Shinigami ni Sodaterareta Shoujo wa Shikkoku no Ken wo Mune ni Idaku (Indonesia) Jilid 2 Bab 3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3: Orang Yang Menyebarkan Kematian[edit]

I[edit]

“Itu hanyalah satu benteng yang sudah rusak parah, butuh berapa lama sampai kalian merebutnya!?”

Jenderal Besar Pasukan Kerajaan Swaran, Liberal Ertoria, melampiaskan kemarahannya pada para perwira didepannya.

Sudah seminggu berlalu sejak mereka melancarkan serangan pada Benteng Peshita yang dijaga oleh Pasukan Keenam. Mereka menduga bisa merebut benteng itu dengan mudah dalam tiga hari, tapi nyatanya, gerbang Benteng Peshita tetap tertutup rapat. Mereka mencoba menyerang dengan tangga-tangga penyerbuan, tapi gagal menembus.

Liberal meremas kertas ditangannya dan melemparkannya ke tanah.

(Dasar Graden si musang tua! Dia mau mencopotku dari komandoku kalau aku gak merebut benteng itu sampai batas waktu yang ditentukan? Dia betul-betul mengirim surat ini padaku!? Dia maunya apa sih!? Meskipun Kerajaan Swaran merupakan negara bawahan Kekaisaran, bukan berarti dia bisa melakukan apapun seenak jidatnya!)

–Satu tahun lalu

Saat Benteng Kiel milik Kerajaan Farnesse jatuh, Kekaisaran mengarahkan cakarnya pada Kerajaan Swaran. Raja muda mereka, Hyde Fon Swaran adalah seorang berdarah panas, dan merobek surat yang dikirim oleh seorang utusan dari Kekaisaran.

Untuk meringkas surat panjang itu, mereka pada dasarnya ingin Kerajaan Swaran untuk tunduk pada Kekaisaran Arsbelt. Surat itu ditulis penuh arogansi.

Hyde yang murka mengeksekusi utusan tersebut. Dia mengabaikan nasehat dari para bawahannya, dan memimpin pasukan untuk melawan Pasukan Kekaisaran. Kedua pasukan bertempur di perbatasan utara Swaran, di bukit Lunwhal.

Para sejarawan menyebut ini《Perang Swaran》, pasukan Swaran kalah dari Ksatria Baja yang dipimpin oleh George. Hyde yang ditangkap, dieksekusi tiga hari setelahnya, bersama dengan para bawahannya.

Setelah itu, Kekaisaran tidak menaklukkan Swaran secara langsung, dan mendorong Allen Fon Swaran untuk naik tahta. Dari luar, Kerajaan Swaran tetap ada, tapi Allan tak memiliki kekuasaan. Pada akhirnya, Graden yang memegang kendali penuh seraya bertindak sebagai Menteri Utama Kerajaan Swaran, dan memerintah Kerajaan dari Benteng Kiel.

Saat Liberal terus marah-marah. Salah satu perwira berkata takut-takut:

“Jenderal, musuh sudah jelas kelelahan. Menurutku, situasinya akan segera berpihak pada kita.”

“Segera, segera teruuuuussss, semuanya terus bilang begitu… Aku ingat mendengarnya tiga hari lalu. Yang dibilang “segera” itu berapa lama lagi?”

Pada saat ini, semua perwira Swaran, termasuk Liberal, nggak menyadari satu fakta.

Pasukan Keenam sebenarnya sudah mencapai batas mereka akibat serangan tanpa henti dari Pasukan Swaran–

Benteng Peshita, Kamar Sara

“Putri Sara, waktunya makan.”

Sara perlahan bangun dari kasurnya, dan menatap piring yang ditaruh Roland di meja. Dimeja itu ada setengah potong roti yang menghitam, dan sup yang hampir gak ada bedanya dengan air. Biasanya, ini bukanlah sesuatu yang seharusnya disajikan pada Sara, yang merupakan seorang Putri.

“Terimakasih, tapi aku nggak lapar.”

Sara menurunkan pandangannya, dan menggeleng pada Roland yang kuatir.

“Maafkan saya, tapi anda juga bilang begitu enam jam yang lalu. Jika anda tidak makan, itu akan mempengaruhi kesehatan anda.”

Roland nggak menunjukkan niat untuk pergi, dan bersikeras kalau Sara harus makan. Setelah keheningan sejenak, Sara menatap Roland dengan tegas:

“Kalau begitu aku akan mengatakannya dengan jelas. Aku tetaplah seorang putri, dan makanan seperti ini tidaklah layak untukku. Sudah jelas makanan ini basi, kalau kau mengerti, maka bawa pergi!”

Ucap Sara seraya dia melemparkan bantalnya. Bantal itu mengenai Roland, dan bulu-bulu didalamnya berhamburan. Sara merajuk dan berpaling.

“….Baginda Putri, percuma saja berpura-pura. Meskipun orang lain tidak memahaminya, Roland ini tetap akan paham.”

“A-Apa maksudmu….”

Sara tergagap, dan Roland tersenyum agak sedih.

“Anda memang sangat baik. Anda berpikir bahwa jika anda tidak makan, anda bisa memberikan bagian anda pada prajurit lain, kan?”

“Fufufu, itu cuma anggapanmu saja. Bukankah aku sudah bilang? Ini gak layak untuk seorang Putri seperti aku.”

Roland mengabaikan bantahan palsu dari Sara, dan melanjutkan dengan wajah serius:

“Dan anda berencana mengakhiri ini dengan kematian anda.”

“—!?”

“….Saya sudah melayani anda lebih dari 10 tahun, Putri Sara, jadi aku bisa memahaminya. Anda mungkin berpikir bahwa anda bisa menukarkan nyawa anda pada musuh untuk mengampuni pasukan. Tapi musuh mungkin tak menerima tawaran ini.”

“Tapi aku seorang Putri–”

“Jadi anda benar-benar berencana melakukan itu….”

Saat dia mendengar Roland berkata begitu seraya menghela nafas, Sara menyadari kesalahannya. Sekarang semuanya sudah ketahuan, Roland nggak akan membiarkan masalah ini begitu saja. Dengan pemikiran itu dalam benaknya, Sara berkata:

“….Tak ada cara lain lagi. Kalau ada peluang yang bisa memberi kesempatan semua orang tetap hidup jika aku menawarkan kepalaku, maka itu layak dicoba… Itu seperti kita sudah kalah dalam pertaruhan kita…”

“Apa yang anda bicarakan itu tentang bala bantuan?”

Sara mengangguk dalam diam. Sudah seminggu sejak utusan itu pergi meninggalkan Benteng Peshita, dan gak ada tanda-tanda dari Pasukan Ketujuh. Sara sudah menyerah atas harapan mereka akan muncul.

“Belum…. Itu masih belum berakhir.”

Suara Roland agak bergetar saat dia bilang begitu. Sara langsung berdiri dari kasurnya dan merenggangkan punggungnya.

“Batas waktunya sudah habis. Tak apa-apa sekarang, tolong siapkan zirahku. Kalau aku kehilangan kepalaku seraya berpakaian seperti ini, itu akan mempermalukan klan Livia dan keluarga Kerajaan.”

Sara menarik keliman piyamanya sambil tersenyum agak kaku.

Pasukan Swaran, Unit Cadangan

Seorang prajurit muda berwajah pucat menerobos masuk tenda saat Letda Macier sedang sarapan.

“Kenapa pagi-pagi begini sudah bikin keributan? Apa kita akhirnya merebut Benteng Peshita?”

“T-Tidak! Pasukan musuh menyerang kita dari belakang, dan hampir mengepung kita!”

Saat dia mendengar itu, Macier meludahkan roti yang dia kunyah.

“Musuh!? Kerajaan Farnesse!?”

“I-Iya! Mereka membawa bendera bergambar singa!”

Macier memang komandan dari unit cadangan ini, tapi dia cuma punya 500 prajurit dibawah komandonya. Hal ini menyiratkan fakta bahwa unit cadangan hanyalah formalitas saja. Dengan kata lain, setelah para petinggi menafsir situasi dari Pasukan Kerajaan Farnesse, mereka menyimpulkan bahwa tak akan ada bala bantuan untuk membantu Benteng Peshita.

Macier berpikir dia akan menghabiskan beberapa saat jauh dari peperangan, tapi ternyata ceritanya lain.

“Jumlahnya!?”

“Huh?”

Saat dia melihat prajurit itu kebingungan, Macier berteriak marah:

“Apa-apaan itu? Aku bertanya berapa jumlah musuh!”

“Se-Sekitar tiga ribu!”

Prajurit itu tergagap.

“Tiga ribu…”

Macier menelan ludah sama seperti prajurit tadi. Sebuah perhitungan sederhana memberitahu dia kalau musuh mengungguli unitnya 6:1. Gak ada peluang menang. Pikiran Macier segera mengarah pada pilihan mundur.

“Letda Macier, apq yang harus kita lakukan?”

“Gak ada yang bisa kita perbuat. Bersiap mundur secepatnya.”

Normalnya, dia harus mengirim laporan mendesak pada pasukan utama untuk memberitahu mereka tentang serangan musuh, tapi gak ada waktu untuk itu.

“A-Apa kita mundur ke Swaran?”

“Apa kau bodoh? Sudah jelas kita akan berkumpul dengan pasukan utama! Gak usah banyak bacot, segera bersiap!”

“S-Siap ndan!”

Macier menghela nafas berat saat dia melihat prajurit muda itu keluar dari tenda. Setelah mengalami kekalahan besar setahun lalu, unit cadangan Swaran terdiri dari para rekrutan tak berpengalaman, yang baru turun ke lapangan belum lama ini.

Macier memegang gagang pedangnya seraya tersenyum mengejek diri.

Macier yang meninggalkan tenda lebih lambat dari yang lainnya, terkejut dengan apa yang dia saksikan. Lalu, dia menyadari seberapa cerobohnya dia dalam hal pertahanan. Unitnya telah dikepung, dan musuh sudah dalam keadaan busur dan panah yang siap ditembakkan. Semua anak buahnya mengangkat tangan dan menyerah.

“–Mayat-mayat ini?”

Macier menatap mayat-mayat yang tergeletak didepannya dan menanyai seorang prajurit berwajah pucat. Semua mayat itu terpotong tengah, dan tampak sangat nggak masuk akal.

“D-Dia yang melakukan semua ini sendirian!”

Seorang prajurit mengarahkan jarinya yang gementar pada seorang cewek yang sangat cantik. Ditangan cewek itu ada pedang hitam berlumuran darah, dan dia sepertinya seorang prajurit dari Kerajaan Farnesse.

(Gadis muda ini memotong seseorang menjadi dua? Dari reaksi musuh, dia sepertinya komandan mereka… Lelucon macam apa ini?)

Macier sama sekali gak bisa menghubungkan mayat-mayat yang terbelah menjadi dua dengan cewek itu, saat cewek itu mendekati dirinya seraya tersenyum cerah.

(–Hmm….? Perasaan aneh apa ini?)

Macier yang berasal dari keluarga kelas menengah merasakan sesuatu yang aneh dari cewek itu. Saat cewek itu mendekati dirinya, perasaan itu semakin kuat. Ketika cewek itu berhenti didepannya, butuh segala kemampuan yang dia miliki hanya untuk menekan rasa takut yang bergejolak dalam dirinya.

“Apa kau komandan unit ini?”

“….Y-Ya.”

“Boleh aku tau namamu?”

“……Macier.”

–Rasanya seperti aku ditelan oleh Kegelapan.

“Namaku Olivia, senang berjumpa denganmu. Betewe, maukah kau mendengarkan permintaanku?”

“Ini gak terlihat aku punya pilihan lain.”

–Ya, itu benar.

“Baiklah kalau begitu, aku mau kau membawaku ke pasukan utama Tentara Swaran. Kalau memungkinkan, langsung menghadap panglima pasukan.”

“Aku paham. Aku akan membawamu kesana. Sebagai gantinya, kuharap kau bisa mengampuni anak buahku. Mereka hanyalah para petani yang kena wajib militer belum lama ini.”

–Jangan pernah menantang cewek ini.

“Dimengerti. Kalau mereka nggak melawan, aku nggak akan membunuh mereka, jadi nggak usah kuatir. Betewe, para prajurit dari Pasukan Swaran berbeda dengan Pasukan Kekaisaran, kau sangat jujur. Ini sangat membantu bahwa semua berjalan begitu mulus. Kalau begitu, untuk menyembunyikan identitasku sebagai seorang prajurit dari Pasukan Kerajaan, aku harus memyamar. Ini sama seperti ‘Sharia si Ksatria Bertopeng’, sungguh mendebarkan!”

Dengan itu, cewek itu perlahan membelai zirah dari seorang prajurit yang sudah hampir menangis.

Jangan pernah menantang cewek ini–

[edit]

Benteng Peshita, Pasukan Utama Tentara Swaran

“Jenderal, komandan dari unit cadangan, Letda Macier ingin menghadap.”

Sang Ahli Strategi, Brigjen Rheinbach berbisik pada telinga Liberal yang sedang mengawasi pertempuran.

“Apa? Dia nggak mengirim utusan, dan datang sendiri? Apa yang dia pikirkan, meninggalkan posnya seperti ini?”

“Dia bilang bahwa ini menyangkut kelangsungan Kerajaan Swaran, dan dia tak bisa mempercayakannya pada seorang utusan.”

“Kelangsungan Kerajaan Swaran? Suruh dia masuk sekarang.”

“Dimengerti.”

Lalu Macier muncul didepan kelompok perwira itu bersama seorang prajurit. Liberal berjalan kearah kedua prajurit yang berlutut satu kaki itu. Kebijakan Kerajaan Swaran memang ditetapkan oleh Kekaisaran, tapi mereka masih mempertahankan struktur komando mereka sebagai sebuah negara.

Akan tetapi, struktur Komando ini begitu rapuh yang mana bisa hancur karena kehendak Graden, jadi Liberal nggak bisa begitu saja menyuruh Macier pergi.

“Cepat, masalah apa yang bisa mempengaruhi kelangsungan Kerajaan Swaran?”

“…………”

“Kenapa kau diam saja? Cepat katakan!”

“…….Jenderal, saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya.”

Macier menundukkan kepalanya meminta maaf.

“Minta maaf…. Apa yang kau katakan?”

Macier nggak menjawab Liberal, dan berkata pada prajurit yang ada disebelahnya.

“Ini harusnya gak masalah sekarang. Aku sudah mengerjakan tugasku.”

“Ya, makasih banyak. Sekarang waktunya bagi Sharia Ksatria Bertopeng untuk bersinar.”

Cewek itu nggak memakai topeng sih. Prajurit itu berkata begitu seraya dia berdiri tanpa ijin, dan melepas helmnya. Rambut peraknya terurai, dan Liberal tertegun atas kecantikannya.

Para perwira disekitar dia terkesiap kagum.

“Sharia Ksatria Bertopeng? Hentikan omong kosong ini! Leporkan masalah yang mengancam kelangsungan Swaran!”

Liberal tersentak dari kondisi tertegunnya, mengabaikan prajurit wanita yang mencurigakan itu dan berteriak pada Macier. Namun, Macier terus menunduk dan tetap diam. Prajurit wanita itu melompat ke samping Liberal, dan tiba-tiba meletakkan pedang pada leher Liberal.

Gak seorangpun yang paham apa yang terjadi–bahkan Liberal yang ditodong dengan pedang pun gak memahaminya.

“K-Kenapa kau! Apa kau sudah gila!”

Rheinbach lah yang pertama bereaksi, dan mengarahkan pedangnya pada prajurit wanita itu. Para perwira lain mengikutinya. Meskipun cewek itu dikelilingi oleh para elit dari Kerajaan Swaran, prajurit wanita itu gak terpengaruh dan berkata:

“Kelangsungan Kerajaan Swaran? Aku nggak tau apa-apa soal itu. Aku cuma meminta bantuan Tuan Macier untuk merebut markasmu dengan cepat.”

Apa yang dikatakan prajurit wanita itu menyebabkan kegemparan.

“Bajingan, maka itu pengkhianatan kalau begitu!?”

Rheinbach berteriak marah, dan prajurit wanita itu membelalakkan matanya terkejut saat dia mendengar hal itu.

“Ehh? Aku nggak melakukan pemberontakan. Sejak awal aku bukan prajurit Swaran. Aku Mayor dari Kerajaan Farnesse, Olivia Valedstorm. Selain itu, aku juga dikenal sebagai Sharia Ksatria Bertopeng!”

Olivia tetap mempertahankan sikapnya yang riang meski dia dalam situasi genting. Liberal gak bisa bergerak bebas, dan menoleh pada Macier.

“Aku nggak tau kenapa kau tunduk pada cewek sinting ini, tapi aku gak peduli lagi… Memang disayangkan, tapi aku tetaplah seorang prajurit, dan gak akan menyerah untuk menyelamatkan diriku sendiri. Jangan pikir kau bisa menggunakan aku sebagai perisai.”

Tapi Macier nggak menjawab, dan Olivia berkata menggantikan dia:

“Begitu kah? Itu juga nggak masalah, itu agak merepotkan buatku. Tapi yang lainnya nggak berpikiran begitu sih.”

“Apa kau bilang?”

Liberal menyadari bahwa para perwira menunjukkan wajah rumit.

“Kenapa kalian cuma diam saja? Jangan pikirkan soal aku, habisi para pembelot ini!”

“….Maaf, tapi kami tidak bisa. Jika Swaran kehilangan dirimu, maka masa depan kami akan suram. Raja Allen yang masih muda membutuhkanmu, Jenderal.”

Rheinbach menjatuhkan pedangnya, dan para perwira lainnya juga mengikutinya.

“Kalian….”

“Kau menang, kami tidak akan melawan. Tolong ampuni nyawa Jenderal.”

Rheinbach berkata seraya menundukkan kepalanya. Olivia mengangguk senang akan hal itu.

“Bagus sekali bahwa orang-orang dari Swaran begitu patuh. Aku akan melepaskan dia kalau kalian semua sudah mundur. Tapi kalau kalian melakukan sesuatu yang licik–”

Olivia mengeluarkan sebuah belati dari pinggangnya dan melemparkannya ke belakang bahkan tanpa menoleh. Lalu seorang prajurit memegang busur jatuh dari pohon. Sebuah belati dengan lambang singa menancapkan tepat diantara alisnya. Semua orang merasa merinding pada pemandangan itu.

“Kalian akan berakhir seperti manusia ini, dan nggak bisa makan makanan lezat lagi.”

Olivia yang telah mengendalikan tempat itu menampilkan senyum mempesona.

“Yang Mulia Sara, harap pertimbangkan kembali!”

Suara Roland terdengar dari belakangnya Sara yang sedang menaiki tangga.

“Tidak, kalau kita menundanya lebih lama lagi, mereka nggak akan menerima penyerahan kita. Nggak masalah nggak menyerah kalau kita masih bisa melawan.”

Tapi tepat setelah dia berkata begitu, Sara terkejut oleh apa yang dia lihat diatas tembok benteng.

“Apaan ini?”

Saat Sara bergumam begitu, seorang prajurit berlari mendekat seraya nafasnya acak-acakan.

“Letjen Sara, musuh mundur.”

“Aku bisa melihatnya… Apa musuh menerima serangan balik yang berat?”

“T-Tidak. Kami tidak melakukan apa-apa…..”

Sara mengabaikan si prajurit yang kebingungan, dan menatap ke luar benteng lagi. Pasukan Swaran yang menyerang tanpa henti, kini mundur perlahan-lahan.

(Sungguh membingungkan.)

Awalnya Sara kebingungan, tapi saat Pasukan Swaran mundur semakin jauh, alasannya perlahan menjadi jelas. Sebuah unit membawa bendera bergambar tujuh bintang dan seekor singa memasuki pandangan.

“Yang Mulia Sara, itu, itu bendera Pasukan Ketujuh.”

Roland meneteskan air mata pada pemandangan ini, suaranya bergetar.

“….Ya, sepertinya begitu.”

Sorakan para prajurit mengguncang udara.

Lalu air mata mengalir di pipi Sara.

Karena suatu alasan, orang yang disambut Sara secara pribadi adalah seorang cewek yang berpakaian seperti seorang prajurit dari Pasukan Swaran. Dan cewek itu lebih cantik dari wanita manapun yang pernah dia temui di istana.

Saat cewek itu menyadari tatapan Sara, dia mendekat.

“Apa kau Letjen Sara dari Pasukan Keenam?”

“Ya, aku Sara.”

Cewek itu memberi hormat pada Sara.

“Aku komandan Resimen Kavaleri Otonom dari Pasukan Ketujuh, Mayor Olivia Valedstorm!”

Lalu cewek itu tersenyum cerah.

“Mayor Olivia–? Aku paham, kau yang digosipkan itu….”

Sara sudah mendengar tentang Olivia. Prestasinya sudah menyebar di istana. Sara ingin bertemu Olivia, tapi nggak pernah menyangka dia akan bertemu dengannya di situasi seperti ini.

Sara mengamati Olivia dengan cermat, ketika Olivia tiba-tiba melebarkan kakinya dan mengangkat tangan kirinya:

“–Aku juga punya identitas lain, Sharia Ksatria Bertopeng!”

Olivia terlihat sangat bangga. Sara terkejut oleh tindakan Olivia yang tiba-tiba, dan seorang perwira wanita bergegas menghentikan Olivia:

“Mayor! Tolong jangan bercanda didepan Yang Mulia Sara!”

Perwira wanita itu, Claudia Jung, membungkuk dalam-dalam pada Sara. Olivia yang diomeli malah mengangkat bahu dan menjulurkan lidahnya, hal itu membuat Sara tertawa.

Sara sangat familiar dengan Sharia Ksatria Bertopeng. Karakter utama itu adalah seorang ksatria paruh baya, dan Sara menyukai serinya saat dia masih kecil. Cerita dari seri buku bergambar itu sudah meresap kedalam darah Sara.

(Betewe, Sharia akan membuat gerakan aneh saat dia memperkenalkan diri.)

Sara teringat tindakan Olivia, dan tertawa lagi. Claudia meminta maaf lagi saat dia melihat itu.

“Nggak usah kuatir, aku juga suka cerita Sharia Ksatria Bertopeng.”

“Beneran–!? Bukan, maksudku, benarkah begitu?”

Olivia mendekat, dan Sara memegang tangan Olivia erat-erat penuh rasa terimakasih:

“Itu benar. Aku mulai berlatih ilmu pedang karena aku mengagumi Sharia.”

“Jadi begitu!”

Olivia tersenyum cerah saat dia mendengar itu.

“Ijinkan aku berterimakasih atas bantuanmu yang tepat waktu. Berkat dirimu, Pasukan Keenam telah lolos dari bahaya.”

“Aku merasa terhormat atas perkataanmu.”

“Betewe, bagiamana caramu memaksa pasukan Swaran mundur?”

Sara bertanya. Dari apa yang dia lihat, bala bantuan itu tidaklah berjumlah sangat besar sampai-sampai Pasukan Swaran kabur saat melihat mereka.

Olivia mulai menjelaskan dengan bangga–

“–Kau menyusup ke markas musuh sendirian…..”

Sara nggak tau harus ngomong apa setelah mendengar penjelasan Olivia. Menyusup ke markas musuh sendirian, menawan panglima mereka, dan memaksa mereka mundur. Ini merupakan hal mustahil bagi orang normal. Roland jelas-jelas terkejut saat dia menatap Olivia.

Sara memahani bahwa prestasi Olivia memang nggak dilebih-lebihkan.

“Dan mana komandan musuh yang kau tangkap?”

“Bawa kesini. Claudia.”

Dengan arahan Olivia, Claudia dan beberapa prajurit membawa seorang pria yang penuh kemarahan diwajahnya ke hadapan mereka.

“Kalau bukan karena cewek itu, kau yang akan ada di posisiku!”

Pria itu mencemooh.

“Ya, aku juga berpikiran begitu.”

Pria itu memang benar, Sara naik ke tembok sebelumnya adalah untuk mengibarkan bendera putih dan menyerah. Sara hanya mengatakan yang sebenarnya, tapi pria itu nggak berpikiran begitu. Wajahnya menjadi merah dan dia mulai meronta. Saat para prajurit menekan dia, Olivia berjalan mendekat dan membisikkan sesuatu pada pria itu.

“——?”

Pria itu langsung pucat. Melihat bahwa pria itu berhenti meronta, Olivia mengangguk senang, dan berkata seraya dia menepuk bahu pria itu:

“Setelah musuh sudah mundur semua, lepaskan dia. Itulah perjanjian kami. Itu saja, kami harus pergi.”

“Terimakasih banyak. Sebagai anggota keluarga kerajaan, aku harusnya memberimu hadiah yang sepadan, tapi kami sedang dalam masa sulit…”

Sara berkata seraya dia menatap kuatir pada benteng yang sudah babak belur. Tapi Olivia berkata:

“Mari bicara soal Sharia Ksatria Bertopeng saat kita punya kesempatan dilain waktu– Bukan, ayo ngobrol saat ada kesempatan.”

“….Apa itu sudah cukup?”

Mempertimbangkan prestasi Olivia, hadiah itu sangatlah sepele. Sara bertanya lagi, tapi Olivia nggak berubah pikiran. Sara kebingungan, tapi tetap berjanji.

– Beberapa hari setelah pertempuran Benteng Peshita berakhir.

Setelah mengetahui dari Heat Haze soal pertempuran Benteng Peshita, Rosenmarie gak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat dia memerintahkan Volmar untuk menyerang.

[edit]

Kota Gurun Keffin

Setelah menyelamatkan Pasukan Keenam dari mara bahaya, Resimen Kavaleri Otonom bergerak menuju ke tujuan awal mereka, dan sekarang berada didalam Kota Gurun Keffin. Tujuan mereka adalah untuk mengisi ulang persediaan makanan dan air mereka, serta mengumpulkan informasi.

“Sudah 3 hari kita di Keffin. Masih gak ada tanda-tanda Pasukan Kekaisaran.”

Claudia memotong daging di piringnya dengan hati-hati seraya dia bilang begitu sambil menghela nafas. Orang yang dia ajak bicara, Olivia, sedang memasukan daging ke mulutnya penuh semangat.

“Remoob yako~”

Jawaban Olivia gak bisa dimengerti. Claudia dalam diam menaruh alat makannya dan berkata pelan:

“Mayor, bicaralah setelah kau menelan makananmu. Sudah berapa kali aku bilang begitu?”

Terintimidasi oleh tatapan dingin dari Claudia, Olivia mengangguk dan berusaha menelan. Ashton yang makan disamping mereka cuma memperhatikan dalam diam tanpa mengganggu. Ashton sudah menyerah untuk merubah sikap Olivia.

“Betewe, meski sekarang jamnya makan malam, restoran ini betul-betul sepi.”

Rumah makan didekat pintu masuk kota,《Merida of the Desert》 merupakan sebuah restoran kelas tinggi yang terkenal sampai seluruh penjuru kota Keffin. Hidangannya utamanya ikan dan sayuran musiman, dan standar mereka bahkan setara dengan restoran-restoran di ibukota. Akan tetapi, cuma ada beberapa pelanggan selain Olivia.

Kota Gurun Keffin merupakan sebuah pusat perdagangan dengan sejarah yang panjang. Jalan yang membentang disepanjang kota dari utara sampai selatan bernama 《Stardust Street》, dan kristal-kristal dengan harga setara permata diperjualbelikan disini. Kristal ini bernama 《Star Shards》.

Selain itu, kristal-kristal berkualitas tinggi dihasilkan diantara musim semi dan musim panas, dan menarik banyak pedagang ke kota. Saat Ashton masih kecil, cincin yang dihiasi Star Shards sangat digemari oleh wanita-wanita bangsawan, dan orangtuanya sangat gembira dengan bisnis mereka yang sukses. Sekarang sudah nggak sepopuler dulu, tapi Star Shards tetaplah sebuah komoditas yang permintaannya melampaui persediaannya.

Orang-orang disini jauh lebih sedikit dari yang dia duga, hal itu mengejutkan Ashton.

“Tempat ini dekat dengan bagian utara Kerajaan, dan Pasukan Kekaisaran mungkin akan menginvasi ke selatan setiap saat. Takut akan hal itu, para pedagang mungkin sudah melarikan diri sejak lama. Ketika mempertimbangkan uang mereka dengan nyawa mereka, sudah jelas yang mana yang lebih penting.”

“Oh, aku paham.”

Claudia membersihkan keraguan Ashton setelah berkata begitu, dan memakan sepotong daging dengan anggun. Sebaliknya, Olivia yang melahap makanannya dengan sembarangan, ekor ikan mengujulur dari mulutnya.

Ashton memperhatikan tata cara makan mereka yang berkebalikan, dan teringat bagaimana warga kota tampak lega saat Resimen Kavaleri Otonom tiba.

(Aku paham. Jadi itu sebabnya kapten penjaga memberi kami sambutan hangat….)

Dia memahami kenapa Kapten Penjaga kota ini begitu bersahabat. Kapten itulah yang merekomendasikan tempat ini pada mereka bertiga, dan bahkan menanggung biaya pengeluaran Resimen Kavaleri itu selama mereka menginap disini.

Sangat jelas kalau mereka ingin Resimen Kavaleri berada disini untuk waktu yang lama. Ashton merasa ini sudah sewajarnya, karena cuma ada 200 penjaga di kota ini. Kota ini dikelilingi oleh tembok, tapi kalau Pasukan Kekaisaran menginvasi, para penjaga sudah pasti akan kewalahan.

Dan pada waktu seperti ini, Resimen Kavaleri Otonom tiba-tiba muncul. Sudah sewajarnya kota ini menaruh banyak harapan pada pasukan yang bisa mengamankan kota.

Akan tetapi, Ashton dan yang lainnya gak bisa tetap disini dalam waktu yang lama. Pengisian persediaan mereka sudah selesai, dan mata-mata mereka akan segera kembali. Jika mereka cepat, Resimen Kavaleri Otonom bisa berangkat menuju Kota Benteng Emreed besok.

Malam menjelang, dan cahaya rembulan keperakan menerangi bumi dari celah awan yang berhamburan.

“Lezat sekali.”

“Aku gak pernah menyangka kalau aku bisa makan ikan segar di gurun.”

“Memang betul sih, tapi kau makan terlalu banyak, Olivia.”

Kelompok Ashton bersiap meninggalkan restoran itu seraya mereka membahas pikiran mereka. Saat mereka berdiri, pemilik dan para pelayan tersenyum seraya berkata: “Silahkan mampir lagi.” Ini agak berlebihan, jadi Ashton tersenyum paksa dan melarikan diri ke kedai yang dipersiapan Kapten Penjaga untuk mereka.

(Betewe, penginapan kami juga sangat mewah. Ini seperti sebuah hotel untuk para pebisnis kaya….)

Ashton mau kembali ke bangunan merah empat lantai itu, dan tiba-tiba menyadari kalau Olivia gak ada.

“Hmm? Olivia kemana?”

“Ehh? Haaaah, beneran deh, lagi-lagi dia pergi tanpa pamit….”

Claudia bergumam pelan, bertanya-tanya apakah kejadian tentang memilih nama keluarga Olivia membuat dia ingin melarikan diri, seraya dia memeriksa area sekitar. Ashton juga sama-sama memeriksa, tapi mereke nggak melihat tanda-tanda Olivia. Akan butuh upaya panjang untuk menemukan dia malam-malam begini, tapi….

“–Biarin deh, dia akan kembali kalau dia lapar.”

“–Biarin deh, dia akan kembali kalau dia lapar.”

Ashton dan Claudia mengatakan hal yang sama. Mereka saling memandang dan tertawa keras.

–Disaat yang sama.

Disuatu tempat di pinggiran kota, Olivia berhadapan dengan seorang pria berpakain hitam.

“Bisa merasakan hawa kehadiran kami dari jarak sejauh ini…. Sudah kuduga, kau juga menyadari kami pada saat itu.”

Alvin yang memakai topeng bertanya. Cewek itu menghela nafas panjang saat dia mendengarnya.

“Dengan cara kalian menyelinap, mustahil buatku untuk nggak menyadarinya.”

“….Aku nggak ingat kelompok kami mendekatimu.”

Setelah melihat resimen itu di kota Canary, Alvin dengan hati-hati memperhatikan mereka dari kejauhan menggunakan teleskop. Saat itu Alvin membantah pendapat Leicester, tapi dia tetap menjaga jarak.

Meski begitu, cewek itu masih saja menyadari hawa keberadaan alvin tanpa meninggalkan restoran. Saat dia menatap mata cewek itu melalui teleskop, Alvin merasa merinding.

“Hmm~ terserahlah. Betewe, aku juga bertemu seseorang memakai pakaian hitam dan bertopeng di Benteng Gallia. Kalian para tikus got dari lubang yang sama kan?”

“Hee~ kau menyebut Heat Haze tikus got, ya. Bagaimana kalau aku bilang itu memang kami?”

Setelah berbicara dengan cewek itu, Alvin yakin bahwa Zenon telah terbunuh. Alasannya sederhana, Zenon nggak akan membiarkan siapapun yang melihat dirinya tetap hidup. Karena orang yang melihat dia sedang berdiri sini saat ini, maka gak diragukan lagi kalau Zenon sudah mati.

“Yah, aku sudah muak dengan kalian semua, jadi aku akan membinasakan kalian semua. Jumlah kalian sudah semakin banyak sekarang. Beneran deh, tikus got emang berkembangbiak sangat cepat~”

Dengan itu, cewek itu menghunus pedangnya dan mengawasi sekelilingnya– gak ada angin yang berhembus, tapi dedauan bergemerisik.

“….Lakukan!!”

Pada perintah Alvin, empat agen Heat Haze melompat kearah Olivia. Cewek itu menekuk lututnya dengan tenang untuk menanggapi setangan dari atas itu, dan melompat.

““—Apa?””

Keempat agen Heat Haze itu terkejut. Cewek yang tadinya ada ditanah, tiba-tiba berada diatas mereka, jadi wajar saja mereka terkejut.

“Diatas kepala seseorang merupakan titik buta, tapi kau jangan mengendurkan kewaspadaan cuma kerena kau ada diposisi yang lebih tinggi. Musuhmu bisa saja melompat ke posisi yang lebih tinggi. Z sering mengingatkan aku soal itu.”

Gak seorangpun bisa menjawab nasehatnya. Mayat-mayat dari agen Heat Haze yang kepala mereka terkena serangan, jatuh ke tanah. Saat salah satu agen itu jatuh, Alvin bisa mendengar suara yang mirip dengan buah yang dipukul. Saat mayat terakhir jatuh ke tanah, cewek itu mendarat. Dia mengibaskan darah yang menempel pada pedangnya ke tanah.

“….Lompatan yang menakjubkan, dan ilmu pedang yang terlalu cepat untuk diikuti mata. Kau betul-betul monster.”

“Aku bukan monster, aku Olivia. Hei, kenapa orang-orang selalu saja menyebutku monster?”

Alvin mendengus pada Olivia yang memiringkan kepalanya kebingungan. Setelah melihat pergerakan Olivia yang melampaui manusia, Alvin gak bisa menemukan cara lain untuk menggambarkan dia.

Normalnya, cewek itu sudah terpotong berkeping-keping karena serangan tadi. Sebaliknya, yang tergeletak di tanah malah mayat para agen Heat Haze, sedangkan cewek itu masih berdiri. Gak heran Zenon tewas ditangannya, pikir Alvin saat dia meraih cambuk beruas banyak di pinggangnya.

(Untuk menghentikan unit elit yang dikerahkan dihabisi, satu-satunya pilihanku adalah melarikan diri…)

Seperti yang dikatakan Leincester, tujuan utama Heat Haze adalah mengumpulkan informasi. Bertarung merupakan upaya terakhir.

–Akan tetapi.

Alvin sedikit merendahkan tubuhnya, memindahkan pusat gravitasinya ke kaki kanannya. Olivia yang berada didepannya cuma tersenyum, yakin akan kemenangannya. Olivia merendahkan pedang hitamnya yang menakutkan.

(Tapi meski aku harus lari, aku harus melenyapkan seringai diwajahnya!)

Alvin mengayunkan tangan kirinya, dan mengarahkan cambuk miliknya pada Olivia. Sesaat sebelum sabit yang ada diujung cambuk itu mengenai dia, Olivia berputar dan menghindari serangan itu.

(Sudah kuduga kau bisa menghindarinya. Itu merupakan anugerah, memahami kemampuanmu. Tapi kau seharusnya gak menghindar, kau harus memblokirnya dengan pedangmu. Sangat fatal menghindari senjata ini!)

Alvin berteriak dalam hatinya, dan dengan lembut mengayunkan pergelangan tangan kirinya ke kanan. Cambuk itu berputar dan mengarah ke punggung Olivia–

“–Hmm~ senjata yang menarik. Ini pertama kalinya aku melihatnya.”

Cambuk itu berhamburan beserta sabitnya, dan terlepas dari tangan Alvin. Telapak tangan Olivia menghantam perut Alvin sebagai serangan balasan.

“…K-Kenapa?”

“Hmm?”

“Kenapa…. kau bisa mendeteksi serangan dari belakangmu?”

Dia nggak menoleh kebelakang, jadi serangan itu seharusnya berhasil. Alvin mempertahankan kesadarannya yang memudar dan menanyai dia lagi.

Olivia mendekat ke telinga Alvin dan berbisik:

“Niat membunuh pada senjatamu sangatlah jelas. Bahkan seekor burung yang tidurpun akan menyadarinya.”

Omong kosong.

Dengan itu dalam benaknya, pandangan Alvin memudar menjadi gelap.

Penginapan Pasukan Kerajaan, Silver Moon Pavilion

(Sudah selarut ini… Mayor perginya lama sekali, kemana sih dia?)

Sudah dua jam sejak mereka kembali ke penginapan, tapi Olivia masih juga belum kembali. Claudia merasa dia harus mencari Olivia, jadi dia menutup buku ditangannya. Lalu, Claudia mendengar langkah kaki dari koridor. Suara langkah kaki itu semakin mendekat, sebelum akhirnya berhenti didepan kamar Claudia.

“Nona Claudia! Saya minta maaf, tapi Nona Olivia, Nona Olivia….!”

Setelah mengetuk pintu cepat-cepat, pelayan itu menyebutkan nama Olivia dengan panik.

Claudia bergegas berdiri dari kursinya, dan berlari untuk membuka pintu. Didepan dia adalah seorang pelayan berwajah pucat yang gemetaran.

“Apa yang terjadi pada Mayor Olivia?”

“Ahh, Saya selamat. S-Silahkan ikuti saya!”

Setelah bilang begitu, di pelayan segera pergi tanpa menunggu jawaban Claudia. Claudia mengikuti pelayan itu ke pintu masuk penginapan, bersama Ashton yang mendengar berita itu.

“Oh, Claudia sama Ashton. Aku pulang!”

Mereka melihat Olivia yang berlumuran darah melambai tenang pada mereka.

Disamping Olivia ada seorang pria yang terbaring di lantai. Dia sepertinya masih bernafas, dan belum mati.

Si pelayan yang merasa dia sudah mengerjakan tugasnya melarikan diri ke dapur.

“Mayor!? Apa yang terjadi!?”

Claudia terkejut, dan bergegas mendekati Olivia dan menepuk seluruh tubuhnya– dan menghela nafas lega. Olivia nggak terluka, dia berlumuran darahnya orang lain.

“Apa Olivia baik-baik saja?”

Ashton bertanya. Saat Claudia mengangguk, ketegangan Ashton mereda, dan dia duduk dilantai.

“Claudia, sudah nggak apa-apa, kan? Geli tau.”

Kata Olivia seraya menggeliat.

“Sekarang bukan wantunya untuk itu! Aku bertanya-tanya kemana kau pergi, dan kau kembali seraya berlumuran darah…. Terus, siapa pria bertopeng ini?”

Dia sangat panik barusan, sampai-sampai dia lupa soal itu. Pria yang tergeletak di lantai memakai topeng hitam dan mengenakan pakaian hitam, dan sudah jelas bukan warga sipil.

“Erm~ Dia seekor tikus got, dari Heat Haze atau apalah.”

“Heat Haze….? M-Maksudmu agensi pengintai Heat Haze dari Kekaisaran!?”

Heat Haze terkenal atas kemampuan pengumpulan informasi mereka yang luar biasa dan kemampuan tempur yang hebat. Claudia tau tentang mereka, dan mencurigai agen Heat Haze sedang bertindak.

“Ho~ Jadi mereka itu mata-mata. Mereka sangat parah soal bersembunyi, mangkanya aku gak menyangka kalau mereka itu mata-mata.”

Olivia tersenyum, tapi Claudia nggak tersenyum.

(Heat Haze muncul disini sudah pasti bukanlah sebuah kebetulan belaka. Mereka mungkin, tidak, mereka pasti memata-matai kami.)

Dia masih perlu bertanya soal apa sebenarnya yang terjadi, tapi agen Heat Haze didepan mereka sudah pasti ditangkap oleh Olivia. Lalu, Claudia menyuruh Ashton mengikat mata-mata itu pada sebuah tiang didalam penginapan untuk mencegah upaya melarikan diri.

“–Nah sekarang, maukah kau memberitahu kami gimana kau menangkap seorang agen Heat Haze?”

Claudia sangat marah bahwa Olivia bertindak tanpa memberitahu siapapun, tapi dia menekan kemarahannya sebisa mungkin, dan bertanya sambil tersenyum. Wajah Olivia menjadi kaku, dan dia mulai menjelaskan.

“–Jadi begitu. Aku paham sekarang. Gampangnya, Mayor, saat kita meninggalkan kota Canary, kau sudah menyadari kalau kita sedang diawasi?”

Saat senyum Claudia semakin dalam, Olivia merasakan ada sesuatu yang gak beres. Dia gak yakin kenapa, tapi Claudia tampak sangat menakutkan sekarang. Olivia paham kalau dia harus bersikap dengan tepat disaat seperti ini. Gimanapun dia itu pandai memahami sesuatu.

“Kalau memang begitu, kenapa kau nggak memberitahu kami sebelumnya?”

“Ehhhhh….. Tapi aku sudah menyebutkan tikus got….”

Olivia memprotes pelan. Senyum Claudia akhirnya mencapai batasnya, dan dia berubah menjadi iblis dimata Olivia.

Betewe, iblis yang digambarkan dalam buku bergambar memiliki rambut tergerai dan berantakan, dan mengejar orang-orang sambil memegang mandau seraya tersenyum bengis. Olivia merasa bahwa mereka betul-betul menakutkan, dan juga nostalgia. Dia sering didongengin cerita-cerita iblis saat dia masih kecil, dan bersembunyi dibalik selimut tebal pada malam hari, takut diserang oleh mereka.

“Siapa yang akan paham kalau kau menggunakan kata ambigu seperti tikus got!?”

Bahkan Olivia ketakutan setelah melihat wajah marah Claudia. Olivia meminta pertolongan dari Ashton yang sedang mengikat tahanan dengan tangan yang gak terampil. Sayangnya, Ashton memalingkan wajahnya gak berdaya.

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V2 11.jpg

Olivia diabaikan tanpa adanya bantuan.

“Claudia, tenang dan dengerin. Aku mau membunuh semua tikus got itu, tapi aku menyadari kalau kita bisa mendapatkan informasi berguna kalau aku membiarkan satu tetap hidup, jadi aku menahan dia. Bagus, kan?”

Olivia membusungkan dadanya dan menjelaskan dengan bangga. Claudia menghela nafas panjang saat dia mendengarnya. Kebahagiaanmu akan terbang layaknya burung kalau kau menghela nafas. Olivia berpikir mau mengatakan ini pada Claudia, tapi memutuskan gak melakukannya karena itu mungkin akan membuat dia semakin marah.

“–Haaaah, kita sudahi saja sampai sini. Kau benar, informasi dari Heay Haze memang berharga, tapi kurasa dia gak akan mengatakannya semudah itu.”

Claudia menatap pria yang ditangkap, dan kayaknya sudah memaafkan Olivia. Olivia mendesah lega. Dia memutuskan untuk lain kali menyebut mereka lalat bukannya tikus got, jadi Claudia akan paham apa yang dia maksudkan.

“Ugghh…”

“O-Olivia. Kayaknya dia sudah bangun.”

Ashton segera menjauh dari pria asal Heat Haze itu. Pria itu sedikit menggeleng, lalu mengangkat kepalanya.

“….Kayaknya aku dibawa hidup-hidup.”

Setelah melihat sekelilingnya, dia menyadari kalau dirinya diikat pada tiang. Lalu dia menampilkan senyum dingin.

“Kenapa kau nggak membunuhku? Bukankah itu gampang bagi monster sepertimu?”

“Aku bukan monster. Sudah kubilang berkali-kali, namaku Olivia. Katakan siapa namamu.”

Dengan itu, Olivia melepas topeng pria itu. Pria itu mengatakan namanya Joey seraya menampilkan wajah pahit.

“Tuan Joey, ya. Kamu punya–”

“Tunggu sebentar, Mayor.”

Claudia menyela. Dia berjalan mendekati pria itu, jongkok dan menatap matanya. Setelah hening sebentar….

“Dia bohong.”

Claudia mendengus.

“Ahaha, aku paham. Mata Claudia memang hebat. Mata itu betul-betul berkah langit. Aku tanya lagi, siapa namamu?”

Olivia menunjuk rahang pria itu. Dia mengatakan nama aslinya adalah Alvin.

“–Kali ini dia gak bohong.”

Alvin terkejut oleh kata-kata Claudia. Ashton malah kebingungan dengan interaksi mereka.

“Kalau begitu, Tuan Alvin, maaf, tapi kami punya beberapa pertanyaan untukmu. Kalau kau menjawab dengan jujur, aku akan melepaskanmu.”

“Mayor, itu–”

Claudia keberatan, tapi pikiran Olivia sudah bulat.

“Hahaha. Tapi cewek itu gak punya niat melepaskan aku.”

Alvin yang sudah tenang tersenyum dingin lagi.

“Nggak usah kuatir, kau bisa pegang kata-kataku. Jadi, gimana?”

Olivia sih nggak masalah memenggal Alvin kalau dia gak mau bekerjasama. Z juga akan senang mendapatkan makanan lagi. Olivia berada dalam posisi diuntungkan gak peduli gimana hasilnya.

“–Jadi, apa yang ingin kau ketahui?”

Alvin ragu-ragu sesaat, lalu bicara meski enggan. Bahkan Claudia sampai terkejut, tapi Olivia bertanya tanpa terpengaruh:

“Yang pertama, katakan pada kami kenapa kau membuntuti kami?”

“….Hmmp, gak ada pengaruhnya bagi kami kalau memberitahumu soal itu. Kami mengumpulkan informasi mengenai pergerakan Pasukan Ketujuh.”

“Apa itu ada hubungannya dengan kami yang merebut Kastil Kaspar?”

Pertanyaan Olivia membuat Alvin terkesan.

“Oh~ kau jeli juga. Itu benar, Pasukan Ketujuh yang membantai pasukan selatan telah membuat komandan yang menaklukkan wilayah utara Kerajaan menjadi geram. Kalau kau mengerti, maka berhentilah bermalas-malasan disini dan segeralah ke utara. Kau bisa mati disana…. Tapi kurasa monster sepertimu gak akan mudah mati sih.”

Lalu Alvin menampilkan senyum sinis. Bahkan Olivia merasa gak nyaman setelah melihat wajah sinisnya. Tiba-tiba, teriakan penuh amarah terdengar dari samping.

“Bangsat! Hentikan ucapanmu soal monster!”

Claudia mengayunkan tinjunya penuh amarah. Bahkan Ashton yang bersifat lembut saja kelihatan marah, sesuatu yang belum pernah Olivia lihat sebelumnya. Olivia terkejut pada reaksi mereka, dan tersenyum malu-malu.

“Claudia, Ashton, udah gakpapa. Aku nggak keberatan.”

“Tapi aku yang keberatan!”

Pukulan Claudia dihentikan oleh Olivia tepat sebelum mengenai Alvin.

“Mayor….”

Claudia kelihatan gak puas. Sebenarnya gak betul-betul perlu menghentikan Claudia, hanya saja akan merepotkan kalau dia sampai membuat Alvin pingsan.

“Oooo, monster itu nampaknya sangat populer buat kalian.”

Alvin mengejek lagi. Sebelum Claudia bisa bicara. Ashton berkata seraya menatap dingin pada Alvin:

“Olivia, kenapa nggak kita bunuh aja dia? Kita udah dapat jawabannya, jadi dia udah gak berguna buat kita.”

“Ho, Ashton, berkata begitu sama sekali gak cocok denganmu.”

Olivia menghunus pedangnya sambil tersenyum, dan mengayunkannya pada Alvin. Pedang itu memotong talinya tanpa melukai dia.

“….Jadi kau benar-benar melepaskan aku?”

Alvin perlahan berdiri, dan menggerak-gerakkan badannya untuk memeriksa keadaannya.

“Aku sudah menepati janjiku. Kesampingkan itu, bisakah kau menyampaikan pesan pada komandan yang kau sebutkan tadi?”

“…..Apa itu.”

“Bersihkan lehermu dan tunggulah dengan tenang. Kepalamu milikku. Udah itu aja.”

Olivia tersenyum samar, dan Alvin mengangguk dengan wajah bingung.

“D-Dimengerti. Aku akan menyampaikan pesan itu.”

“Aku mengandalkanmu, Tuan Alvin.”

Alvin menjauh dari pedang Olivia penuh kewaspadaan, dan meninggalkan Silver Moon Pavilion.

“–Mayor, apa ini betul nggak apa-apa?”

Claudia masih menggerutu saat dia menatap pintu yang terbuka. Olivia senang bahwa Claudia marah demi dirinya, dan menjawab:

“Ya, kita sudah mengetahui tujuan musuh. Ashton benar, seperti yang diharapkan dari ahli strategi kita.”

Olivia bertepuk tangan dan memuji Ashton, dan Ashton menggaruk belakang kepalanya agak malu-malu.

“Kesampingkan itu, Olivia, kenapa kau mengejek mereka? Kita cuma akan menerima kemarahan musuh tanpa adanya manfaat.”

“Aku juga berpikiran begitu.”

“Yah, karena aku bilang begitu, musuh kita akan tetap diam dan menunggu kita dengan waspada. Dari apa yang dia katakan tadi, musuh kayaknya sangat terobsesi pada kita.”

“Yang mana artinya, itu akan memastikan Pasukan Kekaisaran di utara gak akan menginvasi zona perang tengah, huh….”

“Itu benar, inilah yang namanya strategi.”

Olivia mengangkat jari telunjuknya dan berkata dengan bangga. Pertempuran nggak cuma sebatas ilmu pedang dan pertarungan tangan kosong. Kalau kata-kata saja bisa mengekang pergerakan musuh, itu merupakan pertukaran yang bagus.

Ashton memahami niat Olivia dan mengangguk, terkesan pada dia.

“Baiklah…. Habis olahraga, aku jadi sangat laper.”

Olivia menatap kearah dapur saat dia mengusap perutnya. Pelayan yang mengamati situasinya dari bawah meja langsung berteriak histeris.

“Beneran deh… Mayor, kau selalu berjiwa bebas. Dimengerti, aku akan menyuruh mereka menyiapkan makanan lezat.”

“Nggak perlu, aku lebih suka roti mustar spesial buatan Ashton.”

“Hah? Makanan di restoran ini lebih enak dari buatanku.”

“Bodo amat, aku cuma mau roti buatan Ashton.”

Wajah Ashton melunakkan setelah mendengar itu.

“Begitukah? Kalau begitu aku akan membuatnya.”

Lalu dia pergi ke dapur dengan semangat tinggi.

“Maaf, bolehkah aku meminjam dapurmu sebentar?”

“T-Tentu saja! Silahkan.”

Pelayan itu melarikan diri dari dapur dan menuruni tangga tanpa menoleh ke belakang. Setelah melihat pelayan itu pergi, Claudia mendorong punggung Olivia.

“Numpung Ashton masih membuatkan roti untukmu, cepat ganti pakaianmu, Mayor. Penampilanmu menakutkan buat para tamu lain.”

“Ya, aku mengerti!”

Olivia menjawab energik, dan pergi ke kamarnya dengan langkah yang ringan.

[edit]

Ibukota Kekaisaran Orsted, Istana Listerine, Kantor Menteri Dalmes

Sebagai Menteri Kekaisaran, kantor Dalmes menyesuaikan statusnya, dan gak ada dana yang disisakan. Hal yang paling menonjol dari kantor itu adalah luasnya kantor tersebut, cukup besar untuk mengumpulkan 100 tamu. Cahaya matahari yang berlimpah bersinar masuk melalui jendela-jendela besar, dan tirai merah dengan benang emas yang elegan ditarik ke samping. Selain itu, ada banyak lukisan dan karya seni terkenal. Bahkan meja yang ada dipinggir dinding merupakan sebuah karya yang indah dan elegan.

“–Ini akhir dari laporannya.”

“Terimakasih. Tapi pasukan Swaran terlalu lemah kalau mereka bahkan gak bisa merebut benteng kuno dan berantakan itu.”

“Apa boleh buat, karena bala bantuan musuh termasuk monster yang digosipkan….”

Wanita berjubah hitan itu berkata dengan nada berat. Fia adalah pemimpin dari Biro Intelijen ‘Dawn’. Flora Ray. Gak seperti Heat Haze, Biro ini bekerja dibawah Dalmes.

“Monster, huh….”

“Pak Menteri?”

“Tidak, bukan apa-apa. Kau boleh pergi.”

“Baik pak.”

“Oh iya, buatlah pengaturan supaya gak ada orang yang masuk ke ruanganku untuk sementara ini.”

“Dimengerti.”

Setelah melihat Flora pergi, Dalmes menoleh ke kanan. Menatap sesuatu yang sangat cocok dengan tempat unik ini. Sebuah rak buku besar yang tingginya sampai langit-langit.

(Aku harus melapor….)

Dalmes mengeluarkan sebuah buku merah dari laci mejanya, dan berjalan ke rak buku itu. Ada sebuah celah yang gak wajar untuk sebuah buku dibagian tengah rak tersebut. Dalmes menatap buku ditangannya, dan memasukkannya kedalam celah tersebut. Ada suara pelan, dan rak itu mulai bergeser ke samping dengan suara pelan. Setelah itu, rak buku itu berhenti bergerak dan tangga kebawah terlihat.

Dalmes menyalakan lampu di pintu masuknya, dan dengan hati-hati menuruni tangga spiral itu. Meskipun dia hati-hati, dia hampir terpeleset beberapa kali sebelum sampai di sebuah ruangan yang dikelilingi oleh dinding batu. Gak seperti kantor, tempat ini kosong melompong.

Dalmes menyalakan lilin di dinding satu per satu, dan bayangannya menjadi semakin gelap saat sumber cahayanya meningkat.

Saat semua lilinnya sudah menyala, Dalmes berjalan ke tengah ruangan, dan bersujud dilantai. Bayangan Dalmes mulai bergerak, dan melebar. Bayangan itu mulai menggeliat seolah hidup, dan setelah meluas dan menyusut beberapa kali, bayangan itu menjadi bentuk humanoid.

“–Dalmes. Angkat kepalamu.”

Bayangan itu berkedip layaknya api setan, dan Dalmes menatap bayangan yang mengeras itu.

“Baik!!”

Dalmes mengangkat kepalanya dengan hormat dan menyapa:

“Tuan Xenia, bagaimana–”

“Gak usah basa basi, langsung saja ke intinya. Manusia memang suka bertele-tele, dan bahasamu sulit digunakan.”

Suara yang seperti berasal dari neraka membuat Dalmes merinding.

“S-Saya minta maaf.”

“Gak masalah, ada apa?”

Xenia bertanya dengan suara dingin. Dalmes hebat dalam membaca suasana hati orang lain, tapi itu gak berguna didepan Xenia, karena gak ada yang bisa diamati dari Xenia. Gak ada yang bisa dia perbuat dihadapan hawa kehadiran yang mengintimidasi ini.

Dalmes menelan ludah, dan melanjutkan:

“Ini kelanjutan dari laporan tentang pedang hitam yang menarik perhatian Tuan Xenia.”

“Aku paham. Lanjutkan.”

“Ada banyak laporan yang mengatakan bahwa pedang hitam itu memancarkan semacam kabut hitam. Menurut analisa dari para Penyihir, itu mungkin Ilmu Sihir.”

Sosok Xenia sedikit bergoyang, tapi gak ada reaksi lain lagi. Dalmes menyeka keringat dialisnya, dan bertanya takut-takut:

“Tuan Xenia?”

“Kau salah dalam satu hal. Kabut hitam itu bukanlah tiruan seperti ilmu sihir.”

Dalmes tercengang oleh hal itu. Dia gak sepenuhnya mempercayai Church of Saint Illuminas dan “Bible White”, tapi penyihir memang ada, dan mereka bisa menggunakan ilmu sihir yang dipuji sebagai sebuah mujizat dewa. Meski begitu, Xenia menyebut ilmu sihir sebuah tiruan, hal itu membuat Dalmes kebingungan.

“….Mohon maafkan saya karena bertanya, Tuan Xenia, tapi apa yang anda maksudkan saat anda menyebut ilmu sihir sebagai tiruan?”

“Yang aku maksudkan sebagaimana sebutan itu.”

Xenia menjawab, yang mana membuat Dalmes semakin kebingungan.

“Meski anda berkata demikian, saya masih tidak mengerti….”

“Apa aku wajib menjelaskannya? Jika aku mendapat keuntungan, aku tak keberatan menjelaskannya padamu.”

“Sama sekali tidak! Saya salah bicara!”

Dalmes dikuasai teror. Setelah keheningan sesaat, Xenia memerintahkan dia untuk mengangkat kepala, dan Dalmes mematuhinya.

“Lupakan saja, wajar saja kau ingin tau. Aku akan menjelaskannya sedikit.”

“Ohhhh! Saya sangat terhormat atas kesempatan untuk belajar dari pengetahuan anda yang luas!”

Pengetahuan Xenia merupakan sebuah harta karun berharga. Dalmes memasang telinganya baik-baik supaya gak melewatkan satu kata pun.

“Pedang hitam itu mungkin dibuat dengan kekuatan dari saudara sebangsaku. Itulah alasan kenapa pedang itu memancarkan kabut hitam.”

“Saya paham… Kabut hitam itu bukan hasil dari ilmu sihir, tapi dari kekuatan saudara sebangsa anda.”

Dalmes dengan hati-hati menyusun kata-kata itu. Xenia bisa melenyapkan sebuah gunung hanya dengan satu jentikan jarinya, jadi jika Dalmes berbicara secara sembarangan, umat manusia mungkin akan lenyap menjadi debu.

“Itu benar. Karena itulah, si manusia yang menggunakan pedang hitam itu adalah mainan saudara sebangsaku.”

“–Mainan?”

“Mahluk sinting yang memiliki ketertarikan yang aneh. Memperoleh kegembiraan dari manusia dengan Kedok ‘pengamatan’.”

“Pengamatan… Haruskah saya memberi instruksi agar tidak menganggu dia.”

Dalmes gak mau menerima kemarahan dari bangsanya Xenia yang pasti sama-sama kuatnya.

“Jangan melakukan sesuatu yang tidak perlu. Biarkan saja mainan itu.”

“Tapi kenapa? Dia mungkin seorang manusia, tapi dia tetaplah rekannya Tuan Xenia.”

Menganggao manusia sebagai mainan memang cocok dengan gaya seorang Dewa Kematian, tapi cewek itu diberi sebuah pedang oleh saudara sebangsa. Saat Dalmes berpikir soal itu, dia menyadari sosok Xenia seperti membesar penuh amarah. Api lilinnya juga menjadi semakin besar.

“Tuan Xenia?”

“Apa kau tidak dengar apa yang kukatakan? Manusia itu adalah mainannya bangsaku. Atau anggap saja ini tentang manusia, dan kau mulai menganggap mainanmu sebagai rekan sekarang?”

“S-Saya minta maaf sedalam-dalamnya!”

Dalmes ingin menekankan kepalanya pada lantai, tapi dia bahkan gak bisa menggerakkan jarinya. Keringat dingin mengucur dari setiap pori-pori di tubuhnya.

“Jangan terus mengulangi kesalahan yang sama. Itu menjengkelkan.”

Tanpa dia sadari, tangan kiri Xenia yang berkilauan diarahkan pada Dalmes.

“Saya… minta… maaf…. Saya akan…. berhati-hati mulai sekarang.”

Dalmes meminta maaf dengan segenap kemampuannya. Xenia menurunkan tangan kirinya, dan Dalmes mendapatkan kembali kendali tubuhnya. Dia mendorong tubuhnya yang terengah-engah dengan telapak tangannya.

“Hah, hah, hah………”

“Yang penting kau paham. Buatlah perang selama yang kau bisa. Itulah alasan kenapa aku memberimu ‘kekuatan’. Bunuh manusia sebanyak yang kau bisa.”

“Baik!! Akan saya ingat. Kaisar tidak berbeda dengan boneka sekarang. Akan sangat mudah memanipulasi perang ini.”

“Bagus. Bagaimana dengan ‘Cawan Dunia Kematian’ nya?”

“Semuanya berjalan dengan mulus. Sekarang sudah terisi sepertiga.”

Didalam ruangan Dalmes, ada sebuah cawan hitam yang terisi dengan jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Bagi orang-orang tanpa kekuatan, itu hanyalah cawan biasa, jadi Dalmes memajangnya secara terang-terangan di ruangannya.

“Aku paham….”

Xenia mengangguk puas.

“Tuan Xenia, erm… anu….”

Dalmes mulai tergagap. Xenia perlahan memasukkan tangannya kedalam jubahnya, dan mengeluarkan sebuah botol kecil transparan. Didalam botol itu ada cairan berkilauan berwarna pelangi. Sudah jelas itu bukan dari dunia ini.

“Jangan kuatir. Saat kau memenuhi Cawan Dunia Kematian dengan jiwa, aku akan memberimu ‘Ramuan Terkutuk Pengikat Jiwa’. Tapi aneh sekali kau menginginkan sesuatu seperti ini.”

“Terimakasih banyak! Saya pasti akan memenuhi Cawan Dunia Kematian.”

“–Berjuanglah.”

Dengan itu, Xenia lenyap. Dalmes berdiri dan dengan hati-hati menghaluskan lipatan pada jubahnya.

(Aneh, huh… Tuan Xenia gak akan paham perasaan para manusia yang berumur pendek.)

Ambisi Dalmes adalah untuk menaklukkan benua Dubedirica. Bukan hanya manusia, semuanya yang hidup memiliki batas rentang hidupnya. Meskipun dia menaklukkan seluruh benua, dia cuma bisa menguasainya selama beberapa dekade saja.

–Aku ingin menguasai benua Dubedirica selamanya.

Satu-satunya eksistensi yang bisa memenuhi ambisi gila Dalmes adalah Dewa Kematian, dan ramuan berwarna pelangi milik mereka yang bisa mengubah manusia menjadi undead. Jika Dalmes bisa mendapat item itu, dia gak peduli meski dia harus berurusan dengan para Dewa Kematian atau iblis.

Jika mereka membutuhkan pengorbanan, Dalmes gak peduli meski puluhan atau ratusan ribu orang mati. Dalmes gak tau dimana Xenia ingin mengumpulkan jiwa manusia, tapi itu pasti untuk sesuatu yang berada diluar imajinasi manusia. Gimanapun juga, manusia sudah terlalu banyak populasinya, jadi membangun sebuah kekaisaran baru diatas mayat gak akan ada masalah. Dalmes berteriak dalam hatinya:

(Berkat cewek monster itu, perang yang sudah hampir berakhir ini bisa diperpanjang lagi. Ayunkan terus pedang hitam milikmu demi ambisiku.)

Dalmes berdiri disana beberapa saat, dengan senyum sinis diwajahnya.