Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid2 Bab02

From Baka-Tsuki
Revision as of 10:20, 26 September 2009 by Obakasan (talk | contribs) (perbaiki link)
Jump to navigation Jump to search

Bab 2



Sudah musim gugur, tapi karena suatu hal, cuaca hampir tak sejuk. Sepertinya planet ini salah menentukan musim dan lupa bawa musim gugur ke Jepang. Panas musim panas sudah jelas diperpanjang, dan sampai seseorang muncul dan mencetak home run, sepertinya tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Kalaupun berakhir, akan terasa bahwa musim gugur pun akan tetap disingkirkan oleh musim dingin begitu ia tiba.

“Kita mungkin dah telat,” kata Haruhi, jadi kami membereskan tas dan meninggalkan sekolah. Buru-buru Haruhi berlari menuruni landaian panjang nan berangin. Emang kemana sih dia mau pergi? Aku akan paham kalau kami mau ke Himpunan Komputer, karena kami adalah klub misterius yang eksis selama enam bulan tanpa tak ada seorangpun yang tahu apa prinsip pendiriannya. Diusir keluar adalah sebuah akhir yang logis bagi kami.

Kami menuruni bukit dan menaiki kereta lokal dalam kota. Tiga terminal berikutnya, dan kami sampai di daerah jalan bunga sakura, tempat Asahina-san dan aku berjalan bersama beberapa waktu lalu. Daerah ini ada komplek supermarket dan ruko, dan makanya itu, tempat ini cukup sibuk dan ramai.

“Di sini.”

Haruhi akhirnya berhenti dan menunjuk pada sebuah toko elektronik.

“Oh gitu,” jawabku.

Dia mungkin bakal meras toko ini demi alat-alat bikin film.

Gue pengen tahu gimana caranya dia melakukannya?

“Kalian berdua tunggu di sini, aku mau masuk dan bernegosiasi.”

Haruhi menghempaskan tasnya padaku dan tanpa ragu-ragu berjalan memasuki toko yang diliputi kaca itu.

Asahina-san bersembunyi di belakangku, terus-terusan mengintip ke arah toko, yang selimuti oleh macam-macam alat penerangan. Dia tampak seperti anak SD pemalu yang mengunjungi rumah temannya untuk pertama kali. Selagi aku memandangi punggung Haruhi, yang sedang mengayun-ayunkan tangannya sambil berbicara dengan seseorang yang tampaknya adalah manajer toko, hasratku untuk melindungi Asahina-san jadi lebih kuat. Kalo si Haruhi coba-coba hal yang aneh, aku bakal gendong Asahina-san dibawah tanganku dan langsung kabur saat itu juga.

Di balik kaca, Haruhi berbicara dan mengacungkan jarinya pertama ke arah peralatan, lalu ke dirinya sendiri, dan lalu ke arah si manajer. Sementara itu si manajer mengangguk-angguk tanpa henti. Gue kasih tau dia ga ya biar jangan gampang percaya omongan Haruhi?

Setelah beberapa saat, Haruhi berbalik dan mengacungkan jarinya kepada kami, yang sudah siap untuk kabur jika ada sesuatu yang salah. Dia kemudian tersenyum hangat, melambaikan tangannya, dan melanjutkan presentasinya.

“Apa yang lagi dia lakukan...?” Tanya Asahina-san, selagi dia berdiri di belakangku, menjulurkan kepalanya dan menariknya kembali. Kalau Asahina-san, si penjelajah waktu dari masa depan, aja ga tahu jawabannya, berarti ga mungkin aku bisa tahu.

“Tauk? Kali nuntut biar ngasih kamera digital mereka yang paling bagus dengan gratis.”

Dia itu tipe orang yang bisa melakukan hal semacam itu tanpa ragu. Karena dia benar-benar menganggap bahwa dia itu pusat alam semesta dan segala hal lainnya berputar mengelilingi dia.

“Bikin repot aja.”

Aku ingat pernah diskusi hal semacam ini dengan Nagato sebelumnya.

Haruhi menganggap bahwa penilaian dan keputusannya adalah mutlak. Dia tidak mengerti apa yang dipikirkan orang lain, atau menyadari bahwa mereka mungkin saja berpikir secara berbeda, atau lebih tepatnya, dari awal tidak pernah terpikir olehnya bahwa jalan pikirannya bisa saja benar-benar berbeda dari jalan pikiran orang lain.

Kalau orang pengen berhasil menjelajah waktu, masukin aja Haruhi ke kapal luar angkasa. Karena dia toh ga bakal peduli setan sama Teori Relativitas.

Waktu aku membicarakan ini dengan Nagato, yang dikatakan si alien pendiam hanyalah, “Pendapatmu mungkin saja benar.”

Bagi Nagato, hal ini sangat bermakna. Bagi orang lain, Suzumiya Haruhi adalah sebuah lelucon.

“Oh, kayaknya mereka udah beres.”

Bisikan Asahina-san menyadarkanku dari lamunan dan membawaku kembali ke realita.

Haruhi muncul keluar dari toko elektronik dengan wajah puas, sambil membawa kotak kecil di tangannya. Ada gambar produknya di samping kotak juga sekaligus dengan mereknya. Kalau aku tak salah, itu emang kamera.


Emang apa sih ancaman yang dia pake buat mengintimidasi lawan?

Apa dia ngancam bakar habis toko? Ato mungkin ngeboikot? Ato barangkali ngirim fax jahil semalaman? Ato mulai ngamuk-ngamuk di situ? Jangan-jangan dia bahkan ngancam ngeledakin dirinya barengan sama tuh toko?

“Jangan konyol! Aku bukan tipe orang yang pake cara-cara pemerasan!”

Haruhi berjalan dengan riang, di bawah atap kaca di komplek ruko.

“Kita udah ngeberesin langkah pertama! Ini terlalu gampang!”

Aku dipaksa membawa kotak berisi kamera ketika aku mengikuti Haruhi. Aku melihat rambut Haruhi yang melambai di belakang punggungnya dan bertanya, “Gimana caranya loe bisa ngedapetin barang yang mahal kayak gini? Apa loe nemu rahasia jijik si manajer?”

Memang, kata-kata pertama Haruhi begitu dia keluar dari toko adalah, “Dapet!” Kalau si manajer begitu sudi untuk membagikan barang-barang, aku sudi pula untuk mengantri. Jadi tolong donk, kasih tau kata-kata sihir apaan yang loe gunain!

Haruhi membalik dan tersenyum, “Ga macem-macem kok! Aku bilang aku pengen bikin film dan butuh kamera, terus dia bilang ‘Oke’. Ga ada masalah sama sekali.”

Aku merasa kalaupun semuanya berjalan lancar sekarang, tak kan berakhir dengan begitu mudah. Apa gue aja yang terlalu khawatir ya?

“Ga usah mikirin hal-hal kecil, cukup jadi jongosku yang riang-gembira, dan semuanya bakal baek-baek aja!”

Sayangnya, sampai sekarang, aku masih menyimpan perasaan tidak nyaman sejak musim semi lalu, perasaan seperti naik kapal pesiar bernama Titanic. Aku ingin mengirimkan sinyal SOS, tapi sayangnya, aku tak tahu kode Morse, dan aku bukan tipe orang yang bisa bahagia apabila dipanggil jongos.

Aku dipaksa membawa kotak berisi kamera ketika aku mengikuti Haruhi.

“Oke! Sekarang ke toko berikutnya!”

Di tengah sibuk keramaian, Haruhi mengayunkan tangannya dan melangkah ke depan. Aku bertukar pandang dengan Asahina-san, lalu buru-buru mengikuti Haruhi.



Haruhi lalu mengunjungi toko airsoftgun.

Seperti sebelumnya, Asahina-san dan aku ditinggal di luar sementara dia masuk bernegosiasi. Aku mulai dapat gambaran tentang apa yang dia rencanakan, karena setiap kali dia menunjuk pada kami, jarinya selalu terarah pada Asahina-san. Kalau tebakanku bener, dia mesti bakal bikin Asahina-san jadi semacam alat tawar-menawar. Asahina-san belum menyadari ini, sewaktu dia dengan penasaran sedang melihat-lihat bola dunia yang dipajang di etalase.

Beberapa menit kemudian, Haruhi keluar sambil bawa kotak besar. Apa lagi nih sekarang?

“Senjata.” Jawaban Haruhi, lalu dia menyorongkan kotak itu padaku. Kuperhatikan baik-baik dan ternyata ini adalah airsoftgun dari plastik; kayaknya jenis yang bentuknya kayak pistol. Apa yang dia pengen lakukan sama barang ini?

“Kita bakal butuh ini buat adegan laga, perang pake pistol! Pertempuran seru adalah bahan dasar semua film yang menghibur. Kalau bisa sih, aku juga pengen ngeledakin gedung. Kau tau tempat jualan bom? Apa di toko besi ada ya.”

Menegetehe? Paling engga gue tahu loe ga bakal bisa nemu itu di toko kelontong ato internet. Kali ada beberapa di tambang batu.... Aku tadinya ingin ngasih tau ini ke Haruhi, tapi cepat-cepat kusingkirkan pikiran ini, terutama karena dia mungkin akan pergi ke sana pada tengah malam dan mencuri beberapa dinamit beserta kabel-kebelnya untuk dirinya sendiri.

Aku turunkan kotak kamera dan airsoftgun lalu geleng-geleng kepala.

“Terus, kita apain kotak-kotak ini?”

“Kau bawa pulang dulu, terus bawa ke ruang klub besok. Terlalu repot kalau dibawa ke sekolah sekarang.”

“Gue?”

“Ya, kamu.”

Haruhi menyilangkan lengannya dan mengeluarkan ekspresi baik hati. Senyuman ini jarang keliatan di kelas, dan hanya disediakan khusus buat Brigade SOS, dan setiap kali Haruhi tersenyum kayak gitu, aku harus selalu mengurus pekerjaan sisanya. Emang gue ini apaan?

“Anu...”

Dengan sopan Asahina-san mengangkat tangannya,

“Apa yang harus kulakukan...?”

“Kamu sekarang boleh pulang, Mikuru-chan. Pekerjaanmu dah beres hari ini.”

Asahina-san mengedipkan matanya dan tampak seperti orang yang kerasukan rubah. Karena yang dilakukan Asahina-san hari ini hanyalah membuntuti Haruhi dan aku, dia mungkin tak tahu kenapa Haruhi menyuruhnya ikut, walau aku bisa nebak sih apa rencana Haruhi.

Haruhi berjalan semangat seperti seorang instruktur fitness dan memimpin kami ke stasiun. Tampaknya aktivitas Haruhiisme hari ini sudah berakhir. Barang rampasannya terdiri atas sebuah kamera dan beberapa pistol mainan. Bukannya lewat negosiasi yang mahir, melainkan Haruhi mungkin mendapatkannya lewat cara-cara yang berarti sangat tidak ortodok. Tidak ada ongkos pengeluaran. Dengan kata lain, kami mendapatkannya dengan gratis.

Dulu ada pepatah, “Tidak ada yang lebih menakutkan dari tidak perlu membayar.” Masalahnya, Haruhi kayaknya ga peduli. Kalau ada orang yang tahu apa yang bisa bikin Haruhi takut, tolong kasih tahu gue.



Hari berikutnya, selain tasku, aku juga harus bawa beban tambahan sambil naik landaian.

“Hei, Kyon! Lagi bawa apaan? Semacem hadiah buat siswa teladan?”

Yang sedang berlari ke sebelahku adalah Taniguchi, teman sekelas Haruhi dan aku, makhluk sederhana bersel tunggal, dan seorang SMA yang paling normal yang bisa kau temukan dimanapun. Normal adalah deskripsi yang hebat untuknya. Sekarang, untukku, normalitas adalah sebuah komoditas yang langka karena kata itu mewakili keajaiban bahasa yang digunakan dalam realita.

Aku ragu sesaat, lalu memindahkan kantong supermarket yang lebih ringan di antara keduanya ke tangan Taniguchi.

“Apa-apaan nih, pistol mainan? Gue ga tahu loe punya hobi kayak ini.”

“Bukan hobi gue, tapi Haruhi.”

Aku lalu memberi Taniguchi penjelasan singkat, tapi dia benar kalau nganggap ini adalah hobi aneh.

“Gue sulit ngebayangin Suzumiya ngebongkar benda ini terus ngerakitnya lagi terus ngerawatnya.”

Gue juga, ngerasa sulit bayanginnya, terus siapa coba selain Haruhi yang bisa bongkar susun balik benda-benda ini? Aku kayaknya harus memberi tahu semua orang kalo pas aku masih kecil, aku coba menyusun mainan robot, tapi segimana keras aku berusaha, aku ga bisa masang bahu kanannya dan aku membuangnya gara-gara frustasi.

“Berat banget ya.”

Kata Taniguchi dengan nada yang sama sekali tidak terdengar simpatik,

“Sampe sekarang, satu-satunya orang yang mampu melindungi Suzumiya cuman elo. Gue jamin ini, jadi loe sebaiknya terus sama-sama dia.”

Apaan juga yang loe omongin? Ga mungkin gue mau terus sama-sama Haruhi! Orang yang harusnya terus sama-sama gue itu Asahina-san. Gue yakin semua orang setuju.

Taniguchi terkekeh seperti gremlin.

“Ah, ga mungkin lah itu, lagian, dia itu malaikat kecil SMA North, pelipur lara bagi hati para pria. Kalau loe ga mau dimasukin ke karung sama anak-anak setengah sekolah, gue saranin loe hati-hati melangkah. Kukira loe ga mau gue tikam dari belakang dengan pisau, kan?”

Ya udah, kalau begitu gue ambil peringkat dua dan milih Nagato aja.

“Itu juga ga bisa. Mungkin ga keliat dari luar, tapi dia itu punya banyak secret admirer. Kok bisa ya dia ga pake kacamata lagi? Apa dia ganti ke lensa kontak?”

“Hmm... kenapa ga loe tanyain aja sendiri?”

“Tanya? Sampe sekarang, segimanapun kerasnya gue usaha, dia ngabaikan semua yang gue omongin. Semua orang di kelas Nagato percaya banget kalo satu-patah-kata yang dia katakan cukup buat nentuin takdir hari ini.”

Berhenti nganggap Nagato kayak dewi. Takhyul macam apaan juga? Dia mungkin bukan orang biasa, tapi menurut standar dia, dia sebenernya lumayan normal. Walau gue ga bener-bener tau sih standarnya kayak apa.

“Mau gimana juga, loe itu cocok sama Suzumiya. Hanya elo yang bisa ngobrol biasa sama si idiot itu. Jadi terus awasi dia dan minimalisir korban serendah mungkin. Oh ya, festival sekolah bentar lagi, kalian lagi ngerencanain acara besar macem apa?”

“Jangan tanya gue.”

Gue bukan juru bicara Brigade SOS, tapi Taniguchi melanjutkan, “Kalaupun gue nanya Suzumiya, dia paling jawab hal-hal ga jelas, dan kalau gue ga nanya pas waktu yang tepat, gue mungkin bakal diserang sama dia. Kalo Nagato Yuki, loe ga bakal dapet apa-apa darinya apapun yang loe tanyain, sedangkan Asahina-san itu terlarang, abisnya gue mungkin bakal digebukin massa kalau gue coba ngobrol dengannya. Jadi toh akhirnya, gue harus nanya ke elo.”

Dia benar-benar hebat kalo soal ngarang alasan. Menurut dia, gue cuman si fulan yang baik hati.

“Bukannya emang gitu? Loe tuh tipe orang yang mau terus melangkah ke depan dengan dia, bahkan loe tau ada jurang menanti kalian di depan.”

Selagi kami mendekati gerbang sekolah, aku menyambar kantong dari tangan Taniguchi sambil merasa agak jengkel.

Gue ga tahu apa yang menanti di dalam kabut kegilaan Haruhi, tapi gue rasa bukan hal yang baik. Tapi, gue bukan satu-satunya yang jalan bareng Haruhi dalam perjalanan penuh resiko ini. Paling engga ada tiga orang yang bareng gue. Dua di antara mereka mungkin bisa ngurus diri mereka sendiri, tapi Asahina-san akan berada dalam bahaya besar karena dia sama sekali ga bisa ngira-ngira apa yang bakal terjadi. Dia kayak bukan dari masa depan aja. Tapi disitulah letak pesonanya.

“Makanya,” aku menjelaskan pada Taniguchi, “Seseorang harus melindunginya.”

Ah, itulah hal yang sepantasnya dikatakan oleh pria protagonis. Walau gue cuman ngelindunginya dari pelecehan seksual Haruhi. Udah cukup.

Dengan tenang kulanjutkan, “Karena gue udah dikasih kesempatan ini, gue harus ngelindungin dia. Gue ga peduli apa yang cowok-cowok sekolah omongin, silahkan kalau kalian pengen bikin aliansi laki-laki atau semacamnya.”

Taniguchi melanjutkan kekehannya yang seperti gremlin itu.

“Loe ati-ati aja, abisnya setiap bulan adalah bulan baru.”

Setelah meninggalkan tipe ancaman pemerasan yang mungkin dipakai oleh seorang pencuri licik, Taniguchi berjalan melewati gerbang sekolah.



Ketika aku membawa barang-barangku dan berjalan ke arah koridor di luar ruang kelas, aku melihat Haruhi memasukkan barang-barangnya ke loker. Lalu aku menaruh kamera dan airsoft gun ke dalam loker stainless steel milikku juga.

“Kyon, kita bakalan sibuk hari ini.”

Bahkan tanpa salam selamat pagi, Haruhi membanting pintu lokernya dan memberiku senyuman sehangat awal musim semi.

“Mikuru-chan, Yuki, dan bahkan Koizumi-kun, aku ga akan ngebolehin kalian semua mengeluh! Skenario film yang ada di kepalaku hampir selesai sekarang. Aku bahkan bisa dengar gelegarnya; sekarang yang harus dilakukan cuman mindahin itu ke layar.”

“Iya gitu?”

Aku jawab dengan santai, dan memasuki ruang kelas. Bangkuku adalah bangku kedua dari belakang. Dari awal masuk sekolah, kami sudah tukaran bangku berkali-kali, tapi sejauh ini aku belum pernah dapat di tempat paling belakang habisnya Haruhi akhirnya selalu dapat tempat di belakangku. Aku mulai merasa hal ini terlalu ga wajar kalau dibilang kebetulan, tapi aku masih ingin percaya bahwa ini semua hanyalah kebetulan belaka.

Kalau aku tak mengatakan hal ini pada diriku sendiri, aku akan kehilangan kepercayaan pada kata “kebetulan”. Aku memang baik. Aku yakin siapapun yang terlibat dengan Haruhi akan berpikiran sama denganku. Aku ibarat seorang pemain tengah yang bertugas menguasai bola liar yang terlepas dari penguasaan kedua tim, sedangkan Haruhi itu striker terlalu-banyak-menyerang yang ada dalam posisi offside dan berlari ke arah gawang. Saking offside-nya, lawan terdekat mungkin berkilo-kilometer jauhnya, jadi meskipun dia mengdapatkan bolanya, wasit garis tidak punya pilihan lain selain mengangkat bendera offside.

Buat Haruhi, dia mungkin ngomong kalau itu adalah kesalahan si wasit garis. Dia akan berkata dengan wajah bersungguh-sungguh bahwa ada yang salah dengan peraturannya dan lalu melanjutkan menggiring bola, berlari melewati tiang gawang, dan menyatakan bahwa dia berhasil mencetak angka. Kalau memang begitu, aku sarankan dia jauh-jauh dari rugby.

Untuk menghadapi tingkah lakunya yang tak peduli sama orang lain, langkah terbaik adalah pura-pura tidak ada yang terjadi dan diam-diam meninggalkan TKP. Atau cukup berhenti berjuang dan nurut dengan apapun perkataannya.

Selain aku, kebanyakan teman sekelas memilih pilihan yang pertama.

Jadi setelah jam pelajaran keenam, dan tinggal satu pelajaran lagi, Okabe-sensei dan siswa lain tak berkomentar soal bangku di belakangku yang kosong. Apa mereka nyadar? Atau milih ga nyadar? Atau mungkin mereka itu ga bisa diganggu hanya untuk buang-buang waktu mikirin hal macam begituan? Apapun itu, semua orang setuju bahwa yang paling baik adalah membiarkan dia sendiri, jadi ga penting untuk tahu apa sebabnya.

Aku berjalan ke arah ruang klub dengan perasaan tak enak, sambil membawa kantong berisi kotak-kotak itu, dan berhenti di depan ruangan Klub Sastra.

Kukira aku dengar sesuatu. “Ahh!” itu jeritan manis Asahina-san, sedangkan “Waahh!” adalah teriakan menakutkan dari Haruhi. Gini lagi deh.

Kalau aku buka pintu sekarang, aku mungkin akan melihat pemandangan yang sangat indah, tapi sebagai laki-laki berakal sehat, aku menahan nafsuku dan menunggu di luar dengan diam.

Setelah kira-kira lima menit, jeritan perlawanan yang lembut itu akhirnya surut, karena toh ujung-ujungnya selalu berakhir dengan Haruhi berkacak pinggang dan tersenyum penuh kemenangan. Seperti kelinci yang tidak akan bisa mengalahkan ular, tidak mungkin Asahina-san bisa mengalahkan Haruhi.

Aku mengetuk pintu.

“Masuk!”

Suara enerjik Haruhi bergaung menembus pintu. Aku mencoba nebak apa isi kantong kertas yang dia bawa tadi pagi, sambil membuka pintu, dan masuk ruang klub. Seperti dugaanku, senyum kemenangan Haruhi menyambutku, tapi aku sudah jenuh sama ekspresi itu. Aku mengalihkan pandanganku ke arah orang yang duduk di depan Haruhi di kursi lipat, dan aku merasa suhu tubuhku tiba-tiba naik.

Seorang pelayan duduk di situ, melihatku dengan mata berkaca-kaca.

“...”

Rambut agak acak-acakan, si pelayan menundukkan kepalanya dan diam membisu seperti Nagato. Haruhi mengikat rambut coklat si pelayan jadi dua kuncir kuda. Yang mengherankan, Nagato tak terlihat dimanapun.

“Jadi gimana?”

Haruhi mendengus dan bertanya kepadaku. Apa maksud muka loe seolah-olah ngomong kalo ini semua berkat kamu? Keimutan Asahina-san adalah karunia Tuhan, namun...

Sebenarnya aku berpikir dia terlihat cantik pakai kostum ini. Gimana menurut Asahina-san ya? Dia ga akan ga setuju denganku berpikir kayak gini, kan? Walau gitu, bukannya roknya agak kependekan?

Bagai jus buah 100% murni, Asahina-san sang pelayan mencengkram tangannya erat-erat dalam genggamannya dan duduk kaku.

Kostum ini tampak sempurna buatmu; kelihatannya seperti dibuat khusus hanya untukmu. Berkat itu, aku menatap diam Asahina-san selama tiga puluh detik. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dan hampir membuatku melompat ketakutan.

“Maaf soal kemarin. Kami masih harus tetap merevisi skenarionya hari ini, tapi saya bersikeras untuk pergi duluan karena saya tak punya kesempatan untuk bersiap-siap dengan kalian dari awal hingga akhir kemarin.”

Koizumi tersenyum dengan wajah tampannya dan kemudian memandang ke dalam ruang klub melewati bahuku.

“Hai.”

Dia tersenyum riang.

“Kostum ini....”

Koizumi berjalan melewatiku, menaruh tasnya di meja dan duduk di salah satu kursi lipat.

“Amat sangat cocok denganmu.”

Dia mengeluarkan pendapatnya paling langsung. Yah, semua orang juga tahu itu. Yang ga gue ngerti itu apa yang dilakukan seorang pelayan di sini, di ruangan tua jelek, bukannya ada di kafe atau restoran.

“Itu karena,” kata Haruhi, “aku ingin Mikuru-chan pakai kostum ini di filmnya.”

Emang kenapa dengan kostum maid?

“Maid hanya melakukan kerjaan tertentu buat orang-orang kaya di istana mereka. Pelayan beda, mereka muncul di sudut jalan, atau di toko, dan nyedian macam-macam pelayanan buat masyarakat umum dengan upah 730 yen per jam.”

Aku ga tahu kalo upah per jam itu dianggap tinggi atau rendah, tapi bagaimanapun, kukira Asahina-san ga akan berdandan jadi maid biar bisa kerja di sebuah istana. Tapi ceritanya beda sih apabila Haruhi benar-benar bayar gajinya.

“Ga usah ngebahas hal-hal kecil! Semuanya itu tergantung sama perasaanmu, dan kurasa ini keliatan bagus.” Loe sih boleh mikir begitu, tapi Asahina-san gimana?

“Mmm... Suzumiya-san... kayaknya kostum ini agak kekecilan deh buatku...”

Asahina-san mungkin khawatir celana dalamnya kelihatan, abisnya dia menarik kuat ujung roknya ke bawah. Tapi kelakuannya ini hanya bikin aku jadi lebih tak tenang, dan sebelum kusadari, pandanganku terpancang pada titik itu.

“Menurutku ini pas kok.”

Butuh banyak usaha untuk mengalihkan pandanganku dan mengarahkannya pada Haruhi, yang sedang tersenyum bagai bunga indah yang mekar di tengah-tengah hutan. Haruhi mengarahkan pupil matanya, yang hanya dapat melihat apa yang ada tepat di depannya, ke arahku.

“Konsep film kita kali ini adalah....”

Dia menunjuk punggung Asahina yang sedang gemetar.

“Ini.”

Apa maksud loe “ini”? Loe pengen bikin film dokumenter tentang cewek yang kerja paruh-waktu di kedai teh?

“Bukan! Ga seru kalau kita bikin film candid kamera tentang kehidupan sehari-hari Mikuru-chan. Kita harus bikin film tentang kehidupan sehari-hari orang yang luar biasa, cuma gitu caranya biar filmnya jadi menarik. Bikin dokumenter tentang kehidupan sehari-hari seorang anak SMA biasa sih cuman buat muasin ego seseorang aja.”

Menurutku Asahina-san ga bakalan jadi puas dengan bikin film ini. Aku yakin ada orang lain yang egonya perlu dipuasin, dan aku yakin kalo kehidupan sehari-hari Asahina-san udah cukup luar biasa, tapi kuputuskan diam saja.

“Sebagai sutradara di Brigade SOS ini, aku akan memikul misi menghibur masyarakat ini. Tunggu aja! Aku akan bikin semua orang berdiri dan ngasih aku tepuk tangan!”

Kuperhatikan baik-baik, kusadari bahwa ban lengan “Komandan” milik Haruhi sekarang telah digantikan dengan tulisan “Sutradara”. Teliti banget jadi orang.

Seorang sutradara wanita yang meluap-luap, seorang pemeran utama wanita depresi, dan seorang pemeran utama pria yang tersenyum penuh teka-teki seolah-olah ia hanyalah seorang penonton, aku benar-benar tidak tahu bagaimana mendeskripsikan adegan ini. Pada saat seperti ini, pintu ruang klub terbuka.

“...”

Kukira itu orang lain, dan untuk sejenak pikiranku dipenuhi rasa takut. Aku kira hidupku yang singkat ini akhirnya telah mencapai ujungnya, karena bahkan malaikat maut datang menjemputku. Aku bahkan mengira kalau aku ada di belakang layar film dimana Salieri perlahan-lahan menghancurkan Mozart selagi dia menggubah Requiem.

“...”

Wajah pucat Nagato seperti biasa muncul diam-diam dari balik pintu. Dia hanya menunjukkan wajahnya, sementara tubuhnya diliputi kegelapan.

Aku bukan satu-satunya yang takut dan terdiam, Haruhi dan Asahina-san juga tidak lebih baik, bahkan senyum Koizumi yang biasanya pun membawa sedikit rasa kengerian di dalamnya. Nagato memakai kostum aneh yang bahkan Asahina-san pun akan merasa ketakutan. Dia menyelubungi dirinya dengan jubah kain hitam, memakai topi runcing yang sama-sama hitam pekat, kostum tukang sihir yang gampang dikenali.

Di bawah pandangan membeku kami, Nagato, yang berpakaian bagai Malaikat Maut, dengan diam berjalan ke kursi yang biasanya di pojok, mengeluarkan tas dan buku bersampul tebalnya dari bawah jubahnya, dan menaruhnya di meja.

Tak mengindahkan pandangan terhenyak kami, dia mulai membaca bukunya.



Tampaknya ini kostum yang bakal digunakan acara ramalan kelasnya di festival sekolah.

Sebagai orang pertama yang pulih dari rasa terkejut, Haruhi mencecar Nagato dengan serangkaian pertanyaan. Dari jawaban-jawaban satu-katanya, kami sampai pada kesimpulan berikut: mesti ada seorang desainer fashion berbakat di kelasnya biar bisa membuat Nagato menikmati pakai kostum ini kemana-mana.

Nagato memasuki ruangan dengan kostum mirip boneka yang menakutkan; apa dia diam-diam memutuskan untuk berkompetisi dengan Asahina-san lewat caranya sendiri? Jalan pikirannya bahkan lebih susah dimengerti daripada jalan pikiran Haruhi!

Di bawah suasana sunyi dimana tidak ada seorangpun yang berani berbicara, hanya Haruhi yang dengan semangat berseru,

“Jadi akhirnya kamu ngerti toh, Yuki! Kostum ini hebat banget!”

Dengan perlahan Nagato menggerakkan matanya ke arah Haruhi dan lalu mengembalikan pandangannya ke bukunya.

“Kostum ini benar-benar cocok sama konsep karakterku! Kasih tau nanti siapa yang merancang kostum ini untukmu, aku pengen ngirim telegram ke dia untuk berterima kasih atas usahanya!”

Tolonglah, ngirim telegram ucapan terima kasih bakalan cuman bikin dia lebih curiga, khawatir apa ada udang di balik batu. Bisa ga sih loe kau ngeliat secara objektif gimana orang mandang elo?

Haruhi sudah ada di surga ketujuh. Sambil bersenandung Rondo Turki, dia membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas hasil print. Dia kemudian membagikan kertas-kertas tersebut masing-masing ke kami semua, sambil berbinar bagai Kintarou yang baru saja mengalahkan si beruang hitam.

Aku tak punya pilihan lain kecuali mengarahkan pandanganku ke kertas itu.

Di atasnya tertulis hal berikut:

  “Pelayan Tempur: Petualangan Asahina Mikuru (judul sementara)”
  - Para Pemain
  - Asahina Mikuru – Pelayan Tempur dari masa depan
  - Koizumi Itsuki – Pemuda esper
  - Nagato Yuki – Alien jahat
  - Figuran – semua orang lain


.... Ya Tuhan, apa-apaan ini? Dia ternyata nebak semuanya dengan tepat.

Aku benar-benar shock. Aku tidak tahu apakah dia punya kemampuan deduksi yang sangat hebat, atau dia menebak begitu saja dan benar semua. Aku bahkan curiga bahwa dia pura-pura tidak tahu. Mampu membuat penilaian yang tepat sepeti itu entah darimana, memangnya kekuatan macam apaan tuh?

Aku kehilangan kata-kata sejenak, dan baru sadar ketika aku mendengar seseorang yang ketawa cekikikan di sebelahku. Ini pasti si Koizumi.

“Oh, saya mengerti....”

Dia tampaknya agak senang; aku benar-benar iri terhadapnya.

“Bagaimana mengatakannya, ya? Seperti yang sudah diduga dari Suzumiya-san, mungkin? Hanya Suzumiya-san yang mampu membuat tokoh-tokoh semacam ini, hebat sekali.”

Jangan senyum ke gue kayak itu, loe bikin gue ga enak aja.

Asahina-san menggenggam tumpukan kertas A4 itu dengan tangannya, yang bergetar selagi dia membaca isinya.

“Ah......”

Dia berseru lembut dan melihat ke arahku, membawa ekspresi seolah-olah memohon untuk diselamatkan. Kuperhatikan baik-baik dan menyadari bahwa matanya membawa perasaan sedih yang amat sangat, dibarengi dengan sedikit celaan, seperti kakak perempuan ramah yang sedang memarahi anak kecil karena berbuat nakal.... Ah, gue ingat sekarang. Abis kejadian enam bulan lalu, gue ngasih tau Haruhi identitas asli mereka.

Duh, ya ampun. Jadi ini salah gue?

Dengan kalut aku menoleh ke arah Nagato, dan melihat si Antarmuka Manusia Buatan Hidup buatan alien, mengenakan jubah hitam dan topi runcingnya....

“....”

Masih membaca bukunya dalam diam.



“Masalahnya tidak sebesar itu kok.”

Koizumi berkata dengan optimis. Aku bahkan ga mood buat ketawa.

“Saya tahu ini tidak lucu, tapi juga tak semuanya suram.”

“Gimana loe bisa tau?”

“Karena ini hanyalah pembagian karakter untuk film. Suzumiya-san tidak benar-benar percaya bahwa saya adalah seorang esper, hanya di dunia film fiktif kalau si tokoh Koizumi Itsuki, yang diperankan olehku, kebetulan adalah seorang esper.”

Koizumi terdengar seperti seorang guru privat yang sedang mengajar seorang murid yang punya ingatan pendek.

“Koizumi Itsuki di dunia nyata dan ‘Koizumi Itsuki’ yang ini adalah dua orang yang berbeda. Saya kira anda tidak bisa mencampur-adukkan diriku dengan tokoh yang kuperankan. Bahkan kalaupun ada orang yang mencampur-adukkan keduanya, orang itu bukanlah Suzumiya-san.”

“Gue masih ga bisa tenang. Ga ada jaminan kalo yang loe omongin itu benar.”

“Apabila dia mencampur-adukkan dunia nyata dengan dunia fiktif, dunia ini akan berubah menjadi dunia fiksi ilmiah. Sudah saya katakan sebelumnya, Suzumiya-san mungkin terlihat sebaliknya, tapi dia berpikir secara logis dalam batas-batas realita.”

Tentu gue tau itu karena jalan pikiran Haruhi selalu di mode setengah-fantasi, itulah kenapa gue selalu kelibat macam-macam kejadian aneh. Lebih parahnya, si biang kerok Haruhi bahkan ga sadar.

“Karena kita tidak mempunyai bukti.”

Koizumi berkata dengan tenang,

“Mungkin suatu hari keadaan akan berkembang sampai kepada suatu tingkat dimana hal itu tidak akan bisa dielakkan lagi, tapi bukan sekarang. Baguslah bahwa pihak-pihak yang diwakili oleh Asahina-san dan Nagato-san juga berpikiran sama, jadi saya percaya bahwa tak apa-apa jika kita keadaan tetap seperti ini selamanya.”

Gue juga mikir kayak gitu, karena gue ga mau ngeliat dunia diacak-acak. Sayang kalo dunia kiamat sebelum gue sempat namatin video game yang dirilis minggu depan.

Koizumi meneruskan senyumnya,

“Daripada mengkhawatirkan dunia, anda seharusnya lebih memperhatikan dirimu sendiri. Bisa saja saya dan Nagato-san dengan mudah digantikan oleh orang lain, tapi anda tidak begitu.”

Agar Koizumi tidak melihat pikiran kompleksku sekarang, aku berpura-pura berkonsentrasi mengisi amunisi airsoftgun.



Hari ini, Haruhi menghabiskan hari dengan menyuruh-nyuruh Asahina-san mencoba kostum, mengumumkan pembagian tokoh pada semua orang, dan lalu mengakhiri kegiatan hari ini. Sebetulnya, dia sudah berencana untuk menyeret Asahina-san, memakai kostum pelayannya, berkeliling sekolah, dan kemudian membuka konferensi pers untuk mempromosikan filmnya. Tapi karena Asahina-san sudah hampir menitikkan air mata, aku mencoba segala hal untuk membuatnya membatalkan ide itu. Kukatakan padanya bahwa di sekolah ini tidak ada Himpunan Berita, atau Himpunan Jurnalistik, dan pastinya tak ada Himpunan Periklanan. Haruhi melihatku, mulutnya manyun seperti paruh burung, dan melihat ke bawah sambil berkata,

“Yah, kau benar.”

Gue ga nyangka dia bakal nyerah secepat ini.

“Mendingan dirahasiain sampai saat-saat terakhir. Kyon, kamu lumayan pintar juga dengan level kepintaran kayak gitu. Bakalan repot kalo sesuatu bocor sebelum waktunya.”

Ini bukan semacam film laga Hollywood atau Hong Kong; ga bakalan ada orang yang tertarik nyuri ide-ide dodolmu itu.

“Kalau gitu Kyon, kamu bertanggung jawab memastikan pistolnya siap sedia hari ini, karena syuting dimulai besok. Kamu juga harus belajar gimana pake kamera. Oh ya, kamu perlu juga cari software yang bisa mindahin video dari kamera ke komputer biar bisa diedit, terus......”

Dan jadinya, Haruhi menyorongkan setumpuk pekerjaan padaku dan pulang sambil bersenandung nada dari “The Great Escape”.

Dia benar-benar tahu gimana caranya ngasi banyak masalah ke orang ga peduli gimana perasaan orang itu. Beneran!

Jadi sekarang, Koizumi dan aku lagi sibuk baca buku petunjuk dan cari tahu gimana nembak peluru BB dari pistol airsoftgun.

Setelah ganti baju, Asahina-san pulang dengan bahu yang terkulai. Nagato juga menghilang yang bahkan tanpa memasukan tasnya ke dalam kostum penyihir itu, bagai orang yang diundang ke Sabbath. Tampaknya Nagato hanya datang untuk menunjukkan kostumnya pada kami. Melihat dari perangainya, mungkin ada makna tertentu baginya dengan melakukan hal itu, walau mungkin juga dia hanya ingin datang. Dia mungkin sedang sibuk melakukan sesuatu di kelasnya, misalnya meramal masa depan dengan menggunakan bola kristal.



Aku merasa sekolah semakin hari semakin ramai. Setiap hari setelah jam sekolah, terompet di orkestra-kelas-tiga tidak lagi sumbang dan mulai kompak; ada juga orang-orang yang sedang memotong-motong tripleks dan kayu di setiap pojok tersembunyi sekolah; sementara itu jumlah siswa yang memakai pakaian aneh seperti Nagato mulai banyak dari hari ke hari.

Biarpun begitu, ini hanyalah kegiatan sekolah yang diadakan oleh sekolah perfektur biasa, nampaknya ini tidak akan jadi suatu kegiatan yang mencengangkan. Menurut pendapatku, paling banyak hanya setengah siswa sekolah yang berusaha keras membuat kehidupan sekolah mereka lebih bisa dinikmati. Kelas kami, 1-5, di lain pihak, sudah sejak lama membuang rasa ingin bersenang-senang di festival. Mereka yang tidak terikat dengan klub manapun mungkin punya banyak waktu luang saat ini, dan Taniguchi serta Kunikida adalah perwakilan sempurna dari “Klub Pulang Setelah Sekolah”.

“Festival sekolah ini,”

Kata Taniguchi.

Waktu istirahat makan siang, aku duduk-duduk dengan dengan dua tokoh sampingan tak penting ini sambil menyantap bekal makan siang kami.

“Emang kenapa dengan festival sekolah?”

Kunikida bertanya demikian, sementara Taniguchi menampilkan senyum mengerikan nan menyedihkan jika dibandingkan dengan senyum elegan Koizumi,

“Benar-benar event yang hebat.”

Bisakah anda ga kedengaran kayak si Haruhi? Senyum di wajah Taniguchi tiba-tiba pudar.

“Tapi event ini ga ada hubungannya sama gue, nyebelin bener.”

“Kok bisa?”

Tanya Kunikida.

“Menurut gue ini ga seru sama sekali. Dan orang-orang sok sibuk itu benar-benar bikin gue sebal, terutama cowo yang dipasangin dengan cewe. Jadi pengen bunuh mereka!”

Jadi ini toh yang namanya amarah cemburu?

“Gimana dengan kelas kita? Ngadain survei? Huh! Ngebosenin banget! Cuman bakalan jadi pertanyaan-pertanyaan bodoh soal apa warna kesukaanmu! Memangnya apa coba tujuannya ngumpulin informasi kayak gitu?”

Kalau loe ga puas, kenapa loe ga ngusulin yang lain? Mungkin kalo gitu Haruhi ga bakalan punya waktu buat bikin film.

Taniguchi menelan sebuah sosis dan berkata,

“Ga ngerepotin diri gue sendiri dengan ngajuin usul macam begituan. Hhh, gue ga keberatan ngajuin usul, cuman masalahnya pasti gue yang bakalan disuruh jadi ketua panitia kalo usulnya diterima.”

Kunikida berhenti memotong bolu gulungnya dan berkata, “Benar juga.”

“Cuman orang-orang bego yang berani ngajuin usul, atau orang-orang punya rasa tanggung jawab tinggi, misalnya kalo Asakura-san masih disini.”

Dia menyebutkan nama siswa yang pindah ke Kanada. Aku masih berkeringat dingin setiap kali aku mendengar nama itu. Walaupun Nagato-lah yang membuat Asakura menghilang, akulah penyebab utama kepergiannya. Aku juga tidak berbuat apapun untuk mencegahnya menghilang waktu itu, jadi sudah terlambat untuk menyesalinya sekarang.

“Yaah, sayang banget,” kata Taniguchi. “Kenapa juga murid sempurna, pintar kayak gitu harus pergi? Dia itu satu-satunya alasan gue ngerasa bersyukur ada di kelas ini. Sial, penasaran gue apa udah telat ya buat ngajuin permohonan pindah kelas?”

“Kelas mana yang jadi tujuanmu?” Tanya Kunikida, “Kelasnya Nagato? Oh, omong-omong, aku ngeliat dia berkeliaran dengan baju tukang sihir, apa sih maksudnya itu?”

Yah, gue juga ga begitu ngerti.

“Nagato, ya....”

Taniguchi menatapku, matanya tiba-tiba terlihat seperti dia harus menghadapi ujian matematika dadakan, dan berkata seperti baru sadar sesuatu.

“Jadi kapan kejadiannya ya? Gue ngeliat loe meluk dia di ruang kelas dulu. Itu mungkin salah satu skenario Suzumiya. Loe sengaja melakukannya buat nakut-nakutin gue, kan? Loe ga bisa nipu gue.”

Baguslah Taniguchi salah tafsir, beban di pundakku terangkat dengan seketika...... Tunggu bentar, bukankah loe balik ke kelas gara-gara loe lupa ngambil barang? Gimana gue tau loe mau muncul? ...... Tentunya, aku tidak memberitahukan hal ini padanya. Taniguchi itu idiot, dan tak ada gunanya memberitahu orang idiot kalau dia itu idiot. Kadang-kadang aku bahkan bersyukur bahwa para dewa membuat Taniguchi orang idiot sejak lahir.

“Ngomong-ngomong, omong kosong itu.”

Taniguchi berkata dengan penuh syukur, Kunikida sibuk makan, sementara aku menengok ke belakang. Bangku Haruhi kosong, dia ngapain lagi sekarang?



“Aku keliling sekolah nyari tempat buat syuting film,”

Kata Haruhi,

“Tapi ga ada lokasi yang cocok. Ga mungkin kita bisa suasana kayak apapun di dalam sekolah, ayo kita keluar!”

Dia mungkin ga suka suasana di dalam sekolah, tapi dia ga harus susah-payah cari tempat yang cocok di luar sekolah hanya gara-gara itu. Tampaknya dia niat banget bikin ini jadi gede.

“Mmm...... Sa... Saya harus ikut juga?”

Asahina-san bertanya dengan nada ketakutan.

“Tentu. Kita ga bisa terus tanpa bintang utama kita.”

“De...dengan kostum ini?”

Asahina-san gemetaran, karena sama seperti kemarin, dia hari ini dipaksa lagi untuk mengenakan kostum pelayan itu, yang mana aku sama sekali tak tahu gimana cara Haruhi mendapatkannya.

“Ya, tentu saja.”

Haruhi mengangguk tanpa basa-basi, sementara Asahina-san mendekap dirinya sendiri dan menggeliat.

“Repot kan kalau kamu harus ganti kostum terus-terusan? Kita mungkin malah ga nemu tempat buat ganti baju. Jadi mendingan kamu pakai kostum itu sepanjang hari aja, kan? Ayo! Kita pergi!”

“Setidaknya bolehkah saya pakai sesuatu di atas....”

Asahina-san memohon.

“Engga!”

“Tapi malu banget.”

“Kamu harus merasa malu buat ngegambarin rasa malu yang hampir tak kentara itu! Gimana kamu bisa menang Golden Globe kalau gini-gini saja?”

Bukannya tujuan kita cuman menang penghargaan terbaik di festival sekolah?

Hari ini semua anggota Brigade SOS kumpul di ruang klub. Koizumi juga datang, skenario untuk teater kelasnya sudah disusun, tersenyum melihat interaksi berat sebelah antara Haruhi dan Asahina-san. Nagato ada di sini juga, walaupun masalahnya lain lagi.

“....”

Dia diam seperti biasa, itu bukan masalah, tapi dia terlihat aneh hari ini. Untuk suatu alasan, dia lagi-lagi pakai kostum penyihir yang dia tunjukkan kemarin. Sebetulnya dia bisa saja pakai kostum itu hanya pada hari festival sekolah, dia tidak perlu memakainya dari sekarang.

Haruhi tampaknya cinta sekali sama jubah hitam dan topi runcing Nagato.

“Peranmu sekarang adalah ‘Penyihir Alien Jahat!’”

Belum apa-apa dia udah ngubah skenarionya. Aku memperhatikan selagi Haruhi mengisi tangan Nagato tongkat besi, yang di ujungnya terpasang hiasan bintang, tipe yang biasanya digunakan untuk menghias pohon Natal, sementara Nagato berdiri tak bergerak. Karena alasan tertentu, bahkan aku pun tak keberatan si kutu buku pendiam ini memainkan peran penyihir alien. Mungkin peran ini lebih cocok bagi Nagato daripada sesuatu yang disebut Entitas Gabungan Data, karena dia memang benar-benar punya kekuatan sihir, setidaknya di mataku, jadi hal ini tidak mungkin salah.

Nagato tiba-tiba mendorong ujung topinya keatas dan menatapku dengan mata tanpa ekspresinya.

“......”

Aku khawatir tentang bagaimana keputusan Haruhi yang dengan seenaknya memutuskan untuk menggunakan kostum yang aslinya dirancang untuk kegiatan kelas lain untuk filmnya, tapi menurut dia, masalah semacam ini hanya tidak ada.

“Kyon! Kamu udah nyiapin kameranya? Koizumi-kun, aku mengandalkanmu untuk bawa peralatan yang disana. Mikuru-chan! Ngapain masih gelayutan ke meja? Ayo cepat bergerak!”

Perlawanan lemah Asahina-san ternyata sia-sia. Haruhi hanya mencengkeram kerah belakang si pelayan dan menyeret sosok mungilnya menuju pintu selagi ia merengek tanpa henti. Nagato mengikuti di belakang sambil menyeret ujung jubahnya, sementara Koizumi keluar terakhir, mengedip ke arahku, dan lalu menghilang ke koridor.

Tepat ketika aku sedang berpikir apa masih mungkin bagiku untuk tidak ikut......

“Hei! Kita ga bisa bikin film tanpa kameramen!”

Haruhi menyorongkan tubuh atasnya di pintu yang terbuka dan membentak keras kepadaku dengan mulut terbuka lebar. Melihat tulisan “Sutradara Agung” tertulis di ban lengan di lengan kiri Haruhi, tiba-tiba aku punya firasat buruk.

Tampaknya perempuan ini benar-benar serius soal ini.



Haruhi yang menamakan dirinya “Sutradara Agung” kendatipun tidak punya pengalaman menyutradarai apapun sebelumnya, memimpin di depan; si pelayan imut menundukkan kepalanya dan mengikuti dari belakang, sementara si penyihir muda yang suram membuntuti dari belakang bagaikan bayangan. Koizumi membawa kantong-kantong kertas dan tersenyum cerah...... Aku berusaha sekeras yang kubisa untuk berada sejauh mungkin selagi aku membuntuti kelompok yang eksentrik ini.

Setelah menarik perhatian seluruh sekolah selagi berjalan keluar, parade kostum Halloween ini menjadi pusat perhatian begitu melangkah keluar dari sekolah. Asahina-san berjalan dengan sedih di antara kami. Setelah dua menit berjalan, dia menundukkan kepalanya rendah-rendah, tiga menit dan wajahnya memerah hebat, lima menit kemudian, dia melayang di udara tipis bagaikan hantu stress.

Haruhi berjalan di depan dengan berbinar-binar, seolah-olah langit akan runtuh, sambil bersenandung dengan lagu tema dari “Heaven and Hell”. Aku tidak tahu kapan dia menyiapkannya, yang jelas aku melihat dia membawa toa warna kuning di tangan kanannya, dan kursi sutradara di tangan kirinya, melangkah gagah berani bagaikan pasukan Mongol yang bergerak ke arah barat melewati padang rumput. Selagi aku bertanya-tanya dimana dia selanjutnya akan menyerang, aku sadar bahwa kami telah sampai di stasiun kereta. Haruhi membeli lima karcis dan membagikannya masing-masing kepada kami, lalu berjalan tanpa basa-basi ke arah pintu tiket putar.

“Berhenti.”

Perlawanan lemah Asahina-san ternyata sia-sia. Haruhi hanya mencengkeram kerah belakang si pelayan dan menyeret sosok mungilnya menuju pintu selagi ia merengek tanpa henti. Nagato mengikuti di belakang sambil menyeret ujung jubahnya...

Kusuarakan keberatanku sebelum Asahina-san sempat bicara. Aku mengarahkan telunjukku pada si pelayan yang memakai rok mini, yang menarik pandangan orang dari mana-mana, dan pada si penyihir berjubah hitam, yang hanya berdiri seperti penonton, dan berkata,

“Loe ngebiarin mereka naik kereta dengan baju kayak gitu?”

“Emang apa masalahnya?” Haruhi berpura-pura tidak tahu dan membantah, “Kalo mereka ga pake apa-apa, mereka mungkin akan ditahan. Tapi mereka kan pake baju! Atau kamu pikir mungkin kostum bunny-girl lebih cocok? Kenapa ga bilang dari tadi? Aku ga keberatan ganti judul sementaranya jadi ‘Bunny-Girl Tempur’!”

Bantahan ini seharusnya ga berasal dari orang yang sengaja bawa-bawa orang berkostum pelayan.... Ngomong-ngomong, gue pikir loe bilang kalo loe udah mikir soal konsep film? Gue ga terlalu yakin, tapi emang bisa loe ngubah konsep filmnya gitu aja suka-suka elo?

Aku berusaha sekuat tenaga untuk menebak apa sebenarnya yang dipikirkan oleh sutradara kami.

“Kemampuan beradaptasi itu vital. Begitulah caranya kehidupan di muka bumi berevolusi sampai saat ini dengan cara survival of the fittest. Kamu bakal punah kalo kamu berhenti mikir! Kita harus belajar beradaptasi biar bisa bertahan hidup!”

Adaptasi ke apa? Kalau alam punya kesadaran, gue yakin hal pertama yang bakal dilakukannya adalah ngusir Haruhi dari muka bumi.

Koisumi telah tereduksi menjadi budak tersenyum yang bertugas membawa peralatan, Nagato tetap diam, sementara Asahina-san terlalu lelah untuk berbicara apapun. Dengan kata lain, hanya akulah yang berbicara.

Betapa aku berharap ada seseorang yang mau memikirkan jalan keluar dari situasi ini.

Tampaknya Sekarang Haruhi mengartikan kebisuan kami sebagai orang yang sedang berpikir keras tentang pidatonya.

“Ah, itu dia keretanya! Ayo, Mikuru-chan! Pertunjukan akan segera dimulai!”

Seperti polisi yang menggiring penjahat wanita dengan motif yang patut dikasihani, Haruhi mendorong bahu Asahina-san melewati pintu putar.



Keluar dari stasiun, aku menyadari bahwa ini adalah stasiun yang kami kunjungi di hari lain, karena komplek ruko tepat di depan kami. Sebelum aku sempat curiga, aku sadar bahwa Haruhi bahkan mendatangi toko yang tepat sama dengan toko yang sudah dia datangi. Itu adalah toko elektronik tempat dia berhasil mendapatkan kamera.

“Aku datang sesuai janji!”

Haruhi masuk dengan semangat, si pemilik toko menjulurkan kepalanya dan mengarahkan pandangan pada Asahina-san.

“Hoho.”

Si manajer menatap si pemeran utama dengan senyuman mupeng, sementara Asahina-san berdiri kaku seperti karakter game fighting yang baru saja menghabiskan seluruh jatah jurus spesialnya. Si pemilik toko lalu berkata,

“Dia gadis dari hari kemarin? Dia benar-benar kelihatan berbeda hari ini, ho ho. Kalau begitu kami mengandalkanmu.”

Mengandalkan apaan? Secara refleks aku ingin maju selangkah dan melindungi Asahina-san, yang gemetar ketakutan, di belakang punggungku, tapi aku terdorong kebelakang oleh Haruhi sebelum aku sempat melakukannya.

“Rapat akan dimulai, semuanya dengar.”

Dengan senyum yang sama pada saat memenangkan lomba lari estafet antar kelas waktu pesta olahraga, Haruhi mengumumkan,

“Sekarang kita akan mulai syuting iklannya!”



“Pe... pemilik toko ini, mmm, dia sangat murah hati dan ramah. Toko ini sudah dibuka semenjak dari kakek Eijirou-san, dan mereka menjual macam-macam barang, mulai dari baterai sampai lemari es. Oh, dan...... mmm......”

Si pelayan tersenyum kaku sambil mencoba sebaik mungkin membaca naskahnya, sementara Nagato berdiri di sebelahnya sambil memegang papan plastik bertuliskan “Elektronik Oomori”. Kedua orang ini sekarang tertangkap dalam layar kameraku.

Asahina-san memamerkan senyum yang sangat kikuk, sambil memegang mikrofon yang bahkan kabelnya tak terpasang.

Koizumi berdiri di sebelahku dan tersenyum kecut sambil membawa plakat yang bertuliskan naskah. Plakat ini sebenarnya adalah buku sketsa tempat Haruhi menuliskan naskah yang bahkan tanpa dipikirkannya beberapa saat lalu. Koizumi membalikkan halaman demi halaman buku sketsa itu sesuai dengan kecepatan membaca Asahina-san.

Kami berdiri di luar pintu masuk toko elektronik itu, yang berada tepat di tengah-tengah komplek ruko.

Haruhi duduk bersilang di kursi sutradara, dan merengut melihat akting Asahina-san.

“OK, cut!”

Dia memukulkan toa ke telapak tangannya dan berkata,

“Tadi itu benar-benar ga ada emosi sama sekali. Kenapa kamu ga bisa mengekspresikannya sih? Benar-benar ga ada feeling soal 'itu'”

Katanya sambil menggigit-gigit kukunya.

Terhenyak, aku berhenti merekam. Menggenggam mikrofon dengan kedua tangan, Asahina-san juga berhenti. Nagato dari awalnya tidak pernah bergerak, sementara yang bisa dilakukan Koizumi hanyalah tersenyum.

Para pejalan kaki di komplek ruko ini sekarang berkumpul di belakang kami karena kepengin tahu.

“Mikuru-chan, ekspresimu terlalu kaku. Kamu harus tersenyum dengan lebih alami, dari lubuk hatimu yang terdalam. Pikirkanlah sesuatu yang menyenangkan, bukannya kamu senang sekarang? Kamu kan dipilih jadi pemeran utama cewek! Ga ada hal yang lebih menyenangkan dari ini seumur hidupmu!”

Aku pengen banget ngasih tahu, Berhenti berbuat konyol napa!

Kalau aku harus meringkas percakapan antara Haruhi dan si pemilik toko jadi dua baris, aku yakin hasilnya akan seperti ini:

“Waktu kami syuting film, kami akan bikin iklan buat toko ini juga. Jadi bisakah anda meminjamkan kami kamera?”

“Boleh, tak masalah.”

Si pemilik toko rupanya diperdaya untuk mempercayai kata-kata manis Haruhi, sementara Haruhi rupanya sudah gila karena menaruh iklan di tengah-tengah film. Aku belum pernah nonton film dimana pemeran utama wanita harus jadi juru bicara sebuah produk komersial. Aku ga keberatan dengan penempatan produk yang biasanya dengan cara menampilkan nama toko di latar belakang beberapa adegan, tapi sekarang kami malah bikin iklan bukannya bikin film.

“Aku tahu!”

Haruhi tiba-tiba berseru. Apa yang loe tahu sekarang!?

“Rasanya memang aneh kalau melihat pelayan keluar dari toko elektronik.”

Kali karena kostum yang loe pilih?

“Koizumi-kun, ambilin kantong itu. Yang kecil di sebelah sana.”

Haruhi mengambil kantong kertas yang disodorkan Koizumi, lalu menyambar tangan Asahina-san yang sedang termenung dan berjalan ke arah toko.

“Manajer! Apa ada tempat buat ganti baju? Mmm, dimanapun bisa. Di kamar mandi juga boleh. Beneran? Kalau gitu kami di gudang aja!”

Bahkan tanpa ragu-ragu, dia lalu menyeret Asahina-san dan menghilang ke dalam toko. Asahina-san yang malang bahkan tidak punya kekuatan untuk melawan, dan hanya bisa menurut canggung selagi dia diseret oleh kekuatan Haruhi yang menakjubkan. Mungkin dia siap melakukan apapun yang Haruhi minta selama dia bisa melepas kostum itu.

Koizumi, Nagato dan aku ditinggal di luar tak melakukan apa-apa. Nagato memakai kostum hitamnya dan terus mengangkat papan plastiknya sambil menatap kamera. Lumayan hebat juga lengannya tidak pernah lelah.

Koizumi tersenyum lembut kepadaku.

“Tampaknya saya belum akan tampil dalam waktu dekat ini. Saya ikut sandiwara kelas hanya karena semua orang di kelas memilihku, sangat melelahkan mencoba mengingat-ingat semua naskahnya, jadi saya berharap tidak ada banyak dialog untuk tokoh yang kuperankan ini. ......Bagaimana menurutmu? Mengapa anda tidak mencoba menjadi pemeran utama pria?”

Si Haruhi yang nentuin siapa meranin siapa, jadi loe harus tanya ke dia.

“Apakah anda kira saya sanggup melakukan tugas mengerikan seperti itu? Saya tak berani membayangkan seorang aktor menasihati produser eksekutif dan sutradara tentang apa yang harus dilakukan, karena perintah Suzumiya-san adalah mutlak. Saya bahkan tak berani membayangkan tindakan balasan apa yang akan dilakukannya padaku kalau saya berbuat semacam itu.”

Yah, sama dong dengan gue! Jadi loe bilang itu alasannya kenapa gue mau jadi kameramen? Lagian, kita ga lagi syuting film, tapi iklan lokal tentang toko lokal. Ada batasnya tau mamerin rasa kepemilikan ke para tetangga.

Aku menebak sebuah adegan edan sedang dimainkan saat ini juga di bagian belakang toko. Aku bisa membayangkan rupa wajah Haruhi ketika dia menelanjangi Asahina-san yang tak berdaya. Aku berpikir apa yang akan dia suruh Asahina-san pakai, kenapa sih dia ga pakai baju-baju itu sendiri? Lagian tubuhnya sama amboinya dengan Asahina-san, dia mikir ga sih membintangi filmnya sendiri?

"Sori dah nungguin!"

Dua orang keluar dari toko, Haruhi tetap memakai seragamnya tentu saja, sementara pemandangan lainnya seketika membuatku melakukan pesiar ke ingatan masa lalu. Sudah enam bulan ya? Cepet banget waktu berlalu! Banyak banget yang udah terjadi dari waktu itu! Turnamen baseball amatir, mansion pulau terpencil...... Sekarang gw baru sadar, semua itu jadi ingatan indah. ......Kok bisa ya?

Pakaian itu adalah pertunjukan debut Asahina-san, pakaian yang membuat Asahina-san dan Haruhi langsung jadi bahan pembicaraaan di sekolah. Kostum terlalu buka-bukaan yang membuat Asahina-san terluka secara emosional.

Bunny-girl yang tak bercela, yang sempurna merah merona dengan mata berkaca-kaca, dan tersipu malu mengikuti Haruhi di belakangnya selagi telinga kelincinya berayun kesana-kemari.

"Sip, itu yang namanya sempurna. Memang lebih bagus bikin iklan pake kostum bunny-girl,"

Kata Haruhi tak jelas dan mengamati Asahina-san, memberikan senyum kepuasan. Asahina-san hanya terlihat trauma, seolah-olah setengah rohnya terbang keluar dari bibir merah ceri setengah terbukanya.

"Mikuru-chan, ayo mulai sekali lagi. Kamu udah hapal naskahnya, aku yakin. Kyon, putar kameranya."

Siapa juga yang ngedengerin dia pas dia berpakaian kayak gitu? Waktu film ini diputar, aku yakin penonton hanya akan memperhatikan bunny-girl yang diperankan Asahina-san saja. Beruntung kalo layarnya tak terbakar oleh pelototan para penonton.

"Dan, take 2!"

Haruhi berteriak dan menepak tajam toanya.


Akhirnya, syuting iklan toko elektronik dibintangi oleh Asahina-san, yang tersenyum dan menangis pada saat bersamaan sambil dipermainkan oleh Haruhi, sudah selesai. Semua ini terasa seperti menonton pegulat asing yang dimanipulasi oleh agen jahat di setiap pertandingan.

Tapi, sampai saat ini, aku sadar kami sebelumnya telah mengunjungi toko yang lainnya. Aku bahkan tak perlu berspekulasi, karena Haruhi sudah berpikir untuk membuat iklan buat mereka juga.

Asahina-san menjadi "Ah~!" dan "Kyaa~!" dengan imutnya sewaktu dia diseret Haruhi di komplek ruko. Sementara itu Nagato mengikuti pelan-pelan di belakang Koizumi dan aku seperti momok dengan ekspresi penyihir hambar yang biasanya.

Kutaruh jaketku di punggung Asahina-san yang terbuka, mencoba untuk menghiburnya. Mungkin melakukan ini hanya menambah perhatian sekitar lebih banyak lagi. Lagipula, dunia ini dipenuhi orang-orang dengan cita rasa aneh. Omong-omong biarkan aku memperjelas, itu bukan selera gue.

Kami pergi ke toko kedua toko airsoftgun dan mengulangi apa yang kami lakukan sebelumnya. Dibawah pengawasan mata-mata penonton penasaran, Asahina-san melihat sambil menguraikan airmata kepadaku - lensa kamera, maksudnya.

"To... Toko airsoftgun ini dibuka oleh Yamatsuchi Keiji-san, umur 28, yang mengabaikan keberatan orang tuanya dan meninggalkan hidupnya sebagai pekerja berkerah-putih...... Untuk menggapai mimpinya...... Seperti yang sudah diduga, penjualan tidak tumbuh seperti yang diharapkan. Penjualan untuk setengah tahun ini hanya 80% dari tahun lalu, dan kurva penjualan jatuh ke sudut kanan bawah grafik...... Oleh karena itu... Dimohonkan untuk datang dan melihat-lihat!"

Ceramah Asahina-san benar-benar tak meyakinkan. Apa si pemilik Yamatsuchi-san akan menerima iklan kayak gini? Dia mungkin bakalan tambah murung dari sebelumnya sekarang. Lagian siapa juga yang mau diceramahin sama anak SMA?

Si bunny-girl sekarang dipaksa membidik senapan airsoftgun yang dia pegang ke arah atas.

"Tolong jangan tembakin ini ke orang, coba ke kaleng kosong saja!"

Nagato berdiri dibelakang menatap kosong ke depan, memegang papan plastik yang bertuliskan "Toko Airsoftgun Yamatsuchi". Sungguh pemandangan yang sureal. Karena Asakura Ryouko terlihat seperti manusia normal beremosi, yang berarti tidak semua Antarmuka Manusia Buatan buatan alien bertingkah-laku seperti robot. Kurasa Nagato berperangai seperti itu hanya karena dia diprogram seperti itu dari awal.

Asahina-san sekarang membidik senapan itu ke kaleng kosong di tanah dan menembaknya.

"Ah! Kurasa akan menyakitkan kalau kena tembak! Ahhh~~!!!"

Asahina-san berteriak malu-malu sewaktu kaleng alumunium pelan-pelan jadi penyok seperti sarang lebah. Demonstrasi tembak menembak ini menyebabkan kegaduhan diantara para penonton, walau akurasi bidikan Asahina-san cuma 1% saja.

Entah gimana aku merasa merekam adegan-adegan seperti ini ke kamera DV itu benar-benar tiada gunanya. Aku jadi merasa bersalah ke Asahina-san dan orang yang mendesain kamera ini, karena kamera ini ga seharusnya dipake syuting adegan bodoh seperti ini.



Dan akhirnya hari berakhir setelah syuting dua iklan bodoh telah selesai.

Kami kembali ke sekolah dulu untuk mendengar pengumuman Haruhi tentang jadwal syuting mendatang.

"Buat besok, sabtu, liburan, semuanya harus datang pagi-pagi. Kita ketemuan jam sembilan di depan stasiun Kitaguchi, kalian dengar?"

Tapi, iklannya aja udah 15 menit. Emang durasi filmnya mau berapa lama? Ga ada orang yang bisa ngabisin film tiga jam yang diputar di festival sekolah, dan gue juga ga optimis soal bakal dapet box-office.

Aku berpikir seperti itu ke diriku sendiri ketika menyadari bagaimana stresnya Asahina-san. Dia naik kereta berpakaian seperti pelayan ketika keluar, dan kembali sebagai bunny-girl. Saat ini, sedang ganti baju ke seragam sekolahnya, dia sekarang berlutut di lantai kelihatan benar-benar capek. Kalau begini terus, pemeran utama wanita akan ketiduran waktu syuting.

Aku menghabiskan teh Genbi yang disiapkan Koizumi sebagai pengganti Asahina-san, yang mengistirahatkan kepalanya di meja terlihat letih, dan aku berkata,

"Haruhi, bisa ga sih loe pikirin kostum laen yang bisa dipake Asahina-san? Bukannya banyak tuh kostum tempur yang cocok sama kejadiannya? Kayak kostum militer ato kostum cheerleader?"

Haruhi mengayunkan tongkat penunjuk yang tertempel bintang diujungnya dan berkata,

"Ga ada originalitasnya kalo pake kostum begituan. Cuman dengan pake baju pelayan penonton akan berseru 'Ooohhh117.102.99.185!' Penting lho menggenggam apa yang penonton pikirkan. Itu tau yang namanya konsep!"

Aku benar-benar penasaran apa dia itu ngerti apa konsep itu, yang bisa kulakukan hanyalah mendesah.

"Udahlah lupain aja...... Kita kesampingkan itu dulu. Kenapa pemeran utama wanitanya musti datang dari masa depan? Gue ga ngerti apa bedanya buat cerita!"

Asahina-san sedikit menggigil ketakutan sambil bersandar di meja. Haruhi tak menyadari itu, jelas dia tak menyerah,

"Kita pikirin hal-hal macem begituan ntar lagi aja, kita pertimbangkan kalo ada seseorang yang nyampein keprihatinannya."

Bukannya tadi gue nyampein keprihatinan? Jawab pertanyaannya!!!

"Kalo misal ga ketemu jawaban setelah dipertimbangkan, mendingan dibiarin aja! Lagian ga masalah juga. Yang penting itu menarik!"

Cuman elo doank kan yang bikin itu menarik. Apa coba kemungkinan elo bikin film itu menarik? Apa coba gunanya bikin film yang hanya bikin sutradara anggap menarik? Emangnya loe pengen dinominasi di Penghargaan Golden Raspberry?

"Apa maksudnya tuh? Aku hanya punya satu tujuan, yaitu dapetin suara sebagai event terbaik festival sekolah! Kalo bisa, aku ga keberatan dapet Golden Globe. Biar bisa ngedapetin itu, penting bahwa Mikuru-chan pake kostum yang benar!"

Aku tak habis pikir kok bisa-bisanya ada orang yang cerewet banget soal begituan. Aku punya feeling Haruhi itu terpaksa melakukan ini setelah marah-marah nonton film busuk yang entah gimana menang penghargaan Golden Globe.

Aku mendesah lagi dan melihat ke samping. Berpakaian serba hitam, Nagato sudah kembali ke sudutnya di ruang klub dan sekali lagi memanjakan dirinya dalam dunia bukunya. Apa sih yang salah soal dia? Apa dia bakal mati kalo ga baca apa-apa di ruangan ini?

"Tunggu bentar."

Melihat pada alien yang cinta membaca, tiba-tiba aku sadar akan sesuatu.

"Hei, gue masih belum liat naskah filmnya."

Bukan cuman naskahnya aja yang hilang, aku bahkan tak tahu cerita apa itu. Yang kutahu hanyalah Asahina-san itu pelayan dari masa depan, Koizumi itu pemuda esper, sementara Nagato adalah penyihir alien jahat.

"Ga butuh."

Apa sih yang Haruhi pikirin!? Tiba-tiba dia menutup matanya dan menunjuk keningnya dengan bintang tongkat penunjuknya,

"Karena se~~muanya ada disini, naskah dan storyboardnya. Kamu ga usah khawatir soal apapun, aku bakal pikirin adegan-adegan yang perlu untuk difilmkan buat kamu."

Pernyataan yang berani. Elo tau yang seharusnya ga usah mikirin apa-apa dan bengong ngeliat keluar jendela. Kalo loe sedikit lebih ramah dan serius, loe bisa bersaing sama Asahina-san tanpa ada suatu masalah pun.

"Besok guys! Ayo maju tak gentar ke depan. Untuk supaya meraih kemenangan, seseorang harus mulai dari sisi mentalnya. Itu adalah cara tercepat untuk berjaya tanpa harus ngeluarin duit! Ketika kamu ngebebasin dirimu dari belenggu benakmu, kamu akan bisa ngebebasin potensimu yang kamu pun ga tau itu ada. Itu caranya!"

Yang kayak gitu mungkin bisa jalan di komik-komik pertarungan itu, tapi segimanapun kamu berusaha keras untuk memuntahkan gimana caranya mengontrol pikiran atau gimana caranya go internasional, masih jauh jalannya sebelum tim sepakbola Jepang memenangkan World Cup.

"Hari ini sampe disini aja! Nantikan aja besok! Kyon, jangan lupa kamera, perlengkapan dan kostumnya. Tepat waktu ya semuanya!"

Haruhi lalu mengambil tasnya sekuat tenaga dan berlari keluar ruangan. Selagi senandung lagu tema "Rocky" makin melemah di koridor, kulihat dongkol setumpuk peralatan yang harus kubawa. Harus ke komunitas mana gue komplain soal tindakan tirani sutradara ini?



Sampai hari ini, kehidupan sekolah kami senormal yang didapatkan, hanya saja dibumbui, ke tingkat yang hampir lepas kontrol, oleh entusiasme-berlebihan Haruhi membuat filmnya. Kalau diadakan survey di SMA-SMA seluruh negeri, aku yakin ada orang lain yang seeksentrik kami. Dengan kata lain, mereka hidup di kehidupan "normal".

Aku tidak diserang oleh umat Nagato; aku tidak menjelajah waktu dengan Asahina-san; dan aku tidak berjumpa dengan raksasa mana pun yang bersinar seperti potongan jamur biru; terakhir, aku tidak akan pernah mengalami misteri pembunuhan dengan kebenaran tersembunyi yang konyol di dalamnya.

Hanya kehidupan sekolah yang biasa.

Ketika festival sekolah makin mendekat, kegirangan Haruhi sekarang mencapai titik didih. Endorfin di dalam otaknya sekarang berputar secepat hamster di roda latihan, dicambuk untuk lari dalam kecepatan Mach.

Toh, itu semua normal.


......Sampai saat ini, tentunya.


Dipikir baik-baik, aku yakin Haruhi mungkin sudah bisa mengontrol dirinya sendiri dengan caranya sendiri. Dipikir lebih jauh, aku sadar kalau kami belum merekam satu frame pun untuk film. Yang kamera digital simpan hanyalah potongan video tentang Asahina-san berpakaian bunny-girl mengiklankan toko elektronik dan toko airsoftgun lokal. Film Brigade SOS yang disutradarai Haruhi bahkan tidak punya rangka; ceritanya pun masih misteri.

Barangkali lebih baik kalo tetap jadi misteri.

Kalaupun kami akhirnya mempertontonkan dokumentasi Asahina-san memperkenalkan toko-toko di distrik toko-toko lokal, tidak akan jadi masalah sama sekali. Pada akhirnya, bukannya film macam begini yang akan lebih baik untuk menarik penonton? Lagipula, menguntungkan secara ekonomi daerah untuk distrik toko-toko itu, jadi itu tu dapat dua burung dengan satu batu. Ah iya, bikin aja program spesial periklanan Asahina Mikuru! Kupikir aku lebih suka yang itu. Sebagai kameramen, maksudku adalah perkataanku.

Tapi mengenal Haruhi lebih dari pada orang lain, dia tidak akan puas hanya dengan itu saja. Dia akan terus maju, melakukan apa yang dia niatkan. Dia bukan tipe orang yang akan menyerah tengah jalan. Cewek menyusahkan yang memegang teguh prinsipnya!

Dan jadinya, dari hari kedua seterusnya, kami sekali lagi berjumpa dengan situasi aneh dan mengerikan. Aku tak tahu gimana mendeskripsikannya... Gimana sih Haruhi ngungkapinnya lagi?

Ketika kamu ngebebasin dirimu dari belenggu benakmu, kamu akan bisa ngebebasin potensimu yang kamu pun ga tau itu ada. ......Semacem itu lah.

Masuk diakal.

Tapi, Haruhi,

Kenapa sih cuman elo orang yang kemampuan potensialnya dibebasin?

Terus loe ga sadar lagi.


Kembali ke Bab 1 Teruskan ke Halaman Utama Teruskan ke Bab 3