Madan no Ou to Vanadis (Bahasa Indonesia) :Volume 1 Chapter 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 2 - LeitMeritz[edit]

Semalam aku bermimpi, meski bukan mimpi yang indah.

Di atas bukit yang kecil, pasukan kami sedang berkumpul.

Saat itu sedang waktu makan malam. Api unggun menyala di hadapan para prajurit. Mereka sedang menyiapkan sup ikan. Ada daerah yang sedikit berbukit sebelum mencapai Dataran Dinant, dataran tinggi sepanjang mata memandang.

Di sana, dua puluh ribu pasukan Brune sedang menikmati makan malam mereka. Aku sedang makan seperti biasanya, lima ribu pasukan di sekitarku terlihat seperti terbungkus oleh uap dari makanan mereka sendiri.

Tigre dan Massas sedang berbicara ketika sekelompok pemuda datang.

“Jadi kau datang juga, Vorn.”

Pemuda ini, Zaien Thenardier, terang-terangan berbicara dengan nada mengejek.

Keluarga Thenardier memiliki gelar sebagai Duke. Mereka adalah keluarga terhormat yang tidak bisa dibandingkan dengan keluarga Vorn. Banyak bangsawan yang memiliki kekuatan besar berasal dari keluarga ini, dan tanah kekuasaan mereka sangat luas. Bahkan kabarnya mereka bisa mengerahkan hingga sepuluh ribu pasukan.

Bahkan dalam perang kali ini, mereka bisa mengerahkan empat ribu pasukan, meski dengan persiapan yang tergesa-gesa.

Zaien adalah putra sulung keluarga Thenardier dan ahli waris langsung keluarga, saat ini berusia 17 tahun.

Mengenakan zirah yang dihias dengan pedang indah di pinggangnya. Dengan ekspresi yang seakan meremehkan orang lain.

Di belakangnya, rombongan pemuda tersebut mengikuti.

Zaien lahir dari keluarga Duke, mengenakan zirah yang berkilauan dengan hiasan di bagian dada, dia melihat Tigre sambil menyeringai.

Tigre tidak bisa mengabaikannya, setidak-tidaknya dia harus memperlihatkan sedikit rasa hormat.

“...... Aku di sini untuk menunjukkan pengabdian kepada Yang Mulia. Bagaimanapun aku masih berada di bawah benderanya.”

“Yang kau katakan cukup mengesankan, walaupun aku sendiri ragu bantuan seperti apa yang bisa kau berikan.”

Zaien mengolok-olok Tigre, yang disusul oleh tawa bangsawan lainnya. Mungkin karena merea sebaya, Zaien memang sering menghina Tigre seperti ini.

“Dari dulu sudah kukatakan, keluargamu hanya pemburu biasa selama empat atau lima generasi. Sulit sekali mengakuimu sebagai aristokrat.”

Zaien melontarkan kata-kata tersebut sambil menginjak busur Tigre yang terbaring di tanah.

Bagai binatang buas, dengan refleknya Tigre dengan gesit mengambil busurnya.

“Uwa!”

Kehilangan keseimbangan, Zaien dan orang di belakangnya terjatuh.

“Apa yang kau lakukan pada Zaien-sama!”

Tindakan ini memicu amarah pengikut Zaien, mereka pun mulai berteriak pada Tigre.

“Aku hanya melindungi busurku!”

“Busur? Itu hanya senjata untuk seorang pengecut!”

“Benar, tak ada salahnya menghancurkan senjata memalukan seperti itu. Seharusnya kau berdiri di garis depan dengan pedang!”

“Aku yakin Dewa Perang, Trigraf, tidak akan pernah memberkati orang sepertimu!”

Pengikut Zaien yang lain ikut menyuarakan kebencian mereka.

Di dalam kerajaan Brune, kebencian mereka terhadap busur merupakan hal yang wajar.

“Busur adalah senjata seorang pengecut yang tidak mempunyai keberanian berhadapan langsung dengan pedang lawan.”

Pemahaman seperti ini tertanam kuat dalam pasukan Brune, yang jarang sekali menggunakan busur.

Pencapaian mereka yang mahir menggunakan busur dipandang sebelah mata, bahkan sama sekali tidak bernilai.

“Pemanah berasal dari kalangan pemburu, petani yang tidak memiliki tanah, atau prajurit yang melakukan kejahatan serius—atau orang-orang yang tidak mahir menggunakan pedang ataupun tombak. Seharusnya kau menggunakan pedang atau tombak, bukan senjata yang biasanya digunakan kalangan rendahan.”

Karena penilaian seperti itu, mereka yang menggunakan busur, bahkan sesama prajurit, akan dipandang bagai seorang penjahat dan orang tak berguna yang selalu diremehkan.

Meskipun leluhur Tigre melakukan bakti militer yang mengagumkan dan mendapatkan tanah untuk berburu dan gelar sebagai Earl, Massas pernah berkata seperti ini kepada Tigre, “Andai saja dia bukan pemburu, mungkin akan mendapatkan gelar yang lebih tinggi lagi”.

“Kalian tenanglah.”

Zaien berdiri dibantu beberapa orang, sambil mengendalikan pengikutnya.

Meskipun ragu, mereka berhenti menyalahkan Tigre.

Zaien membersihkan debu pada baju zirahnya, kemudian tertawa menghina ke arah Tigre.

“Alasan kau memilih busur karena kau tak bisa menggunakan pedang ataupun tombak, kan? Jika kau ke medan perang dengan membawa busur, paling tidak kau bisa merasa seperti prajurit.”

Tigre diam membisu, memang benar dia tidak bisa menggunakan pedang atau tombak.

Jika Tigre melawan, Zaien mungkin akan menantang Tigre untuk menunjukkan kemampuannya menggunakan pedang atau tombak, dan ini akan membuat Zaien tertawa lagi. Hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya.

Ejekan Zaien terus berlanjut.

“Pada dasarnya, kau adalah seorang Earl dari kerajaan Brune dan kau tidak bisa menggunakan pedang maupun tombak dan berniat pergi ke medan perang tanpa menggunakan zirah? Coba lihat penampilannya, dia hanya menggunakan sarung tangan kulit, rompi kulit, bahkan sepatu dari kulit, semuanya dari kulit. Setidaknya pakaiannya lumayan, tapi kalau hanya itu, aku prihatin terhadap kondisi keuangan di wilayahnya.”

“—Tuan Zaien.”

Massas, yang dari tadi memilih diam, tiba-tiba berbicara.

“Kata-kata anda sangat dalam, hanya saja, kalau anda terus-terusan berbicara, pasti akan merasa haus......”

Massas menunjuk ke suatu arah.

“Ada anggur yang akan dibagikan di sebelah sana, mengapa tidak minum untuk menghilangkan dahaga anda.”

Meski menggunakan nada bicara yang santun, Zaien dan lainnya merasakan tekanan dari sikap tubuh Massas. Wibawa seorang prajurit veteran berusia 55 tahun, cukup mengintimidasi bagi Zaien.

Zaien terpaksa mundur dengan sukarela karena mulai sadar dengan tindakannya, dia kemudian berbalik arah.

“Ayo pergi.”

Melihat Zaien dan lainnya pergi, Tigre mengucapkan terima kasih kepada Massas setelah memeriksa kondisi busurnya.

“Terima kasih, kau benar-benar menolongku.”

“Bukan apa-apa, justru aku yang ingin minta maaf, harusnya aku berbicara lebih awal, tapi aku tidak mendapatkan kesempatan untuk ikut campur.”

Dari sudut pandang Zaien, Massas hanya aristokrat kecil yang tak jauh beda dengan Tigre, jika tadi Massas masuk pada saat yang kurang tepat, Zaien hanya akan menertawakannya.

Massas kembali mengaduk isi panci, sambil melihat area sekitar dengan tenang.

Entah itu prajurit biasa atau aristokrat, mereka semua terpusat pada masakan masing-masing, beberapa merawat persenjataan masing-masing sambil mengobrol untuk sekedar menghibur diri. Akan tetapi tak ada seorangpun yang melihat ke arah Tigre dan Massas, sikap seakan tidak peduli seperti ini sudah tidak bisa dikatakan wajar.

Mereka semua takut dengan Zaien dan menghindari hubungan dengan Tigre.

“Sekarang aku mengerti kalau menggenggam pedang atau tombak bukan bukti sebuah keberanian.”

Massas membicarakan sebuah ironi. Tigre ingin mengatakan sesuatu pada Massas, tapi dia lebih memilih menutup mulutnya, karena percakapan beberapa bangsawan yang berkumpul yang tak jauh dari tempatnya menarik perhatiannya.

“Ceritanya, apa kalian mendengar apa yang Duke Ganelon lakukan akhir-akhir ini?”

“Masalah Duke Ganelon yang menaikkan jumlah pajak, menggunakan persiapan perang sebagai alasan?”

“Benar, jika ada anak perempuan pada keluarga yang tidak membayar pajak, anak itu akan diambil paksa, jika tidak ada maka tempat tinggal mereka yang akan dibakar.”

“Bikin iri saja. Aku juga ingin kewenangan untuk mengutip pajak sementara.”

Aristokrat tadi tidak terlihat marah, tapi hanya menggerutu karena rasa tidak puas.

Duke Ganelon merupakan salah satu bangsawan yang paling berpengaruh di kerajaan Brune, seimbang dengan Thenardier.

Ada juga beberapa aristokrat kuat di antara sanak keluarganya. Pengaruhnya bahkan tidak bisa diabaikan begitu saja oleh Raja.

Mengenai wilayah, aristokrat Brune diakui dan diizinkan untuk memerintah suatu wilayah. Tapi beberapa hak istimewa seperti penetapan pajak, izin dari Raja mutlak dibutuhkan.

Duke Ganelon tidak hanya melanggar peraturan dan menaikkan pajak tanpa berbicara dengan Raja, tapi juga melakukan perbuatan biadab seperti itu di wilayahnya. Dan Raja masih menoleransinya.

“Untuk cerita seperti ini, Duke Thenardier juga tidak kalah hebat. Dia memerintahkan rakyatnya untuk berhenti minum anggur selama perang masih berlangsung. Mereka harus menyerahkan semua alkohol sebagai persembahan kepada Dewa.”

“Begitu, tapi tidak terlalu sulit untuk menyembunyikan atau membuat alkohol. Apa yang terjadi pada mereka yang melanggar peraturan ini?”

“Mirip dengan cara Duke Ganelon yang mengambil paksa anak perempuan sebuah keluarga. Tapi sebagai peringatan, kudengar pedang diberikan kepada suami dan istri, atau ayah dan anak, dan mereka dipaksa untuk saling bunuh satu sama lain. Dan bahkan bertaruh siapa yang akan menang.”

Tigre mengepalkan tangannya setelah mendengar percakapan ini.

Massas meletakkan tangannya yang berkeriput di atas lutut Tigre saat dia akan berdiri.

“Tenanglah.”

“Bagaimana aku bisa tetap tenang?”

“Mungkin terdengar kasar, tapi tidak ada yang berubah meski kau mengatakan sesuatu.”

Dia benar, Tigre kembali duduk, tapi kemarahannya masih belum mereda.

Tigre menutup mulutnya, hal ini dilakukan untuk mencegah dirinya bergerak secara spontan.

Dia marah karena Thenardier dan Ganelon tidak menganggap rakyat di wilayahnya sebagai manusia, mereka tidak ragu-ragu melakukan perbuatan kejam. Dia marah kepada orang-orang yang membicarakan perbuatan kejam seperti ini dengan santainya dan mereka yang berpaling melihat ini tanpa merasa keberatan. Terakhir, kemarahan kepada ketidakberdayaan diri sendiri, karena tahu tidak ada yang bisa dilakukannya.

“Cerita tadi, apa benar begitu?”

“Meski hanya rumor... ada beberapa cerita yang mirip seperti cerita tadi. Akan tetapi, orang yang bersangkutan tidak membantahnya. Kau juga jarang ke Ibu kota, tak heran kalau kau tidak mengetahui cerita ini.”

Apa boleh buat.

Tigre jarang sekali meninggalkan teritorialnya, Alsace.

Dia tidak memiliki keinginan untuk muncul ke permukaan untuk memperoleh ketenaran ataupun kejayaan, atau ambisi tertentu. Karena itulah dia sendiri tidak terlalu memusingkan statusnya sebagai seorang aristokrat.

Dan lagi, dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk meladeni Zaien, putra seorang aristokrat berpengaruh.

“Yang Mulia masih menoleransi tindakan mereka...?”

Tigre bertanya dengan sedikit takut.

Dia tidak mau mempercayainya.

“Memang, Yang Mulia masih belum mengatakan apa-apa kepada mereka sampai saat ini.”

Tubuh Massas yang berisi sedikit gemetar sambil menggelengkan kepalanya dengan kuat.

“Aku yakin Yang Mulia mempunyai masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu... Mungkin nanti, jika Yang Mulia sudah tidak bisa mengendalikan mereka lagi, setidak-tidaknya Pangeran Regnas...”

Pandangan Massas seperti menatap ke arah harapan yang tipis. Tiba-tiba, dia melihat ke arah Tigre, tanpa pikir panjang dia mencolok jarinya ke mulut Tigre.

“Fue...?”

Ini terlalu absurd, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Tigre.

Terlebih lagi, tangan itu dingin dan entah mengapa terasa seperti besi.



Ketika terbangun, langit-langit yang redup merupakan pemandangan yang pertama dia lihat.

“—Akhirnya kau bangun juga.”

Tigre mendengar suara yang kekurangan ekspresi. Tak lama, dia merasakan sesuatu yang ditarik dari mulutnya.

Yang baru ditarik dari mulutnya adalah sebuah pedang.

Pemilik pedang tersebut adalah seorang gadis berambut emas yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

“... Aku baiknya mulai dari mana.”

“Ceritanya, ini pertama kalinya aku membangunkan seseorang dengan cara seperti ini.”

Dia menatap Tigre ditambah dengan kata-kata dingin. Tigre tidak tahu harus berbuat apa dan mencoba untuk menyapanya.

“... Selamat pagi.”

“Satu koku (dua jam) lagi menjelang tengah hari.”

Tigre duduk dan melihat wanita tadi sambil menggaruk kepalanya.

Dia mengenakan rok dan pakaian dengan lengan pendek. Dia juga mengenakan sarung tangan panjang hingga mencapai siku serta sepatu boot tinggi hingga ke lutut. Di pinggang, dia sedang memasukkan pedang ke sarungnya.

Mungkin lebih tinggi dari Tigre, dan juga terlihat dua-tiga tahun lebih tua.

Tak salah lagi, dia wanita yang sangat cantik, tapi ekspresinya yang menakutkan meninggalkan kesan seperti orang yang kurang ramah.

Ada tiga karakteristik yang menarik perhatian.

Rambut panjang berwarna emas yang diikat di sebelah kiri.

Iris mata bagaikan langit biru yang dingin bagaikan pualam.

Meskipun tinggi dan dan sangat proporsional, dia memiliki payudara besar yang kurang sesuai dengan tubuhnya yang ramping.

Tigre secara tidak sadar menatap ke arah sepasang gelombang yang menonjol dari balik pakaiannya. Wanita tadi langsung menarik pedangnya dan melontarkan teguran keras,

“—Kalau kau belum bangun juga, aku akan menusukmu.”

“... Maafkan aku.”

Dengan wajah memerah, Tigre meminta maaf.

Tigre melihat ruangannya, kamar yang kecil, hanya terdapat satu tempat tidur di dalamnya.

Sinar matahari masuk melalui jendela, dengan terang menyinari ruangan. Lantai batu biasa, dan hanya terdapat satu pintu yang menuju ke lorong. Busurnya bersandar di dinding.

“Meskipun prajurit kami mengincar kematianmu, dan sekarang kau seorang tahanan perang... bagaimana kau bisa tidur dengan tenang.”

“Itulah salah satu kemampuan spesialku.”

“Kusarankan untuk menahan diri sedikit. Kau kurang bisa melihat situasi.”

Amarah bercampur dengan suaranya yang dingin. Tigre hanya melihat dia dengan rasa malu.

“Apa aku seburuk itu?”

“Sampai pada tahap di mana nafsu membunuhku meningkat.”

Wanita itu berbalik sambil memberikan jawaban tersebut kepada Tigre, kemudian membuka pintu.

“Eleanora-sama memanggilmu, ikuti aku.”

Tigre langsung memakai sepatu kulitnya dan dengan cepat mengikuti wanita tersebut.

“Senang bertemu denganmu, aku—“

“Ini bukan pertama kali kita bertemu, Earl Tigrevurmud Vorn.”

Dia menjawab tanpa berbalik, nada suaranya jelas-jelas tidak menyukainya.

“Namaku Limlisha, tak perlu repot-repot mengingatnya.”


LeitMeritz adalah wilayah yang berada di kerajaan Zchted, di bawah kepemimpinan Eleanora.

Pasukan Eleanora di kota semalam. Sudah sepuluh hari sejak mereka berangkat dari Dinant.

Setelah mengucapkan apresiasi kepada pasukannya, Eleanora menyerahkan sisanya kepada orang kepercayaannya, Limlisha, dan langsung bergegas menuju ibu kota dengan beberapa orang.

Penting untuk melaporkan kemenangannya kepada sang Raja.

Selama kepergiannya ke ibu kota, Tigre beberapa kali bertanya dengan penjaganya, dan jawabannya selalu sama.

“Kami tidak ada kewajiban untuk menjawab pertanyaan tahanan Eleanora-sama.”

Meskipun dia bertanya untuk bertemu dengan Eleanora, mustahil mereka tidak mengizinkannya. Pada dasarnya, mustahil untuk melakukannya karena yang bersangkutan sedang di ibu kota untuk bertemu dengan Raja.

Kehabisan pilihan, Tigre hanya bisa menurutinya.

“... Sementara kuikuti saja dulu alurnya.”

Tigre membuat keputusan tersebut sambil menatap langit hingga larut malam.


Mengikuti Limlisha, Tigre melintasi lorong sebuah kastil.

“Kenapa kau melihat-lihat seperti itu?”

Limlisha dengan heran menatap Tigre yang seperti anak kecil.

“Aku hanya berpikir betapa indahnya bangunan ini.”

“Kau seorang Earl, seorang aristokrat.”

“Aku hanya seorang bangsawan miskin, tak ada artinya membandingkan tempatku dengan bangunan ini.”

Tigre menanggapinya tanpa rasa malu. Tigre melihat sekitarnya, mengagumi langit-langit dengan lantai bangunan ini.

Sampai saat ini, Tigre belum pernah meninggalkan Brune, dan sekarang dia berada di istana di suatu provinsi. Mosaik yang menghiasi lantai merupakan hal baru baginya.

Sisi yang menghadap ke halaman bermandikan cahaya matahari yang lembut. Dia area yang luas, prajurit sedang berlatih keras, penuh dengan semangat.

“Suasana yang nyaman.”

“Ini istana resmi Eleanora-sama.”

Limlisha mengatakannya seakan itu hal yang wajar.

Prajurit berpatroli di sekitar koridor, dia juga berpikir pelayan dan petugas ofisial yang melintas di sana sini sedang melakukan tugasnya.

Tigre memikirkan gadis yang terlihat seperti adik perempuannya, yang menjaga mansion yang ditinggalkannya.

--- Teita pasti sangat khawatir.

Ketika Tigre berpamitan dengan Teita, dia sama sekali tidak menyangka hal seperti ini bakal terjadi.

--- Batran, dan juga yang lain. Aku harap mereka kembali dengan selamat.

Dalam hati, Tigre merasa sangat gelisah.

Dia berharap bisa segera kembali ke Alsace. Hanya saja, tahanan perang yang mencoba kabur akan dihukum mati, jadi Tigre hanya bisa menurut.

Mereka akhirnya keluar dari bangunan.

Dia berjalan terus sampai Limlisha menghentikan langkahnya.

“... Kita sudah sampai.”

Dia dibawa ke tempat latihan yang dekat dengan benteng.

Eleanora berdiri dengan tiga prajurit bersenjata. Dia mengenakan pakaian biru gelap dengan pedang panjang di pinggangnya.

“Jika kau melakukan gerakan yang mencurigakan... tidak, tolong jangan ragu-ragu melakukannya. Itu akan menghemat waktu dan tenaga.”

Limlisha berbicara sambil melepaskan suara pedang yang keluar dari tempatnya.

Meskipun merasakan aura permusuhan yang cukup jelas, Tigre sama sekali tidak menghiraukannya.

--- Apa boleh buat, aku sekarang hanya tahanan perang, kami masih menjadi musuh sepuluh hari yang lalu.

“Hmm... kau datang juga.”

Eleanora menyadari keberadaan Tigre dan berjalan ke arahnya dengan riang. Pertama dia memberikan senyum kepada Tigre, disusul Limlisha.

“Kerja bagus. Hanya saja, kamu memakan waktu lama untuk sekedar kemari.”

“Mohon maaf, orang ini sulit untuk dibangunkan.”

“Dia susah dibangunkan?”

Eleanora terlihat ragu mendengar cerita Tigre yang bangun hanya ketika pedang dimasukkan ke mulutnya. Bahunya sampai bergetar karena mencoba menahan tawa.

“Bahkan ketika menjadi tahanan, tidurnya nyenyak sekali.”

“Dia hanya orang bodoh.”

Akhirnya, tawa Eleanora lepas dan melihat ke arah Tigre.

“Tigrevurmud Vorn, nama yang cukup panjang bagi seorang dari Brune. Apa ada kisahnya?”

“Aku menerima nama leluhur. Jika merasa sulit untuk diucapkan, kau bisa memanggilku Tigre.”

Tigre mengatakan kalimat yang biasa diucapkan. Dia merasa aneh dipanggil dengan Tigrevurmud Vorn.

Wajah Eleanora seketika bersinar. Wibawa sebagai seorang Vanadis yang biasa dikenal prajurit hilang, dia mengenakan ekspresi yang sesuai dengan gadis di usianya sekarang.

“Kalau begitu, kau juga bisa memanggilku Ellen, aku lebih suka jika kau memanggilku begitu.”

Tigre secara tidak sadar terus menatap Ellen. Dia berbicara dengan akrab dengan seorang tahanan perang. Kalau boleh dibilang, dia sedikit berlebihan.

“Eleanora-sama.”

Meski Limlisha menegurnya, Ellen tidak gentar.

“Dia tawananku, kalau cuma ini bukan masalah, Lim”

“Lim?”

Mendengar nama tadi, Tigre melihat ke arah Lim dengan heran.

“Akan kukatakan sekarang, dia salah satu pengawalku yang kudanya kau jatuhkan, dan gadis ini yang membawamu kemari dari Dinant.”

Meskipun bingung apa yang harus dilakukan setelah mendengarnya, Tigre dengan tulus berterima kasih kepada Lim.

“Mungkin memang aneh kalau aku mengatakan ini, tapi terima kasih telah membawaku kemari dengan selamat.”

Tigre pernah mendengar cerita tentang tahanan perang yang dihina dan dianiaya, bahkan mati disiksa selama perjalanan. Beberapa tewas tanpa diberi makan sama sekali.

Tapi, selama perjalanannya dari Dinant, Tigre tidak pernah diperlakukan dengan kejam, bahkan diberi makanan yang layak.

Mungkin semua itu karena dia tawanan Eleanora, tapi Limlisha – Lim, yang mengatur semuanya.

Dia tidak menjawab Tigre, apa yang terjadi hanya masa lalu.

Hanya saja, Lim menyembunyikan amarahnya dengan mengabaikan Tigre dan kembali menghadap Ellen.

“Eleanora-sama, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini, anda harusnya sudah menyelesaikan sebagian terlebih dahulu, kan?”

“Iya... iya.”

Ellen mengeluarkan senyuman pahit sambil melambaikan tangan. Kemudian menghadap Tigre dan tersenyum dengan lepas.

“Sebelumnya aku akan menjelaskannya terlebih dahulu, Tigre... bukan, Earl Vorn. Berdasakan kesepakatan antara kerajaan kita, anda ditetapkan sebagai tawanan perang. Jika dalam waktu lima puluh hari, uang tebusan yang disepakati tidak dibayar oleh kerajaan Brune, benar, jika uang tebusan tidak dibayarkan kepadaku, menurut kesepakatan, anda akan menjadi milikku. Perjanjian ini diikat atas nama Dewa Radegast, apakah bisa diterima?”

Meski ragu, Tigre menganggukkan kepalanya.

Tadi merupakan perjanjian yang biasanya dilakukan oleh setiap negara mengenai perlakuan terhadap tahanan perang.

Ini dilakukan untuk menghindari penganiayaan, pelecehan, atau bahkan, pembunuhan. Ini merupakan peraturan yang dibuat untuk membuka ruang negosiasi ke depannya.

“Yah, mungkin kau bakal mencemaskan jumlahnya.”

Tigre hanya bisa berdiri terpaku dengan mulut menganga, setelah mendengar jumlah tebusan dari bibir Ellen.

Jumlah yang mendekai total pendapatan pajak yang bisa didapatkan Alsace dalam tiga tahun.

Tigre seketika pusing mendengar jumlahnya.

“... Apa masih memungkinkan untuk mengurangi jumlahnya?”

“Tidak.”

Ditolak mentah-mentah.

--- Yah, tidak ada alasan baginya untuk mengurangi tebusannya.

Dalam beberapa kasus, tujuan untuk menahan musuh adalah untuk meminta uang tebusan. Tidak mungkin dia akan mengurangi jumlahnya semudah itu.

“Kau akan tinggal di tempat ini. Tak perlu dikatakan lagi, segala usaha untuk melarikan diri akan berakhir dengan hukuman mati.”

Tigre seperti ikan sekarat yang kehabisan air. Tigre mencoba mengingat-ingat total tabungan di wilayahnya.

Jumlahnya kira-kira mendekati pajak yang bisa dikumpulkan dalam setahun, masih jauh dari cukup.

--- Andaikan aku bisa membicarakan ini dengan Batran atau Teita, atau mungkin Sir Massas, yang memiliki jaringan luas, mereka mungkin bisa mengumpulkan tebusannya.

Melihat jumlah dan tenggat waktunya, bisa dikatakan, sudah tidak ada harapan lagi.

Tigre mulai merasakan sakit di antara kedua matanya ketika membayangkan masa depannya yang suram. Hampir saja dia pingsan, tapi sebelum itu terjadi, Tigre berhasil mengumpulkan kekuatan di kedua kakinya.

Berhasil menopang tubuhnya dengan seluruh kekuatan yang tersisa, dia melihat ke arah Ellen.

--- Aku harus kembali ke Alsace.

Aku lahir dan besar di sana, itu tanah yang sangat penting yang diwariskan ayah kepadaku.

Aku juga khawatir dengan keselamatan prajurit lainnya. Aku yakin orang-orang di sana juga mengkhawatirkanku.

Yang terpenting, aku sudah berjanji kepada Teita bahwa aku akan kembali.

Ingin rasanya segera menjawab harapannya.

“Jadi... apa yang kau inginkan dariku sampai repot-repot membawaku ke tempat ini?”

Tigre berbicara dengan nada lancang. Mata merah milik Ellen tersenyum senang ketika melihat Tigre dengan penuh rasa kagum.

“Tentu saja, aku memanggilmu bukan untuk sekedar membahas masalah tadi.”

Ellen menunjuk ke arah sasaran tembak yang tergantung di dinding.

“Tembak anak panah dari sini dan bidik papan yang berada di sana.”

“Hanya itu?”

Tigre, yang berada dalam posisi bertahan, merasa seperti anti-klimaks.

Jarak dari tempatnya menuju target adalah tiga ratus alsin (kira-kira tiga ratus meter). Bahkan bagi mereka yang cukup ahli memanah, jarak seperti ini terlihat seperti lelucon yang tidak lucu.

Melepaskan anak panah sampai pada jarak itu sudah cukup menyulitkan, dan makin terlihat mustahil jika harus mengenai sasaran yang ditentukan.

Hanya saja, jarak seperti ini bukan masalah bagi Tigre.

Meskipun tidak tahu apa yang Ellen rencanakan, tapi dia berniat untuk membereskannya dengan segera.

Salah satu prajurit membawakan sebuah busur dan empat anak panah. Pria itu memiliki penampilan yang lembut dengan rambut hitam berkilau dengan panjang hingga mencapai ke bahu.

Alis matanya sedikit mengkerut setelah menerima busur dan anak panah dari pria tersebut.

“Busur yang sangat buruk.”

Bahannya kurang layak digunakan, kondisi genggamannya buruk, senarnya juga dibuat sekedarnya. Juga terdapat sedikit lekukan, sudah jelas maksud pria tadi seperti apa.

Ellen memandangnya dari kejauhan, seperti anak kecil yang dipenuhi dengan harapan. Apa dia tidak terlibat? Rasanya mustahil mengatakan ini busur standar untuk pasukan Zhcted.

Dia kurang yakin kalau Ellen mengetahui hal ini.

Pikiran tak menyenangkan melintasi kepalanya. Kalau dipikir-pikir lagi, busur di Brune juga tak terlalu bagus juga.

--- Ini bukan masalah kemampuan sang pembuat... Sejak awal, tidak ada profesi seperti pengrajin busur.

Busur Tigre dibuat oleh ayahnya ketika dia masih kecil. Pemilihan bahannya juga, berdasarkan pengetahuan dan teknologi negara lain, seperti Zhcted.

Tingkat akurasi anak panah yang dilepas Tigre bukan ditentukan oleh kemampuannya semata, tetapi juga kualitas dari busurnya.

Sewaktu berpura-pura memeriksa kondisi busurnya, dia melihat pria yang menyerahkan busur ini dan beberapa orang yang menyeringai di sekelilingnya.

“Trik rendahan.”

Karena marah, bisikannya keluar dari mulutnya.

“Ada apa?”

Lim, yang berdiri di dekatnya, melihat Tigre dengan ragu. Untungnya, dia tidak mendengar apa yang dikatakan Tigre. Bagaimana pun juga, aneh jika seorang tahanan perang mengeluh mengenai kualitas busur.

“Hanya ingin memastikan, aku tak perlu mengenai sasaran dengan empat anak panah, cukup satu kan?”

“Pertanyaan yang tidak disangka dari orang yang membunuh kuda-ku dengan satu anak panah.”

Meski berpikir Tigre bermaksud menyindir, ekspresi Lim tetap tidak berubah. Tidak terasa niat buruk dari Lim, kelihatannya dia juga tidak menyadari kondisi busur itu.

“Jika kondisi fisikmu kurang bagus, aku bisa mengatakan pada Eleanora-sama untuk menundanya.”

“Jangan, akan kulakukan.”

Tigre menjawab dengan tegas. Tigre menyiapkan posisi.

“Hanya saja, izinkan aku untuk menembak target dengan satu anak panah, aku tak terlalu percaya diri dengan busur yang tak biasa kugunakan.”

Lim mengangguk setuju dan langsung berjalan ke arah Ellen. Setelah berbicara beberapa kata, Ellen melihat ke arah Tigre tanpa rasa ketidakpuasan, seolah berkata “segera mulai.”

Tigre menarik anak panah pertama dan melepaskannya.

Berhenti sebelum mencapai targetnya, anak panahnya jatuh ke tanah pada jarak kurang dari dua ratus alsin. Tawa dan cemoohan terdengar di antara beberapa pasukan.

Tigre tidak menghiraukannya dan melepaskan panah kedua.

Bunyi panah yang dilepaskan terdengar dan panah tersebut melengkung di udara. Kali ini mengenai tembok kastil, jauh dari target.

Beberapa prajurit tertawa dengan keras, beberapa tertawa sampai bahunya bergetar. Ada juga yang melihat Tigre dengan kasihan atau dengan pandangan jijik. Tigre diserang dengan berbagai jenis tatapan.

“Kau sengaja melakukannya ya?”

Lim berkata dengan nada kesal, kemudian melihat ke arah Ellen.

Ellen terlihat serba salah. Walaupun bermaksud untuk menyelesaikan masalah, Ellen menatap Tigre bagai guru yang memarahi muridnya.

“Akan kulanjukan.”

Tigre berkata dengan penuh rnafsu, dan menarik anak panah ketiga.

“Hei, masih mau melakukannya? Kau masih berniat untuk mempermalukan dirimu ya?”

“Mungkin kau ingin pengganti. Meski bisa mencapai target, tapi dia tidak bisa menembak dengan benar.”

“Vanadis-sama, apa benar anda menjadikan orang ini tawanan anda?”

“Pertunjukan yang luar biasa. Kurasa kita bisa melihat hal baru besok.”

Walaupun beberapa prajurit mengatakan hal buruk kepadanya, Tigre sama sekali tidak terpengaruh.

Dia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini. Tigre sudah beberapa kali menerima penghinaan yang lebih parah dari situasi ini.

Tigre menarik nafas dalam-dalam dan melihat langit untuk mengubah suasana, kemudian melihat-lihat sekitar.

Dalam pandangan Tigre, terlihat bayangan hitam.

--- Apa itu?

Kepalanya berhenti bergerak untuk melihat lebih jelas.

Saat itu juga, dia mengenali identitas dari bayangan tersebut. Bulu kuduknya seketika berdiri, kemudian dia berteriak kepada Ellen.

“Menunduk!”

--- Arbalest...?'

Berbeda dengan busur yang biasa Tigre gunakan. Arbalest merupakan busur mekanik, senar ditarik oleh alat, dan ditembak dengan pelatuk.

Senjata yang sulit digunakan, dan juga mudah rusak, tapi jarak maksimum yang bisa ditempuh mencapai tiga ratus lima puluh alsin, dan bisa dengan mudah menembuh perisai dan baju zirah.

Bayangan hitam yang berdiri di atas benteng memiliki senjata tersebut.

Anak panah yang tebal keluar dari arbalest.

Meluncur kencang ke arah Ellen, dia sudah tak punya waktu untuk menghindarinya.

Akan tetapi, Ellen tidak panik, ataupun bergerak untuk menghindar.

“— Arifal!”

Bagai mantra, dia mengucapkan kata tersebut, pedang yang menempel di pinggangnya bereaksi, membelah atmosfir dan mengeluarkan cahaya perak.

Dalam sekejab, udara berkumpul, pusaran badai mengitari Ellen.

Rambut peraknya yang panjang menari bersama angin, panah tersebut terjebak dalam badai, dan terlempar keluar jauh dari lintasannya.

Anak panah tersebut menancap pada tanah kosong di sebelah Ellen dengan lemah.

--- Apa yang terjadi?

Tigre terkejut melihat Ellen.

Ketika mempelajari busur, Tigre juga belajar mengenai arbalest, dia cukup paham kekuatan dari anak panah tebal yang dilepaskan arbalest. Angin biasa tak mungkin membuatnya keluar dari jalur lintasannya.

“Amankan orang itu!”

Lim berteriak. Semua prajurit memegang busur, hanya saja, jauh dari mengenai sasaran, mereka bahkan tidak bisa mencapai atas benteng.

Prajurit yang memegang pedang dan tombak berlari ke atas benteng.

Melihat kegaduhan ini, prajurit yang berjaga juga ikut mengejar bayangan tersebut.

--- Ini semua tidak ada hubungannya denganku.

Tigre mengatakan hal tersebut pada dirinya sendiri. Dia bukan bawahan Ellen, ataupun penduduk kota ini, meskipun tadi dia berteriak secara spontan.

Ketika memikirkan hal tersebut, Tigre teringat dengan pertemuannya dengan Ellen.

“Kau hebat.”

Ellen mengatakannya sambil tersenyum.

---Teita, Batran dan orang-orangnya, dan juga almarhum ayahku. Kapan terakhir kali ada yang memuji kemampuan memanahku?

“Kau ingin dia ditangkap hidup-hidup?”

Tigre menanyakan pertanyaan tersebut sambil menarik panahnya.

“Kau masih bisa menanyakan itu pada situasi seperti ini?”

Menggenggam pedang dengan tangannya, Lim hanya bisa melihat bayangan tersebut dengan kesal. Dia ingin mengejarnya, tapi tak bisa meninggalkan Ellen.

Bayangan tersebut dengan cepat melintasi dinding. Jika dia bisa mencapai menara, dia bisa kabur dengan mudah.

“Baiklah, akan kuincar kakinya.”

Tigre mengatakan hal tersebut sambil menarik busurnya kuat-kuat.

Setelah dua percobaan tadi, Tigre bisa mengerti cara kerja busur ini.

--- Aku tak akan meleset dalam jarak ini.

Lim melihat Tigre dengan heran.

Kemudian tatapannya berubah menjadi kaget.

Senar pada busur bergetar.

Suara dari panah tersebut bergema sambil membentuk lengkungan panjang, kemudian menembus kaki bayangan tersebut.

Bayangan tersebut jatuh, kemudian ditangkap oleh beberapa pasukan yang akhirnya bisa menyusul.

“Apa itu tadi... “

Salah satu prajurit dari atas benteng melihat ke arah Tigre, tak ada lagi yang bisa diucapkan.

Prajurit yang lain melihat Tigre dengan takjub.

“Mustahil, dia menembak dari jarak tiga ratus alsin...”

“Tidak, jika kau menambahkan tinggi dari benteng, mungkin lebih, tak mungkin.”

“Sulit percaya... Apa itu bisa dilakukan manusia, atau apa semua orang dari Brune bisa melakukannya?”

Meskipun kata-kata tersebut penuh rasa heran dan terkejut, tapi terdapat rasa takjub di dalamnya.

Ada prajurit yang hanya bisa berdiri terdiam, yang lainnya melihat ke arah langit, beberapa memegangi kepala dengan tangannya sambil mengucapkan nama Dewa.

Kebencian di tempat latihan seketika menghilang.

“Dia melakukan hal seperti tadi... Dengan busur seperti itu...”

Wajah prajurit yang menyerahkan busur tadi kepad Tigre seketika pucat karena rasa takut.

“... Apa boleh buat.”

Tigre hanya bisa mengangkat bahunya. Meskipun sekarang dia tidak menyimpan perasaan apapun, dia masih terlihat bingung. Tigre baru sadar jika semua sedang menatapnya dari segala arah.

Masih tersisa satu anak panah di tangannya. Meskipun Lim pernah melihat kemampuan Tigre sebelumnya, reaksinya tak terlihat berbeda dengan prajurit lainnya. Ketika mata mereka bertemu, Tigre menyadari jika Lim juga terkejut.

Tigre melihat ke arah Ellen.

“Sekarang, apa yang harus kulakukan dengan panah terakhir?’

“Aku rasa sudah cukup, akan terasa hambar jika dilanjutkan.”

Rambut perak Ellen bergoyang lembut disaat dia menggelengkan kepalanya.

“Kerja bagus.”

Ellen tersenyum tulus kepada Tigre, dia mengembalikan pedangnya ke tempatnya. Tiba-tiba angin berhembus dari suata arah, membelai rambut Tigre.

--- Tadi itu...

Tigre secara spontan memegangi rambutnya sendiri. Dia merasa Ellen menggunakan pedangnya untuk membuat angin tadi.



Kembali ke Chapter 1 Menuju ke Halaman Utama Lanjut ke Chapter 3