebentar, tapi saya agak khawatir, jadi akhirnya saya datang deh."

Dimana ya aku pernah dengar kamu bilang gitu sebelumnya?

"Kamu khawatir apaan?"

Plak! Dia membalikkan salah satu keping dengan jari kecilnya.

"Um... bukan apa-apa."

Aku berpaling dan menyadari Nagato menatap ke papan. Wajahnya kaku bagaikan boneka tanah liat, tapi di balik kacamatanya, matanya memperlihatkan sorot yang sebelumnya tak pernah terlihat.

"..."

Tatapannya seperti kucing yang baru lahir terkejut melihat anjing untuk pertama kalinya. Aku merunut tatapannya yang menuju tanganku yang memegang papan kepingan.

"...Nagato-san, pengen maen?"

Setelah aku mengatakan itu, Nagato mengedipkan matanya seperti robot dan, dengan cara yang sangat kecil yang kau takkan sadari kecuali kamu perhatikan dengan amat sangat, anggukan ringan kepalanya. Jadi aku bertukar tempat dengan Nagato dan duduk di sebelah Asahina-san.

Nagato mengambil salah satu keping dan mengkajinya dengan seksama. Saat menemukan bahwa kepingannya bisa menempel karena ada magnetnya, dia menarik tangannya seakan-akan ketakutan.

"Nagato-san, kamu pernah maen Othello sebelumnya?"

Dia perlahan menggelengkan kepalanya.

"Kamu tau peraturannya?"

Jawabannya tidak.

"Jadi begini, karena kamu pegang hitam, tujuanmu mengelilingi keping putih dengan keping hitammu. Dan terus kamu balikin keping putih yang udah kekepung dan mereka bakalan jadi keping hitam. Akhirnya, siapapun yang punya banyak keping yang menang."

Dia menganggukkan kepalanya. Kemudian, dengan elegan dia meletakkan keping di atas papan, walau dia agak ceroboh juga saat membalikkan keping lawan.

Setelah lawannya diganti, Asahina-san mulai kelihatan lebih gelisah. Kusadari jari Asahina-san mulai gemetaran, dan dia takkan berani mengangkat kepalanya untuk melihat Nagato. Dia terkadang mengintip Nagato dan kemudian cepat-cepat mengalihkan pandangannya, yang dilakukannya beberapa kali. Pada akhirnya mungkin Asahina-san tak bisa konsentrasi, jadi si hitam dengan cepat menguasai permainan.

Kok bisa? Asahina-san tampaknya sangat waspada terhadap Nagato, aku benar-benar tak mengerti kenapa.

Tidaklah lama sebelum hitam menang dengan meyakinkan. Tepat saat mereka berdua mau mulai ronde selanjutnya, si pelaku kejahatan yang bertanggung jawab akan semua kekacauan kembali dengan korban yang baru.

"Haiya, bikin kalian nunggu!"

Haruhi menyapa santai kami sambil menarik lengan baju seorang murid laki-laki.

"Dia adalah anak baru pindah di Kelas 1-9, namanya adalah..."

Haruhi tiba-tiba berhenti dan memberi tampang "giliranmu nih". Si korban itu berbalik dan tersenyum ke arah kami.

"...Koizumi Itsuki, senang berkenalan dengan anda."

Sosok yang langsing, dia memberi kesan seorang pemuda enerjik. Senyum penuh kepuasan, mata yang lembut, dan wajah tampan. Kalau dia musti berpose sebagai model di selebaran supermarket, pasti dia akan dapat banyak fans. Kalau dia orang yang baik, pasti dia akan lebih populer.

"Ini ruang klub Brigade SOS. Aku komandannya, Suzumiya Haruhi. Mereka disini Bawahan Satu, Dua, dan Tiga. Oh dan, kamu Nomor Empat, ingat yang rukun ya!"

Perkenalan macam apa itu!? Nama yang disebutin cuman elo dan dia aja!

"Saya tak masalah bergabung,"

Koizumi, si anak pindahan, tersenyum ramah:

"Tapi klub seperti apakah ini?"

Jika disini ada seratus orang, pastilah mereka akan bertanya hal yang sama. Banyak orang yang menanyakan hal ini padaku, tapi aku tak pernah bisa mendapatkan jawaban untuk itu. Kalau seseorang bisa jawab dengan cekatan, maka pastilah ia penipu ulung! Haruhi tampaknya tidak khawatir, tapinya, dan tersenyum riang pada kami dan berkata:

"Kalo gitu biar kukasih tau kamu misi Brigade SOS itu, lihat dan dengarlah...!"

Haruhi perlahan mengambil nafas, dan lalu memaparkan secara dramatis kebenaran yang mengejutkan.

"Misi Brigade SOS adalah untuk mencari alien, penjelajah waktu, dan esper, dan main bareng mereka!"



Seluruh dunia membeku pada saat ini.

...Tidak, itu pernyataan yang agak konyol, satu-satunya yang ada di pikiranku hanyalah "sudah kuduga". Tapi tidak begitu bagi ketiga orang lainnya.

Asahina-san benar-benar tercengang, melebarkan mata dan telinganya dan menatap Haruhi yang riang gembira. Nagato Yuki juga begitu, setelah memutarkan kepalanya ke arah Haruhi, dia berhenti seperti kehabisan baterai. Yang mengejutkanku adalah mata Nagato membelalak sedikit. Untuk orang yang tak menampilkan banyak ekspresi, ini reaksi yang mengejutkan.

Sedangkan untuk Koizumi, dia memberikan agak senyum teka-teki; sulit ditebak apa makna senyumannya. Sejenak kemudian, Koizumilah yang pertama kembali kesadarannya.

"Ah, rupanya begitu."

Seakan-akan mengerti akan sesuatu, dia melihat ke Asahina-san dan Nagato, dan mengangguk tanda mengerti.

"Seperti yang sudah diduga dari Suzumiya-san."

Setelah membuat komentar ambigu ini, dia melanjutkan:

"Tak masalah, saya akan bergabung. Saya nantikan kerja sama dengan kalian semua."

Dia tersenyum menampilkan giginya yang putih, menyilaukan.

Hei! Kamu langsung nerima gitu aja penjelasannya? Kamu tuh ngedengerin kagak sih?

Menyadari aku yang tampak keheranan, Koizumi tiba-tiba datang dan mengulurkan tangannya ke arahku.

"Saya Koizumi. Karena saya baru pindah hari ini, masih banyak yang harus saya pelajari. Senang bertemu dengan anda."

Aku menyalami tangan Koizumi yang sopan.

"Tentu, aku..."

"Dia Kyon!"

Haruhi memperkenalkan aku dengan kemauannya sendiri, dan lalu menunjuk ke arah dua orang lainnya: "Yang imut disana itu Mikuru-chan, dan si mata-empat itu Yuki-san."

Gubrak!

Suara keras mengelegar. Itu adalah Asahina-san yang terjatuh dari kursinya saat mau berdiri, dan dahinya mendarat di papan Othello.

"Anda tak apa-apa?"

Mendengar suara Koizumi, Asahina-san bereaksi dengan memutar kepalanya, seperti boneka, dan melihat keatas ke anak pindahan dengan berseri-seri. Huh! Nyebelin banget, tatapan itu.

"...Sa...saya baik-baik aja." kata Asahina-san dengan nada yang sangat pelan, menatap malu-malu ke Koizumi.

"Sip, sekarang kita punya lima anggota! Sekolah ga bakalan bisa ngapa-ngapain kita lagi!"

Haruhi melanjutkan:

"Benar, Brigade SOS terbuka untuk bisnis! Semuanya, mari kita kerja sama dan maju kedepan!"

Apa maksud anda terbuka untuk bisnis, non?

Ketika aku menyadarinya, Nagato sudah kembali ke kursinya membaca buku hardcovernya. Nagato-san, Haruhi udah ngitung kamu jadi anggota, kamu yakin ga apa-apa dengan itu?


Setelah Haruhi bilang dia mau bawa Koizumi tur keliling sekolah dan pergi, Asahina-san juga bilang dia ada urusan di rumah, jadi hanya Nagato dan aku yang tersisa.

Aku lagi tidak mood main Othello, dan tak terlalu asyik melihat Nagato membaca, jadi kuputuskan untuk pulang juga. Aku mengambil tasku dan pamitan sama Nagato.

"Kalau gitu aku duluan ya!"

"Sudah kau baca bukunya?"

Mendengar dia berkata begitu, kuhentikan langkahku. Berbalik, kusadari Nagato Yuki melihatku dengan mata hampir tak berekspresinya.

"Buku apa? Oh, maksudmu yang hardcover tebal yang kamu pinjemin ke aku kemaren-kemaren?"

"Ya."

"Oh, aku belum baca... Mungkin aku kembaliin aja ya ke kamu?"

"Tidak perlu."

Nagato tak pernah berbelit-belit, dia selalu langsung ke pokok masalah dalam satu kalimat singkat.

"Ingat baca bukunya hari ini."

Nagato berkata datar.

"Segera setelah kamu sampai di rumah."

Suaranya punya nada memerintah.

Selain yang diperlukan untuk pelajaran Sastra, aku jarang menyentuh novel, tapi karena Nagato merekomendasikan, seharusnya sih cukup menarik.

"...Oke lah kalo gitu!"

Mendengar jawabanku, Nagato kembali membaca bukunya.


Yang itulah kenapa, kudapati diriku sedang mengayuh sepedaku sekuat yang kubisa di kegelapan.


Aku pulang ke rumah setelah mengucapkan sampai jumpa ke Nagato dan langsung ke kamarku setelah makan malam untuk mulai membaca novel fiksi ilmiah asing yang disodorkannya kepadaku. Tepat ketika aku mulai pusing dengan lautan penuh kata-kata, kuputuskan untuk membolak-balik buku berpikir apakah aku bisa selesai membacanya, dan sebuah pembatas buku jatuh dari buku dan ke karpet.

Sebuah pembatas buku yang kelihatannya aneh dengan pola bunga-bunga tercetak di atasnya. Kubalikkan pembatas bukunya dan menemukan sebaris kalimat tertulis.


Malam ini, jam tujuh tepat, di taman dekat stasiun Kouyouen. Akan kutunggu.


Kata-katanya begitu rapih, seolah-olah ditulis dengan pemroses kata. Tulisan tangan yang terlihat biasa ini pasti milik Nagato. Tapi tetap saja, aku tak yakin.

Udah beberapa hari buku ini ada di gue. Jadi jam tujuh yang tertulis itu jam tujuh malam itu? Atau jam tujuh malam ini? Jangan-jangan dia ngerasa kalau pada akhirnya gue bakalan nemu pembatas bukunya dan nunggu gue di taman tiap malam? Apa alasan Nagato ingin gue baca bukunya malam ini biar gue bisa nemuin pembatas bukunya malam ini? Kalo gitu, kenapa juga dia ga ngomong langsung ke gue? Lagian, gue ga tau kenapa dia pengen manggil gue ke taman.

Kulihat arlojiku; baru jam enam lebih empat-lima menit. Walaupun stasiun itu yang paling dekat dari sekolah gue, butuh waktu paling dikit 20 menit pake sepeda kesana dari rumah.

Aku memikirkan hal tersebut kira-kira selama sepuluh detik.

Kumasukan pembatas bukunya ke jinsku sebelum lari keluar dari kamarku dan menuruni tangga seperti kelinci tangkas. Aku sampai di pintu masuk rumah saat adik perempuanku muncul, membawa es lilin dan bertanya, "Mau pergi kemana, Kyon-kun?" Aku jawab "Ke stasiun." melompat ke sepedaku, yang terikat di dekat pintu depan, dan pergi ke tempat tujuanku.

Kalo Nagato ga disana, kayaknya gue bakalan nertawain diri gue sendiri keras-keras.


Sepertinya aku takkan bisa tertawa.

Sebagai pengendara sepeda yang berhati-hati, aku butuh waktu sampai jam tujuh lewat sepuluh untuk sampai di taman di luar stasiun. Karena taman ini jauh dari jalan utama, tak ada banyak orang di jam-jam seperti ini.

Dibawah kebisingan kereta dan mobil, kutuntun sepedaku dan berjalan memasuki taman. Di bawah cahaya lampu yang berjajar beraturan di depan, samar-samar bisa kulihat sosok langsing Nagato Yuki duduk di salah satu bangku panjang taman.

Dia benar-benar orang yang keberadaannya tak mudah terdeteksi. Duduk diam di taman, jika seseorang yang tak mengenalinya dengan baik dia bisa salah dikenali sebagai hantu!

Nagato perlahan berdiri seperti boneka tali.

Dia masih mengenakan seragamnya.

"Kamu lega kalo aku akhirnya datang?"

Dia mengangguk.

"Kamu ngga mungkin kan nunggu disini tiap hari?"

Dia mengangguk lagi.

"...Apa ini sesuatu yang ga mungkin kamu bilang padaku di sekolah?"

Nagato mengangguk dan lalu berjalan di depanku.

"Arah sini."

Setelah dua patah kata, dia berbalik dan melangkah ke depan. Gaya berjalannya seperti ninja: tak ada suara langkah kaki yang bisa didengar sama sekali. Aku hanya bisa ragu-ragu mengikuti di belakang Nagato, yang menyatu sempurna dengan malam.

Setelah beberapa menit berjalan dan melihat rambutnya dihembus lembut oleh angin, kami sampai di blok apartemen yang sangat dekat dengan stasiun.

"Di sini."

Nagato mengeluarkan kartu masuknya dan menggeseknya ke sensor elektronik di gerbang masuk; pintu kaca di depan kami terbuka. Kutinggalkan sepedaku di depan gerbang masuk dan mengikuti Nagato dekat-dekat, yang sudah mengarah ke lift. Di dalam lift, Nagato sepertinya punya sesuatu di pikirannya tapi tak berkata apa-apa, hanya menatap ke papan nomor lantai. Akhirnya, lift sampai di lantai ketujuh.

"Sori, tapi kita mau kemana?"

Seharusnya kutanyakan lebih awal. Nagato, yang berjalan perlahan sepanjang koridor, membalasnya:

"Rumahku."

Aku langsung berhenti. Tunggu dulu, kenapa Nagato bawa gue ke rumahnya?

"Jangan khawatir, tak ada orang lain di dalam."

Apa? Hei, maksudnya APAAN tuh?

Nagato membuka pintu ke kamar 708, dan kemudian memandangku.

"Masuk."

Kamu serius?

Kucoba untuk tetap tenang dan masuk harap-harap cemas. Saat aku melepas sepatuku, Nagato menutup pintunya.

Aku merasa seperti baru saja menaiki kapal bajak laut, dan kuberbalik cemas ke arah suara celaka pintu yang menutup.

"Masuk."

Kata Nagato dengan datar dan melepaskan sepatunya juga. Kalau saja apartemennya gelap, aku masih bisa kabur. Tapi haiyah, terang benderang, membuat apartemen yang luas terlihat lebih luas.

Tiga kamar, satu kamar tamu, dan dapur kecil dempet dengan ruang makan — kutebak ini musti salah satu kondominium kelas atas. Begitu dekat dengan stasiun, pasti harganya sangat mahal.

Tapi kok kelihatannya kayak ga ada orang yang tinggal di sini?

Selain ruang tamu, yang punya meja kecil dengan selimut penghangat, tiada yang lainnya di sini. Tak ada gorden di jendela, dan tak ada karpet terbentang di atas lantai ubin kayu berukuran sepuluh tatami.

"Silahkan duduk."

Kata Nagato sebelum memasuki dapur, jadi aku berlutut di sebelah meja ruang tamu.

Waktu aku berpikir keras sampai pusing kenapa seorang cewek harus mengundang cowok ke rumah ketika orang tuanya lagi pergi, Nagato, bergerak seperti boneka mekanik, meletakkan nampan dengan poci teh kecil dan beberapa cangkir teh di atas meja dan duduk diam dengan baju seragam sekolahnya di seberangku.

Sunyi tak tertahankan.

Dia bahkan tak menuangkan teh untukku, hanya duduk disana melihatku tanpa ekspresi. Melihat ini, aku merasa makin dan semakin tak nyaman.

"Emm... jadi, ortu kamu dimana?"

"Tidak ada."

"Yah, aku tahu mereka lagi ga di rumah... Apa mereka lagi pergi kemana gitu?"

"Saya selalu sendirian disini, sejak dari awal."

Ini pertama kalinya aku dengar Nagato memakai kalimat yang begitu panjang.

"Kamu tinggal sendirian?"

"Ya."

Wow, seorang gadis kelas satu SMA tinggal sendirian di apartemen kelas atas! Menurut dia ini masuk akal? Kuhembuskan desah lega ketika aku tahu aku tak harus bertemu dengan orangtua Nagato. Tunggu bentar! Ini bukan waktunya lega!

"Oh iya, kamu ingin bertemu aku buat apa?"

Seperti sedang berusaha mengingat sesuatu, Nagato mulai menuangkan teh ke cangkir dan mendorongnya ke arahku.

"Minum."

Dengan patuh aku mulai minun secangkir tehnya. Selama ini, Nagato menontonku seperti sedang mengamati jerapah di kebun binatang, jadi aku tak bisa konsentrasi minum.

"Enak?"

"Enak?"

Ini pertama kali aku mendengarnya bertanya.

"Ho oh..."

Setelah aku selesai, kuletakkan cangkirnya di meja, dan Nagato segera mengisinya lagi untukku. Karena dia mengisinya, mendingan kuminum saja. Saat aku selesai, dia mengisi cangkir ketiga untukku. Akhirnya, poci tehnya kosong. Nagato berdiri bermaksud mengisi poci tehnya. Langsung kuhentikan.

"Ga perlu ngambilin teh buatku lagi, bisa tolong kamu katakan ke aku kenapa kamu bawa aku kesini?"

Setelah aku berkata begitu, Nagato menghentikan apa yang sedang dilakukannya dan kembali ke posisi duduknya seperti video diputar mundur. Dia masih tak berkata apapun.

"Apa sih sesuatu yang ga bisa diomongin di sekolah?" tanyaku penuh selidik.

Akhirnya, Nagato mengerakkan bibir tipisnya.

"Tentang Suzumiya Haruhi."

Dia meluruskan punggungnya dan duduk dengan elegan.

"Dan saya."

Dia berhenti sejenak.

Aku benar-benar tak paham dengan gaya bicaranya.

"Ada apa dengan Suzumiya Haruhi dan kamu?"

Saat ini, Nagato menunjukan wajah tak nyaman. Ini pertama kalinya kulihat dia menampilkan ekspresi seperti ini semenjak aku bertemu dengannya. Namun, pergolakan emosi ini amatlah kecil; seseorang harus sangat jeli agar bisa menyadarinya.

"Saya tidak bisa sepenuhnya menyampaikan hal ini dengan kata-kata, dan mungkin ada error dalam transmisi data. Bagaimanapun juga, dengarkan."

"Suzumiya Haruhi dan saya bukan manusia biasa."


Kalimat yang begitu ambigu di awal percakapan.

"Ya, kurang lebih aku udah sadar kok."

"Bukan itu."

Nagato melanjutkan, melirik sekilas ke tangannya yang berada di pangkuannya.

"Yang kumaksud bukan dalam arti penyimpangan kepribadian, yang kumaksud apa yang kukatakan. Dia dan saya bukan manusia biasa seperti kamu."

Aku tidak mengerti apa yang ingin dikatakannya.

"Entitas Gabungan Benak Data, yang mengawasi galaksi ini, telah membuat sebuah Antarmuka Manusia Buatan Hidup untuk supaya berinteraksi dengan entitas biologis, — saya."

"...."

"Pekerjaanku adalah mengamati Suzumiya Haruhi dan mengunggah data yang diperoleh ke Entitas Gabungan Benak Data."

"...."

"Saya telah melakukan ini sejak saya lahir tiga tahun lalu. Dalam tiga tahun terakhir, tidak ada elemen tertentu yang tak biasa yang ditemukan, dan semuanya sangat stabil. Akan tetapi, baru-baru ini sebuah faktor eksternal sekarang sudah muncul selain Suzumiya Haruhi yang tidak dapat dikesampingkan."

"...."

"Dan itu adalah kamu."


Apa Entitas Gabungan Benak Data?

Di lautan data yang luas yang dikenal sebagai alam semesta, disana eksis entitas-entitas data berkesadaran tinggi yang tak memiliki tubuh jasmani.

Para entitas tersebut bermula dalam bentuk data murni. Karena berbagai jenis data berkumpul bersama, mereka menjadi sadar, dan akhirnya mereka berevolusi dengan mengumpulkan data lain.

Karena mereka eksis sebagai data dan tidak memiliki tubuh jasmani, mereka tak dapat terdeteksi bahkan dengan menggunakan alat optis tercanggih.

Sama tuanya dengan alam semesta itu sendiri, mereka meluas bersamanya, dan basis data relatif menjadi semakin lebar dan besar.

Semenjak pembentukan planet ini, maaf, seharusnya sejak pembentukan tata surya ini, tiada yang tak diketahui di alam semesta ini bagi mereka. Menurut mereka, planet yang berada di pinggiran Bimasakti ini tidaklah spesial, karena masih banyak planet lain di galaksi ini dengan makhluk organik yang punya kesadaran, begitu banyak sehingga tidak bisa dihitung.

Akan tetapi, saat evolusi makhluk berkaki dua di planet ketiga di tata surya ini berhasil, makhluk hidup ini perlahan-lahan mendapatkan kemampuan mental untuk aktif mencari pengetahuan. Makhluk organik yang hidup di planet yang dikenal sebagai Bumi ini mulai menjadi penting.


"Untuk waktu yang lama, kami mempercayai bahwa mustahil bila makhluk organik, yang memiliki kemampuan pengumpulan dan transmisi data yang terbatas, untuk bisa mendapatkan pengetahuan," Kata Nagato Yuki dengan nada serius.

"Entitas Gabungan Data sangat tertarik dengan semua bentuk makhluk organik di Bumi. Entitas percaya bahwa dengan observasi, Entitas bisa menemukan solusi dari kebuntuan evolusi dirinya."


Tidak seperti entitas data, yang sedari awal sudah berbentuk sempurna, manusia bermula dari makhluk organik yang tidak sempurna, berevolusi secara cepat dengan memperluas data yang dimilikinya dan menggunakan data ini, yang disimpan dan disempurnakan, untuk lebih memajukan diri mereka sendiri.

Adalah normal bagi makhluk organik di seantero jagad raya untuk menjadi punya kesadaran, tapi hanya manusia di Bumi yang telah terus berevolusi ke tingkat kesadaran tertinggi. Entitas Gabungan Data sangat tertarik dengan ini, dan memutuskan untuk mengobservasi lebih lanjut manusia-manusia ini.


"Tiga tahun yang lalu, kami menemukan sebuah titik panas data yang sangat abnormal tak seperti manusia lain muncul di permukaan planet ini. Percikan informasi terpancarkan dari area tertentu di kepulauan yang berbentuk busur dengan segera menyelimuti seluruh planet dan mulai menyebar ke luar angkasa. Dan pusat dari semua itu adalah Suzumiya Haruhi."


"Kami tidak tahu kenapa hal tersebut terjadi, dan pula kami tidak tahu apa efek yang dimilikinya. Bahkan para entitas data tidak dapat memproses secara keseluruhan data baru yang sedang diciptakan."

"Lebih penting lagi, manusia memiliki keterbatasan dalam jumlah data yang dapat mereka proses, tetapi Suzumiya Haruhi mampu menciptakan ledakan data sendirian."

"Pelepasan data dengan jumlah banyak dari Suzumiya Haruhi terus terjadi, dengan frekuensi yang benar-benar tidak beraturan. Terlebih lagi, Suzumiya Haruhi sendiri tampaknya tidak menyadari akan hal ini."

"Selama tiga tahun, saya telah melewati berbagai macam investigasi terhadap individu yang dikenal sebagai Suzumiya Haruhi dari berbagai sudut pandang, tapi sampai saat ini pun saya masih belum bisa menemukan identitas aslinya. Bersamaan dengan itu, bagian lain Entitas Gabungan Data telah menentukan bahwa dia adalah kunci untuk evolusi para entitas data dan tetap melanjutkan analisis mereka terhadap Suzumiya Haruhi..."


"Karena mereka hanya berwujud entitas saja, mereka tidak mampu berbicara dan sehingga tidak bisa berinteraksi dengan makhluk organik. Namun tanpa berbicara, kontak dengan manusia akan mustahil, karena itu Entitas Gabungan Data telah membuatku berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara mereka dan manusia."

Akhirnya, Nagato mengangkat cangkirnya dan menyeruput tehnya. Dia mungkin telah mengatakan kata-kata yang sama nilainya untuk setahun.

"...."

Aku tak tahu bagaimana harus merespon.

"Potensi untuk evolusi mandiri mungkin terdapat dalam Suzumiya Haruhi; dia bahkan mungkin punya kemampuan untuk mengontrol data di sekitarnya. Inilah alasan saya ada disini, dan itu pula alasan kamu disini."

Otakku mulai amat bingung, kuinterupsi:

"Aku bakalan jujur, aku ngga ngerti sama yang kamu omongin."

"Percayalah padaku."

Nagato melihatku dengan ekspresi serius yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Sangat terbatas data yang bisa disampaikan melalui kata-kata. Saya hanya terminal antarmuka untuk datanya, hidup sebagai alien organik supaya dapat berinteraksi dengan manusia. Saya tidak dapat menyampaikan seluruh benak Entitas Gabungan Data kepadamu, jadi mohon mengerti."

Kalaupun kamu bilang begitu, aku masih ngga ngerti!

"Aku ngga ngerti, kenapa nyari aku? Anggap saja aku percaya kamu tuh alien yang dibikin oleh si entitas-serah-kau-bilang-apa, tapi kenapa kamu bilang ini padaku?"

"Karena kamu telah dipilih secara khusus oleh Suzumiya Haruhi. Baik dia sengaja ataupun tidak, sebagai Entitas Data Absolut, dia dapat mempengaruhi lingkungan disekitarnya hanya dengan benaknya saja. Pasti ada alasan kenapa kamu yang dipilih."

"Engga, ngga ada!"

"Ada. Mungkin bagi Suzumiya Haruhi, kamu memainkan peranan penting. Kemungkinan tanpa batas sekarang ada di tangan kamu dan Suzumiya Haruhi."

"Kamu serius?"

"Ya."

Untuk pertama kalinya, kuamati baik-baik wajah Nagato Yuki. Tadinya kupikir dia tak pernah suka berbicara, tapi sekarang dia telah membuka pintu banjir dan membiarkan kata-katanya mengalir, kata-kata yang tak dapat kumengerti. Aku selalu merasa kalau dia itu aneh di beberapa cara, tapi setelah mendengar pidato ini, aku temukan bahwa keanehannya itu di luar batas imajinasi.

Entitas Gabungan Benak Data? Antarmuka Manusia Buatan Hidup?

Yang bener aje!

"Okey, kupikir mendingan kamu ngomongin ini langsung ke Haruhi, aku yakin dia bakalan senang banget. Jujur aja, aku ga terlalu tertarik dengan topik kayak gini, sori banget ya."

"Mayoritas Entitas Gabungan Data berspekulasi bahwa bila Suzumiya Haruhi menjadi sadar akan kekuatan dan keberadaannya, krisis tak terduga mungkin terjadi; oleh karena itu, pada tahap ini kami memilih untuk terus mengobservasi."

"Ada kemungkinan kalau aku bakalan ngomong semua ini ke Haruhi! Aku ngga ngerti, kenapa ngasih tau aku semua ini?"

"Kalaupun kamu mengatakannya, kemungkinan besar dia akan mengabaikannya."

Emang kemungkinannya besar sih.

"Aku bukanlah satu-satunya alien yang ditempatkan di Bumi oleh Entitas Gabungan Benak Data. Entitas bermaksud untuk mengambil peran proaktif dan mengamati segala perubahan aliran data. Bagi Suzumiya Haruhi, kamu adalah orang penting. Jika ada tanda-tanda krisis mengancam, aku akan pertama melihatmu."

Sori, anggap aku keluar.

Permisi aku pamit, makasih tehnya, tehnya enak.

Melihatku mau pergi, Nagato tak menghentikanku.

Dia merendahkan kepalanya dan melirik ke cangkir tehnya, kembali ke mode normal tak berekspresinya. Kukira hanya imajinasiku saja, tapi karena alasan tertentu, aku sebenarnya berpikir dia tampak agak kesepian.


Ketika ibuku bertanya darimana saja aku pergi, kuberi jawaban singkat dan langsung menuju kamarku. Tiduran di atas kasurku, aku mulai mengingat kembali semua perkataan Nagato.

Kalau gue percaya apa yang dia omongin, maka itu berarti Nagato Yuki bukan makhluk dari dunia ini; dengan kata lain, alien.

Bukannya ini persis dengan semacam makhluk mistis yang susah payah Suzumiya Haruhi cari tiap hari?

Dan selama ini itu ada tepat di bawah hidung kita.

...Heh...Sialan! Gue kedengarannya kayak orang idiot!

Mataku menangkap novel hardcover tebal yang terlempar di pojokan tempat tidur. Kuambil bersama pembatas buku dan melihat sekilas ke gambar covernya sebelum meletakannya di sebelah bantalku.

Nagato pasti ngambil seluruh fantasi aneh-aneh itu dari ngebaca semua novel fiksi ilmiah sendirian di apartemennya sampe lama banget. Dia mungkin ga pernah ngobrol sama orang lain di kelas, menjarain dirinya di pikirannya sendiri. Dia seharusnya naruh bukunya, keluar dan nyari beberapa teman, dan nikmatin kehidupan sekolah yang asik. Kekurangan ekspresi dia ga ngebantu berkawan sama orang-orang, dan dia pasti bakalan manis banget kalo aja dia tersenyum.

Kayaknya gue balikin aja buku ini ke dia besok... Ah bodo, karena gue udah minjem, mendingan gue beresin aja bacanya.


Esoknya setelah beres sekolah.

Karena aku piket hari itu, aku sampai di ruang klub lebih lambat dari biasanya, dan yang pertama kali kulihat adalah Haruhi mempermainkan Asahina-san.

"Tetap diam! Sial! Jadi anak baik dan jangan gerak!"

"Ja...jangaaannn! To...tolong~~"

Haruhi nyaris menelanjangi Asahina-san yang memberontak dari seragamnya.

"KYAA!!!"

Asahina-san berteriak saat dia menyadari aku datang.

Saat kulihat Asahina-san hanya dengan bra dan celana dalam, aku segera berbalik dan menutup pintu yang setengah terbuka.

"Sori."

Setelah menunggu di luar pintu selama sepuluh menit, duet desahan manis Asahina-san dan seruan gembira Haruhi akhirnya selesai. Suara Haruhi menembus pintu:

"Oke, kamu boleh masuk sekarang."

Saat aku kembali memasuki ruangan, aku berhenti terkagum-kagum.

Disana yang menyambutku di dalam adalah pemandangan maid cantik.

Berpakaian kostum maid, Asahina-san duduk di kursi metal dengan airmata di matanya. Setelah melihatku sedih, dia menundukan kepalanya.

Celemek putih dipasangkan dengan rok bergelombang, blus, dan stoking putih hanya membuatnya semakin menawan. Bando berenda dan simpul kupu-kupu besar meningkatkan pesonanya.

Sungguh maid tanpa cela!

"Gimana? Dia imut kan?"

Kata Haruhi seakan-akan memuji buatan tangannya sendiri, sambil membelai rambut Asahina-san.

Sepenuh hati gue setuju. Tak menyinggung Asahina-san yang malang, tapi dia memang benar-benar terlihat imut dengan memakainya.

"Kostum ini hebat, kan?"

"Engga, ini ga hebat!" — Asahina-san memprotes lembut, tapi aku pura-pura tak mendengarnya dan berpaling ke Haruhi.

"Kenapa lo ngedandanin dia jadi maid?"

"Karena kostum maid itu seksi!"

Brenti ngasih jawaban ambigu napa!

"Butuh waktu lama buatku mikirin ini, tahu?"

Kalaupun elo ga mikir sama sekali, ga bakalan banyak bedanya.

"Di drama yang sekolah itu panggung utamanya, mesti ada karakter menawan kayak Mikuru-chan. Dengan kata lain, ceritanya ga bakalan jalan tanpa dia, kamu ngerti? Mikuru-chan emang udah lembut dan imut, tetapi kecuali kamu ngedandanin cewe sekolahan manis dengan body aduhai pake kostum maid, kamu ga bakalan dapat perhatian orang. Sekarang semuanya bakalan jatuh cinta kepadanya pas mereka ngeliat dia. Dengan ini, kita dipastikan menang!"

Ngomong-ngomong, apa sih yang pengen kamu menangin, tepatnya?

Saat aku berpikir bagaimana meresponnya, Haruhi mengeluarkan kamera digital entah darimana dan mulai mengambil potret kenang-kenangan.

Asahina-san tersipu merah terang dan menggelengkan kepalanya keras-keras.

"T...tolong berhenti memotret!!!"

Asahina-sempai, kamu buang-buang waktu memohon ampun dari Haruhi, karena kalaupun kamu membungkuk dan bersimpuh, dia itu macam orang yang bakalan terus ngelakuin apa yang udah dipikirnya, apapun yang terjadi.

Seperti yang sudah diduga, Haruhi membuat Asahina-san melakukan berbagai pose untuk sesi fotonya.

"Hiks..."

"Sekarang lihat kesini! Rendahin dagumu dikit! Angkat celemekmu! Ya, itu baru anak baik! Senyum sedikit lagi!"

Haruhi tak henti-hentinya memberi perintah kepada Asahina-san sembari bersamaan menekan tombol kamera. Kalau aku tanya darimana dia dapat kamera digital ini, dia pasti akan bilang dia "dapatkan" entah dimana. Lebih tepatnya mencuri, kukira.

Di tengah-tengah pemotretan gila Haruhi, Nagato Yuki duduk di kursinya membaca seperti biasa. Kendatipun pembicaraannya yang membingungkan denganku semalam, melihat ketenangannya yang biasa kuhembuskan desah lega.

"Kyon, giliranmu motret."

Haruhi menyerahkan kameranya kepadaku dan berbalik menghadap Asahina-san. Lalu, seperti aligator perlahan mendekati burung yang tak curiga, dia merangkulkan tangannya ke bahu Asahina-san.

"Ah..."

Haruhi tersenyum ke Asahina-san yang mengangkat bahunya.

"Mikuru-chan, coba sedikit lebih imut, OK?"

Berkata demikian, Haruhi lanjut mengendurkan pita Asahina-san, lalu dengan cepat melepaskan tiga kancing blusnya. Nyaris menyingkapkan dada besar Asahina-san dengan seketika.

"Tu...tunggu! Jangan... apa yang kau lakukan...!?"

"Jangan khawatir, ga terlalu masalah, kan?"

Tentu aja masalah, non!

Akhirnya, Asahina-san dipaksa untuk menempatkan kedua tangannya di pangkuannya dan sedikit condong ke depan. Dihadapkan dengan payudara penuh berkah Asahina-san, yang samasekali kontras dengan tubuh kecil dan wajah imutnya, cepat-cepat kualihkan pandanganku. Tapi aku takkan bisa mengambil foto kalau begitu, jadi kuhadapi tanpa pilihan, kuputar mataku kembali ke kamera dan menekan tombol berulangkali seperti yang diperintahkan Haruhi.

Asahina-san yang malang dibuat melakukan berbagi pose yang semakin menegaskan lekak-lekuk dadanya, dan dia begitu malu sampai-sampai wajahnya jadi semakin merah. Namun, bahkan saat dia hampir menangis, dia tetap berusaha sebaik-canggungnya untuk tersenyum, memberikan pesona yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Sialan, kayaknya gue jadi cepat jatuh cinta dengannya.

"Yuki-chan, pinjem kacamatamu."

Nagato Yuki perlahan mengangkat kepalanya, lalu perlahan melepas kacamatanya dan memberikannya ke Haruhi, dan lalu perlahan memindahkan pandangannya kembali ke bukunya. Apa kamu bisa baca ga pake kacamata?

Haruhi mengambil kacamatanya dan meletaknnya di wajah Asahina-san.

"Kacamatanya bakal keliatan bagus kalo sedikit miring. Nah, bakalan sempurna! Kyon, ingat ngambil lebih banyak foto maid mata-empat, polos, dan bersusu gede!"

Mengesampingkan argumen apakah bakalan ngambil foto atau engga, emangnya lo pengen apain tuh foto-foto Asahina-san pake kostum maid ngomong-ngomong?

"Mikuru-chan, mulai sekarang kamu pake kostum ini tiap kamu datang buat kegiatan klub!"

"Bisa-bisanya kamu..."

Asahina-san berusaha keras mengekspresikan penolakannya, tetapi Haruhi menangkapnya dan membelai wajahnya tanpa henti.

"Siapa suruh kamu imut banget? Wah, bahkan cewek kayak aku ga bisa nahan diri ngelakuin ini ke kamu sekarang!"

Asahina-san teriak-teriak dan berusaha kabur, tapi sia-sia, di bawah belas kasih kedua tangan melecehkan Haruhi.

Sial, Haruhi, gue iri banget sama elo. Engga, tunggu, kok bisa-bisanya gue mikir kayak gitu!? Gue seharusnya berusaha nyelamatin dia!

"Baiklah, kupikir ini waktunya elo berhenti sekarang!"

Aku berusaha menarik jauh Haruhi dari pelecehan seksual Asahina-san, tapi dia benar-benar tak mau lepas.

"Udah cukup, berhenti napa sih!"

"Emang masalah? Kenapa kamu ga ikutan juga?"

Bukan ide yang buruk sebenarnya, tapi melihat wajah Asahina-san yang memutih, aku tentunya tak berkata apa-apa.

"Huah, apakah yang terjadi di sini?"

Membalikan badan, kulihat Koizumi Itsuki berdiri di pintu masuk dengan tasnya.

Dia pertama melihat girang ke arah Haruhi, yang tangannya bergerak ke payudara Asahina-san; lalu kepadaku, yang berusaha menghentikan kegilaan Haruhi; lalu ke Asahina-san yang pakai kostum maid, gemetar tiada henti; dan akhirnya ke Nagato, yang tetap tak terganggu, dengan damai membaca bukunya walau tanpa kacamatanya.

"Apakah ini semacam aktivitas klub?"

"Koizumi, kamu datang di saat yang tepat! Yok kita mainin Mikuru-chan!"

Lo ngomong apa!?

Koizumi hanya menyeringai. Plis deh, kalo elo benaran setuju dengan saran Haruhi, maka elo punya masalah serius.

"Tidak, terima kasih, tampaknya cukup menakutkan bagi saya."

Koizumi meletakan tasnya di atas meja dan membuka salah satu bangku di dinding.

Koizumi: "Apakah ini semacam aktivitas klub?"

"Keberatankah bila saya hanya duduk dan melihat?"

Dia duduk dengan kaki disilangkan dan melihatku seakan-akan dia sedang melihat parade.

"Jangan hiraukan saya. Silahkan, lanjutkan."

Bukan! Elo salah paham! Gue engga lagi ngelecehin Asahina-san! Gue lagi berusaha nyelamatin dia!

Alhasil, aku bisa menyelip di antara Haruhi dan Asahina-san, dan dengan panik mengangkat Asahina-san tepat sebelum dia jatuh ke lantai. Aku terkesan betapa ringannya Asahina-san saat aku menempatkannya kembali ke bangku. Kostum maid Asahina-san jadi acak-acakan dan berantakan, dan dia terlihat benar-benar kecapaian, tapi bicara sejujurnya, kupikir dia malah terlihat seksi.

"Oh ya udah, kita udah ngambil banyak foto ini."

Asahina-san begitu kelelahan sehingga dia hanya tergeletak lemah di meja. Haruhi mengambil kacamata dari wajah imutnya dan mengembalikannya ke Nagato.

Nagato dengan diam menerima kacamatanya, mengenakannya kembali tanpa berkata sepatah pun. Seolah-olah pidato tanpa hentinya semalam tak pernah terjadi saja. Dia ngerjain gue berarti kemarin, ya ga?

"Sip, mari kita mulai rapat Brigade SOS yang pertama!"

Haruhi, yang berdiri di atas meja komandan, tiba-tiba berteriak. Tolong berhenti ngagetin orang dengan tiba-tiba teriak!

"Sebelum ini, kita udah ngelakuin banyak kerjaan. Kayak nyebarin selebaran dan bikin website, reputasi Brigade SOS di sekolah telah membumbung tinggi ke langit, jadi kuumumkan fase pertama kerjaan kita sukses besar."

Gimana bisa bikin Asahina-san terluka mental dibilang sukses!?

"Tapi inbox kita belum nerima satu email pun tentang kejadian misterius, dan ga ada seorang pun yang datang buat diskusiin kekhawatiran mereka dengan pengalaman mereka."

Reputasi doang ga ngebantu banyak, karena sampai sekarang, ga semua orang tahu ini klub tentang apaan. Lagian, sekolah ini bahkan ga ngakuin klub ini!

"Dulu ada pepatah 'sabar itu subur', tapi waktu udah berubah. Kalopun kita harus muter-balikin bumi, kita bakalan cari mereka sendiri. Jadi semuanya, yuk kita mulai nyari!"

"...Kita nyari apa?"

Karena tak ada yang bertanya, kuputuskan untuk melakukannya sendiri.

"Untuk menemukan segala kejadian misterius di dunia ini! Asalkan kita berusaha keras, kita pasti bisa nemu satu atau dua kejadian di kota ini!"

Cara berpikir lo itu misteri dalam misteri, non!

Kutampilkan keenggananku, Koizumi hanya tersenyum penuh teka-teki, Nagato tetap berwajah tanpa ekspresi, sementara Asahina-san tampaknya sudah menyerah pada nasib, terlalu capai untuk menjawab. Tak mempedulikan reaksi semuanya, Haruhi mengayunkan tangannya dan berteriak:

"Sabtu ini, yaitu besok! Kita ketemuan di luar stasiun utara sebelum jam sembilan pagi! Jangan telat! Yang bolos akan dieksekusi!

Haah, jangan hukuman mati lagi?



Apa yang Haruhi lakukan dengan foto-foto kostum maid Asahina-san? Aku yakin sebagian besar dari kalian telah menebaknya, gadis bodoh itu berniat mengunggah semuanya ke website sehingga foto-foto itu dapat menarik orang-orang ke website untuk berdiskusi.

Ketika aku menemukannya, dia baru saja selesai mengunggah semuanya ke halaman depan untuk menyambut pengunjung. Dia bahkan mengetikan detil-detil pribadi.

Lo tau ga sih apa yang lo lakuin!? Ini bisa ngasih tanda ke banyak orang!

Aku berusaha sebisaku untuk menghentikan perbuatan bodohnya dan membuatnya menghapus semua gambar. Jika Asahina-san tahu kalau gambar-gambar dia berpose seksi berkostum maid telah menyebar ke seluruh dunia, dia mungkin akan pingsan di tempat.

Aku segera memperingatkan dia akan bahayanya menaruh detil pribadi di web, dan sungguh mengejutkan untuk sekalinya, Haruhi benar-benar memperhatikan dan mendengarkanku dengan serius. Pada akhirnya, seolah-olah untuk menjengkelkanku, dia berkata agak kesal:

"Aku udah tau kok!"

Dia lalu dengan sangat enggan membolehkanku untuk menghapus gambar-gambar itu dari halaman web. Pada saat ini, seharusnya aku menghapus seluruh foto Asahina-san, tetapi akan sangat disayangkan melakukan itu. Maka, diam-diam kusimpan semuanya ke dalam sebuah file dokumen di hardisk komputer dan melindunginya dengan password.

Hanya aku yang bisa melihat foto-foto itu!



Bab 4



Lelucon apaan nih!? Minta-minta ketemuan jam sembilan pagi pas akhir pekan! Walaupun begitu, tapinya, gue tetap aja ngayuh keras sepeda gue ke stasiun. Gue ga ada harapan banget deh!

Terletak di tengah kota, Stasiun Kitaguchi berfungsi sebagai penghubung penting rel kereta, dan setiap akhir pekan, alun-alun depan stasiun penuh sesak dengan para muda-mudi yang melihat-lihat. Selain pergi ke kota yang lebih besar, tak terlalu banyak yang bisa dilakukan di kota ini selain pergi ke mal dekat stasiun. Selalu memukauku bagaimana orang-orang bisa hidup normal di kota ini dengan begitu sedikit yang bisa dilakukan.

Menaruh sembarangan sepedaku di dekat pintu masuk bank yang tertutup, aku berlari ke pintu putar di gerbang utara stasiun. Masih ada lima menit sebelum jam sembilan, tetapi yang lain sudah pada datang.

Haruhi menolehkan kepalanya dan berkata.

"Kamu telat! Kamu harus didenda!"

"Tapi kan belum jam sembilan."

"Walau kamu ga datang telat, orang terakhir yang datang masih harus dihukum. Itu aturannya!"

"Kok bisa gue ga pernah tahu soal aturan itu sebelumnya?"

"Karena baru aja kupikirkan!"

Berpakaian T-shirt lengan panjang dan rok denim pendek, Haruhi terlihat sangat ceria.

"Kamu harus nraktir kita semua minum."

Bertolak pinggang dengan santai, Haruhi terlihat lebih mudah didekati daripada dia yang biasanya cemberut terus. Tak mampu berdebat, dengan patuh kusetujui perintahnya dan membimbing semuanya ke kafe terdekat.

Asahina-san memakai gaun terusan putih tanpa lengan dengan kaus rajutan biru muda di atasnya. Rambut panjang berombaknya diikat di belakang kepalanya dengan jepit rambut. Setiap kali dia berjalan, rambutnya bergoyang sedikit, membuatnya kelihatan manis. Senyumannya memberikan kesan wanita muda manis berbudaya baik. Bahkan tas tangannya pun kelihatan trendi.

Berdiri di sampingku, Koizumi memakai kemeja pink dengan jaket di atasnya, juga memamerkan dasi merah terang, membuatnya terlihat sangat formal. Aku merasa kesal tapi harus kuakui kalau dia terlihat agak keren, plus dia lebih tinggi dariku.

Nagato, seperti biasa, berdiri di belakang mengenakan seragam sailornya. Walaupun dia benar-benar melihat dirinya sendiri sebagai anggota Brigade SOS, secara teknis dia masih anggota Klub Sastra. Mendengarnya mengatakan semua hal-hal aneh kepadaku di malam itu membuatku semakin prihatin akan ekspresi tenangnya. Omong-omong, kenapa dia masih pakai seragam sekolah bahkan di akhir pekan?

Saat Si Misteri Lima berjalan memasuki kafe dekat bunderan dan duduk di kursi masing-masing, seorang pelayan mulai mencatat pesanan kita. Hanya Nagato yang mempelajari menu dengan serius -- masih kelihatan tanpa ekspresi, tentunya -- berlama-lama untuk memutuskan. Sejujurnya, waktu yang diperlukannya untuk memutuskan apa yang mau diminum cukup untuk memasak semangkuk ramen!

"Teh almond." Katanya pada akhirnya.

Sebenarnya sih ga masalah apa yang kamu pesan, ngomong-ngomong, abisnya kan aku yang bayar.



Haruhi membuat usul berikut ini:

Kami akan dibagi jadi dua kelompok. Bila salah satu dari kami menemukan sesuatu yang terlihat misterius, kami langsung mengontak satu-sama lain dengan HP lalu ketemuan untuk mendiskusikan apa tindakan selanjutnya. Setelah semuanya selesai, tanya-jawab akan diadakan untuk meninjau dan menyiapkan perkembangan lebih jauh.

Itu saja.

"Sekarang, yuk kita narik undian!"

Haruhi mengambil lima tusuk gigi dari tempat tusuk gigi, lalu dengan bolpoin yang dipinjam dari pelayan, dia menandai dua tusuk gigi. Dia lalu membungkuskan jari-jarinya ke sekeliling tusuk gigi untuk kami undi.

Aku menarik yang ada tandanya; begitu pula Asahina-san, yang berkata sambil melihat ke tusuk gigi bertandanya, "Hmmm, kombinasi yang luar biasa, ya..."

Untuk suatu alasan, Haruhi menatap dingin kepadaku dan Asahina-san, dan lalu menyahut, "Kyon, dengar kamu, ini bukan kencan! Yang serius, kamu ngerti?"

"OK sudah!"

Apa gue tadi baru ngeliatin pikiran gue ke dia ya? Apapun itu, ini mantap! Aku menari kegirangan di dalam hati saat kulihat Asahina-san yang menatap tusuk gigi bertanda sedang bersemu memerah hebat. Oh yes!

"Apa tepatnya yang kita cari?" Koizumi bertanya santai, sementara Nagato meminum tehnya secara metodis.

Menghabiskan tetes terakhir es kopinya, Haruhi mengibas rambut di belakang telinganya dengan ringan.

"Apa aja yang kelihatan mencurigakan. Apapun atau siapapun yang kelihatan aneh. Juga cari gerbang yang menuju dimensi lain dan alien yang nyamar sebagai manusia."

Hampir kusemburkan teh mint yang sedang kuminum. Aneh, kenapa Asahina-san punya ekspresi yang sama? Tentu aja, Nagato tetap sama seperti biasanya.

"Oh begitu." Kata Koizumi.

Loe yakin loe beneran ngerti?

"Jadi, yang kita perlu lakukan adalah mencari alien, penjelajah waktu dan esper dengan kekuatan supranatural, dan jejak yang mereka tinggalkan di bumi. Saya mengerti sepenuhnya." Kata Koizumi riang.

"Benar! Pintar juga kamu, Koizumi-kun! Seperti yang kamu bilang! Kyon, kamu harus belajar darinya!"

Berhenti ngasih makan egonya! Merasa kesal, kulihat Koizumi yang hanya tersenyum balik kepadaku dan mengangguk.

"Baiklah! Ayo jalan!"

Haruhi menyodorkan tagihannya kepadaku dan melangkah keluar dari kafe.

Walau aku sudah mengatakan ini berkali-kali, aku masih harus mengatakannya lagi:

"Ampun deh."



Ingat, ini bukan kencan! Kalau sampai ketahuan kamu senang-senang sama dia, kubunuh kamu! Begitulah Haruhi berkata, pergi dengan Koizumi dan Nagato. Kami masing-masing mengarah ke Timur dan Barat. Aku masih tidak mengerti apa yang seharusnya kita cari.

"Kita mesti ngapain ya?"

Asahina-san melihatku, menggenggam tasnya dengan kedua tangannya. Aku ingin pulang tapi tahu kalau itu mustahil. Jadi, aku pura-pura berpikir sejenak sebelum mengatakan, "Percuma cuman berdiri di sini doang, jadi yuk kita keliling-keliling."

"OK."

Asahina-san dengan patuh berjalan bersamaku. Dia sungkan saat berjalan di sampingku. Setiap kali dia tak sengaja tubrukan dengan bahuku dia akan tersentak mundur malu-malu. Dia terlihat begitu polos seperti itu. Kami menelusuri jalur di pinggir sungai dan tanpa tujuan ke arah utara. Kalau kami datang sebulan lalu, kami masih bisa menikmati bunga sakura yang mekar, tapi sekarang hanya jalan-jalan biasa di sepanjang sungai.

Karena ini tempat populer untuk jalan-jalan, banyak keluarga dan pasangan yang ikutan berjalan. Jika tidak ada yang tahu, mereka akan berpikir kami ini pasangan muda, dan bukan sekelompok yang sedang mencari sesuatu yang misterius.

Melihat ke pinggir sungai, Asahina-san bergumam pelan sendiri, "Ini pertama kalinya saya jalan-jalan kayak gini!"

"Maksudnya?"

"...Itu, dengan cowo, cuma duaan aja..."

"Kaget banget aku. Jangan-jangan kamu belum pernah jalan sama cowo sebelumnya?"

"Belum..."

Aku menghadap Asahina-san yang rambut lembutnya berkibar ringan oleh angin dan bertanya, "Wow! Tapi bukannya banyak cowo yang nembak kamu, kan?"

"Mm..."

Asahina-san malu-malu menundukan kepalanya. "Tapi, itu ga bisa. Saya ga bisa menjalin hubungan dengan siapapun, paling engga jangan sekarang..."

Dia jadi bungkam tiba-tiba. Selama aku menunggu dia melanjutkan, tiga pasangan bahagia melewati.

"Kyon-kun..."

Aku sedang menghitung jumlah dedaunan yang telah jatuh ke sungai saat Asahina-san memanggilku.

Asahina-san melihatku malu-malu bingung, dan lalu, memberanikan diri, dia berkata, "Saya punya sesuatu yang ingin kukatakan."

Matanya yang bulat, seperti mata rusa menampakan kebulatan tekadnya yang kuat.



Kami duduk di kursi taman di antara pepohonan sakura dan untuk waktu yang lama Asahina-san tidak berbicara. Dia menundukan kepalanya dan bergumam, "Darimana saya harus mulai ya? Saya ga pandai ngejelasin sesuatu. Mungkin dia ga bakalan percaya."

Akhirnya dia mengangkat kepalanya dan mulai berbicara dalam nada yang agak malu-malu. "Saya bukan dari waktu dan jaman ini. Saya orang dari masa depan. Saya ga bisa katakan kapan asal saya, atau dari bidang waktu yang mana. Toh saya ga bakalan bisa, meskipun saya ingin. Ngasih informasi apapun tentang masa depan dengan siapapun dari masa lalu amat dilarang -- dan oleh karena itu -- sebelum saya naik mesin waktu saya harus ngejalanin pengkondisian mental yang ketat. Bila saya berniat bilang sesuatu yang seharusnya ga boleh dikatakan, ingatanku akan informasi tersebut akan disegel."

Asahina-san mengambil nafas panjang dan melanjutkan, "Ga kayak air yang mengalir di sungai, tiap bingkai waktu terbentuk dari bidang datar dua dimensi yang berbeda."

"Kamu udah bikin bingung aku dari awal."

"Hmmm, gimana kalau gini, coba bayangin itu tuh kayak kartun. Pas kita nonton kartun kita ngeliat karakternya bergerak mulus tapi, sebenarnya, mereka semua kebentuk dari sejumlah urutan gambar yang diam. Sama halnya, waktu juga begitu, versi digital. Tapi kalo saya pakai urutan gambar diam sebagai penggambaran, mungkin kamu bisa lebih ngerti."

"Di antara satu bingkai waktu dengan yang lainnya ada yang disebut garis retakan temporal. Mereka benar-benar ada lho, meski frekuensi garis retakan mendekati nol; jadi, ga ada kesinambungan antara bingkai waktu yang berbeda. Perjalanan waktu adalah usaha untuk melakukan pergerakan tiga dimensi di antara bidang temporal dua dimensi. Buat saya yang udah datang dari masa depan ke bidang temporal ini, itu kayak nambahin objek ekstra, digambarin ke gambar diam. Kalaupun saya berusaha ngubah sejarah di jaman ini, ga bakalan ngaruh ke masa depan, sebab ga ada kesinambungan di antara bingkai waktu. Semuanya bakalan tetap di bidang temporal ini. Kayak nambahin beberapa kata di satu gambar diam dari ratusan gambar diam: cerita keseluruhannya ga bakalan kepengaruh, kan?"

"Waktu ga kayak sungai disini: setiap momen milik bidang temporal digital tertentu. Kamu ngerti sekarang?"

Aku ragu apakah akan kutaruh tanganku di dahiku, yang kemudian akhirnya kulakukan. Bidang temporal, digital. Istilah ini ga masalah buatku, tapi, ada apa dengan perjalanan waktu?

Asahina-san melirik sekilas ke jari-jari kaki di sandalnya dan melanjutkan, "Biar kukatakan alasan saya datang ke bidang temporal ini..."

Pasangan dengan anak kecil melewati kami pada saat itu.

"Tiga tahun lalu kami mendeteksi terjadinya gempa waktu yang besar. Hmmm, seharusnya sekitar tiga tahun sebelum hari ini, tepat ketika Suzumiya-san baru masuk SMP. Kami terkejut saat kami melintas mundur buat investigasi, karena kami ga bisa melintas lebih jauh ke masa lalu."

Kenapa mesti tiga tahun yang lalu lagi?

"Kami menyimpulkan kalo disana ada garis retakan temporal yang amat besar, tapi kami ga tahu kenapa cuman muncul pas bingkai waktu tertentu itu aja. Baru-baru ini aja kami nemu alasan...maaf, maksudku baru-baru aja untuk di jaman saya datang."

"...Dan kenapa tuh?"

Pelakunya ngga mungkin dia, kan?

"Itu karena Suzumiya-san."

Asahina-san mengucapkan kata yang tak ingin kudengar.

"Dia terletak tepat di tengah-tengah dimensi keempat. Mohon jangan tanya kenapa, karena itu dilarang, jadi saya ga bisa ngasih tau kamu. Namun, kami yakin kalau Suzumiya-sanlah yang udah ngeblok jalur buat ngelintas ke masa lalu."

"...Kayaknya Haruhi ga bisa ngelakuin itu deh..."

"Tadinya saya kira juga begitu. Jujur aja, mustahil manusia normal ngehalang-halangin bidang-bidang temporal. Ini masih misteri tak terpecahkan, dan Suzumiya-san sendiri ga sadar kalau dia itu sumber dari semua distorsi temporal dan gempa waktu. Saya datang ke sisi Suzumiya-san biar saya bisa ngamatin dari dekat semua perubahan baru di bidang temporal... Maafin saya, saya ga bisa nemuin kata-kata yang tepat buat ngejelasin ini, bilang aja saya ini lagi ngurusin surveillance."

"....." aku terlalu kelu untuk menanggapi.

"Kamu ga percaya sama saya, ya?"

"Ngga...benar, jadi kenapa kamu bilang ini ke aku?"

"Karena kamu udah dipilih sama Suzumiya-san."

Asahina-san berputar dan menghadapiku.

"Saya ga bisa ngejelasin detailnya. Tapi, kalo saya nebaknya benar, kamu itu orang sangat penting bagi Suzumiya-san. Ada alasannya untuk setiap perbuatannya."

"Jadi Nagato-san dan Koizumi..."

"Mereka mirip denganku, tapi Suzumiya-san masih ga sadar kalau dialah yang ngumpulin kami ke sisinya."

"Jadi kamu tahu mereka itu apa?"

"Itu informasi rahasia."

"Apa yang bakal terjadi kalau kita cuman ninggalin Haruhi sendirian?"

"Informasi rahasia."

"Karena kamu dari masa depan, seharusnya kamu tau apa yang bakalan terjadi selanjutnya, kan?"

"Informasi rahasia."

"Apa yang terjadi kalau aku bilang ke Haruhi semua ini?"

"Informasi rahasia."

"..."

"Maafkan saya, saya benar-benar ga bisa ngasih tau kamu. Apalagi sekarang-sekarang ini, karena saya ga punya hak untuk itu."

Kata Asahina-san dengan paras maaf di wajahnya.

"Ga masalah kalaupun kamu ga percaya sama saya; saya cuman pengen kamu tau soal ini."

Aku ingat pernah ngedenger hal yang sama dikatakan di dalam apartemen yang membosankan, yang sepi.

"Maafkan saya."

Melihatku terdiam, Mata Asahina-san terlihat depresi memerah.

"Saya sungguh minta maaf, karena tiba-tiba ngomongin semua ini kepadamu."

"Ga papa, beneran..."

Pertama ada Nagato yang ngomong ke gue kalo dia itu Antarmuka Manusia Buatan Hidup bikinan alien, sekarang ada Asahina-san yang ngaku kalo dia dari masa depan. Gimana gue bisa percaya begituan? Seseorang, tolongin gue!

Saat kutaruh tanganku di kursi, tak sengaja kusenggol tangan Asahina-san. Meskipun aku hanya menyapu ringan jari-jari mungilnya, Asahina-san menarik jari-jarinya secepat kilat dan menundukan kepalanya.

Kami lalu menatap sungai dalam diam.

Waktu berlalu.

"Asahina-san."

"Ya...?"

"Bisa kuanggap percakapan ini ga pernah terjadi? Masalah apakah aku percaya kamu atau tidak, kita dikesampingkan dulu untuk sekarang."

"OK."

Sebuah senyum muncul dari wajah Asahina-san. Senyuman yang amat cantik.

"Selama semuanya berjalan, ini solusi terbaik. Tolong perlakukan saya seperti biasanya, saya mengandalkanmu."

Mengatakan itu, Asahina-san membungkuk dalam-dalam kepadaku. Woi, ga perlu lah sampai sebegitunya.

"Bisa kutanya satu hal?"

"Apa itu?"

"Tolong beritahu umurmu sebenarnya?"

"Informasi rahasia~"

Asahina-san tersenyum nakal.

"Informasi rahasia~"



Sesudah itu, kami jalan-jalan di sekitar jalanan. Meski seruan Haruhi untuk tidak pergi kencan, aku tidak bermaksud untuk menaatinya. Kami pergi melihat-lihat etalase toko-toko mode di mall, asyik makan es krim, dan lihat-lihat kios suvenir di pinggir jalan...hal yang biasa dilakukan pasangan untuk mengisi waktu luang. Bakalan sempurna kalau aja kita bisa saling pegangan tangan...

Pada saat ini HPku berdering: Haruhi menelpon.

"Kita kumpul lagi pas tengah hari, di stasiun dimana kita ketemuan pagi ini."

Dia langsung menutup setelah mengatakan itu. Kulihat jam tanganku, dan sudah pukul sebelas lebih limapuluh. Mana mungkin bisa keburu!



"Tadi itu Suzumiya-san? Dia bilang apa?"

"Dia bilang kita harus kumpul lagi pas tengah hari, jadi mendingan kita buru-buru!"

Kugenggam tangan Asahina-san, tahu bahwa kita tak ada peluang sampai tengah hari kecuali kami lari, dan kami lepas-landas berlari menuju stasiun. Reaksi Haruhi apa ya, kalo dia ngeliat kami lari-lari sambil gandengan tangan? Gue kepengen tau. Kayaknya dia bakalan jadi gila.

"Jadi, ada hasil?" Haruhi menanyai kami, saat kami sampai.

Kami terlambat sepuluh menit, dan itu hal pertama yang Haruhi katakan saat dia melihat kami. Dia kelihatannya agak marah.

"Kamu nemu sesuatu ga?"

"Ga ada."

"Kamu nyari ga sih? Kamu ga cuman keluyuran saja, ya kan? Kalo Mikuru-chan gimana?"

Asahina-san menggelengkan kepalanya.

"Terus kalian nemu apaan aja?"

Haruhi terdiam. Koizumi, berdiri di belakangnya, menggaruk kepalanya, sementara Nagato berdiri tak bergerak.

Setelah sejenak tak seorangpun yang berkata apapun Haruhi hampir-hampir menggeram, "Kita makan siang dulu terus kita lanjutin abis itu."

Loe masih pengen lanjut!?



Ketika kami sedang makan siang di restoran burger, Haruhi berkata kalau ini waktunya mengundi lagi, dan mengeluarkan beberapa tusuk gigi ekstra yang dicolongnya dari kafe sebelumnya tadi pagi. Dia benar-benar sudah sangat siap!

Koizumi dengan gesit mengambil sebuah tusuk gigi.

"Tiada tanda lagi."

Gigi yang putih sekalee! Gue ngerasa nih cowo senyam-senyum melulu!

"Yang saya juga gitu."

Asahina-san menunjukanku tusuk gigi yang baru diambilnya.

"Kalo Kyon-kun gimana?"

"Sayang, punyaku ada tandanya."

Haruhi tampaknya semakin dan makin masam dan menggegaskan Nagato menarik tusuk gigi.

Pada akhirnya, Nagato dan aku berkelompok bersama, sementara tiga sisanya di kelompok lainnya.

"..."

Haruhi memelototi ke tusuk gigi tak bertandanya bagai menatap orang yang telah membunuh ayahnya, lalu menoleh padaku dan Nagato, yang sibuk memakan chesseburgernya, dan mengernyit.

Kenapa loe marah banget sih?

"Kita ketemuan di depan stasiun jam empat. Pastiin nemuin sesuatu sebelum itu!"

Dia menghabiskan minumannya dalam satu tegukan, setelah mengatakan itu.



Kali ini kami pergi ke Selatan dan Utara, dengan kelompokku yang menangani bagian Selatan. Sebelum kita berpisah, Asahina-san melambaikan salah satu tangan mungilnya ke arahku. Membuatku merasa begitu hangat!

Sekarang hanya ada aku dan Nagato berdiri bengong di depan stasiun yang sibuk.

"Kita ngapain ya sekarang?"

"....." Nagato tak berkata apa-apa.

"...Yuk jalan."

Aku melangkah maju, dan mendapati kalau dia mulai mengikuti. Tampaknya aku mulai terbiasa bergaul dengannya sekarang.

"Nagato, soal hal yang kau omongin ke aku kemaren-kemaren..."

"Ada apa dengan itu?"

"Aku mulai percaya dikit."

"Begitukah?"

"Ho oh."

"....."

Jadi dibawah suasana kosong kami berjalan dengan diam di sekitar stasiun.

"Bukannya kamu punya pakaian kasual?"

"....."

"Pas liburan kamu biasanya ngapain?"

"....."

"Kamu lagi senang sekarang?"

"....."

Begitulah bagaimana percakapan kami berlangsung di hari itu.

Tiada gunanya jalan keliling-keliling tanpa tujuan jadi aku membawa Nagato ke perpustakaan baru di pinggir laut yang dibangun bersamaan dengan pihak berwenang membangun lahan untuk stasiun. Aku belum pernah masuk sebelumnya, karena aku jarang pinjam buku. Namun, kupikir aku bisa istirahat saat kita sampai di dalam, hanya untuk mendapati semua kursi sudah diisi. Orang-orang ini mungkin juga tidak punya tempat lain untuk didatangi di waktu luang mereka. Kulihat sekilas sekeliling perpustakaan, tampaknya agak bingung, sementara Nagato sudah hanyut menuju ke lemari buku seolah-olah dia sedang tidur berjalan. Biarin dia mau ngapain aja deh!

Dulu aku sering membaca. Ketika aku masih SD, dulu ibuku sering memimjam buku bergambar dari bagian buku anak-anak untuk kubaca. Disana ada semua jenis buku, tapi aku ingat semua yang kubaca agak menarik. Namun, aku tak bisa mengingat nama-namanya lagi. Kapan ya gue berhenti baca? Kapan ya baca itu jadi ngebosenin buat gue?

Kuambil sembarang buku dari lemari buku dan membolak-balik cepat beberapa halaman, sebelum mengembalikannya lagi dan lalu mengambil buku lainnya. Butuh waktu selamanya buat gue untuk nemu buku menarik di lautan buku ini, kalo gue ga lagi belajar sih. Berpikir seperti itu, aku keluyuran di antara lemari buku, tanpa tujuan.

Saat aku menuju mencari Nagato, kutemukan dia membaca di depan lemari buku yang berbuku hardcover tebal-tebal. Dia emang cinta berat sama buku hardcover tebal!

Akhirnya, setelah melihat seorang lelaki yang membaca koran meninggalkan kursinya, aku pergi dan duduk, membawa novel yang asal kuambil. Mustahil mencoba baca buku yang tak pernah kuniatkan untuk kubaca. Sejenak kemudian, kudapati diriku semakin mengantuk, dan jatuh tertidur.

Pada saat itu kantong celanaku tiba-tiba bergetar.

"HUAH!?"

Aku loncat terkejut. Ketika kulihat semua orang mengernyit padaku, aku ingat aku ada di perpustakaan. Mengelap iler di wajahku, aku lari keluar perpustakaan dan menjawab telepon genggamku, yang di set ke mode getar.

"Kamu idiot! Kamu lagi ngapain aja!?"

Suara memekakkan meraung menembus telingaku. Berkat itu aku bangun dari rasa kantukku.

"Kamu pikir sekarang jam berapa?"

"Sori, gue baru aja bangun barusan!"

"Apa!? Dasar bego!"

Loe tuh dibawah kualifikasi buat manggil gue bego!

Kulihat jam tanganku dan sudah jam setengah lima. Dia bilang kalau kita kumpul lagi jam empat!

"Pindahin pantatmu kesini segera! Aku kasih waktu tiga puluh detik!"

Berhenti napa bikin tuntutan yang mustahil buat dipenuhin!

Setelah Haruhi menutup telepon dengan kasar, kusimpan kembali teleponku di kantungku dan kembali ke perpustakaan. Disana kudapati Nagato masih berdiri di situ, membaca yang tampaknya seperti ensiklopedi tebal.

Yang selanjutnya sedikit rumit. Membutuhkan waktu agak lama berusaha mengerakkan Nagato -- yang kelihatannya berakar di tempat -- dan kemudian kami harus pergi ke loket untuk mengisi formulir untuk meminjam buku tersebut. Selama waktu itu aku membiarkan semua panggilan telepon Haruhi.

Ketika kami kembali ke stasiun, dengan Nagato membawa buku filosofi tebal seperti barang yang begitu berharga, ditulis oleh penulis asing yang namanya sangat sulit disebut, tiga orang yang menunggu tersebut punya reaksi yang berbeda-beda. Asahina-san, terlihat amat kelelahan, tersenyum dengan desahan lega; Koizumi mengangkat bahunya seperti idiot; sementara Haruhi membentak seakan-akan dia baru saja minum sup dingin.

"Kamu telat; bayar dendanya!"

Gue harus nraktir kalian lagi?



Akhirnya, kami akhiri kegiatan luar-ruangan hari ini, setelah membuang-buang waktu kami dan uangku.

"Saya capek banget! Suzumiya-san jalan cepet banget jadi saya sulit ngikutin." kata Asahina-san padaku saat kami berpisah, dan kemudian dia berbisik di telingaku, "Makasih udah ngedengerin apa yang kuomongin hari ini." Kemudian dia merendahkan kepalanya dan tersenyum malu-malu.

Apa semua orang dari masa depan itu senyumnya elegan banget ya?

"Kalo gitu, dadah!" Asahina-san melambaikan perpisahan dan pergi. Koizumi perlahan menepuk bahuku dan berkata, "Hari ini menyenangkan! Saya bilangnya mesti bagaimana ya? Suzumiya-san benar-benar orang yang amat menarik. Sangat disayangkan saya tidak bisa bersama anda hari ini, mungkin kali lain."

Setelah Koizumi pergi dengan serangainya yang menyebalkan, kutemukan Nagato sudah pergi saja.

Tinggal Haruhi yang menatapku.

"Kamu ngapain aja seharian ini?"

"Hmm, gue ngapain aja ya seharian ini?"

"Kamu ngga bisa terus kayak gini!"

Kayaknya dia jengkel banget.

"Oh ya, kamu gimana? Kamu nemu sesuatu yang menarik?"

Haruhi menggigit bibirnya dan tak berkata apa-apa. Kalau aku tak menghentikannya, dia akan terus menggigitnya sampai bibirnya berdarah.

"Yah, ga mungkin mereka ceroboh banget dan ngebiarin kamu nemuin mereka dalam satu hari."

Melihatku berusaha mencerahkan suasana, Haruhi cepat-cepat memalingkan pandangannya.

"Kita adakan tanya-jawab lusa, di sekolah."

Haruhi berbalik dan berjalan menuju keramaian, tanpa melihat ke belakang.

Dengan pikiran akhirnya bisa pulang ke rumah, aku kembali ke bank, hanya untuk mendapati sepedaku hilang. Menggantikannya adalah tanda di tiang lampu yang bertuliskan, "Sepeda anda telah diderek sebagai hasil parkir tanpa ijin."



Bab 5



Senin telah datang, dan kelembapan musim hujan membuatnya secara bertahap terasa di sekolah, meningkat sampai titik di mana kami jadi ember keringat. Jika beberapa politikus bikin janji kampanye untuk memasang sebuah eskalator di jalan bukit, mereka dijamin akan dapat suaraku saat aku sudah bisa memilih.

Aku sedang duduk di ruang kelas, mengipasi leherku dengan alas tulis sebagai pengganti kipas, ketika bel berdentang dan Haruhi, yang tidak biasanya, yang terakhir masuk.

Melempar tasnya ke meja, dia berkata, "Aku juga pengen dikipasin."

"Lakuin ndiri!"

Haruhi, yang berpisah denganku di depan stasiun dua hari yang lalu, menekuk wajahnya menjadi muka asam, cemberut. Tepat ketika aku berpikir kalau ekspresinya jadi makin manis hari-hari ini, dia kembali jadi diri mengernyit yang biasanya hari ini.

"Gini nih, Suzumiya. Loe tahu ngga sih cerita Burung Biru Kebahagiaan?"

"Apaan tuh?"

"Ngga, ngga usah dipikirin, bukan apa-apa."

"Kalau gitu, ngga usah nanya dong."

Haruhi memberiku kernyitan samping, lalu Okabe-sensei datang dan absensi dimulai.

Di kelas hari itu, sebuah aura kekesalan teradiasi ke seluruh sisi dari downer Haruhi, memancarkan tekanan yang tak mengenakkan ke punggungku. Tak pernah rasanya dentangan bel di akhir hari terdengar begitu nyaman. Seperti tikus ladang kabur dari sikatan api yang berkobar, aku mengungsi ke ruang klub.

Sosok membaca Nagato kini menjadi pemandangan default di ruang klub, sampai ke batas bahwa dia kelihatannya seperti ornamen tetap di ruangan.

Dikatakan begitu, aku berbalik dan berkata ke Koizumi Itsuki, yang sudah tiba.

"Jangan-jangan loe juga punya sesuatu yang pengen diomongin ke gue soal Suzumiya?"

Hanya ada tiga orang di tempat ini. Haruhi piket hari ini, sedangkan Asahina-san masih belum datang.

"Ah, menilai dari reaksi anda, saya tebak dua gadis lainnya telah melakukan pendekatan kepada anda."

Koizumi melirik sekilas ke Nagato, yang sibuk membaca bukunya seperti biasa. Kusadari nada bicara tahu-segalanya cukup menyebalkan.

"Mari kita cari tempat lain untuk mengobrol. Akan jadi repot bilamana Suzumiya-san mendengar kita."

Koizumi dan aku pergi menuju kantin dan duduk di salah satu mejanya. Di jalan, Koizumi bahkan membelikan secangkir kopi panas untukku. Aku tahu ini aneh buat dua cowok duduk bareng di satu meja kantin, tapi mau bagaimana lagi.

"Sampai seberapa jauh yang sudah anda ketahui?"

"Sampe si Suzumiya itu bukan orang biasa, kukira."

"Itu membuat semuanya jadi lebih mudah untuk saya. Anda benar."

Ini semacem guyon ya? Semua ketiga anggota Brigade SOS lainnya udah ngasih tau gue kalo si Suzumiya itu bukan manusia. Apa pemanasan global manasin otak mereka sampe-sampe mereka korslet?

"Pertama, kasih tau gue siapa elo sebenarnya."

Karena yang satu bilang kalau dirinya alien sementara yang lain penjelajah waktu, aku sudah punya bayangan, jadi aku meneruskan,

"Loe ngga bakal bilang kalo loe itu esper, kan?"

"Nah, tiadalah perlu berasumsi!"

Koizumi menggoncangkan cangkirnya lembut.

"Walau tidak terlalu akurat, anda kurang lebih benar -- saya adalah yang anda sebut sebagai esper. Benar, saya memiliki kekuatan paranormal."

Kuminum kopiku dalam diam. Mmm, terlalu manis, dia seharusnya beli yang gulanya lebih dikit.

"Tadinya saya lebih memilih untuk tidak pindah ke sekolah ini secara begitu mendadak, tapi telah ada perubahan situasi. Saya tidak mengira kalau kedua gadis itu akan mendekati Suzumiya Haruhi begitu cepat. Sebelumnya, mereka selalu diam-diam mengawasinya."

Berhenti napa nganggap Haruhi kayak spesies langka yang berharga!

Menyadari aku mengerutkan dahi, dia melanjutkan.

"Nah tenanglah dahulu. Kami juga berusaha sebaik-baiknya! Kami tidak berniat menyakiti Suzumiya-san, malahan, kami ingin melindunginya dari bahaya."

"Loe bilang kami? Berarti ada esper lain kayak elo?"

"Yah, tidak sebanyak yang anda pikirkan. Karena saya ada di antara tingkat terendah, saya tidak terlalu tahu banyak, saya hanya tahu kira-kira ada sepuluh di dunia ini. Semuanya di bawah pengawasan 'Organisasi'."

Mantap, sekarang kita punya 'Organisasi'!

"Saya tidak tahu tersusun dari apa 'Organisasi' itu, atau berapa banyak anggotanya. Semua sepertinya dijalankan oleh bos-bos di atas sana."

".....Jadi, kelompok rahasia ini, 'Organisasi' ini, sebenarnya mereka ngapain aja?"

Koizumi membasahi bibirnya dengan kopi yang mendingin.

"Seperti yang telah anda duga, 'Organisasi' didirikan tiga tahun yang lalu, dan prioritas mereka adalah mengamati Suzumiya Haruhi. Blak-blakan dikatakan, mereka eksis hanya untuk mengamati Suzumiya Haruhi. Saya yakin anda telah mengerti sekarang, bukan? Saya bukanlah satu-satunya anggota 'Organisasi' yang ada di sekolah ini. Sudah ada sejumlah yang telah menyusup kesini sebelum saya; Saya hanyalah dipindahkan sementara kesini untuk membantu mereka."

Aku tiba-tiba membayangkan wajah Taniguchi. Dia bilang kalo dia selalu sekelas sama Haruhi dari SMP. Bisakah dia itu esper kayak Koizumi juga?

"Loe lagi bercanda, kan?"

Koizumi pura-pura tak mendengarnya dan melanjutkan,

"Namun, saya tidak bisa menjamin kalau mereka semua mendukung Suzumiya-san."

Kenapa sih semuanya suka sama Haruhi? Dia cuman cewek eksentrik, gila yang bikin masalah buat orang lain, belum lagi, dia itu egois banget. Emangnya dia benar-benar pantas punya 'Organisasi' buat digunain seluruh sumber dayanya buat ngelindungin? Walau gue mesti akui sih tampangnya emang menarik.

"Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tiga tahun yang lalu. Yang saya tahu hanyalah, saya tiba-tiba sadar saya memiliki kekuatan paranormal pada suatu hari tiga tahun yang lalu. Saya benar-benar ketakutan; saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mujurlah bagi saya, tidaklah lama sebelum 'Organisasi' mengambil saya, atau saya akan bunuh diri karena berpikir ada yang salah dengan otak saya."

Gue udah mikir kok pasti ada yang salah sama otak loe pas gue ketemu elo.

"Yah, tidaklah mustahil juga. Walau kami lebih takut pada adanya kemungkinan-kemungkinan buruk yang tiada terduga."

Tersenyum akan kekurangannya sendiri, Koizumi menyeruput cangkir kopinya, dan kemudian mulai memberiku tatapan serius.

"Kapan menurut anda dunia ini dimulai keberadaannya?"

Dia bertanya pertanyaan yang cukup mengejutkan tiba-tiba.

"Bukannya mulainya pas Dentuman Besar?"

"Saat ini itulah yang dikatakan. Tetapi, bagi kami ada kemungkinan lain -- dunia ini jadi tiga tahun yang lalu."

Kulihat wajah Koizumi lagi dan lagi. Apa yang dikatakannya telalu absurd untuk jadi kenyataan.

"Mustahil itu! Gue masih bisa ingat jelas apa yang terjadi tiga tahun lalu. Lagian, ortu gue masih hidup. Gue masih punya tiga jahitan yang gue dapat pas jatuh ke selokan waktu masih kecil. Dan terus gimana loe bisa jelasin semua yang gue hafalin mati-matian dari buku pelajaran sejarah?"

"OK, lalu bagaimana anda bisa yakin kalau semua manusia, termasuk anda, tidak diciptakan dengan ingatan mereka sebelumnya? Kalau begitu, maka tidaklah perlu jauh-jauh sampai tiga tahun yang lalu. Tidak ada bukti di dunia ini yang menyanggah kalau dunia tidak dimulai dari lima menit yang lalu, dan semua kehidupan mulai dari sana."

"...."

"Sebagai contoh, coba bayangkan sebuah realitas virtual. Otak anda telah dicolok dengan kabel listrik, semua yang anda lihat, cium, dan bahkan sentuh sebenarnya dikirimkan melalui sinyal listrik dari kabel ke otak anda, namun anda sendiri percaya bahwa apa yang anda rasakan itu nyata. Dunia yang begitu nyata ini sebenarnya sangatlah rapuh."

"......Misalkan aja gue setuju sama yang elo bilang. Ga masalah kalau bumi kebentuk tiga tahun lalu atau lima menit lalu. Masalahnya, apa hubungannya keeksistensian 'Organisasi' elo sama Haruhi?"

"Pimpinan 'Organisasi' percaya bahwa sebenarnya dunia ini hanyalah mimpi seseorang. Kami, tidak, itu seharusnya seluruh dunia ini sendiri sebenarnya hanyalah mimpi. Karena hanya sebuah mimpi, bagi orang tersebut, untuk menciptakan dan mengubah realitas ini dimana kita berada didalamnya adalah sesimpel putaran jam. Dan kami semua tahu siapa orang tersebut."

Mungkin karena pemilihan kata-katanya, tapi wajah Koizumi herannya kelihatan dewasa.

"Manusia telah memanggil siapa-siapa yang dapat menciptakan dan menghancurkan dunia ini semaunya sebagai Tuhan."

....Woi, Haruhi! Loe udah jadi Tuhan tuh, oh Tuhanku!

"Oleh karena itulah 'Organisasi' selalu sangat berhati-hati. Jika Tuhan menjadi tidak puas dengan dunia ini, dia bisa saja melenyapkan dunia yang lama dan menggantinya dengan yang baru. Seperti anak kecil yang tidak puas dengan istana pasirnya dan memutuskan untuk menghancurkannya dan membuat yang baru. Walaupun kurasa ada banyak konflik yang tak terselesaikan di dunia ini, masih ada beberapa hal yang baik di dunia ini yang membuatnya pantas untuk dihidupi. Inilah karenanya saya membantu 'Organisasi' menjaga dunia ini."

"Kenapa loe ga pergi aja dan langsung nanya Haruhi? Bilang sama dia berhenti ngancurin dunia, kali aja dia mau dengerin."

"Tentu saja, Suzumiya-san tidak mengetahuinya, dia tidak menyadari kekuatannya sendiri. Tugas kami adalah memastikan dia tidak pernah menyadarinya, dan menjalani kehidupannya dengan damai."

Koizumi mulai tersenyum kembali setelah mengatakan semua itu.

"Untuk saat ini, dia masih Tuhan tak lengkap, tak mampu mengontrol penuh dunia semaunya. Walaupun dia belum sepenuhnya berevolusi, kami sudah melihat beberapa tanda-tandanya."

"Gimana loe tau?"

"Coba pikirkan. Kenapa esper seperti saya, dan juga orang-orang seperti Asahina Mikuru dan Nagato Yuki eksis? Itu karena Suzumiya-san mengharapkannya."

Kalau diantara kalian ada alien, penjelajah waktu, slider, atau esper, silakan, temui saya!

Aku segera ingat perkenalan diri Haruhi di awal semester.

"Oleh sebab dia masih belum menemukan mereka, dia tidak mampu memanfaatkan seluruh kekuatannya, dia hanya bisa secara tidak sadar melepaskannya dengan acak. Namun untuk beberapa bulan terakhir, Suzumiya-san telah terus-menerus melepaskan kekuatannya melebihi apa yang manusia dapat pahami. Seperti yang anda ketahui, ini mengakibatkan Suzumiya-san membuat Asahina Mikuru, Nagato Yuki, dan bahkan juga saya untuk bergabung dengan klubnya."

Berarti itu bikin gue jadi orang luar sendirian dong?

"Tidak juga. Bagi kami, anda adalah kehadiran misterius. Saya telah melakukan lumayan banyak pemeriksaan latar belakang tentang anda; saya harap anda tak keberatan. Dan saya bisa menjamin, anda hanyalah manusia normal tanpa kekuatan spesial apapun."

Itu gue anggap pujian atau gue seharusnya kecewa?

"Saya tidak mengerti juga, tapi nasib dari dunia ini bisa jadi berada di tangan anda. Oleh karena itu, anda perlu berhati-hati untuk tidak membiarkan Suzumiya-san merasa kehilangan harapan akan dunia ini."

"Karena loe pikir Haruhi itu Tuhan," saranku, "Kenapa ga loe culik aja dia, otopsi dia dan lihat dari apa otaknya terbuat? Bahkan mungkin aja loe bisa tau rahasia alam semesta!"

"Memang ada beberapa ektremis dalam 'Organisasi' yang berpikiran sama dengan anda."

Koizumi mengangguk sambil menambahkan,

"Namun mayoritas masih berpikir bahwa yang terbaik adalah membiarkannya saja. Lagipula, bila Tuhan menjadi tidak senang dikarenakan hal ini, sebuah bencana kemungkinan besar akan terjadi. Kami berharap dunia tetap seperti apa adanya, jadi sudah sewajarnya kami berharap Suzumiya-san bisa hidup damai. Kami tidak mendapatkan apapun bila bencana memang terjadi......"

"...Jadi kita mesti gimana?"

"Itu saya tidak mengetahuinya."

"Oh iya, dunia bakalan gimana kalo Haruhi tiba-tiba meninggal?"

"Akankah dunia hancur bersamanya? Atau Tuhan hanya akan menjadi tiada? Atau ada yang baru akan muncul dan menggantikannya? Sebelum itu terjadi, tiada yang benar-benar tahu."

Kopi dalam cangkir kertas telah jadi dingin. Kugeser ke samping karena aku tak ingin meminumnya lagi.

"Loe bilang loe punya kekuatan paranormal?"

"Yah, itu tidak terlalu tepat, tapi kurang lebih benar."

"Kalo gitu tunjukin beberapa kekuatan loe, terus gue bakal percaya. Misalnya, bikin nih kopi jadi anget lagi."

Koizumi tersenyum riang. Ini pertama kali aku melihatnya benar-benar tersenyum.

"Maafkan saya, saya tidak bisa melakukan itu. Kekuatan saya tidak mudah dipahami. Dalam kondisi normal, saya tidak punya kekuatan tertentu. Saya haruslah memenuhi beberapa kondisi sebelum saya dapat menggunakannya, tapi saya percaya anda bisa mendapatkan kesempatan untuk melihatnya suatu hari."

"Maafkan saya telah mengambil waktu anda, saya kira saya akan pulang ke rumah sekarang." Setelah bilang begitu, Koizumi pergi dengan senyum.

Kulihat Koizumi berjalan menjauh sampai dia menghilang, lalu kupikir untuk memegang cangkir kertasnya.

Udah gue duga, kopinya tetap dingin.



Saat aku kembali ke ruang klub, kebetulan kudapati Asahina-san berdiri di dalam dengan bra dan celana dalamnya.


"..."

Asahina-san dengan kostum maid di tangannya, berdiri dengan mata terbelalak, melihatku yang beku di tempat dengan tanganku di pegangan pintu. Perlahan mulutnya mulai terbuka saat dia bersiap untuk teriak.

"Maafkan aku."

Sebelum dia punya kesempatan berteriak, kutarik keluar kaki yang ada di dalam ruangan dan menutup pintu secepatnya. Berkat itu, aku bisa menghindari jeritannya.

Bener-bener deh, gue seharusnya ngetuk dulu. Engga tunggu, dia seharusnya ngunci pintunya kalo dia mau ganti baju!

Saat aku menimbang-nimbang apakah simpan saja gambaran akan badan putih mulus setengah telanjangnya ke dalam bank memori jangka panjangku, sebuah ketukan pelan terdengar dari sisi lain pintu. "Kamu bisa masuk sekarang...."

"Maaf soal tadi."

"Ga masalah kok...."

Kulihat kepala menunduk Asahina-san saat dia membuka pintu dan minta maaf. Dia tersipu dan berkata,

"Maaf, saya selalu aja nampilin sisi malu-maluinku...."

Aku beneran ngga keberatan kok.

Dia benar-benar gadis yang cukup penurut, memakai kostum maidnya seperti yang Haruhi suruh.

Dia emang terlalu manis!

Aku khawatir kalau-kalau aku terus menatap Asahina-san seperti itu, gambar yang baru saja kuperoleh akan miring ke sisi tidak senonoh. Menghimpun semua alasan yang harus kuambil pada hasrat-hasrat yang bikin frustasi tersebut, aku cepat-cepat duduk di kursi komandan dan menyalakan komputer.

Sadar ada yang memperhatikanku, kuangkat kepalaku, kudapati Nagato Yuki benar-benar melihatku untuk perubahan. Dia mendorong kacamatanya sedikit, lalu kembali ke bukunya. Gerakannya cukup manusiawi.

Kubuka browser internet dan pergi ke website klub, coba-coba mengubah sesuatu dari halaman yang selalu statis, tapi aku tak tahu darimana harus mulai. Aku jadi berpikir menyunting halaman web itu buang-buang waktu saja, dan akan kututup programnya dan mendesah. Tapi disini gue bosen setengah mati; gue juga udah mulai bosan aja main Othello, gue butuh sesuatu buat ngabisin waktu.

Saat aku bergumam dibawah nafasku dengan tangan tersilang, tiba-tiba seseorang meletakkan secangkir teh hangat di depanku. Kulirik keatas dan menemukan Asahina-san pakai kostum maidnya tersenyum sambil berdiri dengan nampan di tangannya. Dia benar-benar terlihat seperti maid sungguhan.

"Makasih."

Baru saja aku ditraktir secangkir kopi panas oleh Koizumi, tapi aku masih menerima dengan senang hati secangkir teh hangat ini.

Asahina-san lalu meletakkan cangkir lainnya di sisi Nagato, lalu dia duduk disampingnya dan dalam diam menyesap cangkir tehnya sendiri.


Pada akhirnya, Haruhi tak pernah datang ke ruang klub hari itu.



"Kenapa loe ngga datang kemaren? Bukannya loe pengen ngadain tanya-jawab?"

Seperti biasa, aku berbalik dan bicara ke Haruhi dibelakangku sebelum absensi.

Merebahkan badannya di meja, dengan dagunya di permukaan meja, Haruhi berkata dengan tampang kesal,

"Cerewet ah! Aku udah ngadain evaluasi sendirian kemaren!"

Aku langsung tahu kalau Haruhi pasti menyusuri ulang tempat-tempat yang ia datangi Sabtu kemarin setelah sekolah.

"Aku kuatir mungkin aku kelewatan sesuatu, jadi kupikir lebih aman kalau tempatnya kutelusuri ulang."

Tadinya gue selalu mikir cuman detektif yang percaya kalau penjahat bakalan selalu balik ke TKP, tapi gue salah.

"Sama panasnya kayak neraka! Kapan sih sekolah bakalan ganti seragamnya? Aku pengen pake lengan pendek!"

Mereka ga ganti sampai Juni, dan cuman tinggal seminggu lagi sampai Mei berakhir.

"Suzumiya, mungkin gue pernah ngomong ini sebelumnya, tapi gue pikir mendingan loe berhenti aja cari-cari kejadian-kejadian misterius, dan cobalah ngejalanin kehidupan SMA biasa."

Dia akan mengangkat kepalanya dan mengernyit padaku... Aku sudah mengantisipasi reaksi semacam itu, tapi kepala Haruhi tetap menempel di meja. Sepertinya dia benar-benar kecapaian.

"Kehidupan SMA biasa? Kehidupan macam mana tuh?"

Dia kedengaranya tidak tertarik sama sekali.

"Kayak nyari pacar yang pantes. Loe mungkin aja bisa kebetulan ketemu sama alien pas lagi kencan. Berarti sekali dayung dua-tiga pulau terlampai, ga jelek juga, bukan?"

Aku mulai memikirkan percakapanku dengan Asahina-san waktu itu sambil memberi saran seperti itu.

"Lagian, banyak cowo yang ngantri buat loe. Yang loe perlu lakuin cuman tahan tingkah eksentrik loe dan pacar loe bakal nyamperin."

"Huh, ga masalah aku punya pacar atau engga! Semua yang disebut cinta ini cuman kebingungan sementara di pikiran, penyakit mental."

Kata Haruhi kecapaian sambil tiduran di meja dan melihat keluar jendela.

"Sebenarnya, aku emang pernah mikirin hal ini kadang-kadang. Toh aku cewek enerjik, plus badanku juga punya kebutuhannya sendiri. Tapi aku belum cukup bodoh buat ngurusin hal ngerepotin macam beginian hanya karena kebingungan sesaat. Dan kalo aku terlalu sibuk kencan, gimana dengan Brigade SOS? Kan baru kudirikan!"

Secara teknis itu masih belum didirikan.

"Terus kenapa ga bikin klub yang meliputi semacam bentuk hiburan? Itu bakalan narik lebih banyak anggota pastinya."

"Engga."

Dengan tegas Haruhi tolak.

"Aku mendirikan Brigade SOS abisnya klub normal lainnya terlalu ngabosenin, dan aku udah ngerekrut cewe manis kayak Asahina-san dan anak pindahan misterius juga! Kenapa masih ga ada kejadian sih? Hah, udah waktunya ini hal aneh terjadi."

Pertama kalinya kulihat Haruhi depersi seperti ini, tapi dia manis juga kok seperti itu. Bagi gadis manis seperti dia, dia cukup cantik bahkan ketika tidak sedang tersenyum, sungguh disayangkan, semakin kupikirkan tentang itu.

Haruhi menghabiskan sisa harinya tidur nyenyak. Yang ajaib, para guru tak pernah menyadari... Tidak, ini pasti kebetulan.



Namun mulai saat itu, hal aneh diam-diam mulai terjadi. Karena bukan masalah besar pada awalnya, belum ada yang menyadari, tapi aku sudah memikirkannya seharian semenjak absensi.

Sementara aku sedang bercakap-cakap dengan Haruhi, benakku berpikir akan hal lain. Semuanya dimulai dengan catatan yang ditinggalkan di loker sepatuku pagi ini.

Catatan itu berbunyi,

"Setelah sekolah saat semua orang sudah pergi, datanglah ke ruang kelas 1-5."

Itu jelas-jelas tulisan tangan cewek.



Tentang apa sih ini? Sebuah konferensi darurat diadakan di benakku antara opini-opiniku yang berbeda.

Yang pertama, "Pernah kejadian nih sebelumnya," tapi tulisan tangannya beda sama yang di pembatas buku. Nagato, yang ngaku-ngaku jadi Antarmuka Manusia Buatan Hidup buat para alien, punya tulisan tangan indah banget kayak dicetak aja, tapi catatan ini ngasih kesan tulisan tangan cewe SMA. Lagian, Nagato ga bakalan sebegitu langsungnya sampe-sampe nempel-nempel catatan di rak sepatu gue.

Yang kedua, "Jangan-jangan Asahina-san?" Engga, kalau ini Asahina-san, dia ga bakalan ngasal ngerobek kertas dan nyoretin catatan tanpa menyertakan waktunya. Benar juga, dia bakalan masukin surat yang ditulisnya dengan rapi ke dalam amplop.

Lagian, aneh banget lokasinya di kelas gue. "Ga mungkin Haruhi, kan?" kata si opini ketiga. Itu lebih mustahil lagi, misal itu dia, dia bakalan langsung nyeret gue ke tangga dan ngomong langsung kalau dia pengen gue tau sesuatu.

Berdasarkan alasan yang sama, kueliminasi Koizumi dari perhitunganku juga. Akhirnya, si opini keempat bilang, "Jangan-jangan surat cinta dari seseorang?" Mari ga usah nguatirin diri sendiri apa ini surat cinta atau bukan, yang pasti gue dipanggil seseorang, dan ga harus dari cewek.

"Jangan sampe ketipu! Paling kerjaannya si Taniguchi dan Kunikida." Ya, itulah opini yang paling masuk akal. Bisa jadi si idiot Taniguchi bakalan ngelakuin guyon garing, tapi dia seharusnya nulis lebih banyak.

Aku jalan tanpa tujuan di sekitar sekolah sambil memikirkan semua ini. Setelah sekolah, Haruhi bilang dia sakit dan pulang ke rumah. Kesempatan besar nih!

Kuputuskan pergi ke ruang klub dulu. Gue bisa gila kalo pergi kecepetan ke ruang kelas buat nunggu orang asing. Lagian, kalo tiba-tiba Taniguchi datang dan ngomong, "Yo, masih menunggu nih? Gue ga percaya loe bisa ketipu gara-gara catatan kecil begitu, lugu bener sih loe!" Gue bakalan marah besar. Habisin waktu dulu, pergi dan intip kelasnya, terus masuk abis mastiin ga ada siapa-siapa. Ya, ini strategi sempurna!

Aku tiba di pintu ruang klub sendirian. Kali ini aku ingat untuk mengetuk.

"Silahkan masuk."

Setelah kupastikan itu suara Asahina-san, kubuka pintunya. Tak peduli seberapa kali pun kulihat dia, Asahina-san tetap menawan dengan kostum maidnya.

"Lama juga kamu datang, Suzumiya-san mana?"

Tampaknya dia lagi merebus teh lagi.

"Dia pulang, dia kelihatannya capek banget. Kalo kamu kepengen balas dendam, ini saatnya, sekarang dia terlihat lemah banget."

"Saya ga bakalan ngelakuin hal kayak gitu!"

Kami duduk berhadap-hadapan dan meminum teh kami di ruangan dengan Nagato yang sedang membaca. Kami tampaknya telah kembali jadi asosiasi tanpa tujuan seperti dulu.

"Koizumi belum datang juga?"

"Koizumi-kun datang duluan, dia bilang dia ada kerja paruh-waktu hari ini, jadi dia pergi duluan."

Kerja paruh-waktu macam mana? Tapi bila keadaannya begini, dengan yakin aku bisa mencoret Koizumi dan Haruhi dari daftar tersangka yang menulis catatan tersebut.

Karena kami tidak punya kerjaan, aku main Othello dengan Asahina-san dan mengobrol dengannya. Setelah menang tiga kali, kami berhenti main dan mulai ngenet buat baca berita, dan pada saat ini, Nagato menutup bukunya. Akhir-akhir ini, kami menganggap aksinya ini sebagai tanda berakhirnya kegiatan klub (walau kami tak tahu kegiatannya apa), dan kami semua mulai berkemas dan pergi.

"Saya butuh ganti baju, jadi kamu pergi duluan aja." Mendengar Asahina-san bilang begitu, aku bergegas keluar ruang klub.

Jam menunjukkan pukul lima lebih tigapuluh menit, seharusnya udah ga ada siapa-siapa di ruang kelas, kayaknya? Kalaupun ini kejahilan si Taniguchi, dia bakalan udah pulang setelah bosan nunggu lama. Walau begitu, aku tetap lari dua anak tangga menuju lantai teratas, untuk memastikan saja.

Kuhirup nafas dalam-dalam di koridor yang sepi. Karena jendela kelas semuanya bernoda, tidaklah bisa kulihat apa yang sedang terjadi di dalam, hanya matahari terbenam telah mewarnai ruang kelas oranye-kemerahan. Dengan santai kubuka pintu ruang kelas 1-5 dan melongok ke dalam.



Aku sama sekali tak terkejut ada orang yang menungguku di dalam kelas, tapi aku kaget saat kuketahui siapa dia. Berdiri di depan papan tulis adalah orang yang tak pernah kuperkirakan sama sekali.

"Kamu telat."

Asakura Ryouko tersenyum.

Dia mengibas rambut panjang selembut sutranya dan mulai berjalan melewati deretan tempat duduk. Paha mulusnya di bawah rok terlipatnya dan sepatu indoor putihnya benar-benar mengalihkan perhatian.

Dia berhenti di tengah ruang kelas, dan melambai ke arahku dengan senyum.

"Masuklah!"

Bagaikan terhisap ke dalam, tingkahnya menyebabkan aku melepaskan pegangan pintu dan berjalan ke arahnya.

"Jadi kamu toh..."

"Iya, kaget?"

Asakura tersenyum girang, sisi kanan wajahnya merah karena tersinari matahari terbenam.

"Kamu nyari aku?"

Sengaja kubertanya dengan nada kasar, Asakura cekikikan dan menyahut,

"Emang saya cari kamu, saya pengen nanya sesuatu ke kamu."

Wajah putih Asakura sekarang menghadap ke arahku.

"Pernahkah kamu dengar pepatah 'Lebih baik melakukannya dan menyesal kemudian daripada tidak melakukannya sama sekali'? Menurutmu itu masuk akal?"

"Aku ga terlalu yakin siapa yang bilang, tapi kukira maknanya masuk akal."

"Kalau ada situasi dimana tetap di status quo akan memperburuk keadaan, dan kamu ga tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya, apa yang akan kamu lakukan?"

"Memperbaiki apaan? Ekonomi?"

Mengabaikan pertanyaanku, Asakura tersenyum dan melanjutkan,

"Bukannya kamu barusan bilang mending lakukan dulu dan hadapi akibatnya kemudian? Karena ga ada yang bakalan berubah kalo gini-gini terus."

"Hmmm, kayaknya sih."

"Itu maksudku."

Asakura, yang kedua tangannya berada di belakang punggungnya, membungkuk ke depan sedikit.

"Tapinya, karena orang-orang di atas ga mampu berpikir dari sisi lain, mereka ketinggalan dengan perubahan cepat di realitas ini, saya terpaksa melakukan sesuatu biar segalanya berjalan mulus. Makanya itu, di realitas ini, udah kuputuskan untuk beraksi sendiri dan memaksakan beberapa perubahan."

Kamu sebenarnya pengen ngomong apa sih? Aku lagi dikerjain ya? Kulihat ke sekeliling ruangan, menduga-duga apakah Taniguchi bersembunyi dalam lemari memegang peralatan menyapu di belakang, atau apakah dia duduk di bawah meja guru.

"Saya udah semakin capek cuman ngamatin lingkungan yang ga berubah, makanya itu..."

Aku terlalu sibuk mengamati sekeliling hingga aku tak terlalu mendengar apa yang dikatakan Asakura.

"Saya harus bunuh kamu, dan melihat reaksi macam apa yang Suzumiya Haruhi punya."

Dalam sekejap, Asakura mengilatkan tangan kanannya, sebuah kilatan metalik putih melewati tempat dimana leherku tadinya berada.

Tersenyum senang, tangan kanan Asakura sekarang menguak sebuah pisau setajam pisau tentara.

Aku beruntung sekali menghindari serangan pertama. Karena sekarang ini aku tergeletak di lantai pada punggungku, melihat pucat pada Asakura. Kalo gue kejebak, gue ga bakalan bisa kabur! Pikiran ini terlintas di benakku, dan aku merangkak mundur seperti belalang.

Kenapa Asakura ga ngejar gue?

...Engga, bentar! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Asakura berusaha nusuk gue dengan pisau? Tunggu dulu sebentar, tadi Asakura bilang apa ya? Dia pengen bunuh gue? Bunuh gue? Tapi, kenapa!?

"Berhenti bercandanya!"

Aku hanya dapat berkata kalimat khasku ini.

"Beneran bahaya tuh! Kalaupun itu cuman pisau bohongan, aku bakalan ketakutan juga! Singkirin benda itu!"

Gue benar-benar bingung. Kalo ada orang yang tahu apa yang terjadi, tolong keluar dan jelasin ke gue!

"Kamu pikir saya lagi bercanda?" kata Asakura dengan nada riang gembiara, tak terdengar serius sama sekali. Baru kepikiran sekarang, cewek SMA tersenyum sambil mengancam nyawamu dengan sebilah pisau benar-benar menakutkan. Jadi sekarang kau tahu betapa ketakutannya aku.

"Huh!"

Asakura menepuk-nepukan bahunya dengan sisi belakang pisau.

"Kamu ga suka sekarat? Kamu ga mau mati? Kematian entitas organik ga ada artinya bagiku."

Perlahan kuberdiri. Ini harus cuman bercanda, gue ketakukan karena gue terlalu serius. terus kukatakan ini pada diriku sendiri, karena ini terlalu tak nyata. Asakura adalah ketua kelas serius yang bertanggungjawab, yang hanya akan bicara disaat yang perlu saja di kelas, dan takkan jadi gila bahkan ketika sedang menghadapi masalah. Mengapa dia bawa pisau dan berkata kalau dia ingin membunuhku tiba-tiba?

Namun pisau itu nyata, dan kalau aku tidak hati-hati aku bisa berdarah kemana-mana.

"Aku ga ngerti apa yang kau omongin. Ini ga lucu lagi, OK? Singkirin benda mengerikan itu!"

"Saya ga bisa melakukannya," Asakura menyenyumkan senyuman lugunya yang seperti biasa, "Abisnya saya pengen banget kamu mati."

Dia memegang pisaunya di samping pinggangnya dan mulai lari ke arahku. Dia cepat! Kali ini aku sudah siap, karena lama sebelum Asakura bergerak, telah kutetapkan pandanganku untuk kabur melalui pintu -- tapi aku berakhir menabrak dinding.

????

Aneh, pintunya kemana? Bahkan jendelanya juga hilang! Seharusnya ada jendela di dinding yang menghadap koridor, tapi sekarang hanya ada dinding tebal berwarna abu-abu.

Ga mungkin!

"Percuma."

Suara Asakura semakin mendekat dari belakang.

"Sekarang saya yang punya kontrol di ruang area ini, jadi semua jalan keluar udah diblok. Sebenarnya agak gampang kok, yang perlu kulakukan cuman timpa-paksa aja struktur molekul bangunannya di planet ini dan bisa kurubah semauku. Ruangan ini sekarang udah jadi ruang tertutup, dan ga ada jalan masuk atau keluar sekarang."

Aku berputar dan menyadari kalau matahari terbenam juga telah menghilang. Seluruh ruangan dikelilingi oleh dinding beton, menyisakan hanya lampu-lampu putih bersinar dingin di bangku-bangku.

Ini ga mungkin!

Siluet Asakura perlahan bergerak ke arahku.

"Kusarankan kamu berhenti melawan; toh akhirnya kamu bakalan mati."

"......Kamu sebenarnya siapa?"

Sebagaimanapun aku perhatikan, memang ada dinding di sekelilingku. Tiada satu pintu pun, satu jendela, apapun! Apa ada yang salah sama otak gue?

Aku bergerak panik diantara meja-meja, berusaha menjauh dari Asakura sebisaku. Tapi Asakura berjalan lurus ke arahku, menyingkirkan meja dan kursi dari jalurnya semau dia. Dibandingkan dia, jalurku selalu terhalang meja.

Kejar-kejaran kucing dan tikus ini tak berlangsung lama, dan pada akhirnya aku terpojok.

Kalo begitu...

Kuputuskan untuk mengambil resiko dan melempar kursi ke Asakura, namun kursi tersebut berbelok di udara tepat di depan Asakura, dan terbang ke sudut lain ruangan. Gimana mungkin?

"Bukannya udah kubilang ini percuma? Semua di dalam ruangan ini sekarang bergerak menurut keinginanku."

Tunggu... Tunggu!

Apa sih yang terjadi disini? Kalo ini bukan canda ato jahil, dan baik gue ataupun Asakura ga gila, terus apa yang terjadi?

Saya harus bunuh kamu, dan melihat reaksi macam apa yang Suzumiya Haruhi punya.

Ryouko: "Saya harus bunuh kamu, dan melihat reaksi macam apa yang Suzumiya Haruhi punya."

Kenapa Haruhi lagi sih? Haruhi, duh, bukannya loe jadi sedikit terlalu populer?

"Seharusnya kulakukan ini dari awal."

Badanku membeku setelah Asakura berkata seperti itu. Kamu ngga bisa begitu! Itu curang!

Kakiku mengakar ke lantai seperti pohon, tak bisa bergerak. Kedua tanganku kaku seperti patung lilin - aku bahkan tak bisa menggerakkan jari-jariku. Wajahku, kaku menghadap lantai, bisa melihat sepatu indoor Asakura yang perlahan memasuki ruang lingkup pandanganku.

"Abis kamu mati, Suzumiya Haruhi pasti punya semacam reaksi. Ini mungkin bakalan bikin ledakan data raksasa yang darinya bisa kami ambil sesuatu. Bisa jadi ini kesempatan sekali seumur hidup bagi kami."

Aku sama sekali ga peduli dengan itu!

"Sekarang matilah."

Bisa kurasakan Asakura mengangkat pisaunya ke atas. Darimana dia bakalan mulai ya? Arteri tenggorokan, jantung? Kalau gue tahu gimana gue bakalan mati, paling engga gue bisa siap-siap. Paling engga biarin gue nutup mata... Engga, gue ga bisa begitu. A... apa nih!?

Tiba-tiba kurasakan udara bergoyang. Pisaunya mulai jatuh ke arahku...

Pada saat ini, langit-langit mengeluarkan suara retakan keras, diikuti jatuhnya pecahan-pecahan. Yang beberapa diantaranya jatuh ke kepalaku - sakit tau! Sialan! Aku diliputi debu putih oleh banyaknya pecahan yang terus berjatuhan, jadi kupikir Asakura juga putih semua. Gue kepengen ngeliat kayak apa dia sekarang, tapi gue ga bisa gerak... engga, tunggu! Gue bisa gerak lagi!

Kuangkat kepalaku dan menemukan...!

Asakura yang terkejut -- tepat saat dia mau mengiris leherku. Berdiri di depan, memegang pisaunya dengan tangan kosong, adalah sosok ramping Nagato Yuki.

(Wow, dia bisa menangkap pisau dengan tangan kosong saja.)

"Programmu terlalu dasar." kata Nagato dengan nada tiada ekspresi seperti biasa,

"Penguncian data di sekitar langit-langit tidak lengkap. Karena itu saya bisa temukan dan masuk."

"Kamu ingin menghalangiku?" Asakura terdengar tenang. "Setelah saya bunuh orang ini, Suzumiya Haruhi pasti punya reaksi tertentu. Cuman saat itu aja kita bisa ngumpulin lebih banyak data."

"Kamu seharusnya jadi backupku." kata Nagato dengan nada seperti mantra, "Pembangkangan semacam ini dilarang; kamu musti mematuhi perintahku."

"Gimana kalau saya menolak?"

"Maka saya akan putuskan data antarmukamu."

"Kamu mau nyobain? Saya punya keuntungan disini, abisnya ruang kelas ini ada di lingkupan kontrol dataku."

"Memproses aplikasi untuk pemutusan data antarmuka."

Saat Nagato selesai, pisau di tangannya mulai bersinar terang. Lalu, seperti gula kubus dicelupkan ke secangkir teh, perlahan pisau itu mulai mengkristal dan terurai dan jatuh ke lantai seperti serbuk.

"!!"

Asakura melepas pisaunya dan loncat lima meter menjauh. Melihat adegan ini, aku tak bisa apa-apa kecuali menyadari -- huah, nih duaan benar-benar bukan manusia.

Membuka jarak dalam sekejab, Asakura mendarat dengan elegan dan terus tersenyum seperti biasa.

Ruangan sekeliling mulai distorsi -- aku hanya bisa mendeskripsikannya seperti itu. Asakura, meja-meja, langit-langit, dan lantainya semua bergoyang kuat; secara keseluruhan, itu memiliki wujud yang kelihatannya seperti logam cair, walau aku tak bisa benar-benar melihat jelas.

Tepat saat aku berpikir bagaimana bisa hanya ruang ini saja yang perlahan diubah menjadi apa yang tampaknya seperti tombak, sebuah ledakan terkristal terjadi di depan telapak tangan Nagato yang terangkat.

Detik selanjutnya, ada ledakan terkristal terus-menerus di sekitar Nagato, diikuti dengan serbuk yang jatuh ke tanah. Benda seperti tombak terkristal terbang dari berbagai arah menuju kami dengan kecepatan kilat. Setelah beberapa saat kemudian ketika kutemukan bahwa Nagato menghadapi tombak-tombak tersebut dengan kecepatan yang sama."

"Jangan menjauh."

Nagato mengelak serangan-serangan Asakura sambil menarik dasiku sehingga aku berlutut dan sembunyi di belakangnya.

"Huah!"

Sebuah benda asing terbang di atas kepalaku dan meremukkan papan tulis sampai berkeping-keping.

Nagato mendongak sedikit, dan dalam sekejab banyak tombak es tumbuh dari langit-langit dan jatuh ke kepala Asakura. Asakura mengelak dengan kecepatan yang tak bisa diikuti dengan mata telanjang, dan dalam sekejap hutan tombak es terbentuk di lantai.

"Ga mungkin kamu bisa ngalahin saya di ruang area ini." kata Asakura tenang. Dia dan Nagato berdiri terpisah beberapa meter, berhadapan satu sama lain, sementara aku hanya bisa berlutut di lantai tiada harapan, tidak berani berdiri.

Nagato berdiri di depanku dengan kaki sedikit terbuka, dan baru sekarang aku menyadari kalau dia itu begitu serius sampai-sampai menuliskan namanya di sepatu indoornya. Lalu, bagaikan memanjatkan doa, Nagato bergumam pelan,

    SELECT serial_code
    FROM database
    WHERE code='data'
    ORDER BY aggressive_combat_data
    HAVING terminate_mode

"Nama target Asakura Ryouko, ancaman dikonfirmasi. Memutuskan target antarmuka informasi organik."

Ruang normal tiada lagi ada dalam ruang kelas. Semuanya telah menjadi bentuk-bentuk geometris, muncul tertekuk atau seperti kerucut. Melihat pemandangan tak nyata ini seperti memasuki wahana horor di taman hiburan, aku sudah jadi pusing lagi saja dengan hanya melihat.

"Kamu akan berhenti berfungsi sebelum saya."

Aku tak tahu darimana suara Asakura berasal dalam semua khayalan warna-warni ini.

Whuush, suara angin merobek udara.

Nagato menendangku keras dengan belakang tumitnya.

"Kamu ngapa..."

Sebelum aku bisa selesaikan, ada tombak begitu cepat, aku hampir-hampir bisa melihatnya saat melewati ujung hidungku dan jatuh ke lantai.

"Kita lihat aja berapa lama lagi kamu bisa ngelindungin dia. Coba nih!"

Detik berikutnya, Nagato berdiri di depanku, tertusuk oleh kira-kira dua belas tombak panjang kecoklat-coklatan.

"......"

Dengan kata lain, Asakura menyerang Nagato dan aku dari semua arah dalam waktu bersamaan. Nagato berhasil mengkristalkan beberapa tombak dan menghancurkannya, tapi berusaha mencegahku terkena tombak yang tersisa, dia melindungiku dengan badannya. Tapi aku tak mengetahuinya pada saat itu, karena semuanya terjadi begitu cepat.

Kacamata Nagato terjatuh dari wajahnya dan memantul lemah saat mengenai lantai.

"NAGATO!"

"Kamu seharusnya tidak bergerak." kata Nagato tenang, menunjuk tombak yang tersangkut di dada dan perutnya. Kolam darah mulai terbentuk di bawah kakinya.

"Saya baik."

Duh gusti, gimana bisa ini dibilang baik?

Nagato mencabut tombak-tombak dari badannya tanpa sentakan satu kali pun. Tombak berdarah-darah itu jatuh ke lantai dengan suara es, dan langsung berubah jadi meja. Jadi itu toh tombaknya dari apa!

"Karena cedera kayak gitu, saya kira kamu ga bisa memberhentikanku sekarang. Ini pukulan penghabisannya!"

Di ujung lainnya dari ruang memilin ini, siluet Asakura perlahan muncul dan hilang. Aku hanya bisa melihat senyum dari wajahnya, saat dia perlahan mengangkat kedua tangannya -- kalau aku tidak salah, lengannya bersinar dari ujung jari-jarinya, dan kemudian memanjang dua kali lipat. Tidak, tidak hanya dua kali lipat...

"Tolong matilah!"

Lengan Asakura terus memanjang, menggeliat seperti sekumpulan tentakel, dan lalu mendekat dari dua arah. Tak mampu bergerak, sosok mungil Nagato terguncang keras...... Seketika itu juga, wajahku terciprat oleh darah.

Lengan kiri Asakura mencakar sisi kanan perut Nagato, sedangkan lengan kanannya mencakar dada kiri Nagato, menembus punggungnya dan berhenti pada dinding ruang kelas. Darah muncrat dari mulut Nagato dan turun melewati kedua kaki putihnya, membuat kolam darah di bawah semakin melebar.

"Sudah berakhir." Nagato berkata perlahan sebelum dia memegang tentakel. Tiada yang terjadi.

"Berakhir apanya?" Kata Asakura, terdengar seolah-olah dia sudah menang. "Maksudmu tiga tahun hidupmu?"

"Bukan." kata Nagato yang terluka parah, bagaikan tiada yang terjadi padanya. "Memulai pemutusan data antarmuka."

Hampir sekejap, semua di dalam ruang kelas bersinar terang, dan lalu mengkristal dan terurai pada detik selanjutnya, meja di sampingku juga mulai berubah jadi pasir dan runtuh.

"Gimana bisa..."

Pasir kristal jatuh dari langit-langit tanpa henti. Kali ini giliran Asakura yang terpaku.

"Kamu benar-benar hebat."

Tombak dalam badan Nagato juga mulai berubah jadi pasir.

"Membutuhkan beberapa lama untuk menembus programnya. Tapi, semuanya akan berakhir sekarang."

"......Kamu udah menanam faktor penghancur di sekeliling lama sebelum aku menembus tempat ini, bukan? Pantas aja kamu kelihatan agak lemah. Abisnya kamu udah ngegunain data penyerangnya sebelumnya..." kata Asakura putus asa saat kedua lengannya mulai mengkristal.

"Haah, sayang banget ya, toh akhirnya saya cuman backup. Kupikir ini kesempatan buat lepas dari kebuntuan ini."

Asakura berubah kembali jadi diri teman sekelas normalnya dan melihatku riang.

"Saya kalah. Hebat kamu bisa selamat. Tapi sebaiknya kamu hati-hati lho, Entitas Gabungan Data ga bersatu seperti yang kau kira, ada lumayan banyak yang sepertiku yang berselisih pendapat. Kayak manusia aja; bakalan ada ekstremis sepertiku lain kali. Dan siapa tahu, bahkan mereka yang mengontrol Nagato-san mungkin ngubah pikirannya dan justru berbalik membunuhmu."

Dia sekarang tertutupi dari dada ke ujung jari kaki oleh materi kristal yang bersinar.

"Sebelum itu terjadi, kudoain kamu dan Suzumiya-san beruntung. Selamat tinggal."

Bilang begitu, Asakura diam-diam terurai menjadi gundukan pasir kecil. Dan lalu, gundukan pasir kristal yang lebih kecil terus terurai sampai benar-benar lenyap.

Di bawah hujan pasir kristal, gadis SMA dikenal dengan Asakura Ryouko benar-benar lenyap dari sekolah ini.

Terdengar gedebuk nyaring, tiba-tiba. Aku cepat menemukan Nagato yang tergeletak di lantai, jadi dengan kalut kuberdiri.

"Nagato! Bertahanlah! Bakal kupanggil ambulan!"

"Tidak perlu."

Nagato menatap langit-langit dengan mata terbuka lebarnya.

"Kerusakan fisik tidak berarti apa-apa bagiku. Prioritas kita adalah memulihkan ruang area ini kembali ke status awal."

Pasir kristalnya berhenti jatuh.

"Menghapus zat kotor, merekonstruksi ruang kelas."

Saat dia selesai, ruang kelas 1-5 yang dikenal kembali muncul di depan mata kami. Bagaikan kaset direwind: semua yang ada di ruang kelas kembali seperti sedia kala.

Papan tulis, meja guru, sisa kursi dan meja semuanya tumbuh dari pasir putih dan kembali ke bentuk asalnya seperti yang kulihat sebelum sekolah berakhir hari ini. Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang terlintas di benakku saat itu. Jika aku tak melihat dengan mataku sendiri, aku akan berpikir kalau semua gambar ini dibuat dengan efek spesial CG termutakhir.

Jendela tumbuh dari dinding, dengan kaca setengah bernodanya utuh; matahari terbenam muncul kembali di luar, memandikanku dan Nagato dengan sinar oranye-merahnya. Aku berusaha melihat ke dalam kolong mejaku, semua isinya masih utuh, dan semua darah yang terpercik ke mukaku kini sudah hilang semua. Terlalu luar biasa. Aku hanya bisa mendeskripsikan itu sebagai sihir!

"Kamu beneran ga apa-apa?"

Aku berlutut di samping Nagato yang tetap tergeletak di lantai. Tadinya kupikir dia akan punya banyak luka dan lubang di seragamnya setelah ditusuk tombak-tombak itu, tapi semuanya hilang sekarang.

"Karena kekuatan pemrosesan telah dikonversi jadi operasi data, aku hanya membalikan sambungan antarmukanya sedikit."

"Perlu kubantu buat berdiri?"

Herannya, Nagato tak ragu dan memegang tanganku, tepat saat dia mau berdiri -

"Oh!"

Dia tiba-tiba tersentak.

"Saya lupa meregenerasi sepasang kacamata baru."

"......Aku sebenarnya mikir kamu keliatan lebih manis ga pake kacamata. Cewek mata-empat sebenarnya bukan tipeku juga sih."

"Apa artinya 'cewek mata-empat'?"

"Bukan apa-apa, cuman komentar bodoh aja."

"Begitu."

Sekarang bukan waktunya ngomong sepele kayak gitu. Nyesel gue bilang begitu. Kalaupun itu berarti meninggalkan Nagato tanpa perasaan, aku seharusnya langsung lari keluar ruang kelas dengan rasa malu.

"Yo!"

Pintu ruang kelas tiba-tiba terbuka.

"Kulupa~ kulupa sesuatu~"

Sial, yang memasuki ruang kelas, bersenandung lagu bodoh, adalah Taniguchi.

Taniguchi mungkin tak pernah kepikiran kalau bakalan masih ada orang di ruang kelas. Saat dia menemukan kami, dia berdiri takjub dengan mulut terbuka lebar seperti seorang idiot.

Pada saat itu, aku berusaha menggendong Nagato, tapi jika kamu hanya melihat kami saat itu saja, bakalan kelihatan seperti aku lagi membaringkannya perlahan.

"Maafkan aku." kata Taniguchi dengan nada serius yang tak pernah kudengar sebelumnya dan langsung minggat dari ruang kelas. Aku bahkan tak sempat mengejarnya.

"Orang yang begitu menarik." kata Nagato.

Aku mendesah berat.

"Kita sekarang ngapain?"

"Serahkan padaku." kata Nagato sambil bersandar di dadaku.

"Manipulasi data adalah keahlian khususku, akan kubuat semua orang berpikir bahwa Asakura Ryouko telah dipindah-sekolahkan."

Jadi begitu toh cara dia ngelakuinnya!

Sekarang bukan saatnya mikirin hal sepele kayak gini pas gue baru aja ngalamin kejadian luar biasa. Ini bukan lagi masalah apa gue harus percaya ato engga sama apa yang diomongin Nagato kemaren-kemaren. Gue ga berani ngaku gue setengah percaya. Tapi apa yang terjadi barusan udah bikin gue sadar betapa serius masalahnya. Tadinya gue pikir gue bakalan bener-bener mampus! Kalau Nagato ga muncul dari langit-langit, gue udah pasti dibunuh sama Asakura. Pengalaman ngeliat ruang kelas jadi distorsi, lengan Asakura manjang ga normal, dan Nagato melenyapkannya udah semuanya keukir di dalam pikiran gue.

Apa Nagato berusaha pake ini buat bilang kalo dia itu bener-bener alien ya?

Sedikit banyak, bukannya ini bikin gue jadi orang dalam di kejadian misterius ini? Seperti yang udah gue omongin di awal, gue pengen jadi orang lewat yang kehisap ke dalam kejadian begini, puas cuman jadi konco doang. Tapi kalo kayak gini, gue jadi protagonisnya! Bener, gue ngarep banget gue jadi karakter di cerita yang melibatkan alien, tapi pas gue bener-bener jadi, bikin semuanya dalam perspektif.

Jujur aja, gue agak kerepotan juga.

Yang sebenarnya gue inginkan adalah jadi semacam peran pembantu yang dengan riang gembira ngasih saran yang ngebantu disaat yang tepat pas semua orang ngadapin situasi sulit. Gue ga mau nyawa gue diincer sama teman sekelas gue sendiri! Gue emang punya prinsip sendiri pas ngomongin soal hidup gue.

Pikiranku melayang kemana-mana untuk beberapa waktu saat aku duduk di ruang kelas berwarna oranye-merah. Aku benar-benar lupa kalau Nagato masih bersandar di dadaku.

A...apa-apaan nih semua? Gue mikir apaan sih? Akibat terbengong-bengong, aku tak sadar kalau Nagato telah menyelesaikan regenerasinya dan sedang menatapku tanpa ekspresi sudah agak lama.



Esok harinya, Asakura Ryouko menghilang dari kelas.

Hasil akhir ini tak bisa dihindari, tapi hanya aku yang berpikiran seperti itu.

"Hmmm, kayaknya sih ada hubungannya sama pekerjaan ayah Asakura, makanya dia harus tiba-tiba pindah. Jujur aja, para guru juga kaget kok pas mereka dengar berita ini pagi tadi. Karena mereka harus keluar negeri, mereka udah terbang kemaren."

Saat Okabe-sensei mengumumkan liputan ini, sebagian besar cewek berseru terkejut, "Apa?", "Kenapa?", sedangkan cowok-cowok juga saling berbicara diantara mereka tentang ini. Bahkan para guru tampak kebingungan. Tak mengejutkan, gadis dibelakangku tidak bisa diam soal ini.

Plak! Dia memukul belakang kepalaku dengan tangannya.

"Kyon, ini PASTI kejadian misterius!" Mata Haruhi berkilau terang saat dia mendapat semangat biasanya.

Gue mesti ngapain? Ngasih tau yang sebenarnya?

Sebenarnya, Asakura-san dibikin sama entitas asing yang dikenal sebagai Entitas Gabungan Benak Data, Nagato-san juga salah satu rekannya, tapi karena alasan tertentu, hubungan mereka putus, dan akhirnya Asakura-san nyari jalan buat bunuh gue. Soal kenapa sampai bawa-bawa gue, alasannya sebenarnya itu karena elo. Tapinya, Asakura-san diubah jadi setumpukan pasir oleh Nagato-san dan menghilang.

Plis deh! Gue bakalan diketawain habis-habisan kalau gue bilang begitu, dan gue juga ga pengen ngomonginnya. Gue pura-pura aja kalo semua yang terjadi kemarin itu cuman ilusi dan ngebiarin aja kayak gitu.

"Pertama anak pindahan misterus masuk, lalu tiba-tiba cewek pindah keluar secara misterius. Pasti ada hal yang mencurigakan!"

Haruskah kupuji insting briliannya?

"Mungkin ayahnya pindah tugas?"

"Aku ga percaya alasan lemah kayak gitu."

"Percaya atau engga, itu alasan paling utama orang harus pindah sekolah."

"Tapi bukannya aneh tuh? Mereka cuman butuh satu hari buat dapetin pemberitahuan pindah tugas buat pindahan. Emangnya pekerjaan ayahnya macam mana sih?"

"Mungkin ayah Asakura ga ngasih tau dia sebelumnya..."

"Ga mungkin. Ini perlu penyelidikan lebih lanjut."

Ingin kukatakan kalau pindah tugas hanyalah alasan, mereka harus kabur dalam semalam dari penagih utang setelah meninggalkan segunung utang, tapi kuputuskan tidak. Karena orang yang tahu alasan sebenarnya adalah aku.

"Sebagai anggota Brigade SOS, aku ga bisa ngebiarin kejadian misterius kayak gini engga diketahui."

Plis berhenti doong!

Setelah apa yang terjadi kemarin, aku mengalami perubahan total dalam semalam. Lagipula, setelah menyaksikan semua kejadian supranatural secara langsung, dan berusaha memberitahu kepada diriku semuanya tak pernah terjadi, aku harus memilih salah satu dari pilihan berikut: Aku berhalusinasi; atau ada yang salah dengan otakku; atau dunia ini sudah cukup aneh; atau aku mengalami mimpi yang amat panjang.

Lagipula, aku takkan pernah bisa akui kalau dunia ini sendiri adalah sebuah realitas virtual.

Men! Buat orang yang baru aja jadi 15 tahun, mesti ngadapin titik balik hidupnya ini emang sedikit kecepetan!

Kenapa sih anak kelas satu SMA kayak gue harus berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis kayak apakah dunia ini ada ato engga? Itu bukan hal yang harus gue pikirin. Plis dong, jangan nambahin masalah gue lagi.

Sekarang ini gue punya banyak masalah rumit yang harus diurusin!



Bab 6



Sama seperti kemarin, hari ini kutemukan lagi surat lain di loker sepatuku. Ada apaan sih dengan orang-orang sekarang ngirim surat kok lewat loker sepatu?

Kali ini kok rasanya agak berbeda, tapinya. Suratnya tidak dilipat dan anonim seperti terakhir kali. Di belakang amplopnya, yang terlihat seperti salah satu amplop-amplop elegan yang didapat dari majalah manga shoujo untuk kuisioner atau sejenisnya, jelas tertulis sebuah nama. Kalau mataku tidak salah lihat, aku yakin nama siapa yang tertulis di atasnya.

Asahina Mikuru.

Langsung kuselipkan amplopnya ke dalam kantong jaketku, dan bergegas ke toilet laki-laki untuk membukanya. Di sana, pada selembar kertas dengan simbol senyum tersebar di mana-mana, tertulis kata-kata berikut.

Akan kutunggu kamu di ruang klub pas istirahat makan siang.

Mikuru-chan

Setelah kejadian kemarin, seluruh cara pandangku terhadap hidup, dunia dan kenyataan itu sendiri jumpalitan 360 derajat seperti akrobat.

Aku tidak ingin mengalami situasi yang mengancam nyawa seperti itu lagi.

Namun kutak bisa menolak yang ini. Lagipula, Asahina-sanlah yang mengundangku kali ini! Walau aku tak punya bukti untuk membuktikan surat ini ditulis oleh Asahina-san, tak pernah kuragukan keasliannya, karena dia terlihat seperti tipe orang yang memakai cara tidak langsung. Terlebih lagi, bayangan dia menggenggam pulpennya sambil menulis dengan semangat pada selembar kertas imut benar-benar cocok dengannya. Kalau pas makan siang, Nagato seharusnya ada di ruang klub juga, kalo ada sesuatu beneran terjadi, gue duga dia bakalan datang nyelamatin gue.

Tolong jangan panggil aku pengecut menyedihkan. Toh, aku kan hanya anak SMA biasa.



Setelah jam pelajaran keempat, aku dikelilingi oleh: Taniguchi, menatapku dengan pandangan penuh arti; Kunikida, datang dengan kotak bekal makan siangnya, mencoba mengajakku makan siang sama-sama; dan Haruhi, mengajakku pergi bersamanya ke ruang guru untuk menyelidiki kebenaran akan kepergian Asakura. Bahkan belum memakan kotak bekal makan siangku sama sekali, aku langsung pergi menuju ruang klub.

Saat itu masih bulan Mei, namun matahari telah bersinar dengan kecerahan musim panas. Matahari terlihat seperti perapian ekstra besar, dengan riang meradiasikan energinya menuju bumi. Saat musim panas akhirnya tiba, Jepang jadi sauna alami. Bisa kurasakan keringat menjalar dalam pakaian dalamku hanya dengan berjalan beberapa langkah.

Dalam tiga menit, aku tiba di pintu ruang klub. Kuketuk terlebih dahulu.

"Silahkan masuk."

Itu suara Asahina-san, tiada keraguan lagi. Okeh, gue bisa santai dan masuk!

Ketika aku masuk, kudapati Nagato hilang, dan dengan keterkejutanku, begitu pula dengan Asahina-san.

Di depanku berdiri seorang gadis berambut panjang bersandar di kusen jendela menghadap lapangan sekolah. Dia mengenakan blus putih dan rok mini hitam, sedangkan kakinya memamerkan sepasang sandal yang dibuat untuk para tamu sekolah.

Ketika dia melihatku, dia berjalan ke arahku dengan gembira dan memegang tanganku.

"Kyon-kun... lama ga ketemu."

Dia bukan Asahina-san, tetapi dia mirip sekali dengan Asahina-san, begitu mirip sampai-sampai orang bisa gampangnya keliru dengan Asahina-san sendiri. Sejujurnya, bahkan aku pun akan berpikir kalau dia itu Asahina-san.

Namun dia bukan Asahina-san. Asahina-san yang kukenal tidak setinggi itu, dan wajahnya belum sepenuhnya dewasa, belum lagi dada dalam blusnya tak mungkin bertambah ukurannya tiga kali dalam semalam.

Bagaimanapun aku melihatnya, aku yakin orang di depanku ini, tersenyum sambil menggenggam tanganku, sudah berumur duapuluhan, memberikan rasa yang berbeda dengan Asahina-san yang seperti cewek SMP. Tapi kenapa dia amat mirip dengan Asahina-san?

"Permisi..."

Tiba-tiba kupikirkan sebuah alasan.

"Apakah anda... kakaknya Asahina-san?"

Dia terlihat terkejut sebentar, lalu tersenyum dan mengedipkan matanya, menggoncangkan bahunya. Bahkan senyumannya pun juga sama.

"Hee hee, ini saya!" katanya.

"Saya Asahina Mikuru. Hanya aja, saya datang dari bidang waktu yang lebih jauh lagi......saya selalu pengen ketemu kamu."

Pastinya aku tampak sangat bodoh saat itu. Memang, aku bisa dengan mudah menerima omongan Asahina-san kalau dia dari masa depan. Melihat kecantikan berdiri di depanku, aku sadar betapa cantiknya dia tumbuh. Dan dia lebih tinggi, membuatnya lebih seksi. Aku tak pernah berpikir kalau dia akan jadi begitu cantik.

"Oh, kamu masih belum percaya sama saya?"

Asahina-san berpakaian seperti sekretaris berkata nakal,

"Kalau gitu bakalan kutunjukin buktinya!"

Dia lalu segera mulai melepas kancing blusnya. Ketika dia membuka kancing kedua, dia membeberkan dadanya sampai ke keterkejutanku.

"Lihat, bisa kamu lihat tanda lahir bentuk bintangnya? Ini bukan tempelan! Pengen kamu raba?"

Memang ada tanda lahir bentuk bintang di dada kirinya, sorotan menarik pada kulit putihnya, memancarkan pesona.

"Jadi sekarang kamu percaya?"

Gimana gue ngomonginnya ya? Gue bahkan ga ingat pernah ngeliat apakah Asahina-san punya tanda lahir di dadanya. Walau gue pernah agak dipaksa sih ngeliat dia ganti baju pas dia pake kostum bunny girl kemaren-kemaren, gue takkan sebegitu konsentrasinya sampai-sampai bisa nyadarin area yang begitu kecil. Sambil kupikirkan yang di atas, Asahina-san yang menarik, yang terlihat dewasa itu berkata,

"Aneh. Kalo kamu ga bilang ke saya kalo saya punya tanda lahir ini, saya sendiri ga bakalan pernah nyadarin sendiri."

Asahina-san mengelengkan kepalanya dengan bingung, dan lalu, seakan-akan menyadari sesuatu, matanya melebar dan dia merona hebat.

"Eh......Oh tidak, saya cuman......B...benar! Kita masih belum...... Duh gimana dong?"

Asahina-san meletakan kedua tangannya di atas wajahnya dan mengeleng panik, kancing kerahnya masih terbuka.

"Saya salah kira......M...maafin saya! Tolong lupain aja apa yang baru saya omongin!"

Lebih gampang diomongin daripada dilakuin. Oh dan, bisa tolong tutup kancingnya? Aku udah ga tahu lagi harus ngeliat kemana!

"Baiklah, aku percaya kamu buat sekarang ini. Sekarang ini aku bisa percaya apapun."

"Eh apa?"

"Ah engga, cuman ngomong sendiri."

Asahina-san yang entah berumur berapa masih menahan wajah memerahnya dengan kedua tangannya saat ia menyadari kemana aku melihat, dan cepat-cepat mengancingkannya kembali. Setelah duduk dengan baik, dia berdehem kering dan berkata,

"Kamu benar-benar percaya kalau saya datang dari masa depan ke bidang waktu ini?"

"Tentu aja. Hmm, kalau gitu, berarti sekarang ada dua Asahina-san di dunia ini?"

"Iya, saya yang dari masa lampau......saat ini, dia sedang duduk bersama teman-teman sekelasnya sambil makan siang di kelas."

"Apa Asahina-san itu tau kamu disini?"

"Engga, lagian, dia kan masa laluku."

Gitu toh.

"Karena saya pengen bilang sesuatu ke kamu, saya memohon para atasan biar ngebolehin saya datang ke bidang waktu ini. Oh iya, saya sebelumnya minta Nagato-san supaya ninggalin kita sebentar."

Kalau itu Nagato, kayaknya dia bahkan ga bakalan tersentak pas ngeliat Asahina-san ini.

"......Kamu tau siapa Nagato-san sebenarnya?"

"Maafin saya, tapi itu informasi rahasia. Oh, saya sadar saya ga ngomong itu dah lama banget."

"Aku baru aja denger kamu bilang begitu beberapa hari yang lalu."

"Kamu benar." kata Asahina-san sambil mengetok kepalanya dan mengeluarkan lidahnya. Benar-benar seperti apa yang dilakukan Asahina-san.

Namun tiba-tiba dia mulai terlihat serius.

"Saya ga bisa tinggal di sini terlalu lama, jadi saya langsung saja."

Langsung ngomong aja apa yang ingin kamu omongin!

"Kamu pernah dengar Putri Salju?"

Kulihat Asahina-san yang sedikit lebih tinggi. Pupil hitamnya terlihat sedikit basah.

"Yah, iya sih..."

"Segimanapun situasi menyulitkan yang bakalan kamu hadapi dari sekarang, kuharap kamu bakalan ingat cerita ini."

"Maksudmu cerita yang ada tujuh kurcaci, penyihir keji dan apel beracun?"

"Ya, cerita Putri Salju."

"Aku udah ngalamin situasi sulit kemarin."

"Bukan......ini lebih serius dari itu. Saya ga bisa bilang detilnya, tapi yang bisa kubilang hanyalah Suzumiya Haruhi juga akan ada disampingmu."

Haruhi? Ada di sampingku? Maksudmu kami berdua bakalan terlibat sesuatu yang nyusahin? Kapan? Dimana?

"......Mungkin Suzumiya-san ga nganggap itu nyusahin......tapi buat kamu dan kami semua, emang masalah yang rumit."

"Kamu ga bisa bilang detilnya......kan?"

"Maaf, saya cuman bisa ngasih petunjuk aja. Cuman itu yang bisa kulakukan."

Asahina-san dewasa begitu menyesal sampai-sampai dia hampir menitikkan air mata. Ya, itu ekspresi yang biasa Asahina-san tampilkan.

"Maksudmu cerita Putri Salju?"

"Ya."

"Akan kuingat."

Setelah melihatku mengangguk, Asahina-san bilang kalau dia masih ada waktu sedikit, jadi dia mengelilingi ruang klub dengan rindu, mengelus sayang kostum maid yang tergantung di rak baju.

"Saya dulu biasa sering pake ini. Sekarang saya pastinya ga bakalan berani pake."

"Kelihatannya sih sekarang kamu lagi cosplay jadi gadis kantoran tapinya."

"Hee hee, karena saya ga bisa masuk dengan seragamku, saya harus berpakaian jadi guru deh."

Beberapa orang emang dilahirkan cuman buat kostum dipakaikan ke mereka.

"Ngomong-ngomong, apa lagi yang Haruhi suruh buat kamu pake?"

"Ga kukasih tau, terlalu memalukan. Lagian, ntar lagi kamu juga tau, bener kan?"

Asahina-san berjalan dengan sendalnya dan datang menuju wajahku. Kutemukan matanya tidak biasa basah, dan wajahnya sedikit merah.

"Kalau gitu saya pergi sekarang!"

Asahina-san melihatku, ingin melanjutkan tapi memutuskan untuk berhenti. Melihatnya gemetaran dan tampaknya menginginkan sesuatu, mungkin gue mesti kasih cium. Tepat ketika aku mau mendekapnya, dia mundur.

Asahina-san berputar enteng dan berkata,

"Akhirnya, saya punya satu permintaan lagi. Tolong jangan terlalu dekat denganku."

Dia berkata dengan desahan lemah.

Cepat-cepat aku berteriak ke Asahina-san, yang sedang berlari ke pintu, "Aku punya pertanyaan buatmu!"

Asahina-san berhenti tepat saat mau membuka pintunya.

"Asahina-san, emangnya berapa sih umurmu?

Asahina-san berputar dan menggoncangkan rambutnya, lalu memberi senyuman yang menggoda, "Informasi rahasia~."



Pintu menutup begitu saja. Aku tak dapat melakukan apapun kalaupun kukejar.

Wow, sulit gue percaya kalau Asahina-san bakal keliatan begitu hot pas udah dewasa. Lalu aku tiba-tiba berpikir hal pertama yang dikatakannya. "Kyon-kun......lama ga ketemu." Berarti satu hal: Asahina-san ga ketemu gue untuk waktu yang lama.

"Ya, itu masuk akal."

Asahina-san masa depan pastinya mungkin udah balik ke masa depan ga-begitu-jauhnya, terus ngabisin beberapa tahun di sana, sebelum kembali ketemuan lagi sama gue di zaman ini.

Udah berapa lama ya baginya? Dari segimana dia udah tumbuh, mungkin lima tahunan.....atau bahkan tiga! Cewek banyak berubah pas mereka lulus SMA. Dulu sepupu gue kayak gitu. Pas dia di SMA, dia selalu orang yang pendiam, siswi pandai yang tidak menarik perhatian. Lalu ketika dia masuk universitas, dia bermetarmofosis dari ulat jelek jadi kupu-kupu cantik. Namun karena dia dah tumbuh, gue bahkan lebih bingung sama umur Asahina-san yang sebenarnya; kayaknya dia bukan 17 tahun deh!

Duh, lapar, kayaknya gue balik aja deh ke ruang kelas.

"......"

Saat itu, Nagato Yuki masuk dengan wajah dingin terpeliharanya yang seperti biasa, tapi karena dia tak memakai kacamata hari ini, tatapan telanjangnya mendarat padaku.

"Hei, kamu tadi liat orang yang mirip-mirip Asahina-san lewat barusan?" Kataku setengah bercanda.

"Telah kulihat klon temporal diferensial Asahina Mikuru pagi ini."

Nagato duduk dengan diam di kursinya dan lalu menempatkan bukunya di meja dan membukanya.

"Dia tidak ada disini sekarang dan sudah berangkat dari bidang waktu ini."

"Bisakah kau ngelintasin waktu juga? Dengan si Entitas Data itu tuh?"

"Saya tidak bisa. Tetapi, perpindahan temporal tidak sesulit yang dibayangkan; hanya saja manusia belum memahami prinsip dasarnya. Waktu itu seperti ruang; bergerak melintasinya amat mudah."

"Terus kau bisa kasih tau aku gimana caranya?"

"Itu adalah konsep yang tidak bisa disampaikan dengan kata-kata, jadi kamu tidak akan mengerti kalaupun kujelaskan."

"Begitukah?"

"Ya."

"Kayaknya aku bingung, dong."

"Ya, kamu bingung."

Percuma berusaha bicara dengan karakter yang amat kaku, jadi kuputuskan untuk kembali saja ke kelas. Mungkin aku masih punya waktu buat makan siang?

"Nagato-san, makasih kemarin."

Ekspresi kakunya bergerak sedikit.

"Tidak perlu berterimakasih padaku. Tindakan Asakura Ryouko adalah tanggungjawabku; Saya telah ceroboh dengan pengawasanku."

Belahan rambutnya berayun lembut.

Dia lagi berusaha membungkuk dan minta maaf ke gue?

"Kamu emang kelihatan lebih manis ga pake kacamata."

Dia tak membalas.

Aku tadinya ingin bergegas kembali ke kelas buat makan siang, tapi disana Haruhi telah menungguku di pintu, dan rencanaku untuk makan siang segera keluar dari jendela. Mungkinkah ini takdir? Tampaknya aku telah mencapai titik dimana aku bisa lihat menembus semua karma.

Menunggu tak sabaran di koridor, Haruhi membentak dengan nada kesal,

"Kemana kamu kabur? Kupikir kau bakal balik lebih awal, aku bahkan belum sempat makan karena aku nunggu kamu kelamaan!"

Dia tidak terdengar marah sama sekali, tapi dia terdengar seperti teman cewek masa kecil yang cemberut berusaha menyembunyikan rasa malunya.

"Jangan cuman berdiri kayak idiot aja! Ikut aku!"

Haruhi menempatkan kuncian pergelangan gulat mengelilingi tanganku dan menyeretku ke tangga yang gelap.

Gue kelaparan banget nih!

"Aku baru aja nanya Okabe di ruang guru. Guru-guru cuman tahu kalau Asakura pindah sekolah pagi ini. Pas subuh, ada orang ngaku-ngaku ayahnya Asakura nelepon, katanya mereka harus pindah karena keadaan darurat. Dan kau tau kemana mereka pindah? Kanada! Kok bisa mungkin sih? Terlalu mencurigakan!"

"Oh begitukah?"

"Abis itu, aku ngaku jadi teman baiknya Asakura dan pengen nanya guru-guru kalo-kalo aku bisa ngehubungin dia di Kanada."

Plis deh, elo kan jarang banget ngomong ke dia pas dia masih ada.

"Dan kamu tahu apa kata tuh guru? Mereka bilang mereka engga tahu. Biasanya kalo orang mau pindah, bukannya mereka bakal ninggalin kontak lengkapnya? Ada sesuatu yang aneh disini"

"Ngga, ngga ada!"

"Jadi aku nanya alamat lama Asakura Ryouko sebelum dia pindah. Aku bakalan kesana dan liat-liat abis sekolah. Mungkin kita bisa nemu sesuatu di sana."

Nih cewek ga pernah ngedengerin apa kata orang, kayak biasanya.

Bodo ah, gue ngga bakalan nyetop dia. Toh akhirnya, yang buang-buang waktu ya cuman Haruhi doang, bukan gue.

"Kamu juga ikut."

"Kenapa!?"

Haruhi menggembungkan bahunya, dan lalu seperti naga mengancam kosong sebelum menyemburkan nafasnya, dia membentak dengan volume yang seluruh sekolah bisa dengar,

"KARENA KAMU ITU ANGGOTA BRIGADE SOS!!!"



Tunduk patuh akan perintah Haruhi, aku mundur dengan panik. Aku pergi ke ruang klub untuk memberitahu Nagato tentang ini karena baik aku maupun Haruhi takkan ikut kegiatan klub hari ini, dan kusuruh Nagato menyampaikan pesannya juga ke Asahina-san dan Koizumi ketika mereka datang. Tapi aku tak tahu apakah alien pendiam ini akan membuat hal jadi semakin rumit, jadi buat amannya, kuambil stabilo dan kutulis di belakang salah satu selebaran Brigade SOS,

"Tidak ada aktivitas hari ini untuk Brigade SOS. - Haruhi"

dan menempelkan catatan itu ke pintu.

Mengenyampingkan Koizumi, setidaknya Asahina-san bisa selamat harus ganti ke kostum maidnya.

Berkat semua ini, bel sekolah untuk jam kelima berdentang sebelum aku sempat makan apapun. Jadi setelah istirahat berikutnyalah baru aku bisa makan.



Gue pasti ngeboong kalau gue bilang gue ga pernah mau jalan berdampingan sama cewek abis pulang sekolah kayak idola-idola drama itu. Tapi walau mimpi ini udah jadi nyata, gue jauh dari bahagia. Emangnya apa sih yang terjadi?

"Kamu bilang apa tadi?"

Tanya Haruhi sambil berjalan di sisi kiriku, melangkah lebar sambil membawa secarik kertas catatan. Otomatis kuartikan pertanyaannya sebagai "Kamu punya masalah?"

"Ngga, ngga ada apa-apa kok."

Kami berjalan menuruni bukit dan menyusuri jalur kereta. Sedikit di depan ada Stasiun Koyouen.

Tadinya kupikir kami mendekati rumah Nagato, tapi aku tak pernah berpikir kalau Haruhi berjalan menuju tempat itu juga. Kami lalu sampai di depan blok apartemen yang amat baru, yang familiar.

"Asakura kayaknya tinggal di Kamar 505."

"Pantesan."

"Apa maksudmu 'pantesan'?"

"Ngga, bukan apa-apa. Oh ya, gimana caranya masuk? Lihat, gerbangnya aja dikunci."

Kutunjuk panel nomor di sebelah interkom dan berkata,

"Elo butuh kode yang benar buat buka pintunya. Loe tahu kodenya?"

"Ngga, kita bakalan perlu bertahan dalam perpanjangan pertempuran di situasi ini."

Emang loe tuh mau nunggu apaan sih? Tepat saat aku berpikir berapa lama waktu yang diperlukan, kami tidak menunggu lama. Pada saat ini wanita paruh baya membuka pintunya dari dalam, tampaknya mau pergi belanja. Dia melihat kami sejenak dengan tatapan menginterogasi dan lalu berjalan menjauh. Haruhi segera menahan gerbangnya tetap terbuka sebelum mau menutup.

Ga keliatan bijak sama sekali.

"Ayo cepetan!"

Jadi aku diseret seperti itu ke aula masuk, dan segera memasuki lift, yang kebetulan berhenti di lantai dasar. Adalah etiket dasar untuk melihat dengan diam ke angka lantai ketika menaiki lift......

"Asakura itu......"

Tapi sepertinya Haruhi tak menghargai keberadaan etiket itu.

"......Ada banyak hal mencurigakan lain soal dia. Dia kayaknya ga pernah masuk SMP daerah sini juga."

Ya, iya lah.

"Aku udah ngelakuin penyelidikan dan tau kalo dia pindah ke SMA North dari kota lain. Ini terlalu mencurigakan! SMA North bukan sekolah yang terkenal atau semacemnya, cuman SMA lokal biasa. Kenapa dia susah-susah datang dari kota lain buat sekolah kesini?"

"Tau deh."

"Tapinya dia tinggal dekat sekolah, dan di apartemen yang dibayar tunai bukan sewa pula. Harganya pasti gila mahalnya. Apa dia pulang-pergi dengan kereta selama ini buat pergi ke SMPnya di luar kota?"

"Udah gue bilang gue ngga tau."

"Kayaknya kita perlu cari tahu kapan Asakura mulai tinggal di sini."

Lift berhenti di lantai lima. Dengan diam kami berdiri dan melihat pintu dengan nomor 505. Papan nama di pintunya telah dilepas, menunjukan bahwa ini adalah apartemen kosong. Haruhi memutar gagang pintu, tetapi sudah diduga, pintunya terkunci.

Haruhi menyilangkan lengannya, berpikir bagaimana caranya masuk kedalam apartemennya untuk menyelidiki, sementara aku berdiri disamping berusaha keras untuk tidak menguap. Ini benar-benar buang-buang waktu gue aja.

"Ayo cari penjaga apartemennya!"

"Menurut gue dia ngga bakalan minjemin kunci ke kita."

"Bukan, aku lagi mikir untuk nanyain dia kapan Asakura mulai tinggal disini."

"Lupain aja, ayo pulang! Kita mau ngapain kalaupun kita emang tau?"

"Ngga."

Kami menaiki lift dan kembali ke lantai dasar, dan pergi ke pos penjaga di aula masuk. Tampaknya tiada seseorang pun di belakang panel kaca, tapi saat kami menekan bel di sebelahnya, seorang tua kecil dengan rambut putih muncul perlahan.

Haruhi mulai membombardir pak tua itu dengan berbagai pertanyaan bahkan sebelum dia sempat berbicara.

"Permisi, kami teman-teman Asakura-san. Dia tiba-tiba bilang bahwa dia mau pindah bahkan tanpa meninggalkan alamat barunya, dan kami tidak tahu bagaimana cara menghubunginnya. Bisakah kami bertanya kalau-kalau anda mengetahui kemana dia pindah? Dan, bisakah kami tahu kapan Asakura-san mulai tinggal di sini?"

Saat aku sedang terkagum-kagum bagaimana Haruhi sebenarnya bisa menggunakan bahasa sopan yang begitu normal, pak tua itu sepertinya agak kesulitan mendengar karena dia selalu membalas dengan, "Apa?", "Coba ulangi?", dan seterusnya. Walau begitu, Haruhi masih bisa mengetahui dari pak tua tersebut bahwa dia juga terkejut karena Asakura tiba-tiba pindah. (Aku bahkan ga melihat tukang pindahan datang, tapi semua perabotan di dalam sudah hilang. Masih bikin aku merinding) Dan Asakura itu pindah ke sini tiga tahun yang lalu. (Aku ingat mbak'e cantik itu ngasih aku sekotak makanan kecil hari itu!) Juga, daripada membayar dengan angsuran, apartemennya sepertinya dibayar dengan sekali pembayaran dengan uang tunai. (Kayaknya mereka pasti kaya banget!) Wow! Loe bisa jadi detektif kalo gini terus!

Pak tua itu tampaknya senang bisa bicara dengan pemudi seperti Haruhi.

"Kalau dipikir-pikir lagi, walau aku sering melihat mbak'e cantik itu, tapi aku ga ingat pernah lihat orang tuanya."

"Aku ingat mbak'e itu dipanggil Ryouko. Benar-benar nama yang elegan buat seorang gadis."

"Aku berharap dia paling engga ngucapin selamat tinggal..... Sayang sekali ya. Oh ya, kamu lumayan manis juga kok!"

Ketika pak tua itu mulai berbicara hal yang sama, Haruhi menentukan dia sudah tak bisa lagi memperoleh data lagi darinya, jadi dia memutuskan untuk membungkuk sopan dan berkata, "Terimakasih banyak untuk bantuannya."

Lalu dia mendesakku pergi. Tidak perlu desakan sebenarnya, karena aku sudah siap untuk mengikutinya dan meninggalkan blok apartemen ini.

"Hei, mas, nona itu bakalan tumbuh jadi wanita cantik, pastikan kamu ngga ngelepasin dia dari genggamanmu!"

Pak tua itu jelas-jelas ngomong kosong. Yang kutakutkan adalah reaksi mengerikan apa yang Haruhi, yang kebetulan mendengar semua itu, akan miliki. Tapi dia diam terus melangkah maju, dan aku tetap diam juga. Beberapa langkah dari aula masuk, kami berpas-pasan dengan Nagato, membawa tasnya dan beberapa kresek toko serba ada. Bagi Nagato, yang sering dalam ruang klub membaca bukunya sampai sekolah tutup, untuk berada disini, berarti dia juga meninggalkan sekolah setelah aku.

"Ah! Jangan-jangan kamu juga tinggal disini? Kebetulan banget ya!"

Nagato mengangguk dengan wajah putih pucatnya. Plis deh, gimana bisa ini kebetulan?

"Apa kamu dengar sesuatu soal Asakura?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Oh gitu. Kalau kamu dengar sesuatu soal Asakura, ingat kasih tau aku."

Dia mengganggukan kepalanya.

Kuperhatikan beberapa makanan kaleng dan sayuran dalam kreseknya dan berpikir, jadi dia bisa makan juga toh!

"Kacamatamu kenapa?"

Nagato tak menjawab langsung pertanyaannya tapi hanya menatap diam kepadaku. Aku panik sedikit ditatapnya seperti itu, sedangkan Haruhi, tak mengharapkan dia menjawab sama sekali, hanya mengangkat bahunya dan berjalan menjauh tanpa menolehkan kepalanya. Kuangkat tanganku dan melambaikan sampai jumpa ke Nagato.

Saat kami berjalan melewatinya, Nagato membisikan, "Hati-hati."

Hati-hati apa lagi kali ini? Saat aku hendak berbalik dan bertanya padanya, Nagato sudah terlanjur masuk ke dalam blok apartemen.



Kuikuti Haruhi, yang berjalan tanpa tujuan sepanjang jalur kereta, tertinggal dua sampai tiga langkah di belakangnya. Kami akan semakin jauh dari rumah kalau terus begini, jadi aku bertanya kemana kita akan pergi?

"Ngga kemana-mana." jawabnya.

Aku melihat ke belakang kepala Haruhi dan berkata, "Jadi gue bisa pulang sekarang?"

Di saat ini, Haruhi berhenti berjalan, melihat bagaikan dia mau jatuh ke depan. Lalu dia melihatku dengan wajah sepucat Nagato.

"Kamu pernah ngerasa ga sih kalau kamu itu cuman sebuah paku kecil di Bumi ini?"

Lanjutnya, "Aku pernah, dan aku takkan pernah melupakannya."

Haruhi berdiri di samping rel kereta api, maaf, jalur kereta, dan mulai bicara.

"Pas aku kelas enam SD, aku pergi bersama keluargaku untuk nonton pertandingan baseball. Aku ngga terlalu tertarik sama baseball, tapi pas aku pergi ke sana, aku syok, karena kemanapun aku melihat ada orang disekeliling. Orang-orang di seberang stadion cuman sekecil sebuah bulir beras aja, dalam gerakan konstan. Tadinya kupikir seluruh negeri udah kumpul disini. Jadi aku nanya ke ayahku berapa banyak orang yang ada di stadion. Ayahku bilang karena sekarang lagi penuh hari ini, mungkin kira-kira limapuluh ribu?"

"Sehabis pertandingan, jalanan penuh dengan orang. Ngeliat semua ini, aku terpaku. Ada begitu banyak orang disini, tapi mereka cuman sebagian kecil dari seluruh negeri. Aku baca di pelajaran geografi kalau Jepang punya populasi seratus juta, jadi aku pulang ke rumah dan menghitung-hitung pake kalkulator, dan kudapati kalau limapuluh ribu itu hanya seperduaribu dari total populasi. Waktu itu, aku terpaku lagi. Aku cuman bagian kecil dari sedemikian banyak orang di stadion, dan orang-orang banyak ini cuman seperduaribu dari seluruh negeri."

"Sebelumnya, aku selalu merasa kalau diriku itu spesial. Aku bahagia dengan keluargaku, dan aku merasa kalau aku sekelas dengan orang-orang yang paling menarik di seluruh dunia. Namun dari saat itu, aku sadar kalau sebenarnya engga gitu. Pengalamanku di sekolah yang kupikir paling menyenangkan di seluruh dunia, ternyata ada di setiap sekolah. Buat seluruh negeri, ini engga spesial. Ketika aku menemukannya, seluruh dunia disekitarku kehilangan warnanya. Aku gosok gigi dan tidur, terus bangun dan sarapan. Kamu ngeliat beginian dimana-mana."

"Kudapati ngebosenin banget pas aku sadar semua ini semua bagian kehidupan biasa seseorang. Aku percaya karena begitu banyak orang di dunia ini, pastinya ada orang yang menghidupi kehidupan yang luar biasa, yang menggairahkan. Tapi kenapa orang itu bukan aku?"

"Sebelum aku lulus SD, kupikirkan semua ini. Jadi pas aku masuk SMP, kuputuskan untuk mengubah diriku. Aku pengen dunia tau, aku bukan cewe yang bakalan cuman duduk dan nunggu. Kurasa aku udah berusaha keras, tapi semuanya sama seperti biasa. Dan kini aku sudah SMA, masih berharap sesuatunya berubah."

Ketika dia selesai, dia memberikan ekspresi menyesal telah mengatakan semua itu, dan melihat langit dengan sedih.

Haruhi mengatakan ini tanpa henti, seolah-olah memberi pidato di debat. Ketika dia selesai, dia memberikan ekspresi menyesal telah mengatakan semua itu, dan melihat langit dengan sedih. Sebuah kereta melewati kami dengan cepat. Berkat semua suara berisik itu, aku punya waktu untuk menimbang-nimbang apakah aku harus lanjut bertanya atau apakah aku semestinya menemukan sesuatu yang filosofis untuk menyenangkan Haruhi.

Kulihat keretanya meninggalkan suara Efek Dopplernya dan berkata, "Oh gitu?"

Aku merasa tak enak hanya bisa dengan jawaban yang begitu sederhana.

Haruhi menggunakan kedua tangannya untuk menahan rambutnya, yang tertiup angin dari kereta yang lewat, dan berkata, "Yuk pergi!"

Setelah itu, dia berjalan menuju ke arah kami datang. Walau aku bisa sampai di rumah lebih cepat kalau mengikuti arah yang dituju Haruhi, punggungnya seolah-olah diam-diam mengatakan padaku "Jangan ikuti aku!", jadi aku berdiam dimana aku berada dan melihat Haruhi pergi sampai dia hilang dari pandanganku.

Sebenarnya gue tuh ngapain aja sih selama ini?



Ketika aku sampai di rumah, kudapati Koizumi sudah menunggu di depan pintu.

"Hai."

Senyumnya terlihat sedikit palsu, seperti berusaha menyapa teman lama. Dia melambai dengan hangat kepadaku, mengenakan seragamnya dan membawa tasnya, sepertinya baru saja pulang dari sekolah.

"Saya ingin menepati janji yang telah saya buat kepada anda sebelumnya. Oleh karena itu, saya menunggu anda. Saya tidak menyangka anda akan kembali begitu cepat!"

Koizumi melanjutkan dengan senyum selalu-adanya.

"Bisakah saya tunda anda sebentar? Saya ingin mengajak anda ke suatu tempat."

"Berhubungan dengan Suzumiya?"

"Berhubungan dengan Suzumiya-san."

Kubuka pintunya dan meletakan tasku di samping ruang masuk. Lalu setelah memberitahukan adikku, yang baru saja keluar, kalau aku akan sedikit telat malam ini, aku kembali ke Koizumi.

Beberapa menit kemudian, kami pergi dengan kendaraan.



Koizumi melambai ke taksi yang berhenti di depan rumahku, lalu kami pergi menyusuri jalan utama menuju timur. Koizumi memberitahukan supirnya untuk pergi ke kota besar di luar prefektur. Akan lebih murah kalau naik kereta tapi karena Koizumi yang bayar, aku tak begitu keberatan.

"Oke, janji apa yang loe bilang bakalan ditepati?"

"Bukannya anda ingin melihat bukti akan kekuatan esper saya? Sekaranglah saatnya, karena itu saya ingin anda datang!"

"Emangnya perlu pergi jauh-jauh?"

"Ya. Saya hanya dapat menggunakan kekuatan saya pada tempat dan kondisi spesifik. Tempat yang akan kita tuju memenuhi syarat tersebut."

"Loe masih percaya kalo Haruhi itu Tuhan?"

Koizumi, duduk bersamaku di belakang, menatapku menyamping.

"Pernahkan anda mendengar tentang Asas Antropis?"

"Ngga pernah dengar tuh."

Koizumi mendesah dan tersenyum kembali,

"Pada dasarnya, ini teori yang 'jika sesuatu pasti benar bagi kita, sebagai manusia, untuk eksis, maka itu benar hanya karena kita eksis."

Ngga ngerti gue.

"Alam semesta ini ada hanya karena kita ada di sana untuk mengamatinya. Dengan kata lain, makhluk hidup berakal yang dikenal sebagai manusia mempelajari eksistensi alam semesta melalui pengamatan bagaimana alam semesta ini terbentuk melalui penemuan hukum-hukum fisika. Jika manusia tidak berevolusi sampai ke tingkatan sekarang, maka pengamatan akan mustahil, dan mereka takkan pernah mempelajari eksistensi alam semesta."

"Berarti apakah alam semesta ada atau tidak, bagi manusia yang belum sepenuhnya berevolusi, takkan ada bedanya. Hal ini dikarenakan adanya manusia yang berevolusi-penuh maka keberadaan alam semesta itu diterima luas. Ini adalah cara berpikir dari sudut pandang manusia."

"Cara berpikir yang aneh! Maksud gue, alam semesta ada terlepas dari apakah manusia itu ada ato engga."

"Anda benar. Oleh karena itu, Asas Antropis tidak sepenuhnya ilmiah, hanya cara berpikir secara filosofi. Akan tetapi, sesuatu yang menarik muncul dari teori ini."

Taksi berhenti di lampu merah. Pengemudinya hanya menatap ke depan, dan tak pernah bimbang untuk menengok ke belakang.

"Mengapa alam semesta ini datang dalam keadaan yang cocok untuk ditinggali manusia? Perubahan minor dalam konstanta gravitasi akan berarti alam semesta yang amat berbeda dari yang kita tempati sekarang. Kumpulan kaidah lainnya seperti Konstanta Planck atau massa rasio molekul atom tampaknya didesain secara khusus sehingga manusia bisa hidup di alam semesta ini. Bukankah ini menakjubkan?"

Aku merasakan punggungku gatal. Ini karena hal-hal yang Koizumi katakan seperti selebaran retoris yang dibagi-bagikan oleh agama-agama yang baru dibentuk yang mana dasar pendiriannya berdasarkan teori ilmiah.

"Tenang! Saya tidak percaya dengan eksistensi Tuhan Yang Maha Kuasa, atau Pencipta Utama yang menciptakan manusia. Banyak rekan-rekanku yang berpikir sama denganku. Namun hanya satu yang membimbangkan kami."

Bimbang sama apa?

"Yang kami lakukan. Apa mereka sebodoh badut yang berdiri diatas tangan di pinggir tebing?"

Ekspresi pada wajahku sekarang ini mungkin amatlah aneh, kalau tidak Koizumi takkan tertawa begitu keras seperti ayam betina berkotek-kotek.

"Saya tadi bercanda!"

"Gue benar-benar ngga ngerti apaan sih yang loe omongin."

Aku ingin sekali bilang kepadanya, Gue ngga punya waktu main-main guyon bodoh sama elo. Bisa turunin gue? Pak supir, bisa balik arah? Kalau bisa sih, gue lebih suka pilihan yang terakhir.

"Saya hanya menggunakan Asas Antropis sebagai perbandingan. Kita samasekali belum menyentuh subjek tentang Suzumiya-san."

Aneh banget! Kenapa sih kamu, Nagato, dan Asahina-san semuanya tergila-gila banget sama Haruhi?

"Saya percaya dia orang yang sangat karismatik. Mari kita kesampingkan hal itu sekarang, apakah anda masih ingat saya pernah bilang kalau dunia ini mungkin saja telah diciptakan oleh Suzumiya-san?"

Ga suka gue sama apa yang diomonginnya, tapi gue ingat dia pernah bilang.

"Dia punya kemampuan mewujudkan mimpi."

Bisa ga sih loe ga begitu yakin?

"Saya tidak bisa berpikir seperti itu, karena sekarang ini dunia sedang diarah menuju hasrat Suzumiya-san."

Gimana bisa?

"Suzumiya-san selalu percaya bahwasanya alien itu ada, karena itulah Nagato Yuki muncul. Dengan cara yang sama, dia ingin bertemu penjelajah waktu, jadilah Asahina Mikuru muncul juga. Dan aku muncul di depannya karena alasan yang sama pula."

"Dan gimana caranya loe tau itu?"

"Semenjak tiga tahun yang lalu......"

Tiga tahun lalu lagi! Eneg gue dengerinnya!

"Suatu hari, saya tiba-tiba sadar bahwa saya mempunyai kekuatan khusus, dan untuk alasan tertentu, saya mengerti sepenuhnya bagaimana cara menggunakan kekuatan ini. Di saat yang sama, saya juga menemukan orang lain seperti saya yang kekuatannya tersadarkan dan bahwasanya kekuatan ini dikaruniai oleh Suzumiya Haruhi. Saya tidak bisa masuk ke detailnya, jadi semua yang bisa saya katakan hanyalah saya tahu hal-hal begini sementara tidak kuasa menjelaskannya."

"Okeh, kalaupun gue percaya loe punya kekuatan itu, gue masih ngga bisa percaya kalau Haruhi punya kekuatan begituan."

"Begitu pulalah saya. Gadis sekolahan biasa mempunyai kemampuan mengubah dunia --maaf, saya kira lebih tepat kemampuan membikin dunia, ya? Hal yang mengerikan adalah gadis ini sekarang mendapati bahwasanya dunia yang ia tempati ini membosankan."

"Kenapa tuh?"

"Bukankah sudah saya bilang sebelumnya? Kalau dia bisa menciptakan dunia semaunya, maka sudah sewajarnya bilamana dia juga bisa membuat dunia ini hilang tanpa jejak dan lalu menyusunnya kembali sesuai keinginannya. Lalu, secara harfiah, dunia ini akan menemui ajalnya. Kami tidak bisa menentukan apakah teori ini benar atau tidak; siapa tahu, dunia yang kita anggap unik ini mungkin telah diciptakan ulang berkali-kali sebelumnya."

Berlebihan sudah kugunakan kata "tak bisa dipercaya" begitu banyak sampai-sampai aku butuh ensiklopedia.

"Kalau gitu, kenapa elo engga ngomong langsung aja ke Haruhi siapa elo itu sebenarnya? Biarin dia tahu esper itu benar-benar ada. Kalau dia tahu, kayaknya dia bakalan senang banget. Bahkan mungkin, dia ga bakalan coba-coba ngancurin dunia ini!"

"Maka, itu akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Jika Suzumiya-san mempercayai keberadaan esper adalah hal yang amat biasa, maka seluruh dunia akan menjadi seperti itu. Semua hukum fisika akan diputar-balikkan: Konstanta Molekular, Hukum Kedua Termodinamika, dan sisa alam semesta akan turun ke dalam kekacauan."

"Ada hal yang belum gue mengerti." lanjutku, "Gue ingat loe pernah bilang kalo itu dambaan Haruhi lah buat ketemu alien, penjelajah waktu, dan esper yang bikin kamu, Nagato-san, dan Asahina-san untuk muncul di depan dia?"

"Benar."

"Kalo itu benar, kenapa Haruhi belum sadar juga? Malah sebaliknya, cuman elo sama gue aja yang tahu semuanya. Bukannya sedikit aneh tuh?"

"Anda dapati tidak konsisten? Sebenarnya tidak; Ketidakkonsistenan sebenarnya ada dalam hati Suzumiya-san."

Bisa ga sih loe bilang hal yang bisa gue ngerti, plis!?

"Dengan kata lain, dia memang mengharapkan keberadaan alien, penjelajah waktu, dan esper. Akal sehatnya, akan tetapi, mengatakan padanya bahwa hal tersebut tidak ada, dan ini mengakibatkan disonansi kognitif. Walau dia mungkin tampak eksentrik dalam perilaku dan perkataan, pemikirannya masih tiada berbeda dengan orang biasa. Antusiasme badainya perlahan menjadi tenang dalam beberapa bulan terakhir, dan kami senang melihatnya stabil, namun perubahan seperti tornado telah terjadi tiba-tiba."

"Dan kenapa bisa begitu?"

"Semuanya karena anda."

Koizumi mengangkat bibirnya,

"Bila anda tidak memberikan Suzumiya-san beberapa ide aneh, kami masih tetap mengamatinya dari balik layar sekarang."

"Emangnya gue ngapain!?"

"Anda yang mendorong dia membentuk klub aneh itu. Semua karena sebuah percakapan dengan anda, dia mendapatkan ide membentuk klub untuk mengumpulkan semua karakter misterius. Jadi anda musti bertanggungjawab penuh atas hal ini. Oleh karena anda maka tiga grup yang paling prihatin akan Suzumiya Haruhi sekarang sudah berkumpul bersama."

"......Itu tuduhan ga adil!" kupertahankan diriku secara tak yakin.

Koizumi hanya tersenyum dan melanjutkan, "Tetapi bukan hanya itu sajalah alasannya."

Dia berhenti bicara setelah mengatakan itu. Saat aku ingin mengatakan sesuatu, pak supir tiba-tiba berkata, "Kita sampai."

Mobil berhenti dan pintunya terbuka. Aku melangkah ke jalan ramai bersama Koizumi. Walau supirnya lalu pergi bahkan tanpa menagih ongkos apapun, aku tak terkejut sama sekali.

Jika orang-orang di daerah ini ingin pergi belanja, disinilah tempatnya bagi mereka. Ini adalah metropolis lokal tipikal dengan tempat tukar-menukar kereta, dan juga berbagai departemen store dan arsitektur kompleks. Matahari tenggelam memandikan jalanan sibuk penuh pejalan kaki dengan warna berderang. Ketika lampu di perempatan depan berubah jadi hijau, jalanan menjadi penuh dengan lautan manusia dalam sekejap. Kita terpisah sejenak oleh ombak ini setelah kita turun dari trotoar.

"Apa yang loe pengen tunjukin ke gue dengan bawa-bawa gue kesini?"

Berjalan perlahan di zebra cross, Koizumi melihat ke depan dan berkata, "Masih ada waktu untuk mengubah pikiran anda!"

"Toh gue udah terlanjur disini, jadi ga usah basa-basi lah."

Berjalan di sampingku, Koizumi tiba-tiba menggenggam tanganku. Woi, loe mau ngapain!? Jijik tuh!

"Maafkan saya, tapi bisakah anda memejamkan mata barang sejenak? Ini takkan lama."

Aku mengelak untuk menghindari seorang pejalan kaki menabrakku. Lampu hijaunya mulai berkedip-kedip.

Okey! Jadi aku nurut memejamkan mataku. Aku masih bisa dengar banyak langkah kaki di jalanan, mesin kendaraan menderum, obrolan tanpa henti, dan berbagai macam suara.

Dibawah bimbingan Koizumi, aku jalan ke depan satu langkah, dua langkah, tiga langkah, dan lalu aku berhenti.

"Anda bisa membuka mata sekarang."

Perlahan kubuka mataku.

Seluruh dunia jatuh dalam warna abu-abu.



Benar-benar gelap. Tak bisa kutahan diri untuk mendongak ke langit. Matahari yang berpendar oranye tidak dapat ditemukan dimana pun, dan langitnya diselimuti oleh awan abu-abu mendung. Apa itu benar-benar awan? Horizon gelap tanpa celah terenggang tanpa akhir di seluruh arah. Satu-satunya yang menahan dunia ini jatuh sepenuhnya dalam kegelapan hanyalah sinar yang terkadang menembus masuk, menggantikan silau matahari, menghasilkan pendaran lemah di langit abu-abu.

Disana tiada orang sama sekali.

Selain Koizumi dan aku, berdiri di tengah perempatan, kerumunan ramai yang sebelumnya ada disini sekarang hilang tanpa jejak. Di kegelapan luas, hanya lampu lalu lintas yang berkedip, berubah merah, sedangkan kumpulan lampu lalu lintas lainnya jadi hijau, namun disana tiada kendaraan barang satupun di jalan. Begitu sunyi sampai-sampai seseorang bisa berpikir kalau bumi telah berhenti berputar juga.

"Kita sekarang berada di sebuah celah dalam garis retakan antar-dimensi; ini adalah Dimensi Tertutup, sebuah tempat yang terputus samasekali dari dunia kita tinggal."

Suara Koizumi menjadi amat jelas di keheningan.

"Tengah-tengah perempatan ini jatuh tepat di samping "Dinding" Dimensi Tertutup ini. Lihatlah, seperti itu."

Lengan terentang Koizumi berhenti di udara, seolah-olah tertahan oleh sesuatu. Kucoba melakukan hal yang sama dan merentangkan lenganku ke arah situ; rasanya kayak nyentuh sayuran dingin kecuci. Tanganku menekan permukaan dinding elastis tak kasat mata, tapi kutak bisa merentang lebih jauh lagi melebihi sepuluh sentimeter.

"Dimensi Tertutup ini memiliki radius lima kilometer. Biasanya, mustahil untuk masuk dengan cara fisik biasa. Salah satu kemampuanku adalah untuk memasuki ruang-ruang semacam ini."

Seperti galah bambu berdiri, tidak sepercik sinar pun terlihat dari bangunan sekitar. Toko-toko dalam kompleks belanja semuanya gelap di dalam, hanya lampu jalan berkedip lemah.

"Dimana tempat ini?"

Bukan, pertanyaannya seharusnya "Dimensi apakah ini?"

"Akan kujelaskan sambil berjalan," Kata Koizumi santai,

"Saya tidak terlalu yakin soal detailnya, tapi dimensi ini terletak tidak jauh dari dimensi kita......Anggap saja begini, garis retakan antar-dimensi tiba-tiba muncul di sebelah sana, dan kita masuk melalui celahnya. Saat ini, dunia luar masih berjalan dengan kehidupan sehari-harinya. Hampir mustahil bagi manusia biasa untuk tak sengaja mendapati dunia ini secara kebetulan."

Kita menyeberang jalan. Koizumi berjalan ke arah yang sudah ditetapkannya.

"Bayangkan sebuah dimensi seperti mangkuk terbalik, berbentuk telur, dan tempat ini adalah dalamannya."

Kita memasuki komplek apartemen bertingkat, tapi tak seorang pun terlihat, bahkan tidak setitik debu pun.

"Dimensi Tertutup terjadi secara acak. Kadang muncul selang satu hari, dan kadang muncul sekali setiap beberapa bulan. Namun, satu hal yang pasti..."

Kami menaiki tangga walau di dalamnya gelap. Kalau aku tak mengikuti Koizumi dekat-dekat, aku sudah terpeleset.

"Kapanpun Suzumiya-san dalam keadaan tidak stabil mentalnya, ruang ini akan muncul."

Kami sampai di atap blok apartemen.

"Setelah satu Dimensi Tertutup muncul, saya bisa merasakannya; begitu pula dengan rekan-rekanku. Bagaimana kami tahu itu? Jujur saja, kami juga tidak tahu bagaimana. Apapun itu, kami hanya tahu kapan dan dimana Dimensi Tertutup akan muncul, dan bagaimana cara menyusupinya. Saya tidak bisa mendeskripsikan rasa ini dalam kata-kata."

Kupegang pagar atap dan melihat ke arah langit; tiada angin dapat terasa.

"Loe bawa gue kesini cuman buat ngeliat ini? Hampir ga ada orang disini!"

"Tidak, hal yang sesungguhnya baru setelah ini. Mau dimulai."

Berhenti becanda napa! Tapi Koizumi pura-pura tidak menyadari ekspresi ketidaknyamananku.

"Kemampuan saya hanyalah mendeteksi Dimensi Tertutup dan menembusnya. Sejujurnya, saya bahkan bisa mendeteksi keadaan benak Suzumiya-san. Dunia ini seperti bisul yang terbentuk dari getaran status emosi tidak stabil Suzumiya-san, dan aku adalah obat yang dirancang untuk menyembuhkan bisulnya."

"Analogi loe emang sulit dimengerti."

"Orang sering bilang begitu. Tapi, anda hebat juga! Anda tampaknya tidak panik samasekali karena melihat semua hal ini."

Pada saat ini, bayangan Asakura menghilang tanpa bekas dan Asahina-san versi dewasa melintas di benakku: gue udah terlalu banyak ngalamin pengalaman kayak beginian.

Tiba-tiba, Koizumi mendongakkan kepalanya dan menatap jauh.

"Tampaknya sudah dimulai. Berbalik dan lihatlah ke belakang."

Kulakukan, dan -- aku melihatnya.

Berdiri diantara gedung-gedung tinggi di kejauhan ada raksasa biru berpendar.



Lebih tinggi sekepala dari gedung 30 tingkat. Figur langsing, biru tua berbayang sepertinya mengandung sejenis materi yang memungkinkannya untuk bersinar dari dalam. Karena terlalu gelap, aku tak dapat mempersepsikan guratannya, dan selain mata dan mulutnya, yang kelihatan agak gelap, wajahnya tampaknya tak memiliki corak lain.

Apaan tuh?

Raksasa itu perlahan mengangkat lengannya dan lalu mengayunkannya seperti kapak.

Gedung di sampingnya hancur terbelah; lalu bagaikan dalam gerak lambat, beton, kabel, dan serpihan yang membuat suara memekakkan jatuh ke permukaan tanah.

"Kami percaya ini adalah manifestasi kefrustasian Suzumiya-san. Acap kali konflik dalamnya mencapai batas tertentu, raksasa ini akan muncul dan menghancurkan semua di sekitarnya untuk meringankan tekanannya, tapi kami tidak bisa memperbolehkan makhluk ini berbuat semaunya di realitas kita, atau dia akan menyebabkan kehancuran luas. Itulah kenapa Dimensi Tertutup dibuat, jadi dia bisa melepaskan kehancurannya di dalam. Apakah itu masuk akal?"

Setiap saat raksasa biru berpendar mengayunkan lengannya, gedung-gedung teriris dua dan rubuh. Si raksasa kemudian lanjut ke depan, menginjak reruntuhannya. Yang mengherankan, aku hanya bisa mendengar suara gedung rubuh, tapi tidak langkah kaki raksasa itu.

"Menurut hukum fisika, seharusnya mustahil untuk raksasa seperti dia bisa berdiri, dikarenakan beratnya. Namun dia dapat bergerak bebas dalam kondisi tanpa berat. Walau menghancurkan sebuah gedung melibatkan perubahan dalam struktur molekulnya, peraturan tersebut sepertinya tidak berlaku untuknya. Bahkan tentara pun takkan bisa menghentikannya."

"Jadi kita cuman biarin dia semaunya?"

"Tidak, dan inilah kenapa saya eksis. Mohon lihat kesana."

Koizumi menunjuk ke arah raksasa itu. Aku melihat ke arah dia menunjuk dan menyadari sedikit titik merah bercahaya yang sebelumnya tiada, sekarang terbang mengelilingi si raksasa. Dibandingkan dengan raksasa besar biru, titik-titik merah itu seperti biji wijen. Total ada lima, tapi karena mereka terbang begitu cepat, mataku tak bisa mengikutinya. Seperti satelit, titik-titik merah itu mengorbit di sekeliling si raksasa seperti berusaha menghentikan raksasa itu melangkah lebih jauh lagi.

"Mereka rekan-rekan saya, yang, seperti saya, juga memperoleh kekuatannya dari Suzumiya-san, satria yang bertugas untuk memburu raksasa ini."

Dengan ahli titik-titik merah itu mengelak serangan lengan si raksasa sambil mengubah jalur terbangnya dengan tangkas dan menyerang badan raksasa itu. Badan raksasa itu sepertinya terbuat dari gas karena titik merah itu hanya terbang menembusnya.

Namun, raksasa tampaknya tak menyadari serangan titik-titik merah itu dan mengangkat lengannya untuk menghancurkan bangunan departemen store lain.

Sebagaimanapun titik-titik merah itu menyerang, raksasa itu sepertinya tak berhenti. Sinar-sinar merah seperti laser sekarang menembus badan si raksasa nonstop, tapi karena aku terlalu jauh, aku tak bisa memperkirakan jauhnya kerusakan yang telah ditahannya. Satu hal yang pasti: sinar-sinar merah itu tidak membuat lubang apapun di badan raksasa itu.

"Ya, saya pikir saya mesti bergabung dengan mereka sekarang."

Badan Koizumi mulai menyala merah, dan segera, badan menyalanya telah terselimuti dalam bulatan merah berpendar. Berdiri di depanku bukan lagi manusia, tetapi bola besar berpendar.

Mulai edan ini.

Seakan-akan memberi tanda, bulatan menyala itu mulai terangkat dan terbang langsung menuju raksasa itu dengan kecepatan luar biasa.

Karena para bulatan merah tak pernah berhenti terbang, tak bisa kutetapkan berapa totalnya, tapi seharusnya tak lebih dari sepuluh, termasuk Koizumi. Dengan berani mereka terbang ke badan raksasa itu, tapi yang bisa mereka lakukan hanyalah terbang menembusnya. Si raksasa hampir-hampir, kalaupun, terluka. Saat aku berpikir begitu, salah satu bola merah itu mendekati pergelangan si raksasa dan melingkarinya.

Saat selanjutnya, tangan si raksasa terpotong. Tangan tanpa tuan jatuh ke tanah dan mengeluarkan sinar mosaik, mulai jadi transparan, dan kemudian meluruh seperti salju mencair di bawah matahari. Kuduga asap biru yang keluar dari pergelangan terputusnya pastilah itu darahnya. Adegan di depan benar-benar hal fantasi.

Titik-titik merah itu tampaknya sudah mengganti gaya serangan untuk mengganyang raksasa itu. Mereka mendekati si raksasa seperti segerombolan kutu mengepung seekor anjing. Sinar merah mengiris wajah si raksasa, dan kepalanya jatuh ke bawah; setelah itu, bahunya juga turut jatuh, diikuti dengan badan bagian atas, meninggalkan bentuk yang aneh. Bagian yang jatuh mulai mengeluarkan sinar mosaik yang khas, lalu meluruh dan menghilang.

Karena raksasa itu berdiri diatas lahan tanah tanpa halangan di sekitar, aku bisa melihat seluruh prosesnya dari awal sampai akhir. Ketika badan bagian atas si raksasa jatuh, bagian badannya yang tersisa mulai meluruh, akhirnya larut menjadi manik-manik yang lebih kecil dari debu dan menyebar diantara reruntuhan.

Setelah titik merah yang melayang di atas telah yakin pekerjaannya sudah beres, mereka mulai terbang ke berbagai arah. Sebagian besar dari mereka langsung menghilang; hanya satu yang terbang ke arahku, akhirnya mendarat di atap komplek apartemen. Bola merah itu perlahan kehilangan sinarnya, dan akhirnya Koizumi berdiri di depanku, mengibaskan rambutnya sok-sokan dengan senyumnya yang biasa.

"Maafkan telah membuat anda menunggu."

Dia terdengar amat tenang, dan dia tidak terdengar kelelahan sama sekali.

"Akhirnya, saya ingin memperlihatkan anda sesuatu yang menarik."

Koizumi menunjuk ke arah langit. Setengah curiga kuangkat kepalaku, dan dalam langit abu-abu suram, aku melihatnya!

Tepat di atas raksasa itu pertama kali muncul ada retakan, seperti sebuah burung menetas yang berusaha memecahkan cangkangnya. Retakan itu mulai cepat menyebar seperti sarang laba-laba.

"Mengikuti kehancuran makhluk biru itu, Dimensi Tertutup juga akan hancur. Seperti pertunjukan sulap!"

Saat Koizumi menyelesaikan penjelasannya, retakan-retakan besar sekarang telah menyelimuti dunia di depan, seperti terselimuti dalam jaring metalik. Batas-batas jaring itu mulai sempit sampai mereka jadi sekecil garis-garis hitam melengkung. Lalu, pada saat ini, krak!

Sebenarnya, aku tak mendengar suara apapun. Itu hanyalah otakku berusaha mensimulasikan suara retakan gelas. Sinar menembus salah satu titik di langit, dan kemudian menyebar ke segala arah dalam bulatan. Kurasakan sinar menghujani ke bawah. Tidak, itu bukan kata yang tepat: ini lebih seperti pembukaan atap stadion Tokyo Dome yang bisa ditarik, semuanya dalam beberapa detik. Bedanya atap ini menutupi semua gedung di bawahnya.

Riuh bising kesibukan mulai bergemuruh di gendang telingaku, dan reflek kututup telingaku. Tapi itu karena aku telah berada di dunia sunyi agak lama dan tidak bisa beradaptasi dengan cepat. Ketika kudengar lagi dengan hati-hati, itu adalah bising kesibukan yang biasanya ada di jalan-jalan.

Dunia kembali ke keadaan aslinya.

Tak ada bangunan runtuh, tak ada langit abu-abu, dan tak ada bola berpendar merah terbang menembus udara. Jalanan penuh dengan kendaraan dan orang-orang. Sinar oranye yang dikenal bisa terlihat di antara celah bangunan. Dunia seakan-akan bersyukur akan jamuan kehangatan itu dan meninggalkan bayangan panjang.

Angin sepoi-sepoi berhembus lembut.


"Sekarang, apakah sudah jelas?"

Koizumi menanyakanku saat kami menaiki taksi, yang sepertinya berhenti secara ajaib di depan kami setelah kami meninggalkan blok apartemen. Ketika kulihat, aku sadar kalau supirnya sama seperti yang sebelumnya.

"Gue masih ga paham." jawabku sebenar-benarnya.

"Sudah saya duga anda akan berkata begitu." Koizumi tertawa, "Makhluk biru itu, kami menyebutnya Avatar, tapi, seperti yang telah saya katakan kepada anda sebelumnya, mereka amat terkait dengan keadaan mental Suzumiya-san. Kami juga sama, tentu saja. Saat Dimensi Tertutup muncul, setelah para Avatar mulai bergerak, kami akan dapat menggunakan kekuatan kami. Kami hanya dapat menggunakan kekuatan itu dalam Dimensi Tertutup; saat ini, saya tak punya kekuatan."

Diam-diam kulirik punggung supir.

"Saya tidak tahu mengapa hanya kami saja yang punya kekuatan seperti itu, tapi saya pikir ini tiada kaitannya dengan identitas kami. Seperti memenangkan lotere: walau kemungkinannya kecil, pasti ada seseorang yang menang. Saya kebetulan salah seorang yang tertusuk tombak nyasar."

"Sungguh sial saya ini!" Koizumi tersenyum paksa. Aku tetap diam karena tidak tahu apa yang sebaiknya kukatakan.

"Kami tak dapat membiarkan para Avatar bergerak bebas. Kenapa begitu? Karena semakin banyak Avatar merusak, semakin luas bulatan Dimensi Tertutup akan tumbuh. Yang barusan anda lihat adalah yang lebih kecil. Kalau kami biarkan tanpa diurus, mereka akan terus tumbuh sampai menyelimuti seluruh negeri, bahkan seluruh dunia, dan akhirnya, dunia abu-abu alternatif itu akan sepenuhnya menggantikan dunia yang kita tinggali ini."

Akhirnya kubuka mulutku.

"Kok bisa loe tahu banyak?"

"Sudah saya bilang, saya tahu begitu saja, tidak bisa dijelaskan. Semuanya yang berasosiasi dalam 'Organisasi' juga sama. Suatu hari mereka tiba-tiba tahu semuanya tentang Suzumiya-san dan bagaimana dia bisa mempengaruhi dunia ini, juga menyadari bahwa karena sekarang mereka memiliki kekuatan supernatural, mereka tidak dapat membiarkan begitu saja Dimensi Tertutup terus tak tersentuh. Ketika orang normal mengetahui hal seperti ini, biasanya mereka ingin lihat apakah mereka bisa memberi bantuan. Jika kami tidak melakukan apapun, dunia yang kita tahu pasti akan dihancurkan."

"Dan itu akan merepotkan." Koizumi jatuh terdiam setelah menggumamkan kata-kata ini.

Sebelum aku sampai ke rumah, kami hanya diam melihat pemandangan di luar jendela.

Mobil berhenti, dan saat aku melangkah keluar, dia bicara lagi,

"Mohon beri perhatian pada tindakan-tindakan Suzumiya-san. Keadaan mental yang seharusnya stabil sekarang mulai menampakkan tanda-tanda perubahan drastis. Sudah agak lama semenjak sesuatu yang seperti sekarang terjadi."

Kalaupun gue emang ngamatin dia, dia toh bakalan tetap jadi kayak gitu, kan?

"Jujur saja, saya juga tidak tahu. Tapi saya dapati adalah ide bagus untuk menyerahkan semuanya kepada anda, karena beberapa rekanku cenderung berpikir tentang sesuatu dalam cara yang terlalu rumit."

Sebelum aku bisa menjawab, Koizumi menarik kepalanya kembali ke dalam pintu yang terbuka dan menutupnya. Saat aku mengamati taksi hantu legendaris berjalan ke kejauhan, aku tiba-tiba merasa amat bodoh, jadi aku mulai melangkah kembali ke rumah.



Bab 7



Yang ngaku-ngaku dirinya android bikinan alien. Yang ngaku-ngaku dirinya gadis yang lompat melalui waktu. Yang ngaku-ngaku dirinya seregu pasukan esper. Ketiganya udah ngebuktiin identitas mereka ke gue, jadi gue boleh ngelepas 'ngaku-ngaku' dari embel-embel mereka. Mereka mengitari Haruhi buat tiga alasan yang berbeda. Jujur aja, semua ini ga terlalu jelek juga. Engga, ini emang jelek. Karena gue masih ga ngerti satu hal.

Kenapa gue?

Koizumi bilang kalo alasan para alien, penjelajah waktu, dan esper semuanya ngumpul di sekeliling Haruhi adalah karena ia pengen.

Lantas, gue gimana?

Kenapa gue kelibat dalam semua ini? Gue cuman manusia. Seratus persen normal. Gue ga tiba-tiba punya ingatan masa lalu yang aneh, atau kekuatan yang tak teromongkan. Cuman anak SMA yang amat sangat normal sekali!

Siapa sih yang nulis cerita ini ngomong-ngomong?

Atau ada orang yang ngebius gue dan bikin gue berhalusinasi semua ini? Atau bahkan mungkin gue pernah kesambar gelombang listrik beracun? Siapa sih keparat yang bikin gue kejebak ke semua ini?

Elo ya, Haruhi?



Becanda.



Gue beneran ga tau apa-apa.

Kenapa gue digangguin ya? Kayaknya semua jawaban itu ada pada Haruhi. Dia yang seharusnya kuatir. Kenapa gue harus ikutan frustasi buat dia? Ini ga masuk akal! Udah gue putusin! Kalau sesuatunya kayak yang Nagato, Koizumi, dan Asahina-san bilang, maka kalian seharusnya ngasih tau Haruhi aja! Dunia mau jadi apa kek nantinya, itu tanggung jawabnya; ga ada hubungannya sama gue.

Taruh aja dia di komedi putar kalian! Keluarin gue dari semua ini!

Saat hari-hari menjelang musim panas, aku jalan berkeringat menaiki lereng, menyeka keringatku dengan jaketku, sambil menarik dasiku dan melepaskan kancing ketiga bajuku. Sudah sepanas ini di pagi hari, dan akan jadi sepanas neraka saat siang. Saat sedang kegertakkan gigiku dan menjalani lereng ke sekolah, seseorang menepuk pundakku. Saat aku membentak "Jangan pegang-pegang! Panas nih!" dan berbalik, wajah Taniguchi terlihat.

"Yo!"

Taniguchi, berjalan bebarengan denganku sekarang, juga berkeringat. "Nyebelin banget, rambut ketata rapi gue ancur begini oleh semua keringat ini," Walau ia berkata begitu, ia masih kelihatan riang.

"Eh, Taniguchi," cepat-cepat kupotong saat Taniguchi terus membual tak jelas soal anjingnya lagi ngapain, "Gue anak SMA biasa, kan?"

"Apa?"

Taiguchi tertawa seperti baru saja mendengar lelucon yang sangat lucu.

"Loe mesti ngasih gue definisi 'normal' yang bener. Kalo loe pengen ngorek info dari gue."

"Oh, haruskah?"

Menyesal aku tanya itu ke dia.

"Omong kosong itu, bung! Yah, loe nanya gue apa loe normal? Menurut gue anak SMA normal ga bakalan ngedorong cewe ke lantai, di kelas kosong!"

Tentu saja, Taniguchi takkan melupakan hal semacam itu.

"Gue laki-laki juga. Gue ga suka nyari-nyari kesalahan orang, abisnya paling engga gue tau gimana ngejaga tingkah gue. Tapi antara loe dan gue -- tau lah maksud gue, pesolek?"

Sedikitpun engga.

"Gimana caranya loe bergaul sama dia, hah? Sama Nagato Yuki, si cewek A- di daftar cewek cantik gue!"

Nagato pantes dapat A- toh? Yah, bukan itu sih maksudnya.

"Biar gue ceritain ke elo soal itu..."

Kuduga pikiran Taniguchi sekarang penuh akan hasrat dan fantasi tak nyata. Jadi, kuputuskan untuk menggunakan penjelasan berikut ini.

Nagato yang malang itu korban dari kependudukan ga beralasannya si Haruhi di ruang Klub Sastra. Dia kesulitan banget ga bisa ngelakuin aktivitas di klubnya sendiri, jadi dia datang ke gue buat minta bantuan. Dia nanya ke gue kalo-kalo ada cara buat bikin Haruhi ninggalin ruang Klub Sastra dan pergi ke tempat lain. Gue tergugah sama kesungguhan hatinya, jadi gue putusin deh buat bantu tuh cewek malang, dan diskusiin itu bareng dia di tempat yang ga bakalan ketauan sama Haruhi. Pas kami lagi ngomongin soal apa yang musti dilakuin di ruangkelas abis Haruhi udah pergi, Nagato pingsan lantaran penyakit anemianya. Gue sempat nangkap dia sebelum jatuh ke lantai, terus loe datang deh nerobos masuk. Loe liat kan, abis loe tau yang sebenarnya, selalu jadi sepele.

"Boong loe!"

Dia sepak penjelasannya. Sialan! Gue pikir itu cerita sempurna dibumbuin kebenaran.

"Misalnya gue percaya sama bualan itu, gue pikir loe masih ga normal. Loe beneran berhasil bikin Nagato Yuki yang nyaris ga bergaul itu minta tolong ke elo, dan itu mantap banget tuh."

Oh, plis dong ah. Berapa lama emangnya Nagato setenar itu?

"Lagian, loe anteknya Suzumiya. Kalo loe anak SMA biasa, kalo gitu gue senormal proletar."

Maka aku bertanya, "Hei, Taniguchi. Loe punya kekuatan psikis?"

"Ap-?"

Paras yang sudah bodoh di wajahnya naik satu tingkat. Ia terlihat seperti nanpa, tipe yang harus diwaspadai cewek-cewek sekolah.

Katanya, "Gitu toh, jadi bahkan elo pun ngeceburin diri ke racun Suzumiya... Walau baru sebentar bersama, loe benar-benar temen yang baik. Tolong jangan dekat-dekat gue; jadi loe ga ngasih gue 'penyakit Suzumiya'."

Kuberi Taniguchi pukulan ringan, dan dia meledak tertawa terbahak-bahak. Ha, kalo bocah ini esper, gue Sekjen PBB.



Saat kucapai tangga menuju gerbang sekolah, aku semacam bersyukur ke Taniguchi karena mengobrol denganku, karena panasnya telah mendingin setelah berbicara dengannya.

Di cuaca panas begini, bahkan Haruhi pun hanya bisa tergeletak kelelahan di mejanya, terlihat nestapa di bukit dari kejauhan.

"Kyon, aku mau mendidih nih!"

Mungkin begitu. Gue juga sama.

"Kipasin aku pake bukumu."

"Mendingan gue ngipasin diri sendiri daripada orang lain. Gue ga punya energi cukup pagi ini buat bantu elo."

Haruhi tetap tergeletak malas di meja, tanpa aura angkuh dan orator yang biasanya.

"Menurut kamu Mikuru-chan selanjutnnya pake apa ya?"

Abis kostum bunny girl dan maid berarti... bentar, bakalan ada kostum lain!?

"Apa telinga kucing ya? Atau suster? Mungkin dia harus berdandan jadi ratu kali ini?"

Gambar-gambar Asahina-san melintas di benakku: yang wajahnya tersipu hebat dengan sosok mungilnya menggeliat dan dipaksa untuk memakai semua macam kostum-kostum itu. Aku mulai pening. Ah, dia emang terlalu manis.

Sepertinya Haruhi menebak apa yang kupikirkan dan mengeryit padaku. Ia kemudian mengibas ringan rambutnya ke belakang telinganya.

"Wajahmu keliatan goblok," nilai Haruhi sendiri.

Woi, bukannya elo yang ngangkat topiknya? Tapi mungkin ia benar, jadi tak ada gunanya berdebat dengannya.

Sambil mengipasi leher seragamnya dengan buku, ia menyembur, "Bosan banget nih!"

Mulut Haruhi sempurna seperti heno-ji. Ia terlihat seperti karakter komik.



Bahkan dibawah radiasi kuat sinar matahari, kami berhasil bertahan di jam pelajaran olahraga siang yang bagai neraka. Setelah pelajaran, semua orang mengutuk "Sial tuh Okabe! Nyuruh kita lari maraton dua jam penuh!", sambil melepas seragam olahraga kami, yang telah jadi lembaran-lembaran kain basah, di ruang Kelas 1-6, sebelum kembali ke ruang Kelas 1-5.

Sebagian besar cewek sudah ganti baju, tapi karena jam terakhir itu absensi, ada beberapa yang ikut klub olahraga yang masih pakai seragam olahraganya untuk kegiatan ekstrakurikuler mereka. Yang membuatku bingung adalah kenapa Haruhi, yang tak berhubungan dengan klub olahraga apapun, juga pakai seragam olahraga.

"Terlalu panas!"

Betul, itu alasannya.

"Emangnya napa? Aku masih harus ganti baju pas ke ruangklub! Apalagi aku piket minggu ini, dan aku gerak lebih bebas dengan ini."

Haruhi memegang dagunya dengan tangannya dan memandang awan mendung yang berkumpul di luar sana.

"Bukan ide jelek."

Pake seragam olahraga buat tema cosplay berikutnya bukan ide buruk! Apa? 'Cosplay' bukan kata yang tepat? Gue ga tau dia pengen ngapain, tapi sekarang ini dia sedang berusaha bercosplay jadi cewe SMA!

"Kamu nih mikir apaan sih?"

Tebakan akurat Haruhi bikin aku berpikir apa dia bisa baca pikiran.

"Sebelum aku tiba di ruang klub, aku larang kamu ngelakuin hal-hal yang ga senonoh ke Mikuru-chan."

Berarti gue bisa ngelakuin hal senonoh dong abis loe datang?

Kusimpan pikiran itu untuk diriku sendiri dan kuangkat kasar lenganku seperti kriminal yang ditodong pistol oleh sheriff di film-film Barat.



Seperti biasa, kuketuk dulu, dan menunggu balasan sebelum masuk. Seperti boneka yang duduk di kursi, maid manis menyambutku dengan senyum paling cemerlang, seperti bunga matahari menyambut matahari. Ah, gue ngerasa begitu hangat!

Nagato duduk dekat meja sambil baca buku, seperti setangkai Kamelia mekar di musim semi. Argh, gue bikin majas apaan sih?

"Saya buatin teh."

Memakai bandonya, Asahina-san melangkah ke sisi meja karatan dan dengan hati-hati memasukkan daun teh ke teko teh.

Aku duduk di kursi komandan, asyik mengamati Asahina-san yang menyibukkan diri, ketika tiba-tiba kupikirkan sesuatu.

Cepat-cepat kunyalakan komputer dan menunggu hardisknya booting. Segera setelah layarnya muncul, kubuka sebuah file dan memasukkan password "MIKURU". Sudah diduga, kecepatan prosesnya luar biasa di model terbarunya Kelompok Riset Komputer. Dalam sekejap, gambar-gambar Asahina-san berkostum maid muncul di layar monitor.

Setelah kupastikan Asahina-san sibuk merebus teh, kuperbesar salah satu gambar lagi dan lagi.

Gambar itu dari waktu Asahina-san dipaksa berpose seksi oleh Haruhi. Belahannya yang menggiurkan dapat terlihat, dan pada payudara kirinya yang memikat ada tanda hitam kecil. Kusorot tanda tersebut dan kuperbesar lagi; gambarnya sedikit kabur, tapi cukup pasti, disana ada tahi lalat berbentuk bintang.

"Jadi ini ya."

"Kamu nemu sesuatu?"

Sebelum Asahina-san menaruh cangkir teh di meja, dengan cepat kututup semua file gambar. Aku cukup teliti ketika menghadapi hal beginian. Tentu saja, disaat Asahina-san datang ke sebelahku, ia takkan menemukan apa pun pada layar.

"Hah, apa nih? 'MIKURU' file ini isinya apa?"

Oh tidak! Gue terlalu ceroboh!

"Kenapa file itu pake namaku? Apa isinya? Saya lihat ya, ayo dong! Saya lihat ya!"

"Ehm, isinya apa... ya? Apa ya? Kayaknya ga ada apa-apa deh. Iya, itu dia, ga ada apa-apa kok di dalam."

"Kayaknya engga deh!"

Dengan riang Asahina-san merentangkan lengannya dan bersandar padaku saat ia berusaha menangkap mouse dari tangan kananku. Nehi kuchi kuchi hotahe! Kugenggam erat mouse itu jadi dia takkan mengambilnya. Asahina-san kemudian menggantungkan tubuh lembutnya padaku, berusaha merayapi bahuku. Dapat kucium bau manisnya dekat dari wajahku.

"Asahina-san, tolong lepasin aku..."

"Ayo dong, ngintip aja kok!"

Asahina-san, yang menempatkan tangan kirinya di bahuku sambil menggapai mouse dengan tangan kananku, kini sepenuhnya pada diriku; kurasa situasinya berubah dari buruk jadi lebih buruk.

Tawa manisnya meresap masuk dalam kupingku. Tak kuasa menahan godaan seperti itu, kulepaskan genggamanku, dan disaat ini...

"Kalian berdua ngapain?"

Tiba-tiba, kami jadi beku oleh suara dingin, bersuhu minus 273 derajat Celcius. Haruhi, memakai seragam olahraga dan membawa tasnya, punya ekspresi menyeramkan seolah-olah ia baru saja menyaksikan ayahnya melecehkan gadis tak berdosa.

Detik selanjutnya, Asahina-san yang terpaku mulai bergerak. Dengan kikuknya turun dari punggungku, mundur perlahan, kemudian duduk perlahan di kursi seperti robot ASIMO yang baterainya hampir habis. Wajah pucatnya sekarang hampir menangis.

Haruhi berseru "huh", dan melangkah lebar ke meja melirik sekilas ke padaku.

"Jadi, kamu punya fetish maid toh?"

"Maksud loe apa?"

"Aku mau ganti baju."

Terserah loe. Gue cuman bakalan nyeruput teh buatan Asahina-san dengan tenang kok.

"Bukannya aku bilang aku mau ganti baju?"

Jadi apa?

"KELUAR!!!"

Dilemparnya aku keluar ke koridor, dan pintu dibanting di belakangku.

"Itu maksudnya apaan tuh!?"

Bahkan aku tak sempat menaruh cangkirku. Dengan tanganku, kuseka tumpahan teh di jasku, dan lalu bersandar di pintu.

Perasaan aneh apa ini. Kayaknya ada yang ga biasanya deh.

"Oh, tau gue!"

Biasanya si Haruhi buka-bukaan ganti baju di ruangkelas, tapi sekarang dia baru aja nyingkirin gue keluar ruangan.

Kayaknya dia mulai berubah. Barangkali dia mencapai usia dimana dia jadi malu dengan hal-hal begituan? Karena anak-anak Kelas 1-5 bakalan buru-buru keluar kelas pas bel jam olahraga berbunyi, ga ada yang benar-benar nyadar dia udah berubah. Oh iya, orang yang ngebiasain para cowo buru-buru keluar kelas sebelum pelajaran olahraga, Asakura, ga bareng kita lagi.

Kududuk di luar pintu beberapa saat. Suara baju-baju berkelebat sudah berhenti, tapi aku masih belum dengar ada orang memanggilku masuk. dan jadinya duduklah aku dan menunggu selama sepuluh menit penuh.

"Silahkan masuk..."

Suara kecil Asahina-san datang dari balik pintu. Saat maid tak bercela itu membukakan pintu untukku, di balik bahunya kulihat Haruhi duduk murung di meja dengan sepasang kaki putihnya di atas meja. Ia memakai sepasang telinga kelinci panjang di atas kepalanya sementara memakai setelan bunny girl yang penuh kenangan itu. Mungkin ia tak mau repot karena ia tak memakai manset atau dasi. Ia bahkan tak pakai stoking.

"Lengan dan punggungku sih seger, tapi kostum ini ga bikin badanku bernafas."

Dengan bilang begitu, Haruhi mengambil cangkirnya dan meminum tehnya seakan-akan dia menikmatinya, sementara Nagato terus membaca bukunya.

Dikelilingi maid dan bunny girl, aku tak tahu bagaimana harus bereaksi. Kalo gue bawa nih dua cewek keluar buat narik pelanggan, pasti gue bakalan dapet banyak duit. Saat sedang kupikirkan hal ini...

"Huah, ada apakah ini?"

Koizumi tiba-tiba mengeluarkan bunyi aneh saat menyapa semuanya dengan senyumnya.

"Apakah ada pesta kostum hari ini? Maafkan saya yang tak memakainya hari ini."

Stop omongan nyebelin itu -- bikin ceritanya jadi makin rumit aja.

"Mikuru-chan, duduk disini."

Haruhi menunjuk kursi di depannya. Asahina-san duduk dengan punggungnya mengarah Haruhi. Dia gemetaran dan terlihat ketakutan. Aku berpikir apa yang Haruhi akan lakukan, hanya untuk melihatnya mengepang rambut coklat Asahina-san jadi tiga.

Sepintas, kelihatannya seperti adegan yang mengharukan, seorang kakak yang sedang merapikan rambut adiknya. Namun, ekspresi Asahina-san kaku ketakutan sementara Haruhi memakai wajah merajuk, membuat yang seharusnya adegan mengharukan itu jadi amat canggung. Kuduga Haruhi hanya ingin melihat maid berkepang tiga saja.

Aku menoleh ke Koizumi, yang tersenyum sepanjang waktu saat melihat pemandangan ini, dan bertanya,

"Mau main Othello?"

"Dengan senang hati. Saya belum main itu sudah lama."

Saat hitam dan putih berjuang akan supremasi papan, (aku tak pernah tahu kalau Koizumi, yang bisa berubah jadi bola berpendar, begitu buruk dalam permainan papan) Haruhi mengikat kuncir kuda dengan rambut Asahina-san, lalu melonggarkannya, kemudian buat dua kuncir kuda, dan sanggul...

(Setiap kali Haruhi menyentuh Asahina-san, ia akan menggigil sepenuhnya) sedangkan Nagato terus memanjakan dirinya dengan bukunya.

Bagiku, jadi makin sulit untuk mengerti apa maksud kumpul-kumpul ini.



Benar saja, hari itu kami melakukan aktifitas Brigade SOS dengan damai. Tiada yang berhubungan dengan alien dari dimensi lain, para penjelajah waktu dari masa depan, raksasa-raksasa biru, atau bola-bola merah bercahaya terjadi pada saat itu. Tak seorangpun ingin berbuat apapun yang spesial, juga tak seorangpun tahu apa yang seharusnya diperbuat. Kami hanya merelakan diri kami menunggangi aliran waktu, menghidupi kehidupan SMA kami dengan bermalas-malasan. Semuanya tampak benar-benar normal.

Walaupun aku merasa tak puas dengan kehidupan normal seperti itu, aku selalu bilang pada diriku sendiri "Kenapa dipikirin terus? Loe punya banyak waktu kok." Dan kemudian aku akan sekali lagi mengharapkan hari esok.

Walau begitu, aku lumayan bahagia. Aku datang tanpa tujuan ke ruangklub ini dan menonton Asahina-san sibuk bekerja seperti maid sungguhan, Nagato duduk seperti patung Budha, Koizumi dengan senyum cemerlangnya, dan Haruhi dengan ayunan suasana hatinya. Semua ini menebar aura kenormalan yang komplit, namun semua ini telah jadi bagian dari kehidupan SMAku yang herannya memuaskan. Walau aku sudah mengalami pengalaman surreal soal teman sekelas yang berusaha membunuhku dan melihat monster ganas muncul di dunia kelabu, aku tidak yakin itu semua bukan khayalan dari imajinasiku, hasil hipnotis, ataupun semacam halusinasi.

Aku masih merasa agak kesal ke Haruhi karena menyeretku ke klubnya, tapi dari perspektif yang lebih dalam, hanya karena dialah aku bisa bergaul damai dengan orang-orang yang begitu menarik. Mengenyampingkan pertanyaan "Kenapa gue?", mungkin kelak disuatu hari akan ada manusia normal lain sepertiku yang ingin gabung dengan klub ini.

Ya, telah kupikirkan masalah ini sudah agak lama sekarang.

Semua orang juga akan memikirkan ini, kan?

Namun, masih ada juga orang yang belum pernah memikirkan ini.

Itu benar, orang itu adalah Suzumiya Haruhi.



Malam itu, setelah makan malam dan mandi, dan menyelesaikan perbaikan untuk pelajaran Bahasa Inggris besok, kulihat jam dan menemukan bahwa sudah waktunya tidur. Aku berbaring di kasurku dan membuka buku tebal hardcover yang Nagato jejali ke lenganku. Kupikir baca cepat takkan menyakitkan, jadi dengan santai kubaca beberapa halaman pertama. Ceritanya herannya menarik, jadi kuteruskan halaman demi halaman. Kau benar-benar harus membacanya untuk memahami betapa nikmatnya buku itu. Baca itu ga jelek juga kok!

Namun, mustahil menyelesaikan buku setebal itu dalam semalam, jadi kutaruh buku itu setelah membaca monolog yang amat panjang oleh salah satu protagonisnya. Rasa kantuk mengalahkanku, dan setelah menempatkan pembatas buku dengan tulisan Nagato ke dalam buku itu, kumatikan lampu dan merangkak dalam selimutku. Dalam beberapa menit, aku sudah di alam mimpi.



Kau tahu bagaimana manusia bermimpi? Tidur itu dibagi jadi dua tipe, dan keduanya dikategorikan sebagai tidur REM (Rapid Eye Movement) dan tidur non-REM. Keduanya bergantian secara periodik. Tidur non-REM terjadi beberapa jam pertama setelah seseorang tertidur, dengan otak yang biasanya dalam kondisi seperti stasis. Tidur REM berkenaan dengan kondisi yang tubuh itu tak sadar sedangkan otak jadi sedikit aktif, dan mimpi akan terjadi dalam tahap ini. Di pagi hari, frekuensi keadaan REM akan meningkat, artinya hampir semua orang akan bermimpi sampai tepat disaat mereka bangun. Aku sendiri bermimpi setiap malam, tapi karena aku biasanya bangun telat, aku begitu tergesa-gesa berangkat ke sekolah sehingga biasanya aku lupa mimpiku semalam. Namun, terkadang aku tiba-tiba ingat mimpi yang telah lama terlupakan bertahun-tahun yang lalu. Benar-benar luar biasa bagaimana memori manusia itu disusun.

Baiklah, cukup sekian obrolan santai. Sebenarnya, aku samasekali tak peduli.

Aku merasa seseorang menampar wajahku. Pergi sana! Gue capek! Jangan ganggu mimpi gue!

"......Kyon."

Jam weker gue belum bunyi juga. Kalaupun udah, gue pasti udah langsung matiin itu, dan masih ada waktu sebelum ibu ngirim adik gue buat nyeret gue keluar ranjang.

"Bangun napa sih."

Engga! Gue pengen tidur lebih lama lagi. Gue ga punya waktu buat mimpi-mimpi yang aneh.

"Kubilang bangun! Kamu bisa denger aku ga sih?"

Tangan-tangan yang melingkari leherku kini tak henti-hentinya menggoncang-goncangkanku. Akhirnya kubuka mataku saat aku merasa belakang kepalaku membentur lantai yang keras.

Lantai yang keras?

Aku duduk tegak, melihat bingung. Haruhi menatapku dan mundur untuk menghindari kepala kami berbenturan satu sama lain.

"Kamu bangun sekarang?"

Berlutut di sampingku adalah Haruhi dengan seragam sailornya. Wajah putihnya menunjukkan ekspresi gelisah.

"Kau tahu dimana ini?"

Tentu aja gue tau; kita di SMA North, sekolah kita, dan sekarang ini kita ada di tangga depan loker sepatu dekat gerbang sekolah. Ga ada lampu yang nyala, dan sekolah pas malam keliatan kelabu di depan kita......

Engga, ada yang salah.

Tiada langit malam diatas.

Hanya ufuk lebar kelabu. Langit monoton. Tiada bulan ataupun bintang, bahkan tiada satu awan pun. Hanya langit sekelabu dinding beton.

Dunia terselubung dalam kesunyian dan kegelapan.

Ini Dimensi Tertutup.

Aku perlahan bangkit. Aku heran aku tak pakai piyama, tapi seragam sekolahku.

"Pas aku bangun, aku sudah disini, terus kau di sebelahku. Ada apa ya disini? Kenapa kita di sekolah?"

Tanya Haruhi dalam suara lembut yang abnormal. Aku tak langsung menjawabnya, malahan merentang lenganku untuk merasakan. Dari rasa sakit cubitan di punggung tanganku, hingga merasakan pakaian di tubuhku, tak terasa seperti mimpi. Kutarik dua lembar rambutku. Kudapati rasanya sakit sekali.

"Haruhi, apa cuman kita berdua aja disini?"

"Ya, aku seharusnya tidur di balik selimutku. Kenapa kita muncul disini? Dan langitnya keliatan aneh......"

"Udah ngeliat Koizumi?"

"Belum......kenapa kau nyebut dia?"

"Ga papa, nanya doang."

Kalo Dimensi Tertutup ini dibikin oleh gempa di batas dimensi atau oleh faktor eksternal, seharusnya ada raksasa bercahaya dan Koizumi ada disini juga.

"Ngomong-ngomong, kita tinggalin sekolah sekarang! Mungkin kita bakalan ketemu sama orang."

"Kok bisa kamu ga keliatan kuatir samasekali?"

Pastinya gue kuatir, apalagi ngeliat loe disini juga. Bukannya ini tempat main raksasa-raksasa yang loe bikin? Ato gue yang oversensitif dan cuman ngimpiin semua ini? Duaan bareng Haruhi di Dimensi kosong......kalo Sigmund Freud ada disini, dia pasti nganalisis ini buat gue!

Aku tetap menjauh dari Haruhi saat kami berjalan menuju gerbang sekolah, ketika kami terhalang oleh tembok tak kasat mata. Aku masih ingat rasa elastis tembok ini. Bisa didorong sedikit ke dalam, tapi segera setelah itu, tembok lain yang lebih keras akan membendung segala usaha untuk menembus lebih dalam.

"......Apa ini?"

Haruhi menggapai dan mencoba mendorong tembok tak kasat mata ini, sambil bertanya dengan mata terbelalak. Aku berjalan sepanjang lapangan lari dan menelusuri tembok.

Sepertinya kami terjebak dalam sekolah.

"Kayaknya ga ada jalan buat keluar sekolah."

Aku tak dapat merasakan angin. Seolah-olah bahkan udara pun telah berhenti mengalir.

"Kita coba gerbang belakang yuk!"

"Oh ya, apa ada cara buat ngontak seseorang? Kita cari telepon. Aku ga bawa HPku."

Kalau ini Dimensi Tertutup yang Koizumi bilang padaku, maka mencari telepon akan sia-sia. Walau begitu, kami masih memutuskan untuk masuk ke gedung sekolah untuk mencarinya. Seharusnya ada telepon di ruangan guru.

Sekolah kelihatan seram di kegelapan dengan semua penerangan dimatikan. Kami melewati loker sepatu dan dengan diam memasuki gedung sekolah. Sepanjang jalan, kami menyalakan lampu lantai satu, dan lampu langit-langit langsung menyala. Walaupun lampu-lampu itu adalah penerangan buatan yang dingin, lampu-lampu itu cukup untuk mengeluarkan desahan lega dariku dan Haruhi.

Setelah memastikan tak ada seorang pun di ruangkelas di lantai itu, kami menuju ruangan guru. Biasanya, ruangan guru terkunci, jadi kuambil pemadam api terdekat, memecahkan jendelanya, dan masuk melaluinya.

"......Kayaknya ga jalan."

Haruhi memegang telepon pada telinganya, namun tak dapat mendengar apapun. Ia coba menghubungi beberapa nomor, namun tiada hasil.

Kami tinggalkan ruang guru, menyalakan semua lampu di sepanjang jalan, dan naik tangga, karena Haruhi menyarankan kami kembali ke ruang kelas kami. Karena letak Kelas 1-5 ada di lantai atas, mungkin kami bisa dapat sesuatu dengan melihat ke bawah dari atas.

Haruhi tetap memegang jaketku saat kami berjalan menyusuri koridor. Jangan ngandelin gue; gue ga punya kekuatan supranatural samasekali. Kalo loe setakut itu, gaet lengan gue! Keliatan lebih alami tau!

"Brengsek."

Haruhi mengernyit padaku, tapi jari-jarinya tak pernah melepas jaketku.

Tiada yang berubah di Kelas 1-5; sama seperti saat kami tinggalkan sehabis sekolah.

"......Kyon, lihat......"

Haruhi terdiam setelah berjalan menuju jendela. Aku berjalan ke sampingnya dan melihat situasinya.

Di sekeliling kami adalah dunia abu-abu gelap. Melihat ke bawah dari lantai empat di puncak bukit, aku bahkan bisa lihat cakrawala jauh dari tepi pantai. Semuanya gelap dalam panorama, bahkan tanpa satu pun lampu menyala. Rasanya seperti kiamat.

"Tempat apa ini......"

Bukan seluruh penduduknya menghilang, tapi sebaliknya, kamilah yang menghilang. Tampaknya kami terantuk ke Dimensi Tertutup ini secara tak sengaja.

"Rasanya aneh."

Haruhi menyentuh bahunya dan bergumam.



Karena kami tak tahu kemana lagi harus pergi, kami kembali ke ruangklub tempat kami baru saja menghabiskan sore tadi. Karena aku telah mencuri kuncinya dari ruang guru, kami dapat membuka pintunya dan masuk.

Kami berdua bernafas lega kembali ke ruangan tak asing, yang diterangi dengan baik.

Kami nyalakan radio, tapi kami bahkan tak bisa mendengar suara kresek apapun. Ruangklub begitu sunyi sampai-sampai hanya suaraku menuang teh pun bisa terdengar. Aku tak begitu tertarik mengganti daun teh, jadi aku bikin teh dengan daun teh yang sudah terlalu terpakai dan tak berasa. Haruhi berdiri di sampingku memandang jelas dunia kelabu di luar sana.

"Loe mau teh"

"Engga."

Kuambil cangkirku, menarik keluar kursi, dan duduk. Kuseruput tehku. Haah, teh yang dibuat Asahina-san jauh lebih baik daripada ini.

"Emangnya disini ada apaan sih?! Aku ga ngerti! Ini tempat apaan? Kenapa aku disini?"

Haruhi berdiri dekat jendela dan menghadap keluar; bayangannya kelihatan begitu lemah.

"Dan kenapa aku sama kamu, dari semua orang?"

"Menegetehe!?"

Haruhi mengibas rambutnya dan mengernyit akan tanggapanku.

"Aku keluar mau lihat-lihat." Katanya dan lanjut meninggalkan ruangan. Tepat saat aku mau berdiri juga......

"Kau disini aja, aku balik bentar lagi."

Ia segera meninggalkan ruangan setelah bilang begitu. Haruhi banget yang kayak begituan! Sambil mendengar langkah enerjik Haruhi menghilang dan menyeruput teh hangat tak berasaku, benda itu muncul.

Sebuah bola kecil merah yang bersinar. Awalnya sebesar bola pingpong, kemudian bola itu tumbuh besar, bersinar seperti kunang-kunang sebelum akhirnya mengambil bentuk manusia.

"Koizumi, itu elo ya?"

Di hadapanku ada bentuk manusia yang bersinar, tapi aku tak dapat melihat penampilan Koizumi dengan jelas, termasuk mata, hidung, dan mulutnya.

"Halo, yang disana." Suara santai datang dari dalam obyek bersinar itu.

"Loe telat banget sih! Gue pikir loe bakalan muncul di wujud manusia loe....."

"Saya tahu. Itulah yang akan saya jelaskan padamu juga. Ada alasan tepat kenapa saya begitu tertunda. Sejujurnya; Ini darurat!" Cahaya merah itu sedikit gemetar. "Jika ini adalah Dimensi Tertutup biasa, saya dapat masuk dengan mudah, tapi tidak kali ini. Saya harus muncul dalam wujud tak sempurna ini, dan karena saya butuh beberapa bantuan dari rekan-rekan saya sebelum saya akhirnya bisa masuk sini, saya bahkan tak bisa tetap di keadaan ini lama-lama. Kekuatan kami menghilang perlahan-lahan, bahkan saat kita berbicara."

"Emangnya ada apaan sih? Apa cuman gue dan Haruhi aja disini?"

"Ya," jawab Koizumi.

"Berarti apa yang kami takutkan akhirnya terjadi. Suzumiya-san sudah bosan akan realitas ini, dan ia putuskan untuk menciptakan yang baru."

"......"

"Para atasan kami sekarang panik total. Tak ada seorangpun yang tahu apa jadinya dunia ketika tuhannya menghilang. Walau ada kemungkinan dunia akan bertahan selama Suzumiya-san memutuskan untuk mengampuninya, ada juga kemungkinan akan lenyap seketika."

"Loe pengen bilang apa......?"

"Sederhananya," cahaya merah itu kini meliuk seperti api, "Anda dan Suzumiya-san kini telah menghilang dari dunia kita. Dunia ini bukan Dimensi Tertutup tapi sebaliknya dimensi jenis baru yang diciptakan oleh Suzumiya-san. Dimensi-Dimensi Tertutup yang kita lihat sebelumnya barangkali hanya latihan sebelum ia putuskan untuk benar-benar menciptakan ulang dunia ini."

Lelucon yang menarik, tapi gue ga tahu gimana caranya gue ketawa sekarang. Ha ha ha.

"Saya tidak bergurau. Dunia ini mungkin dunia yang paling mendekati yang Suzumiya-san inginkan. Kami masih tak yakin dunia apa yang ia ingini, tapi kita seharusnya dapat jawabannya segera."

"Mari kita kesampingkan masalah itu dulu, masalah sebenarnya adalah kenapa gue disini?"

"Anda betulan tidak tahu? Anda adalah orang yang dipilih oleh Suzumiya-san. Andalah satu-satunya orang di dunia kita yang Suzumiya-san inginkan bersama. Saya kira anda telah menemukan hal itu sekarang." Cahaya di sekeliling Koizumi sekarang berkelip redup seperti senter kehabisan baterai, kecerahannya jelas-jelas melemah. "Saya mau mencapai batasku sekarang. Jika begini terus, saya takkan pernah bisa melihatmu lagi; di sisi lain tapinya, saya agak lega karena saya tak lagi harus memburu para Avatar itu lagi."

"Apa harus gue hidup sendirian bareng Haruhi di dunia kelabu begini?"

"Kalian berdua seperti Adam dan Hawa. Bila kalian punya bayi-bayi untuk mempopulasi ulang dunia, akan baik-baik saja, bukan?"

"......Diem ato gue tonjok loe."

"Hanya bercanda! Sekarang kondisi tertutup ini mungkin hanya sementara, tapi sesegera mungkin akan menjadi mirip dengan dunia yang anda kenal. Namun, dunia ini akan benar-benar berbeda dari dunia tempat kita berasal. Adapun sekarang, dunia ini bisa dianggap sebagai dunia nyata, sementara realitas asli seharusnya dianggap Dimensi Tertutup. Soal apa perbedaan antara dua dunia ini, sayangnya kami tidak tahu. Bila saya cukup beruntung untuk terlahir kembali di realitas baru, saya mengandalkan anda untuk mengantar saya melihat-lihat."

Saat ini, obyek bersinar berbentuk manusia Koizumi mulai perlahan meluruh dan kemudian, seperti bintang kehabisan bahan bakarnya, kini menyusut ke aslinya ke ukuran bola pingpong.

"Mustahil ya kami kembali ke dunia asli?"

"Selama Suzumiya-san mengharapkannya, mungkin masih bisa. Saya hanya mengenalmu dalam waktu singkat; sungguh disayangkan, tapi saya benar-benar menikmati waktu saya bersama Brigade SOS......Oh, iya, hampir saja saya lupa, saya harus menyampaikan pesan dari Asahina Mikuru dan Nagato Yuki untukmu."

Dan Koizumi meninggalkan pesan ini sebelum dia benar-benar menghilang:

"Asahina Mikuru memintaku untuk mewakilinya meminta maaf: ia bilang, 'maaf, ini semua salahku.' Juga, Nagato Yuki menyuruhmu untuk 'ingat hidupkan komputer.'"

Setelah pesan itu, dia menghilang seperti api lilin tertiup angin.

Ga tau gue kenapa Asahina-san harus minta maaf ke gue. Apa dia bikin kesalahan ke gue? Tapi kuputuskan untuk tak memikirkannya sekarang; malahan, kuikuti permintaan Nagato dan menghidupkan komputer. Setelah hardisknya mengeluarkan suara bip, logo OS harusnya muncul di layar monitor......Aneh, kenapa ga muncul apa-apa? Layar OS yang harusnya muncul setelah beberapa detik engga muncul; layar terlihat hitam pekat dengan hanya kursor ketik putih berkedip di pojok kiri atas layar monitor. Lalu, kursor tersebut mulai bergerak tanpa suara, dan sebaris kata-kata dingin pun muncul.


 YUKI.N > Kau baca ini?


Aku terpaku sesaat, kemudian kutarik keyboard mendekat dan mulai mengetik.

 'Yup.'
 YUKI.N > Sekarang saya belum sepenuhnya kehilangan kontak dengan dunia kau berada. 
Tapi hanya masalah waktu, karena diskoneksi harusnya terjadi dengan sangat segera.
Bila begitu, ini akan jadi percakapan kita yang terakhir.
 'Aku harus ngapain?'
 YUKI.N > Saya juga tidak tahu. Semburan data abnormal sudah sepenuhnya hilang disini. 
Entitas Gabungan Benak Data sangat kecewa dengan ini, karena mereka akan kehilangan
kemungkinan berevolusi.
 'Maksudmu apa soal kemungkinan berevolusi? Emangnya gimana Haruhi berevolusi?'
 YUKI.N > Menjadi amat berakal berarti dapat memproses data dengan cepat dan akurat. 
Makhluk organik berakal dibatasi oleh aliran-aliran data yang terlampau tidak akurat dan tercampur-aduk
disebabkan oleh tubuh fisik mereka, dan tak bisa memproses data dengan cepat dan akurat.
Jadi setelah berevolusi sampai ke tingkatan tertentu, makhluk organik akan berhenti berevolusi.
 'Apa mungkin berevolusi bahkan tanpa tubuh fisik?'
 YUKI.N > Entitas Gabungan Benak Data juga tercipta dari data. 
Mereka tadinya juga percaya bahwa kemampuan mereka memproses data akan meningkat tak terhingga
sampai alam semesta menjadikan dirinya terlalu panas. Tapi mereka salah.
Sama seperti alam semesta yang punya tepi, evolusi mereka juga punya batas,
setidaknya para entitas benak bergantung pada data untuk bertahan hidup.
 'Kalau Suzumiya?'
 YUKI.N > Suzumiya Haruhi memiliki kemampuan untuk menciptakan sejumlah besar data dari ketiadaan. 
Kemampuan yang tak Entitas Benak Data miliki.
Ia dapat melepas data yang takkan pernah dapat diproses oleh manusia,
makhluk biasa, di sepanjang hidupnya. Entitas Gabungan Benak Data percaya
jika kemampuan menciptakan data ini dianalisis, mereka akan dapat
menemukan cara bagaimana berevolusi otomatis.

Kursornya berkedip sesaat. Barangkali Nagato ragu memilih kata-kata untuk digunakan. Detik berikutnya, kata-kata mengalir seperti air.

 YUKI.N > Kupertaruhkan semuanya padamu.
 'Mempertaruhkan aku buat apa?'
 YUKI.N > Kuharap kalian berdua dapat kembali ke dunia ini. 
Suzumiya Haruhi adalah target observasi penting,
harta karun penting yang mungkin hanya muncul sekali di alam semesta ini.
Selain itu, saya sendiri berharap kau kembali.

Warna kata-kata itu mulai memudar bersamaan dengan daya listriknya jadi makin melemah. Kursornya kembali mengetik beberapa kata.

 YUKI.N > Sampai jumpa di perpustakaan.

Kata-katanya menggelap; bahkan berusaha mengatur kecerahan layar tak membantu. Akhirnya, Nagato mengetik dua kata ini.

 YUKI.N > putri tidur



Nguung Suara hardisk berputar membuatku melompat dari kursiku. Lampu pada CPU itu berkedip, dan layar OS yang tak asing telah muncul. Suara kipas komputer berputar adalah semua yang dapat didengar di dunia ini.

"Gue harus ngapain? Koizumi! Nagato!"

Aku mendesah dalam-dalam dan menolehkan kepalaku putus asa ke arah jendela.



Sinar biru bersinar dari luar jendela.



Raksasa bersinar kini berdiri di halaman sekolah. Karena letaknya begitu dekat, raksasa itu terlihat seperti tembok biru besar.

Haruhi bergegas memasuki ruangan.

"Kyon! Ada yang muncul!"

Haruhi melihat sampai-sampai mau menabrakku, yang berdiri dekat jendela, dan cepat-cepat berhenti serta berdiri di sampingku.

"Apa tuh? Besar banget! Itu monster ya? Ga keliatan kayak ilusi."

Haruhi terdengar amat bersemangat. Depresi kegelisahannya beberapa waktu lalu sudah menghilang. Sekarang, matanya berkilau dengan antusiasme. Tiada rasa takut dapat ditemukan di dalamnya.

"Menurutmu itu alien? Atau jangan-jangan senjata super yang dibikin sama orang jaman purba, yang bangun dari tidur panjangnya? Apa benda itu alasan kenapa kita ga bisa keluar dari sekolah?"

Tembok biru itu bergerak. Bayangan raksasa yang sedang menghancurkan bangunan dengan mudah terlintas di benakku. Cepat-cepat kugenggam tangan Haruhi dan berlari keluar ruangklub.

"Bentar! Tunggu bentar, kamu ngapain!?"

Saat kami buru-buru lari ke koridor, hampir runtuh, gelegar keras bergetar di udara; cepat-cepat kudorong Haruhi ke lantai dan melindunginya dengan tubuhku. Komplek klub bergoncang dahsyat. Suara dan getaran objek keras, yang berat menghentak tanah tersiar ke telingaku. Dari sini aku tahu sasaran raksasa itu bukan komplek klub tetapi komplek sekolah di seberang.

Kugenggam Haruhi, yang begitu terkejut sampai-sampai mulutnya megap-megap seperti ikan mas koki, dan mulai berlari. Herannya, Haruhi menurut mengikutiku dan berlari.

Telapak tanganku mulai berkeringat. Begitu pula Haruhi.

Komplek klub lama samasekali tak berdebu. Dengan seluruh kekuatanku, aku berlari dengan Haruhi di belakangku menuju tangga. Suara raksasa yang menyebabkan lebih banyak kehancuran dapat terdengar.

Aku berlari menuruni tangga sambil merasakan panas tubuh Haruhi tersalurkan lewat telapak tangan kami. Setelah menyeberangi halaman, kami melewati lereng dan menuju ke lapangan lari. Pada saat ini, kulirik Haruhi. Mungkin aku salah, tapi tampaknya dia lumayan senang. Bagaikan seorang anak kecil bangun di pagi hari Natal dan mendapati hadiah yang diidam-idamkannya kini ada di sebelah tempat tidurnya.

Setelah berlari cukup jauh dari bangunan sekolah, kami berbelok dan melihat ke atas, dan menemukan seberapa besar raksasa itu. Raksasa dalam Dimensi Tertutup yang Koizumi tunjukkan padaku juga sebesar ini, hampir setinggi gedung.

Raksasa itu mengayunkan tangannya, dan bangunan sekolah pun runtuh. Karena komplek berlantai empat sudah rusak oleh serangan sebelumnya, komplek itu kini runtuh dengan mudah. Puing-puing berjatuhan dan terpencar ke berbagai arah bersama dengan suara memekakkan telinga yang dibuatnya.

Kami berlari dengan kalut ke tengah lapangan lari berukuran dua ratus meter sebelum berhenti. Satu raksasa luar biasa kini telah muncul di sekolah gelap monoton.

Kalo loe pengen foto, loe seharusnya foto beginian, bukan foto ketua Kelompok Riset Komputer grepe-grepe susu Asahina-san, dan pastinya bukan foto-foto Asahina-san pake macam-macam kostum itu. Website kita harusnya punya foto-foto kayak yang kita liat sekarang!

Saat aku sedang memikirkan ini, tiba-tiba Haruhi berkata di telingaku,

"Menurutmu dia bakalan nyerang kita ga ya? Kayaknya dia samasekali ga jahat deh, menurutmu gimana?"

"Ga tau."

Saat kujawab Haruhi, aku berpikir disaat yang sama tentang apa yang Kozumi bilang ketika membawaku masuk ke Dimensi Tertutup. Kalo kita biarin para "Avatar" ini ngelanjutin amukan mereka, maka abis ngancurin, Dimensi Tertutup bakalan ngegantiin dunia nyata, berarti dunia kelabu ini bakalan ngegantiin dunia tempat kita berasal, terus......

Dunia kita bakalan jadi gimana?

Menurut apa yang Koizumi bilang ke gue, Haruhi kayaknya sedang bikin dunia yang benar-benar baru. Apa Asahina-san dan Nagato yang gue kenal bakalan ada di dunia baru ini? Atau ini bakalan jadi dunia surreal dimana para "Avatar" jalan-jalan bebas, dan alien, penjelajah waktu, dan esper jadi hal yang lumrah?

Kalo dunia beneran jadi kayak gitu, gue mainin peran apaan?

Argh, lupain itu, percuma aja berusaha mikir lagi, abisnya gue ga ngerti. Gue ga ngerti Haruhi mikir apaan, dan gue ga punya kekuatan telepati apapun yang bisa bikin gue baca pikiran orang.

Saat ini juga, kudengar Haruhi berbicara padaku,

"Sebenarnya apa yang terjadi sih disini? Mau dunia ini kek ato raksasa itu kek, semuanya aneh banget!"

Semua itu dibikin sama elo, non! Harusnya gue yang nanya, kenapa loe nyeret gue ke semua ini!? Adam dan Hawa apaan? Bego tuh! Gue ga bakalan percaya sama cerita taek begitu! Ga akan!

"Bukannya loe pengen balik ke dunia asli?"

Tanyaku dengan tenang.

"Kamu ngomong apa?"

Haruhi menoleh padaku. Wajahnya mulus putih bahkan dalam dunia kelabu ini, dan mata berkilaunya kini diselubungi kegelapan.

"Kita ga bisa tinggal disini selamanya! Ga ada satupun toko, jadi ga ada tempat buat makan pas kita lapar. Lagian, sekolah ini dikelilingin tembok yang ga keliatan: ga ada jalan keluar dari sini. Kalau gini terus kita bakalan mati kelaparan."

"Hmm, emang semuanya aneh sih, tapi aku ga peduli. Akhirnya toh bakalan beres. Entah kenapa, aku senang banget aja."

"Terus Brigade SOS gimana? Elo kan yang bikin klub itu! Loe bakalan tinggalin gitu aja?"

"Aku benar-benar ga peduli lagi, abisnya aku udah ngalamin sesuatu yang asik sekarang; ga perlu aku keluar dan nyari kejadian-kejadian misterius."

"Tapi, gue pengen balik ke dunia asli."

Si raksasa sejenak menghentikan penghancuran akan sekolah.

"Sebelum kita berakhir di situasi aneh ini, gue ga nyadar segimana gue suka hidup gue sebelumnya. Disana gue punya si idiot Taniguchi, Kunikida, Koizumi, Nagato, dan Asahina-san, dan bahkan Asakura yang udah lama ngilang."

"......Kamu ngomong apa sih?"

"Gue pengen banget ngeliat teman-teman lagi. Banyak yang pengen gue ceritain ke mereka."

Haruhi menunduk, kemudian melanjutkan setelah beberapa saat,

"Kita bakal ngeliat mereka; dunia ini ga bakalan selamanya ketutup kegelapan. Segera setelah pagi datang, matahari akan muncul. Aku yakin itu."

"Engga kayak gitu. Dunia ini bukan kayak yang loe pikirin. Gue benar-benar pengen ngeliat teman-teman di dunia yang asli."

"Aku ga ngerti kamu ngomong apaan."

Haruhi mengernyit padaku, seperti anak kecil yang hadiah tersayangnya direbut orang, menyingkap kemarahan dan kesedihannya.

"Bukannya kau muak dan lelah sama dunia ngebosenin itu juga? Dunia itu normal banget sampai-sampai ga ada yang spesial samasekali. Bukannya kau pengen ngalamin sesuatu yang menarik juga?"

"Dulu gue mikir kayak gitu."

Si raksasa mulai bergerak. Dia menendang bagian tersisa dari komplek sekolah dan menuju ke halaman. Di perjalanan, dia membabat koridor sekolah dengan lengannya, kemudian menendang komplek klub keras-keras. Sekolah perlahan diratakan, termasuk ruangklub kami.

Kulihat melewati pundak Haruhi dan tercengang saat mendapati tembok-tembok biru bersinar lainnya. Satu, dua, tiga......ketika sampai lima, kuputuskan berhenti menghitung.

Tanpa dihalangi bola-bola merah, para raksasa biru bersinar kini memulai penghancuran dunia kelabu ini tanpa penundaan. Aku tak mengerti apa yang menarik dari semua penghancuran ini. Setiap kali mereka menggerakkan lengan dan kaki mereka, semua yang mereka sentuh hilang seketika.

Beberapa saat kemudian, setengah sekolah telah lenyap.

Aku tak tahu seberapa besar Dimensi Tertutup ini, dan tak tahu apakah dimensi ini dapat meluas dan menjadi realitas lain. Saat ini, pikiranku penuh ketidakpastian. Jika saat ini juga, seorang pemabuk tua duduk di sebelahku di kereta bilang padaku "Kuberi tahu kau sesuatu, tapi jangan kasih tahu siapa-siapa! Aku sebenarnya alien," aku akan percaya padanya begitu saja. Karena jumlah kejadian misterius yang kualami sekarang telah tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan sebulan yang lalu.

Apa sebenarnya yang bisa kulakukan? Jika ini sebulan yang lalu mungkin aku takkan memikirkan apa pun, tapi kini aku percaya aku bisa. Karena aku sudah mendapatkan beberapa petunjuk.

Setelah kuputuskan, kukatakan berikut ini,

"Haruhi, beberapa hari terakhir ini, gue udah ngalamin hal-hal yang sangat menarik. Walau loe ga tahu, ada segala macam orang yang perhatian banget sama elo. Ga konyol kalo bilang dunia secara harfiah ngelilingin elo. Semua orang percaya elo tuh orang yang sangat spesial, dan mereka udah berusaha ngedukung kepercayaan itu dengan tindakan. Mungkin loe ga tau, tapi dunia diarahin ke arah yang menarik banget lho."

Saat kugenggam bahu Haruhi, kusadari aku masih memegang tangannya, sementara Haruhi melihatku dengan wajah yang berkata, "Kamu kerasukan apa sih?"

Kemudian, ia mengalihkan matanya dariku dan ke arah para raksasa biru yang mengamuk, dengan ekspresi tanpa basa-basi.

Melihat wajah muda dan halusnya, aku teringat "kemungkinan berevolusi" Nagato, "distorsi temporal" Asahina-san, dan Koizumi yang memperlakukan Haruhi sebagai "Tuhan". Tapi buat gue, buat gue Haruhi tuh apaan? Gue nganggap dia apa?

Haruhi adalah Haruhi, mau ngomong apa lagi? Gue ga niat cuman jawab gitu aja sih. Tapinya, gue ga punya jawaban pasti. Gue dah duga pasti begini, kan? Kalo elo nunjuk ke teman sekelas di belakang gue dan nanya, "Dia siapanya elo?" -- Menurut loe gimana gue harus jawab? ......Ini, sori. Gue muter-muter di lingkaran lagi! Buat gue, Haruhi bukan teman sekelas biasa, dan pastinya bukan "kemungkinan berevolusi", "distorsi temporal", ato bahkan "Tuhan".

Si raksasa itu berputar menuju lapangan lari. Dia seharusnya tak punya mata, namun aku dapat merasakan dengan jelas pandangannya. Dia berjalan satu langkah ke arah kami. Satu langkahnya kira-kira beberapa meter, atau dia takkan memperkecil jarak antara kami secepat itu sekalipun berjalan begitu lamban!

Gue ngerti! Bukannya Asahina-san bilang sesuatu soal ini? Ramalan itu lho! Dan pesan terakhir Nagato. Putri Salju dan Putri Tidur. Plis dong ah, bahkan gue pun tau Putri Tidur itu maksudnya apa! Apakah persamaan antara kedua cerita itu? Di situasi kita yang mengerikan, jawabannya hampir diteriakin keras-keras.

Men, jelek banget nih.

Ini terlalu jelek sekali! Asahina-san, Nagato. Gue ga bakalan pernah nerima perkembangan seperti ini! Ga akan!

Rasionalitasku menuntut akan hal itu. Tapi manusia tak pernah jadi makhluk yang hanya bergantung pada akal untuk bertahan hidup. Mungkin mereka perlu sedikit apa yang disebut Nagato "data yang tercampur-aduk". Kulepaskan tangan Haruhi, mencengkeram bahunya, dan menghadapkannya padaku.

"Apa sekarang......"

"Tau ga, gue suka elo dengan kuncir kuda."

"Apa?"

"Gue ga tahu kapan, tapi sejak itu, gue ga bisa berhenti mikirin elo dengan kuncir kuda. Menurut gue itu paling cocok buat elo."

"Kamu kenapa sih?"

Kuabaikan protes Haruhi dan menciumnya di bibir... Kugenggam tangannya dan kutahan erat-erat, tak ingin kulepaskan.

Mata hitamnya menentangku. Kuabaikan protes Haruhi dan menciumnya di bibir. Adalah aturan tak tertulis untuk menutup mata di saat-saat seperti ini, jadi kututup mataku. Dan jadinya, aku tak tahu seperti apa ekspresi Haruhi. Apakah matanya terbuka karena terkejut? Atau ia menutup matanya juga? Ataukah ia mencoba mengangkat tangannya dan menamparku? Tapi kalaupun ia menamparku, kupikir tak masalah. Tentulah! Jika orang lain melakukan ini ke Haruhi, mereka akan tahu bagaimana perasaanku. Kugenggam tangannya dan kutahan erat-erat, tak ingin kulepaskan.

Masih dapat kudengar gemuruh di kejauhan; kayaknya raksasa itu masih ngancurin sekolah. Tepat saat kupikirkan hal ini, tiba-tiba aku kehilangan keseimbanganku dan jatuh ke bawah, dan semuanya jadi terbalik. Ada benturan keras pada sisi kiriku. Tak peduli apa yang kulakukan, aku tak kuasa menjaga keseimbanganku. Ketika kucoba duduk dan membuka mataku, kulihat langit-langit yang tak asing dan terkesima.



Aku di kamarku, dan berputar, kusadar aku terjatuh dari kasur ke lantai. Tentu saja, aku mengenakan piyamaku. Setengah selimut yang kacau terkulai tergeletak di lantai. Kutempatkan tanganku ke punggungku, dan menganga seperti idiot.

Sudah beberapa waktu sebelum aku bisa berpikir lagi.

Dibawah kondisi setengah bermimpi, aku perlahan berdiri, membuka jendela, dan melihat keluar. Kulihat beberapa bintang berkelip dan lampu jalan bersinar. Kupastikan ada cahaya dari jendela-jendela orang lain dan siluet yang bergerak secara berkala di belakangnya.

Apa itu mimpi ya? Apa gue bermimpi semua ini?

Gue bermimpi dimana gue jatuh ke dunia surreal dengan cewek yang gue kenal, dan akhirnya nyium dia! Mimpi yang gampang banget dimengerti yang bisa bikin Sigmund Freud ketawa terbahak-bahak.

Argh, gue benar-benar pengen langsung gantung diri.

Mungkin gue harus bersyukur kalo negara ini udah ngelarang kepemilikan senjata api, kalo engga gue udah ambil senapan otomatis dan nodongin itu ke kepala gue tanpa ragu-ragu. Kalo itu Asahina-san, maka paling engga gue ngelaksanain semacam analisis kepribadian mendetail dari mimpi ini, tapi gue mesti bermimpi soal diriku nyium Haruhi, dari semua orang! Alam bawah sadar gue mikir apaan sih!?

Aku duduk letih di lantai dan memegangi kepalaku, berpikir kalo ini semua mimpi, rasanya kok begitu nyata? Tangan kanan yang berkeringat, dan kehangatan tersisa di bibirku......

......Apa ini...apa ini berarti ini bukan dunia yang asli? Apa ini dunia baru yang dibikin Haruhi? Apa ada cara buat mastiin ini?

Engga ada, ga peduli seberapa keras gue mikir. Ato lebih tepatnya, gue ga pengen mikirin masalah ini. Kalo gue harus ngakuin semua itu mimpi karena otak gue yang rusak, maka mendingan gue percaya kalo dunia udah dihancurin. Lagian, sekarang ini gue dalam penyangkalan.

Kulihat jam alarmku. Dua tiga puluh pagi.

......Gue mau balik tidur.

Kutarik selimutku hingga ke atas kepalaku, meminta pikiranku yang sudah jernih untuk memberiku tidur nyenyak.



Aku tak bisa tidur.

Itulah kenapa sekarang aku begitu kelelahan hingga aku hampir perlu merangkak supaya bisa menaiki landaian. Ini membunuhku, jujur saja. Aku senang aku tak bertemu dengan Taniguchi di jalan, atau aku akan dipaksa untuk mendengarnya lagi dan lagi. Matahari kian melepaskan panas dari reaksi fusi nuklirnya yang takkan berakhir. Tuan Matahari, saya mohon, tak dapatkah anda beristirahat sebentar? Gue bisa mati kepanggang!

Menolak datang ketika kuperlukan, setan tidur kini mengitari kepalaku disaat aku paling tidak inginkannya. Kalau begini terus, aku tak tahu berapa lama aku bisa tetap bangun di jam pertama.

Saat kupandang komplek sekolah, aku berhenti dan melihat gedung empat lantai yang reyot itu. Murid-murid berkeringat semuanya merangkak ke gedung sekolah seperti sekawanan semut.

Kuseret kakiku menaiki tangga, dan memasuki ruang Kelas 1-5 yang sudah tak asing lagi, berhenti tiga langkah dari jendela.

Disana, duduk di belakang dekat jendela, kulihat bagian belakang dari kepala Haruhi. Bagaimana harus kujelaskan ya? Dia menopang dagu dengan tangannya seperti biasa dan menatap keluar dengan ekspresi boneka kayu.

Dari belakangnya, dapat kulihat ekor kecil menggantung dari rambutnya sampai bahu. Rambutnya sedikit terlalu pendek sekarang untuk mengikat kuncir kuda, jadi kuduga dia hanya mengikatnya sejadinya?

"Yo, pa kabar?"

Kutempatkan tasku di atas meja.

"Sengsara! Aku baru aja mimpi buruk semalam."

Haruhi mengatakannya dengan nada tenang. Hei, loe sebenarnya baru aja ngalamin kejadian luar biasa semalam!

"Itulah kenapa aku ga bisa tidur semalam. Aku pengen minta izin sakit, tapi nanti absensiku bakalan jadi terlalu rendah."

"Oh gitu."

Aku duduk di kursi keras dan mengamati wajah Haruhi. Rambutnya menutupi sebelah wajahnya dari telinga ke bawah, jadi aku tak bisa melihat jelas ekspresinya. Apapun itu, suasana hatinya lagi buruk. Setidaknya wajahnya mengatakan demikian.

"Hei, Haruhi."

"Apa?"

Kukatakan pada Haruhi, yang masih menatap keluar,

"Loe keliatan kece dengan kuncir kuda itu."



Epilog



Biar kuceritakan apa yang terjadi selanjutnya.

Sore itu Haruhi membiarkan rambutnya turun ke bahunya lagi. Dia mungkin muak mengikat rambutnya ke atas. Kupikir aku harus menunggu sampai rambutnya tumbuh lebih panjang sebelum berusaha meyakinkannya untuk mengikat kuncir kuda.

Diperjalanan menuju toilet saat istirahat makan siang, aku bertemu Koizumi di koridor.

"Saya benar-benar harus berterima kasih padamu dari lubuk hatiku".

Dia tersenyum riang,

"Dunia ini tetap tak berubah, dan Suzumiya-san ada disini seperti biasanya. Tampaknya pekerjaanku harus terus berlanjut sementara ini, semuanya berkat anda, dan saya tak sedang menyindir. Di lain pihak, dimungkinkan juga bahwasanya dunia ini hanya diciptakan kemarin malam! Apapun itu, sebuah kehormatan untuk mengenal anda dan Suzumiya-san."

"Mungkin kita akan tetap bersama untuk beberapa waktu!" kata Koizumi sambil melambaikan tangannya ke arahku.

"Sampai jumpa sehabis sekolah!"

Aku pergi ke ruang Klub Sastra untuk melihat-lihat saat istirahat makan siang, dan disana Nagato duduk membaca bukunya seperti biasa.

"Selama dua setengah jam pagi ini, kau dan Suzumiya Haruhi menghilang dari dunia ini."

Dia membuka mulutnya dan mengatakan ini, dan hanya ini saja. Lalu dia menundukkan kepalanya dan lanjut membaca.

"Aku lagi baca buku yang kamu pinjemin sekarang. Aku seharusnya bisa ngembaliin ke kamu seminggu lagi."

"Oh."

Kepalanya tetap menunduk.

"Bisa kasih tau aku apa banyak yang kayak kamu di planet ini?"

"Banyak."

"Berarti bakalan ada yang mungkin nyerang aku kayak yang Asakura lakuin?"

Nagato sekarang mengangkat kepalanya dan melihatku.

"Takkan kubiarkan mereka."

Kuputuskan untuk tidak menyebutkan perpustakaan ke dia.



Setelah sekolah di ruang klub, aku bertemu Asahina-san, yang sedang mengenakan seragamnya alih-alih kostum maidnya. Ketika dia melihatku, dia berlari dan memelukku.

"Saya senang banget, saya masih bisa ngeliat kamu......"

Asahina-san menangis dengan wajahnya terbenam di dadaku.

"Saya pikir kau ga akan......(hik)......kembali ke (hik) dunia ini......"

Barangkali dia baru sadar kalau dia sedang memelukku karena tiba-tiba Asahina-san mendorongku menjauh dengan lengannya seketika.

"Engga, kamu ga boleh. Kalo Suzumiya-san ngeliat ini, nanti bakalan kejadian lagi!"

"Aku ga ngerti kamu ngomong apa."

Melihat Asahina-san berlinang airmata, yang menawan, aku jadi amat ingin terlahir kembali. Menurutku, tiada seorang lelaki pun di dunia ini yang takkan tumbang pada mata yang begitu polos itu.

"Kenapa kamu ga pake kostum maidmu hari ini?"

"Lagi dicuci."

Saat ini, aku tiba-tiba kepikiran sesuatu, dan menunjuk ke arah jantungku.

"Oh iya, Asahina-san, kamu punya tanda lahir berbentuk bintang di dadamu."

Menyeka tangis dari matanya, Asahina-san terlihat sama terkejutnya dengan burung merpati kena peluru nyasar. Lalu dia perlahan berbalik dan menarik kerahnya kesamping untuk melihat ke dalam bajunya, yang kemudian wajahnya tersipu merah amat cepat.

"K...kok kamu tau!? Saya aja ga tau! Kapan kamu taunya?"

Asahina-san mengayunkan tinjunya dan memukulku tanpa henti sambil merona hebat.

Diri masa depanmu sendiri yang kasih tau kok. Apa gue kasih tau Asahina-san yang sebenarnya aja ya?

"Kalian berdua ngapain?"

Haruhi berdiri dekat pintu dengan wajah takjub, sementara kepalan Asahina berhenti di tengah udara dengan wajahnya jadi langsung memucat. Haruhi memberi senyuman jahat, seperti ibu tiri jahat yang tahu kalau anak tirinya telah memakan apel beracun dan mau mati, dan mengangkat kantong kertas yang dia bawa.

"Mikuru-chan! Kamu udah bosan dengan kostum maid, kan? Sini! Waktunya ganti baju!"

Haruhi bergerak setangkas suhu ilmu beladiri dan menangkap Asahina-san, yang masih membatu di tempat.

"Ja...jangaaaaaan~~!"

Asahina-san berteriak tanpa henti saat Haruhi dengan paksa melucuti seragamnya.

"Jangan bergerak! Percuma ngelawan. Kali ini kostum perawat! Kayaknya sekarang mereka dipanggil pegawai rumah sakit atau semacemnya, tapi semuanya sama aja!"

"Pa...paling engga kunci pintunya!"

Aku ingin tetap tinggal dan menikmati pemandangan, tapi akhirnya memutuskan untuk keluar, menutup pintunya.

Walau aku kasihan dengan Asahina-san, aku benar-benar menanti apa yang akan kulihat saat pintunya terbuka kembali.

Oh iya, dan Nagato juga masih ada disana, duduk di pojok seperti biasa, dengan tenang membaca bukunya.



Kali ini, akhirnya kuserahkan formulir pendaftaran Brigade SOS ke OSIS. Jika aku tak menyogok OSIS, tidaklah mungkin mereka mengijinkan klub seperti "Brigade Selamatkan Dunia dengan Operasi Sukaria Suzumiya Haruhi" untuk eksis.

Makanya kuganti namanya sedikit jadi "Asosiasi Sokong OSIS dalam Merubah Dunia Sejagat" (disingkat Brigade SOS), dan aku mengubah ringkasan kegiatan klub menjadi "menyediakan segala jasa konsultasi untuk segala masalah yang dialami masyarakat di sekolah, dan secara aktif turut berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong masyarakat".

Aku tak tahu apa arti tepatnya, tapi kuduga akan OK selama masih masuk akal tatabahasanya. Setelah itu aku tinggal membuat beberapa poster tentang konsultasi menyebalkan itu dan menempelkannya di papan pengumuman. Aku punya dugaan kalau sebagian besar orang yang datang mencari kami untuk konsultasi kemungkinan takkan untuk "sesuatu yang menarik".



Di lain pihak, "Pencarian Kejadian Misterius" Haruhi di kota tetap berlangsung di bawah perintahnya untuk diingat kedua kalinya hari ini. Menurut contoh sebelumnya, kegiatan hari ini seharusnya meliputi membuang-buang seluruh akhir pekan dengan berkeliaran tanpa arah, tapi hari ini Asahina-san, Nagato, dan bahkan Koizumi semua bilang kalau mereka tak bisa datang karena ada urusan penting, jadi akhirnya kutunggu Haruhi sendirian di pintu putar tiket stasiun.

Aku tak tahu apa yang mereka bertiga rencanakan, atau apakah mereka benar-benar ada urusan penting. Tapi karena mereka bukan manusia normal pada awalnya, tidaklah mengejutkan kalau mereka harus menangani beberapa masalah penting di suatu tempat yang tak pernah kudengar sebelumnya.

Kulihat jamku. Masih ada tigapuluh menit sebelum waktu janjian. Aku telah berdiri di sini selama tigapuluh menit; dengan lain kata, aku datang satu jam lebih cepat. Kulakukan ini bukan karena aku amat menantikan kegiatan hari ini, tapi karena Brigade SOS punya peraturan tak tertulis barangsiapa yang terakhir datang, apakah telat atau tidak, harus bayar denda. Lagipula, hanya ada dua orang yang terlibat dalam kegiatan hari ini.

Aku mendongak dan melihat sosok tak asing, berpakaian kasual. Dia mungkin tak pernah menyangka kalau aku akan datang begitu awal, dan berdiri kaku di tempat. Kemudian dia berjalan kesal ke arahku. Aku tak tahu apakah berungutnya berhubungan dengan rendahnya tingkat kehadiran hari ini, atau fakta bahwa aku datang lebih awal darinya. Tinggal kutanyakan saja padanya saat kami sampai ke kafe. Tentu saja, Haruhi yang bayar.

Saat itu, aku punya banyak hal yang ingin kubicarakan padanya, seperti kemana arah Brigade SOS dari sekarang, kostum-kostum Asahina-san, berusaha membuatnya mengobrol dengan teman sekelas lain sesekali, dan menanyakan apa yang dipikirnya soal psikoanalisis Sigmund Freud.

Tapi, gue butuh topik bagus sebelum gue bisa mulai ngobrol dengannya.

Ah, udah gue putusin mau bilang apa. Benar, udah gue putusin......

......Untuk ngomongin soal alien, penjelajah waktu, dan esper dulu, tentu aja.



Catatan Penulis



Sering kali, saya bertanya-tanya apakah jumlah total kata-kata seseorang bisa tulis telah ditentukan semenjak lahir. Bila semua orang punya sejumlah tertentu kata untuk menulis di sepanjang hidup mereka, maka isi tulisan mereka akan berkurang saat mereka bertambah tua. Setelah kupikir itu, saya kehilangan rasa ingin menulis, dan berkonsentrasi dalam hitung-menghitung. Contohnya, saya menargetkan menulis naskah konsep sekitar 300 halaman dengan 400 kata di setiap halaman, tapi jawaban terbaiknya adalah bahwa tampaknya tidak mungkin dapat diraih. Kalaupun saya menulis cerita 120.000 kata sehari, dan rata-rata saya mengetik satu kata per detik, maka saya membutuhkan setidaknya 33 jam untuk menyelesaikan; itu pastinya, mustahil bagiku. Barangkali ada orang yang bisa? Tapi saya tak dapat membuktikan orang tersebut ada.

Karena saya tak tahu lagi mau bilang apa, kita ganti topiknya! Benar lho, kucing itu binatang yang mengagumkan; mereka menawan, pemalas, dan mereka mengeong. Walau bisa jadi sakit kepala memikirkan apa yang mereka mau lakukan, saya tak berniat membela tindakan mereka. Asalkan orang-orang berpikir bahwa kucing itu menawan, oke saja buatku.

Mari kita bicara soal hal lain lagi. Tak pernah kupikir saya akan memenangkan penghargaan dengan buku ini. Saya terkejut sekali, sebenarnya. Ketika saya menerima telepon memberitahu saya hasilnya, pertama-tama saya berpikir apa saya dengar dengan benar. Lalu saya berpikir apa saya sudah gila, terus saya bertanya-tanya apakah teleponnya bekerja dengan benar, meragukan kenyataan, dan berpikir apakah dunia sudah berhenti berputar.

Akhirnya, ketika kupikir "kayaknya ini beneran deh", kudapati diriku menggenggam kaki-kaki kucingku dan berputar kegirangan. Bahkan saya dicakar beberapa kali. Saat kulihat luka cakar di tanganku, kupikir, "Kalau beberapa orang ditakdirin buat punya keberuntungan, kalau gitu gue mungkin udah make semua keberuntungan gue sekarang." Omong-omong, saya begitu syok secara mental sampai-sampai sebagian ingatanku kini hilang, jadi saya tak bisa ingat rinciannhya, tapi seharusnya sesuatu seperti itu.

Saya yakin para penerbit dan penyunting yang bekerja berjam-jam supaya buku ini diterbitkan barangkali punya waktu yang lebih sulit dari saya sebagai penulis. Sekarang ini saya tak bisa berpikir kata apapun untuk mengekspresikan rasa terimakasihku pada mereka. Saya tak tahu bagaimana mengekspresikan rasa syukurku, terutama pada juri. Sekarang ini saya masih berusaha menemukan kata baru untuk menggambarkan rasa terimakasihku, tapi saya yakin itu bakalan jadi kata yang baru dibuat yang tak seorangpun akan mengerti. Apapun itu, aku berterimakasih pada semuanya dari lubuk hatiku yang terdalam.

Sekarang ini saya berdiri di garis start yang teramat baru. Mungkin saya akan terpeleset dan jatuh akan suara tembakan. Saya bahkan tak tahu kemana jalurnya akan membawaku, kalaupun memang punya akhir, atau apakah saya akan istirahat dan minum air di sepanjang jalan, tapi saya memang berharap menyelesaikan perjalanan panjang nan berat ini. Kini bukan saatnya bicara soal ini dengan santai-santai!

Terakhir, saya ingin mengucapkan terimakasih pada semua orang yang terlibat dalam penyuntingan dan penerbitan buku ini, dan setiap pembaca yang membaca buku ini mendapat rasa terimakasihku yang tak habis-habisnya. Itu saja untuk sekarang!


Tanigawa Nagaru



Catatan Penyunting



Judul ini, "Kemurungan Suzumiya Haruhi" telah dianugrahi Hadiah Taisho pada Penghargaan Tahunan Sneaker yang ke-8. Penghargaan ini dibuat untuk mendorong para penulis pemula, dan semenjak pendiriannya telah melayani meluncurkan karir banyak penulis.

Sampai kini hanya dua orang yang telah mendapatkan Hadiah Taisho yang mana paling bergengsi. Yaitu termasuk Yoshida Sunao di penghargaan ke-2 (1996, "Genocide Angel") dan Yasui Kentarou di penghargaan ke-3 (1997, "Ragnarok"). Yang diketahui kebanyakan orang, kedua orang ini kini adalah penulis beberapa seri yang paling populer (Yoshida: Trinity Blood series, Yasui: Ragnarok series), dan saat ini masih aktif.

Dengan lain kata, seseorang perlu sekaliber kedua penulis ini, atau bahkan lebih baik dari mereka, supaya dianugrahi Hadiah Taisho. Karena itulah proses seleksinya amat ketat. Sekarang ini penulis istimewa lainnya telah muncul semenjak Yasui Kentarou untuk memenangkan penghargaan bergengsi ini, penghargaan pertamanya hanya di tahun kelimanya sebagai penulis: "Kemurungan Suzumiya Haruhi" oleh Tanigawa Nagaru.

Setiap tahun di Komite Seleksi Final Taisho Sneaker, banyak juri komite dengan berapi-api telah mengekspresikan pendapat mereka pada setiap karya. Setiap juri melalui proses seleksi dengan tujuan "mencari bakat untuk dinikmati dunia", tapi mereka takkan memberikan Hadiah Taisho kepada penulis siapapun yang tak memenuhi syarat-syarat ketat untuk kehormatan tersebut.

Biarkan kami menggambarkan proses seleksinya disini. Pertama, para juri mendiskusikan kelebihan dan kekurangan judul yang dipilih. Berdasarkan kelebihan dan kekurangan ini, setiap juri menentukan dimana letak daya tarik judul tersebut untuk memutuskan apakah judul tersebut harus dianugrahi hadiahnya. Pada saat persentasi, para penyunting berusaha menetralkan kekurangan untuk terus menegaskan kelebihannya agar menunjukkan hubungan antara judul dan penulisnya.

Komite Seleksi Final sepakat-bulat dalam menganugrahi judul "Kemurungan Suzumiya Haruhi". Menggunakan Suzumiya Haruhi, seorang karakter dinamis yang tak lazim, sebagai poros utama cerita, dan diceritakan dengan narasi orang pertama, pembaca dapat menyelesaikan ceritanya dari awal sampai akhir sekaligus. Gaya penulisan, bersama luasnya pemunculan karakter-karakter menarik, semuanya menuntun para juri untuk setuju secara kolektif bahwa judul ini harus dianugrahi Hadiah Taisho.

Ini adalah drama SMA tentang kejenakaan akan keeksentrikan cantik Suzumiya Haruhi, namun ceritanya sukses memasukan alur tersembunyi yang bahkan karakter judul Suzumiya Haruhi sendiripun tidak mengetahuinya. Soal apa rahasianya, kami serahkan pada para pembaca untuk menemukannya, tapi karena pembaca terekspos ke perkembangan yang luar biasa, mereka akan telah memanjakan diri mereka sendiri dalam dunia menarik Haruhi. Inilah aspek yang paling menarik dan menakjubkan dari judul ini. Silahkan nikmati realitas campur-aduk karya ini dan rasa mengagumkan apa yang seharusnya abnormal sebenarnya normal di buku ini.

Dia lain pihak, setiap karakter mempunyai karakteristik unik yang jelas menonjol. Si egois, mementingkan diri sendiri, dan eksentrik protagonis Suzumiya Haruhi mempunyai sikap pantang-menyerahnya dalam pencarian sesuatu yang dia yakini menarik. Dia gadis yang amat positif atau gadis yang amat menjengkelkan. Diobok-obok dalam lingkaran oleh Haruhi adalah si narator Kyon, yang nama aslinya masih belum tersingkap. Dia selalu terseret dalam segala macam masalah oleh Haruhi, namun luarbiasanya dia masih bisa rukun dengannya.

Terus ada Asahina Mikuru, yang selalu dipaksa bercosplay dengan segala macam kostum. Dia bisa saja bilang tidak setiap waktu, tapi barangkali dia diam-diam menikmati bercosplay. Waktu penulisan cerita seri, penulis bereksprimen dengan segala macam kostum padanya.

Pada saat menerbitkan, penulis telah memulai seri cerita pendek di majalah Sneaker. Cerita-cerita yang berlangsung setelah kejadian di buku ini. Si egois Haruhi, si bercosplay Asahina, dan si selalu sarkastis Kyon masih amat aktif saat ini.

Bila anda menyukai "Kemurungan Suzumiya Haruhi" setelah membacanya, maka mohon rekomendasikan pada teman dan keluarga anda, dan mohon nantikan cerita seri penulis dalam majalah Sneaker. Harapan terbesar penulis dan para penyunting adalah membuat lebih banyak orang tahu akan cerita mengagumkan ini.



Departemen Penyuntingan Buku Sneaker



Kembali ke Halaman Utama