Rokujouma no Shinryakusha!? (Indonesia): Jilid 7.5 Bab 5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Awal Sebuah Legenda[edit]

Part 1[edit]

Festival panen desa itu berlangsung selama tiga hari. Hari ini adalah hari kedua festival, itulah sebabnya banyak orang yang sudah bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan festival.

"Zzzz, Zzzz, Zzzzz"

Namun, Koutarou adalah pengecualian untuk hal itu, dimana dia sendiri masih tertidur pulas. Dengan sifatnya yang sulit untuk dibangunkan, Koutarou terus melanjutkan dengkurannya meskipun keadaan disekitarnya sudah mulai sibuk.

"...Bangun, Veltlion! Cepat bangun!!"

"Au!? Kamu ngapain sih, Theia!!"

Namun, setelah menerima pukulan yang kuat di dagunya, bahkan Koutarou sekalipun tidak bisa tetap tertidur dan akhirnya bangun sambil mengeluh ke arah pelaku yang biasa melakukan hal itu.

"Aku bukan Theiamillis-san!! Ini aku, Clariossa!! Cepat bangun dan buka matamu!!"

"Hm? H-hah...?"

Tapi, ternyata yang berada di depannya bukanlah Theia, melainkan seorang gadis yang berbeda yang memakai kacamata.

"Tolong tetap tenang, kita sedang menghadapi keadaan darurat!!"

"Darurat...?"

Meski dirinya masih merasa mengantuk dan kebingungan, saat dia melihat raut wajah serius dan nada suara merintih dari Clan, pikiran Koutarou pun menjadi jernih.

"Clan...?"

"Veltlion!! Ada sesuatu yang buruk yang sudah terjadi!!"

"...Sesuatu yang buruk?"

Koutarou mulai mengingat-ingat situasinya saat ini, dan akhirnya makna dari kata darurat mulai dimengerti olehnya.

"Ada apa Clan, apa yang udah terjadi!?"

Setelah melihat Koutarou yang akhirnya sadar, Clan merasa sedikit lega dan melanjutkan bicaranya.

"Ini gawat! Orang-orang jatuh pingsan di berbagai tempat!"

"Apa!?"

"Mereka semua terkena demam tinggi dan kesakitan!"

"Ini, jangan-jangan...!?"

"Benar! Maxfern, si perdana menteri, sudah meracuni sumber air!"

Dengan laporan itu dari Clan, seluruh rasa kantuk Koutarou pun menghilang.

Orang-orang yang pertama kali terkena gejala itu adalah mereka yang lanjut usia dan balita. Karena ketahanan tubuh mereka yang rendah, kondisi mereka semakin memburuk saat hari semakin larut dan terkena demam tinggi. Meskipun para dokter dan pendeta desa sudah merawat mereka, jumlah orang-orang yang sakit justru bertambah. Saat matahari terbit, orang-orang dewasa pun mulai terkena gejala yang sama. Seiring berjalannya waktu, jumlah orang-orang yang sakit bertambah lebih banyak lagi, bahkan para dokter dan pendeta pun terjangkiti juga. Saat Koutarou bangun, sebagian besar warga desa sudah menderita penyakit yang sama.

Racun yang mewabah di desa itu tidak terpengaruh oleh pengobatan apapun. Penawar racun, obat dan bahkan energi spiritual dari para pendeta untuk menyembuhkan tidak bekerja sama sekali. Tidak ada orang yang sudah terkena gejala itu menunjukkan tanda-tanda akan sembuh, dan mereka yang masih sakit masih terus menderita hingga saat ini.

Alaia dan kelompoknya pun mulai menunjukkan gejala yang sama, dengan yang pertama tumbang adalah Charl yang masih muda. Saat fajar tiba, dia sudah terkena demam tinggi dan merintih kesakitan, dimana setelahnya Alaia dan Fauna terkena gejala yang sama. Bahkan, Flair baru saja terbaring di tempat tidur beberapa saat yang lalu.

Untungnya, baik Clan maupun Koutarou tidak mengalami hal itu. Koutaoru tidak terkena gejala apapun, sementara Clan hanya mengalami demam rendah. Jadi, saat ini mereka berdualah yang merawat Alaia dan yang lainnya.

Dengan sebuah tongkat di tangannya, Koutarou mendekati salah satu tempat tidur.

"Caris, saya ingin meminta tolong pada anda"

"...Eh?"

Tempat tidur yang dikunjunginya adalah milik Cari, si penyihir. Saat Caris mulai sakit karena racun itu, tali yang mengikatnya pun dilepas dan dia dibaringkan di tempat tidur. Tongkat yang dipegang oleh Koutarou adalah tongkat yang sama yang diambil dari Caris saat dia ditangkap. Saat Caris menggunakan sihir, tongkatnya berfungsi untuk meningkatkan efek sihirnya.

"Saya akan membebaskan anda dan mengembalikan tongkat ini pada anda. Sebagai gantinya, bisakah anda mencoba menghilangkan racun ini dengan sihir?"

Biasanya, membebaskan mata-mata seperti Caris adalah hal yang tidak bisa dilakukan. Namun, sekarang bukanlah saatnya untuk memikirkan hal itu, karena situasinya begitu darurat. Desa itu sekarang sudah dipenuhi oleh banyak orang-orang sakit yang beberapa diantaranya sudah mulai sekarat.

"...Kamu...mau aku menyembuhkan kalian...?"

"Ya, ini bukan kesepakatan yang buruk untuk anda. Anda juga perlu menyembuhkan diri anda sendiri, benar bukan?"

Wajah Caris terlihat memerah, dan sudah jelas terlihat kalau dirinya menderita karena demam tinggi. Koutarou terlihat seperti berdoa untuk Caris saat dia sedang melihat ke arahnya.

"...Aku mengerti, akan kucoba...", kata Caris yang merasa bahwa Koutarou mengatakan yang sejujurnya dan menerima tawaran itu.

"Anda akan mencobanya!?"

"Ya..."

Kelihatannya dia tidak berbohong...

Caris pun mengangguk dan berusaha bangun, sementara Koutarou dengan cepat bergegas untuk membantunya bangun.

"Kalau begitu, tolong segera bersiap. Anda bisa mulai menyembuhkan diri anda dahulu"

"Baiklah"

Sambil menahan badan Caris, Koutarou mengembalikan tongkat Caris padanya. Caris lalu memegang tongkat itu dengan kedua tangannya, lalu menutup matanya dan mulai berkonsentrasi.

"...Ksatria Biru, tolong topang badanku untuk sementara waktu..."

"Baiklah"

Caris lalu mengarahkan tongkatnya ke dahinya dan mulai merapal mantra.

"Datanglah, wahai roh-roh kehidupan. Datanglah bagai sungai yang besar yang mengaliri bumi. Alirilah kekuatanmu pada ragaku ini, penuhilah jiwaku yang lemah ini, dan redakanlah malapetaka yang kejam ini"

Caris merapal mantra dengan menggunakan bahasa yang dipakai dalam upacara-upacara tertentu di Forthorthe di zaman ini. Tata bahasanya dan ekspresinya yang rumit membuat kekuatan sihir pada dirinya dan sekitarnya terpusat pada tongkatnya. Kekuatan yang sudah terkumpul itu membuat tongkatnya bersinar kebiruan, bahkan Koutarou sendiri bisa tahu hanya dari melihat saja.

Jadi, ini yang namanya sihir ya...!

Saat itu bukanlah pertama kalinya Koutarou melihat Caris menggunakan sihir, namun pertama kalinya dia melihat Caris menggunakan sihir secara langsung menggunakan tongkatnya. Hal itu membuat Koutarou terdiam kagum saat dia menyaksikan peristiwa yang misterius sedang terjadi di hadapannya.

"Dari yang hidup kembali hidup, dari yang mati kembali mati. Buatlah batas di antara mereka dan perbaikilah takdirku!"

Caris akhirnya menyelesaikan merapal mantranya dan cahaya biru dari tongkatnya menyelimuti badannya. Mantra itu telah dirapalnya dengan benar dan telah diaktifkan.

"Fiuh..."

Caris pun menghela nafas panjang setelah selesai, dan disaat yang sama, cahaya biru yang menyelimuti badannya pun menghilang. Setelah memastikan bahwa mantranya sudah selesai, Koutarou, yang sedikit tertarik, bertanya pada Caris apa yang telah terjadi.

"Jadi, bagaimana keadaan anda, Caris!"

Namun, berlawanan dengan harapan Koutarou, Caris justru menunjukkan wajah muram dan menggelengkan kepalanya.

"Sayangnya, mantranya tidak bekerja. Aku sudah menggunakan tingkat tertinggi dari sihir penyembuhan yang aku tahu, tapi kondisi badanku masih tidak berubah sama sekali. Bisa jadi ini bukan racun atau penyakit biasa"

"Begitu rupanya...", balas Koutarou yang terlihat lesu mendengar hal itu, dengan Caris juga merilekskan badannya dan membuat tongkat yang dipegangnya terjatuh ke lantai. Setelah membantu Caris berbaring kembali, Koutarou meletakkan sebuah kain basah ke dahinya.

"Anda sudah berusaha dengan baik, Caris. Terima kasih. Sekarang, istirahatlah"

"Ya...", jawab Caris sebelum ia menutup matanya dengan cepat.

"Dan saat anda sudah bisa bergerak lagi, anda boleh untuk pergi. Saya akan memberitahukan pada yang lainnya"

"Kamu pria yang baik..."

"Sebagai gantinya, tolong jangan lakukan apapun pada yang lainnya. Apa anda mengerti?"

"Aku tahu...kamu memang pria yang aneh..."

Setelah itu Caris tidak berbicara lagi, entah karena dia sudah tertidur atau merasa terlalu sakit untuk berbicara. Koutarou tidak bisa membedakan kedua hal itu, dan dia sendiri juga tidak memiliki niat untuk berbicara lagi pada Caris yang kondisinya semakin melemah. Koutarou lalu pergi dari tempat tidur Caris dan memeriksa kondisi gadis yang lain.

"...Sang Ksatria Biru nyuri penawar racun dari musuhnya dan dia pakai itu buat nolong mereka, tapi...kalau terus begini, nggak, bahkan sebelum itu, bakal ada yang mati..."

Alaia, Charl, Fauna, Lidith, Flair. Ditambah Caris, ada enam orang gadis yang terbaring di atas ranjang di kamar itu, dan mereka semua merintih kesakitan karena demam tinggi yang mereka alami.

"Ksatria Biru..."

Saat Koutarou mendekat, Charl berusaha menggapai dirinya dengan tangannya. Koutarou dengan cepat menggenggam tangan Charl dan terkejut dengan suhu badannya yang tinggi.

"Puteri Charl, tolong jangan paksakan badan anda lebih banyak lagi"

"Fufufu, aku baik-baik saja, ini bukan apa-apa..."

Meski begitu, Charl dengan berani tertawa karena dia tidak mau membuat Koutarou khawatir. Karena Koutarou sendiri mengerti akan hal itu, tanpa disadari Koutarou meneteskan air mata.

"Aku akan segera sembuh, jadi saat aku sembuh nanti, bermainlah denganku lebih banyak lagi..."

"Tentu saja, Yang Mulia"

"Fufufu..."

Charl pun terlelap setelah meninggalkan sebuah senyum tipis.

Orang tolol macam apa sih, yang nyebarin racun tanpa pandang bulu kayak gini!?

Melihat Charl yang kelelahan dan tertidur seperti itu membuat Koutarou marah kepada Maxfern, yang bahkan belum pernah ditemuinya, dan juga kepada dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.

"Sialan", umpat Koutarou sambil memukul meja, karena tidak ada benda lain yang bisa membantunya melampiaskan amarahnya.

"Aku tahu ini mengesalkan, Veltlion, tapi tolong tenanglah sedikit"

"Clan!?"

Koutarou kaget karena dia tidak memperhatikan kedatangan Clan ke kamar itu sampai dia memanggilnya.

"Aku nggak bisa tenang di situasi kayak gini!! Semuanya menderita!"

"Aku mengerti apa yang kau rasakan, tapi semuanya sedang tidur. Jadi, tolong tenangkan dirimu"

"M-maaf"

Koutarou pun mengambil nafas beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Setelah puas melihat itu, Clan menjelaskan mengapa dia masuk ke kamar itu.

"Veltlion, aku tahu apa racun itu sebenarnya"

"Beneran!?"

Koutarou, yang sebegitu kagetnya, mendekat ke arah Clan saat mendengar hal itu. Dia berharap kalau mereka bisa menemukan cara untuk mengobati orang-orang yang terkena racun itu.

"Ya. Tapi, lebih tepatnya lagi, ini bukan racun"

"Bukan racun...? Terus maksdunya apa?"

"Ini adalah virus dengan masa inkubasi pendek yang dapat menyebarkan infeksi. Tentu saja, hal ini tidak akan dapat dikenali oleh orang-orang pada zaman ini"

Clan rupanya meninggalkan Koutarou yang sedang merawat Alaia dan yang lainnya untuk menganalisa racun yang dimaksud. Dia memeriksa sampel-sampel darah yang dikumpulkan dari para pasien dan juga sampel dari air minum untuk bisa mencari tahu racun seperti apa yang digunakan oleh Maxfern.

Meskipun hal itu tidak bisa dikatakan sebagai keberuntungan, karena Koutarou dan Clan sudah tahu kalau racunnya menyebar melalui air, mereka tidak kesulitan untuk mencari tahu penyebab penyebaran virus itu. Alat penganalisa yang dibawa Clan dari Cradle dengan mudahnya menguak wujud asli racun itu, meskipun Clan sendiri terkejut saat dia mengetahui kalau racun itu sebenarnya adalah protein yang mengandung RNA.[1]

"Jadi, maksudnya kita semua terkena virus!?"

"Benar. Ada banyak virus yang terdapat pada sumber air ntuk minum. Karena masa inkubasinya[2] yang sangat pendek, orang-orang pada zaman ini pasti beranggapan bahwa hal ini adalah racun"

Dengan kecepatan penggandaan dirinya yang tinggi, setelah virus masuk ke dalam badan selama beberapa jam, gejala-gejala yang diakibatkannya pun mulai muncul. Karena hampir tidak ada penyakit yang menyebar secepat itu yang sudah diketahui pada zaman itu, orang-orang pun beranggapan kalau mereka terkena racun.

Jelas sekali, orang-orang pada zaman ini tidak mengetahui hal yang bernama virus, dan tentunya mereka tidak mempunyai penanganan untuk hal itu. Meskipun mereka berusaha untuk menanganinya menggunakan sihir, hal itu tidak akan bekerja karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka hilangkan dari tubuh mereka. Jadi, mereka hanya bisa menyimpulkan bahwa mereka terkena racun yang tidak diketahui, karena cara penanganan mereka yang terbatas.

"Jadi, kamu bisa nyembuhin mereka!?"

Bagi Koutarou, cara menangani virus itulah yang lebih penting daripada asal virus itu dan akibatnya. Jadi, dia melewati beberapa pertanyaan dan langsung bertanya pada Clan cara menangani virus itu.

"Hal itu akan terbilang sulit. Tidak ada cukup bahan untuk bisa membuat sebuah obat. Akan lebih mudah untuk dilakukan jika kita berada pada 1000 tahun dari sekarang..."

Karena Clan sudah bisa mengenali bentuk dari virus itu, dia bisa mengolah bahan-bahan yang diperlukan untuk menahan akibat dari virus itu. Clan memiliki teknologi yang diperlukan untuk hal itu, namun dia tidak bisa mendapatkan bahan-bahan yang diperlukannya untuk membuat obat itu di zaman ini. Dia masih bisa mengumpulkan bahan-bahan utamanya satu demi satu, tapi hal itu akan memakan waktu cukup lama.

"Kalau kita berbicara soal realita, kita memiliki dua pilihan", kata Clan sambil membuat angka dua dengan tangannya di depan Koutarou.

"Apa aja!?"

"Yang pertama adalah mencuri penangkal virusnya dari musuh persis seperti yang tertulis pada naskah. Ini adalah cara yang paling cepat"

"Dan yang satu lagi?"

"Pilihan yang satu lagi memiliki resiko yang sangat besar, dan tidak bisa dijamin keberhasilannya, tapi--"

Sementara Clan mulai menjelaskan pilihan kedua pada Koutarou, mereka mendengar sebuah teriakan.

"Tentara!! Pasukan tentara datang!!"

Dari luar desa, terlihat beberapa regu tentara yang dipimpin oleh seorang ksatria.

Rupanya, pasukan dari Forthorthe telah datang. Pasukan itu adalah pasukan ksatria yang dikenal sangat loyal pada Maxfern, yakni pasukan dari keluarga Melcemhein.

Pemimpin pasukan itu sendiri adalah seorang pengawal dari keluarga Melcemhein. Pasukan yang dibawanya terdiri dari 30 ksatria dan 5 penyihir. Jumlah itu cukup rendah untuk dipimpin oleh seorang pengawal, tapi bisa dipastikan kalau pasukannya akan unggul dalam masalah pergerakan.

Mereka menjaga jarak dari desa itu, membangun papan pengumuman di dekatnya dan memberikan pengumuman dari pemerintah. Pengumuman itu berisi perintah untuk menangkap Alaia dan membawanya pada mereka, yang mereka duga berada di sekitar area itu. Sebagai hadiahnya, mereka yang membawa Alaia pada pasukan itu akan diberikan penawar racunnya.

Karena wilayah itu adalah wilayah Mastir, kesetiaan penduduk wilayah itu terhadap keluarga kerajaan yang lama cukup kuat. Jadi, mudah untuk ditebak kalau mereka akan menolak perintah untuk menangkap Alaia dengan cara yang biasa. Maka dari itulah para pasukan itu meracuni sumber air untuk bisa menekan penolakan dari para penduduk. Jika sampai anak atau istri dari para penduduk itu jatuh sakit, mereka pasti akan berjuang mati-matian untuk mencari Alaia.


Part 2[edit]

Setelah mendengar perkembangan situasi yang ada dari Koutarou, Alaia dengan cepat mengambil sebuah keputusan.

"...Mari kita serahkan diri kita pada mereka", kata Alaia sambil berusaha bangkit dengan gemetaran, yang disebabkan oleh demam tinggi, dan lalu berdiri sambil bertumpu pada sebuah pilar.

"J-jangan, Yang Mulia! Ini pasti sebuah jebakan!" tolak Flair. Dia pun ikut bangkit dari tempat tidur dan dengan susah payah berusaha menghalangi Alaia. Para gadis lainnya pun turut menyuarakan penolakan mereka dari tempat tidur mereka masing-masin.

"Jangan, Alaia-sama! Aku juga merasa kalau ini adalah jebakan!"

"Saya juga menolak itu! Mereka adalah orang yang menyebarkan racun hanya untuk menangkap anda, Alaia-sama!! Siapa yang tahu...apa yang akan mereka lakukan pada diri anda!"

"Paman saya adalah orang yang berbahaya. Saya tidak yakin...kalau mereka akan menyerahkan penawar racunnya bahkan setelah mereka berhasil menangkap anda, Yang Mulia..."

Namun, meskipun para gadis itu sudah berusaha menolak usulan Alaia, Alaia tetap tidak mengubah pikirannya.

"Tanpa penawar racunnya, kita semua akan mati. Jadi, menyerah dan mendapatkan penawarnya secepat mungkin adalah jalan yang terbaik"

Beberapa saat lalu, beberapa orang yang lemah sudah meninggal karena racun itu, yakni para orang-orang lanjut usia yang punya ketahanan tubuh yang rendah. Jika situasinya terus berlanjut seperti ini, bahkan orang-orang yang masih muda dan kuat pun akan kehabisan stamina mereka dan berakhir pada nasib yang sama. Mereka tidak bisa bertahan seperti itu hanya untuk bisa hidup selama beberapa hari lagi. Itulah alasan utama Alaia mengapa ia ingin menyerahkan dirinya.

Dan saya harus bisa melindungi Charl, apapun yang terjadi...

Yang lebih utama lagi bagi Alaia adalah kekhawatirannya terhadap Charl. Karena dia adalah anggota keluarganya yang terakhir, jika dia sampai harus kehilangan Charl juga, Alaia akan kehilangan alasan untuk hidup. Dia lebih memilih untuk menyerah, mendapatkan penawar racunnya dan menyelamatkan Charl. Dengan melakukan itu, setidaknya Charl masih bisa bertahan hidup.

Aku akan menyerahkan semuanya pada anda, Layous-sama...

Alaia pun memandangi Koutarou tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia percaya bahwa Koutarou akan melindungi Charl meskipun Alaia tidak ada disana. Karena rasa percayanyalah Alaia bisa memutuskan untuk menyerahkan dirinya.

"Yang Mulia..."

Koutarou pun tahu kalau Alaia lebih mengutamakan keselamatan Charl daripada dirinya sendiri, dan juga betapa sakitnya perasaan Alaia saat itu, yang juga membuat dirinya sendiri merasa sedih. Koutarou bisa mengerti seberapa berharganya satu-satunya anggota keluarga yang tersisa yang menemaninya, dengan dirinya yang hanya memiliki ayahnya saja.

"Veltlion, kau harus menghentikan Yang Mulia! Kau juga tidak ingin melihat Yang Mulia berada di dalam bahaya, benar!?" ujar Flair yang berusaha meyakinkan Koutarou untuk menjadi sependapat dengannya. Di saat itu, Flair sudah bisa percaya pada Koutarou. Setelah mereka selesai bertarung dengan para perampok gunung beberapa hari yang lalu, kejadian di pos pemeriksaan Mastir, hubungan Koutarou dengan Charl dan setelah melihatnya berdansa dengan Alaia kemarin membuat Flair mulai percaya pada Koutarou. Alaia mungkin akan menerima apa yang akan dikatakan Koutarou, dan karena itulah Flair ingin Koutarou menghentikan Alaia.

"Layous-sama..."

Mata Alaia yang memandang ke arah Koutarou pun terlihat seperti berharap akan sesuatu, dan tangannya dengan pelan bergerak menggenggam udara kosong, seakan-akan menginginkan sesuatu untuk diraih.

Meskipun kamu sampai kehilangan nyawamu, ya...

Koutarou, yang melihat sikap Alaia yang seperti itu, teringat dengan percakapannya dengan Alaia kemarin, dan juga dengan apa yang dia katakan pada Alaia.

"Nona Pardomshiha, saya setuju dengan pendapat puteri Alaia"

"Layous-sama!!"

Raut wajah serius Alaia pun berubah seketika saat ia mendengar jawaban Koutarou. Meskipun ia masih menderita karena sakit, senyumnya yang muncul saat itu nampak indah bagaikan salju keperakan yang perlahan turun.

"Veltlion, apa maksud jawabanmu itu!?" tanya Flair yang marah dengan Koutarou. Flair sendiri juga masih sakit, tapi dengan situasi seperti ini, kemarahannya menjadi lebih besar dari yang biasanya.

"Tolong tenanglah, Nona Pardomshiha. Saya tidak menyarankan untuk kita menyerahkan puteri Alaia begitu saja"

"Apa!?"

"Setelah Yang Mulia menyerah dan kita mendapat penawar racunnya, kita akan menyerang markas musuh dan menyelamatkannya. Dalam situasi kita yang seperti ini, hanya inilah cara yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan baik puteri Alaia maupun puteri Charl"

Flair pun terperanjat begitu mendengar nama Charl, dan lalu berbalik menghadap Charl yang sedang terlelap. Flair pun tahu bagaimana situasinya saat ini.

"Bagaimana menurut anda, Clan?"

"Tuan Veltlion, saya mendukung usul anda. Saya sudah memikirkan berbagai macam kemungkinan, tapi saya rasa inilah yang memiliki kemungkinan tertinggi untuk berhasil"

Clan pun setuju dengan Koutarou, karena dia sendiri sudah memikirkan berbagai macam strategi dalam kepalanya, namun yang paling realistis baginya adalah rencana yang diusulkan oleh Koutarou.

"N-namun, bagaimana kau bisa tahu kalau kita akan berhasil!? Kalau keadaannya justru semakin buruk, kita akan berada dalam masalah!"

"Saya tidak tahu. Yang bisa saya lakukan saat ini hanyalah bersumpah demi pedang ini bahwa saya akan menolong Yang Mulia", jawab Koutarou sambil menggoyangkan sedikit Saguratin yang berada di pinggangnya. Alaia, yang melihat itu, mengingat perbincangan mereka kemarin dan lalu tersenyum kecil.

"Walau begitu, saya akan tetap percaya pada anda, Layous-sama"

"Tunggu sebentar, Yang Mulia! Ada lebih dari 30 prajurit di luar sana! Meskipun kita sudah mendapat penawar racunnya, akan tidak mungkin bagi kami sendiri untuk bisa menyelamatkan anda!"

"Maafkan saya, Flair. Namun, ksatria saya bersumpah demi pedangnya sendiri. Saya tidak bisa untuk tidak percaya padanya begitu saja"

Alaia tahu seberapa besar Koutarou menghargai Saguratin, dan Koutarou sudah bersumpah demi pedangnya bahwa dia akan menyelamatkan Alaia. Jadi, meskipun pedang itu sampai hancur, Koutarou akan tetap pergi menyelamatkan Alaia.

Benar juga, meskipun pedangnya mungkin akan hancur...

Alaia tidak memusingkan jikalau Koutarou gagal menyelamatkannya. Bukan keberhasilan atau kegagalan Koutarou dalam menyelamatkannyalah yang menjadi masalah, melainkan makna dibalik sumpah Koutarou untuk melakukan itu. Yang perlu dilakukan Koutarou adalah melindungi Charl, dan Alaia tidak akan mempermasalahkan hal itu. Kalau Koutarou berhasil melindungi Charl, Alaia percaya kalau dirinya akan mati dengan tenang.

"Mari kita berangkat, Layous-sama"

"Baiklah, Yang Mulia"

Alaia akhirnya pergi dengan senyum diwajahnya, tanpa merasa takut maupun cemas sedikitpun.


Part 3[edit]

Pemimpin pasukan yang datang ke desa itu adalah seorang pengawal dari keluarga Melcemhein, yaitu seorang pria kejam bernama Dextro. Salah satu alasan dibalik sifatnya yang seperti itu adalah karena dia lahir sebagai anak ketiga dari sebuah keluarga petani yang miskin, dan dia menggunakan cara apapun untuk bisa naik pangkat. Karena dia adalah orang seperti itu, Dextro mendapat perintah untuk memimpin misi meracuni sumberi air untuk memancing Alaia keluar dari persembunyiannya. Seorang ksatria biasa mungkin akan merasa ragu setelah mendapat perintah semacam itu, tapi orang ini tidak. Kalau dia berhasil menjalankan perintah ini, dia pasti akan naik pangkat. Hanya hal itulah yang penting bagi Dextro.

"Kukuku, pekerjaan mudah..."

Dextro mendapat banyak botol yang penuh cairan hitam dari Maxfern dan sudah menuangkan isinya ke sumur-sumur dan sungai terdekat kemarin. Sementara orang-orang merayakan festival panen, tidak ada yang merasa curiga dengan tindakan Dextro dan para pasukannya. Saat hari menjelang malam, orang-orang yang sudah minum air yang diracuni itu pun mulai tumbang. Perintah itu mudah dijalankan karena semua orang pasti akan minum air. Sementara itu, Dextro dengan tenangnya tidur di dalam tendanya, dan begitu pula saat ini. Dextro sedang berbaring di dalam tendanya sambil minum-minum.

"Dextro-sama"

Seorang tentara yang menjadi ajudan Dextro mendekat ke arahnya, berdiri diluar tenda miliknya dan memanggilnya dari luar.

"Apa?" balas Dextro dengan kesalnya sambil melempar gelas yang dipegangnya.

"Kami telah menemukan Alaia-sama. Dia sedang menuju kesini saat ini"

Namun, setelah mendengar balasan dari ajudannya, sebuah senyuman mulai muncul di muka Dextro, senyum jahat seekor binatang buas yang sedang bermain-main dengan mangsanya.

"Tolol, kau tidak harus memanggilnya Alaia-sama"

"Tidak, tapi..."

"Dia adalah perempuan jahat yang membunuh kaisar dan istrinya setelah mereka diketahui sudah menggelapkan uang rakyat. Tidak perlu menghormatinya dengan panggilan -sama seperti itu"

"B-baiklah..."

Dextro pun tertawa saat dia melihat keraguan ajudannya dalam menjawab. Dia tahu bahwa sebenarnya Maxfern dan Grevanaslah dalang dibalik semuanya. Meski begitu, Dextro tetap mengatakan bahwa Alaialah pelakunya. Alasannya sederhana. Dengan melakukan ini, kemungkinannya untuk naik pangkat akan jauh lebih besar.

"Baiklah kalau begitu, mari kita bertemu sang mantan tuan puteri"

Dextro lalu keluar dari tendanya sambil tertawa dengan girangnya, berbeda dengan suasana hatinya sesaat sebelumnya. Karena dia biasanya berada dalam suasana yang buruk, pemandangan seperti itu membuat ajudannya merasa ngeri.

Saat Alaia berjalan melewati jalan utama desa itu, orang-orang yang berkerumun di jalan itu pun mulai memberi jalan padanya. Meskipun dirinya juga masih menderita sakit, Alaia berjalan melewati jalan itu dengan anggunnya, bagaikan seorang nabi yang dikatakan bisa membelah lautan.[3]

Koutarou dan Clan berjalan dibelakang Alaia. Karena hanya mereka berdua yang bisa bergerak dengan sehat, hanya merekalah yang bisa menemani Alaia. Flair, Fauna dan Lidith yang merasa kuatir telah menyembunyikan diri mereka di antara kerumunan untuk mengawasi mereka bertiga.

"Puteri Alaia, jangan paksakan diri anda terlalu keras"

"Terima kasih, Layous-sama, namun saya tidak ingin mereka berpikir bahwa saya telah menjadi lemah dengan berjalan dengan lambat. Saya tidak bisa terlihat lemah di saat-saat seperti ini"

Koutarou kuatir dengan keadaan Alaia yang saat itu berjalan dengan kecepatan yang biasanya, namun Alaia dengan berani menggelengkan kepalanya. Sudah menjadi aturan yang tidak tertulis untuk tidak menunjukkan kelemahan apapun dalam negosiasi. Jadi, sampai dia bisa mendapatkan penawar racunnya, Alaia berniat menekan sakit yang dialaminya hanya melalui semangatnya saja.

"Dan jika saya terlihat goyah, para penduduk pasti akan merasa khawatir"

"Yang Mulia..."

Koutarou hanya bisa terpana melihat tekad Alaia yang begitu teguh.

Jadi ini toh, yang namanya keluarga kekaisaran...

Ada banyak orang yang melihat mereka dari tepi jalan. Sebagian besar orang-orang itu adalah orang yang ingin mendapatkan obat untuk anggota keluarga mereka yang sakit, dan di saat yang sama, ada banyak juga orang-orang yang masih setia kepada keluarga kekaisaran. Alaia tentu tidak bisa menunjukkan rasa sakitnya demi negosiasi yang akan dihadapinya dan demi orang-orang itu.

"Mereka datang, Tuan Veltlion", kata Clan sambil menunjuk ke arah depan. Di depan mereka, tampak beberapa orang ksatria yang mendekat ke arah mereka dari arah pintu masuk desa. Mereka dipimpin oleh seorang ksatria yang memakai zirah yang terlihat berat, diikuti oleh 30 orang tentara dan lima orang penyihir yang memakai jubah hitam dan memegang tongkat kayu. Jumlahnya 36 orang, jumlah orang yang lebih dari cukup untuk bertemu dengan Koutarou, Clan dan Alaia.

"Kau Alaia?" kata pemimpin pasukan itu yang berdiri di hadapan Alaia, namun tidak memberi rasa hormat sama sekali. Malahan, dia memandang rendah Alaia dan berkata dengan nada kasar.

"Siapa anda?"

Meskipun dia sedang berhadapan dengan ksatria itu, Alaia tidak terlihat gentar, namun suara dan raut wajahnya terlihat dingin. Penampilannya saat itu berbeda dari saat dia sedang bersama dengan Koutarou dan Charl, yakni penampilan seorang tuan puteri yang berhadapan dengan musuhnya.

"Aku berasal dari pasukan ksatria Melcemhein, ksatria perunggu Dextro. Saat ini aku hanya seorang pengawal, tapi aku berencana menjadi ksatria suci segera"

"Jika sikap anda terus seperti itu, anda akan tetap menjadi pengawal selamanya"

"Bagus sekali, seperti yang bisa diharapkan dari seorang mantan tuan puteri. Tapi aku akan menjadi seorang ksatria suci setelah aku kembali membawa dirimu"

Alaia masih tenang, namun Koutarou sudah marah dengan cara bicara Dextro.

Mantan tuan puteri...!?

"...Tenanglah, Veltlion"

Kalau saja Clan tidak memegang Koutarou dan menghentikannya, Koutarou mungkin sudah langsung menyerang Dextro.

"Kukuku, tolong jangan marah begitu, Ksatria Biru", tawa Dextro mengejek Koutarou. Namun, tawanya justru membuat Koutarou tenang. Dia menjadi tidak peduli jika dia sedang direndahkan.

"...Maaf, Clan"

"...Tolong jangan bertindak ceroboh"

Setelah merasa kalau Koutarou sudah tenang, Clan melepaskan Koutarou.

"Oh, jadi kau bergantung sama wanita itu?"

"Ya. Saya bisa menjadi tandingan yang sepadan untuk ketergantungan anda pada Maxfern"

Karena dia sudah terbiasa berkelahi, Koutaou sudah terbiasa dengan adu mulut seperti ini. Dia malah merasa seperti sudah masuk ke dalam arena bertarung dan mulai memamerkan kepercayaan dirinya.

"Apa-apaan itu tadi, dasar sialan!"

Namun, Dextro justru mulai marah dan melotot pada Koutarou. Karena dia bisa naik pangkat dengan mempercayai bahwa kekuatan adalah segalanya, Dextro percaya bahwa dia sudah berusaha mendapatkan posisinya dengan pantas. Jadi, ejekan dimana dia bergantung pada Maxfern akan sangat menyinggung dirinya.

"Tenanglah, Dextro. Kalau anda berniat menjadi ksatria suci, anda tidak bisa kehilangan ketenangan anda hanya karena kata-kata saja"

"...Cih, baiklah"

Setelah Alaia menasihati Dextro, Dextro hanya berkomentar sedikit dan kembali tersenyum seperti tadi.

Jadi dia tipe yang emosian tapi nggak gampang lepas kendali...tipe musuh yang susah nih...pikir Koutarou setelah menganalisa sifat Dextro dari perdebatan mereka. Adalah hal yang penting bagi seseorang untuk memeriksa sifat dari lawan mereka sebelum mereka bertarung.

"Mari kita sudahi perkenalannya. Lewat sini, Alaia"

"Anda akan memberikan penawar racunnya, benar?"

"Itu kalau kau datang ke sini"

"...Kelihatannya saya tidak punya pilihan lain", angguk Alaia pada Dextro dan lalu berbalik menghadap Koutarou dan Clan.

"Saya akan pergi sekarang, Layous-sama", kata Alaia kepada Koutarou, dengan nada bicara dan raut wajahnya yang biasanya.

"Saya akan menyerahkan sisanya pada anda"

"...Saya akan segera menolong anda"

"Terima kasih", balas Alaia sambil tersenyum, dan lalu berbalik menghadap Dextro.

"Apa kau sudah selesai mengucapkan salam perpisahannya?"

"Saya hanya meminta pada mereka untuk menyiapkan buah Kurka kesukaan saya saat saya kembali nanti"

"Kau cukup tangguh juga untuk seorang wanita. Aku suka sikapmu!"

Alaia pun mulai berjalan ke arah Dextro yang tertawa. Sulit untuk dipercaya dari penampilannya saat itu kalau Alaia sedang sakit. Sebaliknya, yang dirasakan orang-orang yang melihatnya saat itu adalah keteguhan dan kehormatan yang begitu kuat.

"Alaia-sama"

"Sungguh mengharukan..."

Para penduduk desa pun merasakan hal yang sama, dan banyak keluhan yang mulai terdengar dari berbagai tempat. Sebagian besar keluhan itu terdengar mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada Alaia selanjutnya.

"Saya sudah datang, Dextro"

Ada jarak sekitar sepuluh meter antara Alaia dan Dextro. Rupanya Alaia tidak memerlukan waktu yang banyak untuk melangkah sejauh itu.

"Bagus"

Dextro lalu memegang lengan Alaia dan menggenggamnya dengan sekuat tenaga agar Alaia tidak bisa meronta untuk melepaskan dirinya.

Uhh...

Meskipun mereka berdua adalah seorang ksatria, Alaia merasa tidak nyaman dengan perlakuan Dextro padanya, berbeda dengan saat Koutarou yang berinteraksi dengannya. Alaia pun menjerit di dalam hatinya saat ia merasakan hal itu, namun ia tidak pernah bisa mengeluarkannya.

"Sekarang, Dextro, berikan penawar racun yang sudah anda janjikan", kata Alaia dengan begitu anggunnya. Bahkan dalam keadaan seperti ini, dia tetap tidak mau menyerah begitu saja.

Meskipun saya harus kehilangan nyawa saya...!

Apa yang melindunginya dari keputusasaan adalah waktu yang sudah dijalaninya bersama Koutarou kemarin.

"Anda sudah menangkap saya, jadi orang-orang yang lainnya tidak perlu menderita lagi, benar?"

"Betul sekali. Baiklah, pasukan!"

Apa yang bakal terjadi?

Koutarou merasa ada sesuatu yang buruk dari senyuman Dextro, seakan-akan dia sedang melihat ke dalam sesuatu yang betul-betul gelap dan mengerikan.

"Bunuh semua pengikut Alaia! Dan juga Charl! Kalau ada yang berusaha menghalangi kalian, bunuh mereka juga!"

"Apa!?"

Tepat saat itulah raut wajah Alaia berubah untuk pertama kalinya. Dextro pun puas dibuatnya, sampai-sampai senyumannya yang mengerikan membuat Alaia bergidik ngeri.

"Betul sekali, Alaia. Wajah seperti itulah yang ingin sekali aku lihat darimu!"

"Tunggu, Dextro! Bagaimana dengan pemberian penawar racunnya!?"

"Hal semacam itu tidak pernah ada"

"Tidak ada!? Apa maksudnya!?"

Ketakutan, kepanikan dan keputusasaan pun mulai tampak di wajah Alaia. Dia sudah tahu apa jawaban Dextro, walau begitu, dia tetap ingin menanyakan hal itu.

"Penawar racun itu tidak ada, tidak pernah ada sama sekali. Tapi, kalau aku mengatakan hal itu, kau pasti tidak akan muncul, benar?"

"Apa..."

Alaia pun terdiam dibuatnya, sehingga akhirnya Koutaroulah yang harus angkat bicara.

"Bagaimana bisa anda menyebarkan sesuatu yang tidak bisa diobati!?"

"Maksudnya? Yang perlu kami lakukan adalah tidak meminum air yang sudah tercemar", jawab Dextro mengejek.

"Bagaimana bisa..."

Alaia, yang sudah bersikap berani hingga saat ini, mulai kehilangan semangatnya dan badannya pun menjadi lemas. Dia sudah bertekad untuk tidak menangis, namun sekarang air mata mulai membasahi pipinya.

Charl akan...Flair, Fauna, Lidith, para penduduk desa....mereka semua akan mati...!!

Alaia merasa akan kehilangan apa yang ingin dilindunginya, yang mana dia telah berjanji untuk melindungi, dan semua yang telah dilakukannya hingga saat ini akan berakhir sia-sia."Putus asa" tidak cukup untuk menggambarkan apa yang dirasakannya saat itu, dimana apa yang telah dilakukan Dextro sama saja dengan menghancurkan segala yang dimiliki Alaia. Dia pun kehilangan kekuatan untuk berdiri dan terjatuh lemas ke tanah.

"Kenapa, kenapa anda melakukan sesuatu yang begitu kejam...kenapa, Maxfer?" tanya Alaia sambil menundukkan wajahnya dan menangis. Air mata itu mengalir perlahan menuju dagunya, jatuh ke atas tanah yang kering dan terserap ke dalamnya. Saat Alaia melihat air matanya menghilang seperti itu, dia semakin merasa tidak mempunyai harapan lagi. Dadanya pun sekarang dipenuhi oleh perasaan bahwa semuanya sudah tidak berguna lagi baginya.

"Kukuku, aku bisa jawab itu. Itu tentu saja untuk menangkapmu, dan juga sebagai contoh. Dengan menunjukkan peristiwa ini, orang tolol manapun akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka jika mereka melawan. Tapi, karena ini juga kesempatanku untuk naik pangkat, aku tidak akan berhenti sampai desa ini saja."

Dextro adalah seseorang yang tidak punya perasaan. Kata-katanya yang kejam dan cemoohannya yang tanpa ampun membuat hati Alaia seperti teriris-iris.

"Tentu saja, karena kalian hanya sendirian, aku mungkin harus menghancurkan banyak desa lagi untuk naik pangkat berikutnya. Ahahahaha, kuhahahahahaha!!"

"Uh, uuuuuh, uaaaaaaah!! Aaaaaaaaaa!!"

Alaia, yang masih tertunduk lemas, akhirnya mulai mengeluarkan isak tangis. Semua harapannya telah hancur dan tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Bahkan sang puteri legendaris pun hanya bisa menangis tanpa bisa beruat apa-apa.

"Tidak ada penawar racun!?"

"Kalau begitu bagaimana!? Kita semua akan mati!?"

"Saya tidak mau mati!! Kenapa kita semua harus mati!?"

"Setidaknya selamatkanlah anak-anak kami, kami mohon!!"

Kepanikan pun mulai melanda orang-orang yang menyaksikan hal itu, seakan-akan mereka bereaksi terhadap tangisan Alaia. Saat para pasukan ksatria mulai mendekat untuk membunuh kelompok Alaia, kepanikan yang ada pun semakin memburuk dan suasana jalan utama desa itu menjadi kacau balau.

"Kukukukuku, fuahahahahaha, ahahahahaha!! Bunuh, bunuh, bunuh mereka semua!!"

Tawa keras Dextro menggema ke seluruh penjuru desa, mengiringi langkah tiga puluh lima pasukannya yang bergerak dengan teratur. Pasukan itu berniat menggeledah seluruh rumah yang ada untuk menemukan kelompok Alaia. Kalau terus begini, para gadis yang tidak bisa bergerak karena sakit pasti akan terbunuh. Beberapa penduduk yang panik pun pasti akan dibunuh, dan mereka yang sudah sakit pasti akan mati karena sakit yang dideritanya. Tidak ada yang bisa menghentikan pasukan itu, dan desa itu sudah pasti akan menjadi penuh dengan mayat.


Part 4[edit]

"Clan, jangan hentiin aku kali ini."

"Tenang saja, Veltlion. Aku hanya akan memberimu perintah."

Rokujouma V7.5 237.jpg

Namun, ada dua orang yang berusaha melawan takdir seperti itu, yakni seorang ksatria berzirah biru dan seorang gadis berkacamata. Tentu saja, mereka berdua tidak akan mungkin bisa melawan 35 orang tentara. Walau begitu, mereka berdua tidak terlihat gentar sedikitpun dan dengan berani berdiri menghalangi jalan para tentara.

"Layous Fatra Veltlion"

"Ya"

"Dalam situasi darurat tanpa adanya kaisar seperti ini, puteri Clariossa akan menggantikan puteri Alaia"

Dengan diiringi bunyi berdenging, Koutarou menghunus pedangnya yang besar dengan gagang emasnya, lalu dia mengayunkan pedang itu dengan gagahnya dan mengarahkannya kepada 35 orang tentara itu. Orang-orang yang mendengar suara pedang terhunus itu pun memusatkan perhatian mereka kepada ksatria itu.

"Ini adalah perintah kekaisaran. Sebagai ksatria Forthorthe, laksanakanlah tugasmu!"

"Baiklah, tuan puteri! Saya akan melakukannya dengan sungguh-sungguh!"

Inilah pertama kalinya sang pahlawan legendaris, Layous Fatra Veltlion, muncul di hadapan mata banyak orang.

"Terkutuklah kalian, wahai kalian orang-orang keji yang meracuni sungai hanya untuk menangkap seorang wanita! Kalian tidak bisa kumaafkan, dan darah kalian akan mewarnai pedangku!" teriak Koutarou sambil memusatkan amarahnya pada pedangnya dan menggertak 36 orang musuh di depannya. Kalimat yang digunakannya rupanya berasal dari naskah drama, namun Koutarou tidak memperdulikan hal itu karena dirinya betul-betul marah saat itu.

Aku akan segera menyelamatkanmu, puteri Alaia!

Koutarou mengarahkan amarahnya pada Dextro, yang menyebarkan penyakit hanya untuk menangkap Alaia, dan pada Maxfern yang telah memberi Dextro perintah itu. Ditambah, tidak ada obat untuk penyakit itu dan beberapa orang yang lanjut usia sudah meninggal karenanya. Kalau terus begini, akan ada banyak orang lainnya yang akan mati, termasuk Alaia dan Charl. Dosa seperti itulah yang tidak bisa dimaafkan Koutarou.

Dengan Alaia yang sudah ditangkap oleh Dextro, Koutarou lebih tidak bisa memaafkan hal itu. Sambil memikirkan bagaimana perasaan Alaia saat dia berjalan ke arah Dextro atas keinginannya sendiri, dan bagaimana perasaannya saat dia tahu kalau Dextro sudah menginjak-injak harapannya, Koutarou tidak bisa menahan dirinya lagi untuk menyelamatkan Alaia secepat mungkin.

"Dasar bodoh. Apa yang kau sendiri bisa lakukan!? Oh ya, aku rasa anjing hanya bisa menggonggon! Kukukuku!" cemooh Dextro pada Koutarou. Dia tidak percaya kalau Koutarou bisa melawan 36 orang sendirian.

"Itu memang benar kalau hanya saya sendiri yang maju. Tapi sayangnya, saya tidak sendiri!"

Dengan sebuah senyum kecil di bibirnya, Koutarou melesat maju, dengan niatan melawan ketiga puluh enam orang dihadapannya.

Benar juga! Aku punya kekuatan yang mereka kasih ke aku!

Hal pertama yang dilakukan Koutarou saat dia mulai berlari adalah melepaskan kekuatan yang ada pada zirahnya.

"Baju manuver, aktifkan mode pertempuran!"

"Baiklah, tuanku"

Zirah itu pun menuruti perintah Koutarou dan menghentikan semua fungsi sehari-harinya, lalu memusatkan semua usahanya pada fungsi yang berhubungan dengan bertarung.

"Silahkan pilih senjata anda"

"Aku pilih yang biasa aku pakai!"

"Dimengerti. Mengaktifkan benturan sonik"

Pedang yang berada di tangan Koutarou pun mulai menggeram pelan. Saat serangan pedang itu mengenai musuh, pelindung yang menyelimuti pedang itu akan memukul pingsan musuh itu tanpa membunuhnya. Itulah cara menyerang yang dipilih oleh Koutarou.

"Informasi: pasukan musuh terdiri dari 36 orang. Rincian: tentara kelas berat: 1, tentara biasa: 20, pemanah: 10, tidak diketahui: 5"

"Yang lima itu penyihir. Anggap mereka bagian pengebom dan pengalihan!"

"Dimengerti, mengatur ulang target. Mendefinisikan lima orang yang tidak diketahui sebagai penyihir"

Clan pun membantu fungsi zirah itu melalui gelangnya, dan lalu menarik keluar senjatanya sendiri melalui lubang di udara.

"Jangan bunuh mereka, Clan!"

"Aku tahu!"

Clan menarik keluar sebuah senapan aneh yang berbentuk mirip kotak. Di Forthorthe, senapan itu dikenal sebagai senapan bius. Senapan itu mudah untuk digunakan, dan bekerja dengan cara melepaskan aliran listrik yang membuat target senapan itu pingsan saat target terkena tembakan.

Alasan mengapa Koutarou dan Clan tidak sembarangan membunuh musuh mereka adalah karena jika mereka sampai tidak sengaja membunuh orang yang penting pada saat perang, sejarah akan berubah. Ditambah, mereka tidak mau membunuh sesama penduduk Forthorthe, yang mana hal itu merupakan keinginan dari Alaia. Menurut Koutarou, dia juga yakin bahwa Theia juga tidak menginginkan hal itu sampai terjadi. Dengan begitu, sang Ksatria Biru menahan dirinya untuk tidak membunuh musuhnya.

"Tembak! Buat mereka menjadi onggokan daging!"

Dextro, di sisi lain, betul-betul bernafsu untuk membunuh Koutarou dan Clan. Dia justru menyuruh para pemanahnya untuk menyerang daripada duduk diam dan melihat Koutarou yang maju menyerang ke arahnya. Para pemanah yang berada di dekat Dextro pun mematuhi perintahnya dan membidik panah mereka untuk menembakkan anak panah mereka bersama-sama.

"Tolong awasin panahnya, ya"

"Dimengerti, memasang pelindung"

Saat sepuluh anak panah meluncur ke arah Koutarou, segienam-segienam putih transparan muncul di sekitar Koutarou. Semua anak panah itu menabrak segienam-segienam itu dan memantul kembali.

"Clan, tolong urus yang pakai panah! Kita nggak mau ada anak panah yang nyasar!"

"Baiklah!" kata Clan yang menyetujui Koutarou dan menyiapkan senapannya. Senapan yang terhubung ke gelangnya itu mulai membidik para pemanah secara otomatis. Karena Koutarou dan Clan dilindungi oleh pelindung mereka masing-masing, mereka tidak perlu kuatir soal adanya anak panah yang melesat, namun mereka ingin agar para penduduk yang ada di dekat situ tidak terkena anak panah.

"Panahnya tidak berpengaruh sama sekali? Kalau begitu, penyihir--sial, dia cepat!!"

Karena tembakan anak panah tidak berpengaruh pada Koutarou, Dextro menyuruh para penyihirnya menyerang Koutarou dengan sihir. Namun, dengan zirah Koutarou sudah berada pada mode pertempuran, Koutarou bergerak dengan gesit dan dengan cepat mendekati para tentara, membuat Dextro kehilangan kesempatannya untuk menyerang Koutarou dengan sihir yang kuat. Kalau dia menyuruh para penyihirnya menyerang sekarang, pasukannya pasti akan terkena serangan itu juga.

"Dia hanya sendirian! Kepung dia!"

Karena tidak ada pilihan lain, Dextro memerintahkan pasukan tentaranya untuk menyerang. Kedua puluh prajurit itu pun mematuhi perintah itu dan berpencar untuk bisa mengepung Koutarou. Para tentara yang memegang tombak dan tameng mulai mendesak Koutarou.

Dulu Sanae ngelakuin apa ya...

Koutarou mulai berkonsentrasi dan mencoba mengingat sensasi yang dirasakannya saat Sanae bergantung di punggungnya, membuat jiwanya merasa dibakar oleh kemarahannya yang kemudian mengalir ke seluruh tubuhnya.

"Begini!"

Tepat di saat itu, pandangan Koutarou berubah. Sebuah cahaya putih terlihat melapisi setiap pasukan itu. Keinginan mereka untuk menyerang mengubah cahaya itu menjadi bermacam-macam cahaya lainnya dan memberi tahu Koutarou kemana mereka akan menyerang. Itulah kekuatan spiritual yang digunakan Sanae saat mereka bertarung bersama untuk memprediksi kemana serangan selanjutnya akan datang.

"Lalu!"

Pergerakan Koutarou pun menjadi semakin tajam, sampai-sampai zirahnya harus mengubah pengaturan untuk bisa mengikuti pergerakan Koutarou. Dengan pergerakannya yang semakin baik, Koutarou bisa menghindari semua serangan tombak yang diarahkan padanya dengan mudah. Itu adalah salah satu kekuatan dari Sanae yang lainnya untuk meningkatkan kemampuan badan. Dengan gerakannya yang betul-betul tepat digabungkan dengan kemampuan menebak serangan, Koutarou dengan mudahnya mengelak dari semua serangan bak daun yang terbang ditiup angin.

Koutarou bisa menggunakan kekuatan-kekuatan itu berkat hubungan yang telah dibuat oleh Sanae. Meski begitu, Koutarou tidak punya kekuatan spiritual sebesar Sanae, jadi dia tidak bisa menggunakan kekuatan ini sebaik Sanae. Namun, hal itu sudah cukup baginya untuk meladeni dua puluh orang musuh.

"Hei, apa kamu bisa ngelindungin puteri Alaia dengan pelindung ini?"

"Meski pelindung ini akan menjadi lemah karena jarak, hal itu bisa dilakukan. Peringatan: perlindungan anda akan menjadi melemah"

"Apa aku terlihat seperti butuh perlindungan saat ini!?" kata Koutarou sambil mengayunkan pedangnya. Beberapa suara ledakan pun terdengar di saat yang bersamaan dengan terpentalnya lima orang pemegang tombak di dekat Koutarou.

"Baiklah, tuanku"

"Kamu bisa nurut begitu ya, hari ini!"

Namun, masih ada lima orang pemegang tombak yang tersisa, dan mereka pun menusukkan tombak mereka ke arah Koutarou. Dia bisa mengelak tiga tombak, namun tidak untuk dua sisanya.

"Peringatan: Gunakan pelindung untuk melindungi diri anda"

"Udah kubilang, aku nggak butuh!"

Koutarou lalu menangkis kedua tombak itu dengan pedang Theia untuk yang satu, dan dengan pelindung tangan milik Kiriha di tangan kirinya untuk yang satunya lagi.

"Uwaaaaaaa!!"

Di saat yang sama, pemegang tombak yang tombaknya ditangkis dengan pelindung tangan Kiriha jatuh pingsan. Rupanya, arus listrik yang ada di pelindung tangan itu mengalir melalui tombak itu menuju si pemegang tombak.

"...Siapa orang itu sebenarnya...?"

Setelah melihat Koutarou dengan gesitnya memukul pingsan keenam prajuritnya, Dextro, yang sedari tadi merasa begitu percaya diri, mulai merasa gentar.

"Hey, kalian semua, maju!"

"T-tapi!! Uwaaaaa!!"

Karena intuisinya berkata akan adanya bahaya yang mendekat, Dextro menyuruh para pemanahnya untuk ikut maju ke garis depan juga, namun tiga dari para pemanah itu sudah dikalahkan.

"Sial, wanita itu rupanya!!"

Dextro tadinya hanya menganggap Clan sebagai pelayan yang lemah, dan karena dia tidak tahu bahwa apa yang dipegang oleh Clan adalah senjata, Dextro dengan cerobohnya membiarkan Clan menembak tiga pemanahnya. Bila dijumlahkan dengan enam orang yang sudah dikalahkan oleh Koutarou, jumlahnya sudah menjadi sembilang orang yang tumbang, yang berarti seperempat dari jumlah pasukan Dextro.

"Tidak mungkin, mereka hanya berdua saja!!"

Dextro pun mulai panik, karena dia sama sekali tidak berpikir akan kalah hingga saat ini. Namun, pemikiran itu akhirnya muncul sekilas. Karena tidak ingin menerima hal itu, Dextro berteriak dengan suara yang keras:

"Kalian bunuh wanita itu! Jangan biarkan dia mempermainkan kalian lagi!"

"Baik!"

Setelah memperhatikan betapa resahnya Dextro dan prajuritnya, Alaia, yang sedari tadi membungkuk dan menangis, mulai menengadahkan wajahnya.

Layous-sama...?

Lewat matanya yang masih sembab, dia bisa melihat Koutarou yang dengan perlahan maju mendekati dirinya.

Layous-sama sedang bertarung...dia melindungi semuanya...

Mereka tidak bisa mendapatkan obatnya, namun Koutarou tetap bertarung untuk melindungi para penduduk dan rekan-rekan Alaia.

Dan dia bertarung demi diri saya...

Dia bertarung untuk melindungi janji Alaia. Melihat penampilan Koutarou yang seperti itu, sebuah pertanyaan muncul di dalam benak Alaia.

Meski begitu, apa yang saya lakukan disini...?

Alaia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa dia terdiam di tempat itu dan tidak melakukan apapun. Bukankah seharusnya dia melakukan sesuatu? Bukankah dia punya tugas untuk dilakukan? Meskipun tidak, bukankah seharusnya dia bangkit berdiri dan membuat Koutarou menjadi lebih mudah untuk menyelamatkannya? Itulah yang dipikirkan Alaia setelah melihat Koutarou.

Orang itu masih bertarung!

Sebuah api semangat mulai membara dari dalam matanya, namun Alaia tidak bisa segera berdiri begitu saja. Dia berniat membiarkan Dextro, yang masih memegang tangannya, untuk berpikir bahwa dirinya masih menangis untuk beberapa saat yang lebih lama lagi sambil mencari kesempatan untuk bisa lolos.

"Kalau begitu...hei, penyihir! Hentikan gerakannya dengan sihir kalian!" perintah Dextro kepada para penyihir untuk menyerang Koutarou.

"Tapi, nanti rekan-rekan kita juga akan kena!"

"Kalau kalian tidak melakukannya, kita yang akan kalah! Berhenti mengoceh dan lakukan saja!"

"B-baik!"

Meskipun dia sendiri tahu kalau pasukannya juga pasti akan terkena serangan penyihir, Dextro tetap menyuruh para penyihir untuk menggunakan sihir. Pada saat ini, Koutarou sudah mengalahkan tiga orang lain, dengan total 12 orang yang sudah kalah. Dextro sudah menganggap Koutarou sebagai ancaman yang berbahaya dan membutuhkan lebih banyak cara untuk bisa mengenai Koutarou, meskipun pasukannya yang menjadi bayarannya.

"Kukuku, tidak peduli seberapa kuat dia, dia tidak akan bisa kabur dari ini..."

Tidak!

Alaia dengan cepat berdiri dan memperingatkan Koutarou.

"Awas, Layous-sama!! Para penyihir sedang mengincar anda!"

"Diam!! Kau sudah terlambat!!"

Dextro lalu tertawa dengan sombongnya. Dengan lima penyihir yang mneyerang secara bersamaan, tidak peduli seberapa cepat Koutarou bergerak atau seberapa besar pertahanannya, dia pasti tidak punya cara untuk menghindar dari serangan itu.

"Para penyihirnya!?"

Berkat peringatan dari Alaia, Koutarou melihat ke arah para penyihir dan memperhatikan niatan mereka untuk menyerang, yang mana arah serangannya akan menuju ke area di sekelilingnya yang juga cukup besar untuk mengenai kedelapan pasukan yang tersisa.

"Apa dia mau nyerang aku sama pasukannya sendiri!?"

Tepat saat Koutarou menyadari hal itu, kelima penyihir sudah membuat bola api besar yang berada di ujung tongkat mereka masing-masing, menyinari dengan terangnya area di sekeliling para penyihir itu.

"Reaksi energi dengan kepadatan tinggi terdeteksi dari penyihir. Peringatan, tolong gunakan pelindung untuk melindungi diri anda sendiri"

"Kamu tetep lindungin tuan puteri!" balas Koutarou yang menolak usulan dari komputer zirahnya, lalu mengarahkan tangan kirinya ke arah bola-bola api. Sementara itu, para prajurit yang berada di sekitar Koutarou mulai panik.

"Eh, apa komandan mau membunuh kita bersama orang itu!?"

"Tolong selamatkan kami, komandan!!"

"Kalian terus lawan si Ksatria Biru itu!"

Meskipun para tentaranya sudah meminta pertolongan, Dextro menolak permohonan mereka dengan nada bicara yang mirip dengan Koutarou.

"Anda ingin menjadi seberapa busuk lagi!? Kalau kalian semua tidak ingin terluka, menunduk!!"

Para penyihir menembakkan bola-bola api itu tepat saat Koutarou berteriak seperti itu. Sasaran mereka tentu saja Koutarou. Namun, ada sebuah bola api yang muncul di hadapan mereka, yang rupanya berasal dari pelindung tangan di tangan kiri Koutarou.

"Maju!"

Setelah Koutarou memerintahan demikian, bola api yang baru itu melayang menuju bola-bola api yang sudah ditembakkan oleh para penyihir. Rupanya Koutarou berusaha menghapus serangan mereka dengan serangannya sendiri.

Bola-bola api itu pun saling bertabrakan di tengah udara, namun sayangnya, hal yang terjadi selanjutnya tidak terjadi sesuai dengan yang dibayangkan oleh Koutarou. Bola-bola api milik para penyihir ternyata lebih kuat daripada miliknya, jadi bola apinya yang hanya satu itu tidak cukup untuk menghentikan bola-bola api mereka, meskipun kekuatan bola-bola api yang masih menuju ke arah Koutarou itu sudah menurun cukup banyak.

"Jadi, nggak guna ya!"

"Peringatan! Gunakan pelindung--"

"Diem! Kalau kamu emang dibuat buat dipake di luar angkasa, tahan sekuat-kuatnya!"

Koutarou lalu menyilangkan tangannya di depan wajahnya dan bersiap untuk menghadapi serangan itu, mempertahankan dirinya hanya dengan semangat dan keberanian semata. Bola-bola api itu pun mendekat, dengan nyala api merahnya yang membara mewarnai seluruh tubuh Koutarou.

Dan, bola api itu pun meledak.

"...Huh?"

Namun, tidak seperti yang dibayangkannya, ledakan itu tidak melukai Koutarou. Ledakan itu rupanya dihalangi oleh selubung kekuningan yang muncul sesaat di hadapan Koutarou lalu menghilang.

"A-aku nggak tahu kenapa, tapi aku selamat..."

Rupanya, selubung kuning itu adalah salah satu sihir pertahanan yang dipasangkan Yurika pada Koutarou saat dirinya bertarung melawan Clan. Sihir itu tidak aktif selama ini dan hanya aktif saat sihir itu merasa kalau Koutarou berada dalam bahaya, lalu menghapus ledakan itu.

"Tidak mungkin!"

Serangan yang dibuat oleh kelima penyihir itu tidak mempan pada Koutarou, dan membuat Dextro, yang sudah begitu yakin dengan kekuatan serangan itu, tidak bisa mempercayai dengan apa yang baru saja terjadi dihadapannya. Ternyata, bukan Dextro saja yang dibuat terhenyak dengan pertarungan Koutarou.

"Nona Pardomshiha, siapa gerangan orang itu?"

"Itu...hal itulah yang ingin saya ketahui, Lidith..."

Rekan-rekan Alaia tidak bisa menyembunyikan kekagetan mereka saat mereka menyaksikan pertarungan itu. Pertarungan itu terlihat begitu luar biasa sampai-sampai mereka lupa dengan sakit yang sedang mendera mereka.

"Pedang dan zirah itu...berdasarkan kekuatannya, benda-benda itu pasti dibuat dengan alkemi...saya tidak bisa membayangkan cara lain untuk membuat benda-benda itu, dengan mempertimbangkan bahwa alat yang termasuk dalam zirah itu bisa membuatnya menggunakan listrik dan api."

Karena Lidith adalah seorang alkemis, dia membayangkan kalau zirah dan pedang yang digunakan oleh Koutarou dibuat dengan menggunakan sains dan teknologi yang lebih mutakhir.

Sains pada zaman ini belum diklasifikasikan secara keseluruhan, dan bukan hanya sains saja, tapi juga farmakologi, obat-obatan, sihir, fenomena supernatural dan banyak hal lainnya dipelajari di dalam bidang alkemi, yang juga termasuk teknologi untuk memurnikan metal. Beberapa alkemis memonopoli pembuatan baja dengan ketahanan tinggi dan mengambil keuntungan besar dari itu. Jadi, bagi Lidith yang sudah melihat zirah milik Koutarou dari dekat, dia berasumsi kalau zirah itu dibuat dengan alkemis tingkat tinggi.

Dan jika pedang dan zirah itu dibuat dari alkemi, sudah sewajarnya jika dia menganggap alasan mengapa Koutarou bisa memanipulasi listrik dan api menggunakan tangan kirinya adalah berkat alkemi juga. Orang-orang zaman ini sudah menemukan cara-cara dasar untuk membuat aliran listrik dan ledakan.

"Tidak hanya alkemi. Kelihatannya dia juga menggunakan energi spiritual untuk bertarung. Memang, dia tidak sebaik saya, tapi kelihatannya dia bisa membaca energi spiritual yang dipancarkan oleh musuhnya. Sepertinya dia juga menggunakan energi spiritual untuk meningkatkan kecepatannya", kata Fauna yang turut bergabung ke dalam diskusi itu. Sebagai pelayan dewi fajar, dia bisa memanipulasi energi spiritual lebih baik daripada Koutarou, dimana dia menggunakan kekuatannya untuk menyembuhkan mereka yang sakit dan terluka. Itulah sebabnya Fauna bisa dengan cepat mengetahui kalau Koutarou sedang menggunakan energi spiritual untuk bertarung.

"Kemampuannya menggunakan pedang juga patut dipertimbangkan...yang berarti pasukan ksatria darimana Veltlion berasal tidak hanya terlatih menggunakan pedang, tapi juga dalam energi spiritual, dan hebat dalam menggunakan alkemi..."

Flair menjadi keheranan dengan kesimpulan yang dibuatnya dari diskusi itu. Gaya bertarung Koutarou betul-betul berbeda dari gaya bertarung para ksatria biasa. Flair sendiri tidak pernah mendengar pasukan ksatria asal Koutarou yang aneh namun kuat itu.

"Bukan hanya itu. Dia juga bisa memakai sihir"

"Caris!? Kenapa kau ada disini!? Apa kau tidak bergabung dengan para prajurit lainnya!?"

Flair terkejut dengan munculnya Caris yang tiba-tiba bergabung dengan mereka. Karena Flair sudah diberitahu bahwa Koutarou membebaskan Caris, dia tidak berpikir kalau ternyata Caris masih berada di dekat mereka.

"Itu yang tadinya ingin aku lakukan", kata Caris dengan senyum kecut sambil bertumpu pada tongkatnya.

"Tapi, saat aku sedang berjalan kesana, aku mendengar kalau tidak ada penawar racun untuk ini. Mereka sudah berencana untuk meninggalkanku bersama dengan kalian. Jadi, aku berpikir, sebelum aku mati sia-sia, setidaknya aku menolong pria itu sedikit. Itu saja"

Caris rupanya berencana untuk bergabung dengan pihak Dextro kalau ada obat untuk penyakit ini, tapi setelah dia mengetahui bahwa tidak ada obat untuk itu, Caris tersadar kalau mereka berencana membunuhnya bersama-sama Alaia dan kelompoknya. Di saat yang sama, pasukan Dextro membunuh orang tanpa pandang bulu, dan itulah yang tidak disukai oleh Caris.

Caris sudah bersumpah setia pada Maxfern, atau lebih tepatnya, pada kepala dewan penyihir, yakni Grevanas, karena Grevanas sudah mengadopsi dirinya dari sebuah panti asuhan di kawasan kumuh. Meski begitu, sebuah serangan yang tidak pandang bulu sedang terjadi di daerah seperti itu. Tindakan keji seperti itu bagi Caris adalah sebuah pengkhianatan atas kesetiaannya.

Setelah kehilangan jati dirinya, Caris teringat dengan kata-kata Koutarou.

Terima kasih.

Dia kembali karena kata-kata itu.

"Begitu rupanya..."

Flair pun percaya pada Caris, karena dia melihat mata Caris yang berkata seperti itu padanya. Kalau Caris memang berniat untuk membunuh Flair dan yang lainnya, dia pasti sudah melakukannya sejak lama.

"Jadi, Caris, kau bilang Tuan Veltlion menggunakan sihir...", kata Lidith yang lebih tertarik dengan Koutarou dan menginginkan penjelasan lebih lanjut dari Caris, yang mana Caris mengangguk untuk melanjutkan.

"Aku tahu saat dia menghapus bola api itu. Mungkni hanya sebentar, tapi dia menggunakan sihir sekelas penyihir tingkat tinggi. Aku tidak tahu apakah si Ksatria Biru sendiri bisa menggunakan sihir, tapi setidaknya dia hidup di lingkungan dimana dia bisa mendapat sihir setingkat itu dalam kehidupannya sehari-hari"

"...Apa kau baru saja mengatakan sihir tingkat tinggi?" tanya Flair yang kembali terkejut.

Penyihir tingkat tinggi mengacu pada ketujuh penyihir terhebat dari dewan penyihir, yang mana kepala dari dewan penyihir itu, Grevanas, adalah salah seorang diantaranya. Mereka bertujuh adalah penyihir yang sangat kuat, yang berada di puncak dunia sihir. Sementara itu, Koutarou terlihat bisa menggunakan sihir yang setingkat dengan mereka bertujuh. Karena itulah, ada satu hal lagi mengenai hal itu yang tidak dimengerti oleh Flair.

"Seni berpedang, energi spiritual, alkemi dan sihi...senjata berapi yang digunakan oleh pelayannya juga terlihat hebat...siapa sebenarnya mereka berdua...?"

"Siapa yang tahu...tapi, sudah jelas kalau sang dewi fajar mengasihi mereka"

"Veltlion?"

"Bukan, puteri Alaia", kata Caris sambil tersenyum dan mulai melangkah pergi sambil bertumpu pada tongkatnya.

"Kemana kau mau pergi?"

"Aku akan pergi membantu Ksatria Biru. Dia mungkin akan menang, tapi aku kuatir dengan kelima penyihir itu. Serahkan ini padaku, dan kalian bisa pergi untuk melindungi tuan puteri yang satu lagi"

"Saya mengerti. Sebaiknya kita lakukan itu", jawab Flair yang setuju dengan usulan Clair setelah menganalisa situasi yang ada di kepalanya.

Akan sulit bagi Flair untuk bisa melawan pasukan tentara itu sementara dirinya masih menderita karena sakit. Namun, Caris yang bisa menggunakan sihir punya beberapa cara untuk menolongnya. Akan lebih baik jika mereka membiarkan Caris menolong Koutarou dan mereka sendiri pergi melindungi Charl. Meskipun penyakit itu sudah menjalar ke seluruh tubuhnya, Flair masih bisa melindungi Charl dari para penduduk desa yang sudah panik.

"Mari kita pergi, Fauna, Lidith"

"Nona Pardomshiha, saya akan pergi dengan Caris"

"Kenapa?"

"Karena rasa penasaran saya sebagai seorang alkemis"

"Kalau begitu saya serahkan dia padamu. Mari kita pergi, Fauna"

"Baik!"

Flair dan Fauna akhirnya pergi ke tempat Charl, sementara Caris dan Lidith pergi untuk membantu Koutarou.


Part 5[edit]

"Haiyaaa!!" teriak Koutarou mengayunkan pedangnya, membuat pedang itu mengeluarkan percikan api saat berbentur dengan zirah salah seorang tentara.

"Guwah!!"

Salah seorang dari kedua pemanah yang tersisa terkena serangan itu dan jatuh terguling-guling di atas tanah.

"Uwaaaaa!!"

Sesaat setelahnya, seorang pemanah lagi yang baru saja mengelak dari pedang itu, berteriak dan ambruk ke atas tanah. Rupanya, dia terkena tembakan dari senjata Clan.

Setelah Koutarou menghapus serangan bola api para penyihir, pertempurannya menjadi berat sebelah, dimana Koutarou berhasil mengelak dari serangan semua prajuritdan serangan para penyihir tidak mempan padanya. Para prajurit yang tersisa pun tumbang satu demi satu setelah dikalahkan oleh Koutarou dan Clan. Ini terjadi karena perintah Dextro untuk menghabisi Koutarou dengan nyawa prajuritnya sebagai balasannya, dan sekarang perintahnya tidak dituruti lagi oleh mereka.

"...Sekarang tinggal enam lagi"

Clan pun tersenyum tanpa merasa takut sambil mengisi ulang peluru pada senapannya. Saat itu, hanya ada enam orang prajurit yang tersisa dari pasukan yang tadinya berjumlah tiga puluh enam orang, yakni Dextro dan kelima penyihirnya. Kemenangan sudah berada dalam genggaman Koutarou dan Clan.

"Tidak kusangka kau bisa melakukan hal seperti ini...jujur saja, kau membuatku kaget, Ksatria Biru"

"Saya harap anda mengembalikan Alaia pada saya, ksatria perunggu Dextro"

Namun, yang tidak disangka, Dextro masih memiliki senyum yang menyeramkan pada wajahnya, membuat Koutarou merasa terganggu saat dia melihat senyuman itu sembari mengarahkan pedangnya pada Dextro. Kelihatannya, Dextro masih belum merasa putus asa.

"Aku tidak bisa mengembalikannya padamu semudah itu. Ini bukan sekedar permainan"

"Layous-sama, jangan dengarkan kata-kataDextro! Dia sedang mencoba mengulur-ulur waktu! Para penyihir sudah melakukan sesuatu selama beberapa saat ini!"

"Cih. Seharusnya kau diam saja!" ujar Dextro sambil menarik Alaia ke arahnya, lalu mengarahkan sebuah pisau ke lehernya.

"Diam sebentar, Alaia!"

"Uh!?"

Alaia hanya bisa terdiam tanpa mengeluarkan teriakan saat diperlakukan seperti itu.

"Yang Mulia!...Hei, kenapa dengan pelindungnya!?"

Saat Koutarou melihat tindakan Dextro, dia menjadi bingung dan bertanya dengan gusar kepada komputer di zirahnya.

"Target B berada dalam wilayah batas pelindung"

"Sialan"

Pelindung yang dibuat oleh zirah itu telah melindungi Alaia pada awalnya, namun itu diperuntukkan untuk melindunginya dari anak panah yang menyasar atau dari ledakan, jadi pelindung itu tidak bisa melindunginya dari Dextro yang sudah berada disampingnya sedari tadi.

"Lepaskan Yang Mulia!"

"Hei, Ksatria Biru, jangan bergerak. Hal yang sama berlaku untuk wanita dibelakangmu", kata Dextro memperingatkan Koutarou yang dengan intuisinya melangkah maju. Di saat yang sama, Dextro menggunakan badan Alaia sebagai tameng untuk melindungi dirinya dari senapan Clan.

"Bagaimana keadaannya?"

Dalam situasi itu, Dextro bertanya pada para penyihir dibelakangnya.

"Kami sudah hampir selesai!"

"Bagus!"

Dextro pun terlihat puas setelah mendengar laporan salah seorang penyihir. Rupanya, dia sudah membuat para penyihir melakukan sesuatu sementara prajuritnya sendiri dikalahkan. Dengan ini, para penyihir akan menghabiskan seluruh energi sihir mereka, namun hal itu sudah bukan menjadi masalah bagi Dextro. Itulah yang membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum.

"Dextro-sama, ini dia!"

"Ini, dia kukembalikan! Coba jaga dia!"

Yang mengejutkannya, Dextro melepaskan Alaia yang digunakannya sebagai sandera dan mendorongnya ke arah Koutarou.

"Kyaa!"

Melihat itu, Koutarou dengan cepat berlari ke arah Alaia, yang dengan badannya yang lemah, terjatuh setelah beberapa langkah.

"Puteri Alaia!!"

Kemudian, sesuatu terjadi saat Koutarou mengalihkan pandangannya dari Dextro.

"Tunggu, Veltlion! Ada yang aneh!"

"Fufufufufu, hahahahahahaha, tidak kusangka aku harus menggunakan ini!"

Tepat dibelakang area dimana Alaia sedari tadi terduduk, sebuah lubang hitam dengan diameter sebesar tiga meter muncul. Kelima penyihir itu sudah bekerja sama untuk membuat lubang hitam itu, yang mirip dengan lubang hitam milik Theia dan Clan untuk memanggil senjata mereka.

"Tolong terima rasa terima kasihku, Ksatria Biru. Aku selalu ingin menggunakan benda ini!"

Dextro terlihat semakin bersemangat saat lubang hitam itu. Rasa gembira dan semangat yang muncul memenuhi hatinya mirip dengan saat dia membunuh seseorang untuk pertama kalinya, dan muncul sebagai senyuman yang mengerikan di wajahnya.

"Apa!?"

"Reaksi gempa ruang!? Veltlion, ada sesuatu yang besar yang akan muncul!!"

Lalu, sesuatu yang besar pun muncul dari lingkaran hitam itu. Sekilas, benda yang muncul itu nampak seperti seorang ksatria yang memakai zirah hitam, tapi benda itu terlalu besar untuk bisa disebut sebagai seorang ksatria. Setelah seluruh badannya melewati lubang hitam itu, benda itu berdiri dengan tingginya yang mencapai lima meter. Alaia, yang berada tepat disebelahnya, hanya terlihat seperti boneka bagi benda itu.

"A-apa gerangan ksatria raksasa ini...?" tanya Alaia yang kehilangan kata-kata saat melihat ksatria raksasa itu muncul dihadapannya.

"Awas, puteri Alaia! Menjauh dari sana!"

"B-baik!"

Alaia mencoba untuk melakukan seperti yang disuruh oleh Koutarou, tapi dia masih berusaha menenangkan dirinya dari rasa sakit yang didapatnya saat dia jatuh dan dari penyakitnya, jadi dia tidak bisa bergerak begitu saja.

"Saya akan segera kesana, Yang Mulia!...Clan, apa kamu tahu benda apa itu!?"

Setelah memperhatikan kalau Alaia tidak bisa bergerak, Koutarou bertanya pada Clan sembari mempercepat larinya.

"Aku tidak tahu! Yang pasti, benda itu terbuat dari besi, tapi aku tidak bisa melihat apapun yang bisa menjadi sumber tenaga benda itu...Tapi, untuk sebuah patung, terlalu banyak bagian-bagian strukturnya yang aneh, aku tidak bisa membedakannya...", balas Clan yang kebingungan melihat benda itu.

Berdasarkan cara benda itu muncul. Clan yakin bahwa benda itu adalah semacam mesin bertarung. Namun, saat dia memindai bagian dalamnya dengan alat pemantaunya, Clan tidak bisa menemukan bagian-bagian mekanis didalamnya, maupun apapun yang bisa menjadi sumber penggeraknya. Kesan pertama yang didapat Clan adalah benda itu adalah kerangka metal yang dipakaikan zirah.

Namun, saat dia menganalisa lebih lanjut, dia menemukan banyak permata dan tulang hewan yang dimasukkan didalamnya. Dari sisi seorang insinyur, benda-benda itu akan menurunkan ketahanan strukturnya. Ditambah, benda-benda itu berada di bagian dalam benda itu dan tidak bisa dilihat dari luar, jadi benda-benda itu bukanlah dekorasi. Ada banyak sekali kontradiksi yang membuat Clan tidak tahu harus berpikir apa.

"Patung!? Sayang sekali, ini adalah prajurit tak terkalahkan yang akan membunuh kalian semua!!" balas Dextro sambil tertawa, dengan tiba-tiba memegang sebuah bola yang bercahaya kekuningan di tangannya. Di dalam bola itu ada tiga warna: merah, jingga dan kuning yang menari, dan tiap kali cahaya bola itu semakin terang, sebuah cahaya kemerahan terlihat dari mata raksasa itu.

Saat cahaya merah di mata raksasa itu terlihat seperti darah, dia dengan perlahan menggerakkan tangannya yang bagaikan batang pohon yang sangat besar dan mengulurkannya. Selanjutnya, dia menggerakkan kakinya, yang terlalu berat sampai-sampai tenggelam ke dalam tanah sedikit. Kaki kirinya yang bergerak itu melangkah maju dan mendekat ke arah Alaia.

Besar langkahnya dua kali lebih besar dari manusia biasa. Jika digabungkan dengan beratnya yang luar biasa, tiap langkahnya terasa bagaikan gempa kecil.

"Benda itu bergerak!? Tidak mungkin, itu tidak mungkin!!"

"Kukuku, tentu saja itu mungkin. Kalian sekarang akan dibunuh oleh raksasa ini, si Prajurit Iblis", ujar Dextro dengan sombongnya sambil melihat ke raksasa yang terus bergerak itu.

Sementara itu, raksasa itu berderit saat dia bergerak dan mengulurkan tangannya yang besar ke arah Alaia.

Sebelum tangannya sampai, segienam-segienam putih muncul dan menghalangi tangan itu. Rupanya, yang menghalangi adalah pelindung yang dibuat oleh zirah Koutarou atas perintah Koutarou untuk melindungi Alaia.

Namun, sesaat setelahnya, pelindung itu hancur dengan mudahnya, karena jarak antara Koutarou dan Alaia yang cukup jauh membuat pelindung itu melemah dan tidak bisa menahan beban si raksasa yang begitu besar. Raksasa setinggi lima meter itu memiliki berat sekitar sepuluh ton, dan saat beban itu bertabrakan dengan pelindung yang areanya kecil, pelindung itu tidak akan bisa bertahan begitu lama.

"Kyaaaaaa!!"

Meskipun dia berteriak karena terkejut, Alaia sama sekali tidak berteriak karena rasa takut sampai saat ini. Raksasa itu mengangkatnya dengan memegang pinggangnya dengan tangan raksasanya dan lalu menggenggamnya.

"Yang Mulia!"

"Tidaaaaak, lepaskan saya!!"

Alaia pun meronta-ronta dan berusaha untuk melepaskan dirinya dari cengkraman tangan si raksasa, namun perbedaan kekuatan mereka yang terlalu jauh membuat Alaia yang sudah berusaha sekuat tenaganya tidak bisa lepas dari cengkramannya. Luka-luka justru muncul di kulitnya yang putih sebagai gantinya .

"Haa~h, padahal aku sudah melepaskannya. Ini semua karena kau yang tidak menggunakan kesempatanmu, Ksatria Biru"

"Dextro...kau sialan!"

"Layous-sama!!"

Jeritan Alaia yang terdengar berulang kali membuat keberadaan si raksasa terukir di dalam hati semua orang yang melihat hal itu di sekitar tempat itu. Hanya dengan melihat berat dan tinggi dari raksasa besi yang bisa bergerak dan bertarung sendiri itu, orang sudah bisa membayangkan seberapa kuat raksasa itu. Mereka yang melihat pun betul-betul sadar seberapa besar bahayanya raksasa itu.

Rokujouma V7.5 267.jpg

"Uwaaaa, monster!!"

"Itu tidak mungkin dikalahkan!"

"Se-seseorang, tolong kami!!'

Para penduduk yang tadinya mulai tenang setelah Koutarou berhasil mengalahkan sebagian besar para prajurit mulai panik kembali. Mereka hanya bisa melakukan itu karena mereka tiba-tiba ditunjukkan hal seperti raksasa itu saat mereka semua mulai bisa merasa lega.

"Larilah! Dia akan mengejar kalian kemanapun kalian pergi!" kata Dextro dengan girangnya kepada para penduduk desa yang masih panik. Dia rupanya betul-betul yakin dengan kekuatan raksasa ini. Bahkan menurutnya, Koutarou yang sudah mengalahkan semua prajuritnya tidak akan bisa mengalahkan raksasa ini.

"Maju, Prajurit Iblis! Bunuh mereka semua!"

Raksasa itu pun menuruti perintah Dextro dan mulai berlari sembari mengguncang bumi. Meskipun tidak terlalu cepat, berkat badannya yang besar, langkahnya pun menjadi besar dan membuat jarak antara dirinya dan Koutarou menjadi begitu dekat dalam waktu yang begitu singkat. Alaia, yang masih digenggamnya di tangan kirinya, berteriak ke arah Koutarou saat mereka mendekat ke arahnya.

"Larilah, Layous-sama! Tanpa penawar racun, saya tidak akan bertahan hidup! Jadi selamatkanlah yang lainnya sebanyak yang anda bisa!"

Yang diteriakkannya bukanlah permintaan tolong maupun perinta untuk bertarung, melainkan kata-kata yang memang merupakan rasa kuatirnya terhadap Koutarou. Alaia juga berpikir kalau Koutarou akan menang melawan raksasa ini, jadi dia ingin agar Koutarou lari karena dia tidak ingin Koutarou mati sia-sia demi dirinya. Dan jika bisa, dia ingin Koutarou menyelamatkan para penduduk desa sebanyak yang Koutarou bisa.

Yang Mulia...

Setelah mendengar kata-kata Alaia, Koutarou yang sedari tadi keheranan dengan kemunculan si raksasa akhirnya kembali tenang. Dia lalu membetulkan pegangannya pada gagang pedangnya dan lalu memanggil Clan.

"Clan, pergilah!"

"Apa yang akan kau lakukan!?"

"Mana mungkin aku ninggalin puteri Alaia!" seru Koutarou sambil mengarahkan pedangnya pada si raksasa, dimana Alaia masih berada di tangan raksasa itu. Jika begitu, Koutarou tidak bisa lari karena sumpah demi pedangnya.

Theia, ini nggak ada di drama!

Koutarou hanya bisa mengeluh pada Theia di dalam hatinya sambil melotot ke arah si raksasa yang datang ke arahnya.

"...Jadi si Ksatria Biru tidak lari ya....bagus...", gumam Dextro yang merasa lega dengan situasi itu.

Setelah memeastikan kalau Alaia menderita karena racun, atau lebih tepatnya, penyakit, tujuan utama Dextro bukanlah Alaia. Musuh yang harusnya dikalahkan olehnya adalah Koutarou, si ksatria perkasa yang tidak terpengaruh oleh racun itu. Meskipun Alaia sampai kabur, takdir Alaia tidak akan berubah. Tapi jika Dextro sampai melepaskan seseorang yang bisa melawan beberapa lusin orang sendirian, orang itu akan menjadi penghalang baginya di masa yang akan datang. Tidak ada jaminan bahwa Koutarou sudah meminum air beracun itu, dan Dextro pasti akan mendapat teguran dari Maxfern kalau dia sampai melepaskan Koutarou. Bisa jadi Dextro juga tidak akan mendapatkan kenaikan pangkat. Jadi, penting baginya untuk membunuh Koutarou disini, saat ini juga.

Dengan situasi seperti itu yang menjadi beban baginya, akan menjadi masalah bagi Dextro jika Koutarou meninggalkan Alaia dan kabur. Tapi pada akhirnya, Koutarou tetap tinggal, dan itulah yang membuat Dextro merasa lega.

"Cih, susah juga!" keluh Koutaoru sambil menghindari serangan kapak si raksasa. Ujung kapak itu pun terbenam ke dalam tanah setelah meleset. Dengan kekuatan seperti itu, Koutarou menjadi tidak yakin kalau pelindungnya bisa melindunginya.

Raksasa itu bergerak dengan sendirinya, tapi dia tidak memiliki hati seperti manusia. Itulah yang membuat Koutarou tidak bisa menebak kemana si raksasa itu akan menyerang dan harus selalu segera menghindari serangannya. Satu-satunya hal yang masih membuatnya selamat sampai sekarang adalah gerakan si raksasa yang lebih lambat dari manusia biasa, jadi serangannya mudah untuk dihindari.

"Haaaaaaaaaah!!'

Koutarou, yang melihat adanya kesempatan saat kapak si raksasa terbenam ke dalam tanah, mendekat ke raksasa itu dan mengayunkan pedangnya, yang mengenai bagian depan badan si raksasa. Namun, pedang itu memantul dari zirah raksasa itu. Karena badannya yang besar, zirah raksasa itu pun ternyata cukup tebal. Meskipun Koutarou sudah memakai kekuatan dari zirahnya sendiri, dia tidak bisa memotong zirah raksasa itu dengan satu pedang saja. Hanya penyokan kecil yang muncul pada zirah itu sebagai hasilnya.

"Sialan, pedangnya nggak mempan!" keluh Koutarou sambil melompat mundur. Kapak yang tadinya terbenam sudah kembali terayun ke arahnya dan hampir mengenai wajahnya.

"Tentu saja tidak mempan, dasar tolol. Tidak ada gunanya, semua yang kau lakukan tidak ada gunanya"

"Diam!"

"Oh, seram. Yah, selamat mencoba, Ksatria Biru. Kukuku..."

Dengan tawa Dextro sebagai suara latarnya, Koutarou berulang kali menyerang raksasa itu. Namun, semua serangan itu terpental kembali. Koutarou lalu mengubah sasarannya ke sendi-sendi di bagian kaki raksasa itu, namun ternyata hal itu juga tidak berhasil. Sendi-sendi itu juga memiliki beberapa zirah sendiri, dan serangan Koutarou tidak mempan pada sendi-sendi itu.

"Veltlion, gunakan serangan yang sama saat kau memotong peluru super repulsi ruang waktu menjadi dua! Seharusnya itu cukup untuk memotong raksasa ini juga!" kata Clan lewat alat komunikasi pada zirah. Clan rupanya pernah melihat Koutarou membuat pedangnya bersinar putih dengan terangnya beberapa kali, yang membuat pedang itu bisa memotong pelindung, membelah sinar laser dan bahkan membelah peluru milik Clan yang dilindungi zirah. Clan pun beranggapan kalau Koutarou menggunakan serangan seperti itu pada raksasa ini, raksasa itu pasti akan tumbang.

"Nggak, nggak mungkin!"

Namun, Koutarou justru menggelengkan kepalanya sambil menghindari serangan si raksasa.

"Kenapa!?"

"Bukan aku yang ngelakuin itu! Pedangnya selalu nyala sendiri dan ngebantu aku pas aku lagi kena masalah! Bukan gara-gara aku sendiri!"

"Apa!?"

Cahaya yang membuat Saguratin bersinar hanya muncul saat Koutarou dalam bahaya atau saat dia benar-benar marah, dan meminjamkan padanya kekuatan. Namun, Koutarou tidak bisa mengendalikan hal itu, tentunya. Jadi dia tidak bisa membuat pedang itu bersinar atas kemauannya sendiri.

"Dan kita udah ada di dunia ini selama beberapa saat, tapi pedangnya nggak pernah bersinar sekalipun! Kita nggak bisa ngandalin itu!"

"Kelihatannya memang tidak bisa! Kalau begitu, serahkan situasi ini padaku!"

Clan pun berdiri saat berkata seperti itu. Dia sedang berada di atap sebuah bangunan, beberapa meter jauhnya dari Koutarou dan si raksasa.

"Cradle! Senapan sinar antimatter!"

"Baiklah, Tuan Puteri"

Clan pun memasukkan perintah ke dalam gelangnya, lalu sebuah lubang hitam muncul disebelahnya dan sebuah laras senapan yang panjang muncul dari dalam lubang itu. Clan menunggu sampai senapan itu muncul seluruhnya dari lubang itu dan lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya. Senapan yang dipegannya adalah senapan sinar antimatter, yang merupakan senjata terbesar yang bisa dipakainya sendiri dengan kekuatan yang cukup hebat. Namun, ada kekurangan yang cukup besar pada senapan itu. Karena besarnya senapan itu, dia tidak bisa bergerak saat menggunakannya. Jadi, dia hanya bisa menggunakan senapan itu untuk menembak dari jarak yang jauh.

Kalau ini tidak berhasil, kita tidak punya pilihan yang lain lagi...

Clan pun mulai membidik dari atap itu. Koutarou sedang membuat raksasa itu terus terpancing dengannya. Dengan badan yang besar dan gerakan yang lambat, raksasa itu adalah sasaran yang paling tepat untuk dibidik dari jauh.

Namun, jika serangan ini tidak berhasil, sudah tidak ada lagi hal yang bisa mereka lakukan. Karena kapasitas penyimpanannya terbatas, Cradle tidak punya begitu banyak senjata, dan tidak ada senjata lain yang lebih kuat di dalam kapal itu selain senapan itu. Masih ada satu peluru repulsi lagi, tapi kalau Clan menggunakan itu, seluruh desa ini akan lenyap dibuatnya.

Clan dengan perlahan mulai membidik. Karena Alaia masih berada dalam genggaman tangan kiri si raksasa, dia harus berhati-hati agar tidak mengenai daerah itu.

Kalau saja aku tahu akan ada kejadian seperti ini, aku seharusnya lebih banyak berlatih menembak!

Sambil mengeluhkan beratnya tanggung jawab yang berada pada dirinya, Clan akhirnya memasukkan sasarannya pada bidikannya. Clan rupanya membidik kepala si raksasa.

"Aku akan menembak, Veltlion!"

Clan lalu menarik pelatuk senapan itu setelah meneriakkan hal itu. Koutarou masih bertarung dengan si raksasa, tapi karena Clan membidik kepala raksasa itu, Clan tidak perlu kuatir kalau Koutarou sampai terkena tembakannya. Teriakannya dimaksudkan agar Koutarou tahu kapan dia akan menembak.

Seberkas sinar putih keluar dari laras senapan itu. Karena senjata ini menggunakan sifat elektromagnetik untuk mempercepat aliran partikel metal berat, tidak ada hentakan yang muncul dari senjata itu saat Clan menembakkannya, tidak seperti senjata biasa yang menggunakan bubuk mesiu. Namun, badan Clan masih terdorong sedikit karena gaya reaksi yang ditimbulkan oleh kuatnya tembakan sinar yang dihasilkan. Sinar itu pun melesat melewati udara dan mendekati raksasa itu dalam sekejap. Raksasa yang besar dan lamban itu tidak akan mungkin bisa menghindar dari sesuatu secepat itu.

Sinar itu pun mengenai raksasa itu tepat di kepalanya.

"Kyaaa!!"

"Bagus!!"

Alaia pun berteriak karena terkejut dengan datangnya kilatan cahaya itu, sementara Koutarou bersorak karena serangan itu mengenai sasarannya.

"Apa aku mengenainya!?"

Clan, yang masih memegang senapannya, berusaha memeriksa keadaan si raksasa. Ada asap tipis yang keluar dari kepala si raksasa, tapi Clan masih bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dari tempatnya berada.

Setelah terkena serangan langsung dari sinar itu, kepala si raksasa menjadi hancur dibuatnya. Sinar itu menembus bagian dagu kiri raksasa itu dan keluar dari belakang kepalanya, membuat kepala itu hancur berkeping-keping karena benturan dan panas dari tembakan sinar. Kepingan-kepingan besi dari kepala itu pun menghujani Dextro dan para penyihirnya.

"S-sialan, wanita itu lag!" umpat Dextro yang menepis kepingan-kepingan yang jatuh sambil melotot ke arah Clan, yang berada beberapa meter jauhnya di atas atap. Dextro betul-betul sudah kehilangan kesabarannya, karena prajurit tak terkalahkan yang sudah begitu dia percaya telah terluka oleh seorang gadis. Setiap kali Dextro sudah yakin dia akan menang, keyakinan itu pasti direbut darinya, dan itulah yang membuatnya geram karena marah.

"Bunuh mereka, mulai dari wanita itu!" perintah Dextro sambil mengarahkan bola di tangannya ke arah Clan. Raksasa yang sudah kehilangan kepalanya itu pun mulai bergerak lagi. Tidak seperti manusia pada umumnya, kehilangan sebuah kepala bukanlah masalah bagi raksasa itu.

"Dia masih bisa gerak!?"

"Kukuku, matilaaaaaaaah!!"

Raksasa itu pun mulai bersiap mengayunkan kapaknya.

"Nggak mung---Clan, lari dari sana sekarang!!"

"Apa!?"

Di saat yang sama Koutarou memperingatkan Clan akan adanya bahaya, raksasa itu melempar kapaknya dengan skuat tenaganya ke arah Clan. Kapak besi itu berukuran jauh lebih besar daripada Clan dan mendekat ke arahnya sambil berputar dengan cepat. Lemparan mengerikan itu akan membuat Clan mati seketika jika dia sampai terkena.

"Ini tidak lucu!!" teriak Clan setelah melempar senapannya dan melompat dari atap untuk berlindung.

Namun, sasaran kapak itu bukanlah Clan, melainkan bangunan tempat dia berada. Kalau bangunan itu hancur, Clan pasti akan terperangkap dalam reruntuhannya dan menjadi tidak bisa bergerak. Raksasa itu lebih memilih serangan yang lebih meyakinkan itu, daripada betul-betul membidik Clan dan ternyata meleset.

"Kyaaaaa!!"

"Clan!"

Tepat seperti yang direncanakan Dextro, kapak itu dengan mudahnya menghancurkan rumah kayu itu. Clan pun menghilang dari pandangan Koutarou setelah terperangkap di dalam reruntuhan rumah itu. Yang tersisa dari rumah itu adalah tumpukan puing-puing ditambah sebuah kapak yang mencuat dari dalamnya.

"Clan-sama!"

"Hei, Clan, jawab!"

Sementara Alaia masih berteriak, Koutarou berusaha memanggil Clan lewat alat komunikasi pada zirahnya. Namun, Clan tidak menjawab, dan satu-satunya hal yang bisa didengar oleh Koutarou lewat alat komunikasi itu adalah suara bising.

"Kukuku, apa wanita itu sudah mati? Ya sudah. Meskipun dia masih hidup, dia tetap akan diinjak-injak nantinya. Kuhahahaha"

"Clan, Clan!"

Clan, kamu pasti selamat, ya kan!

Koutarou berusaha memanggil Clan berulang kali, tapi yang bisa didengarnya hanyalah suara tawa Dextro. Tidak ada hal lain yang bisa didengar Koutarou selain suara bising dari alat komunikasi itu.

"Sekarang, selanjutnya giliranmu, Ksatria Biru!"

Raksasa itu pun mengulurkan tangannya ke punggungnya dan mengeluarkan sebuah palu. Karena itu adalah senjata cadangannya, palu itu berukuran lebih kecil dari kapaknya, tapi panjang palu itu masih cukup panjang, yakni dua meter.

"Ini dia"

Koutarou mengalihkan Clan dari pikirannya dan mulai menyiapkan pedangna. Namun, karena dia tahu kalau pedangnya tidak akan mempan terhadap raksasa itu, dia merasa enggan untuk kembali bertarung.

Aku harus ngapain!? Gimana aku bisa menang ngelawan benda itu!?

Namun, raksasa itu tidak memberikan Koutarou waktu untuk berpikir, dan mulai maju menyerang Koutarou dengan palu di tangannya. Karena palu itu lebih kecil dari kapaknya, raksasa itu bisa menyerang lebih cepat.

Palu itu bergesekan dengan pelindung yang melindungi Koutarou berulang kali, dan menghabiskan energi yang digunakan zirah itu untuk membuat pelindung itu.

"Peringatan. Jika pemakaian terus berjalan dengan tingkat seperti ini, pelindung tidak akan bertahan lebih dari satu menit"

"Jadi sekarang pertarungan daya tahan, ya!"

Koutarou pun mengelak dari palu itu sambil berususah payah mencari sebuah ide, tapi tidak ada ide bagus yang muncul di kepalanya. Kalau Koutarou kabur dari tempat itu, para penduduk desa dan Alaia akan berada dalam bahaya. Begitu juga, dia masih tidak punya ide bagaimana dia harus mengalahkan raksasa itu.


Part 6[edit]

"Ksatria Biru"

Tepat disaat itulah, Koutarou mendengar suara dari dalam kepalanya.

"Siapa itu!?"

"Ini aku, Caris."

Rupanya, suara itu berasal dari Caris, dan sesaat setelahnya dia mendengar suara orang lain.

"Layous-sama!?"

"Saya bisa mendengar suara Layous-sama dan Caris-sama di dalam kepala saya...apa yang..."

"Caris, apa maksudnya ini!?"

Koutarou, yang kebingungan karena kemunculan suara yang tiba-tiba itu di dalam kepalanya, berusaha melanjutkan pertarungannya dengan si raksasa. Dia lalu mulai mengincar jari-jari raksasa itu untuk diserangnya, agar raksasa itu tidak bisa menggunakan palunya.

"Karena situasinya sedang gawat saat ini, aku akan berbicara dengan singkat. Alasan kenapa kita bisa berbicara seperti ini adalah karena sihir. Anda bisa berbicara dengan orang-orang yang berada di tempat yang jauh."

"Jadi ini yang namanya... sihir...praktis juga..."

Pedang Koutarou hanya bisa memotong sedikit jari-jari raksasa itu, tapi satu serangan tidak cukup untuk memutus jari-jari itu. Dengan serangan seperti itu, Koutarou akan memerlukan beberapa serangan lagi untuk bisa memutuskan jari-jari itu.

"Menurut Lidith, raksasa itu adalah sejenis boneka sihir"

Boneka sihir adalah boneka yang dibuat dengan cara memberikan kehidupan kepada suatu benda mati menggunakan sihir. Sebutan untuk boneka yang sudah jadi itu pun berbeda-beda tergantung bahan-bahan apa saja yang dipakai untuk membuatnya. Kalau boneka itu terbuat dari tanah, panggilannya adalah golem, kalau batu, golem batu, dan seterusnya.

Dengan menggunakan permata pengendali, boneka sihir itu akan mengikuti perintah siapapun yang telah dibuat menjadi pengendalinya. Jadi, meskipun permata itu sampai dicuri, orang lain tidak akan bisa menggunakannya. Sebuah ritual harus dilakukan untuk bisa mengganti orang yang akan mengendalikan boneka itu.

Setelah diberikan sebuah perintah, golem itu bisa membuat keputusan sendiri hingga batasan tertentu. Dalam kata lain, boneka itu adalah manusia buatan dengan kepribadian yang dibuat lebih sederhana. Meskipun Koutarou bisa menghancurkan permata di tangan Dextro, raksasa itu mungkin akan tetap bertarung.

Karena sifat-sifat seperti itulah, bertarung dengan sebuah boneka sihir menjadi hal yang sangat merepotkan.

"Badan raksasa ini dbiuat dari besi yang dibuat oleh para alkemis Maxfern, jadi mungkin dia disebut sebagai golem besi. Lidith berkata kalau dia memiliki benda seperti ini yang dibuat di tempat kerjanya"

Rupanya, Lidith adalah keponakan dari Maxfern, dan dia belajar alkemi di tempat Maxfern. Saat dia berada disana, Lidith sempat melihat sebuah raksasa yang sedang dibuat.

”Menurut Lidith, beberapa alkemi lainnya sudah ditambahkan pada raksasa itu, jadi dia akan sulit untuk dikalahkan. Tapi, karena itu adalah boneka sihir, dia punya kelemahan"

"Kelemahan!? Apa benda itu punya hal seperti itu!?" kata Koutarou sambil terus mengayunkan pedangnya tanpa menggerakkan mulutnya. Itu karena dia tidak ingin Dextro sampai mendengar pembicaraan mereka.

"Memang ada. Di dalam dada sebelah kirinya, di tempat dimana jantung seseorang seharusnya berada, ada sebuah kristal kira-kira sebesar genggaman tangan manusia. Hancurkan itu."

"Apa raksasa itu akan kalah karena itu!?"

"Ya. Saya sendiri sudah pernah membuat boneka sihir sebelumnya, jadi tidak diragukan lagi. Kristal itu menyerap energi dari alam dan mengubahnya menjadi sihir untuk menggerakkan badannya. Anda bisa melihat aliran energi spiritual, benar? Bidik tempat dimana energi spiritualnya terkumpul."

"Saya mengerti, akan saya coba!"

Setelah menemukan sebuah kemungkinan untuk menang, raut wajah Koutarou menjadi lebih tenang saat dia melihat ke arah dada kiri raksasa itu. Sesaat setelahnya, senyuman itu membeku.

”Maksudnya dada sebelah kiri, jangan-jangan..."

"Benar sekali. Itulah sebabnya mengapa saya berbicara kepada anda dan juga puteri Alaia."

Rupanya, Alaia menutupi bagian dada kiri raksasa itu.

"Saya tidak keberatan. Tolong lakukan itu"

"Apa maksudnya anda tidak keberatan!? Tentu saja saya tidak bisa melakukannya!"

"Layous-sama, saya tetap akan mati karena racun. Anda tidak bisa menukar nyawa anda dan para penduduk demi saya."

Karena Alaia menghalangi titik lemah raksasa itu, Koutarou tidak bisa menyerang begitu saja. Dia harus memutari raksasa itu dan menyerangnya dari belakang, tapi hal itu jelas tidak akan mudah. Alaia, yang sadar akan hal itu, berkata pada Koutarou untuk tetap maju menyerang dari depan.

"Yang Mulia, saya tidak bisa melakukan itu."

"Namun, anda tidak memiliki pilihan lain."

Sambil berusaha membantah perkataan Alaia, Koutarou berusaha memikirkan ide lain.

Aku harus apa? Gimana caranya aku bisa nyerang dada kirinya tanpa nyerang Yang Mulia?

Tepat di saat itu, palu raksasa itu terayun dihadapan Koutarou. Saat palu itu terbenam ke dalam tanah, Koutarou mengayunkan pedangnya ke jari-jari raksasa itu. Dia mengenai bagian yang sama seperti sebelumnya, dan benturan karena serangan sebelumnya menjadi semakin dalam.

Hm?

Tepat di saat itulah, sebuah ide muncul di benak Koutarou.

"Benar juga, kita bisa melakukan itu!"

"Layous-sama!"

Ide itu pun dengan serta-merta sampai kepada Alaia dan Caris, dan mereka berdua pun setuju dengan ide itu.

"Namun, apa yang harus kita lakukan sebelum itu? Bagaimana anda bisa menghancurkan zirah yang tebal itu?"

"Itu..."

Ide Koutarou kembali terhenti begitu terbentur pertanyaan itu. Dia tidak mempunyai ide bagaimana caranya dia bisa menghancurkan kristal dibalik zirah itu.

"Tidak apa-apa, Layous-sama."

Namun, Alaia justru tersenyum saat berkata demikian ke arah Koutarou yang belum memperhatikan solusinya.

Setelah Koutarou diberitahu oleh Alaia bagaimana dia harus menyerang, Koutarou bertanya pada Caris sebelum menyelesaikan pembicaraan diantara mereka.

"Caris, apa kau bisa menghentikan benda itu agar tidak bergerak selama beberapa saat?"

”Akan kucoba. Sisanya bergantung pada anda, Ksatria Biru"

"Baiklah"

Setelah merasa bahwa keberadaan Caris semakin menjauh, Koutarou kembali menyiapkan pedangnya, tanda bahwa babak terakhir pertarungan itu akan segera tiba.

"Layous-sama."

"Yang Mulia, saya akan segera menyelamatkan anda."

"...Saya mengharapkan yang terbaik dari anda."

Koutarou, yang masih menggenggam pedangnya, memandang ke arah Alaia yang membalas memandangnya untuk sebentar saja. Namun, perasaan yang tersampaikan lewat pandangan itu tidaklah sesedikit waktu yang berjalan saat mereka saling berpandangan.

"Apa ada masalah, Ksatria Biru? Apa kau akan berakhir disini?"

"Yang akan berakhir disini adalah diri anda."

"Oh, tidak kusangka kau masih punya tenaga untuk melawak seperti itu. Kelihatannya nafasmu mulai terengah-engah"

"Kenapa anda tidak turun kesini dan mencoba bergerak juga?"

"Tidak, terima kasih. Berkeringat karena bergerak adalah hal yang hanya sesuai untuk bawahan"

Ya ampun, tidak kusangka aku harus berusaha sekeras ini bahkan setelah mengeluarkan Prajurit Iblis...

Meskipun nada suaranya terdengar penuh dengan rasa percaya diri, Dextro sebenarnya merasa kesal karena Koutarou tidak kunjung kalah juga. Namun, setelah melihat pergerakan Koutarou yang semakin melambat, Dextro beranggapan bahwa kemenangannya akhirnya sudah dekat.

"Aku hanya ingin minum-minum sambil bersantai...jadi, silahkan mati sekarang, Ksatria Biru"

"Coba saja. Anda akan menyesal tidak berlatih lebih banyak dengan pedang anda"

"Keh! Harus kuakui, keberanianmu betul-betul hebat!"

Raksasa itu pun kembali maju saat Dextro berteriak seperti itu. Dengan jarak diantara Koutarou dan raksasa yang semakin dekat, senjata raksasa itu pun sekarang bisa mengenai Koutarou. Tentunya, yang menyerang pertama adalah raksasa itu, yang memiliki jarak serang yang lebih besar. Suara ayunan palu itu pun bergetar hebat mengenai Koutarou, yang mengelak ke samping menghindari palu itu.

Saat palu itu kembali terbenam ke dalam tanah, Koutarou bisa merasakan tanah disekitarnya bergetar. Sebelum getaran itu mereda, Koutarou langsung maju untuk menyerang.

"Sudutnya terlalu kecil!?"

Pedang Koutarou mengenai punggung tangan raksasa itu dan terpental, meninggalkan sebuah bengkok kecil. Namun, Koutarou tidak punya waktu untuk mundur. Dia dengan cepat menjejakkan kakinya dari tanah dan melompat ke samping raksasa itu. Sesaat setelahnya, kaki kanan raksasa itu menendang ke tempat dimana Koutarou sebelumnya berada. Kalau saja Koutarou masih berada di tempat itu, dia pasti sudah terbang karena tendangan itu.

"Bagaimana dengan yang ini!?" seru Koutarou sambil mengayunkan pedangnya ke kaki kanan raksasa itu.

Suara benturan yang keras pun dapat terdengar karena serangan itu, namun serangan itu tidak menimbulkan kerusakan apapun pada raksasa itu. Namun, serangan itu sudah cukup untuk membuat raksasa itu oleng sedikit. Raksasa itu pun mencoba menyeimbangkan dirinya dengan mengayunkan tangan kanannya.

"Yang ini pasti berhasil!!" seru Koutarou sambil kembali mengayunkan pedangnya sekuat tenaga. Pedang itu pun menembus jari jemari raksasa itu, tepat seperti yang direncanakannya.

Setelah terkena serangan beberapa kali, jari-jari itu pun akhirnya putus.

"Bagus!"

"Apa!?"

Keempat jari itu pun terputus darisi raksasa, meninggalkan hanya ibu jari di tangan kanannya. Karena kemampuan menggenggamnya sudah menghilang, palu di tangan kanannya pun jatuh dan ujung palu itu kembali terbenam di dalam tanah dan akan tetap berada disana. Koutarou berhenti menyerang sejenak dan mengambil jarak dari raksasa itu.

"Begitu rupanya, jadi dai mengincar hal ini hanya dengan mengincar jarinya saja!" keluh Dextro sambil mendecakkan lidahnya melihat Koutarou yang bergerak menjauh.

Di saat yang sama, raksasa itu menguatkan dirinya dan akhirnya kembali seimbang. Dia lalu mencoba mengangkat palunya dengan tangan kanannya, namun setelah mengetahui bahwa jari-jarinya telah hilang, raksasa itu pun terhenti sejenak.

Dewi fajar, saya mohon....

Alaia pun berdoa di saat itu, tanpa merasa yakin jika doanya akan sampai ke tempat sang dewi atau tidak. Sesaat setelahnya, raksasa itu pun menyerah untuk mengangkat palu itu dengan tangan kanannya dan menukar Alaia ke tangan kanannya. Memang, hanya ada ibu jari di tangan kanannya, tapi jari itu sudah cukup untuk menahan Alaia. Raksasa itu lalu mengangkat palunya dengan tangan kirinya.

"Sekarang! Lakukan, Caris!"

Namun, saat itulah rupanya yang sudah ditunggu-tunggu oleh Koutarou.

"Lepaskan jeda pengucapan!! Jiwa-jiwa air dan bumi, sekaranglah waktunya bagi kalian untuk menunjukkan ikatan kalian!!" seru Caris melepaskan sihir yang sudah disiapkannya sebelumnya. Mantra itu rupanya adalah mantra untuk membuat rawa-rawa raksasa di bawah raksasa itu.

Raksasa itu pun tenggelam ke dalam rawa-rawa yang tiba-tiba muncul itu. Memang, rawa-rawa itu tidak cukup dalam bagi raksasa itu untuk tenggelam seluruhnya, tapi karena berat badannya, raksasa itu tidak bisa keluar dari rawa-rawa itu. Raksasa itu pun tenggelam hingga ke lututnya dan tidak bisa bergerak.

"Sialan, ada penyihir!? Dimana dia!? T-tidak, yang lebih penting, cepat keluar dari sana!!"

Dextro dengan panik memberi perintah kepada raksasa itu. Kalau saja Dextro tidak mengalihkan pandangannya dari Koutarou dan justru melawannya, kejadian seperti ini pasti tidak akan terjadi.

Pada akhirnya, karena Dextro tidak melakukan apapun, itulah yang menjadi penentu takdirnya.

"Pendorong darurat tenaga maksimal!!" seru Koutarou.

"Baiklah, tuanku"

Seakan-akan meredam seruan itu, sebuah suara ledakan mulai keluar dari seluruh badan Koutarou. Rupanya, suara itu adalah suara dari roket pendorong darurat yang mulai aktif di seluruh badannya. Roket pendorong itu mengeluarkan api dan menghasilkan gaya dorong yang luar biasa. Roket-roket pendorong itu adalah roket pendorong cadangan yang digunakan untuk kemampuan terbang zirah itu. Badan Koutarou pun dibuat terbang oleh zirah itu.

"A-apa suara itu!?"

"Layous-sama, se-sedang terbang..."

Koutarou lalu terbang untuk beberapa saat. Sementara Dextro dan Alaia masih kaget karena kejadian itu, api dari roket pendorong itu berhenti dan Koutarou mendarat. Dia lalu membenamkan tumitnya ke tanah untuk menghentikan badannya yang masih terus bergerak, dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang sudah hancur.

"...Kau sampai kesini lebih cepat dari yang aku duga, Veltlion"

Disana, dia menemukan Clan, dan disampingnya terdapat Lidith. Lidith rupanya sudah berada disana sebelum Koutarou tiba, membangunkan Clan yang jatuh pingsan dan menjelaskan situasi mereka saat itu. Mereka berdua lalu menunggu Koutarou datang.

"Meskipun tampangku begini, aku tipe cowok yang datang lebih awal"

"Dasar kurang ajar...berhentilah berbohong. Kau selalu terlambat bangun"

Koutarou lalu mengeluarkan sebuah benda metal besar dari dalam reruntuhan rumah itu. Clan maupun Lidith tidak akan bisa melakukan itu, memindahkan benda itu saja pun mereka tidak sanggup. Namun, bagi Koutarou yang sedang memakai zirah, dia bisa menariknya keluar, membawanya, dan lalu menggunakannya.

Senapan sinar antimatter - senjata Clan yang sudah merenggut kepala si raksasa.

"A-apa, bagaimana bisa dia berada disana!? Dan senjata itu....!?"

Baru pada saat itulah, Dextro akhirnya menyadari apa yang direncanakan oleh Koutarou dan yang lainnya.

Mereka akan membuat raksasa itu terdiam di tempat dengan menggunakan sihir, lalu menggunakan senjata yang sudah menghancurkan kepala si raksasa untuk menyerang. Mereka baru bisa melakukan itu setelah memindahkan Alaia ke tangan kanan raksasa itu.

"Tidak mungkin, aku bahkan sudah memakai Prajurit Iblis, dan aku akan kalah!?"

Koutarou dan yang lainnya rupanya berencana menembak titik lemah si raksasa dengan satu tembakan. Dextro, yang menyadari hal itu, berteriak ke arah si raksasa dengan nada yang mulai menggila.

"Aku sudah bilang, keluar dari sana!! Kenapa gerakanmu lamban sekali!?"

Meskipun Dextro sudah berteriak, raksasa itu tidak bisa keluar dari rawa-rawa. Ukuran dan beratnya yang sudah dibangga-banggakan oleh Dextro sudah menjadi beban bagi raksasa itu.

"Clan!! Aku arahin ini ke raksasa itu! Kamu yang bidik!"

"Aku tahu!"

Koutarou lalu mengangkat senapan sinar itu menggunakan kedua tangannya. Karena senjata itu adalah milik Clan, senjata itu tidak bisa digunakan begitu saja dengan menggunakan zirah Koutarou. Jadi, yang menembak tentu saja Clan.

Dan sasarannya adalah...

Koutarou pun menutup matanya dan memusatkan pikirannya. Dia bisa melihat cahaya putih yang berputar di sekitar dada kiri raksasa itu.

"Yang Mulia, disebelah sana!"

"Saya mengerti, Layous-sama!"

Setelah mendengarkan petunjuk dari Koutarou, Alaia meletakkan tangannya di dada kiri raksasaitu. Tangannya yang kecil menunjuk tepat dimana cahaya putih itu dilihat oleh Koutarou.

"Clan, disana! Bidik tepat dimana tangan kanan sang puteri berada!"

"Bisakah kau berhenti menyuruh-nyuruh aku seperti itu!?"

Clan lalu mengatur bidikan senapan itu menggunakan gelangnya. Senapan itu lalu mengirim informasi lewat gelang Clan, dan zirah Koutarou bergerak dengan sendirinya untuk mengatur bidikan senapan itu.

"Yang Mulia, berlindung!"

"Baik!"

Alaia lalu menarik tangannya dan lalu meringkukkan badannya. Dengan si raksasa masih berusaha keluar dari rawa-rawa, sekaranglah kesempatan yang tepat untuk mengalahkannya.

"Sekarang! Tembak!"

"Aku tahu, aku mengerti! Ya ampun!"

Setelah memastikan bahwa Alaia sudah tidak berada dalam jarak serangan, Clan memasukkan perintah untuk menembak ke dalam gelangnya.

Sebuah kilatan putih pun muncul sekali lagi dari laras senapan yang panjang itu, terbang melintasi langit layaknya anak panah dari cahaya dan menembus dada kiri raksasa itu.

Setelah kehilagan sumber tenaganya, raksasa itu pun berhenti bergerak di dalam rawa-rawa itu. Melihat peristiwa itu, Dextro hanya bisa duduk terdiam sementara Koutarou mengarahkan pedangnya kearah Dextro.

"Hasil pertarungan ini sudah jelas, ksatria perunggu Dextro"

"Ya. Aku kalah..."

Yang tidak disangka, Dextro mengakui kekalahannya.

"Tidak kusangka aku akan kalah bahkan setelah memakai Prajurit Iblis...Ksatria Biru, siapa kau sebenarnya?"

Dextro sudah betul-betul yakin dengan kekuatan raksasa miliknya. Dengan hancurnya raksasa itu, Dextro akhirnya bisa mengakui kekalahannya secara jujur, karena dia sudah tidak punya cara lain lagi untuk bisa mengalahkan Koutarou.

Melihat sikap Dextro seperti itu, Koutarou memasukkan Saguratin kembali ke sarungnya.

"Saya hanya seorang pengelana. Seorang pengelana biasa yang berada dalam situasi yang rumit"

"Seorang pengelana?...Sial, aku kehabisan keberuntungan...", keluh Dextro sambil melemaskan badannya.

"Tidak, justru kebalikannya...Alaia diberkati dengan keberuntungan..."

"Tolong katakan pada saya sesuatu hal, Dextro."

"Baiklah."

"Di saat-saat terakhir, mengapa anda menggunakan puteri Alaia sebagai tameng?"

Beberapa saat sebelumnya, Dextro sudah menggunakan Alaia sebagai perisai untuk bisa mengawasi Koutarou dan Clan. Yang tidak dimengerti oleh Koutarou adalah mengapa dia tidak melakukan hal yang sama kali ini.

"Aku akan berada dalam masalah yang lebih besar kalau sampai kemungkinan terburuk yang justru terjadi."

"Kemungkinan terburuk?"

"Benar", jawab Dextro dengan senyum mengejek.

"Perintah yang kudapat adalah untuk menangkap Alaia dan membawanya. Tapi, ada satu syarat. Aku bisa membuatnya merasakan penderitaan sampai dia ingin mati. Aku bisa membuatnya meminum racun yang tidak bisa disembuhkan, bahkan melepaskan dia. Namun, aku tidak bisa membunuhnya langsung, apapun yang terjadi"

"Anda tidak bisa membunuhnya...?"

Dextro sudah membuat Alaia terjangkit penyakit itu, dan berpura-pura kalau dia akan membunuh Alaia. Namun, rupanya dia tidak diperbolehkan untuk membunuhnya secara langsung. Setelah mendengar itu, Koutarou teringat akan suatu hal.

Apa dia sama kayak Caris...?

Maksud dari sama seperti Caris disini adalah Dextro tidak menerima perintah untuk membunuh Alaia. Baik Dextro maupun Caris sama-sama mengejar Alaia, tapi pada akhirnya, mereka tidak boleh menyentuh Alaia sama sekali. Hal itulah yang menurut Koutarou misterius.

"Dan aku sendiri tidak bisa memberi perintah yang rumit pada Prajurit Iblis. Tidak ada jaminan aku bisa menggunakan Alaia dengan baik. Beda halnya saat aku sendiri yang menggunakannya sebagai tameng."

"Begitu rupanya..."

Raksasa itu memiliki pikiran sendiri, namun tidak sebaik manusia saat membuat keputusan yang sulit. Kalau Dextro memerintahkan raksasa itu untuk menggunakan Alaia sebagai perisai, ada kemungkinan kalau raksasa itu tidak akan menjalankan perintah itu. Jadi, Dextro memutuskan untuk memberikan perintah itu.

"Dextro, seharusnya anda meraih kemenangan atas usaha anda sendiri"

"...Kau tidak salah. Betul-betul kacau...."

Kalau saja Dextro tidak mengeluarkan raksasa itu dan justru maju bertarung, dengan menggunakan Alaia sebagai sandera, dia mungkin bisa mengalahkan Koutarou dan Caris, karena menang dengan menggunakan kekuatannya sendiri adalah prinsipnya saat dia bertumbuh dewasa.

"Itu saja yang ingin saya sampaikan. Sampai jumpa, Dextro", kata Koutarou seraya membalikkan badannya dari hadapan Dextro yang masih terbaring lemas.

"Apa kau yakin kau tidak mau membunuhku?"

"Tidak peduli siapa musuh dari Yang Mulia, Yang Mulia tidak menginginkan penduduk Forthorthe manapun untuk mati."

Koutarou sendiri ingin menghajar Dextro. Dia tidak peduli kalau Dextro sampai mati, karena Dextro sudah berbuat begitu banyak hal yang kejam. Namun, Alaia tidak menginginkan hal itu, jadi Koutarou memutuskan untuk tidak melakukan hal yang lain.

"Lagipula, saya percaya pada anda", kata Koutarou sambil menoleh ke arah Dextro sambil menyunggingkan bibirnya sedikit.

"Kau percaya padaku!?" tanya Dextro yang terkejut sambil membangunkan badannya.

"Ya. Anda licik dan hanya peduli dengan keuntungan bagi diri anda sendiri. Jadi anda pasti tidak akan membuat kesalahan yang sama dengan bertarung langsung dengan kami lagi."

"Ha..."

Namun, Dextro mulai tertawa setelah mendengar kata-kata Koutarou selanjutnya.

"Hahahaha, kau betul-betul benar, Ksatria Biru!! Itu betul-betul benar!! Kuhahahahaha!!"

Tawa Dextro saat itu adalah tawanya yang paling ceria atas kekalahannya sendiri.

Setelah menyelesaikan percakapannya dengan Dextro, Koutarou melangkah menuju tempat dimana Alaia berada. Koutarou sudah menyerahkan Alaia pada Clan dan yang lainnya, jadi saat dia tiba, Clan, Lidith dan Caris sudah berada disana.

"Anda cukup sombong juga, meninggalkan seorang tuan puteri untuk pergi berbincang, Layous-sama"

"Yah, saya dikelilingi oleh orang-orang yang unik di kampung halaman saya"

"Fufu, bahkan anda hebat dalam merajut, Layous-sama"

Alaia sudah lepas dari genggaman si raksasa dan menyambut Koutarou dengan senyum istimewa yang tidak ditunjukkannya pada orang lain.

"Saya senang anda baik-baik saja, puteri Alaia"

"Kerja bagus, Layous-sama"

Saat mereka berdua berbicara, mereka sama-sama melemaskan pundak mereka di saat yang sama. Setelah selama ini berada dalam sikap waspada, mereka akhirnya bisa merasa lega setelah melihat bahwa yang lainnya telah selamat. Namun, tepat pada saat itulah Alaia kehilangan keseimbangannya.

"Ah..."

"Yang Mulia!"

Koutarou dengan cepat bergegas menopang Alaia agar tidak jatuh.

Gawat, Yang Mulia masih...

Selama konflik yang menegangkan itu, Koutarou sempat lupa bahwa Alaia masih sakit dan tidak seharusnya berjalan.

"Yang Mulia"

"Kyaa!"

Jadi, Koutarou mengangkat Alaia dan berencana menggendongnya sampai ke penginapan.

"Saya baik-baik saja, Layous-sama. Saya bisa berjalan sendiri."

"Puteri Alaia, anda sudah berjuang keras. Tolong jaga diri anda sendiri sedikit lebih banyak lagi."

Untungnya, berkat bantuan zirahnya, Koutarou bisa menggendong Alaia dengan mudahnya dan mulai berjalan seperti biasa.

Rokujouma V7.5 299.jpg

"...Saya mengerti, ka-kalau begitu, mohon bantuannya", kata Alaia seraya melemaskan badannya dan menutup matanya.

Betul juga...masalahnya masih belum selesai. Kita cuma selamat dari bahaya yang ada di depan kita...

Penyakit yang diderita Alaia semakin parah seiring berjalannya waktu, membuat kondisi badannya kian memburuk. Tidak hanya Alaia, tapi juga semua orang yang berada di desa itu. Mereka mungkin sudah mengalahkan Dextro, tapi mereka masih tidak mempunyai solusi untuk penyakit yang masih melanda desa itu. Desa itu masih berada dalam bahaya.

"Ksatria Biru, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Caris pada Koutarou, yang hanya dijawab Koutarou dengan sebuah gelengan kepala.

"Saya tidak tahu. Dextro tidak memiliki penawar racunnya. Kalau saja ada semacam jawaban..."

Tidak ada obat untuk menyembuhkan virus yang sudah disebarkan Dextro atas perintah Maxfern. DI dalam drama, obat itu ada, jadi Koutarou sempat yakin kalau dia akan mendapatkannya dari Dextro. Namun, kenyataan yang terjadi justru berbeda.

Tepat pada saat itulah, Clan, yang sedari tadi berpikir dengan raut wajah yang serius, akhirnya angkat bicara.

"...Aku rasa mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa menjelaskannya dengan rinci, tapi aku rasa kita harus menggunakan pilihan terakhir kita."

"Pilihan terakhir!? Clan-san, apa anda memiliki sebuah cara penyembuhan!?"

Lidith, yakni keponakan Maxfern, merasa bersalah atas apa yang telah terjadi. Jadi, saat Clan menyebutkan tentang pilihan terakhir, dialah yang pertama kali bertanya.

"Y-ya....", angguk Clan pelan karena kaget dengan pertanyaan Lidith. Saat dia melakukan hal itu, Koutaroulah yang selanjutnya bereaksi.

"Apa itu benar!? Clan!!"

"Veltlion, aku sudah bilang padamu sebelumnya kalau ada cara lain."

"Benarkah?"

"Ya. Cara ini tidak memiliki peluang yang tinggi untuk berhasil dan resikonya cukup besar, tapi tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan dalam situasi ini."

Setelah tersenyum kecut pada Koutarou, Clan akhirnya menunjukkan ekspresi seriusnya, yang hanya ditunjukkan oleh seorang tuan puteri saat dia sedang betul-betul serius.


Kembali ke Bab 4 Ke Halaman Utama Selanjutnya ke Bab 6
  1. Virus memang sebuah organisme yang terdiri dari protein yang mengandung RNA atau DNA. Proses penyebaran RNA atau DNA pada organisme lainnya inilah yang disebut sebagai infeksi.
  2. Siklus kehidupan virus untuk menggandakan dirinya dengan cara memasukkan RNA atau DNAnya pada sel-sel makhluk hidup lain dan menghancurkannya dari dalam, sambil membuat virus-virus yang baru dari RNA itu.
  3. Bagi kalian yang tidak tahu, nabi yang dimaksud adalah Nabi Musa