Seri Monogatari:Nekomonogatari (Putih)/Macan Tsubasa 007

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

007[edit]

Tapi sekarang aku punya masalah.

Yah, dari semula memang sudah punya masalah, tapi sekarang aku punya masalah ynag lebih besar, dan itu adalah, aku tidak punya seorang temanpun yang bisa membiarkanku tinggal bersama mereka untuk sementara waktu.

Aku punya teman.

Mempunyai kepribadian yang agak bermasalah, aku tidak bisa bilang aku punya banyak sih, dengan caraku, aku membangun jaringan teman yang cukup dengan rata-rata siswa selama kehidupan bersekolahku.

Omong-omong, saat Araragi-kun bilang dia kurang bisa berteman dengan gaya masokis yang lebih mendekati angkuh itu, pada titik ini, ijinkan aku bersaksi bahwa yang dikatakannya itu memang benar.

Tidak berlebihan mengatakan dia tidak punya teman.

Atau lebih tepatnya, ia terlalu lama berkutat dengan dirinya sendiri hingga sedikit usaha ‘tuk berteman mungkin — teman menurunkan kekuatanmu sebagai manusia, katanya.

Dengan seriusnya dia berpikir, dan berkata ini.

Meski filosofi itu sudah ditinggalkan, dia masih menjalani rehabilitasi, dan aku belum pernah melihatnya berbicara dengan anak laki-laki di kelas.

Sebenarnya sih, aku belum pernah lihat dia berbicara dengan orang lain selain Senjougahara-san dan aku.

Apa dia tahu, sama seperti saat Senjougahara-san dulu dapat julukan ‘siswi kelas atas’, dia dijuluki ‘si pendiam bisu’?

Dibandingkan situasi Araragi-kun, aku masih memiliki teman.

Teman yang bergaul denganku dengan baik.

Tapi, saat aku memikirkannya dengan lebih seksama, aku belum pernah menginap di rumah teman sebelumnya.

Aku belum pernah mengalami pengalaman ‘menginap’, seperti yang disebut tadi — hmm.

Sekarang kucoba pikirkan lagi, kenapa seperti ini.

Meski aku benci menghabiskan waktu di rumah, aku tidak pernah sungguh-sungguh berusaha ‘melarikan diri’ —

Araragi-kun mungkin akan berkata begini, itu karena kau murid teladan, dan kelihatannya memang benar, agaknya pandangan Senjougahara-san ada benarnya juga.

Soal,

"Apa kau pernah bilang, ‘bantu aku'?"

Tidak terbatas pada Araragi-kun saja.

Mungkin mencari bantuan dari orang lain memang sesuatu yang tidak bisa kulakukan — aku tidak suka membayangkan mempercayakan sesuatu yang menentukan seperti ini ke orang lain.

Aku tidak mau melepas hak suaraku.

Aku ingin mengartikan hidupku sendiri.

Itu sebabnya — aku menjadi kucing.

Aku menjadi si fenomena ganjil.

Aku menjadi aku.

"Yah, kurasa aku tidak apa-apa. Dasar nasib, aku tahu ke mana harus pergi. "

Demi menghibur diriku, aku mengatakan ini dengan kesan tidak cukup bila hanya bicara pada diri sendiri, kemudian berangkat. Satu-satunya barang bawaanku adalah tas yang kubawa ke sekolah — karena hari pertama pembukaan ajaran baru aku hanya membawa alat tulis, buku catatan dan lain-lainnya yang tidak penting, tapi sekarang, hanya mereka hartaku.

Perasaan ini bagaikan Anne Shirley, dengan tas tunggalku yang berisi semua keberuntungan milikku, mengartikan tidak benar kalau aku tidak bermuka tebal menikmati situasi saat ini, jadi kurasa, sebagai pribadi, aku tidak begitu serius menjalaninya — dan tempat dimana aku ‘kan pergi — tentu saja,

reruntuhan gedung bimbel yang kita semua sudah tahu.

Tampaknya dulu namanya Bimbingan Belajar Cerdas Mulia saat masih beroperasi.

Ini adalah tempat dimana Oshino-san dan Shinobu-chan pernah tinggal selama tiga bulan — , dan Araragi-kun selama liburan musim semi, terlepas dari penampilannya yang rusak, pastinya tempat itu punya fasilitas memadai ‘tuk menetap semalam

Bagaimana ya mengatakannya.

Paling tidak aku ‘kan bersyukur dapat lantai ataupun atapnya.

Cukup jauh dengan berjalan kaki, tapi kuputuskan untuk berhemat mulai dari sini, aku tidak akan naik bus.

Dulunya, Oshino-san menempatkan penghalang disana hingga tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya sekeras apapun mencoba, tapi sekarang itu sudah disingkirkan.

Jika berjalan sepanjang rute ini,

Harusnya sudah sampai disana.

Tentu saja, tidak ada listrik, jadi aku harus buat tempat tidurku saat matahari masih tampak.

Oshino-san dan Araragi-kun membuat tempat tidur mereka dengan mengatur meja dan kursi, bukan?

Kalau begitu, aku pun harus mengikuti teladan mereka.

Melewati pagar dan memasuki reruntuhan, hal pertama yang kulakukan adalah menaiki tangga menuju lantai empat, aku pilih lantai empat karena aku dengar dari Araragi-kun kalau Oshino-san sering tinggal di lantai itu.

Ditilik dari penghuni sebelumnya, kurasa lantai empat lebih bisa ditinggali daripada lantai lainnya — aku sudah pasrah dengan tusukan tajam ini.

Tapi daripada mendekati yang dibayangkan, malah sepenuhnya salah.

Ruang kelas pertama yang kumasuki di lantai empat memiliki lubang di langit-langitnya.

Ruang berikutnya lantai yang rusak.

tidak ada lantai, tidak ada langit-langit ...

Sesuatu pasti terjadi di kelas terakhir, seolah-olah ada binatang yang mengamuk di sekitar ruangan — kalau kubilang, seakan Araragi-kun dan Mayoi-chan diizinkan mengamuk sebanyak yang mereka ingini.

Aku merasa menyesal dengan keterburu-buruanku.

Tidak harus separah ini ...

Saat pertama kali aku putuskan akan tinggal di rumah teman, reruntuhan ini sebenarnya sudah ada di pikiranku, tapi ini barangkali lingkungan yang parah dari yang kubayangkan.

Dengan senyum terpaksa dan berusaha semampuku menyemangati diri, aku turun ke lantai tiga — kelas pertama yang kumasuki di lantai ini kurang terawat di langit-langit dan lantainya.

Tampaknya lubang di langit-langitnya terhubung ke kelas di lantai empat yang baru aku lihat sebelumnya — apa yang terjadi di sini, sungguh? Dari rona di tepi lubangnya, seperti baru hancur baru-baru ini...

Para pemeriksa gedung gempa pasti akan merasa jatuh ke dalam kebingungan yang cukup besar, kalau memang lubang ini runtuh dengan sendirinya.

Dengan jantung berdebarku, aku menantang yang berikutnya, dan akhirnya, aku tiba di kelas yang mempertahankan penampilan normalnya, lantai, langit-langit serta dinding.

Tapi masih terlalu dini merasa lega, dan aku segera bekerja membuat tempat tidur. Ini terasa seperti berkemah dengan pramuka saja, pikirku, tapi tentu saja, aku tidak pernah bergabung dengan Pramuka.

Tahu apa yang kau tahu.

Itu bukan pengalaman.

Seperti yang Senjougahara-san pernah katakan.

Itu akumulasi dari pengetahuan, dan bersamaan dengan itu aku terakumulasi kesia-siaan.

Sebenarnya, mengikat meja yang ada satu sama lain untuk membuat tempat tidur, meski sepele, bukan tugas yang sederhana. Tapi aku tidak punya tali untuk mengikat. Aku meninggalkan reruntuhan sejenak dan pergi ke toko terdekat untuk membeli beberapa hal.

"Baiklah, selesai. Oshino-san menggunakan satu meja lebih untuk tempat tidurnya, tapi aku tidak setinggi dia, jadi ukuran segini sudah cukup. "

Menyenangkan, ya. Membuat sesuatu.

Aku berpikir membuat tempat tidur itu bagian dari usaha kerasku — tergiur ‘tuk mencobanya, aku tidak bisa menahan dan berbaring, masih dengan seragam yang kukenakan.

"Wah."

Ini tidak berhasil.

Setinggi harapanku yang membubung tinggi, patah hati yang kurasakan sungguh ekstrim.

Benar-benar tidak berhasil.

Aku benar-benar merasa dikecewakan.

Tidak ada bedanya antara ini dan tidur di lantai.

Ekspresiku menjadi kasar.

Percaya bahwa coba satu-demi-satu itu penting, aku pun benar-benar mencoba berbaring di lantai, dan benar-benar terasa tidak ada banyak perbedaan.

Tidak, yang sebenarnya itu, dengan jumlah sendi yang ada dalam tubuh manusia, lebih sulit untuk tidur di meja.

Betapa menakutkan dirimu, Oshino-san.

Dia mungkin sanggup tidur di tempat tidur paku.

Aku coba memikirkan bagaimana Araragi-kun dan Shinobu-chan melakukannya, tetapi mengingat Shinobu-chan adalah seorang mantan vampir dan Araragi-kun yang telah jadi vampir tinggal di sini, itu tidak bisa dijadikan referensi.

Aku sama sekali tidak punya gambaran bagaimana vampir bisa tidur dengan nyamannya kalau mereka saja bisa tidur di peti mati yang sempit.

"Kasur. Aku butuh selimut ... "

Mengatakan ini, aku meninggalkan reruntuhan sekali lagi.

Aku pergi, membawa dompet berisi uang tunaiku di dalamnya — bukan seakan-akan aku ini tidak bisa pergi dan membeli sesuatu, ya.

Selain itu, ada banyak kebutuhan penting untuk dibeli selain dari pita vinil, dan seharusnya tidak butuh usaha dan waktu yang lama buat menentukannya— hanya saja, pada titik ini, aku bahkan sampai memangkas uang tiket bus, jadi mana mungkin aku bisa beli selimut hangat Hanage, jadi aku harus menyiapkan alternatifnya.

Pada topik ini, aku baca di beberapa buku dan koran, majalah atau kardus bisa dipakai untuk menghangatkan diri. Aku harus bisa mendapatkan kardus di department store secara gratis.

Mengingat banyaknya ini dan itu yang harus kubeli, setidaknya aku harus pulang naik bus, tapi persis saat itu juga, aku langsung menyerah. Memangkas sesuatu yang padahal aku sendiri butuhkan adalah ide buruk.

Kemiskinan telah menumpulkan akal sehat.

Betapa indahnya kata-kata itu.

Dan itu sebabnya aku berjalan.

Aku berjalan, perlahan-lahan.

Selangkah demi selangkah, dengan tegas.

Makanan adalah hal yang mesti diamankan, juga air, dan hal-hal lain yang sifatnya mutlak. Aku akan memakai kardus sebagai kasur dan surat kabar, bukan majalah, sebagai penutupnya. Merobek halaman akan jadi pokok penting kalau menggunakan majalah, dan aku pikir aku tidak bisa melakukannya. Kalaupun menggunakan majalah, aku punya resistensi[1] terhadap menghancurkan suatu bahan bacaan. Pada titik ini, surat kabar sudah terselesaikan dan disepakati.

Dan pakaian.

Aku tidak bisa tidur memakai seragamku — Araragi-kun sepertinya berpikir kalau aku tidak pernah mengganti pakaianku, tapi ini tidak benar, tentu saja.

Kedua orang itu tidak berlaku seperti orangtua tunggal padaku, juga mereka tidak lalai, kok.

Mereka berbuat seadanya.

Mereka berbuat seolah-olah memenuhi kewajiban tertentu.

Paling tidak, mereka membelikanku pakaian — hanya saja aku tidak berniat memakainya.

Yah, semuanya sudah terbakar kok sekarang.

Setelah terbakar, semuanya menjadi kosong.

Rasanya seolah-olah aku sudah direset.

Ya - meskipun itu, sebenarnya, kecerobohan dari pihakku, aku tidak bisa menyangkal kalau aku sedang dalam suasana hati yang galau.

Tentu saja, bilangnya galau tapi sebenarnya bohongan.

Tidak — ada yang direset.

Situasi ini tak lebih dari tempat perlindungan sementara.

Sesuatu yang sudah hilang tidak bisa dibuat menjadi sesuatu yang belum pernah.

Berjalan di sekitar deretan department store, aku melihat pakaian ternyata merupakan barang yang cukup mahal. Aku naik bis saja, tapi mungkin aku ke Uniqlo dulu... saat sedang memikirkan ini, toko seratus-yen tetangga tiba-tiba muncul dalam pandanganku.

Bagaimanapun, aku pikir datangi saja dulu, aku sudah punya firasat datang ke sini, dan ternyata benar. Sudah barang tentu, sulit sekali menemukan piyama (-bergaya sweater) dengan seratus yen, tapi untungnya, pakaian dalam dijual dengan harga segitu.

Aku membelinya tanpa ragu-ragu sedikitpun dan menyelesaikan belanjaanku.

Sementara aku berpikir tidak bisa memamerkan pakaian dalam dari toko seratus yen ini pada Araragi-kun, aku melangkah ke bis untuk pulang seperti yang direncanakan, dan kembali ke gedung bimbel.

Oshino-san tidak tidak bilang kalau ini mengganggunya kalau aku tinggal di sini, tapi karena ia seorang manusia dan bukan vampir, aku merasakan perasaan kekaguman yang aneh, heran apa dia benar-benar melalui tiga bulan penderitaan ini.

Di kelas lantai tiga, aku mulai memperkuat tempat tidur. memotong karton dengan pisau cater, aku menggunakan pita pengepak untuk membungkus dua alas di atas meja. Kau mungkin berpikir, tidak peduli berapa banyak aku tempatkan di atasnya, kardus tetaplah kardus, tapi ini lebih dari sangat nyaman, kok. Aku membungkus lapisan lain kardus untuk memastikannya, dan menyelesaikan tempat tidurku.

Seluruh pekerjaan ini membuatku cukup lelah, aku harus makan (malam).

Makanan yang kubeli adalah makanan yang diawetkan, jadi tidak perlu dimasak.

Tentu saja,

"Itadakimasu."[2]

Aku tidak lupa dengan kata-kata ini.

Meski itu hanya makanan yang diawetkan, kalau kau mengurut hingga ke sumbernya, ada pengorbanan kehidupan di sana, di suatu tempat.

Setidaknya itulah yang kupercaya, jadi, terima kasih.

Walaupun, bila itu bukan makhluk hidup, ia tetap menjadi bagian dari darah, dan tulang-tulangku, jadi aku akan menerimanya dengan puji syukur.

Hidup ini berharga.

Bahkan jika ia tidak lagi hidup.

Tapi, sudah tertebak, makanan semacam ini pada akhirnya membosankan, jadi barangkali cepat atau lambat aku akan beli kompor dan teko. Meskipun ini seharusnya menjadi tempat tinggal sementara sampai kedua orang itu menemukan rumah untuk disewa, karena mereka berdua sibuk dengan pekerjaan, situasinya mungkin berubah menjadi aku akan tinggal di sini dalam jangka waktu yang cukup lama.

"Aku bisa menggunakan kamar kecil dan kamar mandi di sekolah ... kalau aku kesana, aku bisa mengecas ponselku di sekolah juga. Aku bisa belajar di ruang perpustakaan atau ruang membaca. Itulah yang ada ... "

Beberapa hal mungkin akan jadi masalah, aku terus mengeceknya satu persatu — dan segera menemukan langkah-langkah antisipatif dari tap-tiap kemungkinan masalah yang muncul.

Agaknya dengan melakukan hal ini, daripada aku tidak begitu cakap menggagas rencana karena stres kehidupanku mulai saat ini, aku lebih seperti bekerja keras untuk menyatakan bahwa aku tidak merasa terganggu karena kebakaran rumah itu.

Aku melakukan ini, menyesuaikan diriku dengan situasinya.

Seolah-olah aku baru menyelesaikan sebuah paradoks.

Ini memang seperti diriku.

"Mm, enak."

Bicara soal musim, ini masih puncak musim panas jadi matahari bergerak lebih lambat, tapi keadaan menjadi gelap gulita tanpa aku sadari, jadi aku mengganti pakaianku ke baju tidur dan pakaian dalam yang kubeli di toko tadi, dan beranjak ke tempat tidur yang kubuat tadi.

'lumayan nyaman' bukan kata yang cukup tepat menggambarkannya.

Meski demikian, ini merupakan misteri bahwa kenyataannya aku merasa tidur lebih lelap dari saat aku tidur di lorong rumah.



Catatan Penerjemah[edit]

  1. Resistensi : perasaan tidak tega
  2. Itadakimasu : ucapan selamat makan.


Balik ke 006 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke 009