Seirei Tsukai no Blade Dance:Jilid17 Bab 7

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 7 - Makam Raja Iblis[edit]

Bagian 1[edit]

Merasa seperti dia telah dipermainkan oleh roh...


Kamito selesai check in di meja depan dan memasuki kamar hotelnya.


Itu adalah sebuah ruangan sederhana dan tapi dengan sebuah ranjang disamping jendela dan sebuah lemari kecil untuk menyimpan barang-barang berharga. Area kamar itu tidaklah luas, tapi bagi seorang pengunjung biasa, setidaknya sepreinya bersih dan lantainya disapu dengan bersih. Bahkan para putri bangsawan seperti Claire dan para cewek gak akan mengeluh, mungkin.


(...Apa-apaan pria itu?)


Sudah jelas, dia bukanlah pedagang biasa. Akan tetapi, Kamito mendapati itu sulit dibayangkan kalau dia merupakan seorang roh. Pria itu mungkin bukan seorang roh tingkat tinggi yang terwujud dalam bentuk manusia.


(....Seorang elementalis?)


—Gak mungkin. Itu lebih mustahil lagi.


Dalam teori, Kamito merupakan satu-satunya elementalis laki-laki. Oh yah, itu mungkin saja ada tiruan Raja Iblis seperti Jio Inzagi yang dia lawan sebelumnya—


Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan.


Siapa dan dengan niat apa, membuat Kota Raja Iblis ini yang mana sudah hancur seribu tahun yang lalu, muncul?


Keberadaan Putri Saladia. Tujuan dari Kerajaan Suci mengirim para ksatria ke gurun perbatasan.


Dan juga—


Kamito melihat keluar dari jendela.


Dalam bidang pandangnya, piramida raksasa menjulang tinggi gak peduli kemana dia menatap.


(...Sudah kuduga, satu-satunya pilihanku adalah mencoba menerobosnya, kurasa?)


Menaruh barang bawaannya di lantai, Kamito memanggil pedang suci di tangannya.


"Est, apa kau bangun?"


'Ya, Kamito—'


Est membuat bilahnya bersinar untuk menanggapi. Kamito kemudian bilang pada dia:


"Kencan yuk."


'...!?'

Bagian 2[edit]

Setelah bilang begitu, Kamito meninggalkan hotel bersama Est.


Biasanya, Est akan tetap dalam wujud pedang saat Kamito membawa dia keluar ke kota Akademi untuk belanja dan mengerjakan hal lain, tapi hari ini, Kamito meminta dia untuk tetap dalam wujud manusia. Dibandingkan berjalan-jalan sambil membawa sebuah pedang, berjalan bersama seorang cewek sepertinya akan mengurangi kecurigaan yang timbul, mungkin.


Dan juga, ada mimpi-mimpi yang belakangan ini Est alami.


Kamito ingin mengajak dia berjalan-jalan untuk mengubah suasana.


"Kamito betul-betul Raja Iblis Malam Hari... Raja Iblis betulan."


"Tunggu sebentar, aku berlebihan saat menyebutnya sebuah kencan."


Untuk menghindari terpisah dalam kerumunan orang, Kamito memegang tangan Est erat-erat.


...Dari sudut pandang seorang pengamat, mereka berdua mungkin terlihat lebih seperti sepasang kekasih yang sedang kencan daripada seorang roh terkontrak bersama kontraktornya.


Atau mungkin, sepasang saudara yang akrab. Tidak, atau mungkin—


(...Seorang pedofil bersama seorang gadis muda, kuharap tidak.)


Para cewek di pinggir jalan menatap Kamito sambil berbisik pelan. Tentunya mereka pasti memuji seberapa imutnya Est... Dia berharap itulah yang mereka bisikkan.


"Tapi sudah lama sekali sejak aku pergi bersamamu seperti ini."


"Ya, itu benar...."


Saat di Akademi, Kamito mengajak Est jalan-jalan di kota Akademi di hari libur. Tapi sejak Blade Dance dimulai, keseharian berubah menjadi sangat sibuk. Mencari-cari kesempatan tidaklah mudah.


Segera setelah Blade Dance berakhir, Kamito kehilangan ingatannya dan Est berakhir dalam kondisi tersegel. Saat kembali ke Akademi dari Laurenfrost, dia bersama Restia. Benar-benar sudah lama sekali sejak dia terakhir kali berjalan-jalan santai dengan Est, cuma mereka berdua saja, seperti ini.


STnBD V17 BW06.png


"Kamito, itu apa?"


"Itu atraksi jalanan. Aku tau bagaimana melakukan aksi yang mirip juga."


"Seperti?"


"Melempar pisau. Itu adalah sebuah pendidikan yang diperlukan di Sekolah Instruksional."


Est tampak cukup senang bagi Kamito. Dia penasaran apakah Est menikmati hiruk pikuk di jalanan. Meskipun bagi orang lain Est mungkin tanpa ekspresi seperti biasanya, Kamito memahaminya.


"Ngomong-ngomong—"


Menatap alun-alun yang ramai, Kamito bergumam pelan.


"...Ini terasa berbeda dari Kota Raja Iblis yang kubayangkan."


Meskipun dia gak berpikir itu adalah salah satu dari kota-kota iblis bengis yang dikelilingi oleh hutan semak berduri seperti yang diceritakan dalam dongeng-dongeng kuno, tak pernah dia menyangka kalau itu adalah sebuah kota makmur semacam ini. Abaikan Mordis atau Zohar, tingkat kemakmuran ini menyaingi ibukota kekaisaran Ordesia.


Dan juga ekspresi wajah orang-orang sangat ceria. Seseorang gak bisa melihat rasa takut sedikitpun karena hidup dibawah kekejaman Raja Iblis.


"....to, Kamito—"


"Hmm?"


Merasakan tarikan di lengan bajunya, Kamito menengok kebelakang... Dan mendapati mata ungu menatap dia dengan tajam.


"Kamito, aku lapar."


"Oh betul juga, kalau dipikir-pikir, kamu terus tidur sampai sekarang."


Satu-satunya kelemahan roh pedang ultimate ini adalah konsumsi kekuatan yang sangat besar. Para roh sebenarnya nggak perlu makan seperti manusia, tapi kondisi Est lain daripada yang lain. Karena kontrak mereka yang gak lengkap, dia harus mengandalkan pada makan sampai batas tertentu untuk mengisi divine power.


"Baiklah... Gimana kalau kita cari tempat untuk makan?"


Bertanya-tanya apakah ada toko yang menjual makanan didekat sini, Kamito melihat sekeliling.


Lalu, Est menunjuk ke tengah alun-alun.


"Kamito, lihat sebelah sana—"


Kedua mata ungunya berkilauan.


Kamito mengikuti tatapan Est, dan mendapati kerumunan orang berkumpul di depan sebuah kios terbuka tertentu


Seorang pria berotot terus memutar potongan daging besar yang ditusuk, memanggangnya.


Itu adalah kebab, sebuah hidangan terkenal dari wilayah gurun. Penjaga tokonya akan menyajikannya dengan mengiris daging itu sesuai kebutuhan untuk di gulung di piring bersama dengan banyak sayur-sayuran.


"Sepertinya cukup lezat."


Aroma daging panggang itu memasuki hidung mereka, merangsang nafsu makan mereka.


Mata Est terfokus tanpa bisa diganggu gugat pada daging panggang itu.


Kamito tersenyum masam, lalu menyerahkan beberapa uang pada penjaga toko dan membeli kebab. Dia mendapatkan uang sebelumnya dengan bertukar dengan pedagang misterius itu.


"Ini sangat lezat, Kamito."


Memegang kebab dengan kedua tangannya, Est menikmati gigitan demi gigitan, makan tanpa ekspresi.


"Syukurlah kamu menyukainya."


Melihat kegembiraan Est di wajahnya yang tanpa ekspresi, Kamito merasa lega.


Lalu, mereka berjalan kearah piramida.


Kota Raja Iblis sepertinya dibangun dengan berpusat pada piramida itu.


(Aku ingat Restia mengatakan bahwa lokasi itu awalnya adalah istana Raja Iblis—)


Tiba-tiba penasaran, Kamito mengarahkan perhatiannya pada segel roh di tangan kirinya.


Hubungannya masih ada, tapi sejak beberapa saat yang lalu, gak ada tanda-tanda bahwa Restia akan mendengarkan panggilannya.


Haaaaa, kalau masalah Restia, ini sudah biasa sejak lama—


"Kamito—"


Lalu, Est menggenggam tangannya erat-erat.


"Ya, ada apa?"


"Sekarang ini, kau sedang kencan denganku, Kamito."


Sepertinya dia menyadari kalau Kamito mengarahkan perhatiannya pada Restia.


....Aku gak bisa percaya dia menyatakan monopoli.


"....Est."


Menghadapi Est yang terus menatap dia dengan teguh, Kamito cuma bisa tersenyum masam.


"Baik, aku cuma akan fokus padamu sekarang."


Dia dengan lembut menggenggam tangan Est yang kecil.


"Kalau begitu ayo lakukan sesuatu yang sedikit lebih mirip kencan—"


Bergumam, Kamito menatap pasar di jalan dan berjalan ke sebuah toko yang menjual aksesoris.


Itu adalah sebuah toko kecil yang menjual barang-barang kerajinan dari permata dan kristal roh, kalung dsb. yang diletakkan pada tikar.


"....Est, kamu mau yang mana?"


"....?"


"Itu hadiah untukmu."


Kamito menjelaskan agak malu-malu.


"Sangat jarang sekali aku membelikan sesuatu seperti ini untuk Est."


Gimanapun juga, Est bisa membuat benda setelah dia melihatnya, mau itu pakaian ataupun barang lain. Sebagai hasilnya, Kamito itu biasanya membelikan dia makanan atau suvenir lokal bukannya aksesoris.


Mendengar itu, Est membelalakkan matanya.


"Aku senang sekali, Kamito."


Dia berkata pelan.


"Kamito, tolong pilihkan yang cocok untukku. Aku akan menerimanya dengan senang hati."


"Kamu akan senang kalau aku yang memilihnya?"


"Ya, Kamito. Keinginanmu adalah perintah bagiku."


"Hmmm, aksesoris yang cocok untukmu, huh...."


Hal pertama yang muncul dalam benaknya adalah kaos kaki selutut.


....Tapi mereka mungkin tidak menjual kaos kaki selutut disini.


"Aku akan senang asalkan kau yang memilihnya, Kamito."


"K-Kalau begitu.... Gimana dengan ini?"


Mengatakan itu, Kamito mengambil sebuah cincin kecil dengan motif pedang. Dia pikir desain sederhana ini akan cocok dengan Est daripada perhiasan megah yang menggunakan permata.


Dia menyerahkan cincin itu pada Est, lalu Est memeriksanya tanpa sedikitpun ekspresi.


Lalu Est memasang cincin itu pada jarinya, jari yang memiliki simbol kontrak roh sejak jaman kuno.


"....Uh, apa kamu menyukainya?"


"Kamito—"


Est menatap wajah Kamito.


"Kamito, aku akan selalu menjadi roh terkontrakmu, selamanya."


Dia berbicara tanpa ekspresi seperti biasanya.

Bagian 3[edit]

"Apa kau yang mengganggu tidurku?"


Cewek berambut merah menatap para paladin yang berlutut di depannya.


Gelombang panas yang mengerikan membakar udara. Dihadapkan dengan hawa kehadiran yang kuat yang memancar dari seluruh tubuh cewek itu, bukan hanya para Sacred Spirit Knight yang dipimpin oleh Luminaris, bahkan Lurie juga menahan nafasnya.


(Bagaimanapun juga dia adalah seorang Penguasa, meski dalam keadaan setengah terbangun....)


15 tahun yang lalu, Lurie dihadiahi sebuah pertemuan dengan para mahluk yang dikenal sebagai para Penguasa. Teror ekstrim yang dia alami pada saat itu telah kembali pada dia sekarang.


"Penguasa, kami telah membangunkan anda sesuai dengan perjanjian dengan tuan saya."


Mengatakan itu, Millennia Sanctus berlutut dan menunduk pada cewek itu.


"Hmm—"


Cewek yang dipanggil "penguasa" itu menghela nafas gak senang.


"Perjanjian, huh? Memang, aku telah bertukar perjanjian dengan penguasa itu."


Berkata demikian, dia perlahan-lahan mengamati pemandangan disekitarnya.


"Dimana ini?"


"Ini Ghul-a-val. Sebuah daratan yang dahulu dikenal sebagai Kerajaan Zoldia—"


"Aku tidak ingat hal semacam itu."


"Karena anda telah kehilangan ingatan anda, Penguasa."


"—Begitu kah? Aku paham."


Cewek itu berbicara jengkel.


"Dan juga, apa permohonanmu?"


"Kami ingin meminjam kekuatan anda, Penguasa, untuk membakar sebuah penghalang—"


"Oh? Sebuah penghalang—"


Sepertinya menyadari sesuatu, cewek itu mengarahkan tatapan ke kejauhan di gurun.


Di kedalaman matanya yang seperti rubi, kobaran api cerah sedikit bergejolak.


"Sebuah celah dimensi huh? Jarang sekali menemui celah dimensi yang begitu besar."


"Bisakah anda menghancurkannya?"


"—Pertanyaan bodoh. Apa maksudmu kau mau mengujiku?"


"Saya tidak selancang itu."


Millennia tersenyum dan menggeleng tenang.


"Mahluk yang licik."


Bergumam, cewek itu perlahan mengulurkan tangannya ke samping kearah gurun.


Lalu—


"Menarilah, kobaran api merah yang memanggil kehancuran—Hell Blaze."


Sebuah cahaya merah terang muncul di tengah telapak tangannya.


Bola api itu ditembakkan seperti kilatan cahaya.


BOOOOOOOOOOOOOOM!


Sebuah ledakan raksasa dihasilkan, menyaingi hantaman sebuah meteor.


Angin dari ledakan itu menyapu sekeliling, menghamburkan pasir merah.


Seperti sebuah gempa bumi, gemuruhnya menggema kemana-mana. Para paladin menjadi pucat.


"I-Ini adalah apa yang telah.... mengubah negeri Elstein menjadi lautan api, api milik... Penguasa—"


Kata-kata ini keluar dari Luminaris, pemimpin ksatria, yang menahan nafas.


Tapi dia tidak sepenuhnya benar. Cewek ini bukanlah seorang Penguasa yang utuh.


Dia adalah sebuah avatar di alam manusia, sebuah perwujudan dari Penguasa yang terpisah dari tubuh utama.


Volcanius—Elemental Lord yang berkuasa atas elemen api di dunia ini.


Sebuah avatar saja memiliki kekuatan semacam itu—


Kobaran api dari sihir roh menghilang ke Astral Zero.


Setelah apinya padam—


Kota Raja Iblis, bergoyang seperti sebuah fatamorgana, muncul.

Bagian 4[edit]

Bagian dalam Quseir Amra serumit sebuah labirin karena perluasan berkelanjutan yang gak terorganisir.


Dipandu oleh seorang pekerja perempuan, Claire dan para cewek sampai di sebuah pemandian umum di blok yang berbeda.


Fasilitas pemurnian di Akademi Roh Areishia pada dasarnya tanpa dekorasi, memberi suasana ketentraman. Disini, di pemandian umum didekorasi dengan bunga warna-warni dengan pemandangan alam di lukis di dinding.


"....Sungguh tempat pemurnian yang indah. Ini sangat mengingatkan aku pada pemandian air panas Elstein."


Menggunakan handuk untuk menutupi dadanya yang masih berkembang, Claire berseru kagum.


Area mandinya dipenuhi uap, dengan enam bak mandi raksasa yang terbuat dari batu. Beberapa princess maiden muda sedang menikmati berendam disana. Fasilitas pemurnian umum di Teokrasi cenderung bergaya sauna, menggunakan uap untuk membersihkan tubuh, tapi disini, itu tampak seperti menggunakan metode mandi.


"Jadi mereka menggunakan kristal-kristal roh api untuk memanaskan air."


"Sama seperti pemandian air panas di Laurenfrost."


Rinslet mencelupkan jarinya pada bak mandi.


"Akan tetapi, ini aneh."


Fianna memiringkan kepalanya dan berkomentar.


"Kok bisa?"


"Gimanapun juga ini adalah Ghul-a-val, daratan yang diabaikan oleh para roh. Tapi tempat ini bisa menggunakan kristal roh untuk memanaskan bak mandi sebesar ini dengan cara yang stabil—"


"Kalau dipikir-pikir, kau betul juga...."


Kalau mekanisme roh bisa beroperasi secara stabil di gurun, nggak ada perlunya bagi mereka untuk menaiki kapal pasir tua dan berantakan itu kesini.


"Yang pasti, kota ini dipengaruhi oleh suatu kekuatan yang luar biasa..."


"Yah, kesampingkan itu dulu, mari kita mandi terlebih dulu."


"Aku setuju."


Para nona muda itu melepas handuk mereka dan berjalan ke tempat mandi.


"...Hwah~ sudah kuduga, pemandian air panas memang yang terbaik. Ini lebih efektif daripada cuma mandi biasa."


Setelah membilas diri mereka di tempat mandi, menghilangkan pasir yang menempel pada rambut mereka, Claire dan para cewek membenamkan diri mereka di bak mandi terbesar yang dipenuhi dengan air panas yang beruap.


Berendam di air panas sampai pundak mereka, mereka seketika merasa seluruh tubuh mereka tenang.


"Hmm, rasanya seperti mandi pasir nggak mengisi banyak divine power. Mungkin karena kita berada di Ghul-a-val...."


Melepas kuncirnya, Ellis setengah menutup matanya dalam kenyamanan.


"Ellis... Apa payudaramu tambah besar?"


STnBD V17 BW07.png


Mengatakan itu, Claire menatap dada Ellis.


"....! A-Apa yang kau bicarakan? T-Tidak mungkin... Kurasa...."


Ellis tersipu malu, tergagap. Faktanya, baru-baru ini dia mulai merasa bahwa armor Sylphid Knight jadi agak sesak.


"Astaga, Claire juga tambah besar, meski cuma sedikit."


"Hya!"


Fianna menyambar Claire dari belakang, memegang dadanya, menyebabkan Claire berteriak secara menggemaskan.


"....A-A-Apa, a-apa yang kau lakukan, dasar putri bejat?!"


"Astaga, apa tebakanku tepat?"


"Hmph, teknik memperbesar payudara yang kuajarkan pada dia akhirnya menunjukkan hasil, aku paham."


"...~~~~~~~!"


Rambut merah milik Claire mulai menyala, meningkatkan suhu air dengan cepat.


"P-Panas sekali....!"


"Ini adalah pemandian umum, ingat!"


Rinslet buru-buru merapal sihir roh, memasukan bongkahan es kedalam bak mandi.


Mungkin mendengar keributan, para cewek yang bertugas pada servis pijat bergegas mendekat, dengan sopan berbicara dalam bahasa asing untuk mengingatkan kelompok Claire agar bersikap sopan.


....Mengabaikan keributan tuan mereka, para roh terkontrak sedang menikmati istirahat mereka di samping.


Takut air, Scarlet berbaring diatas sebuah kristal roh yang menyala merah panas, menjilati api yang berkobar dengan lidahnya. Simorgh bertengger pada sebuah tanaman dengan sayap terentang. Berenang di sebuah bak mandi, Fenrir populer dengan para princess maiden dari afiliasi lain.


Karena afinitas baja milik Georgios berarti lemah terhadap uap air, jadi bukannya mewujudkan diri, dia tetap di Astral Zero untuk beristirahat.


"Mmmmmm~.... Ini surga...."


Calire meregang seperti seekor kucing sambil meminum air beraroma mawar. Bagi Claire yang tumbuh sebagai seorang putri bangsawan yang dimanja, suatu perjalanan melintasi gurun yang gersang tetaplah cukup melelahkan bagi dia.


"Ya, kita harus berterimakasih pada pedagang itu."


Saat Rinslet menjawab pelan—


"..."


Claire dan yang lainnya terdiam canggung.


"....A-Ada apa?"


"Sebenarnya, tentang itu—"


Ellis berbicara dengan serius.


"Apa segala yang dikatakan pedagang itu betul-betul benar?"


"Yah—"


Claire mengangguk dengan ekspresi serius.


"Meskipun dia gak terlihat seperti orang jahat, kurasa berbahaya untuk sepenuhnya mempercayai perkataannya. Dia bilang dia adalah seorang pedagang dari Zohar, tapi aku betul-betul meragukan kebenarannya."


Mengesampingkan apakah Rinslet percaya atau tidak—


Claire dan yang lainnya mendapati pedagang itu cukup mencurigakan.


Sphinx yang muncul di gurun, roh penjaga ini seharusnya telah diberi tugas untuk menentukan seorang pengunjung layak memasuki Kota Raja Iblis.


Apa roh itu akan betul-betul menolong seorang pedagang biasa yang sekarat?


"Aku ingat dia mengatakan bahwa ada orang lain yang dibawa kesini selain dirinya sendiri. Jika demikian, kita harus menanyai orang-orang itu terlebih dahulu—"


"...Anggap saja dia mengatakan yang sebenarnya tentang itu."


Sebagai tanggapan pada saran Fianna, Claire mengangkat bahu dan menjawab.


"N-Ngomong-ngomong...."


Lalu Ellis berbicara ragu-ragu.


"Ada apa, Ellis?"


"Umm, itu menyadarkan aku sekali lagi barusan... A-Aku masih takut berhadapan dengan p-pria."


"Y-Ya... Aku juga paham itu."


"Ya.... Aku bisa bersimpati."


...Mendengar komentar jujur Ellis, Claire dan Rinslet mengangguk.


Meskipun menghabiskan hari-hari mereka bersama Kamito telah membantu mereka menyesuaikan diri—


Mereka pada dasarnya adalah nona-nona muda yang polos.


"Hmm, namun dari semua orang, kau nggak takut pada Kamito-kun?"


Fianna mencubit lengan Ellis.


"K-Kamito itu spesial... Tunggu, a-anda ingin membuat saya mengatakan apa?"


Ellis tersipu, uap keluar dari kepalanya.


"....Syukurlah, jadilah lebih jujur."


Sambil memeras rambutnya, Fianna berbicara dengan jengkel.


"...~Terus Yang Mulia, apa yang anda rasakan tentang...."


"Tentang apa?"


"....Itu, uh... T-Tentang Kamito... Apa yang anda rasakan—"


Dengan Fianna menatap lurus padanya, Ellis tergagap ambigu berkebalikan dengan gayanya yang biasanya tegas bermartabat.


Melihat itu, Fianna mendesah dan mengangkat bahunya, lalu....


"—Aku mencintai Kamito-kun."


Dia mengatakannya dengan mudah.


"Y-Yang Mulia!?"


Ellis membelalakan mata coklatnya. Claire dan Rinslet juga merasa jantung mereka berdetak kencang.


Fianna juga memalingkan tatapannya pada mereka berdua, tersipu sambil mengeluarkan gelembung di permukaan air.


"... Bagaimana tepatnya yang kalian semua rasakan?"


"...A-Aku... uh.... merasa positif, t-tentang Kamito...."


"A-Aku juga... Uh, umm...."


Rinslet tampak kuatir dan menatap Claire.


Claire tersipu merah padam, mulutnya terbuka dan tertutup.


"I-Itu bukan seperti aku... aku...cinta—"


"Cinta?"


"...~~~~~! O-Ooooooh.... B-Baik, aku akan mengatakannya!"


Claire berteriak hampir sepenuhnya pasrah.


"Aku mencintai Kami—"


BOOOOOOOOOOOM!


Lalu, sebuah ledakan besar terdengar dan pemandian umum berguncang keras.


"A-Apa-apaan ini!?"


"Apa yang terjadi!?"


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya