Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab8

From Baka-Tsuki
Revision as of 05:17, 23 October 2012 by Altux (talk | contribs) (Created page with "Bab Tujuh : Alasan untuk Bertarung Kembang api yang mekar penuh menernagi langit malam. Dari bawah tenda-tenda yang berad di plaza utama Saxe-Gotha, orang-orang berteriak g...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab Tujuh : Alasan untuk Bertarung

Kembang api yang mekar penuh menernagi langit malam. Dari bawah tenda-tenda yang berad di plaza utama Saxe-Gotha, orang-orang berteriak gembira. Karena Tentara Gabungan yang ditempatkan disini, kota terisi dua kali lipatnya dengan tenda-tenda. Jumlah penginapan yang bisa disewa prajurit terbatas.

Pedagang-pedagang datang dari berbagai daerah untuk menjual berbagai barang pada para prajurit. Kota Saxe-Gotha tengah diselimuti keramaian yang tak biasa. Dan, menyambut awal Bulan Yara, hari ini dua kali lebih ramai dibandingkan hari pertama minggu pertama.

Festival terbesar di Halkeginia, Festival Advent, telah dimulai. Untuk 10 hari sejak hari ini, semua bisa minujm, bernyanyi dan berbuat macam keributan setiap hari.

Louise dan Saito meminum alkohol di tenda besar penginapan "Charming Fairies" yang dibuka di plaza.

Di sekitar Rene ada semua anggota skuad kedua Ksatria Naga. Semua petugas utama, termasuk Guiche, juga bisa terlihat disini. Baik petugas militer senior dan prajurit dilarang minum dan makan di dalam penginapan Saxe-Gotha. Mereka akan jadi mabuk, dan membuat masalah bagi penduduk setempat-lebih mudah untuk mengawasi mereka jika mereka semua di satu tempat. Karena itulah, penginapan ini, yang mengadakan perjalanan bisnis dari Tristain, terisi penuh.

Setelah pakaian kucing hitamnya dilihat orang, Louise tak bicara sama sekali kecuali perlu. Dia sangat malu. Dalam hening dia menyeruput minumannya sendirian.

Karena Louise lemah alkhol, hanya sedikit anggur dituang kedalam gelasnya. Sisa minumannya berupa jus buah, buah, dan air. Dia terus meminumnya sedikit demi sedikit. Namun tetap saja, wajahnya sudah merah.

Dia mencuri-curi pandang pada Saito melalui sudut matanya. Saito tengah minum bersama grup Rene dan juga Guiche, yang dia temukan lagi tadi. Berbeda dari waktu bersama Louise, dia agak bahagia. Melihat itu, Louise menuangkan lebih banyak anggur.

Louise yang matanya berkunang-kunang mengangkat gelasnya. “Tambah!” Louise melihat seorang pelayan berlari mendekatinya, membuang muka, dan mencoba memanggil yang lain. “Seseorang, mohon layani aku, seseorang.”

“Beri pesananmu.” Siesta memanggil Louise dengan wajah tenang. “Aku tak memanggilmu.” Louise menatap tajam Siesta, dan lalu, bergumam, “Berlari kesana-kemari...seperti seorang tolol.”

Siesta, yang tetap berwajah ceria, berkata, “Aku akan memberikanmu tambahan, jika kau berpakaian dalam kostum kucing hitam.” Pipi Louise memerah. Siesta mendekatkan wajahnya ke Louise tanpa bersuara, dan bergumam, sambil tersenyum,

“Kau tuanku untuk hari ini.” Louise melompat, gemetaran. Tapi lalu dia punya pikiran lain. Tiada waktu beradu mulut dnegan pelayan itu. Toh, Aku tahu hasil perang ini. Aku akan mengatak itu padanya. Dia tertawa dalam pikirannya. Louise memasang wajah malu-malu dan bergumam,

“A-aku ditembak.” Alis Siesta menaik. Louise tak melewatkan reaksi lawan cintanya. Itu karena Louise seorang gadis. Dia tak punya apa yang kupunya. Akhirnya, Aku menang! Louise menjadi bahagia, dan demi mempermanis kemenangannya, dia terus menekan Siesta.

“Itu benar. Dia berkata dia condong padaku. ‘Apa yang harus kulakukan, ku tak bisa berhenti memikirkanmu.’ Katanya. Benar-benar familiar tak tahu diuntung.” Siesta mendengarkan sambil tersenyum.

“Heee. Aku senang mendengarnya,” ucapnya, meski matanya sama sekali tak tersenyum. “Lagipula. Dia mendorongku ke bawah. Tentu saja aku tak memperbolehkannya! Maksudku, aku tak menyukai hal-hal seperti itu. Itu tak alami!”

“Mencumbu tapi tak menjual akan menjauhkan.” Ucap Siesta. Louise menangkap sekilas dahinya dan menjawab balik. “Bukan kau.”

Keduanya terus saling menatap. Pada saat itulah....suara pelan dari sesuatu yang mengenai tenda terdengar. “Mmm?”

“Lihat, itu salju! Salju! Dari luar, suara –suara menggema. Memang, dari pintu masuk tenda, semua bisa melihat salju turun. “Festival Advent Salju...” gumam Louise.

“Aku mengharapkan Festival Advent Salju...” gumam Siesta dnegan wajah terpesona. “Benarkah?” “Ya. Di Tarbes, keadaannya hangat meski musim dingin datang. Tanpa banyak salju...” Dengan mata yang berbinar-binar bagaik kanak-kanak, Siesta memandangi salju diluar tenda. Lalu Siesta menyadari Louise tengah menontonnya. Keduanya saling memandang dengan pipi memerah. Lalu kembali menonton salju.

Louise berkata, sambil menyembunyikan kekikukkannya, “...Entah mengapa, kini tenang. Mungkin kita juga harus berdamai untuk Festival Advent ini.” “Benar.” “Duduklah disini.”

Louise mempersilahkan Siesta untuk duduk. Yap, Siesta duduk dengan malu-malu dekat Louise sambil mengangguk. Setelah menerima minuman Louise yang telah ditawarkan sebelumnya, Siesta membungkuk. “Bersulang!”

Merasa aneh, pasangan ini membiarkan gelas mereka beradu. “Enak,” ucap Siesta, dnegan pipi memerah dari alkohol. “Rasanya bagai benar-benar menjadi seorang ningrat.”

Mereka menonton salju berjatuhan melalui celah tenda. “Indah sekali....salju yang menutupi bangunan...seperti gula,” gumam Siesta. “Yah...” “Meski ini negeri nan indah, mengapa ada perang...?” Ucap Siesta, sambil memandangi Louise.

“M-maaf...aku tak menyalahkan Nona Vallière...aku tahu kau bekerja keras untuk negara.” Louise menundukkan pandnagannya. Siesta bergumam, sambil menatap anggur di dasar gelasnya, “...Jujur saja, aku benci perang ini. Banyak yang tewas. Untuk apa?”

“Untuk apa?” “Untuk apa kau bertarung? Ayah...mengatakan alasannya adalah uang. Menaklukkan negara lawan juga menguntungkan bagi penguasa untuk mengukuhkan dirinya. Apa itu? Apa kau membunuh yang lain untuk alasan semacam itu?”

Louise berpikir. Ini mungkin benar terkait menteri-menteri yang ada. Namun, Henrietta berbeda. Karena waktu yang mereka habiskan bersama selama masa kecil mereka, Louise sangat mengerti dia. Untuk Henrietta. Perang ini soal balas dendam. Untuk mengalahkan musuh yang dibenci yang membunuh orang yang dicintai. Hanya ada keinginan itu dalam pikiran Henrietta.

Siesta menanyai Louise, yang tengah hilang di alam fikiran, Mengapa nona Vallière bertarung?” “Aku?” “Ya benar.”

Itu karena aku ingin membantu Henrietta? Sedikit. Tapi bukan itu sih sebenarnya. Bagi Louise, pertarungan ini... Melihat Louise terdiam, Siesta menunduk. “Maafkan aku. Ini bukan hal yang pantas aku tanyakan, tapi...”

Tepat saat itu...sebuah teriakan keras dari meja Saito terdengar. “Benaran! Jangan bodoh!” “Ha! Siapa yang tolol?! Apa yang begitu tolol soal itu?!” Guiche meraung, sambil berdiri.

Saito juga bangkit dan menunjuk pada Guiche. “Apa yang kau katakan padaku?! Kau hanya melakukannya untuk mendapatkan nilai di mata Montmorency. Bodoh! Jika kau tewas, Monmon akan benar-benar sedih!” “M-mengapa kau menghina tindakanku?!”

Guiche menghunus mawar tiruannya. Sepertinya pertengkaran. Rene, yang minum bersama mereka, mengatakan, “Ya, karena kau seorang jelata, harga diri tak berarti bagimu, tapi keadaannya berbeda bagi kami.” Saito menatap Rene dan berkata,