Seri Monogatari:Koyomimonogatari:Bab 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

001[edit]

Mengenal Hanekawa Tsubasa hanya setelah sekelas dengannya pada awal bulan April, jika bicara mengenai perasaanku tentang pergi sekolah, perasaanku mengenai jalan ke sekolah, perasaan seperti apa ketika berjalan kaki, yah sebenarnya tidak ada perasaan apa-apa.

Perasaan ketika berjalan kaki.

Aku tidak bisa memikirkan jalannya menjadi sesuatu nyata.

Aku tidak bisa menemukan alasan yang nyata untuk pergi sekolah.

Dibangunkan adik-adikku, memakai seragam sekolah, menaiki sepeda, menuju sekolah persiapan yang tidak cocok untukku yaitu SMA swasta Naoetsu———kerutinan seperti itu, pekerjaan rutin seperti PR, sudah 2 tahun aku mengulanginya tetapi, apakah semua pengulangan itu memiliki arti, ataukah tidak ada artinya, aku tidak memikirkannya.

Tidak, jika aku memikirkan untuk memikirkannya pun, karena hal itu adalah pertanyaan yang sama sekali tidak ada jawabannya, mungkin harus dikatakan aku sudah berhenti memikirkannya sejak lama.

Tetapi, sepertinya di negeri Jepang ini, sebagian besar anak laki-laki dan perempuannya memiliki gelar murid SMA, sudah seharusnya begitu, tidak terkecuali bagiku———untuk menyelesaikan wajib belajar, tidak harus selalu pergi sekolah, dengan kata lain paling tidak dari pandangan masyarakat yang seharusnya 'aku pergi sekolah dengan keinginan sendiri' untuk menerima pelajaran hidup di SMA, jauh dari alasan yang nyata, bahkan tidak mampu menemukan alasan yang abstrak karena keluasannya, mungkinkah ini bukan niat sebenarnya kebanyakan anak laki-laki dan perempuan.

Kehadiran minimal ditanamkan dengan sangat jelas ke kakiku, menurut orang luar, aku ini seperti hantu jika dibandingkan dengan murid SMA sepenuhnya, karena itu ketika menuju sekolah, setiap hari aku memiringkan kepala dan berpandangan kosong, jika begitu mungkin aku benar-benar menjadi hantu.

Nah, bukannya aku tidak puas.

Ketika aku memikirkan hal itu sembarangan sesekali, pikiranku menjadi sedikit tidak enak, bukannya tidak puas———seandainya tidak harus pergi ke sekolah, seandainya tidak harus melakukan sesuatu sejauh itu, adakah yang bisa dilakukan seandainya hal-hal tersebut tidak ada.

Tetapi aku tidak memiliki apa-apa———karena itu aku tidak memiliki apa-apa.

Menjadi siswa SMA.

Tempatnya berada di sekolah.

Aku dapat menjamin diriku sebagai diri sendiri.

Terutama sekali, yang patut disebutkan saat semester pertama kelas tiga SMA dimulai, tepat sebelum liburan musim semi———aku telah mengalami liburan musim semi seperti neraka.

Mungkin aku telah lupa kalau aku hanya seorang siswa SMA biasa, mungkin tidak bisa kembali pergi ke sekolah lagi, aku telah melihat bagian terdalam neraka.

Normal adalah hal yang paling bahagia, kehebatan dari hari hari yang biasa, kebenaran dari kata-kata biasa seperti itu, kebenaran dari sejarah, aku telah menyadarinya dengan pahit pada liburan musim semi itu———karena itu jaminannya harusnya apa yang diselamatkan untukku. Tetapi biarpun begitu aku sambil terus bersepeda ke sekolah pada bulan April, ingin tahu mengapa aku yang sepertinya biasa-biasa saja, seperti aturan yang telah ditetapkan pergi bersekolah———lalu mengikuti pelajaran dan pulang sekolah, merasa aneh.

Hal yang aneh.

Jika telah mengalami neraka seperti itu, aku menyadari seharusnya hari-hari yang biasa itu adalah sesuatu yang patut disyukuri dan menjaganya dengan hati-hati, walaupun sepertinya aku telah menghabiskan hari demi hari dengan hati-hati———aku telah mengulang kembali dari neraka, bagaimanapun juga hanya aku.

Jika sudah melewati tenggorokan, panas pun akan terlupakan, jika yang melalui neraka, apakah akan terlupakan juga ?

Aku pernah bicara dengan Hanekawa soal itu sekali.

Seberapa besar rasa syukurnya hari-hari biasa untukku, aku tidak bisa mengerti bagaimana rasa syukurnya, aku bicara dengannya bukannya cuek tanpa perasaan———dan ia menjawabnya seperti ini.

Dengan rasa aman yang mengalir dari senyumnya yang membuat orang bisa percaya ia mungkin tahu segalanya seperti biasanya, ia memberitahuku seperti ini.

"Begitulah Araragi. Bicara mengenai hari-hari biasa, tentu saja karena hal itu 'ada'. Hal yang 'ada' itu, baik 'seberapa besar rasa syukurnya' maupun 'bagaimana rasa syukurnya' itu tidak dapat dirasakan. Jalani jalan yang ada, itu jelas."


002[edit]

"Apa ? Batu ?"

"Ya. Batu"

"Batu itu...... yang jatuh dijalan kah ? Atau batu permata ?"

"Tidak, tidak mungkin batu permata"

Walaupun katanya tidak mungkin, karena aku masih belum bisa memahami sepenuhnya pembicaraan ini, aku tidak bisa membedakan ada atau tidak adanya kemungkinan itu.

Jika dikatakan keadaannya tidak dapat dimengerti.

Biarpun begitu, menjaga keadaan yang tidak dapat dimengerti bukanlah tujuanku sebenarnya———aku lemah dalam keadaan yang membingungkan.

Karena itu aku memutuskan untuk memahaminya satu demi satu secara berurutan dari awal sampai akhir. Dasar susunannya yaitu mengikuti urutannya.

Hari ini 14 April, ini adalah ruangan kelas sepulang sekolah———selain itu, tidak ada orang lain di kelas ini, aku berdua dengan Hanekawa sedang rapat untuk acara keakraban kelas yang akan diadakan minggu depan. Jika dikatakan mengapa aku dan Hanekawa mengadakan rapat seperti ini, itu karena aku adalah wakil ketua kelas dan Hanekawa adalah ketua kelas———bukan, awalnya rapat ini seharusnya diikuti oleh masing-masing ketua dari tiap grup, paling tidak perwakilannya, tetapi karena baik semua orang memiliki urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan ataupun tidak, mereka tidak hadir seperti biasa.

Urusan penting itu, yah walaupun belum tentu sepenuhnya bohong, tetapi buruknya tingkat partisipasi ini tidak salah lagi karena didukung oleh perasaan aman untuk menyerahkan yakni 'Jika diserahkan kepada Hanekawa, biasanya akan baik-baik saja' , ketika berpikir begitu, sepertinya keunggulan Hanekawa adalah suatu kesalahan. Bisa dikatakan sebagai suatu kejahatan yang cukup besar.

Ketika ada gangguan sepertiku pun, keunggulannya mengabaikan dan tak terpengaruh sekitar memanjakanku———yah, bagiku suatu keadaan dimana bisa bicara hanya berdua saja dengan Hanekawa, tidak mungkin tidak menyenangkan.

Nah, bukannya ada maksud lain, pada sekolah persiapan seperti SMA Naoetsu, ketika menjadi siswa kelas tiga, hampir semuanya jadi penempuh ujian dan suasana hatinya cukup gelisah, dalam situasi ini sebuah acara keakraban sepertinya akan mencapai suasana yang membahayakan, dinilai dari orang gagal sepertiku, itu benar-benar tempat yang tidak menyenangkan.

Dengan kata lain, daripada bahagia hanya berdua saja dengan Hanekawa, aku lebih bahagia karena keadaan dimana tidak ada siswa-siswa lain yang gelisah———walau ujiannya diadakan esok pun, Hanekawa yang mungkin memiliki kemampuan untuk lulus dengan sangat baik di universitas mana saja di seluruh dunia tak acuh dengan suasana gelisah.

Jika dikatakan tak acuh, aku sama sekali tidak tertarik mengikuti ujian di sekolah ini, jangankan itu, lulus saja aku masih belum jelas, karena itu tidak ada hubungannya dengan suasana gelisah, dengan demikian, kedua peserta rapat ini yang berkumpul ini, mungkin merupakan dua pilihan terbaik yang memang harus berkumpul.

Bagaimanapun juga, karena pada dasarnya bagiku merepotkan, mungkin aku juga akan pulang jika ada urusan penting, namun sayangnya aku sedang senggang. Sepertinya sangat-sangat senggang. Daripada berkelahi dengan adik-adik perempuanku di rumah, pilihan untuk menemui Hanekawa sepertinya lebih manusiawi.

Lalu, di tengah rapat.

Mungkin lebih tepat jika kusebutkan ketika susunan topik pembicaraan sudah hampir selesai, kesempatan untuk mengobrol soal sesuatu.

"Batu."

Katanya.

Hanekawalah yang mulai berbicara.

"Batu ?"

"......Tidak. Jadi kenapa harus batu ? "

Batu.

Atau mungkin maksudnya kemauan [1]?

Araragi memiliki kemauan yang lemah, sepertinya akan terjadi pembicaraan seperti ini———sebenarnya, harusnya tidak ada arus yang mendorong jalan hidupku seperti itu. Walaupun penting untuk mengikuti pertemuan dengan tenang.

"Daripada batu...... hmm"

Kata Hanekawa.

Entah bagaimana ia tidak seperti biasanya, cara bicaranya anehnya jadi tidak jelas———daripada kukatakan begitu, aku masih belum bisa memutuskan bagaimana cara mengungkapkan 'itu' yang pas.

Ia kebingungan.

Kebingungan dalam mempertimbangkan———tidak.

Karena aku masih belum bisa memutuskan tingkatan untuk 'itu', dan karena tidak ada tingkatan untuk menyebut 'itu', maka aku tidak berani memutuskannya.

Karena itu ia mengatakan batu———dengan tidak jelas.

Perasaan seperti itu.

"Yah, jika harus kukatakan———patung batu kah ?"

"Patung batu ?"

"Tidak, walaupun sepertinya bukan patung batu."

"........."

"Makanya jika harus kukatakan kan. Begitu."

Ehehe, senyum Hanekawa.

Betapa manisnya, tetapi setelah melakukan perintah [2] itu, ia menertawakanku.

Sedangkan aku sendiri, walaupun memutuskan tanpa ragu-ragu menerima tawa itu, 'batu (atau patung batu)' itu memenangkan perhatian.

"Oi Hanekawa. Batu itu apaan ?"

"Ah. Baiklah. Seharusnya kamu tidak menanyakan orang apa yang kamu sendiri tidak mengerti."

"Kata-kata bijaknya sudah kelewatan."

Tanya pada orang apa yang tidak dimengerti.

Apa ia tidak tahu peribahasa bertanya malu sementara, tidak bertanya malu seumur hidup ? ———Tidak, haruskah peribahasa yang kuketahui tidak asing bagi Hanekawa ?

"Tapi yah, bukannya pekerjaannya Oshino mengumpulkan cerita semacam itu———Rasanya."

"Cerita semacam itu ?"

"Legenda kota. Gosip jalanan. Kabar angin."

Hanekawa berkata sambil menghitung dengan jarinya.

"———Karena itu, tujuh misteri sekolah pun juga termasuk kan."

"Tujuh misteri ? Heh ?"

"Tidak-tidak, tidak harus tujuh misteri. Tapi begini, di tempat yang bernama sekolah, bukannya ada cerita hantu tentang harta karun ? Atau dulunya kuburan, atau ada serangan udara saat perang, seperti itu———"

"Eh ? Jadi SMA Naoetsu adalah sekolah yang memiliki sejarah seperti itu ?"

"Tidak ada"

Bagaimana bisa !?

Yah, walaupun aku juga tidak tahu mengenai sejarah sekolah ini———Tidak mengetahui asal-usul sekolah yang kau datangi berarti, jika dipikir baik-baik adalah suatu cerita yang tak dapat dipercaya. Ini dikarenakan hal itu seperti pergi ke suatu tempat yang tidak terlalu dimengerti dengan perasaan yang tidak terlalu dimengerti.

Sesuatu yang sangat jelas.

Itu juga———sesuatu yang sangat tidak kumengerti.

"Fuu......, aku tidak mengacuhkan mengenai sekolah ini, ringkasnya itukah misteri pertama ...... "

"Tidak, karenanya itu sama sekali tidak keren."

Hanekawa melempar tsukkomi.

Bukannya aku tidak senang.

Apa tidak mengikuti leluconnya ? Walaupun Hanekawa berkarakter serius, tapi ia bukanlah orang yang tidak mengerti humor, jika demikian maka bukannya sama sekali tidak menarik, apalagi tidak menyenangkan, agak mengejutkan menurutku.

Sembari masih disitu, adakah anak laki-laki yang bahagia jika dikatai tidak keren oleh anak perempuan ?

"Biarpun kau tidak sampai tidak mengacuhkannya, aneh kan jika hal itu menjadi yang nomor satu"

Ia terus menerus mencari kesalahanku.

Lebih cocok disebut bimbingan daripada tsukkomi.

Sikapnya yang membetulkan apa yang harus dibetulkan dengan seksama, tentu saja sebuah sikap yang sangat bagus menurutku walaupun mengarahkan hal itu kepadaku bukanlah maksudku sebenarnya.

Bukan maksudku sebenarnya, atau memang enggan, yah mungkin lebih baik kalau kukatakan aku tidak menyukai ini.

Aku tidak menyukainya, atau lebih baik jika dikatakan aku menyerah.

"Karena gedung sekolah dan lainnya masih cukup baru, jadi menurutku sekolah ini bukan sekolah tua seperti yang ada sebelum perang."

Pada brosur tentang sekolah atau semacamnya, ulang tahun keberapa sejak pendiriannya, adakah angka seperti itu ditampilkan ? Walaupun nampaknya ditampilkan, bahkan jika memang benar sepertinya aku tidak mengingatnya dengan baik...... pertama-tama, aku tidak melihat angka itu dengan rasa tertarik.

"Sejauh ini, walaupun ada fasilitas seperti sekolah sebelumnya, sejarah untuk SMA Naoetsu adalah delapan belas tahun. Tahun ini delapan belas tahun. Kurang lebih seumuran dengan kita."

"Hee...... jadi lebih......"

Aku hampir saja mengatakan jadi lebih tua daripada dugaanku, tetapi mengingat bahwa sekolah ini seumuran denganku dan Hanekawa, mungkin aku akan mengatakan tidak setua itu.

Tetapi hebatnya Hanekawa.

Beda dariku, ia memahami dengan tepat sejarah dan asal-usul sekolah yang didatanginya———mungkin sewaktu kelas tiga SMP saat mengikuti ujian masuk, sepertinya ia telah memeriksa dengan detail tempat seperti apa sebenarnya yang akan dimasukinya sebagai sma.

Tidak, sejak sebelum itu, ada juga kemungkinan ia mengetahuinya sebagai sesuatu yang berada dalam wilayah akal sehat———yang mana pun, ia anak SMP yang mengerikan.

"Ng ? Apanya ? Jadi lebih ?"

"Tidak...... hanya terpikir separuhnya."

"Ahaha. Begitu ? Tapi berbicara mengenai tujuh misteri, biarpun begitu tidak ada sedikitpun sejarahnya———di sekolah ini, siswa yang meninggal karena kecelakaan, sepertinya tidak ada cerita semacam itu."

"Sepertinya tidak ada......"

Begitu.

Begitulah adanya———bagaimana kehidupan dan kematian manusia. Itu bukan jenis informasi yang dicari ketika mengerjakan ujian, tetapi menurutku itu juga bukan berada di dalam wilayah akal sehat.

Sejarah selama delapan belas tahun, sejarah sekolah, menurutku itu informasi yang tidak dapat dimengerti jika tidak membaca dengan teliti dan terperinci———

"Dengan kata lain, seperti yang kau katakan. Cerita hantu yang seperti cerita hantu, sepertinya, tidak ada cerita seperti itu di SMA Naoetsu———lo."

"Hmm...... yeah, walaupun aku juga tidak pernah mendengarnya secara langsung"

Terlebih lagi keadaanku, seperti yang kukatakan, sejak awal seperti memutuskan terasing dari soal gosip antara siswa.

Si anu dan si anu jadian, si anu dan si anu sepertinya bertengkar, topik hangat semacam itu, memang aku tidak ingin mengetahuinya.

Walaupun aku tidak punya niat untuk mengadakan revolusi terhadap dunia sekarang yang berlimpahan informasi, aku tidak ingin berpura-pura menjadi orang yang berpengetahuan luas ataupun tahu segalanya. Sudah jelas. Sebuah pendirian yang ingin hidup terpisah dari berita.

Meski begitu di satu sisi pada saat yang sama aku mengagumi orang yang "mengetahui segalanya" seperti Hanekawa, jalan hidupku pun jadi setengah-setengah, ya, setengah-setengah.

"Errr......, cerita apa ya ? Maaf, Hanekawa. Memang berhentinya berlebihan, aku jadi tidak bisa mengikutimu......"

"Eh? Heey, Araragi, makanya jangan bilang begitu. Batu———"

"Aku tidak mengerti apa yang disebut batu itu. Aku ingin penjelasan secara berurutan."

"Tidak nanti ?"

Hanekawa berkata dengan kebingungan.

Ah apapun itu,pastinya Hanekawa sendiri bertujuan seperti itu———bermaksud memberikan penjelasan yang mudah dimengerti dari awal hingga akhir, kenyataannya, jika orang yang bertanya mendengarkan, penjelasan Hanekawa memang mudah untuk dimengerti.

Tetapi, sayangnya bagiku, hal itu sama saja dengan bahasa planet. Percakapan itu seharusnya menyamakan level dengan lawan bicaranya. Tentu saja, dari yang tinggi ke yang rendah.

Minimal, aku ingin penjelasan apakah ini cerita tentang batu kah, atau cerita tentang hantu kah.

"Nng. Anu, jadi - "

Menerima permintaan dariku, Hanekawa berkata dengan sedikit susah.

"———Cerita hantu tentang batu ?"

"?"

Tangga batu ? [3]


003[edit]

Bukan tangga batu.

Jika memang itu, Hanekawa tentu akan menyebut anak tangga yang terbuat dari batu sejak awal, daripada jual mahal seperti ini, lebih baik bila disebut tidak bisa membawakan cerita yang berputar-putar.

Cerita hantu tentang batu.

Tetapi, biar menyebut cerita hantu tentang batu pun, bahkan jika dibicarakan pun, sebenarnya pembicaraannya tidak berlanjut———seperti biasa, alasannya karena aku tidak mengerti.

Tapi.

"Ah———"

Tapi setelah itu, aku selesai menutup pintu kelas, kemudian diajak Hanekawa mendatangi halaman SMA Naoetsu, kurang lebih perkembangannya seperti itu.

Walau kukatakan perkembangan pun, perkembangan itu hanya ada di kepalaku———sebenarnya juga tidak ada yang bergerak.

Keadaannya sendiri tidak bergerak seperti batu.

Karena aku diajak ke halaman itu tanpa diberitahu tujuannya, kukira aku akan diajak ke tempat pembuangan sampah di seberang sana, ternyata tempat tujuannya adalah petak bunga di halaman.

Tidak.

Batu———yang ada di petak bunga.

Batu itu pun.

Seperti batu, tidak bisa bergerak.

"———Jadi begitu ya. Tapi...... ini susah dijelaskan, keduanya 'batu' dan 'patung batu'...... Tidak."

Tentu bukannya aku tidak mengerti kenapa Hanekawa berhenti dengan penjelasan yang tidak jelas———petak bunga di halaman, entah sebenarnya siapa yang merawatnya, kalau menurutku teka-tekinya ada di tengah-tengah petak bunga, ada batu itu.

Batu.

Jika harus dikatakan, patung batu———tetapi, itu karena aku memaksa Hanekawa melakukan yang tidak-tidak, jika memang harus dikatakan pun, 'patung' itu tidak terlihat.

Batu yang terbalik.

Itu sendiri pun hanya sebuah batu———jika harus dikatakan atau dipaksa mengatakan pun, bukannya sama sekali tidak ada alasan yang cukup untuk menggambarkannya sebagai 'patung batu'.

Ini dikarenakan batu itu diletakkan di dalam kuil kecil———diletakkan di dalam kuil kecil , lalu dengan sopannya sampai sesajen pun diberikan.

"............."

Nah, 'dengan sopannya' itu sebuah ekspresi yang agak sedikit berlebihan. Meletakkan sesajen, membangun kuil kecil, adalah kekasaran yang jauh dari sopan———atau daripada itu, ketidakahlian. Aku sama sekali tidak menganggap cara pembuatannya mengikuti proses yang benar, daripada itu, secara keseluruhan, seperti hasil pekerjaan anak-anak, hasil dari permainan rumah-rumahan anak-anak.

"Kuil kecil yang sepertinya akan hancur berkeping-keping jika ditendang......"

"Menendang kuil kecil ide yang mengerikan Araragi......"

Kamu akan kualat nanti, kata Hanekawa.

Yah, itu seperti yang dikatakan Hanekawa———pada liburan musim semi, pastinya ideku mungkin bisa pakai sedikit kekerasan.

Terlebih lagi, terlepas dari akan kualat atau tidak, jika benar-benar menendangnya, mungkin hanya kuil kecil yang terlihat dipaku dengan papan kayu dengan bentuk seperti itu saja yang mudah hancur berkeping-keping, sedangkan batu yang dipuja di dalamnya tidak mungkin.

Malahan mungkin tulangkulah yang akan patah.

Walau ukuran batu ini jelas tidak sebesar batu besar, tapi juga bukan seperti kerikil yang akan terbang jika ditendang.

Walaupun aku tidak tahu ukuran yang tepat karena aku tidak membawa alat pengukur, diperkirakan ukurannya seperti bola rugbi.

Bola rugbi yang tidak rata———itu pun bola rugbi yang sedikit kotor. Dari ukurannya, aku dapat menduga gadis seperti Hanekawa tidak mampu mengangkatnya karena bobotnya———anak laki-laki seperti aku pun kurasa, mungkin juga tidak mampu mengangkatnya, aku tidak ingin turun tangan sembarangan.

Aku tidak ingin menunjukkan kesalahan semacam itu di depan Hanekawa.

Karena aku anak SMA yang suka pamer.

"Hanekawa. Yang kau katakan tadi soal batu ini kah ?"

"Ya. Begitulah."

"Errr..."

Ketika ia mengangguk, di situlah pembicaraannya berakhir.

Tapi dalam situasi ini, jika aku harus melanjutkan setelah ini, pertanyaan yang tepat seperti apa?

"———Sesajen ini, apa Hanekawa yang melakukannya ?"

"Tidak mungkin. Aku kan tidak membawa kue ke sekolah."

"Begitu ya......"

Entah dimana pembicaraannya jadi menyimpang.

Terhubung tetapi tidak terhubung.

Tapi yah, tentu kuil kecil itu pula, bisa dikatakan kesederhanaanya, perasaan buatan tangan membanjiri meja kayu sesajen yang diletakkan kue murahan di atasnya, tidak membawanya sebelum ini, menurutku bukan selera Hanekawa.

Gadis ini sepertinya memakan kudapan yang lebih gaya———karena sepertinya ia hidup dengan mengonsumsi gula dalam jumlah besar, tidak mungkin ia membenci makanan yang manis-manis.

"Awalnya aku ingin mengatakan apa tetapi———lihat, pada liburan musim semi kita telah berutang sepenuhnya pada Oshino kan ? Lalu menurutku apa kita tidak bisa berterima kasih, tapi———"

"Berterima kasih......"

Tidak.

Saat liburan musim semi yang berutang pada Oshino bukannya 'kita', hanya aku sendiri, terlebih lagi mengenai hal itu, aku dimintai biaya secara khusus (total lima juta yen), jadi pemikiran Hanekawa mengenai 'tidak bisa berterima kasih' dengan Oshino tidak masuk akal, di sekitar situ, ada gadis yang tidak beralasan.

Jika harus mengatakan, tidak ada selain aku yang seharusnya berpikir mengenai tidak bisa berterima kasih apa saja pada Hanekawa——— nah, selain itu tidak mungkin aku memikirkannya, walaupun untuk itu aku bertahan dengan gelar yang tidak pantas yaitu wakil ketua kelas...... kali ini pun mengikutinya ke halaman juga, tapi sejak awal, jika aku juga 'melakukan sesuatu', apakah itu akan bermanfaat bagi Hanekawa ?

Aku menjadi hampa ketika memikirkan itu.

Aku juga tidak tahu bahwa aku sedang memikirkan hal semacam itu———tidak, bisa jadi aku mungkin mengetahuinya, Hanekawa melanjutkan penjelasannya.

"———Mm Oshino mengumpulkan cerita kaii kan ? atau bisa dikatakan itu mata pencahariannya Oshino...... pekerjaannya kan ?"

"Pekerjaan ? Tapi, dia melakukan pekerjaan seperti apa ? Saat kau bilang mengumpulkan cerita kaii, entah bagaimana aku merasa pernah mendengarnya...... tapi jika harus dikatakan, bukannya itu ada di wilayah hobi ?"

Mengumpulkannya ke dalam buku, memublikasikannya pada masyarakat ilmiah, aku tidak bisa memikirkannya sebagai tindakan yang berfokus pada yang kusebut tadi.

Tidak memiliki tempat tinggal tetap,…… lelaki tidak tegas yang hidupnya melarat/ itu......

"Mengumpulkan cerita kaii itu sama sekali tidak menghasilkan uang. Perekonomian tidak akan berjalan kan ?"

"Bekerja itu bukan hanya soal uang, Araragi "

"........."

Kata-kata yang berat.

Inikah yang dikatakan oleh anak SMA ?———jika dipikir, sebaliknya, mungkin justru karena anak SMA lah jadi bisa mengatakan itu. Tetapi menurutku untuk Hanekawa, hanya sejak setelah benar-benar bekerja baru bisa mengatakan hal ini.

"Kembali ke cerita. Ugh. Karena itu, jikalau di SMA Naoetsu ada tujuh misteri, ada yang seperti 'cerita hantu sekolah', menurutku bagaimana jika kita memberikan informasinya ke pada Oshino. Itu akan jadi terima kasih."

"Jadi...... terima kasih ? Tidak, aku sama sekali tidak bermaksud meredam perasaanmu, Kaii yang dikumpulkan Oshino bukannya hal yang lebih nyata ? Vampir misalnya......"

"Jangan membatasi 'cerita hantu sekolah' sebagai sesuatu yang tidak nyata. Terlebih lagi, jika bicara soal popularitas, 'cerita hantu sekolah' masuk elite dalam wilayah kaii. Mungkin tidak ada orang yang tahu 'kerakera onna'[4], tetapi bila 'Hanako di toilet'[5], semua orang tahu kan ?"

"Yeah......, jika barometer kaii adalah ketenarannya, tingkat popularitasnya mungkin adalah hal yang penting......"

Hal seperti itu adalah paradoks kebudayaan.

Ketika sudah terlalu populer, nantinya akan dihubungkan dengan murahan dan pasaran...... akan menjauh dari apa yang disebut elegan.

"Justru karena tenar itu jadi terkait dengan legenda kota atau gosip jalanan...... Apakah masalahnya tingkatnya ? Bicara soal pertimbangan......,jika semua orang tahu, bukannya tidak ada artinya menggosip ?"

"Kalau Oshino, karena tidak ada yang meminta rasa yang elegan kan ? Menurutku gosip adalah soal budaya populer."

"Huuh. Biarpun mungkin begitu, bagaimana ya. Bukan maksudku mengabaikan perasaanmu, tapi jika aku membawa 'cerita hantu sekolah' dia akan tertawa mengejekku kan ?"

"Oshino bukan orang seperti itu."

"........."

Apa yang menurutku 'orang seperti itu' entah bagaimana sepertinya berbeda dengan Hanekawa.

"Nah, bukan begitu. Singkatnya Hanekawa, apa yang ingin kukatakan, yang diketahui semua orang, 'cerita hantu sekolah' yang popularitasnya tinggi itu, bukanlah yang diminta Oshino...... informasi seperti itu tentunya, ia memilikinya kan ?"

"Bagaimana ya. Tentu saja, walau mungkin ia memilikinya, 'cerita hantu sekolah' itu kan tiap sekolah punya variasinya masing-masing, apalagi———jika sudah jadi orang dewasa akan sulit masuk ke sekolah kan ? Maksudku jika dilihat dari orang dewasa seperti Oshino, bukannya itu jenis cerita kaii yang susah didapatkan ?"

"Susah didapatkan———"

Ah.

Begitu———karena aku sendiri siswa SMA, pergi ke sekolah adalah sesuatu yang sepertinya 'wajar', walaupun ceritanya tidak langsung dapat ditangkap jika dikatakan dengan tiba-tiba pun, tentu saja orang luar, apalagi orang dewasa, akan susah masuk ke sekolah, mungkin tidak ada ruang yang tertutup. Terlebih orang dewasa dengan tipe seperti Oshino......, orang dewasa yang tidak memiliki pekerjaan tetap seperti pekerjaan tetap, juga tidak memiliki tempat tinggal tetap seperti tempat tinggal tetap, jika melakukannya dengan buruk, mungkin akan dilaporkan bahkan jika hanya selangkah memasuki tempat ini.

Karena itu, jika dipikir menyelidiki cerita kaii dalam sekolah, walaupun terpaksa mendengarkannya secara tersendiri dari siswa yang sekolah, adalah perbuatan orang yang mencurigakan.

Ketika bukan acara televisi, dimana pengumpulan data secara resmi ditawarkan, menerima penolakan di depan rumah adalah yang paling bisa dilakukan......

"Aku mengerti. Karena itu Hanekawa, kamu selidiki 'cerita hantu sekolah', lalu beritahukan sendiri pada Oshino"

"Jika kau memakai ungkapkan seperti mengajarkan, itu sombong———lebih baik memberikan. Apalagi seperti yang kamu katakan, Oshino mungkin tidak memerlukannnya. Tapi biarpun begitu, ingin melakukan segala yang bisa dilakukan kan ?"

"......Tidak. Selama mengenai kehidupan, aku tidak ingin menjadi aktif."

Abaikan ingin melakukan segala yang bisa dilakukan, sebisa mungkin tidak ingin melakukan apapun adalah dasar dari pedoman hidupku.

Tetapi, keluh Hanekawa.

"Seperti yang kau katakan sebelumnya. Walaupun aku menyelidikinya, karena sejarah SMA Naoetsu yang kita datangi ini masih belum bisa dikatakan dalam, yang seperti cerita hantu itu, sama sekali belum terbentuk———ah, menurutku ini jadi sia-sia"

Hanekawa menggunakan kata sia-sia dengan lancarnya.

Mungkin, 'ingin melakukan segala yang bisa dilakukan'nya Hanekawa, karena dalam hidup ini, tidak terpikirkan olehku jumlah 'sia-sia' yang harusnya dialami

———Yah, meskipun demikian, tanpa hati yang hancur, dia yang terus melompati 'sia-sia' kemudian 'sukses besar', menurutku diluar akal sehat.

Oshino juga seperti itu, apa yang harus dikatakan———untuk menjelaskannya dengan baik ?

"Tapi, masih ada satu yang mengkhawatirkanku. Hal yang mengkhawatirkan itu———entah bagaimana, bisa dikatakan mengganggu perasaanku"

"......? Hal itu batu ini ? batu kah.... patung batu kah ?"

Sembari mengatakan hal itu, aku menatapnya sekali lagi.

Pada akhirnya, hanya terlihat seperti batu biasa, tapi karena dihiasi berlebihan dengan sesajen dan kuil kecil, entah bagaimana itu terasa seperti batu ajaib yang 'disyukuri'.

Terlihat seperti patung batu yang dipahat dengan bentuk seperti itu.

Ah, ngomong-ngomong———jika bicara tentang batu ajaib, aku sama sekali tidak mengetahui soal itu, walau ini mungkin jadi perkataan yang bodoh, di antara batu, ada yang membawanya saja jadi jimat, bukannya ada cerita seperti 'power stone' [6] ?

'Power stone', 'power spot'[7], cerita semacam itu, sebenarnya, termasuk sedikit berbeda dengan cerita kaii.

"Yeah...... hal itu"

"Dengan kata lain, ketika kau sedang melakukan macam-macam penyelidikan, kau menemukan batu misterius di tengah petak bunga di halaman ini——— tetapi walaupun kau menyelidikinya, kau masih tidak tahu sifat asli batu ini, seperti itu ?"

Untuk sementara aku sedang mengatur informasi sampai saat ini dalam kepalaku. Walaupun aku tidak punya kebanggaan dalam menjaga kerapian dan keteraturan, aku lemah dalam kondisi kacau yang berantakan, kalau begini, aku cenderung ingin segera menyelesaikan segalanya dengan jelas. Penyelesaian dengan jelas itu sama sekali tidak ada rutenya dalam kenyataan, itu sendiri aku tahu.

Dibanding Hanekawa, kemampuannya memproses sangat jauh berbeda denganku———jangankan karena beda satuan, kondisi kacau seperti ini pun mungkin ia bisa menanggulanginya sebagai 'hal yang teratur',

"Bukan begitu"

Lalu, dengan mudahnya, dan dengan lembut menolak 'kesimpulan'ku.

Menurutku mungkinkah kamarnya tak disangka-sangka berantakan kacau balau. Yah, tak terbatas pada Hanekawa, ada kesan kalau kamarnya genius itu berantakan.

Tetapi, bagaimanapun juga itu adalah prasangka......

"Adapun tentang batu seperti ini disini, aku sudah tahu sebelumnya."

"......kau tahu segalanya kan."

"Aku tidak mengetahui segalanya. Aku hanya tahu apa yang kuketahui."

kata Hanekawa dengan lancar,

"Karena itu aku tidak mengetahui yang dahulu."

lanjutnya.

"Apa maksudmu tidak begitu dengan yang dahulu ?"

"Sewaktu aku kelas satu———atau tepat setelah memasuki sekolah kan ? Walaupun sudah memeriksa sekolah secara umum."

"Kenapa kau melakukan hal seperti itu......"

"Yah, untuk sementara, ingin tahu kan tempat seperti apa sekolah yang akan kujalani selama tiga tahun dari sekarang ? Keingintahuan anak?"

"Keingintahuan atau......"

Keingintahuan, atau bisa dikatakan eksentrik.

Tingkah laku siswi teladan penuh dengan teka-teki———memeriksa secara detail SMA Naoetsu saat ujian masuk, jika dipikir, meski cuma dugaanku yang seenaknya, tidak salah lagi adalah kelakuan nyentrik yang jauh melewati genius.

Yah, sekarang bukan situasi untuk mengatakan ini dan itu.

"Jadi maksudnya kurang lebih dua tahun lalu, saat kau menyelidiki ... atau err, menjelajahi sekolah, pada petak bunga ini, tidak ada batu seperti ini, begitu ?"

"Bukan, bukan. Dengar ya. Jadi, batunya ada. Karena aku hampir tersandung, aku dapat mengingatnya dengan baik."

"Tersandung ? Eh ? Kamu tersandung sesuatu ?"

"Apa yang kamu pikirkan mengenai aku, Araragi......"

Hanekawa kelihatan bosan.

Dengan jelas.

Menerima perlakuan seperti orang yang luar biasa, atau siswi teladan, sebenarnya ia membencinya.

"Aku pun, ada saatnya hampir tersandung sesuatu."

"Begitu ya...... mengejutkan."

Mmm sebenarnya, ia tersandung pada apa yang kusebut batu, karena aku mengalami pengalaman mengerikan saat libur musim semi, kesempurnaan itu mungkin sulit diungkapkan.

Tetapi, katanya 'hampir' itu, harus diperhatikan bahwa artinya tidak tersandung.

"Tapi, seandainya ada tidak ada masalah kan ?"

"Makanya bukan ini. Walaupun batunya ada———kuil kecilnya tidak."

"?"

"Sesajennya juga, meja untuk meletakkannya juga."

Dengan kata lain seseorang, kata Hanekawa.

"Seseorang———selama dua tahun ini, telah menghiasi batu ini dengan berlebihan seperti patung batu———dan menyembahnya"

"............"


004[edit]

Malamnya.

Aku menuju suatu gedung yang tidak terpakai.

Bekas bimbel yang telah bangkrut beberapa tahun lalu———karena bimbelnya menggunakan sebuah bangunan gedung, mungkin bimbelnya sederajat dengan juku tapi tidak dapat menandingi serangan Yobikō[8] besar yang berkembang ke depan stasiun seperti api, entah mengundurkan diri atau melarikan diri, walaupun mendengar macam-macam, tapi sebenarnya, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Yah.

Entahlah.

Dengan pengertian seperti itu aku, dari SMA yang asal usulnya tidak terlalu kuketahui menuju ke gedung yang tidak terpakai yang asal usulnya tidak terlalu kuketahui, dengan perasaan seperti bagaimana bisa jalan yang samar diikuti tanpa rasa gawat, aku sendiri heran.

Tapi, tidak seperti Hanekawa Tsubasa, aku tidak ingin tahu hal seperti itu hingga sampai menyelidikinya.

"Yo Araragi, ———aku telah menunggumu"

Oshino.

Oshino Meme sang spesialis, dengan ucapan pura-pura tidak tahunya yang seperti biasa itu menyambutku———di ruang kelas pada lantai empat.

Walau ada gadis kecil berambut pirang di pojok ruang kelas, gambaran mengenainya dihilangkan.

Aku memberitahukan keadaannya pada Oshino.

Sebenarnya, aku tidak melakukannya tanpa menambah sedikit dramatisasi di sana.

"Hmmm. Batu ya"

Begitu kata Oshino, om-om dengan pakaian aloha.

"Batu itu sesuatu yang mudah menjadi sasaran kepercayaan———seperti katamu Araragi, tidak apa-apa menganggap power stone itu memang beda jenis pada dasarnya."

"Umm...... bagaimana dengan permata yang mengandung sihir, apakah sama juga ?"

"Yah, tapi masa kini———pada masyarakat masa kini, yang membuat orang tertarik dengan permata adalah harganya yang tinggi dibandingkan penampilannya."

Oshino tertawa enteng.

Dengan gayanya yang suka melantur, jujur, ini adalah tipe yang susah ditangani.

Tapi Oshino Meme, sama sekali bukan om-om yang hanya bisa melantur———menyelamatkan hidupku, menyelamatkan gengsiku, ia adalah om-om yang telah menyelamatkan kemanusiaanku.

Walau tidak ada bedanya dengan melantur.

"Mengutip gaya bicara Araragi, batu itu berukuran seperti apa yang disebut bola rugbi kan ? Nah, pada bola rugbi itu, arah mana yang dihiasi ?"

"Arah mana maksudnya ?"

"Arah vertikal ? Arah horizontal ? Bola rugbi itu kan ada panjang dan lebarnya ?"

"Ah......"

Kupikir akan ditanyakan hal-hal kecil nantinya, tapi sebaliknya, adapun untuk menggantikan Hanekawa menjelaskan hal-hal kecil itulah, sebab aku datang ke sini, sepertinya ini adalah kesalahanku.

Walau kurasa mungkin sebaiknya memang Hanekawa yang datang secara langsung ke sini, tapi walaupun bukan keadaan gawat atau darurat, akal sehat untuk tidak mengajak keluar anak perempuan yang cukup muda larut malam lebih diutamakan.

"Rasanya seperti Ojizousama[9] lho. ...... termasuk juga kuil kecilnya, jika dipikir itu mungkin benar-benar tiruannya Ojizousama...... apa ya ? Jizou itu dewa Buddha kan ?"

"Kau lumayan mengetahuinya ya Araragi, semacam itulah."

"Jangan bilang semacam itulah."

Jangan mengatakan itu dengan lancar.

Tapi yah, tentunya aku tidak bisa menyangkal kalau ini pengetahuan yang kudapat tanpa sengaja, apalagi mengeluarkan pengetahuannya hanya sampai sini saja.

Mengenai Jizou dalam Buddha, aku juga tidak yakin dewa yang seperti apa.

"Anu......, dewa pelindung jalanan kah ? Tidak, tapi rasanya aku pernah mendengar soal enam jizou......, Itukah ? Tapi, kasajizou[10]......"

Entah bagaimana terasa semakin dikatakan semakin menunjukkan wajah aslinya.


"Hahhaa. Itu karena di Jepang, Ojizousama dan Dousojin[11] dijadikan satu———nah, meskipun demikian keberadaannya di petak bunga itu aneh kan ?"

Jarang-jarang Oshino tidak mempermainkan penampilanku yang buru-buru, malah mengatakan sesuatu yang seperti menyambung,

"Patung batu."

Katanya.

"Karena kau menggunakan istilah patung batu, apakah batunya persis berbentuk seperti itu ? Bukan bulatan sederhana, pahatannya, berbentuk seperti orang kah ?"

"Tidak, bagaimana ya......Sejujurnya, karena dalam keadaanku prasangka seperti itu diberikan oleh Hanekawa, bisa dikatakan melihatnya seperti itu walaupun aku melihatnya......tapi mungkin tanpa prasangka apapun, ketika secara kebetulan melewati petak bunga tanpa sengaja, jika melihat batu itu———mungkin hanya menganggapnya sebagai batu yang kasar."

"Heee"

"Yah"

Aku menggelengkan kepala menerima seringai dan anggukan Oshino.

"Mungkin tidak———jika kebetulan melewati petak bunga tanpa sengaja, biarpun tidak mendengarkan apa-apa saat itu, seandainya kondisinya telah dibuat altar dan dikelilingi oleh kuil kayu kecil seperti itu, aku pun mungkin mengiranya batu yang dipahat seperti patung batu-"

"Gejala simulacrum[12]"

"Eh?"

"Cerita tentang manusia yang jika melihat sesuatu yang mirip wajah, akan melihatnya sebagai wajah———menemukan manusia dari kotoran atau noda di dinding.Yah jika dikatakan dengan gaya lama, orang yang melihat hantu ternyata aslinya rumput perak layu."

"Bentuk asli hantu———kaii, cerita kaii, gejala seperti itu masuk cerita ?"

"Tidak-tidak, ini dan itu masih hal yang berbeda———nanti Araragi. Untuk sementara anggap saja batu itu patung batu, kan tidak harus dipahat. Mungkin saja ia lapuk secara alami oleh cuaca, sehingga berbentuk seperti itu."

"Lapuk ya."

"Bagaimana ? Dengan penjelasan itu, meski seharusnya teman yang kau sayangi itu melihat kondisi batu tanpa hiasan dua tahun lalu pun———waktu itu bentuknya tidak berubah kan ?"

"Maksudmu tidak berubah"

Seandainya memang normal, bahkan jika hampir tersandung, adalah normal tidak mengingat soal batu atau bentuknya yang dilihat dua tahun lalu, tetapi Hanekawa Tsubasa tidak senormal itu.

Selama dua tahun, meski warnanya akan berubah karena waktu, katanya waktu melihatnya seperti itu dahulu batu itu berbentuk seperti bola rugbi.

Dengan kata lain, dalam dua tahun ini, walaupun ada orang yang menghiasi bagian luarnya, artinya bentuk aslinya———batu itu sendiri tidak mengalami perubahan.

"Ya. Lalu, apa pendapat mbak ketua ?"

"Pendapatnya———"

Oshino memanggil Hanekawa mbak ketua.

Karena ia membenci diperlakukan seperti siswi teladan, ia tidak begitu bahagia mendapat nama panggilan itu, tapi karena lawannya Oshino, walau tidak puas ia menerimanya.

Ngomong-ngomong aku pernah memanggilnya 'mbak ketua' sekali sebagai candaan dan cukup terkejut saat dimarahinya. Kurasa aku tak mampu pulih.

"Singkatnya menurut Hanekawa, karena melihat kondisi batu yang tidak dihiasi itu, pada waktu itu pun, sepertinya cuma menganggapnya sebagai batu biasa. Tapi kali ini Oshino, sebagai bentuk terima kasih padamu ia akan mulai menyelidiki sekolah———karena menyadari entah bagaimana penampilan batu yang dilihat dua tahun lalu itu berubah. Menurutnya hal itu sangat menakutkan———semacam itu."

"Menakutkan ya"

Oshino mengulangi ungkapanku.

"Yah, pastinya, yang seharusnya cuma batu biasa, jika ditempatkan di kuil kecil dan dipuja akan terasa menakutkan———ada sesuatu yang dianggap mbak ketua menakutkan, hahaha, aku sama sekali tidak bisa memikirkannya"

"Itu bukan hal untuk ditertawakan"

Walaupun itu mungkin karena hanya cara Hanekawa bercerita tapi——— bagaimana ya, tentunya situasi dimana kepercayaan misterius berkembang dalam sekolah, tak tergoyahkan dan menakutkan, jika tidak pun, bukan sesuatu yang mudah diabaikan.

Bahkan orang dengan rasa keterlibatan dengan sekolah yang rendah seperti aku pun berpikir demikian.

"Nah———pertama-tama aku ingin kau memeriksa asal mula kue murahan yang dipersembahkan itu, tetapi mbak ketua sudah melakukannya. Bukannya ia sudah menyelesaikannya sebelum berbicara denganmu Araragi ?"

"............"

Ia mengatakan hal-hal yang seperti mengetahui segalanya seperti biasa.

Jika dikatakan yang diketahui Oshino mengenai Hanekawa, entah mengapa terasa menimbulkan amarah———perasaan yang misterius. Padahal baru saja berkenalan tapi tahu, biarpun begitu, pada akhirnya perkenalan aku dengan Hanekawa pun hanya beberapa hari lebih dahulu sebelum Oshino.

Pada awalnya, aku sama sekali tidak mengetahui apa-apa soal Hanekawa.

"Ya. Lihat mereknya, waktu penjualannya dihitung mundur dari tanggal kedaluwarsanya, tentukan toko yang menjualnya dan siswa yang mungkin membelinya———"

"Seperti detektif ternama ya. Perlukah melakukan wawancara ?"

"Tidak, kelihatannya masih belum melakukannya sampai sejauh itu."

"Apa menurutmu itu tidak melangkah terlalu jauh ?"

"Tidak. Dalam proses penyelidikan, tidak harus seseorang yang memberikan sesajen itu,maksudku karena aku tahu sejumlah orang sepertinya meletakkan kue murahan atau apapun di kuil kecil itu———jika demikian maka aku tidak bisa melebarkan usaha penyelidikan, kukira aku jadi tidak bisa bergerak di balik layar."

"............"

"Jadi, kubawa cerita seperti itu karena kukira kau akan menyukainya. Seperti ucapan terima kasih untuk utangnya dari Hanekawa."

Untuk sementara, kukira aku telah mengatakan apa yang seharusnya dikatakan, kusimpulkan seperti itu.

Tidak, walaupun aku tidak yakin telah menyimpulkannya atau tidak, bagaimanapun juga, telah mendatangi Oshino seperti sekarang, sama sekali bukan karena untuk membicarakan misteri batu yang ada di sekolah, harus kutegaskan bahwa hanya karena kebaikan hati aku membawa informasi kejadian misterius yang ada di sekolah.

Tanpa membedakannya seperti itu, utang yang kupunya akan semakin membengkak. Nah karena lima juta yen sekarang ini pun aku tidak bisa melunasinya, lebih lanjut, jika jumlah utangnya bertambah, sebenarnya bukan masalah dengan cara berpikir seperti itu.

Jika mendengar utang, ketika jumlahnya melebihi jumlah tertentu, sang peminjam tidak harus berputus asa ketika tidak bisa membayar utangnya, sepertinya rasa segan tidak akan diingat dibanding dengan jumlah utang yang meningkat. Tak disangka, mungkin aku sekarang berada di batas itu———jika kita anggap aku tidak bisa mengambil utang lebih banyak daripada ini.

Karena itu aku sulit menghadapi risiko kemungkinan ditarik biaya konsultasi, kurang lebih, tidak, jujur jika dikatakan merendahkan diri pun, saat ini tidak terelakkan.

"Hahhaa"

Mengetahui dugaanku seperti itu, ia pura-pura tertawa.

Meski Hanekawa bercerita soal hantu 'kerakera onna', entah hantu itu tertawa seperti ini atau tidak.

"A- ada apa ya?"

Aku pura-pura bingung.

Tidak, jika benar-benar ketahuan, aku akan benar-benar bingung bukannya pura-pura———

"Me-memangnya spesialis sepertimu tidak ada minat pada cerita seperti cerita hantu sekolah ? Ataukah seleramu cerita berbelit-belit seperti yang berasal dari dokumen ?"

"Sama sekali tidak, bacaan mbak ketua mengenai itu tepat———tentunya, dalam jangkauan spesialisasiku yang all-rounder ini pun, ada kekuatan dan kelemahannya. Cerita dalam wilayah tertutup seperti sekolah itu cukup sulit dikumpulkan———itu pemberian yang pantas disyukuri"

"Be-begitu ya"

"Tapi, karena itu Araragi. Karena ini adalah kebaikan dari mbak ketua, dan bukannya kebaikan darimu, jadi persoalan ini tidak akan melunasi utangmu, untuk itu aku benar-benar berterima kasih."

"............"

Lah.

Sekedar utang tidak bertambah cukup memuaskan kah ?

Tapi, bukannya aku tidak mengharapkannya———sekitar sini mungkin wilayah kompromi.

"Walau itu sulit disebut sebagai cerita kaii———hahha, aku dapat cerita yang bagus. Harus dicatat baik-baik."

"...... Oshino. Perlu diketahui meski aku ingin kau yang menceritakannya,'cerita' seperti yang kau kumpulkan itu, jika terkumpul, akhirnya ingin kau apakan ?"

"ng?"

"Anu...... jadi, mengumpulkannya ke dalam buku kah, memublikasikannya pada masyarakat ilmiah kah...... adakah rencana seperti itu ?"

Untuk menegaskan hal yang terpikir saat berbicara dengan Hanekawa sepulang sekolah, sebenarnya tidak harus mendapatkannya sekarang, tapi aku ingin menanyakannya jika ada kesempatan.

Menarik perhatianku sejauh itu.

Dengan kata lain pria ini, yang bisa dikatakan adalah penolongku, benarkah pekerjaan sebenarnya adalah mengumpulkan kaii ? ataukah sebenarnya tidak punya pekerjaan tapi bersikeras pekerjaannya adalah hobi……

"Hahha. Karena aku tidak punya wewenang khususnya dalam ilmu kaii, aku tidak melakukan hal sebagus itu. Yah, tapi aku menjual cerita yang terkumpul itu pada orang yang menginginkannya."

"Menjual ? Memang ada pembelinya ? Pada semacam cerita hantu ?"

"Sebut saja semacam itu. Kau hampir jadi pemeran utama cerita hantu itu Araragi."

".......ngomong-ngomong, kira-kira berapa ?"

"Hahha. Bagaimana kalau memberitahukan nilai transaksi dengan pelanggan pada agen penjualan."

"............"

Yah, kalau dikatakan demikian aku cuma bisa mundur, tetapi menarik biaya konsultasi dariku dan menyelesaikan masalah kaii, lalu menjual cerita kaii itu di tempat lain dan memperoleh uang, bagaimana mengatakannya ya, kurasa itu bisnis yang sangat nyaman.

Mungkin ia orang yang berada di pertengahan.

......Tentu saja, walau mungkin tidak senyaman yang dirasakan amatir...... apapun itu, mmm, anggap saja aku hanya tahu koleksinya Oshino itu berhubungan dengan pendapatannya.

"Tapi, sesuatu seperti cerita inikah yang akan dibeli seseorang ?"

"Begini. Walaupun orang itu menginginkan apapun———baru-baru ini orang itu, nampaknya melakukan sesuatu yang masih belum kuketahui, menjaga jarak adalah jawaban yang tepat, kurasa. Yah, karena itulah aku tidak bisa menjualnya pada orang itu saja———"

Entah bagaimana Oshino, setelah ini mulai meningkatkan usahanya, hal itu sedikit tergesa-gesa, atau bisa dikatakan mungkin seperti belum beranak sudah ditimang.

Cuma cerita batu aneh yang dipuja pada petak bunga sekolah, tidak terdapat punchline apapun———secara harfiah, orang ini tidak mungkin. Bisa menemukan semacam penjelasan di sana, itulah yang disebut spesialis.

"Lalu, bagaimana Oshino ?"

"Ng ? Bagaimana apanya ?"

"Tidak, jika ditanya lagi, walaupun susah dijawab———sebagai seorang spesialis, bagaimana pendapatmu masalah ini?"

Mengatur bagian yang tidak pasti, aku bertanya kembali.

"Yang seharusnya cuma sebuah batu pada waktu itu dua tahun lalu, dua tahun kemudian, mengumpulkan kepercayaan dari sebagian siswa———sejumlah orang yang tak tentu banyaknya, menjadi semacam kaii, semacam itu kah ?"

"Benda yang menjadi kaii tidaklah langka———pada awalnya, kaii pun memiliki semacam dasar, sesuatu yang berkembang. Tetapi,"

"Eh ?"

"Karena kaii jadi dipercayai———ataukah karena dipercayai jadi kaii, tidak dapat ditentukan."

"Karena kaii jadi dipercayai, ataukah kaii karena dipercayai?"

Meski tujuanku hanya mengulangi kata-kata Oshino apa adanya, tapi sepertinya ada ketidakcocokan,

"Tidak, tidak"

Kata Oshino.

"Bukannya kaii karena dipercayai. Karena kaii jadi dipercayai, ataukah karena dipercayai jadi kaii———begitu."

"......? Ah, yah, tentu, meski sedikit, susunan katanya, partikelnya kelihatan berbeda......sengaja menunjukkan perbedaan itu kah ?"

"Dalam situasi ini ya."

Oshino berkata dengan makna yang dalam,

"Tapi, karena hanya mendengar ceritanya saja, memang sedikit sulit dimengerti. Tidak bisakah kau menggambarnya Araragi ?"

Pintanya.

"Eh?"

"Ya. Jika sepulang sekolah langsung datang ke sini, setidaknya bawa alat tulis dan catatan kan ?"

"Emm, walaupun aku membawanya......"

Aku tidak pernah mengira akan diminta menggambar saat datang kesini. Meski kebingungan, tapi jika diminta aku tidak ingin menolaknya.

"Tapi jujur saja, aku tidak punya nilai seni. Walau kelihatannya mungkin mengejutkan."

"Apa kau tidak mempelajarinya pada saat seni murni di sekolah ?"

"Karena sekolahku sekolah persiapan, tidak diberikan kemampuan pada mata pelajaran kesenian. Terlebih lagi saat pemilihan, aku tidak mengambil seni murni."

"Hmmm...... yah, kalau begitu gambaran besarnya saja cukup."

"ok."

Aku menggerakkan pensil mekanik pada catatan yang kukeluarkan. Bergantung pada ingatan———jika dikatakan kejadian dua tahun lalu, aku cuma bisa bilang tidak ada lagi yang diingat, tapi jika hal-hal yang hanya beberapa jam lalu, begini-begini aku juga masih remaja pelajar SMA aktif, walau tanpa Hanekawa, aku juga memiliki daya ingat.

"Bagaimana menurutmu ?"

"Apaan tidak bagus begini."

Dinilai tidak bagus pada kesan pertama.

Seandainya aku ingin menjadi seorang pelukis, mungkin aku sudah tidak bisa pulih lagi.

Tidak bisakah memuji walaupun cuma bohong ?

"Jangan bilang tidak bagus ah. Begini-begini dengan susah payah aku ingin menggambar menirunya loh. Walau mungkin garisnya kelihatan sedikit bengkok, bentuknya benar-benar seperti ini."

"Bukannya begitu. Jangan cuma gambar batunya saja, kuil kecil dan altarnya juga."

"Huuh ? tapi———"

"Sudahlah."

Didesak tanpa alasan, dengan enggan kulakukan seperti yang dikatakan. Yah, menambahkan gambar kuil kecil dan altarnya bukanlah pekerjaan besar———karena bukan bangunan dengan bentuk sedemikian kompleks.

Sedangkan kuil kecilnya, karena tidak ada ungkapan lain, hanya untuk mengungkapkannya seperti itu kupilih simpel, atau lebih cocok seperti balok mainan, jika tidak dipaku.

"Hemm. Kalau bentuknya seperti ini bagaimana ? Kuil kecilnya."

"Ya———cuma"

Semuanya selesai digambar, kataku. Aku mulai menunjukkan semangat pelayanan apakah perlu latar belakangnya digambar juga, tapi kuputuskan untuk tidak berlebihan.

"Mengenai altarnya, bagaimana ya, bentuknya biasa saja, kesan yang kutangkap hanya meja kecil yang diletakkan sesajen saja, tapi jika dikatakan mengenai bentuk kuil kecil ini, ada perasaan seperti meniru sesuatu walaupun jelek."

"Heeh ?"

Sembari melihat baik-baik catatan yang kuserahkan, Oshino menanggapi kata-kataku.

"Pernah melihatnya sebagai kuil di suatu tempatkah...... ataukah melihatnya sebagai jizousama di jalan atau dousojin, aku tidak tahu...... bentuk kuil kecil itu sendiri, serasa pernah mengingatnya."

"Oi oi. Katakan yang tadi jika kau tahu macam-macam. Ataukah untuk memamerkan keterpelajaranmu, kau ingin menggunakan senjata rahasia ?" Kata Oshino sambil menyeringai.

Daripada mencela, nada bicaranya jelas mengejek.

"Tidak, hanya samar-samar menurutku, sekarang, ketika menggambarnya ke gambar ini, serasa mencapai kesadaran untuk pertama kalinya. Itu artinya———"

Sepertinya berkat kau menyuruhku menggambarnya aku jadi teringat kembali, hampir kukatakan demikian lalu lekas-lekas kuhentikan.

Kurasa akan dimintai biaya jika mengatakan kata-kata sembarangan seperti 'disuruh' atau 'berkat'———tidak, walaupun sebenarnya Oshino bukan orang kikir yang setamak itu menurutku.

Sebab setelah bicara soal uang, aku jadi langsung waspada.

Terlepas dari itu.

"———anu, tapi masih belum bisa mengingatnya secara jelas. Entah merasa pernah melihatnya di suatu tempat, ataukah bukan pertama kali ini melihatnya...... Oshino, kalau kau tahu kah ? Jika kuil kecil itu meniru semacam sesuatu———"

"......nah, aku tidak bisa berkata aku tahu. Tapi."

Tapi, setelah mengatakan itu Oshino diam dan mengembalikan catatan padaku. Karya besar yang telah kugambar dengan susah payah, walaupun terasa sepi menyelesaikan tugas ini kurang dari lima menit, di sini bukanlah tempat untuk mengomentari kemampuan menggambarku.

"Tapi apa ? Jangan mulai berbicara kemudian berhenti———jika kau memiliki semacam petunjuk, segera beri tahu aku."

Meski tujuanku adalah ingin menekannya secara rasional sampai akhir, tapi karya besar yang sepertinya sudah tidak berguna lagi, bisa dikatakan 'menyuruh orang yang tidak punya harga diri menggambar, sebegitukah tanggapannya' ketidakpuasan itu merembes keluar, hasilnya gaya bicaraku jadi sedikit kasar.

Pada tanggapanku yang seperti itu, dengan perasaan tidak peduli Oshino mengelak,

"Hahhaa. Semangat sekali Araragi. Ada sesuatu yang baik kah ?"

Hanya itu jawabnya.

"Ngomong-ngomong, aku ingin mendengar pemikiranmu. Aku sangat ingin mendengar pendapat Araragi yang terpelajar. Bagaimana kau menangkap masalah ini ?"

"Bagaimana ya...... mmm, seperti yang kau katakan secara sepintas tadi, rasanya meski ada 'cerita hantu sekolah' pun, menurutku sulit menentukan apakah ini termasuk cerita kaii atau tidak"

"Hee. Jadi artinya ?"

"Err, ini akan menjadi tafsiran yang realistis dan tidak menarik, dengan kata lain, seseorang, walau aku tidak tahu siapa, seseorang telah menyembah batu yang jatuh di petak bunga itu seperti demikian layaknya dewa———tapi, jika manusia tidak membuatnya, kuil kecil itu tidak akan muncul kan ?"

"Jika vampir mungkin saja mewujudkannya."

Oshino menatap gadis kecil berambut pirang di pojok kelas.

Yah, tentu ada pengecualian seperti itu.

"Tapi, kuil kecil itu jelas hasil pekerjaan manusia. Begitu menurutku. Yah, walaupun aku tidak bisa mengatakannya seratus persen......"

"Hmmm"

"Jadi, dalam situasi ini seseorang, dalam bentuk jamak, maksudnya sejumlah siswa yang tak tentu banyaknya, membantuk semacam grup agama atau kepercayaan kecil lalu menjadikan batu itu benda yang disembah...... perasaan seperti itu?"

Meski aku tidak mampu mengatakannya dengan bagus, juga susah mengungkapkan letak persoalan pada masalah ini, dalam sekolah lahir kepercayaan aneh, jadi memang menakutkan.

Biasanya menakutkan.

"Tapi kepercayaan itu bebas. Dijamin oleh undang-undang."

"Nah, itu sudah pasti———tapi situasi kali ini, menurut kesaksian Hanekawa jelas bahwa batu yang dipuja itu cuma batu biasa hanya sampai dua tahun lalu———jika dipikir begitu, bukannya terasa sedikit menjijikkan ?"

Pada SMA Naoetsu yang hanya memiliki sejarah selama delapan belas tahun, bertentangan dengan tidak adanya 'cerita hantu', batu yang sepertinya mendapat kepercayaan, yang cuma batu di tepi jalan sampai dua tahun lalu, entah bagaimana sulit diterima.

Begitulah yang kurasakan.

"Cerita kaii itu tidak harus selalu memerlukan asal-usul atau sejarah———kaii yang baru pun, satu demi satu terlahir karena diciptakan."

"Itu menjijikan, semacam niat jahat yang menjerat, begitu menjijikannya menurutku. Kurasa Hanekawa mengkhawatirkan itu. Dengan kata lain, seseorang telah memalsukan kepercayaan, memalsukan benda yang disembah, dan menipu banyak siswa kan ?———"

"Menipu ?"

Kata Oshino.

"Menipu, maksudnya merampok kue murahan ?"

"...... tidak, bagaimana yah."

"Jika menipu, bendanya akan lebih terlihat pantas menipu———meski aku belum melihatnya secara langsung, sekedar melihat gambaran jelek Araragi, bangunan kuil kecil itu mungkin sama jeleknya. Kurang lebih sama jeleknya dengan gambarnya kan."

"Oshino. Aku pun mengerti jika aku sendiri lemah dalam bidang itu, tapi jika dikatakan begitu oleh seseorang bukannya akan menyakitinya ?"

Jangan mengatakan karena aku yang menggambarnya, kuil kecil yang jelek itu jadi kelihatan semakin jelek.

"Seandainya memang untuk menipu seseorang, tentu akan membuat kuil kecil yang lebih bagus kan ? Dengan merapikan desainnya, orang bisa tertipu———kata temanku."

"Bukannya kamu tidak punya teman ?"

"Yep. Mungkin bukan teman."

Kukira aku akan menyakitinya balik dengan mengatakan itu, tapi bukannya tersakiti, Oshino malahan hanya tertawa senang.

Entah bagaimana keadaan mentalnya. Suatu teka-teki.

"Apalagi dalam situasi orang itu, ada kemungkinan hal itu cuma kebohongan. Yah, biarpun begitu, bagaimana kesanmu Araragi ?"

"Yah, tentu......begitulah adanya. Jika menipu, tidak mungkin membuatnya seperti hasil pekerjaan anak-anak itu. Jika aku tidak bisa membuatnya sendiri, seharusnya aku bisa memesannya dari luar. Jika demikian, setingkat kepercayaan sungguhan kah ? Adakah aliran yang mengharuskan membuat kuil kecil sendiri meski jelek. Hmmmm, tapi biar dikatakan ada kebebasan untuk memilih kepercayaan pun, kepercayaan aneh yang bermula dari dalam sekolah itu sedikit......"

Terlebih lagi dalam situasi ini, masih terdapat keraguan apakah batu yang dipercaya termasuk seperti melakukan apapun karena pilihannya sendiri. Tapi beda halnya dengan batu permata......atau mungkin meski aku dan Hanekawa hanya tidak merasakannya, mungkinkah batu itu sebenarnya power stone yang sangat hebat ?

"Jika memang power stone, Araragi yang sekarang harusnya bisa merasakan sesuatu kan———mm. Nah Araragi. Sampaikan ini pada mbak ketua. Seandainya gadis itu, harusnya ia bisa mengerti segalanya." Oshino, Oshino yang biasanya menyeringai, entah mengapa———disini, menunjukkan padaku wajah yang menampakkan keadaan hati yang senang dan berkata. Segera setelah melakukan penyelidikan 'kisah hantu sekolah', "Bagaimana jika memeriksa kurikulum SMA Naoetsu sekarang——— begitu. Bagaimana pun juga, karena kewajiban pelajar adalah belajar."


005[edit]

Hari berikutnya.

Kelas di pagi hari, aku menyampaikan kata-kata dari Oshino Meme sang spesialis yang melihat segalanya, pada gadis SMA yang terlalu cerdas Hanekawa Tsubasa, dalam sesaat,

"Aha !"

sepertinya ia telah mengerti semuanya.

Apa-apaan kedua orang ini. Mengerikan

Begitulah menurutku yang awam ini, tentu saja tidak ada yang kumengerti, setelah itu, untuk mendengarkan yang sebenarnya terjadi dari Hanekawa, sebisa mungkin jangan mengatakan hal-hal yang kasar, biasanya,

"Apanya ?"

Dan menahan bertanya.

"Mmm ? Ah, tidak, masalah kali ini hanya ceritaku yang terlalu khawatir———ah, aku jadi menunjukkan sesuatu yang memalukan pada Oshino serta Araragi. Rasanya sia-sia, seperti memukul namun strike out.

"Tidak, kamu sama sekali tidak menyampaikannya......tapi, sesuatu yang memalukanmu ? Ada hal yang kuabaikan kah ? Makanya itu apa ?"

"Begini. Meski ini akan jadi alasan, pada awalnya bukannya aku tidak memiliki keraguan. Jika memercayainya, bukannya akan memercayai yang lebih layak ?———hanya saja, objek yang asal disembah, kuil kecil yang asal-asalan, karena cacat itulah yang mendorong pada apa kata Oshino menakutkan, kata Araragi menjijikan, tanpa pikir panjang aku jadi khawatir. Untunglah tidak terjadi apa-apa."

"Hanekawa. Semangat ! Kalau kamu, harusnya bisa menjelaskannya supaya aku mengerti"

"Biarpun kau bilang semangat ......"

Hanekawa tersenyum kecut.

Sepertinya caraku memohon agak aneh.

"Makanya, ketika menyusun berbagai bagian yang tidak pasti, kesimpulan yang tenang bisa diperoleh. Aku dan Araragi juga kan sampai saat ini melihat batu sebagai pusatnya ?"

"Eh ? Ah, ya. ......tapi, ke arah selain batu...... memangnya ada ?"

"Karena itu kuil kecilnya. Kuil kecil."

"Kuil kecil......?"

"Yep. Kuil kecil. Seandainya kita mempertimbangkan kuil kecil sebagai pusatnya, bukannya batu kita tidak akan menyusahkan Oshino."

Biar menyusahkan atau apapun, orang itu berada di gedung yang tidak terpakai, hanya mendengarkan ceritaku......

"Biar kau katakan untuk mempertimbangkan kuil kecil sebagai pusatnya pun...... Jika kita lakukan itu apa yang terjadi ? Kuil kecil yang compang-camping itu———."

"Mm. Dengan kata lain yang mudah dimengerti, mungkin, batu itu tidak dimasukkan di kuil kecil karena itu dipuja———batu itu dipilih untuk dimasukkan ke kuil kecil."

"......dua hal itu memangnya berbeda?"

"Sangat berbeda. Sampai akhir kuil kecil itu hanya wadah, karenanya itu sendiri bukanlah sasaran kepercayaan———paling tidak, pangkal masalah ini, garis dimana kepercayaan aneh menjerat jadi tidak ada."

"Tapi, biarpun begitu, bukannya sama saja ? Jika kita katakan sebaliknya kepercayaan tidak membelitnya, tapi seseorang mencoba memalsukan kepercayaan, lalu bagaimana ?"

"Tidak, itu salah pengertian."

Kata Hanekawa.

"Karena pada awalnya saat itu dibuat, kuil kecil itu bukanlah kuil kecil"

"............?"

"Apa kurikulum SMA Naoetsu———ya, meski aku belum memeriksanya lagi, karena sebelum mengikuti ujian masuk aku pernah memeriksanya sekali, tiba-tiba aku mengerti"

Memangnya ia melakukan hal-hal seperti itu ?

Ketakutan mengalir.

"Lihat, saat kelas satu, pemilihan pelajaran kesenian ada kan ? Walau saat itu aku memilih seni murni, tapi, pelajaran kesenian itu, selain seni murni, ada juga kaligrafi dan keterampilan kan ? Seandainya Oshino memeriksanya, secara tidak langsung menunjukkan apa kurikulum pelajaran keterampilan itu, begitu menurutku"

"Keterampilan......?"

"Ya. Nah, pelajarannya seperti pengerjaan kayu. Lalu, dalam kurikulum itu, sepertinya———ada kebebasan membuat rumah kecil."

"............"

"Karena kenyataannya aku tidak mendapat pelajaran itu, walaupun tidak benar-benar pasti, intinya, pada pelajaran itu, rumah kecil yang dibuat adalah kuil kecil itu, menurutku."

"............"

"Terlebih lagi, sebatas melihat pada hasilnya saja itu adalah produk gagal———meski hanya perkiraan, secara umum, yang terjadi adalah perasaan seperti ini kurasa. Seorang siswa, mencoba menciptakan rumah kecil pada jam keterampilan dan gagal. Meski gagal, karena itu adalah karya yang dibuat saat pelajaran, ia disuruh untuk membawanya pulang ke rumah. Tapi karena ia hanya bisa membuangnya bahkan jika membawanya pulang ke rumah, ia menuju ke tempat pembuangan sampah untuk membuangnya diam-diam di sekolah. Lalu, saat itu ia melewati sekitar petak bunga."

Tentu.

Di dekat petak bunga itu, ada tempat pembuangan sampah.

Jika membuang sampah sebesar itu, tidak bisa membuangnya di tempat sampah di kelas, biasanya akan memilih untuk langsung membuangnya.

"Saat melewatinya, tanpa sengaja ia melihat batu yang dipermasalahkan———tidak, mungkin hampir tersandung sepertiku. Apapun itu, menemukan batu dengan ukuran yang pas, jika meletakkan batu itu di dalamnya, produk gagal ini pun, tak disangka-sangka jadi dapat dipertunjukkan kan ?"

Bukannya karena ada kuil kecil———batunya jadi kelihatan seperti patung batu.

Karena ada batu———potongan kayu itu jadi kelihatan seperti kuil kecil.

Gejala simulacrum———mungkin berbeda dari itu.

Kegagalan.

Produk gagal, yang jadi bukan produk gagal.

"Sebaliknya———maksudnya kebalikannya ya ?"

Dengan suara yang bergetar, akhirnya aku mengatakannya.

"Ya. Tentu saja, walaupun kejelekannya tidak berubah, paling tidak, dari produk gagal yang ingin dibuang, kuil kecil———rumah kecil itu jadi terlihat, lalu begitu saja, siswa itu pulang ke rumah. Kemudian, seakan-akan ia mendapat kepercayaan, patung batu itu sempurna."

"Altarnya...... , kue murahan sesajennya bagaimana ?"

Mengenai altarnya, mirip seperti itu juga. Entah pelajaran ataukah aktivitas ekskul, saat apapun itu, membuat 'produk gagal', jika siswa yang pulang meletakkannya sebelum kuil kecil maka tidak terlihat seperti altar kan ?...... kue murahannya sudah bukan kegagalan saat pelajaran lagi, orang yang merawat petak bunga, atau siswa yang tidak sengaja melaluinya, memiliki itu di tangannya, mungkin hanya meletakkannya tanpa alasan apa-apa."

"......jadi kepercayaan itu sama sekali tidak dibesar-besarkan, tapi hanya karena itu mirip, entah bagaimana jadi mempersembahkannya ?"

"Soal mempersembahkan itu, sisa-sisa kue yang dibawa ke sekolah diletakkan lalu pulang......sejak awal, meski kemungkinan itu barangkali ada, bahwa asal-usul batu itu bukanlah kepercayaan, ya, kemungkinan itu yang paling tinggi."

Jadi begitu......

kue murahan tanpa uang receh, artinya 'karena tersisa jadi diletakkan' rasanya, sangat tinggi......

"Urusan petak bunga...... siapa yang melakukannya aku tidak tahu, meski begitu, jika tiba-tiba ada kuil kecil, sepertinya pengurusnya yang bertugas membuangnya......"

"Tidak. Jika ia memiliki akal sehat, ia tidak akan segera menghancurkan benda yang terlihat seperti kuil kecil. Karena ia berpikir akan kualat atau tidak."

"Pastinya itu......"

Kemudian segera, akan jadi 'jelas'———kah ?

Asal-usulnya tidak dipertanyakan.

Di sana jelas ada hal yang 'disyukuri'.

"......"

"Ah betapa leganya !"

Mengatakan itu, Hanekawa meluruskan badannya dengan perasaan nyaman.

Untuk watak seperti ia, keadaan 'ada hal yang tidak kuketahui' ini sepertinya benar-benar menjadi stres, senyumannya kelihatan benar-benar telah lega.

"Begitukah......, aku masih tidak mengerti, atau bisa dikatakan ada macam-macam hal yang kupikirkan, yang kurasakan, bagaimana jika hanya kesimpulannya———"

"Bukan begitu. Ini berkat Araragi kan."

"Eh ? Berkatku ?"

"Sebab, kamu mengatakan seperti 'entah bagaimana ada ingatan soal kuil kecil' pada Oshino, Oshino pun langsung mengerti kebenarannya kan ? Bahkan Oshino pun tidak bisa berpikir seperti itu jika tidak ada bahan pertimbangannya———karena harusnya ia tidak bisa memperkirakan kurikulum sekolah sebagai 'tempat tertutup'. Jika tidak ada ingatan mengenai meniru sesuatu pun, jika pada pelajaran telah membuat hal yang sama, jadi teringat kan ? Araragi mengambil seni murni kan, pelajaran kesenian itu, artinya ada keterampilan kan ?"

"......Yah, begitulah. Hal-hal seperti itu."

Bukannya melihat kuil di jalan.

Yang kulihat adalah———ruang kerja keterampilan.

Oshino pun, mungkin hanya ingin mengetahui bentuk kuil kecilnya saat memintaku untuk menggambar———melihat tanggapan 'mengingat saat menggambar' saat itu,ia mengira-ngira kebenarannya———seperti itulah.

Itulah alasannya.

"Nah, dengan ini permasalahan selesai kan———Araragi. Kemana sekarang ? Pelajaran sudah dimulai kan ? Ah, hey, dilarang berlari di lorong~"


006[edit]

Penutup, atau bisa dikatakan punchline kali ini.

Mengabaikan pengaturan Hanekawa, berlari di lorong keluar dari gedung sekolah, menuju halaman, tiba di petak bunga, setelah itu di sana, mengangkat kuil kecil dimana batu yang juga terlihat seperti patung batu dipuja, melemparkannya ke tanah dan menghancurkannya.

"Hah, hah, hah, hah———"

Tidak.

Tidak ada artinya juga bahkan jika menghancurkannya sekarang———biarpun tidak menenteramkan perasaanku, aku membongkar kuil kecil itu, mengembalikannya ke serpihan kayu biasa.

Biarpun tidak sampai sejauh itu, saat batu itu menghilang dari dalamnya, itu hanyalah benda seperti serpihan kayu biasa———apapun itu, aku mengangkut serpihan kayu itu menuju tempat pembuangan sampah.

Itu.

Sebenarnya pengangkutan dua tahun yang lalu.

"............"

Begitulah.

Tak perlu dikatakan lagi, kuil kecil ini kubuat dua tahun lalu saat pelajaran pengerjaan kayu, kemudian tanpa membawanya pulang ke rumah, kurang lebih jalannya seperti yang dikatakan Hanekawa, kutinggalkan di petak bunga.

Ada ingatan itu, karena sama dengan yang dibuat saat pelajaran———bukan begitu, justru karena aku membuatnya sendiri saat pelajaran.

Aku sama sekali melupakannya.

Beda dari Hanekawa, aku tidak bisa mengingat kejadian dua tahun lalu, biarpun begitu, memang ini hanya sisa-sisanya. Jelek lah, pekerjaan anak-anak lah, compang-camping lah, meski aku menyatakan hal-hal yang sangat kejam, itu tidaklah penting, bukannya ini rumah kecil buatanku ?.

Aku mengerti alasan senyum menjijikannya Oshino.

Tidak salah lagi sebenarnya ia menahan keinginan untuk tertawa terbahak-bahak———yang kata Hanekawa telah menunjukkan sesuatu yang memalukan, itu sudah, mungkin sama sekali tidak ada padaku lagi sekarang.

Mungkin Hanekawa memiliki dasar pendapat tidak mungkin ada orang yang sepenuhnya melupakan kejadian yang hanya dua tahun lalu, untungnya itu masih belum terungkap....tapi saking malunya aku tidak bisa lagi menatap langsung ke wajahnya.

Meski begitu, jika pelajaran dimulai, jumlah kehadiranku dalam bahaya, diperintahkan menerima perbaikan dari Hanekawa, aku tidak punya alasan untuk tidak kembali ke kelas.

Dengan susah payah meninggalkan tempat pembuangan sampah, batu yang sampai beberapa saat yang lalu ditempatkan di kuil kecil memasuki wilayah penglihatanku. Ya, hanya terlihat seperti batu biasa lagi.

Tidak bergerak.

Hanya jadi batu biasa.

Untuk sementara, meski masih ada sesajen kue murahan, sepertinya hanya karena pengaruhnya sebuah batu tidak menjadi patung batu, atau benda yang disembah———jika kue murahan itu dibereskan, tentu kue murahan berikutnya tidak akan pernah diletakkan lagi.

Ketika memikirkan itu, dengan tenaga dari rasa maluku, perbuatanku yang menghancurkan kuil kecil itu terasa salah. Nah, masalah akan kualat itu sama sekali tidak mungkin, karena sebagai pembuatnya aku paling mengetahuinya tapi......

Hanya saja aku tidak ingin membawa produk gagal pulang kerumah karena merasa malas, malu, mengenai batu itu yang dengan tergesa-gesa dikembalikan jadi batu biasa lagi setelah dipuja seperti dewa, aku jadi merasa sedikit bersalah.

Tapi meminta maaf pada batu adalah cerita yang aneh...... sembari memikirkan itu, aku memasuki petak bunga, dan mengangkat batu itu.

Karena kaii jadi dipercayai, ataukah karena dipercayai jadi kaii———Seperti itu yang dikatakan Oshino.

Pastinya.

'Pergi' ke batu ini memberikan sesajen meski kue murahan tidak salah lagi adalah kenyataan———mungkin, tindakan tanpa pikiranku yang merasa batu ini mungkin jadi kaii, permintaan maaf adalah yang paling mencolok.

Dari yang jelas batu di sana.

Jadi patung batu yang disyukuri.

Kemudian mungkin menjadi kaii yang mustahil———asal-usulnya sudah tidak ada hubungannya lagi di sana.

Yang mustahil menjadi jelas.

Akankah hari seperti itu datang ?.

Sambil memikirkan itu, secara sembrono pergi ke sekolah juga suatu pertanyaan———menurutku. Sungguh-sungguh menurutku.

Kembali ke kelas, jika gurunya masih belum datang, akan kutanyakan pada Hanekawa. Aku yang tidak tahu berapa besar rasa syukurnya hari-hari biasa, apakah aku bukan orang yang cuek[13]———begitu.

Batunya jadi patung batu.

Jika kayunya jadi kuil kecil, mungkin cuek pun tidak buruk.

"......Ng ? Eh, batu ini ?"

Lalu.

Oleh karena itu aku menyadarinya.

Meski menyadarinya dengan sentuhan, tapi, aku tidak menyadarinya dua tahun lalu. Ya, rasa sentuhan ini, rasa bahan ini, tidak salah lagi.

"Ini kan beton ?"

Catatan[edit]

  1. batu = ishi(石); kemauan = ishi(意志)
  2. perintah maksudnya command komputer
  3. cerita hantu = kaidan(怪談);tangga = kaidan(階段)
  4. Wanita besar dengan kimono dan lipstik tebal, yang menari dan tertawa di atas tembok
  5. Sesosok gadis yang menghantui kamar mandi sekolah. Dia akan muncul bila namanya dipanggil, selengkapnya http://id.wikipedia.org/wiki/Hanako-san
  6. Batu yang dipercaya memiliki kekuatan khusus, misalnya penyembuhan
  7. tempat yang dipercaya dialiri energi mistik
  8. Sekolah persiapan ujian masuk universitas untuk siswa yang sudah lulus SMA, namun gagal memasuki universitas pilihannya dan harus mengulangi satu tahun atau lebih untuk ikut ujian masuk lagi
  9. Ksitigarbha, Di Jepang, Ksitigarbha, dikenal dengan nama Jizō, atau Ojizō-sama. Ia juga dihormati sebagai salah satu dari seluruh dewa dewi orang Jepang. Patungnya terletak di daerah yang mudah terlihat, terutama di pinggir jalan dan di kuburan. Menurut adat istiadat, ia terlihat sebagai wali anak-anak, terutama anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya. selengkapnya http://id.wikipedia.org/wiki/Ksitigarbha
  10. Jizou yang memakai caping, salah satu cerita rakyat di Jepang
  11. dewa pelindung jalan dalam Shinto http://id.wikipedia.org/wiki/D%C5%8Dsojin
  12. bayangan, tiruan terhadap sesuatu
  13. ditulis dengan kanji batu dan kayu