Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab10

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab Sepuluh: Medan Keberenian

Di atas sebuah buki kecil yang tergambar di peta…subuh membawa maju cahaya melewati gelap.

Pemandangan perlahan meluas, dan padang rumput di bawah membesar dan membesar.

Ini ditunjukkan di peta, daerah pedesaan sekitar 150 liga di barat daya kota Saxe-Gotha. Saito akhirnya sampai disana setelah semalaman berkuda.

Meski lelah memeluknya. Meski dia berkuda semalaman, ruh perjuangan dan gairah dipulihkan cahaya pagi.

Melalui embun pagi, perlahan-lahan diiringi goncangan bumi, sebuah tentara hebat muncul.

Saito berdiri dan memukulkan tapaknya ke kuda yang tadi dikendarai. Si hewan yang tengah santai mengunyah rumput tiba-tiba terkejut dan kabur ke arah mereka datang.

“Kau takkanmenggunakan kuda?” tanya Derflinger dari balik bahu.

“Dia juga punya nyawa; dia bukan sekedar alat.”

“kau memiliki hati yang baik, rekan.”

Saito menanyai Derflinger,” Bukankah kau menceritakan sebelumnya bahwa Gandálfr mampu menghadapi seribu musuh sendirian? 70.000 seharusnya tak jadi masalah kan?”

“Itu kata mereka, tapi itu cuma legenda, jadi orang cenderung melebihkan. Jangan terlalu berharap, nyatanya, itu mungkin kurang dari seribu.”

“..Mengapa kau begini? Berdusta padaku seperti itu. Jika kau berbohong, jangan ceritakan kenyataannya. Kita sudah pasti tewas, jadi stidaknya berdustalah hingga akhir.”

Di ufuk padang rumput, mereka bisa melihat tentara yang terus maju. Meski ia 70.000, karena mereka tak berbaris sederet, ia tampak tak sebesar itu, tapi nyatanya, semua 70.000 di sana.

Tentara yang bersenjata, Penyihir bermantra, Meriam, semi-manusia seperti orc dan troll, ksatria naga…Ksatria pengendara hewan phantom.

Tiada yang luput, semua 70.000 ada disana.

Saito bertanya dengan suara bergetar nan takut.


“Ah, mengapa aku harus menyabung nyawaku untuk menerjang kerumunan itu?”

“Mengapa kau menanyakan sesuatu yang jelas? Kapal-kapal kita harus mundur, jadi kita harus kasih waktu untuk mereka.”

“Tidak…aku tidak ngomong soal itu..tapi, lupakan sajalah.” Saito mendesah. “Waktu itu aku diselamatkan tikus tanah Guiche, tapi kali ini tak mungkin kita bisa selamat.”

“Tidak, kita tak bisa. Tak peduli keadaannya, labrak saja. Untuk keadaan begini, tak peduli arahnya, akibatnya sama saja. Arah petugas pemimpin, pukul jatuh kepala dan tubuh akan kacau. Mungkin kau bisa memberi mereka sehari atau sekitaran itu.”

“Saito mengangguk sambil menggenggam erat Derflinger. Tanda di tangan kirinya mulai bersinar.

“Boleh kuceritakan kau seseuatu, Derfliner?”

“Apa sih?”

“Apa aku boleh bercerita soal masa kecilku?”

“Boleh.”

“Suatu ketika aku liat seorang nenek diganggu berandalan dekat stasiun kereta, soal nenek itu menabrak mereka. Tapi saat itu aku hanya anak kecil. Aku tak bisa menghentikan mereka meski aku ingin, jadi aku hanya mematung dan menonton. Saat itu aku berpikir, “Jika saja aku sedikit lebih kuat. Tapi di saat yang samas, aku juga mendesah lega. Karena meskipun aku lebih kuat, ia tak manjamin aku bakal menang.”

“Benar.”

“Jangan salah. Kini aku lebih kuat jadi tiada alasan lagi. Waktu itu aku tak punya kekuatan, jadi aku punya alasan untuk tak berbuat apa-apa. Aku tak cukup kuat, sehingga ku tak bertinfak. Tapi kini aku tak bisa mengelak. Karena aku sangat, sangat kuat. Tak peduli bagaimana, aku adalah Gandálfr, kan?”

Deflinger bergumam rendah “Um hum.”

“Tapi… semua itu hanya di luar, Di dalam diriku, aku tak benar-benar kuat. Namun tiada yang bisa ku lakukan soal itu, meski aku familiar Gandálfr nan legendaris, tubuhku gemetaran, Aku benar-benar tak punya persiapan mental apapun. Keadaan begini bukanlah untukku. Melindungi kehormatan semuanya, aku benar-benar tak menyukainya! Aku gemetaran ketakutan. Aku tak ingin mati.”

“Rekan, kau benar-benar seorang Pemberani!”

“Kepribadian seperti ini hanya akan mengarah pada masalah, dengan cepat.” Pikir Saito.

“Keberanian, bukankah ini adalah keberanian itu sendiri?”

“Hei, rekan.”

“Apa?”

“Apa aku akan mati?”

Mungkin”

Pemuda itu terdiam. Derflinger memutuskan untuk menyemangatinya.” Jika seperti ini jadinya, maka keluarlah seperti pahlawan!”

“Mengapa?”

Karena jika tidak, semuanya bakal sia-sia.

“400 m di depan mereka, mereka bisa melihat kekuatan penyerang Albion.

Tiba-tiba tubuhnya mulai menggerakkan dirinya sendiri; mereka takkan tahu apalkh ini karena kekuatan Gandálfr ataukah karena keberanian Saito sendiri, Atau yang lain.

Saito menyerbu ke 70.000 tentara itu.

Kelompok pertama tentara Albion yang menemukan pahlawan penyerbu itu bukan kaveleri depan, melainkan familiar burung hantu milik komandan artileri. Karena dia tak percaya pada para infantri, dia memutuskan memeriksa hal ini sendiri.

Setelah dia mentahkikkan keadaan melalui burung hantunya, dia langsung memerintahkan skuad senpi untuk bersiap menembak, karena selama perjalanan, para prajurit senpi biasanya tak mengisi senjata mereka.

“Apa? Hanya satu orang?”

Dia terkejut saat menemukan hanya ada satu orang, tapi dia kaget begitu melihat kecepatan pemuda itu.

Itu bukan kecepatan yang bisa dicapai seseorang dengan kakinya sendiri.

Kaveleri depan juga membuat kesalahan yang sama.

Karena kesalahan perkiraan kecepatan, musuh melewati mereka tepat ketika mereka berhenti. Sebelum kaveleri bisa menghunus senjata mereka, mereka dipukul jatuh dari kuda.

Yang bisa dilakukan kaveleri yang terjatuh hanyalah mendengar suara jejak musuh, kecepatannya begitu tinggi sehingga mereka bahkan tak bisa melihat musuh mereka.

Sebelum para prajurit selesai mengisi senjata mereka, musuh sudah di depan pemimpin mereka.

Ia seseorang bersenjatakan pedang besar.

Si komandan, langsung menarik keluar tongkat sihirnya, tapi diterbangkan pedang tersebut. Sesuatu menghantam keras sisi kepalanya dan dia langsung pingsan.

Berikutnya, ksatria sihir menghampiri dari udara. Mereka menggunakan sihir dan familiar mereka untuk mengikuti gerakan Saito dan melepaskan rentetan mantra.

Bilah angin, tombak es, dan bola api terbang beruntun menuju Saito, tapi langsung dihisap si pedang. Meski para ksatria kaget, mereka tak menghentikan serangan sihir mereka.

Komandan ksatria menyuruh bawahannya menyebar; begitu dia memerintahkan itu, sehembus angin bergerak di sisinya. Angin menghentak, tongkat sihirnya patah menjadi dua, dan ada kaki menghantam dalam perutnya. Dengan iga yang remuk, nyerinya begitu kuat sehingga dia tak bisa berteriak dan langsung pingsan.

Derflinger menanyai Saito,”Mengapa kau tak membunuh mereka?”

Saito melemparkan balasan pendek, “Aku bukan prajurit.”

“Maksudmu?”

“Mau itu teman atau musuh. Aku takkan memperlakukan mereka seperti alat.”

Derflinger mendesah.

Saitu menari, menghindar, menghantam kiri-kanan, menyebabkan kekacauan dalam formasi musuh.

Bertarung sendirian ternyata sangat menguntungkan.

Untuk mencegah penembakan teman sendiri, musuh tak berani menggunakan senpi dan proyektil, dan dengankecepatan Gandálfr, tiada yang bisa mengejar di dunia ini.

Tapi…penyihir musuh tetap sulit ditangani.

Meski Derflinger bisa menyerap rentetan tak henti mantra, jumlah sihir yang ditembakkan diatas normal, dan perlahan si pedang kehilangan kemampuannya untuk menangani mereka.

“Ugh!”

“Tangan kiri?”

“Huh, sial…tak bisa kugerakkan lagi.”

Kini Saito hanya bisa menggerakkan Derflinger dengan tangan kanannya karena bahu kirnya terluka parah dan sebagian tubuhnya terbakar api, yang datang dari bola api yang meledak di dekatnya.

Meski dalam keadaan genting, Saito terus menerjang, tetap tegak berdiri sambil dikepung dari segala arah.

Karena serangan sihir dan senjata…cedera Saito bertambah parah seiring dengan waktu.

Petugas komandan unit tengah mengendarai manticore phantomnya. Dia menendang tunggangannya dan bersiap menyerbu, tapi sebuah pedang memukulnya jatuh dan dia melihat manticorenya terkapar. Sesaat kemudian, kakinya sendiri remuk dan dia pingsan ke tanah.

Komandan divisi senpi memerintahkan bawahannya bersiap untuk sebuah manuver, yang bakal mengepung musuh yang bagai angin ini seketika, tapi musuh itu melompati formasi, dan menghantam kepala komandan dengan pedangnya, mengirimnya langsung ke alam mimpi.

Komandan muda yang dibebani para pemanah buru-buru memerintahkan bawahannya memanah, tapi panah-panah itu tak dapat mencapai musuh, malah menghantam sekutunya sendiri. Dalam kekacauan dia berhasil mengenai kakinya sendiri.

Kekacauan diantara garda terdepan semakin besar. Jenderal Hawkins menerima laporan yang memusingkannya. Laporan yang diterimanya berantakan.

Ada yang mengatakan, musuhnya pengendara tunggal.

Ada yang mengatakan,musunya seorang penyihir.

Ada yang mengatakan,ini bagian tentara musuh.

Ada yang mengatakan, itu ksatria sihir elf.

Ada yang mengatakan,itu divisi elf…dll

Tapi sang Jendera, veteran yang telah melalui 100 pertempuran, merasa ia hanyalah seorang musuh. ‘ Seorang Musuh dengan kecepatan angin.

Seorang Musuh dengan kekuatan bagai api.

Musuh yang takkan goncang bagaikan batuan bumi.

Musuh yang sukar dibaca bagaikan gelombang lautan.

“Aku tak menyukainya,” ucap Jenderal Hawkins.

Tepat ketika Saito mematahkan tongkat sihir petugas eselon tengah, dia menemukan sekumpulan penyihir. Karena begitu banyak penyihir melindungi seseorang itu berarti…

“Dia pasti berpangkat tinggi…” ujar Derflinger. Tapi meski Saito mendengarnya, dia tak bisa berbuat banyak karena tubuhnya mulai lumpuh oleh nyeri. Dia takkan bisa bergerak beberapa saat lagi.

Dia harus menyimpan tenaga untuk bernapas.

Hanya untuk memukul jatuh satu petugas lagi…

Hanya untuk menyebabkan lebih banyak kekacauan.

Seperti ini hanya untuk memperpanjang waktu. Meski Cuma semenit, satu detik, kesempatan ini harus diambil.

Ini adalah Tugas Louise.

“Tugas yang seharusnya dilakukan Pemilikku yang cantik.”

Saito menyerbu menuju jenderal musuh yang dikelilingi kumpulan penyihir.

Jenderal Hawkins menatap angin yang berhembus kepadanya.

Kecepatan yang benar-benar mengagumkan,


Dia menghunus tongkat sihirnya, mengucapkan mantra dan dalam sekejap memunculkan bilah angin. Tapi…musuhmenghidarinya dengan mudah. Yang bisa dilihatnya hanyalah pedang musuh yang melayang menuju kepalanya.

Jenderal Hawkins hanya dapat melihat bayangan di depannya, seakan mencoba membekaskan pada pandangannya,

Para pengendara menghantam musuh dengan tembakan sihir membabi-buta, tiap-tiap tembakan menempelkan diri pada tubuh pemedang tersebut.

Meski tembakan-tembakan tersebut seharusnya berakibat fatal, sang ksatria bagai angin itu tak pernah melambat.

Pedangnya naik, menghantam kedalam tubuh Hawkins.

Ujung pedang mencapai 5 cm dari wajahnya.

Hawkins tak mengalihkan pandangan dan menatap lurus ujung pedang itu.

Tapi ia tak mengenai wajah hawkins.

Seakan waktu berhenti, gerakan pemedang membeku.

Hawkins menggunakan tongkat sihirnya untuk memukul pedang sehingga menjauh, dan sang pemedang menghantam tanah dengan sebuah gubrak.

“Yang Mulia! Situ OK?”

“Jenderal hawkins! Salah seorang ksatria mendekat.

“Tiada tulang yang patah,” jawabnya.

Laporan datang bertubi-tubi.

Sangat tak terbayangkan bahwa seorang ksatria bisa menyebabkan begitu banyak kekacauan. 14 Pemimpin rendah dan tinggi terluka, infantri terdaftar yang diperkirakan cedera sekitar dua ratus lima puluh.

Kehilangan ini dari pandangan keseluruhan tentara masih berada dalam batas yang dapat diterima. Tapi akibatnya signifikan. Garda depan yang kuat kini kacau balau, banyak yang cedera karena tembakan teman dalam kabut perang, dan \ cerita bahwa “semua disebabkan satu pemedang” telah menyebar diantara prajurit bagai api liar, merusak moral prajurit dengan hebatnya.

Komandan depan melaporkan dengan wajah masam: “ Saya takutkan ini memakan beberapa waktu untuk memperbaiki garda depan, setidaknya beberapa jam.”

Dan, cerita-cerita terus menyebar di antara prajurit yang ketakutan, yang sangat mengurangi kecepatan gerak pasukan. Prajurit yang terdaftar takut bahwa musuh mungkin menyembunyikan pemedang lain seperti ini.

Ajudan perlahan berbisik pada Jenderal hawkins.

“Saya takut kita tak bisa memenuhi tujuan gerak kita hari ini. Jika ini terus berlangsung, kita akan membuang setengah hari…tidak, satu hari.”

Hawkins menunduk.

Dia turun dari kudanya, berjalan mendekati pemedang yang pingsan, dan melihatnya baik-baik.

“Dia hanya seorang pemuda.