Oregairu (Indonesia):Jilid 2 Bab 4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 4: Karena Berbagai Alasan, Kawasaki Saki Tidak Jujur[edit]

4-1[edit]

Ujian semester sudah mendekat tepat di depan mata kami.

Ada banyak kejadian dimana waktu belajar itu kurang lebih diartikan sebagai waktu restoran keluarga atau waktu perpustakaan, tapi tidak ada cara untuk mengawasi murid SMA yang pergi berjalan-jalan jam sebelas malam. Aku diberitahu bahwa kamu akan diusir dari restoran keluarga setelah melewati jam sepuluh malam. Karena alasan itu, belajar di malam hari itu merupakan sesuatu yang dilakukan seluruhnya di rumah. Omong-omong, belajar di malam hari itu tidak sama dengan menonton tinju di malam hari.

Jarum jam menunjukkan hampir ke angka dua belas. Aku mengerang dan meregangkan diri. Aku merasa aku masih akan belajar selama satu atau dua jam lagi. Haruskah aku minum sedikit kopi? Pikirku pada diriku sendiri. Dengan langkah berat, aku menyeret diriku menuruni tangga dan memasuki ruang tamu. Kopinya berada pas di tempat dimana aku mengingatnya.

Mengisi kembali kandungan gula dalam diri seseorang itu sepenuhnya diperlukan ketika kamu terlampau berlebihan memakai otakmu. Yang kumaksud adalah sudah saatnya bagi Kopi MAX yang begitu manis untuk tampil.

(Pemikiran tiba-tiba: Kopi MAX itu erotis ketika kamu memasukkan kafein dan sejumlah susu yang pas ke dalamnya. Pertama sekali, itu akan terlihat luar biasanya mirip dengan sepasang buah dada yang besar. Kopi itu berkedip padamu dan mengatakan, “Aku tidak akan membiarkanmu tidur hari ini ☆” – atau sesuatu semacam itu. Seseorang harus menggambarkan Kopi MAX-tan atau Pixiv untukku[1] …)

Saat aku berjalan ke ruang tamu, memikirkan berbagai kumpulan hal tidak berguna tentang Kopi MAX, aku menyadari adik kecilku Komachi sedang tertidur di sofa. Ujian Semester gadis ini juga segera datang sepertiku, tapi seperti biasa dia tidak khawatir sama sekali.

Saat aku mencari-cari Kopi MAX yang kubeli, aku ingat bahwa bejananya sudah terbuka dan jadi aku mulai mendidihkan air saja. Aku menuangkan air ke dalam ceret Tefal, menekan tombol daya yang membuat suara klik selagi aku melakukannya. Merasa bosan dan selagi menunggu airnya mendidih, aku duduk di ujung sofa dimana adik kecilku sedang tertidur.

Komachi sedang tertidur dengan perutnya tidak tertutupi.

Kulit polos nan putihnya naik dan turun pada saat yang sama dengan dengkurannya. Pada saat yang sama, pusar imutnya berkedut. Saat dia bergerak dengan erangan lembut, aku bisa melihat dia sedang berbaring memakai kaus dan jaketku, keduanya diambilnya tanpa izin. Aku tidak menyadari hal ini dari awal karena dia melengkung seperti bola, tapi mengapa gadis ini hanya memakai pakaian dalam? Dia akan terjangkit flu jika begini terus.

Untuk sekarang aku menyelimutinya dengan handuk mandi terdekat. Sebagai reaksinya, Komachi bergugam sesuatu dalam tidurnya. Selagi ini terus terjadi, air yang kudidihkan mulai berdesis dan membuat suara klik yang mengumumkan bahwa airnya sudah siap. Aku memasukkan kopi instan itu ke dalam sebuah cangkir dan menuangkan air panas ke atasnya.

Suatu bau sedap melayang dari kopiku. Aku menambahkan susu dan gula dalam jumlah yang cukup banyak dan mengaduknya empat kali dengan sendok teh. Ketika aku selesai, kopi manis tercintaku sudah siap disajikan. Aroma megah susuku dan keharuman yang berbau manis dari kopiku bercampur dengan satu sama lain. Aku tahu persis ini akan begitu enak.

Seakan dia menangkap hembusan bau itu, Komachi mendadak bangun.

Hal pertama sekali yang dia lakukan adalah berdiri terpatung-patung, menatapku tanpa suara selama dua detik penuh. Kemudian, tanpa mengatakan sepatah katapun dia memakan tiga detik penuh untuk membuka jaket dan tirainya tanpa suara. Kemudian dia membuka matanya lebar-lebar dan menatap ke arah jamnya selama lima detik penuh tanpa suara. Dia membutuhkan total sepuluh detik untuk memahami situasinya sekarang ini.

YahariLoveCom v2-129.png

Kemudian dia menghirup nafas dalam-dalam. “Lontong! Aku ketiduran!” dia mulai berteriak dengan suara yang menjengkelkannya keras. “Aku hanya berencana untuk tidur selama satu jam, tapi kemudian aku tertidur selama lima jam!”

“Oh, aku mengerti sekarang. Kamu ketiduran, katamu? Kamu langsung pergi tidur segera sesaat kamu sampai ke rumah.”

“Kamu parah! Aku ada mandi dulu sebelum aku tertidur!”

“Astaga, aku benar-benar tidak mengerti mengapa kamu begitu tersinggung.”

“Oh ya, mengapa kamu tidak membangunkanku?!”

Komachi benar-benar begitu jengkel padaku karena beberapa alasan. Aku pikir mungkin “Aku ketiduran” artinya kurang lebih sama dengan “Aku seekor babi ☆”.

“Aku benar-benar tidak peduli, tapi demi Tuhan tolong pakai celanamu. Dan siapa yang memberimu izin untuk memakai bajuku?”

“Hm? Oh, ini. Ini gaun tidur yang sempurna. Bukankah ini seperti pakaian one piece[2]?” katanya sambil menarik bagian depan kausnya.

Jangan tarik itu, jangan tarik itu. Aku bisa melihat bramu, kamu tahu. Dan jangan berputar-putar – Aku bisa melihat celana dalammu.

“…oke, aku akan berhenti memakainya, perengek,” katanya.

“Oh, terima kasih. Kalau begitu aku akan memberimu beberapa pakaian dalam, Komachi.”

“Ohhh, sangat kuhargai!”

Aku menyesap kopiku, setelah bersumpah jauh di dalam lubuk hatiku bahwa aku akan memberikannya kain lap saja. Selagi Komachi menyinsingkan lengan baju kausku seperti piyama one piece lagi, dia berjalan ke dapur dan mulai memanaskan susu di dalam mikrowave.

“Omong-omong, apa yang kamu lakukan pada jam segini?”

“Belajar untuk ujian. Aku turun ke bawah karna aku barusan beristirahat sejenak,” jawabku.

Komachi membuat suara terkejut. “Aku juga masih belum beristirahat sekarang setelah kamu mengatakannya.” Kemudian dia berhenti sejenak. “Onii-chan, sumpah, kamu akan menjadi pria yang 'suka berbisnis' ketika kamu mulai bekerja.”

“Hei, 'suka bisnis' tidak berarti aku 'suka' bekerja. Inggrismu hancur.”

“Tidak mungkin, onii-chan. Aku itu benar-benar jago Inggris. Aku itu jenius yo. I AM SMARTICLES,” katanya dengan kemampuan Inggris yang tidak mirip jenius sama sekali. Smarticles itu bahkan bukan sebuah kata, tolol.

Mikrowavenya berdering. Komachi memegang cangkirnya dengan kedua tangan, dan selagi dia meniupnya untuk mendinginkannya, dia mulai berjalan ke arahku. “Kurasa aku juga akan belajar.”

“Silahkan. Aku akan kembali belajar, kalau begitu. Kamu juga lebih baik terus bertahan belajarnya.”

Aku menegakkan seluruh kopiku dalam sekali teguk dan berdiri. Tapi pada saat itu, Komachi menarik punggung kausku dan membuat suara kroak seperti kodok kintel. Ketika aku berpaling, Komachi sedang tersenyum lebar.

“Kamu bilang ‘kamu juga,’ benar? Tidakkah biasanya itu berarti ‘ayo kita melakukannya bersama’? Onii-chan, apa bahasa Jepangmu sudah hancur?”

Kamu yang bahasa Jepangnya hancur…”

Yah, itu tidak masalah untuk membodohkan diriku sementara dengan melihat hasil PR adik kecil idiotku, pikirku.

Dan begitulah, sesi belajar malam hari dengan adik kecilku dimulai.

Kami membawa semua alat-alat belajar kami dari ruangan kami dan menyebarkannya di atas meja di ruang tamu. Aku memutuskan untuk berfokus terutama pada sejarah Jepang hari ini, jadi aku pergi membahas kumpulan soal Yamakawa dan juga manualnya, dan setelah itu aku masuk pada catatanku.

Pada sisi Komachi, ada buku “Inggris SMP: Target 1800”, seakan itu akan membantu Bahasa Inggrisnya yang menyedihkan.

Bersama, kami belajar dengan diam dan rajin. Aku menjawab soal dan menuliskan penjelasan panjang lebar ke dalam catatan ketika ada yang salah. Kami mengulang proses itu berulang kali. Pada saat aku selesai membahas isi ujian semesterku. Aku menyadari bahwa Komachi sedang menatapku dengan pandangan melamun di matanya.

“…apa?” tuntutku.

“Hm? Oh, Aku hanya berpikir kamu itu begitu kaku, onii-chan.”

“Kamu merendahk'n ku? Kamu mau berkelahi, bocah? Aku akan menjambak rambutmu!”

Tapi Komachi hanya tertawa akan ancaman lemahku. “Begitulah yang kamu bilang, onii-chan, tapi kamu pasti tidak akan memukulku.”

“Huh? Itu hanya apa yang kamu pikir. Alasan mengapa aku tidak memukulmu adalah karena orangtua kita akan meninjuku jika aku melakukannya. Itu saja. Jangan salam paham.”

“Teehee. Kamu merona, kamu merona,” nyanyinya selagi dia membuat tanda peace.

“D… diam…”

Untuk sekarang, aku memuaskan diriku hanya dengan menyodok dahinya. Tepatnya, aku menjentikkan sebuah penghapus ke kepalanya, menyebabkannya menghancurkan diri. Singkatnya, aku melancarkan semua simpanan tenagaku dalam satu serangan penuh dan tanpa menahan diri.

“Oof!” Komachi mengerang. Penghapus itu menghantam dahinya, menyisakan jejak. Selagi dia mengurut dahinya, Komachi menatap marah padaku dengan mata berlinang-linang. “Hmph… dan aku sedang memujimu sebagai murid yang begitu baik…”

“Itu karena kamu mengatakan sesuatu yang bodoh. Sekarang cepat belajar sana, astaga.”

“Hal seperti itu yang membuatmu begitu kaku. Men, ada begitu banyak tipe abang dan adik di luar sana. Aku memiliki seorang teman yang pergi ke les yang sama denganku yang kakaknya itu preman. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah di malam hari dan semacamnya.”

“Uh huh.” Kelihatannya Komachi sudah kehilangan semua motivasi untuk belajar. Entah kapan, dia menutup buku Target: 1800. Sekarang ini, kami sudah sudah masuk ke dalam waktu berbincang-bincang yang tidak ada gunanya.

Selagi aku dengan bijaknya mengabaikan ocehan Komachi, aku terus mempelajari sejarah Jepang. 645, Tahun terjadinya Reformasi Taika adalah pada tahun 645.

“Tapi ente tahu, kakaknya itu adalah murid yang super serius sampai dia masuk ke SMA Soubu. Aku heran apa ada sesuatu yang terjadi padanya.”

“Oh, begitu ya.”

Kata-kata Komachi masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga lain. 694, Tahun dimana Fujiwara-kyo menjadi ibu kota adalah pada tahun 694. Oh tunggu, apa itu tahun 794? Tidak, itu Heian-kyo.

Namun, itu sudah cukup untuk membuatku terlelap. Manusia memiliki tekad yang kuat untuk tidak dikalahkan oleh obat-obatan. Dengan kata lain, tidak peduli berapapun kafein yang kukonsumi, keinginanku untuk tidur tetap mungkin bisa menang.

“Tapi yah, itu keluarganya jadi aku tidak bisa benar-benar mengatakan apapun. Kami sudah semakin dekat akhir-akhir ini, jadi dia mengungkapkan isi hatinya padaku, tapi tidak banyak yang bisa kulakukan. Oh, namanya Kawasaki Taishi-kun dan dia mulai memasuki tempat lesku bulan April ini.”

“Komachi.”

Pensil mekanikku jatuh dari tanganku dan membuat suara dentuman. Kantukku hilang dalam sekejap.

“Apa hubunganmu dengan Taishi-kun ini? Apa maksudmu dengan semakin dekat?”

“Whoa, kamu memiliki tampang menakutkan di matamu, onii-chan…”

Kelihatannya aku sedang melihatnya dengan agak serius. Komachi agak sedikit terkejut. Tapi disini adalah adik idiotku. Sesuatu mungkin terjadi padanya jika dia tidak menjaga dirinya sendiri. Itu alamiah bahwa aku khawatir dengannya sebagai seorang keluarga. Jika dia terlibat dengan lelaki, itu tidak akan bagus baginya.

Onii-chan benar-benar tidak mentoleransi hal-hal seperti itu.

“Meh. Beritahu aku jika ada sesuatu yang menganggumu. Aku sudah memberitahumu ini sebelumnya, tapi hal-hal yang kulakukan dengan Klub Servis – yang masih belum kumengerti, omong-omong – mungkin bisa membantumu, kurasa.”

Komachi menggembungkan pipinya dan tersenyum ketika aku mengatakan itu.

“Onii-chan, kamu benar-benar seorang pria yang kaku!”


× × ×


4-2[edit]

Sudah pagi hari. Burung pipit sedang bercicit. Jadi ini yang namanya “fast-forward sampai keesokan harinya” yang terjadi dalam cerita-cerita.

Aku membuka mataku, berkedip terkejut. Aku disapa, bukan oleh pemandangan yang biasa kujumpai, tapi oleh langit-langit yang tidak kukenali. Yang kumaksud dengan itu, aku sedang berada di ruang tamu. Kelihatannya kami entah bagaimana tertidur ketika kami sedang belajar. Hal terakhir yang kuingat adalah aku sedang menginterogasi Komachi tentang status hubungannya.

“Hei, Komachi. Sudah pagi,” panggilku.

Saat itulah ketika aku sadar aku tidak melihat adik kecilku dimanapun. Aku melihat-lihat sekelilingku mencari Komachi selama dua detik. Kemudian, aku menatap ke luar jendela. Matahari sudah terbit cukup tinggi. Itu memakan waktu tiga detik untuk memastikan ini. Kemudian aku merasakan perasaan ada sesuatu yang salah dan aku melihat ke arah jam sambil berkeringat dingin. Sudah jam sembilan pagi. Aku melihatnya ke atas dan ke bawah, tapi masih jam sembilan pagi. Itu memakan lima detik penuh untuk memproses hal ini.

Dampak situasinya menghantamku dalam waktu sepuluh detik ini.

“Aku akan super telat…” Aku menundukkan kepalaku, merasa depresi.

Sarapan berisikan roti panggang, daging ham dan telur terjajar di atas meja, beserta secarik surat yang ditinggalkan Komachi sebelum dia berangkat.

Kepada onii-chan, Aku akan berangkat duluan karena aku tidak mau terlambat. Tenang saja!

S.P. Pastikan kamu memakan sarapanmu!!

“Tolol… kamu pikir kamu itu Security Police?”

Cara menulisnya yang benar adalah P.S.[3], seperti Playstation.

Yah, karena tidak ada gunanya gempar akan sesuatu yang tidak bisa kukendalikan, aku mengunyah sarapan yang disiapkannya untukku dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sambil bersungut-sungut. Keliatannya orangtuaku sudah pergi bekerja. Karena kedua orangtuaku bekerja, pagi hari dalam keluarga Hikigaya mulai pagi sekali. Ibuku membuat sarapannya tapi Komachi biasanya bertugas menyiapkan makan malam.

Dan namun tidak ada satu orangpun yang membangunkanku meskipun mereka bangun pagi. Sementara aku khawatir apakah aku dicintai dan semacamnya, aku ingin percaya dalam kebaikan untuk membiarkan seseorang tetap tertidur.

Darahku sedang terpompa-pompa saat aku mengganti bajuku. Setelah memastikan pintunya sudah terkunci, aku meninggalkan rumah.

Selagi aku bersepeda dengan santai melintasi pinggiran sungai, aku melihat ke atas dan menjumpai gumpalan-gumpalan awan raksasa yang melintasi langit dengan cepat. Hari ini, jalur ke sekolah begitu indahnya sepi. Itu membuatku merasa tentram. Biasanya, rute menuju SMA Soubu adalah sebuah jalur lomba pacu bersepeda dimana murid dari sekolah lain berlomba-lomba melawan satu sama lain. Menyalip orang lain dan berteriak “Maju! Magnum!” adalah perasaan yang paling menyenangkan. Ketika kamu melawan para pria, kamu akan menjadi berapi-api dan mengatakan sesuatu seperti, “Aku tidak akan kalah! Sonic!” [4]

Hari ini, yang melakukan perjalanan pulang balik hanya kurang lebih antara para nyonya lebih tua yang berusaha sebaik mungkin untuk menurunkan berat badan mereka dan pria lebih tua yang berjalan-jalan dengan anjing mereka, dan suasananya seintens seperti menonton orang memancing. Pergi ke sekolah seperti ini tidaklah buruk sekali-sekali. Sebenarnya, setelah aku memikirkannya, bersepeda di bawah langit biru terasa cukup bagus. Itulah hal-hal yang kamu beritahu seseorang untuk membujuk mereka untuk ikut membolos bersamamu, dan itu berhasil sekitar lima puluh persen kasus.

Dan namun, mengapa sewaktu aku hampir tiba ke sekolah, tiba-tiba suatu perasaan melankolis menerjangku…?

Meski begitu, aku tidak bergerak dengan diam-diam. Malah, aku memasuki sekolah dengan cara biasa. Pada saat ini para guru sedang berada di kelas, kamu tahu, jadi tidak mungkin mereka akan menyadari aku terlambat. Menjadi takut itu tidak ada gunanya. Aku mempelajari hal itu dari tujuh puluh dua kali keterlambatanku ke sekolah tahun lalu. Ini sudah ke delapan kalinya terlambat tahun ini, yang mungkin akan mmpengaruhi catatan sekolahku jika begini terus. Aku ingin mencapai angka dua ratus kali pada kelas tiga SMAku.

Masuk ke dalam gerbang sekolah itu gampang. Masalahnya adalah kelas. Aku menghentikan sepedaku di area parkir dan berpaling dengan cepat menuju pintu masuk. Segera sesaat aku memasuki lapangan sekolah, aku merasa seakan kekuatan gravitasi bertambah dalam sekali hantam. Aku sedang berada di Planet Vegeta, kamu tahu? Aku menyeret diriku menaiki tangganya dan melintasi lorong dimana tidak terlihat satu orangpun, sampai akhirnya aku tiba pada kelasku di lantai dua.

Aku menarik nafas dalam-dalam di depan pintu. Kemudian aku meletakkan tanganku di gagang pintunya. Pada saat itu, aku merasa sangat gugup.

Pintunya terdorong terbuka.

Dan kemudian semua mata sekaligus melihatku, tidak ada seorangpun yang mengatakan apapun. Keheningan sudah menyeliputi seluruh kelas. Bisik-bisikan dan suara ajaran guruku sudah menghilang ke dalam kehampaan.

Aku tidak benci terlambat. Apa yang kubenci adalah suasana ini.

Contohnya, jika itu Hayama yang melakukannya, aku cukup yakin mereka semua akan, “Hei, Hayama! Datang lebih telat lagi lain kali!” “Hayama, kamu begitu lamban, men!” “Hahaha, Hayama kamu lamban!”

Tapi dalam kasusku, tidak ada yang mengatakan apapun, dan selama sesaat aku mendapat pandangan dari semua orang yang bertanya, “Siapa pria ini?” Aku menjawab dengan keheningan selagi aku memasuki kelas dengan langkah berat. Sesaat setelah aku sampai ke tempat dudukku, sebuah perasaan letih tiba-tiba melandaku.

Tanpa kusadari aku menghela. Untuk guruku, itu batas yang terakhir.

“Hikigaya. Datang jumpai aku setelah kelas berakhir,” kta Hiratsuka-sensei selagi dia menghantam meja guru dengan tinjunya.

“Oke…”

…Gawat aku. Aku menundukkan kepalaku sebagai responnya, membuat Hiratsuka-sensei menganggukkan kepala dengan puas saat dia berpaling dan melanjutkan menulis di papan tulis, jas putihnya berlambai di belakangnya.

Tunggu dulu, hanya tinggal lima belas menit lagi sampai akhir kelas!

Dan yang kejamnya adalah lima belas menit itu berjalan begitu cepat. Sementara aku sedang mengabaikan pelajaran dan sedang berpikir ratusan alasan keterlambatanku, loncengnya berbunyi.

“Sekian untuk pelajaran ini. Hikigaya, datang kemari,” kata Hiratsuka-sensei sambil mengisyaratkanku datang dengan tak sabar.

Aku melihat wajahnya dengan perasaan ingin kabur yang luar biasa.

Hiratsuka-sensei memberungut dengan terang-terangan padaku. “Kalau begitu sekarang, sebelum aku meninjumu, aku akan bertanya padamu mengapa kamu terlambat, hanya untuk bersikap baik saja.”

Dia sudah memutuskan untuk meninjuku!

“Tunggu, anda salah. Tunggu sejenak. Tidakkah anda tahu kata ‘terlambat supaya keren’[5]..? Singkatnya, ini hanya latihan untuk nanti ketika aku menjadi seorang eksekutif yang hebat dan elit.”

“Aku pikir kamu ingin menjadi seorang bapak rumah tangga.”

“Urk!” aku menyernyit, tapi aku segera mendapat tumpuanku lagi. “Y-yah! Itu suatu kesalahan untuk berpikir bahwa terlambat itu sudah pasti hal yang buruk. Anda mengerti? Para polisi mulai bergerak setelah insidennya terjadi. Itu sudah dikenal luas bahwa sang pahlawan akan datang pada menit-menit terakhir. Dengan kata lain, mereka selalu terlambat. Tapi siapa yang menyalahkan mereka?! Tidak ada! Ironinya disini adalah bahwa keterlambatan itu merupakan keadilan!” aku berteriak dari dalam lubuk jiwaku.

Ketika aku selesai, Untuk beberapa alasan Hiratsuka-sensei memiliki tampang dingin di matanya.

“…Hikigaya. Mari kuberitahu kamu satu hal. Keadilan yang lemah itu tidak ada bedanya dengan kejahatan.”

“…keadilan lemah itu bahkan lebih baik dari kejaha- tunggu! Jangan pukul aku! Tidak!”

Aku Soku Zan [6].. Tinju Hiratsuka-sensei mendarat ke dalam liverku dengan keakuratan yang pas. Tubuhku mengerang akan luka yang dihasilkan. Selagi aku terjungkir dan jatuh ke lantai, aku terbatuk-batuk.

Hiratsuka-sensei menghela takjub sementara aku menggeliat kesakitan. “Astaga… tidak ada habisnya murid bermasalah di dalam kelas ini.” Tapi dia tidak mengatakannya dengan jijik – malah, dia terlihat senang daripada apapun. “Aku sedang membicarakan tentang satu orang lain ketika aku mengatakan itu.”

Sepenuhnya mengabaikan bahwa aku sudah terjatuh ke lantai, Hiratsuka-sensei mengetakkan sepatu hak tingginya ke lantai dan menghadap ke pintu belakang kelas. Aku melihat ke arah yang sama dari posisiku di atas lantai dan menyadari keberadaan seorang murid perempuan sedang memegang tas sekolahnya.

“Kawasaki Saki. Apa kamu juga terlambat supaya keren?” Hiratsuka-sensei memanggilnya dengan senyum masam di wajahnya.

Tapi gadis yang bernama Kawasaki Saki ini hanya menjawab dengan anggukan kepalanya tanpa bersuara. Kemudian dia berjalan persis melewati tubuh terjuntaiku di lantai dan menuju tempat duduknya.

Rambut panjang hitamnya tumbuh sampai punggungnya; bagian yang tidak diperlukan dari lengan baju kemejanya dilonggarkan; kaki panjang dan tajamnya terlihat dibuat untuk menendang. Tapi yang memberikan kesan padaku adalah mata tanpa ambisinya, yang menatap kosong ke kejauhan. Belum dibilang black lacenya yang kelihatan seakan dibordir oleh seorang penjahit.

YahariLoveCom v2-141.png

Sumpah aku pernah melihat gadis itu entah dimana sebelumnya… tunggu sebentar, jika dia ada di dalam kelasku, kalau begitu tentu saja aku pernah melihatnya sebelumnya.

Karena aku dapat melihat ke dalam roknya dari posisi terjuntaiku di lantai, aku langsung berdiri. Aku tidak mau siapapun curiga denganku.

Dan pada saat itu, tiba-tiba aku menyadari sesuatu dalam pikiranku.

“…kamu si gadis black lace itu, bukan?”

Dengan itu, semua keraguanku langsung sirna.

Tanpa sadar, aku mengingat kembali pada satu peristiwa yang telah terbakar ke dalam mataku. Aku mengingat si gadis yang tiba-tiba menertawaiku ketika dia melihatku di atap.

Oh, jadi dia berada dalam kelasku, huh? Sudah waktunya untuk sekali lagi memastikan bahwa ini adalah gadis yang sekarang sudah kuketahui bernama Kawasaki Saki. Daripada pergi ke tempat duduknya, Kawasaki berdiri di tempat dia berada dan melihat ke belakang padaku dengan santai dari bahunya.

“…apa kamu bodoh?” tanya Kawasaki Saki. Dia tidak menendang atau meninjuku. Dia tidak merona karena malu dan wajahnya tidak merah karena amarah – itu seakan dia sama sekali tidak tertarik. Dia hanya sedikit jengkel.

Jika Yukinoshita Yukino itu kaku, Kawasaki Saki hanya dingin. Itu seperti perbedaan antara es kering dengan es biasa. Yukinoshita melepuhkan siapapun yang menyentuhnya.

Dengan tampang jijik di wajahnya, Kawasaki menyisir seuntai rambut yang lepas sebelum menghadap ke tempat duduknya. Setelah dia menarik kursinya dan duduk di atasnya, dia melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong seakan dia merasa bosan. Itu seakan dia sedang melihat ke luar sehingga dia tidak perlu melihat ke dalam.

Tidak ada orang di dunia yang tidak menyadari aura “jangan bicara padaku”nya. Tapi aura “jangan bicara padaku”nya masih lemah. Tidak ada orang yang mau berbicara padaku di dalam kelas meskipun aku mengaktifkan aura “tolong bicara denganku”.

“Kawasaki Saki, huh…?”

“Hikigaya, berhenti mengutarakan dengan emosi mendalam nama gadis yang bagian dalam roknya kamu lihat.” Hiratsuka-sensei meletakkan tangannya di bahuku. Tangannya begitu dingin. “Kita akan berbincang-bincang tentang hal ini nanti. Datang jumpai aku di ruang staf setelah sekolah.”


× × ×


4-3[edit]

Setelah satu jam singkat diceramahi oleh Hiratsuka-sensei, aku mampir ke toko buku di pusat perbelanjaan Marinepia daripada langsung menuju ke rumah.

Aku mengamati rak bukunya dan membeli sebuah buku. Pergilah uang kertas seribu-yenku, bersama dengan uang receh yang bergemerincing dalam dompetku.

Setelah itu, aku pergi ke kafé, berpikir aku mungkin akan sekalian belajar. Tapi kelihatannya semua orang yang lain juga memikirkan hal yang sama, karena tempat itu dipadati oleh murid-murid dari segala tempat. Baru saja ketika aku sedang berpikir apakah aku sebaiknya pulang ke rumah saja, aku melihat beberapa wajah yang kukenali.

Totsuka Saika yang berpakaian baju olahraga sedang menatap kue di pajangan kaca. (Pada sekolah kami, kamu bisa memakai seragam atau baju olahraga – tidak masalah yang mana dipakai.) Kesan dari suasana itu bahkan lebih manis dari krim segar, dan aku tertarik padanya seperti semut tertarik pada gula. Aku adalah salah satu jenis orang “itu harus benar-benar pas☆”. Hei, aku kurang lebih mirip Goldilocks.

“Oke, sekarang giliranmu selanjutnya untuk menanyakan pertanyaan, Yukinon,” kata wajah familier nomor dua.

Yuigahama dan Yukinoshita tidak membuang-buang waktu mereka selagi mereka menunggu giliran mereka untuk dilayani dan terserap ke dalam kegiatan belajar mereka.

“Baik, kalau begitu sebuah pertanyaan bahasa Jepang,” ucap Yukinoshita. “Lengkapi ungkapan berikut ini: ‘Ketika perjalanan menjadi sulit-’”

“…jalur Tokyo-Chiba ditutup?”

Perbaikan: ternyata hanya Kuis Ultra Seputar Chiba [7]. Dan jawaban Yuigahama juga salah. Jawaban yang benar adalah “Akhir-akhir ini, jadi lebih banyak kereta api yang melambat tapi tidak berhenti.”

Mendengar kesalahan ini, wajah Yukinoshita juga menjadi muram, persis seperti yang bisa kamu duga darinya. “Tidak benar… kalau begitu, pertanyaan selanjutnya. Yang ini lebih mengenai geografi. Sebutkan dua makanan khas lokal Chiba.”

Tik tok, tik tok. Jarum jam berdetak pergi. Yuigahama menelan ludah. “Kacang Miso… dan kacang rebus?” Dia memasang tampang begitu serius di wajahnya.

“Hei. Kamu pikir semua yang kami lakukan hanya menanam kacang di Chiba?” tanyaku.

“Whoa!” Yuigahama melompat. Kemudian dia berkata, “Oh, cuma Hikki. Selama sejenak, kupikir kamu itu seorang pria aneh yang mau merayuku…”

Lontong. Aku bermaksud untuk datang nanti, tapi sekarang aku berdiri pada antrian yang tololnya panjang ini karena aku memperbaiki kesalahan Yuigahama. Sialan! Alangkah menderitanya diriku karena cintaku dengan Chiba!

Mendengar reaksi berlebihan Yuigahama. Totsuka berpaling dan menghadapku. Kemudian sebuah senyuman cerah terpampang di wajahnya. “Hachiman! Jadi kamu juga diundang mengikuti kelompok belajar ini!”

Totsuka berjalan dengan malu-malu ke arahku, sambil menyeringai. Tapi tentu saja tidak mungkin aku diundang, dan Yuigahama memasang tampang masam “Sungguh menjengkelkan. Orang ini bukan salah satu dari kami,” di wajahnya. Oi, hentikan itu, kamu sedang membangkitkan ingatanku tentang pesta ulang tahun teman sekelasku saat SD. Walaupun aku membawa sebuah hadiah dan segalanya, mereka semua mengabaikanku dan aku hampir mau menangis.

“Hikigaya-kun tidak pernah diundang,” kata Yukinoshita. “Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?”

“Yukinoshita, berhenti menegaskan fakta-faktanya demi membuat seseorang merasa tidak enak.”

Astaga, jika aku tidak memiliki tekad yang kuat, kamu akan mendapat apa yang pantas kau dapat, bajingan.

Sebenarnya, aku mungkin sudah akan meneriakkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti dan menghantamnya dengan sebuah kursi. Aku ingin dia meminta maaf pada ego yang luar biasa kerasku ini.

“Aah, aku bermaksud mau memanggilmu, Hikki, tapi ada makanan dalam mulutku…” kata Yuigahama.

“Nah, Aku benar-benar tidak tersinggung.” Aku sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini.

“Apakah kamu juga datang kemari untuk belajar menghadapi ujian juga, Hikigaya-kun?” tanya Yukinoshita.

“Uh, kurasa. Kalian juga?”

“Tentu saja. Ujian hanya tinggal dua minggu lagi,” ujar Yuigahama.

“Men, sebelum kamu belajar untuk ujianmu, kamu lebih baik melatih trivia Chibamu. Pertanyaan terakhir itu sudah semacam bonus.”

“Aku tidak merasa itu semacam pertanyaan bonus… lebih condong pada pertanyaan geografi: ‘Sebuatkan dua makanan khas lokal Chiba.’” Yukinoshita mengutarakan pertanyaan yang sama seperti tadi dengan datar, seakan sedang mengujiku.

“Jawaban yang benar adalah ‘Budaya terkenal Chiba: festival dan menari.’”

“Aku bilang ‘makanan khas lokal’. Aku cukup yakin tidak ada orang yang tahu lirik lagu daerah Chiba.” Yukinoshita tercengang. Tidak, aku cukup yakin dia mengetahuinya. Dia hanya tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. (Omong-omong, lagu daerah Chiba dinyanyikan pada Bon-Odori[8], dan sebagian besar lagunya ditampilkan dengan cara mirip latihan senam modern. Penduduk Chiba bisa menyanyi dan menari sampai kedua-duanya. Ya, kamu bisa entah bagaimana menyanyi mengiringi latihan senam meskipun tidak ada lirik yang bisa dinyanyikan.)

Selagi semua ini sedang terjadi, orang di depan kita telah dilayani, dan sesaat kemudian sudah giliran kami. Pada saat itu, Yuigahama tiba-tiba menyeringai. “Hikki, Aku akan membayar punyamu,” kicaunya.

“Huh? Aku bilang aku tidak tersinggung… apa kamu akan menyamar menjadi nenekku selanjutnya? Nenek, sungguh besar gigimu.”

“Aku bukan si serigala besar jahat! Aku hanya berusaha bersikap baik meskipun aku tidak mau membayar punyamu!”

Apa dia baru saja menggali kuburannya? Dari awal pun tidak ada alasan kenapa Yuigahama harus mentraktirku.

Yukinoshita, yang sedang menonton perbincangan kami, membuat helaan jengkel. “Kamu sedang membuat malu dirimu, jadi hentikan itu. Aku tidak suka hal semacam itu. Aku membenci orang bermuka dua.”

Untuk sekali ini, aku setuju dengan Yukinoshita. “Ya. Aku juga benci tipe orang seperti itu.”

“Huh?! K-Kalau begitu aku tidak akan mengatakannya, jika begitu!” tegas Yuigahama.

“Nah, tidak apa-apa kalau itu lelucon dengan orang-orang yang dekat denganmu,” kataku. “Aku sarankan kamu cukup mengatakannya dengan orang yang kamu sukai pada lingkaran dalam pertemananmu?”

“Ya, memang,” kata Yukinoshita. “Kamu tidak termasuk dalam lingkaran dalam pertemananku, jadi aku tidak keberatan.”

“Aku agak terkejut kamu tidak menganggapku bagian lingkaran dalam pertemananmu!” Yuigahama melihat pada Yukinoshita dengan mata berlinang.

Pada saat yang sama, sudah giliranku dilayani. Ketika aku memesan kopi blend, asisten toko yang bisa membuatnya segera mengocokkan kopinya. “Harganya 390 yen.”

Itu terjadi ketika aku memasukkan tanganku ke dalam kantongku. Ingatanku tentang apa yang barusan terjadi muncul dalam benak pikiranku. Aku sudah membeli sebuah novel ringan di toko buku, dan lalu apa? Aku membayar 1000 yen, persis jumlah uang yang kumiliki, dan aku juga sudah memakai semua uang recehku… yang berarti aku tidak memiliki uang sekarang. Tapi kopinya sudah dibuat jadi sudah terlambat untuk menolaknya.

Aku mulai berbisik dengan diam-diam pada dua gadis di belakangku. “Maaf. Aku tidak ada uang sekarang, teehee. Sori, tapi bisakah kalian membayarkannya untukku?”

“…memuakkan.” Yukinoshita langsung mengecapku sebagai sampah.

Yuigahama menghela, dengan tampang terkejut di wajahnya. “Huh, kurasa tidak ada yang bisa dilakukan.”

…Y-Yuigahama-san! Kamu datang untukku, dewiku! Betapa aku memuja engkau!

“Aku akan mengambil kopi itu, jadi bagaimana kalau kamu minum air saja, Hikki?”

…setan ini. Apa dia Lilith atau semacamnya?

“Hachiman, A-Aku akan membayarkannya untukmu! Jadi tak usah khawatir akannya, oke?” Totsuka tersenyum padaku dengan baik hati.

Totsuka benar-benar seorang malaikat.

Ketika aku baru saja mau memeluknya, suara dingin Yukinoshita datang sebagai penghalang di antara kami. “Itu tidak akan baik baginya jika kamu memanjakannya.”

“Katakan itu setelah kamu melakukan sesuatu yang baik untukku sekali-sekali.”

Totsuka akhirnya membayarkannya untukku, jadi aku mencari-cari tempat duduk selagi aku mengucapkan terima kasih padanya. Paling tidak itu yang bisa kulakukan selagi mereka bertiga menunggu pesanan mereka.

Pada saat yang sama, satu kelompok berempat beranjak dari tempat duduk mereka, jadi aku menyelip ke dalam tempat mereka dengan segera. Aku meletakkan nampan di meja dan dengan buru-buru melemparkan tasku ke bawah. Karena terlalu bersemangat, tasku jatuh ke bawah tempat duduk dengan bantalan itu.

Seorang gadis sekolah berparas-cantik yang duduk di tempat duduk sebelah mengambilkannya kepadaku. Aku membungkuk dengan sopan sebagai respon pada sikapnya yang tak mengeluh dan anggun.

“Oh, itu onii-chan.”

Si gadis berparas-cantik itu adalah adikku, Hikigaya Komachi. Berpakaian dalam seragam SMPnya, dia melambai padaku dengan senyuman ceria yang muncul di wajahnya.

Itu memakan waktu yang lama untukku untuk merespon. “Apa yang sedang kamu lakukan disini?” tuntutku.

“Lihat, aku hanya mendengarkan masalah Taishi-kun,” kata Komachi sambil memalingkan pandangannya kembali ke tempat duduk di depannya. Yang duduk disana adalah seorang anak laki-laki berseragam SMP.

Dia segera menundukkan kepalanya dan membungkuk ke arahku. Aku tanpa sadar mengamatinya dengan waswas. Persisnya mengapa laki-laki ini bersama Komachi…?

“Ini Kawasaki Taishi-kun. Aku memberitahumu tentangnya semalam, kamu tahu? Dia yang kakaknya menjadi preman.”

Sekarang setelah dia mengatakannya, aku ada perasaan kami berbincang-bincang seputaran itu. Hampir seluruhnya masuk ke dalam satu telinga dan keluar dari telinga yang lain karena aku begitu bertekad menghapal tanggal sejarah saat itu. Apa itu lagi yang terjadi pada tahun 694…?

“Jadi ya, dia barusan menanyakanku bagaimana dia bisa membuat kakaknya kembali seperti sebelumnya. Oh, iya. Kamu juga menanyakannya, onii-chan. Kamu bilang aku boleh memberitahumu jika aku ada masalah apapun.”

Oh, Aku entah bagaimana mendapat perasaan aku mungkin menceplos tanpa berpikir dan menyatakan sesuatu seperti itu semalam. “Serahkan itu padaku dan katakan saja!” atau entah apa. Ya, aku mungkin berniat melakukan sesuatu seperti itu jika itu demi adikku, tapi kalau aku benar-benar jujur, aku tidak ada niat seperti itu kalau mengenai temannya, terlebih untuk seorang laki-laki…

“Ya, aku mengerti. Tapi kamu tahu, aku rasa dia seharusnya membicarakannya lagi dengan keluarganya segera. Yap, malah, jangan buang-buang waktu lagi.”

Aku pikir aku bisa menyelesaikannya dengan tipu daya jika aku menyambungkan beberapa kata yang terdengar-keren. Kemudian aku bisa menyingkirkan Komachi dan pulang ke rumah. Selagi pemikiran itu melintasi otakku, si Taichi itu mulai bergembar-gembor seakan aku itu senpainya atau semacamnya.

“Kamu benar mengenai itu, tapi… akhir-akhir ini, nee-chan telat pulang ke rumah dan dia sama sekali tidak mendengarkan apa yang dibilang orangtua kami. Dia marah padaku dan berkata padaku itu bukan urusanku ketika aku mengatakan sesuatu padanya…”

Taishi menundukkan kepalanya selagi dia berbicara. Kelihatannya dia sedang merenungkannya dengan cara khususnya sendiri.

“…sekarang kamu satu-satunya yang bisa kuandalkan, onii-san.”

“Kamu tidak berhak memanggilku onii-san!”

“Kenapa kamu meneriakkan hal-hal seperti seorang ayah yang keras kepala?” ujar suatu suara dingin di belakangku.

Aku berpaling untuk melihat Yukinoshita dan yang lain sudah mendekat. Menilai mereka sebagai kenalanku dari bagaimana mereka memakai seragam yang sama sepertiku, Komachi tidak buang-buang waktu dalam menampilkan senyuman lugas.

“Hai semua! Aku Hikigaya Komachi. Terima kasih untuk berada disana untuk abangku,” Komachi menyapa mereka dengan senyum penuh arti. Salah satu kepribadian khususnya semenjak dia masih kecil adalah kemampuannya untuk bisa menyesuaikan diri kemanapun dia pergi, seringkali sampai ke tingkat yang mencengangkan.

Sementara itu, Taishi-kun, pelanggan yang lain, lebih suka untuk tetap diam. Dia merendahkan kepalanya setengah dalam bungkukan yang patuh dan hanya memperkenalkan dirinya dengan menyebut namanya saja.

“Kamu adik kecil Hachiman?” kata Totsuka dengan sopan. “Senang bertemu denganmu. Aku teman sekelasnya. Namaku Totsuka Saika.”

“Oh, kamu begitu sopan, sungguh mempesona. Dan astaga, kamu sungguh imut. Benarkan, benarkan, onii-chan?”

Aku menggerutu. “Dia laki-laki.”

“Haha! Lelucon yang lucu! Hahaha, apa yang kamu katakan, abangku yang idiot?”

“Er, um. Aku laki-laki…” kata Totsuka dengan malu-malu sambil memalingkan wajahnya, terlihat merona.

…lontong sate! Apa orang ini benar-benar laki-laki?

“Uh… benarkah?” tanya Komachi, menyenggolku dengan sikunya.

“Maaf, aku tidak yakin untuk sesaat tadi, tapi dia mungkin seorang laki-laki. Walau dia itu imut.”

“Y-ya…” Komachi menatap lurus ke wajah Totsuka, hanya setengah-yakin. Selagi dia bergugam hal-hal seperti, “Bulu matamu sungguh panjang. Kulitmu benar-benar cantik,” Totsuka sambil merona berpaling dari pandangannya, bertingkah gelisah dan tidak nyaman.

Aku ingin menatap wujud manis Totsuka selamanya, tapi ketika dia membuat kontak mata denganku seakan sedang berkata, “Tolong akuuuuuu…” Aku memisahkan Komachi darinya.

“Sudah cukup untuk sekarang. Omong-omong, ini Yuigahama dan itu Yukinoshita.”

Komachi akhirnya melihat ke arah mereka berdua setelah pengenalan singkatku. Ketika mata mereka bertemu, Yuigahama tertawa dengan gugup. “S-Senang berjumpa denganmu,” dia memperkenalkan dirinya. “Aku Yuigahama Yui, teman sekelasnya Hikki.”

“Oh, hai, senang berjumpa denga-” Komachi berhenti bergerak dan menatap lurus pada Yuigahama. “Huh…”

Yuigahama menghindari matanya, selagi berkeringat deras. Apa, apa mereka itu si ular dengan di kodok? Tatapan mereka berlangsung selama tiga detik penuh sampai suatu suara mengusir kemandekkan itu.

“…apa kalian sudah selesai?” Yukinoshita memotong dengan kalem, setelah menunggu dengan sabar selama beberapa saat.

Itu menabjubkan bagaimana dengan hanya suaranya saja membuat Yuigahama dan Komachi diam dan memusatkan perhatian mereka padanya. Suaranya yang terang-terangan dingin begitu pelan dan lemah. Dan namun pesannya tersampaikan, keras dan jelas. Itu seperti mendengarkan suara salju segar sedang menimbun tanah.

Jadi itu mungkin lebih akurat untuk mengatakan bahwa – mereka bukan terdiam – mereka terkagum-kagum dengannya. Komachi membuka matanya lebar-lebar dan duduk terpaku di tempat di depan Yukinoshita. Selagi dia melihat Yukinoshita, dia sedang terpesona untuk sesaat.

“Senang berjumpa denganmu. Aku Yukinoshita Yukino. Hikigaya-kun itu… apa hubungan Hikigaya-kun denganku, ya…? Dia bukan teman sekelasku, dia juga bukan temanku… Aku benci untuk mengakuinya, tapi dia itu kenalanku, kurasa?”

“Mengapa kamu mengatakannya dengan begitu tidak yakinnya dan mengapa kamu begitu malu untuk mengenalku?”

“Kamu tahu, aku sedang berpikir apakah kenalan itu istilah yang tepat. Bagaimanapun juga satu-satunya hal yang kutahu tentangmu, Hikigaya-kun, hanyalah namamu. Atau mungkin akan lebih akurat untuk mengatakan aku tidak mau tahu lebih banyak tentangmu daripada itu. Dan namun aku masih memanggilmu sebagai kenalanku.”

Sungguh kalimat yang kejam. Tapi ketika kamu memikirkannya, definisi dari kenalan itu juga samar. Aku bahkan tidak tahu apa itu teman, apalagi seorang kenalan. Apa itu benar-benar tak masalah untuk memanggil seorang yang baru kamu temui sekali sebagai seorang kenalan? Apa kamu masih akan memanggil mereka sebagai kenalanmu setelah berjumpa dengannya berulang kali? Apakah kamu masih bisa memanggil mereka sebagai kenalanmu tidak peduli berapa banyak informasi yang kamu ketahui tentang orang itu?

Terserahlah. Memakai sebuah penamaan yang definisinya begitu buruk bukanlah sebuah ide yang bagus. Untuk sekarang, yang terbaik adalah untuk memprioritaskan fakta-fakta konkret.

“Untuk sekarang sesuatu seperti ‘satu sekolah[9]’ sudah cukup bagus.”

“Memang… kalau begitu izinkan aku untuk meralat pernyataanku. Aku benci untuk mengakuinya, tapi aku Yukinoshita Yukino, satu sekolah dengannya.”

“Kamu masih malu untuk mengenalku!” Yah, kamu tahu tidak? Aku juga sama malunya untuk mengenal dia!

“Tapi tidak ada cara lain bagiku untuk menyampaikannya.”

“Oh, um, tidak apa-apa. Aku rasa aku cukup mengerti hubungan macam apa antara kamu dengan abangku,” kata Komachi dengan baik hari pada Yukinoshita yang sedikit gelisah. Aku bersyukur adikku begitu cepat menangkap situasinya, tapi kasih sayang antar saudaranya sangat kurang, menurutku.

“…permisi, tapi apa yang sebaiknya kulakukan?”

Aku memalingkan kepalaku. “Huh? O-ohhh…”

Taishi-kun sedang dalam kebuntuan, sebuah ekspresi risau terpampang di wajahnya. Disini dia sedang menuangkan isi hatinya kepadaku, tapi satu-satunya kenalannya adalah Komachi, yang membuat situasinya kacau dan sulit baginya. Tidak, jujur saja, posisinya sekarang itu seperti kenalan dari kenalannya, dan itu tidak seperti dia bisa mengikuti perputaran alur percakapan yang aneh ini. Tidak usah dibilang fakta bahwa dia sedang dikelilingi hanya oleh orang-orang yang lebih tua dari dirinya. Dia benar-benar dalam situasi yang sulit. Sama sekali bukan soal menarik perhatian pada dirinya dengan berbicara tidak sopan dan tidak bijak, dia sedang dalam suatu posisi dimana orang akan menanyakannya apa masalahnya. “Mengapa begitu diam?” dan seterusnya. Jika aku berada dalam posisinya, aku mau mati. Pilihanmu satu-satunya adalah terus mengangguk sepanjang pembicaraan dan terkadang tertawa dan tersenyum dengan canggung.

Menghadapi semua itu, fakta bahwa Taishi bertekad untuk mengutarakan isi pikirannya menunjukkan kemampuan komunikasi yang cukup mengagumkan. Aku rasa kamu bisa katakan dia adalah laki-laki dengan prospek yang bagus. (Walau, aku tidak akan pernah membiarkannya menjaga Komachi.)

“Permisi, Aku Kawasaki Taishi. Nee-chan kelas sebelas di SMA Soubu… oh, dan namanya Kawasaki Saki. Nee-chan itu… bagaimana kalian mengatakannya…? Seorang preman? Dia menjadi busuk…?”

Aku ada ingatan mendengar nama itu baru-baru ini. Selagi aku mengaduk susu dalam kopi blendku, sambil merenung, aku disergap oleh landaan memori. Konstras antara hitam dan putih membentuk sebuah gradasi yang menstimulasi pandanganku.

…oh, benar! Si gadis black lace!

“Kamu maksud si Kawasaki Saki di kelas kami?”

“Kawasaki Saki-san…” Yukinoshita mengutarakan nama itu dan memiringkan kepalanya sedikit, yang menunjukkan betapa sedikitnya yang dia ketahui tentang Kawasaki.

Tapi Yuigahama, yang berada di kelas yang sama dengan Kawasaki, menepuk tangannya tanda dia kenal, seperti yang dapat diduga darinya. “Oooh. Kawasaki-san, benar? Dia itu tipenya agak menakutkan dan mirip preman.”

“Kalian bukan teman?” tanyaku.

“Kami ada berbincang, kurasa, tapi kami bukan benar-benar teman…” Yuigahama merespon dengan hati-hati. “Dan hei, itu bukan sesuatu yang seharusnya kamu tanyakan pada seorang gadis. Itu membuat kami dalam posisi sulit.”

Bahkan di antara para gadis, ada yang namanya kelompok, geng, perhimpunan, serikat dan sebagainya. Yang penting, dari caranya berbicara, kelompok Yuigahama tidak terlihat memiliki hubungan yang cukup bagus dengan Kawasaki.

“Tapi aku tidak pernah melihat Kawasaki-san bergaul dengan siapapun…” ujar Totsuka. “Aku merasa seperti dia selalu menatap kosong ke luar jendela.”

“…oh, itu kurang lebih bagaimana dirinya.” Aku ingat bagaimana tingkah Kawasaki Saki di dalam kelas. Dia adalah seorang gadis penyendiri dengan mata abu yang hanya menatap awan yang bergerak. Dipikir-pikir lagi, dia tidak melihat pada apapun di dalam kelas melainkan pada sesuatu tempat yang gerakannya lebih cepat lagi di luar jarak pandangnya.

“Jadi kira-kira kapan kakakmu menjadi preman?” tanya Yukinoshita tiba-tiba pada Taishi.

Dia langsung bereaksi. “Y-ya kak!”

Itu perlu diketahui bahwa dia gugup tidak hanya karena Yukinoshita itu menakutkan tapi juga karena seorang gadis cantik yang lebih tua sedang berbicara dengannya. Itu adalah reaksi yang benar untuk seorang anak laki-laki SMP. Jika aku masih murid SMP mungkin aku juga akan bertingkah seperti itu. Tapi ketika kamu menjadi murid SMA yang lemah lesu, kamu akan menyadari dia itu cuma menakutkan.

“Er, uh… itu kira-kira sekitaran saat nee-chan memasuki SMA Soubu karena dia itu seorang murid yang super serius sewaktu SMP dulu. Dia itu relatif baik dulu dan sering membuat makan malam dan semacamnya. Dia tidak berubah banyak bahkan ketika dia duduk di bangku SMA satu… dia berubah hanya baru-baru ini.”

“Jadi itu ketika dia memasuki kelas sebelas?” tanyaku, yang dijawab Taichi dengan tanda membenarkan.

Setelah mendengar itu, Yukinoshita mulai merenungkannya. “Mengenai perubahannya ketika dia duduk di kelas sebelas, apakah ada yang terpikir?”

“Ini cuma jawaban standar, tapi bukankah dia mengganti kelasnya? Itu setelah dia memasuki kelas F.”

“Dengan kata lain, itu ketika dia menjadi teman sekelas Hikigaya-kun.”

“Wah, wah, mengapa kamu mengatakannya seakan aku yang menyebabkannya?” potongku. “Apa aku ini, virus?”

“Aku tidak ada mengatakan sesuatu semacam itu. Kamu terlalu merasa terpersekusi, Hikikuman.”

“Tapi kamu yang mengatakannya sendiri. Kamu jelas-jelas mengatakan ‘kuman’.”

“Lidahku hanya terselip.”

Tidak, serius, hentikan itu. Ini membangkitkan memori traumatisku saat aku diperlakukan seakan aku memiliki kuman. Anak murid SD begitu kejam. Mereka semua akan mulai dengan, “Itu Hikikumaaaan!” “Kamu kena!” “Aku memakai perisai barusan!” hanya karena menyentuhku. “Perisai tidak berguna melawan Hikikuman!” kata mereka. Sebenarnya sekuat apa Hikikuman itu?

Yuigahama melihat pada Taishi-kun. “Tapi k'mu tahu, ketika kamu bilang dia telat pulang ke rumah, sebenarnya jam berapa dia pulangnya? Aku pulang ke rumah cukup telat dan semacamnya juga. Itu tidak begitu aneh untuk seorang anak SMA, k'mu tahu?”

“Oh, huh, tentang itu.” Taishi-kun berpaling, terlihat gugup.

Aku mengerti bagaimana itu. Dia sedang malu-malu karena seorang gadis lebih tua yang begitu seksi sedang berbicara dengannya. Itu reaksi yang benar bagi seorang anak laki-laki SMP. Ketika kamu menjadi anak SMA yang lemah lesu, kamu akan menyadari bahwa kamu sebenarnya bisa mengatakan apapun yang kamu sukai pada seorang pelacur.

“Tapi pulang ke rumah jam lima pagi dan semacamnya itu terlalu telat,” terusnya.

“Itu sudah pagi…” Dan dia juga akan telat. Dia hanya mendapat waktu sekitar dua jam untuk tidur, jika dapat.

“Dan orangtuamu tidak mengatakan apapun padanya ketika dia pulang pada jam se-segitu, menurut yang kudengar?” Totsuka bertanya pada Taishi dengan khawatir.

“Tidak. Kedua orangtua kami bekerja, dan kami ada seorang adik laki-laki dan seorang adik perempuan, jadi mereka tidak bisa benar-benar memarahi nee-chan. Ditambah pula, dia begitu telat sampai-sampai mereka jarang melihatnya… yah, kurasa membesarkan begitu banyak anak berarti kamu mempunyai cukup banyak beban untuk dipikul,” jawab Taishi, dengan relatif tak terguncang.

Hmph, seorang anak SMP sepertinya masih belum menyadari pesona Totsuka. Ketika kamu menjadi murid SMA yang lemah lesu, kamu pasti akan sadar bahwa Totsuka itu, sebenarnya, imut sekali.

“Pada kesempatan jarang kami bertemu satu sama lain, kami akan akhirnya bertengkar, dan kapanpun aku mengatakan sesuatu, dia menjadi benar-benar keras kepala dan berkata ‘Tidak ada urusannya denganmu’…” bahu Taishi terkulai. Dia benar-benar merasa kacau.

“Masalah keluarga, huh…” kata Yukinoshita. “Semua keluarga memilikinya.”

Dia memasang tampang murung mendalam di wajahnya yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dia terlihat persis seperti Taishi, yang datang kemari untuk memberitahu kami masalahnya. Yang kumaksud dengan itu adalah dia terlihat mau menangis.

“Yukinoshita…”

Tapi sesaat setelah aku memanggilnya, awan menutupi mataharinya dan seberkas bayangan menutupi wajahnya. Karena itu, aku tidak dapat membaca wajah Yukinoshita yang tertunduk. Tapi hanya dengan melihat bahu sayunya terkulai, memberitahuku dia membuat helaan singkat.

“Kamu berkata sesuatu?” Yukinoshita menjawabku selagi dia mengangkat wajahnya.

Ekspresinya tidak berbeda dari biasanya – dingin dan menghina.

Awan hanya menutupi mataharinya selama sesaat. Aku tidak ada cara untuk mengetahui arti helaan yang dia buat selama sepersekian detik itu.

Satu-satunya yang menyadari perbedaan dalam tingkah laku Yukinoshita adalah diriku. Taishi dan yang lain terus berbincang dengan normal.

“Dan bukan itu saja… nee-chan mendapat semua panggilan teleponnya dari suatu tempat yang aneh.”

Mendengar kata-kata Taishi, sebuah tanda tanya melayang di atas kepala Yuigahama. “Tempat aneh?”

“Mmm. Dari Angel entah apa, mungkin dari semacam toko… si orang manajer itu berbicara padanya.”

“Apa tentangnya yang begitu aneh?” tanya Totsuka.

Taishi memukulkan tinjunya ke atas meja. “Maksudku coba pikir! Angel?! Itu benar-benar mirip nama toko kotor!”

“Huh, Aku sama sekali tidak mendapat kesan tersebut dari kata itu…” Yuigahama berkata dengan agak ragu-ragu, tapi aku benar-benar mendapat kesan tersebut.

Lihat, maksudnya, sensasi gairah anak SMPku sedang bergetar. Coba bayangkan kata “Angel” ini terpampang di distrik lampu merah Tokyo. Megerti yang kumaksud? Faktor mesumnya baru saja naik lima puluh persen. Dan selagi kita membicarakannya, kata “Super” itu membuatnya terasa empat puluh persen lebih erotis.

Tidak usah diragukan lagi, ini pastilah sebuah toko kotor.

Bocah ini telah menyadari hal itu, seperti yang bisa kalian duga.

“Hei, tenang dulu sejenak, Taishi,” kataku. “Aku mengerti semuanya.”

Bahagia karena dimengerti, Taishi mengusap air mata penuh emosi dari ujung telinganya dan merangkul serta memelukku dengan penuh emosional.

“O-onii-san!”

“Hahaha, apa kamu baru saja memanggilku onii-san? Apa kamu ingin mati?”

Selagi dua lelaki mengikat jiwa mereka bersama di bawah dewa yang bernama Ero, si gadis-gadis dengan tenang memutuskan rencana mereka untuk ke depannya.

“Bagaimanapun, jika dia sedang bekerja di suatu tempat, maka kita perlu membuat suatu rencana khusus,” kata Yukinoshita. “Meskipun itu bukanlah suatu toko berbahaya seperti yang diyakini idiot ini, fakta bahwa dia bekerja sampai subuh itu bermasalah. Kita perlu menemukan kemana mereka pergi dan menghentikannya.”

“Ya, tapi meskipun kita berhasil menghentikannya, dia mungkin akan mencari pekerjaan di tempat lain, k'mu tahu?” kata Yuigahama.

Komachi mengangguk setuju. “Keluar dari penggorengan dan masuk ke dalam air[10].”

“…maksudmu masuk ke dalam api,” kata Yukinoshita.

Oh, adik kecilku. Aku mohon, tolong, jangan buat malu nama Hikigaya. Lihat, kamu sedang membuat Yukinoshita merasa malu karena dirimu.

“Dengan kata lain, satu-satunya pilihan kita adalah mengobati gejalanya sekaligus mencabut akar penyebabnya,” Yukinoshita menyimpulkannya pada kira-kira saat yang sama aku memisahkan Taishi dariku.

“Hei, tunggu sebentar dulu. Apa kamu berencana membuat kami melakukan sesuatu?”

“Tapi tentu saja. Kawasaki Taishi-kun adalah adiknya Kawasaki Saki-san, murid di sekolah kami. Tidak usah dikatakan bagaimana sebagian besar kekhawatiran Taishi itu mengenai dirinya. Aku yakin itu berada di dalam lingkup pekerjaan Klub Servis.”

“Ya, tapi semua aktivitas klub ditangguhkan karena ujian semester…”

“Onii-chan.” Seseorang menyodok punggungku tanpa henti. Ketika aku berpaling, Komachi sedang tersenyum lebar padaku.

Itu adalah senyum Komachi setiap kali dia memintaku untuk melakukan sesuatu untuknya. Dulu sekali ketika Komachi ingin mendapatkan hadiah Natalku, dia juga memasang ekspresi ini di wajahnya. Mengapa Santa harus meminta kartu Love and Berryku [11]? Tidak mungkin aku bisa melawan Komachi, yang memegang kartu truf terkuat yang dinamakan simpati orangtua kami. Sial, dia tidak imut sama sekali…

“Aku akan melakukannya…” kataku dengan enggan.

Taishi membungkuk dengan antusias, seperti mesin dalam gigi tinggi. “Te-terima kasih!” teriaknya penuh sukacita. “Maaf telah mengangu kalian! Aku janji untuk berusaha yang terbaik!”


× × ×


4-4[edit]

Program rehabilitasi Kawasaki Saki dimulai keesokan harinya.

Setelah sekolah, aku pergi ke ruangan klub dimana Yukinoshita sedang menunggu dengan angkuh. “Kalau begitu, ayo kita mulai.”

Yuigahama dan aku mengangguk mendengar kata-katanya. Oh, dan untuk beberapa alasan, Totsuka juga berada disana.

“Totsuka, kamu tidak perlu memaksa dirimu untuk datang kemari.” Maksudku, itu sangat menyakitkan harus menahan tirani Yukinoshita. Tanpa diragukan lagi dia hanya berada disini karena Yukinoshita telah memberinya tatapan maut.

Tapi Totsuka menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak, tidak apa-apa. Aku juga mendengar apa yang terjadi. Ditambah lagi, aku tertarik dalam apa yang kamu dan yang lain lakukan, Hachiman… Aku akan senang untuk pergi bersama kalian jika aku tidak menghalangi kalian.”

“Be-begitu ya. Kalau begitu… tolong pergi bersamaku.”

Aku mengatakan bagian “Tolong pergi bersamaku” secara refleks seperti pria kekar yang mempesona. Lihat, maksudku, apa lagi yang bisa kamu katakan ketika dia mencengkram lengan baju kausmu, melihat ke arahmu dengan mata menengadah dan berkata dia ingin pergi bersamamu? Aku sedang mengambil alih situasinya seperti pria jantan! …oh tunggu, Totsuka itu seorang laki-laki. Sial.

Karena aktivitas klub ditangguhkan selama ujian semester, lapangan sekolahnya kosong setelah pulang sekolah. Selain kami, ada beberapa murid lain yang sedang belajar sendiri-sendiri di dalam sekolah, dan juga tipe-tipe Kawasaki Saki yang sedang diceramahi karena terlambat. (Omong-omong, kamu akan dipanggil ke ruang staf untuk diceramahi jika kamu terlambat lebih dari lima kali dalam sebulan.)

Hiratsuka-sensei mungkin sudah menahan Kawasaki Saki dan sedang memberinya ceramah panjang lebar selagi kita berbicara.

“Aku sudah memikirkannya dan aku yakin bahwa Kawasaki-san sebaiknya menyelesaikan masalahnya dengan tangannya sendiri,” ujar Yukinoshita. “Ada sedikit resiko jika dia mengubah sikapnya dengan kekuatannya sendiri daripada dipaksa untuk melakukannya oleh orang lain, dan hampir tidak ada peluang masalahnya menjadi kambuh lagi.”

“Itu masuk akal, kurasa,” aku setuju.

Ini bukan hanya terbatas pada preman, tapi juga ketika orang lain mengomentari tindakanmu, itu benar-benar menjengkelkan. Contohnya, jika seseorang yang dekat denganmu berusaha untuk memberitahumu apa yang seharusnya kamu lakukan, kamu akan mulai merasa dongkol dengan mereka. Cara yang mudah untuk membayangkannya adalah ketika ibumu berkata padamu saat sebelum ujian: “Bagaimana kalau kamu berhenti bermalas-malasan dan pergi belajar?” Sebagai responnya, kamu biasa akan seperti, “Oh, astaga! Aku baru saja akan melakukannya! Oh whoops, hilang sudah motivasiku.”

“Oke, jadi apa sebenarnya yang akan kita lakukan?” tanyaku.

“Apa kamu pernah mendengar tentang terapi hewan?”

Terapi hewan itu, untuk menyederhanakannya, adalah sejenis terapi spiritual yang termasuk membelai-belai hewan untuk mengurangi level stres seseorang dan untuk mengeluarkan kepribadian positif seseorang. Saat Yukinoshita menjelaskan inti-intinya, aku dapat mendengar Yuigahama sedang terkekeh. Tapi menurutku, itu bukanlah cara yang buruk untuk menyelesaikan masalahnya. Dari apa yang dikatakan Taishi, Kawasaki dulunya seorang gadis yang kaku dan berhati baik. Ini mungkin adalah pemicu untuk mengeluarkan sisi baik hatinya.

Tapi ada satu masalah.

“Siapa yang akan menyediakan hewannya?” tanyaku.

“Tentang itu… tidak adakah yang disini memelihara seekor kucing?” tanya Yukinoshita.

Totsuka menggelengkan kepalanya dengan murung sebagai jawabannya. Aww, tidak bolehkah aku memeliharanya? Dia begitu imut. Dia akan super efektif!

“Aku ada seekor anjing, apa itu oke?” Yuigahama mengacungkan jari kelingking dan jari telunjukknya dan membuat isyarat tangan dengan ibu jari, jari tengah dan jari manisnya. Itu rubah, bukan anjing [12].

“Kucing lebih disukai,” tegas Yukinoshita.

“Aku tidak benar-benar mengerti perbedaannya…” gugamku. “Serius, apa penjelasan ilmiah yang kamu punya?”

“Tidak ada yang spesifik.” Yukinoshita dengan cekatan menghindari tatapanku. “Yang penting, jangan anjing.”

“Apakah itu berarti kamu tidak suka anjing?”

“Aku yakin aku tidak pernah mengatakan sesuatu semacam itu. Tolong jangan buru-buru menarik kesimpulan,” kata Yukinoshita dengan tersinggung.

Yuigahamalah yang buru-buru menarik kesimpulan. “Tidak mungkin, Yukinon. Kamu benci anjing? Bagaimana bisa?! Bukankah kamu menyukai hewan imut?!”

“…kamu merasa seperti itu karena kamu menyukai anjing, Yuigahama-san.” Nada suara Yukinoshita tiba-tiba menjadi datar.

Apa, apakah dia ada sejenis trauma yang menyangkut anjing atau semacamnya? Apakah dia pernah digigit anjing sebelumnya? Meh, jika dia tidak menyukainya, aku rasa aku sebaiknya jangan memaksanya. Untuk sekarang, aku hanya merasa gembira bahwa aku mengetahui salah satu titik lemah Yukinoshita.

“Kami memelihara seekor kucing,” kataku. “Apa tidak apa-apa memakai kucing kami?”

“Ya.”

Setelah mengantungi persetujuan Yukinoshita, aku menelepon Komachi. Aku bisa mendengar sejenis musik aneh sebagai latarnya. Ada apa dengan musik murahan itu? Mengapa ponsel gadis ini menyanyi?

“Yaaaaaa, ini Komachi!”

“Oh, Komachi. Kamu berada di rumah sekarang ini?”

“Yep, Aku di rumah. Kenapa?”

“Ini soal kucing kita. Maaf, tapi bisakah kamu membawanya ke sekolah kami?”

“Huh? Kenapa? Ka-kun berat, jadi aku tidak mau.”

Ka-kun adalah nama kucing kami. Dia dulunya dipanggil Kamakura, tapi karena nama itu terlalu susah disebut jadi suatu hari namanya disingkat. Namanya diambil melihat betapa bulatnya kucing kami seperti kamakura[13].

“Er, kamu tahu, Yukinoshita berkata untuk membawanya.”

“Aku akan segera kesana.” Panggilannya tiba-tiba diputus dengan suara beep.

(…huh? Mengapa tingkahnya berubah segera setelah aku menyebut Yukinoshita? Dia begitu enggan ketika aku memintanya!)

Aku menutup ponselku, merasa puas dia akan datang. SMA kami cukup terkenal di area ini, jadi dia mungkin tidak akan tersesat saat datang kemari.

“Dia bilang dia akan segera kemari,” Aku memberitahu Yukinoshita. “Apa kita sebaiknya menunggu diluar?”

Kami menunggu di luar gerbang sekolah selama dua puluh menit, sampai Komachi muncul dengan keranjang di tangannya.

“Maafkan aku telah memanggilmu datang kemari,” kata Yukinoshita.

“Tidak, tidak, aku senang melakukannya untukmu, Yukino-san,” jawab Komachi sambil tersenyum selagi dia membuka tutup keranjangnya.

Kamakura tergeletak di dalamnya. Dia terang-terangan memberungut padaku dengan tampang seperti “Huh? Apa kau lihat-lihat, sampah?” di wajahnya. Bukan kucing yang terimut.

“Aww, dia begitu imut!” kata Totsuka saat dia mengusap kucingnya. Kamakura memelintir badannya seakan untuk berkata, “Hei, hei, tenang! Tunggu sebentar! Jangan perutku! Jangan usap disana!” Dia benar-benar dalam ampunan Totsuka.

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan dengannya?” Aku memegang Kamakura pada bagian tengkuk lehernya setelah Totsuka menyerahkannya padaku. (Omong-omong, ini cara yang salah untuk memegang kucing. Cara yang benar adalah dengan menggendongnya di lenganmu.)

“Kita akan meletakkannya di dalam sebuah kotak kardus dan meninggalkannya di depan Kawasaki-san,” jelas Yukinoshita. “Aku yakin Kawasaki-san akan memungutnya jika hatinya tersentuh.”

“Dia bukan seorang banchou zaman dulu [14].” Jika dia pikir preman = pecinta kucing, maka dia salah besar. Sungguh cara berpikir mirip anak manja.

Dan sebenarnya, kami bahkan tidak begitu mengenal Kawasaki sebaik itu, jadi tidak ada jaminan bahwa cara tidak langsung seperti ini akan berhasil.

“Kalau begitu sekarang, aku akan membawa beberapa kardus.” Aku memberi isyarat untuk menyerahkan kucingku pada Yuigahama, yang berada persis di sampingku. Tapi dia melangkah mundur satu langkah dengan ketakutan.

…ambil saja sudah. Aku mencoba lagi, kali ini dengan memanggil namanya selagi aku menjulurkan Kamakura. Sekali lagi, Yuigahama mengelak untuk menghindarinya.

“Apa-apaan…”

“Oh. Er, uh, tidak ada apa-apa!” kata Yuigahama selagi dia menjulurkan tangannya dengan gugup. Kamakura mengamati tangannya dan membuat suara meong. Sambil tersentak, Yuigahama mengulaikan tangannya.

“Mungkinkah itu… kamu tidak cocok dengan kucing?”

“H-huh?! T-Tentu saja aku cocok dengan kucing! Malah, aku cinta m'reka! M-Maksudku, k'sini, kucing kecil. Meong meong.” Suaranya bergetar. Bukan seperti benar-benar ada alasan baginya untuk takut.

“Komachi, Aku akan menyerahkannya padamu.” Aku menyerahkan Kamakura kepada Komachi. Selagi aku melakukannya, Kamakura tiba-tiba membuat suara purr seakan dia sedang dalam suasana hati yang bagus. Sial, aku bahkan dibenci oleh kucing. “Yah, aku pergi dulu.”

Mungkin ada beberapa kardus di dalam ruang guru, pikirku. Kucing memiliki kotak yang mereka sukai dan kotak yang mereka benci, tapi kucing kami tidak ada masalah degan sebagian besar jenis kotak. Oh, dan untuk alasan tertentu kucing kami menyukai plastik, dan dia seringkali mengunyah sampul plastik buku komikku. Aku benar-benar heran apa itu begitu merangsang seleranya.

Dipikir-pikir lagi, ke mana aku bisa mendapatkan sebuah kantong plastik? Selagi aku berjalan berkeliling, berpikir bagaimana aku bisa menyenangkan kucingku, Yuigahama dengan cepat menyusulku.

“Um, kamu tahu. Aku benar-benar tidak membenci kucing.”

“Hm? Yah, aku tidak benar-benar peduli benci atau tidak. Yukinoshita itu tipe orang yang benci anjing, kamu tahu. Aku sendiri tidak benar-benar suka serangga.”

Atau sebenarnya, manusia.

“Tidak, maksudku aku benar-benar tidak membenci kucing. Aku rasa mereka imut.”

“Jadi? Kamu mengidap alergi kucing atau semacamnya?”

“Bukan itu… kamu tahu, kucingku melarikan diri, k'mu tahu? Itulah mengapa aku menjadi agak sedih karenanya.”

Yuigahama berkata dengan lembut, terbalik 180 derajat dari sikapnya yang biasa riang. Ada tampang sayu di matanya. Laju langkahnya melamban, dan tentu saja aku ikut melamban bersamanya.

“Aku dulunya tinggal di kompleks multi-apartemen, kamu tahu. Itu benar-benar populer disana untuk menyembunyikan seekor kucing dan memeliharanya di dalam apartemenmu.”

“Itu yang pertama kalinya aku pernah mendengar itu…”

“Itulah bagaimana keadaannya bagi anak-anak yang hidup dalam sebuah apartemen! Kamu tidak dapat memelihara seekor kucing di dalam sebuah aparteman, k'mu tahu? Jadi aku memelihara seekor kucing liar tanpa memberitahu orangtuaku. Tapi pada suatu hari, dia menghilang…” suara Yuigahama melemah.

Dan maka dari itulah, dia menjadi tidak pandai menangani kucing.

Yuigahama tertawa dengan malu-malu seperti biasa. Aku ingin tahu apa yang dipikirkan dirinya yang lebih muda pada perpisahan itu. Mungkin dia berpikir itu adalah seekor kucing yang imut dan mereka begitu akrab, jadi dia mungkin bingung mengapa dia melarikan diri. Itu pastilah terasa seperti sebuah pengkhianatan.

Tapi gadis yang sekarang ini tahu mengapa. Aku dengar seekor kucing meninggalkan pemiliknya ketika dia sudah mau mati. Karena itu, aku ingin tahu bagaimana Yuigahama yang sudah dewasa ini mengingat kembali kekesalan saat perpisahan itu. Mungkin dia penuh dengan penyesalan.

Itu hanya spekulasiku. Kebenarannya mungkin sangat berbeda sama sekali. Tapi meskipun begtu, aku merasa kesedihan dan kebaikan Yuigahama itu asli.

Dengan hening, tanpa mengutarakan sepatah katapun pada satu sama lain, kami menggotong kardus itu bersama. Kardusnya bahkan tidak seberat itu.


× × ×


4-5[edit]

Ketika kami memasukkan Kamakura ke dalam kotak kardusnya, dia mencoba menyentuhnya dengan cakar depannya. Setelah dia menghaluskan dasar kotaknya tiga kali, dia membuat suara purr dengan puas seakan untuk mengatakan , “Heh… cukup bagus.”

Kalau begitu sekarang, semua yang perlu kami lakukan sekarang adalah menunggu kemunculan Kawasaki Saki. Masalahnya adalah kami tidak tahu kapan dia akan muncul. Panjangnya ceramah Hiratsuka-sensei tergantung pada keinginannya.

“Mari kita bagi tugas,” usul Yukinoshita, mengambil alih situasinya. Dia menyuruh Totsuka menunggu sembunyi-sembunyi di depan ruang staf, selagi Yuigahama ditempatkan di samping area parkir sepeda. Komachi ditugaskan untuk berpatroli. Dan aku diperintahkan untuk menggotong kotak kardusnya dan berlari berkeliling.

Setelah kamu pikir-pikir, yang lain sudah memiliki tugas mereka, tapi aku tidak ada tugas yang bisa dikerjakan sampai Kawasaki Saki terlihat. Selagi aku sedang menunggu, aku mengumpulkan tekad besarku dan pergi membeli sekotak Sportop dari mesin penjual minuman terdekat. Selagi aku menusukkan sedotanku dan meminum satu atau dua teguk, aku kembali ke posku.

“Meong.” Aku mendengar suara meong Kamakura yang kukenali.

“Meong.” Aku mendengar suara meong seorang gadis yang tidak kukenali.

Aku secara refleks memeriksa sekelilingku, tapi tidak ada gadis lain selain Yukinoshita di sekitar sini. Untuk sekarang, aku memanggil gadis yang punggungnya menghadapku itu.

“…apa yang sedang kamu lakukan?” tanyaku.

“Apa yang sedang kamu bicarakan?” jawab Yukinoshita dengan polosnya.

“Tidak apa-apa, hanya barusan kamu sedang berbicara dengan kucingnya.”

“Yang lebih pentingnya, aku cukup yakin aku memerintahkanmu untuk pergi menunggu, tapi kelihatannya menjalankan instruksi sederhana itu saja sudah di luar kemampuanmu. Aku memasukkan level ketidakbecusanmu ke dalam pertimbanganku, tapi jujur saja kamu benar-benar melampaui perkiraanku. Aku heran bagaimana seharusnya aku mengutarakan perintahku untuk membuatnya cukup sederhana untuk dimengerti seseorang yang lebih bodoh dari anak SD.”

Yukinoshita lima puluh persen lebih dingin dari biasanya dan nadanya begitu bengis. Matanya sedang memberitahuku bahwa aku akan mati jika aku mengucapkan satu patah kata lagi.

“A-Aku mengerti. Aku akan kembali menunggu…”

Selagi aku mengendap-endap kembali ke bangku tempat aku menunggu, ponselku mulai bergetar. Itu dari penelepon asing. Melihat dari timingnya, panggilannya hanya mungkin bisa dari Yuigahama atau Komachi atau Totsuka – atau mungkin Yukinoshita. Aku tahu nomor Yuigahama dan Komachi dan tidak mungkin Yukinoshita akan meneleponku setelah apa yang terjadi barusan.

…jadi itu berarti panggilannya dari Totsuka?!

“H-halo?!”

“Oh, apa ini onii-san? Aku meminta nomormu dari Hikigaya-san.”

“Aku tidak ada adik laki-laki ataupun adik ipar.”

Aku memutuskan panggilannya pada saat itu juga, tapi panggilan lain datang dengan segera. Bahkan tanpa melihat wajahnya, aku tahu dia itu jenis orang yang persisten, jadi aku menyerah.

“Hei, mengapa kamu memutuskan panggilannya?!”

“Apa yang kamu ingin katakan?”

“Hanya bahwa aku mendengar tentang kucing itu dan, yah, nee-chan ada alergi kucing.”

Hening. Rencana kami gagal total.

“Kenapa kamu tidak memberitahu kami dari tadi?”

“Maaf, aku baru tahu.”

“Astaga, aku mengerti, aku mengerti. Terima kasih sudah memberitahu kami. Sampai nanti.”

Aku menutup teleponnya untuk kali terakhirnya dan dengan segera menuju ke tempat Yukinoshita berada. Yukinoshita sedang berjongkok di depan Kamakura dan menggelitik leher Kamakura. Kamakura sedang melengkung seperti bola.

“Yukinoshita,” Aku memangilnya.

Yukinoshita tiba-tiba melepaskan kucingnya dan hanya menatapku dengan kata “Ada apa sekarang?” terpampang di seluruh wajahnya. Astaga, lupakan saja itu. Cara dia terus menatapiku itu hanya akan membuatku mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

“Aku barusan mendapat panggilan dari Taishi dan rupanya Kawasaki ada alergi terhadap kucing. Jadi aku rasa dia tidak akan mengutip kucingnya meskipun kita meletakkannya disini.”

“…huh. Itu menghancurkan rencananya,” kata Yukinoshita selagi dia membelai kepala Kamakura dengan sedih pada perpisahan mereka. Meong.

YahariLoveCom v2-173.png

Ketika aku memanggil yang lain untuk memberitahu mereka kami sudah menghentikan rencananya, Yuigahama, Totsuka dan Komachi kembali kemari.

“Onii-chan, kamu mendapat panggilan dari Kawasaki-kun?” tanya Komachi.

“Er, ya.” Kemudian aku berkata, “Jangan pergi memberitahu nomor telepon pada orang asing. Bagaimana jika sesuatu yang berbahaya terjadi? Berhati-hatilah ketika kamu menangani informasi personal.”

“Informasi personal Hikigaya-kun bukanlah masalah besar,” Yukinoshita mengejekku, tapi hanya setengah bercanda.

“Bukan punyaku, tapi punya Komachi. Kamu dengar aku? Jangan berikan nomor teleponmu dengan gampangnya, oke? Terutama pada laki-laki.”

“Tidak mungkin, kamu mengetahuinya?” Komachi mengelakkan peringatanku dengan sebuah tawa. Yah, adik kecilku adalah salah satu tipe “jangan ceramahi aku”. Itu tidak menghentikannya menjadi lebih superior dibandingku dalam hal-hal semacam ini.

(Atau malah, akulah yang mesti mengejarnya.)

Sekarang setelah operasi terapi hewan sudah gagal, kami perlu menemukan rencana lain. Karena aku sendiri tidak memiliki rencana, Aku melihat ke arah Yukinoshita. Ketika aku melakukannya, dia melihat pada Komachi dan diriku secara bergantian dan membuat helaan pelan.

“…Kalian bersaudara cukup akur.” Dia bimbang. “Aku agak cemburu.”

“Huh? Oh, orang-orang sering berkata begitu ketika mereka hanya anak satu-satunya. Itu bukanlah suatu hal yang hebat.”

“Tidak, aku…” suara Yukinoshita melemah, yang jarang baginya. Biasanya dia akan menyatakan apapun yang ada dalam pikirannya, meski akibatnya akan melukai orang lain. “Tidak, tidak apa-apa.”

Apa dia memakan sesuatu yang buruk, seperti salah satu biskuit Yuigahama atau semacamnya?

“Kalau begitu sekarang, apa yang mesti kita lakukan? Kita perlu memikirkan sesuatu.”

“Er, uh…” Totsuka mengacungkan tangannya dengan takut-takut. Dia melihat pada baik Yukinoshita dan Yuigahama dengan tampang tidak yakin di matanya, seakan dia ingin mengontribusikan sesuatu tapi tidak yakin bagaimana mengatakannya.

Silahkan dan katakan saja, pikirku. Meskipun tidak ada orang lain yang mau menerimanya, aku akan menerimanya! Contohnya, aku bahkan akan menerima cinta yang tidak dapat diterima ini!

“Silahkan,” kata Yukinoshita. “Aku tidak keberatan jika kamu mengutarakan isi pikiranmu. Itu akan membantu kita semua.”

“Oke kalau begitu… jadi um, bagaimana jika kalian memberitahu Hiratsuka-sensei tentang itu? Aku rasa Kawasaki mungkin terlalu dekat dengan orangtuanya untuk memberitahu mereka tentang masalahnya. Tapi jika dia sedang berbicara pada orang dewasa lain, dia mungkin bisa mencurhatkan masalahnya, mungkin bisa?”

Oh, sungguh pendapat yang hebat. Memang, dia mungkin tidak bisa membicarakannya pada orangtuanya karena mereka adalah orangtuanya. Contohnya, aku sepenuhnya tidak ada keinginan untuk membicarakan tentang porno atau kisah cintaku pada orangtuaku. Juga, aku tidak akan memberitahu mereka jika aku pergi ke sekolah dan ada coretan di atas mejaku, atau ada sampah di rak sepatuku, atau jika aku menerima sebuah surat cinta dan menjadi begitu bersemangat karenanya, hanya untuk mengetahui bahwa itu adalah lelucon teman sekelasku.

Itulah mengapa pihak ketiga itu diperlukan. Seseorang yang dapat diandalkan dengan pengalaman hidup yang berlimpah mungkin bisa pergi dan membantunya.

“Tapi Hiratsuka-sensei, katamu…” Ada sebuah faktor kekhawatiran disana. Bisakah kamu benar-benar memanggil orang semenyedihkan ini sebagai orang dewasa? Satu-satunya hal yang dewasa tentangnya adalah dadanya.

“Dibanding dengan guru lain, Hiratsuka-sensei sangat dekat dengan murid-muridnya.” ujar Yukinoshita. “Tidak ada orang yang lebih cocok untuk ini.”

“Oh, ya, kurasa.” Persis seperti yang dikatakan Yukinoshita, Hiratsuka-sensei memang bekerja keras dalam membimbing murid-muridnya. Dia mengarahkan murid-murid yang terjerat akan masalah pada Klub Servis, dan dia terhubung dengan murid-muridnya pada level harian. Dia mungkin bisa melakukan apa yang kami perlukan darinya karena pengamatannya begitu tajam dan semacamnya. “Kalau begitu aku akan mencoba menghubunginya.”

Aku menjelaskan inti situasi Kawasaki Saki dalam pesan teksku. Alamat telepon Hiratsuka-sensei, yang sepenuhnya tidak kubutuhkan ataupun kuinginkan, telah berguna untuk sekali ini.

“Itulah kira-kira. Aku memberitahunya kita akan menjelaskan lebih banyak di pintu masuk. Oke, itu akan membuatnya datang.”

Setelah aku menutup emailnya, kami menunggu selama lima menit.

Kami mendengar suara kaku dari sepatu hak tingginya menggesek lantai, menandakan kemunculan Hiratsuka-sensei.

“Hikigaya, Aku mengerti situasinya,” katanya dengan wajah serius. “Aku akan mendengar detilnya.” Dia memadamkan rokok yang dihisapnya ke dalam asbak portabelnya.

Aku menjelaskan apa yang kami tahu tentang Kawasaki Saki, dan juga apa yang kami duga. Hiratsuka-sensei mendengar dengan hening sampai aku selesai, yang kemudian dia membuat helaan yang pendek dan singkat.

“Fakta bahwa murid sekolah kita sedang bekerja paruh waktu sampai lewat tengah malam adalah sebuah masalah serius. Kita perlu menyelesaikan masalah ini dengan cepat sebelum masalahnya mejadi lebih besar lagi. Aku akan menanganinya.” Hiratsuka-sensei terkekeh dengan gaya yang agak tidak professional. “Apa yang kamu lihat? Aku baru melepaskan Kawasaki sebelum aku datang kemari. Dan itu memakan dua menit lagi untuk sampai kemari.”

…ada apa dengan perasaan tidak enak yang tidak dapat dijelaskan ini yang muncul di benakku? Keseluruhan tingkahnya berbau schadenfreude[15].

“Um, anda tahu anda tidak diizinkan untuk meninju atau menendangnya bukan?”

“Tidak mungkin… kamu sadar aku hanya melakukan hal semacam itu padamu saja bukan?”

“Tidak, itu sama sekali tidak romantis.”

Selagi ini sedang terjadi, Kawasaki Saki muncul di pintu masuk. Dia menyeret kakinya dengan malas dan terkadang membuat uapan lebar. Dia menyandangkan tas sekolahnya ke bahunya dengan lesu seakan dia tidak memperdulikan apapun juga. Sikunya maju mundur dengan malas.

“Tunggu dulu disana, Kawasaki,” Hiratsuka-sensei memanggil dengan nada memerintah pada punggungnya. Nada suaranya menggetarkan tanahnya dengan kasar.

Mendengar itu, Kawasaki berpaling, matanya menyipit setengah seakan dia sedang menatapinya. Selagi dia berpaling, dia membungkuk dengan gerakan yang mulus.

Hiratsuka-sensei juga tinggi, tapi dia inferior dibanding dengan Kawasaki. Kaki panjangnya, yang ditutupi dengan longgar oleh sepatunya, menendang sebuah kerikil dengan cekatan.

“…anda perlu sesuatu?” kata Kawasaki dengan tak ramahnya dengan nada serak yang menyatakan “Aku tidak peduli”. Caranya berbicara dengan blak-blakan itu menakutkan. Dia tidak menakutkan seperti preman atau yankee jenis “Aku akan meninjumu sampai setengah mati!”. Dia menakutkan seperti wanita tua di bar mesum. Dia membuat jenis kesan seseorang yang sedang duduk di sudut kasir, sedang merokok dan memegang sebotol whisky di satu tangan.

Di sisi lain, seluruh tubuh Hiratsuka-sensei juga menghasilkan aura yang sama menakutkannya. Dia menakutkan seperti seorang pria tua letih yang sedang menyajikan dirinya sebotol bir selagi dia memakan porsi soba kelimanya di sebuah rumah makan Chinese di depan stasiun di bagian kota yang kumuh, selagi meneriakkan hal-hal seperti, “Dia tidak ada harapan lagi! Pitcher yang sungguh sampah[16]” saat menonton siaran ulang baseball. Apa ini, Clash of the Titans?

“Kawasaki, Aku dengar kamu pulang telat ke rumah akhir-akhir ini – bahwa kamu pulang ke rumah pada subuh hari. Persisnya apa yang kamu lakukan dan dimana?”

“Apa seseorang memberitahu anda itu?”

“Informasi klienku sangat rahasia. Sekarang jawab pertanyaanku,” Hiratsuka-sensei berkata dengan nada kamu jangan mengatakan hal sampah.

Kawasaki menghela dengan lesu. Kelihatannya, dia sedang mengejek sensei. “Tidak banyak. Apa itu benar-benar masalah kemana aku pergi? Tidak seperti aku sedang menganggu orang lain.”

“Tapi kamu mungkin bisa di kemudian hari. Kamu tidak akan menjadi murid SMA selamanya. Tidakkah kamu tahu ada orang yang sedang mengawasimu? Seperti orangtuamu dan aku,” tegas Hiratsuka-sensei.

Tapi Kawasaki hanya menatap dirinya dengan ekspresi bosan.

Hilang kesabaran, Hiratsuka-sensei mencengkram lengan Kawasaki. “Tidakkah kamu pernah memikirkan bagaimana perasaan orangtuamu?” tuntutnya dengan serius, mencengkramnya seakan dia tidak akan pernah melepaskannya.

Sentuhannya mungkin hangat dan lembut. Aku heran apakah perasaan penuh emosionalnya dapat meluluhkan hari Kawasaki.

“Sensei…” bisik Kawasaki, menyentuh tangan Hiratsuka-sensei dan menatap langsung ke dalam matanya.

Lalu-

“Macam aku tahu bagaimana perasaan orangtuaku. Dan lagipula, tidak mungkin anda bisa tahu karena anda belum menjadi orangtua juga, sensei. Bukankah anda sebaiknya mengatakan hal itu setelah anda sendiri menikah dan melahirkan anak?”

“Uuuuurk!”

Kawasaki sudah membalikkan situasinya sepenuhnya. Hiratsuka-sensei kehilangan pijakannya seperti seorang petinju dihantam oleh tinju yang tiba-tiba. Dia sedang menerima sejumlah luka yang cukup dalam. Kelihatannya perasaan Hiratsuka-sensei tidak sampai padanya.

“Sensei, anda seharusnya mengkhawatirkan masa depan anda sendiri sebelum anda mengkhawatirkan masa depanku. Seperti menikah dan semacamnya.”

Tubuh Hiratsuka-sensei terjungkir saat menerima tinjunya terus menerus. Jadi lukanya sudah mencapai kakinya, huh… Dampak lukanya mencapai panggulnya, bahunya dan mengarah ke atas sampai ke kotak suaranya. Dia membuat suara serak, tapi tidak ada kata yang keluar. Matanya berlinang-linang.

Si Kawasaki yang tak berperasaan itu tidak memperdulikannya dan menghilang ke area parkiran sepeda. Kami melihat pada satu sama lain tanpa mengatakan apapun, tidak tahu apa yang mau dikatakan. Yuigahama dan Komachi menatap tajam ke lantai, sementara Totsuka bergugam, “Kasihan sensei,” pada dirinya sendiri.

Kemudian Yukinoshita meringkuk. Itu seakan dia sedang mencoba menyembunyikan sosoknya.

Mengapa? Mengapa semua diserahkan padaku untuk melakukan sesuatu? Pikirku. Selagi aku melihat kondisi menyedihkan guruku, aku merasa terdorong untuk mengatakan sesuatu. Mungkinkah itu… bahwa aku sedang merasa kasihan padanya?

“Er, uh… sensei?” kataku, berusaha untuk memikirkan kata-kata penghibur.

Sensei berpaling dengan kaku seperti zombie. Dia terisak. “Aku pulang dulu…” katanya dengan suara yang tipis dan bergetar selagi dia mengusap matanya dengan sisi ibu jarinya.

Dan kemudian, bahkan tanpa menunggu jawabanku, dia mulai berjalan dengan terhuyung-huyung menuju ke parkiran mobil.

“A-Anda sudah berusaha yang terbaik.” Selagi aku melihat figur sendiriannya tersandung di kejauhan, sinar matahari sore menusuk mataku dan membuat air mataku berlinang.

Tolong, seseorang cepat nikahi dia.


× × ×


4-6[edit]

Satu jam setelah Hiratsuka-sensei menghilang ke dalam matahari sore dan menjadi sebuah bintang yang berkilau di langit malam, kami berada di stasiun Chiba.

Komachi membawa kucing kami Kamakura ke rumah. Itu masih terlalu dini bagi murid SMP seperti Komachi untuk pergi ke pusat distrik bisnis Chiba. dia lebih cocok pergi makan bersama temannya di estalase makanan Yokado 14 [17]. Tapi serius, apa yang disukai anak SMP dari Yokado? Aku menjadi benci dengannya dari saat-saat aku pergi berbelanja kesana bersama ibuku. Ibu-ibu lebih cocok pergi ke tempat seperti Mother Park[18].

Omong-omong, waktunya sudah mendekati jam 7:30 malam. Itu sekitaran waktu ketika kotanya menjadi ramai dengan aktivitas malam hari.

“Di dalam pusat distrik bisnis Chiba, hanya dua restoran dengan ‘Angel’ dalam namanya yang beroperasi sampai jam-jam subuh hari, kelihatannya,” kataku.

“Dan ini salah satu dari tempat itu?” Yukinoshita melihat dengan waswas pada lampu neon yang bersinar pada sebuah papan toko dengan “Maid Kafé Angel” tertulis di atasnya. Di samping, bahkan ada ilustrasi seorang gadis dengan telinga kucing yang memanggil-manggil bertuliskan: “Selamat datang kembali, woof ♪”

“Apa-apaan ini?” terpampang di seluruh wajah Yukinoshita.

Aku merasakan hal yang sama. Apa-apaan ini? Selamat datang kembali, woof, meow? Apa mereka pikir mereka itu anjing atau kucing? Dan bahkan nama “Angel” begitu berbau kebodohan. Bagian angel itu tidak ada hubungannya dengan apa yang dilakukan toko itu.

“Jadi ada sebuah maid kafé di Chiba…” Yuigahama melihat ke arah bangunan itu dengan tampang tak percaya.

“Kamu begitu naïf, Yuigahama. Tidak ada yang tidak dimiliki Chiba. Salah memahami tren dan melekat pada tren itulah yang membuat Chiba. Lihat, ada kesan ketidakberuntungan padanya. Itulah kualitas Chiba.”

Itu benar. Kamu bisa mengatakan Chiba itu sebuah perfektur yang sangat tidak beruntung. Bandara Internasional Narita, Game Show Tokyo, Desa Jerman Tokyo, “Shibuya-nya Chiba” – hal-hal tidak lazim yang ganjil tersebut adalah sebuah hasil dari keterikatan Chiba dengan tren, biasanya berkat pengaruh Tokyo. Beradaptasi dan menambah-nambah pada hal-hal tersebut itulah yang membuat Chiba. Ketika kamu berpikir tentang eksistensi Seratus Bukit[19], distrik permukiman eksklusif Chiba, kamu bisa mengatakan bahwa keterikatan itu sudah menyebabkan Chiba menjadi inferior dibandingkan bagian lain dunia ini.

Dan jadi di tengah-tengah jalur Keisei-Chiba, animasi-animasi berkumpul tanpa pandang bulu di satu tempat, membentuk jantung dari sejenis subkultur tertentu di Chiba. Lagipula AKI-BA memiliki rima yang sama dengan CHI-BA. Dengan demikian itu wajar bahwa kami memiliki maid kafé disini.

“Aku tidak benar-benar tahu hal-hal semacam ini tapi… um, jenis toko apa maid kafé itu?” Totsuka mengamati huruf-huruf di papan toko itu berulang-ulang, tapi dia tidak dapat memahaminya. Aku rasa dia juga tidak akan mengerti kalaupun “Maukah kamu menghabiskan MOE MOE waktu maid bersama?” tertulis di atasnya. “Bagaimana kamu menghabiskan waktu maid?” dia akan bertanya. “Apa itu benar-benar seorang maid?”

“Oh, karena sebenarnya akupun tidak pernah pergi kesana, aku tidak bisa menjelaskannya…” aku mengaku. “Jadi aku memanggil seseorang yang mengetahui hal semacam ini secara detil.”

“Oho. Kamu memanggil, Hachiman.”

Seakan atas aba-aba, Zaimokuza Yoshiteru muncul di palang tiket di tengah stasiun Keisei-Chiba. Dia mengenakan jaket meskipun sedang awal msim panas, dan keringat bercucuran dari dahinya selagi dia tertawa dengan nyaring. Kristal-kristal garam melayang dari kerah jaketnya. Kamu tahu, jika ini adalah China Kuno, dia akan dieksekusi karena memproduksi garam secara ilegal.

“Whoa…” Yuigahama meringis sedikit.

Tapi itu sulit untuk menyalahkannya melakukan hal itu. Alasan untuk itu adalah karena aku meringis lebih kuat dari dia.

“Kenapa kamu memasang tampang itu di mukamu ketika kamu yang memanggilku?” tuntut Zaimokuza.

“Oh, kamu tahu, seseorang harus melakukannya, tapi aku hanya sedang berpikir begitu menjengkelkan dirimu itu.”

“Aku mengerti,” kata Zaimozuka, tertawa dengan jahatnya. Semua itu hanya membuat suaranya terdengar menjengkelkannya berlaras tinggi. Cepat menghilang sana. “Memang, itu susah untuk menahan kekuatan sejati seseorang ketika bertarung dengan musuhmu yang ditakdirkan. Kamu harus merangkul kebencianmu seratus kali!”

“Yap, yap. Itulah mengapa kamu itu menjengkelkan.”

Aku benar-benar tidak ingin memanggilnya, tapi dua orang yang kukenal yang mengerti hal-hal semacam ini secara detil hanyalah Zaimokuza dan Hiratsuka-sensei. Tapi Hiratsuka-sensei lebih mengetahui manga shonen daripada hal-hal semacam ini, jadi itu tinggal menyisakanku satu pilihan.

Aku sudah menyampaikan inti-intinya pada Zaimokuza lewat pesan teks. Mengenai waktu Kawasaki Saki sedang pulang ke rumah, mengenai bagaimana kami berpikir dia sedang bekerja di tempat dengan kata “Angel” dalam namanya, dan mengenai sifatnya. Respon Zaimokuza pada informasi itu hanya satu: “Maid Kafé Angel”.

“Zaimokuza, apa kamu yakin ini tempatnya?”

“Oh, tak diragukan lagi.”

Zaimokuza dengan berapi-api menekan tombol-tombol di telepon pintarnya dan menunjukkan informasi yang diajarkan suhu google padanya dengan lambaian dramatik. Telepon pintar itu berguna, tapi jika kamu menggunakannya untuk segala hal kecil dalam kehidupanmu, jarimu pasti akan letih. Korporasi Teknologi Komputer Ubiquitous adalah sebuah perusahaan yang membuat bantalan untuk jarimu ketika kamu menggunakannya terlalu berlebihan pada telepon pintarmu.

“Menurut ini, ada dua kandidat yang mungkin dalam kota ini. Dan dalam kasus Kawasaki, kita harus mesti memilih tempat ini. Aku mendengarnya dalam hantuku[20].” jawab Zaimozuka dengan penuh keyakinan.

Aku menelan ludah. “Bagaimana kamu bisa tahu?”

Mungkinkah pria ini sudah menerima semacam intuisi unik? Zaimokuza sedang menyeringai lebar.

Ah, pria ini tidak memiliki keyakinan dalam dirinya, pikirku. Apa yang dia miliki adalah kepercayaan diri.

“Yah, diamlah dan datanglah… Aku bisa membuat para maidnya tergila-gila padamu,” katanya selagi dia menyentak jaketnya dengan berlebihan. Aku bisa melihat angin memyebabkan jaketnya melengkung ke atas.

Pria ini…

Jika dia bisa mengatakan semua itu, maka tentu saja aku bisa mengikutinya. Ke tempat yang dijanjikan itu, sebuah tempat yang melimpah dengan susu dan madu – Kerajaan Suci Harem [21]!

Selagi jantungku berdebar akan antisipasi dari apa yang akan dilakukan para maid itu padaku, aku melangkah selangkah ke depan. Itu adalah sebuah langkah kecil bagi kaum manusia, tapi sebuah lompatan raksasa bagiku.

Seseorang menyentakkan jaketku. Aku berpaling untuk melihat Yuigahama sedang menatapiku dengan wajah cemberut.

Dia tidak mengatakan apapun untuk sesaat.

“…ada apa?” tuntutku.

“Tidak apa. Pikir kamu juga tidak pergi ke toko semacam itu, Hikki.” Dia meremas jaketku terus menerus dengan ujung jarinya, dengan sebuah ekspresi yang misteriusnya jengkel di wajahnya. “Firasat Buruk.”

Berhenti menyentuhku. Kamu akan merusak jaketku.

“…Aku bahkan tidak mengeri apa yang sedang kamu bicarakan. Pakai struktur kalimat subjek-predikat-objek dalam kalimatmu.”

“Maksudku, bukankah ini tempat yang dikunjungi para pria? Apa yang akan kita para gadis lakukan?”

Hm? Oh ya, dipikir-pikir lagi, bahkan apa ada para gadis yang pergi ke maid kafé? Berpikir bahwa Zaimokuza-sensei berkenan untuk mengajariku, aku menatap ke arahnya. Tangan Zaimokuza-sensei dilipatnya dengan gaya tingkah “serahkan ini padaku!” selagi dia berteriak dengan suara berlaras tinggi. “Jangan takut, mademoiselle[22]!”

“Siapa itu madder mozell…?” Aku sebenarnya tahu apa yang dia katakan, tapi aku tidak mau mengakuinya.

“Aku pikir sesuatu seperti ini akan terjadi, jadi aku membawa kostum maid untuk dipakai sebagai alat penyusupan,” katanya selagi dia mengeluarkan satu kostum maid dari belakang punggungnya, sekaligus dengan kantung plastik bening yang berisikan produk sanitasi. Yang benar saja, disana juga ada sebuah tongkat besi dan panci penggorengan.

“Ohohohoho. Kalau begitu sekarang, Tuan Totsuka, Mari kita pergi…?”

Aku melihat apa yang kamu lakukan disana. Kerja b'gus.

“H-huh? Apa yang harus aku…?” Totsuka melangkah selangkah dan kemudian selangkah lagi dalam usahanya untuk menjauh dari Zaimokuza, yang dengan perlahan-lahan berjalan dengan malu-malu ke arahnya.

Yang benar saja, ada apa dengan reaksi seperti film horor ini? Pada hari biasa, aku pasti sudah meninju Zaimokuza di perutnya dan menyelamatkan Totsuka seperti pahlawan diriku ini, tapi hari ini, itu adalah satu-satunya tindakan yang tidak dapat kulakukan.

A-Aku agak ingin melihatnya dalam kostum maid

Akhirnya, Zamokuza menyudutkan Totsuka ke dinding. Persis pada saat yang sama, lampu latar itu membuat Zaimokuza terlihat seperti seorang monster asli.

“Sekarang kalau begitu, Tuan Totsuka… Aku sudah mendapatkanmu, manisku!”

Selagi makhluk itu melambaikan kostum maid dengan satu tangan menjulang di hadapan Totsuka yang berlinang-linang, Totsuka menggelengkan kepalanya dengan penuh ketakutan. “Tidak, tidak… tolong…”

Tapi meskipun dia tahu perlawanannya itu sia-sia, Totsuka mencoba untuk menolak kenyataan di hadapannya dan memejamkan matanya kuat-kuat, dengan butiran air mata besar terkumpul di matanya.

Itu terjadi kemudian.

“Oke, oke, okeeeee! Aku ingin mencoba mengenakannya! Itu begitu imut!” kata Yuigahama saat dia mengambil kostum maid itu dari tangan Zaimokuza.

“…keh,” Zaimokuza meludah.

Yuigahama memandang tingkah itu dengan rasa jengkel yang kuat dan memandang pada Zaimokuza dengan tampang “sungguh perjaka yang menyedihkan dan menjengkelkan!” di wajahnya.

“Huh, ada apa dengan sikapmu itu? Kamu membuatku kesal,” tengkar Yuigahama.

Pada hari biasa, Zaimokuza pasti sudah terbatuk dengan berlebih-lebihan dan melarikan diri, tapi karena dia terdorong oleh kekuatan kostum maid, kepercaya diriannya yang tidak berarti tadi muncul kembali ke wajahnya. “Hmph, bukan hanya itu saja yang dimaksud menjadi maid. Apa yang kamu sebut seorang maid itu hanyalah mengenakan kostum. Kamu tidak ada jiwanya.”

“Apa-apaan? Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan…” Yuigahama melihat padaku untuk meminta bantuan, tapi ini adalah salah satu situasi dimana aku menolak untuk turun tangan.

Kamu tahu, itu karena aku sepenuhnya paham apa yang sedang dikatakan Zaimokuza. “Tidak, aku mengerti. Bagaimana aku mengatakannya? Kamu terlihat sama sekali janggal bahkan jika kamu mengenakan kostum maid itu. Jika kamu memakainya dalam festival dansa sekolah, kamu hanya bisa melihat tipe-tipe mahasiswa kuliah yang berang.”

Jujur saja, karena acara-acara itu hanya untuk memandang rendah para otaku dan para maid dan juga semua yang berkumpul di sekitarnya, aku heran apa yang begitu hebat tentang memuja dan membaktikan dirinya pada kostum maid. Itu terlihat seperti sebuah perasaan menyenangkan dilihat dari kejauhan.

“Kamu mungkin mengenakan cosplaynya, tapi hatimu tidak didandani! Datang kembali setelah kamu membaca Shirley[23]! Orang sepertimu mengacaukan cosplaymu di Comiket dan merokok dengan tenang di area merokok!”

Yuigahama melangkah mundur tiga langkah menghadapi omongan menggila Zaimokuza. Mengerang keras, dia melihat-lihat dengan gelisah untuk mencari kawan. Kemudian dia menyeludup di balik punggung Yukinoshita yang handal.

Yukinoshita, yang telah menjadi perisai Yuigahama, membuat helaan pendek dan singkat serta menunjuk pada papan toko “Maid Kafé Angel”.

“Kelihatannya mereka juga menyambut para gadis disini,” katanya.

Ketika aku melihat pada huruf-huruf yang ditunjukknya, aku melihat disana memang ada tertulis: Para gadis juga silahkan datang! Berdandan sebagai seorang maid!

Lontong sate, papan toko itu tidak berbohong. Itu benar-benar waktunya maid.


× × ×


4-7[edit]

Kami berlima berjalan ke dalam “Maid Kafé Angel”. Disana, kami menerima sambutan standar “Selamat datang kembali, master! Selamat menikmati!” dan diarahkan ke sebuah meja. Yuigahama dan Yukinoshita sedang mengumpulkan pengalaman maid mereka, jadi hanya Totsuka, Zaimokuza dan aku yang dituntun ke tempat duduk kami.

“Silahkan duduk, master,” kata seorang nona yang memakai kacamata berbingkai merah dan sepasang telinga kucing selagi dia menyerahkan kepada kami sebuah menu.

Sekumpulan makanan terdaftar di dalam menu dengan tulisan bersambung seperti “Nasi Omelet Omu Omu” dan “Kari Putih ☆” serta “Kue Kyururun”. Dan selain menu biasa, berbagai pilihan seperti Moe Moe Gunting-Batu-Kertas versi Jalur Tokyo-Chiba juga tertulis di menu. Tapi tunggu, mengapa mereka hanya memberi harga pada pilihan gunting-batu-kertas? Gelembung ekonomi[24] kelihatannya hanya diterapkan disini.

Aku memutuskan untuk menyerahkan semua tindakan memilih pilihan yang tidak dapat dipahami ini kepada Zaimokuza, yang telah menduduki tempat duduknya. Saat aku menghadapnya, dia melihat sekeliling, jelas terlihat pucat pasi dan meminum air dengan laju yang cepat. Dia belum mengutarakan sepatah katapun selama jangka waktu ini.

“Oi, ada apa?”

“Hmph… Aku begitu yakin pada diriku sendiri sebelum aku memasuki toko ini, tapi sekarang aku merasa gelisah, karena aku tidak mampu berbincang dengan mulus dengan para maid.”

“…begitu ya?”

Tangan Zaimokuza bergetar hebat saat dia mengangkat cangkir kacanya, tapi aku memutuskan untuk mengabaikannya. Ada satu karakter lagi yang hanya tidak mau membuka mulutnya, jadi kali ini aku memutuskan untuk berbicara padanya.

“Totsuka, kamu berada dalam maid kafé, kamu tahu.”

Totsuka tidak membuat reaksi apapun.

“T-Totsuka?”

Namun sekali lagi, dia mengabaikanku. Pada hari biasa, dia akan berbincang padaku dan tersenyum padaku, bersinar bagaikan matahari! Totsuka sepenuhnya tsun dan sedang mengabaikanku hari ini, dan dia bahkan tidak mengangguk atau apapun.

“Kenapa, apa kamu marah?” Aku bertanya selagi aku segera bersiap-siap untuk mencemplungkan garpuku ke dasar leherku jika dia juga mengabaikanku kali ini.

Totsuka akhirnya membuka mulutnya kali ini. “Kamu tidak menyelamatkanku sebelumnya,” katanya setelah diam sejenak.

“Huh? Ohh, uh, kamu tahu, itu…”

“…kamu ingin aku memakai pakaian imut itu meskipun aku itu seorang laki-laki.” Totsuka melihat padaku, sambil cemberut.

(…wajah marahnya itu imut.)

Oh, sial. Totsuka seorang laki-laki. Dan ditambah lagi, aku benar-benar tidak senang ketika dia menjadi murka denganku. Kalau begitu kejadiannya, aku bisa menahan diriku untuk tidak mengejeknya lebih jauh lagi.

“Itu, yah, kamu tahu, itu semacam lelucon antar lelaki – seperti serigala-serigala memperdaya satu sama lain, kurasa?”

“…benar?”

“Benar. Aku bersumpah demi kehormatanku sebagai seorang pria.”

Yang penting, aku harus memberinya dorongan jantan. Ini adalah perbincangan antar pria, dengan penekanan pada PRIA.

“K-Kalau begitu aku akan memaafkanmu…” kata Totsuka pada akhirnya, sambil merona.

“Maaf. Aku akan mentraktirmu secangkir kapucino sebagai gantinya. Semua pria Italia meminumnya, kamu tahu.”

“Oke, terima kasih!”

Aku berhasil memperbaiki suasana hati Totsuka dengan terus melanjutkan rencanaku ini dan dengan memikat kejantanan Totsuka. Sekarang setelah aku menjadi penerima senyum bersinar Totsuka, aku tidak bisa dalam suasana hati yang lebih baik lagi. Aku membunyikan lonceng di meja itu.

“Maaf membuatmu menunggu, Master.”

“Oh, Aku mau dua kapucino, terima kasih.”

“Kami bisa menggambar kucing di atas kopimu, jika itu apa yang kamu inginkan, Master. Apa anda mau itu?”

“Er, tidak terima kasih.”

Aku menolak tawarannya, tapi tanpa sedikitpun tanda-tanda jengkel, maid itu tersenyum cerah. “Aku mengerti. Mohon menunggu sejenak,” lantunnya. Dalam kalimat kedai minum, itu agak terasa seperti dia sedang berkata, “Tentu saja, kawan!” Seperti yang bisa kamu duga dari seorang pro. Gerakan mereka selalu giat dan penuh semangat.

Alasan mengapa maid kafé begitu populer mungkin bukan karena kata-kata dangkal seperti “moe moe” atau “master”, tapi karena jenis semangat melayani “mari kita melakukan apapun dan semuanya untuk bersenang-senang” ini di hadapanmu. Bermain gunting-batu-kertas denganmu dan menggambar gambar di atas nasi omeletmu adalah sebuah cara mengekspresikan keramahan mereka.

Meski begitu, di antara mereka ada seorang maid yang begitu mengerikannya buruk dalam semua permainan peran ini. Tangannya bergetar selagi dia memegang nampannya dan dia melangkah dengan kaki tertatih-tatih karena dia dapat dengan jelas melihat cangkirnya tumpah. Jika begini terus, dia akan pasti terjatuh dan aku akan bisa melihat celana dalamnya. Aku sedang berbicara tentang Yuigahama, omong-omong.

“M-Maaf sudah membuatmu menunggu,” katanya dengan begitu malu-malu sambil meletakkan cangkirnya ke atas meja. Wajahnya merah terang. “M-Master,” tambahnya setelah diam cukup lama.

Dia mengenakan pakaian maid yang relatif polos dan umum. Jumbai biasa yang berwarna putih hitam juga terpasang, dan ditambah lagi roknya begitu pendek, yang benar-benar menekankan dadanya.

YahariLoveCom v2-193.png

Timbul keheningan untuk waktu yang lama.

“A-Apakah ini sesuai denganku?” Ketika dia meletakkan nampan itu di atas mejanya, dia berputar di tempat dengan kecepatan yang disengajai. Pita dan jumbai dekoratifnya melambai-lambai.

“Whoa, kamu begitu imut, Yuigahama-san,” ucap Totsuka. “Benar, Hachiman?”

“Hm? Oh, ya. Kurasa,” jawabku dengan tidak jelas.

Tapi bahkan dengan pujian setengah hatiku itu, Yuigahama tersenyum dengan senang seakan aku telah memujinya.

“Begitu ya… itu terdengar bagus… ehehe, terima kasih.”

Jujur saja, aku terkejut.

Dia kikuk seperti biasanya, tapi aku mendapat kesan yang sepenuhnya berbeda sekarang setelah aku melihat dia bertingkah patuh dengan semacam tampang malu-malu di wajahnya.

“Ya, tapi kamu tahu, rok pada pakaian maid ini pendek dan kaus kaki ini dikenakan sampai melewati lututnya, jadi pasti benar-benar sulit bagi orang-orang yang memakai ini dulu-dulu. Jika kamu mengenakan ini dan mencoba untuk bersih-bersih, kamu akan diliputi debu pada sekujur tubuhmu seperti Pengelap Cepat.”

Aku menarik kembali apa yang kukatakan. Dia hanyalah Yuigahama Yui.

“Kamu akan terlihat imut jika kamu tidak membuka mulutmu,” kataku.

“Apa-?! Apa yang kamu maksud?!” Dia memukulku dengan kue scone dan nampan. Jadi dia memukul masternya, huh…

“Kenapa kalian sedang menghabis-habiskan waktu…?” kata suatu suara dingin, membuatku berpaling.

Di belakangku adalah seorang maid dari era Imperium Britania.

Sebuah rok panjang dengan lengan baju panjang berwarna hijau lumut yang agak lebih gelap, dan sebuah pita hitam terikat dalam ikatan kupu-kupu yang rapi. Kesan muramnya, ditambah dengan kode pakaiannya yang sederhana, menghasilkan kesan kemegahan.

“Whoa, Yukinon, kamu terlihat menabjubkan! Pakaian itu gila serasi denganmu. Kamu begitu cantik…” Yuigahama menghela dalam akan kekagumannya.

Persis seperti yang dikatakan Yuigahama, pakaian itu benar-benar sesuai dengan Yukinoshita. “Ya, tapi kamu lebih memiliki kesan seorang Rottenmeier pada dirimu dibanding seorang maid…” Aku pikir itu adalah sebuah referensi yang cukup bagus, tapi itu ternyata tidak dapat dicerna kepala Yukinoshita dan Yuigahama karena mereka memiringkan kepala mereka karena kebingungan. “Aku sedang mengatakan itu cocok denganmu…”

“Oh begitu. Yah, aku rasa itu tidak benar-benar berarti…” Yukinoshita menjawab tanpa peduli.

Omong-omong, Rottenmeier adalah penjaga rumah tua dari kisah Heidi, Girl of the Alps. Kamu juga bisa menyebutnya seorang maid, kurasa. Selain dari itu, dia terlihat seperti seseorang dari rumah hantu.

“Kawasaki-san tidak terlihat ada di toko ini,” ucap Yukinoshita.

“Kamu benar-benar mengerjakan tugasmu, huh…?”

“Tentu saja. Aku mengenakan pakaian ini untuk alasan itu.”

Yukinoshita adalah satu-satunya yang menganggap serius misi penyusupan ini. Ini adalah awal kelahiran detektif maid. Jadi mengapa aku itu hanya memiliki suasana hati Totsuka dalam pikiranku…?

“Jadi dia tidak hanya cuti sehari?” tanya Yuigahama.

Yukinoshita menggelengkan kepalanya. “Namanya tidak tercantum dalam jadwal shiftnya. Mempertimbangkan bagaimana dia menerima telepon di rumahnya sendiri, kita bisa mencoret kemungkinan dia sedang memakai sebuah nama palsu.”

Jika dia bertindak sejauh itu, dia bukanlah maid biasa. Dia itu singkatnya seorang ninja maid.

“Jadi kalau begitu, kita diberi informasi palsu…” Aku melontarkan pandangan pada Zaimokuza, yang sedang duduk di sampingku.

Menghadapi itu, Zaimokuza memiringkan kepalanya dan mulai mengerang. “Sungguh aneh… tidak mungkin bisa begitu…”

“Apa yang sedang kamu bicarakan?”

“Ahem.” Zaimokuza membatuk sebelum dia melanjutkan. “Seorang gadis tsuntsun yang diam-diam bekerja di sebuah maid kafé dan berkata, “Meow meow! Selamat datang kembali, Master… huh, apa yang sedang kalian lakukan disini?!’ itu bagaimana seharusnya terjadi – atau seharusnya kukatakan ditakdirkan untuk terjadi?!”

“Aku sama sekali tidak paham apa-apaan yang sedang kamu bicarakan.”

Aku sama sekali tidak peduli tentang kecenderungan Zaimokuza. Berkat dia, kami menghabiskan waktu sepanjang hari. Hari sudah mulai agak larut, dan tidak akan ada gunanya pulang, hanya untuk pergi keluar lagi.

Tapi oh yah, Yuigahama terlihat cukup senang mencoba pakaian maid dan ditambah lagi aku menemukan kafé yang bagus. Itulah akhirnya untuk sekarang.


× × ×


4-8[edit]

Pada hari setelah kami mengunjungi maid kafé, jumlah orang di dalam ruangan klub mencatat rekor tertinggi. Kami memeras otak kami bersama karena menurut Yukinoshita, ketika pengobatan gejalanya tidak efektif, kamu perlu mengubah sudut pandangmu dan berusaha membasmi akar penyebab masalah tersebut.

Aku tahu bahwa Yukinoshita dan aku – dan mungkin juga Yuigahama – adalah anggota klub. Itu juga tidak terlalu misterius melihat Totsuka dan Zaimokuza disini karena mereka kadang-kadang berkunjung. Satu orang lagi hadir meskipun itu tidak biasa baginya untuk berada disini, dan misteriusnya, dia berbaur ke dalam tempat ini.

“Apa yang membuatmu datang kemari, Hayama?” tanyaku.

Hayama sedang membaca sebuah buku di dekat kaca jendela. Oi, yang benar saja, pikirku. Sedang apa salah satu pria baik tipe atletis ini membaca sebuah buku? Aku bertaruh bukan hanya itu saja yang mampu dilakukannya. Ketika aku memanggilnya, Hayama menutup bukunya dan melambaikan tangannya dengan gaya rendah hati.

“Kamu tahu, Yui memanggilku kemari…”

“Yuigahama memanggilmu?”

Aku berpaling untuk melihat Yuigahama yang dadanya terbusung akan rasa bangga untuk alasan tertentu.

“Yap, Aku agak memikirkannya, dan bukankah kamu berpikir pasti ada beberapa alasan tertentu Kawasaki-san berubah. Jadi aku pikir itu akan bagus untuk melenyapkan alasan itu tapi, macam, itu agak susah untuk dilakukan ketika tidak ada orang yang memberitahu kita apa alasan itu, ente tahu?”

“Ya, kurasa.”

Yang ajaibnya, argumen Yuigahama cukup logis. Terpesona akan keajaiban kecil ini, aku hanya bisa bergugam sebagai responnya. Sebagai akibat sanjungan itu, Yuigahama membusungkan dadanya lebih jauh lagi sampai aku bersumpah dia sedang melihat ke langit-langit.

“Aku tahu, benar?! Itulah mengapa kita harus memikirkan sesuatu untuk melawannya. Jika dia berubah menjadi buruk se-kali, maka kita bisa mengubahnya menjadi baik kali ini.”

Dia adalah salah satu jenis orang “dua kali salah menjadi benar[25]”. Dia pasti lebih antek dibanding Three Stooges.

“Jadi, mengapa perlu memanggil Hayama-kun?” kata Yukinoshita dengan agak jengkel, seakan dia tidak terlalu menganggap tinggi kemampuan Hayama.

Tapi Hayama tidak terlihat begitu peduli karena dia telah memalingkan perhatiannya pada Yuigahama.

“Kamu tidak mengerti, Yukinon,” kata Yuigahama. “Hanya ada satu alasan mengapa seorang gadis bisa berubah.”

“Alasan seorang gadis bisa berubah… apa kamu sedang mengatakan tentang degradasi seiring waktu?”

“Bukankah itu disebut penuaan?! K-Kamu salah mengerti! Seorang gadis akan selalu menjadi seorang gadis di dalam hatinya! Yukinon, lebih berbanggalah pada dirimu sebagai seorang wanita!”

“Jangan itu lagi…” Yukinoshita menghela karena tercengang. Namun, dia ada benarnya juga. Menurut pendapatku, para gadis yang memakai frasa “kekuatan gadis” memiliki kekuatan gadis yang lebih rendah dibanding para gadis yang mereka tegur akan tidak memiliki kekuatan gadis.

“Alasan seorang gadis bisa berubah a-adalah… cinta atau sesuatu semacam itu.”

Aku tidak menyangka gadis ini bisa menyebutkan sesuatu yang begitu memalukan.

…belum dibilang bahwa dia yang paling merasa malu di antara kami semua.

“Y-yang penting! Ketika kamu menyukai seseorang, seluruh duniamu berubah! Aku pikir kita sebaiknya mencari seseorang yang bisa memicu reaksi itu… jadi aku memanggil Hayato-kun.”

“Er, Aku tidak mengerti mengapa kamu terpikir akan diriku,” Hayama berkata pada Yuigahama dengan senyuman tegang.

Oi, kamu bajingan, jika kamu bahkan tidak tahu mengapa dia terpikir akan dirimu, aku akan lebih kesal pada dirimu. Zaimokuza jelas memikirkan hal yang sama, karena dia menatap pada Hayama pada kira-kira saat yang sama denganku.

“Aku yakin ada banyak pria lain yang akrab dengan para gadis. Bahkan diantara kita… bukankah Totsuka cukup populer?”

Oh, bagus… jadi Hayama sadar akan kepopulerannya sendiri… Maksudku tidak, aku tidak akan pernah memaafkan bajingan itu. Zaimokuza jelas memikirkan hal yang sama, karena dia menatap pada Hayama pada kira-kira saat yang sama denganku.

“A-Aku? Aku tidak benar-benar tahu tentang itu…” Totsuka melihat ke bawah, wajahnya memerah.

Ketika Yuigahama melihat bagaimana tampang Totsuka, Yuigahama melipat tangannya dan merenung sedikit. “Hmm. Aku juga merasa Sai-chan itu imut, tapi aku tidak merasa dia itu tipenya Kawasaki. Pria lain disini, mari kita hadapi saja, Chuuni itu tetaplah chuuni. Itu menyisakan hanya Hayato-kun.”

“Oi, jangan dengan santainya mengabaikanku.”

Dia merona merah terang. “K-Kamu tentu saja tidak mungkin, Hikki!”

Men, dia tidak perlu benar-benar marah padaku…

Omong-omong, Zaimokuza bahkan lebih terkejut dibanding diriku yang sama sekali diabaikan… juga, apa julukannya pada Zaimokuza itu ‘Chuuni’?

“Penilaian Yuigahama-san akurat,” kata Yukinoshita padaku. “Apa kamu benar-benar percaya bahwa ada orang di kelasmu yang akan menyadari keberadaanmu?”

“Tidak.”

Aku setuju dengannya. Kamu tahu, jika aku itu seorang gadis, aku tidak akan menaruh sedikitpun ketertarikan pada seorang penyendiri sepertiku. Lihat, itulah talentaku sebagai seorang ninja, oke. Kamu tidak bisa apa-apa ketika eksistensimu diselimuti ke dalam bayang-bayang. Men, sungguh ninja yang hebat diriku ini. Percayalah…

“Oh, uh, Aku tidak mengartikannya seperti itu. Maksudku kamu benar-benar tidak seburuk itu, hanya, kamu tahu, ada alasannya dan sebagainya… pokoknya, aku meminta Hayato-kun untuk membantu.” Saat aku berpikir bagaimana aku akan memakai kemampuan shinobiku untuk menjadi Hokage suatu hari nanti, Yuigahama melanjutkan pembicaraannya pada Hayama yang berada di depannya. “Tidak bisakah kamu membantu kami?”

Dia menepukkan kedua tangannya bersama dan membungkukan kepalanya.

Tidak ada pria yang akan menolak jika dia diminta tolong seperti itu. Banyak hal terjadi pada pria. Dari sejak mereka kecil mereka akan senang jika seseorang meminta sesuatu pada mereka dan mereka akan mendapat perasaan aneh dalam dada mereka jika seseorang menepukkan tangan mereka bersama untuk meminta tolong dan mereka akan termotivasi oleh keinginan untuk menjadi seorang pahlawan dengan membantu orang lain. Banyak hal, kurasa.

Hayama terlihat tidak berbeda. “Aku mengerti,” dia menjawab sambil mengangkat bahunya sedikit. “Tidak ada pilihan lain kalau itu alasannya. Aku tidak bisa menjamin apapun, tapi aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan.” Dia berhenti sejenak. “Kamu juga berusaha yang terbaik, Yui,” katanya selagi dia menepukkan tangannya pada bahu Yuigahama.

Ugh, bukankah dia yang seharusnya berusaha yang terbaik?

“Te-terima kasih…” Yuigahama menjawab dengan tersipu-sipu karena disentuh.

Dan dengan itu, rencana Yuigahama “Operasi: Aksi Komedi Romantis Gigolo Hayama!” mulai berjalan. Sungguh selera penamaan yang jelek.

Intinya sederhana.

Hayama akan menggunakan seluruh kekuatan gigolonya sekaligus untuk merebut dan menjaring hati Kawasaki. (Omong-omong, mengapa mereka berkata kamu 'merebut' hati seseorang? Bahkan seorang gigolopun tidak mampu mengoyak hati seseorang dari dada seseorang.)

Berpindah ke posisi di area parkiran sepeda, kami terus menunggu sebagai persiapan untuk kedatangan Kawasaki. Tentu saja, karena itu tidak biasa bagi kami untuk bersama Hayama, kami menaruh sedikit jarak di antara kami sehingga kami bisa memperhatikan apa yang terjadi di antara dia dan Kawasaki.

Dan kemudian akhirnya, saatnya tiba.

Kawasaki berjalan ke dalam pandangan, dengan lesu menyeret kakinya dengan cara yang sama seperti semalam. Selagi dia menahan kantuk dan membuka kunci sepedanya, Hayama memilih saat itu untuk muncul.

“Halo. Kamu terlihat letih,” ucapnya dengan enteng.

Itu sebenarnya sebuah sandiwara, tapi dia mengatakannya dengan kemulusan yang begitu alamiahnya sampai-sampai kami, yang mendengar di dekat sana, tidak dapat tidak mengutarakan “Halo” kembali padanya.

“Apa kamu ada pekerjaan paruh waktu? Kamu sebaiknya jangan mengigit lebih banyak dari yang bisa kamu telan, kamu tahu?” katanya dengan kekhawatiran yang begitu santai.

Aku tidak bisa percaya Hayama itu, setengah dariku berpikir demikian, sementara setengah lagi sudah jatuh cinta padanya.

Sementara itu, Kawasaki hanya menghela dengan jengkel. “Terima kasih sudah mengkhwatirkanku. Yah, sampai jumpa.” Dia mulai mendorong sepedanya keluar tanpa sedikitpun rasa peduli.

Tapi selagi dia memalingkan punggungnya, suatu suara hangat menyergapnya, suara yang bisa mencairkan bahkan hati terbeku sekalipun.

“Lihat…”

Itu membuat Kawasaki berhenti di tempat. Dia berpaling pada Hayama dari bahunya di tempat dia berdiri.

Angin awal musim panas yang menyegarkan berhembus di celah antara mereka berdua. Pada perkembangan komedi romantis yang tiba-tiba ini, Yuigahama mencondongkan seluruh tubuhnya ke depan dengan ketertarikan besar, mengepalkan tangannya dengan begitu eratnya sampai-sampai telapak tangannya berkeringat. Sementara itu, Zaimokuza berpendar dengan rasa benci dan cemburu dan mengepalkan tangannya dengan niat membunuh.

Saat hembusan menyegarkan itu berhenti, suara Hayama berdering. Hayama memiliki aura pria tampan yang berkilau-kilauan di sekujur tubuhnya. Dia begitu berbau feromon[26].

“Kamu tidak perlu berpura-pura begitu kuat, kamu tahu?”

Selama sejenak, mereka berdua tidak mengatakan apapun.

“Terima kasih, tapi tidak terima kasih.” Kawasaki terus mengayuh sepedanya.

Tapi bagi Hayama Hayato, waktu telah berhenti. Dia sudah ditinggalkan disana. Itu memakan sepuluh detik penuh bagi Hayama untuk kembali ke tempat di mana kami menonton mereka dari balik bayang-bayang.

“Jadi kelihatannya aku ditolak,” dia tertawa dengan malu-malu

“Oh, kerja b'gu- pffffft.” Aku bermaksud untuk menghiburnya, tapi kata-kata itu hanya tidak mau keluar dari mulutku. Sebuah sensasi yang tidak kukenal sedang menendang di perutku. Sia! Pinggangku! Selagi aku melawan untuk menahan perasaan tiba-tiba yang meliputi diriku, pria di sampingku sedang meluap-luap.

“HAHA, BWAHAHAHAHA! Kamu di-ditolak! Ditolak! Rupanya tidak begitu panas juga, setelah ditolak! Bwahahaha!”

“D-Diiiiam sudah, Zaimokuza pfffft…” Aku mendengus dengan keras.

“Itu tidak baik untuk tertawa, kalian berdua!” Totsuka menegur kami, terlihat seakan dia sedang berusaha sangat keras untuk menahan gelak tawanya sendiri. Teriakan tawa Zaimokuza begitu menular dan dia hanya tidak bisa menahan dirinya sendiri.

“Y-yah, kamu tahu. Aku tidak benar-benar keberatan, Totsuka,” kata Hayama, sambil meringis.

…men, dia pria yang baik. Dia bahkan membantu kami meski dia sendiri sangsi, dan karena itu dia merasakan dipermalukan. Dan namun dia menerimanya seperti orang sportif dirinya itu.

Dapat diduga, Zaimokuza menahan tawanya saat dia memikirkan situasi Hayama, dan daripada tertawa dia membatuk keras.

“Tuan Hayama… kamu tidak perlu berpura-pura begitu kuat pfffft! Hahahaha!”

“Idiot! Hentikan itu, Zaimokuza! Berhenti membuatku tertawa!”

Saat Zaimokuza dan aku tertawa meraung-raung, wajah Yuigahama menjadi kaku. “Kalian begitu parah…”

“Jadi ini juga sebuah kegagalan,” kata Yukinoshita. “Terpaksa demikian. Hari ini, kita akan coba pergi ke toko yang satu lagi.”

“Kurasa begitu…”

Aku mendesah. Ini begitu menyenangkan.

Ini adalah yang pertama kalinya aku begitu senang bergabung dengan Klub Servis. Titik.


× × ×


4-9[edit]

Waktu pada arlojiku menunjukkan sudah jam 8:20 malam. Aku bersandar pada monumen lancip (a.k.a “bangunan aneh berbentuk bor itu”) di tempat pertemuan kami di depan Stasiun Kaihin-Makuhari[27]. Di hadapanku berdiri Hotel Royal Okura, dimana bar bernama “Angel Ladder” terletak di lantai atas.

Ini adalah toko terakhir di distrik bisnis pusat Chiba dengan kata “angel” dalam namanya yang beroperasi sampai jam-jam subuh. Namanya tertulis dua kali: pertama dengan huruf Inggris dan kemudian dalam huruf Jepang.

Aku mengatur jas halus dan tidak nyamanku supaya aku bisa lebih terbiasa memakainya. Ini adaah jas cantik yang kupinjam tanpa izin terlebih dulu dari lemari pakaian ayahku, tapi jasnya masih cocok denganku karena kami memiliki tinggi yang kira-kira sama. Aku mengenakan celana jeans dan kaus berwarna dengan kerah stand-up [28] hitam, beserta sepasang sepatu kulit kantoran [29]. Ini bukanlah jenis barang yang kupakai setiap hari.

Serius, aku tidak bisa betah dengan pakaian ini. Semuanya kecuali celana jeansku itu barang ayahku. Rambutku bahkan digel dan sebagainya, atas kebaikan Hikigaya Komachi. Ketika aku meminta Komachi untuk memilih beberapa potong pakaian yang terlihat-dewasa untukku, dia entah bagaimana membongkar seisi rumah dalam pencariannya untuk melengkapi semua pakaianku.

(“Karena kamu memiliki mata seorang pegawai kantor yang lelah, onii-chan, baju dan rambutmu juga perlu terlihat seperti orang dewasa,” tekannya, yang tidak enak untuk kudengar. Apakah mataku benar-benar seburuk itu?)

Orang pertama yang muncul di tempat pertemuan kami adalah Totsuka Saika. “Maaf, apa kamu menunggu lama?”

“Nah, Aku baru saja sampai kemari,” kataku.

Totsuka mengenakan pakaian sporty yang akan terlihat bagus dipakai oleh pria ataupun wanita. Celana kargo longgarnya dipasangkan dengan kaus oblong yang agak ketat. Dia memakai sejenis topi wol tipis yang tidak bisa menghangatkan siapapun dan sepasang headphone tergantung di sekeliling lehernya. Setiap kali dia bergerak-gerak memakai sepatu bola basketnya, rantai dompetnya bergemerincing dan menghasilkan kilauan kelam.

Ini adalah yang pertama kalinya aku pernah melihat Totsuka memakai pakaian biasa – tak heran aku memandangnya dengan kosong. Selagi aku melakukannya, Totsuka memegang topi wolnya dengan erat dan menyembunyikan matanya karena malu untuk beberapa alasan.

“Oh, jangan menatapku terus… a-apakah aku terlihat aneh?”

“T-Tidak, sama sekali tidak! Kamu, uh, terlihat bagus.”

Semua perbincangan ini terdengar luar biasa mirip dengan sesuatu yang mungkin kamu katakan dalam sebuah kencan, tapi sayangnya, Totsuka dan aku bukan dalam hubungan semacam itu.

Zaimokuza membuktikan itu hanya dengan menunjukkan wajahnya.

Oke, untuk beberapa alasan dia mengenakan pakaian sehari-hari seorang bhiksu dan ada handuk putih yang terikat ke sekeliling kepalanya. Yang penting, aku mengabaikannya.

“Hmm. Disini seharusnya merupakan tempat pertemuannya… ooooh! Apakah itu Hachiman!”

Ketika kamu dikesalkan oleh seorang karakter yang menjengkelkan, kamu tidak bisa tidak mengomentarinya. “Ada apa dengan pakaian itu? Mengapa kamu mengikatkan handuk ke sekeliling kepalamu? Kamu pikir kamu itu koki ramen?”

“Oho, astaganaga. Bukankah kamu orang yang menyuruh untuk berpakaian seperti orang dewasa? Maka begitulah, aku memilih untuk memakai pakaian bhiksu dan handuk seperti pria yang sedang bekerja…”

…ah, jadi itu idenya. Men, sekarang karena dia sudah pergi memakainya jadi tidak ada yang bisa kulakukan akan itu. Dia tidak perlu begitu berlebihan, tapi terserahlah.

Pada kira-kira saat yang sama aku menarik kesimpulan itu, aku mendengar suara hentakan kaki Yuigahama yang muncul ke dalam pandanganku. Dia melihat-lihat ke sekeliling dengan gelisah dan mengeluarkan ponselnya. Tidakkah dia menyadari kami berada persis di sampingnya?

“Yuigahama,” Aku memanggilnya, menyebabkannya menjadi kaku sebagai reaksinya. Dia melihat ke belakang dengan rasa takut terpampang di seluruh wajahnya. Yang benar saja, dia baru saja melihat ke arah kami sedetik yang lalu.

“H-Hikki?! Oh, itu Hikki. Untuk sejenak, aku tidak mengenalimu… p-pakaian keren, huh?”

“Diam kamu. Jangan tertawa.”

“A-Aku sama sekali tidak tertawa! Aku hanya, macam, terkejut akan betapa berbedanya kamu dari biasanya…” Dia menatapku sambil membuat suara ketidak-percayaannya. Kemudian dia mengangguk mengerti. “Apakah Komachi-chan memilih pakaian ini untukmu?”

“Ya, kamu cepat tangkap.”

“Persis seperti yang kupikir…” Yuigahama sepertinya telah memahami sesuatu. Aku tidak tahu apa yang telah dipahaminya.

Dia memeriksa dan mengkritik pakaianku untuk beberapa alasan, jadi aku membalas kebaikannya dan memeriksa pakaiannya.

Yuigahama mengenakan tube top [30] dengan tali bra vinyl yang hanya menutupi bahu kanannya dan lepas di bahu kiri. Sebuah kalung berbentuk hati tergantung di lehernya seperti biasa, yang mungkin disukainya. Dia memakai sebuah jaket denim berlengan pendek yang menutupi belahan atas badannya. Celana mini chino hitamnya memiliki kancing emas diatasnya, dan dia memakai sepatu mule berhak tinggi [31] yang menempel pada pergelangan kakinya seperti rambat-rambatan. Setiap kali dia berjalan, gelang kakinya bergoyang.

“Entah bagaimana, kamu tidak terlihat begitu dewasa bagiku…”

“Huh?! Bagian mana?!” Yuigahama melihat pada lengannya dengan panik, dan kemudian pada kakinya. Dari semua aksesoris itu, dia memang terlihat mirip seperti mahasiswi, kurasa…

Dan dengan dia, kami sudah kurang lebih hampir lengkap bersama. Baru saja aku sedang berpikir tinggal satu orang lagi yang perlu muncul, aku mendengar suatu suara di belakangku.

“Maafkan aku. Apa aku telat?”

Gaun musim panas putihnya menonjol dengan cemerlang di dalam kegelapan gulita malam harinya. Memandang ke bawah, aku dapat melihat garis kaki langsing dan gemulainya dari celana ketat hitamnya. Sepatu mule berhak tingginya tampak jelas sederhana, begitu sesuai dengan kakinya seperti sedang memakai sarung tangan. Itu terlihat begitu menyanjung. Ketika dia mengangkat telapak tangannya untuk melihat waktu, permukaan arloji miniatur pinknya tercermin dari kulit putihnya, menonjolkan keimutannya. Aku dapat melihat bahwa gelang metal yang mengelilingi pergelangan tangan yang semampai dan feminin itu terbuat dari perak.

“Sudah waktunya.”

Yukinoshita Yukino menghasilkan pesona keren seperti bunga pegunungan Alpen yang mekar di malam hari.

“B-benar…” Aku tidak bisa mengutarakan sepatah katapun lagi. Aku ingat bagaimana penampilannya menabjubkanku pertama kali aku menemuinya di Klub Servis.

Sekarang kalau saja kepribadiannya cocok dengan penampilannya…

YahariLoveCom v2-211.png

“Kamu si Hantu Mottainai?”

“Itu konyol. Hantu Mottainai tidak pernah ada.[32],” Yukinoshita membantahku dengan mulus, memandang pada kami semua satu per satu. “Hmph…” Dia menunjuk pada kami semua, dimulai dari Zaimokuza. “Pakaian itu tidak sesuai.”

“Huh?”

“Pakaian itu tidak sesuai.”

“…eh?”

“Pakaian itu tidak sesuai.”

“Apa?”

“Seluruh penampilanmu tidak sesuai.”

“Hei…”

Untuk beberapa alasan dia sedang menilai kami semua. Dan untuk beberapa alasan, dia menilaiku dengan berbeda dari yang lain…

“Aku memberitahu kalian semua untuk datang dalam pakaian formal.”

“Aku kira kamu bilang berpakaian seperti orang dewasa?”

“Di tempat kita akan berkunjung, tidak akan ada orang yang berpakaian seperti itu. Pria berpakaian dengan dasi mereka terpasang dan itu wajar untuk memakai sebuah jas.”

“A-Apa seharusnya begitu…?” tanya Totsuka.

Yukinoshita mengangguk sebagai jawabannya. “Banyak hotel dan restoran dengan harganya agak lumayan yang seperti itu. Kamu sebaiknya mengingatnya.”

“Kamu terdengar seakan kamu tahu apa yang sedang kamu katakan.” Itu bukanlah sesuatu yang seharusnya diketahui oleh murid SMA biasa, itu sudah pasti. Restoran yang kami kunjungi kira-kira hanya Bamiyan dan Saize. Restoran paling berkelas yang pernah kami kunjungi paling baguspun hanya Royal Host.

Yang penting, hanya aku di antara kami semua yang memakai jas. Totsuka mengenakan pakaian biasa, sementara Zaimokuza terlihat seperti koki ramen.

“A-Apakah pakaianku juga tidak bagus?” tanya Yuigahama untuk memastikan.

Yukinoshita terlihat agak tidak nyaman. “Untuk seorang gadis, kode pakaianmu tidak begitu buruk… tapi jika pengiringmu itu Hikigaya-kun, kamu sebaiknya berpakaian lebih tertutup.” Aku merapikan jas seperti Hiromi Go-ku untuk membuat keberadaanku diketahui, tapi Yukinoshita terkekek[33]. “Pakaianmu mungkin membuatmu terlihat tidak berbahaya tapi mata busukmu itu berkata lain.”

…apa mataku benar-benar sehebat itu?

“Aku lebih baik tidak perlu membuang-buang tenaga untuk mencoba lagi setelah ditolak di pintu masuk untuk yang pertama kali, jadi aku rasa kamu sebaiknya berganti pakaian di rumahku, Yuigahama-san.”

“Whoa, kamu mengizinkanku ke rumahmu?! Aku mau pergi, aku mau pergi!” Yuigahama kemudian sadar. “Oh, tidakkah aku menganggu pada jam-jam segini?”

“Itu tidak perlu dikhawatirkan. Aku tinggal sendirian, kamu tahu.”

“Kamu perempuan yang cakap?!” Yuigahama berkedip akan keterkejutannya yang berlebihan.

Aku perlu tahu ada apa dengan asumsinya itu. Apa dia pikir semua orang yang hidup sendirian itu pasti seorang perempuan yang cakap? Tapi untuk Yukinoshita, aku harus setuju. Masakannya begitu lezat dan (lebih persisnya) aku tidak bisa membayangkan dia tinggal dengan orang lain.

“Kalau begitu ayo kita pergi? Rumahku cuma di sebelah sana.” Yukinoshita mendongak ke langit di belakangnya.

Seluruh lingkungan itu dipenuhi dengan apartemen bertingkat-tinggi yang terkenal akan harganya yang cukup mahal. Aku tidak benar-benar menonton televisi jadi aku tidak tahu banyak, tapi aku mengenali tempat ini sebagai setting dalam drama atau kadang-kadang iklan. (Trivia: Kaihin-Makuhari sering dipakai sebagai latar dalam tayangan pahlawan.)

Yukinoshita sedang menatap cahaya oranye redup yang datang dari sebuah gedung pencakar langit yang sangat tinggi. Yang menariknya, kelihatannya Yukinoshita tinggal di dalam salah satu ruangan lantai bagian atas. Whoa. Whoa, Jadi ini cara orang-orang kelas menengah ke atas hidup… entah kenapa, aku bahkan ragu jenis apartemen ini mau mengizinkan seorang gadis SMA hidup sendiri.

“Totsuka-kun,” katanya, “Maafkan aku untuk mengecewakanmu setelah kamu datang sejauh ini…”

“Tidak, tidak masalah. Itu agak menyenangkan melihat kalian semua bukan mengenakan seragam kalian,” kata Totsuka sambil menyeringai.

Keimutannya saja hampir membuatku ingin pulang ke rumah. Aku tidak mau melihatnya pulang. “Oke, jadi selagi Yuigahama sedang berganti pakaian, kita akan menyantap makan malam. Hubungi aku setelah kalian selesai.”

“Oke, tentu saja!”

Setelah dua gadis itu berpisah dari kami, tiga pria yang tersisa bungkam, mendengarkan suara perut keroncongan mereka.

Jadi, apa sebaiknya yang kita makan?” tanya Zaimokuza sambil mengelus-elus perutnya.

Totsuka dan aku melihat satu sama lain.

“Ramen,” kata kami serempak.


× × ×


4-10[edit]

Aku berpisah dari Totsuka dan Zaimokuza di depan palang tiket stasiun kereta. Pada toko ramen itu, Zaimokuza dikira sebagai kokinya oleh pelanggan yang lain, jadi mereka terus mencoba untuk memesan makanan darinya. Meskipun begitu, aku dapat memakan sejumlah ramen yang rasanya lezat dan mereka berdua juga terlihat puas.

Saat aku meninggalkan stasiunnya, aku menghadap Hotel Royal Okura. Kali ini, aku akan bertemu dengan Yukinoshita dan Yuigahama disana, hanya mereka berdua saja. Ketika aku berdiri di depan hotelnya untuk yang kedua kalinya, aku sedikit merasa tabjub akan betapa besarnya hotel itu. Bahkan cahaya redup yang bersinar dari bangunan itu terlihat seperti sesuatu dari dunia lain. Jelas sebuah bangunan yang tidak sepatutnya dimasuki oleh murid SMA.

Meski begitu, aku masuk ke dalam, jantungku berdetak dengan takut di dalam dadaku. Bahkan lantai di bawah kakiku terasa sepenuhnya berbeda. Sebuah karpet terbentang di depanku. Apa ini, Academy Awards?

Aku dapat melihat semua nona-nona dan tuan-tuan di ruang duduk sedang bertingkah dengan cara berlagak-lagak. Aku dapat melihat orang asing di sini-sana. Ini menakutkanku; benar-benar terlalu mirip dengan Kota Makuhari.

Menurut pesan teks yang kuterima dari Yuigahama, kami seharusnya bertemu di depan lift hotel. Tidak seperti lift yang kukenal, pintunya disinari lampu-lampu. Dan pintunya juga lebar. Macam, kamu bisa memasukkan sebuah sofa ke dalam lift. Itu lebih besar daripada ruang tamuku. Ditambah lagi, sofanya begitu nyaman untuk diduduki – benar-benar empuk. Oh, dan ada juga vas dan sebagainya di sekitar sini. Sesaat setelah aku bersandar di sofa dan menguap, ponselku membuat suara beep.

“Kami sudah sampai, u sudah disini??”

Dia bilang dia sudah sampai tapi… Aku melihat ke sekelilingku dengan ragu.

“M-maaf membuatmu menunggu…” kata seorang nona cantik dan berbau manis padaku.

Sepotong gaun merah tua menelusuri garis melingkar di sekeliling garis lehernya, membuatnya terlihat seperti putri duyung. Rambutnya diikat menjadi bun, dan selagi dia melirik padaku dia menelan ludah. “Benar-benar terlihat seakan aku sedang datang kemari untuk mengunjungi pertunjukkan piano…”

“Oh, kamu, Yuigahama. Aku pikir kamu itu orang lain.” Aku akhirnya menyadari dia itu Yuigahama berkat cara bicara gadis remajanya, tapi aku mungkin tidak akan pernah mengenalinya jika dia kebetulan bertingkah kalem.

“Bisakah kamu setidaknya berkata kamu sedang kemari untuk menghadiri upacara pernikahan? Seperti yang bisa diduga, bagaimanapun juga, perasaanku terbelah dua saat diberi tahu pakaian selevel ini adalah untuk mengunjungi pertunjukkan piano…” kata seorang gadis cantik dengan gaun hitam pekat yang baru saja muncul.

Kain gaunnya menghasilkan suasana kecemerlangan yang tidak dipalsukan, menambah kecantikan kulit putihhnya, seputih salju segar. Roknya yang semakin melebar, yang memanjang sampai ke lututnya, menampilkan kakinya yang berbentuk. Dan apa yang lebih memikat lagi adalah rambutnya yang indah dan seperti sutera itu. Rambutnya diikat menjadi satu ponytail tunggal yang longgar dan jatuh sampai ke dadanya, terlihat seperti sebuah hiasan.

YahariLoveCom v2-217.png

Tidak ada kesalahan sedikitpun. Dia itu Yukinoshita Yukino.

“K-Kamu tahu, ini adalah yang pertama kalinya aku mengenakan pakaian seperti ini,” tegas Yuigahama. “Macam whoa, siapa kamu, Yukinon?!”

“Sungguh berlebih-lebihan. Aku hanya memilikinya untuk berjaga-jaga kalau ada kesempatan untuk memakainya.”

“Sebagian besar orang tidak akan pernah mendapat kesempatan itu,” ujarku. “Dan omong-omong, dimana mereka menjual pakaian-pakaian ini? Shimamura[34]?”

“Shimamura? Itu yang pertama kalinya aku pernah mendengar merek itu…” jawabnya datar.

Gadis ini bahkan tidak akan bisa mengenali perbedaan antara Shimamura dengan Uniqlo.

“Baiklah kalau begitu, mari kita pergi?” Yukinoshita menekan tombol liftnya. Lampunya menyala dengan suara ding dan pintunya terbuka tanpa suara.

Dari kaca liftnya aku bisa melihat satu sapuan pandang teluk Tokyo. Pemandangan malam hari Makuhari dibercakkan oleh cahaya yang gemilang: kapal pesiar sedang berlayar, mobil-mobil sedang berlari melintasi kota pinggir teluk dengan lampu belakang mereka menyala-nyala, serta bangunan tingkat tinggi.

Ketika kami sampai ke lantai atas, pintunya terbuka sekali lagi.

Cahaya yang lembut dan menenangkan terbentang di depan. Sebuah bar tersebar di depan kami, tersembunyi dalam kegelapan oleh karena pencahayaan lilin yang redup.

“Hei… hei. Whoa. Ini…”

Kami jelas-jelas masuk ke tempat yang tidak dimaksudkan untuk kami. Di atas sebuah panggung yang diterangi oleh lampu sorot, seorang nyonya berkulit-putih sedang memainkan lagu jazz dengan piano. Dia mungkin orang Amerika. Toh, orang asing = orang Amerika.

Mungkin aku sebaiknya pulang ke rumah saja, pikirku, membuat kontak mata dengan Yuigahama. Dia mengangguk dengan tak sabaran seakan dia tidak bisa mengatakan cukup 'ya'.

Semua yang diperlukan hanya seorang rakyat jelata seperti Yuigahama untuk membuatku merasa amat tenang di dalam ruangan ini. Tapi bagi Yukinoshita, anggota masyarakat kasta tinggi, tidak diperbolehkan merasa begitu.

“Berhenti melongo.” Dia menginjakku dengan kuat dengan sepatu haknya.

“Aw!” Aku berteriak tanpa berpikir banyak. Ada apa dengan sepatu hak tinggi itu? Benda itu menusukmu dengan begitu menyakitkan. Itu macam ikan pari atau semacamnya.

“Berdiri lurus dan busungkan dadamu ke depan. Dorong dagumu ke dalam,” suara Yukinoshita menerjang telingaku selagi dia dengan diam-diam mencengkram siku kananku. Jari indah nan lentingnya mengait pada sikuku dengan ketat.

“Er, uh… Yukinoshita-san? Ada suatu masalah?”

“Jangan gugup. Yuigahama-san, lakukan hal yang sama.”

“A-Apa?”

Dengan sebuah tampang yang sepenuhnya tercengang di wajahnya, Yuigahama bertingkah seperti-orang dewasa yang didiktekan Yukinoshita. Untuk singkatnya, dia mencantelkan tangannya pada siku kiriku.

“Lalu mari kita jalan,” ucap Yukinoshita padaku.

Dengan itu, Yukinoshita, Yuigahama dan aku mulai berjalan dengan pelan dan seirama dengan satu sama lain. Ketika kami melalui pintu yang terbuka dan besar itu, kami langsung didekati oleh seorang pelayan pria, dan aku menundukkan kepalaku.

“Berapa banyak orang?” “Apa anda merokok, tuan?” Aku tidak dapat menangkap satu katapun. Selagi dia terus berbicara terus menerus, pria itu menjaga jarak setengah langkah di depan kami, menuntun kami ke konter bar di depan tepi sebuah jendela kaca.

Disana, yang sedang mengelap gelas-gelasnya secara menyeluruh adalah seorang pelayan bar wanita. Dia berdiri dengan pasti dan tegap serta sepenuhnya kalem. Ekspresi bisu dan mata kurang tidurnya sesuai dengan suasana bar bercahaya redup ini.

…hei, bukankah ini Kawasaki?

Dia menghasilkan kesan yang benar-benar berbeda dengan kesannya di sekolah. Rambut panjangnya diikat bun, dia mengenakan pakaian seorang pelayan dan gerakannya elegan dan halus. Kelesuaannya sudah sirna.

Tanpa menyadari siapa kami, Kawasaki tanpa suara meletakkan sebuah tatakan gelas dan penyegar di depan kami, menunggu dengan diam. Aku pikir sudah pasti dia akan meletakkan menu di depan kami dan menanyakan pesanan kami, tapi tentu saja tidak seperti itu adanya.

“Kawasaki,” kataku padanya dengan pelan.

Kawasaki membuat tampang sedikit cemas. “Maafkan aku. Siapa anda?”

“Aku terkesan. Bahkan teman sekelas Hikigaya-kun sendiri tidak mengingat wajahnya,” kata Yukinoshita dengan tabjub selagi dia duduk diatas sebuah bangku.

“Yah, kamu tahu. Pakaian kita hari ini berbeda, jadi itu bukan salahnya,” sela Yuigahama selagi dia juga duduk.

Ada sebuah tempat duduk kosong di antara mereka. Jika ini Othello, aku pasti sudah kalah. Kalau ini Go… oh yah, aku bahkan tidak tahu peraturan permainan itu.

“Kami menemukanmu, Kawasaki Saki-san,” ujar Yukinoshita.

Mimik wajah Kawasaki berubah. “Yukinoshita…” Ekspresinya seperti seseorang bertemu dengan musuh bebuyutannya. Wajahnya terlihat jelas garang.

Meski aku ragu mereka berdua pernah berinteraksi dengan satu sama lain, Yukinoshita itu wajah yang terkenal di sekolah kami. Aku rasa ada orang yang tidak begitu senang dengan Yukinoshita dari caranya muncul dan jenis kepribadiannya itu.

“Selamat malam.” Entahpun dia sadar ataupun tidak pada perasaan Kawasaki, Yukinoshita mengutarakan sapaan standar pada malam hari dengan kalem.

Mereka berdua saling bertukar pandang. Perbedaan mereka seperti siang dan malam. Aku mendapat perasaan ada percikan-percikan. Menakutkan.

Mata Kawasaki menyipit dengan tajam selagi dia menuangkan minuman untuk Yuigahama. Bersama dengan Yukinoshita, seseorang dari sekolahnya, berarti mereka hanya bisa melihat menembus wujud transparan satu sama lain.

“Yo, apa kabar…?” kata Yuigahama dengan lemah, seakan tidak tahan akan tekanannya.

“Yuigahama… Aku tidak mengenalku untuk sesaat. Jadi apa pria ini juga orang SMA Soubu?”

“Uh, ya,” kata Yuigahama. “Dia Hikki dari kelas kita. Hikigaya Hachiman.”

Ketika aku menganggukan kepalaku untuk membenarkan, Kawasaki menghela dan tersenyum pasrah. “Begitu ya, jadi kalian memergokikku.”

Dia mengangkat bahunya seakan dia tidak ada apapun yang perlu disembunyikan. Melipat lengannya, dia bersandar ke dinding. Tindakan itu menandakan bahwa mungkin perihal kedoknya terbongkar ini menganggunya lebih dari apa yang ditunjukkannya. Dia menghasilkan kesan lesu, persis seperti yang dilakukannya di sekolah, dan setelah dia menghela letih, dia memandang ke arah kami.

“…kalian mau minum?”

“Aku pesan Perrier,” kata Yukinoshita sebagai jawabannya. Aku bahkan tidak tahu sama sekali apa itu Perrier.

“A-Aku pesan minuman yang sama dengannya!” Itu apa yang rencananya mau kukatakan, tapi Yuigahama mendahuluiku.

Aku mengerang, merasa geram. Yang benar saja, apa yang sebaiknya kukatakan? Dom Pérignon atau Donpen atau semacamnya? (Omong-omong, Donpen itu adalah maskot sebuah klub kusam murahan. Jika kamu memesannya, dia mungkin tidak akan keluar.)

“Hikigaya, benar? Bagaimana denganmu?”

Perri-entahapa itu yang tadi merupakan sebuah minuman serta nama seorang perwira, huh… Aku tidak ada kewajiban khusus apapun untuk mengatakan sesuatu seperti Townsend Harris atau Ernest Mason Satow [35].. Namun, untuk sekarang, aku akan memesan minuman dengan nama orang di dalamnya…

“Aku pesan MAX Co-”

“Dia pesan ale jahe kering,” Yukinoshita memotongku di tengah kalimatku.

Dengan senyum masam dan kata “Aku mengerti,” Kawasaki menyiapkan tiga gelas sampanye dan menuangkan minuman dengan mahirnya sebelum meletakkannya ke atas tatakan gelasnya. Entah mengapa, tanpa mengatakan sepatah katapun, kami akhirnya meletakkan gelasnya ke bibir kami pada saat yang sama dengan satu sama lain.

Kemudian setelah berhenti sejenak, Yukinoshita berkata, seakan mengingat sesuatu, “Aku yakin mereka tidak menyediakan Kopi MAX disini.”

“Yang benar saja?! Tapi ini Chiba.”

Chiba tanpa Kopi MAX bukan lagi Chiba, oke? Bahkan ada Kopi MAX di pegunungan sana, seperti di perfektur Yamanashi.

“…yah, kami ada menyajikannya,” gugam Kawasaki dengan malas, membuat Yukinoshita melihatnya dengan tajam. Jadi, um, omong-omong mengapa mereka berdua tidak akur dengan satu sama lain? Menakutkan. “Jadi untuk apa kalian datang kemari? Jangan beritahu aku kalian sedang berkencan dengan benda itu?”

“Astaga tidak. Jika kamu sedang membicarakan tentang benda di sampingku ini, selera humormu begitu buruk.”

“Um… ini argumen di antara kalian berdua, jadi bisakah kalian berbaik hati untuk tidak melemparkan ejekan ke arahku??” Aku benar-benar tidak terkesan disebut sebagai sebuah benda. Percakapan mereka berdua sepertinya tidak akan sampai kemanapun, jadi aku memutuskan untuk langsung masuk ke intinya. “Aku dengar kamu pulang ke rumah begitu larut akhir-akhir ini. Apakah itu karena pekerjaan sampinganmu ini? Adik kecilmu sedang mengkhawatirkanmu.”

Mendengar itu, Kawasaki tersenyum dengan tampang mengolok samar di wajahnya, namun itu ditutupi oleh kejengkelannya. “Kamu datang jauh-jauh kemari hanya untuk mengatakan itu? Kerja bagus. Kamu tahu, apa kamu benar-benar berpikir aku akan berhenti hanya karena ada pria yang tak kukenal ataupun perduli mengatakan itu padaku?”

“Menabjubkan. Bahkan teman sekelas Hikki tidak mengenal atapun perduli padanya…” Yuigahama memilih saat yang aneh untuk menunjukkan ketabjubannya.

Namun, aku juga tidak tahu apapun tentang Kawasaki, jadi kami seri.

Kawasaki tiba-tiba berkata lagi. “Ooooh, jadi alasan kenapa aku merasa keadaan di sekitarku sudah mulai agak menjengkelkanku akhir-akhir ini itu karena kalian. Taishi mengatakan sesuatu pada kalian? Aku tidak tahu bagaimana dia mencoba mengarangnya, tapi aku akan berbicara padanya, jadi jangan khawatir.” Dia berhenti sejenak. “Kamu tahu, Taishi tidak ada hubungannya dengan ini.”

Kawasaki terang-terangan menatap tajam padaku. Dia kurang lebih berkata jangan ikut campur dengan urusanku. Tapi Yukinoshita bukanlah jenis orang yang menyerah setelah menemui kesulitan.

“Ada alasan bagimu untuk berhenti.” Yukinoshita memalingkan pandangannya dari Kawasaki ke arloji di tangan kirinya, melihat waktu. “10:40… jika kamu itu Cinderella, kamu hanya punya sisa satu jam lagi sebelum sihirmu habis.”

“Jika sihirku sudah mau habis, hanya ada akhir bahagia yang menungguku, bukankah begitu?”

“Aku tidak tahu tentang itu, Putri Duyung Kecilku. Aku yakin hanya ada akhir buruk yang menunggu di depanmu.”

Pembawaan percakapan mereka membuat orang tidak berani memotong, seakan untuk mengimbangi suasana keseluruhan dalam bar itu. Mengulang kalimat menyindir serta menghina merupakan hobi orang golongan atas. Tapi serius, mengapa mereka berdua tidak bisa akur? Bukankah ini yang pertama kalinya mereka saling berbicara pada satu sama lain? Menakutkan.

Seseorang menepuk bahuku terus menerus dan berbisik pada telingaku, mengalihkanku dari pemikiranku.

“…hei, Hikki. Apa yang sedang mereka berdua bicarakan?”

Oh, Yuigahama. Aku bisa benar-benar merasa tenang dengan seorang rakyat jelata sepertimu disini…

UU Standar Ketenagakerjaan melarang anak di bawah umur untuk bekerja melewati jam sepuluh malam. Dengan bekerja bahkan pada jam ini, Kawasaki sedang memakai sihir yang dinamakan KTP ilegal. Dan sihir itu akan habis jika Yukinoshita membeberkannya keluar.

Namun Kawasaki masih tak gentar seperti biasa.

“Jadi kamu tidak ada keinginan untuk berhenti?” Yukinoshita menekannya.

“Hm? Tidak,” kata Kawasaki dengan santai selagi dia mengelap sebuah botol sake dengan kain. Kemudian dia berhenti sejenak. “Yah, kalaupun aku memutuskan untuk berhenti bekerja di sini, aku selalu bisa mencari pekerjaan di tempat lain.”

Yukinoshita mengaduk Perry-nya (…atau apa itu Harris?) dengan gelisah, seakan dia merasa sedikit kesal akan kelakuan Kawasaki.

Dalam suasana meresahkan dan tidak ramah ini, Yuigahama membuka mulutnya dengan gugup.

“Um, kamu tahu… Kawasaki-san, mengapa kamu harus bekerja di sini? Maksudku, seperti, aku juga mencari pekerjaan sampingan ketika aku tidak punya uang, tapi itu tidak seperti aku berbohong mengenai usiaku dan bekerja di malam hari…”

“Tidak ada alasan… Aku hanya perlu uangnya.” Botol sake di atas meja itu membuat sedikit suara gesekan ketika dia meletakkannya ke atas meja.

Yah, kurasa begitulah cara kerjanya, pikirku. Uang selalu menjadi alasan utama untuk bekerja. Ada orang yang melakukannya karena semua orang yang lain juga melakukannya atau karena mereka tidak bisa hidup tanpa bekerja, tapi aku tidak akan pernah mengerti tipe-tipe orang itu.

“Oh, ya, Aku mengerti apa yang kamu maksud,” mulaiku dengan santai.

Ekspresi Kawasaki langsung mengeras. “Tidak, kamu tidak mengerti… tidak ada orang yang menulis pilihan karir sebodoh itu yang bisa mengerti.”

Kawasaki dan aku bertemu suatu ketika di atap. Dia telah melihat jawaban yang kutulis dalam Formulir Survei Tur Kerja Prospektif. Apa itu mengingatkanmu?

“Tidak sebodoh itu…”

“Huh, jika itu bukan bodoh, aku tidak tahu lagi apa itu. Kamu benar-benar memandang rendah kaum manusia.” Kawasaki menghantam kain yang dipakainya untuk mengelap botol sake itu pada konternya, menimbulkan suara thud, membuat langit-langitnya berguncang. “Kamu… tidak, tidak hanya kamu – Yukinoshita dan Yuigahama juga tidak mengerti. Ini bukan seperti aku sedang bekerja karna aku mau uang untuk dihambur-hamburkan. Jangan gabungkan aku bersama si bodoh di sana itu.”

Kawasaki menatap tajam padaku dengan tekad baja di matanya. Jangan ikut campur urusanku, mata itu terlihat meraung keras. Tapi dia sedang menangis di dalam hati.

Dan namun, yang terpenting adalah itu benar-benar merupakan sebuah tanda kekuatannya. Aku tidak dibuat untuk berpikir bahwa kata-kata pedasnya itu adalah suatu helaan tanda menyerah, menandakan bagaimana oh begitu disalah-pahaminya dia dan dia diam-diam ingin orang menyukainya.

Ambil Yukinoshita, sebagai contoh. Dia selalu disalah pahami oleh semua orang, dan dia tidak pernah menyerah ataupun menangis. Tapi itu karena dia yakin akan kekuatan tekadnya sendiri.

Atau ambil Yuigahama. Ketika dia mencoba untuk memahami seseorang, dia tidak menyerah atapun melarikan diri. Tidak peduli bagaimana hal-hal itu terlihat olehnya pada permukaannya, dia selalu akan terus mencoba untuk berhubungan dengan orang lain tersebut, berdoa bahwa sesuatu akan berubah.

“Ya, tapi tidak akan ada yang berubah jika kamu tidak berbicara dengan kami, k'mu tahu? Itu mungkin bahkan, macam, membuatmu lebih kuat… hanya berbicara saja bisa menaikkan semangatmu, jadi ya…” suara Yuigahama menghilang di tengah kalimat. Tatapan dingin Kawasaki membungkamnya sebelum dia bisa mengutarakan apa-apa lagi.

“Seperti yang kubilang, kalian pasti tidak mengerti. Membuat aku lebih kuat? Menaikkan semangatku? Oke, kalau begitu. Kalian bisa mencetakkan uang untukku. Bisakah kalian memikul beban yang tidak dapat dipikul orangtuaku?”

Ya Tuhan! Kawasaki begitu menakutkanku. Kata-katanya membuat Yuigahama menundukkan kepalanya karena malu. “I-Itu…” gugamnya dengan susah payah.

“Itu sudah cukup,” kata Yukinoshita dengan nada kaku. “Jika moncongmu mengoceh lagi…” Dia malah lebih mengesankan dengan memotong di tengah-tengah kalimat Yuigahama. Aku begitu takut sampai kulitku merinding.

Sepertiku, Kawasaki mengernyit sejenak, tapi dia berpaling kembali pada Yukinoshita dengan suara tsk kecil. “Hei, bukankah ayahmu seorangg anggota parlemen perfektur? Tidak mungkin orang kaya angkuh sepertimu bisa memahamiku…” katanya dengan nada bisikan pelan. Ada tanda rasa kalah dalam suaranya.

Segera setelah kawasaki mengutarakan kata-kata itu, terdengar suara dentang tajam saat sebuah gelas terjatuh.

Ketika aku melihat ke samping, suatu genangan Perrier tersebar dari arah gelas sampanyenya yang jatuh menyamping itu. Yukinoshita sedang mengigit jarinya, pandangannya terarah ke bawah. Aku tidak pernah terbayang Yukinoshita terlihat seperti itu. Tidak mampu mengumpulkan pemikiran apapun, aku memandang ke bawah pada Yukinoshita dengan rasa syok.

“…Yukinoshita?”

Dia membuat reaksi. “Huh? O-oh, Aku minta maaf,” kata Yukinoshita dengan ekspresi biasa – tidak, bahkan dengan ekspresi kaku yang lebih tak berekspresi dari biasanya selagi dia dengan kalem mengelap mejanya dengan sebuah handuk tangan yang dibasahi.

Aku rasa itu bagi Yukinoshita, reaksi tidak biasa itu adalah reaksi tabu. Dipikir-pikir lagi, itu bukan yang pertama kalinya aku pernah melihatnya membuat ekspresi seperti itu. Baru saja aku hampir mengingat di mana aku pernah melihatnya sebelumnya, aku mendengar suara seseorang menghantam meja konter.

“Tunggu dulu! Keluarga Yukinon tidak ada hubungannya dengan ini!” Yuigahama berkata dengan tak biasanya keras selagi dia menatap tajam pada Kawasaki. Ini bukan lelucon atau usaha untuk akur – Yuigahama sedang geram. Jadi dia juga bisa membuat wajah sejelek itu juga ketika dia marah…

Entahkah karena kontras dari sikap Yuigahama yang biasanya bercanda tawa mengejutkannya atau karena dia sendiri menyadari dia telah mengucapkan sesuatu yang menyakitkan hati, Kawasaki agak menurunkan nadanya.

“…kalau begitu keluargaku juga tidak ada hubungannya dengan ini.”

Dan itulah akhirnya.

Yuigahama dan aku – dan, tentu saja, Yukinoshita – tidak ada hubungan dengannya. Jika, katakan saja, tindakan Kawasaki ini untuk sementara melanggar hukum, orangtua dan gurunya yang dipersalahkan atas hal ini dan dia akan akhirnya diadili oleh hukum. Tidak ada satu hal pun yang kami – yang bukan temannya ataupun sama sekali bukan apapun baginya – bisa lakukan untuknya.

“Kamu mungkin benar tapi ini bukan masalahnya di sini! Yukinon itu-”

“Yuigahama-san. Tolong tenangkan dirimu. Aku hanya menjatuhkan gelasku. Itu bukanlah sesuatu yang perlu kamu cemaskan, jadi jangan khawatir.” Yukinoshita dengan lembut menahan Yuigahama, yang seluruh badannya sedang dicondongkan sampai melewati konter. Dia menjaga suaranya lebih kalem dari biasanya dan itu memang terdengar sangat kaku.

Meskipun sekarang sedang awal musim panas, suasananya begitu dingin dan mencekik. Itulah bagaimana keadaannya berjalan hari ini. Yukinoshita, Yuigahama dan juga Kawasaki berbicara dengan kalem dan berakhir seperti ini.

Hanya ada beberapa hal yang kumengerti. Semua yang tersisa adalah melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi sekarang ini.

“Ayo kita cepat pulang saja. Jujur saja, aku tidak bisa menjaga mataku tetap terbuka di sini. Sesaat setelah aku selesai meminum ini aku akan pulang.”

Dipikir-pikir lagi, Cinderella masih memiliki setengah sisa waktunya.

“Kamu…” Yukinoshita menghela dengan muak dan baru saja akan mengatakan sesuatu padaku sebelum Yuigahama menghentikannya.

“Nah nah. Yukinon, mari kita pulang sekarang?”

Ketika Yuigahama dan aku bertukar pandang, Yuigahama membuat anggukan kecil. Kelihatannya Yuigahama telah menyadari bahwa Yukinoshita sedang bertingkah berbeda dari dirinya yang biasa.

“…baiklah, kalau begitu mari kita pulang.”

Yang ajaibnya, Yukinoshita mengikuti kata-kataku, seakan dia sendiri sadar dia sedang bertindak aneh. Selagi dia dengan pelan meletakkan sejumlah uang tunai di atas meja bahkan tanpa memeriksa bonnya, dia berdiri. Yuigahama berdiri dari kursinya, mengikuti tindakan Yukinoshita.

Aku memanggil ke arah punggungnyya. “Yuigahama, Aku akan mengirimkanmu SMS nanti.”

“…huh? Oh, uh. Benar, um, oke.” Karena pencahayaan bar terarah padanya, aku bisa melihat wajah Yuigahama merah terang dan tangannya bergerak gelisah di depan dadanya. Itu adalah sebuah tindakan yang begitu aneh di tempat trendi ini, jadi aku harap dia menghentikannya. “Aku akan menunggunya, kalau begitu.”

Setelah aku melihat mereka berdua pergi, aku mengayun-ayunkan gelasku dan berpaling pada Kawasaki. Setelah aku memuaskan sedikit rasa hausku, aku mulai berbicara.

“Kawasaki. Berikan sedikit waktumu besok pagi. Aku akan berada di McDonalds jam setengah enam. Mengerti?”

“Huh? Kenapa?” Tingkah Kawasaki bahkan lebih dingin dari sebelumnya.

Namun, aku percaya kata-kataku yang selanjutnya bisa mengubah tingkahnya. “Aku mau membicarakan sesuatu padamu mengenai Taishi.”

“…apa?” Kawasaki menatapku dengan curiga – tidak, lebih mirip mata penuh kebencian. Untuk menghindari mata itu, aku menenggak semua sisa cairan dalam gelas sampanyeku dengan sekali teguk dan berdiri.

“Kita akan membicarakan tentang itu besok. Sampai nanti.”

“Tunggu dulu!” teriaknya padaku.

Mengabaikannya, aku berjalan keluar dari tempat itu dengan cara berlagak yang keren yang cocok dengan kesan trendi toko itu.

“Tunggu dulu! Tidak cukup uangnya!”

…sialan, Yukinoshita. Dia tidak membayarkan bagianku. Tanpa suara, aku kembali ke konter dan menawarkan cuma selembar uang seribu yen hanya supaya sopan. Ketika aku melakukannya, aku menerima enam puluh yen sebagai kembaliannya. Aku mendapat perasaan aku tidak seharusnya bertanya padanya mengapa pada saat ini.

Satu porsi ale jahe dihargai hampir seribu yen. Ini perampokan di siang bolong…


× × ×


4-11[edit]

Fast forward ke besok pagi. Atau begitulah yang kutulis, tapi daripada tidur, aku malah duduk di McDonald pada jam 5 pagi, terantuk-antuk dan menyesap sajian kedua kopiku. Langitnya sudah diterangi dan burung pipit sudah sibuk mematuk-matuk tanah sebelum kembali terbang sekali lagi.

Setelah insiden Hotel Royal Okura itu, masing-masing dari kami pergi ke jalan kami masing-masing. Setelah aku sampai ke rumah, aku memohon Komachi untuk melakukan sesuatu untukku dan aku pergi keluar untuk menghabiskan waktu. Aku mungkin lebih baik pergi tidur, tapi aku tidak yakin aku bisa terbangun jam 5 pagi.

Itulah satu alasan mengapa aku terbangun dengan cara itu.

“Jadi kamu datang…”

Pintu otomatisnya berbunyi ketika terbuka, dan Kawasaki Saki muncul, menggesek kakinya dengan lesu. “Apa yang kamu mau?” tanyanya dengan lebih berang dari biasanya, mungkin karena dia tidak cukup tidur.

Dia begitu berang sampai pemikiran bersujud di atas lantai di depannya sekilas melintasi pikiranku, tapi aku menghapus pemikiran itu dan bertingkah sesantai mungkin.

“ah, tebanglah.” Aku salah mengucapkan kata-kataku dengan begitu cekatan. “Maksudku, tenanglah.”

Oke, jadi upaya bertingkah santai itu gagal total. Tapi itu karena Kawasaki begitu menakutkanku.

Hanya kesalahan kecil itu yang dibutuhkan untuk membuatku santai, dan mulai dari sana kata-kataku keluar dengan mulus. “Semua orang akan sampai sesaat lagi. Jadi tunggu sebentar lagi.”

“Semua orang?”

Saat Kawasaki yang bingung melihatku, pintu otomatisnya berbunyi saat terbuka sekali lagi, menandakan kedatangan Yukinoshita dan Yuigahama.

Persis setelah aku berpisah dari mereka berdua, aku mengirimkan pesan singkat pada Yuigahama. Aku memberitahunya untuk tinggal satu malam di tempat Yukinoshita, memberitahu orangtuanya dan datang ke McDonalds dengan Yukinoshita jam lima pagi. Itu saja – Aku menuliskan tiga poin itu untuk menyampaikan sebuah pesan yang sederhana dan praktis.

“Kalian lagi?” Kawasaki menghela dalam dengan jengkel.

Tapi bukan hanya dia orang yang berang disini.

Dengan tampang bersungut-sungut di wajahnya, Yuigahama menolak melihat ke arahku.

“Kenapa, apa dia tidak cukup tidur?” Aku mencoba bertanya pada Yukinoshita, tapi dia juga mengangkat bahunya.

“Siapa tahu? Aku rasa dia tidur lelap… itu mengingatkanku, setelah dia menerima pesan teksmu aku rasa suasana hatinya kentara sekali memburuk. Apa kamu menuliskan sesuatu yang mesum di dalamnya?”

“Bisakah kamu, macam, berhenti memperlakukanku seperti seorang kriminal seks? Dan toh, aku tidak tahu bagaimana sebuah pesan teks dengan instruksi sederhana bisa membuatnya begitu berang.”

Selagi Yukinoshita dan aku melihat satu sama lain, Komachi tiba-tiba memotong. “Yap, itulah onii-chanku! Dia sama sekali tidak ada rasa sensitif.”

“Oi, Komachi. Bisakah kamu berhenti muncul entah dari mana hanya untuk mengolokku?”

“Onii-chan, biasanya orang mengirimkan instruksi dalam pesan teks mereka kalau mereka itu rekan kerja. Ketika kamu hanya memasukkan instruksi dalam pesan teksmu, itu benar-benar membuat percakapannya tidak menyenangkan.”

“Kamu juga dipanggil kemari, adik kecil-san?” tanya Yukinoshita, terlihat agak terkejut.

“Yap, Aku ada tugas untuk dilakukan. Aku membawanya kemari, k'mu tahu?” kata Komachi, menunjuk pada Taishi. Dia bergugam pelan sebagai jawabannya.

“Taishi… apa yang sedang kamu lakukan disini pada jam segini?” Kawasaki menatap pada Taishi dengan campuran keterkejutan dan kemarahan mewarnai wajahnya.

Tapi Taishi tetap tidak gentar. “Aku yang seharusnya menanyakanmu itu, nee-chan. Apa yang sedang kamu lakukan sampai jam-jam subuh hari?”

“Itu bukan urusanmu…” Kawasaki memutuskan percakapannya persis pada saat itu juga.

Tapi sementara logikanya itu mungkin berhasil pada orang lain, itu tidak ada pengaruhnya pada Taishi, yang merupakan bagian dari keluarganya. Sampai sekarang ini, Kawasaki dan Taishi selalu berbicara empat mata, dan karena itulah Kawasaki selalu memiliki berbagai kesempatan untuk kabur. Dia selalu bisa sesuka hatinya memotong percakapannya dan pergi. Dia selalu bisa melakukan apa yang dia inginkan.

Tapi sekarang, dia tidak bisa melakukan itu. Kami mengelilinginya, mencegahnya untuk melarikan diri – dan terlebih lagi, sekarang sudah pagi, jadi kami bisa menekannya di suatu tempat di luar tempat kerjanya.

“Itu urusanku,” tegas Taishi. “Aku keluargamu…”

“…Aku bilang kamu tidak perlu tahu,” jawab Kawasaki, suaranya melemah. Tapi meskipun begitu, tekadnya untuk tidak mengatakannya tetap ada.

Aku duga, alasan mengapa dia memalingkan punggungnya adalah karena dia tidak merasa dia bisa menceritakannya pada Taishi mengenai hal itu.

“Kawasaki, biarkan aku menebak mengapa kamu bekerja dan mengapa kamu perlu uang,” kataku, membuat Kawasaki menatapku. Yukinoshita dan Yuigahama berpaling padaku dengan ketertarikan yang kuat.

Alasan mengapa Kawasaki mulai melakukan pekerjaan paruh waktu: jelas, hanya dia yang tahu. Tapi jika kamu memikirkannya, itu sendiri juga merupakan suatu petunjuk.

Kawasaki Saki menjadi preman pada SMA tahun kedua, menurut Kawasaki Taishi. Jelas terlihat seperti itu dari sudut pandang Kawasaki Taishi. Tapi kamu tidak bisa mengatakan hal yang sama dari sudut pandang Kawasaki Saki.

Dari sudut pandang Kawasaki Saki, dia memulai pekerjaan paruh waktunya ketika Kawasaki Taishi memasuki SMP tahun ketiganya. Dalam kasus itu, alasannya jatuh pada jangka waktu tersebut.

“Taishi, apakah ada sesuatu yang berubah ketika kamu memasuki tahun ketigamu?”

“Er, uh… bukankah itu sekitaran waktu aku mulai memasuki les?” Taishi memeras otakknya untuk mencari berbagai memori lain, tapi itu saja sudah cukup menyingkapnya. Seakan dia menyadari apa yang akan kukatakan selanjutnya, Kawasaki mengigit bibirnya karena frustasi.

“Aku mengerti, itu untuk membayar biaya les adik kecilnya-” sela Yuigahama, tapi aku memotongnya.

“Tidak. Biaya les itu sendiri sudah diselesaikan pada saat Taishi mulai memasuki les pada bulan April. Biaya pendaftaran dan buku pelajarannya sudah dibayarkan pada saat itu. Itu berarti keluarga Kawasaki sudah memasukkan biaya tersebut ke dalam pertimbangan mereka sebelumnya. Di sisi lain, kamu bisa mengatakan itu adalah situasi dimana hanya biaya les Taishi yang sudah dibayarkan.”

“Aku mengerti apa yang kamu maksudkan.” Yukinoshita memalingkan pandangannya pada Kawasaki dengan pengertian penuh dan hanya sedikit simpati. “Memang, bukan hanya biaya les adik kecilnya yang perlu dipertimbangkan.”

Benar, sekolah kami SMA Soubu didedikasikan untuk mempersiapkan murid-muridnya untuk universitas. Sebagian besar murid berharap untuk melanjut ke universitas dan banyak dari mereka yang benar-benar melanjut ke universitas. Sebagai hasilnya, cukup banyak orang yang terpaku pada ujian SBMPTN mereka pada sekitaran tahun kedua SMA mereka, dan juga ada orang yang serius berpikir untuk mengikuti les musim panas.

Dan ketika kamu mencoba masuk ke dalam universitas, kamu perlu uang dalam setiap langkahmu menuju ke sana.

“Itu seperti yang dikatakan Taishi. nee-channya masihlah kaku dan baik hati. Singkatnya, dia masih begitu,” ujarku sebagai kesimpulannya.

Bahu Kawasaki merosot lesu.

“Nee-chan… Aku akan pergi ke les, jadi…”

“…itulah mengapa aku bilang kamu tidak perlu tahu.” Kawasaki mengetuk kepala adikknya untuk menenangkannya.

Aww, ini terlihat seperti resolusi yang menghangatkan hati yang terjadi di drama-drama. Maksudku baguslah untuk mereka. Dan mereka semua hidup bahagia untuk selamanya. Atau begitulah yang kupikir, tapi kemudian Kawasaki menekan bibirnya dengan rapat.

“Namun, aku tidak bisa menghentikan pekerjaanku karena semua ini. Aku berniat untuk memasuki universitas. Aku tidak mau membuat kamu ataupun orangtua kita bermasalah karena itu, Taishi.” Nada Kawasaki tajam.

Dia jelas-jelas membuat keputusannya sendiri, dan tekad berlapis bajanya itu sekali lagi membuat Taishi terbungkam.

“Um, bisakah aku mengatakan beberapa patah kata?” Sebuah suara riang memecahkan keheningannya.

Itu Komachi. Kawasaki berpaling padanya dengan jengkel. “Apa?” tuntutnya dengan setengah ketus setengah tidak ramah.

Tapi Komachi menepis kemarahannya dengan sebuah seringai. “’ke, jadi. Kedua orangtua kami bekerja sudah bertahun-tahun, dan jadi, macam, ketika aku masih kecil aku pulang ke rumah dan tidak ada orang di sana. Setiap kali aku menyapa aku sudah pulang tidak pernah ada orang yang pernah menyambutku.”

“Um, jika ada orang yang menyambutmu ketika tidak ada orang di rumah itu akan menakutkan,” ucapku. “Ada apa dengan cerita tiba-tiba itu?”

“Oh, benar. Onii-chan, tutup lubang mulutmu sebentar.”

Dia sepenuhnya membungkamkanku. Mengangkat bahuku tanda mengerti, aku menahan lidahku dan memalingkan telingaku pada apa yang sedang dikatakan Komachi.

“Jadi kemudian, aku menjadi begitu muak pulang ke rumah seperti itu sehingga aku melarikan diri dari rumah selama lima hari. Saat itu bukan orangtuaku yang menjemputku, melainkan onii-chanku. Jadi dari saat itu, abangku selalu pulang lebih awal dariku. Jadi aku berterima kasih pada abangku untuk hal itu.”

Abang terbaik di dunia – yap, itulah aku oke. Cerita yang menghangatkan hati itu (yang tidak pernah kuketahui) sudah cukup untuk membuatku melinangkan air mataku meskipun aku tidak mau. Pada saat-saat itu, aku tidak ada sedikitpun niat untuk menjaga Komachi; aku hanya pulang ke rumah lebih awal karena aku tidak ada kawan bermain dan aku ingin menonton anime jam 6:00 di TV Tokyo.

Kawasaki berpaling padaku dengan sesuatu seperti rasa hormat yang baru ditemukannya di matanya, sementara mata Yuigahama sedikit berlinang. Yukinoshita yang satu-satunya hanya memiringkan kepalanya sedikit..

“Aku yakin alasan mengapa Hikigaya-kun pulang lebih awal adalah karena dia tidak pernah ada teman pada saat itu, benar?”

“Hei, kenapa kamu bisa tahu itu? Apa, apa kamu itu Yukipedia atu semacamnya?”

“Yah, ya, aku cukup sadar akan itu,” Komachi mengaku dengan acuh tak acuh, “tapi kupikir mengatakannya seperti ini akan membuat poin Komachiku naik.”

Itu membuat Yuigahama berbicara. “Kamu benar-benar adik Hikki,” katanya dengan lelah.

“Hei, apa yang kamu siratkan…?” Apa dia sedang mengatakan aku juga imut? Kalau begitu aku setuju.

“Jadi bahkan apa yang sedang kamu maksudkan?” tuntut Kawasaki dengan geram.

Jujur saja, sekarang ini aku sendiri sudah hampir mau ngompol di celana, tapi Komachi menatap Kawasaki tepat di matanya dengan senyuman riang biasanya, sepenuhnya tidak terpengaruh. “Meskipun abangku itu begitu tidak ada harapan lagi, dia pasti tidak akan melakukan sesuatu yang mengkhawatirkanku – itu apa yang kumaksud. Bahkan pada hal-hal sepelepun dia membantuku dan itu membuatku merasa bahagia.” Dia menyeringai. “Oh, itu baru saja membuat poin Komachiku naik.”

“Jangan memasukkan sesuatu yang tidak perlu di akhir.”

“Tidak mungkin, itu jelas kamu hanya membantahku karena malu. Oh, itu juga baru saja membuat poin Komachiku naik.”

“Sudah cukup.”

Astaga, karena aku ada hubungan dengan seseorang yang mengatakan hal sebodoh dan sesembrono itu, tak heran aku tidak pernah bisa percaya kata-kata yang diutarakan makhluk yang dinamakan perempuan. Ketika aku memperlakukannya seperti seorang penganggu dirinya itu, Komachi merajuk dan mengerang mengeluh. Katika aku menolak mengalah padanya, dia menyerah dan melanjutkan percakapannya dengan Kawasaki.

“Jadi singkatnya, sama seperti bagaimana kamu tidak mau menjadi beban dalam keluargamu, Saki-san, Taishi-kun juga tidak mau menjadi beban untukmu, k'mu tahu? Aku sebagai saudara yang lebih muda akan senang jika kamu bisa mengerti hal kecil itu.”

Tidak ada jawaban.

Kawasaki diliputi keheningan. Dan pada saat itu, aku juga diliputi keheningan.

…sial, aku tidak tahu bagaimana menangani perasaan yang kudapat ini. Aku sulit sekali percaya Komachi berpikir seperti itu padaku. Aku tidak pernah menyadarinya karena dia tidak pernah menjadi seorang pembuat masalah selama ini.

“…yah, kira-kira seperti itu kurasa,” tambah Taishi dengan lemah. Dia berpaling, wajahnya merah.

Kawasaki berdiri dan membelai kepala Taishi dengan lembut. Daripada memasang ekspresi lesunya yang biasa, dia tersenyum dengan begitu lembutnya.

Meski begitu, masalah masih belum diselesaikan. Satu-satunya hal yang terjadi adalah bahwa Kawasaki dan Taishi sudah mulai belajar untuk berkomunikasi lagi. Merasa puas secara emosionil tidak berarti semuanya sudah baik dan bagus. Itu tidak akan entah bagaimana menyelesaikan masalah yang mengikat ataupun membuat masalah-masalah itu tidak berarti lagi. Pada akhirnya, kepemilikan benda-benda dan uang itu sepenuhnya tidak bisa diabaikan.

Uang merupakan suatu masalah yang cukup berat bagi seorang murid SMA. Uang yang kamu peroleh dalam pekerjaan paruh waktumu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ukuran di dunia nyata. Itu membuatmu depresi untuk menghitung jumlah jam kerja yang harus kamu jalani untuk mendapatkan jutaan yen yang diperlukan untuk menutupi biaya pendidikan sebuah universitas swasta.

Menyerahkan satu atau dua juta yen akan membuat kami terlihat hebat dan semacamnya, tapi kami tidak mempunyai uang sebanyak itu dan bagaimanapun juga itu melawan prinsip paling dasar Klub Servis. Seperti yang pernah dikatakan Yukinoshita sekali. Berikan seseorang seekor ikan dan kamu akan menghidupinya selama sehari; ajari seseorang bagaimana memancing dan kamu akan menghidupinya untuk seumur hidupnya.

Dengan pemikiran itu di otakku, aku menganugerahinya sebuah taktik dari rencana cepat-kayaku.

“Kawasaki. Kamu tahu apa itu beasiswa?”


× × ×


4-12[edit]

Pada jam 5:30 pagi, udaranya masih begitu tidak nyamannya dingin. Menahan uapanku, aku melihat bayangan dua orang mengecil ke kejauhan.

Jarak antara mereka tidak pernah melebar ataupun menyempit; setiap kali salah satu dari mereka melampaui yang lain, orang yang di depan akan melambatkan langkahnya agar orang yang lain bisa mengejarnya, dan bahu mereka akan bergetar kadang-kadang karena suara riuh tawa mereka.

Yukinoshita berdiri dalam kabut pagi yang tebal. “Aku ingin tahu, apa itu maksudnya menjadi saudara…?” Sebuah helaan menyelinap keluar darinya.

“Bisa jadi. Sangat tergantung pada siapa orangnya. Kamu juga bisa mengatakan mereka adalah orang asing terdekatmu.”

Sebenarnya, ada banyak saat-saat ketika aku begitu kesal sampai-sampai aku berpikir ingin meninju adik kecilku, dan pada saat itu aku dapat merasakan aku sama sekali tidak sedang bertindak seperti diriku. Dan malah, pada saat-saat lengah itulah, perasaan seperti cinta dan kasih sayang akan tumbuh dalam diriku juga. Tidak mampu mengekpresikan perasaan itu dengan jelas dan selamanya merasakan sebuah dinding di antara kami adalah apa yang dimaksudkan menjadi saudara itu.

Itulah mengapa menyebut mereka orang asing terdekatmu itu begitu aneh tapi begitu cocok. Mereka adalah orang yang terdekat denganmu dan namun mereka itu orang asing, dan mereka itu orang asing dan namun mereka itu orang yang terdekat denganmu.

“Orang asing terdekatmu… begitu ya. Aku terlalu memahami hal itu.” Yukinoshita mengangguk, menjaga wajahnya tetap menunduk.

“Yukinon?” Yuigahama dengan ragu-ragu melirik pada wajah Yukinoshita, merasa bingung akan tampangnya.

Mendengar itu, Yukinoshita menyentak naik kepalanya dan menunjukkan senyuman pada Yuigahama. “Sekarang kalau begitu, kita seharusnya juga bergegas pulang. Sudah hampir waktunya masuk sekolah dalam tiga jam lagi.”

“Oh, oke…” Yuigahama terlihat tidak begitu menerima tingkah Yukinoshita dari tampangnya, tapi toh dia mengangguk dan mengatur tas di bahunya.

Aku melepaskan kunci sepedaku pada saat itu juga. “Ya. Komachi, bangun.”

Komachi sedang duduk di batu trotoar di depan McDonalds dan sedang terantuk-antuk. Aku menyodok pipinya dengan pelan, membuatnya mengugamkan sesuatu yang tidak dapat kumengerti dan membuka matanya dengan berat. Dia berdiri dan menyeret kakinya seperti zombie, mencelempungkan dirinya di belakang sepedaku.

Pada hari biasa, dia pasti masih tertidur. Tidak ada yang bisa dilakukan. Hari ini aku harus mengayuh pelan pada jalan yang mulus. Aku duduk ke atas sepedaku dan meletakkan kakiku di atas pedal sepedanya.

“Kalau begitu, aku akan pulang sekarang. Kerja bagus, semuanya.”

“Ya, sampai jumpa besok. Tidak, tunggu. Sampai jumpa hari ini di sekolah.” Yuigahama membuat lambaian kecil, tangannya berada dekat ke dadanya.

Yukinoshita diam untuk sejenak, memandang kosong pada Komachi dan aku, tapi segera setelah aku menggerakkan kakiku, dia berkata dengan pelan. “Aku sarankan kalian tidak menaiki sepeda sekali dua orang… kalian mungkin akan mendapat kecelakaan lagi.”

“Oh, sampai jumpa nanti,” jawabku selagi aku mulai mengayuh. Otak kurang tidurku tidak bisa berfungsi dengan baik, dan hampir semua kapasitas mentalku disibukkan melihat jalan dan menghindari mobil yang datang. Berkat itu, aku hanya bisa membuat jawaban asal terhadap apa yang dikatakan Yukinoshita.

Dengan samar, aku heran bagaimana dia tahu mengenai kecelakaan itu…

Aku mengayuh dengan pelan dan dengan hati-hati pada jalur lurus yang bersimpang dengan jalan raya nasional 14. Angin yang biasanya meniup wajah kami setiap kali kami pergi ke sekolah sedang berada di belakang kami hari ini. Selagi kami menunggu di depan lampu lalu lintas kedua kami, sebuah aroma sedap dari toko roti di samping jalan melayang di udara.

Perutku membuat suara keroncongan karena lapar.

“…Komachi. Kamu mau sedikit roti sebelum kita pulang?”

“Tch! Onii-chan, kamu bodoh! Kamu selalu mampir ke toko roti bertingkah begitu kalem dan acuh tak acuh serta berpura-pura tidak memperhatikan apapun. Tapi kamu ternyata hanya lapar!”

Selagi dia menyodok punggungku, aku membelokkan sepedaku ke arah toko roti itu dan mulai mengayuh.

Komachi menghela. “Onii-chan, kamu benar-benar tidak ada harapan lagi. Jika kamu akan bertingkah seperti ini, aku tidak akan mengatakan semua hal baik tentangmu tadi.”

“Nah, kamu sama sekali tidak memujiku. Pada akhirnya, semua yang kamu katakan hanya tentang kamu menjadi anak yang baik. Dan toh kamu kurang lebih mengarang-ngarang cerita itu tadi.”

“Yah, sedikit, ya,” kata Komachi saat dia berhenti memukulku. Dia diam untuk sejenak. “Tapi kamu tahu, aku tidak berbohong ketika aku bilang aku merasa bersyukur.”

Kemudian dia melingkari lengannya pada pinggangku dan memelukku dengan erat, memendamkan wajahnya pada punggungku.

“Apa poin Komachimu naik lagi?”

“Hmph, kamu memergokiku.” Bahkan ketika dia mengatakan itu, Komachi tidak melepaskan lengannya dari pinggangku.

Hembusan angin pagi dingin yang nyaman telah dengan perlahan membekukan tubuh kami ketika kami terpisah. Aku merasakan sentuhan kulitnya yang hangat dan menenangkan itu perlahan-lahan membuatku semakin mengantuk. Entah bagaimana, aku rasa hari ini kami juga akan telat lagi. Jika aku pulang dengan perasaan seperti ini, aku tahu pasti aku akan menyelinap ke tempat tidur dan tertidur. Itu tidak buruk untuk terlambat sekali-kali, bersama dengan saudaramu seperti ini.

“Tapi kamu tahu, bagus untukmu.” suara Komachi melayang padaku dari belakang. “Kamu bisa bertemu dia dengan baik.”

“Huh? Apa yang sedang kamu bicarakan?”

Aku rasa aku sedang memakai sebuah ekspresi sangsi. Komachi terus berbicara dengan riang, tidak sadar akan perasaan yang muncul pada wajahku.

“Kamu tahu, si pemberi permen itu. Aku seharusnya mengatakan sesuatu ketika kita semua berkumpul sebelumnya. Tapi ya sudahlah, selamat, onii-chan. Kamu bisa bertemu dengan seorang gadis imut seperti Yui-san karna kamu mematahkan satu tulang.”

“Ya, kurasa…” Aku mendorong kakiku dan mengayuh seperti robot. Aku tidak sadar akan hampir semua rasa yang muncul dari melakukan tindakan mengayuh itu.

Ini mungkin menjelaskannya mengapa ayuhanku gagal dalam beberapa saat.

Tubuhku tiba-tiba bergetar keras. Dan suatu rasa sakit yang tajam menusuk menerjang tulang keringku. “Gahhhh!”

“Ouuuch… ada apa denganmu tiba-tiba? Ini adalah yang pertama kalinya aku pernah melihat kaki seseorang lepas dari pedal sepedanya.”

Ocehan Komachi yang tiada hentinya terdengar seperti sesuatu yang begitu jauh.

Aku sulit sekali mempercayai apa yang baru saja dia katakan. Jadi Yuigahama si pemberi permen itu?

Pada orang lain, seorang pemberi permen mungkin adalah seseorang yang memberimu permen saat Festival Bon atau mereka mungkin kenalan ramahmu, tapi mereka bukanlah orang yang kamu cintai. Tapi dalam kasusku, nasibku terhubung pada si pemberi permen itu.

Aku mendapat kecelakaan lalu lintas pada hari pertama SMAku. Pada jalan ke sekolah, seorang gadis yang sedang berjalan-jalan dengan anjingnya di sekitaran sekolah melepaskan rantai anjingnya pada saat sial yang sama ketika sebuah mobil limosin yang terlihat mahal muncul. Hadiahku menyelamatkan anjing itu adalah sebuah tulang patah. Aku dimasukkan ke rumah sakit selama tiga minggu penuh setelah hari pertama sekolahku, menyegelkan nasibku sebagai seorang penyendiri.

Dan pemilik anjing itu adalah gadis yang disebut Komachi sebagai si pemberi permen.

“Onii-chan, ada apa?” Komachi melirikku dengan cemas, tapi semua yang bisa kumunculkan adalah sebuah senyuman samar. Aku hanya memikirkan mengenai beberapa hal, itu saja.

Kemudian bibirku membentuk senyuman getir, senyuman frustasi dan mengolok-olok.

“Tidak apa-apa. Ayo kita beli roti itu dan pulang,” kataku selagi aku mulai mengayuh, berusaha untuk menyentakkan diriku untuk bergerak lagi.

Tapi yang anehnya, itu merupakan usaha yang sia-sia saja. Sekali lagi, pedal sepedanya menghantam tulang keringku lagi.


Mundur ke Bab 3 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 5

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Pixiv adalah situs yang banyak dipakai pelukis Jepang untuk mengupload gambar-gambar anime. '-tan' adalah bahasa Kansai yang sama dengan '-chan' dan digunakan sebagai istilah rasa cinta pada hal-hal imut.
  2. Pakaian yang sekaligus menyatukan baju dengan rok, apa ada Indonya?
  3. Post Script = Setelah Isi
  4. Referensi pada Bakusō Kyōdai Let’s & Go!!, sebuah manga tua tentang lomba pacu.
  5. Fashionably late = Seni hanya terlambat sedikit (5 menit kira-kira) untuk memberikan kesan kamu itu orang yang populer dan sibuk yang terlambat karena ada urusan lain
  6. Secara harfiah berarti, “Bunuh Langsung Kejahatan.” Sebuah referensi pada moto Shinsengumi, kelompok pasukan revolusi. Juga banyak dikaitkan dengan kemampuan pedang Saitou Hajime dalam Rurouni Kensin, manga shonen klasik
  7. Referensi pada acara game show Trans America Ultra Quiz, yang menguji kontestan pengetahuan geografi mereka.
  8. Bon Festival adalah festival Jepang tahunan untuk menghormati sanak keluarga yang telah meninggal dunia, dan tarian tradisionil yang dilaksanakan sewaktu festivalnya dinamakan Bon-Odori.
  9. Ori sih 'fellow student' tapi aku rasa satu sekolah lebih cocok
  10. Mirip sudah jatuh ketimpa tangga pula
  11. Oshare Majo: Love and Berry mengacu pada kartu koleksi yang ditujukan untuk gadis kecil
  12. Isyarat tangannya: Isyarat Rubah
  13. Kamakura adalah sejenis rumah salju mirip igloo yang dipakai sebagai altar untuk memuja dewa air.
  14. Pimpinan preman. Seringkali diceritakan sebagai orang kuat dengan hati emas dalam cerita fiksi.
  15. Bahasa Jerman yang berarti senang di atas penderitaan orang lain
  16. Pelempar bola di baseball
  17. Yokado grup supermarket terbesar di Jepang
  18. Tempat dengan daya tarik bunga-bungaan empat musim dan interaksi bersama hewan! Mother Farm (Ladang Ibu)
  19. Mirip dengan Beverly Hills di California, Amerika Serikat
  20. Kutipan dari Ghost in the Shell
  21. Referensi pada Shinsei Motemote Oukoku, manga komedi tentang seorang alien yang ingin populer dengan para gadis.
  22. Bahasa Prancisnya nona
  23. Komik manga oleh Kaoru Mori, penggambar Victorian Romance Emma, dan itu juga mengenai maid.
  24. Menurut yang kubaca, Gelembung ekonomi disebabkan oleh pandangan ekonomi masa depan yang tidak konsisten dan tidak masuk akal. Jadi bisa tiba-tiba tinggi dan tiba-tiba rendah. Kalau salah mohon diberitahu..Haha
  25. ori :two wrongs make a right
  26. Hormon cinta
  27. Foto monumennya: Monumen Bor
  28. Kerah yang kaku Contoh barang
  29. Ori : Long nose shoes
  30. Kaus tanpa bagian lengan dan bahu
  31. hak tinggi yang nampak jari kakinya
  32. Hantu yang disebut para orangtua ketika mereka mau menakuti anak mereka untuk melahap sayuran mereka. “Jika kamu membuang-buang makanan, Hantu Mottainai akan memakanmu!” Omong-omong, “Mottainai” berarti “Sungguh sayang”.
  33. Hiromi Go adalah entertainer Jepang, bisa dikatakan Ricky Martin-nya Jepang
  34. Sebuah toko pakaian murah di Jepang.
  35. Ini semua adalah referensi pada orang Barat yang terkenal dalam sejarah Jepang. Perwira Perry memiliki bagian dalam pembukaan dermaga Jepang pada orang-orang Barat. Townsend Harris adalah Jendral Konsul Amerika pertama di Jepang. Ernest Mason Satow adalah figur diplomat penting pada tahun 1800an