Boku Wa Tomodachi Ga Sukunai:Jilid1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ilustrasi Berwarna[edit]

  1. REDIRECT Boku wa Tomodachi ga Sukunai:Volume 1 Color Illustrations
  2. REDIRECT Boku wa Tomodachi ga Sukunai:Volume 1 Color Illustrations 2
  3. REDIRECT Boku wa Tomodachi ga Sukunai:Volume 1 Illustrations 3

Prolog[edit]

Aku akan jujur pada kalian, yang berikut ini adalah halusinasi.

Kami Kami semua tiba di pulau tropis selatan.tiba di pulau tropis selatan.

Meskipun ada berbagai macam jenis pulau tropis selatan, pemandangan semacam ini selalu muncul di benak orang-orang: pakaian minim, laut yang indah, kelapa, tarian hula, dan lain-lain. Itu semua adalah hal yang seharusnya ditawarkan oleh surga musim panas pada umumnya. Kami, anggota ‘Klub Tetangga’, sedang menikmati waktu kami di surga ini.

Ketika aku sedang berbaring di kursi pantai menikmati sinar matahari, perhatianku teralih ke arah pantai yang berpasir.

Dua cewek sedang membangun istana pasir dengan riang.

Salah satu cewek yang kelihatannya berumur 10 tahun; dengan mata berwarna biru, rambut perak, dan baju renang sekolah; adalah Maria Takayama.

Seperti yang bisa kalian lihat, dia benar-benar loli. Dia adalah biarawan Sekolah Santo Chronica dan penasehat Klub Tetangga.

Cewek yang sedikit lebih tua yang bersama dengannya, dengan rambut pirang dan mata heterochromatic berwarna merah dan biru, adalah Kobato Hasegawa.

Daripada gaun goth-loli yang biasa dipakainya, hari ini dia memakai pakaian normal.

As if. She's wearing a barely-there bikini.

Kobato adalah adik perempuanku — Kodaka Hasegawa.

“Aniki, Anda mau segelas jus?”

Aku melihat ke samping ke arah orang yang bicara denganku. Orang ini memakai baju renang two-piece bergaya pareo yang imut. Di tangan orang ini ada segelas jus bernuansa tropis dengan hiasan buah. Cowok imut ini punya senyum yang sangat lembut di wajahnya.

“Ah, makasih.”

Aku menerima jus darinya dan mulai meminumnya.

Bersandar di kursi tak jauh dariku adalah seorang cewek yang memakai kacamata. Satu tangannya memegang minuman, yang lain memegang buku yang dia baca.

Cewek ini, dengan rambut ekor kuda dan baju renang one-piece, ditambah jas lab, adalah Rika Shiguma.

Buku di tangannya adalah doujin BL yang menampilkan UC Gundam dan EVA #0.

“Ahaha, rasakan nih~~~♥!”

“Kyaa, ~~~♥!”

Di pinggir laut, dua cewek dengan riang saling mencipratkan air satu sama lain.

Cewek dengan bikini bermotif cantik, mata yang terang, rambut pirang, dan tubuh yang indah adalah Sena Kashiwazaki.

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 Prologue.jpg

Yang menemaninya bermain, dengan mata yang tajam dan rambut hitam, adalah Yozora Mikadzuki.

Baju renang Yozora, bagaimana aku harus menjelaskannya... Sama sekali nggak ada hubungannya dengan kata seksi, indah, atau bahkan moe. Seluruh tubuhnya, dari leher sampai ujung kaki, dibalut baju renang bermotif strip hitam putih.

Pemandangan dua cewek imut bermain dan tertawa bersama – Bagaikan sebuah lukisan di atas kanvas! Hanya melihatnya sudah cukup untuk membuat jantungmu berdebar kencang.

...Meski beberapa hal tampak keliru, kami terlihat seperti riajuu (orang-orang yang menikmati hidup sepenuhnya.)

Benar-benar kehidupan yang indah.[1]

Benar-benar kehidupan yang fantastis.

“Ahaha... Benar-benar kehidupan yang fantastis.… Aku bahagia sekali, ahaha... Semua anggota Klub Tetangga saling membaur satu sama lain... Ahahahaha...”


Tapi seperti yang kubilang sebelumnya, ini hanya halusinasi.


“-npai. Bangun, Senpai... nih”.

“BZZBZZBZZ”

“~~~~~~~~~!?”

Sebuah hentakan listrik mengalir ke tubuhku, dan kesadaranku yang kabur dikejutkan kembali ke dunia nyata.

Ngomong-ngomong, ‘sebuah hentakan listrik’ bukanlah metafora; Aku benar-benar disengat taser.

Dan pelaku yang membangunkanku dengan sengatan listrik sedang duduk di sebelahku.

“Fufufu... kamu mau kabur sendirian. Itu licik sekali Kodaka-senpai.”

Kata Rika Shiguma, dihiasi dengan sedikit senyum kemarahan. Dia adalah cewek berkacamata dengan jas lab yang menutupi seragam sekolahnya.

“Aku mendapat penglihatan yang bahagia...”

Jawabku dengan tatapan jauh.

“Penglihatan seperti apa?”

“Yozora dan Sena lagi main bareng dengan gembira.”

“Benar-benar pemandangan yang tidak ilmiah.”

“Ga se-tidak-ilmiah itu kok...”

Tapi kalian tahu, aku bisa mengerti kenapa Rika bilang begitu.

Nggak mungkin dua orang itu bisa bermain bersama dengan akrab.

Sebagai contoh, sekarang-

“Bukankah sekarang keadaannya jadi lebih sulit? Kamu mungkin mau menyerah sekarang; ini buat kebaikanmu sendiri, Daging...”

Kata cewek berambut hitam – Yozora Mikadzuki, dengan mata yang merah.

“Fufufu... Mestinya kamu yang menyerah, ya kan? Kamu udah tersedak-sedak tuh.”

Cewek berambut pirang – Sena Kashiwazaki – terlihat sama gembiranya dengan Yozora. Senyum sinting muncul di kedua wajah mereka.

Tiba-tiba, mereka berdua menusukkan sumpit mereka ke dalam nabe yang bergelembung, secara serentak menyambar “benda” hitam keluar dari pot. Dengan segera mereka memasukkan “benda” itu ke dalam mulut mereka.

“Ugh...”

“Guh...”

Kelihatannya mereka berdua sukses menghindarinya; mereka berteriak dengan suara seperti mereka berada di ambang kematian,

“Ga, gah, agah, pedas banget , gahhhh!”

Yozora mencengkeram tenggorokannya dengan ekspresi kesakitan.

“Uuh... Uuuuuuh... Manis... Eh, bukan... Mulutku terasa berlendir banget... Tenggorokanku, rasanya seperti membusuk... Menjijikannnn...”

Mata Sena berubah menjadi putih, dan air mata mulai turun ke wajahnya bagaikan air terjun.

...Di dunia nyata, kami seperti berada di neraka.


Sebelum peristiwa ini terjadi, kami sedang berada di ruangan kecil bernuansa barat yang dipenuhi dengan perabotan yang cantik.

Kami bertujuh sedang duduk-duduk mengelilingi meja bulat kecil di tengah ruangan.

Di tengah meja terdapat sebuah panci. Sebuah panci yang isinya berwarna hitam dan bergelembung, meskipun nggak ada api di bawahnya.

Di sebelah kananku ada Rika, dan di sebelah kiriku ada loli berambut perak dan gothic loli berambut pirang. Dua cewek ini sudah jatuh pingsan di lantai.

Yang berambut perak adalah Maria Takayama, dan yang berambut pirang adalah Kobato Hasegawa.

“Onii-chan... Onii-chan... Setan, setan ada di sini...”

“An-chan, kembali, kamu gak bisa membunuhnya...” [2]

Ada ekspresi kesakitan yang aneh di kedua wajah mereka dan mereka menggumam pada diri sendiri, seakan-akan mereka sedang mengalami mimpi buruk.

Yang duduk di sebelah Rika adalah Yozora.

Yang duduk di antara Kobato dan Maria-sensei adalah Sena.

Dan kemudian, terjepit diantara Yozora dan Sena, adalah cowok imut yang mengenakan seragam pelayan perempuan, Yukimura Kusunoki.

Yukimura menggerakkan sumpitnya maju mundur dari panci ke mulutnya secara sistematis dan tanpa bersuara.

Meski gerakannya masih belum berhenti, sumpitnya sudah tidak lagi menggenggam makanan dari panci.

Mata Yukimura sudah kehilangan kemampuan fokusnya―dia sudah mati.

“Yukimara... Kamu juga sudah meninggal...”

</gallery> </gallery>

“Nih Kodaka, kamu juga harus makan...”

“Fufufu... Buruan makan. Ini adalah waktunya untuk pertarungan penentuan...”

Kata Yozora dan Sena padaku, dengan kegilaan di mata mereka.

“Uhh...”

Jadi aku, dengan tampang kekalahan, menaruh ujung sumpitku ke dalam panci yang bergelembung.

Isi dari dalam panci mengeluarkan aroma manis, atau bau, atau bahkan asam. Aromanya cukup kuat untuk membuat kulitku mengejang, mataku berair, dan hidungku gatal. Secara keseluruhan, panci itu mengeluarkan bau yang sangat kuat hingga membuatku merasa tersiksa.

“...Hei, kamu yakin kalau gak ada racun yang ditambahkan ke sini...?”

“Secara teori ya, Kodaka-senpai... Tes racun milik Rika mampu mendeteksi semua racun karena tes-nya sempurna, jadi...”

Rika menjawab dengan tidak yakin.

Jadi, apa yang sebenarnya kami lakukan? Kami sedang mencoba mengadakan pesta yaminabe [TL comment: black hotpot ; hotpot hitam/gelap]


Ide ini muncul beberapa hari yang lalu.

Sena bilang kalau dia ingin mengadakan pesta nabe dengan teman-teman galgame-nya. Kebetulan Yozora melihat layar game itu dan berkomentar, “makan nabe bersama-sama memang terdengar seperti hal yang dilakukan oleh sekumpulan teman.“

Sena dan aku setuju.

Jadi Yozora mengusulkan,

“Supaya kita tidak mengacaukan pesta nabe ketika kita sudah punya teman nanti, kita harus berlatih mengadakan pesta nabe disini.”

‘Menikmati hidangan nabe seusai sekolah.’ Itu merupakan usul yang sangat sederhana hingga membuat kami semua tertarik dengannya, jadi kami semua setuju untuk melakukannya.

Meskipun peraturan sekolah melarang menyalakan api selain di ruang memasak, Rika menciptakan panci yang bisa memasak tanpa api, jadi masalah itu selesai.

Waktu kami sedang mendiskusikan nabe macam apa yang akan kami buat, Sena berkata, “yaminabe aja.”

Tampaknya dia memilih itu karena di salah satu galgame terdapat adegan dimana semuanya berkumpul dalam pesta yaminabe. Mereka terlihat gembira sekali memakan nabe-nya bersama-sama.

Ketika mendengarnya, entah kenapa kami semua berpikir, ‘itu ide yang bagus...’

Setelah menentukan jenisnya, kami juga memutuskan kalau akulah, sebagai satu-satunya orang yang tahu caranya memasak, yang akan menyiapkan supnya.

Jadi, akhir pekan lalu, aku mulai menyiapkan sup hitam untuk yaminabe-nya.

Aku baru tahu kemudian kalau kami tampaknya salah mengartikan apa itu yaminabe―kata hitam/gelap mengacu pada cahaya lampu yang diredupkan ketika kita hendak memasukkan makanan ke dalam panci, bukan warna dari supnya.

Tapi, aku menggunakan cumi dan wijen hitam sebagai bahan utama sup. Kemudian aku menambahkan seafood lainnya untuk membuat supnya agak pedas. Bagaimanapun juga, hasil akhirnya adalah sup hitam yang lezat untuk yaminabe yang lezat.

Jadi, hari Senin esoknya di awal pesta nabe, aku menuangkan supku ke dalam panci Rika, meredupkan cahaya di dalam ruangan dan membiarkan yang lain memasukkan bahan-bahan mereka. Akhirnya, pesta nabe dimulai.

...Dan disinilah kita sekarang.

Sup yang kusiapkan dengan susah payah dan hati-hati sekarang mengeluarkan bau yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Meskipun warnanya masih tetap hitam-pekat, aku merasa sup itu sudah menjadi sesuatu yang atributnya mirip dengan lumpur.

Aku sudah bilang ke mereka supaya hanya memasukkan bahan-bahan yang bisa dimakan, dan gak perlu dibilang lagi kalau semua jenis racun dilarang. Tapi bagaimana ini bisa terjadi? Ini terasa sangat nyata sampai membuatku berhalusinasi.

Sampai pada saat dimana mereka memasukkan makanan mereka, semuanya terlihat senang. Namun ketika sup seafood yang tadinya beraroma lezat berubah menjadi menjijikan, senyum di wajah kami semua menghilang.

Setiap kali kami mencoba mengambil makanan dari dalam panci, suasana di dalam ruangan menjadi agak muram.

Maria-sensei dan Kobato pingsan dalam sepuluh menit pertama.

Yang sangat terpengaruh adalah Yozora dan Sena-

“Ini semua gara-gara kamu, makan nabe benar-benar ide yang tolol!”

“Ini salahmu, kamu yang mengusulkan pesta nabe!”

“Bahan yang paling buruk itu ikan herring dalam kaleng punyamu!”

“Itu semacam sarden, jadi rasanya gak mungkin gak enak! Mangga dan stroberimu jauh lebih buruk!”

...Seperti itulah, mereka mencoba menyalahkan satu sama lain.

Di tengah-tengah argumen, sebuah peraturan gak masuk akal ‘yang masih bertahan sampai akhir adalah pemenangnya’ pun ditetapkan.

Karena peraturan itulah, Yukimura mati.

Untungnya bagiku, semua makanan yang kuambil adalah makanan normal seperti bakso dan taro[3] (kubeli sendiri), jadi aku masih bisa bertahan hidup sampai sekarang. Tapi itu gak mengubah fakta kalau bau busuk telah mengubah ruangan ini menjadi neraka.

Rika, yang kemampuan indera perasanya menjadi sedikit menurun, bisa dibilang beruntung dan bisa juga dibilang sial. Dari matanya saja sudah jelas kalau dia sudah gak sanggup melanjutkan lagi.

Rika dan aku mengulurkan sumpit kami dan masing-masing mengambil sesuatu dari dalam materi gelap itu. Kami menahan napas dan menelannya.

...Meskipun supnya terasa seperti kotoran, makanannya masih bisa dimakan...Tapi...Tapi...Tapi apa yang barusan kumakan tadi... Kalau dinilai dari teksturnya... Apa tadi itu brokoli?

Di sisi lain, tampaknya Rika mendapat jackpot.

“...Berdasarkan ingatanku, benda yang rasanya mendekati apa yang kumakan ini adalah... Methylethanolamine.”

Tepat setelah suaranya berhenti, Rika pun berhenti bergerak.

“...Bahkan kamu pun...”

Sialan, akhirnya sekarang aku mengerti―pesta yaminabe hanya terasa menyenangkan kalau dilakukan dengan teman betulan.

Ini bukan untuk orang-orang yang masih jauh dari tahap memanggil satu sama lain ‘teman’.

Dan untuk memperburuk keadaan, semua anggota idiot kami membawa seporsi bahan-bahan seperti permen lunak dan buah-buahan―benda-benda yang akan membuatmu menyesal nantinya.

Kenapa saat itu aku berpikir kalau ini akan jadi menarik?

Aku benar-benar menyesalinya.

“Berikutnya...”

“Aku tahu...”

Sena dan Yozora yang basah kuyup karena keringat saling menatap tajam satu sama lain dengan senyum yang menyedihkan.

Aku juga mengulurkan sumpitku dalam kekalahan, dan secara serempak kami bertiga mengambil sesuatu keluar dari dalam pot.

Bersama-sama, kami menjejalkan makanan tadi ke dalam mulut kami dan mengunyahnya dengan paksa-

“…………Oh…… Oh…… Oehhhhhhhhhhh.”


“Uwaa?!”

Sena terjatuh ke belakang!

Di momen singkat itu, senyum egois kemenangan muncul di wajah Yozora... Kemudian wajahnya tiba-tiba menjadi pucat-

“…Uh……… Ogehh……”

-Dan dia mulai muntah.

Mata Sena dan mata Yozora kehilangan kemampuan fokusnya dan mereka jatuh pingsan.

“Uwah, hei, kalian gapapa?”

Sebagai catatan, peristiwa ini kembali menguatkan keyakinanku bahwa ada sesuatu yang salah dengan otak mereka.

...Ugh... Bahkan muntahan mereka berwarna hitam... Menjijikan banget...

Rasanya aku juga mau muntah, jadi aku cepat-cepat membuka semua jendela untuk menukar udara. Aku menghirup udara luar dalam-dalam.

Dan kemudian, untuk membersihkan muntahannya, aku pergi keluar untuk mengambil kain pel.

Apa jadinya kalau... Jujur aku lebih khawatir dengan muntahan di karpet ketimbang orang-orang ini.

Ini adalah salah satu ruangan di kapel Sekolah Santo Chronica―”Ruang Pertemuan #4.”

Untuk sekarang ruangan ini berubah menjadi neraka yang dipenuhi dengan mayat. Ini adalah ruang kegiatan Klub Tetangga.

Klub Tetangga―meskipun di atas kertas klub kami mempunyai banyak kegiatan yang beragam dan menarik, kenyataannya sebagian besar kegiatan tersebut hanyalah kegiatan simpel dan dilakukan tanpa pedoman. Setiap anggota klub hanya menghabiskan waktu mereka dengan ngobrol, bermain game, membuat game, menulis novel, menggambar manga, berlatih instrumen musik, berakting, melakukan stand up komedi, melakukan Shinken Zemi[4] menyiapkan ‘topik ngobrol yang tidak diketahui’, dan akhirnya makan yaminabe.

...Bahkan setelah mendengarkan daftar kegiatan klub, kemungkinan besar kalian nggak bisa memahami apa tujuan dari klub ini.

Tujuan dari klub ini, terus terang saja, adalah untuk ‘mencari teman’.


Ini adalah kegiatan klub yang menyedihkan yang dilakukan oleh sekumpulan orang-orang yang menyedihkan―dan dengan dua heroine yang saling muntah dalam 10 halaman pertama buku ini, sebuah cerita kehidupan sehari-hari yang sangat menyedihkan pun dimulai...



Kodaka Hasegawa[edit]

Aku sedang membaca buku di perpustakaan; sebelum kusadari, matahari sudah terbenam di ufuk barat.

Sudah waktunya pulang. Aku berjalan keluar dari perpustakaan, dan aku teringat kalau seragam olahraga ku tertinggal di kelas, jadi aku berjalan ke sana.

Karena kebanyakan murid sudah pulang atau sedang melakukan aktivitas klub, hanya sedikit murid yang terlihat di lorong sekolah.

Aku berjalan sendirian melewati lorong yang disinari cahaya matahari terbenam.

Ketika aku sampai di pintu kelas 2-5, kelasku, kudengar suara tawa dari dalam ruangan.

“Haha, berhenti bergurau denganku, itu tidak benar.”

...Sepertinya masih ada orang di dalam kelas.

Suara itu suara perempuan.

Suaranya sangat merdu.

Nada nya tidak terlalu tinggi tapi tidak terlalu rendah pula- suaranya mengalir ke telingaku dan merembes ke otakku, dimana suara itu perlahan-lahan menyebar; memberiku perasaan yang mengagumkan.

Tapi aku tidak ingat pernah mendengar suara ini sebelumnya.

Meski baru sebulan sejak aku pindah sekolah ke sini, harusnya aku sudah pernah mendengar suara semua teman sekelasku. Tidak mungkin aku melupakan pemilik dari suara seindah ini.

Hal lain yang kusadari adalah hanya satu suara yang bisa kudengar.

Mungkin dia sedang menelpon seseorang.

Kupikir kalau aku masuk ke kelas ketika dia sedang menelpon, dia tidak akan terlalu kaget kan?

Tapi, sepertinya lebih baik kalau aku tidak mengagetkan dia.

Aku ingin menghindari situasi semacam itu.

Jadi apa yang mesti kulakukan sekarang... apa harus kutunggu sampai dia selesai dan meninggalkan kelas?

Tidak, tunggu dulu. Niatku kan tidak jahat. Bukannya aku bisa masuk ke kelas seperti orang biasa dan mengambil barang-barangku? Bukannya itu lebih baik?

Di dalam kelas ada seorang murid perempuan.

Dia duduk di ambang jendela yang terbuka. Kakinya yang cantik, disinari cahaya merah kekuningan oleh matahari terbenam, teruntai di dinding. Dia sedang mengobrol dengan riang.

Ketika angin sepoi bertiup, terlihat kilai kebiruan dari rambutnya yang tergerai lembut.

Dia tidak tinggi tapi juga tidak pendek, dan dia memiliki tubuh yang langsing.

Dia bahkan sangat manis- bisa dibilang, dialah yang disebut oleh orang-orang normal sebagai ‘bishoujo’ [5].

Seingatku namanya adalah Yozora Mikadzuki.

Biasanya aku sangat payah dalam mengingat nama dan wajah seseorang. Selain murid laki-laki, aku cuma bisa mengingat sedikit nama perempuan di kelasku; meski demikian, aku tahu sekilas tentang dirinya.

Dia salah satu teman sekelasku di kelas 2-5.

Yozora Mikadzuki, siswi Sekolah Santo Chronica kelas 2-5 tahun kedua... meskipun itu yang kuingat, sekarang aku jadi heran.

“Ahaha, kan sudah kubilang sebelumnya, itu tidak benar. Oh kamu tau guru itu...”

Sejauh ingatanku, aku tidak pernah melihat dia ngobrol dengan normal layaknya siswi SMA.

Mikadzuki selalu memasang wajah cemberut. Selalu ada aura kekesalan menyelimuti dirinya. Saat jam istirahat, aku tidak pernah melihatnya pergi kemana-mana atau nongkrong dengan yang lain.

Di kelas Bahasa Inggris, kadang ada latihan dialog dengan murid lain. Dia hanya akan duduk di kursinya dan menatap keluar jendela. Kelihatannya dia sudah seperti itu sejak tahun pertama, jadi guru Bahasa Inggris pun sudah menyerah dengan kelakuannya sejak lama.

Selain itu, ketika dia diminta untuk menjawab pertanyaan di mata pelajaran lain, dia selalu menjawab dengan tepat namun dengan suara yang sangat muram, tidak seperti suara ceria yang barusan kudengar. (Kelihatannya dia murid yang rajin; Aku tidak pernah melihatnya memberikan jawaban yang salah).

“Eeh? Serius? Ahaa, itu sangat menyenangkan...”

Tanpa wajah cemberut dan sikapnya yang dingin, Mikadzuki tertawa seperti orang yang berbeda. Dia...benar-benar manis.

...Apa dia benar-benar Yozora Mikadzuki?

Dengan sangat serius aku merenungkan hal tersebut.

Baru kemudian aku menyadari hal yang lebih aneh.

...Dia tidak sedang memegang telepon genggam.

Tidak ada orang lain di kelas selain dirinya, dan aku tidak mendengar suara lain selain miliknya.

Dia sedang menatap ruang kosong dan mengobrol dengan riang seolah-olah ada orang di sana.

Sendirian di kelas yang disinari cahaya matahari terbenam, seorang bishoujo sedang berbicara dengan makhluk tak terlihat.

...Anehnya, intro dari novel yang barusan kubaca di perpustakaan kurang lebih seperti itu juga.

Rupanya ini yang sedang terjadi ya?

Tidak sengaja aku mengetahui rahasianya, dan terpaksa ambil bagian dalam pertempurannya dengan hantu dan monster dan segala hal yang ‘tidak-seharusnya-ada-di-dunia-ini’. Dengan keberhasilanku dan si bishoujo bertahan hidup melewati banyak pertarungan dan kesulitan, kami pun saling jatuh cinta. Apa aku ditakdirkan untuk mengalami cerita se-klise ini?

Tapi kalau kupikir lagi, skenario seperti itu tidak mungkin terjadi. Di kepalaku masih tersisa ilustrasi dari novel yang barusan kubaca, itu saja. Hanya karena kehidupan sekolahku sangat datar, tanpa sadar aku jadi membayangkan cerita supernatural macam itu.

Bagaimanapun juga, aku mulai merasa risih.

Tanpa kusadari, aku memutar gagang pintu kelas-

Garagara [6]

Pintu terbuka perlahan.

“Ngomong-ngomong, waktu Tomo-chan bilang-”

Aku melakukan kontak mata dengan Yozora Mikadzuki.

Untuk sesaat dia terlihat kehilangan kata-kata. Namun dengan cepat dia kembali ke dirinya yang biasa dengan ekspresi kesal...dan pipinya merona dengan warna yang lebih merah daripada cahaya matahari terbenam.

Ini sangat gawat.

Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah bersikap seolah tidak melihat apa-apa, bilang kalau ada barangku yang tertinggal, ambil- terus keluar dari sini secepatnya.

Tapi karena kebetulan yang tidak menyenangkan, mejaku berada tepat di depan mejanya.

Tidak ada cara lain, aku harus mendekatinya. Aku tersenyum lemah kepadanya sambil berjalan dengan hati-hati ke arahnya (secara teknis aku berjalan ke mejaku).

Saat itu juga terlihat raut ketakutan di wajah Mikadzuki.

“...Kamu kaya elang yang nemuin mangsa sambil menjilat lidah saking senangnya...!”


Tanpa basa-basi, dan seperti yang kuduga, matanya membelalak ke arahku.

Dia jadi sangat waspada dengan kehadiranku disini.

“Ah, itu...”

Kalau aku mendekatinya sekarang tanpa mengatakan apa-apa, dia akan terus bersikap seperti itu. Sepertinya aku harus buka mulut dan mengatakan sesuatu.

“...Apa?”

Sambil tetap membelalak dia bertanya padaku. Suaranya berubah 180 derajat dibandingkan dengan beberapa saat lalu. Suaranya sangat rendah, tampaknya dia memang benar-benar ingin menunjukkan sikap tak bersahabat.

“...Itu...”

Sayangnya aku bukan polisi atau negosiator. Malah dari dulu aku jarang bersosialisasi. Aku tidak tahu topik macam apa yang harus kugunakan di situasi semacam ini.

“Kamu, kamu bisa lihat hantu atau semacamnya?”

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp1.jpg

...Toh aku mesti mengatakan sesuatu. Jadi kukatakan saja.

Mikadzuki merespon dengan mengatakan “Apa?” Dia menatapku dengan pandangan seolah-olah aku idiot.

“Memangnya ada hantu di sini?”

“Engga, tapi barusan aku lihat kamu lagi ngobrol dengan sesuatu...”

Dalam satu sambaran, wajah Mikadzuki langsung menjadi merah padam.

“Jadi kamu melihatnya...”

Setelah mengerang kesal, dia memalingkan wajahnya kembali ke arahku dan menatap langsung wajahku. Dengan sikap tegap dan bangga dia mengatakan,

“Aku cuma sedang ngobrol dengan temanku. Dengan teman 'udara' ku!”

...?

Butuh hampir setengah menit untuk mencerna maksud ucapannya.

Dan akhirnya aku mengerti – dia baru saja mengatakan hal yang tidak akan pernah bisa kupahami sepanjang hidupku.

“...Teman udara?”

Sambil memasang wajah cemberut, Mikadzuki mengangguk dengan jengkel.

“Apaan tuh?”

“...Teman udara itu artinya ya teman udara! ‘Air friend’! Kamu pernah dengar tentang ‘Air guitar’? Itu sama aja kaya air friend, cuma bedanya ini versi ‘teman’!”.

“...Hmm...”

Kutaruh telapak tangan di dahi untuk memberiku kesempatan berpikir sejenak.

“Jadi maksudnya kamu punya teman khayalan dan kamu lagi ngobrol sama dia? Jadi kenapa-”

“Bukan khayalan. Tomo-chan itu benar-benar ada! Lihat, dia ada di sini.”

Dan tentu saja, aku tidak melihat siapa-siapa di tempat yang dia tunjuk.

“Ngobrol dengan Tomo-chan selalu menyenangkan. Aku selalu lupa waktu. Punya teman itu asyik banget...”

Mikadzuki mengatakannya dengan sungguh-sungguh; dia bahkan sedikit tersipu ketika mengatakannya.

“Kami sedang ngobrol tentang waktu kami pergi ke taman bermain ketika SMP, dan beberapa cowok menggoda kami, dan bagaimana kami bertemu dengan guru baru yang keren – itu settingnya.”

“Setting! Barusan kamu bilang setting!”

“Aku tidak pernah mengatakannya! Kejadian itu benar-benar pernah terjadi.”

“...Jadi bagian mana dari ceritamu yang benar-benar terjadi?”

“Ketika SMP.”

“Artinya ceritamu 100% rekayasa kan?! Seenggaknya bagian ‘pergi ke taman bermain’ harusnya betulan terjadi....!”

“Apa serunya pergi ke taman bemain sendirian?”

“Jadi kamu mengakui kalau kamu pergi ke sana sendirian.”

“Ah, yang itu ga dihitung. Soalnya Tomo-chan sangat manis. Kalau kami berdua pergi ke taman bermain, kami pasti bakal digangguin cowok brengsek. Makanya kami cuma pergi ke taman bermain dalam pikiranku.”

“Kamu baru aja bilang kalau teman udaramu pergi ke taman bermain dalam pikiranmu...”

...Dia sudah gila...kalau tidak ditolong secepatnya...

“...Apa maksudnya ekspresi wajahmu itu?”

Mikadzuki menatap wajahku.

“Engga, itu...”

Aku melangkah mundur dengan cepat.

“...Kalau kamu ingin punya teman ngobrol, kenapa kamu ga mencari teman?...Maksudku teman betulan, bukan teman udara...”

Aku tidak ingin basa-basi dan langsung mengangkat permasalahan utamanya.

Tapi Mikadzuki mendengus mendengar saranku.

“Huh, lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.”

Waah.

Karena dia sangat blak-blakan tentang hal ini, aku jadi kehabisan kata-kata.

Dan kemudian Mikadzuki menatapku lebih tajam.

“Hei, kalau kuperhatikan lebih dekat, bukannya kamu murid pindahan yang selalu sendirian di kelas?”

Kamu baru sadar dengan siapa kamu bicara sekarang?!

“Kamu ga pantas menceramahiku soal mencari teman, murid pindahan.”

“...Sudah sebulan sejak aku pindah ke sini. Berhenti memanggilku murid pindahan.”

Mikadzuki terdiam setelah mendengar komplain dariku.

“... Namamu?”

Dia bahkan tidak tahu namaku. Sial.

“...Kodaka Hasegawa.”

Dengan sedih kuberitahukan namaku.

“Kodaka, ya?...Huh. Kamu ga berada di posisi buat menceramahiku soal mencari teman, Kodaka.”

“Kamu memanggilku dengan nama depan?...”

“Hah? Memang kenapa?”

Mikadzuki kelihatannya tidak terlalu perduli.

“...Gapapa”

Teman-teman di sekolahku sebelumnya lah yang terakhir kali memanggilku Kodaka . Sudah lama aku tidak dipaggil dengan nama itu oleh teman sebayaku. Aku merasa sedikit senang.

Sementara itu, Mikadzuki kembali bicara. Sekarang dengan wajah iba.

“...Sudah sebulan dan kamu masih belum punya teman. Kodaka pasti sangat kesepian.”

“Aku gak mau mendengarnya dari orang yang punya teman udara.”

Mikadzuki menggeram perlahan.

“Kamu menghina Tomo-chan ya? Tomo-chan itu cantik, pintar, atletis, ramah, suka bergaul, pendengar yang baik, dan...dia tidak akan pernah mengkhianatiku.”

Bisa kulihat dia mengucapkan bagian akhir kalimatnya dengan sedikit emosional.

“Teman udara itu menyenangkan, bagaimana kalau kamu membuatnya juga?”

“Tidak, terima kasih. Aku rasa aku akan melangkah keluar dari dunia manusia kalau aku sampai melakukannya.”

“Caramu mengatakannya, seolah-olah aku sudah bukan manusia.”

Diam-diam kualihkan pandanganku dari Mikadzuki.

Wajah Mikadzuki kembali merona merah, kemudian dia menggumam

“...Aku tahu. Aku lari dari kenyataan, aku tahu itu. Tapi aku ga tahu harus bagaimana lagi; Aku ga tahu caranya berteman...”

Katanya sambil merajuk.

Tidak tahu caranya berteman- aku sendiri merasakan hal yang sama, jadi aku tetap diam.

“...Apa yang mesti kita lakukan supaya punya...teman.”

Gumamku sambil menghela napas.

Mikadzuki menghela napas juga..

“...Jadi Kodaka, kamu juga tidak punya teman di sekolah sebelumnya?”

Aku menggelengkan kepala.

“Aku punya.”

“Hah?”

Kelihatannya dia tidak percaya.

“Sungguh. Kebetulan aku duduk di sebelah anak yang gaul. Dia populer banget, jadi wajar kalau aku jadi bagian dari grupnya. Dan kita selalu main bareng.”

“Fuhuh...apa kamu masih berhubungan dengan teman-teman itu setelah pindah sekolah?”

“...”

Pandanganku melayang jauh.

“...Di hari terakhirku disana, kami semua pergi ke restoran untuk mengadakan pesta perpisahan. Waktu itu mereka semua seperti ‘kalau kamu mampir ke sini, jangan lupa kasih tahu kita’ atau ‘kirimi kami pesan ya’...mereka semua bilang hal-hal kaya gitu.”

“Dengan kata lain, setelah kamu pindah, kamu dibuang sama mereka.”

Mikadzuki mengatakan faktanya tanpa ragu-ragu.

“...Mungkin kamu bisa bilang kalau mereka temanmu, tapi kayanya itu cuma anggapan Kodaka saja.”

Dia terus menamparku dengan perkataannya. Aku menjadi sedih.

“...Ngomong-ngomong, waktu bon-nya diantar, kami bayar sendiri-sendiri; mereka bahkan tidak mentraktirku di pesta perpisahanku.”

Bahkan Mikadzuki tampak iba padaku.

Jadi aku mengatakan,

“Tapi apa yang terjadi di masa lalu tidak penting; yang penting adalah sekarang dan masa depan!”

“...Jadi bagaimana?”

“...Jadi...”

“...”

“...”

Hening lagi.

“...Bagaimana kalau kita minta yang lain menjadi teman kita, seperti orang normal?”

Sebagai respon, Mikadzuki mendengus lagi mendengar saranku.

“Hal semacam itu cuma ada di TV, aku bahkan tidak tahu kenapa. Apa orang lain dengan ajaib menjadi teman kita hanya karena mereka menerima permintaan kita? Meskipun kita orang asing bagi mereka? Terus apa yang terjadi setelah kita berteman, apa kita tetap bisa menjadi teman meski tidak punya bahan obrolan yang sama-sama kita suka?”

“...Yah, aku setuju denganmu.”

“Betul kan? Oh iya.”

Mikadzuki menepukkan tangan.

“Kamu punya ide?”

“Iya.”

Dia mengangguk dengan percaya diri.

“Bagaimana kalau kita membayar mereka untuk menjadi teman? Barang fisik jauh lebih memikat dibanding sekedar persetujuan lisan.”

“Itu terlalu menyedihkan!”

“Teruslah didekatku ketika di sekolah dengan bayaran 1000 yen, termasuk makanan dan minuman.’ Bagaimana?”

“Kontrak cinta... eh bukan, Kontrak pertemanan?!”

“Kamu cepat tanggap. Lucu kan? Ya, seperti sebuah kontrak.“

Tapi Mikadzuki terlihat tidak tertarik dengan idenya sama sekali. Dia mengatakan,

“...Kalau uang tidak mempan, bagaimana dengan game?”

“Game?”

“Kalau kamu punya video game terbaru di rumahmu, mungkin kamu bisa menarik perhatian yang lain supaya menjadi temanmu. Kamu juga butuh VirtualBoy dan NeoGeo.”

“VirtualBoy dan NeoGeo? Apaan tuh?”

Aku tidak familiar dengan istilah asing ini.

“Aku cuma nyebutin beberapa nama konsol game yang aku tahu. ‘Virtual‘ dan ‘Neo’, kalau kamu mendengar istilah ini kamu jadi bersemangat kan?’”

“Namanya bagus juga sih, tapi... Aku belum pernah dengar. Perduli setan. Lagian juga cuma bocah SD yang tertarik dengan game, ya kan?”

“...Kupikir begitu.”

Mikadzuki terlihat kesal, kemudian berkata,

“...Tapi sebenarnya aku ga butuh teman kok.”

“Apa?”

“...Aku ga merasa sedih meski ga punya teman. Hanya saja, aku gak mau dipandang rendah sama anak-anak lain yang bilang ‘Anak itu ga punya teman, kasihan sekali.’”

“Oh, begitu.”

Masyarakat menyimpulkan kalau ‘punya teman = hal yang baik’ adalah hal yang benar, karena itu mereka menganggap kebalikannya ‘tidak punya teman = hal yang buruk’ juga benar.

Tapi aku merasa ada yang salah dengan pemikiran semacam itu.

“Aku tidak keberatan kalau selalu sendirian. Di sekolah, aku cukup bicara dengan yang lain kalau aku punya keperluan.”

Cara dia mengatakannya, memberiku firasat kalau dia bersikap keras kepala tanpa alasan yang jelas.

“Setidaknya itu lebih baik daripada menjalin persahabatan semu.”

Dia melanjutkan dengan nada mengejek.

“Semua orang seperti itu kan? Kamu pikir ada berapa orang di dunia ini yang saling terikat, bukan oleh persahabatan yang dangkal, melainkan dengan persahabatan sesungguhnya yang tulus?”

“...”

Aku, yang kehilangan kontak dengan teman-temanku hanya karena pindah sekolah, tidak bisa menyangkal perkataannya.

“...Meski begitu, aku tetap ingin punya teman.”

“Fuuhuh”

Aku bersikeras, namun Mikadzuki memberiku respon dengan sangat ramah.

“...Jadi menurutmu apa yang harus kamu lakukan? Cara cepat supaya punya teman.”

“Eh, aku?”

Aku berpikir dalam diam, dan dengan ragu-ragu aku menjawab,

“...Bagaimana kalau kita ikut klub?”

“Klub?”

“Kalau kita menjalani aktivitas bersama anggota lain, kita pasti bisa menemukan ketertarikan yang sama. Mengenal lebih dekat satu sama lain lewat aktivitas klub kedengarannya tidak buruk.”

Aku pikir ideku cukup bagus dan realistis.

Mikadzuki sendiri, karena dia selalu sendirian di sini seusai sekolah, kemungkinan besar juga tidak ikut klub apapun.

“Ditolak.”

Mikadzuki menjadi kesal dan menolak usulku.

“Kenapa?”

“Itu memalukan.”

“.........Hei!”

Aku menatapnya; dia menatap balik dan melanjutkan,

“Coba pikir, ini sudah bulan Juni di tahun kedua kita. Kebanyakan klub sudah punya hubungan internal yang kuat. Apa kamu ga malu kalau tiba-tiba datang dan minta bergabung?”

“Ada benarnya sih.”

“Iya kan?”

Entah kenapa Mikadzuki terlihat senang.

“Meski begitu, aku ga akan bisa punya teman kalau aku ga mencobanya.”

Kataku.

“Jadi apa kamu punya keahlian khusus Kodaka?...... Keahlian apapun yang sudah kamu asah sejak tahun pertama, dimana tidak ada orang lain yang bisa mengalahkanmu?”

Tiba-tiba Mikadzuki bertanya.

Aku berpikir sejenak.

“...Tidak, aku tidak punya.”

Dengan samar-samar aku menjawab. Senyum kecil muncul di wajah cemberut Mikadzuki.

“Kalau kamu bergabung dengan sebuah klub, kamu cuma akan mengacaukan kondisi internal klub. Semua itu karena kamu sekedar ingin ‘punya teman’, dan untuk alasan itu kamu mengacaukan kerjasama tim. Ditambah lagi kamu masih pemula tanpa kemampuan khusus... klub mana yang mau menerima orang seperti itu?”

“Urgh....”

Aku mengerang.

Aku tidak bisa membantah.

Motivasi yang salah, tidak punya keahlian khusus, dan mengacaukan kerjasama tim. Efeknya diperparah dengan fakta bahwa aku murid pindahan.

Dan kemudian Mikadzuki menggumam,

“...Tapi aktivitas klub...aktivitas klub...”

Tampaknya Mikadzuki sedang berpikir keras.

“-Itu dia, aktivitas klub!”

Dan kemudian dia berteriak.

“...?”

Aku keheranan; Mikadzuki tersenyum padaku penuh percaya diri.

Dia sangat manis waktu tersenyum, tapi hanya waktu tersenyum.

Setelah itu, Mikadzuki berjalan meninggalkan kelas.

Aku tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, tapi aku tahu kalau berdiri sendirian di ruang kelas tidak ada gunanya. Jadi aku mengambil seragam olahragaku dan pulang ke rumah.



Setelah sampai di rumah dan menyelesaikan makan malam, aku mengambil buku catatan dari tasku.

“Haaah...”

Aku menghela napas sembari membuka buku Bahasa Inggris.

Aku benci Bahasa Inggris.

Bukan karena aku payah.

Ibuku orang Inggris, jadi Bahasa Inggris malah merupakan bidang yang paling kukuasai.

Lebih tepatnya, aku benci dengan isi kelasnya. Kadang di kelas Bahasa Inggris kamu harus ‘melakukan dialog Bahasa Inggris dengan teman dekatmu’ atau ‘berlatih dengan temanmu’, dan aku membencinya.

Bagi orang yang tidak punya teman, aku menjadi murung setiap kali berada di situasi itu.

Ngomong-ngomong, karena alasan yang sama, aku juga benci kelas olahraga.

Aku, Kodaka Hasegawa, sudah pernah berpindah sekolah ke hampir seluruh penjuru Jepang karena pekerjaan ayahku. Namun, sebulan yang lalu ayahku pergi bekerja ke luar negeri. Berkat hal itu, di pertengahan bulan Mei di tahun kedua, aku kembali ke kota asalku di Kota Tooyo. Sudah sepuluh tahun aku meninggalkan kota ini.

Orangtuaku adalah teman lama Kepala Sekolah Santo Chronica, karena itu aku disekolahkan di sana.

Dan sejak saat itu aku memulai kehidupan di sekolah baruku.

Berandalan? Gangster? Begitulah orang lain melihatku.

Penyebab utamanya adalah penampilanku.

Seperti yang sudah kubilang, ibuku orang Inggris. Dia punya rambut pirang yang indah.

Sebagai anaknya, rambutku juga pirang- tapi tidak seindah rambut ibuku. Rambutku dipenuhi corak kecoklatan, seperti habis terbakar. Dan warna yang menyedihkan ini sukses membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Tidak pernah ada yang berpikiran kalau warna rambutku alami.

Kalau tidak kuberitahu, orang-orang yang melihatku akan mengira kalau aku adalah salah satu contoh dari ‘remaja berandalan yang ingin pergi ke salon untuk mencat pirang rambutnya tapi tidak punya uang. Karena itu dia membeli pewarna rambut di pinggir jalan dan mencat sendiri rambutnya, dan gagal.’

Sebagai tambahan, selain warna rambut, fitur wajahku sangat mirip dengan ayahku yang orang Jepang. Pupilku hitam, dan semua bagian wajahku sama seperti wajah orang Jepang pada umumnya. Mataku juga agak menakutkan.

Dulu ketika SMP, entah sudah berapa kali orang-orang menanyaiku kenapa aku melotot kepada mereka, padahal aku hanya bersikap biasa.

Santo Chronica dikenal memiliki murid-murid yang disiplin. Rumor itu memang benar, dibanding sekolah-sekolah sebelumnya, murid-murid di sini sangat tentram. Apa karena mereka tidak pernah diganggu berandalan, atau memang tidak ada berandalan di sekitar sini? Aku cuma bisa menerka-nerka.

Dan kemudian ada kejadian dimana...Aku terlambat di hari pertama sekolah. Kurasa kesalahan dungu yang kubuat ini salah satu alasan kenapa aku dianggap berandalan.

Itu terjadi sebulan lalu.

Sebagai murid pindahan, aku mengerti kalau kesan pertama itu sangat penting, karena itu aku tidak boleh terlambat. Jadi aku berangkat dari rumah dua jam (jam 6 tepat) sebelum kelas dimulai.

Butuh 10 menit untuk sampai ke stasiun bus; kalau aku naik bus, butuh waktu 25 menit untuk sampai ke sekolah. Waktu aku sampai di stasiun bus sebelum jam 6.30, akulah satu-satunya orang yang memakai seragam Santo Chronica.

Aku berangkat pagi sekali, pikirku. Lalu aku menaiki bus yang menuju Sawara Kita [7](tempat sekolahku berada).

Dan kemudian aku berada di dalam bus selama hampir empat jam- dengan kata lain, bus yang kutumpangi tidak pernah sampai ke stasiun bus Santo Chronica. Aku tahu ada yang tidak beres, tapi karena bus penuh sesak dengan orang kantoran, aku tidak sempat bertanya ke supirnya. Dan aku juga malu bertanya ke orang asing di dalam bus. Jadi aku terus berada di bus sampai stasiun terakhir.

Ketika semua penumpang sudah turun, akhirnya aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya ke supir bus. Baru setelah itu aku mengetahui kalau tujuan bus yang kutumpangi adalah ‘Sagara Kita’, bukan ‘Sawara Kita’. Selain namanya yang mirip, dua tempat tadi sama-sama ada di arah utara. Sulit membedakannya.

Aku langsung menaiki bus ke arah rumahku, menempuh satu jam perjalanan, sampai di pemberhentian dekat rumahku, dan menunggu bus yang benar (Lagi-lagi tidak ada satupun murid Santo Chronica disekitar situ tapi kali ini karena sudah kelewat siang. Aku bahkan harus menunggu 20 menit sebelum busnya datang.)

Aku terlambat di hari pertamaku masuk sekolah. Waktu sampai di gerbang depan, aku ingin menangis.

Karena wali kelas sudah pergi mengajar ke kelas lain, aku tidak punya pilihan selain masuk ke kelas disaat jam pelajaran sedang berlangsung. Jadi disitulah aku, berdiri sendirian di tengah kelas; semua teman sekelasku memandang keheranan.

Mataku agak merah karena air mata dan tubuhku gemetar hebat. Kucoba menyembuyikan kegugupanku dengan menyipitkan mata dan merendahkan suaraku. Dengan keren aku berkata ‘Saya murid pindahan. Nama saya Kodaka Hasegawa.’ Teman sekelasku terlihat ketakutan mendengar perkenalanku. Guru sosial, yang kelihatannya agak rapuh, juga telihat terguncang. Dia menyuruhku duduk di meja yang kosong.

...Setelah pelajaran pertama selesai, tidak ada yang datang menyapaku.

Biasanya ketika ada murid baru di kelas, kamu akan menanyainya hal-hal seperti ‘rumahmu dimana’,’apa kesukaanmu’, dan ‘ukuran tubuh’. Aku bahkan capek-capek menyiapkan jawaban kocak sebelumnya, sehingga aku bisa meninggalkan kesan ‘cowok humoris’ di benak semua orang (Aku yakin bisa menjawab pertanyaan mereka dengan baik, bahkan pertanyaan bodoh seperti ukuran tubuh. Sampai sekarang pun aku masih ber-hehehe setiap kali mengingat jawabanku). Semuanya sia-sia sekarang.

Dan ini berlanjut selama sebulan.

Aku, yang menghancurkan sendiri kesan pertamaku, belum menemukan kesempatan untuk menebusnya kembali.

Di kelas Bahasa Inggris aku selalu berpasangan dengan guru (orang Amerika, dia tampak tertarik dengan pelafalan ku yang baik). Di kelas olahraga aku selalu berkelompok dengan sisa-sisa anak dari kelas lain yang belum dapat kelompok (jelas bagiku kalau sebenarnya mereka juga takut sekelompok denganku). Ketika latihan mengoper dalam latihan sepak bola, jarang ada yang mengoper bola padaku. Tidak ada yang memanggil namaku dan mengoper padaku. Kadang ada anak yang tidak sengaja mengoper padaku, anak itu akan ketakutan dan minta maaf padaku. Setiap kali itu terjadi aku juga merasa tidak enak, aku mengangguk ke anak itu dan bilang ‘Aah...’ Ketika aku hendak tersenyum dan bilang ‘Ga masalah’, anak itu akan megap-megap dan terlihat ketakutan. Besoknya waktu istirahat makan siang, anak itu membelikanku segelas jus dan memohon ampun.

Aku selalu makan siang sendirian di kelas.

Di lain waktu, ketika aku sedang pergi ke kantin membeli roti, ada cewek dari kelas lain yang duduk di kursiku. Waktu aku kembali, dia, dan teman-temannya yang makan bersama dengannya, langsung lari terbirit-birit keluar kelas. Bagi cowok remaja, ‘melihat cewek-cewek melarikan diri darinya’ bisa menjadi trauma yang sangat mendalam. Malam itu, di kamar mandi, aku menangis.

Kejadian seperti ini sudah terulang beberapa kali. Setiap kali aku mengingatnya, aku menjadi trauma. Sedikit lagi aku akan mencapai batasku.

Aku mencoba membaca buku dan belajar di perpustakaan dan di kelas untuk membangun image ‘murid yang pintar’, dan tampaknya tidak terlalu berguna.

Sambil menangis aku menyelesaikan PR ku (kalau ada cell phone novel [8] tentang ‘Cerita Tragis Kehidupan Remaja’, pengalaman tragisku pasti laku keras).

Saat itu, aku teringat percakapanku dengan Mikadzuki Yozora seusai sekolah.

Teman sekelas menyedihkan yang dengan riangnya ngobrol dengan teman udaranya.

Padahal dia sangat cantik... sayang sekali.

... ...Teman udara ya... ...dia kelihatannya benar-benar bahagia.......

Tidak!

Barusan aku serius mempertimbangkan membuat teman udara! Kucubit pipiku dan berkata ke diri sendiri,

“Ga, ga akan pernah! Kalau sampai kulakukan, aku tamat.”

Aku perlu memikirkan solusi yang bagus untuk mengubah situasi ini.

...Awalnya kupikir bergabung ke klub itu ide yang bagus.

Jujur, aku sudah memikirkannya sebelum bertemu dengan Mikadzuki.

Tapi seperti yang dia bilang, aku tidak punya keberanian untuk masuk ke klub yang sudah solid. Dan jika ditambah dengan perkataannya hari ini, aku akan menjadi orang yang mengacaukan pertemanan di klub. Wajar kalau karena hal itu aku tidak akan disukai yang lain. Malah, kalau mereka menolak pendaftaranku (aku tidak berani membayangkannya) kupikir aku tak kuat lagi bertahan di sekolah ini.

“Haaah.......”

Membayangkannya saja sudah cukup untuk menyiksaku.

Karena PR ku sudah selesai, aku pergi mandi dan tidur lebih awal...



Besoknya saat istirahat makan siang.

Tepat ketika aku sedang makan sendirian di kelas, tiba-tiba Mikadzuki datang menghampiri dan berdiri di depanku.

“Kodaka, ikut aku.”

Dia masih memasang wajah kesalnya. Tanpa menunggu responku dia berjalan keluar kelas.

“Apa? Hei?! Tunggu!”

Dengan malu-malu aku mengikutinya.

Tepat ketika aku melangkah keluar kelas, tiba-tiba suasana terasa lebih gaduh.

Dengan aku mengikuti di belakangnya, dia berjalan dengan cepat ke ujung bangunan sekolah, ke pelantaran yang sepi.

Setelah sampai, tiba-tiba dia berbalik dan mengatakan,

“Semua persyaratan sudah beres.”

Apa yang sedang dia bicarakan?

“...Persyaratan?”

“Persyaratan untuk memulai klub baru.”

“Klub baru?”

“Aah, jadi begini, kalau kamu ga bisa gabung ke klub yang sudah ada, kenapa kamu ga bikin klub yang baru saja?”

Aku baru sadar kalau ini lanjutan dari perbincangan kemarin.

“...Ah, obrolan tentang mencari teman kemarin. Kurasa itu solusi yang bagus. Kalau klub nya masih baru, ga ada masalah soal hubungan internal.”

Tapi sama aja bohong kalau tidak ada orang di klub untuk dijadikan teman.

Karena kamu tidak mau menganggu hubungan internal klub yang sudah ada, jadi kamu membuat klub baru sendiri. Bukannya itu malah berlawanan dengan tujuan awal?

“...Sebentar, Barusan kamu bilang ’Semua persyaratan sudah selesai.’”

“Memang itu yang kubilang.”

“...Klub macam apa yang kamu buat?”

Aku bertanya dengan cemas. Mikadzuki mengumumkan dengan bangga,

“’Klub Tetangga’”

“Klub Tetangga?”

Dia mengangguk.

“’Seperti yang diajarkan oleh ke-Kristenan, mereka yang belajar di satu sekolah yang sama seharusnya meperlakukan murid lain sebagai teman yang baik- dengan semangat persahabatan, ketulusan, dan kasih sayang’ itulah tujuan dari Klub Tetangga.”

“Sangat, sangat mencurigakan......”

Aku menambahkan.

Aku tidak bisa membayangkan apa tujuan klub ini!

“Dan dengan tujuan konyol semacam itu, permohonanmu diterima?”

“Tidak perduli sebaik apapun atau senakal apapun seorang murid, sekolah ini selalu melihat sisi positif mereka. Di pikiran para guru, asalkan kamu membumbui kata-katamu dengan semangat ke-Kristenan, atau ajaran Yesus, atau kebaikan Maria, biasanya mereka akan salah menafsirkan tujuanmu yang sebenarnya. Kadang agama bisa sangat ceroboh.”

Kupikir Mikadzuki baru saja mengatakan hal yang bisa membuat seluruh umat Kristen di dunia ini murka.

“...Kamu menyelesaikan persyaratannya dalam satu hari? Benar-benar hebat.”

Aku mengomentarinya dengan nada takjub.

Kalau kamu bisa seaktif ini, kenapa dari dulu tidak bergabung saja dengan klub yang normal?

“Aku memang berbakat dalam hal-hal membosankan dan monoton seperti mengisi formulir, atau menulis proposal; hal-hal yang bisa ditinggalkan setelah diselesaikan.”

“Apa itu termasuk bakat?”

“Ya. Aku juga berbakat dalam urusan channel shopping di TV.”

Karena suatu hal Mikadzuki tampak puas dengan dirinya. Dia pun mengangguk setuju dengan kehebatan dirinya.

Apa ada orang yang bisa punya bakat dalam channel shopping?

...Meskipun aku sendiri takut kalau harus menelpon orang lain.

“Jadi, Klub Tetangga mu itu, apa tujuan aslinya?”

Mikadzuki menjawab pertanyaanku dengan blak-blakan.

“Untuk mencari teman tentunya.”

“...Tak terpikir olehku.”

“Dan kemudian kita bisa mulai berteman dengan anak-anak yang memandang rendah kita sebelumnya karena kita tidak punya teman, dan mungkin suatu hari nanti kita bisa menemukan apa yang orang sebut ‘sahabat sejati’!”

Aku pintar kan? kata Mikadzuki dengan bangga.

Aku menghela napas.

“......Terserah deh... Lakukan sesukamu aja.”

Tapi Mikadzuki tampak heran dengan reaksiku dan berkata,

“Kok kamu bicara seolah-olah ini bukan urusanmu? Kamu kan anggota klub juga!”

“Apaa?!”

Ku tinggikan suaraku saking terkejutnya; Mikadzuki tidak menggubrisnya dan melanjutkan,

“Soalnya Kodaka pulang duluan kemarin, jadi aku yang mengisikan formulir keanggotaanmu. Jangan lupa bilang terima kasih padaku.”

“Apa?!”

“Guru-guru juga sangat prihatin dengan Kodaka. Waktu aku bilang ‘Kodaka Hasegawa ingin menjadi anggota klub’, mereka sangat senang. Salah satu guru berkata ‘Aku berdoa agar dia bisa merasakan semangat kasih sayang ke-Kristenan lewat aktivitas klub. Semoga dia bisa menyadari jalannya yang sesat dan bertobat.’”

“Apa maksudnya ‘jalannya yang sesat’!? Aku bukan berandalan!’”

Bahkan guru-guru mengira aku berandalan. Hatiku terasa remuk.

“Seperti yang kubilang, anggota baru Kodaka, kita akan melaksanakan aktivitas klub mulai hari ini.”

Dia berbalik dan berjalan pergi.

Yah, setidaknya aku paham satu hal- salah satu alasan kenapa Mikadzuki tidak punya teman adalah karena dia tidak mau mendengarkan orang lain, sama sekali.

... ...Jadi itu dia.

Itulah bagaimana aku, Kodaka Hasegawa, dan seorang anak aneh bernama Yozora Mikadzuki, menjadi terlibat dalam aktivitas aneh Klub Tetangga.



Yozora[edit]

Begitu keluar kelas, aku mengikuti Mikadzuki ke sebuah kapel di area sekolah.

Kapel ini besar dan dihiasi dengan salib di puncak atapnya. Di dalam kapel ada beberapa ruangan untuk mengadakan perayaan seperti upacara pernikahan dan semacamnya. Ada juga fasilitas yang sering dilihat di gereja seperti kotak pengakuan. Yang terakhir ada ruang seminar dan ruang meditasi.

Salah satu ruangan di kapel ini, ‘ruang pertemuan #4’, telah menjadi ruang kegiatan Klub Tetangga.

Ruangan yang ditata cantik dengan nuansa barat ini kira-kira seluas delapan tatami[9]. Ada meja bundar kecil, sofa, dan rak buku besi di dalamnya.

Ruangan ini lebih mirip salon daripada ruang pertemuan gereja.

Tidak sepertiku, ketika Mikadzuki memasuki ruangan, dia langsung bersantai di sofa.

“…Kita benar-benar boleh pakai ruangan ini?”

“Penasehat klub kita bilang boleh, jadi ya pastinya boleh.”

Jawab Mikadzuki seolah-olah itu hal yang sudah jelas.

“Penasehat klub?”

Benar juga, klub ini sudah diakui; wajar kalau klub ini punya guru yang ditugaskan menjadi penasehat klub.

Aku duduk perlahan di sofa di seberang Mikadzuki. Lambat-lambat aku bertanya,

“…Ada orang yang mau jadi penasehat untuk klub mencurigakan kaya gini?”

“Klub ini ga mencurigakan kok. ‘Sesuai dengan ajaran ke-Kristenan, mereka yang belajar di sekolah yang sama seharusnya memperlakukan murid lain sebagai teman baik mereka- dengan persahabatan, ketulusan, dan ikut serta dalam mengasihi dan menyayangi sesama.’ Semua kegiatan dilakukan untuk menjunjung tinggi tujuan yang jelas dan mengagumkan ini.”

“Huh, masih terdengar mencurigakan berapa kalipun kudengar…… jadi orang seperti apa yang akan membimbing kita mencari teman?”

“Suster Maria sensei.”

“Apa…”

Aku belum pernah mendengar nama itu.

Sebagai sekolah Kristen, Santo Chronica memiliki beberapa staf biarawan/biarawati yang diutus oleh gereja. Kebanyakan mengajar sebagai guru Teologi dan Etika.

Karena aku tidak terlalu tertarik dengan ajaran ke-Kristenan, aku tidak mengambil kelas-kelas tersebut. Awalnya kupikir aku akan menjalani kehidupan sekolah yang bebas-biarawati. Aku terkejut bahwa pada akhirnya aku membangun hubungan dengan mereka di tempat yang tak terduga, sama sekali.

“Suster bernama Maria, ya?……Dari namanya aku bisa merasakan sesuatu. Aku ga yakin, tapi rasanya aku bisa mempelajari beberapa hal berguna darinya.”

“Aah, itu cuma imajinasimu.”

Tegas Mikadzuki.

“……Imajinasiku?”

“…Maria sensei juga ga punya teman.”

Kurasa dia baru saja menunjukkan kesalahan fatal.

“…Kenapa, kenapa kamu pilih orang kaya gitu jadi penasehat?”

“Aku kesulitan ngobrol sama orang yang punya banyak teman…sebaliknya, aku bisa ngobrol dengan normal sama orang yang ga punya teman, seperti kamu Kodaka.”

Yozora Mikadzuki- karakternya jauh lebih menyedihkan dari yang kubayangkan.

“…Dengan kata lain, kamu ga punya pilihan selain minta bantuan dari guru yang kondisinya sama sepertimu?”

“Betul.”

Jawab Mikadzuki dengan bangga. Dan dia mulai bersantai lagi di sofa dengan angkuh.

“Lagian kan gak asik kalo ada guru membosankan yang menceramahi kita disini. Kurasa itu harga yang harus dibayar supaya dia mengizinkan kita memakai ruangan ini.”

“…Itu salah satu cara menginterpretasikan maksud perkataanmu.”

Untuk sekarang dia setuju.

“Jadi, persiapan konkrit macam apa yang sudah kamu rencanakan buat klub ini?”

“Sebelum itu kita perlu mencari anggota baru.”

Balas Mikadzuki.

“Aah, begitu…”

Karena alasan utama Mikadzuki membuat klub adalah agar orang lain tidak berpikiran kalau dia tidak punya teman, mendapatkan anggota baru otomatis menjadi prioritas utama. Meski begitu, aku rasa kriteria dalam mencari teman seharusnya ‘kualitas diatas kuantitas.’

Mikadzuki mengambil segulung kertas dari tasnya.

“Pertama-tama kita buat poster recruitment.”

“Oke.”

Dia menyelesaikannya dengan cepat.

“Sepertinya cukup bagus.”

“Hmm.”

Sekilas aku memperhatikannya.

“………”

Dan aku terngaga keheranan.

Entah bagaimana harus kugambarkan. Poster itu benar-benar ‘sesuatu’.

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp2a.jpg

“……Apa ini?”

“Ya jelaslah ini poster. Aku akan menempelnya di mading sekolah sekarang.”

“Eh……”

Ketika dia melihat keraguan di wajahku, dia menjadi cemberut dan bertanya,

“…Memangnya ada masalah?”

“Aku heran kenapa kamu bisa berpikir kalau ga ada yang salah dengan poster ini. Poster ini bahkan ga menjelaskan apa tujuan klub. Kamu ga akan bisa merekrut anggota baru dengan poster kaya gini.”

“Fuun, kamu terlalu naif, Kodaka.”

Entah kenapa, Mikadzuki memandangku seolah-olah aku idiot.

“Coba baca paragarafnya secara diagonal.”

“Diagonal…..?”

Dengan ragu-ragu aku membaca paragrafnya.

“Ah!”

“Sudah mengerti?”

“……Yah, mungkin bisa dibilang aku mengerti..”

Kalau kamu membaca paragraf mulai dari pojok kiri atas ke bawah secara diagonal-


Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp2b.jpg

Kami
Sekarang
Sedang
Mencari
Teman
Baru


【と】にかく臨機応変にろ隣人
と【も】善き関系を築くべく
から【だ】と心を健全に鍛え
たびだ【ち】のその日まで
共に想い【募】らせ勵まし合い
皆の信望を【集】める人間になろう


ともだち募集 = ‘Friends Wanted’ = ‘Dicari Teman’


[Kami semua adalah tetangga yang ramah dan fleksibel,
jadi mari kita memulai pertemanan dengan yang lain!
Demi menjawab panggilan unruk melatih kesehatan mental,
Bekerja sama hari ini untuk memulai perjalanan ini.
Sambil memotivasi satu sama lain dengan tujuan yang sama,
Kita akan menjadi orang yang paling dipercaya di dunia!]



“…Petunjuk yang cerdik…”

“Itu bukan petunjuk.”

Mikadzuki terlihat seakan-akan dia terkejut.

“Bagi orang yang masih mencari cara untuk mendapat teman, mereka akan menyadari pesan tersembunyi di pengumuman ini. Sebaliknya, untuk orang yang tidak punya masalah dalam pergaulan, mereka cuma akan membaca paragrafnya tanpa menyadari apa-apa. Dengan kata lain, kita ga perlu terang-terangan menulis tujuan memalukan seperti ‘dicari teman’- kita masih bisa mengajak orang-orang dengan tujuan yang sama untuk bergabung.”

“Eeh…”

Mikadzuki terlihat sangat percaya diri; Aku jadi kehilangan kata-kata.

Ngomong-ngomong, kamu sadar kalau tujuan klub ini memalukan…

“Oke, ayo kita mundur seratus langkah ke belakang dan berasumsi kalau hipotesis mu benar…”

“Kenapa kita harus mundur seratus langkah?”

Aku mengabaikan Mikadzuki yang keheranan dan melanjutkan,

“Untuk sementara kita abaikan teksnya. Gambar apa itu?”

“Sudah jelas kan?”

“Aku bertanya karena gambar itu sama sekali nggak jelas buatku!”

“Fuun”

Mikadzuki menyeringai ke arahku seolah-olah akulah yang idiot disini. Seakan-akan sedang mengajari anak bego hal yang sederhana, pelan-pelan dia menjelaskannya padaku,

“Bukannya ada lagu rakyat tentang mencari seratus teman dan makan onigiri bersama-sama di puncak gunung Fuji? Itu yang ada dipikiranku waktu membuat poster ini, aku ga sedang bercanda waktu mengambarnya.”

“…Ooohh…”

“Gambar ini untuk orang-orang yang tidak menyadari kalimat diagonalnya. Meski mereka tidak menyadarinya, mereka masih bisa menyadari tujuan klub ini lewat gambarnya.”

“…Oke, ayo kita mudur seratus langkah ke belakang dan berasumsi kalau perkataanmu benar.”

“Jadi kenapa kita harus mundur seratus langkah?”

Lagi-lagi kuabaikan pertanyaan Mikadzuki.

“Jadi orang-orang digambar ini sedang makan…onigiri?[10]…Kenapa onigirinya punya kaki dan mata?”

“Biar kelihatan imut.”

“…Gambar ini memberiku firasat kalau makanannya akan mengamuk setiap kali aku berusaha menggigitnya. Dan aku benci itu. Jangan meng-antropomorphis-kan[11] makanan…”

“Apa kamu sedang menyangkal kehormatan para pahlawan nasional?”

“Pahlawan nasional?”

“Mereka adalah orang-orang baik yang membiarkan anak-anak memakan kepalanya.”

“Anpanman?!” [12]

“Mereka melakukan pengorbanan besar dengan menjadi bagian dari asam lambungmu. Aku bisa merasakan cinta dan keberanian yang mereka miliki kepada temannya.”

“Pemahamanmu justru cuma bakal membuat Anpanman merasa terganggu!”

Tiba-tiba saja, Mikadzuki menatapku curiga.

“…Kodaka, kamu tidak menyadari pesan rahasia di paragraf dan juga tidak mengerti maksud dibalik gambar yang kubuat. Apa kamu benar-benar ingin mencari teman disini?”

“Aku tidak ingin berteman dengan orang yang, tragisnya, cukup berbakat untuk memahami poster semacam ini…”

“Huh, kamu masih berpikir kalau pendapatmulah yang masuk akal di sini. Kodaka, kamu adalah tipe orang World Genre.” [13]

“Kamulah orang terakhir yang ingin kudengar mengatakan itu.”

Ketika Mikadzuki melihat betapa lelahnya aku, dia mulai terlihat marah.

“…Aku baru aja sadar, tapi berhenti memanggilku dengan ‘kamu’ setiap saat. Aku nggak suka.”

“Eh? Aah… Oke.”

“Jadi, gimana kalau…”

Aku selalu bingung bagaimana aku harus memanggil orang lain.

Haruskah kusebut nama belakang, nama lengkap, atau nama panggilan? Haruskah kutambahkan ‘San’ atau ‘Kun’ atau ‘Chan’? Atau haruskah aku memanggil nama depan seakan-akan kami akrab?

Karena itu biasanya aku memanggil orang lain dengan nama lengkap mereka.

“…Bagaimana kalau…Mikadzuki… –san?”

“Yozora.”

Mikadzuki menjawab dengan tegas.

“Panggil aku dengan nama depanku, Yozora.”

“O, oke… Kalau gitu, Yozora.”

“Kenapa kamu malu-malu? Menjijikan.”

Kata Mikadzuki dengan jengkel, dia masih terlihat tidak senang.

…Apa aku satu-satunya orang yang merasa malu setiap kali berusaha, dengan intim, memanggil cewek dengan nama depannya?

“…Hei, apa kamu punya nama panggilan? Aku lebih nyaman dengan nama panggilan...”

“…Ada sih… dulu…”

Mikadzuki terlihat lebih jengkel dari biasanya. Dia mengatakan,

“…Aku punya, tapi aku ga bisa kasih tahu Kodaka.”

“Kenapa?”

Aku bertanya, dan seakan-akan ingin menangis, Mikadzuki menatapku dengan senyum yang kesepian.

“Karena nama panggilan hanya untuk teman.”

Aku masih tidak mengerti apa yang Mikadzuki- eh bukan, maksudku Yozora pikirkan.

“…Ga ada pilihan lain kalau gitu… Hei, ayo kita tempel poster ini dulu… Yozora.”

Merasa sedikit malu-malu, aku berdiri dari sofa.

Aktivitas pertama Klub Tetangga.

Kami akhirnya punya teman sekelas yang bisa kami panggil dengan nama depan.

…Kalau kami menghiraukan kejadian yang terjadi diantara awal dan akhir, dan hanya melihat hasil akhirnya saja, sulit mengatakan kalau kami melakukannya dengan baik.



Sena Kashiwazaki[edit]

Sehari setelah kami menempelkan poster recruitment, seusai sekolah-

Mikadzuki...Maksudku, Yozora dan aku tiba di ruang kegiatan Klub Tetangga.

Dengan arogan Yozora bersantai di sofa, tertawa sinting dan mengumumkan,

“Akhirnya hari ini kita akan memulai aktivitas klub kita.”

“Atau lebih tepatnya, kita akan menentukan aktivitas apa yang akan kita lakukan.”

Aku masih ga ngerti kegiatan macam apa yang dilakukan klub ini. Aku benar-benar ga punya bayangan sedikit pun.

...Malah, aku sendiri masih bingung kenapa aku mau bergabung.

“Untuk sekarang aku cuma butuh teman, jadi ga ada masalah asalkan kita bisa dapet anggota baru. Dan semua yang perlu dikerjakan sudah kita lakukan kemarin.”

“...Aku tetap ga yakin ada orang di sekolah ini yang melihat poster itu dan memutuskan buat bergabung.”

“Kamu masih ngomong kaya gitu? Sudah pasti poster itu akan menarik perhatian domba-domba tersesat, yang sampai sekarang, masih mencari teman di sekolah ini. Aku yakin itu.”

“Dari mana kamu bisa dapet kepercayaan diri sebesar itu?”

Aku benar-benar dibuat takjub olehnya.

Dan kemudian, saat itu juga.

---Tok Tok

Seseorang mengetuk pintu.

“---?!---!”

Terkejut, Yozora dan Aku melirik satu sama lain.

“Kelihatannya kita bakal punya anggota baru sebentar lagi.”

Kata Yozora penuh kemenangan.

“...Yang bener aja. Paling cuma penasihat klub atau semacamnya.”

Yozora dan aku berdiri dan membuka pintu.

Berdiri di depan kami, seorang murid perempuan berambut pirang dan bermata biru.

Badannya sangat langsing; dadanya, sangat montok. Dia punya tubuh yang indah layaknya seorang model. Meski matanya terlihat sedikit kejam, wajahnya sangat cantik. Ada aura elegan yang mengelilinginya.

Kalau kamu membandingkannya dengan Yozora, yang wajahnya juga cantik (dan hanya wajahnya), tapi selalu melankolis, dan selalu mengerjakan sesuatu dengan sembrono, perbedaan keanggunan mereka seperti malam dan siang. Dia benar-benar tipe bishoujo yang jarang terlihat.

Dilihat dari warna emblem dan seragamnya, dia juga murid tahun kedua sama seperti kami.

“Apa ini Klub Tetangga? Aku mau bergabung.”

Kata gadis itu.

“Bukan.”

BAM!

GACHAN!

Dalam satu rentetan aksi yang cepat, Yozora menjawab, menutup pintu, dan menguncinya.

“Eeeeeehhh?! Tunggu, Yozora?!”

Yozora kembali ke sofa seolah-olah tidak ada yang terjadi.

“Oke, ayo kita mulai kegiatan klub.”

“Tidak, tunggu dulu! Barusan ada orang yang datang dan minta bergabung?! Dan dia siswi tahun kedua! Bukannya dia orang yang tepat buat jadi temanmu?”

“Hahaha, omong kosong, dasar berandalan-kuning lumpur. Aku udah punya teman perempuan kok, ya kan Tomo-chan?”

Yozora, dengan senyum yang menawan, mulai ngobrol dengan teman udaranya.

“Hei hei...”

...Berandalan-kuning lumpur, maksudnya aku? Memang sih warna rambutku lebih mirip kuning lumpur daripada kuning emas.

Cewek tadi masih mengetuk pintu dari luar.

Meski kami bisa mendengar cewek di luar mengetuk pintu dengan keras, tapi isolasi suara di ruangan ini cukup bagus. Orang luar tidak bisa mendengar percakapan di dalam.

Dengan sebal Yozora berdiri lagi dan membuka pintu.

“Kenapa kamu tutup pintunya! Aku mau gabung dengan-”

“SEMUA ORANG NORMAL LEBIH BAIK PERGI KE NERAKA!”

BAM!

GACHAN!

Setelah dia mengatakan hal yang seharusnya tidak boleh diucapkan karakter perempuan utama, Yozora menutup pintunya lagi.

Sekilas aku sempat melihat ekspresi kaget di wajah cewek itu.

“......Eh, jangan jangan kamu kenal cewek tadi ya?”

Aku bertanya ke Yozora, yang kembali duduk di sofa.

“Aku ga kenal dia secara personal- Aku tahu nama dan wajahnya, tapi kita ga pernah bicara satu sama lain.”

Sambil bicara, Yozora mengeluarkan catatan kecil dari tasnya.

Dia melanjutkan dengan sebal.

“Kelas 2-3, Sena Kashiwazaki... putri tunggal dari kepala sekolah kita. Cowok-cowok selalu mengikutinya seperti anjing piaraan yang berusaha menyenangkan majikannya. Dan dia selalu bertingkah seperti tuan puteri, benar-benar orang yang menyebalkan.”

“...Ehh, jadi gitu ya...”

Meski kami belum pernah bertemu, orangtuaku dan kepala sekolah adalah teman baik. Aku ingat ayah pernah bilang kalau kepala sekolah punya anak perempuan yang seumuran denganku.

“...Setauku kepala sekolah punya nama Jepang, ga kusangka kalau anaknya bakalan berambut pirang.”

Waktu Yozora mendengarku menggumamkan itu ke diriku sendiri, dia menatapku dengan kesal.

“Terus kenapa kalau rambutnya pirang. Semua cowok sama aja, kalau ada cewek pirang berdada besar, air liurnya pasti kemana-mana. Dasar mesum.”

“Enggak, bukan itu maksudku...”

Yozora memotong argumenku.

“Bukan cuma kelewat cantik, nilai akademiknya juga luar biasa, dan dia juga atlit super. Dia selalu dapat peringkat pertama di semua ujian akhir sejak tahun pertama! Bagaimana bisa ada orang kaya gitu!? Kenapa dia ga mati aja!?”

Yozora menghantam meja dengan tangannya.

“Kenapa- kenapa kamu malah marah? Bukannya mestinya kamu bangga bisa satu sekolah sama cewek luar biasa kaya dia?”

“Ha? Kamu bercanda ya?”

“Oke, mungkin ‘bangga’ agak berlebihan, tapi seenggaknya kamu pasti terkesan.”

“Kalau kamu ngeliat remaja seumuran kita, yang punya kehidupan remaja yang sempurna, apa kamu ga ngerasa jijik tanpa alasan jelas?”

“Mati sana!”

Dia udah ga bisa ditolong lagi...

“Fuun, bagaimanapun juga, kenapa cewek sempurna kaya dia mau gabung dengan klub aneh ini? Aku yakin dia dateng ke sini mau menghina kita. Kudengar dia punya kepribadian yang buruk.”

“Barusan kamu bilang ‘klub aneh ini’...”

Kami hiraukan itu untuk sekarang.

“Oke, sementara kita abaikan pertanyaan apakah dia punya kepribadian buruk atau tidak. Apa kamu yakin dia sama sekali ga punya niat bergabung dengan klub?”

Perhatianku beralih ke pintu.

Sepertinya Sena Kashiwazaki sudah pergi; aku sudah tidak mendengat suara ketukan pintu.

Tapi saat itu juga.

Tiba-tiba kudengar suara benturan keras. Sesuatu membentur jendela di belakangku.

Yozora dan aku terkejut. Kami berdua melihat ke luar jendela.

Sena Kashiwazaki sedang menempelkan wajahnya ke jendela seperti zombie dalam film. Dia melihat langsung ke dalam ruangan.

Sayang banget, wajah cantiknya jadi kelihatan aneh.

“Ap-apa apaan nih...”

Hening sesaat, Yozora akhirnya mengalah dan membukakan jendela.

“Kenapa kamu jahat banget sih? Aku kan udah bilang aku mau gabung ke klub ini!”

Sena Kashiwazaki berteriak marah. Matanya agak berair seakan mau menangis. Yozora hanya membiarkan jendelanya setengah terbuka.

“Kalau kamu ke sini cuma buat ngetawain kita, pergi sana.”

Yozora hendak menutup jendela, tapi dengan cepat Kashiwazaki menahan jendelanya dan melanjutkan:

“Aku ga ke sini buat ngetawain siapapun! Aku ke sini karena aku ngeliat posternya!”

Saat itu, dahi kaku Yozora terlihat sedikit rileks; dia menjauhkan tangannya dari jendela.

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp3.jpg

“AKU JUGA MAU PUNYA TEMAN!”

Dengan jendela yang terbuka lebar, Kashiwazaki berteriak kepada kami.

“......”

‘chi!’ Yozora mengecap bibirnya, tapi akhirnya dia membiarkan cewek tadi masuk.




“Lihat aku, aku sempurna kan?”

Seolah-olah kami bukan apa-apa dibanding dirinya, Kashiwazaki duduk di sofa dan mengatakan hal itu dengan sombong.

“.....”

Aku mulai mengerti apa yang Yozora bicarakan barusan.

“Pintar, atletis, dan seperti yang bisa kalian lihat, luar biasa cantik. Aku cuma bisa bilang kalau aku memang secara khusus diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling sempurna, iya kan? Kalian orang-orang biasa boleh mengeluhkan ketidakadilan dunia ini sepuasnya.”

Kashiwazaki mengatakannya seolah-olah itulah kebenarannya.

Dia menyisir rambut keemasannya dengan tangan, dan berpose seakan-akan dia orang terkenal.

“Fuun, lebih mirip sapi perah.”

Kata Yozora, yang dari tadi menatap tajam wajah kashiwazaki.

“Ah, barusan si dada-kecil bilang apa?”

Bisa kurasakan nafsu membunuh dari mata Yozora.

“...Punyaku tidak benar-benar kecil.”

“Dengan dada ‘setengah-setengah’ kaya gitu, sama aja kaya ga punya sama sekali.”

“...Kalau kubunuh semua orang yang berdada lebih besar dariku, dadaku akan jadi yang paling besar. Kamu bisa jadi korban pertama untuk rencana hebatku.”

“Jangan.”

Aku menginterupsi, karena Yozora mungkin akan benar-benar melakukannya.

Aku tidak bisa memprediksi apa yang akan Yozora lakukan dengan energinya yang berlebihan.

“...Jadi,eeh... ayo kita bahas tentang keinginanmu untuk punya teman.”

Kashiwazaki mendengar ucapanku dan mengangguk cepat.

“...Bukannya kamu selalu dikelilingi cowok-cowok?”

Tanya Yozora sambil menatap Kashiwazaki.

“Kamu ga ngerti. Mereka cuma pelayanku. Yang aku mau itu teman. Kalau bisa teman perempuan. Contohnya, kalau kamu harus masak di kelas memasak, atau membentuk kelompok waktu karyawisata, waktu guru bilang ‘buat kelompok dengan teman kalian’, aku mau teman yang bisa ada di sampingku. ”

Mungkin dia kelihatan populer dan menakjubkan dari luar, tapi di dalam dia juga punya masalahnya sendiri.

“... ‘Kashiwazaki kan populer banget sama cowok-cowok, mestinya kamu bikin kelompok sama mereka gyahaha’ Aku ga mau mendengar hal-hal memuakkan kaya gitu lagi, jadi aku butuh teman...! Aku ga mau pergi karyawisata dimana aku diperlakukan kaya bagasi tambahan, dan ga bisa main bareng sama teman sekelas...”

Kashiwazaki menjelaskannya dengan sedih.

“...Emang bener sih. Kadang aku dengar kabar kalau ada cewek yang diasingkan sama teman sekelasnya gara-gara terlalu cantik atau pintar.”

“Fuun, ga kusangka berandalan kaya kamu bakal mengerti. Kalau gitu, cepat berlutut supaya aku bisa menginjakmu, atau kamu lebih suka menjilat sepatuku?”

Kashiwazaki mengatakan hal aneh ini sambil tersenyum.

Kenapa aku ditawari diinjak atau menjilat sepatunya?

Ketika dia melihat aku memandanginya, Kashiwazaki memiringkan kepalanya, tampak bingung.

“Cowok-cowok di kelasku, kalau kubilang aku akan menginjak mereka atau menyuruh mereka menjilat sepatuku, mereka melakukannya tanpa komplain.”

Dan kemudian, wajah Kashiwazaki tiba-tiba menjadi ketakutan.

“...Jangan bilang kamu mau melakukan hal yang lebih hardcore? Benar-benar berandalan... A- Aku ga akan memakai kaos kaki ku buat memperbudakmu! Dasar mesum!”

“Aku ga mesum dan aku bukan berandalan!”

Kuprotes dengan seluruh kekuatan paru-paruku.

...Alasan orang ini tidak punya teman, bukan karena dia terlalu luar biasa, atau karena dia terlalu populer dengan cowok-cowok... Tapi karena kepribadiannya mengerikan. Akhirnya aku menyadarinya.

“Fuu... Inilah yang bisa diharapkan dari orang yang bisa memecahkan maksud dibalik poster Yozora...”

“Rasanya barusan kamu menghinaku.”

“Cuma perasaanmu aja.”

Aku menghiraukan Yozora yang masih menggerutu dan melanjutkan,

“Hey, dengan kalian berdua disini, sekarang kita semua punya teman buat main bareng, ya kan?”

“Ha?”

“Maksudmu apa?”

Yozora dan Kashiwazaki tampak terkejut.

“...Aah, apa karena kalian ga sekelas, jadi kalian ga bisa sekelompok di kelas memasak dan karyawisata?”

“”Bukan itu!””

Mereka berteriak bersamaan.

“Kenapa aku harus berteman dengan orang kaya dia?”

“Aku ga mau jadi temannya.”

Mereka terus berdebat.

“......Apa maksudmu barusan, cewek susu?”

“......Harusnya aku yang bertanya, mata kecil.”

“Matamu juga kecil.”

“Mata kecilku imut; punyamu lebih mirip musang.”

“Ah, aduh, ada orang yang ga malu manggil dirinya sendiri imut.”

“Memangnya kenapa kalau kenyataannya begitu?”

“Eh? Kenapa kamu ga mati sana?”

“Ha? Bukannya kamu, manusia yang ga berharga sama sekali, yang mestinya hilang dari dunia ini?”

......

....Yozora pernah bilang kalau mereka belum pernah bicara satu sama lain...

“Bagaimana kalian bisa bertengkar kalau kalian belum pernah bertemu sebelumnya...”

Kashiwazaki menyibakkan rambutnya dengan gelisah.

“Orang ini punya kepribadian yang menyebalkan. Di depan orang sesempurna aku, mestinya dia berlutut layaknya seorang pelayan.”

“Kamu benar-benar idiot.”

“Fufufu, nilaiku yang paling tinggi di angakatanku!”

“Ya, ya, jadi si cewek-sapi tau caranya belajar. Lihat nilainya yang menakjubkan!”

Dengan ekspresi menghina, Yozora bertepuk tangan. Wajah Kashiwazaki menjadi merah dan dengan marah dia berkata,

“...Dasar kamu... Aku akan minta papa mengeluarkanmu dari sekolah!”

“Papa? Kamu udah bukan anak kecil lagi dan kamu masih manggil orangtua papa mama, kamu ga malu? Kamu kaya gadis kecil yang masih minum susu, wow. Bisa hidup pun kamu ga merasa malu?”

“....Agu.....Kenap--.....kepribadianmu menyebalkan......!”

Dia mengepalkan tangannya dalam kemarahan.

Bahkan ada air mata di wajahnya waktu kulihat dari dekat.

Mungkin dia terlihat arogan dari luar, tapi ternyata dia benar-benar rapuh.

“Po- pokoknya!”

Kalau ini berlanjut mungkin bakal ada kontak fisik, jadi kuinterupsi dengan paksa.

“Aah?”

Mereka berdua, seolah-olah aku menginterupsi fantasi-perempuan mereka, membelalak marah kepadaku. Menakutkan.

“Jadi, Kashiwazaki, kamu benar-benar mau bergabung dengan klub ini?”

Kalau kalian bakal bertengkar terus seperti ini, tolong jangan libatkan aku.

Tapi,

“Ya, aku mau gabung. Aku bahkan membawa aplikasi pendaftaran nya.”

“Chi...” Yozora sama sekali tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya.

“........Ada yang mau kamu katakan?”

“Ya. Keluar. Ah, maaf bukan itu. Mati sana.”

“Aku ga mau menarik ucapanku soal bergabung dengan klub ini. Tapi ga kusangka bakal ada cewek yang se-mengerikan ini disini.”

Dan kemudian Kashiwazaki menepukkan tangannya.

“Oh iya, masalahnya beres kalau kamu keluar dari klub ini! Aku benar-benar pintar, ide yang hebat!”

“Klub ini punyaku!”

“Sejak kapan klub ini jadi punyamu?”

Bantahku pada Yozora sambil menatapnya.

“Dan untuk berandalan di sana!”

Kashiwazaki berbalik ke arahku. Udah kubilang, aku bukan berandalan.

“Mulai sekarang panggil aku Sena. Kamu kuberi izin untuk memanggil nama depanku.”

“...Untuk apa?”

“Kamu memanggil musang itu dengan nama depan, tapi kamu memanggil ku dengan nama belakang. Bukannya itu berarti di benakmu aku ada di bawah dia?”

“...Oke........Sena.”

Dengan enggan aku setuju.

Entah kenapa Yozora menatapku dengan murka. Apa maksudnya?...


Intinya, inilah yang terjadi: Di hari kedua sejak dibentuknya Klub Tetangga, kami mendapat anggota baru.

......Hasilnya kelihatan jauh lebih baik di atas kertas; Pada kenyataanya, sangat merepotkan.


Perburuan[edit]

“Kita harus bermain games.”

Tiga hari setelah “Klub Tetangga” didirikan.

Yozora tiba-tiba berkata.

Saya berada di ruang klub dengan Yozora; Sebagai tambahan, Sena Kashiwazaki, yang baru bergabung dengan klub kemarin, juga hadir. Hari ini Sena membawa satu set peralatan teh dan sedang menuangkan secangkir teh dari teko tersebut pada saat Yozora sedang berbicara.

“Ha? Game?”

Sena menjawab dengan gelisah.

“Yozora… Hanya anak kecil yang akan tertarik dengan games.”

Setelah saya menjawab, Yozora sekali lagi menganggapku sebagai orang yang bodoh.

“Kamu terlalu naïf, Kodaka. Untuk murid-murid sekolah menengah atas pada zaman moderen ini, Super Famicon dan Omega Drive sudah kuno.”

“…Apa yang kamu maksud dengan Super Famicon dan Omega Drive[14]?”

“Mereka hanyalah sebuah nama konsol yang muncul di pikiranku. Hal yang berawalan dengan ‘Super’ dan ‘Omega’ terdengar cukup mengesankan.” “Saya setuju, nama-nama itu terdengar mengesankan.”

“Eh, siapa yang peduli dengan itu. Balik ke topik!”

Yozora membanting meja dengan tangannya.

Bantingan tersebut mengguncang teh yang berada di depan Sena dan menumpahkan isinya ke tangannya.

“Ah! Apa yang kamu lakukan, gadis musang?!”

“Cih… Dia tidak berbalik…”

“Kamu sengaja? Sialan!”

“Hm? Apa maksudmu? Ngomong-ngomong, balik ke games.”

Yozora mengabaikan tangisan keluhan Sena dan mulai mencari sesuatu di tasnya.

“Game yang paling popular akhir-akhir ini adalah… ini!”

Yozora mengeluarkan game konsol genggam dari tasnya.

Bahkan saya sendiri pun tahu apa itu-

Play Stati Portable

Adik perempuanku mempunyainya juga.

“Pada saat saya pergi ke restoran keluarga kemarin sendirian, mereka yang berada di belakang tempat dudukku sangatlah berisik dan menjengkelkan. Ketika saya berbalik, saya melihat empat anak SMA sedang bermain ini dengan senangnya.”

Saya belum pernah pergi ke restoran keluarga sendirian… Saya di luar topik.

“Kelihatannya akhir-akhir ini, sangat umum bagi murid SMA bermain game online bergenggam di restoran atau semacamnya.”

“Lalu kenapa?”

Sekali lagi Yozora mengabaikan pertanyaan Sena; Dia menyalakan PSP-nya.

Kemungkinan PSP-nya dalam keadaan sleep-mode; Layar game-nya menyala dengan cepat.

“Anak-anak SMA tersebut sedang bermain ini, ‘Monster Kariu do’[15]. Dari hasil penyelidikanku, inilah game yang paling terkenal akhir-akhir ini.”

Di sekolahku yang sebelumnya, lumayan banyak orang yang bermain game itu jadi saya lumayan tahu.

Monster Kariudo – disingkat menjadi “MonKari”

Di game ini kamu bermain sebagai seorang pemburu di dunia fantasi. Di dataran, padang pasir, dan pegunungan, kamu berburu dan berjuang melawan monsters.

“Kamu bisa bermain co-op dengan orang lain. Pemain yang biasa bisa meminta bantuan dari yang ahli. Kalau kamu bermain game ini, ga bakal lama kamu dapat meningkatkan hubunganmu dengan orang lain. Dan juga, kamu bisa barter barang – ‘Aku mau item ini; Kamu punya?’ ‘Saya bisa menukar barang berharga ini untuk item tertentumu.’ Menurutku, jika dengan melakukan ini, dapat memberimu kesempatan untuk berbicara dengan orang lain.”

“…Iya juga, gadis-gadis di kelasku juga memainkan ini. Dewasa ini, kaum wanita pun bermain video games.”

Sena berkata.

“Jadi, aktifitas klub ini adalah bermain game ini, melatih keterampilan, memperoleh barang berharga dan mendapatkan teman?”

Yozora mendengar apa yang saya katakana dan mengangguk menyetujui.

Apakah game ini begitu mudah? Saya masih agak meragukan hal ini. Tapi bagaimana pun juga, dengan ini kita mempunyai aktifitas klub yang konkrit dan itu baik.

“Jadi Senin depan bawa PSP dan disc MonKari.”

“Fuun, baiklah… Meskipun saya ga tertarik dengan games karena itu terlalu repot, mengikuti idemu menjengkelkanku juga sifatmu membuatku kesal, sesungguhnya keberadaanmu sendiri membuatku kesal, tapi saya akan bermain denganmu.”

“Ah, nyamuk. (Suara Monoton)”

*BA*

Pada saat Sena mengangguk sambil menggerutu, Yozora memukuli hidungnya Sena.

“Aduh!”

Sena mengusap hidungnya sambil menangis dan memprotes.

“Cukup dengan serangan langsungmu, Yozora… Ah, apa kamu punya PSP, Sena?”

Saya bertanya. Sena lalu menjawab dengan sedikit menangis.

“Untuk apa saya memiliki satu; Tetapi saya bisa mencari seseorang di kelas dan menyuruhnya untuk meminjamkannya untukku.”

“Sialan kau, cewe berdada.”

Dan seperti biasanya, setelah Sena menjawab dengan cara yang egosentris, Yozora mengutuk.

 


 

Hari Senin

Seperti yang dijanjikan, saya membawa PSP dan disc game tsb.

Saya meminjam PSP-nya dari adikku; game-nya saya beli sendiri.

Yozora dan Sena juga membawa barangnya masing-masing.

“Apakah kamu sudah biasa dengan kontrol-nya?”

“Ya.”

Saya menjawab pertanyaanya Yozora.

“Huh, saya sangat sibuk jadi saya hanya sempat bermain sedikit. Karena game ini sangat terkenal, saya seharusnya tidak kesulitan bermain ini. Yah, ini hanyalah sebuah game, mainan yang dibuat untuk anak kecil.”

Seperti biasanya, Sena tidak terus terang dan selalu mengatakan yang sebaliknya dari yang dia maksudkan sebenarnya.

“Jadi mari kita mulai.”

Yozora mengumumkan dan kita menyalakan PSP masing-masing.

“Siapa yang jadi host?”

Sena bertanya.

“Bagaimana dengan yang mempunyai level tertinggi?”

Saya mengangguk setuju dengan usulan Yozora.

Di game ini, host dapat menerima misi. Misi-misi biasanya adalah variasi dari ‘Bunuh monster xxx’ atau ‘Ambil item xxx’. Host dapat mengundang pemain lainnya untuk menerima ajakan tersebut.

Setelah anda menyelesaikan beberapa misi, hunter-mu akan naik level. Dan dari itu anda akan menerima lebih banyak misi.

Setelah anda naik ke level yang lebih tinggi, misi-misi akan meningkat kesulitannya. Tapi pada saat yang bersamaan, tingkat penurunan barang langka akan naik juga. Oleh karena itu, lebih baik jika pemain dengan level yang lenih tinggi dijadikan host.

“Kodaka dan Sapi, level kalian berapa?”

Dan pada titik tertentu, Yozora melompati kata ‘dada’ atau ‘cewe’ dan langsung memanggil Sena dengan kata ‘Sapi’.

Meskipun nama panggilan biasanya hanya ada di antara teman dekat, saya rasa ‘Sapi’ dan ‘Cewe Berdada’ yang dikatakan oleh Yozora tidak dihitung dalam kategori tersebut – kata-kata tersebut lebih mirip sindiran menurutku.

“Saya masih di level 1.”

Dalam 2 hari ini, saya menghabiskan waktu lima jam memainkan game ini. Bermain solo memang sulit, jadi saya tidak menyelesaikan begitu banyak misi.

Oh ya, level tertinggi adalah level 5. Ketika anda mencapai level tersebut, misi-misi yang diterima sulit dan tidak mungkin bisa diselesaikan sendiri.

“Fuu, saya di level 3”

Yozora membalas dengan bangga.

Dari awal permainan, musuh-musuh sudah kuat, dan biasanya mereka mengepung anda. Oleh sebab itu, mencapai level 3 sendirian tidaklah mudah; Saya bisa mengerti kenapa dia bangga.

“Saya sudah level 5.”

Sena menjawab dengan muka yang puas sambil membelai rambutnya yang bersinar.

“5?!”

Yozora dan saya terkejut.

“Game ini sangat sederhana. Bahkan dalam gaming saya jenius, apakah ada batas dari kesempurnaanku?”

“Diam tutup mulutmu ke nereka sana dasar kamu cewe berdada daging mentah sana dipanggang sampai menjadi daging matang dan mati.”

Dan seperti biasanya, setiap kali Sena memulai membanggakan betapa hebat dirinya, Yozora akan, seolah-olah itu adalah gerekan refleksif seperti bernafas, mulai mengutuk Sena.

Oh ya, ‘daging mentah’ dan ‘daging matang’ kedua-duanya adalah items yang ada di permainan. Memakan ‘daging matang’ akan memulihkan stamina dan memakan ‘daging mentah’ akan menyebabkan sakit perut.

“… Sena, kamu bilang kamu hanya ‘bermain sedikit’? Apa yang kamu lakukan sampai kamu bisa semaju ini?”

“Sa-Saya tidak bermain lama kok!”

Wajahnya sedikit memerah, Sena mengulang penjelasannya; tetapi jelas saja dia berbohong.

Di antara misi-misi yang ada di permainan itu, terdapat beberapa misi yang dapat memakan waktu hingga satu jam untuk menyelesaikannya. Sekalipun dia menyelesaikan seluruh misi-misi dalam percobaan pertama, semua itu setidaknya akan memakan perpuluhan jam untuk mencapai level 5.

“Coba saya lihat total waktu bermainmu, Meat.”

Yozora merampas Meat – maksudku PSP Sena dari tangannya.

“Ah, tunggu! Jangan lihat!”

“Total waktu bermain 53 jam…apa?!”

Yozora tertegun.

“Dan kamu mempunyai begitu banyak items yang ga pernah kulihat di inventarismu! Dan equipment-mu sangat lucu! Kamu hanyalah sepotong daging mentah, jangan terlalu sombong!”

Yozora melempar PSP Sena kepadanya.

“Apa yang kamu lakukan, idiot! ~~~~~~~!”

Pada saat Sena mencoba menangkap PSP-nya, kakinya kesandung meja.

Dia berjongkok kesakitan sambil menangis.

Kemungkinan Yozora sadar bahwa perbuatannya mungkin terlalu berlebihan, dia menyerahkan sapu tangannya ke Sena – itulah yang saya kira awalnya. Tetapi malahan Yozora mengangkat sapu tangannya dan dengan kasar mengusapnya ke wajah Sena.

“Tunggu, berhenti, dasar musang bodoh!”

… Beberapa detik kemudian, Yozora berhenti menggosok. Sena lalu berdiri agak terguncang.

Dan saya melihat sepasang lingkaran hitam pekat di matanya.

Disebabkan oleh Yozora yang menggosok dandanan Sena dari wajahnya, lingkaran hitam matanya kelihatan.

“Sejak kamu pulang Jumat yang lalu, kamu bermain nonstop di akhir pekanmu, bukan?

“Ughh…”

Dibawah serangan Yozora, Sena mengeluh. “Fuu-n… game ini sederhana, huh…”

Saat Yozora melotot Sena, wajah Sena tersipu merah dengan cepat.

“S-Si singa pun tidak akan menahan diri pada saat berburu! Musang sepertimu ga akan mengerti!”

Ah, mulai lagi deh.

“Oke, saya yang akan menjadi host! Yuk kita lakukan misi level 3 untuk pemanasan, jadi siapkan peralatan kalian!”

“Fuu-n, wah saya sudah dewasa kok, tetapi akan saya temani deh memainkan permainan simpel ini dengan gadis kecil penggemar game ini.”

Yozora menjawab sambil mengecam gembar –gembor, mulai mempersiapkan PSP-nya.

Saya juga sudah terkoneksi ke PSP Sena.

…Meskipun saya belum bias berpendapat apa-apa tentang Yozora, tetapi di pikiranku, pandanganku tentang Sena sudah berubah sedikit.

Untuk ‘game sederhana’ ini, Sena mengorbankan seluruh waktu tidurnya untuk memainkannya tanpa berhenti. Ini bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang normal.

Meskipun Sena bermulut tajam, tindakannya yang bersungguh-sungguh menyiapkan diri untuk kegiatan ini – sesungguhnya lumayan layak.

Tetapi jika dia terus melewatkan waktu istirahatnya, tubuhnya akan melemah, jadi dia sebaiknya menahan diri.

 


 

Setelah kita bertiga siap, kita menggunakan desa sebagai pangkalan operasi dan bergerak menuju daerah pegunungan mencari monsters.

Saat level-mu naik, tempat berburumu juga akan bertambah. Khususnya map ini, saya sudah pernah berada di sini saat menyelesaikan beberapa misi.

Diwakilkan oleh karakter kami masing-masing, kita tiba di daerah permulaian misi.

Di permainan ini, kita bias memilih jenis kelamin permburumu, wajah, ukuran tubuh, gaya rambut, warna rambut, dll. Tergantung dari equipment-mu, penampilan karaktermu juga akan berubah.

Karakter Sena dan Yozora masing-masing adalah wanita. Karakter mereka masing-masing telah dilengkapi dengan senjata dan armor yang mencolok dan kuat. Dibandingkan dengan karakterku, terlihat lebih lemah dari mereka berdua. “Apa itu?”

Yozora mengejek dengan nakal.

“Apa boleh buat, saya baru memulai permainan ini.”

“Maksudku bukan equipment-mu, ada apa dengan karaktermu?”

“……..”

Saya memilih karakter laki-laki dengan rambut perang muda.

“Heh, jangan-jangan Kodaka ingin menjadi orang asing berambut panjang?”

Sena mengikuti sesi ejekan.

“Wajahnya juga feminism. Tragisnya, karakternya tidak mirip dengan orang aslinya sama sekali.”

“Nama karakternya “Hawk”, memalukan sekali. Apa itu karena namamu ‘Taka’ [TL Note: ‘elang’] jadi kamu memilihnya?”

“Siapa yang peduli! Ini kan hanya sebuah game, pasti dong ada sedikit perbedaan antara realitas dan game!”

Saya menjawab dengan tidak sabaran.

““Hanya sedikit?””

Omong-omong, karakter Sena dari wajah, rambut dan tubuh semua mirip dengannya. Namanya juga ‘Sena’. Senarsis apa orang ini?

Karakter Yozora juga dari rambut sampai tubuh sama dengan orang sebenarnya. Tetapi tatapan matanya lebih lembut dan wajahnya tersenyum menyerupai anak kecil. Nama karakternya ‘Night’. Karena namanya Yozora [TL Note: ‘Langit malam’] jadi dia menamai karakternya ‘Night’, bukannya sama-sama memalukan?

Saya membalas mengejek Yozora ‘Oh jadi kamu ingin mempunyai wajah menawan seperti itu huh, hehe’. Tentu saja saya hanya tergoda untuk mengatakannya, tetapi saya tidak mengucapkannya.

“Oke, mari berburu!”

Yozora mengumumkan. Dia mengendalikan ‘Night’ untuk maju.

Kemudian-

*Zubasyu*!!

‘Sena’ menggunakan pedang yang sebesar tubuh dan mengayunkannya ke belakang tubuh ‘Night’ yang tidak terlindungi.

 

“APA?!”

 

Yozora berteriak karena serangan tak teduga tersebut. Pada saat yang bersamaan, darah bersembur dari tubuh ‘Night’ dan dia tumbang.

Pedang tersebut benar-benar kuat sesuai untuk pemakaian level 5 – kekuatannya tidak bisa dilebih-lebihkan. ‘Night’ dikalahkan dalam satu hit.

Ketiga layar permainan kami menjadi gelap dan kita kembali ke titik awal. (Saya sendiri belum lagi bergerak sedikit pun sejak memulai misi ini)

Di permainan ini, kita tidak hanya dapat menyerang musuh, kita juga dapat menyerang sesama pemain di satu rombongan yang sama.

Jika kita mati tiga kali, misi gagal.

“Apa yang kamu lakukan Meat!”

“Aha, maaf. Saya ga sengaja menekan dengan kontrol yang salah. Oke, mari kita sambung!”

Sena menjawab dengan gembira.

MonKari mewajibkan pemainnya untuk menguasai setiap kontrol yang ada di PSP. Itu adalah satu set prosedur yang sangat rumit. Jadi tidak mungkin pemain level 5 seperti Sena secara tidak sengaja menekan tombol yang salah seperti amatiran.

...Jangan-jangan dia bermain 50 jam hanya untuk melakukan ini kepada Yozora?...

Di game online, memang ada pemain yang menikmati membunuh pemain yang lain, tetapi tidak dalam kasus MonKari!

“...Kalau memang ga sengaja ya ga apa-apa... oke, yuk...”

Yozora berkata dengan pelan dan menahan godaan untuk membunuh.

‘Sena’ berjalan dahulu dan ‘Hawk’-ku bergerak dekat dengannya.

Tetapi ‘Night’ tanpa alasan berjalan menjauh dari kami. Pada saat dia berada di jarak yang cocok dari kami-

“Ah-, saya menekan tombol yang salah- (Nada monoton)”

Dia menembakkan anak panah ke arah ‘Sena’.

*Busuu*!

Kepala ‘Sena’ tertusuk panah. Kepalanya mulai berdarah banyak.

“Hey! Itu jelas-jelas disengaja!”

Sena berseru.

“Saya ga membidikmu kok. Saya dengan tulus berharap kamu tidak menuduh tanpa bukti.”

“...Huh, karena kamu cukup sopan, kali ini saya maafkan.”

Meskipun anak panah tersebut masih tertancap di kepala ‘Sena’, dia berhasil berdiri dengan cepat. Dia menggunakan obat penyembuh.

Pertahanan ‘Sena’ sangatlah tinggi, jadi tidak langsung tewas.

“Chitsu...”

“Kamu barusan memukul bibirmu kan? Jadi itu memang disengaja!”

“Hey! Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertengkar!”

Kemungkinan mereka mencium darah. Empat serigala yang besar muncul dari kawasan gelap dekat kami.

Dengan terburu-buru saya menyiapkan ‘Hawk’ dalam posisi menyerang.

“Huh, mundurlah Kodaka. Biar saya yang urus sampah-sampah ini.”

Sesaat setelah dia mengatakan itu, ‘Sena’ maju menuju gerombolan serigala dengan pedangnya.

*Zubaa*! Seekor serigala tewas dalam satu tebas.

“Ahaha, beraninya kamu menantangku, dasar gerombolan setengah anjing! Kalian sepuluh bilyun terlalu awal untuk melawanku, dasar goblok!”

Serigala yang kedua juga sudah diurusi. ‘Sena’ lalu menghadap ke serigala yang selanjutnya.

Saya memperhatikan bahwa Sena cukup terampil di game ini.

Pedang tersebut memang kuat, tetapi gerakannya lambat. Dengan keadaan yang merugikan ini, Sena belum sekalipun tidak kena sasaran meskipun serigala-serigala ini gerakannya cepat.

“Serigala yang terakhir!”

Pada saat ‘Sena’ melaju ke serigala yang terakhir-

*Dosu*! *Dosu*! *Dosu*!

Satu anak panah mengenai kepala dan duanya lagi mengenai punggung. Sesuatu tertembak... Darah ‘Sena’ menyembur dan dia tumbang ke tanah.

Pelakunya Yozora tertawa dengan gila.

“Bagus! Usahaku yang hati-hati dalam membidik belum hilang- Ah tidak...maksudku, saya berusaha melindungimu, tetapi tembakanku meleset. Maaf.”

HP ‘Sena’ habis dan layar berubah gelap lagi- Kita kembali ke titik awal.

“Kamu sengaja menyerangku!”

Begitu kita kembali, ‘Sena’ menusuk pedangnya ke ‘Night’.

*Zubisyu*!

‘Night’ tewas.

Karena kami sudah tewas tiga kali, misi kita gagal. Kita kembali ke desa.

“...Dasar kamu...Meat....”

“Apa masalahmu, musang bodoh...”

Kedua cewe dengan wajah yang megejang, saling melotot dengan marah.

“Eh...ini adalah game co-op, yuk kita kerja sama, oke?”

Bagaimanapun juga, setidaknya saya berusaha bermediasi di antara mereka berdua.

Mengejutkan, mereka berdua setuju.

“.....Yah, yuk kita bekerja-sama dalam misi selanjutnya.”

“.....Huh, bersyukurlah hunter level 5 yang jenius dan cantik ini rela membantu hunter yang cacat sepertimu.” Dengah hati yang gelisah, kita mengulang misi tersebut.

 

“MATILAH!”

 

Kegelisahanku hanya bertahan 3 detik.

Saya rasa mereka bedua ga bakal bergaul dengan baik terhadap sesama. Sesaat setelah layar selesai loading, ‘Sena’ menebaskan pedangnya ke ‘Night’.

“Ha, lemah!”

‘Night’ berguling ke samping dan menghindari serangan ‘Sena’.

Setelah ‘Night’ menjaga jarak dari ‘Sena’, dia menarik busurnya dan mulai menembak.

Sena berhasil menghindari semua kecuali satu dari tembakan tersebut – Perut ‘Sena’ tertembak.

Saat ‘Sena’ kembali menyerang ‘Night, karakternya berhenti bergerak.

“A-Apa?! Kok saya lumpuh?! Kamu benar-benar menembaki panah beracun ke sesama temanmu sendiri! Ga bisa dipercaya!”

Dibandingkan dengan keluhan Sena yang menyakitkan, wajah Yozora berubah menjadi seperti pembunuh yang gila.

“Saya ga pernah sekalipun menganggapmu di sisiku, dasar potongan daging sialan!”

‘Sena’ yang saat ini masih lumpuh karena racun, mulai ditembaki beberapa anak panah oleh ‘Night’.

‘Sena’ tewas dan layar game mulai menggelap lagi.

“Dasar musang....! Saya akan memburumu!”

Saat game mulai lagi, ‘Sena’ meluncur melawan ‘Night’.

Setelah ‘Night’ menghindari seluruh serangan-serangan tersebut, dia mulai tersenyum dengan gila.

“Rupanya potongan daging ini bisa bergerak, betapa menjengkelkan. Biarku cincang kamu menjadi daging cincang!”

“Sebagai makhluk rendahan kamu berani melawan dewi? Biar kuajari kamu artinya penyesala!”

 Yozora dan Sena memulai berburu sesama sendiri lagi.

“Matilah! Seseorang hanya akan mengalami realitas kehidupan dengan membunuh orang lain!” Yozora meneriaki sebuah baris dari ‘Ningen Shikaku’. Pada saat yang bersamaan tanpa menahan diri, dia mulai menggunakan susunan barang-barang berharga seperti dart beracun, peledak, perangkap, dll untuk membatasi gerakan ‘Sena’ lalu membidiknya dengan panah.

Teknik pemasangan perangkap Yozora sangatlah brilian. Sebagai contoh saat Sena menunduk menghindari panah, dia akan jatuh ke perangkap binatang yang menunggu di arahnya. Atau contoh lainnya, Yozora akan memasang perangkap di daerah map yang tidak kelihatan. Metode yang dia gunakan tidak berguna untuk monsters – tetapi khusus untuk musuh seperti manusia.

“Potongan kotoran sepertimu harus bertindak seperti kotoran- berlututlah dan jilati jari kakiku!”

Lawannya ‘Night’, ‘Sena’, juga menggunakan sebuah barisan yang sepertinya berasal dari overlord yang jahat. Dia mempunyai obat penyembuh khusus dan eliksir-eliksir yang langka untuk menghadapi apapun yang Yozora bakal lakukan.

‘Night’ tetap menjaga jaraknya dengan lincah; Pada saat yang sama, hujan panah tidak berhenti menyerang.

Meskipun pedang adalah senjata yang sangat kuat untuk melawan monsters, tetapi jika musuhnya adalah manusia, panah mempunyai kelebihan daripada pedang.

Tetapi Sena patut dipuji, dia mencapai level 5 sendiri. Setelah Sena mulai biasa dengan serangan gerilya Yozora, dia bergegas menuju arah ‘Night’ untuk memberi serangan kritisnya.

“Bergulinglah kesakitan di tanah dan matilah mengenaskan!”

“Akan kuhantam ususmu sampai keluar, dasar musang!”

Soal keterampilan dan equipments, Sena lebih hebat; Tetapi dalam soal perangkap, Yozora jauh lebih hebat.

Yozora, yang berkonsentrasi dalam memanfaatkan kelemahan musuh; Sena yang lebih menikmati serangan langsung.

Tanpa menyerah, keduanya memulai pertarungan yang hebat untuk saling melawan. Tetapi siapa juga mau bermain MonKari untuk ini? Saya tidak mengerti.

Kalau saya, saya cuekin kedua cewe bodoh tersebut dan mengelilingi map untuk mengumpulkan bijih tambang dan ramuan-ramuan (meskipun misi gagal, saya masih dapat membawa hasil barang kumpulan pulang.)

...Oh, beruntung. Saya menemukan Dragon Ore[16]

 


 

Setelah waktu sekolah habis, juga peperangan yang bodoh ini.

Skor akhirnya adalah 36 banding 31, dengan Yozora sebagai pemenangnya- dia sudah cukup banyak menggunakan semua barang berharga yang dia dapat sebagai hunter level3. Kalau dia melanjuti pertarungan tersebut, Sena-lah yang akan mendominasi.

“Fu, seperti yang aku kira, games ga bisa.”

“Wah, saya membuang banyak waktu.”

Keduanya mengeluh saat mematikan PSP-nya.

“Dan juga, kenapa konsol genggam zaman sekarang dilengkapi dengan jaringan bermain. Buat apa saya bermain dengan yang lain?”

Yozora baru mengeluh tentang semua game multiplayer.

Sena mengangguk setuju.

“Fu, iya. Buat apa saya memenuhi pemikiran orang lain, meskipun di dunia maya?”

“Benar. Games seharusnya menjadi sesuatu dimana seseorang dapat bermain semaunya.”

Mereka berdua mulai mengekspresikan gagasan-gagasan yang egosentris.

“...Kapan juga kalian berdua bekerja sama dengan orang lain?”

[Note: Sena dan Yozora menjawab bersamaan] “”Apa?””

“....Ga apa-apa.”

Mereka berdua saling melotot, saya mengangguk dengan capek.

 

Dan hanya dengan begini, sesi latihan gaming Klub Neighbor yang melelahkan ini selesai.

 


 

Yang berikut ini hanyalah omongan yang ga berarti.

Karena perbuatan Yozora dan Sena yang memalukan, sesi gaming klub diakhiri dengan menyesalkan. Tetapi MonKari tetap sebuah game yang terkenal dan menyenangkan. Saat saya tiba dirumah, saya melanjuti permainan tersebut.

Saya hanya kekurangan satu item lagi untuk sintesiskan sebuah armour, tetapi mau betapa banyaknya musuh yang kulawan, saya tetap tidak mendapati item tersebut.

Akhirnya, saya menyerah dan tidur. Tetapi keesokan harinya pada saat istirahat makan siang di sekolah-

Saya melihat kedua murid laki-laki sedang bermain PSP di sudut kelas.

Saat saya mendengarkan percakapan mereka berdua, saya menyadari kalau mereka juga bermain MonKari.

 

Mereka berdua kemungkinan sedang barter jarahan mereka. ‘Saya mau item ini, apa kamu punya?’ ‘Bagaimana jika aku menukarkan barang berharga ini untuk barangmu yang itu?’ Saya ada perasaan kalau saya bisa menggunakan ini sebagai pemulai pembicaraan.

 

Saya teringat dengan apa yang dikatakan Yozora. Saya menguatkan tekadku, mengeluarkan PSP-ku dari tas dan mulai berjalan menuju mereka berdua.

Saat mereka berdua menyadariku berjalan menujunya, mereka mulai ketakutan.

Sial, tetapi saya tidak boleh mundur sekarang...Kalau saya bisa beritahu mereka saya hanya ingin bergabung jaringan game, mereka akan kembali tenang.

Saya berusaha sebaik mungkin untuk terlihat tidak berbahaya dan berkata dengan hati-hati-

“Hei, saya juga bermain MonKari. Bisakah kalian menukarkan barang ‘ドラス ポスの頭[17]’?”

...Saat mereka mendengarkanku, mereka tersenyum dengan tegang di wajahnya. ‘T-Tentu saja’ ‘A-Apa kamu mau barang yang lain juga?’ ‘ギドスノスの角?’ ‘スイ一オスドの頭?’ ‘Kamu boleh ambil apa saja yang kamu mau!”

“Ah, tapi saya ga punya barang yang bagus untuk ditukarkan dengan kalian.”

“D-Daging pun ga apa-apa! Atau obat penyembuh!’ ‘K-Kalau gag ada, herbs pun ga apa-apa!”

“....Benarkah? Trims.”

Dengan lega, saya terima tawaran mereka.

Karena mereka, saya akhirnya menyempurnakan satu set equipment yang kuat-...

 

....Dan segera, rumor “Kodaka Hasegawa mengancam murid lain dikelas pada siang bolong” mulai menyebar mengelilingi sekolah.

Oh kenapa....






Selamat Datang di Dunia Galgame[edit]

Suatu hari ketika Yozora dan aku tiba di ruang klub, kami melihat ada TV layar datar 20 inch dan Playstation di sudut ruangan.

Sena sudah datang lebih awal.

“Apa itu?”

Tanyaku sederhana, dan Sena menatapku seakan-akan aku idiot.

“Tingkat kebodohanmu berbanding lurus dengan identitasmu sebagai berandalan. Ini adalah produk teknologi modern, namanya ‘televisi’ dan ‘Playstation’. Butuh listrik untuk menjalankannya. Oh, kamu tau listrik ga?”

“Kamu pikir aku manusia gua?! Maksudku buat apa ada barang-barang itu disini?”

“Pertanyaan bodoh. Ya supaya kita bisa main video game lah.”

“Jangan bawa barang-barang mu ke ruang klub ku.”

Celoteh Yozora sebal. Dia mengambil teko milik Sena, menuangkan kopi ke gelasnya dan menghirup kopinya. (Ngomong-ngomong, Sena membawa tekonya untuk membuat teh, tapi Yozora meminjamnya tanpa izin untuk membuat kopi.)

“Buat apa kita main video game disini?”

Memori tragis waktu bermain MonKari dengan dua orang ini masih membekas di benakku.

Sena membusungkan dadanya, yang sangat indah, dan menjawab-

“Bukan game cacat itu yang mau aku mainkan. Aku bawa ini semua soalnya aku nemu game bagus yang bisa membantu kita dengan kegiatan klub. Berterimakasihlah kalian orang-orang tak berguna!”

Dia sebut MonKari game cacat...

MonKari asyik dimainkan. Bahkan setelah kejadian itu aku masih memainkannya...sendirian.

“Diam, Daging. Kamu membuat kopinya jadi ga enak.”

Kata Yozora dengan santai sambil menghirup kopinya. Dia mengambil buku yang tergeletak di meja dan mulai membaca.

“Tunggu! Aku udah repot-repot membawanya ke sekolah, jadi dengerin aku sebentar!”

Protes Sena yang matanya mulai berair. Yozora mendesis dan mendongak.

“Aku udah repot-repot menyiapkan semuanya buat musang idiot, dungu, keras kepala dan buat berandal kelas-rendahan ga berguna- hei dengerin!”

Sena berteriak lagi ke Yozora, yang menutupi kepalanya dengan buku untuk membaca.

‘Berandal kelas-rendahan ga berguna’- maksudnya aku?

“Ini game yang sudah aku siapin!”

Dengan bangga Sena mengeluarkan kotak game dari dalam tasnya.

Sampul kotaknya dipenuhi gambar cewek bergaya anime.

"……'Tokimeite memoriideisu 7'?" [TL comment: Parodi dari Tokimeki Memorial ]

Yozora mengambil kotaknya dari Sena, dan membaca judulnya.

Dan dia membaliknya dan membaca sinopsis game dengan nada datar.

“......Game terbaru dari serial simulasi percintaan bishoujo yang sangat populer, ‘Toki Memo’, telah hadir tanda seru tanda seru. Kamu dan tujuh bishoujo akan bersama-sama menjalani kehidupan sekolah yang intim seindah bunga mawar tanda seru tanda seru tanda seru. ”

“Kamu ga mesti membaca ‘tanda seru’ nya!”

Kataku mengkoreksi Yozora.

Yah, aku bisa menebak game macam apa ini.

Meski belum pernah kumainkan langsung, tapi game dengan genre dimana kita harus berinteraksi dengan cewek dan memenangkan hari mereka...Ini pasti yang disebut-sebut sebagai ‘Galgame’.

“Ga sengaja aku ngelihat game ini waktu pergi ke toko game.”

Jelas Sena.

“Dibanding MonKari, game kaya gini lebih cocok dengan tujuan klub ini, ya kan?”

“......Betul juga. Ini bisa membantu kita supaya bisa ngobrol dengan orang lain.”

Dengan ekspresi serius, Yozora setuju dengan pendapat Sena.

“Disini ditulis kalau ini game simulasi, mungkin ini bisa membantu...Tapi bukannya game ini didesain buat cowok? Seingatku ada game kaya gini tapi buat cewek, jadi target yang kita dekati itu bukan cewek tapi cowok.”

Mereka menyebutnya ‘Otomegame’.

Sesuai namanya, game ini sama dengan Galgame; tapi kata ‘otome’ mengacu pada pemainnya. Intinya game simulasi percintaan untuk cewek.

“Ha?”

Sena berbalik dan menatapku. Tampaknya dia terkejut.

“Buat apa aku harus belajar caranya mendekati cowok?”

“....Mulai lagi deh.”

Seperti yang sudah dibilang sebelumnya, diantara cowok-cowok Sena sangat populer.

“Yaah, game macam ini ga akan berdampak besar buat figur dewi sepertiku. Tapi untuk sampah seperti Musang dan Kodaka, ini bisa jadi latihan bagus buat berinteraksi dengan orang lain.”

“Seperti biasa, omonganmu sampah. Paling-paling kamu udah main game ini berjam-jam dirumahmu kan? Karena itu, Daging... oke, terserah lah. Kupatahin cd-nya.”

Buru-buru Sena mengambil gamenya dari Yozora yang berusaha mematahkan cd-nya.

“Aku, aku sama sekali belum main! Nih lihat, bungkus kotaknya masih ada!”

Seperti yang Sena bilang, bungkusan kotak nya masih ada.

Yozora mendengus sebal.

“Fu, kalau gitu cepet buka, dasar gumpalan daging ga guna. Jangan cuma berdiri kaya orang tolol kalau aku ga menyuruhmu ngapa-ngapain.”

“Guuu...”

Sena, dengan wajah kaku, membuka kotak game, mengambil cd, memasukkannya ke PS2 dan menyalakannya.

“Gapapa nih kita ga baca buku petunjuknya?” tanyaku.

“Nanti juga kita tau. Ini kan bukan game action; kontrolnya ga bakal terlalu ribet.”

Di TV, muncul logo pembuat game. Ketika melodi lembut mulai terdengar, video pembukaan mulai dimainkan- tadinya kupikir begitu tapi,

“Minggir sana.”

Sena menekan tombol Start dan melewati video pembukaan-nya.

Di menu utama dia memilih New Game dan sampai di layar dimana dia harus mengisikan nama.


Jadi pemain boleh memilih sendiri nama karakter utamanya.

“Coba kita lihat... Ka, Ka, Kashi......wazaki......”

“Hei Daging. Kayanya barusan kamu masukin namamu tanpa minta izinku.”

Yozora menginterupsi Sena yang masih berusaha mengisikan namanya.

“Udah jelas kan, dari kita bertiga cuma aku yang paling cocok jadi karakter utama.”

Balas Sena.

“Tidak. Harusnya namaku, sebagai representatif dari klub ini.”

“Sejak kapan kamu jadi representatif klub ini, musang bodoh.”

“......Karakter utamanya kan cowok, kenapa ga namaku aja?”

“”Tidak””

Mereka berdua berteriak membalas gumaman ku. Sudah kuduga bakal jadi begini sebenernya...

“......Pokoknya, karena Sena yang beli game nya, menurutku lebih adil kalau kamu membiarkan dia yang memilih nama, oke?”

Setelah Yozora mendengar saranku, dengan enggan dia berkata,


“...Oke kalo gitu. Karena aku sangat baik hati, kuberi kamu izin.”

“Fu, ternyata kamu bisa pengertian juga Kodaka.”

Sena memasukkan kata Se. Ketika kursornya berpindah ke Na-

“Aku berubah pikiran.”

Tiba-tiba Yozora mengambil controller nya dari Sena. Dia menggerakkan kursornya ke sembarang huruf, memilihnya secara acak, dan menekan tombol Start.

“Ngapain kamu idiot!”

Teriak Sena marah; tapi setelah namanya dikonfirmasi, permainan pun dimulai.

Di blok pesan, muncul monolog karakter utama.

"Namaku Semoponume Kashiwazaki. Agak sedih mengatakannya, tapi aku cuma siswa SMA yang sangat biasa."

“Siapa itu Semoponume!”

“Nama karakter utama nya. Diberikan langsung dari Tuhan.”

“Apa-apan nih!”

Kepada Sena yang murka, Yozora dengan tenang menjawab.

“Namanya bagus kok. Kenapa kamu ga ganti namamu jadi Semoponume aja? Agak capek setiap kali ngucapin Sena .”

“Capek darimana?! Cuma ada 2 suku kata! Semoponume jauh lebih berbelit-belit!”

“Aku ngerasa jijik setiap kali ngucapin kata ‘Sena’. Dan setiap kali kata itu muncul di pikiranku, aku jadi mual.”

“Ini pertama kalinya ada orang yang menghina namaku!”

“Terlalu repot kalau harus me-restart gamenya. Kita pakai nama ini aja, Semoponume.”

“Namaku Sena! Semoponume itu nama karakter utamanya!”

Yozora tersenyum perlahan.

“Bagus, jadi kamu juga udah mengakui nama Semoponume. Lanjutkan kalo gitu.”

“Ah?!....Sial.....”

Sena menggerutu, kecewa dan tidak puas, dengan sedih memulai permainan.

Karakter utama Semoponume mulai mengenalkan kondisinya saat ini.

Dia baru saja masuk SMA. Sebagai anak normal tanpa ciri khas yang menonjol, Semoponume Kashiwazaki akan memulai kehidupan sekolah yang sempurna.

“......Namanya Semoponume, menurutku sih itu sudah sangat menonjol.” Kataku.

"Itu nama yang menjamin ejekan. Namanya sudah diatas level DQN[18]. Orangtua Semoponume pasti benar-benar benci dengan anaknya. Kasihan.” Ejek Yozora.

“Kamu- Kan kamu yang ngasih dia nama itu.....!”

Anak keluarga Kashiwazaki yang asli, Sena, dengan mata berair melanjutkan permainan.

Setelah perayaan penerimaan murid baru selesai, Semoponume berjalan ke kelasnya.

Di dalam, siswa bergaya santai dengan rambut warna-teh menyapanya.

“Oi, Semoponume.”

“Oi”, balas Semoponume, dia tidak bilang apa-apa lagi. Cuma itu aja?

Menurut buku petunjuk, orang ini adalah teman sekelas Semoponume dan merupakan teman baiknya sejak SMP.

“Cacat.....Dia udah punya teman......?!”

Aku terkejut.

Dari awal dia udah ga perlu lagi mencari teman, dan sekarang dia mau menikmati kemewahan menjalani kehidupan sekolah yang sempurna? Anak ini.....

“Dia ga tau seberapa beruntungnya dia! Aku yakin dia tipe orang yang bakal bilang ‘Biarkan mereka makan kue’.....!”

Aku mulai membenci karakter utamanya.

“Muka Kodaka jadi agak menakutkan, atau harus kubilang, menjijikan.”

Kata Yozora dingin.

Nama teman baik Semoponume ini adalah Masaru Suzuki.

Masaru juga ingin menjalani kehidupan sekolah yang sempurna, jadi dia menanamkan ide kalau 'kamu harus mendapat pacar yang cantik’ ke karater utama kita.

Masaru berkata [TL note: bayangkan Confusius berkata:] Berteman dekat dengan gadis-gadis, akan menuntun kita kepada kesenangan waktu berbelanja, karyawisata, dan festival.

“Ucapannya masuk akal juga untuk ukuran orang tolol. Teman yang dia cari pas dengan kriteria ku. Ga salah aku beli game ini.”

Sena mengangguk puas.

Masaru menjelaskan kalau ada banyak cewek cantik di sekolah ini, dan kalau Semoponume ingin kenal lebih dekat cewek tertentu, dia bisa bertanya padanya. Akhirnya Masaru menyarankan Semoponume membiasakan diri dengan tren fashion dan bahasa gaul.

“......Kenapa Masaru nawarin banyak bantuan buat Semoponume? Apa dia diancam gara-gara Semoponume tahu rahasianya?”

Tanya Yozora keheranan.

“Bukannya itu yang namanya persahabatan? Persahabatan itu kamu melakukan sesuatu tanpa minta balasan. Masaru benar-benar orang yang hebat.... bisa ga karakter utamanya fokus menjalin persahabatan dengan Masaru aja?”

“Aku ga perduli sama si tolol Masaru.”

Sena melanjutkan permainan.

Seorang cewek mulai berbincang dengan karakter utama dengan gaya bersahabat.

"Aku agak gugup masuk ke sekolah baru, untungnya aku duduk di samping orang yang baik. Kuharap kita bisa jadi teman baik Kashiwazaki-kun."

Kata cewek itu, tersenyum (Kali ini ‘Kashiwazaki-kun’ ga langsung menjawab seperti biasanya.)

Kemudian, menu pilihan muncul di layar. Kelihatannya kita harus memilih balasan untuk cewek tadi.

Berdasarkan pilihan kita, kesan cewek tadi ke karakter utama bakal berubah. Game ini mulai terasa seperti simulasi.

Ada 3 pilihan yang tersedia.

  1. [Senang bertemu denganmu juga! Akari-chan]
  2. [Aah, senang bertemu denganmu Fujibayashi-san]
  3. [……Dasar cewek sok akrab. Pergi sana]

“3 kalo gitu” “Pilih 3”

Tegas Sena dan Yozora serempak.

“Kenapa 3?! Itu piliihan yang paling ga masuk akal?!”

Aku benar-benar kaget.

“Ha? Ini baru hari pertama sekolah, tapi cewek ini udah sok akrab sama orang yang belum dia kenal. Jangan percaya sama orang kaya gitu.”

“Iya. Cewek ini pasti ngomong kaya gini juga ke semua cowok di kelas.”

Kata Sena dan Yozora.

“Ga mungkin, coba lihat, dia bener-bener tulus.”

Yozora mendengus 'f~un' dan mulai tertawa terbahak-bahak.

"Semua pelacur memang kaya gitu! Coba pikir, ada orang yang kaya gitu juga di kelas kita. Dari luar cewek-cewek ini kelihatan suci dan tak berdosa, tapi di dalam, mereka semua ingin menggerogoti cowok.” [TL comment: Saya tidak berusaha melebih-lebihkan, penulis memang memakai kata 'bitch' (ビッチ) disini.]

“Cara ngomongmu meyakinkan banget, seakan-akan betulan! Emangnya ada orang kaya gitu?”

"Entah, tapi pasti ada. Ada banyak website yang bilang kalau semua JK [TL note: 'Joshikousei', istilah untuk siswi SMA Jepang] di jaman modern ini cuma pelacur yang ga punya otak."

... ... Bukannya kamu juga siswi SMA jaman modern?

“Kalo gitu aku piliih 3.”

Kata Sena sambil memilih 3.

Fujibayashi-san berkata muram,

“Ma- maaf, Kashiwazaki-kun.....Mungkin aku bersikap terlalu akrab dengan orang yang baru kukenal.....Aku akan lebih hati-hati lain kali. Jangan marah ya.”

Dengan ekspresi menyedihkan, dia pergi perlahan-lahan.

“Kamu pikir kamu bakal dimaafin cuma gara-gara kamu bilang ‘aku bakal lebih hati-hati, jangan marah ya?’ Tingkahmu barusan nunjukin kalau kamu minta maaf tapi ga merasa bersalah. Kamu bener-bener ga tau kesalahanmu dimana. ”

“Fu~n, kamu memang agak cantik, tapi ga berguna untuk ukuran pelacur! Pergi main sama cowok tolol di sana, dasar idiot!”

Yozora dan Sena terus memaki-maki Fujibayashi-san yang sekarang sudah menghilang dari layar. Cewek-cewek ini menyedihkan.

Aku menghela napas dan melihat buku petunjuknya.

Di bawah bagian perkenalan, tertera keterangan tentang Fujibayashi-san. Di sini dia digambarkan ‘Benci perdebatan, baik hati, dan ramah ke semua orang.’

Aku benar-benar minta maaf Fujibayashi –san......Semoponume memang brengsek. Kamu kurang beruntung duduk disebelahnya, abaikan saja dia......


Setelah percakapan dengan Fujibayashi selesai, karakter utama pulang ke rumah.

Selain jendela status karakter utama, muncul pula beberapa pilihan.

Berdasarkan buku petunjuk, pemain harus memilih bidang mana yang akan ditekuni untuk minggu ini. Pilihannya adalah ‘belajar’, ‘olahraga’, ‘kerja paruh waktu’, dan ‘fashion’.

Sebagai contoh, kalau kamu pilih ‘belajar’, maka intelegensi Semoponume akan meningkat. Kalau kamu pilih ‘olahraga’, maka kemampuan atletiknya yang akan meningkat. Kalau status nya terus meningkat, Semoponume bisa bertemu banyak cewek lain.

“......Kalau dia ga punya kemampuan yang menonjol, dia ga bakal bisa ketemu cewek yang lebih baik. Inilah kejamnya dunia. Game ini benar-benar game simulasi. Persis kaya aslinya. ”

Komentar Yozora agak sentimental. Sena menambahkan,

“Berbeda banget sama si tolol ga guna Fujibayashi yang ngedeketin orang lain tanpa alasan jelas, aku heran kenapa cowok-cowok suka sama dia. Ini butuh pemikiran serius.”

Semua ejekan ini, cuma gara-gara dia ngobrol sama teman yang duduk di sebelahnya.

“Fujibayashi cuma mau bersikap ramah. Buku petunjuknya juga bilang gitu...”

Sena berkata, dengan nada mengejek,

“Jangan langsung percaya sama dekripsi karakter begitu aja. Mungkin mereka menyebutnya pengaturan ‘resmi’ karakter, tapi sampai sekarang aja masih diperdebatkan apa kita bisa percaya sama informasi ukuran tubuh, apalagi deskripsi sifat karakter.”

“Memangnya pembuat game bisa dapet apa kalau mereka bohong di buku petunjuk?!”

“Astaga. Bocah idiot ini benar-benar percaya sama informasi semacam ukuran tubuh.”

... ... Kok aku jadi dipandang rendah gara-gara hal kaya gini.....?


Status awal Semoponume benar-benar rendah. Karena Yozora dan Sena setuju kalau mereka ‘Benci dengan orang bodoh’, kami memutuskan untuk fokus menaikkan tingkat intelegensi Semoponume.

Setelah memilih ikon dengan gambar pensil dan buku, muncul animasi yang menunjukkan karakter utama duduk di meja dan membaca buku pelajaran. Hasilnya, grafik ‘batang’ yang menunjukkan tingkat intelegensi bertambah panjang. Ini masih hari pertama sekolah, dan dia sudah belajar dengan tekun; luar biasa sekali anak ini, si Semoponume.

“......Intelegensinya cuma bertambah kalau lagi belajar, berarti awalnya anak ini bener-bener ga berguna.”

Komentar Yozora dingin. Baru setelah dia bilang begitu, aku pun merasakan hal yang sama.

Setelah belajar non-stop siang dan malam selama sebulan, intelegensi Semoponume naik dari awalnya 20 menjadi 100.

“......Awalnya dia cuma sampah, tapi cuma butuh sebulan untuk naikin intelegensinya jadi bintang-5. Luar biasa ya dia?”

“Kalau kita mencatat cara dia belajar dan menuangkannya ke buku, mungkin bisa jadi best seller.” Tambah Yozora.

Dan kemudian, layarnya tiba-tiba berganti.

Dilihat dari latarnya, sekarang kami ada di perpustakaan.

Semoponume mulai bosan dengan buku yang dibacanya, dan dia ingin mencari buku lain, jadi dia berdiri dari kursinya.

Sepertinya Semoponume menemukan buku menarik. Tepat saat dia mengulurkan tangan ingin mengambilnya, ada seorang perempuan yang juga berusaha mengambil buku yang sama.

Dengan kuncir dua dan kacamata, gadis lemah lembut ini kelihatan sangat imut.

Gadis ini juga salah satu kandidat pacar untuk karakter utama. Aku bisa bilang begitu soalnya di buku petunjuknya, di bagian deskripsi karakter cewek ini, ada tulisan ‘bisa dijadikan pacar’.

"Ah, maaf."

Gadis berkacamata tadi buru-buru menarik tangannya.

Dan menu pilihan pun muncul.


1 "Ah, maaf" dan biarkan dia mengambil bukunya

2 "Aku yang lihat buku ini duluan!" dan ambil paksa bukunya


Kukira dua orang ini bakal memilih 2 tanpa ragu-ragu; Aku kaget waktu melihat Yozora dan Sena ternyata memilih 1.

“Kalau kamu punya waktu luang buat baca buku, pergi belajar sana!”

“Kamu masih punya ujian, Semoponume. Kamu harus menaikkan intelegensi sampai 200 dan sekarang bukan waktunya leha-leha, dasar sampah. Kamu harus ada di peringkat 1, selain itu ga akan kuterima.”

... ... Kemungkinan besar dua orang ini akan jadi ibu yang kelewat studi-oriented.

Semoponume memberikan bukunya ke cewek tadi. Cewek itu agak ketakutan, tapi kemudian senyum ceria menghiasi wajahnya. Dia langsung berterima kasih ke Semoponume. Kayanya dia udah lama ingin baca buku ini, tapi saking populernya, buku ini selalu dipinjam lebih dulu. Kalau gitu kenapa dia ga beli aja? pikirku.

”Eh, kalau boleh tau, nama kamu siapa?”

”Oh ya. Aku Semoponume Kashiwazaki dari kelas D.”

”Semoponume Kashiwazaki san...Nama yang bagus.”

“......Selera yang mengerikan...Anak ini...”

“Ini gara-gara kamu ngasih nama aneh kaya Semoponume, adegannya jadi terasa canggung kan! Coba kita pakai nama Sena dari awal...”

Komplain Sena ke Yozora sambil menatapnya.

Nama cewek tadi Yukiko Nagata. Setelah itu mereka ngobrol soal hobinya membaca dan buku-buku yang dia rekomendasikan, kemudian layarnya berganti kembali ke rumah karakter utama.

Kalimat ‘Pilihan untuk Mengajak Yukiko Nagata Kencan sekarang tersedia’ muncul di layar. Dan muncul juga pilihan ‘Tanya Masaru tentang Apa Yang Yukiko Nagata Suka Lakukan dan Tempat Favorit Yukiko Nagata’.

“Hmm, ayo kita coba berteman sama dia dulu, oke?”

Kata Sena.

... ... Ini bukan game tentang mencari teman; ini game tentang mencari pacar.

“Jauh lebih baik daripada si pelacur Fujibayashi. Oke kalo gitu.”

Yozora juga setuju. Dengan ini, target pertama kami adalah si ‘cewek literatur’ (buku petunjuk nya yang bilang begitu) Yukiko Nagata.

Menurut informasi Masaru, kami bisa tahu cewek macam apa Yukiko Nagata cukup dari melihat penampilannya. Hobinya membaca, dia suka pergi perpustakaan, aquarium, museum, dan planetarium. Dengan kata lain, dia suka tempat-tempat yang tenang.

“Kalau Masaru tahu banyak tentang dia, kenapa dia ga deketin Nagata? Awalnya kukira dia ga tau apa-apa.”

“Masaru mungkin kelihatannya ga tau apa-apa, tapi dia laki-laki yang menilai persahabatan jauh lebih penting daripada gadis-gadis! Aku ingin punya teman kaya dia......”

Yozora memandangku ngeri, berkata ‘Menjijikan’, sambil pergi dari hadapanku.

Pokoknya, sesuai saran Masaru, Semoponume mengajak Yukiko Nagata pergi ke perpustakaan di akhir pekan.

Kencan di pepustakaan berjalan mulus. Begitu juga kencan di aquarium, dan di museum setelahnya. Kencan mereka ga ada habisnya.

“Ha, asyik banget. Bermain dan belanja sama teman perempuan.”

Sena benar-benar menikmati ‘kencan’ nya.

... ... Tapi Semoponume, secara teknis, adalah cowok.

Selain itu, tampaknya Semoponume dan Yukiko Nagata benar-benar mesra. Setiap kali Yukiko bicara, wajahnya pasti merona merah.

"Hahahaha~~~~~~~*heart* Cewek ini imut, imut banget…….Asyik banget punya cewek yang mengagumi kita!"

Kayanya Sena bener-bener suka sama Yukiko Nagata. Dia kelihatan bahagia banget.

Di lain pihak, Yozora masih terlihat sebal. “......Fu, yaah, anak ini memang oke.”

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp5.jpg

Kupikir kita akan menjalani rute Yukiko Nagata dengan mulus.

Tapi suatu hari, waktu Semoponume mengajak Yukiko Nagata pulang bareng, dia malah marah dan lari begitu aja.

“Apa......?!”

“Tunggu, ke- kenapa?! Ada ada Nagata?!”

Yozora dan Sena tampak kebingungan.

Layar berganti ke kamar karakter utama.

Dan kemudian Masaru menelepon Semoponume.

Menurutnya, rumor kalau ‘Semoponume menyakiti perasaan Fujibayashi’ mulai beredar di antara murid perempuan.

“Jadi itu alasannya kenapa Yukiko Nagata tiba-tiba jadi dingin ke Semoponume.”

“Ha? Kodaka, sebenernya ada apa sih?”

“Kalau ada cewek yang benci sama kita, bakalan ada rumor jelek beredar tentang kita. Lama-lama cewek lain bakal punya kesan buruk ke kita. Ini kata buku petunjuknya.”

Waktu kita fokus total di rute Yukiko Nagata, kadang Fujibayashi juga berusaha ngobrol sama karakter utama.

Dan setiap kali itu terjadi, Sena dan Yozora, seperti waktu bertemu Fujibayashi pertama kali, memilih pilihan yang paling kejam kaya ‘Pergi jauh-jauh’ atau ‘Ga ada yang perlu dibicarakan denganmu.’ Bahkan orang tolol pun pasti tau kalau mereka ga bakal berteman kalo kaya gitu.

“......Jadi intinya, alasan Nagata benci sama aku itu gara-gara Fujibayashi diam-diam nyebarin rumor tentang aku......Dasar pelacur........! ”

Sena menggumam marah.

“Eh enggak, kayanya bukan itu intinya......”

“Ga akan kumaafin.......ga akan pernah kumaafin........pengecut......kubunuh kamu kalo kita ketemu.......”

Dia udah ga mau dengerin pendapat lagi.

“......Ngomong-ngomong, buku petunjuk nya bilang ‘kalau kesan mu jadi buruk, cepat-cepat minta maaf dan berdamai.’”

“Ha?! Ngapain aku minta maaf ke cewek sialan itu?! Dan berdamai? Aku ga inget pernah berteman baik sama babi itu!”

“Memang enggak, tapi kalo kamu ga ngapa-ngapain dan ngebiarin reputasimu jatuh......”

“Aku belum melakukan hal yang salah, siapa suruh dia tiba-tiba sok akrab, dan sekarang dia masih berani komplain kalau perasaannya disakiti. Ngapain aku membungkuk minta maaf ke cewek goblok itu.”

Balas Yozora kesal.

“Pendapat kita sama. Aku ga akan pernah minta maaf. Nagata harus tahu kalau ini semua cuma salah paham besar. Aku percaya pada Nagata.”

Kata Sena tegar. Dia melanjutkan permainan tanpa minta maaf ke Fujibayashi.

... ... Percaya pada Nagata ga akan mengubah apa-apa.

Rumornya lama-lama menjadi liar, sampai suatu hari, Yukiko Nagata menolak menjawab telepon dariku.

Dan kemudian, tak disangka-sangka, bahkan Masaru bilang ”Gara-gara aku main denganmu, sekarang cewek-cewek juga benci denganku...” dan pergi meninggalkanku juga.

Setahun berlalu, dan layarnya berganti menjadi warna hitam pekat.


”Sejak saat itu hidupku menjadi kelabu.”

”Aku berhenti bersosialisasi dengan teman-temanku, dan tak perduli seberapa keras usahaku, nilai pelajaran dan olahraga ku buruk.”

”Aku langsung bekerja setelah lulus. Dengan gaji ku yang kecil, aku menjalani hidup dengan tenggelam dalam kemabukan. Aku tidak pernah punya teman, tidak pernah menikah. Sendirian, aku hidup sampai ke akhir hayatku yang pahit.”

“Kalau aku bisa mengulang hidupku, aku harap lain kali aku bisa menjalani kehidupan sekolah yang sempurna......”

... ... Monolog Semoponume perlahan-lahan muncul di layar. Ditemani BGM yang melankolis, kata ‘GAME OVER’ muncul.

“......”

Kami menatap layar dalam kesunyian.

“.....................hi-kku”

Aku mendengar suara tangis pelan.

“Gu-suu.........Yukiko...........aku percaya padamu.........”

Sena, satu tangan masih memegang controller, mulai menangis.

Kamu bercanda ya?....Berapa banyak emosi yang dia limpahkan cuma buat game ini...

“.......Akari Fujibayashi.......kubunuh kamu........”

Yozora, seakan-akan diselimuti aura kebencian, pelan-pelan berdiri. Dia pakai sepatunya sambil gemetar dan pergi keluar ruangan. Entah dia pergi kemana.

Sementara itu, tangisan Sena bergema di dalam ruangan. Rasanya ga nyaman, jadi aku berdiri dan pergi keluar juga. Habis itu aku pulang ke rumah.


Kemudian, esoknya-

“Nih, ambil.”

Baru saja aku masuk ke ruang klub, dan Sena, yang sudah datang lebih awal, menyodorkan sesuatu padaku.

Kulihat sekilas, dan aku baru sadar kalau itu 'Tokimeite Memoriddeizu 7'.

“Kupinjamkan ke kamu. Pulang dan mainkan sampai selesai.”

Aku cuma terdiam, dan Sena bilang.

“Game-nya fantastis. Bakal jadi tragedi besar dalam hidupmu kalo kamu ga pernah main game ini. Apalagi event di tahun ketiga di rute Akari Fujibayashi, bener-bener menyentuh.”

Aku memandangi Sena, yang benar-benar berbeda dibanding kemarin. Aku jadi makin bingung.

“.....Bukannya kemarin kamu manggil Akari Fujibayashi ‘babi’ ato semacamnya?”

“Jangan pernah ngejek Akari!”

Dia marah. Bukan aku yang pertama kali memanggil dia begitu.

“Oke? Orangtua Akari meninggal waktu dia masih kecil. Sepanjang hidupnya dia selalu sendiri, tapi dia berjuang dengan apa yang dia punya! Dan dia ga pernah membenci dunia ini, dia malah selalu tersenyum dan menyemangati orang-orang di sekitarnya!”

“Benar-benar kebalikan dirimu kalo gitu.”

“Aah?”

“.....Bukan apa-apa.”

Terlalu menakutkan, jadi kutarik kata-kataku.

“Dan Yukiko juga baik banget. Sebenarnya identitas aslinya......Ah, ini bocoran.......Kamu mesti main rute Yukiko juga! Paham? Oh ya, Aina, dan Miho dan Natsumi dan Mizuki dan Karen semuanya orang baik! Jadi kamu harus ngedapetin good end mereka semua, oke?”

Ekspresi bahagia terlihat di wajah Sena.

Setelah mendapat Game Over kemarin, dia main lagi dari awal sendirian. Dan dalam satu malam, dia menjalani semua rute cewek yang ada. Waktu kulihat dari dekat, aku bahkan bisa melihat kantung matanya agak hitam.

“......Yaah, kucoba kalau sempat.”

Jawabku.

“Tidak. ‘kalau sempat’ aja ga cukup- harusnya ’Aku harus main game ini’. Ini tugasmu. ‘Tokimeki’ adalah game yang harus dimainkan semua penduduk negara ini! Ini bukan sekedar game.....Kalau harus kugambarakan, ini adalah...... ini adalah hidup.......”

Sena mengatakan hal tragis ini dengan wajah yang terlalu serius. Yang bisa kulakukan cuma menahan diri dari ledakan tawa.


Hari itu, setelah aku sampai di rumah.

Sesuai permintaan Sena, ogah-ogahan aku mulai memainkan ‘Tokimemo’. Ketika event seperti festival budaya dan karyawisata, setiap kali aku harus memilih akan menghabiskan waktu dengan siapa, aku selalu memilih Masaru. Tanpa membangun relasi dengan murid perempuan, aku sampai di perayaan kelulusan. Di akhir acara, Masaru muncul. Dengan sedikit bercanda, dia tersenyum muram dan berkata ”Meski kita menjalani kehidupan sekolah yang tragis tanpa pernah mendapat pacar, Aku senang bisa jadi temanmu. Kayanya aku bakal ngerepotin kamu lagi setelah kita lulus.”

Ini adalah Bad End, tapi aku merasa puas.



Anak Buah[edit]

“Belakangan ini aku merasa ada yang diam-diam suka ngeliatin aku.......”

Suatu hari di ruang klub setelah jam sekolah, aku menggumam gelisah.

“Fuuu......”

Yozora, seperti sedang melihat sebuah tragedi, menatapku iba dan menghela napas ringan.

“Haa”

Bahkan, Sena, tertawa seperti sedang mengolok-olok ku.

“Sialan......”

Meski sudah kuperkirakan reaksi mereka bakal jadi begini sebelumnya, aku tetap menyesal ngomongin masalah ini dengan mereka.

“Ini beneran!”

“Ohya? Aku percaya kalo gitu.”

Yozora berhenti terlihat simpatik dan sepertinya percaya dengan ucapanku.

“……Aku cuma perlu ngomong kaya gitu supaya kamu percaya?”

“Ya, aku percaya. Aku percaya kalau ‘Kodaka merasa ada orang yang suka ngeliatin dia.’”

Jadi dia ga percaya sama sekali......

“......Ga perduli aku lagi ada di kamar mandi, atau lagi makan, atau cuma lagi jalan di lorong, aku ngerasa ada tatapan aneh entah dari mana.”

“Mungkin itu gara-gara orang lain jadi waspada kalo ada kamu?”

Kubantah tebakan Sena.

“Bukan. Aku udah terbiasa sama orang-orang yang jadi waspada kalo ada ku, jadi aku yakin bukan itu asalnya. Kalau memang iya, biasanya waktu aku ngeliat ke arah mereka, orang yang menatapku bakal lari terbirit-birit.”

“Hidupmu menyedihkan banget.”

“Berisik!”

Aku benar-benar berharap Sena berhenti ngomong kaya gitu, bisa-bisa akupun jadi kasihan sama diriku sendiri.

“Jadi intinya, tatapan-nya itu seperti apa?” Yozora menginterupsi.

“......Intinya......ummmm......Kayanya aku jadi semacam objek observasi. Rasanya agak aneh......Setiap kali aku ngeliat ke arah datangnya tatapan, tatapannya bakal menghilang. Tapi waktu pandanganku kualihkan, sensasi anehnya muncul lagi.”

“Kamu cuma lagi capek, Kodaka.”

“Jangan tiru nada bicara heroine ‘X-Files’!”

“Mungkin itu fenomena gaib?”

“Apa?!”

“Ga tau juga sih, cuma nebak aja. Mungkin itu ulah hantu boss gangster cowok yang mati dua puluh tahun lalu, dia marah karena, entah dari mana,muncul berandalan aneh yang merebut singgasananya yang berharga. ”

“Fuun, ga mungkin ah.”

Balas Yozora kepada Sena.

“Seperti kata Yozora, ga mungkin ada hantu-”

“Sampai 15 tahun yang lalu, sekolah ini cuma dibuka untuk perempuan. Karena itu kalau ada boss gangster yang mati dua puluh tahun lalu, dia bukan laki-laki tapi perempuan.[19]

“Oh iya, bener juga.”

“Siapa yang perduli hantunya boss cowok atau boss cewek! Hantu dan semacamnya itu ga ada!”

Bantahku sekuat tenaga. Sena, terlihat sewot, berpaling padaku dan berkata,

“Terus menurutmu apa? Kamu mau bilang kalo ada orang yang hobi ngeliatin kamu diam-diam dari sudut yang gelap?”

“Hmm......”

Aku belum bisa memikirkan jawaban yang masuk akal.

“......Kalau kupikir lagi, mungkin aja ini ulah berandalan lain. Kalian berdua tahu sesuatu soal ini?”

Bagamanapun ini bukan ulah hantu. Kugunakan kata ‘berandalan lain’ hanya karena kata itu yang melintas di pikiranku, bukan berarti aku juga berandalan.

“Uun......Di sekolah kita, anak-anak pemarah yang ngomong hal kaya ‘anak baru ini menyebalkan, ayo kita kasih dia pelajaran’ itu ga ada. Semua anak anak disini seperti orang dewasa- ternak peliharaan yang terbiasa diberi makan sampai tersedak.”

“Kamu pakai analogi kaya gitu ke temen satu sekolah......?”

Seharusnya kumarahi dia karena perkataannya barusan.

“Kamu gimana Yozora? Punya petunjuk?”

“Tolol. Buat apa aku, perwujudan sikap anti-sosial, tahu tentang rumor yang lagi beredar di sekolah?”

Aku hampir mendapat kesan kalau dia bangga akan hal itu.

“Kalau ini bukan ulah berandalan lain......mungkin ulah prefek?”

“Sekolah ini ga punya prefek- Mereka ga dibutuhkan disini.”

“......Oh. Kalo gitu......pelakunya pasti ‘itu’ kan?......”

“Apa?”

Sena kelihatan sangat terkejut.

Aku berkata ragu-ragu,

 

“......’Itu’......kamu tau kan.....penguntit......”

“…………”

“…………”

Setelah mendengar perkataanku, Yozora dan Sena hening sesaat, dan kemudian-

“Ahahahahahahahahahahahaha! Byahahahhaahahahahahahahahah! Kuhahahahahahahahahahahahahahaha!”

Sena meledak tertawa. Dia tidak berusaha menahannya sama sekali.

“Ahyahyahya, kamu idiot ya?! Kodaka, barusan kamu serius?! Ahyahyaha!Ah, ngapain nguntit berandal vulgar kelas rendahan kaya kamu?! Dan Kodaka, kamu tau ga kalau 90% dari kasus penguntitan punya motif masalah percintaan?? Memang kamu punya masalah percintaan?? Sejak kamu pindah sekolah ke sini, apa kamu punya pengalaman romatis? Coba sebutin satu adegan dari novel romantis apapun yang pernah kamu alami. Aku taruhan pasti ga ada, ya kan bodoooooh!”

“Gu......”

Wajahku panas mendengar ejekan kejam dari Sena.

Tiba-tiba aku melihat ke arah Yozora.

Anak ini pasti, tanpa ragu, mengejekku juga. Tapi yang aku dapatkan malah-

“......”

Dengan tenang Yozora berdiri. Dia menuangkan segelas kopi dan meletakkanya di depanku. Dan di wajahnya, senyum tulus -yang patut dipertanyakan- dan lembut muncul di wajahnya......!?

Aku ga tau apa yang ingin dia sampaikan, aku juga ga tau harus ngomong apa.

“Ini, minum selagi kopinya masih hangat, Kodaka......”

“St, stop......Jangan tiba-tiba jadi terlalu baik padaku......”

Tulus atau tidak, kelemah-lembutan Yozora cukup untuk membuatku berpikir ‘Yozora, kamu kelihatan sangat cantik.’ Tapi kalau itu kukatakan, aku bakal hancur dan mulai menangis. Dibanding serangan verbal langsung dari Sena, serangan mental Yozora masih lebih menyakitkan.

“Fuu, ternyata memang benar. Waktu kamu melihat orang lain yang lebih menyedihkan daripada kamu, kamu akan merasa jauh lebih baik tentang dirimu sendiri.”

“Kamu pasti tahu betul kan kalau simpati bisa lebih menyakitkan daripada perilaku kejam yang terang-terangan!

“Ya, tentu. Itu sudah terukir di hatiku.”

“Itu bahkan jauh lebih kejam!”

Perempuan ini benar-benar tau caranya melukai harga diri orang lain......

“Aah, sudahlah. Aku terlalu terburu-buru menyimpulkan kalau pelakunya itu penguntit! Berhenti mengejekku!”

Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Meskipun ga mungkin, tapi masih bisa terjadi kan! Maksudku......Ga terlalu mengagetkan kalau aku bisa mengalami episode romantis dalam hidupku!”

“......Dengan kata lain, cewek yang diam-diam suka Kodaka, bersembunyi disudut yang gelap mengamati setiap gerak-gerik Kodaka?”

Dalam hal menatap, yang Yozora lakukan padaku adalah contoh sempurna dari menatap seseorang.

“......Menurutku orang itu ga melakukannya dari sudut yang gelap. Mungkin aja sih, maksudku itu ga benar-benar mustahil......malah aku harap memang begitu......”

Kayanya aku kelewat percaya diri dengan perkataan barusan. Seperti anjing yang merendahkan ekornya, kurendahkan volume suaraku.

“Kamu ga malu ngomongin khayalan-mu keras-keras?”

“Khayalan....?!”

Aku benar-benar merasa tersinggung dengan ejekan Sena.

“......Lupakan. Aku memang bodoh minta bantuan kalian berdua.”

Kecewa, aku berdiri dan hendak meninggalkan ruangan.

“Tunggu, Kodaka.”

Kata Yozora.

“Aku ga akan mengabaikan masalah anggota klubku. Biarkan aku membantumu menangkap penguntit itu!”

“Gapapa, aku ga terlalu terganggu kok. Malah mungkin aja ini bukan ulah penguntit.”

“Jangan khawatir. Aku lagi ga punya banyak kerjaan kok.”

Jadi masalahku cukup bagus untuk mengisi waktu luangmu ya.

Meski dia sedang dalam mode ‘Yozora cantik’ yang agak menakutkan, aku ga merasa tersinggung dengan ucapannya.

“.......Fuun, kalau Yozora membantu, aku juga ikut. Meski aku ga punya banyak waktu luang.”

Dengan cepat Sena juga ikut menawarkan bantuannya.

....Aku merasa hal yang merepotkan bakal terjadi lagi. Sekali lagi aku menyesal memberitahu mereka tentang insiden ‘tatapan-aneh’.

 

Esok pagi.

Seperti biasa aku tiba di sekolah setengah jam lebih awal. Yozora dan Sena sudah menungguku di pintu masuk.

“Kamu terlambat. Kamu mau kubantu ato ga sih Kodaka?!”

“Berani-beraninya kamu membuatku menunggu.”

Mungkin karena ini masih terlalu pagi, sikap mereka jadi lebih parah dari biasanya.

“....Bukan gitu, tapi tatapan-nya biasa muncul setelah kelas mulai. Kayanya ga ada gunanya datang ke sekolah pagi-pagi. ”

“Apa......?!”

Ucapanku membuat mereka berdua murka.

“Mestinya kamu bilang dari awal!”

“Kamu membuatku menyia-nyiakan satu jam hidupku.....! Dengan perempuan itu!”

“Mestinya aku yang ngomong begitu Daging. Aku berdiri diam dengan sepotong daging mentah bau selama sejam. Benar-benar menjengkelkan.”

Jadi mereka sampai di sini sejam yang lalu, dan berdiri disini tanpa ngomong apapun ke satu sama lain.

Malah dari awal ga ada yang pernah bilang kalo kita bakal ketemu di sini.

“......Yah, pokoknya, maaf ya......”

Mereka ga puas cuma dengan permintaan maaf, tapi cuma itu yang bisa kulakukan.

 

Setelah homeroom selesai, ruang kelas mulai gaduh.

Sena datang ke kelasku dan berkata,

“Ayo.”

“Ya ya.”

“Jangan memerintahku, Daging.”

Yozora dan aku mengikuti Sena keluar dari ruang kelas.

Kami tidak tidak punya tujuan khusus- kami cuma berkeliling sebelum kelas dimulai.

“.....Fumu.....Aku memang merasa sedang diperhatikan.”

“Iya.....Kayanya ini memang bukan cuma perasaan Kodaka aja.”

Sena mengangguk tenang.

“......Aku benci menginterupsi obrolan serius kalian,”

Kataku gugup.

“......Memang benar kita lagi dipandangin, tapi bukan ini yang aku maksud......”

“?”

Yozora dan Sena kelihatan kaget. Mereka belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

“Kita sedang dikelilingi murid-murid yang lain! Kita ga bisa nemuin sumber pandangan-nya kalo ada orang-orang sebanyak ini!”

Yozora di kananku; Sena di kiriku.

Satunya berandalan (meskipun sebenarnya bukan), yang satu cewek cantik dengan rambut hitam panjang yang sangat indah, dan yang satunya lagi cewek cantik berambut pirang bermata biru bagaikan ratu.

Sendirian, salah satu dari kami bakal menarik banyak perhatian; dan sekarang kami ada bertiga, ditambah kondisi aneh yang baru kusebutkan tadi, jadi ada banyak murid yang memandangi kami.

Dengan segini banyaknya pandangan diarahkan pada kami, mustahil bisa menemukan orang yang kami cari.

......Selain itu pandangannya bukan pandangan observasi seperti yang biasa- Aku bisa merasakan kecemburuan dan pandangan menghina datang dari pandangan tersebut.

“Astaga. Kalau memang begitu, buat apa aku mengumumkan ke cowok-cowok di kelasku kalau ‘Aku punya urusan penting hari ini; Aku ga punya waktu dengan makhluk macam kalian.’”

“Jadi itu alasannya!”

......Waktu kudengar baik-baik, aku mendengar ada raungan seperti ‘......Uugh......Sena-sama [TL note: cara memanggil orang yang dimuliakan atau yang punya martabat tinggi]......sudah meninggalkan kita......’ dan ‘Dia punya dua cewek cantik dengannya.’

“Bukan, aku cuma......!”

Aku cepat-cepat berbalik ke arah murid-murid itu untuk memberi penjelasan, tapi mereka buru-buru menundukkan kepala mereka dan lari berhamburan.

“Fumu, jadi itu ya. Teknik yang sering dipakai berandalan kalau ada orang yang ngeliatin mereka- ‘Ngapain lo liat-liat hah?!’ Ini pertama kalinya aku ngelihat langsung.”

Komentar Yozora santai.

......Dan pada hari itu, rumor kalau Kodaka Hasegawa mengambil paksa dua cewek cantik dan menyeret mereka berdua berkeliling sekolah menyebar ke satu sekolah.

 

“Penguntit bajingan......Meski aku ga yakin dia bener-bener ada atau tidak, kalau memang ada akan kutangkap dia......”

Jam sekolah sudah selesai.

Sekarang aku sedang berkeliling di dalam sekolah sambil diam-diam memperhatikan sekelilingku (sendirian, tentu saja).

Aku bisa merasakannya, ada pandangan aneh diantara pandangan penasaran dari murid lain.

Bukannya pandangan itu bisa mencelakaiku. Bisa aja kubiarkan. Tapi berkat orang itu, bertambah lagi rumor jelek tentangku.

Aku benar-benar marah karena hal ini.

......Tapi rasanya kurang masuk akal juga kalau dia yang kusalahkan.

Bisa kurasakan pandangan itu dengan jelas sekarang.

Bercampur dengan pandangan penasaran, pandangan itu dengan tenang mengamatiku.

Ayo kita pergi ke tempat yang lebih sepi.

Aku menaiki tangga ke lantai yang agak terasing yang biasa digunakan sebagai gudang.

Pandangan penasaran mulai menghilang, yang tersisa tinggal pandangan yang kucari.

Aku mencuri pandang ke belakang, dan akhirnya aku bisa melihat ada orang berdiri di sudut gelap.

Aku pura-pura tidak menyadarinya; Aku mempercepat langkahku di lorong sunyi ini.

Ketika sampai di ujung lorong, aku berjalan ke sudut dan bersembunyi di titik buta.

Setelah beberapa detik,

*Don*

“Hya”

Seseorang menabrakku. Dia mengerang lemah dan terjatuh ke lantai.

Jadi ini pelaku yang selama ini membuntutiku, mungkin.

Kuamati wajah orang ini......

“............”

Aku tertegun oleh apa yang barusan kulihat.

Orang ini sangat manis.

Wajahnya punya kombinasi antara keluguan dan kekanak-kanakan.

Tidak seperti wajah Yozora dan Sena yang agak kejam, wajah yang ada di hadapanku ini contoh sempurna dari wajah bishoujo yang sesungguhnya.

Tapi pakaian di bawah wajah tersebut terasa janggal.

......Bishoujo ini, kenapa dia pakai seragam laki-laki?

“......? ???”

Banyak pertanyaan mulai muncul di kepalaku. Pada saat yang sama, dia(perempuan?) berdiri.

Dia(perempuan?) tidak menunjukkan ekspresi, tapi aku bisa merasakan kalau dia(perempuan?) sedikit terkejut.

“Jadi ini ya?”

“......?”

“Jadi ini yang namanya pemerasan?”

“Bukan!”

Entah kenapa, dia(perempuan?) mengatakannya dengan nada yang agak riang; Dengan tegas aku membantahnya.

 

“Nama saya Yukimura Kusunoki. Saya dari kelas 1-1.”

Setelah insiden tadi, aku menuntun penguntit perempuan(?) ini ke ruang Klub Tetangga. Dengan nada lembut, dia(perempuan?) memperkenalkan dirinya.

Dan kemudian dia(perempuan?) mengambil dompet dari tasnya dan, yang mengagetkanku, meletakkannya di tanganku seperti sedang memberikan persembahan.

“?”

“Saya hanya punya 3000 Yen. Tolong ampuni saya.”

“Tidak! Maksudku, apa-apaan nih?!”

Dia pikir aku ini siapa.

“......Yukimura Kusunoki......Namanya kedengaran seperti nama jenderal dari periode Zhan Guo[20].”

Kata Sena.

Sena dan Yozora juga ada di ruang klub. Mereka mengamati perempuan(?) itu dan mengatakan lelucon kejam seperti “Kamu memaksa adik kelasmu pake seragam cowok......Kodaka, fetish unikmu benar-benar menakutkan......” dan “Siapa itu, dompet barumu?”

“Itu benar.”

Perempuan(?) yang memanggil dirinya Yukimura mengangguk ke Sena.

“Merupakan keinginan orangtua saya agar saya tumbuh menjadi pria Jepang sejati seperti Sanada Yukimura. Karena itu mereka memberi saya nama ini.”

“......Pria......Jepang?”

Yozora mengernyitkan dahinya.

“......Ehm. Maaf sebelumnya.....Jangan bilang kamu laki-laki?”

Aku bertanya hati-hati. Yukimura memiringkan kepalanya dan menjawab,

“Seperti yang bisa anda lihat, saya laki-laki.”

“......Tidak, kami tidak bisa melihatnya.”

“?”

Dengan kepalanya yang dimiringkan dan wajahnya yang terlihat kebingungan, Yukimura memikirkan maksud perkataanku. Ekspresinya terlalu imut.

......Yah, memang benar di dunia ini ada laki-laki yang kelihatan seperti perempuan. Kalau dia bilang dia laki-laki, mungkin memang begitu kenyataannya......agak sulit dipercaya aja sih.

“......Masalah gender selesai......Yukimura? Kenapa kamu menguntitku?”

Ketika aku menanyakan hal itu, Yozora dan Sena juga menatap Yukimura.

Yukimura, dengan wajah poker-nya, menjawab pasif,

 

“Sederhana-nya, saya adalah korban bully.”

 

“……Bully……”

Aku mengulangi perkataan Yukimura dan merasa agak sedih.

Bahkan di sekolah swasta Kristen sedamai ini, dimana anak yang kelihatan yang paling berandalan (aku) adalah anak yang jujur, tindakan seperti bully masih ada.

“Di sekolah ini juga ada ya, hal seperti ini......”

“Pastinya. Sekolah tanpa tindakan bully itu tidak ada.”

Tegas Yozora dengan tenang.

......Meski aku tidak benar-benar yakin, tapi aku juga setuju dengan pendapat Yozora.

“Kenapa mesti ada tindakan bully?”

“Karena bully itu asik.”

Balas Yozora seolah-olah itu hal yang sudah jelas.

“......Asik?”

“Kamu bakal tau kalau kamu udah mencobanya, kebanyakan manusia......suka menyerang orang yang ga bisa menyerang balik. Seperti insting primitif. Membunuh serangga untuk sekedar main-main, posting komentar yang memfitnah di anonymous BBS[21], atau mengerjai blog milik orang lain. Dan kalau targetnya salah bicara, atau melakukan sesuatu yang ga sesuai dengan norma yang ada, kamu bisa mengklaim kalau keadilan ada di pihakmu dan kamu bisa mem-bully target sepuasnya. ”

“......Kamu tau banyak soal ini.”

Jawabku sambil mengernyitkan wajahku. Yozora melotot kejam padaku.

“Jangan samakan aku dengan orang-orang kaya gitu.”

Jawab Yozora mengerikan.

Kayanya aku membuat dia sangat marah.

“Ja, jadi kenapa kamu membuntuti Kodaka?”

Mungkin Sena juga menyadari suasananya menjadi tegang; cepat-cepat dia bertanya pada Yukimura.

"Oh iya, kamu bilang kalau kamu menguntitku karena kamu di ‘bully’. Tapi aku ga paham penyebab dan akibat seperti apa yang membuatmu menguntit aku.

Yukimura menjawab,

“Saya ingin menjadi gagah dan keren seperti Kodaka-senpai. Yang saya inginkan hanya belajar bagaimana caranya menjadi pria jantan seperti dia.”

“Gagah dan keren......!?”

Ekspresi keraguan muncul di wajah Sena.

“......Maksudmu berandalan vulgar ini?”

Yukimura mengangguk malu (Ekspresinya manis sekali.)

“Bagaikan angin, anda seperti serigala penyendiri yang langkahnya tidak bisa dihentikan siapapun. Anda adalah model dari pria Jepang sejati.”

“Serigala penyendiri......itu kan gara-gara dia ga punya teman.”

“Berisik.”

Balasku kesal.

“Tidak perduli dengan norma sosial- anda hanya mengikuti cara hidup anda sendiri. Untuk memuaskan nafsu anda yang sangat besar, anda menjarah semua yang ada dalam jangkauan anda. Semua bentuk penentangan akan ditekan secara brutal dan dipaksa menyerah dibawah tahta anda. Dengan kekayaan yang berlimpah dan dikelilingi gadis selir dalam jumlah besar, anda sudah melampaui batas kebajikan dan kejahatan fana. Bahkan dewa-dewa abadi pun takut pada anda. Anda sudah mencapai puncak segala dimensi.”

“Sebentar sebentar?! Ini kan deskripsi tiran Dong Zhuo dari Roman Tiga Kerajaan?! Aku selalu menaati aturan sekolah sampai ke setiap hurufnya. Aku ga pernah mengancam, melirik cewek-cewek, atau melakukan tindak kekerasan ke murid lain!”

Dalam satu tarikan napas aku menyangkal semua pujian(?) Yukimura yang terdengar seperti nyanyian.

Yukimura tertawa lembut.

“Anda tidak perlu merendah.”

“Aku tidak sedang merendahhhhhhhhhh!!”

“Saya sudah memperhatikan kehidupan sehari-hari anda selama beberapa hari ini, dan kesimpulan saya, rumor yang beredar memang benar, Kodaka-senpai adalah pria sejati.”

“Benar darimana?! Kamu buta ya?!”

Ketika kulihat pandangan kagum Yukimura padaku, keringat dingin mulai mengalir.

Dan kemudian Yozora berkata,

“......Dengan kata lain, Yukimura, kamu mau menjadi pria yang gagah supaya kamu tidak dibully?”

“Betul. Sebagai laki-laki, saya ingin menjadi pria yang hebat seperti Kodaka senpai. Bagaimana caranya menjadi orang yang mengagumkan seperti senpai?”

“A, Aku tidak sehebat itu......!”

Pujiannya membuatku sekujur tubuhku merinding.

“Tolong ajari saya. Bagamana caranya menjadi seperti anda?”

Pada saat itu, Sena bertanya,

“Meski kamu bertanya begitu......jadi kamu dibully kaya gimana? Kalau terlalu parah, mestinya kamu ga maksain diri menghadapi mereka sendirian – lapor ke guru mungkin lebih baik.”

“Ya. Singkatnya, saya dijauhi oleh semua teman cowok sekelas.”

Kata Yukimura pasif.

“Dijauhin?”

“Ya. Sebagai contoh, sebelum kelas olahraga, ketika saya akan berganti baju olahraga, semua orang di sekitar saya akan lenyap.”

“......”

......Apa? Kayanya ada yang aneh......

“Atau waktu kami bermain, ketika saya berkeringat banyak dan hendak melepas kaos, semua orang akan menghilang.”

......

“Dan waktu kami bermain dodgeball, tidak ada yang melempar bola ke arah saya.”

......

“Sama halnya ketika saya di SMP. Ketika Karate, tidak ada yang mau menjadi lawan saya.”

......

“Waktu orang lain bilang kalau mereka akan pergi ke suatu tempat dan saya minta ikut dengan mereka, mereka pasti menolak. Waktu saya masuk ke kamar mandi, seringkali semua orang di dalam akan lari keluar.”

......Em, itu bukan bully. Mereka bertingkah gitu gara-gara kamu terlalu mirip perempuan, dan mereka ga tau harus bersikap seperti apa didepanmu.

Bahkan aku sendiri, kalau aku melihat Yukimura masuk ke kamar mandi laki-laki, aku juga bakal malu, meski aku tahu kalau dia laki-laki.

“Hei, itu bukan bully-oww!”

Tanpa peringatan Yozora memukul bagian belakang kepalaku.

“Unun. Sedih sekali. Aku benar-benar simpati padamu sampai-sampai aku mau menangis.”

Kata Yozora, tanpa sedikitpun tanda-tanda simpati di wajahnya.

“Ya. Beberapa hari yang lalu akhirnya saya memberanikan diri dan, di kamar mandi, saya bertanya ke salah satu murid kenapa mereka menjauhi saya. Muka murid itu menjadi merah dan berkata kalau saya kelihatan mirip sekali dengan perempuan. Benar-benar kejam.”

Menurutku muka murid itu merona merah karena malu, bukannya marah......

“Saya diperlakukan seperti ini karena kaya terlihat seperti perempuan. Dengan kata lain, kalau saya menjadi pria jantan, saya tidak akan dibully lagi.”

“Udah kubilang itu bukan bull-”

Yozora memukulku lagi.

“......Kamu ngapain sih Yozora?”

“Diam sebentar Kodaka.”

Yozora berbisik padaku. Kemudian dia berbalik ke arah Yukimura.

“Yukimura Kusunoki. Kamu pantas mendapat pujian karena kamu tidak menundukkan kepala di hapadan rintangan yang besar. Kamu harus berada di sisi Kodaka dan berlatih menjadi seorang pria sejati.”

“Hei?!”

“Terima kasih banyak. Saya akan belajar sekuat tenaga.”

“Bagus sekali. Oh Yukimura, karena Kodaka adalah anggota dari Klub Tetangga, dia akan sering sibuk. Kalau kamu bergabung dengan klub ini, kamu bisa lebih sering mengamati Kodaka dari dekat.”

“Begitu ya. Kalau begitu izinkan saya bergabung.”

“Bagus. Kalu gitu tulis namamu di formulir pendaftaran ini.”

“Ya. Tanda tangan.”

Sarasara-......

Yukimura Kusunoki mengambil formulirnya dari Yozora dan, dengan tulisan tangan yang elegan, dia menulis namanya di sana.

Untuk apa semua ini......

“......Maumu apa sih Yozora? Ini sama aja kaya berbohong......”

Bisikku.

“Kamu terlalu paranoid. Yukimura adalah rekan kita yang menanggung masalah yang sama dengan kita- yaitu masalah hubungan pribadi. Akan sangat baik bagi kita semua kalau kita bisa membantu dia dalam masalahnya.”

“......Dan tujuan sebenarnya?”

“Sayang banget kalau kita membiarkan orang-tolol semenarik ini begitu saja. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mengikatnya ke klub ini.”

“......”

“Aku cuma berpikir kalau Klub Tetangga butuh seorang pesuruh. Yah, kalau kamu ga mau, dia bisa kita buang kapan aja.”

“Kamu bener-bener kelewatan!”

“Hebat kan? Sekarang kamu punya anak buah. Akhirnya Kodaka kelihatan seperti berandalan sungguhan.”

“Apanya yang hebat?!”

“Anak buah?”

Yukimura mendengar kata itu dan bereaksi.

“Saya adalah anak buah Kodaka-senpai?”

“Bukan, Yukimura. Tadi cuma bercanda. Lupakan aja.”

“Saya sangat bahagia.”

Senyum bahagia muncul di wajah Yukimura ketika dia mengatakannya.

“......Ha?”

“Sebuah kehormatan bisa menjadi anak buah dari pria sehebat Kodaka-senpai. Izinkan saya melayani anda. Saya akan melakukan apapun untuk Kodaka-senpai.”

“Engga, itu umm... ”

“Ya?”

“Ug......”

Yukimura, dengan mata besarnya yang bersinar, menatapku penuh harap. Sepanjang hidup, belum pernah ada orang yang menatapku seperti ini. Aku ga bisa berkata apa-apa.

“......Yah, kalau gitu, lakukan yang terbaik......”

“Baik. Kodaka-senpai?”

“Ah?”

“Boleh saya panggil anda Aniki?” [TL note: ‘Big bro’, biasa digunakan Yakuza dan berandalan]

“......Lakukan apa maumu.”

Aku mengangguk lemah, dan Yukimura tersenyum manis.

Misinya untuk menjadi lelaki Jepang yang gagah dan keren masih sangat panjang.

 

Pencapaianku hari ini.

Aku mendapat anak buah.

......Tampaknya, melihat dari kejadian hari ini, keinginanku untuk menjalani kehidupan sekolah yang tenang dan normal juga masih sangat panjang.

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp6.jpg

 

 

Saat istirahat makan siang.

Setiap kali kelas selesai dan aku pergi ke kantin untuk membeli makan siang, ruang kelas akan menjadi gaduh.

Akhir-akhir ini aku mendapat kesan seperti itu......

“Aniki.”

Yukimura masuk ke ruang kelas.

Meskipun dia masuk ke ruang kelas senior, dia sama sekali tidak kelihatan takut. Dia berjalan ke arah tempat dudukku.

Uwa, dia punya nyali......

“Aniki. Ini.”

Yukimura datang padaku dan meletakkan barang yang dibawanya ke mejaku.

“......?”

Roti kare, roti yakisoba, cokelat, dan komik.

Di sampul komiknya ada gambar pria berwajah kejam, dengan potongan rambut mirip roti Prancis yang lucu dan memakai seragam lengan panjang.

“Kalau begitu saya permisi dulu, Aniki.”

“Se, sebentar Yukimura! Apaan nih?”

Buru-buru aku memanggil Yukimura yang hendak beranjak pergi.

“Ini makan siang dan komik berandalan Aniki. Boss Yozora mengajari saya kalau membeli makan siang dan komik untuk Aniki adalah tugas seorang anak buah. ”

“Orang itu cuma tau caranya ngomong hal-hal yang ga berguna......!”

Aku melihat sekeliling ruang kelas tapi tidak bisa menemukan Yozora.

“Apa pelayanan saya kurang memuaskan?”

Yukimura menundukkan kepala dan menatapku dengan ekspresi gelisah.

Aku, tentu saja, tidak akan melakukan hal yang akan menyakiti perasaan adik kelas yang sangat lugu ini.

“Eng, enggak kok. Pas banget kamu dateng, aku memang udah laper. Ini...sebentar......bukannya ini ‘Kisah Berandalan Terkuat’? Udah lama aku ingin baca komik ini......beneran.....Aku senang......bahkan buku komik bodoh......ah, bukan, ini buku bagus yang ga perlu banyak mikir......”

Roti ga lebih baik daripada nasi kepal, dan aku ga terlalu suka susu cokelat. Dan sudah jelas, aku sama sekali ga tertarik membaca komik berandalan.

“Saya senang.”

Wajahku tersipu malu melihat senyum manis Yukimura.

Aku harus menenangkan diriku. Dia cowok......!

“......Ah, ah ya. Aku harus membayarnya. Berapa semuanya?”

Yukimura menggelengkan kepalanya,

“Saya tidak akan menerima uang dari Aniki. Pujian dari Aniki adalah hadiah terbaik.”

“Engga bisa, meskipun kamu bilang gapapa!”

“Saya permisi dulu Aniki.”

Setelah menjawabku dengan sopan, dengan cepat Yukimura berjalan keluar kelas.

Ga ada cara lain......Nanti akan kumasukkan uang ke dalam tasnya diam-diam.

Makan siangnya memang oke......Tapi harga komik berandalan-nya akan sedikit melukai isi dompetku......

 

......Hari itu, rumor kalau Kodaka Hasegawa menjadikan adik kelas yang cantik sebagai pesuruhnya menyebar ke satu sekolah.

Memang itu kenyataannya, tapi bukan itu kebenarannya......


Kondisi Rumah Tangga Keluarga Hasegawa[edit]

Waktu aku sampai di rumah sepulang sekolah, adikku sedang bersantai di ruang keluarga.

Jam 7 tepat; Aku sampai di rumah agak terlambat dibanding biasanya.

“Aku pulang, Kobato.”

Kobato Hasegawa, tiga belas tahun, siswi kelas 2 SMP.

Adik kecilku.

Kobato bersekolah di SMP St. Chronica. Karena jarak antara SMP dan SMA St. Chronica yang lumayan jauh, kami hampir tidak pernah pulang bareng.

Berkebalikan dengan penampilanku, dimana selain warna rambutku aku benar-benar terlihat seperti orang Jepang, Kobato terlihat lebih mirip dengan ibu kami. Kulit putih, rambut pirang yang indah, mata biru- wajahnya terlihat seperti wajah orang barat.

Meski kedengarannya agak aneh kalau aku menggambarkan adikku seperti ini, tapi....jujur aja, menurutku Kobato adalah gadis yang sangat manis.

Ya, gadis yang manis……

 

“……Ku ku ku...... Akhirnya kamu pulang...... Belahan jiwaku......”

 

Kata Kobato sambil tertawa terkikik.

Kemudian dia berdiri di kursinya.

“Aku sudah menunggu terlalu lama...... Bergegaslah......Persembahkan korban untukku......”

Dia mengucapkan kalimat yang terdengar seperti dialog akting sembari mengangkat tangannya perlahan.

Dia mengenakan pakaian yang oleh orang-orang disebut sebagai gothic loli? Sepertinya itu namanya. Tepi gaunnya dihiasi dengan renda hitam. Membuatku kesusahan waktu mencucinya; Aku benar-benar berharap dia berhenti memakainya.

Di tangannya ada boneka kelincinya yang rada aneh dengan sekujur badannya dipenuhi jahitan.

Mata kanan Kobato berwarna merah- itu karena dia memakai lensa kontak berwarna.

Sedihnya, dia adalah adik kecilku......

“Maaf aku pulang terlambat. Kamu lapar, Kobato?”

Setelah aku bertanya, dengan sewot Kobato menjawab,

“Fu…Kobato hanyalah nama palsu...... Namaku yang sebenarnya adalah Leysis Vi Felicity Sumeragi ......Shinso [TL note: tonton Tsukihime] dari Klan Darah Penguasa Malam yang perkasa.”

......Menyedihkan sekali memang, adik kecilku ini.

Dan sudah jelas nama aslinya bukan Leysis Vi Felicity Sumeragi; namanya adalah Kobato Hasegawa.

“Aku hanya menginginkan darah segar...... Ku ku ku...... Wabah besar akan turun ke atasmu, jika kau tidak bergegas mempersembahkan korban......”

Ya ampun, bilang aja kalau kamu lapar.

“Tunggu sebentar, oke? Aku bakal siapin makan malam.”

Aku pisahkan makanan yang kubeli dari supermarket sepulang sekolah tadi. Yang tidak kubutuhkan malam ini, kutaruh di dalam kulkas.

Aku cukup beruntung hari ini. Aku datang tepat di saat ada diskon kerang kipas setengah harga. Ayo kita buat seafood pasta.

Pertama-tama, menggunakan selada, timun, tomat, dan ham, aku membuat salad sederhana.

Lalu aku masukkan air ke dalam boiler dan kunyalakan api.

Sambil menunggu airnya mendidih, aku memisahkan kerang dari cangkangnya, memotong dadu cumi, bawang, dan bayam, dan mencincang lada dan bawang putih menjadi serpihan kecil.

Remis nya juga setengah harga; Rencananya mau kumasak juga, tapi setelah kupikir-pikir terlalu lama untuk menyiapkannya. Kusimpan remisnya untuk minggu depan saja.

Kutaruh panci penggorengan pada kompor satunya. Pertama-tama aku menggoreng lada dan bawang putih dengan minyak sayur, baru kemudian aku menambahkan seafood ke dalamnya.

Sementara pasta nya sedang di masak di dalam boiler, aku menggoreng seafoodnya dengan panci. Waktu seafoodnya sudah terlihat masak, aku tambahkan sayuran ke dalamnya.

Setelah menambahkan garam, lada, dan saus ke dalam panci, aku mengambil pasta yang sudah masak dari boiler dan memasukkannya ke panci.

Dalam 15 menit, makan malam sudah siap disajikan.

Aku letakkan makanan dan salad nya ke piring dan membawanya ke meja makan.

“Ini.”

“Ku ku ku...... Terima kasih......”

Waktu aku memasak tadi, Kobato menuangkan jus tomat ke gelas anggurnya.

“Ayo makan.”

“Ku ku ku...... Darah perawan terasa enak seperti biasanya.”

“Itu cuma jus tomat!”

Aku memarahinya sambil mengunyah pasta.

Satu-satunya perempuan di keluargaku, gimana ngomongnya ya......Seperti yang bisa kalian lihat, dia sangat aneh.

Waktu masih SD, Kobato hanyalah gadis normal yang suka mematahkan sumpit dengan pantatnya dan menggunakan kentutnya sendiri untuk menyalakan api (sebenarnya itu aja udah ga normal.) Tapi, di awal SMP, sejak Kobato menonton anime “Full Metal Necromancer”, gaya bicara dan berpakaiannya menjadi aneh.

Aku kurang tahu juga, tapi kayanya ada penyihir dan vampir di anime tersebut. Karena terpengaruh acara itu, sekarang Kobato selalu memainkan peran ‘karakter ciptaannya sendiri yang super keren.’

Yah, lama-lama dia bakal bosan juga, jadi kubiarkan saja.

“Makanannya keburu dingin kalo ga cepet dimakan.”

Aku mengingatkan Kobato karena kulihat dia memakan pastanya lambat-lambat, helai demi helai.

“......Ku ku ku...... Manusia biasa sepertimu berani bicara lancang padaku; ternyata kamu bernyali juga...... Apa kamu sudah lupa kalau kamu hanyalah kaki tangan dari ras darahku yang agung? Sungguh merepotkan......”

“Jadi ini settingnya!”

Sepertinya Kobato sendiri belum yakin dengan settingnya. Karakterku berganti-ganti antara ‘bagian dari jiwanya’, ‘kekasih dari kehidupan sebelumnya’, dan ‘pelayan hina yang lahir dari dark stew [TL note: butuh translasi]. Apapun istilahnya ga masalah buatku, sungguh.

“Ah, bawangnya dimakan juga ya.”

“......”

Dengan lembut aku mengingatkan Kobato karena kulihat dia mengambil bawang dari makanannya dan menyisihkannya. Dia menusuk bawangnya dengan garpu dan dengan terpaksa memasukkannya ke mulutnya.

Yep. Anak yang baik harus bisa memakan makanan yang dia benci.

Waktu pertama kali Kobato mulai memerankan karakter Reisosu nya, dia agak histerikal. Setiap kali makan, dia akan menyisakan sebagian besar makanannya. Puncaknya, ketika makan malam sekitar setahun yang lalu, dia berkata ”...... Ku,kuu...... Ke, kekuatan sihirku tak bisa kukendalikan!” dan membalikkan mangkuk supnya. Ayah kami, yang marah melihat hal ini, meneriakkan “Jangan buang-buang makanan!” dan menamparnya. Sejak itu Kobato selalu menghabiskan makanannya, meskipun dia melakukannya dengan wajah jijik.

“Ngomong-ngomong Kobato, kayanya kekuatan sihirmu udah ga pernah keluar kendali lagi ya?”


“A, An-chan!”

[TL note: sama artinya dengan onii-chan, saudara laki-laki]


Segera sesudah komentarku, Kobato berteriak dengan wajah merona merah.

Namun tak lama kemudian, dia kembali ke ekspresinya yang biasa.

“......Itu, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan...... Mungkin itu pernah terjadi di jaman purbakala, ketika aku masih muda......”

“Jaman purbakala...... Berapa umurmu sekarang?”

“Aku adalah Leysis Vi Felicity Sumeragi ...... dari Klan Darah Penguasa Malam yang lahir 10 ribu tahun yang lalu......”

“10 ribu tahun yang lalu......Jadi kamu lahir di era Joumon! Benar-benar vampir yang menakjubkan.”

“Fu fu fu...... dulu ketika kalian manusia masih hidup di hutan, Klan Darah Penguasa Malam ku sudah memiliki peradaban sihir yang tinggi...”

“Itu mengagumkan. Aku sudah selesai.”

Aku sudah menghabiskan pasta dan salad ku.

Tapi rasanya aku masih belum kenyang.

Mungkin aku akan masak lagi nanti malam.

“......Ah ya, belahan jiwaku. Mengapa kualitas korban persembahan untukku akhir-akhir ini menurun?”

Jadi Kobato juga ga puas ya.

“Soalnya aku punya aktivitas klub; Aku ga bisa pulang lebih awal untuk memasak.”

Karena waktu untuk memasak jadi lebih sedikit, sering aku memasak makanan yang tidak butuh waktu lama untuk disiapkan. Akibatnya selain kualitas rasanya, kuantitas makanannya juga ikut menurun.

Makanan malam ini sudah cukup bervariasi dibanding biasanya; kalau aku capek, aku cuma akan masak pasta goreng atau nasi kare.

Sebenarnya aku juga ingin memasak dengan lebih serius. Akhir-akhir ini pun aku sedang bereksperimen dengan resep baru.

“Pelayan, mana yang lebih penting, aktivitas klub atau Aku......”

Tanya Kobato sewot.

Tentu saja aktivitas klub...... Ketika aku mau menjawab begitu, terlintas di pikiranku kalau sebenarnya aktivitas klub juga ga terlalu penting.

“Aktivitas klub.”

Kucoba menjawab seperti ini untuk melihat reaksi Kobato.

“Muu......”

Kobato menggembungkan pipinya dengan imut.

Aku tertawa dan berkata,

“Kalau gitu gimana kalau kamu masak makan malam sendiri?”

“......Ku ku ku...... Lelucon yang tidak masuk akal...... Kamu memintaku melakukan pekerjaan rumah tangga seperti seorang pembantu?”

“Minta maaf ke semua laki-laki dan perempuan di negeri ini yang memasak setiap hari!”

Setelah mengakhiri percakapanku dengan Kobato, aku mencuci perabot masak dan kembali ke kamarku.

Aku menyelesaikan PR, kemudian membersihkan kamar mandi, dan menyiapkan air untuk mandi.

“Kobato, udah dulu nontonnya. Mandi sana.”

Kataku pada Kobato, yang sedang duduk menonton DVD anime di ruang keluarga. Di tangannya ada gelas anggur yang sudah kosong.

“Ku ku ku...... baik. Ngomong-ngomong ruang penyimpanan sudah kehabisan darah segar.”

“Ah, betul juga, tadi aku lupa beli jus tomat. Untuk sementara minum dulu soda di kulkas bir.”

“Pepsi bukan?”

Kali ini Kobato bertanya tanpa kata-kata kiasan-nya.

“Bukan. Coca Cola.”

“......Aku penggemar Pepsi.”

“Cola lebih murah 30 Yen di supermarket.”

“......Fu, baiklah kalau begitu......Meskipun, kalau kita punya, aku lebih memilih just tomat......”

Sementara Kobato mandi, aku mencuci baju. Setelah itu, kerjaanku hari ini beres.

Kehidupan sehari-hari yang tidak pernah berubah.

Untuk saat ini hanya Kobato dan aku yang tinggal di rumah yang tidak besar tapi juga tidak kecil ini.

Waktu aku lahir, ayah kami bekerja sangat giat agar bisa menabung cukup uang supaya bisa membeli rumah ini. Selama 10 tahun terakhir, karena pekerjaan ayahku, kami sering pindah rumah. Selama periode itu, Kobato dan aku tidak pernah kembali ke rumah ini (di sisi lain, ayah kadang pulang ke rumah ini untuk membersihkannya.)

Waktu ayah memutuskan untuk bekerja di Amerika, Kobato dan aku mengatakan kalau kami tidak mau pindah ke luar negeri. Akhirnya dia membiarkan kami kakak beradik tinggal di Jepang.

Karena alasan ini, akhirnya kami punya kesempatan untuk kembali ke kota ini.

Sudah 10 tahun sejak aku meninggalkan rumah ini, tapi mungkin karena kami terlalu sering pindah, rumah ini tidak meninggalkan kesan apa-apa buatku. Ketika aku pindah ke rumah ini sebulan lalu, tidak ada perasaan nostalgia sama sekali.

SMP dan SMA tempat kami sekolah sekarang, kepala sekolahnya (yang juga ayah dari Sena) adalah teman baik ayahku.

Sejak itu, kami menjalani hidup yang damai seperti sekarang ini.

Bahkan dulu ketika kami bertiga tinggal dalam satu rumah, akulah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Jadi buatku kondisi yang sekarang ga terlalu jauh berbeda. (Malah, karena dapur di sini lebih luas dan aku hanya perlu memasak untuk dua orang, pekerjaanku terasa lebih ringan.)

Namun kalau aku harus berkomentar, fakta bahwa untuk pertama kalinya di kehidupan SMA-ku aku bergabung dengan klub, menandakan kalau sekarang aku akan sering terlambat pulang ke rumah. Ini bisa jadi masalah.

Sebaiknya aku berhenti di sini dan menjelaskan. Tidak lama sesudah ibu kami melahirkan Kobato, ibu mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.

Ibu juga merupakan teman baik kepala sekolah. Dulu ketika ia masih menjadi siswi di sekolah khusus perempuan St. Chronica, melalui kepala sekolah-lah ibu mengenal ayah kami (kudengar mereka bertemu di pesta dansa yang diadakan di St. Korunika.)

Kebanyakan orang akan bersimpati dan berkata ‘hidupmu menyedihkan sekali!’ Tapi bagiku, yang sudah hidup seperti ini selama 10 tahun, aku sudah terbiasa; Menurutku kehidupanku ga terlalu buruk.

Sekarang kalau ada yang berkata begitu padaku, tanpa sadar aku menjadi marah dan membela keluargaku sekuat tenaga. Karena hal itu, orang lain cenderung menjaga jarak dariku. Ini membuatku berada di posisi yang sulit.

Ketika aku sedang berguling-guling di kasurku memikirkan hal ini...


“Fueeeeeen, An-chaaaaaaaaan!”


Kobato, telanjang, berlari ke kamarku sambil menangis.

“Ko, Kobato?! Ada apa?!”

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp7.jpg

Kobato berkata terisak-isak,

“A,Air di bak, air di bak mandi nya dingin!”

“Eh, masa?”

Aku buru-buru ke kamar mandi di lantai satu dengan Kobato.

Kumasukkan tanganku ke bak, dan memang betul, air yang mestinya hangat sekarang jadi benar-benar dingin.

Kemudian kuputar kepala shower, tapi tidak ada air yang keluar.

Aku berlari ke dapur dan menyalakan kompor gas, tapi disini gasnya menyala.

“Dengan kata lain, ini masalah pemanas air. Aku panggil tukang sekarang...”

“......Hampir saja mandi di air yang dingin, mungkin ini adalah konspirasi dari mereka yang tahu kelemahan Klan Darah Penguasa Malam...... Ku ku ku...... Cara ini mungkin bisa dipakai untuk vampir biasa, tapi butuh lebih dari ini untuk mengalahkan Shinso sepertiku!”

Kata Kobato, yang kembali ke karakter Reisosunya (tapi masih telanjang) sambil terkikik.

Ngomong-ngomong, vampir lemah terhadap air dingin.

“Kalau airnya hangat, paling-paling kamu membuat semacam setting yang bilang kalau air hangat sangat nyaman buat vampir. Pokoknya sekarang kamu handukan dulu terus pakai baju, Kobato, kalo ga nanti kamu bisa masuk angin.”

“Ku ku ku...... Seorang Shinso sepertiku tidak akan pernah masuk angin...... ah-chu”

Aku menghela napas, berjalan ke wastafel dan mengambilkannya handuk.

Aku benar-benar kuatir dengan adik kecilku...

 

Setelah kututup teleponnya, meski sekarang sudah lewat waktu reparasi, tidak butuh waktu lama bagi tukangnya untuk sampai di rumahku. Seperti yang kuduga, pemanasnya rusak.

Untungnya, setelah diperbaiki air panas mulai mengalir lagi. Pemanas yang kami gunakan adalah model kuno keluaran 17 tahun yang lalu. Karena itu, mungkin lebih baik kalau kami menggantinya dengan yang baru.

...... Aku harus menelepon ayah untuk meminta uangnya.

Kehidupan di rumah yang hanya dihuni dua orang ternyata lebih merepotkan dari yang kubayangkan...



Untuk Kesedihan yang Ternodai[edit]

Suatu hari ketika Yozora dan aku tiba di ruang klub seusai sekolah, kami mendapati Sena sudah tiba lebih dulu.

“Yo.”

Aku menyapanya, tapi tidak ada balasan.

Dengan satu tangan memegang mouse komputer di meja, Sena memusatkan seluruh perhatian ke laptop di depannya.

Karena dia memakai headphone, kami tidak bisa mendengar apa yang sedang dimainkan di komputer.

“Berani-beraninya Daging itu mengabaikanku!”

Kata Yozora kesal.

“...... Kan aku yang menyapa dia. Lagian dia ga mengabaikan kita- dia cuma ga dengar......”

Aku mencoba mengoreksinya, dan seperti biasa Yozora mengabaikannya. Dia mengendap-ngendap mendekati Sena. Mungkin kebenciannya pada Sena lagi-lagi mendorongnya melakukan semacam rencana jahat.

Ba-chi

Tiba-tiba Yozora mencabut steker headphone dari jack-nya.

“Ap?!”

Sena berbalik dan akhirnya menyadari kehadiran kami; ekspresi tidak percaya muncul di wajahnya. Di saat yang sama, komputer mulai memainkan suara semacam ini.

Tidaaaaaaaaaaaaaak! Kalau kamu mulai bergerak sekencang ini xxx ku akan robek uuu, ah, ah, ah, rasanya enaaaaaak sekali! Pen*s besar Lucas menakjubkaaaaan! Pen*s mu menyeruduk tepat ke vag**a ku, astaga! Astaga astaga astaga! Aku merasa ada yang aneh! Ah, ada yang mau keluar, ah, ya, aha, Aku keluar, keluar, Aku keluuuuuuuuaaaaaaaar~~~~~~~~!!”

“Ahwawa!”

Panik, cepat-cepat Sena mematikan volume suaranya.

“Ngapain kamu idiot!”

Protes Sena, yang wajahnya merah padam dan berlinang air mata.

“Itu, mestinya aku yang ngomong gitu!”

Yozora juga, dengan warna merah padam yang jarang terlihat di wajahnya, membentak balik.

“Di, di ruang klub yang suci ini, berani-beraninya kamu melakukan tindakan memalukan kaya gini......!”

Diam-diam aku melirik ke layar komputer.

......Di layar ada gambar bergaya anime dimana seorang......seorang perempuan dan seorang laki-laki tampil tanpa busana; Mereka, mereka sedang......katakanlah mereka sedang menjadi satu.

“Sena......kamu......”

“Hei, jangan lihat!”

Cepat-cepat Sena membanting tutup laptopnya.

“Ja, jangan salah sangka dulu?! Ini adalah ‘Bintang Hitam Suci’[22]. Game ini akan diadaptasi menjadi anime jadi ini adalah galgame terpopuler saat ini. Game ini mengisahkan tentang petualangan fantasi dan roman yang dilalui Lucas si pandai besi dan kawan-kawannya! Adegan yang kalian lihat tadi terjadi setelah mereka berhasil menaklukkan semua rintangan dan akhirnya mengalahkan dewa kehancuran yang terakhir, Valniball, dan kemudian karakter utama, Lucas dan Cecillia, menyatakan cinta mereka satu sama lain dalam adegan yang sangat menyentuh; ini bukan adegan mesum seperti yang kalian pikirkan!”

......Cara Sena mencoba membenarkan perbuatannya, gimana ngomongnya ya...menurutku terlihat lucu.

“......Ga perduli kamu ngomong apa, fakta kalau kamu bermain eroge di ruang klub......”

Sena, mendengar balasanku, wajahnya mulai merona lagi.

“Aku, aku ga tahu!...Aku ga tahu kalau...game ini bakal punya adegan kaya gini. Setelah aku menamatkan ‘Tokimeki Memorial’ aku pergi membeli lima game lain dengan genre yang sama, tapi ga ada yang sebagus ‘Tokimeki Memorial’. Jadi aku membuka situs ‘Yafoo! Answers’ dan memposting pertanyaan “Mencari rekomendasi game yang sejenis dengan ‘Tokimeki Memorial’ dimana kita bisa berteman dengan karakter perempuannya.” Beberapa orang menjawab kalau inilah game paling populer saat ini...”

“Mungkin memang benar, tapi bukannya di sampul kotaknya ditulis, dengan sangat jelas, kalau game ini untuk 18 tahun ke atas?!”

“Iya, memang ada tulisan ‘Khusus Dewasa’ di kotaknya, tapi kukira artinya kualitas game ini sangat tinggi jadi cuma orang dewasa yang bisa menikmatinya......”

“Tafsiran baru macam apa itu?! Memang ga ada yang nanya umurmu waktu kamu beli game ini?”

“Aku cuma bertanya ke cowok-cowok di kelasku siapa yang punya ‘Bintang Hitam Suci’, dan berikan padaku kalau ada yang punya. Ga lama kemudian ada yang ngasih. Tentu aja aku ga cuma mengambil gamenya; sebagai hadiah kubiarkan dia menjadi pijakan kakiku selama istirahat makan siang. Dan kemudian aku memainkan game ini semalaman. Karena belum selesai kumainkan, akhirnya kubawa ke sekolah.”

“Dan kemudian ga sengaja kami menginterupsimu waktu lagi memainkan game ini, dan kebetulan adegan itulah yang lagi ditampilkan......”

“Tepat sekali!”

Tegas Sena kesal.

Tapi Yozora tidak menggubris penjelasan Sena sama sekali.

 

“Dasar hentai.”

 

Cemooh Yozora dengan nada yang penuh rasa jijik dan kebencian.

“Sialan! Ka, kamu ga denger apa yang aku bilang barusan?!”

Seperti ada seseorang yang menusuk dirinya tepat di jantung, wajah Sena mengernyit mendengar hinaan Yozora. Yozora juga tidak memberi ampun dan meneruskan serangannya.

“Diam kamu pelacur. Maniak seks. Perek. Lonte. Sundal. Wanita Jalang. Perempuan cabul. Boneka seks hidup. Toilet umum berjalan. Siapapun yang melakukan kontak denganmu bakal hamil.”

“Aku kan cuma memainkan game ini, kenapa aku harus dihina sampai seperti itu dasar idiot!”

Interupsi Sena.

“Ma, maksudku memang betul game ini mengandung konten dewasa! Tapi itu cuma sebagian kecil! Tema game ini sangat mendalam sampai-sampai orang yang ga punya fondasi literatur yang kuat, ga akan bisa menangkap esensi ceritanya! Ini itu seni! Meskipun kamu belum pernah memainkannya, tapi kamu mencemooh game ini hanya berdasarkan prasangka burukmu saja! Ini sama saja seperti melihat ‘La nascita di Venere’ milik Botticelli atau ‘Naked Maja’ milik Goya dan mengklaim kalau karya mereka adalah lukisan vulgar- itu benar-benar hal yang bodoh!”

Yozora mencibir dan membalas,

“Terus kenapa. Bahkan kalau memang benar game itu adalah seni- kamu, yang dengan wajah mesum menatapi adegan cabul itu, sama sekali ga punya dasar ataupun kredibilitas sebagi pijakan. Aku tidak mencemooh gamenya; Aku hanya menyebut orang yang dikenal sebagai daging, adalah seorang hentai! Hentai seperti kamu mencoba membawa-bawa nama karya seni sebagai tameng untuk mengelabui fakta kalau kamu bermain eroge di ruang klub. Ini penistaan bagi seni!”

“Kuuu......”

Air mata mulai turun ke wajah Sena.

......Seperti biasa, Yozora menyampaikan ejekan ganasnya yang berlebihan dengan tenang. Dan kemudian, kepada orang yang dikenal sebagai daging, dia berkata,

“Jadi akui saja. Akui kalau kamu memang hentai. Akui kalau sebenarnya kamu ga perduli tentang nilai seni dan tema yang mendalam- kamu cuma pelacur yang terangsang dengan konten erotis di game itu. Akui!”

Cela Yozora dengan girang.

“Engga, engga......! Aku cuma ingin berteman baik dengan Cecilia......! Hubunganku dengan Cecilia itu tulus! Kami ga merasakan emosi vulgar semacam itu! Bahkan pada adegan ini sekalipun!”

Sena membuka laptopnya lagi. Gambar yang sebagian mosaik namun sebagian besarnya lagi gambar telanjang muncul di depan Yozora.

Wajah Yozora langsung merah padam.

“Aku bukan hentai! Kamu mengerti? Bahkan waktu melihat gambar ini pun aku ga menganggap kalau gambar ini senonoh! Aku paham kalau kita harus melihat karya seni sebagai sebuah karya seni; Yang hentai itu kamu! Kamu cuma bisa melihat adegan indah ini sebagai adegan mesum. Fakta kalau kamu ga punya kepekaan terhadap nilai seni adalah sebuah tragedi! Orang-orang seperti kamu ini yang nantinya akan tumbuh menjadi seperti Agnen Chaso atau Satoyo Damimikuchiuko [23], dan mengatakan hal-hal yang ga masuk akal seperti kita harus memaksakan ideologi kepada masyarakat modern atau bakar semua buku-buku!”

......Tidak. Mengklaim kalau adegan hentai dari game erotis itu tidak erotis sama sekali- justru itu yang ga masuk akal.

“O, oke Daging, kalau gitu kamu baca keras-keras dialog dari adegan ini!”

Saran Yozora, sambil menghindari menatap langsung layar komputer.

“Apa......?!”

Yozora, yang menyadari kalau dia menemukan titik lemah Sena, menyeringai pada Sena dan berkata,

“Kalau memang adegan ini murni seni dan bukan adegan mesum, pastinya kamu ga akan malu membacanya keras-keras, karena ini adalah karya seni, ya kan? Oh, atau kamu mau bilang kalau game ini cuma game cabul murahan dan tidak punya nilai seni sama sekali?”

“Itu, itu ga benar!”

Sena menyangkal tudingan Yozora.

“Baiklah. Baca kalo begitu.”

“Me, meskipun ini bukan game cabul, tapi tetep aja aku malu kalo harus membaca hal memalukan kaya gini keras-keras! Dan itu bukan karena konten nya memalukan- tapi karena aku malu kalau harus membacakannya di depan orang lain!”

“......Begitu ya, kalau gitu aku juga akan membacakan sesuatu.”

“Ha?”

Sena, mendengar kompromi yang tak terduga dari Yozora, menjadi terkejut.

“Aku bilang aku juga akan membacakan sesuatu, supaya kamu juga akan membacakan dialog adegan itu untukku. Ini kulakukan supaya kamu ga membaca sendirian. Kalau aku juga ikut membaca, kamu ga bakalan malu. Ini sama aja seperti waktu semua murid bergantian membacakan paragraf di kelas literatur.”

“Itu, itu......memang masuk akal.”

......Masa sih?

“Aku udah murah hati memberikan kompromi; kalau setelah ini kamu masih mau lari, tindakanmu membuktikan kalau game ini bukan seni yang sesungguhnya, dan kamu hanyalah seonggok daging mesum, dan paling-paling karakter utama perempuan di game ini cuma pelacur murahan yang bisa dipakai siapa saja dengan harga 10 ribu yen.”

“Aku ga akan membiarkan siapapun menghina Cecilia seperti ini! Ga perduli apapun yang terjadi pada Cecilia, dia selalu berpegang teguh pada keyakinannya. Aku sangat menghargainya! Jadi aku akan hidup seperti dia dan tidak akan melarikan diri! Kalau cuma ini yang bisa kamu katakan, maka aku akan membacakannya! Lebih baik kamu tidak melarikan diri!”

Ahhh, dia termakan provokasi Yozora.

“Bagus! Kalau begitu kamu akan membacakan adegan dari game itu. Sementara aku......Aku akan membacakan salah satu puisi milik Chuya Nakahara dari buku literatur. Ahh memalukan sekali memalukan sekali. Aku akan membacakan puisi.”

“Hah?! Tu, tunggu sebentar!”

Cepat-cepat Sena menyela Yozora.

“Apa ada masalah? Aku akan membacakan karya seni dari buku literatur, kamu daging akan membacakan paragraf artistik dari game milikmu itu. Sama saja kan. Maksudku, kita berdua akan membacakan karya seni kita masing-masing, ya kan?”

“……! ~~~~~~~~~!”

Sena, akhirnya sadar kalau dia sudah jatuh ke perangkap Yozora; bibirnya mulai gemetar. Dengan berlinang air mata, dia menatap Yozora.

“O, oke kalo gitu! Aku akan membacakannya! Paragraf artistik dari ‘Bintang Hitam Suci’! Jangan sampai kamu menangis karena terharu!”

Pasrah pada nasibnya, dengan putus asa Sena berbalik ke komputernya. Dia memutar balik gamenya sampai ke adegan erotis tadi.

“A, aku akan mulai membaca......”

“......Mulai”

Kata Yozora yang terlihat sedikit gugup.

“......Lu......Lucas......cepat......ke, ke Valniball ku yang basah......”

“Lebih keras!”

“Gu......ke, ke Valniball ku yang basah! Gunakan pedang hitam suci mu yang bersinar, keras dan tebal, dan tusukkan ke dalam......”

Dengan gemetar Sena membaca satu per satu kata-kata yang ada di layar.

“Kamu sudah sangat basah, padahal aku baru menggunakan jariku. Kamu benar-benar...na, nakal jadi, jad......hah”

Barusan adalah dialog karakter utamanya, Lucas.

Karakter utama macam apa si Lucas ini?! Tadi itu kan termasuk pelecehan seksual.

“’Jangan......jangan ngomong begitu Lucas......”Fu, wajahmu sudah bernafsu sekali, dasar pe......babi pelacur! Kamu lihat, kalau kamu menginginkannya, kamu harus memohon dengan lebih tulus!’......Uuuu......”

......Ngomong-ngomong, ‘uuuu’-nya tadi bukan berasal dari paragraf.

“’......Ku,kumohon......tu,tuan......Pedang, pedang sucimu......tusukkan ke dalam bagian lembutku di sini......kumohon.”Fufufu, namanya bukan pedang suci. Sebut nama aslinya. Jadi kamu ingin aku menusukkan apa ke mana? Hah?’......uuu......hikku......!”

Seshiriya......Maksudku, Sena membacanya sambil berlinang air mata.

“Fufu......Cepat, baca. Cecilia ingin apa ditusukkan ke bagian yang mana?”

Kata Yozora.

Pipi Yozora merah membara; matanya penuh dengan ketamakan.

......Kemungkinan besar Lucas juga punya ekspresi yang sama di wajahnya.

“~......Pe,pe,pe......pen, pen milik Lucas.....ke, ke, ke dalam va......va,va......... vagi……MANA MUNGKIN AKU BISA MEMBACANYA KERAS-KERAS IDIOT

AHHHHHHHHHHHHHHH-------------!!”


Tidak bisa lagi menahan emosinya, Cecilia, eh bukan maksudku Sena akhirnya lepas kendali. Bagaikan kelinci, dengan cepat dia berlari keluar dari ruang klub.

Dan kemudian dia berbalik ke Yozora, yang sedang berdiri di depan jendela yang terbuka, dan berteriak,


“DASAR YOZORA TOLOL AKU HARAP KAMU MATI-------------!!”

Seperti bocah SD, dia mengumpat, menangis, dan pergi.

Dalam keheningan, aku dan Yozora berbalik dari pintu ke jendela yang terbuka.

“......Hei, kayanya kali ini kamu agak kelewatan?”

“......Aku sudah mulai merefleksikan perbuatanku barusan.”

Setelah mendengar pertanyaanku, untuk pertama kalinya Yozora mengakui kalau perbuatannya memang agak kelewatan.

“......Kamu tahu, waktu Daging membacakan paragraf tadi, sebenarnya aku merekamnya. Hasil karya yang langka ini harus kuunggah ke NicoNico[24]. Judulnya adalah ‘Siswi SMA Bermain Eroge dan Mengerang di Saat yang Bersamaan.’”

“Kamu ini setan ya?”

“Cuma bercanda.”

Dan kemudian kami berdua mengalihkan pandangan kami jauh keluar jendela.

Untuk kesedihan yang ternodai, hari ini juga salju turun.

Untuk kesedihan yang ternodai, hari ini juga angin bertiup kencang.[25]

Dan Yozora, sesuai janjinya, dengan lembut membacakan puisi dari Chuya Nakahara.


Legenda Momotaro [1][edit]

 

Waktu sampai di ruang klub, aku melihat seorang pelayan sedang berdiri di dalam.

“Whoa?!”

Aku terkejut; tanpa kusadari aku memberinya sapaan hampa.

“Anda sudah bekerja keras di sekolah, Aniki.”

......Dia adalah anggota baru klub kami, Yukimura Kusunoki.

Dia mengenakan pinafore[26] yang dilipat, dan rok pendek.

Aku ga kuat menahan diri untuk tidak melirik paha putih di bawah rok itu. Tenangkan dirimu Kodaka Hasegawa! Dia itu cowok......!

......Tapi serius, pakaian itu benar-benar cocok dipakai Yukimura......

“Uwah menjijikan. Barusan Kodaka ngeliatin Yukimura......”

Dari dalam ruang klub, Sena menatapku sambil mengatakan hal tersebut.

Yozora sedang duduk di sofa di seberang Sena.

“......Kenapa Yukimura berpakaian seperti pelayan?”

Akhirnya aku mengingat apa yang ingin kutanyakan sejak tadi.

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp9.jpg

“Ini adalah bagian dari latihan untuk menjadi seorang pria sejati.”

Balas Yozora seakan-akan itu adalah hal yang sudah jelas.

“Berpakaian seperti pelayan adalah latihan?!”

Yukimura membalas.

“Yozora-anego[27] mengatakan bahwa bagi seorang pria sejati, tidak perduli apa yang dia kenakan, kejantanannya tidak akan bisa disembunyikan. Hari dimana saya mengenakan pakaian feminin ini namun kejantanan saya membengkak dan memancar dari jiwa saya, akan menjadi hari dimana saya menjadi pria sejati. Meskipun ini adalah cobaan yang sulit, saya akan melakukan yang terbaik!”

“Jadi ini karanganmu lagi ya......!”

“Kamu bilang ini cuma karangan? Aku serius kok.”

Yozora menampik ucapanku.

“Bagi pria sejati, meski dia berpakaian seperti pelayan, aura kejantanannya akan tetap memancar keluar......Yukimura, bayangkan Kodaka memakai gaun pelayan.”

“Jangan bayangin yang aneh-aneh!!!!!”

Meski mereka kumarahi dengan keras, tapi Yukimura tetap memejamkan matanya dan mulai membayangkan.

“Buhaha, menjijikan, itu menjijikan!”

Sena, yang juga ikut membayangkan diriku memakai gaun pelayan, meledak tertawa.

“Aniki mengenakan gaun pelayan.”

…………..

……

*Bo*

......Kenapa Yukimura malah tersipu-sipu?

Dia membuka matanya.

“Memang benar, bahkan jika Aniki mengenakan gaun pelayan, dia masih terlihat seperti seorang berandalan.”

“Mana mungkin di dunia ini ada berandalan berbusana gaun pelayan?! Dan udah kubilang sebelumnya, aku bukan berandalan! Harus berapa kali kubilang supaya kalian mengerti?!”

Yozora mengabaikan bantahanku.

“Yukimura, akhirnya kamu memahami sulitnya cobaan ini. Kamu harus berjuang untuk bisa mencapai level itu.”

“Baik. Saya akan bekerja keras dengan Aniki sebagai tujuan saya.”

“Dari awal pun kamu ga perlu bekerja keras......”

Kataku lelah sambil duduk di sofa.

Dan kemudian, Yukimura menuangkan segelas kopi untukku.

Tanpa kusadari, hatiku menjadi terasa senang.

“......Asik kan, punya pelayan di ruang klub?”

Yozora, seolah-olah bisa membaca pikiranku, berbisik padaku.

“Yah, ga harus Yukimura juga......Tidak, lupakan.”

Kalau harus memilih antara Yozora, Sena, dan Yukimura untuk menjadi pelayan, ga perduli asumsi apa yang kalian punya, Yukimura tetap menjadi pilihan yang paling tepat.

“Ngomong-ngomong soal pelayan, siapa yang membawa gaun pelayannya?”

“Itu punyaku.”

“Punyamu Yozora......? Jangan bilang kamu suka cosplay?”

“Enggak. Aku membelinya dari ‘Yafoo!Auction’ buat jaga-jaga kalau nanti kubutuhkan.”

“Memangnya kapan kamu bakal butuh gaun pelayan......?”

“Ok, cukup segitu dulu pembahasan soal gaun pelayannya.”

Yozora mengganti topik.

“Tiba-tiba aku jadi ingat bagaimana Daging membacakan sepenggal dialog dari eroge beberapa waktu lalu.”

“*Busu*?!”

Sena menyemburkan kopi yang sedang diminumnya.

“K, kumohon, tolong lupakan soal itu!”

Mengabaikan permohonan tulus dari Sena yang berlinang air mata, Yozora melanjutkan.

 

“Kemampuan ini sangat penting agar bisa mendapat teman- kemampuan berakting!”

 

......Aku punya firasat kalau lagi-lagi dia akan mengatakan hal yang mengerikan.

“Eh, akting?”

“Ya. Kalau kamu pandai berakting, kamu bisa ngobrol dengan riang sama orang yang diam-diam kamu benci. Kita akan terlihat seolah-olah akrab dengan orang itu. Dan kalau nanti kita butuh bantuan darinya, segalanya akan jadi lebih mudah.”

Memang benar-benar mengerikan.

Orang pertama yang menolak omong kosong Yozora, anehnya, adalah Yukimura.

“Tapi Anego, salah satu nilai utama seorang pria sejati adalah selalu jujur pada dirinya sendiri tak perduli apapun yang terjadi. Berakting untuk menyembunyikan dirinya yang sebenarnya bukanlah hal yang akan dilakukan oleh seorang pria sejati.”

“Kamu masih muda, Yukimura.”

“Tolong jelaskan pada saya.”

“Kamu belum pernah mendengar pepatah ini sebelumnya? ‘Untuk memahami sesuatu, seseorang harus terlebih dahulu memahami tindakannya’”

“......Memangnya ada pepatah kaya gitu?”

Tapi Yukimura terlihat seperti mendapat pencerahan dari apa yang Yozora katakan barusan.

“Jadi begitu rupanya. Meski saya masih belum matang, tapi jika saya terus meniru tindakan pria sejati, suatu hari nanti saya pun akan menjadi seorang pria sejati. Anda luar biasa, Anego. Saya paham sepenuhnya sekarang.”

Yukimura terlalu gampang dikelabui.

Lalu bagaimana dengan Sena-

“......Akting......Itu ide yang bagus.”

“Kenapa kamu malah setuju sama dia?”

Aku ga menyangka Sena, yang selalu bertindak seolah-olah dunia berputar dengan dia sebagai pusatnya, akan tertarik untuk berakting agar bisa mendekati orang lain.

“Ketika kamu memerankan sebuah peran, ada kemungkinan kamu akan menemukan potensi tersembunyi dalam dirimu. Dari situ kamu bisa menjadi orang yang lebih hebat lagi. Ini yang pernah dikatakan oleh Midzuki.”

“Midzuki?”

“Udah jelas kan kalau maksudku itu Midzuki dari ‘Tokimeki 7’. Presiden klub drama.”

“Karakter dari game!”

Kataku sambil menatap Sena.

“......Tapi, kalau kupikir-pikir, kalau kita bisa berakting sampai pada level dimana kita bisa dengan tenang mengontrol ekspresi dan tindakan kita, mungkin aja kita bisa mengurangi kesalahpahaman orang lain pada diri kita......”

......terus?

Kelihatannya kami semua tertarik dengan ide Yozora.

“Baiklah kalau begitu. Kita putuskan kegiatan klub untuk hari ini adalah berlatih akting!”

Yozora mengumumkannya dengan bersemangat.

“Untuk berlatih akting......berarti kita harus memerankan drama?”

“Tentu saja.”

“Naskahnya?”

“Sudah kusiapkan. Menurutku akan lebih baik kalau kita mulai dengan cerita yang sudah kita kenal. Makanya aku membawa ini.”

Yozora mengambil beberapa naskah drama dari tasnya dan membagikannya pada kami semua.

“Fu, ternyata kamu sigap juga Yozora.”

Ada ekspresi kekaguman yang jarang terlihat di wajah Sena.

Kulihat judul naskahnya.........’Momotaro’.

“......Memang sih kami semua udah familiar sama cerita ini...”

“Tapi di umur kita yang sekarang, apa kamu ga malu memerankan ‘Momotaro’?”

Protes diriku dan Sena; Yozora dengan tenang menatap kami dan berkata,

“Sebenarnya kalian berdua ga punya hak buat menolak. Tapi kalau kalian memang ga suka, kita masih bisa memerankan drama yang satu lagi.”

“Yang mana?”

“’Bintang Hitam Suci’.”

“A, Aku suka Momotaro! Makna ceritanya benar-benar dalam, sampai-sampai orang dewasa pun bisa menikmati kisah yang mengagumkan ini!”

Kata Sena sambil terpaksa tersenyum.

Yukimura pun menganggukkan kepalanya.

“Pilihan yang bagus, Sena-anego. Saat ini kebanyakan teori mengatakan kalau legenda Momotaro mengambil latar Jepang di jaman dahulu kala, ketika masa peperangan antara Dinasti Yamato dan Kibi no Kuni. Kemungkinan besar karakter Momotaro diilhami dari putra Kaisar Kourei Tennou yang terkenal, Pangeran Hiko Isaserihi Kono Mikoto, yang saat itu aktif di medan perang. Meski tidak ada bukti yang kuat, tapi pada periode Muromachi-”

“Stop, Yukimura! Aku bisa melihat kalau kamu paham betul tentang hal ini.”

Yozora menghentikan Yukimura sebelum dia melanjutkan lebih jauh; Yukimura, yang sedikit terbawa suasana dengan penjelasannya, terlihat agak sedih.

Jangan-jangan Yukimura penggemar sejarah?......

Tiba-tiba saja pertanyaan ini muncul di benakku.

“Hey, tapi kalau kita mau memerankan Momotaro, kita kekurangan orang nih.”

Karakter dalam cerita Momotaro terdiri dari Momotaro sendiri, anjing, monyet, burung pegar, kakek, nenek, raksasa, dan satu karakter yang punya peran penting dalam sebuah drama- narator.

Sudah jelas kalau kami berempat yang hadir disini tidak cukup untuk memerankan semua karakter.

“Tenang. Aku udah memperhitungkan hal ini dan melakukan penyesuaian dengan naskahnya.”

“Eh......Jadi maksudmu, kamu menulis ulang naskahnya?”

“Ya. Ga gampang memang; Tapi aku bangga dengan hasil pekerjaanku ini.”

“Yaah, asalkan kamu ga kelewat menyimpang dari cerita aslinya, aku ga keberatan......”

“Bagus. Ayo kita mulai kalau begitu.”

Mengikuti arahan Yozora, kubuka naskah dramaku.

Di halaman pertama tertera daftar karakter.

 

“Karakter”

-          Momotaro

-          Nenek

-          Raksasa

-          Pohon

 

“Karakternya sedikit banget?!”

“Ini gara-gara jumlah aktor yang kita punya terbatas.”

“Terus ‘Pohon’ ini maksudnya apa?!”

“Aku membuang terlalu banyak karakter, jadinya kutambahin satu.”

“Drama ini ga butuh karakter pohon!”

“Oke, sekarang kita tentuin pemerannya.”

Yozora melanjutkan tanpa menggubris komplain dariku.

“Supaya adil, kita pakai undian.”

Yozora mengambil selembar kertas dan membuat kertas undian sederhana.

Kami semua masing-masing mengambil satu untuk menentukan peran kami.

 

“Karakter”

-          Momotaro = Sena Kashiwazaki

-          Nenek = Yukimura Kusunoki

-          Raksasa = Yozora Mikadzuki

-          Pohon = Kodaka Hasegawa

 

“Dari awal perasaanku memang udah ga enak; Aku yang jadi pohon......”

“Fu fu, Aku yang jadi karakter utama. Ga heran sih. Dan kurasa peran raksasa memang cocok banget diperankan Yozora. Biar kuhajar kamu nanti!”

Sena tertawa puas.

“Fu, tertawalah selagi masih bisa Daging.”

Yozora membalas kesal.

“Ayo cepetan dimulai kalo gitu. Aku yakin semuanya udah familiar sama ceritanya, jadi ga perlu ada pengenalan cerita lagi.”

Kami menggeser sofa dan meja ke sudut ruangan. Bagian tengah ruangan berubah menjadi panggung kosong, dan drama pun dimulai.

“Kodaka, kamu kan pohon, jadi kamu berdiri di sana dari awal sampai akhir.”

Sena menyuruhku berdiri dekat dinding.

“…………”

Ingin rasanya aku mengatakan sesuatu, tapi aku memilih untuk menahan diri dan melihat naskah drama ku.

Baris pertama adalah dialog Momotaro.

“......Kok aku yang pertama kali ngomong?”

Tanya Sena keheranan. Meski begitu, dia tetap mengikuti arahan naskahnya, berdiri di tengah panggung, dan membacakan dialog miliknya.

“Co, coba kita lihat......Pada suatu ketika, ada seorang nenek yang hidup sendirian. Suatu hari ketika dia sedang mencuci pakaian di sungai, tiba-tiba dari hulu sungai turunlah buah persik sebesar keranjang nasi. Sang nenek membawa persik itu pulang, memotongnya, dan dari dalam persik itu keluarlah diriku.”

“Ini sudut pandang orang pertama dari Momotaro!”

“Ini kan sama aja kaya novel-novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama, dengan karakter utama yang melakukan narasinya. Dengan begini jumlah aktor yang kita butuhkan berkurang satu. Ideku hebat kan.”

Yozora mengatakannya dengan bangga.

“Tidak, tunggu sebentar. Kalau kamu ngebuang naratornya, terus ngapain kamu nambahin ‘Pohon’......Bukannya lebih baik kalau aku dijadikan narator?!”

Setelah mendengar keluhanku, Yozora menempelkan tangan ke mulutnya dan menatapku.

“......Apa? Itu ga terpikir olehmu?”

Dan kemudian dengan kesal Yozora membalas,

“...Kalau kita membiarkan pohon-nya bicara terus, lama-lama keseimbangan dunia bisa hancur. Lanjut.”

Dia sama sekali tidak menghiraukanku.

“Karena aku lahir dari dalam buah persik, aku diberi nama ‘Momotaro’. Aku hidup bersama dengan sang nenek dan tumbuh dewasa. Dan akhirnya, hari itupun tiba.”

“Momotaro, di pulau ada raksasa yang melakukan tindak kejahatan. Menakutkan sekali.”

Yukimura, berperan sebagai nenek, berjalan masuk ke panggung. Seakan-akan sama sekali tidak punya niat untuk berakting, dengan kaku dia membacakan dialognya.

Meski begitu si nenek berpakaian gaun pelayan......

“Fu, ga perduli itu Yozora atau makhluk lainnya, akan kuhabisi semuanya!”

Akhirnya Momotaro membacakan dialog pertamanya (sebelumnya hanya narasi). Meskipun Sena membacakan dialognya dengan penuh perasaan, dia tidak terlihat ingin benar-benar mengikuti arahan naskah.

“Baiklah kalau begitu. Semoga beruntung.”

......Dan itulah akhir dari peran si nenek. Dia bahkan belum memberikan kibidango[28]-nya ke Momotaro......

Dengan goyah Yukimura berjalan ke arahku.

“Bagaimana pendapat anda tentang akting saya, Aniki?”

“.........”

Aku ga tahu mesti ngomong apa, jadi aku memilih diam.

“Luar biasa, Aniki! Anda sudah menjadi satu dengan karakter Pohon. Saya masih harus belajar banyak.”

Dia menatapku kagum dan berjalan keluar dari panggung.

Sena kembali ke tengah panggung dan membacakan dialognya.

“Setelah pamit dengan nenek, aku pergi meninggalkan desa dan memulai perjalanan menuju Pulau Raksasa. Dalam perjalanan, aku melihat ada anjing, monyet, dan burung pegar yang sudah mati. Tapi aku tidak memperdulikannya dan mempercepat langkahku.”

“Apa-apaan nih?!”

“Anjing, monyet dan burung pegar adalah apa yang muncul di benak orang ketika mereka mendengar nama ‘Momotaro’. Aku ga bisa begitu aja membuang mereka dari cerita ini. Ini yang disebut sebagai bentuk penghormatan kepada cerita aslinya.”

Yozora menjelaskan dengan sungguh-sungguh.

......Memunculkan mereka sebagai mayat- ‘penghormatan kepada cerita asli’ macam apa ini?

“Banyak hal yang terjadi, dan akhirnya aku tiba di Pulau Raksasa. Semua raksasa di pulau ini datang menyerangku, tapi aku membantai mereka semua tanpa kesulitan. Dan akhirnya, aku berhasil mencapai bagian terdalam dari istana raja raksasa.”

......Cepet amat......

“Akhirnya, aku berdiri di hadapan raja raksasa.”

Pada momen ini, Yozora berjalan masuk ke panggung.

“Akhirnya kamu muncul juga Yozora! Bersiaplah! Kalau aku membunuhmu, semua harta di pulau ini akan jadi milikku!”

Teriak Momotaro yang benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis. Yozora menatap balik Sena dengan enggan.

Dan kemudian Yozora memulai akting nya yang emosional dan natural,

“Mengapa? Bagaimana bisa kamu melakukan tindakan kejam dan tidak manusiawi ini dengan sangat tenang? Kami, yang dibuang oleh Dinasti Yamato, adalah yang terakhir dari ras kami. Bukan hanya kalian manusia membuang kami ke tempat ini, tapi sekarang kalian pun ingin mengambil nyawa kami juga...! Dengan semua kekejaman ini, justru kalianlah raksasa yang sebenarnya. ”

Dialog si bos Raksasa......keren banget!

“Eh......Kok jadi begini ceritanya......”

Sena dengan ragu melanjutkan perannya.

“Di, Diam! Bukannya kamu juga membunuh warga yang tidak bersalah?!”

“Omong kosong! Warga yang kamu sebut barusan adalah prajurit yang dikirim untuk menjarah emas yang susah payah dikumpulkan leluhur kami! Yang kami inginkan hanyalah hidup dalam kedamaian!”

“Eh, beneran? Tidak, diam! Keberadaan raksasa itu sendiri sudah merupakan sebuah dosa! Aku, Momotaro akan mengayunkan pedang keadilan dan menaklukkan kalian para raksasa jahat! Kita akan lihat kepada siapa sebenarnya keadilan akan berpihak!”

“Dengan kejam kalian hidup di bumi hijau ini......dan kalian mengklaim kalau keadilan ada di pihak kalian! Apa tidak ada keadilan di dunia ini? Kalau begitu biarlah aku menjadi si iblis, dan aku akan memusnahkan semua mahkluk yang hidup! Majulah, wahai kau anjing dinasti. Namaku adalah Kokuten no Mikoto, kaisar Kibi no Kuni yang terakhir, akulah yang akan membawa kehancuran ke dunia ini!”

“Yozora tunggu sebentar! Dilihat dari sisi manapun, justru raksasanya yang baik! Dan lagi, nama raksasanya ga pernah disebut di dalam naskah!”

Sena akhirnya meledak marah; Yozora tertawa dan berkata,

“Waktu menulis naskahnya, kupikir ga ada serunya kalau aku menulis cerita sederhana dimana yang baik menang dan yang nakal kalah; Akhirnya kubuat beberapa perubahan. Kalau untuk namanya, baru aja kepikiran tadi.”

“Itu ga adil. Cuma kamu yang kebagian dialog-dialog keren. Kan aku yang jadi Momotaro?!”

“Mananya yang ga adil?......Di dunia ini ga ada batasan jelas antara baik dan jahat. Sejarah hanyalah alat bagi sang pemenang. Dengan kata lain, hanya pemenang dalam pertarungan ini lah yang bisa mengatakan kalau dirinya bertarung demi keadilan!”

Sambil mengatakan hal itu, tiba-tiba saja sebuah atlas yang digulung muncul di tangan Yozora. Dia memukulkannya ke kepala Sena.

Kulihat naskahku. Di halaman terakhir ditulis ‘Dan kemudian, Momotaro dan Raksasa memulai duel mereka. Yang bisa membuat lawannya menangis terlebih dulu dialah pemenangnya, dan itu menandakan dialah protagonisnya.’ Cuma itu yang tertulis.

Terus gimana dengan latihan aktingnya?

“Ow! Tunggu, ini ga adil, cuma kamu yang punya senjata!”

Melihat Sena yang memprotes dengan berlinang air mata, Yozora memukulnya lagi.

“Keberatan ditolak! Aku akan membalas saudara-saudaraku yang sudah kamu bunuh!”

BokaBokaBokaBokaBoka!

“Aah, cukup!”

Sena menggulung naskah drama nya dan melawan balik. Namun kekuatan naskah yang cuma di-staples tidak sebanding dengan buku atlas yang berat. Naskahnya hancur seketika.

“Tunggu, ow, sakit! Uuh! Aan! Uuuu...Idiot--!”

Akhirnya Sena berhasil kabur dari panggung.

Dengan santai Yozora berdiri di tengah panggung; senyum jahat terlihat di wajahnya.

“......Tunggu saja, manusia...... Aku telah mengakhiri hidup Momotaro; selanjutnya adalah giliran dunia kalian!...... Fufufufufufufu…. Buhahahahahahahhaahaha………!............ Tamat!”

Yozora kembali ke nada bicaranya yang biasa dan berkata,

“Jadi, apa pendapat kalian tentang drama yang melelahkan ini......”

Aku membalas,

“Tidak buruk. Toh kita ga menampilkannya di depan umum.”

Dengan tenang Yozora berkata,

“Tapi drama ini asik juga. Kita harus membuatnya menjadi kegiatan rutin Klub Tetangga!”

Cuma Yozora sendiri yang menyeka keringat di dahinya dengan perasaan puas; di saat yang sama ekspresi dongkol muncul di wajahku dan Sena.



Samurai Berandalan Kembali ke Sekolah Ibunya[edit]

[TL Note: Sebelum Anda membaca bab ini, kami beritahukan sebelumnya bahwa bab ini mungkin tidak layak bagi sebagian pembaca karena mengandung gambaran tentang pemerkosaan. Ada alasan kuat mengapa bab ini tidak muncul di manga dan anime. Sebelum Anda melanjutkan, ada baiknya Anda mengetahui apa itu Cell phone novels. Dan kalau Anda pernah membaca novel ringan Ore no Imouto ga Konna ni Kawaii Wake ga Nai (bukan anime-nya), yang akan Anda baca ini sejenis dengan novel yang ditulis Kirino.]

 

“Aku akan menulis naskah drama. Kalian semua jangan berisik.”

Yozora masuk ke ruang klub, mengeluarkan setumpuk grid player, dan mengatakan hal tersebut.

Aku, Yozora, Sena, dan Yukimura berkumpul di ruang klub.

......Kemarin dia mengumumkan bahwa Akting akan menjadi latihan rutin Klub Tetangga. Ternyata dia ga bercanda......

“Drama Momotaro kemarin memang punya beberapa kelemahan yang menjadikannya cacat. Aku cukup rendah hati untuk mengakui dan merefleksikan kesalahanku.”

“Huh......”

“Aku baru tahu ternyata kamu bisa ngomong hal yang bijak kaya gini.”

 

Sena dan Aku terkejut bercampur senang.

“Ya. Mengadaptasi cerita yang sudah ada itu membosankan. Karena itu kali ini ceritanya akan benar-benar orisinal.”

“Cuma ini yang kamu refleksikan?!”

Aku memarahinya.

“......Waktu kamu bilang orisinal, itu maksudnya kamu yang bakal nulis naskahnya?”

Tanya Sena.

“Fu, jangan khawatir. Cerita sempurnaku akan jadi puncak dari blockbuster.”

Insiden Momotaro kemarin jelas membuat kami meragukannya.

“Jadi, apa yang bisa kami harapkan dari ceritamu ini?”

“Fu, aku berencana menunjukkannya pada kalian setelah naskahnya selesai, tapi untuk kali ini aku akan membuat pengecualian dan menceritakannya sedikit.”

Ada ketidaktulusan di nada bicaranya yang membuatku berpikir kalau dia tetap akan memberitahu kami meski kami tidak bertanya.

“Pertama-tama karakter utamanya. Ia adalah seorang siswi SMA. Gadis kaya berambut pirang. Seseorang yang selalu dikelilingi cowok-cowok yang mengidolakannya.”

“......”

Kelihatannya Sena mau mengatakan sesuatu, tapi dia memilih untuk tetap mendengarkan.

“Suatu hari karakter utama kita berteman dengan seorang cewek. Mereka berdua menjadi teman akrab.”

“Hehe.”

Sena terlihat agak senang.

“Tapi kenyataannya adalah sang karakter utama telah merebut pacar cewek tadi dan cewek tersebut ingin balas dendam. Si cewek terlebih dulu mendekati karakter utama agar dia lengah. Akhirnya suatu malam si cewek memanggil karakter utama ke taman dan karakter utama kita yang bodoh jatuh ke dalam perangkap. Ketika karakter utama sedang menunggu di taman, dia diperkosa oleh lebih dari 10 orang teman laki-laki si cewek. Mereka meng-gangbang-nya dan dia pun hamil!”

“Tunggu dulu sebentar!!!!!!!!!!!”

Teriak Sena.

“Ada apa dengan cerita mengerikan ini! Blockbuster macam apa ini?”

“Wanita menyebalkan diperlakukan dengan kejam- penonton pasti akan suka. Aku berani bertaruh kalau cerita ini tampil di layar lebar, penonton pasti akan memberikan standing ovation.”

“Harus seburuk apa penontonnya supaya itu terjadi!”

“Memang benar, yang kita punya sekarang masih belum cukup. Ini baru prolognya. Dan kemudian karakter utama mendapat pacar baru, tapi kemudian pacarnya tertabrak mobil dan meninggal. Dan kemudian dia akhirnya bertemu dengan teman sejati yang tidak berpura-pura, tapi orang itu juga meninggal karena sakit. Dan kemudian karakter utama diperkosa lagi oleh teman-teman si cewek brengsek dari prolog tadi. Di akhir, karakter utama terlibat di sebuah lokasi kejahatan dan mati akibat tertembak peluru nyasar. Saat dia jatuh ke tanah dengan menyedihkan dan menunggu ajal menjemputnya, yang bisa dia pikirkan hanyalah kesedihan yang mendalam terhadap peristiwa dalam hidupnya.”

“Bukannya itu malah lebih parah?!”

“......Muu, kalo gini gimana? Ketika karakter utamanya akan mati, dia berpikir ‘Hidupku benar-benar seperti kotoran’. Kalau aku bisa bereinkarnasi, aku tidak ingin menjadi gadis vulgar berambut pirang dengan dada besar; Aku ingin menjadi gadis langsing berambut hitam......’ dan kemudian, dia meninggal dengan tenang......”

“Kenapa aku mesti menyesali hidupku dan ingin bereinkarnasi jadi orang seperti kamu!”

“......Fu, Aku ga punya bayangan orang tertentu waktu mendesain karakternya, tapi sekarang setelah kamu bilang begitu, kamulah yang paling pantas untuk karakter ini, Daging. Kerja bagus Daging, kamu karakter utamanya.”

“Apanya yang bagus!”

Bentak Sena yang sudah berlinang air mata.

“......Hei, jangan bilang kalau aku bakal jadi......”

“Teman si cewek brengsek; penjahat yang memperkosa karakter utama.”

“Sudah kuduga!”

Bentakku pada Yozora setelah mendengar jawaban cepatnya.

“Kamu akan sering tampil di film ini. Lagi dan lagi kamu akan memperkosa Daging......Maksudku karakter utama. Kodaka, kamu harus memainkan jatah peran 50 laki-laki.”

“Itu luar biasa, Aniki. Ini adalah karakter yang penting. Aniki bahkan bisa memerankan pohon tanpa kesulitan; tidak ada pilihan lain yang lebih tepat untuk peran ini selain Aniki.”

Yukimura memujiku dengan cara yang paling aneh.

“Naskah ini ditolak. DITOLAK!”

Kata Sena, dan aku pun mengangguk cepat.

“Plot seperti ini lagi populer di kalangan siswi-siswi SMA......orang-orang jaman dulu yang ga mengerti fashion memang sangat menyedihkan......”

“Terlepas dari apakah plot ini populer atau nggak, kita kan ga berakting di depan orang lain. Kita ga perlu mikirin apakah ceritanya populer atau tidak.”

“......Fu, masuk akal. Toh sebenarnya aku juga ga mau menulis cerita tentang cewek pirang bodoh.”

“Uguu......”

Sena melempar tatapan marah ke Yozora.

“Pokoknya, kami ga bisa membiarkanmu menulis naskahnya sendirian! Kamu harus mempertimbangkan usul dari kami juga, kamu dengar?!”

“Fu......Aku bahkan harus berbaik hati dengan aktor yang banyak maunya, ternyata sulit menjadi produser......”

Yozora menghela napas dan mengatakannya.

Menurutku Yozora sudah sama sekali melupakan siapa dia sebenarnya. Dia benar-benar berpikir kalau dia adalah produsernya.

“Ya tentu, aku akan mempertimbangkan opini kalian juga. Cerita seperti apa yang kalian mau?”

Dengan segera Sena menjawab-

“Cerita tentang aku menjadi teman baik dengan banyak perempuan.”

“Kenapa premisnya harus Daging sebagai karakter utama, dasar egois bodoh. Tapi cerita dengan tema persahabatan ya, itu usul yang bagus......Kodaka dan Yukimura?”

“Saya pikir cerita tentang samurai-lah yang paling cocok.”

“Samurai......?’

Yozora terlihat gelisah.

“......Kalau aku......gimana kalau pertarungan melawan semacam monster......?”

“Jadi, Momotaro kalau begitu?”

“Tidak. Meski Momotaro memang cocok dengan deskripsi yang kami berikan, aku pribadi ingin sesuatu yang lebih modern. Seperti menggunakan ESP untuk bertarung, atau semacamnya. Cerita semacam novel ringan.”

“Kodaka, kamu kan berandalan, tapi kamu baca novel?”

Tanya Sena terkejut.

“Butuh waktu lebih lama untuk menghabiskan novel dibanding manga. Membaca novel ringan perlahan-lahan itu adalah cara yang bagus untuk menghabiskan waktu dengan santai.”

“Dengan kata lain, novel adalah barang keperluan sehari-hari yang esensial untuk pria kesepian.”

“Jangan mengatakannya dengan cara yang menjengkelkan. Itu ga sopan buat pengarang dan pembaca.”

Lagi-lagi komplainku bertemu dinding batu. Ah, aku lupa membantah Sena waktu tadi dia menyebutku berandalan.

“Anego, selain samurai, cerita mengenai berandalan juga terdengar bagus.”

Yukimura menyuarakan opininya lagi.

“Saya pikir akan sangat bagus kalau film ini mempunyai karakter utama berandalan sekeren Aniki.”

“Kedengarannya menarik juga!”

“Fu......samurai, ESP,......dan berandalan.”

Yozora, terlihat serius, menulis sesuatu di catatannya.

 

[Karakter Utama]

Berandalan yang, seperti halnya samurai, menggunakan katana sebagai senjata. Mempunyai gaya rambut Regent[29]. Dia bisa menggunakan ESP.

 

“Karakter utama macam apa ini?!”

“Ini kombinasi dari apa yang kalian minta.”

Jawab Yozora dingin.

“Terus mana usul dariku?!”

“Aah, benar juga.”

Yozora menambahkan baris berikut ke catatannya.

 

[Karakter Utama]

Berandalan yang, seperti halnya samurai, menggunakan katana sebagai senjata. Mempunyai gaya rambut Regent. Dia bisa menggunakan ESP. Namanya ialah Daging Zaemon.

 

“Siapa itu Daging Zaemon?!”

“Nama ‘Daging’ dengan sedikit sentuhan bergaya Samurai.”

“Namaku bukan Daging, namaku Sena!”

“Karena kita sudah menentukan karakter utamanya, ayo sekarang kita tentukan plotnya.”

Sudah kuduga, Yozora menghiraukan komplain Sena.

“Aku sudah membaca sedikit tentang teknik penulisan cerita sebelumnya. Kelihatannya struktur sebuah cerita dapat dibagi menjadi ‘struktur dramatis’, atau kita bisa menyebutnya ‘johakyuu’. [2] Seperti halnya kerangka manusia, struktur ini penting bagi sebuah cerita. Kalau tidak ada banyak aksi, dan kamu hanya membuat karakternya membuang waktu dengan ngobrol tanpa alasan jelas, itu berarti ceritanya buruk.” [TL: Bukannya ini yang selalu kalian lakukan?]

“Tapi itu tergantung kemampuan pengarangnya juga. Kalau dia mahir, bahkan cerita yang tidak banyak peristiwanya bisa menjadi menarik. Tapi secara umum ini susah dilakukan. Sebagai pemula kita lebih baik mengikuti dasar-dasarnya.”

“Betul. Jadi ayo kita mulai dengan bagian ‘Pembukaan’.”

Kata Yozora, dan Aku pun mulai berpikir.

“......Ini agak klise, tapi gimana kalau plot dimana seorang cowok menyelamatkan cewek?”

Setidaknya aku memberikan pendapatku.

“Kodaka, kupikir tadi kamu ingin cerita tentang orang-orang yang bertarung melawang monster menggunakan ESP?”

Tanya Sena.

“Ya ga harus itu juga......”

“Kalau begitu gimana kalau menyelamatkan wanita dari serangan monster? Bagus. Pembukaannya akan jadi seperti ini.”

Kata Yozora dan dia menuliskan rangkuman untuk plotnya.

 

[Rangkuman: Pembukaan]

Ketika sang wanita sedang diperkosa oleh monster di sekolah, karakter utama Daging Zaemon datang menyelamatkannya.

 

“Kenapa ceweknya diperkosa sama monster?!”

“Karakter utama wanita diperkosa oleh monster- Bukannya ini basis dari hiburan?”

“Genre sempit macam apa ini?! Dan yang diperkosa itu karakter utama wanitanya?!”

“Cerita epik ini dimulai dengan karakter utama menyelamatkan karakter utama wanita. Ini klasik.”

Sena, terlihat ragu, berkata.

“Yang kamu bilang memang betul......tapi bukannya orang-orang akan menggosipkan fakta kalau karakter utama wanitanya sudah nggak perawan?”

“Aku ga mengerti cara pandangmu yang sempit dalam melihat dunia ini.”

.......Aku ga tahu apa yang sedang dibicarakan Sena dan Yozora.

“Bagaimana dengan setting karakter utama wanitanya?”

“Menurutku kita harus mengikuti tradisi karakter utama wanita dengan rambut hitam panjang.”

Dengan segera Sena menjawab pertanyaanku.

“Rambut hitam panjang......artinya seseorang seperti aku?”

Tak diduga, Yozora menjawab dengan senang.

Sena memarahinya dan melanjutkan-

“Cuma gaya rambut kalian yang sama. Kepribadian karakter utama wanitanya itu baik, bertanggung jawab, empatis, namun kuat secara mental. Dia sedikit miopi jadi dia butuh kacamata. Telinga kucing. Dan yang terakhir dia adalah keturunan dari malaikat.”

“Nggak ada manusia seperti itu.”

“Gapapa. Toh karakternya cuma dibuat-buat.”

“......Fu. Terlalu ribet kalau harus memperhatikan semua detail kecilnya. Oke gimana kalau......”

Selagi Yozora bersiap menuliskan setting untuk karakter utama,

“Menurut saya karakter utama wanitanya juga harus berandalan. Seseorang yang layak dengan status Aniki, namun versi wanita.”

Yukimura menyuarakan opininya yang membingungkan.

“Oke. Aku juga akan menambahkannya.”

 

 

[Karakter Utama Wanita]

Rambut hitam panjang. Kacamata. Telinga kucing. Keturunan rahasia dari malaikat. Sebagai pemimpin dari geng berandalan, dia sangat bertanggung jawab dan perduli dengan anak buahnya. Semua orang mengaguminya.

 

“Kenapa kita nambahin ‘geng berandalan’ ke settingnya!?”

“? Menurutku ga ada yang aneh. Malah aku sedikit iri.”

“Yang aku mau itu ketua kelas yang perhatian dan menjaga teman sekelasnya dengan baik, bukannya geng berandalan.”

Pokoknya kami sudah menentukan setting karakter utama wanitanya.

“Yang berikutnya adalah konflik......Setelah mengetahui rahasia karakter utama wanita, hubungan mereka dengan cepat menjadi intim. Kita juga harus menyiapkan peristiwa yang akan muncul di klimaks.”

“Betul.”

Sena mengangguk. Yozora menulis beberapa catatan ke bukunya.

 

[Rangkuman: Konflik]

Pertama-tama, Daging Zaemon memperkosa karakter utama wanita.  Kemudian mereka dengan cepat menjadi intim. Akhirnya, Daging Zaemon mengetahui rahasia karakter utama wanita.

 

“Kenapa karakter utama memperkosa karakter utama wanita?!”

Sena dan aku membentak Yozora sekuat tenaga kami. Yozora, wajahnya terlihat agak merona, menjawab,

“......Setelah kupikir-pikir, ternyata aku nggak familiar dengan tahap-tahap menjadi intim dengan orang lain. Dan menurut panduan-menulis punyaku, mereka menyarankan 'kalau semuanya sudah gagal, masukkan saja beberapa adegan pemerkosaan dan berharap untuk yang terbaik.’”

“Dimana kamu bisa menemukan karakter utama wanita yang kalau kamu memperkosanya, dia akan jadi lebih dekat denganmu......ahh......tunggu sebentar.”

Kelihatannya Sena mengingat sebuah game yang cocok dengan deskripsinya tadi (kemungkinan besar eroge). Dia menjadi diam.

“Bagus. Berikutnya adalah klimaks. Ini adalah tahapan dimana sesuatu yang tak terduga terjadi.” “Tak terduga ya……Susah nih.”

Aku ga bisa memikirkan ide yang bagus.

“Mau gimana juga, aku masih berpikir kalau plot ‘karakter utama merebut pacar milik cewek lain dan si cewek berusaha membalas dendam’ adalah plot yang paling bagus.”

“Apapun boleh asalkan bukan plot itu!”

Dengan marah Sena menatap Yozora, yang terlihat serius ketika mengatakannya.

“......Karakter utama wanita memanggil Daging Zaemon ke taman saat tengah malam. Tiba-tiba sekumpulan laki-laki muncul dan memperkosa Daging Zaemon.”

“Kamu bahkan membuat karakter utamanya diperkosa?! Seberapa besar sih kecintaanmu sama pemerkosaan!”

Teriak Sena.

“......Tapi kalau kita membuat karakter utama wanitanya mengkhianati karakter utama, itu akan jadi peristiwa yang tak terduga. Gimana kalau, meski si wanita berbohong ke karakter utama, tapi sebetulnya dia dipaksa oleh antagonis misterius.”

“......Kodaka, itu ide yang mengagumkan.”

Kata Sena dengan sedikit menyesal.

“Aniki anda memang hebat. Anda memang penguasa jahat bawah tanah yang mengontrol sekolah ini dari balik kegelapan.”

“......Tidak, Aku bukan penguasa jahat.”

“Kalau begitu, sudah kita putuskan.”

 

[Rangkuman: Klimaks]

Karena karakter utama wanita mengkhianati karakter utama, maka karakter utama memperkosanya lagi. Sekarang bos misterius menampakkan dirinya.

 

“Seperti yang sudah kutanyakan sebelumnya, kenapa sih kamu ngotot ingin menampilkan pemerkosaan di semua adegan?!”

“Ini sebagai hiburan plus fan service.”

“Pemerkosaan itu bukan fan service! Memecahkan misteri, mengalahkan bos rahasia, dan mencapai akhir cerita yang bahagia, itulah yang betul-betul kita butuhkan!”

“......Mu. Baiklah, kurasa kita bisa mengubahnya.”

Yozora tampak tidak senang mengubah apa yang barusan dia tulis-

 

[Rangkuman: Klimaks]

Karakter utama wanita, yang dekat dengan karakter utama, telah mengkhianatinya. Ketika karakter utama menginterogasinya, dia berhasil mengetahui adanya keberadaan antagonis misterius.

 

“......Akhirnya kita sudah dekat dengan ending. Yang paling bagus adalah mereka mengalahkan bos dan mencapai akhir yang bahagia.”

“Ya, aku setuju.”

Aku mendukung usul Sena.

“Masalahnya adalah setting seperti apa yang harus dimilki si bos. Dia haruslah seseorang yang sangat menyebalkan, dan ketika dikalahkan, penonton akan bersorak senang.”

Selagi Yozora mengatakannya, dia menuliskan setting untuk bos.

 

[Bos Terakhir]

Berambut pirang, gadis kaya dari keluarga orang kaya baru. Selalu dikelilingi oleh laki-laki. Motonya adalah ‘Aku Punya Banyak Uang!’

 

“Itu bukan aku! Aku ga pernah mengatakan hal seperti ‘Aku punya banyak uang!’ Kalau menurutku bos terakhir harusnya seseorang yang punya ‘rambut hitam panjang, mata yang kejam, cewek dengan kepribadian menyebalkan.’”

“Karakter utama wanitanya sudah punya atribut rambut hitam panjang. Ditolak.”

......Kurasa setting untuk bosnya sudah terpahat di atas batu.

“Bagus. Sekarang setelah kita menentukan rangkuman plot dan karakternya, yang tersisa tinggal menulis naskahnya berdasarkan apa yang kita tentukan tadi. Ini akan jadi cepat dan meyenangkan.”

Kata Yozora senang.

 

......Ngomong-ngomong.

Rangkuman plot dan karakternya, menurut Yozora –“Setelah sampai di rumah aku menenangkan diri dan membacanya lagi, dan Aku baru sadar kalau plot ini ga layak dibuat menjadi naskah.” Yozora menolak naskahnya dengan alasan yang, secara mengejutkan, jujur darinya.

Aku hanya bersyukur kami tidak harus memerankan cerita ga masuk akal itu.



Kolam Renang[edit]

Sepulang sekolah, aku pergi ke ruang klub, dan Sena sedang bermain galgame di sana.

Di layar komputer, perempuan berpakaian baju renang berkata: ”Ayo kita bersenang-senang!” ke latar belakang sebuah pantai.

Sena menyeringai ke layar.

“Hey.”

Aku pun menggelengnya, yang tampaknya membuat Sena sedikit ketakutan, tangannya bergetar.

Merasa tidak puas, dia bertanya,

“Apa.... Kok cuma ada kamu? Mana si rubah betina itu?”

“Yozora bilang hari ini buku favoritnya sedang dijual, jadi dia pulang ke rumah.”

“Hm, kelihatannya aku bisa memainkan game ku dengan tenang hari ini.”

Kata Sena dengan senang sambil melanjutkan permainannya.

Mau tak mau aku melihat layar TV.

Aku melihat adegan dimana protagonis sedang bersenang-senang di kolam renang dengan cewek-cewek.

Mereka saling mencipratkan air satu sama lain, mereka bermain bola pantai, dan mereka mengadakan lomba renang.

“Kamu berenang dengan sangat baik Sena-kun~! Aku tidak bisa menandingimu~”

Semua cewek bertepuk tangan untuk protagonis yang memenangkan perlombaan.

Tiba-tiba saja, Sena berhenti bermain.

“……?”

Aku terkejut melihat Sena yang masih menatapi layar TV.

“...Hey, Kodaka, kamu bisa...”

“Ya?”

“...Kamu...kamu bisa...berenang?”

Suara Sena meredup menjadi sebuah bisikan.

“...? Ya, aku bisa, soalnya di sekolahku yang dulu ada kelas renang.”

“Sungguh? Jadi...”

“!”

Tiba-tiba Sena berbalik, dan wajahnya mendekati wajahku.

Aku sedikit syok karena aku dihadapkan dengan wajah yang sangat cantik dari dekat.

Wajah Sena merona.

“......Bisa ga kamu mengajari aku berenang?”

Tanyanya malu-malu.

“...Kamu ga bisa berenang?”

Aku sedikit terkejut, karena sebelumnya dia dikenal jenius dalam hal olahraga.

Sena membalas kesal:

“Be...berisik!...Aku belum pernah ikut kelas renang sejak SD.”

“Hmm. Gitu ya.”

Kalau kupikir-pikir, memang tidak ada kolam renang di sekolah ini.

“Tentu aku bisa mengajarimu. Kenapa kamu tiba-tiba mau belajar berenang?”

“Kamu ga tau? Aku ingin jadi teman Natsumi supaya kami bisa pergi ke kolam renang bersama-sama. Kan menyebalkan kalau kamu ga bisa berenang waktu lagi bermain di pinggir laut. Terlebih lagi, Natsumi cuma perduli sama orang-orang yang bisa berenang sebaik dia.”

Jelas sekali, Sena mengatakan sesuatu hal yang aneh.

Cewek yang disebut-sebut sebagai Natsumi ini adalah cewek yang muncul di game barusan.

Berteman dengan Natsumi jelas melanggar Hukum Fisika. Ga ada yang bisa kuperbuat meski aku bisa berenang, jadi aku diam saja.

“Jadi, kita ketemuan di ‘Ryuuguu Land’ hari Minggu ini.”

“Oke!”

Ryuuguu Land adalah pusat olahraga yang terletak di pusat kota. Selain kolam renang, juga ada fasilitas lain di dalamnya.

Aku belum pernah ke Ryuuguu Land karena aku baru pindah kesini, tapi sudah dari dulu aku ingin pergi ke sana.

“Dan Kodaka.”

“Ya?”

“....Jangan pernah bilang ke si bodoh Yozora kalau aku ga bisa berenang.”

“Ya, ya.”

Aku mengiyakan karena aku tahu dia payah kalau berhadapan dengan Yozora.

Pada Hari Minggu jam 10.30AM, 3 hari kemudian, Sena dan aku bertemu dan pergi ke Ryuuguu Land.

Di bayanganku, tempatnya pasti cenderung untuk orang-orang stylish, tapi ternyata bangunannya tampak elegan dengan atap kubah.

Selain kolam renang juga ada ruang tinju dan supermarket.

Menunjukkan kartu pelajar kami, harga yang sudah didiskon tampak wajar bagi kami.

Mungkin satu-satunya kekurangan tempat ini adalah lokasinya, karena kami harus berjalan 40 menit dari pemberhentian bus terdekat.

“Kalau gitu, kita ketemu lagi di pintu masuk kamar mandi.”

“Baik.”

Sena dan aku pergi ke kamar ganti yang terpisah untuk berganti baju.

Karena cuma ada sekitar 20 orang di kamar ganti, sebagian besar loker tidak terpakai.

Dengan cepat aku mengenakan pakaian renangku dan pergi ke kolam. “Besar banget,” Kataku ketika melihat kolam renangnya.

Pengunjung di kolam tidak sebanyak yang aku bayangkan, jadi pengunjung bisa berenang mengelilingi kolam yang luas.

Tak jauh dari situ ada sebuah map kecil. Aku membacanya dengan seksama dan mengetahui kalau kolam disini dibagi menjadi kolam ombak, kolam arus, kolam 25 meter, dan kolam 50 meter. (Jelas kalau itu bukan mengacu pada kedalaman kolam, tapi pada panjang atau lebarnya) Dan sarana lain seperti seluncuran dan area menyelam.

Sepertinya kolam 25 meter yang paling cocok dipakai untuk latihan berenang.

...Ngomong-ngomong, aku bertanya-tanya bagaimana caranya mengajari seseorang berenang? Aku masih belum memikirkannya, tapi sepertinya ga terlalu penting.

Aku merenung sedikit dan melihat-lihat, sambil bengong.

“Kodaka.”

Seseorang disebelahku memanggil namaku, aku melihat ke arahnya, dia adalah Sena yang sudah mengenakan baju renangnya.

Sena mengenakan bikini mewah bercorak. Memang cocok sih.

Dia bisa memamerkan bentuk tubuhnya meski memakai seragam sekolah dan keindahan tubuhnya lebih terekspos dengan baju renang ini.

Pandangan mataku terpaku pada pahanya yang langsing seputih salju dan dadanya yang besar, tapi menurutku semua pria pasti akan melakukan hal yang sama.

Sena memandang sekitarnya.

“Hmmm... Tempat ini bagus juga.”

“Ya. Memang luas banget, jadi ayo kerahkan tenagamu untuk berenang.”

“Ya. Kita beruntung bisa datang kesini sebelum tempat ini bangkrut.”

Kata Sena.

“Bangkrut?”

“Karena bisnis ga berjalan disini.”

“Apa iya?”

“Tentu saja, kalau orang ingin menghasilkan uang dengan bangunan skala-besar seperti ini, mereka tidak saja harus menarik minat penduduk lokal tapi juga orang-orang yang tinggal di distrik terdekat, tapi karena lokasi kolam ini, mustahil bisa melakukannya.”

“Lalu kenapa mereka membangun kolamnya disini?”

Ryuuguu Land terletak di area pegunungan yang sepi, cukup jauh dari tengah kota.

“Sebenarnya, bangunan ini bukan rancangan tunggal, seharusnya ada beberapa rancangan pembangunan skala besar. Tapi karena berbagai alasan, terowongan, jalur kereta api, dan area permukiman besar yang seharusnya dibangun terpaksa ditunda, akhirnya cuma Ryuuguu Land yang selesai dibangun. Dan alasan kenapa harga tiketnya murah, itu untuk menarik banyak penduduk dari area kota, tapi jumlah pengunjung dan biaya bangunan ini tidak sebanding. Dan penduduk tidak akan datang kalau harganya naik. Jadi sudah pasti kalau tempat ini akan tutup dalam beberapa tahun kedepan.”

“Itu kisah yang berat untuk tempat dengan nama seperti ‘Ryuuguu’[30]. Ngomomong-ngomong, Sena, kamu dapat informasi ini darimana?”

“Walikota membicarakannya waktu dia bertemu dengan Papa ku.”

“Papa....kepala sekolah.”

“Ya.”

“Ngomong-ngomong aku belum pernah bertemu dengan kepala sekolah, mungkin aku harus mengunjunginya.”

“Hah?”

Sena tiba-tiba berteriak panik.

“Kenapa...kenapa kamu mau mengunjungi Papa ku? Apa karena kamu mau jadi pacarku? Apa kamu berpikir kalau hari ini kita kencan?”

Cepat-cepat aku menjelaskan ke Sena yang wajahnya sudah merona.

“Nggak,nggak,nggak, kamu salah paham! Ayahku dan ayahmu adalah teman lama. Ayahmu mengijinkanku masuk ke sekolah ini dengan bantuan ekstra. Karena itu aku harus berterima kasih padanya.”

Sena tampak sedikit terkejut.

Dan wajahnya merona lagi.

“Mestinya kamu bilang dari tadi, idiot!”

“Nggak, kan kamu yang marah duluan.”

Ketika kembali ke mode normalnya, Sena berkata padaku:

“Padahal cuma Kodaka, tapi berani-beraninya kamu kurang ajar padaku.”

“Memang kapan aku bersikap kurang ajar....”

“Ngomong-ngomong, apa benar Papa mu dan Papa ku itu teman lama?”

“Mereka bilang begitu, jadi pasti benar.”

“Hmm... Sebagai putrinya ga baik bagiku mengatakan ini, tapi Papa ku itu orangnya sulit dimengerti dan seolah-olah tak tersentuh. Orang yang bisa berteman dengan Papa ku itu hampir tidak ada. Jadi Papa mu itu, seperti apa orangnya?”

Sena menatapku tajam.

“Yaa, ayahku...mungkin, bisa dibilang periang. Dia bisa bergaul dengan orang asing, dia bisa berteman di mana saja.”

“Benar-benar berkebalikan denganmu.”

“Berisik! Ngomong-ngomong, sifatmu mirip dengan ayahmu.”

“Kamu terlalu naif! Mama ku tidak punya banyak teman karena dia arogan. Aku lebih mirip dengan Mamaku, baik itu penampilan maupun sifat kami.”

“....Kamu sadar ya kalau kamu arogan....”

“Apa salahnya orang yang sempurna memamerkan diri mereka? Dan itu adalah tindakan yang mulia, utuh dan sempurna.”

“Ya. Ya....”

Aku capek dengan topik ini, jadi aku mengiyakan saja.

“Kalau gitu, ajari diriku yang sempurna ini caranya berenang.”

“Ya. Ya....”

Setelah pemanasan dan shower panas, Sena dan aku pergi ke kolam 25 meter.

“Jadi, kita bakal ngapain?”

Tanya Sena ketika kami berjalan ke kolam.

Aku bukan guru olahraga, bukan juga pelatih, jadi aku ga punya bayangan bagaimana mengajari dia berenang. Pokoknya aku mengingat-ingat apa yang kupelajari di kelas renang dulu.

“Pertama-tama...coba tenggelamkan kepalamu ke dalam air.”

“...Aku bukan orang tolol.”

“Nggak, di SD dulu, mereka yang ga bisa berenang melakukan ini jadi...”

“Semua orang pasti bisa menyelam kan?”

Kemudian Sena dengan segera menyelam ke dalam air.

Mengikutinya, aku pun menyelam juga.

Di bawah air mata kami saling bertatapan―mata kami cuma terbuka sedikit. Kami kembali ke permukaan air.

“Hmm...berikutnya latihan flutter kicking.”

“Oke.”

Sena berbaring di tepi kolam, mengambangkan tubuhnya di permukaan, dan kakinya mulai menendang-nendang air.

........Gerakannya yang mahir sama sekali ga menunjukkan kalau dia perenang pemula.

Pergelangan tangannya lurus untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, dia mencoba untuk meluruskan kakinya, dan menggunakan seluruh tenaga ke ujung kakinya untuk menendang air.

Itu hanya berlangsung hampir semenit, dia tidak menendang air keras-keras dengan tujuan untuk membuat gelembung, dan kemudian dia menendang air sesukanya.

“Teknik flutter kicking mu bagus banget....”

“Memangnya ada cara yang baik dan yang buruk untuk melakukan hal kaya gini?”

Menjengkelkan sekali mendengar pertanyaannya.

“...Ah, berikutnya jangan pakai pegangan kolam, tapi pegang tanganku.”

“Baik.”

Sena memegang tanganku.

“Bagus. Sekarang tendang air dengan kakimu seperti tadi.”

“Ok.”

Sena mulai mengayunkan kakinya.

Aku memegang tangan Sena dan berjalan mundur perlahan-lahan.

Sena tidak kaget meski aku melakukan ini dan tetap menendang air dengan sangat baik.

“Sekarang, coba tenggelamkan kepalamu ke dalam air.”

“Ok.”

Kali ini juga, dia mendengarkan instruksiku dan menenggelamkan kepalanya ke dalam air.

Dengan begini tubuhnya memperlihatkan posisi berenang yang lebih baik.

Bertahan selama hampir 10 detik, kepalanya naik, mengambil nafas, dan masuk ke air lagi.

Ini dilakukan sebanyak 5 kali, tapi gaya berenang Sena masih sempurna.

.....Dengan begini, apa aku sudah bisa melepaskan tanganku sekarang...?

Aku masih khawatir, tapi akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan tanganku dan berpindah ke samping.

Sena masih menendang air sambil bergerak maju.

Kecepatannya melebihi perkiraanku, jadi aku harus cepat-cepat menyusulnya.

Dia berenang sejauh hampir 10 meter.

“Fwah!!”

Kepala Sena naik ke permukaan air dan dia menghentikan kakinya.

Dia melambai padaku, tertawa.

“Aha, cuma segitu? Kelihatannya berenang itu lebih mudah dari yang kubayangkan.”

Senyumnya, berbeda dari senyum arogannya yang biasa, terlihat sangat kekanak-kanakan.

Vol1 chp pool.jpg

“Hmm? Kenapa?”

“Ah. Ga...gapapa.”

Terpana dengan apa yang barusan kulihat, cepat-cepat aku mengelak dari pertanyaan Sena.

“Baiklah. Berikutnya, ajari aku gaya bebas, Kodaka.”

“A..Ah,ya. Ayo sekarang kita coba gaya bebas.”

Hanya dalam 10 menit, Sena beranjak dari pemula menjadi ahli dalam flutter kicking. Terkejut, aku melanjutkan mengajarinya.

Setelah itu, Sena bisa melakukan gaya bebas dengan mudah.

Meskipun dia masih kesulitan mengambil nafas. Tapi setelah berlatih setengah jam, gaya bebasnya sudah sebaik gaya bebasku.

Kecepatannya meningkat dibanding ketika dia hanya melakukan flutter kicking, dan Sena berenang berkeliling kolam dengan senang.

Melihatnya seperti itu tanpa sadar membuatku tersenyum.

Berikutnya, aku mengajarinya gaya dada.

Butuh waktu lebih lama untuk mengajarinya gaya dada dibanding gaya bebas, alasannya karena aku sendiri tidak terlalu mahir melakukan gaya dada, apalagi mengajarinya.

Tapi dalam waktu singkat, dia menguasai berenang dengan gaya dada.

Malah mungkin gaya dadanya lebih baik dibanding gaya dadaku.

Dan, tanpa kuajari, dia menguasai gaya punggung.

“Baiklah Kodaka, berikutnya ajari aku gaya kupu-kupu!”

Kata Sena sambil tersenyum.

“Nggak, aku belum bisa gaya kupu-kupu, jadi aku ga bisa mengajarimu.”

Toh kupikir mengajari gaya kupu-kupu di pelajaran renang SMA bukanlah ide yang bagus.

“Begitu ya? Yasudah kalo gitu......”

Kata Sena sedikit kecewa.

“Lupakan aja. Aku agak capek. Ayo naik dan istirahat. Tapi sebelumnya, ayo kita lihat siapa yang bisa berenang paling cepat ke seberang.”

“...!Oke...!”

Aku ga bakal kalah sama orang yang baru belajar berenang kurang dari 2 jam yang lalu.

Berbekal pikiran itu, aku menggunakan gaya bebas, dan entah bagaimana bisa menang.

Meskipun aku menang, Sena hanya tertinggal sedikit dibelakangku, yang membuat kepercayaan diriku hancur.

Keluar dari kolam, kami membeli minuman dan mie goreng dari toko untuk makan siang kami.

Dulu aku pernah pergi ke pantai dengan keluargaku, dan kami makan mie goreng. Aku ga tahu kenapa rasanya bisa enak banget.

Apa ada cara untuk mencuri rahasia cita rasanya......?

“Aku bisa berenang lebih cepat dari perkiraan. Sekarang setelah aku mencapai tujuanku, ini kesempatan bagus untuk bermain di kolam lain, dan aku juga mau bermain di seluncuran.”

Kata Sena setelah dia mengunyah habis seporsi besar mie goreng dan 3 sosis Frankfurt.

“Begitu ya.”

Sambil makan mie, aku menyetujui usulnya.

.....Latihan akan membuatnya lebih mahir dariku, yang artinya usulnya barusan akan menguntungkan posisiku.

“Huhuhu. Sekarang kalau Natsumi muncul, aku sudah siap menanganinya.”

Mustahil Natsumi bakal muncul...

“.....Hmmm...daging.”

“Ada apa?”

Dengan cepat Sena bereaksi mendengar desahanku.

“....Eh, bukan, maksudku ada daging di mie gorengnya yang susah dimakan, aku bahkan ga bisa mengunyahnya.”

“....”

Sena berpaling dan merona.

“Jangan mengatakan hal yang bisa bikin salah paham, idiot.”

“....Kamu udah terima dipanggil ‘daging’ sama orang lain ya, meski cuma Yozora yang memanggilmu begitu.”

“...Iya, Ini salahnya si idiot itu gara-gara memberiku nama yang aneh...”

Wajah Sena menjadi muram.

“Meski begitu aku punya firasat kalau sejak awal kamu udah terima dipanggil seperti itu.”

Pertama kali Sena dipanggil daging adalah ketika kami bermain MonKari, dan Sena tidak terlihat keberatan dengan nama panggilan seperti daging dan sapi.

Waktu aku mengatakannya, wajah Sena merona dan berkata:

“......Soalnya ini nama panggilan pertamaku.”

“Eh?”

“......A..Aku bilang, ini pertama kalinya orang lain memberiku nama panggilan.....Jadi aku sedikit senang.”

Wajah Sena tambah merona.

“Se....senang?”

“I..Iya. Jadi jangan bilang Yozora! Ngomong-ngomong, karena kita udah selesai makan mendingan kita lanjut berenang.”

Kata Sena sambil menatapku.

“A...Ah...,oke. ...Tapi sebelumnya aku mau ke toilet dulu.”

“Buruan!”

“Baik.”

Aku menjawab dan pergi ke toilet.

......Di luar dugaanku, ternyata Sena senang dengan nama panggilan ‘daging’.

Bagi Yozora, sama sekali tidak ada unsur keakraban dalam nama panggilan itu, yang ada hanya 100% hinaan. Tapi aku tidak akan mengatakan hal itu pada Sena.

Hanya ada sedikit toilet di tempat sebesar ini, jadi butuh waktu lama untuk menemukannya.

Begitu aku selesai, aku mencuci tanganku dan mandi, kemudian kembali ke tempat Sena berada.

Waktu aku melihat ke arahnya――

“...Hmm?”

Aku menyipitkan mataku dan melihat dengan seksama.

Tiga cowok sedang ngobrol dengan Sena.

Rambut mereka bertiga dicat, yang menunjukkan kalau mereka preman.

Aku cuma bisa beranggapan kalau mereka sedang menggodanya.

Jadi rumor kalau Sena itu populer ternyata benar...

Tapi mereka pasti pergi meninggalkan Sena kalau mereka tahu dia datang ke sini dengan cowok lain.

Jadi aku tidak terlalu khawatir dan mendekati Sena.

Tapi ketika aku mendekat, aku merasa ada yang aneh.

Semakin banyak Sena berbicara, cowok-cowok itu semakin marah.

...Uwa―Aku punya firasat buruk nih...

Apa jangan-jangan, Sena itu menarik tapi ga tau caranya menangani situasi kalau dia digodain?

“.....Lu...Jangan sok ya!!”

Ucapan marah mereka terdengar olehku dari jauh.

Berikutnya adalah:

“Hah? Siapa yang sok, dasar sampah berjalan. Kalian semua cuma karakter mob[31] yang dari awal ga punya hak untuk bicara denganku. Kalian cuma merusak pemandangan, menghilang gih sana. Dan jangan pernah mendekatiku lagi dalam radius sepuluh kilometer, dasar bakteri kelas tiga.”

Uwahh......

Mendengar balasannya, tanpa sadar aku menepuk dahiku.

Meski dia selalu kalah berargumen dengan Yozora, tapi mulut kotor Sena juga termasuk hebat.

Sekarang aku tahu kenapa orang yang selalu bertarung melawan musuh yang lebih kuat bisa mendapat lebih banyak EXP dan levelnya bisa naik lebih cepat.

Dan tentu saja, voltase kemarahan cowok-cowok itu juga meningkat dengan cepat.

“Wanita brengsek....!” “Dasar sialan!!”

“Hm, sejauh ini reaksi kalian cuma punya satu pola. Wanita, brengsek, sialan... Vocabulary kalian separah apa sih? Ah...mungkin kalian ga tau apa itu ‘vocabulary’, soalnya itu diambil dari bahasa asing? Jadi jangan berdiri disini, kembali sana ke SD buat belajar, dasar kera.”

“Dasar sialan!!”

“...Oi tunggu, coba lihat, bukannya kaki nih cewek udah gemetaran?”

Salah satu cowok mengatakan ini, dan wajah Sena menjadi kaku.

“Uwa, bener.” “Kenapa tuh kali lu, kok gemetaran?”

“H...Hah? Ja..jangan salah paham, ga mungkin aku takut sama cacing pita macam kalian! Bukan cuma otak dan muka kalian yang jelek, tapi ternyata mata kalian juga ya? Ah, aku keliru, kalian ini binatang liar, bukan manusia! Aku ga akan memberikan kalian makanan meski kalian memohon sekalipun!”

“Lihat! Dia nangis.” “Hei, hei! Lu bikin dia nangis.” “Tapi tiba-tiba ni cewek jadi terlihat lucu.”

“......Si..Siapa yang nangis? Kalian lebih hina dari sampah belatung. Apa otak kalian sudah habis dimakan cacing pita, dan bola mata kalian jatuh dari tengkorak kalian? Akan kubunuh kalian kalau kalian masih mengatakan hal seperti itu!”

Berlinang air mata, Sena membentak, dan cowok-cowok itu malah makin menertawainya. Sena mengepalkan tangannya, gemetaran.

...Merepotkan banget...

Aku menghampiri Sena.

“Sena.”

Kataku dari belakang cowok-cowok itu.

“Ah....”

Tiba-tiba Sena menjadi lega.

“Siapa lu ha―― ……!”

Ketika cowok-cowok itu berbalik dan bertatapan denganku, mereka tampak sedikit gentar.

Hmm..kelihatannya mereka cuma sedikit lebih tua dariku.

“Aku kesini dengan dia.”

Aku menatap mereka, merendahkan suaraku, dan mengatakannya dengan “sedikit kemarahan”.

“Apa!! Dia punya cowok.” “Bilang dong dari tadi!” “Buang-buang waktu aja! Ayo cabut.”

Kata cowok-cowok itu dengan suara redup.

Mereka memasang pose menakutkan, melepaskan pandangan mereka dariku, dan pergi.

....Aku lega karena mereka mundur tanpa menimbulkan kesulitan.

Tepat ketika aku mulai merasa rileks,

“Tunggu dulu, dasar kalian sampah belatung! Berani-beraninya kalian menghina makhluk surgawi sepertiku! Sujud padaku dan mohon ampun, baru kemudian kalian boleh cepat-cepat mati di suatu tempat yang jauh!”

Mengusir mereka aja udah susah, tapi Sena malah menuangkan minyak ke dalam api.

Yang bener aja......

“Gua bunuh lu dasar cewek brengsek!!!!!!!!!”

Salah satu dari mereka mencoba menangkap Sena.

Dengan cepat aku menangkap tangannya dan menghentikannya.

“Lepasin gua!”

“Ga baik pake kekerasan buat mengatasi situasi kaya gini.”

“Lu bercanda ya? Lu tahan ga dihina kaya gitu?”

......Aku bisa mengerti perasaannya.

“Minggir lu sana!”

Cowok lain datang dan berusaha memukulku, jadi dengan cepat aku mendorong cowok pertama padanya.

“Woah!?” “Uwah!?”

Dua cowok berteriak dan bertabrakan satu sama lain.

Berikutnya, cowok ketiga memberiku pukulan...tapi aku menangkap tangannya dan mengunci tangannya ke punggungnya.

“Ouch!!”

Aku mendorong tubuhnya ke pagar kawat di dekatku, menatap tajam mata cowok yang ada di depanku, dan memberinya peringatan dengan nada yang mengancam.

“Bisakah kita akhiri permasalahannya disini untukku?......Kalau tidak......”

Aku mengunci tangannya dengan lebih kuat, dan tersenyum.

.....Meski ini bukan niatku, tapi wajahku ketika tersenyum adalah bagian yang paling menakutkan.

“O...!Oke...ayo kita pergi!”

“Aku senang kamu bisa mengerti.”

Aku melepasnya, mendorongnya kepada dua temannya.

Mereka bertiga menatapku marah dan melarikan diri.

“Haa......”

Sudah benar-benar berakhir, aku mendesah lega.

Kemudian, suara Sena menghampiriku,

“Kerja bagus, Kodaka. Selama ini kupikir kamu cuma berandalan lemah, tapi ternyata kamu jago berkelahi juga―. Aku memujimu nih jadi hargai itu. Huhu, kuijinkan kamu menjilat kakiku sebagai hadiah.”

Kelihatannya Sena senang.

“...Ini gara-gara aku selalu berkelahi sama berandalan atau kakak kelas sejak SD, sebenarnya aku cukup familiar dengan perkelahian.”

Sebenarnya lebih tepat kalau kubilang “terbiasa”, karena orang-orang tidak akan membantu murid pindahan yang tidak mereka kenal, yang berarti aku hanya bisa mengandalkan kekuatanku untuk melindungi diri sendiri.

Mereka akan membayangiku selamanya kalau aku menunjukkan sisi lemahku pada mereka, jadi aku tidak boleh mundur.

Dan pada dasarnya trik yang kupakai adalah berpura-pura kuat untuk mengintimidasi mereka, aku tidak bisa berbuat banyak kalau perkelahian benar-benar pecah.

“Yaah, aku harap mereka tahu batasan mereka. Orang-orang tolol memang selalu bikin masalah.”

“Ah..., justru sebenarnya kamulah yang tolol, dasar idiot.”

Aku tidak berpura-pura seperti ketika berhadapan dengan cowok-cowok tadi, aku membentak dan menatap Sena dengan benar-benar marah.

“A...Apa...?”

Sena sedikit ketakutan, dan aku terus berkata:

“Buat apa kamu dengan sengaja memprovokasi orang lain? Mereka bakal berhenti bicara denganmu kalau kamu bilang kamu lagi sama cowok. Kamu bahkan bisa memanggil keamanan kalau mereka terus mengganggumu. Semua orang bakal marah kalau mereka dihina habis-habisan cuma karena mereka mau ngobrol sama kamu.”

“S..soalnya...mereka memuakkan banget...”

“Dimana-mana pasti ada orang yang suka menggoda cewek. Itu hal yang wajar.”

“K..Kodaka, kamu kenapa sih? Aku udah berterima kasih, dan sekarang kamu malah marahin aku!?”

Kata Sena, dengan berlinang air mata.

“Ya, aku memarahimu! Cowok-cowok tadi masih belum apa-apa, orang-orang yang lebih buruk dari mereka ada dimana-mana! Ini bukan ruang klub kita. Berkelahi dengan orang lain tanpa alasan jelas bisa menimbulkan konsekuensi yang ga bisa diubah. Dan aku ga bisa melindungi kamu setiap saat.”

“Diam! Lupakan masalah ini! Dan ini bukan urusanmu!”

“Ini “juga” urusanku!”

Kami saling bertatapan dalam kemarahan.

Bagaimana bisa aku mengabaikan temanku ketika mereka dalam bahaya? Sena benar-benar idiot.

“Kamu bilang...ini juga urusanmu...?”

Tiba-tiba wajah Sena merona.

“....Sena?”

“A...ah, baiklah, aku yang salah! Mulai sekarang aku akan lebih hati-hati, ok?”

Kata Sena tulus.

“Aku menghargaimu karena sudah menolongku. Dan juga, karena p..perhatianmu. ....Ini pertama kalinya cowok yang seumuran denganku ...benar-benar marah padaku...”

“Hah?”

Aku tidak bisa mendengar bagian akhir dari kalimatnya karena dia mengatakannya dengan suara yang pelan, dengan kepala yang ditundukkan.

“Diam! Lupakan! Kita pulang sekarang! Aku ga mau bertemu cowok-cowok itu lagi!”

“Eh? Oi!?”

Sena meninggalkanku dan dengan cepat menuju pintu keluar, dan aku buru-buru mengikutinya.

Di bis dalam perjalanan pulang, Sena tetap diam.

Sesekali dia menoleh ke arahku, tapi dia akan memalingkan mukanya kalau pandangan kami bertemu. Kelihatannya dia marah besar padaku.

Tapi begitu kami turun dari bis di depan stasiun, tiba waktunya untuk berpisah.

“Te..terima kasih buat hari ini, buat....semuanya.”

Kata Sena tiba-tiba.

Wajahnya benar-benar merona merah.

“...Ayo pergi lagi ke sana kapan-kapan. Kita belum mencoba kolam ombak dan seluncuran.”

“Eh, ah, Ok...”

“Kalau gitu, sampai nanti.”

Setelah mengucapkan perpisahan dengan cepat, Sena buru-buru pergi ke area parkir di belakang stasiun bis.

..........

.....Aku ga terlalu mengerti......Apa dia udah ga marah lagi?

Aku memikirkannya sambil berjalan ke stasiun bis.



MASA LALU[edit]

Sudah lama sejak terakhir kali aku berenang, jadi aku tidak bisa melepaskan kelelahan setelah aku pergi berenang dengan Sena.

Apa karena kurang olahraga ... sejak aku dipindahkan, tampaknya aku tidak pernah melakukan banyak olahraga di Kelas Penjaskes (karena tidak ada yang akan mengoper bola padaku selama pelajaran sepak bola).

Hari berikutnya adalah hari Senin, dan rasanya aku ingin tidur sepanjang hari, tetapi jika aku tertidur di kelas, aku akan diperlakukan sebagai anak nakal lagi, jadi aku terus berusaha terjaga dan mendengarkan pelajaran.

Tapi kelihatannya para guru tampak takut padaku selama beberapa kali mata kami bertemu ...

Toh, aku berhasil bertahan sampai akhir pelajaran. Aku datang ke ruang klub, duduk di sofa, dan rasa mengantuk yang kuat menekanku.

Mungkin karena aku sedang tidur di tempat yang tidak biasanya, aku tidak benar-benar tertidur, tetapi bermimpi.

Mungkin karena perkelahian kemarin di kolam renang—aku jadi bermimpi sesuatu yang sudah lama.





Mungkin ini karena kesan pertama yang buruk atau karena aku dipaksa tetap pindah-pindah sekolah; walaupun ada beberapa orang yang aku bisa ajak makan dan bersenang-senang, ini bukan berarti aku mendapat teman baik yang aku sungguh percayai.

Bagaimana pun juga, aku mendapat seorang teman yang aku pikir bisa dibilang teman baik.

Sekarang, aku tidak bisa mengingat bagaimana rupa anak itu, atau pun namanya, tapi aku ingat kalau itu sekitar 10 tahun yang lalu ketika aku bertemu dia pertama kali—sewaktu aku masih tinggal disini.

Sore itu, aku dikerjain di taman sebelah sekolah SD tempat aku belajar.

5 murid yang seangkatan denganku mengelilingi aku, memukulku dan juga melempariku dengan batu. Salah satu bocah SD itu sama sekali tidak ragu-ragu menyerangku, tanpa berpikir panjang dan tanpa kasihan sama sekali. Mereka melakukan ini hanya untuk menyenangkan dan menikmati perlawanan ini, dan aku dihajar oleh mereka.

Pada mulanya, aku mencoba sekuatku untuk melawan mereka balik.

Murid yang umurnya sama tidak punya banyak perbedaan dalam hal kekuatan. Sebab itu, jika kekuatan kami semua setara, pihak yang punya lebih banyak orang lah yang akan menang. Di situasi 1 lawan 5 ini, aku tidak akan mungkin menang, dan akhirnya aku dihajar habis oleh mereka.

Aku sudah agak dikucilkan dari murid-murid di kelasku karena rambut pirangku dan mata yang terlihat ganas. Suatu hari, seorang guru yang tidak tahu bahwa aku punya darah campuran, berkata 'mencat rambutmu pada umur segini, apakah kau ini anak nakal,' dan itulah yang memicu semuanya.

Anak nakal itu jahat. Orang-orang boleh mengganggu orang yang jahat sesuka hati mereka.

Anak-anak yang memperoleh logika ini dari pikiran mereka yang kenakak-kanakan tidak merasa terserang hati nurani sama sekali. Mereka meneriakkan nama-nama jurus kamen rider atau pejuang anime sambil memukuli aku tanpa kasihan.

Aku ingin berpura-pura mati untuk mencegah mereka menggangguku. Namun aku yang keras kepala dengan keyakinan kalau aku tidak ingin kalah dari mereka membuat aku membelalak balik pada mereka dan berdiri, tidak peduli berapa kali aku dipukuli.

Aku mungkin akan mati jika ini berlanjut—aku melihat berita di TV di mana orang 'tidak tahan diganggu dan memilih bunuh diri', 'bullying besar-besaran menyebabkan siswa meninggal', dan hal seperti itu. Sebagai anak kecil, aku benar-benar berpikir kalau aku akan mati.

Tapi saat itu juga, seorang laki-laki tiba-tiba menerobos.

Anak kecil yang sedang mengganguku memarahi dia, memberitahunya untuk tidak menggangu.

Tapi laki-laki itu berdiri tepat didepan mereka dan meneriaki mereka,

“Jangan ganggu yang lemah!”

Anak-anak kecil itu sudah dimabukkan dalam fantasi kalau mereka adalah utusan keadilan, dan kalimat itu pada dasarnya merusak fantasi mereka. Sehingga, 5 anak yang melakukan tindak kekerasan padaku memperlakukan laki-laki itu sebagai ‘musuh’.

Mereka bergegas ke arahnya, dan tepat saat kepalan tangan mereka hendak memukul laki-laki itu—

Aku memukul anak itu di wajah dengan semua kekuatanku.

“!”

Karena tindakan tak terdugaku, anak laki-laki dan 5 anak-anak lain tampak tertegun.

"Ap, apa yang kau lakukan!? Aku sedang membantumu... "

Dengan mata berkaca-kaca, aku memelototi anak yang datang untuk membantuku, dan berteriak,

"AKU, AKU TIDAK 'LEMAH!'!"

Bagiku, dibandingkan dengan kekerasan yang mereka lakukan kepadaku, kata-kata biasa anak itu adalah serangan yang paling menyakiti aku.

Laki-laki itu tiba-tiba tertegun dan kemudian tertawa dengan kasar,

“Ahaha! Sangat bagus! Dasar kau!”

Saat dia berteriak, dia memukul aku di wajah tanpa kasihan.

Pukulan para penggangu itu tidak ada bandingannya dengan dia. Pukulan itu keras, dan sangat sakit.

Aku balas, dan laki-laki itu terus memukulku.

Laki-laki itu dan aku meninggalkan para pengganggu saat kami mulai berkelahi.

“JA, JANGAN TINGGALKAN KAMI!”

Salah satu dari anak-anak itu yang sudah pulih dengan tiba-tiba lari kearah kami.

“”JANGAN GANGGU KAMI!””

Laki-laki itu dan aku bereaksi bersamaan dan menendang dia. Pengganggu A itu menangis saat dia jatuh.

Anak-anak lain menjerit saat mereka buru-buru kearah kami.

Kami berdua menghentikan perkelahian kami dan mulai berkelahi melawan 5 anak itu.

2 lawan 5. Pihakku masih merasa cukup diasingkan.

Namun, kenyataan bahwa laki-laki itu berkelahi berdampingan denganku menyebabkan tenagaku naik secara luar biasa.

Untuk beberapa alasan, meskipun aku berjuang untuk berdiri, tubuhku yang kelelahan dan babak belur terasa sangat ringan.

Dan sewaktu pertandingan ini selesai, kami menang.

Para pengganggu itu menangis saat mereka lari.

Tapi bagiku, aku tidak peduli apa yang terjadi pada mereka.

Laki-laki itu terlihat merasakan hal yang sama juga.

Setelah mereka berlima lari, kami mulai berkelahi lagi.

Dan perkelahian ini berakhir tanpa apa pemenang.

Kami kelelahan dan terkapar di atas tanah.

Badan kami dipenuhi tanah, goresan dan memar. Kami kelihatan sungguh menyedihkan.

Walaupun tubuhku kesakitan, untuk beberapa alasan, aku tersenyum pada laki-laki itu.

“Kau cukup kuat.”

Wajah laki-laki yang sembrono itu memberikan senyuman tak berdosa saat dia berkata padaku, “Kau tak buruk juga.”

Kami sungguh melakukan sesuatu yang hanya akan terjadi pada manga shounen yang penuh dengan emosi itu. Sejak hari itu, kami selalu bertemu satu sama lain di taman dan bermain bersama.

Karena kami belajar di sekolah dasar yang berbeda waktu itu, kami hanya bisa bertemu setelah sekolah. Namun untukku, tak dapat dibantah kalau anak itu orang yang paling dekat denganku di dunia ini.

Aku tidak tahu kapan dia mengatakan ini padaku,

"Taka, ibuku menyebutkan bahwa tidak masalah bahkan jika kau tidak bisa mendapatkan 100 teman ketika kau naik kelas tahun depan, tetapi kau harus menemukan sahabat sejati yang dapat kamu hargai seperti halnya kalau kamu punya 100 orang teman. Setelah kau mendapatkan teman sejati yang dapat kau lihat lebih penting dari pada orang lain, masa depanmu akan cerah ketika kau punya teman seperti itu."

Memiliki sahabat sejati yang dapat kuhargai seperti halnya punya 100 orang teman dibandingkan dengan memiliki 100 teman ... itu kata-kata yang hebat, aku rasa.

Jadi aku berkata, "Kalau begitu, OO[32] akan jadi temanku yang sama berharganya dengan 100 orang teman. Bahkan jika ada 100 orang ... tidak, tidak peduli ada jutaan atau triliunan orang, bahkan jika seluruh dunia memandangmu sebagai musuh, aku akan tetap menjadi temanmu."

Saat aku katakan itu, dia mulai malu.

“Ja, jangan katakan hal memalukan seperti itu!”

“Ap, apa? Bukankah kau duluan yang mengatakan itu?”

Aku juga merasa malu mengatakannya dan wajahku menjadi memerah.

Dan kemudian, kami mulai tertawa.

Kami pastinya teman sejati.

Itulah apa yang aku pikirkan…





Saat aku membuka mata, aku melihat sengatan sinar matahari terbenam masuk lewat jendela.

Yozora sedang duduk di seberang sofa, membaca novel ringan dengan wajah yang terlihat tak bahagia seperti biasanya.

Tidak ada orang lain di ruang klub selain Yozora dan aku.

Tidak masalah bahkan jika kau tidak bisa mendapatkan 100 teman ketika kau naik kelas tahun depan, tetapi kau harus menemukan seorang sahabat sejati yang dapat kamu hargai seperti halnya kalau kamu punya 100 orang teman… benarkah begitu?

Pikiranku masih kabur, dan aku tanpa sadar menggumamkan apa yang temanku katakan dalam mimpi.

Pada saat itu—

Pak! Buku yang Yozora pegang tiba-tiba jatuh dari tangannya.

“Ko, Kodoka, jadi kau ingat…”

Yozora menatap aku dengan tatapan terkejut, dan suaranya gemetar tampak menggumamkan sesuatu.

Ini pertama kalinya aku pernah melihat Yozora begitu gelisah sejak hari dimana aku pertama kali berbicara dengannya, hari ketika aku menyaksikan dia berbicara dengan teman udaranya.

“…Ada apa?”

Aku terkejut dan bertanya, dan Yozora dengan panik mengambil buku yang jatuh ke lantai.

"Tidak, tidak ada ... Saya terkejut kau tiba-tiba berbicara."

Yozora tergagap dan selesai sebelum membenamkan dirinya ke dalam dunia buku.

Untuk beberapa alasan, aku melihat wajahnya benar-benar merah. Alasannya tidak mungkin hanya karena cahaya matahari terbenam, bukan? "

"Maaf mengejutkanmu... Dimana Sena dan Yukimura?"

"Mereka sudah kembali. Tiada yang khusus dilakukan hari ini. "

Yozora menjawab dengan sebuah ekpresi tidak senang.

“Muu...”

Aku melihat jam, dan ternyata sudah lewat jam 6.

Sepertinya aku tertidur cukup lama.

“Aku balik juga.”

“Oh.”

Aku mengambil tasku dan berdiri, dan rasanya leherku sedikit sakit.

Berjalan keluar dari ruang klub, aku mengingat mimpiku barusan dengan jelas.

Sahabat aku yang terpisah dari 10 tahun yang lalu ...

Apa yang dia lakukan sekarang?

Apakah dia masih tinggal dijalan ini?

Bagaimana rupanya sekarang?

Siapa namanya?

Dia memanggil aku 'Taka' sebagai nama panggilan, dan aku sepertinya terus memanggilnya dia dengan julukannya, bukan nama sebenarnya

-- Kalau begitu, OO akan jadi temanku yang sama berharganya dengan 100 orang teman. Bahkan jika ada 100 orang ... tidak, tidak peduli ada jutaan atau triliunan orang, bahkan jika seluruh dunia memandangmu sebagai musuh, aku akan tetap menjadi temanmu

-- Kalau begitu, OO akan jadi temanku yang sama berharganya dengan 100 orang teman.

Bagaimana aku memanggil dia dulu?

“…Ah, lupa.”

Toh itu sudah lama sekali.

Dia pasti tidak akan ingat apa yang terjadi 10 tahun yang lalu, kan?

Aku yang dulu tidak akan pernah percaya bahwa aku akan berpikir tentang dia sekarang.

Tidak peduli apakah itu kenangan yang penting atau perpisahan yang sedih, akan ada waktu ketika segala sesuatu berubah. Bisakah aku mendapatkan seorang teman yang benar-benar akan bisa kuhargai aku seumur hidupku?

Sebuah semburat kesepian melanda aku. Aku berjalan keluar dari gereja dan pulang.

Referensi[edit]

  1. Di sini translator Inggris menggunakan kata ‘realfillment’ yang kemungkinan diambil dari kata realfill/riajuu dan kemudian diubah menjadi kata benda. Berhubung saya tidak bisa bahasa Jepang, saya berusaha mengubah kalimatnya dengan tetap menyampaikan maksud aslinya.
  2. ["お兄ちゃんどいて!そいつ殺せない!" Tampaknya ini adalah neta yang didasari dari sebuah cerita terkenal di server RO Jepang. http://www.new-akiba.com/news/0603/17/02/index.html ]
  3. Sejenis sayuran (tadinya saya kira snack taro?) http://en.wikipedia.org/wiki/Taro
  4. [Saya rasa ini adalah bimbingan les spesial yang ‘menggabungkan materi dari buku dengan kegiatan belajar online via internet’ http://educationinjapan.wordpress.com/2008/11/30/shinkenzemi-jhs-coursei-new-home-based-learning-online-course-from-benesse/ ]
  5. Gadis cantik/manis
  6. SFX
  7. Sawara "Utara"
  8. Novel yang ditulis di telepon genggam
  9. Semacam tikar tradisional Jepang. Juga digunakan sebagai satuan ukur untuk ruangan.
  10. Nasi kepal
  11. Memberikan atribut yang dimiliki manusia kepada benda mati, hewan, fenomena dll. Dalam hal ini, onigiri diberikan mata, tangan dan kaki.
  12. Tokoh kartun anak-anak yang terkenal di Jepang. Kepala karakter utamanya, Anpanman, terbuat dari makanan dan dapat dimakan. Lebih detail bisa dilihat di link
    http://en.wikipedia.org/wiki/Anpanman
  13. [TL note: セカイ系, menjelaskan artinya membutuhkan pemahaman tentang evolusi industri anime pasca-EVA. Bagi yang tertarik bisa membaca lebih lanjut di link ini
    http://d.hatena.ne.jp/keyword/%a5%bb%a5%ab%a5%a4%b7%cf
    http://www.project-japan.jp/tinyd3+index.id+3.htm
    http://www.crunchyroll.com/forumtopic-374505/social-issue/]
  14. Ini adalah sebuah permainan kata di Super Famicom (alias Super Nintendo/Super Nintendo Entertainment System/SNES) dan Sega Mega Drive, keduanya game konsol pertengahan tahun 1990.
  15. Note: Monster Hunter.
  16. Dragon Ore: Translasinya Bijih Naga, sebuah ore yang berwarna hijau dan lumayan langka.
  17. Kepala Doroporosu, kepala seekor naga di MonKari.
  18. Dari kata 'dokyun' yang atinya mirip dengan retard/idiot. Nama DQN adalah nama-nama yang terdengar idiot. Contohnya memberi nama anakmu Pikachu, Anal, dll. Lebih banyak bisa dilihat di dqnames.jp
  19. Di terjemahan bahasa Inggrisnya, Sena menyebut “his prized throne”, yang kemudian dikoreksi Yozora “not ‘his’ prized throne, it would be ‘her’ prized throne”.
  20. Era peperangan Cina di zaman dinasti Qin Lebih detailnya di http://en.wikipedia.org/wiki/Warring_States_period
  21. Bulletin Board System. Lebih detailnya di http://en.wikipedia.org/wiki/Bulletin_board_system
  22. Parodi untuk 'The Sacred Blacksmith' (Seiken no Burakkusumisu).
  23. Parodi untuk Agnes Chan dan Noda Seiko. Dikenal karena menentang anime dan manga yang mengandung unsur loli
  24. Sebutan untuk NicoNicoDouga. Situs web terkenal di Jepang yang sejenis dengan Youtube.
  25. Dalam bahasa Jepang, puisi ini berjudul ‘Yogorechimatta Kanashimi ni’ yang kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘To the Tainted Sadness’ dan dalam versi manga nya menjadi ‘Upon the Dirtied Sorrow’. Dan kemudian diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi ‘Untuk Kesedihan yang Ternodai’. Judul bab diambil dari judul puisi ini.
  26. Pakaian tak berlengan sejenis apron/celemek. Lebih detailnya bisa dilihat di Google.
  27. Mirip dengan Aniki, tapi untuk perempuan.
  28. Dango yang dibuat dari tepung millet.
  29. Tipikal gaya rambut berandalan/preman di Jepang. Contoh karakter dengan gaya rambut ini adalah Hanamichi Sakuragi dari Slam Dunk. (sebelum cepak)
  30. Istana Raja Naga
  31. Istilah untuk NPC dalam game. Saya tidak tahu padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.
  32. Namanya disensor karena di bagian ini Kodaka masih belum mengingatnya.


Kata Penutup[edit]

Senang bertemu dengan Anda, atau ‘lama tak berjumpa’, saya Hirasaka Yomi.

Mengenai “Boku wa Tomodachi ga Sukunai” atau singkatnya “Haganai” (barusan terpikir), bagaimana menurut Anda?

Novel ini bercerita tentang diri saya sendiri yang juga tidak punya banyak teman, kemampuan komunikasi yang buruk, suka berpikiran negatif, tidak punya banyak pengalaman dalam hidup dan kebiasaan berkhayal yang tak berguna. Ini adalah hasil karya saya yang sangat memuaskan bagi saya. Menurut saya pribadi, novel ini memiliki gaya menulis yang paling mudah, paling mudah dibaca, memiliki tipe karakter terfavorit, paling menarik dan cerita yang paling nyaman untuk ditulis buat saya.

Biasanya saya harus berpikir hal membosankan seperti “Untuk cerita ini, tema dan pesan apa yang harus dimasukkan kedalamnya?”, dan saya harus menulis tentang setting atau karakter yang sebenarnya tidak ingin saya tulis; dan juga ketika ada hal yang ingin saya tulis, ternyata bertentangan dengan setting sehingga saya tidak bisa menambahkannya ke novel. Tapi kali ini saya mendapat izin untuk menulis cerita yang menyenangkan sesuai kemauan saya tanpa ada pedoman ataupun batasan.

Jadi karya ini datang dari apa yang saya sukai secara pribadi dan jika mungkin saya juga ingin pembaca menikmatinya seperti saya, mari kita berkompetisi siapa yang paling bisa menikmatinya.

Agar novel ini bisa terus diterbitkan, itu bergantung pada jumlah penjualan. Apakah novel ini akan berakhir dalam 3 volume ataukah terus berlanjut, semuanya tergantung seberapa baik penjualannya. Karena karya ini sangat berbeda dengan karya saya sebelumnya, “Klub Novel Ringan” karena karya ini relatif punya banyak kebebasan dalam menulisnya, saya ingin tetap menulisnya selama mungkin.

Kebetulan, “Klub Novel Ringan” dan karya ini sama-sama merupakan cerita pendek tentang kehidupan sehari-hari, tapi bagi saya “Haganai” sangat berbeda, terutama para karakter utamanya. Karena, di “Klub Novel Ringan”, dari awal mereka semua (karakter utamanya) sudah punya hubungan yang baik, sangat berkebalikan dengan anggota Klub Tetangga. Jadi pembaca yang menikmati “Klub Novel Ringan”, maupun yang tidak menikmatinya, silahkan coba membandingkannya dengan karya ini, bukankah itu menarik?

Yang terakhir adalah ucapan terima kasih.

Yang pertama, K-san dari MF Bunko J, yang bertanggung jawab untuk novel ini sehingga bisa diterbitkan, saya berterima kasih dari lubuk hati yang terdalam. Dan sama pentingnya, Buriki-san, ilustrator novel ini. Yang saya harapkan bisa membantu saya dengan membuat ilustrasi, dan setuju untuk meminjamkan bakatnya untuk menggambar ilustrasi yang menarik dalam karya ini, saya benar-benar berterima kasih. Dan yang terakhir, kepada Anda yang membeli buku ini. Terima kasih banyak.

Saya tidak tahu apakah Anda punya banyak teman atau tidak. Tapi meskipun Anda punya sedikit teman, tanpa Anda duga Anda masih bisa menikmati hidup Anda sepenuhnya, dan mungkin Anda bisa menghasilkan uang dari kondisi Anda (cerita nyata). Saya ingin mengatakan hal ini kepada diri saya yang pesimis ketika SMA 10 tahun yang lalu.


Akhir Juli 2009, Hirasaka Yomi



Kembali ke Halaman Utama