Oregairu (Indonesia):Jilid 5 Bab 4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 4: Sayangnya, Tidak Ada yang tahu Mengarah Kemana Benang Merah Hiratsuka Shizuka[edit]

4-1[edit]

Apa makanan terhebat dari semuanya?

Kari, shabu shabu, sushi, soba, sukiyaki, tempura, yakiniku, atau manisan?

Jawabannya: Bukan salah satu di atas.

Kenapa? Karena ramen adalah yang terhebat dari semuanya.

Ramen.

Itu adalah salah satu dari banyak makanan lezat yang akan diakui sebagai teman terhebat mereka oleh siswa SMA manapun.

Makanan pertama yang muncul di pikiranmu ketika kamu risau apa yang ingin kamu makan? Ramen.

Ingin mampir di kedai ramen setelah sekolah? Diterima.

Ingin mencari kedai baru setelah berbelanja sedikit? Diterima.

Ingin memasak ramen dan menyeruput supnya di tengah malam karena lapar? Diterima.

Tapi pergi ke kedai ramen untuk kencan sepasang kekasih?

Tidak diterima.

Berhenti mengoceh-ngoceh di meja konter. Kalian sadar ada orang yang akan duduk di sana setelahnya, bukan? Pergi lakukan hal-hal sentimentil itu di Starbucks favorit kalian. Berhenti berceloteh tentang kisah cinta kalian di meja konter kedai ramen. Tolong, tolong pikirkan orang yang harus berdiri di belakang kalian dan mendengarkannya.

Kamu tahu apa ramen aslinya? Itu adalah sesuatu yang dimaksudkan untuk dimakan sendirian.

Supnya akan dingin dan mienya akan lembek kalau kalian terus berbincang-bincang.

Itu menjelaskan kenapa “Sistem Fokus Rasa” Ichiran—sistem dimana setiap tempat duduk dipisah ke dalam biliknya masing-masing dan bagian depannya ditutup dengan sebuah spanduk yang menghalangi pandanganmu ke dalam dapur—adalah sebuah penemuan besar dalam dunia ramen. Dulu, mereka menuliskan “Sedang mendaftarkan hak paten”, tapi aku ingin tahu apa mereka berhasil mendapatkan paten tersebut.

Aku sedang melantur.

Singkatnya, ramen itu cocok bagi seseorang sepertiku.

Satu mangkuk agung yang menyembuhkan jiwa bangsawanku yang mematuhi isolasi.

Mereka menyebutnya, ramen.

4-2[edit]

Aku melewatkan waktu makan siangku karena aku bangun lebih telat dari yang seharusnya, situasi yang sering kudapati selama liburan musim panas ini.

Karena aku bercita-cita menjadi seorang bapak rumah tangga, inilah saat dimana aku seharusnya memasak makananku sendiri.

Orang yang berpikir begitu sungguh polos.

Ibu rumah tangga yang sesungguhnya akan menyodorkan lima ratus yen pada suaminya untuk makan siang mereka dan menghabiskan sisa uang suami mereka untuk menyantap makanan mewah mereka. Ini mungkin prasangka dariku. Tapi begitulah jenis bapak rumah tangga yang kuidamkan. Aku juga ingin menerima uang tunjangan perceraian setelah bercerai.

Dengan impian untuk menjadi seorang bapak rumah tangga, aku meniru ibu rumah tangga yang kusebut tadi dan memutuskan untuk pergi keluar menyantap makan siang yang mewah. Baru-baru ini, aku kaya karena alkemiku yang mempergunakan uang beasiswa les sekolahku. Aku adalah sang Alkemis Recehan.

Ayo makan ramen untuk makan siang hari ini. Sekarang setelah aku memutuskan makanan pilihanku, perutku tidak berselera memakan apapun selain pilihan tersebut.

Chiba adalah pusat pasar ramen yang kompetitif.

Pasar yang bersaing terdapat di stasiun Matsudo, Chiba, Tsudanuma, dan Motoyawata. Baru-baru ini, kedai ramen terakreditasi-B oleh pencicip makanan seperti Ramen ala-Takeoka dan Katsuura Tantan Men telah memasuki persaingan, membuat tempat itu adalah hot spot yang dikenal secara nasional.

“Kedai-kedai yang dikenal orang” semacam itu sangat stabil, tapi setelah kamu terbiasa dengannya, kamu harus beranjak dan mencari kedaimu sendiri.

Setiap kali kamu keluar makan dengan seseorang, kamu harus mencocokan seleramu dengan selera mereka, membuatmu mengatakan hal-hal sok tahu seperti, “Hei pak, aku tahu tempat bagus ini, hebat eh? Fuhihi.” Ini membuatmu tidak bisa mulai berpetualang seperti seorang petualang.

Tapi sendirian, kamu bisa memasuki sebuah kedai tanpa harus memikirkan basa basi tersebut. Jiwa petualang itulah yang menuntunmu pada penemuan baru dan pengembangan selera kulinermu.

Dengan kata lain, seorang penyendiri selalu penuh dengan jiwa pionir dan merupakan seorang petualang zaman modern dengan semangat dan gairah seorang penantang.

Maka dari itu, untuk hari ini, aku telah menetapkan untuk menuju sebuah kedai ramen di lingkungan ini yang jarang kumasuki. Persis seperti kata orang semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak, menuju ke tempat tak diketahui yang bisa kamu capai merupakan sebuah strategi yang menabjubkan. Itu adalah psikologi terbalik terhadap logika orang dari Tokyo yang tidak pergi ke Tokyo Tower.

Untuk beberapa saat, bus ini berguncang kesana-kemari.

Setelah sampai pada tujuanku, Kaihin Makuhari, aku berjalan. Tidak melakukan apapun selain berjalan.

Karena tempat ini adalah suatu tempat aku berkeluyuran tanpa tujuan pada saat pulang dari sekolah, ada satu kedai yang sudah kuintai selama beberapa saat sekarang, suatu kedai baru yang ingin kujelajahi.

Aku berjalan dengan lesu ke kedai tersebut sambil dipanggang di bawah terik matahari musim panas.

Kelembaban yang tinggi ini sangat menjengkelkan, tapi seakan mengusirnya, suatu suara timbre yang menyegarkan mengisi tempat tersebut.

Yang berasal dari lonceng sebuah gereja adalah dentingan bernada tinggi.

Tempat ini dipenuhi jajaran hotel mewah dengan banyak aula pernikahan. Pada salah satu aula tersebut, suatu upacara pernikahan sedang digelar.

Suatu suasana yang meriah menguasai sekelilingnya dan muncul dari balik pagar tersebut adalah suara-suara yang meneriakkan restu mereka.

Sebenarnya ini yang pertama kalinya aku melihat sebuah pernikahan, jadi aku memutuskan untuk mengintipnya.

Saat melakukannya, aku melihat kebahagiaan seakan kebahagiaan itu secara fisik tervisualisasi ke dalam sebuah gambar. Tapi, hmm, aku bisa melihat sejenis noda hitam pada sudut pandanganku…

Aku menggosok mataku dan membelalakan mataku untuk melihat dengan lebih cermat. Jangan terpusat pada satu titik, pandang semuanya tanpa menatap, dan itulah apa yang dimaksud dengan “untuk melihat”… Aku mematuhi ajaran dari Takuwan Oshou [1] dan memandang dengan lebih cermat pada noda hitam tersebut.

Sosok itu dibalut dengan warna hitam dan cuma satu-satunya yang memancarkan aura seorang pecundang. Dan sekarang, warna hitam tersebut sedang menyerap cahaya dari sekelilingnya, bahkan mengubah sinar dari matahari. Di dalam dunia kebahagiaan tersebut, hanya satu tempat yang dililit dengan keyakinan yang menyerupai dendam. Belum dibilang, ia sedang bergugam dengan suara pelan, “Pergi ke neraka, aaaamen…”[2]

Ya, itu pasti seseorang yang kukenal…

“Sekarang kalau kamu bisa segera bergegas menikah.”

“Aku yakin pasti selanjutnya giliran Shizuka-chan!”

“Hei Shizuka-chan, aku berhasil menemukan satu orang baik lagi. Aku yakin ini pasti akan berjalan dengan baik kali ini, jadi apa kamu mau mencoba bertemu dengannya?”

“Shizuka. Kamu tahu, ayah sudah menyisihkan uang untuk cucu kami…”

Untuk setiap komentar baginya, bintik noda kehitaman itu akan bergetar. Tekanan spiritualnya … menghilang…?

Aku rasa aku mungkin sedang menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak kulihat. Aku segera memalingkan pandanganku dan mulai berjalan pergi seakan aku tidak melihat apapun.

Tapi kamu jangan lupa.

—–Kalau kamu menatap lama ke dalam jurang tiada ujung, jurang tersebut juga akan menatap ke arahmu…

“Hi-Hikigaya!”

Tiba-tiba, bintik noda hitam itu meneriakkan namaku.

Pasutri yang lebih tua di dekat suara itu mengamatiku. Aku secara insting membungkuk balik. Dan kemudian mereka membalasnya dengan bungkukan mereka sendiri. Apa-apaan, apa ini dihitung sebagai bertemu orangtuanya juga? Apa satu-satunya pilihanku disini adalah untuk bertanggung jawab dan menikahinya…?

Noda hitam itu berpaling kembali pada pasutri tersebut dan berkata dengan cepat,, “O-Oh, yang di sana itu anak bermasalah! A-aku ada pekerjaan yang harus kutangani, ja-jadi aku pergi dulu sekarang!”

Noda itu berlari ke arahku selagi hak tingginya mengetuk lantai.

“Hikigaya! Kamu datang di saat yang tepat! Kamu menyelamatkanku!” kata noda hitam itu. Dilihat lebih cermat, noda itu adalah seorang nona cantik yang lebih tua yang mengenakan gaun hitam. Dia mengenggam tanganku dan kami meninggalkan tempat itu.

“Huh? Tunggu sebentar, permisi…”

Ketika seorang nona cantik yang lebih tua mencengkram tanganmu, pilihan apa yang bisa kamu ambil selain ikut pergi bersamanya dengan patuh?

Untuk beberapa saat, kami terus berjalan. Sesaat setelah kami berbelok pada simpang menuju ke sebuah taman, kami akhirnya berhenti.

“Phew… Kelihatannya kita berhasil kabur untuk sekarang…”

Nona itu mengelus dadanya saat dia menghela lega.

Gaun pesta hitamnya membentuk lengkungan yang elegan dengan alur tubuhnya dan selendang bulu lehernya menyelimuti tengkuk putihnya. Rambut terikatnya berwarna hitam berkilau seakan rambutnya disesuaikan bersama dengan gaunnya. Tangan yang mencengkramku mengenakan sarung tangan hitam yang sesuai dengan gaunnya itu mengejutkannya lembut.

“Um…”

“Hm? Ahh, maafkan aku. Aku membuatku kaget, bukan?”

Nona cantik modis itu tersenyum dan membawaku menuju sebuah bangku. Dia kemudian mengeluarkan sebatang rokok dari tasnya dan mulai mengetuknya untuk mengetatkannya.

Itu adalah gaya seorang bapak tua yang bertolak belakang dengan penampilannya.

Dia menyalakan mancis seratus yennya dan dengan perlahan menyulut rokoknya.

Aku sepenuhnya ternganga karena betapa berbedanya dia terlihat sesaat barusan, tapi tidak mungkin aku bisa salah mengenalnya sekarang.

Hiratsuka Shizuka, penasehat klub Servis.

Ohh, dia sebenarnya sangat cantik kalau dia menyempatkan waktu untuk berdandan…

“Um, apa tidak masalah kamu pergi seperti itu? Bukankah itu upacara pernikahan?”

“Aku yakin mereka tidak akan keberatan. Aku meninggalkan kado ucapan selamatku pada mereka.”

“Bukankah ada pesta setelahnya atau semacamnya?”

“Ada apa denganmu? Kamu sedang amat pengertian, ya?”

“Bukan, itu acara yang penting, bukan?”

“…Phew. Itu upacara sepupuku, jadi mereka tidak akan memerlukanku.” Hiratsuka-sensei memalingkan pandangannya dengan sedih dan dengan rokoknya menggantung pada mulutnya, dia bergugam lagi. “Sedari awal aku tidak ingin pergi. Aku harus menghadapi sikap pengertian sepupuku yang lebih muda, bibiku selalu berbicara tentang pernikahan, dan orangtuaku yang ribut… Untuk apa memberi kado ucapan selamat kalau aku harus mendengar sanak saudaraku mengomel…”

Dia mengeluarkan rokoknya dengan helaan yang panjang, panjang sekali dan menghancurkannya dengan tangannya.

Tidak banyak yang bisa kukatakan sekarang…

Ketika suasananya menjadi anehnya hening, Hiratsuka-sensei mengubah suasana hatinya dan bertanya, “Jadi, apa yang sedang kamu lakukan di sekitar sana?”

“Aku sedang pergi untuk memakan ramen.”

“Ramen, huh? Kenapa tidak terpikirkan itu olehku?” kata Hiratsuka-sensei dengan lonjakan energi yang tiba-tiba. Mata yang sayu barusan sekarang penuh dengan semangat.

“Pas sekali, dengan semua resepsi yang harus kutangani, aku jadinya melewatkan makan siangku… Cocok, aku akan ikut denganmu.”

“Ya, kurasa aku tidak keberatan.”

Mmkei, di sini aku akan menuntunnya, jadi aku mulai berjalan. Hiratsuka-sensei mengikuti di belakangku, sepatu haknya mengetuk lantai dengan ribut. Dipikir lagi, penampilan orang ini benar-benar menyolok! Lihat saja betapa banyak perhatian yang dia dapatkan!

Ketika kita keluar memasuki jalan yang lumayan padat, pandangan dari orang-orang di sana tertuju pada kami. Melihat betapa menyoloknya penampilannya, juga terlihat cantik dan sebagainya, kamu hanya tidak bisa menahan diri untuk tidak melihatnya.

Namun, orang tersebut, kelihatannya tidak keberatan karena dia berbicara padaku seperti biasa. “Kudengar kamu memberi beberapa nasehat pada seorang calon adik kelasmu. Aku tidak menyangka kamu benar-benar melanjutkan tugas Klub Servis biasamu selama liburan, aku terkesan.”

“Anda keliru. Bagaimana pula anda bisa tahu itu…?”

Nah, itu baru menakutkan bagaimana kamu bisa mengetahuinya…

“Aku diberitahu oleh adik kecilmu.”

“Kapan persisnya kalian berdua menjadi begitu dekat…?”

Garis Komachi yang melibatkan kenalanku bukan sesuatu yang bisa ditertawakan.

Bukankah ini sudah garis ABCD [3] sekarang? Apa aku sebaiknya menguatirkannya? A untuk “anak gadis bodoh” Yuigahama, B untuk “buasnya Hiratsuka-sensei”, C untuk “cantiknya Komachi!”, dan D untuk “dak tahu, siapa dia lagi?” Kawa-entahapa-san… Kalau kita mendapat sanksi ekonomi, kita sebaiknya melawan balik dengan mentalitas disanksi.

“Dia itu adik yang baik. Terkadang, aku rasa aku akan senang bisa mendapat adik seperti itu. Oh, aku tidak memaksudkan apapun di baliknya.”

“Mempertimbangkan perbedaan usia kalian, kalau pun terjadi suatu kesalahan, kalian malah akan lebih mirip ibu dan anak, bla, bla…”

“Hikigaya…”

Sial, dia akan meninjuku… Aku secara refleks memejamkan mataku dan menyiapkan tubuhku.

Tapi tinju tidak dilancarkan ke arahku. Aku membuka mataku karena penasaran dan Hiratsuka-sensei terlihat depresi.

“Saat ini lelucon seperti itu menyakitkan…”

“Ma-maafkan aku!”

Cepat seseorang! Cepat seseorang nikahi dia! Kalau tidak ada yang menikahinya, akhirnya aku yang akan menikahinya! Tolong seseorang lakukan sesuatu untuk dia.

4-3[edit]

Sekarang sudah mendekati akhir Agustus, tapi masih sedikit panas untuk berjalan di luar, melihat kulitku yang digoreng di bawah sinar matahari.

Tapi dengan angin yang berhembus melewati tempat ini yang menghadap jalan di sepanjang pesisir, aku merasa agak sejuk.

Itu membuat berdiri di luar kedai terasa lebih nyaman dari yang seharusnya.

Akan memakan sedikit lebih lama lagi sebelum kami dapat memasuki kedai itu, tapi karena aku pandai dalam menghabiskan waktu, itu bukan suatu masalah. Aku juga pandai membuat orang lain merasa malu dan juga menekan gelembung plastik. Berdasarkan yang di atas, aku menduga bahwa setelah aku terjun ke dalam masyarakat, aku akan menjadi ahli penghancur pemula, tapi karena mereka terlalu kasihan, aku pasti tidak akan bekerja.

Aku melakukan sedikit observasi manusia dan aku dapat melihat seorang pria di depan yang berusaha keras berbicara dengan suara keras, dua orang yang kelihatannya mahasiswa yang sedang membuat suasana sepasang kekasih yang sedang berkencan, dan sebagainya. Setelah menyerah, kali ini, aku mencoba untuk membayangkan situasi seperti yang berikut : “Kalau aku berhasil memulai sebuah bisnis ramen dan stasiun TV datang padaku untuk wawancara, bagaimana sebaiknya aku menjawab mereka?”

…Untuk sekarang, aku berencana untuk memperkenalkan teknikku sebagai sebuah keahlian rahasia yang diturunkan, dari zaman leluhur, menamainya sebagai “Tsubame Gaeshi” dimana aku akan mengoyangkan mienya dengan kuat untuk mengeringkannya, naik-turun dan kiri-kanan. Dan setelah kedaiku popular, aku akan membuka sekolah les ramen, merampas uang dari orang-orang yang berimpian untuk melepaskan diri mereka dari kehidupan pegawai dan memulai sebuah bisnis.

Selagi aku memikirkan tentang hal-hal ampas ini, aku dapat mendengar suatu helaan lembut yang menyerupai tawa.

“…Kenapa?”

Aku memasang tampang mencela pada pemilik helaan itu, Hiratsuka-sensei, dan dia membuka mulutnya sambil tersenyum masam. “Tidak ada apa-apa, aku cuma sedikit kaget. Aku menyangka kamu akan membenci kerumunan dan antrian.”

“Aku benci. Kerumunan kacau-balau yang kubenci. Kalau antrian, yah, aku sedang mengantri dengan benar, kan? Aku bukan orang tolol yang memotong antrian.”

Kenyataannya, aku tidak begitu membenci antrian. Aku rasa alasan kenapa sebagian besar orang tidak menyukai antrian adalah antara itu terasa seperti buang-buang waktu, mereka tidak banyak menyelesaikan sesuatu dengan berdiri-diri di sana, atau mereka tidak bisa membuat percakapan yang baik ketika mereka bersama dengan seseorang. Kalau kita mempertimbangkan legenda modern dimana pasangan akan putus ketika mereka pergi ke Destinyland, bukankah itu karena antrian sejenis ini yang menyebabkan terlihatnya perbedaan nilai sosial mereka dan rasa jengkel mereka?

Jadi mengenai hal tersebut, aku diberkati dengan waktu yang teramat banyak dan tidak akan pernah bosan karena kemampuan berpikirku yang berlebihan; singkatnya aku bergerak di atas kaki sendiri. Hati bajaku tidak akan goyah oleh sesuatu yang sepele seperti antrian.

Kalau mengenai kerumunan kacau balau, itu penuh dengan bangsat yang tak punya aturan dan tak beradab dan aku hanya tidak tahan melihat mereka di dekatku atau bahkan berjalan mendekatiku.

“Mengejutkannya kamu itu orang yang bersih, ya?” kata Hiratsuka-sensei, terkejut atas pernyataanku.

“Itu tidak benar. Aku tidak begitu pandai kalau berbicara soal bersih-bersih.”

Kamarku sebenarnya kotor. Kalau kamu menjuluki kamarku dengan “Urbanisasi” atau “Masa Depan Bumi”, tempat itu akan menjadi dasar untuk menilaiku setelah aku meninggal.

“Aku bukan sedang membicarakan soal kebersihanmu atau higenitasmu, tapi etikamu. Tentu saja, etika itu hanyalah apa yang kamu miliki di dalam dirimu.”

“Bukankah itu secara teknis kamu menyebutku bocah tolol yang egois dan egosentris?”

“Aku sebenarnya sedang memujimu. Itu bagus bahwa kamu telah mengembangkan nilai-nilai yang benar untuk menilai sesuatu.”

Dia membuatku terdiam di tempat ketika dia menampilkan tampang menawannya padaku. Maksudku, sedari awal aku benar-benar tidak pernah memiliki niat seperti itu. Aku berpaling dan bergugam, “Aku cuma sungguh tidak menyukai orang yang ribut…”

“Ayo kita bersenang-senang, inilah saat-saat dimana kita paling bersinar!” Persisnya pada siapa mereka mengatakannya dan pada siapa mereka sedang mencoba untuk mempromosikan diri mereka?

Mereka yang tahu senangnya kedamaian seperti membaca buku sendirian dengan hening atau bermain game di rumah entah bagaimana bisa melihat sia-sianya promosi diri mereka untuk bersenang-senang.

Aku benci orang yang salah dengan percaya bahwa mereka dapat mengukur kesenangan mereka berdasarkan volume suara mereka dan jumlah orang yang bersama dengannya tidak peduli betapa salahnya itu. Dan seakan kerumunan besar dan acara-acara adalah saat terbaik untuk memamerkan diri, mereka bahkan akan menjadi lebih aktif. Aku tidak tahan melihat orang menipu dan berbohong pada diri mereka sendiri.

Kenapa mereka tidak bisa membuktikan sendiri kesenangan mereka dan menetapkan mana yang benar untuk mereka sendiri?

Alasan kenapa kamu tidak bisa berdiri dengan bangga adalah karena kamu tidak percaya diri. Sesuatu di dalam dirimu, dirimu yang kalem akan menyodorkanmu pertanyaan, “Apa ini benar-benar menyenangkan? Untuk mendorong pergi pertanyaan itu, kamu akan meletakkannya ke dalam kata-kata seperti, “Ini menyenangkan”, “Ini sudah semakin menyenangkan”, “Sekarang ini paling menyenangkan”, dan begitulah seterusnya. Kamu akan mengatakannya keras-keras. Dan kemudian, kamu akan meninggikan suaramu dan meneriakkannya keluar.

Aku tidak ingin terlibat dengan orang-orang seperti mereka. Aku tidak ingin berubah menjadi orang munafik yang menipu diri sendiri.

“Kalau begitu kurasa kamu tidak akan mengikuti festival kembang api.”

Kata-kata Hiratsuka-sensei memutuskan rentetan pemikiranku.

“Festival Kembang Api?”

“Ya. Kamu tahu soal itu, bukan? Festival yang digelar di menara pelabuhan. Apa kamu pergi?”

Ketika dia mengungkitnya, itu membuatku menyadarinya. Kalau itu festival kembang api di menara pelabuhan, maka itu pasti tradisi musim panas Chiba. Aku pernah pergi ke sana sebelumnya ketika aku masih kecil. Tapi saat itu, perhatianku lebih terfokus pada pusat jajanan daripada kembang apinya itu sendiri.

Tapi tinggal di tempat ini berarti kamu sudah bisa melihat tembakan kembang api dari stadium, lihatlah, Destinyland saja sudah menembakkan kembang api sepanjang tahun, jadi itu tidak begitu spesial.*

“Aku tidak ada rencana khusus ke sana, tapi bagaimana denganmu, sensei?” tanyaku.

Dia membuat helaan panjang. “Kurasa kamu bisa bilang itu pekerjaanku selama liburan musim panas. Tapi itu lebih akurat untuk mengatakan aku pergi ke sana untuk mengawasi orang daripada untuk menyaksikan kembang api…”

Aku menampilkan tampang yang meminta penjelasan padanya mengenai apa sebenarnya yang sedang dibicarakannya.

“Aku ditugaskan untuk mengawasi siswa-siswi. Termasuk selama festival dan sebagainya. Tapi sebenarnya tugas seperti ini biasanya diberikan pada guru-guru muda. Astaga, aku tidak ada pilihan lain untuk itu, hahaha. Karena, lihatlah, aku muda.”

“Kenapa anda terlihat begitu senang …?”

Suasana hati Hiratsuka-sensei sedang bagus dan dia melanjutkan seakan tidak mendengar gugamanku. “Kalau ada siswa yang berulah di luar kendali, itu akan menjadi masalah. Karena festival ini sebuah acara kota, akan ada beberapa VIP yang juga hadir.”

“VIP, huh?”

“Itu benar, keluarga seperti keluarga Yukinoshita seharusnya menghadirinya.”

Memang, keluarga Yukinoshita itu singkatnya merupakan selebritis local dan sebuah keluarga yang berkedudukan tinggi. Mereka memiliki kursi di DPRD dan juga memiliki sebuah bisnis local. Jadi mungkin saja mereka memberikan bantuan untuk acara ini. Kalau begitu, tidak mustahil kalau mereka diundang.

“Berbicara soal mereka, apa Haruno-san mantan siswi di sana?”

“Hm? Ahh. Itu benar. Aku yakin dia sudah akan tamat ketika kamu masuk. Dia tamatan dari SMA Sobu kita. Aku mengingatnya dengan cukup baik.”

Kalau dia tamat ketika aku memasuki sekolah ini, itu berarti kami beda tiga tahun. Jadi Haruno-san antara berusia sembilan belas atau dua puluh tahun. Dia tamat dua tahun yang lalu, huh…?

“Secara umum, nilainya berada di peringkat atas dan dia bisa menyelesaikan semua yang disodorkan padanya. Dan mempertimbangkan penampilannya, dia kurang lebih diperlakukan seperti seorang dewi oleh laki-laki.”

Itu terdengar seperti kisah orang yang sepenuhnya berbeda. Kalau dibilang, dia itu lebih mirip penyihir daripada dewi. Dewi dan penyihir. Mungkin mereka dulunya perwujudan yang setara, tapi oleh karena agama, mereka dipisah menjadi yang benar dan yang salah. Itu adalah lambang kedua gambaran tersebut.

“Tapi,” kata Hiratsuka-sensei, berhenti sejenak. Dengan tampang tidak senang, dia melanjutkan. “Dia bukanlah siswi yang istimewa.”

“Namun kedengarannya dia istimewa?”

“Dia istimewa. Tapi hanya dari segi nilainya saja. Dia ribut di kelas, seragamnya berantakan, dan kamu akan selalu menemukannya di festival seperti festival yang akan datang ini. Kamu bisa bilang dia suka keluyuran. Tapi juga karena itulah dia punya banyak teman.”

—Ahh, Aku bisa dengan mudahnya membayangkan melihat dia seperti itu. Sebagai seseorang yang begitu berwarna dan egois sepertinya, jiwa bebasnya yang membuat orang terpikat padanya.

“Tentu saja, itu juga…” Dia mendadak berhenti.

Aku melanjutkan kalimatnya. “Itu juga sebuah kedok, kan?”

“Hoh, jadi kamu menyadarinya?” Hiratsuka-sensei terlihat terkesan, atau malah, dia memasang senyuman yang dia buat ketika dia memberitahu suatu perasaan negatif tentang sesuatu.

“Aku bisa tahu dengan melihatnya saja.”

“Kemampuan observasi yang mengesankan.”

Kurang lebih. Itu adalah pendidikan khusus untuk para ampas yang kuterima dari ayahku.

“Namun, kedoknya itu adalah salah satu hal yang mempesona dari Haruno. Mereka yang menyadari kedok tersebut mulai untuk merasa suka dengan sifat penuh intrik dan penuh tekadnya.”

“Apa itu yang mereka sebut berkarisma?” kataku.

Hiratsuka-sensei mengangguk. “Ketika dia berperan sebagai Ketua Komite Panitia untuk Festival Budaya, kita mendapat jumlah siswa peserta terbanyak. Tidak hanya siswa, tapi bahkan staf pengajar juga terlibat … Dia juga membuatku memainkan bas untuknya.”

Sensei mengernyit, mengingat sesuatu yang tidak mengenakkan. Setelah dia menyebutnya, gaya rambutnya memang menyerupai salah satu bassist itu. Kupikir kami sedang membicarakan mengenai Klub Entahapa-On[4] atau semacamnya …

“Tapi kakak beradik itu terlihat amat berbeda dari satu sama lain.”

Kalau Yukinoshita menyerupai seorang siswi tamatan yang terdedikasi dengan penelitiannya, Haruno-san itu seperti mahasiswa yang terlampau sadar (hah) mengenai berbagai hal.

Omong-omong, aku paling membenci frasa seperti “terlampau sadar”, “menjadi senang”, “melibatkan semua orang”, dan sebagainya. Riajuu itu (hah) teramat suka mengucapkan hal-hal semacam itu. Mereka benar-benar harus berhenti terlalu sering menggunakan frasa singkat padat tersebut karena itu membuat mereka terlihat lemah.

Hiratsuka-sensei mengangguk, menyilangkan lengannya untuk berpikir. “Itu benar… Tapi aku tidak akan berkata dia harus menjadi seperti Haruno. Dia sebaiknya menjadi dirinya sendiri saja dan mengembangkan poin-poin bagusnya.”

“Poin-poin bagus…”

“Aku memberitahumu sebelumnya, seperti dia itu baik dan benar.”

Di masa lalu, Hiratsuka-sensei tentu menilai Yukinoshita Yukino seperti itu. Ditambah lagi, dia menyatakan bahwa itu sulit baginya utuk hidup seperti itu karena dunia itu tidaklah baik maupun benar.

Yukinoshita umumnya benar. Kalau mengenai apa dia baik atau tidak, aku masih merasa ragu, tapi kamu tidak bisa berkata dia itu tidak baik hanya karena dia itu tidak lembut.

Itu tidak masalah tidak bersikap baik denganku karena aku lebih ingin kamu memanjakanku saja. Gagasan bahwa bersikap keras itu suatu bentuk kebaikan? Tidak terima kasih …

Oh iya, orang ini juga berpikir seperti ini… Pikirku, dan ketika aku menatap ke arah Hiratsuka-sensei, dia sedang melihatku dengan tatapan hangat. “Kamu juga sama.”

Dia tersenyum padaku, tapi aku menanyakannya arti hal tersebut.

“Apa yang sama?”

“Kamu juga baik dan benar hanya saja kebaikanmu dan kebenaranmu tidak cocok dengan yang dimiliki Yukinoshita.”

Ini adalah yang pertama kalinya aku diberitahu sesuatu seperti itu. Tapi aku sama sekali tidak senang. Karena, aku selalu mempercayai kebaikanku dan kebenaranku sendiri. I-Itulah kenapa, a-aku tidak merasa senang atau semacamnya!

“Bukankah kebenaran yang tidak cocok itu cuma sebuah kontradiksi? Anda tahu apa yang selalu dikatakan Conan-kun, bahwa selalu hanya ada satu kebenaran.”

“Sayangnya, aku lebih tahu Conan dari Future Boy, bukan sang detektif terkenal itu,” kata Hiratsuka-sensei, menyeringai sambil menepis usahaku untuk menyembunyikan rasa maluku.

Persisnya setua apa orang ini, serius?

4-4[edit]

Setelah kami akhirnya bisa memasuki kedai itu, kami membeli tiket makanan dari mesin tiket.

Aku menampilkan mentalitas ladies first dan membiarkan Hiratsuka-sensei masuk duluan. Ketika pergi ke suatu tempat yang berbahaya atau tempat yang tidak kamu kenal untuk yang pertama kalinya, kamu harus memastikan itu aman dengan membiarkan wanita masuk duluan!

Hiratsuka-sensei menekan sebuah tombol tanpa berpikir panjang. Dia begitu gagah sampai aku rasa aku akan jatuh cinta. Setelah membeli tiket tersebut, dia berpaling ke belakang padaku dengan dompetnya masih tergengam pada tangannya . Um, bisa kamu cepat geser?

“Kamu mau yang mana?”

Jangan katakan dia ingin mentraktirku? Sekarang aku ingin memanggilnya abang. Meskipun aku sangat berterima kasih atas niatnya, itu tidak terlihat pantas untuk menerimanya.

“Ti-tiidak, aku bisa bayar sendiri.”

“Tidak usah malu-malu.”

“Tidak, maksudku, tidak ada alasan bagimu untuk mentraktirku,” kataku.

Hiratsuka-sensei memiringkan kepalanya karena penasaran. “Hm? Aku kira kamu jenis ampas yang cukup busuk untuk berpikir itu wajar bagi wanita untuk mentraktirmu…”

Parah sekali yang kamu katakan.

“Itu namanya cuma menjadi benalu… Apa yang kuidamkan adalah menjadi bapak rumah tangga!”

“A-Aku tidak paham perbedaannya…”

Hiratsuka-sensei terlihat bingung, tapi aku juga tidak begitu mengerti perbedaannya. Tapi hei, menjadi bapak rumah tangga terdengar jauh lebih baik dibandingkan menjadi seorang benalu, bukan? Yang penting, seorang guru yang membelikan makanan seorang murid tertentu tidak terdengar seperti suatu hal yang bagus bagiku. Menolak penawarannya disini akan menguntungkanku.

Sama seperti Hiratsuka-sensei, aku memilih tonkatsu, berjalan menuju meja konter dan duduk. Hiratsuka-sensei menyerahkan tiket makanannya dan menyatakan level kekerasan mienya.

“Tolong Kona-otoshi.”

“Ah, punyaku hari-gane,” kataku, mengikutinya. Tapi kamu tahu… Apa wanita benar-benar memesan dengan begitu lancarnya seperti ini di kedai ramen?

Tapi ada sesuatu yang menarik soal melihat wanita cantik modis di sebuah kedai ramen.

Kami mendapatkan perhatian yang jumlahnya tidak biasa, tapi Hiratsuka-sensei tidak terlihat begitu merisaukannya selagi dia mempersiapkan celemek kertas yang disediakan dengan wajah gembira dan memastikan posisi merica, biji wijen, wasabi, dan jahe merah. Hei, yang benar saja? Wanita ini begitu semangat melakukannya…

Mereka segera menyajikan pesanan ramen kami karena kelihatannya tidak perlu waktu lama untuk merebus mie kami.

Hiratsuka-sensei mengambil sumpit bambu dan menangkupkan tangannya bersama. “Terima kasih untuk makanannya.”

“Terima kasih untuk makanannya.”

Pertama, supnya. Suatu lapisan minyak menutupi permukaan ramen itu dan terlihat selembut keramik putih, menunjukkan padamu betapa kentalnya ini. Rempah-rempahnya menghilangkan bau minyaknya dan sup tonkatsu itu kental dan kaya citarasa.

Selanjutnya, mienya. Untuk sup yang begitu kental, mienya tipis dan lurus. Keseimbangan antara tekstur mie yang keras dan kemudahan untuk dikunyahnya bagus.

“Yep, lezat.”

Kami berdua menyatakan kesan sederhana kami dan kemudian menyeruput mie kami tanpa berkata-kata, menikmati sup tersebut. Tektur garing jamur kuping merahnya dan daun bawangnya membuat rasanya jauh lebih menabjubkan.

Ketika Hiratsuka-sensei memesan satu porsi mie lagi saat mienya tinggal seperempat, dia berbicara padaku. “Tentang percakapan kita tadi…”

YahariLoveCom v5-117.jpg

“Ya?”

“Percakapan tentang kebersihanmu.”

Ketika pesanan mienya tiba, dia menambahkan wasabi. Merasa senang saat dia menyesuaikan rasanya dengan seleranya, Hiratsuka-sensei tersenyum. “Aku percaya akan tiba hari dimana hal itu bisa diterima.”

“Ya…” jawabku dengan enggan selagi aku menaburkan bawang putih mentah.

“Seperti ramen ini.” Hiratsuka-sensei dengan bangga menyajikan ramen spesial Shizukanya dan melanjutkan,“Ketika kamu masih muda, kamu piker tonkatsu ramen itu yang paling lezat dan lemaknya enak. Kamu tidak bisa menerima apapun selain sup kotteri, tapi setelah kamu tumbuh dewasa, kamu akan perlahan mulai mengizinkan ramen garam dan ramen kecap.”

“Bu-bukankah itu cuma proses penuaan…”

“Apa itu?”

“Tidak ada apa-apa…”

Dia melemparkan tatapan keji padaku…

Hiratsuka-sensei terlihat geram untuk sesaat, tapi tiba-tiba tenang kembali. “Yah, tidak masalah … Tidak masalah kalau kamu tidak diterima sekarang. Jika suatu hari nanti kamu diterima, sudah cukup baik.”

Mungkin, dia telah memahami masalahku dan keraguanku. Tapi meski begitu, dia tidak melafalkan jawabannya untukku. Walaupun untuk diriku yang sekarang, tidak ada yang bisa kujawab.

“Tentu saja, tidak seperti semuanya akan diterima. Aku benci tomat, jadi aku masih tidak bisa menerima mie tomat sampai hari ini.”

“Jadi anda benci tomat…”

“Benar, aku hanya tidak bisa terbiasa dengan sensasi lembek dan bau unik itu.”

Apa dia itu anak-anak? Tapi aku bisa mengerti apa yang sedang coba dia katakan. Rasa lengket pada buah-buahan itu mungkin sama dengan siksaan bagi orang yang membencinya. Itu agak menjijikan dan sebagainya.

“Aku juga benci timun untuk alasan yang sama.”

“Aku juga tidak suka timun…”

Walau aku suka Bannanchiten Kiryu[5]. Aku juga suka Pepsi rasa timun.

“Tapi masalahnya dengan timun itu kalau kamu menaburkannya semua pada salad kentang atau roti sandwich, itu akan memberikan rasa timun itu padanya…”

Tidak masalah menambahkan timun ke dalam sup miso. Tapi timun mentah harus dihindari. Pada saat timun dipotong menjadi irisan bundarlah mereka menunjukkan sifat aslinya… Mereka akan mewarnai segala citarasanya dengan rasa timun. Terlebih lagi, nilai nutrisinya tidak begitu banyak, jadi mereka itu seperti predator di dunia sayur-sayuran.

“Namun, aku suka sayur acar…” Hiratsuka-sensei menyatakan pendapat seperti seorang pemabuk. Aku juga sependapat.

“Aku juga suka seperti anda.”

Yep, itu benar. Sayur acar itu enak. Itu adalah hidangan yang sangat menyegarkan. Dan fakta bahwa kamu bisa menyantapnya dengan nasi putih saja itu suatu kebahagiaan.

“……”

Entah kenapa percakapannya berhenti dan timbul keheningan. Aku melihat ke arah Hiratsuka-sensei karena penasaran dan dia sedang melamun. Ketika mata kami bertemu, dia menegak airnya dengan gugup.

“Ah, ma-maksudmu acarnya. Benar. A-aku juga suka.”

“…Um, itu agak memalukan ketika anda mengatakannya dengan teramat canggung seperti itu, tolong hentikan.”

“A-apa yang kamu katakan barusan!? Dipikir lagi… apa yang ingin kukatakan…?”

Apa orang ini baik-baik saja? Mungkin kamu sebaiknya melatih otakmu dengan mengisi tabel perkalian satu sampai sepuluh. Ayo cegah kepikunan! Walau aku sendiri tidak bisa ingat apa yang sedang kami bicarakan selain timun.

Suasana hati Hiratsuka-sensei menjadi baik dan dia dengan santai mengangkat sumpitnya. “Nah, kuberi sepotong daging babi.”

“Terima kasih. Kalau begitu aku kasih rebungku.”

“Fufu, terima kasih.”

“Mempertimbangkan usia anda dan semacamnya, anda sebaiknya perbanyak serat.”

“Jangan berkata lebih dari yang kamu perlukan.”

“Ouch.” Aku menggosok kepalaku setelah dia memukulku saat aku memakan ramenku.

Terlihat puas dengan rasa dari kedai ini, Hiratsuka-sensei tersenyum. “Karena kamu membawaku ke kedai yang lezat seperti ini, aku merasa seperti aku sendiri harus membawamu juga ke suatu tempat.”

“Apa ada yang direkomendasikan?”

“Tentu ada. Dulu sewaktu aku masih sekolah, aku pergi menaklukkan semua kedai ramen di lingkungan Chiba. Tapi mungkin agak aneh seorang siswa dan gurunya sering-sering bepergian. Jadi setelah kami tamat, aku akan membawamu ke suatu tempat.”

“Oh tidak, tidak usah, aku tidak begitu perlu anda sensei, jadi kalau anda beritahu saja tempatnya padaku—“

Krek.

Walaupun kedai itu sangat ribut, aku bisa mendengar suara itu dengan jelas.

“Ups, sumpitnya patah.”

“Tentu, silahkan bawa aku ke sana…”

Aku cukup yakin sumpit biasanya tidak akan patah ketika kamu memegangnya…

“Baik. Nantikan saja.”

Hiratsuka-sensei terlihat seperti dia sendiri yang merasa senang.

Tidak begitu buruk memakan ramen bersama seseorang. Walaupun kamu sendirian ataupun bersama seseorang, ramen masihlah lezat.

Tanpa sedikitpun keraguan, makanan terhebat dari semuanya adalah ramen. Tidak boleh dibantah.

Mundur ke Bab 3 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 5

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Karakter dari Vagabond yang didasarkan pada Takuan Sougou.
  2. Lirik single J-pop oleh Sugar, “Wedding Bell”.
  3. Sejarah. Jepang sewaktu Perang Dunia 2 di-embargo oleh 4 negara utama, America, British, China, dan Dutch.
  4. K-On, bassistnya bernama Akiyama Mio.
  5. Manga Mamotte Shugogetten.