Fuyuu Gakuen no Alice and Shirley (Indonesia):Volume 1 Chapter 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 1 - Kota Akademi Mengapung[edit]

Part 1[edit]

Hari pertama di sekolah baru, pukul 07:22 pagi.

Masaki tiba di Canaan, kota akademi mengapung.

Sesaat dia melangkah melewati pintu otomatis, meninggalkan pendingin ruang masuk kereta, dia terserang oleh hembusan udara panas.

"Jeez, ini sangat panas..."

Ketika dia menengadah ke langit, matahari menyinari dengan sangat terang yang seperti kalau dia mendengar suara yang mempesonakan. Awan-awan semakin mendekat dari yang dia pernah lihat sebelumnya.

"Sebuah kota mengapung."

Canaan adalah kota besar mengapung yang ada di 1000 meter di atas laut. Menutupi area 24 kilometer persegi, yang ukurannya sekitar salah satu wilayah di area kota besar Tokyo. Satu-satunya cara memasuki kota adalah melalui stasiun Kereta Udara.

Di depan gerbang utama terdapat alun-alun dengan air mancur. Lebih jauh ke bawah jalan kecil adalah bagian pertokoan, restoran-restoran serta bangunan rekreasi. Ramai dan tempat yang menyenangkan.

Lantai kedua seluruhnya terdiri dari jalan setapak dan alun-alun, sementara lantai bawah dibangun jalan untuk kendaraan. Jalanan (kaki) dan jalan kendaraan benar-benar terpisah dari satu sama lain, yang terasa aneh, membelah bentuk ujung di era ini.

––Secangkir es teh dingin akan terasa enak.

Tidak, ini hampir waktunya.

Masaki melawan godaan dan, setelah menikmati pemandangan yang ditemukan di area depan stasiun, mulai mencari untuk tempat pertemuan.

"Erm... apa itu monumen segitiga?"

Dia tidak bisa menemukannya.

Seseorang yang seharusnya bertemu dengan teman masa kecilnya.

Tujuh tahun lalu, sebelum dia pindah sekolah, mereka dalam kelas yang sama di SMP. Mereka sering bermain bersama.

Gadis yang pandai memanjat pohon, perenang tercepat, dan akan bertengkar dengan laki-laki tanpa ragu-ragu, saat ini adalah murid SMA seperti Masaki.

Ketika ia memikirkan tentang bagaimana perubahan feminimnya, Masaki merasa wajahnya menjadi merah. Ia memiliki perasaan rumit tentang pertemuan dengan teman masa kecilnya lagi. Bagaimana dia akan menyambutnya?

Masaki mendengar langkah kaki seseorang yang berlari ke arahnya.

"Hmm?"

"Masaki–––!!"

Bidang penglihatannya berubah putih. Sesuatu yang lembut menutupi wajahnya.

Bantal?

Besar, lembut dan bulat.

Masaki tiba-tiba merasa seolah dia memiliki berat dunia ada di atasnya.

Sekali dia mengendalikan kebingungannya, Masaki akhirnya menyadari kalau seseorang memeluknya dengan erat.

"Aku tidak bisa..."

"Funyaa!! Ini beneran. Ini pasti Masaki!!"

"Terlalu... sempit..."

"Bau ini... aku sangat kangen!"

"U-udara..."

"Huh? Ada apa, Masaki? Apa yang kau coba katakan?"

"Aku akan mati..."

"Ehh!?"

Dia akhirnya melepaskan Masaki dari lengannya sebelum dia pingsan.

Wajahnya bebas dari tonjolan lembut yang menutupi mulut dan hidungnya.

Masaki mengambil napas dalam-dalam.

"Udara di sini sungguh menyejukkan."

"Ah, itu. Ini karena akademi ada di atas laut dan mobil-mobil yang mengeluarkan asap telah dilarang."

FGnAS01 P009.jpg

"Itu bukan apa yang aku maksud, tapi... Haha... aku lega kalau kau tidak berubah dari yang aku pikirkan. Sudah lama ya, Shirley."

"Nihaha, lama tak jumpa, Masaki! Aku tidak mengira kalau ada satu bagianpun dariku yang tidak berubah. Lihat, ada berbagai macam benda (pakaian?) yang berbeda, benar?"

Dia menepuk dadanya dengan bangga, dan menonjolkannya.

Dia mengenakan dasi lebar dan blus lengan pendek dengan kerah rapat, juga membandingkan rok merah yang terlipat. Itu terlihat seperti seragam. Rambutnya, yang pendek ketika dia masih anak-anak, sekarang mengalir ke bawah di belakangnya. Bulu matanya panjang dan lengan serta kakinya ramping.

Namun, yang paling disadari adalah bantal dada feminimnya, yang sangat berlebih, terasa besar yang menarik perhatian padanya.

Masaki terkejut dengan hanya berapa banyak dia tumbuh.

Apa itu karena keturunannya?

Namanya adalah Sakurazaka Shirley. Nampaknya ibunya berasal dari Amerika.

"...Yah, tentu saja kau tumbuh."

"Aku tahu, benar!? Aku 30 sentimeter lebih tinggi sekarang!"

"Me-meski kau mengatakan berapa banyak kau tumbuh, aku tidak bisa mengatakannya."

"Hmm, aku 159 sentimeter tingginya, aku kira. Bagaimana denganmu? Kau lebih tinggi dariku sekarang, bukan?"

Shirley menghampirinya untuk menepuk kepala Masaki.

Dia menyadari kalau dia benar-benar salah paham tentangnya dan dengan terpaksa berubah merah (malu).

"Ah, yah, tinggi, benar! Itu benar, kita membicarakan tentang tinggi, yah."

"Hmm?"

"Tinggiku–"

Mereka melanjutkan pembicaraan sambil berjalan ke sekolah. Shirley memberitahu Masaki tentang kota yang dia tinggali selama tujuh tahun.

Ini adalah kota akademi mengapung Canaan, mereka dengan segera tiba di sekolah.

Masaki dan Shirley berada di depan salah satu bangunan besar sekolah di kota.

Part 2[edit]

Mereka menaiki bus otomatis dari alun-alun stasiun, dan lima belas menit kemudian mereka tiba di pemberentian bus Alrescha.

Masaki dengan penuh tegana ditarik dengan Shirley, karena lengan mereka saling bergandengan.

"Lihat, kita di sini!"

Mendekat pada Masaki dengan kelembutan Shirley, tubuh hangatnya membuatnya sulit untuk Masaki tenang.

"A-aku mengerti. Aku tidak akan kalah, jadi aku baik-baik saja sekarang."

Area yang terpenuhi dengan murid-murid yang menuju ke sekolah. Mereka semua mengenakan seragam yang sama seperti Shirley.

Sejak dia masih baru dan lengannya terhubung dengan Shirley, semuanya menatap padanya.

"Masaki, apa kau belum mendengar tentang kelasnya?"

"Tidak. Aku tidak diberitahu apapun, jadi aku kira kau harus mengatakan padaku di mana ruang guru ketika kita selesai. Aku diberikan beberapa kertas, tapi aku tidak mengerti apapun ketika aku mengambil dengan segera dan mengamatinya."

"Baiklah. Kelas kita adalah kelas dua, kelas A. Ini di lantai 45..."

"Serius, lantai 45!?"

"Uh-huh. Alrescha seluruh lantainya mencapai 60. Kantin di atas memiliki pemandangan yang benar-benar indah."

Masaki menatap pada bangunan yang dia tunjuk.

Kaca-kaca menara pencakar langit berada di sekelilingnya. Lantai pertama mempunyai jalan masuk dan lantai kedua serta ketiga memiliki anak tangga yang menuntun mereka. Dari arah depan lantai keempat seluruhnya adalah kaca.

"Apa itu semua ruang kelas!? Aku pikir ini sebuah perusahaan, bukan sekolah."

"Ahaha. 29 lantai pertama adalah ruang kelas spesial. Ruangan guru ada di atas lantai 30 sampai 35, dan dari sana ke lantai 40 adalah ruang kelas satu. Lantai 41 samapai 45 adalah ruang kelas dua, dan sampai lantai 50 adalah ruang kelas tiga."

"Woah... lalu apa sepuluh lantai teratas?"

"Kantin!"

"Itu benar-benar hebat."

"Aku merasakan hal yang sama ketika aku mulai memilih SMP. Meski aku terkejut ketika aku pindah sekolah, aku terbiasa hampir membanyangkannya dengan cepat."

"Oh baiklah, tapi... kita seharusnya tidak bergandengan tangan sekarang, Shirley?"

"Kenapa?"

"Yah... bukankah itu sedikit memalukan? Semuanya melihat..."

Dia memberika senyum riang.

"Nihaha, tenang saja, Masaki!"

"Be-benarkah?"

Masaki penasaran jika dia terlalu memikirkannya.

"Sekarang, ayo pergi!"

"A-ah!"

Mereka melewati jalan masuk dan memasuki bagian yang cukup lebar untuk disebut stasiun umum, dan segera mereka tiba di ruangan yang besar.

Ini sepertinya jantung pencakar langit.

Di pusat ruangan adalah dinding melengkung, atau mungkin bisa disebut tiang melingkar. Banyak lift yang berjejer di sepanjang dinding, dan kata-kata "TIANG LIFT" terlukis di sana.

Satu demi satu, murid-murid memenuhi lift-lift.

"Ada banyak lift."

"Tapi bukankah nanti akan menunggu lama? Terutama saat makan siang."

"Apa - karena ada banyak murid?"

"Meski di sana ada lift semua jalan di sekitar tiang luas, semuanya berjejer di tiap sisi, jadi lift di sampingnya tidak sedang digunakan."

"Hahaha... aku mengerti."

"Apa ada tangga juga?"

"Yah, tentu."

"Di mana lantai ruang guru tadi?"

"Lantai 30–"

"Tidak, tidak, itu terlalu tinggi."

"Hm, ada kumpulan tangga di sisi timur dan barat sekolah."

"Kenapa itu terlihat seperti kau ingin menggunakan tangga!?"

"Eh? ...Karena tangga-tangga di sana?"

"Ini bukan mendaki gunung, kau tahu."

Sementara mereka menunggu, seseorang di belakang mereka berteriak, "Ap–!?"

Ketika Masaki berbalik, dia melihat mata pemuda yang membelalak dengan terkejut.

Pemuda yang terlihat punya fisik yang kuat. rambutnya pendek dan datar, serta wajahnya benar-benar persegi. Dengan jelas, sosoknya memberikan kesan suram. Semua orang mengalihkan pandangan dari adegan yang muncul.

Dia berbicara seperti ingin menekan setiap tetes darah terakhir yang menyembur dari Masaki.

"Sa-Sakurazaka-san! Siapa laki-laki itu!?"

"Hmm? Dia Masaki." Shirley menjawab dengan biasa.

Sejak dia (Shirley) tidak berbicara banyak, Masaki memutuskan untuk melakukannya. "Aku Kunosaki Masaki. Hari ini adalah hari pertamaku di sekolah ini."

"Murid pindahan? Itu berarti kau baru saja terbangun (kekuatan), benar? Seorang laki-laki baru... dengan le-lengan Sakurazaka-san..."

Bahunya mulai gemetar.

"Siapa... dia?"

"Laki-laki itu adalah Ishounuma. Dia sekelas denganku. Begitulah."

"Sakurazaka-san, itu tidak benar, kan?"

"Ini yang sebenarnya."

"Hmph, kau dingin seperti biasa."

Ishounuma ramah ketika berbicara pada Shirley, tapi memiliki perasaan permusuhan terhadap Masaki. Nampaknya seperti dia siap menyerang Masaki kapan saja.

"–Dan? Kau siapanya Sakurazaka-san?"

Meskipun tidak pernah bertemu Masaki sebelumnya, dia sangat memusuhi Masaki yang merasa segan darinya.

"Kami hanya teman masa kecil... Hey, Shirley, seperti yang aku kira. Jika kita seperti ini, orang-orang akan salah paham."

Dia dengan lembut melepaskan tangan mereka.

Dia terlihat kecewa sementara menuruti apa yang Masaki katakan.

Namun, itu tidak cukup untuk menenangkan Ishounuma. Malahan, matanya menjadi merah (karena marah).

"Ka-kau tidak menggunakan honorific[1] dengan namanya!? Hei, kau! Meski kau kenalan lama Sakurazaka-san, bukan berarti kau bisa bertingkah sok akrab dengannya!"

"Aku tidak bermaksud melakukan itu."

"Sakurazaka-san juga! Jangan bertingkah sangat baik pada seorang laki-laki level rendah yang baru saja terbangun."

Setelah mendengar perkataan Ishounuma, Shirley mulai memperlihatkan kemarahan di wajahnya.

"Apa itu? Bukankah aneh memilih siapa yang kau akan dekati dengan level mereka?"

"Hah!?"

"Ayo pergi, Masaki. Aku baik-baik saja dengan menaiki tangga."

"Aku kira tidak punya pilihan."

Masaki tidak suka mencampuri perselisihan dengan orang lain. Mungkin terlihat sulit menaiki seluruhnya sampai lantai 30 menggunakan tangga, tapi untuk Masaki itu lebih mudah daripada berhadapan dengan Ishounuma.

Ishounuma menggertakkan giginya dengan keras.

Dia melanjutkan menatap pada Masaki sampai dia menghilang dari hadapannya.

Part 3[edit]

"Maaf tentang itu, Masaki. Itu mulai kelewatan," Shirley mengatakan sembari keduanya menanjaki tangga.

"Jangan khawatir. Itu bukan salahmu. Dia bertingkah sedikit aneh, tapi dia hanya teman sekelasmu, benar?"

"Tentu saja!"

Itu tidak terlihat seperti dia mempercayainya.

Shirley sepertinya terganggu.

"Di kelas satu, aku tidak punya partner, jadi Ishounuma memintaku menjadi partner nya."

"Benarkah!? Apa kalian dekat dengan satu sama lain, apa itu hanya demi kelas?"

Shirley menggetarkan lengannya dengan marah.

"Tidak! Itu bukan seperti itu. Aku baru saja menjadi anggota komite sekolah, dan peraturannya kalau semuanya harus punya partner!"

"Ah... komite."

"Tapi pada akhirnya aku tidak menjadi partner nya - aku dipasangkan dengan orang lain. Aku ingin tahu jika dia salah paham karena aku tidak langsung menjelaskannya? Yah, itu tidak seperti kami sangat dekat."

"Ya, tapi... aku tidak bermaksud menyebabkan masalah antara kami... tapi bukannya itu aneh kalau semua orang berpikir aku sangat baik berhubungan dengan laki-laki itu? Ini aneh! Aneh!"

Mungkin ini karena Ishounuma bertingkah seperti mereka dekat demi menyebabkan orang lain salah paham.

"Aku kira dia membuat kesalahan dengan berbicara seperti itu."

"Yah... kau bisa mengatakan kalau dia sedang sakit."

"Kenapa kau mengatakan itu?"

"Ya, berapa kali. Aku mengatakannya dengan jelas!"

Masaki tidak pernah didekati oleh seorang lawan jenis, jadi dia tidak bisa membayangkan seperti apa itu. Namun, dia bisa mengerti kalau ini mengganggu Shirley hanya dengan melihat wajahnya.

Ketika dia sampai (berhenti), Shirley tiba-tiba berbalik ke wajah Masaki.

"Aku hanya memastikannya, tapi kau tidak punya kesalahpahaman aneh, bukan?"

"Ini baiklah karena kau menjelaskan semuanya. Tentu saja aku mempercayaimu."

"Lalu, itu baiklah... untuk catatan, aku tidak pernah punya hubungan khusus dengan seseorang yang mendiskriminasi dengan level!"

Masaki mulai terengah-engah sewaktu mereka mencapai lantai 15.

Masaki mengangkat kacamatanya dan menggosok (mengelap) hidungnya.

"Phew... Sekarang kau menyebutkannya, kau mengatakan sesuatu tentang sikap terhadap level... apa itu?"

"Jagan khawatir. Ini hanya angka."

"Aku tidak terlalu mengerti... apakah level penting?"

Penglihatan terkejut yang muncul di wajah Shirley.

"Masaki, kau tidak tahu apapun tentang level?"

"Aku kan baru saja pindah sekolah. Apa aku belum mengatakan padamu kalau aku tidak mengerti apapun dengan berkas perpindahan?"

"Lalu, Bagaimana dengan Dialect dan Globalizer?"

Masaki keheranan. Dia menatap dengan kuat pada Shirley.

"Hebat. Kau benar-benar berubah ketika kau masih anak-anak."

"Ap-apa? Apa maksudmu?"

"Aku tidak mengira kata-kata yang terdengar sulit seperti itu terlihat normal untukmu."

"Hah? Nihaha, begitukah? Apa itu hebat? Benar-benar hebat?" Dada Shirley ditonjolkan dengan bangga.

"Aku pikir ini benar-benar hebat. Jadi? Seperti apa itu Dialect dan Globalizer?"

Shirley menjadi kaku. Wajahnya tertunduk.

Kemudia dia mengeluh, "Uuu... Apa yang kau katakan? Aku merasa seperti berteriak 'Yaa!' lalu memukulmu. Nya..."

"Terima kasih. Aku mengerti sekarang."

"Benarkah?"

"Yah. Kau masih Shirley!"

"Nihaha."

Masaki mengerti - Shirley menghilang tujuh tahun lalu karena kemampuannya, dan sekarang, berkat bakat yang sama, dia bisa bertemu dengan Shirley.

"...Sejak kemampuanku benar-benar lemah, aku ragu itu berguna untuk apapun meski aku belajar sungguh-sungguh dan mengambil kelas tambahan."

"Ini normal untuk kekuatanmu lemah dan levelmu menjadi lemah ketika kau satu-satunya yang baru saja terbangun. Aku yakin kalau itu akan berubah segera, jadi jangan membiarkannya mengganggumu, oke?"

"Oh, jadi apa kekuatan dari kemampuan levelnya?"

"Kayaknya. Guru mengatakan sesuatu tentang hasil test."

"Apa itu penting di sekolah ini?"

"Meski kelas-kelas terbagi oleh level, aku mengatakan kalau semuanya adalah penting... jadi bagiku itu tidak masalah."

"Benarkah?"

"Yah, kita semua menggunakan kantin yang sama!"

"Aku mengerti. Itu alasan yang jelas."

Shirley mengatakan kalau dia dalam kelas A. Jika kelas-kelas ditentukan oleh level, lalu apa itu akan jadi kelas untuk murid-murid level tinggi?

Kalau Ishounuma yang sepertinya dalam kelas sama seperti Shirley. Melihat dari sikapnya, dia mungkin punya level tinggi.

"Kau tidak perlu khawatir. Level cuma angka, cuma angka!"

"Bagaimana levelnya ditentukan?"

"Ketika aku berbicara kalau kau tidak perlu khawatir ketika aku berbicara tentang level, apa kau tidak mengira ini aneh? Jadi, ketika tiba saatnya untukmu perlu mengetahuinya, kau bisa menanyakannya pada seseorang nanti."

"Mungkin, kau tidak terlalu mengetahuinya?"

"Bu-bu-bu-bukan begitu."

Pandangan Shirley menjadi ragu, hampir membuatnya tersandung. Terutama berbahaya karena mereka menanjaki anak tangga.

"Yah, semuanya akan dijelaskan ketika aku sampai ke ruang guru." Masaki mendesah.

Shirley tiba-tiba menempatkan jarinya di ujung hidungnya.

Dia memasang ekspresi serius.

"Kau hanya butuh satu hal, dan itu sikap positif! Aku tidak mendiskriminasi antara orang-orang dengan level mereka atau apapun seperti itu!"

"...Mengerti."

Shirley memberikannya senyum selagi dia berbalik.

Normalnya kalau Masaki, yang baru saja terbangun, masih memiliki level rendah. Dia (Shirley) harusnya khawatir tentangnya. Masaki menelan perkataannya sebagai ganti terima kasih dari menyuarakannya, semenjak dia merasa hubungan mereka tidak sama lagi.

Di sana masih ada tangga-tangga di depan mereka.

Dia memutuskan untuk mengganti topik.

"Itu mengingatkanku... komite semacam apa yang kau masuki?"

"Komiteku? itu benar-benar hal yang berbeda... kami berkeliling untuk memastikan kalau tidak ada pelanggar peraturan dan memberikan peringatan pada orang-orang yang melanggar aturan akademi, seperti itu."

"Apa itu komite moral umum?"

"Ini hampir seperti itu. Namun, nama kami lebih hebat daripada itu!"

"Apa itu?"

"Breaker." Dia sedikit memerah sambil dia mengatakannya.

Ini nama paling hebat yang lebih dari cukup untuk komite sekolah. Mungkin itu punya beberapa arti?

"Yah, selain dari namanya... aku kira ini Shirleyish."

"Shirleyish?"

"Ketika kita masih anak-anak, kau tidak menyukai hal yang tidak benar (jahat?). Ketika berhadapan dengan laki-laki nakal, kau terlihat lebih kuat daripada aku, tapi kau hanya orang baik yang bisa menghadapi mereka tanpa ragu. Bagaimana aku harus menyebutnya, seorang sekutu keadilan atau cuma sembrono? Kalau begini, kau bersikap terburu-buru. Apa kau ingat?"

"Nihaha, aku kira seperti itu... yah, itu biasanya tidak menjadi sangat baik."

"Kau aneh. Mungkin ini karena kau sering salah paham tentang suatu hal?"

"Hanya sedikit."

Senyum pahitnya memiliki kegelapan aneh di belakangnya. Itu adalah ekspresi yang dia tidak pernah buat ketika mereka kecil.

Mungkin dia mengalami beberapa masalah.

Dia mungkin tidak bisa mengatakan apapun pada Masaki sejak dia baru saja tiba di sekolah, tapi–

"Shirley, aku kira ini yang terbaik jika kau melakukan apa yang kau pikir adalah benar."

"Hm? Oh, aku pikir begitu juga... terima kasih, Masaki!"

Dia menghilangkan suasana gelapnya dan memberikan senyum yang dia miliki sejak SMP.

Suara elektronik tinggi terdengar.

Suara tajam muncul kembali, menyerang kedua telinganya dan bergema melewati ruangan anak tangga yang luas.

Shirley mengangkat lengan kirinya. Di atasnya, dia mengenakan gelang perak yang terukir bunga yang dihiasi dengan kristal ungu.

Suaranya berhenti sekali dia menempatkan tangan kanannya di atasnya, dan papan tembus pandang muncul di dalam ruang kosong sebelumnya di atasnya. Ini bukan semacam ilusi - itu aslinya produk ilmiah.

Layar hologram menampilkan "DARURAT" secara besar, huruf-huruf berwarna merah.

"Darurat!?"

Ekspresinya membeku.

"Ada apa?"

"Ada masalah di bangunan sekolah... apa yang akan aku lakukan? Aku menerima permintaan pesan dari komite."

Matanya dengan cepat berbolak-balik (kebingungan) dan melangkah di antara jendela dan Masaki.

Dia bisa memperkirakan apa yang mengganggunya.

"Apa yang kau khawatirkan? Jika ini aku, lalu kau tidak perlu khawatir. Aku bukan anak kecil lagi, jadi aku tidak akan tersesat di sekolah."

"Y-yah."

"Kau sedang dipanggil, bukan? Bukankah itu darurat?"

"Yah."

"Lalu pergilah!" Masaki menyatakan dengan tegas. "Aku bisa sampai ke ruang guru di lantai 30 sendiri." Itu tidak akan memakan waktu banyak ke sana, selagi mereka saat ini di lantai 25.

Keraguan menghilang dari wajahnya, meninggalkan dengan sungguh-sungguh di tempat itu.

"Terima kasih, Masaki. Aku akan pergi sekarang. Aku minta maaf aku tidak bisa menunjukkanmu semuanya!"

"Baiklah. Setelah kau selesai, aku mau jika kau mengantarku ke sekitar beberapa tempat lain - terutama toko di mana mereka menjual roti-roti enak."

"Tentu saja! Kau benar-benar suka roti, Masaki! Sampai jumpa!"

Shirley memberikan anggukan kemudian berlari.

Dia cepat!

Sembari Masaki melanjutkan dakiannya, Shirley buru-buru memasuki koridor di lantai 26 dengan gelang yang dia dekatkan pada telinganya.

"Ini Shirley. Jelaskan situasinya!"

Masaki tidak mendengar balasan rekannya sambil langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor.

Part 4[edit]

Segera Shirley meninggalkan Masaki, dia mulai merasa sedikit sediri.

Namun, dia adalah murid yang dipindahkan separuh jalan melewati tahun sekolah, jadi itu biasa baginya untuk merasa seperti itu.

Dia dengan tenang menaiki tangga.

Ketika dia tiba di lantai 28, dia mendengar suara keras.

"Hei, lihat! Ha... ha... apa kau melihatnya!? Itu kekuatanku. Apa yang kau pikirkan sekarang... aku masih bisa melakukannya, benar!? Ini berguna, bukan? Jadi... jadi... aku akan melakukannya lagi!"

Suara yang amat nyaring.

Masaki mendengar suara lain berbisik, tapi dia tidak bisa mengerti apa yang dikatakan.

"...Lagi... tentu saja..."

"Apa!? Itu bukan apa yang kau katakan sebelumnya!! Berikan! Kembalikan!"

Terlihat seperti pertengkaran.

Suara pertama adalah kemarahan.

Masaki mendengar apa yang mereka katakan dari ujung koridor.

Masaki tidak ingin mencampuri masalah di manapun di hari pertama pindah sekolah, tapi dia mengira kalau itu akan memalukan untuknya tidak melihat apa yang terjadi walaupun beresiko.

Dia tidak dapat melakukan apa-apa tetapi ikut andil jika hal itu bertambah rumit, dan meski jika tidak ada masalah itu hanya akan jadi sedikit sulit. Dia harusnya masih punya waktu luang.

Masaki meninggalkan ruang tangga dan memasuki koridor.

Langkah kakinya berbunyi di dalam koridor yang sunyi.

Kerena dia di bawah lantai 30,di mana hanya ada ruang kelas spesial, dan saat pagi hari, itu terasa sepi.

Seseorang melompat melalui pintu ruang kelas yang terbuka.

Kurus, laki-laki yang terlihat kurus namun kuat.

Dia sendiri.

Tapi aku mendengar dia berbicara dengan orang lain. Apa ada orang lain di ruang kelas?

Napas laki-laki itu tidak karuan. Matanya memerah; wajahnya, pucat.

"Ka-kau... apa tidak dengar!? Apa yang baru saja kita bicarakan! Hei! Kenapa ada sesuatu yang aku tidak sukai di sini!?"

"Tidak... ketika aku menaiki tangga, aku mendengar..."

"Sial! Sial! Ah... aku mengerti sekarang! Aku akan menjaganya saat ini! Jadi, aku akan – ini tak apa karena ini janji, benar?"

Dia mengarahkan pertanyaan terakhir ke dalam ruang ruang kelas. Sambil Masaki berpikir, seseorang pastinya di sana.

Laki-laki itu menatap pada Masaki.

"Sial!"

"...Erm... Apa yang terjadi?"

Masaki bisa mengatakan kalau ada sesuatu yang tidak biasa terjadi, jadi dia menjaga jaraknya sementara berbicara dengan laki-laki itu.

Orang itu sekitar sepuluh langkah jauhnya.

"Aku baru saja membunuh orang itu... sendiri."

"Hah?"

"Dan sekarang... kau juga..."

"Ap-apa yang kau bicarakan?"

"Aku akan membunuh... semuanya... mengirisnya! Aku akan... apapun itu... akan diiris!!"

Laki-laki itu mulai berlari.

"Apa yang terjadi?"

"Potong! Iris! Aku akan... raaah! Iris dan menangislah! <<Noise Cut>>!"

Suara mendesing mengikuti teriakan laki-laki itu. Suara sesuatu yang membelah udara.

Masaki melihat sepintas cahaya putih sembari dia memasuki ruang masuk lain.

Melingkar dan sekitar satu meter lebarnya.

Seluruh jendela, dinding dan pintu-pintu di sekelilingnya retak dan remuk ke bawah.

Masaki menengok ke sekitar sudut dan melihat kalau korodor telah berubah bentuk; dinding beton serta pintu-pintu logam berserakan di atas lantai dalam kerusakan.

Fenomena yang tidak biasa.

"Ap-apa itu!?"

Masaki melompat dari persembunyian.

Perasaan bahaya menetap di mana dia berada.

Sekarang kalau dia mendekati jarak di antara kita, aku cukup dekat menghadapi dia, tapi apa dia punya pisau? Masaki berpikir sambil dia menemukan tempat persembunyian baru. Tidak mungkin kalau dia akan mengayunkan pisau tak kasat mata dan membelah apapun dalam jangkauannya! Aku tidak percaya pintu dan dinding benar-benar hancur.

Ini bukan sesuatu yang manusia biasa bisa lakukan.

Masaki menebak kalau itu memiliki sesuatu dengan hal yang disebut Dialect, meski dia tidak tahu apapun.

Laki-laki itu benar-benar gila dan dan tindakannya bukanlah apa-apa melainkan hal yang seperti biasa.

"Kau... kenapa kau belum kabur, hah?"

Laki-laki itu berbahaya! Aku mungkin dibunuh jika aku tak hati-hati.

Masaki tidak mengerti kenapa, tetapi sesaat laki-laki itu berteriak, pisau tak terlihat menyerang.

Cukup tajam untuk membelah besi dan beton.

Walaupun dia jelas terlihat kurus, laki-laki yang kurus tetapi kuat itu adalah pelakunya, dia menjerit layaknya korban.

"Gaaaaaah!! Aku masih bisa menggunakannya! Ini berguna! Ini sangat... sangat... kuat! Ini kuat! Gaaah!!"

"Ah Sial!"

Masaki mulai melarikan diri. Dan laki-laki itu mengejarnya.

Masaki melihat ujung kematiannya lebih jauh di bawah koridor.

Dia tersudut.

Tangan Masaki menyentuh pintu ruang kelas.

Dia menempatkan kedua tangannya di pegangan pintu dan memutarnya ke bawah.

Terbuka!

Beruntung, pintu tidak terkunci.

Dia dengan buru-buru masuk.

Ruangannya seperti ruang kelas lain. Meja dan kursi berjejer dengan rapi, dan terdapat monitor besar yang menggantikan papan tulis hitam di depan. ruang kelas khusus dengan perlengkapan modern. Pemandangan dari jendela mengingatkannya kalau dia ada di lantai 28.

Tidak ada jalan keluar.

"Ha...ha...ha..."

"Haa, haa, haa... haa."

Laki-laki itu muncul di depan pintu ruang kelas. Pernapasannya lebih berat daripada Masaki.

Masaki mencoba berbicara untuk menghentikan laki-laki itu.

"Ke-kenapa kau melakukan ini!?"

"Heeh... karena kau mendengar apa yang kami katakan!"

"Meski aku mendengarmu, aku tidak mengerti apa yang kau katakan... pastinya."

Kau tahu! Jika aku tidak membunuhmu... A-aku akan berada dalam masalah! Aku akan menunjukkanmu. Aku masih bisa membelah! Aku masih bisa menggunakannya!

"....Ugh... apa tidak ada yang bisa aku lakukan?"

Masaki tidak bisa mengerti apa yang dia katakan.

Sebagai gantinya, dia mencoba memahami cara berbicara dan kelakukannya. Tindakannya terlihat seperti dihasut oleh orang lain. Mungkin orang itu ada di ruang kelas lain.

Meski laki-laki itu telah kehilangan seluruh akal sehatnya, sepertinya akan baik-baik saja. Dia dengan perlahan mendekat untuk menyerangnya ke sudut.

"Belah...belah...belah...Aku akan membelah...laki-laki ini juga...satu orang...dua orang...lebih..."

"Uuu..."

Masaki juga memiliki Dialect, tapi itu bukanlah sesuatu yang bisa digunakan dalam pertarungan.

Apa yang harus aku lakukan?

Laki-laki itu mengurangi jarak antara mereka sehingga Masaki ada dalam jarak dari kekuatan misterius itu. Sesaat dia berteriak, Masaki akan dipotong mendekati dinding, jendela, meja dan kursi.

Dia tidak mendengar langkah kaki dari koridor, jadi seperti tidak ada seseorang yang datang menolongnya.

Apa dia akan dibunuh?

Dia mulai bergetar.

Apa aku akan dibunuh?

Langit-langit atap pun mulai roboh.

Part 5[edit]

Terdengar suara gemuruh sebagian dari langit-langit yang menjalar sembari papan tipis jatuh dari langit.

Laki-laki kurus yang mengejar Masaki melompat ke belakang dari ruang kelas ketika dia melihatnya. Kelincahannya bertemu sosok kurusnya.

Masaki tidak bisa bergerak, tapi sejak dia ada di dekat jendela, dia tidak terjerumus dalam rongsokan.

Apa dia beruntung?

Atau dia tidak beruntung?

Setelah itu, dia mulai melihat keanehan turun dari atas lantai.

Tentara-tentara kartu, tikus bertopi, bebek, burung beo, kepiting serta kucing raksasa.

Seorang gadis melekat pada kedua telinga si kucing yang berbentuk segitiga.

Gadis tersebut berbicara, suaranya sejernih air.

"...Siapa kau?"

Masaki terpesona oleh penampilannya - keindahan rambut emasnya dan mata safire[2].

"Er, aku Kusunoki Masaki... Hari ini aku pindah ke sekolah ini."

"Aku mengerti. Apa aku mengejutkanmu?"

"Aku benar-benar terkejut. Aku pikir aku akan gila sesaat - tunggu, siapa kau?"

"...Aku merasa kasihan padamu."

Dia tidak menjawab pertanyaanku; sebaliknya, dia mengatakan kata-kata kasihan.

"Aku? Kenapa?"

"Kau akan mati."

"Apa!?"

Masaki mendengar suara samar dari sesuatu yang mengiris udara lalu berbalik.

Di sisi lain (luar) jendela––

Masaki melihat sesosok makhluk dengan tubuh burung elang dari atasnya dan bagian bawahnya adalah singa, serta sebuah sayap lebar yang lebih besar dari ruang kelas!

Monster legendaris yang muncul di kisah dongeng dan fantasi - makhluk berbahaya itu adalah setengah burung dan setengah binatang. Griffin[3].

Bayangan raksasa terjun masuk.

"Uwaaaaaah!"

Masaki loncat ke lantai. Namun, teriakannya tidak muncul dari mulutnya.

Jendela rudak oleh sebuah hantaman.

Dindingnya remuk.

Bangunannya bergetar.

Potongan-potongan kaca berjatuhan, menyebar sampai kebelakangnya.

Pecahan-pecahan kecil yang menghujaninya tidaklah sakit, tapi pecahan-pecahan besar benar-benar menyakitkan.

Ketika dia mengangkat wajahnya, dia melihat kalau kepala elang raksasa itu pastinya memenuhi jarak antara langit-langit dan lantai. Menyebarkan sayap dari tubuh atas dan bagian bawahnya keluar jendela. Ia lebih besar dari kucing raksasa.

Benar-benar Griffin.

Makhluk seperti itu tidak mungkin ada di kenyataan.

Pasti hanya imajinasinya.

Tentara kartu dan tikus bertopi pastinya juga sama.

Griffin mengerang dengan parau, suaranya serak.

"Ah, aku telah terjebak dalam ruangan ini! Memalukan kalau aku tidak muat! Tapi kalau aku mengambil napas dalam-dalam, aku pastinya akan menghempaskan bangunan ini sampai rata! "

Makhluk fantasi besar itu mengambil napas dalam-dalam.

Gadis yang duduk di atas kucing besar adalah seseorang yang mengendalikannya.

"Tunggu di sini."

"Keinginanmu padaku untuk menunggu dan tidak melakukan apapun?"

Gadis itu melambaikan tangannya untuk menyuruhnya menjauh.

"Karena aku tidak perlu rekan lagi, kau boleh kembali."

"Grrrrrrrr!"

Griffin meraung dan menatap pada gadis itu dengan mata buas.

Dia menatap kembali padanya.

Gadis itu memberikan perintah pada makhluk fantasinya, tapi ia tak terduga akan menentangnya.

Apa semua baik-baik saja?

Masaki mengamati dengan napas tertahan.

"Hmph!" Griffin mendengus.

Itu cukup untuk mengirim banyak tentara kartu terbang.

"Yah ini, apa pertarungan telah ditentukan? Apa aku tidak mendapat giliran bertarung kali ini?"

"Ya."

"Lalu aku akan benar-benar menunggumu sampai waktu selanjutnya!"

Kepala burung elang raksasa meninggalkan ruang kelas dengan cara menyolok yang sama yang digunakan ketika ia masuk.

Gadis itu mengerut.

"...Itu sakit."

Dia tidak suka rencana griffin untuk "menunggu sampai waktu selanjutnya".

"Apa itu perjanjian penting?"

Masaki menyeka serpihan-serpihan kaca yang jatuh keluar darinya.

Membuka lebar lubang di dalam dinding membuktikan kalau apa yang dia baru saja lihat bukanlah mimpi atau ilusi.

Tapi mungkin saat ini adalah lanjutan dari mimpi...

"...Aku lega kalau dia selamat," gadis itu bergumam.

Nadanya kekurangan emosi, tapi Masaki benar-benar setuju dengan apa yang gadis itu katakan.

"Benarkah... aku menghargainya jika kau mengatakan padaku kalau hidupku tidak terus berada dalam bahaya, tapi... siapa kau?"

"Kau... kau tidak tahu siapa aku?"

"Ini karena aku baru saja pindah sekolah."

"Benarkah sekarang... bukankah semua ini mengerikan? Kucing ini, tentara kartu, griffin yang baru saja, dan Dialect ku."

"Aku terkejut dan ketakutan ketika griffin muncul menembus dinding. Tapi tidak peduli betapa kuatnya, kekuatan adalah kekuatan. Penggunanya bisa jadi menakutkan, tapi aku kira kau adalah seseorang yang bisa aku percaya, sejak kau baru saja menyelamatkanku."

Gadis itu terlihat seperti dia kehilangan pikiran, meski wajahnya masih tanpa ekspresi.

"...Ketika aku menghancurkan atap, aku tidak tahu kau di sini... aku hanya menyelamatkanmu secara kebetulan."

"Ah, oke, begitu ya? Meski, kau menyuruh griffin untuk pergi ketika dia muncul, bukan?"

"Ya, itu benar."

Bagi Masaki, itu cukup untuknya berterima kasih. Hanya sedikit lebih awal situasinya yang telah tanpa harapan.

Gadis itu memiringkan kepalanya ke samping.

"...Dengan cuma itu, kau mempercayaiku?"

"Itu cukup untukku."

"Apa ada semacam penjualan diskon pada kepercayaan?"

"Tidak, tidak, tidak! Aku harus memberitahumu kalau aku lebih baik memikirkannya sebelum memutuskan!"

"Penjualan untuk toko yang akan bangkrut..."

"Aku toko bangkrut!? Aku tidak menjual kepercayaan dengan harga murah, jadi aku bisa menjalankan perusahaan untuk waktu lama!"

"Apa yang kau katakan..."

"Apa ada suatu alasan kenapa kau tidak ingin percaya?"

"Tidak," gadis itu hanya membalas singkat.

Lalu dia akhirnya menjawab pertanyaan sebenarnya.

"...Kami adalah Tim Breaker 'Kucing Pembantu'."

Meski suaranya dingin, itu mengejutkannya nama tim yang imut.

Dia ingat mendengar tentang Breaker dari Shirley.

"Kami berkeliling untuk memastikan kalau tidak ada siapapun pelanggar aturan dan kami memperingatkan orang-orang yang melanggar peraturan akademi. Begitulah."

"Mungkinkah laki-laki itu yang mengejarku adalah pelanggar peraturan?"

"Ya... dia akan ditangkap segera."

"Eh? Meski dia kabur?"

"Aku punya seorang partner yang cepat... dia akan tersudut. Dia merepotkan, tapi dia pastinya Level 4."

Dia menggumamkan kata-kata terakhirnya, lalu dia melemparkan pandangannya ke jendela.

Masaki mengikuti tatapannya dan menggeserkan perhatiannya di luar.

Tiba-tiba ada cahaya kilat.

Dia dibutakan.

Dari bangunan sekolah lain muncul cahaya kilat. Terpancarkan di antara sekumpulan bangunan di kota dan menerbangkan ke arah ufuk.

Seolah lari meninggalkan bangunan. Atau mungkin itu tembakan laser - terlihat seperti semacam senjata.

Pada saat yang sama, ada gempa bumi.

"Uwawawa!"

Masaki meninggalkan perasaan gemetarnya, tapi sepertinya gadis itu memperkirakan untuk terjadi.

"......"

Tidak memakan waktu lama untuk cahaya kilat dan gempa bumi pun berakhir.

Gadis itu mengangkat rambut pirangnya dan mendekatkan tangan kirinya menuju telinganya. Dia mengenakan gelang perak di pergelangan tangannya. Itu dihiasi dengan ukiran bunga yang dibentuk dari kristal berwarna ungu.

"––Apa ini berakhir? Benarkah... kau sangat pintar. Ayo bertemu."

Masaki kebingungan.

Laki-laki kurus yang telah menempatkan dia dalam situasi ini nampaknya telah tertangkap oleh orang lain di suatu tempat.

Dia menyadari kalau tentara kartu dan tikus bertopi menghilang.

Semua yang tersisa adalah puing-puing di dinding dan langit-langit. Ruang kelas seperti sedang dihukum bangunan.

Gadis itu berdiri sendiri dalam rongsokan.

Dia mulai berjalan menuju pintu yang rusak.

"Tu-tunggu!"

"...Apa kau ingin mengeluh?"

"Itu bukan maksudku... Aku tidak ingin tahu kelompok atau nama tim mu. Siapa namamu?"

Dia menjawab setelah sedikit memikirkan.

"...Aku Alice Clockheart. Selamat tinggal."

Gadis itu menghilang ke dalam koridor.

Masaki mulai bangun dari lantai. Namun, kelelahannya dari berlari dengan seluruh tenaganya dan mengulangi keterkejutan yang akhirnya menariknya, jadi dia tidak dapat mengumpulkan energi lagi.

"Jadi ini adalah kota akademi mengapung, 'Canaan'."

Masaki yang baru saja tiba di kota ini dengan orang yang membangkitkan kemampuan khusus telah berkumpul, lalu bertemu dengan masalah di hari pertamanya sekolah.

Jeda[edit]

Angin berhembus melalui ruang kelas di mana Masaki sedang berdiri, terpaku di tempat dengan terkejut.

Dia mendengar suara langkah kaki menyusuri koridor.

Orang-orang mengenakan pelindung mirip rompi anti peluru di luar baju mereka dan helm-helm hijau tua berkerumun ke dalam ruang-ruang kelas.

Yang memimpin mereka adalah seorang gadis pendek, dengan rambut potongan merata yang memiliki sikap berani.

Dia mendatangi Masaki, kemudian menatap dengan heran.

“Uh, siapa kau?”

“Ah... aku murid pindahan.”

“Jadi itu berarti kau tidak bisa memberikan Ring Gear milikmu...”

“Apa?”

“Kau akan mendengarnya dari guru nanti. Saat ini kau butuh pengobatan untuk luka yang baru saja kau dapatkan.”

“Aku kira aku baik-baik saja...”

“Itu tidak mungkin! Aku melihatmu berdarah!”

“Oh...”

Masaki pikir itu cuma goresan kecil, tapi darah menetes dari lututnya. Celana panjangnya terwarnai warna merah tua.

Saat dia menyadarinya, dia mulai merasakan sakit yang berdenyut.

“Duduk disana. Kau akan dirawat dengan segera. Apa ada tempat lain di mana kau merasa sakit? Apa kepalamu terbentur?”

Dia meringkuk di atas lantai di sampingnya sambil berbicara dan mendekat padanya.

Dia adalah gadis dengan penampilan berkemauan keras.

Masaki memeriksa dirinya.

“Nah... aku pikir bahuku terhantam setelahnya? Kepalaku nampaknya baik-baik saja.”

“Baiklah, bahumu ya. Nama dan kelasmu?”

“Kusunoki Masaki. Aku kelas 2, tapi aku belum diberitahu di kelas mana aku berada. Aku sedang menuju ke ruang guru.”

“Sungguh tak beruntungnya kau bertemu Kucing Neraka di hari pertamamu.”

“Neraka…?”

“Orang yang menghancurkan kelas ini.”

“Ah, dia menyelamatkanku.”

“Beruntung! Dia membuat langit-langitnya runtuh - jangan bercanda! Temboknya juga ikut hancur! Berapa banyak ruang kelas yang pastinya tidak bisa digunakan dengan merusak sembarangan sekolah... Itu tak bisa dimaafkan!”

Menggigit bibirnya. Dia terlihat sangat kesal.

“Kau, uh, menyukai sekolah ini, bukan?”

“Huh? Tentu saja, Aku benci dengan orang yang melanggar peraturan, jadi untuk melindungi sekolah ini Aku bergabung dengan Breaker.”

“Ah, jadi kau bagian dari Breaker.”

“Itu benar, tapi Aku hanyalah pendukung. Pendukung adalah orang yang tidak tertarik untuk menangkap orang dan peringkatnya pun tidaklah tinggi; mereka melakukan bersih-bersih, pergi berpatroli, dan menjadi cadangan untuk anggota vanguard.”

“Aku mengerti. Pekerjaan pendukung sangatlah penting.”

“Tepat!” dia mengangguk, bergembira.

Masaki melihat sekitar ruangan. Dia melihat orang mengambil gambar dari area sekitar dan membersihkan puing-puing.

Disana sekitar ada 20 orang.

“Kau lihat, peringkatku tidak begitu tinggi, tapi aku hebat dalam hal pertolongan pertama.”

“oke.”

Masaki, yang masih belum terbiasa dengan Dialecte, merasa bahwa dia bisa bisa mengandalkan gadis itu karena perkataan dan tugasnya daripada peringkatnya.

“Itu mengingatkanku, Aku belum pernah mengatakan namaku, bukan? Aku Koori kelas 2 ZE”

“Koori-san, bukan?”

“Ya. Sekarang karena aku ingin mengobati mu… buka bajumu jadi aku bisa melihat lukamu.”

“Eh!?”

“Ada apa?”

“Kau ingin aku membuka bajuku disini? Tapi kau perempuan, dan…”

“Jangan bodoh. Bagaimana mungkin dengan rendah hati bisa mengobati lukamu?”

“Baiklah.”

Dia membutuhkan pertolongan pertama, jadi dia mulai melepas sabuknya.

Koori tersipu malu. “Itu bukan hal yang aku maksudkan! Lututmulah yang terluka, jadi memutarkan celana mu sudah cukup! Aku mengatakan untuk melepas pakainmu karena bahumu, jadi lepaslah… Lepas bajumu! Dengan benar!”

“Jadi itu maksudmu? Maaf tentang itu.”

“Ya, Er, penjelasanku kurang baik, bukan?”

Keduanya malu

Masaki mulai melepas bajunya.


References[edit]

  1. sebutan kehormatan
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Safir
  3. https://en.wikipedia.org/wiki/Griffin ,dalam terjemah inggrisnya mereka menyebut dengan Griffon, apa seharusnya memang Griffon? Griffin adalah setengah elang dan binatang, mungkin dihubungkan dengan game sehingga terbiasa, karena Griffon di wikipedia memiliki arti lain https://en.wikipedia.org/wiki/Griffon
Back to Prologue Return to Main Page Forward to Chapter 2