Difference between revisions of "Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab7"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 387: Line 387:
 
Jerit Louise sambil menunjuk benda di kepanya, yang meniru telinga kucing. Ini juga dipotong dari bulu hitam dan dipasang di bagian atas kepala.
 
Jerit Louise sambil menunjuk benda di kepanya, yang meniru telinga kucing. Ini juga dipotong dari bulu hitam dan dipasang di bagian atas kepala.
 
“Terlihat manis.”
 
“Terlihat manis.”
  +
  +
Sambil gemetaran, Louise menunjuk bayangannya di cermin. Pendek kata, hanya bagian-bagian tertentu tubuhnya yang ditutup bulu hitam.
  +
Pakaian bulu hitam nan ketat menyelubungi dadanya. DIa juga mengenakan CD berbulu. Dan, seperti kaos kaki, bulu-bulu juga dipasang di sekitar engkel.
  +
  +
Ekor yang dibuat dari bahan yang tersisa, menjulur keluar dari pantat.
  +
“Tidak, setiap bagian dari kostum kucing hitammu luar biasa.” Ucap Derflinger bagaikan itu masalah orang lain.
  +
“Apa! Hanya melihatnya saja sudah mendidihkan kepala!”
  +
  +
Ucap Louise dnegan nada terluka. Dia kini menyesal mendengarkan si pedang.
  +
“Tidak, tubuhmu masih muda, ia mulai membentuk daya tarik nan liar. Rekan akan terpesona.”
  +
  +
Louise tiba-tiba berhenti.
  +
“ Ini pakaian penggoda, kan? Rekan akan langsung menyerbunya.”
  +
“B-bukan begitu. Berhentilah bercanda.” Sambil mengatakan itu, Louise mulai berpose di depan cermin. Tak sepenuhnya yakin.
  +
  +
Sambil memainkan jemarinya dnegan agak enggan, dia mebengkokkan kepalanya, dan dengan kedua tangan di lantai, dia berbalik dan mencoba pose terisak.
  +
“Apa? Kau ingin dilompati?”
  +
“T-tidak! M-mencoba, aku hanya mencobanya! Beneran! Aku merasa tak nyaman!”
  +
  +
Pada akhirnya, Louise senang dnegan pose itu.
  +
“Ah, Ini bagus . Manis.”
  +
Ucapnya. Dan menerima persetujuan dari Derflinnger.
  +
“Bagus. Teruskan.”
  +
  +
Namun, begitu dia menenangkan diri. Malunya menyergap lagi.
  +
“I-ini ternyata mustahil! Mustahil!”
  +
“Pose ini hanya untuk menaikkan semangatnya, itu saja kok.”
  +
  +
Meski begitu, hei...entah mengapa, hei....aku putri adipati...legenda...seperti dugaanku...aku tak bisa melakukan hal seperti ini. Aku tak berminat.”
  +
“Aku akan bilang padamu. Karena kau, rekanku pundung.”
  +
“Uuh...”
  +
  +
“Lakukan saja untuk satu hari. Gunakan pesona wanita yang bersinar. Yap.”
  +
“...Tapi.”
  +
Derflinger menggunakan kartu Asnya.
  +
  +
“Apa kau ingin kalah dari pelayan itu?”
  +
ALis Louise langsung naik.
  +
“Apa? Kalah dari siapa?”
  +
“Tidak, tiada yang perlu dikhawatirkan! Persis yang diharapkan dari ‘Void’!”
  +
  +
“Itu takkan terjadi. P-pelayan itu yang bakal kalah.”
  +
Pada saat itu. Pegangan pintur bergerak.
  +
“Aaah, rekan sudah kembali rupanya.”
  +
Louise menarik napas dalam-dalam, menarik dan menghembus, dan berdiri di depan pintu.
  +
  +
“Ingat ini Putri ningrat. Letakkan harga dirimu di belakang, ya?”
  +
“A-aku tahu!”
  +
Detik berikutnya, pintu membuka.
  +
  +
Pipi Louise memerah, menutup matanya rapat, membungkuk, memaksa dirinya untuk tidak menutupi dadanya dengan tangan, meletakkan jempol kirinya di bawah bibir, meletakkan tangan kanan di pinggul, dan menjeritkan kata-kata yang tadi didiskusikan bersama Derflinger.
  +
  +
“K-k-k-kau adalah tuanku untuk hati ini!”
  +
Lalu...Louise menunggu reaksi rekannya.
  +
Namun, tiada jawaban. Rasanya bagai abadi.
  +
  +
Apa?! Lewat? Ditolak? Panas amarah menggelegak dalam kepala Louise.
  +
Lalu, Louise membuka matanya...Namun, buka pemandangan rupa Saito yang menyambut matanya.
  +
  +
“N-n-n-nona Vallière?”
  +
Yang berdiri di sana adalah Siesta yang gemetaran dengan wajah pucat.
  +
“Ara., Louise. Kostum ini apa ya?”
  +
“Pu. Pupu. Kapan kau menjelma jadi kucing?”
  +
  +
Bukan hanya Siesta. Ada Scarron dan Jessica juga. Saito menyembulkan lehernya dari belakang teman-temannya.
  +
“Tunbggu, aku bawa sake nih. Mmm? Mengapa tak seorangpun masuk kamar?”
  +
Lalu Saito menyadari Louise berpakaian kucing hitam.
  +
  +
“A-apa arti semua ini? Kau...”
  +
Louise menjerit.
  +
Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!”
  +
  +
“Louise sangat manis,” gumam Scarron yang duduk di kursi.
  +
“Pu. Pupu. Pupupu,” Jessica menutup mulutnya, tak tahan mencoba menahan tawanya.
  +
  +
Siesta yang bermuka masam memandangi bola bulu yang digunakan Louise.
  +
Louise menyembunyikan dirinya di belakang selimut dan tak keluar dari kasur.
  +
  +
Meski semuanya telah tenang, tiada jawaban.
  +
Saito yang kebingungan menanyai Derflinger.
  +
“A-apa yang terjadi?”
  +
“Yah, Mahakarya itu...”
  +
  +
Setelah kata itu, slimut terbang, Louise, yang lupa sempurna akan pakaian kucing hitam yang dikenakannya, terbang dari kasur, menendang si pedang dan kembali ke kasur tanpa suara.
  +
Siesta menatap Louise.
  +
Saito terlihat ragu-ragu.
  +
  +
Jessica memandang keluar jendela.
  +
“Salju mulai turun, jadi dingin nih,” gumamnya.
  +
“Festival Advent bersalju...waah, romantis sekali,” Scarron menggoyang-goyangkan tubuhnya.
  +
   
 
Tapi bagaimana dengan pakaian nini! Saru! Ini saru!”
 
Tapi bagaimana dengan pakaian nini! Saru! Ini saru!”

Revision as of 14:27, 20 October 2012

Bab Enam: Gencatan senjata

DI Tristainia, Ibukota Tristain, didalam ruang kerja, seorang ratu berumur 17 tahun tengah memejamkan mata dalam doa sunyinya. Didalam ruangan agak dingin, dimana seluruh hiasan tak berguna diambil. Seperti dalam mausoleum.

Di pusat ruangan, dengan dibalut baju hitam dan ditutupi kerudung tebal, Henrietta tengah berlutut. Didepannya ada altar kecil, yang dihiasi potret kecil Brimir Sang Pendiri di dalam.

Potret Brimir sang Pendiri terlihat bagai cetakan permulaan Halkeginia. Tangannya membentang lebar seakan membuka pintu, potret yang abstrak. Tak mudah melihatnya sebagai manusia. Alasannya adalah karena menggambar ciri-ciri Sang Pendiri dengan terinci adalah kurang ajar.

Sebenarnya, tiada yang mengetahui ciri-ciri terperinci Sang Pendiri. Selama dia berdoa dalam hening, dia mendengar seseorang mengetuk pintu. “Paduka, ini aku.” Itu suara Kardinal Mazarin.

Mulanya dia hendak mengambil tongkat dan melantunkan mantra “Membuka”...tapi Henrietta lalu menggelengkan kepalanya, menempatkan tongkat di meja, bangkit dan membuka kunci pintu.

Mazarin kemudia memasuki ruang kerja Henrietta dan memohon maaf diiringi mengernyitnya alis Henrietta. “Apa anda tengah bekerja? Maafkan ketidaksopananku.” “ Tak apa-apa,” jawab Henrietta.

“Aku tak terlalu yakin soal itu. Kau berdoa dari subuh hingga petang. Bahkan saat aku pergi maupun kembali, keadaanmu tetap sama.” Mazain menatapnya dingin. Isu bahwa Henrietta berdoa sepanjang hari setelah penyerbuan Albion adalah benar adanya. Henrietta mencoba menjelaskan.

“Ratu yang tak berdaya ini tak bisa melakukan apapun selain memberikan doanya.” “Mengapa kau berpakaian hitam? Putih lebih cocok bagi Paduka.” “Kini saatnya perang. Banyak petugas dan orang yang tewas. Saya berduka.”

Mazarin, memalingkan pandangan matanya karena malu, melapor pada Henrietta. “”Kemarin, kekuatan gabungan kita telah menaklukkan Saxe-Gotha. Dengan begini, jalan kita ke Londinium telah diamankan.”

“Mohon kirimkan terima kasihku pada Jenderal de Poitiers.” “Pasti. Satu hal lagi...” “Berita buruk?” “Itu benar. Tentara gabungan meminta pengisian perbekalan ransum mereka. Kita perlu segera mengirimnya lagi.”

“Tapi, brdasarkan perhitungan, ia akan memakan 3 minggu lagi.” Mazarin berkata sambil melihat laporan di tangannya. “Perbekalan Saxe-Gotha dikosongkan. Tentara kita harus memberikan sebagian pada penduduk lokal.” “Apa musuh juga khawatir soal makanan?”

“Tidak. Tujuan mereka adalah membuat tentara kita khawatir. Mereka tahu soal kekurangan makanan kita dan merampas seluruh makanan dari penduduk.” “Itu kejam.” “Ini perang.”

Henrietta mengangguk. “Mohon diatur.” “Pasti. Namun...keadaan finansial membuat kita makin lama makin mengkhawatirkan.” “Menteri keuangan kita bagaimana?”

“Dia tengah berdiskusi dengan duta Gallia.” “Gallia?” “Permintaan utang. Perlu banyak uang untuk bertarung.” Henrietta melihat tangannya sendiri. Lalu dia berkata dengan nada tertahan.

“Kita harus menang. Jadi, kita hanya perlu menang. Nanti, Kita bisa mengembalikan uang dari dompet Albion.” “Meski hari dimana dompet itu didapat tampak sedikit menjauh.” “Apa?” Wajah Henrietta menjadi mendung. Berita buruk tampak menyenangi sebelah sini.

“Sebuah permintaan untuk gencatan senjata datang dari musuh.” “Gencata senjata? Berapa lama?” “Dari besok lusa, hingga akhir Festival Advent. Sudah tradisi bahwa selama Festival Advent, perang juga berhenti.”

Festival Advent berlangsung hingga tanggal 10, festival terbesar di Halkeginia. Karena Festival Advent dimulai sejak hari pertama tahun baru....Ia akan berlangsung hingga minggu berikutnya sedikit. “Perang akan berhenti hingga 2 minggu? Tak mungkin! Tradisi atau bukan, hal seperti itu tak bisa diterima! Terlebih lagi, mereka tanpa malu melanggat perjanjian gencatan senjata sebelumnya! Mereka mencoba menyerang Akademi sihir dan menyandera semua anak-anak itu! Dengan pasukan nan kejam...”

Akademi sihir diserang pad ahari dimana armada penyerbu pergi. Meski para siswa beruntung bisa selamat, memadamkannya masih memakan nyawa.

Meski ia tak memperkuat kepercayaan diri kita, kita tak punya banyak pilihan. Kita masih perlu mengirimkan makanan. Hingga saat itu, tentara tak bisa bergerak.”

“Kalaau begitu, serang Londinium untuk satu minggu lagi! Seluruh armada! Seluruh pasukan! Kau pikir, mengapa kita gunakan kartu as kita – Void?!” Henrietta menekan Mazarin.

Sang Perdana menteri memberi beberapa saran pada Ratu yang tengah murka, “”Paduka. Para prajurit dan Jenderal juga manusia. Berlebihan Memperkerjakan mereka takkan membimbingmu kemana-mana. Meski aku mengerti bahwa kau hendak segera mencapai putus...berhentilah di titik ini.” Henrietta menahan diri dan menjatuhkan kepalanya. “...Aku berkata terlalu banyak. Mohon lupakan itu. Kau benar sekali soal ini.”

Setelah dengan segera menandatangani perjanjian damai, Mazarin bangkit, tapi berhenti di pintu dan berbalik. “Paduka, saat perang berakhir, tanggalkan pakaian hitam itu; itu tak pantas untukmu.” Henrietta tak menjawab.

Mazarin berkata dnegan nada lembut, bagai seorang ayah. “Biarkanlah. Sudah cukup, hanya bersedih cukup untuk ibumu saja.” Setelah Kardinal pergi, Henrietta mendesah. “Aah. Apa yang kukatakan – Louise si Void?” Ucapnya dnegan nada sedih dan hening. “...Untuk tujuan ini, aku merubah orang yang penting menjadi alat.”

Di Saxe Gotha, hari ketiga setelah penandatanganan, gencatan senjata dengan Repbublik Suci Albion berlaku.

Ddidalam kamar sebuah penginapan yang diambil alih tentara gabungan, Louise duduk di depan perapian. Dalam 4 hari, tahun baru akan datang. Lalu, festival Advent Sang Pendiri akan dimulai.

Meski pernag belum berakhir, kota dilingkupi suasanan tak tenang yang aneh. Tidak, perang mungkin adalah alasan mengapa mereka ingin bersikap begitu ribut. Bagi penduduk Albion, ini bisa jadi satu-satunya kesempatan beristirahat.

Jangka waktu gencatan sejata bagaikan hadiah dari Snag Pendiri, dan penduduk Saxe Gotha, juga prahurit Tristain dan Germania, ingin bersenang-senang hingga puncaknya.

Orang-orang yang berpakaian beraneka warna berlalu lalang melalui kota. Karena Albion, si benua terapung, berlokasi 30000 mail di atas laut, musim dingin begitu tiba-0tiba dan keras. Orang kurus seperti Louise sangat peka pada dingin. Dia mengalami musim dingin Albion untuk pertama kalinya. Diselimuti selimut penuh, dia gemetaran di depan perapian yang terbakar terang. Louise memanggil Saito yang duduk sendirian jauh darinya, untuk berbuat sesuatu.

“Ini dingin, kan? Mengapa kau tak kesini ke depan perapian?” Tiada jawaban. Louise lalu teringat pertengkaran terbaru mereka setelah bertemu lagi. Louise mengeluh pada Saito.

“Hei, Saito. Apa kau mendengarkanku? Kini dingin! Apa kau masih memikirkan soal yang lalu, aku sudah memaafkanmu! Kau harus tetap sehat! Itu tanggung jawab familiar!” Lagi-lagi tiada jawaban. Saito duduk di sisi kasur, punggungnya menghadap Louise, melakukan sesuatu dengan serius. “Apa yang sedang kau lakukan?”

Sambil masih diselimuti selimut, dia menghampirinya dan melihat saito melakukans esuatu dengan tutup botol anggur. “Wha-“ Dia mencoba memanjangkan lehernya, mencoba melihatnya, tapi saito menyembunyikannya.

“Tunjukkan padaku!” Louise mendorong saito kesamping. Saito menunjukkan perlawanan.

Diatas sumbat kecil itu ada irisan kecil. “Apa?” Saito terus mengiris sumbat dalam hening. Meninggalkan bekas irisan kecil dengan kuku jarinya. Rupanya dia tengah membunuh waktu dengan memotong sebuah sumbat.

...Suram. Terlalu suram. Cara membunuh waktu semacam ini terlihat terlalu suram. “Sudahlah, hentikan....ini terlalu suram...” Saito dnegan pelan berucap, “Tak suram.”

“Familiar menyebalkan!” “Tikus tanah.” Tikus tanah. Louise tak menyukainya. Dia menginginkan seorang pemuda sombong. Dia menjadi kesal saat memikirkan ini.

“Tikus tanah apa? Sadarlah!” Dia mendorongnya menjauh, bengong, Saito terguling-guling. “Hei, jawab aku, Hei! Hei, hei! Tikus tanah,. Ti-Tikus tanah.” Mengelus-elus pipinya, Saito menatap Louise.

Louise menjatuhkan bahu tak nyaman dan berpikir dengan marah. Yada, bukankah ini seperti, saat dia mendorongku ke bawah waktu itu? Sadarlah! Cukup! Apa familiar tolol itu akan menyerangku sekarang? Ya-Yada - Tubuhnya gemetaran.

Itulah mengapa dia mencoba menghasutnya. Tapi dia tak pernah bisa mengakuinya di depan orang dalam pertanyaan. Namun, Saito hanya bangkit dan berjalan menuju pintu. “K-kemana kau pergi?! Tanyanya, kecewa.

“Jalan-jalan,” Dia menjawab singkat, meninggalkan kamar. Louise datang menyeret selimut yang longgar, kembali ke perapian dan duduk sambil memeluk lutut. Derflinger yang bersandar di dinding, memanggil Louise. “Wanita bodoh.”

Setelah kata-kata itu, wajah Louise menyembul keluar selimut. “A-apa...Dia yang salah! Dia selalu enggan...” “Dan kau fikir siapa sih penyebabnya?” “A-aku tak tahu!”

Tersesat, Louise berteriak. “Maka aku akan bilang. Rekan kini yakin sempurna bahwa kau tak menyukainya.” Louise menggigit bibirnya. “I-itu alami! Dia familiar, sedang aku ningrat!” “Benarkah?”

Wajah Louise runtuh. Menunjukkan sisi gadisnya, Louise pundung. “D-dia jahat. Saat aku kedinginan dan sendiri, tapi dia malah pergi bersama gadis-gadis lainnya...” “Apa yang kau katakan saat dia mengaku? Kau malah berkata soal sesuatu yang belum kau saksikan dan pergi, yang dikatakan pelayan rumah itu hanyalah ‘melepas kancing’. Perselingkuhan diragukan. Tapi kau dnegan angkuh menyimpulkan sendiri.” “Uuh...”

“Haah, karenanya, kau bermain bersama seorang pemuda ganteng. Apa kau tak pikir kau berlebihan? Bagaimanapun, meski ini pura-pura, kau pergi dan membuat pernyataan kejam itu. ‘Saat berkendara di belakang seseorang, adalah lebih baik mengendaria di belakang pemuda yang enak dilihat’ kan?” Louise menundukkan pandangan.

“Bila kau melihatnya, sudah tentu pendeta Romalia itu lebih ganteng. Wajahnya tak bisa dibandingkan. Ini bagaikan membandingkan makhluk terbang – lalat dengan phoenix. Atau makhluk melata – tikus tanah dengan singa. Atau makhluk air – lalat air dan angsa.” “...Apa kau tak berlebihan?”

“Mungkin, bagaimanapun, ini bukan soal wajah. Rekan dengan sabartak pergi ke tanah timur, hanya untuk menemanimu. Kepadamu, dia bahkan mengakui ‘cinta’nya. Kutebak “pewujudan kesetiaan’ semacam itu tak cukup. Dirinya yang menyedihkan tak bisa bersaing dalam ketampanan dengan pria lain. Namun, rekan menunjukkan keberaniannya di saat-saat genting, karena dia mengatakan dia mencintaimu...”

Louise mendengarkan selama 5 menit, dan menjadi merah padam. Lalu, dia pergi ke jendela dan melihat keluar, melihat di belakang tirai, membuka lemari, mencari-cari di bawah meja, dan setelah akhirnya memastikan tiada yang berada di kamar untuk menguping, dia berbalik kembali pada pedang legendaris. “Hei, apa itu benar? Kepada siapa dia mengatakan itu? Bagaimana?”

“Rekan sangat berkacamata kuda soal itu. Meski terserah kau – untuk percaya atau tidak.” Dengan merah menyala di pipinya, Louise terdiam.

“Ini beneran, sangat jelas rekan terlihat sedang galau.” Louise dengan tebal muka menggelembungkan pipinya. “A-aku sudah mengerti. Aku memaafkannya! Bukankah itu sudah cukup?!” “Maka minta maaflah, katakan kata-kata kecil nan lembut itu.” “Aku? mengapa ?! Minta maaf kepada dia...”

“Seharusnya sih dilakukan kedua orang, namun kini giliranmu untuk memulai, karena kau begitu kejam.” Untuk sesaaat, Louise mengerang - Uuuh, auuu, iiiii – menyesalkan. “Aku sudah mengerti! Hanya perlu meminta maaf! Hanya minta maaf!” Jeritnya. Apa itu sikap meminta maaf?

Namun, Derflinger berucap hangat. “Tapi rekan snagat pundung kali ini...kau tahu, dia sangat-sangat jijik padamu. Permintaan maaf seperti itu mungkin tak cukup.” Louise mulai terlihat gelisah. “Khawatir?”

“J-jangan bodoh! Semuanya akan baik-baik saja! Tiada yang bisa meminta lebih dari permintaan maaf!” “Hmmm.” Derflinger terdiam. Karena dia tak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, Louise menjadi tak sabair. Akhirnya Louise gelisah. Dia mengambil sebatang kayu bakar yang berada dekat perapian dan “Piin” mulai mengulitinya.

“Cara membunuh waktu nan suram.” “Diam! Kalau begitu, katakan padaku! Ajarkan aku apa yang harus kulakukan!” “Cinta.” Haaa?”

“katakan,’Aku jatuh cinta pada Saito’!” “Aku tak bisa mengatakan hal semacam itu!” “Apa kau membencinya?” “B-bukan begitu...” Louise enggan.

“Maka, kalau begitu, bukankah kau sudah jatuh cinta?”

“B-bukan begitu! Lagipula, aku mengatakan apa yang ingin kukatakan, bahwa aku tidak mengatakan apa yang kukatakan, dan bahwa aku tak sednag jatuh cinta! Uuuuh! Tolol! Pedang karatan!” “Haah, jika kau seperti itu, maka mendorongnya ke bawah keluar dari pertanyaan, kan?” “itu ide yang bagus.” “benarkah?”

“bagus sekali. Berhenti bercanda! Seorang tuan untuk mendorong ke bawah! Beneran deh...” “kau takkan mendorongnya ke bawah?” “Itu keluar dari pertanyaan! Bodoh!”

“Aah, tapi didorong ke bawah oleh pasangan yang dicintai, dan dipeluk erat-erat, menyenangkan, bukan?” Dengan merah merona di pipinya, Louise menundukkan pandangannya, dan berkata dnegan suara kecil. “...itu, b-bisakah kau ngobrol tentang yang lain? Pintanya. “Maka dorong dia ke bawah.”

“A-Aku takkan mau melakukan itu! Serius! A-aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Lagipula akan sulit untuk mendorong Gandalfr ke bawah. Hei.” “Itu katamu.”

“Bagaimanapun, Aku adalah putri ketiga La Vallière. Aku tak bisa mengatakan aku cinta kau pada familiar bodoh itu. Karenanya, ini bukan cinta. Sungguh. Dialah yang mencintaiku, ya, aku mengakuinya, itu terasa menyenangkan. Terasa luar biasa saat dia menyembahku. Tapi itu tak cukup! Apa kau mengerti?!”

“Aku mengerti...Kau khawatir akan rintangan...” “Lagipula, cepatlah, ajari aku cara lain untuk mengembalikan semangatnya.” “Buat cinta.”

Louise perlahan bangkit , dan mulai melantunkan mantra. “Aku takka meledakkanmu. Aku akan melelehkanmu. Jawab sekarang, tanpa bercanda. Apa kau masih punya penawaran lain?” Derflienger gemetaran. “Aku menyerah.” Gumamnya. “Apa?”

“Sulit bagiku berpikir. Aku hanya sebuah pedang yang legendaris.” “Karena kau legendaris, kau seharusnya lebih memperhatikan pernyataan.” “Tak ada kata-kata yang bisa, jika kau menyembunyikan perasaanmu di belakang harga diri besimu itu.”

Louise mundur, lalu berpikir sesaat, dan mengangguk. “...Apa yang kau katakan. Mungkin benar. Meski kau sebilah pedang, kau dapat mengerti pikiran dalam manusia.”

“IOtu karena aku telah hidup bertahun-bertahun bersama mereka. Dan bekerja bersama mereka. Ini datang secara laami. Kini, berbicara mengenai situasimu...” Louise dan Derflinger berdisuksi beberapa saat...memutuskan sebuah strategi.

Saito duduk di bangku di plaza pusat Saxe-Gotha, menonton orang-orang berlalu lalang di jalan. Prajurit-prajurit Tristain dan Germania, dan penduduk Saxe Gotha, semuanya berlalu dengan cahaya lampu. Tentara gabungan yang menguasai jalan berjalan dengan bangga sambil membusungkan dada. Karena sekarang masa gencatan senjata, mereka mabuk, bebas, dan berlari mengejar gadis-gadis, dan akhirnya diteriaki petugas-petugas ningrat.

Namun, Wajah tiap-tiap penduduk Saxe-Gotha, tak seperti penduduk negeri yang kalah, tampak tak terlalu sedih. Memang, mereka tak senang dengan fakta bahwa kota mereka dibanjiri penduduk tambahan. Namun, Faksi aristokrat Reconquista, kekuatan politik yang kini berkuasa di Albion, tak disenangi disini. Lagipula, karena mereka membagi-bagi makanan. Tentara gabungan diterima sebagai tentara pembebas.

Meski kekacauan musnah sebagian, kerusakan pada daerah perkotaan sebisa mungkin dihindari, jadi hampir tiada kehiolangan bagi kota dan penduduk. Dnegan berakhirnya pertempuran dan dimulainya Festival Advent yang dinanti-nantikan, para penduduk tersenyum lebar. “Haah,” Saito mendesah.

Dalam kota yang bahagia ini, wajah gelap yang ada hanyalah milikku. Lalu dia menatap rune di tangan kirinya. Haa, Kekuatan yang diberikan meruapakan beban berat bagiku, pikirnya. Saat perang ini berakhir, aku pasti akan pergi ke tanah timur. Louise takkan membutuhkanku lagi...

Sambil Berpikir begini, dia semaki kesepian. Dan nostalgia merasukinya. Saito teringat tempat asalnya di dunia berbeda. Di dunia yang lain...di kota yang asing di negeri asing yang dia tak terbiasa, nostalgia tia-tiba memenuhi dadanya.

Saat diselimuti perasaan-perasaan yang menyiksa itu...Saito dipanggil dari belakang. “saito!”

Saito, untuk sesaat, tak dapat menyadari suara siapa itu. Suara itu tak seharusnya berada di jalan ini. Saat berikutnya, lengan melingkari Saito dnegan erat dari belakang, dan dia didorong jatuh ke tanah.

“Yaaan, bisa bertemu segera! Rasanya enak! Aku sangat senang!” Tanpa pikir panjang, dia berbalik, hanya untuk melihat wajah Siesta yang bersinar, dengan senyum nan lebar. “S-Siesta? Mengapa?”

Saito panik. Mengapa Siesta disini? Ini Albion, benua di atas awan, ini bukan tempat untuk dimasuki pelayan Akademi Sihir Siesta. “Hmm? Siapa yang ditemui Siesta disini?” Sebuah suara dalam datang dari belakang. Ia juga tedengar dimanis-maniskan. “Manajer Scarron?”

Manajer Scarron merupakan lelaki “lembut”, yang berpakaian kulit nan ketat. Dia pemilik penginapan “Chairming Faries” dimana Saito dan Louise berkerja di musim panas itu. Dan disebelahnya ada putri Scarron, Jessica. Saito menatap mereka dengan mata terbelabak.

“Korps pembuat nyaman?” Di Kafe yang menghadap plaza, saita bertanya keras-keras. Sambil Menyeruput bir, Scarron yang tersenyum bereaksi sambil mengernyitkan alisnya, “Itu Benaaar! Alasannya adalah makanan tambahan perlu dikirimkan, makanya Korps Penyaman dibentuk! Untuk ke Albion...”

Scarron melihat hidangan yang menumpuk dan menggelengkan kepala. “Hidangannya buruk! Hanya bir untuk diminum! Wanitanya terlalu kurus! Tempat yang sangat suram!”

Memang, jika kau melihat di sekeliling Plaza, toko-toko yang menyajikan anggur tak dapat ditemukan, hanya teh dan bir. Penduduk Albion tak minum anggur, jelas Scarron, sambil mengernyitkan alis.

“Beneran deh! Jika bir yang tak terkunyah sama dengan meminum dahak; Penduduk Tristain yang bercitarasa tinggi takkan pernah meminum ini! Karenanya, penginapan Tristain bisa mendapatkan lebih dari perjalanan bisnis. Aku ingin membuka penginapan White Arrow disini. Dengan begitu, pengianpan “Charming fairies” dapat dibangun di sebelah Keluarga Kerajaan! Aah, kehormatannya!”

Scarron meliuk-liukkan tubuhnya. Gadis-gadis yang dibawa dari penginapan mengikutinya dengan koor penuh kegembiraan. “Honor! Mi mademoiselle!”

Scarron naik ke meja. Saito hampir meneteskan air mata. “Apa Saito seorang prajurit? Mengapa kau datang ke Albion?” “Bukan, aku bukan seorang prajurit...” “Ayo jujurlah. Mi mademoiselle adalah seorang lelaki, dia akan mengerti.”

Bahwa Mi mademoiselle adalah lelaki perlu dipastikan, pikir Saito sambil mengangguk lemah. Lalu dia teringat Siesta, yang duduk di sebelahnya dan tersenyum lebar. “tapi, mengapa Siesta ikut? Tanyanya. “Dia keluarga.”

Ketakutan setengah mati, Saito menatap Scarron. Bisakah seorang semanis Siesta merupakan keluarga Scarron? “K-keluarga...?” “Ya. Dari sisi ibu...” Gumam Siesta malu-malu.

“Apakah pub dimana Saito bekerja selama musim panas tahun ini...” “Dia bekerja disana. Itulah bagaimana kita kenal.” Jelas Jessica. Lalu Jessica memandnag Saito di sisi meja satunya. “Siesta adalah sepupuku. Kalian saling kenal, kan?”

Memang, keduanya berambut hitam. Yang tak biasa di dunia ini. Siesta tertahan sebelum berkata. “Begitu Saito pergi. Sekolah diserang perampok Albion.” "Eh? Eeh?! Eh?”

Saito terkejut oleh topik ini. Demi menjaga moral pasukan, berita soal negeri mereka hampir tak mencapai medan perang. Kami tak mengerti apa yang terjadi saat asrama bergetar...ada keributan besar...beberapa tewas.” Ucap Siesta dengan wajah sedih.

Saito khawatir dengan orang-orang yang tinggal di sekolah. Apakah ada ornag yang dia kenal yang termasuk di daftar “yang tewas”? “Siapa yang jadi korban?” “Sebagai jelata, kami tak diceritakan secara rinci...” ucap Siesta sambil meminta maaf.

Bagaimana bila ada yang kukenal diantanya, pikir Saito.<eski sedih bila seseorang tewas, lebih menyedihkan lagi bila itu terjadi pada orang yang dikenal. “Dan Sekolah ditutup hingga perang berakhir. Aku pikir-pikir soal apa yang akan kulakukan dan memutuskan membantu Paman dnegan penginapannya.” “Dulu, Sie-chan bekerja disana.”

“Saat aku sampai di penginapan, kulihat Paman Scarron dan Jessica tengah berkemas...Mereka menjelaskan mereka akan ke Albion.” “itulah mengapa kau memutuskan untuk itu?”

Saat Saito berkata begitu, Siesta mengangguk dengan pipi memerah. “Y-Ya...dan...” “Dan?” “Kupikir aku dapat bertemu S-Saito disini...”

Jessica menyender mendekat, melihat-lihat pasangan tersebut.

“Eh? Apa? Siesta dan Saito sangat dekat? Aku yakin Louise yang...” Setelah kata-kata Jessica, Mata Siesta berbinar. “Apa Nona Vallière baik-baik saja?” “Y-ya,” Saito mengangguk.

Keheningan tak enak menyergap. Sambil menyeringai, Jessica menghampiri Saito. “Jadi kalian masih bersama, Maaf, aku salah paham.”

“Tidak, tak begitu juga...” ucap Saito, yang merasakan perasaan yang bercampur aduk. “Aaah, Louise juga disini? Ayo pergi dan salami dia,” ucap Scarron sambil memainkan kuku jemarinya.

Sementara itu, Louise, dibawah bimbingan Derflinger, tengah mengembangkan operasi “Memperbaiki Perasaan Saito.” Mengikuti perintah Derflinger, Louise membawa berbagai bahan dari toko penginapan.

“Ini! Kau pasti bercanda!” Louise menjerit pada si pedang. “Ini bukan candaan. Ini adalah permintaan maaf yang pantas untuk rekanku.” Ucap Derflinger dengan nada serius.

“Tapi mengapa seekor hewan?! Aku seorang ningrat, seornag ningrat! Mengerti?!” “Karena statusmu yang sedemikian tinggi, apa ada cara lain untuk minta maaf?”

“Jadi kau pikir berubah jadi familiar akan membantu?!” “Benar sekali. Ini taktik yang hebat. ‘Saito, maafkan untuk pernyataan kejamku. Untuk hari ini, aku akan jadi familiarmu.’” Ucap Derflinger. Meniru suara Louise.

Jika kau mengatakan ‘Mohon’ dengan keadaan semacam itu, mungkin rekan, saking lugunya dia, akan memaafkan semua kejahatanmu?”

Louise menggelengkan kepalanya dan berkata. “Ouu, tapi tidak berpenampilan seperti hewan ini.” “Huu,”

“Mengapa seekor kucing hitam?!” “Kucing hitam adalah familiar paling terkenal. Karenanya, kucing hitam paling cocok. Ini dapat dimengerti. Yang penting adalah ini logis.” Pipi Louise memerah saat memandangi bahan kostum kucing hitam yang terjejer didepannya.

“Yah, setidaknya aku akan membuat bagian-bagian ini sendiri.” Louise mengambil peralatan menjahit yang dia pinjam dari penginapan, dari bulu, kulit dan jaring-jaring dan mulai membuat “pakaian kucing hitam”, sebagai kata Derflinger.

Setelah berjuang dengan buku untuk beberapa waktu...dia menyelesaikan baju kucing hitam itu. Meski Louise berbakat nol dalam menjahit\, entah bagaimana dia masih bisa membuat bentuk nan sederhana. Kini, pakaian sudah lengjap, Louise ke dekat cermin, untuk menyaksikan kekuatan destruktif dari kostum kucing hitam.

“A-Apa ini?! Dengan pakaian semacam ini aku akan mempermalukan diriku didepan semuanya!” “Itu cocok dneganmu,” ucap Derflinger dnegan nada tegas. “Mengapa telinga?!”

Jerit Louise sambil menunjuk benda di kepanya, yang meniru telinga kucing. Ini juga dipotong dari bulu hitam dan dipasang di bagian atas kepala. “Terlihat manis.”

Sambil gemetaran, Louise menunjuk bayangannya di cermin. Pendek kata, hanya bagian-bagian tertentu tubuhnya yang ditutup bulu hitam. Pakaian bulu hitam nan ketat menyelubungi dadanya. DIa juga mengenakan CD berbulu. Dan, seperti kaos kaki, bulu-bulu juga dipasang di sekitar engkel.

Ekor yang dibuat dari bahan yang tersisa, menjulur keluar dari pantat. “Tidak, setiap bagian dari kostum kucing hitammu luar biasa.” Ucap Derflinger bagaikan itu masalah orang lain. “Apa! Hanya melihatnya saja sudah mendidihkan kepala!”

Ucap Louise dnegan nada terluka. Dia kini menyesal mendengarkan si pedang. “Tidak, tubuhmu masih muda, ia mulai membentuk daya tarik nan liar. Rekan akan terpesona.”

Louise tiba-tiba berhenti. “ Ini pakaian penggoda, kan? Rekan akan langsung menyerbunya.” “B-bukan begitu. Berhentilah bercanda.” Sambil mengatakan itu, Louise mulai berpose di depan cermin. Tak sepenuhnya yakin.

Sambil memainkan jemarinya dnegan agak enggan, dia mebengkokkan kepalanya, dan dengan kedua tangan di lantai, dia berbalik dan mencoba pose terisak. “Apa? Kau ingin dilompati?” “T-tidak! M-mencoba, aku hanya mencobanya! Beneran! Aku merasa tak nyaman!”

Pada akhirnya, Louise senang dnegan pose itu. “Ah, Ini bagus . Manis.” Ucapnya. Dan menerima persetujuan dari Derflinnger. “Bagus. Teruskan.”

Namun, begitu dia menenangkan diri. Malunya menyergap lagi. “I-ini ternyata mustahil! Mustahil!” “Pose ini hanya untuk menaikkan semangatnya, itu saja kok.”

Meski begitu, hei...entah mengapa, hei....aku putri adipati...legenda...seperti dugaanku...aku tak bisa melakukan hal seperti ini. Aku tak berminat.” “Aku akan bilang padamu. Karena kau, rekanku pundung.” “Uuh...”

“Lakukan saja untuk satu hari. Gunakan pesona wanita yang bersinar. Yap.” “...Tapi.” Derflinger menggunakan kartu Asnya.

“Apa kau ingin kalah dari pelayan itu?” ALis Louise langsung naik. “Apa? Kalah dari siapa?” “Tidak, tiada yang perlu dikhawatirkan! Persis yang diharapkan dari ‘Void’!”

“Itu takkan terjadi. P-pelayan itu yang bakal kalah.” Pada saat itu. Pegangan pintur bergerak. “Aaah, rekan sudah kembali rupanya.” Louise menarik napas dalam-dalam, menarik dan menghembus, dan berdiri di depan pintu.

“Ingat ini Putri ningrat. Letakkan harga dirimu di belakang, ya?” “A-aku tahu!” Detik berikutnya, pintu membuka.

Pipi Louise memerah, menutup matanya rapat, membungkuk, memaksa dirinya untuk tidak menutupi dadanya dengan tangan, meletakkan jempol kirinya di bawah bibir, meletakkan tangan kanan di pinggul, dan menjeritkan kata-kata yang tadi didiskusikan bersama Derflinger.

“K-k-k-kau adalah tuanku untuk hati ini!” Lalu...Louise menunggu reaksi rekannya. Namun, tiada jawaban. Rasanya bagai abadi.

Apa?! Lewat? Ditolak? Panas amarah menggelegak dalam kepala Louise. Lalu, Louise membuka matanya...Namun, buka pemandangan rupa Saito yang menyambut matanya.

“N-n-n-nona Vallière?” Yang berdiri di sana adalah Siesta yang gemetaran dengan wajah pucat. “Ara., Louise. Kostum ini apa ya?” “Pu. Pupu. Kapan kau menjelma jadi kucing?”

Bukan hanya Siesta. Ada Scarron dan Jessica juga. Saito menyembulkan lehernya dari belakang teman-temannya. “Tunbggu, aku bawa sake nih. Mmm? Mengapa tak seorangpun masuk kamar?” Lalu Saito menyadari Louise berpakaian kucing hitam.

“A-apa arti semua ini? Kau...” Louise menjerit. Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!”

“Louise sangat manis,” gumam Scarron yang duduk di kursi. “Pu. Pupu. Pupupu,” Jessica menutup mulutnya, tak tahan mencoba menahan tawanya.

Siesta yang bermuka masam memandangi bola bulu yang digunakan Louise. Louise menyembunyikan dirinya di belakang selimut dan tak keluar dari kasur.

Meski semuanya telah tenang, tiada jawaban. Saito yang kebingungan menanyai Derflinger. “A-apa yang terjadi?” “Yah, Mahakarya itu...”

Setelah kata itu, slimut terbang, Louise, yang lupa sempurna akan pakaian kucing hitam yang dikenakannya, terbang dari kasur, menendang si pedang dan kembali ke kasur tanpa suara. Siesta menatap Louise. Saito terlihat ragu-ragu.

Jessica memandang keluar jendela. “Salju mulai turun, jadi dingin nih,” gumamnya. “Festival Advent bersalju...waah, romantis sekali,” Scarron menggoyang-goyangkan tubuhnya.


Tapi bagaimana dengan pakaian nini! Saru! Ini saru!”