Date A Live (Indonesia):Jilid 1 Bab 3

From Baka-Tsuki
Revision as of 21:04, 10 April 2013 by NocturneSky (talk | contribs) (Chapter Release)
Jump to navigation Jump to search

Bab 3: Namamu adalah......

Bagian 1

“Bagaimana dengan itu!”

Masih menggenggam controller dengan tangan kirinya, Shido mengangkat tangan kanannya yang terkepal ke udara.

Sudah sepuluh hari, termasuk hari libur, sejak mulainya latihan sepulang sekolah itu bersama Kotori dan Reine.

Shido akhirnya melihat layar Happy Ending game itu.

...tapi yah, ia bahkan tidak ingin menghitung berapa kali luka lamanya digali kembali selama masa-masa itu.

“...nn, sudah cukup lama waktu termakan, tapi kita katakan saja kalau tahap pertama sudah clear.”

“Dan, kelihatannya dia sudah melihat semua CG-nya , jadi menurutku itu bisa dibilang bukti kelulusannya. ...tapi walaupun begitu, pada akhirnya ini baru menghadapi gadis-gadis virtual.”

Memandang Credits Roll dari belakang Shido, desahan dapat terdengar dari Reine dan Kotori.

“Yah kalau begitu, untuk latihan berikutnya... ayo kita lanjut ke perempuan sebenarnya. Waktu kita sempit bagaimanapun juga.”

“...Hm, apa dia akan baik-baik saja?”

“Tidak apa-apa. Kalaupun ia gagal, satu-satunya yang dikorbankan hanyalah kepercayaan masyarakat terhadap Shido.”

“Apa yang barusan kau katakan dengan santai begitu!”

Shido dari tadi telah mendengar percakapan mereka dalam diam, namun ia tidak dapat mengendalikan diri dan menyela.

“Uggh, apa kau menguping? Kau masih punya hobi yang buruk ya. Dasar mesum, peeping tom[1].

Kotori memberengut sambil menutupi mulut dengan tangannya dan mengatakan itu.

“Itu tidak bisa dibilang menguping atau apapun itu kalau kalian berbicara tepat di depanku!”

Shido menyahut, dan Kotori dengan berkata “Yah apalah” dan mengangkat tangannya membuatnya diam.

Entah kenapa, itu membuat Shido merasa sepertinya ialah yang telah mengatakan sesuatu yang aneh.

“Jadi, Shido. Mengenai latihan berikutnya...”

“...Aku luar biasa tidak bersemangat sekarang ini tapi, apa?”

“Coba kita lihat... kira-kira siapa yang cocok.”

“Ah?”

Shido memiringkan kepala ke samping, sementara Reine mulai mengoperasikan konsol di depannya. Di barisan layar di atas meja, muncul berbagai gambar dari bagian dalam gedung.

“...kamu benar, ayo mulai dari yang aman dulu, bagaimana kalau seseorang seperti dia?”

Selagi mengatakan ini, Reine menunjuk ke bagian kanan dari sebuah gambar, pada bu guru Tama-chan.

Untuk sesaat, Kotori mengangkat alisnya—

“—Ahh, aku mengerti. Tidak apa-apa, ayo kita mulai dengan dia.”

Segera itu juga, sebuah senyum jahat muncul.

“...Shin. Latihan selanjutnya sudah ditetapkan.”

“La-latihan seperti apa itu?”

Sambil menahan kegelisahannya, Shido bertanya, dan untuk membalas pertanyaannya, Reine menjawab.

“...Ahh. Pada kejadian sebenarnya, ketika seorang Spirit muncul, kamu diharuskan untuk menyembunyikan miniatur intercom ini di telingamu, dan kamu akan berhadapan dengan masalah-masalah yang ada dengan mengikuti instruksi kami. Kami ingin memperlakukan latihan ini selayaknya kejadian sebenarnya, dan berlatih dengan ini satu kali.”

“Jadi, apa yang perlu kulakukan?”

“...untuk saat ini, pergilah menggoda bu guru Okamine Tamae.”

“Huh?!”

Menaikkan alisnya, ia berteriak.

“Apa ada masalah?”

Seakan menikmati reaksi Shido, Kotori berkata sambil menyeringai.

“Tentu saja...! Tidak mungkin aku bisa...!”

“Kau harus menghadapi lawan yang lebih sulit ketika kejadian nyatanya kau tahu?”

“—I-itu, benar, tapi...!”

Shido menjawab, dan Reine menggaruk kepalanya.

“...saya pikir dia cocok sebagai lawan pertamamu. Kemungkinan besar, meskipun kamu menembaknya dia tidak akan menerimanya, dan kelihatannya dia tidak akan menyebarkan berita itu juga. ...yah, kalau kamu menentang itu tidak peduli apapun maka tidak apa-apa untuk menggantinya dengan seorang siswi...”

“Uuuu...”

Adegan yang tidak menyenangkan muncul dalam pikiran Shido. Siswi yang Shido panggil kembali ke ruangan kelas dan mengumpulkan teman-teman perempuannya. “Hey hey, Itsuka-kun baru saja, menembakku~” “Ehh~, yang benar~? Biarpun dia menunjukkan muka yang sepertinya tidak tertarik pada gadis-gadis, dia cukup berani ya.” “Tapi tidak mungkin untuknya kan~” “Ya, tidak mungkin. Bagaimanapun, dia terlihat sangat suram~” “Ah~, seperti yang kau bilang~, ahahahaha.”

...sepertinya trauma baru telah terlahir.

Mengenai itu, kalau Tamae, kelihatannya tidak ada kemungkinan terjadinya adegan tersebut. Tidak peduli seberapa muda dia terlihat, dia seorang wanita dewasa. Dia mungkin akan mengesampingkannya sebagai candaan seorang murid.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan? Pada kejadian nyatanya, kegagalan sama dengan kematian, jadi tidak peduli yang manapun yang kau pilih kami berencana untuk memberimu hanya satu kesempatan.”

“...sensei saja.”

Kotori dengan begitu bertanya, dan selagi keringat dingin membasahi punggungnya, Shido menjawab.

“...bagus.”

Dengan anggukan ringan, Reine mengambil sebuah alat kecil dari laci meja, dan mengulurkannya pada Shido. Dia lalu mengeluarkan apa yang kelihatannya adalah sebuah receiver dengan mike serta headphone yang terpasang padanya dan menempatkannya di atas meja.

“Apa ini?”

“...coba pasang di telingamu.”

Melakukan seperti yang disuruh, ia memasukkannya ke dalam telinga kanannya.

Setelah ia melakukannya, Reine memegang mike, dan seperti sedang berbisik, menggerakan bibirnya.

“...bagaimana segini, apa kamu bisa mendengar saya?”

“Uwoh!?”

Tiba-tiba suara Reine bergema di telinganya. Dengan tersentak, bahu Shido gemetar dan ia terlompat.

“...bagus, tersambung dengan baik. Apa volume-nya oke?”

“A-ah... ya, kurasa...”

Shido menjawab, dan Reine segera memakai headphone yang diletakan di atas meja.

“...nn, oke. Tidak ada masalah di sisi kami juga.”

“Eh? Apa itu bisa menangkap apa yang aku baru katakan? Tapi tidak ada yang terlihat seperti microphone di sisiku ini...”

“...itu dilengkapi dengan microphone yang sangat sensitif. Noise dari latar disaring secara otomatis, sehingga hanya mengirim suara-suara yang penting pada kami.”

“Haaah...”

Shido mendesah terkagum, selagi Kotori mengeluarkan apa yang terlihat seperti alat mungil lainnya dari meja.

Dengan satu jentikan jarinya, begitu saja benda itu melebarkan sayapnya dan menari di udara bagaikan seekor serangga.

“A-apa itu?”

“...coba lihat.”

Selagi mengatakan ini, Reine mengoperasikan komputer di depannya dan memperbesar sebuah gambar.

Ditampilkan di dalamnya adalah gudang laboratorium Fisika yang ditempati Kotori, Reine, dan Shido.

“Jadi ini...”

“Kamera ultra-small dengan sensitifitas tinggi. Kami akan mengikutimu lewat benda ini. Pastikan jangan salah mengiranya nyamuk dan menghancurkannya.”

“Huh... semua ini menakjubkan.”

*bam*, bokongnya ditendang.

“Apalah, cepat pergi kau kura-kura lamban. Target ada di koridor lantai tiga gedung timur sekolah. Tempat itu dekat.”

“...baik.”

Sadar kalau apapun yang ia katakan tidak akan berguna, Shido mengangguk lemah.

Kalau ia menunda-nundanya lagi, ada kemungkinan mereka akan mengganti target ke orang lain. Shido entah bagaimana dapat mengendalikan kakinya yang enggan bergerak dan meninggalkan gudang laboratorium Fisika.

Lalu, melihat ke kiri-kanan di dasar tangga—ia melihat punggung Tamae di koridor.

“Sen—”

Di tengah-tengah, suaranya tersumbat.

Mereka berada pada jarak dimana jika berbicara keras suaranya akan mencapainya... namun ia ingin menghindari perhatian dari murid-murid yang masih ada di sekolah dan guru-guru lainnya.

“...sepertinya aku tidak punya pilihan lain.”

Dengan berlari pelan-pelan, Shido mengejar dibalik punggung Tamae.

Setelah beberapa meter, sepertinya dia menyadari langkah kaki Shido, karena Tamae berhenti dan berbalik.

“Oh, Itsuka-kun? Ada apa?

“...u-um—”

Meskipun wajah itu ia lihat hampir setiap hari, kalau ia memperlakukannya sebagai target untuk digoda maka instan saja meningkatkan kegugupannya. Shido berbicara terbata-bata tanpa sengaja.

“—Tenangkan dirimu. Jangan lupa, ini latihan. Kalaupun kau gagal, kau tidak akan mati.”

Di telinga kanannya, suara Kotori berlalu.

“Meskipun kau mengatakan itu...”

“Eh? Kenapa?”

Bereaksi pada gerutuan Shido, Tamae menelengkan lehernya.

“Ah, bukan apa-apa...”

Mungkin kesal karena Shido tidak dapat memajukan laju percakapan sama sekali, sekali lagi sebuah suara masuk melewati intercom-nya.

“Dasar tidak berguna. —Untuk sekarang ini cari aman saja, dan coba beri dia pujian.”

Mendengar kata-kata Kotori, ia mengamati Tamae dari kepala hingga kaki, mencari sesuatu yang dapat dipuji.

Tapi, tunggu dulu.... Shido berhenti sejenak untuk berpikir. Di buku petunjuk yang ia baca beberapa hari yang lalu, memuji penampilan luar seorang wanita secara langsung akan membuat perasaannya risih. Pada kasus ini, memuji baju atau aksesoris merupakan bentuk pujian tidak langsung terhadap penampilan wanita tersebut.

Memantapkan pikirannya, ia membuka mulut.

“N-ngomong-ngomong, pakaian sensei... terlihat manis.”

“Eh...? Be-begitukah? Ahaha, kamu membuat saya malu.”

Wajah Tamae terbanjiri kesenangan selagi dia tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya.

—Ohh? Bukankah ini respon yang cukup bagus? Shido sedikit mengepalkan tangannya.

“Ya, cocok sekali dengan sensei!”

“Fufu, terima kasih. Sebenarnya ini salah satu favorit saya.”

“Gaya rambut sensei juga sangat bagus!”

“Eh, benarkah?”

“Ya, dan lagi, kacamata sensei juga!”

“Ah, ahahahaha...”

“Dan buku daftar kehadiran itu juga sangat luar biasa keren!”

“Uhm... Itsuka-kun...?”

Di saat dia sensei semakin dan semakin salah tingkah, wajahnya berangsur-angsur membentuk senyuman pahit.

“Si botak ini terlalu banyak bicara, dasar botak kinclong”

Di telinga kanannya, ia dapat mendengar Kotori yang takjub.

Tapi meskipun ia diberitahu begitu, ia tidak punya ide lain apa yang harus dikatakan selanjutnya. Untuk sementara waktu, mereka berdiri terdiam.

“Uhmm... apa itu saja yang kamu mau bicarakan dengan saya?”

Tamae memiringkan kepalanya.

Mereka mungkin berpikir kalau tidak ada banyak waktu yang tersisa, maka kali ini suara mengantuk terdengar di telinga kanannya.

“...ya sudah. Kalau begitu, tolong ulangi saja kata-kata yang saya ucapkan padamu.”

Ia sangat berterima kasih padanya. Shido menelengkan kepalanya ke depan sedikit, menandakan kalau ia mengerti.

Maka, tanpa berpikir sama sekali, ia mengucapkan ulang informasi yang ia dengar sebagaimana terdengar.

“Um, sensei.”

“Ada apa?”

“Aku, akhir-akhir ini menganggap kalau datang ke sekolah itu sangat menyenangkan.”

“Begitukah? Bagus sekali bukan?”

“Ya. …itu terjadi sejak sensei menjadi guru homeroom kami.”

“Eh...?”

Karena terkejut, mata Tamae terbuka lebar.

“Ap-apa yang kamu bicarakan, uhm. Kenapa tiba-tiba bicara seperti ini.”

Sambil mengatakan itu, Tamae memasang wajah tidak nyaman.

Shido melanjutkan, mengulang kata-kata Reine.

“Sebenarnya, sejak lama, aku—”

“Ahaha... tidak boleh. Saya menghargai perasaanmu, tapi kamu tahu, saya seorang guru.”

Sambil menepuk buku absensi, Tamae memberikan senyuman pahit.

Seperti yang dapat diperkirakan dari seorang guru, seorang dewasa. Kelihatannya dia sudah berencana untuk menolaknya tanpa ragu.

“...hm. Bagaimana kita harus menyerangnya.”

Reine, yang dari tadi terus menerus menguntai kalimat-kalimat, melepas mendesah kecil.

“...kalau saya ingat-ingat, dia 29 tahun ini ya. —Kalau begitu Shin, coba katakan ini.”

Reine memberikan instruksi untuk kalimat berikutnya. Tanpa berpikir panjang sama sekali, Shido menggerakan mulutnya.

“Aku serius. Aku benar-benar mau—”

“Uhmm... ini membuat saya tidak nyaman.”

“Aku benar-benar mau, menikahi sensei!”

—*tuing

Di saat kata ‘menikah’ keluar dari mulut Shido, raut wajah Tamae terlihat sedikit berubah.

Dan kemudian setelah keheningan sejenak, suara kecil terdengar.

“...benarkah?”

“Eh..., ah, haa... yah.”

Terbata-bata karena perubahan suasana yang begitu mendadak, Shido menjawabnya, dan Tamae tiba-tiba mengambil satu langkah kedepan dan menggenggam lengan baju Shido.

DAL v01 145.jpg

“Benarkah? Ketika Itsuka-kun berada pada usia yang layak untuk menikah, saya sudah melebihi 30 tahun kamu tahu? Tetapi, apa tidak apa-apa? Perlu kita menemui orang tua kita sekarang juga? Setelah kamu lulus sekolah tinggi, apa kamu akan tinggal bersama dengan saya?

Seperti orang yang berbeda saja, matanya bersinar dan berbinar-binar, dan dengan nafas tidak teratur Tamae semakin mendekat pada Shido.

“Uh...uhm, sensei...?”

“...hm, kelihatannya tadi itu terlalu efektif.”

Di saat Shido tersandung-sandung mundur ke belakang, Reine berkata sambil mendesah.

“Ap-apa yang terjadi?”

Dengan suara yang tidak akan mencapai Tamae, ia bertanya pada Reine.

“...yah, single, wanita, 29 tahun, untuk orang seperti itu kata-kata ajaib ‘pernikahan’ adalah seperti mantera yang mematikan saja. Selagi teman-teman sekelasnya dulu mulai membentuk keluarga mereka satu persatu, orang tuanya mulai menekannya, dan dinding usia 30 tahun semakin dekat dengannya, dia sedang berada di posisi yang tidak aman. ...tapi meskipun begitu, dia terlihat sedikit terlalu nekat.”

Dengan suara sedikit kebingungan yang jarang baginya, Reine berkata.

“Untuk itu saja kedengarannya bagus, ta, tapi apa yang harus kulakukan untuk yang ini...!”

“Hey Itsuka-kun, apa kamu punya sedikit waktu sekarang? Kamu masih belum cukup umur untuk menandatangani formulir pernikahan, jadi untuk sekarang ini ayo kita buat perjanjian darah. Kita mungkin bisa meminjam pisau ukir dari ruangan seni. Jangan khawatir, saya akan memastikan agar tidak sakit.”

Sambil memojokkan Shido, kata-kata berhamburan keluar dari mulut Tamae, Shido mengeluarkan suara seperti pekikan.

”Ah, kalau sampai terjebak lebih dalam lagi bisa jadi menyebalkan untuk kita tangani. Kau sudah menyelesaikan misimu, jadi minta maaf dengan alasan yang cocok lalu kaburlah.”

Shido menelan ludah, dan setelah memantapkan pikirannya, membuka mulutnya.

“Ma-maaf! Aku pikir aku belum siap untuk sejauh itu...! Tolong anggap saja ini tidak pernah terjadi...!”

Sambil menyahut Shido melarikan diri.

“Ah, I-Itsuka-kun!?”

Mendengar suara Tamae memanggilnya dari belakang, ia tetap berlari.

“Fiuh~, sensei punya karakter seperti itu rupanya.”"

Tawa santai Kotori dapat terdengar. Selagi kakinya masih bergerak, Shido mengeraskan suaranya.

“Jangan main-main denganku...! Kenapa kau tertawa begitu—”

Tepat saat ia mulai berbicara.

“Sant...!?”

“...!”

Karena ia sedang terfokus pada intercom-nya, Shido bertubrukan dengan seorang murid yang baru saja muncul dari pojokan, dan terjatuh.

“...ma-maaf, kau baik-baik saja?”

Seraya berkata, ia bangkit berdiri. Dan...

“Eh...?!”

Shido merasa seakan jantungnya diperas. Bagaimanapun juga, di sana adalah nona Tobiichi Origami itu.

Dan lagi, tidak hanya itu saja. Ketika dia terjatuh, kelihatannya ia mendarat dengan punggungnya, dan terjadi begitu saja dia menghadap Shido dengan kakinya terbuka membentuk huruf M. ...warna putih.

Ia tanpa sadar memalingkan pandangannya. Namun, Origami tidak terlihat panik sama sekali,

“Tidak apa-apa.”

Dia berkata, dan bangkit berdiri.

“Ada apa?”

Lalu, Origami bertanya pada Shido.

Tapi kelihatannya dia tidak bertanya mengapa Shido lari di lorong. Mungkin saja—benar, mungkin mengenai kenapa Shido membelokkan kepalanya kebawah dengan tangan di dahinya.

“...tidak, jangan khawatirkan itu. Aku hanya terkejut karena menemui situasi yang kupikir sangat tidak mungkin terjadi...”

Benteng pertahanan terakhirnya tumbang. Kemampuan simulasi <Ratatoskr> benar-benar menakutkan. Entah kenapa, hampir kelihatannya game tersebut dibuat dengan cukup baik.

“Begitu.”

Sambil mengatakan itu saja, Origami mulai melangkah melewati koridor.

Pada saat itu, suara Kotori berdering di telinga kanannya.

“—Ini kesempatan yang sempurna, Shido. Ayo lanjutkan latihan kita dengannya.”

“H-Huh!?”

"Mungkin lebih baik kalau kita bisa mendapatkan data dari seseorang yang sebaya, dibanding seorang guru. Dan lagi, meskipun dia bukan Spirit, dia anggota AST yang penting. Tidakkah kau pikir dia akan menjadi referensi yang cukup bagus? Sejauh yang kukira, dia tidak kelihatan seperti tipe yang akan menyebarkan rumor-rumor ke sekitar juga.”

“Kau..., kau main-main denganku?”

“Tidakkah kau mau bicara dengan Spirit itu?

“...”

Shido menahan nafasnya, dan menggigit bibir bawahnya.

Setelah mempersiapkan diri, ia melepas suaranya terhadap punggung Origami.

“To-Tobiichi.”

“Apa?”

Origami berbalik dengan timing yang terlihat seakan sedang menunggu Shido memanggilnya.

Shido sedikit terkejut, namun ia menenangkan pernafasannya dan membuka bibirnya. Sepertinya dikarenakan pengalaman tadi dengan kasus Tamae, ia jauh lebih tenang dari sebelumnya. Benar, kalau ia tidak berlebihan, maka akan baik-baik saja, yang penting ia tidak berlebihan.

“Pakaianmu, terlihat manis.”

“Seragam sekolah.”

“...benar.”

“Kenapa kau memilih pakaiannya dasar kau undur-undur

Meskipun itu cuma nama serangga ia merasa seakan ia sedang menderita ledekan yang luar biasa menyakitkan. Misterius!

—Karena tadi itu berhasil pada sensei...! Dengan maksud seperti itu, ia menggelengkan kepalanya sedikit.

”...perlukah kami membantu?”

Mereka mungkin merasa tidak sabar, karena sekali lagi Reine menawarkan pertolongan.

Meskipun ia masih merasa gelisah, ia tidak punya kepercayaan diri untuk bisa melanjutkan percakapan seorang diri. Shido mengangguk kecil.

Mengikuti kata-kata yang ia dengar di telinga kanannya, ia melepaskan suara.

“Hey, Tobiichi.”

“Apa?”

“Aku, sebenarnya... aku sudah tahu tentang Tobiichi sejak beberapa waktu yang lalu.”

“Begitu.”

Masih dengan kalimat-kalimat pendek, Tobiichi melanjutkan dengan kata-kata yang tidak dapat dipercaya.

“Saya juga, tahu tentangmu.”

“—!”

Meskipun ia merasa sangat terkejut di dalam dirinya, ia tidak dapat bersuara. Kelihatannya jika ia mengatakan apapun selain instruksi Reine, maka kemajuan ini akan hancur seketika.

“—Begitukah. Aku senang. …juga, dapat berada di kelas yang sama pada tahun kedua membuatku sangat senang. Sepanjang minggu ini, aku selalu memandangimu saat pelajaran.”

Uwaah, bahkan Shido berpikir kalau tadi itu memalukan. Kalau ia memikirkan penguntit, rasanya kalimat tersebut adalah apa yang mereka akan katakan.

“Begitu.”

Namun, Origami,

“Saya juga memandangimu terus.”

Menatap lurus pada Shido, ia berkata.

“...”

Ia menelan ludah. Shido merasa canggung karena sebenarnya tidak pernah melihat ke arah Origami selama sama sekali selama pelajaran.

Untuk menenangkan debaran cepat jantungnya, ia mengulangi kata-kata yang memasuki telinganya.

“Benarkah? Ah, tapi sebenarnya, bukan itu saja. Sepulang sekolah aku biasanya tinggal di kelas dan mencium bau pakaian olahraga Tobiichi.”

“Begitu.”

Sudah kuduga apa yang dijawabnya setelah ini adalah *dong*, itu yang ia pikirkan, namun ekspresi Origami tidak berubah sama sekali.

Melainkan,

“Saya juga melakukannya.”

“......!?”

—Melakukannya juga, dengan punya siapa!? Dengan punyanya sendiri bukan!? Kalau memang begitu bilanglah!

Wajah Shido dibanjiri keringat.

Dan juga, bukankah kalimat-kalimat dari Kotori dan Reine sedikit aneh?

Namun dengan isi kepalanya yang berputar-putar, sudah tidak mungkin bagi Shido untuk melanjutkan percakapan dengan kata-katanya sendiri.

“—Begitukah? Kelihatannya, kita cocok satu sama lain.”

“Ya.”

“Jadi, kalau tidak apa-apa, maukah kau nge-date denganku—tapi bukannya ini berkembang terlalu cepat tidak peduli bagaimana kau melihatnya!”

Ia tidak lagi peduli dengan latihan atau apapun itu. Tidak tahan lagi, ia berbalik dan berteriak.

Dari sudut pandang Origami, ia adalah orang aneh yang baru saja menembak lalu tanpa alasan men-tsukkomi[2] dirinya sendiri.

”...yah, saya tidak habis pikir kamu benar-benar akan mengatakannya.”

“Bukannya kalian yang bilang padaku untuk mengatakannya begitu saja!”

Setelah meneriakkan kekesalannya, ia lalu mendesah dan berbalik ke arah Origami.

Origami tanpa ekspresi seperti biasanya... tapi mungkin bayangannya saja, dibandingkan dengan beberapa waktu lalu, hanya sedikit, matanya terlihat sedikit lebih terbuka lebar.

“Ah, uhm, yang tadi... maaf, tadi itu—”

“Boleh saja.”

“...............Huh?”

Shido bersuara dungu. Ia benar-benar terpaku. Mulutnya terngangap dengan lemah, dan kakinya melemas. Intinya, seluruh tubuhnya terkejut.

—Sebentar, apaan ini. Apa yang gadis ini katakan baru saja?

“Ap-apa?”

“Aku bilang, boleh saja.”

“Ap, ap-ap-ap-ap-ap-ap-apa?”

“Saya mau saja nge-date denganmu.”

“...?!”

Keringat merembes keluar di wajah Shido. Ia perlahan menempatkan tangannya di samping kepalanya, tenang, tenang, ia memberitahu dirinya sendiri.

Tidak mungkin. Kalau kau berpikir mengenai ini secara normal tidak mungkin. Tidak ada gadis yang OK untuk memacari seorang lelaki dimana jumlah percakapan yang mereka lakukan dapat dihitung dengan jari.

...yah, mungkin tidak mustahil, tapi ia sama sekali tidak mengira jawaban semacam ini dari Origami.

—Tunggu. Alis Shido berkedut. Mungkin, Origami salah mengerti sesuatu.

“Ah, aah... itu tadi maksudnya berjalan-jalan denganku ke suatu tempat kan?”

“...?”

Origami memiringkan kepalanya sedikit.

“Apa itu yang kamu maksud?”

“Eh, ah, tidak... uhm, Tobiichi, kau pikir apa yang kumaksud...?”

“Saya kira maksudmu hubungan intim.”

“...!”

Tubuh Shido gemetaran seakan kepalanya baru saja disambar petir.

Entah karena alasan apa, mendengar kata ‘hubungan intim’ datang dari mulut Origami terasa sangat imoral.

“Saya salah?”

“T-tidak... kau tidak salah... tapi.”

“Begitu.”

Origami merespon seakan tidak terjadi apa-apa.

Pada momen selanjutnya, Shido menyesali keputusannya.

—Kenapa, kenapa tadi aku bilang hal semacam “kau tidak salah”! Tidak, aku masih bisa melakukannya, aku masih bisa mengubahnya menjadi sebuah kesalahpahaman!

Akan tetapi.


UUUUUUUuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu—————


“!?”

Pada saat itu, tanpa pemberitahuan dahulu, bunyi sirene bergaung di sekitar mereka.

Hampir pada saat bersamaan, Origami mengangkat wajahnya sedikit.

“—Kondisi darurat. Sampai jumpa."

Seraya mengatakan itu, dia berbalik dan lari sepanjang lorong.

“H-hey—”

Kali ini ketika Shido memanggil, dia tidak berhenti.

“Ap-apa yang harus kulakukan, mengenai ini...”

Tidak lama, ia mendengar suara melalui intercom.

“Shido, ini spacequake. Untuk sekarang ini kami akan mengembalikanmu ke <Fraxinus>. Cepat kembali dengan segera.”

“J-jadi, Spirit ya...?”

Shido bertanya, dan satu detakan kemudian, Kotori melanjutkan.

“Ya. Prediksi lokasi di mana ia akan muncul adalah—di siniRaizen High School."


Bagian 2

Waktu menunjukan pukul 17:20.

Mereka bertiga yang telah berpindah ke pesawat udara <Fraxinus> yang melayang di atas kota selagi berada di luar penglihatan murid-murid yang mulai berevakuasi, mengamati berbagai informasi yang ditampilkan di layar.

Setelah berganti ke pakaian militer mereka, Kotori dan Reine berulang kali saling bertukar kata dan mengangguk penuh arti, namun Shido tidak benar-benar mengerti apa maksud dari angka-angka yang ada di layar.

Satu-satunya yang dapat ia mengerti adalah—di bagian kanan dari layar, sebuah peta yang terpusat pada sekolah lanjutan Shido ada di sana.

“Begitu, mm.”

Duduk di kursi kapten, bertukar kata dengan para crew sambil menjilat Chupa Chups, Kotori menaikkan ujung bibirnya sedikit.

“—Shido.”

“Apa?”

“Aku akan mengirimmu untuk bekerja sesaat lagi. Bersiap-siaplah.”

“...”

Kata-kata Kotori membuat tubuh Shido terpaku.

Yah, ia sudah membayangkan kalau ini akan terjadi, dan ia seharusnya sudah meneguhkan diri juga.

Tetapi meskipun begitu, ia tidak dapat menyembunyikan kegugupannya sekarang ketika sudah waktunya untuk kejadian yang sebenarnya.

“—Apa anda sudah membiarkannya ikut serta dalam pertarungan sebenarnya, komandan?”

Berdiri di samping kursi kapten, selagi menatap layar, Kannazuki tiba-tiba bertanya.

“Lawan kita adalah seorang Spirit. Kegagalan sama dengan kematian. Apa dia sudah melalui cukup latiha—ghu.”

Di tengah-tengah kalimatnya, tinju Kotori tenggelam ke dalam ulu hati Kannazuki.

“Berani-beraninya mempertanyakan keputusanku, kau sudah jadi orang hebat ya Kannazuki!?. Sebagai hukuman, sampai kusuruh berhenti kau akan berbicara layaknya seekor babi.”

"Pu-Puhii."

Entah kenapa, kelihatannya sudah terbiasa akan hal itu, Kannazuki menjawab.

Melihat adegan ini, Shido menyeka peluh yang telah muncul di permukaan wajahnya.

“...tapi, Kotori, aku pikir Kannazuki-san ada benarnya...”

“Ara, Shido, kau mengerti bahasa babi? Sudah sepantasnya dari seseorang yang se-level dengan babi.”

“Ja-jangan menyepelekan babi! Babi itu tidak seperti anggapanmu, binatang yang luar biasa, tahu!”

“Aku tahu itu. Mereka menyukai kebersihan dan mereka kuat. Bahkan dikatakan kalau mereka punya kepandaian lebih dari anjing. Karena itulah untuk rekanku yang mahir Kannazuki, atau untuk kakakku yang terhormat Shido, dengan seluruh rasa hormat aku memanggil kalian babi. Babi. Dasar kalian babi.”

“...Gugu.”

Kedengarannya dia tidak menggunakan kata itu sebagai panggilan dengan rasa hormat.

Namun, Kotori mungkin yang paling mengerti pertanyaan Kannazuki dan kebimbangan Shido. Stik permennya teracu lurus ke atas, dan dia mengisyaratkan ke arah layar.

“Shido, kau cukup beruntung kau tahu.”

“Eh...?”

Mengikuti pandangan Kotori, ia melihat ke arah layar.

Seperti yang diduga, angka-angka dengan makna yang tidak diketahuinya menari-nari di seluruh layar, tapi—pada peta di kanan, ia melihat sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.

Di dalam gedung sekolah Shido, terdapat sebuah ikon merah tunggal, dan mengelilinginya, banyak ikon kuning kecil diperlihatkan.

“Yang merah adalah si Spirit, dan yang kuning adalah AST.”

“...dan, apa yang menguntungkan dari ini?”

“Lihat pada AST. Lihat bagaimana mereka belum bergerak sama sekali?”

“Ahh... kelihatannya begitu.”

“Mereka menunggu Spirit itu keluar.”

“Kenapa? Tidakkah mereka akan menyerbu ke dalam?”

Shido memiringkan kepala, dan Kotori mengangkat bahunya tinggi-tinggi.

“Setidaknya pikir dulu sedikit sebelum berbicara. Aku benar-benar malu padamu, bahkan jamur saja masih sedikit lebih cerdas dibandingkan denganmu.”

“Be-beraninya kau!”

CR-Units tidak diciptakan untuk bertarung di ruang kecil pada dasarnya. Bahkan kalau kau membentangkan territory, akan ada banyak penghalang dan koridor-koridornya sempit, jadi di dalam gedung mobilitasmu pastinya akan berkurang, belum lagi pandanganmu juga akan terhalangi.”

Seraya mengatakan ini, Kotori menjentikkan jarinya. Merespon terhadap hal tersebut, gambar di layar berubah menjadi rekaman Real-Time sekolah.

Sebuah lubang berbentuk mangkok dangkal muncul di halaman sekolah, dan di sekelilingnya jalan-jalan dan bahkan sebagian gedung sekolah terpotong dengan rapi. Benar-benar seperti apa yang Shido saksikan pada hari itu.

“Setelah muncul di halaman, kelihatannya dia telah memasuki gedung sekolah yang setengah hancur itu. Tidak sering kau seberuntung ini, karena sekarang kau dapat membuat kontak dengan Spirit tersebut tanpa gangguan dari AST.”

“...Ohhh, begitu.”

Ia mengerti logikanya.

Namun, kata-kata Kotori membuat Shido mempertimbangkan sesuatu, lalu dia menyipitkan matanya.

“...seandainya Spirit itu muncul di luar seperti biasanya, bagaimana seharusnya aku mendekatinya?”

“Menunggu sampai AST benar-benar dikalahkan, atau menyerbu di tengah-tengah pertempuran, kira-kira seperti itu.”

“...”

Shido mengerti lebih dalam lagi dari sebelumnya betapa harus berterima-kasihnya ia pada situasi sekarang ini.

“Nn, kalau begitu ayo cepat bergerak. —Shido, kau belum melepas intercom-nya kan?”

“Ah, ya.”

Ia menyentuh telinga kanannya. Seperti yang diduganya intercom yang ia gunakan sampai beberapa waktu lalu masih terpasang.

“Oke kalau begitu. Kamera akan mengikutimu, jadi kalau kau berada dalam masalah, buat sebuah isyarat, dan ketuk intercom dua kali.”

“Mm... aku mengerti. tapi...”

Shido mengernyitkan mata, dan melihat ke arah Kotori dan Reine, yang sedang berada pada posnya sendiri di bagian bawah bridge.

Berdasarkan sugesti mereka selama latihan, mereka benar-benar anggota pendukung yang tidak bisa diharapkan.

Mungkin menyadari apa yang ia sedang pikirkan dari ekspresinya, Kotori membuat senyum menantang.

“Jangan khawatir Shido. Ada banyak orang-orang yang dapat diandalkan dalam crew <Fraxinus>.”

“Be-benarkah?”

Dengan wajah ragu-ragu Shido menjawab, dan Kotori mengibaskan jasnya dengan suara *zraat* dan bangkit berdiri.

“Seperti,”

Dan dengan bergairah, ia menunjuk ke salah satu crew di bagian bawah bridge.

“Setelah mengalami pernikahan lima kali, Romance Master●<Bad MarriageTerlalu Cepat Loyo> Kawagoe!"

"Tapi itu artinya dia bercerai empat kali bukan!?”

“Dengan kepopulerannya yang membanggakan dengan para Filipin di toko-toko pada malam hari, <PresDir> Mikimoto”

“Itu pastinya lewat daya tarik uang bukan!?

Rival cintanya menemui kesialan satu persatu. Wanita jam dua pagi●<Nail KnockerBoneka Jerami> Shiizaki!”

“Dia pastinya punya semacam kutukan pada dirinya!”

“Lelaki dengan seratus mempelai●<Dimension●BreakerDia Yang Melewati Batas Dimensi> Nakatsugawa!"

“Mereka mempelai yang punya komponen sumbu-z[3] kan!?

“Karena cintanya yang mendalam, sekarang hukum tidak lagi membiarkannya mendekati kekasihnya kurang dari 500 meter●<Deep●LoveDalam Masa Percobaan>

“Kenapa cuma ada orang-orang semacam ini disini!”

“...semuanya, sebagai anggota crew, tentu saja mereka mempunyai kemampuan nyata.”

Dari bagian bawah bridge, suara bergumam Kotori dapat terdengar.

“Me-meskipun kau bilang begitu...”

“Apalah, cepat dan pergi dengan segera. Kalau Spirit itu keluar maka AST akan mengerumuninya.”

Shido baru mulai komplain, dan Kotori dengan bersemangat menendang bokong Shido dengan suara *bong*.

“...ow, ka-kau...”

“Tidak apa-apa tidak perlu cemas. Kalau Shido orangnya, meskipun mati satu-dua kali, kau bisa segera memulai new game.”

“Jangan main-main denganku, memangnya aku apa, tukang ledeng?[4]

Mamma Mia[5]. Kakak yang tidak mempercayai adiknya tidak akan hidup bahagia kau tahu.”

“Aku tidak mau mendengar itu dari adik yang tidak mau mendengarkan kakaknya.”

Bercampur dengan keluhan, Shido mengatakan itu, dan dengan penurut melangkah menuju pintu bridge.

Good luck.

“Yeah.”

Kepada Kotori yang mengangkat jempolnya, ia perlahan melambaikan tangan sebagai balasan.

Jantungnya masi berdebar-debar, akan tetapi—tidak mungkin ia akan melarikan diri dari kesempatan ini.

Untuk mengalahkan mereka, atau untuk membuat mereka jatuh cinta, atau untuk menyelamatkan dunia.

Hal-hal besar semacam itu tidak ia pertimbangkan sama sekali.

Yang ada hanyalah—ia ingin berbicara sekali lagi dengan gadis itu.


Transporter yang ditempatkan di bagian bawah <Fraxinus> kelihatannya memakai realizer untuk memindahkan/mengambil benda-benda selama jalur lurus ke tujuan tidak terblokir apapun.

Pada awalnya ada suatu perasaan seperti terkena mabuk laut, namun setelah beberapa kali ia sudah kurang lebih terbiasa dengannya.

Setelah memastikan kalau sekelilingnya telah berubah dari <Fraxinus> menjadi bagian belakang gedung sekolah lanjutan yang suram, Shido dengan ringan menggelengkan kepalanya.

“Nah sekarang, pertama aku harus—”

Saat ia mulai berbicara, kata-katanya terhenti.

Itu karena, layaknya lawakan yang buruk, dinding gedung di depan mata Shido telah dibelah terbuka, dan ia sedang melihat langsung ke isi dalamnya.

“Melihat hal seperti ini sungguhan, benar-benar sulit dipercaya...”

"Nah, sempurna, masuki gedung dari sana.”

Dari intercom yang terpasang di telinga kanannya, suara Kotori dapat terdengar.

Shido bergumam “...dimengerti” sambil menggaruk pipinya, dan masuk ke dalam gedung sekolah. Kalau ia membuang terlalu banyak waktu Spirit itu bisa keluyuran keluar, dan sebelum itu, kemungkinan kalau Shido ditemukan oleh para AST dan ditempatkan dalam ‘perlindungan’ juga ada.

”Sekarang, ayo cepat. Nobi[6] Respon dari Spirit itu berasal dari tiga lantai di atas tangga di sampingmu, di kelas ke empat dari depan.”

“Baik...”

Shido mengambil nafas dalam, dan melesati tangga terdekat.

Sebelum satu menit berlalu, ia sampai di depan ruang kelas yang dimaksud.

Tanpa membuka pintu, ia tidak dapat memastikan sosok di dalamnya, namun hanya dengan berpikir kalau ada Spirit di dalamnya tentu saja membuat jantungnya berdering bagaikan bunyi alarm.

“Eh—ini, kelas 2-4. Bukankah ini kelasku?”

“Ara, begitukah. Nyaman untukmu, bukan? Kau tidak bisa bilang kalau lokasi itu menguntungkan, tapi mungkin jauh lebih baik ketimbang tempat lain yang benar-benar baru bagimu.”

Kotori mengatakan itu. Tapi sebenarnya, belum lama sejak ia memasuki tahun ajaran ini, jadi sebenarnya bukan berarti ia sudah familiar dengan kelas ini.

Bagaimanapun juga, ia harus membuat kontak dengan Spirit itu sebelum dia bertingkah. Shido menelan ludah.

“...hey, selamat sore, apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?”

Dengan suara pelan, ia mengulang sapaan itu berkali-kali.

Memantapkan pikirannya, Shido membuka pintu ruangan kelas.

Kondisi ruangan kelas itu, diwarnai merah matahari terbenam, terproyeksikan ke dalam retinanya.

“——”

Satu momen berlalu.

Kata-kata santai yang ia sudah ia persiapkan dalam pikirannya tersapu begitu saja.

“Ah—”

Baris ke empat dari depan, deretan kedua dari jendela—tepat di meja Shido, gadis berambut hitam dengan gaun aneh yang membungkus tubuhnya sedang duduk dengan satu lutut terangkat.

Matanya yang memancarkan cahaya bagai ilusi sedang dalam kondisi sayu setengah terbuka, menatap papan tulis sambil melamun.

Setengah tubuhnya diterangi matahari terbenam, gadis itu, sampai pada taraf yang dapat mencuri kemampuan berpikir siapapun yang melihat padanya untuk sesaat, sangat misterius.

Namun, pemandangan itu yang tadinya sudah mendekati kesempurnaan, runtuh seketika.

“—Nu?”

Gadis tersebut menyadari invasi Shido, lalu ia membuka matanya sepenuhnya dan melihat ke arahnya.

“...! H-hey—”

Sambil mencoba menenangkan jantungnya, Shido mengangkat tangannya... atau bermaksud demikian.

—Hyun.

Ia pikir gadis itu dengan santai mengayunkan tangannya, dan sebersit cahaya hitam menyentuh dan melewati pipi Shido.

Sesaat setelahnya, pintu ruang kelas pada mana tangan Shido sedang berpegangan, dan juga jendela-jendela di koridor di belakangnya, pecah dengan suara membahana.

“...!?”

Tiba-tiba menghadapi ini, ia langsung membeku di tempat. Ia mencoba menyentuh pipinya, dan sedikit darah mengalir.

Namun, ia bahkan tidak diperbolehkan untuk diam terpaku.

“Shido!”

Suara Kotori mengguncang gendang telinganya sampai terasa sakit.

Sambil membuat ekspresi muram, gadis itu mengayunkan tangannya ke atas kepala. Di atas telapak tangannya, apa yang terlihat seperti gumpalan cahaya bulat bersinar dengan warna hitam.

“Tung...”

Lebih cepat dari teriakannya, ia bergegas ke belakang dinding dan menyembunyikan badannya.

Sekejap kemudian, berkas cahaya berhamburan melalui dimana Shido baru saja berdiri, dengan mudahnya meledak keluar dari dinding luar gedung sekolah dan memanjang ke kejauhan.

Bahkan setelah itu, berkas-berkas cahaya hitam terus menerus ditembakkan.

“Tu-tunggu! Aku bukan musuhmu!”

Dari koridor yang sudah mulai sedikit berangin, ia bersuara.

Lalu, kelihatannya suara Shido tersampaikan, karena dengan demikian berkas-berkas cahaya tersebut berhenti ditembakkan.

“...Haa, boleh aku masuk...?”

“Dari yang dapat kulihat, dia tidak sedang bersiap-siap untuk menyerang. Kalau dia mau, seharusnya mudah baginya untuk meledakkan dinding itu sekaligus dengan Shido. —Di sisi lain membuang waktu dan membuatnya jengkel juga tidak baik. Ayo masuk.”

Shido bergumam, seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri, dan Kotori menjawab. Kameranya mungkin sudah memasuki ruang kelas itu.

Menelan ludahnya, Shido berdiri di depan pintu masuk ruang kelas yang sekarang tanpa daun pintu itu.

“...”

Gadis itu sedang menatapnya dengan seksama. Seakan bertanya-tanya jika serangan akan datang, pandangan tersebut terisi dengan keraguan dan kewaspadaan.

“T-tenanglah untuk se—”

Mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan kalau ia tidak punya rasa permusuhan, ia melangkah masuk ke ruang kelas.

Namun,

“—Berhenti.”

Pada saat yang sama suara gadis itu berdering— *pshh*, lantai di depan kaki Shido dihanguskan sebuah berkas cahaya. Shido buru-buru membekukan gerakannya.

“...”

Gadis itu dengan hati-hati memperhatikan Shido dari kepala hingga kaki, dan membuka mulutnya.

“Kau siapa.”

“...Ahh, aku—”

”Tunggu sebentar.”

Di saat Shido baru mau menjawab, entah mengapa Kotori menghentikannya.


Layar di bridge <Fraxinus> sekarang ini sedang menampilkan potret wajah Spirit tersebut, gadis yang terbalut gaun yang terbuat dari cahaya itu.

Wajahnya yang menawan, dihiasi pandangan menusuk, sedang menatap tajam pada sisi kanan kamera—terhadap Shido.

Di sekitarnya, sekumpulan parameter mulai dari kata-kata [Affection Level] terdapat di sana. Reine sedang menggunakan Realizer untuk menganalisis secara numerik dan menampilkan status mental sang gadis.

Oleh AI yang dibangun dalam <Fraxinus>, percakapan diantara mereka berdua ditampilkan tanpa jeda waktu di bawah layar dengan bentuk teks.

Jika dilihat sekilas, tampilan itu terlihat sangat serupa dengan game yang Shido gunakan untuk berlatih.

DAL v01 171.jpg

Anggota Crew pilihan sedang melihat layar galge yang ditampilkan di monitor raksasa tersebut dengan keseriusan absolut.

Benar-benar pemandangan yang surealis.

Lalu—Kotori tiba-tiba mengangkat alis.

”Kau siapa.”

Di saat Spirit tersebut mengatakan kata-kata ini pada Shido, layar itu berkedip-kedip, dan suara sirene membahana di seluruh bridge.

“I-ini—”

Di tengah suara bingung seseorang dari crew, sebuah jendela tampilan terbuka di tengah layar.



①”Aku Itsuka Shido. Aku datang untuk menyelamatkanmu!”

②”Aku cuma orang lemah yang kebetulan lewat saja, tolong jangan bunuh aku.”

③”Sebelum menanyakan nama seseorang, sebutkan namamu dulu.”

“Pilihan—”

Batang permen Kotori naik tegak lurus.

Realizer analisis yang dioperasikan Reine, setelah terhubung dengan AI <Fraxinus>, mendeteksi perubahan-perubahan seperti detak jantung sang Spirit atau gelombang otak lemah, dan langsung menampilkan pola respon yang semungkinnya di layar.

Waktu-waktu pilihan ini ditampilkan hanya terbatas pada saat mental status sang Spirit sedang tidak stabil.

Dengan kata lain, dengan pilihan yang tepat, seseorang dapat membangun hubungan baik dengan sang Spirit.

Namun, jika seseorang membuat kesalahan—

Kotori segera mendekatkan mulutnya ke mike, menghentikan Shido sebelum mengutarakan jawabannya.

“Tunggu sebentar.”

“—?”

Suara seperti nafas tertahan dapat terdengar dari balik speaker. Ia pastinya bertanya-tanya mengapa Kotori menyuruhnya berhenti.

Mereka tidak dapat membiarkan Spirit itu menunggu selamanya. Kotori berbalik pada para anggota crew dan memerintahkan.

“Pilihlah opsi yang kau pikir benar! Dalam lima detik!”

Semuanya secara bersamaan, para anggota crew mengoperasikan konsol di depan mereka. Hasil dari semua itu dengan segera tampil di layar di hadapan Kotori.

Jawaban paling umum adalah—nomor ③.

“—Sepertinya kita semua memiliki pendapat yang sama.”

Kotori berkata, dan para crew mengangguk bersamaan.

“① terlihat sebagai pilihan yang pasti jika dilihat sekilas, namun ketika lawan memiliki keraguan jika kita adalah musuh, mengatakan hal seperti itu akan terlihat mencurigakan. Dan sepertinya juga sedikit menjijikan.”

Sambil berdiri tegak, Kannazuki berbicara.

“...② tentu di luar pertanyaan. Sesaat terbukanya kesempatan kecil untuknya meloloskan diri, itulah akhir dari semua ini.”

Selanjutnya, dari bagian bridge yang lebih rendah, Reine berbicara.

“Itu benar. Sampai situ, ③ masuk akal secara logis, dan kalau semua berjalan lancar kita bahkan mungkin dapat mengendalikan alur pembicaraan.

Kotori menunduk pelan, dan sekali lagi menarik mike mendekat.


“...H-hey, apa yang kau barusan bilang...”

Setelah menghentikan kalimatnya selagi tertusuk tatapan tajam gadis tersebut, Shido sedang berdiri di tengah-tengah atmosfer yang tidak menyenangkan.

“...aku akan bertanya sekali lagi. Kau siapa.”

Gadis itu berkata, seakan kesal, pandangan matanya semakin menajam.

Lalu, pada waktu itu, akhirnya suara Kotori sampai pada telinga kanannya.

”Shido. Kau bisa mendengarku? Jawab sesuai dengan yang kuberitahukan.”

“O-oke.”

“—Sebelum menanyakan nama seseorang, sebutkan namamu dulu.”

“—Sebelum menanyakan nama seseorang, sebutkan namamu dulu. ...wagh”

Segera setelah ia mengatakannya, wajah Shido menjadi pucat.

“Ap-apa yang kau suruh aku katakan...”

Namun, sudah terlalu terlambat. Di saat dia mendengar suara Shido, air muka gadis itu berubah, kali ini mengangkat kedua tangannya dan membuat bola-bola cahaya.

“...”

Ia buru-buru menyentak lantai, terjatuh ke samping kanan.

Semasa kemudian, sebuah bola cahaya hitam terlempar ke tempat di mana Shido tadinya berdiri. Sebuah lubang besar menganga di lantai yang kelihatannya telah menembus habis sampai lantai dua atau tiga.

“...Uwaa...”

”Ehh, aneh.”

“Bukan itu yang seharusnya kau katakan..., apa kau mencoba membunuhku...?”

Membalas Kotori yang sepertinya memang sedang bingung, Shido membangkitkan tubuhnya sambil memegang kepalanya.

Lalu—

“Ini yang terakhir. Kalau kau tidak punya keinginan untuk menjawab, aku akan menganggapmu sebagai musuh.”

Dari atas meja Shido, gadis tersebut berkata. Dengan panik, Shido segera membuka mulut.

“A-aku Itsuka Shido! Aku murid di sini! Aku tidak punya maksud jahat!”

“...”

Shido berbicara selagi mengangkat kedua tangan, dan dengan mata yang curiga gadis tersebut turun dari meja Shido.

“—Jangan bergerak. Sekarang ini, kau ada dalam jangkauan seranganku.”

“...”

Menandakan kalau ia mengerti, Shido mengangguk selagi mempertahankan postur tersebut.

Dengan langkah-langkah pelan, gadis itu mendekati Shido.

“...nn?”

Lalu, sedikit membungkukkan pinggangnya, dia menatap wajah Shido untuk sejenak, dan “Nu?”, die menaikan alis.

“Hey, bukankah kita pernah bertemu satu kali sebelumnya...?”

“Ah... ahh, bulan ini—kukira, tanggal sepuluh. Di kota.”

“Ohh.”

Sepertinya dia mengingatnya, gadis itu pelan-pelan menepuk tangannya, lalu kembali ke postur sebelumnya.

“Aku ingat sekarang. Kau yang mengatakan hal aneh itu.”

Melihat sedikit perlawanan menghilang dari mata sang gadis, untuk sesaat ketegangan Shido berkurang.

Namun,

“Gi...!?”

Sesaat kemudian, poni Shido dijambak dan mukanya dipaksa menghadap ke atas.

Gadis itu memiringkan wajah seolah melihat ke dalam mata Shido, selagi ia melepas pandangannya.

“...kalau kuingat, kau bilang kau tidak punya maksud untuk membunuhku? Hmmf— Aku sudah tahu maksudmu. Beritahu aku, apa yang kau inginkan. Apa kau berencana menyerangku dari belakang setelah aku lengah?”

“...”

Shido mengangkat alisnya sedikit, menggigit keras-keras gigi belakangnya.

Itu bukan karena ia menakuti gadis tersebut.

Kata-kata Shido—Aku tidak datang untuk membunuhmu; kata-kata seperti itu, gadis tersebut tidak dapat mempercayainya sama sekali.

Hal itu dikarenakan dia telah dihadapkan pada lingkungan di mana dia tidak dapat mempercayainya.

Ia merasa kesal, dan tidak tahan.

“—Manusia itu...”

Tanpa sadar, Shido menyuarakan.

“... tidak semuanya mencoba membunuhmu.”

“...”

Mata gadis itu terbelalak, selagi dia melepas tangannya dari rambut Shido.

Dan untuk sejenak, dengan tatapan bertanya-tanya dia menatap wajah Shido, lalu membuka bibirnya secelah kecil.

“...begitukah?”

“Ah, begitulah.”

“Orang-orang yang aku temui, mereka semua bilang kalau aku harus mati.”

“Tidak mungkin... hal seperti itu.”

“...”

Tanpa mengatakan apapun, gadis itu menggerakan tangannya ke belakang.

Dia setengah menutup matanya dan mengatupkan bibirnya—memasang wajah yang menandakan kalau dia masih belum bisa mempercayai apa yang Shido katakan.

“...kalau begitu aku akan bertanya. Kalau kau tidak punya keinginan untuk membunuhku, lalu untuk alasan apa kau ada di sini sekarang?”

“Uh, itu—err.”

”Shido”

Tepat saat Shido mulai terbata, suara Kotori menggema di telinga kanannya.


“—Pilihan lagi ya.”

Kotori menjilat bibirnya, selagi melihat pilihan yang ditampilkan di tengah layar.


①”Tentu saja, aku datang untuk menemuimu.”

②”Apapun itu, tidak masalah kan.”

③”Cuma kebetulan.”


Tampilan di hadapannya segera mengumpulkan pendapat-pendapat dari para anggota crew. ① yang paling umum.

“Yah, untuk ②, setelah melihat reaksinya terakhir kali sepertinya mustahil. —Shido, untuk sekarang ini katakan saja kalau kau datang untuk bertemu dengannya.”

Kotori berbicara ke arah mike, dan terlihat di layar, Shido membuka mulutnya selagi berdiri.

“A-agar dapat menemuimu.”

Gadis itu membuat ekspresi kosong.

“Menemuiku? Kenapa?”

Di saat gadis tersebut menelengkan kepala dan mengatakan ini, sekali lagi pilihan-pilihan terpampang di layar.


①”Aku penasaran denganmu.”

②”Agar kita dapat saling mencintai satu sama lain.”

③”Aku punya sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”


“Nn... apa yang harus kita lakukan.”

Kotori meraba dagunya, dan tampilan di hadapannya menunjukkan ② sebagai jawaban.

“Lebih baik untuk melancarkan serangan langsung di sini, komandan. Tunjukkan pada gadis itu kejantanannya!”

“Kalau kau tidak mengucapkannya dengan jelas lady ini tidak akan mengerti!”

Dari bagian bawah bridge, suara-suara para crew berkumandang.

Kotori berbumam “hmm” lalu menyilangkan kakinya.

“Yah, sepertinya tidak mengapa. ① atau ③ mungkin akan menimbulkan pertanyaan lain sebagai responnya. —Shido. Coba ②, agar kita dapat saling mencintai satu sama lain.”

Ia mengucapkan perintahnya ke arah mike. Pada saat itu, bahu Shido mulai gemetaran.


“Ah... itu, begini lho.”

Setelah menerima perintah itu dari Kotori, Shido ragu-ragu dalam berkata dan pandangannya melayang kemana-mana.

“Apa, kau tidak bisa mengatakannya? Atau kau muncul di hadapanku tanpa alasan? Atau mungkin—”

Mata sang gadis sekali lagi mulai terlihat berbahaya. Shido terburu-buru menyelamatkan diri dan menyuarakan.

“A-agar... kita dapat... saling mencintai satu sama lain?”

“...”

Di saat Shido mengatakan ini, gadis itu menyilangkan kedua tangan dan membuat gerakan membelah horizontal.

Dalam sekejap, tepat di atas kepala Shido sebuah pedang angin melewatinya—membelah dinding ruangan kelas tembus ke luar. Beberapa helai rambut Shido terpotong dan menari-nari di udara.

“Uwaa...!?”

“...aku tidak mau mendengar leluconmu.”

Sambil membuat ekspresi yang sangat melankolis, gadis itu berkata.

“...”

Shido menelan ludah.

Di saat itulah, ketakutan yang ia rasakan sampai sekarang ini menghilang, dan jantungnya berdegup kencang.

—Ahh, itu dia, ekspresi itu.

Ekspresi ini, yang benar-benar Shido benci.

Seakan menganggap dirinya tidak dicintai sama sekali, ekspresi yang menunjukkan hilangnya kepercayaan pada dunia.

Tanpa sadar, rahang Shido gemetar.

“Aku datang ke sini..., untuk... berbicara denganmu.”

Shido berkata—dan seolah tidak mengerti yang ia maksud, gadis itu mengangkat alis.

“...apa maksudmu?”

“Itu saja. Aku, mau, berbicara denganmu. Aku tidak peduli apa topiknya. Bahkan kalau kau tidak menyukainya dan mengacuhkanku, tidak apa-apa. Tapi, aku ingin agar kau tahu satu hal. Aku—”

”Shido, tenanglah.”

Mencoba memperingatinya, Kotori berkata. Namun, Shido tidak dapat dihentikan.

Bagaimanapun juga, sampai sekarang, gadis ini tidak punya seorang-pun yang akan mengulurkan tangan untuknya.

Bagaimanapun juga, dengan satu kalimat saja dia bisa berada dalam situasi yang benar-benar berbeda, namun tidak seorangpun akan mengucapkan kalimat tersebut padanya.

Bagi Shido, ia punya ayahnya, ibunya, dan ia juga punya Kotori.

Tapi, gadis ini tidak punya siapa-siapa.

Karena itulah—Shido harus mengatakannya.

“Aku tidak akan—menolak keberadaanmu.”

Shido mengambil langkah berat ke depan, dan sambil melafalkan jelas tiap kata, ia berkata demikian.

“...”

Gadis itu mengangkat alis, dan memalingkan pandangannya dari Shido.

Lalu, setelah hening sejenak, dia membuka mulutnya dengan gugup.

“...Shidou. Kau bilang kau Shidou?”[7]

“—Ya.”

“Kau benar-benar tidak akan menolak keberadaanku?”

“Yeah.”

“Benar benarkah?”

“Benar benar.”

“Benar benar benarkah?

“Benar benar benar.”

Shido menjawab tanpa jeda, lalu gadis itu mengelus rambutnya, dan berdiri sambil menyuarakan apa yang kedengarannya sebuah isakan, memalingkan wajahnya ke belakang.

“—Hmpf.”

Mengangkat alisnya dan tersenyum mengejek, dia menyilangkan tangannya.

“Siapa yang sedang kau coba tipu dengan kata-kata itu baaka baaka[8]

“Seperti yang kubilang, aku—”

“...tapi kau tahu, tadi itu.”

Selagi membuat ekspresi yang rumit, gadis tersebut melanjutkan.

“Aku tidak tahu apa isi kepalamu, tapi kau manusia pertama yang dapat kuajak bicara baik-baik. ...untuk mendapat informasi mengenai dunia ini kau mungkin ada gunanya.”

Setelah mengatakan ini, dia mendengus sekali lagi.

“...h-huh?”

“Aku bilang aku tidak keberatan kalau hanya berbicara denganmu. Tapi itu untuk mendapat informasi saja. Mm, itu penting sekali. Informasi itu benar-benar sangat penting.”

Selagi berbicara—memang hanya sedikit, namun ekspresi gadis tersebut terlihat sedikit lebih halus.

“Be-begitukah...”

Sambil menggaruk wajahnya, Shido menjawab demikian.

Dengan begini... yah untuk saat ini kontak pertama dapat dikatakan sukses.

Selagi Shido berdiri sambil bertanya-tanya, di telinga kanannya suara Kotori terdengar.

“—Kerja yang bagus. Lanjutkan saja seperti itu.”

“A-Aahh...”

Lalu, gadis itu mulai perlahan-lahan mengitari ruang kelas dengan langkah-langkah panjang.

“Tapi, coba saja bertindak mencurigakan. Akan kubuat sebuah lubang angin di badanmu.”

“...oke, aku mengerti.”

Mendengar jawaban Shido, gadis itu perlahan membunyikan langkah kakinya di ruang kelas.

“Shidou.”

“A-Apa?”

“—Kalau begitu aku tanya. Apa sebetulnya tempat ini? Ini pertama kalinya aku melihat tempat seperti ini.”

Dengan mengatakan ini, dia berjalan mengelilingi sambil menyodok-nyodok meja yang roboh.

“Ehh... ahh, ini sebuah sekolah—ruangan kelas, yah, tempat di mana murid-murid sebaya denganku datang untuk belajar dan mengkaji. Kami duduk di meja-meja itu, seperti ini.”

“Apa?!”

Mata gadis tersebut membesar karena terkejut.

“Semua ini diisi manusia? Jangan bercanda. Pastinya hampir ada 40 orang.”

“Tidak, itu kenyataannya.”

Selagi mengatakan ini, Shido menggaruk pipinya.

Ketika sang gadis muncul, peringatan evakuasi biasanya sudah berbunyi di jalan-jalan. Manusia-manusia yang gadis ini lihat mungkin hanya AST. Mereka mungkin juga tidak berjumlah banyak.

“Hey—”

Ia bermaksud memanggil nama gadis tersebut—tetapi kata-kata Shido tertahan di tenggorokannya.

“Nu?”

Mungkin menyadari kondisi Shido, gadis itu mengernyitkan alis.

Dan kemudian, setelah menempatkan tangannya di dagu untuk sementara, sementara berpikir,

“...begitu ya, agar dapat berbincang dengan seseorang, perlu itu ya.”

Dengan demikian, dia mengangguk,

“Shidou. —Kau mau panggil aku apa?”

Sambil duduk di salah kursi di dekatnya, dia berkata.

“...huh?”

Tidak mengerti apa yang dia maksud, Shido bertanya.

Setelah menyilangkan tangannya sembari menyuarakan “hmpf”, dia melanjutkan dengan nada arogan.

“Beri aku nama.”

“...”

Setelah hening sejenak.

—Serius bangeeeeeeeeeet!!

Shido menjerit dalam hati.

“A-aku!?”

“Yeah. Lagipula aku tidak berencana untuk bicara dengan orang lain. Tidak masalah.”


“Uwahh, lagi-lagi masalah yang berat muncul.”

Duduk di kursi kapten, Kotori menggaruk wajahnya.

“...hmm, apa yang harus kita lakukan.”

Dari bagian bawah bridge, Reine mengangguk sebagai respon untuk hal itu.

Di dalam bridge, sirene tidak berbunyi, dan pilihan-pilihan-pun tidak muncul di layar.

Kalau AI menampilkan nama-nama acak begitu saja, akan ada terlalu banyak yang dimunculkan.

“Tenang Shido. Jangan terburu-buru dan mengatakan nama yang aneh.”

Mengatakan ini, Kotori berdiri, dan mengeraskan suaranya terhadap para crew

“Semuanya! Segera pikirkan nama untuknya dan kirimkan ke terminal-ku!”

Setelah mengatakan ini ia menjatuhkan pandangannya pada layar. Beberapa anggota crew telah mengirimkan beberapa nama.

“Ahem... Kawagoe! Bukankah Misako nama salah satu bekas istrimu!”

“Ma-maaf, saya tidak bisa memikirkan nama lain...”

Dari bagian bawah ruang kendali, suara penyesalan seorang lelaki dapat terdengar.

“...benar-benar, coba lihat... Urarakane? Kimimoto, bagaimana kau melafalkannya?”

“Clarabelle!”

“Dengan ini aku melarangmu mempunyai anak untuk seumur hidupmu.”

Ia menunjuk pada lelaki anggota crew yang menyahut tersebut.

“Maaf! Anak tertua saya sudah di sekolah dasar!”

“Anak tertua?”

“Ya! Saya punya tiga!”

“Dan ngomong-ngomong nama mereka adalah?”

“Dari yang tertua, Pureful, Fullmonty, Seraphim!”

“Cepat ganti nama mereka dalam waktu satu minggu, lalu pindahlah dari distrik sekolah mereka.”

“Perlukah melakukan sampai sejauh itu!?”

“Coba pikirkan perasaan anak-anak yang diberikan nama-nama aneh itu dasar ikan gobi.”

“Tidak apa-apa kan! Akhir-akhir ini semuanya juga melakukan hal yang sama!”

*Gong Gong*, suara redam terdengar di seluruh bridge.

Shido sepertinya sedang mengetuk intercom.

Terlihat pada layar, gadis itu menyilangkan tangannya, dan sedang menepuk-nepuk sikunya dengan tak sabaran.

Kotori segera mengamati layar. Tidak ada nama yang membantu. *Haaa*, ia melepas desahan kuat.

Rekan-rekannya benar-benar tidak punya selera rupanya. Dengan kecewa, Kotori menggelengkan kepala.

Ia melihat penampilan sang gadis yang menawan. Sebutan yang cocok dengannya pastinya sesuatu yang elegan dan berwibawa dalam style zaman dahulu. Ya, seperti—

“Tome.”

”Tome! Namamu adalah Tome!”

Segera setelah Shido mengatakan hal itu, cahaya berwarna merah murni menyala di dalam ruang kendali, dan bunyi kencang *pii pii* mulai berdering.

Pattern blue, target tidak senang!”

Salah satu crew menyuarakan sembari terlihat panik.

Pada saat itu, meteran Affection Point yang terlihat di layar besar telah turun drastis.

Mengikutinya, di depan kaki Shido di layar, *zugagagagagagagan!*, bola-bola kecil dengan berentetan menghujani bagaikan machine gun.

”Uwahhhhhhh!?”

“...Kotori?”

Suara bertanya Reine.

“Huh? Aneh. Kupikir itu nama bergaya kuno yang bagus.”


“...aku tidak tahu kenapa, tapi kelihatannya kau sedang mempermainkanku ya.”

Selagi urat nadi bermunculan di dahinya gadis tersebut berkata.

“...! Ma-maaf... tunggu sebentar.”

Kalau dipikir baik-baik, Tome jelas-jelas di luar perhitungan. Selagi berjongkok dan menatap asap yang membumbung dari lantai, Shido memaki kesembronoannya. Maaf untuk semua wanita tua di seluruh negeri, namun itu bukan nama yang cocok untuk gadis masa kini.

Lagipula pertama-tama, ia tidak pernah berpikir kalau ia akan menjadi seorang bapak wali lewat pertemuan mendadak ini. Tidak peduli seberapa kuat ia mencoba menahan debar jantungnya, ketika ia berpikir pandangannya mulai berputar-putar. Bagaimanapun juga, tidak mungkin ia tiba-tiba mendapat ide mengenai nama gadis. Nama, nama, nama... ia mengingat-ingat nama-nama perempuan yang ia tahu. Tapi ia tidak punya banyak waktu. Selagi ia melakukannya wajah sang gadis menunjukkan ketidak-senangan.

“——To-Tohka.”

Dari mulut Shido yang kebingungan keluar nama itu.

“Nu?”

“Ba-bagai... mana?”

“...”

Setelah hening sejenak—

“Oh, baiklah. Itu lebih baik daripada Tome.”

Melihatnya Shido membuat senyuman pahit dan menggaruk belakang kepalanya.

Namun... rasa bersalah yang lebih lagi terbentuk di balik pikirannya.

Bagaimanapun juga, itu karena pertemuan pertama mereka adalah pada tanggal 10[9] April, benar-benar nama yang sederhana.

“...apa yang baru saja kulakukan...”

“Kau berkata sesuatu?”

“Ah, ti, tidak...”

Terburu-buru ia mengayunkan tangannya. Gadis itu terlihat sedikit penasaran, namun tidak bertanya lebih lanjut.

Dengan segera, ia menderap menuju Shido.

“Kalau begitu—Tohka, bagaimana cara menulisnya?”

“Ahh, itu—”

Shido melangkah mendekati papan tulis, memegang sebatang kapur, dan menulis “十香”

“Hmm.”

Dengan anggukan kecil, gadis itu meniru Shido dan menyusuri papan tulis dengan jarinya.

“Ah, kalau kau tidak menggunakan kapur nanti kata-katanya...”

Ia baru saja mulai berbicara, namun menghentikan kata-katanya. Tempat di mana tersentuh oleh jari sang gadis telah tersayat rapi, dan dua huruf 十香 tertulis dengan kasar.

“Ada apa?”

“...tidak, tidak ada.”

“Begitu.”

Dengan mengatakan itu, gadis itu menatap kata-kata yang ia tulis untuk sejenak, dan memberi anggukan kecil.

“Shidou.”

“A-apa?”

“Tohka.”

“Eh?”

“Tohka. Namaku. Bagus sekali bukan?”

“Ah, ahh...

Entah kenapa tadi itu agak... membuatnya malu. Dalam satu dan lain sebab.

Sedikit memalingkan matanya, Shido menggaruk pipinya.

Namun, gadis itu—Tohka, sekali lagi menggerakkan bibirnya.

“Shidou.”

...bahkan Shido sekalipun mengerti maksud Tohka.

“To-Tohka...”

Shido memanggil nama itu, dan dengan terlihat puas ujung-ujung bibir Tohka tersungging naik.

“...”

Hatinya melonjak.

Kalau ia pikir-pikir lagi, ini pertama kalinya, ia melihat senyum Tohka.

Lalu, pada saat itulah,

“—...?”

Tiba-tiba, gedung sekolah mengalami sebuah ledakan yang luar biasa dan bergetar.

Ia segera menyokong tubuhnya dengan tangan pada papan tulis.

“Ap-apa yang...!?”

“Shido, menunduk!”

Di telinga kanannya suara Kotori bergema.

“Eh...?”

”Cepatlah!“

Tidak tahu ini dan itu, Shido melakukan seperti yang diperintahkan dan tiarap di lantai.

Momen berikutnya, *gagagagagagagaga—*, terdengar suara keras, menghancurkan jendela ruang kelas semuanya sekaligus, dan membuka lubang peluru yang tak terhitung banyaknya pada dinding di belakangnya. Bagaikan adegan dalam pertarungan mafia saja.

“Ap-apa-apaan ini...!”

“Sepertinya serangan dari luar. Mungkin untuk memancing Spirit keluar. —Ahh, atau mungkin itu untuk meruntuhkan gedung sekolah, dan dengan demikian menghancurkan tempat di mana sang gadis dapat bersembunyi.”

“Ha..., konyol sekali...!”

" —Tapi tetap saja, ini diluar dugaanku. Mereka memikirkan taktik agresif macam begini.”

Lalu, Shido mengangkat wajahnya.

Tohka memiliki ekspresi yang terlihat sama persis dengan ketika dia berhadapan dengan Shido sebelumnya, menatap keluar jendela yang pecah.

Tanpa perlu dikatakan lagi, peluru tidak berguna melawan Tohka, bahkan pecahan kaca tidak dapat menyentuhnya.

Namun, wajah tersebut terlihat terlihat begitu menderita.

“—Tohka!”

Tanpa sadar, Shido meneriakkan nama itu.

“...”

Sembari tersentak, pandangan Tohka pindah dari luar ke Shido.

Bahkan sekarang, suara tembakan yang melanda terus berbunyi, namun serangan pada ruang kelas 2-4 untuk sementara telah berhenti.

Sembari menyiapkan diri menghadapi serangan, ia membangkitkan tubuhnya. Lalu, Tohka dengan murung merendahkan pandangannya.

“Cepatlah lari, Shidou. Kalau kau ada bersamaku, kau akan terserang sesamamu manusia.”

“...”

Shido terdiam, dan menelan ludah..

Tentu saja, ia harus melarikan diri. Namun—

“Ada dua pilihan. Lari, atau tinggal.”

Ia mendengar suara Kotori. Setelah ragu-ragu sejenak,

“...bagaimana bisa aku melarikan diri, di saat-saat seperti ini...”

“Kau benar-benar idiot.”

“...katakan sesukamu.”

”Itu pujian. —Aku akan memberimu saran bagus. Kalau kau tidak mau mati, tetap berada sedekat mungkin dengan Spirit itu.”

“...oke.”

Membentuk garis lurus dengan bibirnya, Shido duduk di hadapan kaki Tohka.

“Huh—?”

Mata Tohka terbelalak.

“Apa yang kau lakukan? Cepatlah dan—”

“Aku tahu...! Tapi sekarang ini waktunya untuk percakapan kita. Hal semacam itu, jangan khawatirkan. —Kau mau informasi mengenai dunia ini kan? Kalau itu sesuatu yang bisa kujawab, tidak peduli berapa banyakpun pertanyaan yang kau punya akan kujawab semuanya.”

“...!”

Tohka memasang wajah terkejut untuk sejenak, dan kemudian duduk, menghadap Shido.


Bagian 3

“——”

Dengan tubuhnya terselimuti sebuah wiring suit, Origami sedang memegang sebuah gatling gun raksasa dengan kedua tangannya.

Mempersiapkan diri lalu menekan pelatuknya, jumlah peluru yang tak terbayangkan berpencar menghantam bangunan sekolah.

Karena territory-nya sedang terbentang, ia kurang lebih tidak merasakan rekoil yang ditimbulkan, tapi pada dasarnya itu adalah sebuah gatling gun radius lebar yang biasanya dipakai di kapal-kapal tempur. Menghadapi serangan bertubi-tubi dari berbagai arah, bangunan sekolah berangsur-angsur penuh dengan lubang.

Namun—ini bukanlah perlengkapan anti-Spirit yang menggunakan realizer. Senjata ini tidak lebih dari perlengkapan untuk menghancurkan bangunan itu dan memaksa Spirit itu keluar.

”—Bagaimana? Apa Spirit itu sudah keluar?”

Dari intercom di dalam headset-nya, suara Ryouko dapat terdengar.

Ryouko berada tepat di samping Origami—namun di tengah-tengah deru tembakan suara aslinya tidak mungkin terdengar.

“Saya masih belum bisa memastikannya.”

Tanpa menghentikan serangan, ia membalas.

Sambil menembakan senapannya, Origami membuka mata lebar-lebar dan mengamati gedung sekolah yang sedang meruntuh.

Mereka berada pada jarak yang normalnya siapapun tidak mungkin bisa melihat apa-apa, namun Origami saat ini dengan territory yang terbentang dapat membaca kata-kata pada kertas yang tertempel di papan buletin di sisi gedung sekalipun.

Lalu—Origami menyipitkan matanya sedikit.

Kelas 2-4, ruang kelas Origami.

Oleh karena serangan-serangan mereka, dinding luarnya sudah runtuh seluruhnya—ia melihat sosok target, sang Spirit.

Namun—

“...nn? Itu kan—”

Ryouko berkata dengan nada ragu.

Karena, di dalam ruang kelas itu, selain Spirit itu, seorang manusia, kelihatannya seorang remaja lelaki, terdeteksi. —Mungkin seorang murid yang terlambat menyelamatkan diri.

“Si-siapa itu. Apa dia sedang diserang—?”

Sambil mengernyitkan alisnya Ryouko menyuarakan.

Namun, seakan ia tidak mendengarnya, Origami tetap menatap ruang kelas itu.

Ia merasa kalau sosok remaja di sisi Spirit tersebut tidak baginya.

“——!”

Mata Origami terbuka lebar.

Karena bagaimanapun juga—remaja lelaki itu adalah teman sekelas Origami, Itsuka Shido.

“—Origami?”

Dari sampingnya, Ryouko memanggilnya dengan suara kebingungan.

Namun Origami tidak menjawab, begitu saja ia memberikan sebuah perintah dalam pikirannya.

Perintah pada realizer yang menyelimuti tubuhnya, untuk kecepatan tertinggi.

“Apa yang kau lakukan, Origami!?”

“—Itu berbahaya. Hindari bertindak sembarangan seorang diri.”

Seperti yang diduga, mereka menyadari keanehan itu. Transmisi dari Ryouko dan headquarter datang pada waktu yang hampir bersamaan.

Namun Origami tidak dapat dihentikan. Ia segera menjatuhkan gatling gun-nya, mengambil laser blade anti-Spirit jarak dekat <No Pain> dari pinggangnya, dan melesat menuju sekolah.


Bagian 4

Berada di dalam ruang kelas menghadapi hujan peluru, sambil menatap dan berbicara dengan seorang gadis.

...pastinya, ini pertama kalinya ia mendapat pengalaman seperti ini dalam hidupnya.

Mungkin disebabkan kekuatan Tohka, peluru yang tak terhitung jumlahnya, seakan menghindari mereka berdua, menghujamkan diri pada konstruksi sekolah.

Namun meskipun demikian, melihat peluru-peluru melesat di depan matanya bukanlah pengalaman sehari-hari. Ia merasa kalau saja ia bergerak meskipun hanya sedikit ia akan tertembak, karena itulah Shido diam dalam posisi itu saja sambil melanjutkan pembicaraan.

Isi percakapan tersebut bukanlah sesuatu yang spesial.

Tohka menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah sempat dia tanyakan pada siapapun, dan Shido menjawabnya. Hanya bincang-bincang sederhana seperti ini saja sudah cukup agar Tohka tersenyum puas.

Sebenarnya sudah berapa lama kiranya mereka telah berbicara —ketika itulah di dalam telinga Shido, ia mendengar suara Kotori.

“—Angka-angka parameter-nya sudah stabil. Kalau bisa, coba tanyakan pertanyaan juga Shido. Kita benar-benar butuh informasi dari para Spirit.”

Setelah diberitahukan hal ini, Shido berpikir sebentar lalu membuka mulutnya.

“Hey—Tohka.”

“Ada apa?”

“Sebenarnya... kau ini makhluk apa?”

“Mu?”

Pada pertanyaan Shido, Tohka mengernyit.

“—gak tahu."

"Gak tahu? ..."

“Itu kenyataannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa mengenai itu. —Aku tidak tahu berapa lama yang lalu, tapi dulu aku tiba-tiba terlahir disana. Begitulah. Ingatanku samar-samar dan tidak jelas. Aku tidak tahu apa-apa mengenai makhluk macam apa aku ini.”

“Be-begitukah...?”

Shido berkata sambil menggaruk pipinya, dan Tohka mendengus hmpf dan menyilangkan tangannya.

“Begitulah. Aku lalu tiba-tiba terlahir di dunia ini, dan saat itu grup mecha-mecha itu sudah beterbangan di langit.”

“G-grup mecha-mecha...?”

“Orang-orang menyebalkan yang terbang kemana-mana itu.”

Sepertinya ia sedang berbicara tentang AST. Tanpa sadar Shido tersenyum kecut.

Lalu, dari intercom, sebuah suara elektronik ringan seperti suara ketika kau mendapatkan pertanyaan dalam acara kuis berbunyi.

“Ini kesempatanmu, Shido!”

“Huh...? Untuk apa?”

“Meteran mood Spirit itu sudah berada di atas 70. Kalau kau mau bertindak sekaranglah waktunya.”

“Bertindak... apa yang harus kulakukan?”

“Nn, benar. Untuk sekarang... coba saja ajak dia nge-date?”

“Hah...!?”

Mendengar kata-kata Kotori, Shido tanpa sengaja mengencangkan suaranya.

“Nn, kenapa Shidou?”

Untuk merespon suara Shido tadi, Tohka melihat padanya.

“—! Tidak usah pedulikan itu.”

“...”

Meskipun ia sudah buru-buru mencoba menutup-nutupinya, Tohka menatap Shido dengan tatapan penasaran.

“Cepat ajak dia. Toh cara paling baik untuk menambah keintiman adalah dengan berusaha habis-habisan seperti ini.”

“...meskipun kau bilang gitu, saat dia muncul biasanya ada AST itu...”

“Justru karena itulah. Kesempatan berikutnya dia muncul, aku mengandalkanmu untuk melarikan diri dengannya ke dalam sebuah gedung besar. Akuarium atau teater atau department store, yang manapun tidak masalah. Kalau ada fasilitas bawah tanah malah lebih bagus lagi. Kalau kau melakukannya, para AST mungkin tidak akan langsung masuk begitu saja.”

“...M-mm.”

“Kenapa dari tadi kau bisik-bisik. …! Rencana untuk melenyapkanku rupanya?”

“B-bukan, bukan! Kau salah paham!”

Ia buru-buru menghentikan Tohka, yang mana matanya sudah menajam dan bola-bola cahaya muncul di ujung jarinya.

“Kalau begitu beritahu. Apa yang kau katakan?”

“Guh...”

Ia mengerang selagi keringat mengaliri wajahnya, suara yang mendesaknya bergema di telinga kanan Shido.

“Ayolah, cepat lakukan saja. Date! Date!

Pada saat itu para anggota crew di bridge sepertinya juga tergairahkan, dari sisi lain intercom, gemuruh sorakan date dapat terdengar.

Da●te

Da●te

Da●te

“Argh iya aku tahu!”

Shido menyerah dan berteriak.

Kenyataannya, bukannya ia tidak mengerti alasan Kotori, ia tahu kalau memang penting untuk mengatur panggung pertemuan berikutnya... tapi yah, kau tahu lah, ia sedikit malu.

“Hey, Tohka.”

“Nn, ada apa?”

“U-uhm... la-lain kali.”

“Nn?”

“Maukah kau pergi... date denganku?”

Tohka memasang ekspresi hampa.

“Apa itu date?”

“I-itu...”

Entah kenapa ia merasa sangat malu, maka ia memalingkan pandangan dan menggaruk pipinya.

Lalu, pada saat itu, di telinga kanannya, suara Kotori yang sedikit lebih keras dari sebelumnya masuk.

"—Shido! AST sedang bergerak!”

“Huh...!?”

Dengan suara yang mungkin dapat didengar Tohka di depannya, namun Shido tidak peduli dan berteriak.

Dalam sekejap—di luar ruang kelas yang dari tadi mengeluarkan aura berasa terbuka, Origami muncul.

“—!”

Dalam sekejap, emosi Tohka menjadi kelam, dan dia mengulurkan tangannya ke arah sana.

Lalu, tanpa buang waktu, dari mesin yang terkesan kasar di tangannya muncul sebuah pedang cahaya, ketika Origami menyerbu Tohka.

Percikan-percikan bagaikan suasana di toko las berhamburan ke sekitar.

“Ku—”

“—Kasar sekali!”

Tohka berseru, melempar Origami dengan tangannya yang menghentikan pedang cahaya itu.

“...”

Sedikit menggertakkan giginya, Origami terlempar kebelakang. —Namun, dia segera membetulkan posturnya, dan mendarat dengan anggunnya di lantai yang penuh dengan lubang peluru.

“Tch—kau lagi.”

Sembari sedikit menggoyangkan tangannya yang menghentikan pedang tadi, Tohka berkata, bak penuh dengan kebencian.

Origami melirik sekilas Shido, lalu mendesah lega.

Namun dia segera menyiapkan senjata asing itu dan melemparkan pandangan dingin pada Tohka.

“...”

Melihat keadaannya itu, Tohka melirik Shido, lalu menancapkan tumitnya pada lantai di bawah kakinya.

“—<SandalphonRaja Pembantai>!”

Sekejap itu juga, lantai ruang kelas melendung, dan dari situ tiba-tiba membumbung sebuah singgasana.

“Ap...”

“Shido, mundur! Biarkan <Fraxinus> menjemputmu segera. Kalau mungkin cobalah agar kalian berdua pergi bersama-sama!”

Shido berdiri sadar tak sadar, lalu mendengar teriakkan Kotori.

“Meskipun kau bilang begitu...”

Tohka menarik pedang dari belakang singgasana, dan menikamkannya pada Origami.

Deru angin dari satu ayunan tersebut, dengan mudahnya mengangkat tubuh Shido, dan melemparkannya ke luar sekolah.

“Uwahhhhhhh!?”

Nice!

Pada saat yang sama suara Kotori melengking, tubuh Shido terselimuti perasaan tak berbobot.

Selagi merasakan sensasi melayang yang aneh, Shido dipungut kembali oleh <Fraxinus>.


References

  1. Istilah untuk menyebut orang mesum, biasanya yang suka mengintip.
  2. Bagian dalam Komedi Jepang yang intinya berperan untuk mengkritik orang lain. [1]
  3. Z-dimension adalah dimensi ketiga setelah x dan y, ngomong-ngomong percakapan ini mengacu pada ‘wanita dua dimensi’
  4. Mario dari serial video game Nintendo
  5. Slogan Mario.
  6. ’Nobi suruwa’, mungkin mengacu pada kebiasaan Doraemon dalam mengomeli Nobita.
  7. Saat Tohka menyebut nama Shido, namanya ditulis dengan huruf Katakana, dengan demikian untuk penerjemahan kedepannya ‘Shidou’ dipakai jika Tohka yang memanggilnya.
  8. Baka artinya bodoh
  9. Tanggal sepuluh dilafalkan sebagai ‘Tohka’ (十日), sama dengan pelafalan nama yang diberikan Shido (十香)