Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search



Bab satu : Kapal Rahasia[edit]

Louise tengah berbaring di kasurnya. Dia tengah bermimpi bahwa dia tengah berada di rumahnya, yang berjarak tiga hari dari akademi Tristain, tempat dia lahir.

Louise kecil tengah berlari-lari di dekat rumahnya dalam mimpi.

"Louise, dimana kau? keluarlah!" teriak ibunya. Di mimpinya, Louise tengah dibentak-bentak karena hasil buruk di pelajaran sihirnya. Dia terus dibanding-bandingkan dengan kedua kakaknya, yang hasil mereka jauh lebih baik.

Louise melihat sepasang sepatu dibawah semak-semak.

"Nona Louise benar-benar tak bisa sihir!"

"Aku sangat setuju, Napa sih dia ga bisa kaya kedua kakanya yang sangat ahli dalam sihir?'

Mendengar itu, Louise merasa sedih dan tak berharga, lalu menggigit bibirnya. Para pelayan mulai mencari-carinya di taman. Louise berusaha keras untuk kabur. Dia pergi ke tempat yang disebutnya "Taman Rahasia" - danau pusat.

Taman Rahasia adalah satu-satunya tempat dimana Louise merasa lega. Ia sepi, dan tiada orang disana. Bunga mekar dimana-mana dan burung-burung berkumpul di bangku dekat danau. Dan di tengah danau ada pulau kecil yang dibangaun rumah kecil dari marbel putih.

Disamping pulau, ada perahu kecil yang dulunya digunakan untuk bersantai, tapi kini tergerogoti dan terlupakan. kakak-kakaknya sudah dewasa, dan sibuk mempelajari sihir. Ayahnyam yang telah pensiun dari kemiliteran, sekarang menggunakan waktunya untuk berkumpul-kumpul dengan para tetangga ningratnya. Waktu istirahat bagi ayahnya hanyalah saat permainan berburu hewan liar. Ibunya hanya tertarik pada pengajaran putrinya dan tak ambil peduli pada yang lain.

Karenanya, selain Louise, tiada yang datang ke danau yang terlupakan lagi, atau bahkan mengingat perahu kecil itu. itulah kenapa Louise datang kesini saat dimarahi.

Di mimpinya, dia yang masih kecil melompat ke perahu dan masuk ke selimut yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Saat dia menyembunyikan diri di selimut, seorang ningrat dalam jubah muncul dari pulau yang berkabut.

sang ningrat sekitar 16 th. dalam mimpi Louise, dia hanya 6 thn. Ada beda 10 th diantara mereka.

"Apa kau sedang menangis, Louise?" Wajahnya tak bisa dilihat bagaikan tertutupi topi yang besar.

Tapi Louise sangat mengenalnya: dia adalah Viscount, sang ningrat yang baru saja mewarisi tanah di sekitar kediamannya. Louise merasa hangat dan adem di jiwa; Viscount adalah lelaki di mimpinya. Mereka telah sering bersama pada acara besanan, dan lebih jauh lagi, ayah keduanya sepakat mereka bertunangan.

"Viscount-sama, Apa itu kau?"

Louise mencoba menutupi wajahnya; ia tak ingin lelaki di mimpinya melihatnya menangis, itu akan memalukan.

"Aku diundang ayahmu hari ini untuk urusan tunangan."

Mendengar ini, Louise lebih malu lagi hingga dia tak berani menagngkat wajahnya.

"Benarkah? tapi itu tak mungkin, Viscount-sama."

"Louise, Louiseku yang kecil nan cantik, apa kau tak menyukaiku?" sang Viscount bertanya lembut.

Louise menggelengkan kepalanya pelan dan berkata terbata-bata,"Tidak, bukan itu. Hanya saja aku masih kecil dan belum siap..."

Wajah yang tersembnyi di bawah topi memunculkan senyum dan mengulurkan tangan pada Louise.

"Viscount-sama."

"Nona, pegang tanganku. Cepatlah, pertunangan akan segera dimulai."

"Tapi..."

"Apa kau dimarahi lagi? jangan khawatir. Aku akan bicara dengan ayahmu."kata sang Viscount.

Louise mengangguk, berdiri dan meraih tangan sang Viscount. Wowe, tangan yang besar sekali, bukankah itu tangan yang selalu diimpikannya untuk dipegangnya?

Tepat saat dia hendak meraih tangan Viscount, angin tiba-tiba bertiup dan menerbangkan topi dari kepala Viscount.

"Eh?!" Louise ternganga saat melihat wajahnya. Karena itu mimpi, Louise telah kembali pada dirinya yang 16 tahun.

"A-Apa-apaan kau?!"

Wajah yang berada di balik topi bukanlah Viscount, tapi familiarnya, saito.

"Louise, cepat kesini."

'Mau aku datang atau tidak, bukan itu masalahnya, kenapa kau disini?"

"Jangan berpikiran sempitlah, bukankah kau telah jatuh cinta padaku?" jawab Saito, yang dengan terlihat gagah dalam pakaian Viscount.

Siapapun bakal heran darimana dia bisa PD seperti itu.

'Jangan bodoh, aku hanya sedang terombang-ambing saat itu, jadi berhentilah bermimpi!"

"Berhentilah mebuat-buat alasan, Louiseku."

Saito berpura-pura tak mendengar Louise, dan malah mendekati Louise.

"Apa yang kau coba lakukan, bodoh?!"

Saito terus maju dan bahkan mengangangkat Louise yang tengah berada di perahu ke dalam pelukannya, tak ambil peduli dengan Louise yang berontak.

"Mengapa kau yang datang?" tanya Louise penuh rasa frustasi sambil memukul-mukul Saito. Tapi Saito tak marah sama sekali, malah senyumnya tambah lebar. Ini membuat wajah Louise pelan-pelan memerah karena malu. Dia tak tahu alasan pastinya, tapi dia merasa tenteram dalam pelukan Saito. Ini membuat Louise makin tegang.

Saito, yang tengah berbaring di kasurnya, pelan-pelan membuka matanya. Bulan kembar yang bulat penuh menyinari kamar, membuatnya terang benderang. Louise, yang masih tertidur di kasurnya, melenguh gara-gara mimpi buruknya.

Saito mendo'akan Louise untuk tetap tidur. Dia diam-diam bangun dan pelan-pelan menghampiri Louise yang terlelap.

"Mau apa kau?" Derflinger bicara ketus pada Saito

'shhh..."Saito menoleh dan meletakkan jari telunjuk di bibirnya

"Tak mau aku bicara? mengapa tidak?"

'Shhh..." Saito menggelengkan kepalanya, sekali lagi menyuruh Derflinger untuk diam sambil menatapnya dengan rasa terganggu.

"Aku takkan memaafkanmu untuk dinginnya sikapmu. Rekanku bangun tengah malam tanpa mengatakan apapun tentang lasannya. Ini membuatku marah dan depresi!"

Setelah mengatakan ini, Derflinger bergerak dan menggoyangkan badannya, sepertinya dia benar-benar marah. Pedang yang liar rupanya.

Terbangun karena suara pedang, Louise menoleh dan membuka mata.

Hati Saito berdetak kencang.

Louise duduk lalu mulai memarahi Saito.

"Jangan bangga dulu ya! Lebih baik kau bersih-bersih, tak bisakah kau melihat debu terserak dimana-mana? Jangan bilang kau sudah melakukannya, dasar lamban, ga bisa ngapa-ngapain banget sih!"

Tubuh Saito langsung kaku, bagaikan sihir "Pengeras: dibacakan padanya.

Tapi setelah Louise selesai memarahi Saito, dia berbaring lagi dan tidur. Sebenarnya, dia hanya berbicara dalam tidurnya.Bahkan dalam tidurnya sekalipun, Louise menyuruh-nyuruh Saito. Saito merasa lega dan sedih di saat yang bersamaan.

Derflinger, yang menonton Saito dari awal sampai akhir, memberikan desah keputusasaan.

"Dia berbicara dalam mimpinyakah? Tapi sepertinya bukan musik di telingamu, saito."

saito menatap marah pada Derflinger, yang hampir saja membeberkan rencananya dan cepat-cepat dia berjalan menuju dia dan berkata,"Kau lebih baik tutup mulut, bodoh!"

"Kau benar-benar kelewatan, aku takkan memaafkanmu! Jika rekanku ingin aku diam, maka aku akan menurutinya! tapi, tiba-tiba bangun tengah malam dan merahasiakannya, kau pasti merasakan balasan bahkan jika kau katakan alasanmu sekarang."

Keingintahuan Derflinger sama dengan rekannya. Sepertinya dia ingin tahu alasan saito untuk bangun tengah malam tak peduli apapun jua.

Saito mendesah, dan lalu menunjuk pada Louise yanhg terlelap.

"Ada apa dengan putri ningrat itu?"

"Apa yang kau pikirkan, rekanku?"


Saito menggunakan tangannya untuk membentuk hati.

"Apa artinya itu?"

"Ia melambangkan cinta."

"Gadis itu menyukaimu?"

"ya."

"bagaimana kau tahu?"

saito bangkit, dan menari tak bersuara.

"Ah...maksudmu pas pesta?"

"Kau lihat ekspresinya kan saat kita berdansa?"

"Ya, aku melihatnya."

"Wajahnya merah ranum..." kata Saito yang tengah melayang.

"Ya, memang sangat merah."

"Dia tampak tak ingin melepaskan tanganku dan ingin terus memegangnya."

"Kau yakin?!"

"Derf, kau hanya sepotong logam, jadi kau takkan pernah mengerti hati seorang wanita. Jika wanita melihat pria seperti itu, itu berarti menyatakan suka secara tak langsung." kata Saito, sambil memukul si pedang.

"Benar aku hanya sebuah pedang, dan aku tak mengerti hubangan antar pribadi sama sekali. Tapi karena kau yang mengatakannya, kemungkinan besar itu benar."

saito mengangguk senang dan berkata,"Kau benar-benar mengerti, Derflinger!"

"Rekanku, karena kau yakin dia menyukaimu, apa kau akan membuatnya jadi pacarmu?"

"Ya! Aku yakin dia menyukaiku, dan aku ingin dia jadi pacarku!"

"Itu mustahil. Aku sudah disini sejak dulu dan ini pertamakalinya kudengar familiar kena skandal dengan tuannya. Kau RUaar biasa!"

"Ah...rasanya luar biasa. Ayo, puji aku lagi."

"Rekanku, kau benar-benar hebat!"

Saito bangkit dan bertanya hal yang tak perlu dijawab lagi,"Derf, siapa orang terganteng di dunia ini?"

"Tentu saja itu kau, rekanku."

"Siapa orang terhebat di dunia ini tanpa sihir?"

"Tentu saja itu kau, rekanku."

Pujian itu langsung menembus kepala Saito. Dia merasa dunia menyorakinya, menyanjungnya. Orang-orang tentu membayangkan dia punya masalah dengan IQ-nya.

"Louise benar-benar beruntung aku menyukainya. Aku yang hebat dan ganteng ini."

"Jika gadis yang tinggi hati itu menyukaimu, mengapa dia harus memarahimu, bahkan dalam mimpiya sekalipun?"

Derflinger ingin meneruska pendapatnya, tapi langsung dipotong saito. "Louise myata-nyata keras kepala. Dia takkan menyerhkan hatinya begitu saja." "Ohya?"

"Jika aku datang dan memintanya, dia pasti menjawab:'Apa kau bilang? Dasar familiar bodoh!'"

"Seperti kau bilang , apa kau benar mengetahui isi hatinya, teman?"

"Tentu saja! Meski dia selalu menyangkalnya, nyatanya dia sebegitu inginnya aku untuk "menaklukkannya". Dia sudah jatuh cinta sebegitu dalamnya, tapi harga dirinya tinggi sekali, dia takkan mengatakan langsung dia suka karena itu."

"Teman, kau pasti seorang jenius. Hanya seorang jenius yang bisa menyimpulkan seperti itu."

"Sekarang sih, aku mewakili planet bumi dan membuat gadis cantik dari Halkeginia menjadi milikku. Kau mengerti kan, derf? Jadi bisakah kau menolongku dengan diam terhadap hal ini?"

Derflinger menggoyangkan badannya, menandakan kesetujuan.

'kalau begitu, aku akan diam."

Saito berterima kasih pada Derflinger dan sekali lagi menghampiri Louise.

Louise masih tertidur lelap. Tak peduli dari sudut mana kau melihatnya, dia masih terlihat cantik. Saito menarik napas dalam-dalam; Kamar itu dipenuhi wewangian yang harum.

Saito, sambil sedikit bergetar, mengangkat selimut Louise.

Sinar rembulan menyinari Louise yang tengah mengenakan gaun malam, Meski Louise mengenakan pakaian malamnya, kulitnya yang halus dan ranum masih bisa dirasakan . Meski sedikit, Buah dadanya telah berkembang. Dan, Louise juga tak suka mengenakan pakaian dalam saat tidur. Saito mengeahui ini dengan baik sekali - Toh, dia juga yang menyiapkan pakaian dalamnya setiap pagi.

Saito sangat tersentuh sampai-sampai airmata menetes dari matanya. Dari sekarang dan seterusnya, gadis yang lucu dan manis ini akan jadi milikku, pikirnya.Dia telah menunggu-nunggu untuk saat ini selama seminggu sejak pesta itu.

Sambil menggosok-gosok tangannya, saito menghampiri Louise yang tertidur dan mengatakan,"Itadakimasu..." dan langsung menyusup ke bawah selimut Louise.

"Ah, Louise, Louise. Kulitmu benar-benar halus dan harum, Haha...Dasar Saito bodoh..."

Saito tak tahu mengapa dia memanggil dirinya sendiri bodoh, tapi gairahnya makin menjadi-jadi.

Dia memeluk Louise tanpa berpikir dua kali dan mencium pipinya. Louise sepertinya takkan bangun dalam waktu dekat; Dia memang penidur pulas.

"Louise, sayangku, wajahmu..kau punya wajah termanis sedunia..."sesaat kemudian, tepat saat Saito hendak mengangkat gaun malam Louise, dia tiba-tiba terbangun. Saito terkejut tapi langsung tenang kembali dan memeluk Louise erat.

"Apa...Apa yang kau laukan?!"

Louise langsung menyadari apa yang sedang berlangsung dan berontak untuk membebaskan diri dari pelukan Saito.

"Tak bisakah kau tenang?"

"Mengapa...Mengapa...kau memelukku?"

"Apa maksudmu? Aku kira kau menyukaiku!?" Saito menatap Louise dengan rasa frustasi; Louise merasakan amarahnya dan berhenti memberontak.

"Apa?"

Saito menaruh tangannya di bahu Louise dan bertanya,"Bukakah kau mencintaiku?"

"Apalagi omong kosong yang kau keluarkan?"

"Tak apa-apa Louise, aku mengerti yang kau rasakan. Akulah yag paling mengerti dirimu. Jangan tegang, tenang saja."

"Aku, jatuh cinta padamu??"

Mimpi yang baru saja dialami berkelabat di matanya, Saito sama persis dengan yang ada dalam mimpinya, berbicara padanya dengan sikap menyebalkan itu, dan karena itu, Semakin lama Louise melihat Saito, semakin marah dia. Kedua saito, baik yang di mimpi maupun di dunia nyata membuatnya benar-benar marah. Yah, kau bisa mengatakan ia Amukan yang murni.

Louise sekarah bergemetar karena amarah, tapi Saito malah mengira dia malu, karena Louise tak punya pengalaman apapun.

"Apa kau masih egang, ini pertama kalinya juga untukku. Tenanglah selama aku menanggalkan celanaku..."

Louise merasa sait memegang pinggangnya..

Secepat Salamander api yang menangkap mangsanya, Louise langsung menggerakkan kaki kanannya ke atas dan menghantam bagian diantara kaki saito.

"Arhhh!"

Saito langsung meraskan saraf tulang belakangnya mengalirkan sakit dari "sana" ke otaknya. Saito yang tak tahan, mulai berbusa mulutnya dan berguling-guling dari kasur Louise. Louise pelan-pelan bangkit dan segera mengambil cambuk kuda disamping kasurnya.

Melihat cambuk itu, saito mencoba kabur, tapi Louise yang bercambuk sudah menaruh kakinya di kepala saito.

"Apa yang baru saja hendak kau lakukan padaku??!"

Saito, yang pelan-pelan sembuh dari nyerinya, akhirnya beuka suara,"Bukankah kita bagaikan pasangan, membisikkan kata-kata manis pada sesamanya tadi?"

Louise yang menggunakan kakinya untuk lebih menekan kepala Saito menjawab,"Itu hanya terjadi dalam mimpimu."

"Apa it berarti aku salah...? Bukankah kau merindukanku?"

"Siapa ridu siapa?

"Ya...Bukankah kau menyukaiku, nona Louise?”

"Haha...Mohon katakan alasanmu, mengapa kau bisa yakin itu, lebih baik kau membuatnya mudah dicerna, atau...aku takkan tahu apa nasibmu nanti."

"Yah, ketika pesta, kau menatapku, familiarmu, dengan matamu yang terbakar cinta."

Louise yang mukanya memerah menjawab,"Jadi itu alasannya kau kira aku mencintaimu dan naik ke kasurku?"

"Benar, Louise. Apa failiarmu yang rendah ini salah?"

"Kau benar-benar salah dalam hal ini, tak pernah kudengar familiar naik ke kasur tuannya."

"Itu akan jadi catatan buatku di lain waktu."

Louise mendesah dan mengatakan "takkan ada lain waktu." dengan nada yag kelihatannya mengasihani Saito.

"Tuan, Lihatlah! kedua bulan kembar bersinar begitu cemerlang malam ini! Kata saito putus asa.

"Bagaimanapun juga, semuanya sudah terlambat..." kata Louise dengan suara bergetar penuh amarah. Dibawah cahaya rembulan kembar, Teriakan kesakitan saito dapat terdengar hingga bermil-mil jauhnya.


...

Pada waktu yang sama dengan disiksanya Saito, Fouquet termenung memandangi langit-langit di tempat nun jauh dari akademi di penjara Genoa Kota Tristain. Dia merupakan penyihir kelas segitiga yang ditangkap Saito dkk dua hari yang lalu untuk pencurian "Tongkat Kehancuran". Karena Dia terkenal suka mencuri dari berbagai bangsawan, dia ditempatkan di penjara Genoa, penjara dengan tingkat keamanan tertinggi di Kota tristain.

Dia akan disidang di pengadilan minggu berikutnya. Sebagai orang yang telah menyebabkan malu yang begitu dalam pada para bangsawan di negeri ini, dia pasti akan dibuang ataupun dihukum mati. Pokoknya, dia takkan boleh berada di Tristain lagi. Awalnya, dia berpikir untuk kabur, namun kemudian membuang jauh-jauh pikiran itu.

Di selnya, tak ada apapun kecuali kasur yang hendak ambruk dan meja dari kayu. Bahkan sumpit yang digunakannnya pun terbuat dari kayu.Ceritanya bakal beda kalau ada yang terbuat dari logam...seperti sendok.

Walaupun ingin diubahnya tembok penjara dan batangan besi jadi tanah dengan alkemi, tapi tanpa tongkatnya, yang disita, itu tak mungkin. Penyihir benar-benar tak berdaya tanpa tongkat mereka. Lebih jauh lagi, Tembok penjara dan pagar besi disihir untuk menahan sihir lainnya, jadi meski menggunakan alkemi, dia takkan bisa kabur.

"Benar-benar kejam mereka yang mengurung seorang wanita terhormat spertik disini."gerutu Fouquet pada dirinya sendiri. Kemudian ingatannya melayang sejenak pada remaja lelaki yang menangkapnya, Anak itu cukup kuat, tak bisa dipercaya dia manusia biasa. siapa sebenarnya dia? Tapi sekali lagi, itu tak jadi perhatianku lagi. pikirnya.

"Waktunya tidur..." Fouquet mengejapkan matanya dan berbaring. Tepat saat matanya hendak tertutup, matanya dibuka lagi lebar-lebar.

Fouquet mendengar langkah-langkah kaki menuruni tangga ke ruang bawah tanah dimana dia ditahan. Dia mendengar suara-suara khas seperti spur. Dia menyimpulkan ini bukan warden, karena warden tak memakai spur di sepatu mereka. Fouquet langsung bangkit dan duduk.

Seseorang yang mengenakan jubah muncul dekat selnya, wajahnya tak bisa dilihat karena ditutupi topeng putih. Tapi sebuah tongkat panjang dapat terlihat dibawah jubahnya, seorang penyihir.

Fouquet berkata dengan nada yang agak mengejek,"Aku terkejut melihat seorang pengunjung tengah malam!"

Si topeng putih tak menjawab, malah hanya menatap dingin pada Fouquet.

Insting Fouquet langsung mengatakan orang ini disewa untuk membunuhnya. Beberapa ningrat yang kecurian olehnya pasti berpikir menghukumnya di pengadilan terlalu repot dan memutuskan untuk menyewa pembunuh untuk melenyapkannya. Beberapa banrang yang dicurinya dari keluarga imperial kemungkinan besar barang curian juga, dan agar kebenaran tak tersibak, mereka memutuskan untuk membungkamnya.


"yah, seperti yang bisa kaum lihat, ini tak terlihat seperti tempat hiburan. Tapi rasanya kau tak disini hanya untuk secangkir teh bukan?" kata Fouquet.

Dia berpikir, meski tanpa tongkatku, aku takkan menyerah begitu saja tanpa perlawanan yang keras. Aku tak hanya ahli sihir; aku juga bisalah klo tarung jarak dekat. Tapi, aku tak berdaya untuk menghentikannya bila dia memutuskan menggunkan sihir. kalua begini, aku harus memancingnya masuk selku.

Sejurus kemudian, si jubah bersuara,"Kau Fouquet si Tanah Ambruk?"

Suaranya terdengar lantang dan muda.

"Aku tak tahu siapa yang memberi julukan itu, tapi ya, akulah Fouquet si Tanah Ambruk."

Si jubah mengangkat kedua tangannya, menunjukkan dia tak ada maksud buruk.

"Aku punya sesuatu untuk kukatakan."

"Apa itu?"balas Fouquet dengan nada agak heran. "Jangan bilang kau akan bicara untuk membelaku. dasar orang aneh."

"Aku akan senang bersuara untuk membelamu, oh Mathilda dari Gotha selatan"

Wajah Fouquet memucat,"Itu nama yang telah kulupakan, tepatnya terpaksa kulupakan. Seharusnya tiada lagi yang tahu nama itu di dunia ini..."

"Siapa kau sebenarnya?"

Pria berjubah itu tak menjawab pertanyaannya dan malah bertanya,"Mathilda, apa kau berkeinginan melayani Albion lagi?"

Fouquet yang kehilangan ketenangannya membalas,"Mustahil! Aku takkan pernah menlayani mereka yang telah membunuh ayahku dan merampas rumahku!"

"Jangan salah sangka, tak ada yang memintamu melayani Keluarga bangsawan Albion. Mereka akan segera dijatuhkan."

"Apa maksudmu?"

"Sebuah revolusi sedang berlangsung. Kami akan menjatuhkan keluarga Imperial yang lemah dan tak bertenaga, dan yang menggantikan tentulah kami, para ningrat yang ahli."

"Tapi bukankah kau bagian dari kebangsawanan Tristain? Apa urusannya revolusi Albion denganmu?"

"Kami adalah kumpulan bangsawan tanpa tapal batas yang peduli dengan masa depan Halkeginia. Kami berkeinginan menyatukan Halkeginia dan merebut kembali tanah suci yang dulu pernah diinjak Brimir sang pendiri."

Fouquet berkata dengan sikap merendahkan,"Hentikan semua omong kosong ini. Jika memang begitu, mengapa konsorsium ningratmu tanpa batas memerlukanku? aku hanyalah seorang tahanan."

"Kami perlu lebih banyak penyihir ahli saat ini; Apa kau akan ikut, Fouquet si Tanah Ambruk?"

Fouquet mengibaskan tangan dan membalas,"Tolong berhentilah bermimpi..."

"Kau ingin menyatukan Halkeginia? Kerajaan Tristain, Germania, Albion dan Gallia, dan beberapa kerajaan kecil selalu berperang diantara sesamanya, menyatukan mereka bagaikan khayalan orang gila pada malam musim panas."

""Hmm! Untuk merebut kembali tanah suci kembali, bagaimana kau bertarung dengan elves yang sangat kuat itu?"

Tanah suci telah dikuasai para elf yang hidup di utara Halkegenia sejak beratus tahun yang lalu. Sejak itu, manusia telah mengobarkan peperangan yang tak terhitung untuk mendapatkannya kembali, tapi semua itu gagal total.

Para elf, yang dibedakan dengan telinga panjang dan kebudayaan unik mereka, memiliki umut yang panjang dan sangat kuat dalam sihir. Itu membuat mereka ksatria yang sangat mangsuk. Bagi manusia untuk mengalahkan para elf, pertarungan sengit harus ditempuh.

"Aku tak punya cinta lagi untuk kebangsawanan dan aku tak punya ketertarikan pada Halkegenia. Mendapatkan kembali tanah suci? Para elf bisa berdiam disana untuk selamanya!"

Si jubah hitam mengeluarkan tongkatnya dan menyahut,"Aku memberimu pilihan, Fouquet si Tanah Ambruk."

"Aku akan dengarkan."

"Apa kau jadi rekan kami atau..."

Fouquet memotongnya,"...atau aku akan langsung dilenyapkan disini? ya kan?"

"Ya, benar. Karena kau sudah tahu rahasia kami, aku tak bisa mebiarkanmu hidup."

"Kalian para nobel, benar-benar sekumpulan rubah. Kalian tak pernah memedulikan perasaan orang lain," Fouquet menjawab sambil menyeringai."Untuk jelasnya, kalian mengundangku bergabung, tapi sebenarnya, tiada pilihan lain, bukan?

Si jubah hitam menjawab, juga dengan seringai,"Itu benar."

"Kalau begitu, jadikan aku bagian dari konsorsiummu. Aku benci orang-orang yang tak tahu cara memberi perintah."

"Ayo pergi."

Fouquet menaruh kedua tangannya di dadanya dan bertanya,"Apa nama organisasi kalian?"

"Apa kau benar-benar ingin bergabung atau hanya mempermainkanku?"

"Aku hanya ingin tahu nama organisasi tempat aku akan bekerja."

Si Jubah hitam mengambil kunci dari kantongnya, membuka sel Fouquet dan menjawab,"Para Reconquistador."




Bab 2 - Kemurungan Baginda Ratu

Pagi.

Teman-teman sekelas Louise menatap Louise lekat-lekat saat dia masuk, Terutama karena dia memegang seseuatu yang dirantai, dikunci dan remuk redam dengannya ke kelas. Wajahnya memancarkan aura berbahaya, dan alis indahnya mengerut karena amarah.

Dia cepat-cepat duduk.

"Waduh, Louise. Apa yang baru saja kau bawa?" Montmorency sang Wewangian bertanya pada Louise dengan mulut menganga.

"Familiarku."

"Oh, benar...kalau dilihat dari dekat sih memang kelihatannya begitu."angguk Montmorency. Meski benjolan besar dan darah kering menggumpal di wajahnya, siapapun masih bisa mengenali benda ini dulunya dipanggil Saito. Kepalnay dikunci beserta tangannya, dan dia diseret masuk bagaikan sekantong sampah.

"Apa yang dilakukannya?"

"Dia menyelinap masuk tempat tidurku."

"Oh!" Montmorency terkejut hingga rambut bergelombangnya tegak ke atas."Vulgar! Oh, menyusup ke kasur itu...Oh! Kotor, menjijikkan! Sangat menjijikkan." Saputangannya ia gigit, sambil menyumpah nyerapah soal reputasi dan leluhur dan hal-hal seperti itu.

Sambil memainkan rambut merah menyalanya, Kirche memasuki kelas sambil menatap Louise." Ini pasti hasil godaanmu kan, Louise?Louise yang menjijikkan, kau goda saito seperti Pelacur, kan?"

'Siapa yang kotor disini? Bukannya itu kau? Tak mungkin aku menggodanya!"

"Ya ampun...remuk kaya gini...kasihan-kasihan...mari kusembuhkan kau." Kiirche memeluk kepala Saito. Buah dadanya yang besar hampir mencekiknya, tapi dia tak melawan, dan malah menikmati surga yang tiba-tiba mendatanginya.

“Whoa whoa whoa...”

"Apa kau baik-baik saja? Bagian mana yang sakit? Akan kesmbuhkan kau dengan sebuah mantra."

"Jangan bohong. Kau tak bisa menggunakan mantra tipe air, kan? Nama runemu adalah "panas", seperti dalam kepanasan. Pergilah dan dinginkan dirimu." kata Louise tegas.

"Ardent. AR-DENT. Tak pernah kukira hapalanmu zero juga." Kirche mnatap dada Louise."Sepertinya nama Zero tak hanya berlaku untuk dada dan sihirmu saja!"

Wajah Louise memerah seketika. Meski begitu, dia tertawa dingin, sambil menggigit bibirnya."Mengapa kau harus dibeginikan oleh seorang wanita yang hanya bisa membanggakan dadanya? Apa kau mengatakan semua harga wanita ada pada ukuran dadanya? Itu benar-benar cara pikir yang kacau. Otakmu pasti kosong atau...Semua gizi masuk dadamu...Otakmu pasti...pas-ti ko-kosong..." Meski dia mencoba tampil tenang, suaranya bergetar. Sepertinya dia telah kena serangan yang sangat pribadi.

"suaramu bergetar, Vallière.” dan Kirche dengan lembut meraih Saito, badannya masih penuh luka dan cedera, dan menyentuh wajahnya dengan dadanya."Oh sayangku, apa kau pikir Kirche yang berdada besar ini bodoh?"

"Ti...tidak...k-kau sangat cerdas!" Saito tampak melayang, mengubur wajahnya dalam dada Kirche. Alis Louise terangkat karenanya, dan dia secara paksa menarik rantai di tangannya.

'Kau! kesini!"Saito yang terkunci kepala, pergelangan dan seluruh badannya, jatuh keras di tanah. Louise menginjak punggungnya, dan bersuara dingin padanya."Siapa mengizinkanmu berbicara dalam bahasa manusia? Kau seharusnya berkata ‘woof’,jing."

"woof.ya tuan." jawab Saito dengan patuh.

"Anjing bodoh. Lakukan lagi. Klo kau berkata 'ya', apa yang kau lakukan?"

"woof."

'Bagus sekali. kau berkata 'woof' sekali. Trus, bagaimana kalau'Saya mengerti, tuan'?"

"woof woof!"

"Benar sekali. Kau mengatakan 'woof' dua kali. Bagaimana dengan'Aku ingin ke WC'?"

"woof woof woof!"

"Persis banget. Kau mengatakan 'woof' tiga kali. Itu merupakan kata-kata yang bagus untuk anjing bodoh sepertimu, jadi kau tak perlu mengatakan yang lain, mengerti?"

".....woof."

"seorang sayang yang 'woof' melulu juga lucu kok!" kata Kirche sambil mengelus dagu Saito."Awww...kau bisa mendatangi tempat tidurku nanti malam. Bagaimana? Aku bisa membiarkan 'woof woof' menjilati seluruh tempat yang kau suka!"

Saito langsung jongkok, mengibas-ngibaskan ekornya, yang merupakan sapu yang ditempelkan Louise tadi malam. Bahkan ada telinga yang dibuat dari jerami di kepalanya.

“Woof! Woof! Woof woof!”

Louise diam-diam dan secara paksa menarik rantai kuat-kuat."Kau..." dan diinjaknya dia dengan marah.

"Bukankah aku telah mengatakan 'woof' seperti yang kau bilang?!" sudah cukup bagi Saito, dia bangkit dengan wajah yang seakan-akan mengatakan"aku akan memberimu pelajaran", dan menuju Louise. Louise cukup menarik rantai di kakinya, dan dia jatuh dengan dentuman yang keras.

"Kau mutlak tak berbeda dengan seekor anjing pada siklusnya yang paling bergairah. Kau tak hanya mengibaskan ekormu pada wanita Zerbst, kau bahkan menyerang tuanmu sendiri. Tak berharga. sangat, sangat, sangat, sangat tak pantas." Louise mengambil cambuk dari tasnya, dan mulai mencambuk Saito dengan ganas.

"Ouch! Hentikan! Hentikan! HENTIKAN!" Dengan tubuh terkunci, saito hanya bisa berguling-guling di lantai.

"Ouch? bukannya 'woof'? 'woof' kali! Bukannya semua anjing mengatakan 'woof'?"

Suara cambukan bergema memenuhi aula kelas, Rambut Louise teragkat saat dia mengejar Saito, yang mencoba merangkak pergi, dan terus mencambuknya. Saito mengeluarkan suara 'woof' yang menyedihkan bila kena. Tiada yang menyangka bahwa inilah saito, sang familiar legendaris itu.

Saito, yang terus-menerus dihantam, akhirnya pingsan karena nyeri dan luka, serta berbaring seolah tak bernyawa di lantai.

Seluruh murid melihat kejadian yang memelukan ini, membayangkan: Benarkah jelata ini mengalahkan Guiche sang Perunggu? Apa benar dia menangkap Fouquet si Tanah Ambruk?

CRACK! CRACK!

Para murid menontonnya menyiksa Saito dalam diam. Baru saja disadarinya itu, karena dari tadi dia hanya memusatkan perhatiannya untuk mencambuk Saito, dan wajahnya pun memerah. Dengan enggan dikesampingkannya cambuknya dan dipegangnya pergelangan tangannya."Pen-pendisiplinan berakhir disini!"

Semuanya tahu itu pendisiplinan, tapi, ya ampun...ketakutan dengan kejadian itu, para murid membuang muka.

"Bukannya kau yang panas, Vallière?” kata Kirche yang kebosanan.

Louise langsung menatapnya. Saito masih tetap terbaring pingsan. Pintu guru terbuka, dan Prof. Kaita muncul.

Para murid duduk di meja. Prof. Kaita merupakan salah satu yang memarahi Bu Chevreuse, yang ketiduran saat bertugas jaga selama insiden Fouquet, dan yang dikatai Osman 'kau mudah marah ya'. Rambut panjang nan hitam kelam, dengan jubah yang juga hitam legam, setiap gerakannya memberikan rasa tak bersahabat dan tak enak. Meski masih cukup muda, kelakuannya yang tak bersahabat dan pandangan dinginnya membuat reputasinya buruk diantara para murid.

"Ayo mulai kelasnya, Seperti yang kalian tahu, nama runeku adalah 'topan'. Kaita sang Topan," Dia disambut oleh pandangan terkejut, dan puas dengan itu, dia melanjutkan."Apa kau tahu elemen yang paling kuat, Zerbst?"

"Elemen 'void', kan?"

"Aku tak menanyakan sesuatu dari legenda. Aku ingin sesuatu yang nyata."

Kirche lalu dengan percaya diri menjawab,"Pasti elemen api kalau begitu, prof." dengan senyumnya yang tak menahan.

"Oh? Mengapa begitu?"

"Panas dan keinginan dan membakar apa saja dan semuanya, bukankah begitu?"

"Sepertinya tidak."kata Kaita sambil mengambil tongkatnya dari pinggangnya."Cobalah. Serang aku dengan serangan elemen api terbaikmu."

Kirche berdiri kaku saking terkejutnya. Apa sih yang dilakukan guru ini?

"Mengapa? Aku tahu kau bisa mengeluarkan yang terbaik dengan mantra elemen api, ya kan?" tantang Kaita.

"Ini takkan selesai begitu saja." kedip Kirche.

"Tak masalah. Berikan terbaikmu. Jangan katakan rambut merah menyala keluarga Zerbst hanya hiasan?"

Senyum santai Kirche menghilang. Diasiapkannya tongkatnya dari belahan dadanya, rambut merah panjang dan ganasnya berdiri dan bergelombang seakan memancarkan nyala api. Tongkat diayunkannya, dan dari tanagn kanannya muncul bola api kecil. Begitu Kirche membacakan mantranya, si bola api membesar, menghasilkan bola menyala berdiameter satu meter. Para murid berlindung di bawah meja sambil panik. Pergelangan tangannya berputar, didekatkannya ke arah dada, dan dilepaskannya si bola api.

Kaita tak menghindari bola api raksasa yang menuju kepadanya. Diangkatnya tongkatnya, dan membuat gerakan tebasan seolah-olah mengayunkan pedang. Sebuah angin ribut tiba-tiba muncul, dan mengoyak bola api raksasa seketika. Ia bahkan menjatuhkan Kirche, yang tengah berdiri jauh di seberang ruangan."Semuanya, kini aku bisa mengatakan mengapa elemen angin adalah yang terkuat.. Ia cukup mudah digunakan. Angin dapat menyapu segalanya. Api, air, dan tanah tak bisa mendapat pijakan bila berhadapan dengan angin yang cukup kuat." umum Kaita acuh tak acuh."Sayang sekali, dunia nyata tak memperbolehkanku mencoba hal ini, tapi bahkan void sekalipun tak bisa menahannya. Itulah elemen angin."

Kirche bangkit, tak senang, dan menyilangkan tangannya. Kaita tak memedulikannya, dan melanjutkan."Angin yang terlihat akan menjadi angin yang melindungi semuanya, dan bila perlu, tomba yang mengoyak musuh. dan satu alasan lagi mengapa angin adalah yang paling kuat adalah..." Diangkatnya tongkatnya,“YOBIKISUTA DERU WIND..." mantranya mulai dibacakan.

Tapi, tepat saat itu, pintu kelas terbukla, dan Colbert yang tegang masuk. Dia berpakaian aneh, sebuah wig emas nan besar menghiasai kepalanya. Kalau dilihat dari dekat, pakaiannya memiliki dekorasi dan bordir yang banyak. Semuanya berpikir, mengapa dia berpakaian begitu?

"Prof.Colbert?" Kaita mengangkat sebelah alisnya.

"Ahhh! Maaf, maafkan aku menyela, Prof. Kaita."

"Kelas sedang berlangsung." Kaita membalas sambil menatap Colbert.

"Kelas hari ini dibatalkan." Umum Colbert tegas. Sorakan bergema dari kelas. Untuk menghentikannya, Colbert mengangkat kedua tangannya, dan melanjutkan,"Aku punya sesuatu untuk semuanya." Colbert tiba-tiba mendongak, yang membuat wignya jatuh ke lantai. Suasana tegang yang dibangun Kaita tiba-tiba runtuh begitu suara tawa menelan seisi kelas.

Tabitha, yang duduk di depan, menunjuk pada kepala botaknya dan tiba-tiba berkata,"Silau."

Suara tawa semakin menggila. Kirche tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Tabitha,"Kau bisa bicara juga saat kau buka mulutmu sesekali!"

Wajah Colbert memerah, dan berteriak keras."Diam! Hanya jelata yang tertawa terbahak-bahak! Ningrat hanya tersenyum sinpul dengan kepala menunduk bila menemukan sesuatu lucu! Bila tidak, tentu Royal Court akan menanyakan hasil didikan sekolah kita!" Kelas akhirnya tenang kembali setelah kata-kata itu.

"Baiklah. Kalian semua, Hari ini akan menjadi hari terpenting Akademi sihir Tristain. Ii adalah hari ulang tahun Brimir sang Pendiri kita, hari yang sangat pantas untuk dirayakan." Wajah Colbert berubah serius, dan ditaruhnya kedua tangannya di belakang.

"Adalah sangat mungkin putri Yang Mulia, bunga indah yang bisa dibanggakan oleh kita, orang Tristinia kepada Halkeginia lainnya, Putri Henrietta, akan, karena keberutnungan kita yang agung, mampir ke akademi dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Germania.

Bisikan dan obrolan memenuhi kelas.

"Karenanya, kita tak bisa berleha-leha. Meski berita ini mendadak. kita harus mulai bersiap untuk menyambutnya dengan segenap kemampuan kita. Karena hal ini, kelas hari ini dibatalkan. semuanya, mohon berpakaian resmi, dan berkumpullah di gerbang utama." Para murid mengangguk dalam satu gerakan. Colbert membalas dengan menunduk juga, dan dengan lantang mengumumkan,"Ini adalah kesempatan yang baik sekali untuk membuat Yang Mulia putri mengetahui kalian semua telah mendewasa sebagai ningrat teladan. Semuanya mesti mempersiapkan yang terbaik untuk membuat Yang Mulia putri menyaksikan fakta ini! Bubar!"


  • * *

Empat Kuda berhelm emas membuka jalan bagi kereta pada jalan menuju Akadem sihir dengan hening. Kendaraan dihiasi secara semarak dengan patung emas, perak dan platinum. Patung-patung itu adalah segel kerajaan. Salah satunya, unicorn yang didepannya ada tongkat kristal yang menyilang adalah tanda bahwa kereta ini milik Yang Mulia Putri.

Semua bisa menemukan, bila melihat dari dekat, bahwa kuda yang menarik kereta bukan kuda biasa. Mereka adalah unicorn seperti yang di segel kerajaan. Unicorn, yang menurut legenda hanya memperbolehkan gadis tersuci untuk mengendarai mereka, adalah yang terbaik untuk membuka jalan bagi kendaraan putri.

Jendela kereta memiliki pembatas dan penutup bergading, seolah-olah melarang pandangan luar masuk. Di belakang kereta Putri ada Kardinal Mazerin, yang memegang seluruh kekuasaan politik Tristain dengan Tangan besi sejak kematian Yang Mulia. Hiasan keretanya tak kalah dengan Yang Mulia Putri. Bahkan, miliknya lebih indah. Perbedaan kedua kereta di jalan menunjukkan dengan jas siapa yang memegang kekuasaan tertinggi di Tristain.

Di sekeliling kedua kereta ada Penjaga Imperial, sebuah bagian dari penjaga penyihir. Terdiri dari keluarga ningrat yang terbaik, Penjaga Sihir Imperial merupakan kebanggan seluruh ningrat di negeri ini. Setiap lelaki ningrat bermimpi mengenakan jubah hitam dari Penjaga Sihir Imperial, dan setiap wanita ningrat bermimpi menjadi pengantin mereka. Penjaga Imperial ini adalah simbol Kesejahteraan Tristain.

Jalan dipenuhi dengan bunga setiap para jelata bersorak dari tepi jalan. Setiap kereta lewat, bisa terdengar "Hidup Tristain! Hidup Putri Henrietta!" dan kadang-kadang bahkan "Hidup Kardinal Mazerin!" meski tak sekeras yang pada Putri. Dia tak terlalu dianggap karena diisukan dia berdarah jelata. Beberpa mengatakan itu hanyalah karena iri pada posisinya. Begitu tirai kereta dibuka, dan kerumunan melihat sang Putri yang masih muda, sorakan bertambah keras. Dia juga melemparkan senyum manis pada orang-orang.


  • * *


Henrietta menutup tirai, dan mendesah panjang, kehilangan senyumnya yang bagaikan mawar yang baru saja dilemparnya pada kerumunan. Yang tertinggal hanyalah beban dan fikiran berat yang terlalu untukdipikul seusianya. Dia 17 tahun ini. Dengan badan kurus, mata biru terang, hidung mancung, dia adalah si cantik penagkap mata. Jari-jari manisnya memainkan tongkat kristalnya. Sebagai orang berdarah biru kerajaan, dia tentu saja seorang penyihir.

Tidak sorakan, tidak pula bunga yang beterbangan di udara, semuanya tak bisa membuatnya kembali cerah. Dia tampak memendam masalah politik dan percintaan yang dalam.

Mazarin yang duduk di sampingnya menontonnya sambil memainkan jantungnya. Mengenakan topi seperti yang dipakai pendeta dan pakaian abu-abu resmi. dia pria kurus dan rapuh pada 40-annya. Rambut dan janggutnya telah memutih, dan bahkan jari-jarinya tampak seperti kulit yang melekat pada tulang, membuatnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Sejak Yang mulai meninggal, Tangan besinya pada hubungan internasional dan politik internal telah membuatnya menua.

Dia baru saja meninggalkan keretanya dan memasuki yang Putri.

Dia ingin berbicara mengenai politik, tapi putri hanya mendesah dan tak ambil peduli.

"Itu yang ketigabelas hari ini, Yang mulia." Mazarin mencatatnya, terganggu dan peduli.

"Hmm? Apa?"

"desahan itu. Mereka dari kerajaan tak seharunya melakukannya sepanjang waktu didepan bawahan mereka."

"Kerajaan?! Apa?" Henrietta terkejut. "Bukankah kau raja Tristain? Tak tahukah Yang Mulia mengenai desas-desus di jalan?"

"Aku tak tahu." Mazarin menjawab tenang. dia berbohong. Dia tahu segalanya mengenai Tristain, bahkan Halkegenia, bahkan hingga jumlah sisik dari naga api yang hidup di gunung berapi. Dia tahu semua. Dia hanya berpura-pura dia tidak tahu.

"Aku akan menceritakannya padamu. Keluarga kerajaan Tristain punya bunganya, tapi tidak tongkatnya. Kardinal,kaulah yang memegang tongkat itu. Tulang burung dengan topi abu-abu..."

Mazarin terbelabak. Kata "tulang burung" dari mulut Putri sepertinya menyakitinya."Mohon jangan berbicara dengan lagak jelata", isu bisa begitu..."

"Mengapa tidak? Itu hanya isu. Aku akan menikah dengan raja Germania seperti yang kau suruh."

"Kita tak bisa apa-apa. Alinsi dengan Germania sangat penting bagi Tristain." kata Mazarin.

"Aku tahu itu.'

"Yan mulia mengerti kan soal pemberontakan di Albion 'Negeri Putih' yang dibawa orang-orang tolol itu? Merka tampak tak bisa menoleransi keberadaan kerajaan di Halkegenia." mukanya masam.

"Tak sopan dan tak kenal adat! Mereka mencoba menggantung pangeran yang kasihan itu! Bahkan bila seisi dunia memaafkan perbuatan mereka, Brimir sang pendiri takkan memaafkan mereka. Akupun takkan memaafkan mereka."

"Benar sekali. Meski begitu, kebangsawanan Albion punya kekuatan yang tak bisa dilewati. Keluarga kerajaan Albion mungkin tak melewati hari esok. Salah satu dari kerajaan yang diberkati Brimir sang Pendiri akan jatuh begitu saja. meh...Negeri yang tak bisa menyelesaikan permasalahan internal tak punya hak untuk berdiri."

"Keluarga kerajaan Albion tak bisa dibandingkan dengan Germania. Mereka adalah keluargaku. Kau tak punya hak berkata begitu meski sebagai kardinal."

"Ampuni aku. Aku akan memohon pengampunan dari Brimir sang Pendiri sebelum tidur. Meski begitu, apa yang baru saja kukatakan adalah kebenaran, Yang Mulia."

Henrietta hnaya menggelengkan kepalanya dengan sedih. Bahkan sikap itupun memancarkan kecantikannya.

"Sepertinya para ningrat bodoh albion itu punya keberanian untuk mendeklarasikan bahwa mereka akan menyatukan seluruh Halkegenia. Adalah sangat mungkin mata mereka tertuju pada Tristain setelah menghabisi keluarga kerajaan. Jika itu kejadian, adalah sangat terlambat bila kita tak mengambil langkah-langkah persiapan." jelas Mazarin pada Henrietta. dia memandang keluar jendela, berpura-pura tak memperhatikan. "Membaca langkah musuh dan menghadapinya dengan kesempatan yang pertama ada adalah politik yang benar Yang Mulia. Jika kita bisa menciptakan aliansi dengan Germania, maka kita akan menciptakan kekuatan untuk menghadapi pemerintahan baru Albion, dan memastikan keberlangsungan negeri kecil ini."

Henrietta terus mendesah. Mazarin membuka tirai dan melihat keluar, dan melihat bayangan kebanggannya. Seorang penyihir muda, dan terlihat tajam, berjambang panjang dan memgenakan topi berbulu, berderap bersama konvoi diluar. Sebuah medali griffin mengencangkan jubah hitamnya, dan satu tatap pada bagian belakangnya menjelaskan kenapa. Ia berkepala elang, sayap dan talon, dan ia berbadan singan dan kaki belakang. Seekor griffin.

Pria ini adalah pemimpin dari salah satu divisi Garda Penyihir, Ksatria Griffin, yaitu, Kapten Lord wardes. Divisinya adalah yang paling mudah diingat dari semua Garda penyihir, terutama oleh Mazarin. Mengenakan peralatan sihir paling utama, Garda penyihir tersusun dari seleksi paling berat diantara para ningrat, dan tiap anggotanya mengendarai binatang sihir sesuai nama divisinya. Mereka adalah simbol kedigjayaan dan ketakutan Tristain.

"Yang mulia memanggilku?"Mata Wardes melirik, dan menghampiri jendela kereta dengan griffinnya. Jendelanya perlahan terbuka dan Mazarin muncul.

"Wardes-kun, Yang Mulia merasa depresi. Bisakah kau mengambilkan sesuatu agar dia bisa ceria lagi?"

"Siap dilaksanakan." angguk wardes, dan mengamati jalan dengan mata elang. Dia dengan cepat menemukan sebuah persimpangan kecil di jalan, dan mengarahkan griffinnya kesana. Setelah mengambil tongkat panjang dari piggangnya, dibacakannya sebuah mantra pendek, lalu dengan halus diayunkanlah tongkatnya. Sebuah angin kecil muncul dari tanah, mengumpulkan seluruh kelopak yang beterbangan di jalan ke dalam genggaman Wardes. Dia kembali ke kereta dengan karangan bunga, dan menyerahkannya pada Mazarin. Mazarin mengelus janggutnya, dan menyarankan,"Bisakah Kapten mempersembahkan ini pada Yang Mulia Putri sendiri?"

"Itu akan jadi kehormatanku." Wardes memberi salut, dan berbalik ke sisi lain kereta. Jendela perlahan dibuka. Henrietta mengulurkan tangan kiri untuk menerimanya. Wardes dengan hikmat memegang tangan kirinya, dan mengecupnya perlahan.

Henrietta yang masih terbebani bertanya,"Siapa namamu?"

"Garda Penyihir Yang Mulia, pemimpin Ksatria Griffin, Lord Wardes." Dia menjawab sambil menundukkan kepalanya.

"Sebuah teladan kebangsawanan. Betapa terhormatnya dirimu."

"Aku hanyalah pelayan rendahan Yang Mulia."

"Sangat sedikit ningrat yang mengucapkan itu akhir-akhir ini. saat kakek masih hidup...dibawah kuasa Philippe III, seluruh ningrat memiliki kehormatan agung seperti ini."

"Masa-masa yang menyedihkan."

"Bolehkah aku mengharapkan kebaikanmu dalam saat sulitku lagi?"

"Jika itu kejadian, ta peduli dimana aku berada, dalam perang maupun di udara, tak peduli apa yang harus kutinggalkan, aku akan secepatnya kesini untuk melayani paduka."

Henrietta mengangguk. Wardes salut sekali lagi, dan meninggalkan sisi kereta. "Apa dia bisa diandalkan?" dia bertanya pada Mazarin.

"Lord wardes. Nama runenya "Halilintar". Bahkan "Negeri Putih" hanya bisa membanggakan beberapa orang saja yang terbukti bisa menjadi tandingannya."

"Wardes...sepertinya aku pernah mendengar tempat itu sebelumnya."

"Bukannya itu yang dekat dengan tanah tuan Vallière."


"Vallière?" ingatan Henrietta terpantik, dan dia mengangguk. Nama itu ada di tujuan mereka, di akademi sihir.

"Kardinal, apa kau ingat nama ningrat yang menangkap Fouquet si Tanah Ambruk?"

"Maaf, sepertinya tidak."

"Tidakkah kau akan memberi gelar ksatria pada mereka dalam waktu dekat?" Henreitta terkejut.

Mazarin tak memerhatikn."Kupikir sudah saatnya aturan pemberian gelar berubah. Dia harus menjalani kemiliteran untuk mendapatkannya. Bagaimana mungkin gelar ksatria begitu mudah diberikan untuk menahan seorang pencuri? Lagipula, kita akan memerangi Albion bersama Germania dalam waktu dekat, dan bukan sesuatu yang baik bila kita kehilangan oyalitas ningrat karena dengki."

"Kau buat begitu banyak keputusan tanpa sepengetahuanku."

Mazarin tak menjawab. sambil terus menggerutu, Henrietta ingat bahwa nama Vallière berada di deretan mereka yang menangkap Fouquet. Semuanya beres, pikir Henrietta, dan tenang kembali.

Mazarin menengok pada Sang Putri."YAng Mulia, sepertinya ada beberapa...riak diantara Royal Court dan beberapa kelompok kebangsawanan."

Henrietta menggelengkan kepalanya.

"Sesuatu yang mengganggu perkawinan Putri, dan menghancurkan aliansi kita dengan Germania."

'Butir keringat dingin menetes dari dahi Henrietta.

"Kau belum ketahuan mereka,kan, Paduka?"

Setelah keheningan sesaat, Henrietta menjawab dengan enggan,"...Tidak."

"Aku percaya kata-kata Paduka kalau begitu."

"Aku adalah sang Putri. Aku tak berdusta." Henrietta menghembuskan desah kelegaan.

"...Yang ke-14, Paduka."

"Hanya sesuatu di pikiranku. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mendesah."

"Sebagai Keluarga kerajaan, stabilitas negerimu datang dari perasaanmu."

"Aku seperti itu sepanjang waktu."Henrietta membalas acuh tak acuh. Dia menengok karangan bunga di tangannya, dan berkata tan pa menoleh,"...Apakah bunga di jalan bukan sebuah berkah, kardinal?"

"Yang kutahu, bunga yang terpetik tangan adalah berkah bagi bunga tersebut."


  • * *


Begitu Sang Putri melewati gerbang akademi, berbaris-baris murid mengangkat tongkat mereka serentak, dengan serius dan hening. Setelah gerbang utama, selanjutnya adalah pintu ke menara pusat. Osman berdiri disana untuk menyambut kedatangan Sang Putri. Begitu kereta berhenti, pelayan-pelayan cepat-cepat menggelar karpet merah ke pintunya. Para penjaga dengan lantang menguumkan kedatangannya.

"Putri Kerajaan Tristain, Putri Henrietta, telah tiba."

Yang pertama keluar, sayangnya, adalah Kardinal Mazarin.

Para murid menggerutu, tapi Mazarin tak ambil peduli, dan berdiri di sisi kereta, lalu memegang tangan sang Putri begitu dia bangkit. Para murid akhirnya memberikan sambutan tepuk tangan nan meriah. Sebuah senyum bagaikan bunga dan indah terbit dari wajah Putri yang secara elegan melambaikan tangannya.

"Itukah Putri Tristain? Heh...Aku jauh lebih cantik dari itu." gumam Kirche. "Os sayangku, siapa yang kau pikir lebih cantik?" Dia menoleh pada Saito, yang terkunci erat dan terbaring di tanah.

“Woof.”

"Aku tak bisa mengerti bila kau hanya me-woof saja! siapa?"

Saito menatap Louise, yang melihat penuh perhatian pada Putri. Jika saja dia bisa diam seperti itu, dia sangat murni, menarik, dan cantik. Tak peduli seberapa marah dia, seberapa dingin dia terhadapnya, dan bahkan jika dia diperlakukan seperti anjing, penampilam lembut dan menarik ini dapat membekukan saito.

wajah Louise tiba-tiba memerah, yang kliatan saito, Ada apa ini? Dia menengok pada yang tengah dilihat Louise, Seorang ningrat yang mengenakan topi dan terlihat keren yang mengendarai binatang sihir dengan kepala elang dan badan singa. Louise melihatnya penuh perhatian.

saito melihat keanehan disini. Ningrat itu tampak seperti orang baik, tapi tiada alasan menatapnya begitu dalam dengan wajah memerah seperti itu. Apa aku iri? pikirnya. Tidak, tak mungkin. Aku tak punya hubungan seperti itu dengan Louise. Dia menegakkan dirinya kembali.

Tak masalah, pikir Saito, aku masih punya Kirche. Seorang rambut merah dengan belahan yang cukup dalam. Si cantik penuh gairah. Jika memang seperti "itu", aku akan memilih Kirche yang sempurna. Dia berpikir sambil senyum-senyum. Tapi wajah Kirche juga memerah dan menatap ningrat itu juga. Saito menundukkan kepalanya, tiba-tiba merasa beratnya seluruh rantai, dan membuatnya terpaku ke tanah. Tabitha terus membaca buku, sepertinya kedatangan sang Putri tak berarti apa-apa baginya.

"Dan kau tetap seperti itu." Katanya pada Tabitha. Diangkatnya wajahnya dan dilihatnya apa yang dilihat Kirche dan Louise, melihat ke Saito lagi, dan bergumam pendek,"hanya tiga hari."


  • * *

Malam itu...

Saito berbaring di kasur jeraminya, menonton Louise. Sepertinya dia tak bisa menenengkan diri. Dia akan berdiri sesaat, lalu duduk sedetik kemudian, mengkhawatirkan sesuatu sambil memeluk bantalnya, itu semua dilakukan sejak melihat ningrat hari itu. Setelahnya, dia hanya diam, kembali ke kamarnya bagai hantu, dan sejak itu hanya duduk di kasurnya seperti itu.

"Kau...bertingkah aneh."Saito memulai, tapi Louise tak membalas.

Dia bangkit, dan melambaikan tangannya di depan mata Louise. Tak ada reaksi.

"Agak aneh sedikit." Dia lalu menarik rambut Louise. Rambut Louise sangat halus dan lembut, menariknya pelan-pelan sepertinya akan mematahkannya, ya, kelembutan seperti itulah. Dia menariknya agak keras sedikit, dan Louise masih tak bereaksi. Samaketika dia mencubit wajah Louise.

"Waktunya mengganti ke Piyamamu." Dia salut dengan hebohnya pada Louise dan meraih blusnya, pelan-pelan melepas kancingnya. Sekarang Louise hanya mengenakan pakaian dalamnya. Tetap saja dia tak bergerak, bagaikan tersihir. Membosankan...Ada apa dengannya? ya ampun...Saito berdehem.

"Louise-sama. Di duniaku, ada seni yang dipanggil 'Pijatan pembesar dada'."

Dia mengada-ada, tentu saja. Wajah Saito memerah.

"Kau memijatnya seperti ini, dan ia akan pelan-pelan membesar. Bisa dibilang ini sejenis sihir." Saito mengulurkan tangannya, membuat sikap seolah-olah akan memeluknya, dan mulai memijat punggung Louise."Apa ini? Dimana mereka? Mengapa mereka tak disana? Oh...Ini punggung toh." Kemudian dia sengaja menggelengkan kepalanya."Ya ampun...aku salah, keduanya kempes, itu sebabnya."

Louise tetap diam, bahkan terhadap sikap menjijikkan dari Saito ini.

"Aku...Apalah awak ni...BODOH! APA YANG BARU SAJA KULAKUKAN?!" Setelah menyadari itu, dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dan memukul kepalanya sendiri di kasur. Jelas terlihat dia malu bahwa dia tadi melakukan itu. dan dia lalu depresi. Dia tahu bahwa, sebagai manusia. dimarahi dan diteriaki terkadang berharga. Tapi akan sangat menyakitkan bila diacuhkan begitu saja dan dianggap tiada.

Tepat saat dia selesai nyampah, seseorang mengetuk pintu.

"Siapa ya?" yanya Saito pada Louise.

Ketukan itu sangat biasa. Dimulai dengan dua ketukan panjang, diikuti tiga yang pendek...

Louise langsung tersadar dari lamunannya. Dia langsung berpakaian, bangkit, dan membuka pintu.

Seorang gadis berdiri disana, yang seluruh tubuhnya ditutupi kerudung hitam.

"...Kau...?" Louise yang terkejut bersusah payah bersuara.

Si gadis berkerudung men-shh dngan jari di mulutnya, dan mengambil tongkat dari jubah hitamnya, mengayunkannya ringan selama membacakan sebuah mantra pendek. Bubuk yang berkilauan mengisi kamar.

"Sebuah mantra pendiam?" tanya Louise. Si Gadis berkerudung mengangguk.

"Kemungkinan ada mata dan telinga tambahan disekitar kita."

Setelah yakin tiada telinga sihir dan lubang intip, dia pelan-pelan melepas kerudungnya.

Didepan mereka, Putri Henrietta menampakkan diri. Saito menahan napas, Louise sangat manis, tapi Putri ini bisa menyamai kemanisannya, dan masih memiliki keeleganan yang dikagumi ini.

Louise buru-buru berlutut. Saito tak tahu harus apa, dan hanya berdiri mematung, tak habis pikir apa yang terjadi.

Henrietta dengan tenang dan lembut bersuara."Lama tak jumpa, Vallière.”





Bab 3 - permintaan Teman semasa kecil

Putri Henrietta, yang baru saja muncul di kamar Louise, terlihat baru saja melepas beban di dadanya, dan memeluk gadis yang berlutut tersebut.

"Oh, Louise, Louise, Louise sayangku!"

"Ini tak benar, Paduka. Datang ke tempat sederhana ini..."

Louise bersuara serius dan hormat.


"Oh! Louise! Louise Françoise! hentikanlah sikap formal ini! Kau dan aku tak laind an tak bukan adalah teman! Bukankah begitu?"

"Aku tak pantas untuk kata-kata lembut itu. Paduka."

Louise menjawab dengan suara tertahan dan tegas. Saito membeku, dan hanya menonton dua gadis cantik yang saling berpelukan.

"Mohon hentikan itu! Tiada Kardinal, Ibuku, atau aristokrat rakus di senat yang yang berkeliaran mengenakan wajah bersahabat disini! Oh. Tidakkah ada teman yang akan membuka dirinya padaku? Bahkan Louise Françoise, teman lamaku yang kurindukan, bersikap menjauh. lebih baik kumati saja!"

"Paduka..."

Louise menengadahkan wajahnya.

"Bukankah saat kita masih kecil, kita berkumpul dan mengejar kupu-kupu di halaman istana? dan belepotan lumpur?"

Dengan wajah malu, Louise menjawab.

"...Ya, dan La Porte-sama si chamberlain menyuruh kita keluar untuk untuk menemukan pakaian kita sangat kotor."

"Ya! Itu benar Louise! Kita selalu bertengkar atas kue krim puff, dan berakhir dengan mendapatkan kue benerannya! Oh, Saat kita bertengkar, selalu aku yang kalaj. kau akan menjambak rambutku, dan aku mulai menangis begitu saja."

"Tidak juga, Putri-sama pernah menang juga, setidaknya pada satu kesempatan."kata Louise, yang terlihat sentimental.

"Kau ingat! Klo orang melihat kita berdua, pasti akan teringat pada Perang 'the Siege of Amiens'!"

"Itu saat kita bertengkar memperebutkan sepotong baju di kamar tidur Putri-sama, kan?"

"Ya, di tengah-tengah 'Parlemen khayalan kita', akhirnya kita malah bertengkar tentang siapa yang bakal memainkan Putri-sama! dan adalah hantamanku ke perutmu Louise Françoise, yang akhirnya jadi penentu."

"Aku bakal pingsan di hadapan Putri-sama."

Setelah itu, keduanya saling bertukar pandangan dan pecah dalam tawa. Saito yang kagum hanya menonton mereka. Putri mungkin terlihat sebagai seorang wanita, tapi sebenarnya dia tomboy.

"Yah, seperti begini dong Louise. Ah, rasanya seperti dulu, aku tak bisa menahan airmataku."

"Jadi, bagaimana kalian saling kenal?" tanya Saito, lalu Louise mengejapkan matanya untuk emngenang kembali semuanya sebelum menjawab.

"Aku diberi kehormatan melayani sebagai teman bermain putri-sama saat masih kecil."

Setelah itu, Louise menoleh kembali pada Henrietta.

"Tapi, aku sangat tersanjung. Sang Putri akan mengingat hal-hal seperti itu...kupikir kau sudah melupakanku."

Sang putri mendesah panjang dan duduk di kasur.

"Bagaimana aku bisa lupa? selama itu, setiap hari adalah kesenangan. Tiada yang perlu dikhawatirkan."

Ada nada sedih di suaranya.

"Putri-sama?"

Louise tampak khawatir sehingga diusapnya wajah Henrietta.

"Aku iri padamu. Kebebasan adalah hal yang mengagumkan, Louise Françoise."

"Apa maksudmu? Kau adalah Putri kerjaan bukan?"

"Seorang putri yang lahir di kerajaannya bagai burung yang dibesarkan di sangkar. Kau kesini dan kesana menuruti kehendak tuanmu..." kata Henrietta yang terlihat kesepian.Itu terlihat dari caranya memandang bulan di sebrang jendela. Dia lalu memegang tangan Louise dan tersenyum manis sebelum berbicara.

"Aku...aku akan menikah."

"...SELAMAT!"

Louise, yang entah kenapa merasakan kesedihan dalam suara itu, nerkata dengan suara tertahan.

Itu adalah saat Henrietta menyadari keberadaan Saito, yang duduk di tumpukan jeraminya.

"Oh, maafkan aku. Apa aku menyela?"

"Menyela? Menyela apa?"

"Yah, bukankah dia cintamu? Tidak! sepertinya aku terlalu bersemangat mengenang kembali sehingga aku tak menyadari salahku!"

"Huh? Cinta? Makhluk itu?"

"Berhentilah memanggilku begitu." kata Saito dengan nada kecewa.

"Putri-sama! Itu hanya familiarku! Jangan bercanda bahwa ia adalah cintaku!"

Louise menggelengkan kepalanya liar, membantah kata-kata Henrietta.

"Familiar."

Henrietta menatap Saito dengan ekspresi hampa.

"Tapi dia tampak seperti manusia..."

"Aku memang manusia, Putri-sama." Saito memberikan sambutan yang agak dipaksakan pada Henrietta. dan dia lebih terluka lagi saat Louise membantah dia sebagai cintanya. Meski itu memang kenyataannya, tetap saja sakit. Dia ingat profil Louise saat Louise memandangi ningrat muda lainnya siang tadi. 'Bagaimanapun juga...aku adalah familiar. seorang jelata. bukan seorang ningrat. Dan aku ingin pulang. Aku ingin melahap burger teriyaki. Yah, dan mungkin aku bisa meminta seseorang untuk pergi bersamaku.' Pikiran yang menyakitkan seperti ini bergemuruh bersama menjadi sebuah rantai.Merasakan beban menghimpitnya, disandarkan tangannya di dinding. Secepat perasaannya melambung, secepat pula ia jatuh. Kepribadian yang sangat rapuh.

"Benar sekali, Oh, Louise Françoise, kau mungkin telah berubah sejak masa kecil kita, tapi kau masih tetap sama."

"Aku tak membuatnya familiarku karena keinginanku."

Louise tampak kecewa. Henrietta mendesah lagi.

"Putri-sama, ada apa?"

"Tidak, bukan apa-apa.. Maafkan aku, ah, aku sangat malu pada diriku sendiri. Ini bukan sesuatu yang bisa kuceritakan padamu...Aku hanya..."

"Mohon ceritakan. apa masalah yang menyebabkan putri-sama, yang biasanya selalu ceria, mendesah seperti ini?"

"...Tidak, aku tak bisa ceritakan ini padamu. Tolong lupakan saja Louise."

"Takkan! Bukankah kita selalu menngobrolkan segalanya? Putri-sama adalah satu-satunya yang memanggilku sahabat. Mengapa kau tak berbagi kekhawatiranmu dengan sahabatmu?"

Setelah Louise selesai berucap, Henrietta tersenyum ceria.

"Kau memanggilku sahabat, Louise Françoise, Itu membuatku sangat bahagia."

Henrietta mengangguk, menunujukkan kesungguhannya, dan mulai berbicara."Louise, Jangan katakan siapapun tentang apa yang akan kukatakan padamu sekarang."

Setelah itu, dia cepat menoleh ke arah Saito.

"Haruskah aku keluar?"

Henrietta menggelengkan kepalanya.

"Penyihir dan familiarnya merupakan satu kesatuan, Aku tak melihat ada alasan bagimu untuk keluar."

Dan dengan nada sedih, Henritta mulai bercerita.

"Aku akan dinikahi Raja Germania..."

"Germania kau bilang?!"

Louise, yang punya benci terhadap Germania, bersuara dalam keterkejutan.

"Negeri orang barbar itu?!"

"Ya. Tapi ini tak bisa dihindari, Ini mesti dilakukan untuk menguatkan aliansi kita."

Henrietta menjelaskan keadaan politik Halkegenia pada Louise.

Ada gejolaj diantara ningrat Alboin, dan sepertinya Keluarga Kerajaan akan segera dijatuhkan. Jika para pemberontak menang, maka hal selanjutnya adalah invasi Tristain. Untuk mempertahankan diri, Tristain sedang berusaha membentuk aliansi dengan Germania. Untuk keperluan aliansi, diputuskan bahwa Putri Henrietta akan dinikahi dan masuk kedalam keluarga Kerjaan Germania...

"Jadi itu sebabnya..." kata Louise dengan suara terpuruk. Jelas sudah dari nada bicara Henrietta bahwa dia tak menginginkan pernikahan ini.

"Tak apa-apa Louise, Sudah lama aku meninggalakan keinginan menikahi orang yang kucintai."

"Putri-sama..."

"Para ningrat bermuka dua Albion itu tak ingin Tristain dan Germania beraliansi, Dua panah lebih mudah dipatahkan saat mereka tak terikat bersama." gumam Henrietta.

"...Karenanya, mereka gila-gilaan mencari apa saja yang akan mengganggu pernikahan ini."

"Dan mereka menemukan sesuatu..."

Saito tak tahu apapun tentang aliansi atau Albion, tapi dari sudut pandang manapun, sepertinya ini serius. Yah, sebesar Yagoto lainnya, pikir Saito sambil mengangguk.

"Lalu, ini tentang apa yang bisa mengganggu pernikahan Putri-sama?" tanya Louise, wajahnya terlihat pucat, dan Henrietta dengan enggan menagguk.

'Oh, Brimir sang Pendiri...Mohon selamatkan putri yang tk beruntung ini..."

Henrietta menutupkan tangan ke wajahnya, dan mencecahkan kepalanya ke kasur. Saito sedikit terguncang dengan kejadian dramatis ini. Dia tak pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya.

"Katakan padaku, kumohon! Putri-sama! Apa sih sebenarnya yang akan mengganggu pernikahan Putri-sama?"

Louise, yang tampak terpengaruh, bersuara dengan tampang terbakar. Dengan kedua tangan masih di wajahnya, Henrietta tampak tersakiti saat dia mulai bersuara.

"...Itu surat yang kutulis beberapa waktu lalu."

"Sebuah surat?"

"Ya, Jika para ningrat Albion mendapatkannya...Kemungkinan mereka akan mengirimnya ke Keluarga Kerjaan Germania sesegara mungkin."

"Surat macam apa?"

"...Itu tak bisa kukatakan. Tapi jika keluarga kerajaan Germania membacanya...mereka takkan pernah memaafkanku. Pernikahan akan dibatalkan, dan juga aliansi dengan Tristain. Pada akhirnya, Tristain harus berhadapan dengan Kekuatan Albion sendirian."

Louise mengerti dan memegang kedua tangan Henrietta.

"Dimana surat itu? Surat yang membawa krisis pada Tristain!"

Henrietta menggelengkan kepalanya.

"Ia tidak bersama kita. Sebenarnya, ia sudah berada di Albion."

"Albion! Tapi klo begitu...! Ia sudah di tangan musuh?"

"Tidak...yang memegang surat itu bukanlah para pemberontak, namun Pangeran wales dari keluarga kerajaan..."

"Pangeran Wales? Pangeran Valiant?"

Henrietta menjatuhkan diri ke belakang dan berbaring di kasur.

"Oh, ini bencana! Cepat atau lambat, Pangeran Wales akan ditangkap para pemberontak!! Dan saat itu terjadi, surat itu akan terungkap! dan semuanya akan hancur! Hancur! Tanpa aliansi, Tristain harus menghadapi Albion sendirian!"

Louise menahan napas.

"Lau Putri-sama, permintaanmu itu..."

"Mustahil! Ini mustahil Louise! Bagaiamana mungkin aku bisa begini? Semuanya membingungkan! Jika aku memikirkannya, Aku tak bisa memintamu melakukan sesuatu yang berbahaya seperti pergi ke Albion selama konflik diantara ningrat dan pemberontak ini berlangsung!"

"Apa maksudmu? Meski harus melalui ketel neraka atau mulut sang naga, jika itu demi kebaikan Putri-sama, aku akan pergi kemanapun! Tidak mungki bagi putri ketiga keluarga la Vallière, Louise Françoise, bisa mengacuhkan krisis seperti ini bagi Putri-sama dan Tristain."

Louise berlutut dan menundukkan kepalanya.

"Mohon biarkan aku, yang telah menangkap Fouquet si Tanah Ambruk, mengurus hal ini."

Saito, yang menyandarkan lengannya di tembok dari tadi, menoleh pada Louise dan berucap."Hei, bukankah itu aku?"

"Kau familiarku."

"Woof."

"Prestasi familiar adalah juga prestasi tuannya." kata Louise dengan rasa percaya diri yang sempurna.

"Dan kesalahan familiar?"

"Itu kan jadi kesalahnmu bukan?"

Meski dia merasa dicurangi, tiada gunanya mendebat Louise yang sudah pasang sikap mengancam, jadi Saito hanya mengangguk dengan setengah hati.

"Jadi kau akan membantuku? Louise Françoise! Kau adalah sahabat yang baik!"

"Tentu saja Putri sama!"

Louise menggenggam tangan Henrietta, dan setelah pembicaraan yang "panas" tadi, akhirnya suasana mencair dan mereka mulai menangis.

"Putri-sama! Aku, Louise, sahabat abadi putri-sama, akan membantumu! Apa kau sudah melupakan sumpahku untuk selalu setia?"

Saito menganga saking kagumnya, dan menatap keduanya dalam keterkejutannya, Ini seperti percakapan diantra dua orang yang mabuk oleh kata-kata mereka sendiri. Ah, jadi inilah hidup bagi para ningrat dan putri, menyebalkan, yakin Saito sambil terus menonton kelanjutannya.

"Louise. Maaf mengganggu saat kau menegaskan kembali persahabatanmu dan lain sebaaginya."

"Apa?"

"Pergi ke Albion di tengah-tengah perang bisa kuterima, tapi apa gunanya diriku?"

"Kami akan membelikanmu sebuah pedang. Paling tidak kau bisa menggunakannya."

"Yah. Akan kulakukan yang terbaik..."

Saito menundukkan kepalanya dengan rasa tak enak. Jika dipikir-pikir, mereka belum berbicara tentang rune Gandalfr sang familiar legendaris yang muncul di punggung tangan kirinya. Tapi bahkan jika aku mengatakannya, semuanya bakalan sia-sia saja, pikir Saito.

Legendaris atau tidak, dia tetap memperlakukanku bagai anjing.

"Jadi kita akan pergi ke Albion, mencari Wales sang putra mahkota, dan mendapatkan suratnya kembali, putri-sama?"

"Ya, itu benar. Aku percaya padamu, yang telah menangkap Fouquet si Tanah Ambruk, dapat menyelesaikan misi sulit ini."

"Seperti inginmu. Seberapa penting tugas ini?"

"Kudengar para ningrat Albion sudah berhasil menyudutkan keluarga kerajaan. Adalah masalah waktu sebelum mereka dikalahkan."

Wajah Louise tampak serius saat dia membungkuk pada Henrietta.

"Besoklah kita berangkat."

Setelah itu, Henrietta menoleh pada Saito. Hati Saito berhenti sedetak, Meski Louise sangat manis dan lucu, Putri Henrietta sangat cantik hingga dia pangling. Rambut berwarna milletnya, ditrim persis diatas alisnya, berenang dengan anggun. Mata birunya berkemilauan seperti laut selatan.

Kulit putih, yang mengeluarkan aura kemurniannya, hidung yang bagaikan pahatan yang terukir indah dan tiada duanya...

Saito menatap Henrietta seakan dia sedang melayang. Louise menonton ini dengan tatapan digin nan menusuk. Sepertinya hatinya sedang tak senang.

Mengapa kau menatapku seperti itu, Louise? Ah, apakah karena kutatap Putri-sama dengan penuh kekaguman? Mungkinkah kau iri? Tapi bukankah wajahmu memerah saat melihat ningrat dengan topi berbulu itu? Dan bukankah kau tak sadar setelahnya?

Adalah lucu seberapa iri engkau, Louise. Saito menggelengkan kepalanya.

Daripada cintamu, bukankah aku hanya familiarmu?

Apakah aku takkan pernah dihargai lebih dari anjing olehmu? Aku hanyalah anjingmu. jadi mengapa kau melihatku seperti itu, Louise? Ah, apa karena aku adalah anjing? Apakah karena orang sepertikui, yang hanya setingkat anjing, menatapnya? Maafkanlah aku. Mohon ampuni aku karena aku terlahir. Woof.

Kepala Saito berputar tak lebih dari 2 detik.

Louise membuang muka dari Saito dengan sebuah :Hmph". Saito juga membuang muka.

Henrietta tak menyadari apa yang terjadi diantara Saito dan Louise, dan dia mulai berbicara dengan suara nan ceria.

"Familiar-san yang terpercaya."

"Ya? Aku?"

Setelah Henrietta memanggilnya terpercaya, Saito yang tengah ambruk terangkat.

"Ah, paduka berlebihan. Perlakukan saja aku seperti seekor anjing."

"Mohon untuk selalu menjaga sahabatku yang paling berharga."

Dan dengan lembut dia mengulurkan tangannya. Sebuah salaman? pikirnya, tapi punggung tangannya diatas. Sikap macam apa ini?

Louise angkat bicara dengan suara keheranan campur keterkejutan.

"Jangan! Putri-sama! untuk memberikan tanganmu pada seorang familiar!"

"Tak apa-apa. Orang ini akan bertindak untuk keperluanku, dan tanpa penghargaan, aku takkan mendapatkan kesetiaannya."

'Ah..."

"Mengulurkan tangan? Seperti yang dilakukan pada anjing? Begini cara kalian memperlakukan anjing kalian?

Saito berhenti dan menundukkan kepalanya.

"Bukan begitu. Ooh, inilah mengapa kau seorang anjing...seorang anjing jelata yang tak tahu apapun. Saat dia mengulurkan tangannya, itu berarti kau bisa menciumnya. Singkatnya sih begitu."

"Itu, sangat... bernafsu..."

Mulut Saito menganga lebar. Tak pernah terpikir olehnya dia bdiperbolehkan mencium seorang putri dari dunia lain.

Henrietta tersenyum manis pada Saito. Senyumnya terkesan 'senyum berurusan' bagi orang lain, tapi Saito berpikir itu "Sangat disukai jika..". Dicintai seorang putri tak sebegitu buruk kok, pikirnya.

Saito senyum-senyum pada Louise, Louise bergumam sebal dan membuang muka.

Ah, apa, jadi kau "memang" cemburu. Lihatlah dirimu. Ini yang kau dapat dari tersihir oleh ningrat dengan topi berbulu dan wajah memerah, pikir Saito.

Saito menggenggam tangan Henrietta, kemudian menarik Henrietta ke pelukannya.

"Eh?"

Mulut Henrietta menganga karena terkejut. Dan sebelum mereka bisa berkedip, Saito menekan bibirnya pada bibir Henrietta.

"Mmph......"

Betapa lembut dan kecilnya bibir itu. Mata Henrietta terbuka lebar dan menghampa.

Matanya menatap kosong. Tubuh Henrietta tak bertenaga lagi, dan, dengan menyelip melalui tangan Saito, dia terjatuh ke kasur.

"Dia pingsan? Ke-Kenapa?"

"Apa yang kau lakukan pada paduka?! Anjing!"

"Woof?"

Saat Saito berbalik, telapak sepatu Louise sudah melayang padanya. Saito menerima Tendangan loncat Louise dan gedabruk di lantai.

"Untuk pa tadi?!"

Saat Saito mengatakan itu, Louise melabrak wajahnya dengan marah.

"Itu tangannya yang dia berikan. punggung tangannya! Ciuman di punggung tangan! Mengapa kau cium dia dengan ciuman habis-habisan di bibirnya?!"

Louise sangat marah, sepertinya nyala api akan segera disemburkannya.

"Bagaimana aku tahu itu! Aku tak tahu apapun tentang aturanmu disini."

Bersamaan dengan diinjak-injaknya wajahnya, Saito mengembangkan tangan dan berkata datar. Diinjak-injak sudah pernah dialami Saito sebelumnya.

""Kauuu......anjiiiiiiiiing..."

Suara Louise mulai bergetar saking marahnya.

Henrietta bangkit dari kasur sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Louise buru-buru berlutut disampingnya. Dia kemudian memegang kepala Saito dan menekannya ke kasur.

"A-Ampuni aku! Kesalahan familairku, juga adalah kesalahanku sendiri! Kau katakan itu juga! Mohon Ampun!"

Louise yang sangat berharga diri itu meminta maaf pada seseorang. dan diatas semua itu, dia gemetaran hingga ke sekujur tubuh. Jika aku tak llakukan apa yang dikatakannya, kemungkinan besar dia lemparkan aku ke neraka sebagai balasannya nanti. "Maaf. Aku melakukannya karena kau bilang aku boleh menciummu."

"dan dimana kau bisa dapatkan orang yang mencari bibir saat mereka dengar itu?!"

"Disini."

Louise menghantam Saito dengan sebuah kepalan.

"Pelupa ya. Siapa yang mengizinkanmu menggunakan bahasa manusia? cukup menggonggong. Anjinmg. Ayolah, menggonggonglah. Semuanya, lihatlah anjing ini. Anjing bodoh."

Kemudian dia menginjak-injak kepala Saito dan membenamkannya kedalam lantai.

"Ti-tidak apa-apa. Kesetiaan mesti dihargai."

Henrietta menundukkan kepalanya, berusaha keras tampil tenang. Pada saat itu, Pintu terbanting terbuka dan seseorang melayang masuk..

"Kau! Sang Putri! Apa yang kau pikir sedang kau lakukan?!"

Rupanya dia yang pernah berduel dengan Saito sebelumnya, Guiche de Gramont. Dengan mawar imitasnya yang selalu hadir di tangannya.

"Apa yang kau mau?"

Saito berkata begitu dari tempatnya berbaring di lantai karena Louise terus menginjaknya di wajahnya.

"Guiche! Kau! Apa kau menguping? Apa dari tadi kau mendengarkan percakapan kami?!"

Guiche tak menjawab dan hanya berdiri mematung.

"Perburuanku pada putri yang tercinta dan bagai-mawar telah membawaku ke tempat ini...dan melihat seorang pencuri, begitu bisa dikata, dan melalui laubang kunci...si jelata bodoh itu mengecup..."

Guiche mengangkat mawar tiruannya dan berteriak.

"Bertarunglah denganku! kau sialan!"

Saito bangkit dan mendaratkan kepalannya di wajah Guiche.

"Agah!"

"Bertarung? Apa kau masih ingat bagaimana kau patahkan lenganku! Ayo!"

Saito meluncurkan tendangan keras pada Guiche yang terbaring di lantai, kemudian dia mendudukinya dan mulai mencekik lehernya.

"itu ga adil! Kau! Gah!"

"Terus apa? Orang ini sudah menguping cerita Putri-sama. apa dia kita gantung?"

Jika lawannya lelaki, Saito bisa sangat serius.

"Itu mungkin yang terbaik...Benar-benar sial bahwa dia harus mendengar percakapan kita tadi..."

Guiche melihat Saito lengah, dan bangkit.

"Paduka! Kumohon dengan sangat, tunjuklah aku, Guiche de Gramont, untuk misi yang sulit ini."

"Oh? Kau?"

"Kau tidurlah."

Saito menyapu kaki Guiche sehingga dia jatuh dengan gedabruk yang keras.

"Masukkan aku ke timmu!"

Guiche berteriak bersamaan dengan jatuhnya.

"Mengapa?"

Wajah Guiche memerah.

"Aku ingin berguna bagi paduka..."

Saito merasakan sesuatu dari penampilan Guiche saat ini.

"Kau, kau jatuh cinta? Dengan Putri-sama?!"

"Jangan berkata yang tak pantas. Aku mutlak hanya ingin berguna bagi paduka."

Namun wajah Guiche sangat memerah saat mengatakan ini. Dari tatapannya yang begitu lekat pada Henritta, bisa diperkirakan dia tersihir olehnya.

"Tap[i kau punya pacar. Siapa ya itu? Uh, Monmon-apa gitu..."

"Montmorency tepatnya."

"Terus apa yang sedang terjadi?"

Tapi Guiche diam. Ah, aku mengerti, pikir Saito

'Apa kau diputus? Dia memutuskanmu begitu saja, iya kan?"

"di-diam! Itu semua salahmu!"

Ini berhubungan dengan parfu di aula makan. Saat dia tertangkap mendua, Guiche dibanjur anggur dari kepala oleh Montmorency.

"Gramont?Ah, dari Jendral Gramont?"

Henrietta melekatkan pandangannya pada wajah Guiche yang terpaku.

"Saya adalah anaknya, paduka."

Guiche bangkit dan membungkuk hormat.

"Apa kau juga mengatakan kau ingin membantuku?"

'Itu akan menjadi berkah yang tak terkira untukku jika aku menjadi bagian dalam misi ini."

Henrietta tersenyum pada ekspresi Guiche yang sangat antusias.

"Terima kasih. Ayahmu adalah ningrat yang berani dan agung, dan sepertinya kau mewarisi darahnya. Kalau begitu, kumohon, apakah kau akan menolong putri yang tak beruntung ini, Sir Guiche?"

"Paduka telah memanggil namaku! Paduka! Bunga termanis Tristain telah memberikan senyum mawarnya padaku!"

Guiche, yang merasa terlalu gembira, pingsan dan terbaring pada punggungnya.

"Apa dia baik-baik saja?"

Saito mnepuk Guiche. Louise mengacuhkan mereka dan berucap dengan nada serius.

"Dengan ini, besok pagi, kita akan berangkat menuju Albion."

"Kami telah mendengar bahwa Pangeran Wales telah bersiap di sekitar Newcastle di Albion."

"Dimengerti. Aku pernah berpergian melalui Albion dengan saudara-saudaraku sebelumnya, aku sudah hapal dengan tempatnya."

"Ini akan menjadi perjalanan yang berbahaya. Jika para ningrat Albion mengetahui misimu, mereka akan lakukan segalanya sekuat mereka untuk menghadangmu."

Henrietta duduk di meja, dan dengan pena bulu Louise dan beberapa Perkamen, menulis sebuah surat. Setelah selesai, Henrietta dengan diam memandangi surat yang ditulisnya sendiri, sebelum mulai menggelengkan kepalanya dengan sedih.

"Putri-sama? Ada apa?"

Louise yang mengira ada sesuatu, memanggilnya.

"Bukan apa-apa."

Wajah Henrietta memerah, dan mengangguk seakan dia telah memutuskan sesuatu, kemudian menambahkan baris lain di akhir. Setelah itu, dia bergumam dengan suara lembut.

"Brimir sang pendiri...Mohon maafkan putri yang egois ini. Meski negeriku tengah kacau, aku tak bisa tidak untuk menulis satu kalimat ini...Aku tak bisa berbohong mengenai perasaanku..."

Ekspresi wajah Henrietta membuatnya terlihat tengah menulis sebuah surat cinta daripada sebuah pesan rahasia. Louise tak bisa berkata apa-apa lagi, dan hanya memandangi Henrietta dengan mulut terkunci.

Henrietta menggulung surat yang telah ditulisnya. Dia lalu mengayunkan tongkatnya. Tiba-tiba lilin pencapan muncul begitu saja di surat yang tergulung, dan sebuah cap menekannya. Kemudian dia menyerahkan surat itu pada Louise.

"Saat kau menemui Wales sang putra mahkota, tolong serahkan surat ini padanya. Dia akan segera mengembalikan surat yang ditanyakan."

Setelah itu, Henrietta melepas sebuah cincin dari jari manis tangan kanannya, dan memberikannya pada Louise.

Ini adalah Ruby air yang kuterima dari ibunda. Paling tidak, ia akan jadi jimat keberuntunganmu. Jika kau membutuhkan uang, jual saja itu untuk keperluan perjalanan."

Louise menundukkan kepalanya dalam hening.

"Misi ini adalah untuk masa depan Tristain.Untuk itu, cincin ibunda akan melindungi kalian dari angin keras yang menerpa di Albion."





Bab 4 - Kota Pelabuhan - La Rochelle

Meski sinar emas baru mewarnai ufuk, Saito, Guiche dan Louise sudah mulai menyiapkan sadel untuk kuda mereka. Tersandang di punggung Saito ada Derflinger. Karena panjangnya, ia tak bisa dipasang di pinggang. Louise berpakaian seragam akademi, perbedaannya hanya bahwa dia mengenakan boot untuk mengendarai kuda bukan sepatu. Dari situ, sepertinya sebagian besar waktu akan dihabiskan mengendarai kuda.

Seberapa jauh Albion dari sini? Aku masih tak terbiasa mengendarai kuda...Kemungkinan besar pingganggku bakal nyeri karena berkendara...pikirnya pada dirinya sendiri.

Tepat sebelum berangkat, Guiche berbicara dengan agak tertahan.

"Aku punya sebuah permintaan..."

"Apa yang maumu?" Saito merespon dengan penuh curiga sambil menempatkan barangnya ke sadel. Dia masih tak bisa memaafkan Guiche yang mencederainya begitu parah pada pertarungan mereka dulu.

"Aku ingin membawa serta familiarku."

"Pertama-tama, memangnya kau punya familiar?"

"Tentu saja aku punya, semua penyihir punya kok."

Louise dan Saito saling memandang, kemudian menoleh pada Guiche lagi.

"Dimana familiarmu sekarang?"

"Dsini." Guiche menjawab sambil menujuk ke tanah.

"Tapi tidak ada apa-apa di tanah," kata Louise.

Guiche bereaksi dengan menekan-nekan kakinya ke tanah. Sesaat kemudian, sebuah makhluk coklat raksasa muncul dari tanah.

"Verdandi! Oh, Verdandiku yang lucu!"

Saito, yang mematung, bertanya,"Apa-apaan tuh makhluk?"

"Apa maksudmu dengan makhluk? Ini familiar kecilku yang lucu, Verdandi."

"Maksudmu familiarmu adalah itu yang gede disana?"

Kalau dilihat dari dekat, makhluk coklat raksasa itu sebenarnya tikus tanah dengan ukuran sebesar beruang kecil.

"Ya. Ahh...Verdandiku, kau sangat lucu dari sudut penglihatanku yang manapun. Apa kau sudah makan kudapan cacing tanah sebelum kau sampai disini?"

Tikus tanah raksasa berhem senang sebagai reaksinya.

"Benarkah? itu bagus sekali!" kata Guiche sambil menggosokkan pipinya ke pipi familiarnya.

"Sebenarnya ...Aku tak berpikir kau bisa membawanya ikut serta dengan kita..."kata saito yang jijik.

"Itu benar Guiche. Makhluk itu bergerak di bawah tanah kan?"

"Itu benar. Meski agak besar dari yang biasa, Verdandi masih tikus tanah kan."

"Bagaimana kita bisa membawanya ikut serta? Kita semua naik kuda." kata Louise dengan sikap yang meyakinkan.

"Tak apa-apa. Verdandi bergerak cepat bersama kita dari bawah tanah. Apa aku benar Verdandi?"

Tikus tanah raksasa itu mengangguk setuju.

"Tapi kita pergi ke Albion! Kita tak bisa membawa makhluk yang bergerak di bawah tanah!." jelas Louise.

Mendengar itu, Guiche berlutut ke tanah dan menjawab,"aku tak tahan berpisah dengan Verdandiku tercinta...Oh! Sakitnya..."

Di waktu yang sama, si tikus tanah raksasa tampak mencium sesuatu dengan hidungnya dan semakin mendekati Louise.

"Apa yang hendak dilakukan tikus tanah idiot ini!?"

"Ga tuannya, ga familiarnya. Sama-sama punya kesukaan pada - gadis-gadis." kata saito.

"Hentikan! Hentikan ini sekarang juga!"

Si tikus tanah raksasa membuat Louise terbanting dan mulai menciuminya.

"Ah!!! Lihat dong dimana kau mencium! Hentikan!"

Louise yang terus didesak oleh hidung si tikus tanah, mulai berguling-guling di tanah. Tindakan itu membuat pakaiannya terlepas dan memperlihatkan pakaian dalamnya. Louise mulai merasa sangat terganggu...Saito dengan tak sadar terhisap dalam menonton Verdandi dan Louise bagaikan mengagumi sebuah lukisan indah...

"Ah...betapa indahnya pemandangan seekor tikus tanah raksasa menggoda seorang mawar."

'saya sangat setuju."

Keduanya, Saito dan Guiche, mengangguk dalam satu.

'Berhenti ngoceh ga jelas di sana, kalian para Oaf! Kesinilah dan cepatlah bantu! Ahh!!!"

Si tikus tanah raksasa melihat cincin di tangan kanan Louise dan mulai mematukinya dengan hidungnya.

"Tikus tanah ga tahu diri! Jangan gunakan hidungmu untuk menciumi cincin yang paduka berikan padaku!"

"Aku tahu sekarang. Cincinnya. Verdandi senang dengan perhiasan."

"Hama yang membuatku meradang saja ini!"

"Tolong jangan panggil Verdandi begitu. Adalah karena aku, Verdandi mencari batu berharga dan permata. Untuk seorang penyihir tanah, tiada yang lebih membantu daripada ini."

Tepat saat Louise bersiap untuk meledakkan puncaknya, sebuah hembusan keras tiba-tiba muncul entah dari mana dan menerbangkan Verdandi.

"Siapa itu!?" Guiche berteriak tak terima.

Seorang ningrat yang tegap dan mengenakan sebuah topi berbulu muncul dari cahaya siang temaram dibelakangnya. Saito terlihat rada terkejut.

"Itu..Orang itu adalah..."

"Apa yang kau lakukan pada Verdandiku!?"

Guiche langsung meyiapkan tongkat mawarnya tapi ningrat yang mengenakan topi bulu lebih cepat. Sebelum Guiche bisa membacakan mantra, tongkatnya sudah terlepas dari genggamannya.

"Aku bukan musuh kalian. Aku, dibawah perintah paduka, diperintah menemani kalian selama perjalanan. Sang putri khawatir karena hanya sedikit yang berangkat ke Albion, tapi mengirimkan seluruh prajurit akan sangat keterlaluan. Karenanya, aku ditunjuk untk menemani kalian semua selama perjalanan ini." kata sang ningrat sambil melepas topi bulunyanya dan membungkuk.

"Aku adalah kapten dari para Ksatria Griffin, Viscount Wardes."

Guiche yang bersupah serapah cepat-cepat menutup mulutnya. Untuk kebanyakan ningrat, termasuk Guicher, bisa bergabung dengan Ksatria Griffin meupakan prestise yang luar biasa.

Wades menatap Guiche dan berbicara meminta maaf,"Maafkan aku atas apa yang kulakukan pada familiarmu. Aku tak tahan melihat tunanganku diganggu."

"Apa!?"

Saito terkejut.

"Tunangan?"

"Ningrat yang gagah ini tunangan Louise???"

"Wardes-sama..." ucap Louise dengan suara bergetar setelah bangkit.

"Sudah lama sekali ya. Louiseku, Louiseku tersayang."

Louiseku??? Lelucon macam apa itu? pikir Saito pada dirinya sendiri.

Wardes menghampiri Louise dan dengan senyum tersungging di bibirnya, menggendong Louise.

"Benar-benar sudah lama sekali ya." kata Louise dengan wajah memerah karena malu.

"Tetap seringan dahulu. Bagaikan bulu saja."

"Viscont...mohon jangan seperti ini...ada orang disana..."

Wades yang menurunan Louise kembali dan memakai topinya kembali berkata,"Bisa mengenalkan teman-temanmu padaku?"

"Erm...Itu Guiche de Gramont dan familiarku, Saito." kata Louise sambil menunjuk mereka saat mengenalkan mereka pada Wardes. Guiche yang tak berani menatap Wardes secara langsung, menundukkan kepalanya. Saito mengikuti dengan agak enggan.

Wardes berkata dengan wajah terkejut,"Apa kau familiar Louise? Ini pertamakalinya aku lihat orang jadi familiar. Terima kasih kau telah menjaga tunanganku dengan sangat baik."

"Sama-sama."

Saito mengambil kesempatan ini untuk mengukur Wardes. Dia memang tampan. Meski Guiche juga begitu, dia selalu mempermalukan dirinya sendiri dan membuat keputusan yang irasional. Dia bahkan bisa saling gosok pipi dengan tikus tanah raksasa. Tapi untuk Wardes, tak hanya tampang yang dia punya. Matanya bagaikan dari elang - tajam dan menawaN.

Kumisnya semakin menambah ketampanannya. Tambah lagi, dia memiliki tubuh berotot dan terbangun denganbaik. Dulunya Saito mengira semua penyihir lelaki bakal bertubuh seperti Guiche, tapi itu terbukti salah. Bahkan dalam pertarungan tangan kosong tanpa sihir dengan Wardes, tampaknya Saito dapat ditundukkan dalam hitungan detik.

Setelah memikirkan semua itu, Saito mendesah dalam dan panjang. Wades yang melihat itu menghampiri Saito dan menepuk pundaknya.

"Apa yang salah? Apa kau ragu soal perjalanan ini? Tiada yang perlu ditakuti! Bukakah kau yang menangkap Fouquet si Tanah Ambruk? Dengan keberanianmu, tiada yang tak mungkin."

Setelah mengatakan itu, Wardes tersenyum lebar. Karena itu, Saito mulai merasa campur aduk.

Apa dia benar-benar sempurna? Aku kira aku tak bisa menandinginya dari segi apapun. Ya benar. Sepertinya Louise akan segera dinikahinya...Hanya memikirkan itu saja membuatku hampa dan kesepian...

Louise, yang tak bisa menenangkan diri karena kehadiran Wardes, merasa tak tenang dan stres. Saito harus membuang muka karena dia tak ingin melihat Louise begitu.

Wardes bersiul, dan seekor Griffin muncul dari awan pagi. Ia adalah hewan mistis dengan kepala elang dan badan singa. Dan di punggungnya terdapat sayap yang terdiri dari bulu putih nan indah.

Wardes menaiki punggung griffin dengan luwes, lau mengulurkan tangannya pada Louise.

"Kesini, Louiseku."

Louise menundukkan kepalanya dalam keengganan dan malu, tepat seperti seorang gadis yang tengah jatuh cinta. Ini membuat saito makin ngiri aja.

Apa yang dia pikir saat melakukannya? "Kesini, Louiseku?" louisemu!? Louisemu!?" Bener-bener gila!

Sebagai laki-laki, Saito menyimpan pemikiran itu sendiri dan akhirnya menaiki kuda tanpa buka mulut. Louise yang tampak masih enggan, tiba-tiba dibawa menaiki Griffin oleh Wardes. Dengan satu tangan pada Louise dan saunya lagi di tali kekang, Wardes berteriak," OK Semuanya, Berangkat!"

Sang Griffin bergerak maju. Mengikuti adalah Guiche, yang terlihat penuh kekaguman pada Wardes; dan Saito, yang merasa terhempas dan remuk redam.

SAito bertanya pada dirinya sendiri saat menatap langit yang cerah. seberapa jauh Albio itu?

Dari jendela kantor kepsek, Henrietta tengah menonton Saito dkk berangkat menuju Albion. Sambil menutup mata, dia mulai berdoa..."Brimir sang Pendiri, Mohon berkahi mereka perlindungan selama perjalanan mereka..."

Disebelahnya ada Osman sang Kepsek yang tengah ngulik bulu hidungnya.

"Kau tak melepas mereka, Kepsek Osman?"

"Tidak, seperti yang kau lihat, aku sibuk mengulik rambutku paduka."

Henrietta menggelengkan kepalanya tanda tak senang. Sesaat kemudian, seseorang mengetuk pintu.

"Masuk," kata sang Kepsek.

Pak Colbert memasuki ruangan dengan wajah panik.

"Berita buruk! Kepala sekolah!"

"Kau cukup sering berkata begitu. Apa masalahnya sekarang?"

"Dari berita yang kudengar dari penjaga benteng, Fouquet telah kabur!"

Hmm..."kata Osman sambil mengelus janggutnya.

"Kata penjaga yang bertugas saat itu, seorang ningrat memukulnya hingga pingsan dengan sihir angin. Orang itu menggunakan kekuatan yang seharusnya digunakan untuk melindungi putri untuk membantu Fouquet kabur!! Ini berarti ada mata-mata disini! Bukankah itu berita buruk?"

Wajah Henrietta memucat saat mendengar itu. Osman sang kepsekmemberi isyarat pada Pak Colbert utuk pergi.

"OK.OK. Kita akan dengarkan keseluruhannya darimu nanti."

Setelah Pak Colbert pergi, Henrietta menempatkan tangannya di meja dan mendesah dalam.

"Ada mata-mata disini. Ini pasti kerjaan para ningrat Albion!"

"Mungkin saja...Aww!" kata sang kepsek sambil mencabut bulu hidungnya. Henrietta melihat untuknya tak ada harapan.

"bagaimana kau bisa begitu tenang? Masa depan Tristain di ujung tebing!"

"Lawan sudah bergerak. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah menunggu, kan?"

"Tetap saja..."

"Tidak apa-apa. Kalau dia ada, semua masalah yang menghadang selama perjalanan pasti teratasi."

"Orang yang kau bicarakan itu...Guiche? atau Viscount Wardes?"

Sang Kepsek menggelengkan kepala.

"Jangan bilang orang itu familiar Louise. bagaimana mungkin?! Dia kan hanya orang biasa"

"Paduka. apa kau pernah mendengar cerita Brimir sang Pendiri sebelumnya?"

"Aku telah membaca hampir semuanya..."

Sang kepsek tersenyum dan menyahut,"lalu, apa kau kenal Gandalfr?"

"Bukankah itu familiar terkuat Brimir sang pendiri? Jangan Bilang..."

Pada titik ini, Osman sang Kepala merasa dia telah membeberkan terlalu banyak. Dia selalu ingin menyimpan sendiri mengenai rahasia gandalfr itu. Meski dia mempercayai Henrietta, dia tak ingin keluarga kerajaan mengetahuinya dalam waktu dekat.

"Ya, dia sekuat dan sehebat Gandalfr, lebih jauh lagi, dia datang dari dunia yang berbeda dengan kita.'

"Dunia yang berbeda?"

"Itu benar. Dia tidak dari Halkeginia. Atau dengan kataku, dari tempat yang tidak berada di Halkegenia. Aku selalu percaya pemuda dari dunia lain itu akan berhasil.Itu juga alasan aku selalu santai saat masa-masa menegangkan itu."

"Dunia yang berbeda dari Halkegenia ternyata ada..."

Henrietta memandang jauh. Sensasi dari bibir pemuda itu masih terasa pada bibir Henrietta. Sambil menyentuh bibirnya dengan ujung jarinya, dia menutup mata, tersenyum dan mengucapkan,

"Aku akan berdo'a kalau begitu, untuk angin yang berhembus dari dunia lain."

Akan memakan 2 hari untuk mencapai kota pelabuhan la Rochelle dengan kuda dari Tristain. Kota pelabuhan itu berada di pegunungan yang dalam dan tajam, dan karenanya, jumlah penduduknya kecil, sekitr 300-an. Karena statusnya sebagai gerbang ke Albion, jumlah pengembara 10x penduduk lokal.Bebatuan besar dapat terlihat di kedua sisi jalan gunung yang sempit. Orang-orang telah memahat lubang di bebatuan, mengubah mereka jadi tavern dan toko. Meski bangunannya terlihat biasa, klo dilihat dari dekat, semua akan menyadari bahwa mereka semua dipahat dari satu batu tunggal, sesuatu yang dilakukan penyihir tingkat segi-4.

Di jalan nan sempit, kegelapan terasa meski masih siang karena barisan gunung menghalangi matahari. Jika seseorang berbelok di jalan, mereka bisa melihat jalan yang lebih sempit lagi yang mengarah ke sebuah bar.Pada papannya yang menyerupai tutup botol, nama tokonya tertulis - "Bar Tong Anggur Emas". Namun, tiada yang menyerupai nama itu didalam; Toko itu berantakan bagai rumah yang ditinggalkan. Tumpukan kursi rusak dapat dilihat menumpuk disebelah pintu.

Kebanyakan pengunjung adalah gangster dan para bayaran. Sat mabuk, mereka sering bertengkar mengenai hal yang kecil sekalipun seperti insiden melirik atau gesekan kecil. Saat mereka berkelahi, mereka akan berkelahi dengan senjata masing-masing. Makanya sudah biasa melihat orang mati atau terluka parah didalam bar. Sang penjaga toko, yang tak ingin melihat ada lagi yang terluka dan mati, menggantung sebuah pengumuman didalam toko.

"Mohon gunakan kursi saat berkelahi disini."

Dati pengumuman itu, para pelanggan bisa merasakan ketidakberdayaan penjaga toko. Jadi mereka mulai menggunakan kursi daripada senjata mereka saat berkelahi. Meski masih ada yang terluka, tiada lagi yang terbunuh. Dari saat itu, kursi yang hancur selama perkelahian ditumpuk di sebelah pintu.

Hari ini,"Bar Tong Anggur Emas" terisi pengunjung seperti biasa. Hampir semuanya merupakan bayaran-bayaran yang kembali dari Albion yang tengah bergejolak.

"Raja Albion sudah habis!"

"Itu berarti mereka akan segera mendirikan republik kan?"

"Jika ya, mari toss untuk republik ini!"

Orang-orang yang menawarkan toss pada mereka sendiri dulunya disewa keluarga kerajaan untuk berperang bersama. Namun, setelah menghadapi rentetan kekalahan klien mereka, mereka semua memutuskan kembali kesini. Ini tak dianggap sebagai perbuatan yang memalukan. Sebagai bayaran, mereka menilai hidup lebih tinggi dari keyakinan, jadi mereka tak terikat untuk bertarung hingga mati untuk klien mereka.

Saat mereka minum, pintu bar terbuka. Wanita yang agak tinggi memasuki bar. Cupluk yang dipakai wanita itu menutupi hampir semua wajah kecuali bagian bawah. Namun, bagian bawah itu sudah cukup untuk mengetahui kecantikannya. Karena jarang sekali seorang wanita menarik datang sendirian ke tempat seperti itu, semua mata tertuju padanya.

si wanita, tak terpengaruh oleh tatapan-tatapan itu, dan terus memesan anggur dan makanan lalu duduk di meja di sudut bar. Setelah makanan disajikan, dia langsung membayar.

"Ini...banyak sekali. beneran ini?"

"Itu termasuk menginap. Apa kau punya kamar kosong?"

Sebuah suara nan elegan menjawabnya. Si penjaga toko mengangguk dan meninggalkan mejanya. Beberapa pelanggan pria saling memandang dan menghampiri mejanya.

"Punten nona, adalah berbahaya bagimu untuk sendirian disini."

"Itu benar! Ada banyak orang-orang berbahaya disekitar sini. Jangan khawatir, Kami disini untuk melindungimu."

Dengan senyum jahat di wajahnya, seseorang dari mereka mengangkat kudung si wanita. Siulan dan teriakan dapat didengar setelah kudung dibuka. Si wanita cukup cantik, dengan matanya yang indah dan hidung mancung.

"Dia benar-benar top! Lihat kulitnya! Seputih gading!"

Pelanggan lain mencoba mengangkat dagu si wanita dengan lengannya, tapi tangannya ditangkis Fouquet. Fouquet memberi sebuah senyum samar. Pelanggan pria lannya langsung bangkit, meraih pedangnya dan mengacungkannya ke muka Fouquet.

"Bukankah seharusny Kursi yang digunakan disini, bukan senjata?

"Ini hanya untuk menakutimu. kursi tak bisa mengancam siapapun kan? jangan lagi berlagak ga tahu apa-apa, bukankah kau kesini untuk mencari mitra? kami akan jadi mitramu kalau begitu."

Bahkan dengan pedang diacungkan ke mukanya, Fouquet sama sekali tak menunjukkan ketakutan. Dengan sedikit gerak saja, tongkat sihirnya sudah diraih.

Dalam sekejap, dibacakannya sebuah mantra. Dengan itu, pedang yang dipegang pria tersebut menjadi tanah dan jatuh ke meja.

"Dia...dia seorang ningrat!"

Semuanya langsung mundur. Karena Fouquet tak mengenakan jubah, tiada yang menyangka bahwa dia seorang penihir.

"Meski aku seorang penyihir, Aku bukanlah seorang ningrat," kata Fouquet datar.

"Kebanyakan dari kalian bayaran kan?"

para pelanggan pria saling memandang satu sama lain. Jika dia bukan ningrat, nyawa mereka takkan diapa-apakan. Jika mereka melakukannya pada seorang ningrat, mereka pasti dibunuh tanpa basa-basi.

"Ya...dan kau...? seorang veteran dari kumpulan itu angkat bicara.

"Itu tak penting. Singkat kata, aku disini untuk menyewa kalian semua."

"Kami semua."

Para bayaran memandangi Fouquet dengan wajah bingung.

"Ada apa dengan wajah kalian? Apakah begitu aneh untukku untuk menyewa bayaran?"

"Tidak. Bukan itu yang kumaksudkan. Apa kau punya emas?"

Fouquet menaruh sebuah kantong penuh emas di meja. Setelah memeriksa isi kantong, si veteran berkata,"wow...bukankah ini Emas Ecu?"

Pintu bar terbuka lagi. Kali ini, seorang pria dengan topeng putih masuk ke bar. Dialah yang telah membantu Fouquet kabur dari penjara.

"Walah, apa kau tak terlalu dini?"

Setelah melihat orang itu, Fouquet hanya menjawab "Hmm" pelan sebagai jawaban. Para bayaran terkejut saat melihat cara berpakaian pria yang tadi masuk."Mereka telah memulai perjalanan mereka," kata si orang bertopeng tersebut.

"Aku telah lakukan apa yang kau suruh dan telah menyewa seluruh orang ini."

Pria bertopeng putih tersebut memberikan seonce pada tiap bayaran yang telah disewa Fouquet.

"Kalian semua tadinya disewa keluarga kerajaan Albion kan?"

"Itu hingga bulan kemarin," jawab salah seorang bayaran mantap.

"Tapi keluarga kerajaan yang akan segera kalah bukan lagi penyewa kami."

Para bayaran tertawa dalam satu. Pria bertopeng putih juga ikuttertawa.

"Aku akan penuhi keinginan soal duit kalian. Tapi aku tak seperti pihak kerajaan yang akan segera runtuh.jika adaseseorang yang berani melarikan diri dari medan, Akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri."

Sejak Berangkat dari akademi sihir, Grffin Wardes terus bergerak menuju tujuan mereka. Meski sisa tim telah berganti muatan dua kali, Griffin Wardes, sama dengan tuannya, tampaknya masih kuat.

"Tunggu dulu, bukankah ini terlalu cepat? tanya Louise yang berada di Griffin wardes. Selama perjalanan, Louise berbicara dengan sikap yang lebih informal pada Wardes daripada ketika mereka bertemu kembali. Tapi itu juga karena permintaan Wardes.

"Guiche dan Saito sudah berada di ambang kelelahan."

Wardes menoleh ke belakang dan menengok Guiche dan Saito. Seperti kata Louise, keduanya memegang rein mereka erat-erat saking takutnya jatuh. Dari penampilan mereka berdua, sudah bisa ditebak bahwa mereka bakal ambruk karena kelelahan lebih dulu dari kuda mereka.

"Tapi aslinya aku merencanakan perjalanan ke Kota Pelabuhan La Rochelle tanpa henti..."

"Itu akan sulit jadinya, perlu dua hari untuk mencapainya dengan kuda."

"kalau begitu, mengapa mereka tak kita tinggal saja?"

"Kita tak bisa!"

"Mengapa?"

"Bukankah kita melakukan ini bersama-sama? Dan lagi, seorang penyihir seharusnya tak meninggalkan familiarnya..."

"Kau sepertinya terlihat melindungi sekali mereka berdua. Yang mana cintamu?"

Wajah Louise langsung memerah dan menjawab, "Cin...cinta apa!?"

"Itu membuat hatiku tenang, Jika tunanganku mengatakan dia sudah memilki seorang cinta, aku akan mati karena patah hati," jawab Wardes sambil tersenyum.

"tapi itu sesuatu yang hanya disetujui orang tua kita."

"lalu, kau tak menykaiku, Louise kecilku nan cantik?"

"Tolonglah, aku bukan anak kecil lagi," balas Louise sambil merajuk.

"Tapi di mataku, kau tetaplah Louise kecilku nan cantik."

Louise mengingat kembali mimpi yang dialaminya beberapa hari lalu, saat dia di halaman belakang rumahnya, la Vallière.

Perahu rahasia di danau yang terlupakan...

Kapanpun dia ngambek disitu, Wardes akan selalu disana untuk menenangkannya.

Pernikahan yang diputuskan orangtuanya.

Pasangan yang telah ditentukan sejak kecil. Orang yang akan menikahinya. Tunangannya.

Pada saat itu, dia masih tak mengerti benar apa yang tengah terjadi. Dia hanya tahu bahwa selama dia dengan pria yang dikaguminya, dia akan bahagia.

tapi sekarang, dia akhirnya mengerti semuanya. Dia akan dinikahi Wardes.

"Aku bukannya tak menyukaimu," jawab Louise sambil malu-malu.

"Itu bagus sekali, dengan kata lain, kau menyukaiku?"

Wades memeluk bahu Louise dengan lembut.

"Aku tak pernah melupakanmu setelah semua yang terjadi. Apa kau masih ingat? Kematian ayahku saat Perang Lancer?"

Louise mengangguk.

Wardes mulai mengingat dan menceritakan tentang masa lalu pada Louise.

"Ibuku telah meninggal sebelumnya, aku mewarisi gelar dan tanah ayahku. Karena ingin dikenal, aku pergi ke ibukota. Beruntung, yang mulia memiliki kesan mendalam tentang Ayahku yang gugur di medan perang, aku lalu dimasukkan ke Ksatria Griffin. Aku memasuki Ksatria Griffin sebagai seorang rekrutan baru, latihannya sangat berat."

"sejak itu, kau jarang kembali ke rumah lagi." jawab Louise sambil mengejapkan matanya. Dia juga tampak tenggelam dalam ingatannya.

"Rumah dan tanahku dijaga oleh Galgann si Butler saat aku menaruh seluruh energiku untuk melayani negeri ini. Setelah lama sekali, akhirnya aku membuat nama untukku, menyelesaikan apa yang telah kuputuskan ketika aku meninggalkan tanahku."

"Apa yang telah kau putuskan itu?"

"Untuk Menanyakan tentang pernikahan begitu namaku dikenal."

"Kau bercanda kan, Viscount? Kau sangat terkenal diantara wanita-wanita, kau tak perlu menjaga janjimu dengan aku yang tak berharga ini."

Tentang lamaran Wardes, Louise benar-benar lupa hingga dia bermimpi beberapa hari lalu. Janjinya menjadi pengantin Wardes hanyalah mimpi nan tinggi. Dalam pandangannya, itu hanya perjanjian main-main. Setelah Wades meninggalkan tanahnya 10 tahun yang lalu, Louise tak pernah melihatnya lagi. Wardes sudah jadi bagian dari ingatan lamanya. Dan ingatan lama itu kini muncul lagi.

"Perjalanan ini adalah kesempatan yang bagus untuk mendapatkan kembali rasa hatimu dulu saat kau masih kecil," kata Wardes dengan nada tenang dan lembut.

Louise berpikir, apa dia benar-benar mencintai Wardes?

Meski dia tak membencinya dan mengaguminya ketika dia masih kecil, itu semua masa lalu.

Tiba-tiba menghadapi tunangan dan kemungkinan menikah, dia tak tahu harus berbuat apa. Lebih jau lagi, mereka telah terpisah bertahun-tahun, dia benar-benar tak tahu apakah dia masih memiliki perasaan untuknya.

Louise menoleh kebelkang.

Dia melihat Saito kelelahan di kudanya, sepertinya dia sudah hampir mencapai batasnya. Louise menepuk bibirnya. Tak bisa apa-apa! begitu dia memikirkan itu, dia menjadi kaku dan jantungnya berdetak kencang.

"Kita sudah diatas kuda hampir seharian, apa dia tak lelah? Apa para ksatria Griffin itu monster?" tanya Guiche, yang juga tengah merebah kehabisan nyawa di kudanya.

"Siapa tahu?" balas Saito cepat. Dia merasa tertusuk setiap kali Wardes menyentuh Louise. Dia menyentuhnya lagi...kali ini memeluknya dari bahu...Apa sih maunya...Meski kau tunangan Louise, meski aku tak berhak menghentikanmu, kau seharusnya melakukannya dimana aku tak bisa melihatnya...

Tiap kali Saito memikirkan itu, dia bertambah lelah dan detaknya bertambah berat.

Guiche yang melihat keadaan Saito yang begitu, mulai menggodanya."Heh heh...Jangan bilang kau iri?" kata Guiche sambil nyengir.

"Ah! apa maksudmu?"

"Aku menebaknya tepat kan?" tawa Guiche semakin keras.

"Tutup mulutmu, kau anak tikus tanah!"

"Mwahahaha...Kau sebenarnya menanam cinta untuk tuanmu yang takkan berbunga kan? Jujur saja, cinta diantara orang-orang dengan status berbeda hanya akan membawa tragedi."

"Hentikan omong kosong ini! Bagaimana mungkin aku bisa menyukainya? Memang sih dia manis. Tapi sifatnya luar biasa buruk."

Guiche tiba-tiba melihat ke depan dan berkata,"Lihat! Mereka berciuman!"

Saito yang terkejut, langsung menoleh ke depan. Tapi, Wardes dan Louise tak berciuman.

Dia kemudian menatap Guiche lagi. Guiche sudah hampir meledakkan tawanya.

"Arggh!" teriak Saito dan menubruk Guiche. Mereka berdua jatuh dari kuda dan mulai berkelahi di tanah.

"Hei! Jika kalian terus berkelahi, Aku harus meninggalkan kalian disini!" teriak Wardes

Guiche cepat-cepat naik kudanya lagi. Sementara Saito yang menyadari Louise tengah menatapnya, membuang muka.

Setelah beberapa saat bergerak dengan kecepatan penuh dan beberapa kali menukar kuda mereka yang kelelahan dengan yang segar, mereka telah mencapai tapal batas La Rochelle saat malam turun. Saito melihat sekeliling penuh keheranan. Bukankah kita menuju sebuah pelabuhan? Mengapa kulihat gunung dimana-mana? Mungkin setelah melewati gunung ini kita akan melihat laut. Setelah bergerak dibawah sinar rembulan selama beberapa saat, Saito dan kawan-kawan(dkk) akhirnya mencapai jalan pegunungan nan sempit. Gedung yang dipahat dari bebatuan dapat dilihat di kedua sisi jalan.

"Mengapa sebuah pelabuhan dibangun di atas gunung?"

Guiche yang mendengar Saito bertanya, menjawab dengan sarkasme," Jangan bilang kau bahkan tak tahu dimana Albion?"

Meski tenaga Saito dan Guiche sudah hampir habis, pikiran 'Begitu kita sampai kita bisa langsung istirahat' memberi mereka kekuatan untuk berdebat.

"Ya.., aku tak tahu."

Benarkah?" Giche membalas sambil tertawa. Tapi Saito tak tertawa.

"Aku tak tahu banyak hal tentang dunia ini dan jangan pikir aku tahu."

Tiba-tiba, dari atas tebing, obor dilempar pada kuda-kuda mereka. Obor yang menyala itu menerangi jalan yang akan mereka sebrangi.

"Apa...apa yang terjadi!?" teriak Guiche.

Para kuda yang terkejut dengan obor melemparkan Saito dan Guiche dari punggung mereka.

Begitu mereka terbanting, panah segera menghujani mereka.

"Ini sebuah serangan!" teriak Guiche.

Saito mulai panik, tepat saat dia hendak meraih Derflinger yang tersimpan di punggungnya, dua panah terbang ke arahnya.

"Whoa!"

Tepat saat mereka berpikir mereka sudah habis, sebuah henbusan angin bertiup menuju mereka, berubah menjadi topan kecil yang menangkap seluruh panah dan mengirim mereka pergi. dan disana, Wardes tengah mengangkat tongkatnya.

"Apa kalian baik-baik saja?" teriak Wardes.

"Aku baik-baik saja..." jawab Saito.

Sial! tunangan Louise baru saja menyelamatkan nyawaku, Rasa panas itu terus mengembang, menyebabkan Saito merasa rendah diri. Diraihnya lagi Derflinger. Tanda di tangannya mulai bersinar lagi, membuatnya melepas lelah yang tengah melilitnya.

"Aku sangat kesepian, rekan. Sungguh terlalu kau tetap menaruhku di sarungku."

Saito melihat ke arah atas tebing, tapi tiada panah yang dapat terlihat.

"Sepertinya bandit atau pencuri." kata Wardes.

Louise yang tiba-tiba menyadaris esuatu berucap,"Mungkinkah itu para ningrat dari Albion?"

"Para ningrat takkan menggunakan panah."

Tepat saat itu, suara kepakan sayap terdengar. Itu suara yang sudah bisa mereka dengar...

Teriakan dapat terdengar dari tebing. Panah dapat terlihat ditembakkan ke langit malam. Namun, seluruh panah ditepis dengan sihir angin. Setelah itu, sebuah topan kecil dari sihir menerbangkan seluruh pemanah.

"Hmm...Bukankah itu pembacaan untuk angin?" guma Wardes pada dirinya sendiri.

Para pemanah yang berniat menyerang bergulingan dari tebing setelah diterbangkan topan dari sihir itu. Mereka terbanting keras ke tanah dan teriakan kesakitan meluncur dari mulut mereka. Dengan rembulan sebagai latar, muncullah pemandangan yang biasa bagi mereka."Itu Sylphid!!" teriak Louise girang.

Itu adalah naga angin Tabitha. Setelah mendarat, seorang gadis berambut merah melompat dari naga dan menyibakkan rambutnya.

"Maaf membuat kalian menunggu."

Louise juga melompat turun dari Griffin Wardes dan membalas," Apa maksudmu dengan'maaf membuatmu menunggu!? Pertama-tama, mengapa juga kalian disini?"

"Yang jelas, bukan untuk membantumu. Saat kulihat kau meninggalkan akademi dengan kuda di pagi hari, aku cepat-cepat membangunkan Tabitha dan mengikuti kalian semua hingga kesini."

Kirche menunjuk Tabitha, yang penampilannya terlihat seolah baru bangun tidur; Dia masih mengenakan piyamanya. Tapi dia tak memikirkannya sama sekali, dan masih membaca sebuah buku.

"Zerbst! Dengarkan aku, kami sedang melaksanakan misi rahasia yang diberikan oleh Yang Mulia!"

"Misi rahasia? Kau seharusnya mengatakannya lebih awal! Bagaimana aku tahu jika kau tak mengatakannya? Ngomong-ngomong, berterima kasihlah padaku, karena aku telah menumbangkan orang-orang yang hendak menyerangmu!"

Kirche mengatakan itu sambil menunjuk pada orang-orang yang terkulai di tanah. Para penyerang tak mampu bergerak karena luka mereka dan bersumpah serapah terhadap Louise dkk. Guiche menghampiri mereka dan mulai menginterogasi mereka.

Louise menyilangkan tangannyam dan menatap panas pada Kirche.

"Jangan salah! Aku tak disini untuk membantumu. Apa aku benar?"

Kirche bersikap menggoda dengan bersandar pada Wardes, yang menaiki Griffin, dan berkata,"Janggutmu membuatmu sangat gagah. Apa kau tahu seperti apa nafsu itu?"

Wardes melirik Kirche dan menepisnya menggunakan tangan kirinya.

"Huh?"

"Terima kasih sudah menolong kami, tapi mohon jangan mendekatiku lagi."

"Tapi mengapa Aku baru saja mengatakan aku menyukaimu!"

Itu adalah pertama kalinya Kirche menerima perlakuan dingin dari pria. Biasaya pria manapun akan takluk setelah beberapa kata-kata manis darinya. Tapi Wardes tak tertarik sama-sekali. Kirche memandangi Wardes dengan mulut menganga lebar.

"Maafkan aku. Tapi aku tak bisa membiarkan tunanganku salah paham." kata Wardes sambil menatap Louise, yang dalam sekejap wajahnya memerah karena malu.

"Apa? Dia tunanganmu!?"

Wardes bereaksi dengan mengangguk. Kirche melihat Wardes lebih dekat, dan menyadari sesuatu. Mata wardes tak menunjukkan perasaan sama sekali. seperti es saja. Kemudian menatap Saito. Tampaknya dia kehabisan kata-kata dan tengah berbicara acuh tak acuh dengan pedangnya.

Eh? Apa dia begitu karena aku mendekati tunangan Louise? Sambil berpikir begitu, tiba-tiba Saito terlihat lebih lucu. Kemudian dia berlari menuju Saito sambil memandanginya dan langsung memeluknya.

"Sebenarnya, aku disini karena khawatir pada sayangku!"

Saito memberikan tatapan kosong, kemudian cepat-cepat membuang muka.

"Pembohong."

Apa dia iri? Sambil berpikir begitu, nafsu Kirche berkobar dalam hatinya.

"Lucu! Sangat lucu! Apa kau benar-benar iri?"

"Tidak..."

"Maafkan aku yang mengacuhkanmu. Kau past marah kan?" kata Kirche sambil mendorong wajah Saito kedalam dadanya.

"Mohon maafkan aku! Aku mungkin melirik pria lain, tapi diakhir, yang kucintai hanyalah engkau!"

Louise menggigit bibirnya, ingin rasanya dia mengusir Kirche. Dia tak bisa membiarkan Kirche menggoda familiarnya.

Beberapa saat kemudian, Wardes menaruh tangannya pada bahu Louise dengan lembut. Wades menatap Louise penuh kehangatan dan memberinya sebuah senyuman.

"Viscount..."

Guiche yang tadi menginterogasi para penyerang baru saja kembali.

"Viscount, para penyerang mengaku bahwa mereka adalah perampok."

"Hmm..Jika mereka hanya perampok, biarkan mereka pergi."

Wardes dengan santai kembali menaiki Griffinnya sambil membawa Louise. Dia lalu mengumumkan ke semuanya," Kita akan bermalam di La Rochelle, lalu besoknya mengambil kapal pertama ke Albion saat pagi menjelang."

Kirche duduk di belakang Saito, berbagi kuda yang sama dengannya. Guiche juga kembali menaiki kudanya. Untuk Tabitha, dia masih membaca bukunya di atas naga anginnya.

Di depan mereka, diapit dua tebing, adalah kota pelabuhan La Rochelle, yang tampak berkerlap-kerlip.





Sehari Sebelum Keberangkatan


Karena kelelahan setelah berkendara seharian, mereka memutuskan beristirahat di hotel termegah di La Rochelle, Kuil Para Dewi. Ia merupakan tempat yang sangat mewah, bahkan bagi ningrat sekalipun. Meja makan dan lantainya terbuat dari batu marble yang sama dan lantainya begitu bersih shingga seseorang bisa melihat wajah mereka sendiri.

Wardes dan Louise balik dari Pier.

Saat Wardes duduk, dia berkata dengan nada kecewa,"Kapal tujuan Albion berangkat lusa."

"Misi ini sangat penting..." tunjuk Louise.

Saito dan sisanya akhirnya bisa bersantai, karena besok bisa istirahat.

"Aku tak pernah ke Albion jadi aku tak tahu mengapa tiada kapal besok."

Wardes menatap Kirche dan menjawabnya,"Apa kedua bulan saling bertindihan besok? Jika ya, Albion seharusnya lebih dekat ke La Rochelle"

Saito yang 'habis' membayangkan apa sih hubungannya pasang-surut dengan ebb. Ebb dan pasang surut diatur oleh gerakan bulan.

Wardes menaruh kunci-kunci di meja,"Beristirahat sajalah sekarang, ambil kunci kamar kalian. Tabitha dengan Kirche, Guiche dan Saito."

Guiche dan Saito saling menatap.

Wardes melanjutkan,"Louise dan aku akan berbagi kamar."

Saito merasa ada beban di hatinya dan menghadap ke Wardes.

"Pengaturan ini sudah benar karena Louise dan aku bertunangan."

Louise menatap Wardes terkejut dan berkata,"Ta-tapi kita tak boleh! Kita bahkan belum menikah!"

Saito mengangguk girang,Itu benar, dia tak seharusnya tidur dengannya.

Tapi Wardes menggelengkan kepalanya dan bilang ke Louise,"Ada hal penting yang harus kukatakan padamu."

Wardes dan Louise berdiam di kamar terbaik hotel. Mereka mengira-ngira siapa yang merancang kamar ini. Ada tempat tidur sebesar empat poster dengan renda antik yang tergantung dari atas. Wardes duduk di meja, lalu membuka sebotol anggur dan menuangkannya segelas untuk dirinya. Dia menenggaknya dan berkata,"Mengapa kau tak duduk dan menenggak barang segelas juga, Louise?"

Louise juga duduk. Dia menuang satu untuk Louise dan mengisi-ulang miliknya. Dia kemudian mengangkat gelasnya dan berkata,"Salut!" Namun Louise tak bereaksi dan menundukkan kepalanya.

Wardes bertanya,"Apa kau menjaga surat putri tetap aman?"

Louise menepuk kantongnya untuk meyakinkan diri itu masih disana, mengapa ya ia begitu penting. Apa yang ada dalam surat ini? Apa pangeran sudah menyiapkan surat balasan? Aku pikir aku sudah tahu eberapa bagian. Sebagai teman masa kecil Henrietta, aku tahu bagaimana dia menulis surat.

Wardes memandangi Louise sambil berpikir. Kemudain Louise mengangguk dan berkata,"Suratnya masih aman. Apa kau khawatir kita mungkin tak bisa mendapatkan surat dari Pangeran Albion?"

"Ya, aku sangat khawatir." jawab Wardes.

Louise mengerutkan alisnya yang indah itu dan berkata,"Jangan khawatir; semuanya akan baik-baik saja karena aku akan selalu bersama denganmu."

"Itu benar; Jika kau disini, pasti takkan ada masalah. Selalu saja begitu."

Wardes terdengar begitu jauh saat mengucapkan itu.

"Apa kau masih ingat janji di hari saat kita berada di danau?" tanya Louise

Dia menganggukkan kepalanya,"di perahu kecil yang mengapung di tengah danau? Aku akan selalu kesana bila dimarahi rang tuamu. Kau seperti anak kucing yang terbuang."

"Benarkah? Kau ingat hal teraneh."

Wardes menjawab dengan senang,"Tentu saja aku harus mengingat hal-hal itu. Kau selalu dibandingkan dengan kakak-kakakmu dalam hal kekuatan sihir."

Louise menundukkan kepalanya karena malu dan dia berkata,"Tapi aku pikir itu salah. Kau mungkin tak berharga dan gagal, tapi..."

"Kau kejam sekali!" kata Louise marah.

"Kau punya kekuatan luarbiasa yang tak dimiliki orang orang lain. aku tahu hal ini karena aku seorang penyihir yang berbeda." Wardes menyelesaikan kalimatnya dan mengabaikan perkataan Louise.

"Itu mustahil!"

Wardes membalas,"Tapi itu mungkin. sebagai contoh, saat kau menggunakan sihirmu..."

Wajah Louise memerah dan berkata,"Kecelakaan soal Saito?"

"Ya, saat dia meraih senjata, tanda di tangan kirinya berkilauan. tanda itu legendaris."

"Legendaris?"

"Ya, tanda itu milik Gandalfr sang familiar legendaris. familiar yang dulu dimiliki Brimir sang pendiri." Mata Wardes berkilat penuh kekaguman.

Louise bertanya,"Gandalfr?"

"Tidak sembarang orang yang bisa mengendalikan Gandalfr. kau punya sihir untuk mengendalikannya."

"Itu sulit dipercaya." Louise membengkokkan kepalanya dan berpikir Wardes tengah bercanda.

Louise menggelengkan kepalanya, berpikir Wardes bercanda. Memang benar kecepatan Saito meningkat pesat saat memegang senjata, dan menjadi sangat kuat, tapi mengatakan bahwa dia adalah familiar legendaris adalah sukar dipercaya. Jika itu memang benar, maka pasti ada yang salah. Aku hanyalah "Louise si Zero".

Aku selalu gagal, dan tak mungkin aku memiliki kekuatan yang dimaksudkan Wares.

"Kau bisa jadi penyihir hebat. Ya, seperti Brimir sang pendiri, dan menorehkan namamu dalam sejarah sebagai seorang penyihir hebat. Aku mempercayainya."

Wardes memandangi Louise penuh kehangatan.

"Setelah misi ini, menikahlah denganku Louiseku."

"Ah..."

Lamran nikah yang tiba-tiba membuat lidah Louise kaku,

"Aku tak puas hanya menjadi kapten penyihir dari Ksatria Sihir...Aku ingin menjadi ningrat yang akan menggerakkan seluruh Halkeginia suatu hari nanti."

"Ta-tapi..."

"Tapi apa?"

"Aku...Aku masih...masih."

"Kau bukan anak-anak lagi, kau sudah 16 th. kau telah menginjak umur dimana kau bisa memutuskan sesuatu. Ayahmu juga setuju. Jadi..."

Wardes tiba-tiba berhenti di titik ini. Kemudian dia menengadahkan pandangannya dan membawa wajahnya mendekati Louise,

"Itu benar, aku tak pernah datang mengujungimu, dan aku harus minta maaf. Pernikahan bukan sesuatu yang gampang dibicarakan, ini juga aku tahu. tapi Louise, bagiku, kau adalah yang terpenting dari segalanya."

"Wardes..."

Louise memikirkannya. Mengapa wajah Saito terus muncul di pikirannya? Setelah menikahi Wardes, apa dia harus meninggalkan Saito sebagai familiarnya?

Aku tak mengerti mengapa, tapi aku terus merasa ini salah. Jika ia tipe gagak atau burung hantu takkan terlalu bermasalah. Jika tiada yang mengurus si bodoh dari dunia lain ini, apa yang akan terjadi padanya?

Kirche atau...Saito tak tahu Louise sudah tahu, pelayan dari dapur yang sering memberinya makan...Mereka akan mengurusnya kan?


Aku tak mengerti kenapa tapi ini sangat menggangguku. Louise berpikir, tepat seperti seoranggadis kecil, dia menginginkan Saito untuk dirinya saja. Meski Saito bodoh, dan sering membuatku marah, aku tak ingin dia menjadi milik orang lain. Dia milikku.

Louise mendongakkan wajahnya.

"Tetap saja...tetap saja..."

"Tetap saja?"

"Itu...aku belum menjadi penyihir yang sepadan denganmu, aku masih harus belajar..."

Louise menunduk dan bergumam."Wardes, saat aku kecil, aku selalu berpikir, suatu hari nanti, aku harus membuat semuanya mengenalku, menjadi seorang penyihir hebat, dan membuat ayah dan ibuku bangga."

Louise mendongak, dan menatap pada pria yang lebih tua darinya.

"A-Aku masih belum mencapai itu."

"Apa itu karena seseorang sudah mencuri hatimu?"

"Tidak seperti itu, tak mungkin itu terjadi!" Louise membantahnya dengan panik.

"Itu tak penting, aku mengerti, aku mengerti. Untuk saat ini, aku takkan menagih jawabannya. Tapi setelah perjalanan ini selesai, aku pasti akan menerangi hatimu."

Louise menjawab dengan anggukan.

"Kalau begitu, ayo tidur, kau sudah lelah kan?"

Tiba-tiba, Wardes mendekati Louise, hendak menciumnya.

Badan Louise kaku seketika lalu dielakkannya Wardes.

"Louise?"

"Maafkan aku...Tapi hal seperti...itu..."

Louise dengan harga dirinya menatap Wardes. Wardes tersenyum pahit dan menggelengkan kepalanya.

"Aku tak sedang terburu-buru."

Louise menundukkan kepalanya lagi.

Mengapa, meski Wardes sangat lembut, ganteng dan perkasa, meski aku merindukannya untuk waktu yang lama...mengapa aku tak bahagia saat aku dilamar.

Orang lain sudah menggenggam hatinya. Tapi pikiran Louise menolak berpikir soal siapa itu.

---

Diluar jendela, Saito mendekap batang jendela, dengan putus asa dipandanginya kamar Louise dan Wardes.

Menggenggam Derflinger di tangan kirinya membuat tubuhnya seringan bulu, membuatnya mampu mengamati semua yang ada di kamar. Saat mengintip melalui tirai, Saito melihat dua sosok duduk di samping meja.

Apa yang mereka bicarakan? Setiap kali wajah Wardes mendekati Louise, Saito menggigit bibirnya, Setiap kali mereka berdua tampak hendak berciuman, dia hampir berhenti bernapas. Tapi karena Louise selalu menolaknya, napas Saito juga tak berhenti.

"Ah, mendekat lagi, ini******, ah, jadi memang begitu!" bisik Saito. Derflinger diam-diam bergumam"memalukan."

"Tutup mulutmu."

"rekanku menempel seperti ulat hijau di jendela, mengintip gadis yang jadi pujaannya dan cintanya tengah berbicara dengan riang. Ini sangat memalukan hingga menyakitkan dan membuatku hampir menangis!"

"Aku tak jatuh cinta padanya! Apa sih bagusnya dia? Emosi mesiu, memperlakukanku bagai anjing, kepribadian ganda."

Saito mendengus sambil mengeraskan gigitannya.

"Lalu mengapa kita mengintip?"

"Aku hanya khawatir, hanya khawatir, itu saja kok."

Begitu kalimat selesai diucapkan, seseorang jatuh dari atas.

  • Pa-ta* - Sesuatu jatuh di bahu Saito dan menutupi wajahnya, membuat pandangannya berubah hitam.

"A-apa?"

"Apa yang kau lakukan disini? Apa kau suka jalan-jalan di tembok? Ya ampun, perlu selamanya untuk menemukanmu."

Adalah Kirche yang mendarat di bahunya, dan mata tokoh kita dibutakan karena wajahnya diselimuti rok mini orang Germania ini.

"Hey, turun!" Saito menjawab sambil menarik wajahnya keluar dari rok Kirche.

"Mengapa, apa kurang enak? Hey, sedang melihat apa?"

Kirche memandang sekilas ke jendela, menoleh ke wajah Saito lagi dan melingkarkan lengannya padanya: "Tidak, jangan mengintip pengantin baru, kita jangan pedulikan mereka."

"Ini seperti yang kupikirkan; sebuah kencan sunyi di dinding sangat romantis. Lihat seberapa indahnya cahaya dari kota; apa kau tak berpikir mereka menyemangati kita?"

"Hai pertama yang pertama, kau turun."

Keduanya tengah mencoba untuk saling melepaskan diri saat jendela tiba-tiba dibanting dan terbuka. Saito mematung ditempat dan memeluk dinding bagaikan kecoa. Dengan satu pandangan, kita bisa melihat Louise tengah berkacak pinggang. Tapi wajah cantiknya telah berubah menjadi topeng iblis, serta menatap Kirche dan Saito.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SAMPING JENDELAKU???"

Satu tangan Saito di pedang, dan satunya lagi di rangka jendela. Pada saat yang sama, Kirche dengan kakinya di bahu Saito, memeul erat dia bagaikan sedang digendong, ini aneh tentu saja.

Tak usah ditanya lagi, mereka terlihat terlihat mencurigakan, tapi luar biasa juga.

"Tak bisakah kau mengerti setelah melihatnya? Ini adalah sebuah kencan."

Saito mencoba mengatakan sesuatu, tapi bibirnya dikunci tangan Kirche, sehingga membuatnya terlihat bingung. Bahu Louise mulai bergetar dibakar amarah.

"Pergi jauh-jauh dari sini. Kencan di tempat lain aja. Kalian berdua anjing kampung!"

"Tapi sayangku ingin berkencan disini." Jawab Kirche bersemangat.

Dalam sekejap, kaki Louise terbang ke arah mereka, Kirche merunduk lalu memanjat tembok, sehingga kaki Louise langsung menghantam wajah Saito dan menerbangkannya. Untung Saito ada pedang di tangan dan menusukkannya ke tembok untuk menghentikan kejatuhannya. Kemudain berteriak marah:

"INGIN BUNUH AKU YA???"

"Orang sepertimu yang tak mengerti kasih-sayang harus MATI!"

Wardes duduk di kamarnya dan menonton semuanya dengan keterkejutan campur kekaguman.

Hari kedua, Saito bangun karena seseorag mengetuk pintunya. Karena Guiche masih terlelap di kasur sebelahnya, karena tiada pilihan lain, si orang jepang ini hanya bisa bangkit dari kasur untuk menjawab. Tiada kapal hari ini, aku ingin tidur seharian, euh. pikir Saito marah sambil membuka pintu. Wardes dengan topinya yang biasa memandangi Saito, yang satu setengah kepala lebih pendek.

"Selamat pagi familiar."

Cara tunangan Louise memanggilnya membuat Saito marah.

Saito menjawab,"Pagi, tapi tanggal keberangkatan besok kan? Apa kau punya sesuatu yang penting untuk dikatakan pagi ini? Aku mengendarai kuda seharian kemari, aku masih ingin tidur."

Wardes hanya tersenyum tipis.

"Apa kau Gandalfr dari legenda?"

"Ah."

Saito memandangi Wardes dengan wajah mematung.

Wardes sedang hendak menjelaskan sesuatu, lalu membengokkan kepalanya dan berucap,"Sejak kasus dengan Fouquet, aku sangat tertarik denganmu. Aku menanyakan Louise tadi, aku dengar kau dari dunia lain dan aku juga dengar kau Gandalfr yang legendaris itu."

"Ha."

Siapa sih yang cerita soal Gandalfr? Osman tua seharusnya tak buka mulut soal ini.

"Sejarah dan perang sangat menarik bagiku.Saat Fouquet ditangkap, aku menjadi tertarik padamu. lalu aku meneliti di perpus Imperial. Hasilnya adalah penemuan bahwa kaulah Gandalfr sang Familiar legendaris."

Oh, begitu ya. kau benar-benar seorang pelajar."

"Aku ingin tahu seberapa kuat orang yang telah menangkap Fouquet; bisa kau tunjukkan padaku?"

"Menunjukkannya padamu?"

Wardes meraih tongkatnya dari sabuknya,"Begini saja."

"Duel?" jawab Saito dengan senyum dingin.

"Tepat sekali."

Wardes dan Saito sama-sama tersenyum. Melihat Guiche yang masih terlelap, si jepang ini berpikir, aku tak yakin seberapa kuat Wardes, tapi aku telah mengalahkan Guiche dan menangkap Fouquet. Meski dia kapten Ksatria sihir, dan tampak punya kemampuan lebih juga. Tapi harusnya perbedaannya tak terlalu jauh.

Ayo tunjukkan tunangan Louise kemampuan si Gandalfr ini pikir Saito

"Ingin tarung dimana?"

"Hotel ini dulu digunakan sebagai benteng untuk menahan invasi Albion, ada tanah parade di tengahnya."

Keduanya pergi ke tanah parade untuk ningrat secara bersama-sama. Tanah latihan kuno itu sekarang menjadi tempat sampah dan sisa tong bir kosong dan krat uyang bertebaran dimana-mana. Sulit dipercaya bahwa dulu sekali, panji-panji kerajaan dengan tiang dari batu menghiasi tempat pembuangan ini.

"Dulu, jika kau tak tahu, dibawah kuasa Philip III, ini sering digunkan sebagai tempat perhelatan pertarungan antar-ningrat."

"Ha Ha."

Saito meraih Derflinger dari bahunya dan tanda di tangan kirinya mulai berpijar menjadi cahaya.

"Di masa dahulu, sang raja masih mempunyai kekuatan untuk berduel, ningrat pada masa sang raja...masa dimana ningrat benar-benar ningrat. Yang mengorbankan nyawa demi nama dan kehormatan, yang bertarung dengan sihir. Tapi biasanya bertarung karena hal-hal sepele, bagai bertarung memperebutkan cinta."

Tiba-tiba, wajah Saito menjadi serius dan bersiap dengan pedangnya, tapi Wardes menghentikannya dengan tangan kirinya.

"Apa?"

"Ada aturan penting saat pertarungan, kita tiada saksi."

"Saksi?"

"Tenanglah, ada yang datang." jawab Wardes, dan Louise muncul. Dia mematung saat melihat keduanya.

"Wardes, saat kau memanggilku kesini dan aku datang, apa yang kalian berdua persiapkan?"

"Aku ingin mengetes kemampuannya sedikit."

'Ayolah, hentikan omong kosong ini. Sekarang bukanlah waktu untuk kebodohan semacam ini."

"Itu benar, tapi si terlahir-ningrat ingin bertarung, dia benar-benar ingin tahu apakah aku lemah atau kuat."

Louise menatap familiarnya,"Berhentilah sekarang, ini perintah."

Saito tak menjawab, dia terus menatap Wardes.

"Apa? Benarkah?"

"Karena saksi sudah disini, ayo mulai."

Wardes meraih tongkat dari sabuknya lagi, pasang kuda-kuda, dengan tongkatnya menunjuk pada Saito.

Saito membalas"Aku tak begitu kuat, jadi aku tak tahu harus keras atau lembut."

Wardes membalas dengan tawa renyah,"Tak masalah, datanglah padaku dengan semua yang kau punya."

Saito meraih mengacungkan Derflinger dan melesakkan serangan dalam sekejap. Sang ksatria sihir menahan serangan dengan tongkatnya, dan kedua senjata berdenting keras seperti baja memukul baja, memercikkan api ke segala arah. Senjata Wardes hanyalah tongkat kecil, tapi dia mampu menahan pedang panjang Saito tanpa berkeringat. Biasanya orang menebak Wardes akan mundur, tapi tiada yang menyangka angin topan keluar saat keduanya bertemu, dan Wardes meningkatkan kecepatannya saat dia memburu Saito. si anak Jepang ini bereaksi dengan hantaman memotong yang mematahkan laju Wardes, dengan jubah hitam sang ksatria sihir terbang ditiup angin. Sang kapten bereaksi dengan mundur beberapa langkah, lalu kembali memasang kuda-kuda.

Mengapa orang itu tidak memakai sihirnya? pikir Saito.

Derflinger bergumam menjawab,"Kau tak bisa, dia merendahkanmu."

Hati Saito meladak saking marahnya. Wardes si bajingan, dia sama cepat denganku dengan tanda Gandalfr yang bersinar. Hanya dengan sekali sentuhan, Saito bisa mengatakan perbedaan Guiche dan Wardes.

"Seorang ksatria sihir bukanlah seseorang yang hanya bisa membaca mantra." jawab Wardes sambil menjentikkan topinya.

"Cara kami membacakan khusus untuk bertarung, cara kami memegang tongkat kami, gerakan untuk maju...cara kami menggunakan tongkat kami sebagai pedang, lengkap dengan sihir. Inilah dasar dari dasar untuk para tentara."

Saito membungkukkan badannya sedikit, dan mulai memutar pedangnya bagai kincir angin. Wardes sudah melihat seluruh cara menyerang Saito, dan menahan serangan berikutnya tanpa mengambil napas sedikitpun.

"Kau benar-benar cepat; tiada yang akan salah mengenalimu, seorang jelata, sebagai familiar legendaris yang sebenarnya." Sambil menahan hantaman serangan Saito, Wardes menggunakan tongkatnya dan mengayun pada bagian belakang kepala Saito. Dengan hidung dan otak yang berdarah-darahm si anak jepang jatuh ke tanah dengan kerasnya.

"Tapi hanya itu, kau cepat, tapi gerakanmu hanya amatiran, kau tak bisa mengalahkan seorang penyihir sejati dengan ini."

Saito segera maju bagai peluru dan melepas serangan baru. Tapi hanya denga satu langkah kesamping dan melompat, Wardes dengan mudah menghindari Saito dengan kecepatan angin.

"Dengan kata lain, kau tak mampu melindungi Louise." Untuk pertama kalinya, Wardes bersiap menyerang, dengan kecepatan yang mustahil diikuti orang biasa, dan meluncurkan sebuah serangan pada Saito. Tepat saat si anak menyadari apa yang tengah terjadi, dia sudah menerima serangan secara langsung.

“Dell yill soll la windy.” Dengan satu tangan mengayunkan tongkat yang memercikkan api, Wardes memantra dengan suara pelan.

Saito menyadari semua gerakan dan serangan Wardes mengikuti pola tertentu.

"Rekan! berita buruk! Sihir datang!" teriak derflinger, saat disadarinya bacaan bisikan itu sihir.

Bam, tiba-tiba angin berkumpul, menciptakan gumpalan tak terlihat yang menghantam Saito dengan kekuatan palu raksasa, menerbangkannya 10 meter jauhnya dan jatuh ke tumpukan tong bir, meremukkan mereka semua.

Tepat saat Saito mendarat di tong bir, pedangnya terlepas. Begitu Saito mencoba meraihnya kembali, Wardes menginjaknya, dan memukul Saito dengan tongkatnya. Derflinger berteriak"Angkat kakimu dariku!". tapi Wardes tak peduli dan berucap,"Apakah sudah jelas siapa pemenang dan yang kalah?"

Saito mencoba bangkit, tapi nyeri mencegahnya untuk bergerak. Anak itu baru menyadari darah mengucur dari kepalanya. Louise sambil takut-takut mendekat.

"Apa kau mengerti Louise? Dia tak bisa melindungimu." Kata Wades kalem.

"Karena...kau pemimpin para ksatria sihir kan? Pasukan rahasia yang ditunjuk melindungi ratu?? Bukankah itu alami untuk menjadi kuat?"

"Benar, tapi bukankah kau ke Albion dan mungkin sekali bertarung? saat kau dikepung musuh-musuh yang kuat, apa kau juga berencana mengatakan'kami lemah, mohon buang tongkat kalian?"

Louise terdiam, kemudain memandangi Saito sambil khawatir. Kepalanya terus mengucurkan darah dan si gadis kecil mengeluarkan saputangannya dalam panik, tapi dihentikan wardes.

"Biarkan dia Louise."

"Tapi..."

"Biarkan dia disana sebentar."

Louise dengan enggan menggigit bibirnya sesaat, dengan tepukan dari Wardes, pergi. Saito ditinggalkan sendirian, berlutut, tak bisa bergerak kemana-mana.

Derflinger nyeletuk,"Kalah total."

Saito tak bereaksi. Kalah di hadapan Louise membuatnya sangat sedih.

"Tapi ningrat itu sangat kuat! Jangan khawatir soal itu rekan, orang itu punya kemampuan tinggi. Bahkan mungkin setingkat penyihir persegi. Meski kau kalah, itu tak memalukan."

Tapi, meski itu benar, Mulut saito terkunci.

"Kalah di hadapan gadis yang kau suka benar-benar tak mengenakkan. Tapi jangan remuk gitu dong, atau aku akan menangis juga...Hei, aku ingat sesuatu, apa ya? Kejadiannya sudah lama sekali...Oh, itu! Tunggu!"

Saito menyarungkan kembali Derflinger, mengunci mulutnya sekalian. Sambil menepuk-nepuk debu di celananya, anak itu mengambil langkah berat ke depan.

---

Malam itu, Saito menatap bulan dari jendela balkon. Guiche dan yang lainnya tengah minum-minum di bar lantai pertama. Besok mereka akan menuju Albion, jadi semuanya berpesta di bawah. Kirche datang untuk mengundangnya, tapi ditolaknya. Tokoh kita sedang tak ingin minum tampaknya. Pada saat ini, semuanya bisa pergi karena tengah gerhana dua bulan; yang merupakan hari dimana Albion paling dekat dengan dunia. Saito menengadah ke langit malam berhias bintang, di lautan bintang, pada bulan pink dibelakang bulan putih, yang karenanya menjadi satu bulan yang bersinar dengan warna peach. Bulan itu mengingatkannya pada yang ada di asalnya, bulan dari bumi.

Saito yang depresi tak berhenti mengomel, ingin pulang, kembali ke tanah asalnya. Dan, kalah dari Wardes di hadapan Louise membuat Saito semakin rindu untuk pulang. Tanpa disadarinya, airmata menetes dari mata Saito. Airmatanya mengaliri dagunya lalu jatuh ke tanah. Anak ini lalu menangis begitu dipandanginya kedua bulan itu, saat tiba-tiba didengarnya sesuatu dibelakangnya.

"Saito."

Saat berbalik, dilihatnya Louise berdiri di belakangnya dengan lengan terlipat.

"...Hanya karena kau kalah bukan berarti kau harus menangis, itu sangat tak pantas."

Anak itu bereaksi dengan mengusap wajahnya, tak ingin dia Louise melihat airmatanya.'

"Itu tak benar."

"Apa yang tak benar?"

"Aku hanya melakukannya karena aku rindu rumah. Untuk kembali ke bumi. Untuk kembali ke Jepang."

Louise menundukkan kepalanya.

"...Aku tahu, ini salahku."

"Kau hanya memperlakukanku seperti seekor anjing."

"Tiada yang bisa kulakukan untuk itu, aku adalah seorang ningrat, dan jika aku tak melakukannya, akan ada rumor."

"Jadi bagaimana caranya untuk mengembalikanku ke dunia asalku? Aku benar-benar tak ingin berada disini lagi."

Saito mengoceh dengan nada tak senang, yang datang dari hatinya yang terdalam.

"...Apa? Kau tahu kau sangat menyulitkanku kan?"

"Jika kau bilang begitu, tolonglah aku menemukan jalan untuk kembali. Berjanjilah kau akan menemukan sebuah cara untuk mengirimku ke dunia asalku."

"...Saat misi ini tuntas, aku akan lakukan yang terbaik untuk mencari jalan kembali untukmu.:

"Benarkah?"

Louise melingkarkan lengannya di sabuknya, mengangguk dengan ekspresi manis.

"Aku adalah seorang ningrat, aku takkan berbohong."

"Tapi apa uyang akan terjadi bila aku tak bisa menemukan jalan kembali?"

Wajahnya memerah sedikit, Louise meneguhkan hatinya dan menjawab,"...Jika itu terjadi, aku akan memintamu untuk terus melayaniku."

"Bahkan jika kau menikah?"

"Ini tak ada hubungannya dengan pernikahan."

Louise menatap Saito.

Saito mengomentari dengan sedikit homor sarkasme,"OK, OK, seseorang sepertimu, dengan kepribadian yang begitu buruk dan ada seseorang yang bersedia menikahimu, ningrat itu bener-bener sebuah mukjizat. Kau benar-benar beruntung."

Louise mengangkat lengannya pertanda marah,"Apa? Bukankah Kirche jatuh cinta padamu? Si tolol itu bisa jatuh cinta padamu! Lupakanlah, tak masalah dikatai apapun juga, kalian berdua tolol dan sangat bisa menjadi pasangan yang serasi."

Keduanya membuang muka. Louise menutup matanya, menenangkan diri lalu bersuara,"Singkatnya, selama kau di Halkeginia, kau adalah familiarku. Jadi tak peduli aku menikah atau tidak, adalah tugasmu untuk melindungiku dan mencuci sebagaimana juga untuk tugas lainnya."

Saito berbalik dan menghadap Louise.

Dibawah rambut berwarna peachnya, mata hijau teh Louise menyala penuh kemarahan. Wajah normalnya yang pucat juga terbakar warna amarah, yang membuat bibir manisnya sangat cantik.

Hati Saito mulai berdegup kencang saat memandanginya. Memang dia diteriaki Louise, tapi tetap saja dia sangat cantik.

Tapi benarkah hanya ini? Hanya karena dia cantik, jantungku berdegup kencang? Aku merasa bukan hanya ini sebabnya. Tidak peduli seberapa cantiknya dia, seberapa manisnya dia, saat kudengar kata-kata yang begitu menyakitkan, hatiku seharusnya tak berdegup kencang.

Louise menghubungkan kedua tangannya. Louise yang berwajah merah. Louise yang merawatku. Louise yang berhadapan dengan golem Fouquet meskipun dia seorang zero. Louise yang malu sendiri dan menangis secara rahasia saat dipanggil zero...

Terkadang Louise menunjukkan dirinya sebagai gadis sebenarnya yang mencampur-adukkan keberanian, kehangatan dan kecantikan dalam dirinya.

Saito memikirkannya secara mendalam,"lalu mengapa? apakah benar ini jalannya?"

Dia akhirnya mengerti, ,engapa dia selalu memandangi bulan setiap malam hingga malam pekat, tapi tak pernah berpikir untuk pulang. tapi dia benar-benar benci untuk mengakui alasan ini.

Ini benar-benar menyebalkan! mengapa aku harus...Saito tak bisa menghentikan lintasan pikirannya itu.

Mendadak Saito bertanya,"Mengapa kau tak biarkan Wardes saja yang melindungimu?"

"Luar biasa, kau masih tak bisa melupakan kekalahanmu darinya?"

Saito diam saja.

"Kau adalah familiarku kan? Hanya karena kau kalah, kau harus kuat. Penampilan kalahmu itu akan membenamkan nama la Vallière."

Ini tak sesederhana seperti dikalahkan. Ini kalah didepan Louise, dan kalah dari tunangannya. Bagaimana mungkin dia tetap kuat? Saito melipat bibirnya, dan menggebrak pagar balkon dengan marah.

Louise membalas dengan marahnya,"OK, aku mengerti. Lakukan yang kau mau, aku akan dapatkan Wardes untuk melindungiku."

"OK, lakukan saja." Saito membalas tanpa pikir panjang, dan kaliamt ini membuat Louise semakin marah.

"Orang itu dapat diandalkan. Dia takkan membuatku khawatir, Akutak harus bilang pada seorang familiar sepertimu, tapi sekarang aku akan bilang padamu. Sekarang aku telah memutuskan untuk dinikahi Wardes."

Louise memandangi Saito, tapi Saito tetap diam, tak ambil peduli. Apa? pikir Louise.

"Aku akan dinikahi Wardes."

Louise mengulanginya, tapi Saito tetap diam dan tak mengeluarkan kata sepatahpun. kepalanya menunduk dalam marah.

Mulanya dia berharap Saito mengatakan sesuatu untuk menghentikannya, tapi dia tak mengucapkan satu kata pun.

Apa? Bukankah kau sudah menyusup ke tempat tidurku?! pikir Louise. Dia lebih kecewa lagi karena harga dirinya terluka.

"Orang sepertimu seharusnya menghabiskan hidupmu memandangi rembulan!" Louise berteriak sambil berlari menjauh.

Tepat saat itu...

"WOAH!" teriak Saito. Louise menoleh, dan dalam keterkejutannya, sesuatu munsul dan menelan bulan, sehingga tak terlihat darimana pun.

Dibawah bayangan bulan, tampak seekor raksasa. Kalau dilihat dari dekat, bayangan besar itu ternyata adalah seekor golem dari batu.

"Fouquet!" Louise dan Saito berteriak dalam satu suara. Orangnya dapat terlihat duduk di bahu golem, dan menjawab dengan cerianya,"Oh, adalah sebuah kehormatan untuk diingat!"

Pedang di punggung Saito bertanya,"Bukankah seharusnya kau membusuk di penjara?"

Fouquet berteriak balik,"Seseorang memiliki hati yang baik, seorang cantik spertiku seharusnya berkontribusi untuk kebaikan dunia, jadi mereka membebaskanku."

Saat itu gelap sehingga tak banyak orang bisa melihatnya, tapi ada seseorang denagn jubah hitam kenbangsawanan berdiri disamping Fouquet. Apa dia yang membantu pelariannya? Si ningrat membantu aksi Fouquet, tapi tetap diam. Karena dia bertopeng, tiada yang bisa melihatnya secara jelas, tapi sepertinya dia pria.

"...Jadi kau seseorang yang tak bisa mengurus dirinya sendiri, apa yang kau lakukan disini?"

"Aku disini untuk berterima kasih padamu atas liburan panjang yang kau berikan, aku disini untuk mengirim apresiasiku!"

Fouquet tertawa keras, dan golem membubukkan pagar di balkon dengan sekali pukul. Pagarnya dipahat dari batu keras, jadi sepertinya kekuatan golem telah meningkat drastis.

"Ada batu, tapi tiada tanah, jadi tenanglah!"

"Tiada yang mencoba tenang disini!"

Saito mencengkram tangan Louise dan kabur, keluar dari kamar, lalu keduanya melompat turun dari tangga.

...

Sementara itu, ruangan dibawah menjadi sebuah pandemonium. Tiba-tiba sekelompk tentara datang dan menyerang Wardes dkk yang tengah minum-minum. Guiche, Kirche, Tabitha dan Wardes tengah menggunakan sihir untuk bertahan. Tapi, lawan mereka terlalu banyak. Sepertinya seluruh tentara dari La Rochelle datang menyerang. Sepertinya mereka akan kalah

Kirche mematahkan satu kaki meja, dan memutuskan untuk menggunakan meja sebagai tameng dari lawan yang datang. Para tentara yang menyerang sudah biasa menghadapi lawan pengguna sihir. Saat bertarung, mereka mengamati jarak dan gaya Kirche dkk. Lalu menjauh dari jarak serangan sihir untuk menyerang dengan panah. Tentara yang bersembunyi dalam gelap memiliki keuntungan penguasaan medan, membuat mereka yang beada dalam ruangan terkurung.

Jika ada yang mencoba berdiri untuk membaca mantra, mereka menjawab dengan seombak panah. Saito merendahkan badannya, maju ke tembok perisai-meja Kirche, memberitau bahwa Fouquet mengejar mereka dan akan tengah menyerang, tapi kaki sang raksasa sudah terlihat, jadi tak perlu mengatakannya.

Para ningrat lainnya dan para tamu bersembunyi dibawah konter dan gemetar ketakutan. Si gemuk penjaga penginapan berteriak pada para tentara," Apa yang kalian lakukan pada tempatku??" Tapi satu panah menembus bahunya dan membuatnya tergelatak di lantai.

"Ini benar-benar sulit." Kirche mengangguk setuju pada kata-kata Wardes.

"Nampaknya kumpulan ini tak hanya tertarik pada pencurian kecil-kecilan."

"Apa Mmngkin Fouquet dan para ningrat Albion di belakang ini?"

Kirche menangkat tongkatnya, dan bergumam, "...mereka berencana membuat kita menggunakan sihir, menghabiskannya, lalu datang menyerbu, Apa yang akan kita lakukan?"

"Valkyrieku akan melindungi kita."

"Guiche, Valkyriemu hanya seskuad, mereka berpleton-pleton."

"Kita takkan tahu kalau tak mencobanya."

"Tapi Guiche, aku jauh lebih tahu perang daripada kau."

"Tapi aku anak Jendral de Gramont, bagaimana mungkin aku bisa kalah dari sekumpulan tentara tolol?"

"Ini tak bisa diterima. para ningrat Tristain hanya tangguh di mulut tapi lemah kemampuan bertempurnya."

Guiche bangkit dan bersiap membacakan mantra. Tapi Wardes menghentikannya dengan mencengkram baju bangsawan muda itu.

"Semuanya, dengarkan."bisik Wardes. Saito dkk diam dan membuka kuping mereka lebar-lebar.

"Misi ini dihitung terlaksana bila setengah dari tim sampai dengan selamat di tujuan."

Pada titik ini, si manis Tabitha menutup bukunya dan melihat ke arah Wardes. Dia lalu menggunakan tongkatnya dan menunjuk dirinya, Kirche dan Guiche lalu bersuara,"umpan."

Kemudian Tabitha melanjutkan dengan menunjuk Saito, Wardes, dan Louise lal bersuara,"Pergi ke pelabuhan."

"Waktunya?" Wades bertanya pada si gadis kecil.

"Kita akan melakukannya sekarang."

"Tepat seperti yang kita rencanakan tadi, keluar dari pintu belakang."

"Ah? Ah!" Saito dan Louise berteriak saking terkejutnya.

"Mereka bertanggung jawab untuk mengamankan keadaan; Kita seharusnya bisa membingungkan penglihatan mereka. Dengan menggunakan saat itu, kita seharusnya bisa kabur ke pelabuhan, yah seperti itulah."

"Tapi...tapi..."

Saito memandangi Kirche, yang menyibak rabut merahnya. Lalu mengelus bibirnya sambil menambahkan,"Bah, tak bisa ditolak sih, kami juga tak ingin benar-benar pergi ke Albion dengan kalian juga sih."

Guiche mencium mawarnya,"Heh, aku mungkin mati disini. Apa yang akan terjadi? Jika aku mati, aku takkan bisa bertemu putri Henrietta lagi."

Tabitha mengangguk pada Saito."Pergilah."

"Tapi..."

Kirche mulai mendorong Saito, "Ok, Waktunya pergi. Saat kau kembali, kau boleh menciumku."

Dia lalu menoleh pada Louise, "Ah, Louise, mohon jangan salah kira, aku tak disini untukmenjadi umpan bagimu."

"Aku tahu itu!" Meski itu yang terucap, Louise tetap menundukkan kepalanya sebagai peghormatan pada Kirche dan yang lainnya.

Saito dan yang lainnya merendahkan tubuh mereka ke lantai, dan mulai berlari. Panah-panah beterbangan ke arah mereka, tapi dengan sekali sentak, gelombang dari tongkat Tabitha berkoar dan melindungi mereka.

---

Tim ini menjauh dari bar, masuk ke dapur dan menuju pintu keluar lainnya, dan lalu ada ledakan besar di belakang mereka.

"...Sepertinya sudah dimulai." ucap Lousie.

Wardes berjongkok dekat pinggu, lalu mendengarkan situasi di luar.

"Nampaknya tak ada orang."

Begitu pintu terbuka, ketiganya turun ke jalan malam La Rochelle.

"Pelabuhan ke arah sini."

Wardes memimpin, Louise mengikuti, Saito di belakang. Dibawah sinar rembulan, bayangan ketiganya memanjang, dan menempel dari belakang.




BAB 6: Negeri Putih

Setelah yakin Saito dkk pergi, Kirche memerintahkan Guiche,” Sekarang, ayo mulai. Guiche, ada pot berisi minyak di dapur kan?”

“Maksudmu pot penggorengan itu?”

“Ya. Bawa mereka kesini dengan golemmu.”

“Tak masalah.” Guiche bersembunyi di belakang meja, mengayunkan mawarnya yang merupakan tongkatnya. Kelopaknya berjatuahan pelan dan ksatria wanita dari perunggu muncul dari tanah. Para golem menuju dapur, meski panah-panah menyasar mereka. Kepala panah besi bertemu dengan perunggu lunak, yang menyebabkan patung-patung tersebut bergoyang. Guiche tertawa, begitu patung-patung akhirnya mencapai dapur dibelakang konter, dan membawa pot penggorengan.

“Bisakah kau melemparkannya ke jalan masuk?” Kirche berdandan sambil melihat cermin saat berbicara.

“Kau berdandan, sekarang?” kata Guiche, dengan wajah terkejut, tapi tetap memerintahkan patungnya untuk melemparkan pot ke jalan masuk sebagaimana dia diperintahkan. Kirche menyiapkan tongkatnya dan bangkit.

“Karena sebuah adegan akan dimulai, dan sang tokoh wanita utama tak punya riasan…”

Dia mengayunkan tongkatnya pada minyak, yang tumpah di udara.

“…bukankah itu akan memalukan?”

Sihir Kirche menyalakan minyak, menyebarkan nyala api ke seluruh Kuil Dewi, membuat suara nan keras. Dalam sekejap, segrup bayaran yang tengah menyerbu, langsung mundur karena api yang tiba-tiba. Kirche dengan genit menyanyikan sebuah mantra, dan mengayunkan tongkatnya lagi. Nyala api makin mengamuk, menyebar pada bayaran di jalan masuk, melingkupi mereka dan menyebabkan mereka berguling kesakitan. Kirche berdiri dan dengan elegan menyibakkan rambutnya sebelum mengangkat tongkatnya. Meski seluruh panah tertuju padanya, sihir angin Tabitha mementahkan mereka semua.

“Wahai para bayaran yang tak tahu sopan-santun, meski aku tak tahu mengapa kalain menyerang kami.”Kirche tersenyum dan membungkuk di tengah hujan panah,” Izinkan aku, Kirche sang Ardent, dengan anggunnya menjadi lawan kalian!”. --- Sambil duduk di bahu golem tanah raksasanya, Fouquet menggigit bibirnya kesal. Grup yang diperinyahkannya menyerang langsung kembali dalam keadaan bingung setelah dikelilingi api. Dia menoleh pada ningrat bertopeng berkudung yang duduk di sebelahnya."Aduh. ribut hanya karena api segini...sewaan memang tak bisa diandalkan."

"Itu sudah cukup."

"Tapi kau tak bisa kalahkan mereka dengan ini!"

"Tak apa-apa jika mereka tak bisa. Yang perlu mereka lakukan hanyalah memisahkan mereka."

"Meski kau berkata begitu, Aku takkan membiarkannya begini. Aku dihinakan begitu rendah karena mereka."

Si pria berkudung tak menjawab, malah berdiri seolah tak mendengar apa-apa, dan berbicara pada Fouquet,"Baiklah, aku akan pergi mengejar gadis Valliere itu."

"Lalu apa yang harus kulakukan?" jawab Fouquet, terkejut.

"apapun yang kau suka. Bakar atau masak yang tersisa, terserahlah. Kita akan bertemu di restoran yang biasa." Dia melomp[at turun dari bahu golem, lalu menghilang di kegelapan malam bagai angin tengah malam, lembut dan menusuk.

"Sssh...orang yang terlalu meremehkan. Tak bisa mengatakan padaku apa yang dipikirkannya." Fouquet berbicara pelan dalam kesal.

Erangan datang dari orang-orang di bawah. Angin kuat berhembus dari dalam kuil, menyebarkan dan menguatkan api yang tak kenal ampun. Bahkan para pemanah yang bersembunyi dalam gelap merasa terbakar.

Fouquet berteriak pada yang di bawah, "Ya ampun, cukup! Kalian semua tak berguna! Minggir!"

Sang golem bangkit dengan suara menggelegar, dan menuju jalan masuk, terus meninju sambil terus masju.

---

Kirche dan Tabitha mengontrol api di ruangan, memaksa para bayaran tersiksa di luar sana. Sekelompok pemanah juga kabur karena api yang disebarkan angin Tabitha, meninggalkan busur mereka di belakang.

“Ohhhhohohohoho! Oho! Ohohoho!” Kirche tertawa penuh kemenangan."kalian lihat? Kalian mengerti? Kekuatan apiku! Jika kau tak ingin terbakar, lebih baik kalian pulang sekarang! Ahahaha!"

"Baiklah, giliranku!" Setelah membuat penampakan kesiangan, Guiche menyasar musuh yang mundur di antara celah api dengan mantra Valkyrienya...

Dengan suara keras nan menggelegar, gerbang masuk dan yang berada di dekatnya menghilang.

"Eh?"

Seekor golem raksasa muncul dari debu yang beterbangan, dan dengan mudah menendang patung-patung Guiche.

"Oh, aku lupa/ Si wanita tangguh masih disini." Kirche berkata pelan, menjulurkan lidahnya keluar.

'Jangan senang dulu anak-anak! Kalian akan kuhabisi!" Teriak Fouquet penuh kemarahan sambil berdiri di bahu golem.

"Apa yang kita lakukan sekarang?" Kirche menoleh ke arah Tabitha. Temannya membuka lengannya dan menggelengkan kepalanya.

Guiche melihat lekat pada golem raksasa itu, dan tenggelam dalam kepanikan, dan berteriak, "Semuanya! Serang! Aku katakan, SERANG! Sekarang waktunya mereka melihat jiwa dari seluruh bangsawan Tristain! Lihat aku, Ayah! Guiche akan menjadi seorang laki-laki!"

Tabitha menahan kakinya dengan tongkatnya, membuatnya terjatuh ke tanah.

"Apa yang kau lakukan?! Biarkan aku jadi laki-laki! Dengan nama yang mulia Putri, jadikan mawarku gugur disni!"

"Baiklah, kita harus pergi."

"Tidak! Aku takkan lari!"

"...Kau tahu, kau benar-benar jenis yang akan mati pertama di pertempuran apapun/"

Tabitha memandangi golem yang mendekat dan tiba-tiba tampak mendapat ide. Dia lalu menarik lengan baju Guiche.

"Apa?"

"Mawar." tabitha menunjuk pada mawar imitasi Guiche sambil membuat gerakan mengayun."Banyak, kelopak."

"Apa yang kau inginkan dengan kelopak-kelopak itu?!" teriak Guiche, yang langsung ditarik telinganya oleh Kirche.

"Lakukan saja yang dibilang Tabitha."

Guiche mengayunkan tongkat mawarnya dengan enggan, menerbangkan lautan kelopak di udara. Tabitha menyanyikan sebuah mantra. Dibawah arahan angin, kelopak-kelopak menempel pada golem.

"Dan apa yang dilakukan kelopak-kelopak yang menempel di sekujur tubuh golem?! Indah memang!" Teriak Guiche balik.

Tabitha langsung memerintah Guiche."Alkemi."

Di bahu golem, Fouquet yang melihat ciptaannya ditempeli kelopak, mengeluh tak senang,"Apaan ini? Sebuah hadiah? Aku takkan membiarkan kalian meski kalian menghiasi golemku dengan kelopak!"

Si golem mengangkat kepalannya, dan membubukkan meja yang melindungi Kirche, Tabitha dan Guiche dalam sekali pukul. Tepat saat itu, kelopak-kelopak yang menempel berubah menjadi cairan. Bau minyak terhirup olehnya. Sebagai Ahili dalam unsur tanah, Fouquet langsung tahu alasannya. Sebuah mantra yang dikenal sebagai "Alkemi".

Mereka baru saja menggunakan "Alkemi" untuk merubah kelopak di golem menjadi minyak. Dia sudah terlalu terlambat untuk mengenali apa yang salah. Bola api Kirche sudah mengarah pada golemnya. Dalam sekejap, golem raksasa itu sudah diliputi api. Tak mampu menahan panas dan nyalanya, si golem berlutut. Melihat penyewa mereka diambang kekalahan, para bayaran kabur bagaikan laba-laba. Kirche, Tabitha, dan Guiche saling berpelukan dalam kegembiraan.

"Kita bisa! Kita menang!"

"A...Aku menang dengan alkemi! Ayah! Paduka! Guiche telah dewasa!"

"Itu semua berkat rencana Tabitha!" kata Kirche sambil menepuk kepala Guiche.

Fouquet yang tersembunyi berdiri di depan golemnya yang terbakar."Be..Beraninya kalian...kalahkan aku, Fouquet, dua kali, dengan sihir tanah..." Dia terlihat pilu. Dengan rambut panajang indahnya yang terbakar, jubah yang berlubang dimana-mana, dan wajahnya hitam gosong, kecantikannya telah pergi.

"Aha, itu riasan yang bagus. Kau tahu, nona, riasan berat semacam ini cocok sekali! Maksudku...Kau sudah cukup tua!" Begitu Kirche selesai, diayunkan tongkatnya pada Fouquet. Namun, tampaknya dia sudah menghabiskan energinya pada seluruh mantra di pertempuran tadi. Tiba-tiba, sebuah api lemah menyembul, lalu menghilang dalam sekejap.

"Eh? Sampai sinikah?" Kirche menggaruk-garuk kepalanya.

Tabitha dan Guiche tampaknya mengalami hal yang sama. Tapi tidak dengan Fouquet. Dia tak mencoba sihir apapun, dan langsung menuju lurus pada mereka.

"Tua?! Nona, aku baru 23!" Fouquet mengencangkan kepalannya, dan meninju Kirche, yang membalas dengan cara sama tanpa keraguan. Dan keduanya berlanjut berkelahi yang sangat tidak mencerminkan mereka. Tabitha duduk, dan tanpa memperhatikan sama-sekali perkelahian di depannya, mulai membaca. Guiche menonton kedua wanita cantik berkelahi dengan wajah yang sedikit memerah. Dia tampak beda dengan bajunya yang robek dimana-mana. Sambil menonton dari jauh, para bayaran mulai bertaruh pada perkelahian itu.

---

Bersamaan dengan perkelahian Kirche dan Fouquet, Saito dkk lari menuju pelabuhan, jalan mereka diterangi bulan nan terang. Wardes lari menuju tangga panjang sebuah bangunan, dan mulai mendakinya.

"Bukankah kita menuju sebuah "pelabuhan"? Mengapa kita mendaki bukit? tanya Saito. Wardes tak menjawab.

Setelah mendaki tangga yang tak berujung, mereka sampai di puncak sebuha bukit kecil. Saito mencoba menangkap apa yang tampak di depannya. Ada pohon besar, bercabang ke segala arah, ukurannya segunung. Seberapa tinggi? Malam menutupi puncaknya, tapi tentu dia tinggi sekali. Saito melihat pohon seakan-akan itu Menara Tokyo. Lalu...kalau dilihat baik-baik pada cabangnya, pohon itu tampak memegang sesuatu yang bahka lebih besar. Sebuah buah besar? Dia salah. Itu sebuah kapal. Ia tampak bagaikan Zeppelin, tersangkut di pohon.

"Ini pelabuhannya? Dan...itu kapalnya?" tanya Saito terkejut.

Louise menjawab keheranan."Ya...bukankah duniamu juga begitu?"

"Pelabuhan dan kapal, semuanya di air dalam duniaku."

"Jika ada kapal yang berlayar di air, maka ada juga yang berlayar di udara." kata Louise bersabda.

Wardes berlari menuju akar pohon, yang sebesar dan selenggang lobby pencakar langit. Mungkin mereka menggali dari pohon yang mati untuk membuatnya. Kini malam, jadi mereka tak melihat siapa-siapa. Di antara satuan tangga, ada panel logam, dengan tulisan di atasnya. Mungkin tanda stasiun atau semacamnya, pikir Saito.

Wardes mulai mendaki tangga didepannya. Satu satuan tangga saling terhubung dengan yang lain. Ada pengikat dan penguat, tapi tetap saja mereka terlihat berbahaya. Bisa terlihat cahaya La Rochelle di celah antara tiap satuan tangga. Di sebuah warung peristirahatan, Saito mendengar langkah kaki di belakang mereka. Dia menoleh, dan sebuah bayangan melompatinya dan mendarat di belakang Louise. Ia sang topeng putih di golem Fouquet.

Saito meraih pedangnya dan berteriak,"LOUISE!"

Louise berbalik dan si topeng menangkapnya dalam sekejap.

"Ahhh---!" Louise berteriak. Saito mengangkat pedangnya. Tapi jika sembarangan mengayun, aku akan mengenai Louise. Pria tersebut membawa Louise dan melompat bagaikan seorang akrobat, tubuhnya bergerak sesuai keinginannya. Saito berdiri tegak. Disampingnya, Wardes mengayunkan tongkatnya. Si Topeng, seperti Saito tadi, diterbangkan, terpukul oleh palu udara Wardes, dan melepaskan Louise. Dia mendapatkan pegangan, tetapi Louise jatuh ke tanah.

Dalam sekejap, Wardes meloncat dari lantai, dan jatuh menuju Louise bagaikan elang. Dia berhasil menangkapnya lalu melayang di udara sambil menggendongnya. Si Topeng berayun dan melompat ke lantai, menghadapi Saito. Penampakannya tak berbeda jauh dari Wardes. Diraihnya tongkat dari lingkar perutnya. Tongkat yang hitam. Setelah meyakinkan diri Louise aman. Saito pasang kuda-kuda, mengingat pertarungannya dengan Wardes. Mengayun tanpa pikir panjang tentu berbahaya, tapi tak bisa ditebaknya sihir apa yang akan digunakan lawannya.

Pria itu mengayunkan tongkatnya, udara diatasnya mulai membeku. Udara dingin menusuk kulit Saito. Apa yang dilakukanya?

Dia melanjutkan dengan membaca sebuah mantra. Saito mengangkat pedangnya, tapi Derflinger berteriak, "Tahan rekanku!"

Begitu Saito bertahan, udara bergetar, ada sebuah gemuruh. Kilat muncul dari pria tersebut dan mengenai Saito langsung.

"'Awan Kilat'!" teriak Derflinger, dia kenal sihir ini. Sebuah arus kuat menerpa tubuh Saito dan menjatuhkannya dari lantai.

"Gaaaah---!" Saito berteriak kesakitan. Pergelangan kirinya terasa terkorek dan terbakar bagaikan tersentuh besi panas membara. Angin kuat tadi meninggalkan jejak, membakar pakaiannya. Dia pingsan karena kesakitan dan kejutan.

Wardes yang tengah memeluk Louise membacakan mantra 'terbang', yang mendaratkan Saito dengan selamat di tanah.

"Saito!" teriak Louise yang melihat familiarnya jatuh. Wardes menggigit bibirnya, menghadap pada si Topeng, dan mengayunkan tongkatnya. Itu palu udara. Udara di sekitarnya memadat menjadi balok tak terlihat, lalu menghantam si Topeng. Dia jatuh dari ketinggian menuju tanah.

Louise berontak melepaskan diri dari pelukan Wardes dan berlari menuju Saito. Amukan dari arus terus membakar tangan kiri Saito yang memegang pedangnya, dari ujung baju hingga sikunya. Dengan panik dia menempatkan telinganya di dada Saito. Jantungnya berdetal, dan dia bernapas lega. Dia kena arus kelas berat, tapi sepertinya dia selamat, dan mengerang kesakitan.

Saito membuka mat, dan bangkit dalam kesakitan."A-Apa...Orang itu...tapi, sakit...gah!"

Derflinger bicara serius,"Itu 'Awan Kilat'. Sihir angin yang sangat kuat. Orang itu tampaknya ahli."

"Ah! Ugh!" Wajah Saito memperlihatkan sakitnya.

Wardes memperhatikan kondisi Saito. "Tapi dia beruntung selamat. hanya pergelangannya yang terluka. Mantra ini biasanya membunuh. Hmm..sepertinya pedangmu menahan sebagian arus, tapi aku tak tahu kenapa. Bukankah pedang itu dari logam?"

"Tak kepikiran. Aku lupa." jawab Deflinger

"Pedang pintarkah? Barang langka."

Saito menggigit bibirnya keras-keras. Pergelangannya yang terluka sakit, tapi fakta dia tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Louise lebih menyakitkan. Tambah lagi, dia membiarkan Wardes unjuk gigi dan menguasai panggung. Dia tak bisa membiarkan Louise melihatnya seperti ini. Dengan susah payah dia berdiri, dan menyarungkan Derflinger.

"Ayo pergi. Ini bukan apa-apa."

---

Dibelakang tangga terakhir ada cabang. Di atasnya, sebuah kapal...berlabuh disana. Bentuknya lebih mirip Yacht, mungkin agar bisa terbang. Ada sayap di kedua sisi. Dari akapl tergantung tali yang wallahu'alam jumlahnya, semuanya terikat pada ranting-ranting. Cabang yang mereka injak memanjang hingga dek kapal. Mereka melangkah naik, dan seorang pelaut yang tidur di dek memanjat."Hai kalian! Apa yang kalian lakukan?!"

"Dimana kaptennya?"

"Dia tidur. Kembalilah nanti pagi." jawabnya dingin dan mabuknya, sambil menenggak rum dari botolnya.

Wardes tak menjawab, dan mengacungkan tongkatnya."Kau ingin seorang ningrat mengulang ucapannya? kukatakan, panggil sang kapten!"

"Se-seorang ningrat!!" Si pelaut langsung berdiri tegak dan berlari ke tempat kapten.

Beberapa saat kemudian, dia kembali membawa seorang tua, sekitar 50-an, pengantuk, dengan topi di kepala. Sepertinya dia kaptennya."Apa yang kau inginkan?" Dia menatap curiga Wardes.

"Pemimpin Garda Penyihir Paduka, Kapten Wardes."

Mata kapten melotot, dan dia menukar kata-katanya dengan yang lebih formal setelah mengetahui siapa yang berdiri didepannya."Oh, uh...lalu, layanan apa yang kapal ini bisa adakan untukmu..."

"Bawa kami ke Albion. Berangkat sekarang."

"Gila itu!"

"Ini perintah paduka. Apa kau mau melawan?"

"Aku tak tahu untuk apa kau pergi ke Albion, tapi kita tak bisa berangkat hingga pagi tiba!"

"Mengapa?"

"Jarak Albion dengan Tristainia paling dekat saat pagi! Kita tak punya cukup batu angin untuk kesana dari sini saat ini."

"Batu angin?" tanya Saito.

Sang kapten memberinya pandangan 'kau-tak tahu-apa- itu-batu-angin?' dan menjawab, "Batu yang menyimpan sihir angin. Kapal ini tak bisa terbang tanpanya." Dia lalu menghadap Wardes. ""Tuan, kapal ini berisi batu angin yang hanya cukup untuk berlayar pada jarak terdekat dengan Albion. Jika kita punya lebih, kita bisa berangkat dari tadi. Tapi untuk sekarang, kita tak bisa berangkat. Kita akan jatuh dari angkasa di tengah-tengah."

"Aku akan menanggung kekurangan batu anginmu. Aku seorang penyihir angin persegi."

Sang kapten dan si pelaut saling memandang. Sang kapten lalu menghadapi Wardes dan mengangguk."Baiklah. Tapi kalian harus membayar juga."

"Apa muatannya?"

"Belerang. Saat ini, harganya setara dengan emas dengan berat sama. Para ningrat telah menaikkan harga dalam keputusasaan untuk keamanan. Untuk senpi dan elemen api, ia adalah keharusan."

"Jual seluruhnya padaku dengan harga itu."

Sang kapten mengangguk, mungkin dengan senyum licik. Setelah selesai, sang kapten membuat perintah berurutan."Tinggalkan pelabuhan! Angkat jangkar! kembangkan layar!"

Para pelaut mengikuti perintah, meski sambil mengomel, dengan cepat tali terlepas dari ranting-ranting. Mereka meraih tali-tali pengaman di kedua sisi, dan mengembangkan layar. Tanpa tali, kapal tiba-tiba tenggelam, dan lalu melayang lagi berkat kekuatan batu angin.

"Kapan kita bisa mencapai Albion?" tanya Wardes.

"Kita akan tiba di pelabuhan Scarborough besok siang." jawab sang kapten.

Saito memandangi bumi dari sisi pelabuhan. Pelabuhan bisa dilihat diantara cabang-cabang pohon yang besar. Cahaya Rochelle segera memudar dalam kegelapan. Mereka sepertinya berlayar cepat. Louise menghampiri Saito, dan menaruh tangannya di bahunya. "Saito, kau tak apa-apa?" Dia tampak khawatir.

"Jangan menyentuhku." ditepisnya tangan Louise menjauh. Wajah Louise memerah.

"Apa?! Dan aku khawatir padamu!" Louise marah, melihat Saito yang bahkan tak menghiraukannya."Dan aku begitu khawatirnya tentangmu...Apa-apaan sikapmu ini?" pikirnya.

Saito tengah depresi. Dia tak bisa apa-apa saat Louise hendak diculik oleh si topeng putih itu. Dia tak bisa menghadapi wajah Louise. Diingatnya apa yang dikatakan Wardes padanya beberapa hari lalu,"Dengan kata lain, kau tak mampu melindungi Louise."

Apa itu benar? dia tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Wardes menghampiri mereka."dari apa yang kudengar dari kapten, Angkatan perang Kerjaan Albion dekat Newcastle dikepung ketat dan bertempur dengan sengitnya."

Louise, yang kelas-jelas takut, bertanya,"Bagaimana dengan pangeran Wales?"

Wardes menggelengkan kepalanya."Aku tak yakin. Sepertinya dia hidup..."

"Tunggu...bukankah pelabuhan sudah sepenuhnya dikuasai para pemberontak?"

"Ya."

"Lalu bagaimana kita bisa menghubungi keluarga kerajaan?"

"Kita hanya perlu bertempur dan menerobosnya. Hanya perlu sehari dengan kuda dari Scarbrough ke Newcastle."

"Bertempur dengan pemberontak?"

"Benar. Hanya itu pilihan kita. Kupikir mereka tak bisa secara terbuka menyerang bangsawan Tristainia. Kita harus mencari kesempatan menembus kepungan dan berlari lurus menuju Newcastle. Yang harus dipikirkan setelah itu adalah berkendara dalam gelap."

Louise mengangguk tegang, dan bertanya,"Ngomong-ngomong, Wardes, mana griffinmu?"

Wardes tersenyum. Dia menuju ke arah luar, dan bersiul. Tepat dari bawah kapal, terdengar suara kepakan griffin. Ia mendarat di dek, menakuti beberapa pelaut.

"Tak bisakah kita ke Albion dengan Griffin daripada dengan kapal?" tanya saito.

"Ia bukan naga. Ia tak bisa terbang terlalu jauh." jawab Louise.

Saito duduk di dekat mast dan mengejapkan matanya. Sepertinya kita akan dalam bahaya sebentar lagi. Oh, baiklah...aku tidur saja. pikirnya. Dengan percakapan Louise dan Wardes yang bagaikan dengungan, dia tertidur.

---

Saito terbangun karena keributan para pelaut dan cahaya yang menyilaukan, dan langit biru yang cerah dihadapannya. Melihat ke bawah sana, ada awan-awan yang mengapun. Kapal itu berlayar tepat diatas mereka.

"Albion terlihat!" Kata pengamat berteriak.

Saito menggosok matanya yang masih mengantuk, dan melihat kebawah lagi. Yang ada disana hanya awan. Bumi tak terlihat dimana-mana. Louise, yang tampaknya tidur disampingnya, bangkit.

"Aku tak melihat bumi dimanapun." keluh Saito.

"Disana?" Ditunjuknya arah langit.

"Huh?" diikutinya arah yang ditunjukkan Louise, dan meng-kaku saking terkejutnya. Sebuah pemandangan...ya, tiada lagi yang menyambut matanya selain pemandangan yang besar itu.

Diantara awan, dapat dilihatnya tanah gelap. Ia terus membesar di bawah mereka. Gunung memahat bentang alam, dan sungai-sungai mengalirinya.

"Apa itu menakutkan bagimu?' tanya Louise.

"Ah...aku...tak pernah kulihat yang seperti ini sebelumnya." Rahang Saito jatuh dengan sikap berdiri yang kaku.

"Albion, si pulau mengapung. Ia melayang di udara, tepat seperti itu, sebagaimana pulau biasa melayang di atas laut. Namun, ia melewati benua Halkegenia beberapa kali sebulan. Ukurannya se-Tristainia, dan sebutannya 'Negeri Putih'.

"Mengapa'Negeri Putih'?"

Louise menunjuk pulau."Air dari sungai yang mengalir dari pulau ke udara menjadi kabut putih, menutupi bagian bawah pulau. Kabut menjadi awan, yang memberikan hujan pada Halkegenia," jelas Louise.

Sang pengamat berteriak lagi,"Kapal mendekat dari ssisi!"

Saito melihat ke arah itu. Sebuah kapal, sebagaimana dikatakan, mendekat, dan ukurannnya lebih dari yang mereka naiki. Meriam melongok keluar dari lubang-lubang di sisiya.

"Ah...mereka bahkan punya meriam." Saito mengutarakan pikirannya.

Louise muram.

---

"Tanda buruk. Pemberontak...ataukah sebuah kendaran ningrat?" Dibelakang dek, Wardes dan sang kapten melihat ke arah yang ditunjuk. Cat hitam menandakan kapal itu dibuat untuk perang. 20-an meriam menyasar mereka.

"Kebangsawanan Albion? Katakan pada mereka jika mereka mengapalkan kargo seperti kita."

Sang pengamat memberi tanda bendera seperti yang dikatakan kapten . Tapi kapal hitam tak menjawab Wakil kapten masuk sambil berlari dengan wajah pucat dan melapor pada kaptem,"Kapal itu tak berbendera negara apapun!"

"Lalu...mereka pembajak?"

"Tak salah lagi! Kudengar mereka menjadi begitu aktif setelah pemberontakan berkobar..."

"Lari! Kecepatan penuh!" Sang kapten ingin menjauh dari mereka secepat mungkin, tapi mereka sudah terlambat. Kapal hitam itu mulai berlayar sejajar dengan mereka, dan menembak langsung diatas mereka. BANG! Bola meriam itu menghilang diantara awan. Mast Kapal hitam itu lalu memberi tanda empat warna.

"Mereka memerintahkan kita berhenti, kapten." Sang kapten merubah keputusannya. Bukan berarti kapalnya tak bersenjata sama sekali, tapi yang mereka punya hanyalah 3 meriam bergerak diatas dek, yang bagai penghias jika berhadapan dengan 20-an meriam yang terarah pada mereka. Sang kapten memandang Wardes penuh harap.

"Seluruh sihirku digunakan pada kapal. Kita hanay bisa lakukan apa yang mereka minta." jawab Wades tenang,

Sang kapten bergumam,"Hilanglah keberuntunganku," dan memerintahkan. "Lipat layar. Hentikan kapal."

---

Louise, melihat kapal hitam itu menembak, lalu mendekat pada mereka, kemudian kapal mereka berhenti, memegang Saito dekat, yang dengan tegang memandangi kapal hitam itu.

"Kami adalah pembajak! Jangan melawan!" Seorang pria di kapal hitam berteriak dengan sebuah pengeras.

"Pembajak?" Louise terguncang.

Di sisi kapal hitam, orang-orang berbaris dengan senapan dan busur. Mereka membidik dan menembakkan tali berkait, mencengkram sisi kapal mereka. Beberapa pria kuat, sekitar 10, yang menyandang Kapak dan saber melengkung, menuruni tali dan mendarat di kapal mereka. Saito memegang pedangnya, tapi pergelangannya masih sakit dari pertarungan tadi malam, dan dia tak bisa gunakan kekuatannya.

"Saito..." Louise berkata pelan. Dia mendengarnya, dan mencoba memegang pedangnya lebih erat. Namun, Wardes, yang tiba-tiba berada di belakangnya, menaruh tangannya di pundak Saito.

"Mereka bukan hanya barbar bersenjata, saito. Mereka punya banyak meriam terarah pada kita. Jika kau ingin hidup di medan perang, kau harus mengukur secara akurat mengukur kekuatan mereka dan milikmu. Mungkin juga ada penyihir di sisi mereka."

Griffin Wardes, yang tengah duduk di depan dek, juga ketakutan oleh para pembajak dan menraung. Kepalanya lalu ditutupi dengan asap biru-putih, dan ia jatuh tertidur di dek.

"Sebuah sihir penidur...Jadi mereka memang ada penyihir."

Dengan sekali perintah, para pembajak mendarat di kapal mereka. Salah satu dari mereka berpakaian menonjol. Dia memakai kemeja yang terlihat dulunya putih, namun terkotori menjadi hitam dari keringat dan pelumas. Semua bisa melihat otot dadanya yang kuat dan terbakar kehitaman di celah-celah kemeja. Secarik kain menutpi matanya. Sepertinya dia pemimpin para pembajak.

"Dimana sang kapten?" Dia berkata dengan nada kasar, dan melihat sekelilingnya.

"Aku." Sang kapten, gemetaran namun tetap mencoba tenang, mengangkat tangan. Sang pemimpin berjalan menuju dia dengan langkah-langkah panjang, mengeluarkan sabernya dan menempelkannya di wajah sang kapten."Apa nama kapal ini dan apa isinya?"

"Maria Galante Tristainia. Isinya belerang."

Sebuah kelegaan datang dari para pembajak. Sang pemimpin menyeringai, mengambil topi sang kapten dan menaruhnya di kepalanya.

"Aku membeli semua yang ada di kapal ini lalu...harganya adalah nyawa kalian!"

Sang kapten menggelengkan kepalanya karena malu. Lalu, sang pemimpin menyadari Louise dan Wardes berdiri di dek.

"Oho, kita punya tamu ningrat!" Sang pemimpin menghampiri Louise dan mengangkat dagunya dengan tangannya."Kita ada si cantik disini. Apa kau suka menjadi pencuci piring kami?"

Para pria tertawa keras-keras. Louise menampar tangannya, dan menatapnya. Dia sudah hendak meledak mengeluarkan api."Tinggalkan aku, kau rendahan!"

"Oh, dai memanggil kita rendahan! Aku sangat takut sekarang!" pria tersebut tertawa keras.

Saito ingin mengeluarkan pedangnya. tapi Wardes menghentikannya, berbisik,"Hey, familiar. sepertinya kau tak bisa menenangkan diri."

"Ta-tapi...Louise..."

"Apa artinya membuat keributan sekarang? Panah dan meriam mereka akan membuat Louise, kau dan kita semua jadi keju Swiss."

Saito terguncang.

"Tak pedulikah kau tentang keselamatan Louise sedikitpun?"

Saito semakin tenggelam dalam keputusasaan dan rasa ketakbergunaan. Aku tak berguna. Aku tak bisa menyaingi orang ini. Louise...lebih baik pergi kawin dengan orang ini. Pikirnya.

"Baiklah anak-anak. Bawa mereka semua pergi. Kita bisa dapatkan segunung ransum untuk ini!"




Bab Tujuh : Pangeran dari Negeri yang Sekarat

Saito tertangkap dan dipenjara oleh para pembajak. Sepertinya kru Maria Galante membantu pengambilalihan kapal. Karena pedang saito dan tongakt Wardes serta Louise diambil, tangan dan kaki mereka tak diikat. Tanpa tongkat mereka, penyihir, seperti juga Saito yang tak bersenjata, tak berbahaya. Meski hal yang sama tak bisa disematkan pada Louise.

Di sana, terlihat galon anggur, karung gandum dan serbuk mesiu dilempar tak beraturan dimana-mana. bola meriam nan berat menumpuk di pojok ruangan. Wardes mengamati isi kapal dengan penuh ketertarikan. Saito duduk di tengah sel, berkerut karena nyeri lengannya yang terluka. Louise memandanginya dengan ekspresi khawatir setelah melihat keadaan Saito yang seperti itu.

"...Apa? Seperti yang kupikirkan, luka itu sakit."

"Bukan apa-apa."Saito memutusnya cepat.

"Ia bukan tak apa-apa - tunjukkan padaku!" Louise dengan paksa mencengkram lengan Saito dan membuka lengan bajunya.

"Kya"

Keadaannya parah. Mantra petir si Topeng memberi luka parah yang membekas dari bahu sampai pergelangan di tangan kirinya. Terlebih lagi keadaannya makin parah. Bahunya tampak berkonvulsi.

"Apakah ini tak terbakar parah?! Apa aku harus tenang sekarang?!" teriak Louise.

"Siapapun! Siapapun, datanglah!"

Para penjaga bangkit.

"eh?"

"Air! Apa ada penyihir? Kita perlu penyihir air! Ada yang terluka! Dia perlu dirawat!"

"Tiada yang seperti itu."

"Bohong! Tidak mungkin!"

Wrdes yang terperangah, melihat Louise terpana. Saito mencengkram bahu Louise.

"Patuh sajalah. Kau tahanan disini."

"Tidak! Aku takkan, kau terluka!"

"Hentikan itu!" teriak Saito. Louise mundur karena sikapnya yang mengancam, dan matanya mulai berkaca-kaca. Namun, ditelannya ludah dan dicoba ditahannya airmata yang hendak jatuh.

"Ja-jangan menangis."

"Aku tak menangis. Tiada tuan yang menangis didepan familiarnya!"

Saito membuang muka.

"Oh."

"Aku takkan pernah menangis dihadapanmu."

Louise berjalan ke sisi tembok lainnya dan duduk sambil membuang muka, badannya gemetar. Saito menuju Wardes dan menepuk pundaknya.

"Perhaikanlah dia"

"Mengapa?"

"Bukankah kau tunangan Louise?"

Wardes mengangguk dan menuju Louise, lalu memeluk bahunya dari belakang, membuatnya nyaman. Saito rebah ke lantai, menghindarkan pandangannya dari Wardes dan Louise. Nyeri lengannya terus memarah. Salahnya sendiri menghentikan Louise yang hendak menolongnya.

Hukuman yang pantas untuk makhluk yang tak berharga seperti diriku.

"Hukumanku...tak begitu menyakitkan. Uwaaa-"

Gumamannya diputus terbukanya pintu oleh seorang gemuk yang membawa semangkuk sup masuk.

"Nasi."

Saat Saito, yang berada dekat pintu, mencoba mengambilnya, pria tersebut tiba-tiba mengangkatnya.

"Hanya setelah kalian menjawab beberapa pertanyaan."

Louise, yang matanya terlihat sembab. bangkit.

"tanyakanlah."

"Apa urusan kalian di Albion?"

"Jalan-jalan." Louise mengatakannya dengan tegas sambil berkacak pinggang.

"Ningrat Tristain, mengapa kalian bepergian ke Albion? Mengapa kalian cucimata di tempat seperti itu?"

"Aku tak harus mengatakan itu padamu."

"Masih berpura-pura tegar, meski ketakutan dan menangis?'

Louise membuang muka bersamaan dengan tertawanya si pembajak. Dia mencengkram sebuah piring dengan sup dan air untuk dilemparkan padanya, tapi...

Saito mengambilnya dari Louise.

"Hey!"

"Aku tak bisa makan sup yang dibuat orang-orang seperti ini!"

Louise membuang muka lagi.

"Tak sehat bila perut terus kosong."

Saat Wardes juga bilang begitu, Louise mengambil sepiring sup dengan bersungut-sungut. Tiga orang makan sup yang sama dari satu piring, meski dalam keadaan biasa ini takkan pernah terjadi Wardes bersandar ke dinding dengan ekspresi kelelahan di wajahnya. Louise merobek lengan baju kemejanya dan membasahinya dengan air, mencoba mendiginkan luka Saito dengan itu.

"Tidak apa-apa."

"Ini bukan tidak apa-apa!" Louise menatap tajam pada Saito dengan mata sembabnya."Karena kau familiarku, kau harus mendengarkan apa yang kukatakan padamu!"

Saito membuang muka. Louise, yang merawat lengannya dengan telaten, menatapnya.

"Ada apa?"

"Kau punya tugas yang lebih penting untuk diperhatikan! Jelas?!"

Saito tetap membuang muka, sebelum menyadari keberadaan galon dengan serbuk mesiu.

"Kita bisa kabur dengan itu."

"Eh?"

Louise dengan curiga mengikuti pandangan Saito. Saito membuka galon dan mengisi piring dengan serbuk mesiu.

Wardes bergumam kecapean.

"Dan kemana kau hendak kabur? Hanya kehampaan yang melingkupi kita."

Saito duduk lagi dengan sebuah gedebug.

"...tapi, duduk seperti itu dan tak berbuat apa-apa..."

Pada saat itu, pintu terbuka lagi. Kali ini, seorang pembajak yang kurus datang. Si pembajak memandangi mereka dengan pandangan menusuk dan bertanya."Selamat sore, apa kalian para aristokrat bepergian ke Albion?"

Louise tak menjawab.

"Oi, oi, dari diamnya kalian, sepertinya aku benar. Meski kami tak terlihat hormat pada para ningrat, adalah berkat mereka urusan kami lancar."

"Tapi, bukankah ini kapal perang pemberontak?"

"Tidak-tidak, meski kami dipekerjakan, kami terlibat dengan kedua belah pihak. Kami berhubungan dengan keduanya. Jadi bagaimana? Apa kalian ningrat? Jika ya, maka kalian akan dibebaskan di pelabuhan terdekat."

Saito merasa lega. Louise adalah seorang aristokrat, sehingga semuanya bisa diselesaikan damai. Bahkan, mereka akan dibawa ke pelabuhan terdekat. Namun Louise tak mengangguk setuju dan malah tetap menetap pada dahi sang pembajak.

"Berani-beraninya kau bekerjasama dengan para pemberontak busuk itu! Jangan meremehkan ningrat Albion. Aku sendiri berasal dari satu keluarga ningrat. Albion tetaplah suatu kerajaan, sehingga keluarga kerajaan tetaplah penguasa sah di Albion. Karena aku seorang aristokrat yang datang dei Tristain, aku, dengan kata lain, adalah seorang duta. Karenanya, aku meminta perlakuan seorang duta darimu."

Mulut saito menganga dan berceletuk."Apa kau tolol?"

"Siapa kau bilang tolol? Yang tolol adalah kau! Mencoba beraksi saat tengah terluka parah!" Louise dengan marahnya menoleh pada Saito dan berteriak.

"Tapi! Kau seharusnya memilih waktu dan tempat untuk keterusteranganmu dengan lebih baik!"

"Tutup mulutmu! Kau familiarku dan seharusnya mendengarkan omonganku! Apapunlah, tunjukkan lenganmu! Hei!"

Saito yang terkejut menarik lengannya sementara Louise mencoba menariknya. Si pembajak tertawa setelah melihat kejadian ini.

"Jujur saja, kalian seharusnya menghentikan ini!"

"Kau salah, aku tak bisa biarkan kau terluka dan tak peduli." Louise terus membujuknya.

"Eh?" kata saito dengan nada terkejut.

"Itu karena kau familiarku...i-itu alasannya..."

"Aku akan pergi dan melapor pada si Bos."

Si Pembajak tetap tertawa. Saito begitu terkejutnya sehingga tak mampu menjawab Louise dengan benar.

"Lengan, tunjukkan."

Jangan bertingkah begini. Bukankah ada banyak hal lain yang harus diperhatikan? seperti situasi kita sekarang."

Louise berkata tegas"Aku takkan membiarkan hal-hal itu meruntuhkanku selama kita masih ada kemungkinan selamat sekecil apapun."

Louise berdiri tegak. Meski pikiran menikahi Wardes membuatnya geli di awal, ia sudah tak sekuat dulu.

"...Bagaimanapun juga, kau membohongi mereka."

"Jangan membual. Apa kau serius berpikir bahwa membohongi orang seperti mereka adalah hal buruk?"

Louise mendesah kelelahan. Wardes mendekat dan menepuk bahu Louise.

"Jangan berkata begitu Louise, kau masih tunanganku."

Louise membuang muka karena merasa kalah. Louise menunduk dengan wajah yang menunjukkan perasaan campur aduk.

Pintu terbuka lagi, pembajak kurus itu datang lagi.

"Sang bos memanggil."

--- Si pembajak melewati tangga sempit dan membawa ketiganya ke ruangan mewah yang dibangun di bagian atas dek.

Sang Bos...emm, pemimpin para pembajak.

Begitu pintu dibuka, dapat terlihat Meja makan mewah dan tiap pembajak duduk di pinggirnya, bermain-main dengan sangkar yang ditempeli kristal besar di atasmua. Sepertinya, dia seorang penyihir juga. Ruangan bos sangat berbeda dengan apa yang diharapkan dari seorang pembajak. Dia menatap tajam pada Louise yang memasuki ruangan. Si pembajak kurus yang membawanya menepuknya pelan dari belakang."Hei, kau, kau berdiri di hadapan Bos, jadi sambut dia baik-baik." Namun, Louise tetap berdiri disana dan menatap pada Bos yang tengah tersenyum padanya.

"Ah, aku suka wanita berkehendak kuat, kau bukanlah seorang anak-anak."

"Aku meminta perlakuan seorang duta,"

Louise tak memperhatikan kata-kata si Bos, mengulang permintaannya.

"Dan apa pesan yang kau coba berikan?" Kata si Bos, mengacuhkan perkataan Louise.

"Dan apa kau mengatakan Kerajaan?"

"Ya, aku mengatakannya."

"Apa kau pergi ke (Nanishi)? Mereka akan menghilang besok."

"Aku takkan bilang padamu."

Tapi si Bos bercakap pada Louise dengan suara gembira.

"Apa kau hendak mengkhianati para ningrat? Bahkan, bila kau penyihir hebat sekalipun, aku tak menjamin keselamatanmu meski denga bayaran mahal."

"Aku lebih baik mati."

Saito mencolek Louise, dan saat itu dia menyadari tubuhnya gemetaran. Dia takut. Tapi meski dia tengah ketakutan, dia tetap memandang tepat ke mata Bos.

Saito ingat pertarungannya dengan Guiche.

Aku sanga t takut waktu itu. Kupikir aku akan mati. Tapi aku tetap tak menundukkan kepalaku.. Kupikir Louise hari ini mirip denganku saat itu. Dia menghadapi lawan yang menakutkan namun mampu menahannya karena dia punya sesuatu yang penting di hatinya, seperti aku saja.

Louise ini benar-benar terlihat mengagumkan.

"Aku akan menanyaimu lagi. Apa kau hendak mengkhianati para ningrat?"

Louise menatap lurus kedepan. Dia menyilangkan tangannya dan membusungkan dadanya. Namun Saito menyelanya sebelum dia sempat membuka mulut.

"Dia sudah mengatakn jawabannya."

"Dan siapa kua?"

Si Bos memandangi Saito dengan pandangan yang menusuk. Mata yang tampak tengah melihat rahasai yang terdalam, Tapi Saito membalas tatapan itu dan melihat ikut memandang lurus pada si Bos, tepat seperti yang dilakukan Louise.

"Seorang familiar."

"Familiar?"

"Sepertinya begitu."

Si Bos mulai tertawa. Dia tertawa dengan kerasnya,

"Aku tahu ningrat Tristain aneh tapi tak samapi sebegininya. Oh, perutku, perutku sakit." kata bos saat dia bangkit dan tertawa. Saito dkk bingung dengan perubahan suasana yang tiba-tiba dan saling memandang satu sama lain.

"Oh, maafkan aku. Sebagai seorang ningrat, aku seharusnya memperkenalkan diriku juga."

Si Pembajak yang tengah tertawa tiba-tiba berdiri tegak. Ditanggalkannya rambut hitam gimbal dari kepalanya. Sepertinya itu wig. Dilepasnya juga penutup mata dan janggut palsunya. Di hadapan mereka kini berdiri seorang pemuda dengan rambut blonde.

"Aku adalah jenderal dari pasukan udara kerajaan Albion. Juga pemimpin dari kekuatan udara negeri kami. Meski, jujur saja, hanay kapal perang bernama "Elang" ini yang ada di kekuatan kami. Kekuatan yang tak bertenaga. Oh, bahkan orang dari jalanan pun bisa dengan mudah mengalahkannya."

Sang pemuda menunduk selama memperkenalkan diri.

"Aku adalah pangeran kerajaan Albion, Wales Tudor."

Mulut Louise menganga dan saito tak bisa melepaskan matanya dari kemunculan yang mengejutkan dari pangeran muda Albion. Wardes memandagi pangeran dengan penuh rasa ketertarikan.

Wales tersenyum dengan senyuman yang cemerlang dan mengambil kursi untuk Louise.

"Selamat datang di Albion, Duta. Sekarang, mari bicara soal pesanmu."

Namun, Louise masih terpaku. Dia hanya mematung disana, tak bisa bergerak.

"Mengapa aku harus menyamar jadi pembajak? Untuk menyembunyikan diriku? Tidak, para pemberontak kaya mengirimkan perbekalan yang banyak untuk menunjang pemberontakan, dan adalah taktik dasar dalam perang untuk memotong jalur perbekalan. Meski aku harus melakukannya dengan jalan yang kotor seperti berpakaian pembajak nan kotor."

Wales berbicara sambil tertawa-tawa.

"Tidak . adalah sangat tak sopan untuk memperlakukan seorang duta seperti itu. Tapi kau harus mengakui kau tak terlihat seperti seorang duta kerajaan. Dan aku tak pernah berpikir tentang dukungandari ningrat negara lain. Namun aku harus meminta maaf soal ini."

Bahkan setelah Wales selesai bicara, Mulut Louise masih buka tutup tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia tak siap secara mental untuk bertemu pangeran dengan tiba-tiba.

"Kami membuah sebuah surat rahasia dari paduka Putri Henrietta." kata Wardes sambil membungkuk hormat.

"Ohh, dari Paduka. Dan kau adalah?"

"Kapten Ksatria Griffin Tristain, Viscount Wardes."

Setelah itu, Wardes memperkenalkan Louise kepada Wales.

"Dan ini adalah duta yang dikirimkan Paduka dari keluarga Valliere beserta familiarnya, Yang Mulia."

"Benar sekali! Ningrat yang sangat terhormat. Dan aku hanya memiliki 10 penjagaku untuk menyambutmu, sambutan yang benar-benar tak pantas. Em, Kau masih menyimpan surat rahasianya?"

Louise dengan panik mengeluarkan surat Henrietta dari bajunya. Namun, dia berhenti sesaat sebelum memberikannya pada Wales. Setelah beberapa saat, keengganan yang membelenggunya terlepas dan dia berbicara.

"Ta-tapi..."

"Apa?"

"Punten, apa kau benar-benar seorang pangeran?" Wales tertawa

"Ya ampun, kau tak mempercayaiku bahkan ketika aku sudah menunjukkan wajah asliku. Aku adalah Wales. Dan aku benar-benar seorang pangeran. Akan kutunjukan buktinya." Wales berkata begitu setelah melihat ruby air yang bersinar di jari Louise. Tangan Louise dipegangnya dan cincin yang bersinar di jari itu dilepas. Sang pangeran membawanya mendekat pada cincin rubynya. Kedua cincin itu saling bereaksi satu-sama lain, dan bersinar dengan cahaya terang.

"Cincin ini berasal dari Keluarga kerajaan Albion, Rubi angin, sedangkan yang itu milik Henrietta dari keluarga kerajaan Tristain dan adalah rubi air. Benar kan?"

Louise mengangguk.

"Angin dan air membentuk sang pelangi. Pelangi yang terbentuk diantara keluarga-keluarga kerajaan."

"Anda benar, aku minta maaf atas kelancanganku."

Louise menyerahkan surat pada Wales dan membungkuk.

Setelah melihat surat dengan penuh cinta, Wales mencium tanda tangan lalu dengan hati-hati melepas segel. Kertas didalamnya dikeluarkan, dan Wales mulai membaca. Untuk beberapa waktu, dibacanya surat tersebut dengan ekspresi serius.

"Apakah sang putri menikah? Henrietta yang cantik itu. Sepupuku yang...tercinta."

Wardes membungkuk dalam diam, sambil tersenyum-senyum sendiri. Wales memndangi surat itu lagi dan tersenyum lagi ketika baris terakhir dibaca.

"Dimengerti. Putri memberitahuku bahwa dia ingin kalian mengembalikan surat itu. Lebih penting lagi, putri juga berharap aku mengembalikan sebuah surat dari dia. Sepertinya begitu."

Wajah Louise menyala karena rasa senang.

"Namun, ia tak ada di tanganku sekarang ini. Ia ada di benteng di Newcastle. Aku tak ingin membawa surat putri ke kapal pembajak ini." kata Wales sambil tertawa.

"Jadi, meski menyulitkan, mohon datanglah denganku ke Newcastle."




Pesta di Newcastle Sebelum Pertarungan Terakhir

Kapal perang Elang membawa Saito ke garis pantai Albion yang berantakan. Mereka telah bergerak selama tiga jam dan sudah dapat melihat tebing, sebuah benteng besar yang berdiri di ujungnya. wales menjelaskan pada Saito yang tengah berdiri di dek depan, bahwa itu adalah Benteng Newcastle. Namun, Sang Elang tak langsung menuju kota, tapi malah melayari pantai.

"Mengapa kita ke bawah?"

Wales menunjuk langit di belakang Benteng dimana sebuah kapal besar tengah melayang. Namun, mereka tak bisa melihat kapal ini yang bersmbunyi di sisi lain dari awan.

"Kapal perang pemberontak."

Ia hanya bisa dijelaskan sebagai kapal besar - panjangnya 2 kali sang elang dengan jumlah layar yang luar binasa, dan sepertinya ia tengah membidik pelabuhan Newcastle. Tanpa peringatan, ia melepas tembakan yang menyasar benteng. Bola meriam pertama menabrak tembok dan sebuah api kecil dapat terlihat. Getaran dari kenaan dapat dirasakan di dek Sang Elang. "kapal ini yang bernama "Royal Sovereign" dulu dimiliki angkatan udara negeri kami. lalu, saat pemberontak mengambil alih, mereka mengubah namanya jadi "Lexington". Ia dinamakan untuk mengenang medan dinama orang-orang itu merebut kemenangan pertama dari kami." Kata Wales sambil tersenyum.

"Kapal perang ini terus memblokade Newcastle dari udara. Ia menembak pada benteng sewaktu-waktu, bukan untuk merusak, tapi hanya untuk mengganggu."

Saito melihat menembus awan pada kapal perang itu. Ada banyak meriam di tiap sisinya, dan seekor naga dilukis di permukaan kapal.

"Ia memiliki 108 meriam dan benar-benar terliaht seperti naga bernapas api sewaktu-waktu. Seluruh pemberontakan dimulai dari kapal itu. Kami tak bisa mengimbanginya, jadi lebih baik berlayar melalui awan ini dan tetap tak terlihat mereka. Kita bisa mencapai Newcastle dari sisi lain, ada gerbang rahasia yang hanay diketahui kami."

---

Tiba-tiba kegelapan menyeruak saat kapal menuju bagian bawah benua, karena tanah menghalangi cahaya. Tambahan lagi, mereka masih dikelilingi awan. Mereka tak bisa melihat apa-apa. Wales menjelaskan pemberontak tak pernah bergerak ke bawah benua karena berbahaya bermanuver seperti itu. udara dingin, lembab dan menusuk menabrak pipi Saito.

"Untuk navigator angkatan udara kerajaan, adalah sangat mudah bernavigasi menggunakan peta topografikal, dengan sihir cahaya dan pengukuran."

Wales tertawa, sang ningrat tak tahu langit bukanlah orang pintar.

Mereka berlayar sebentar hingga mencapai tempat yang membuka dengan sebuah lubang hitam di depan. Diterangi sihir cahaya dari mast, ini benar-benar luar biasa, mereka bisa melihat lubang berdiameter 300 mail.

"Berhenti sekarang."


"Ok-Ok pak, Hentikan disini!" Perintah Wales diberikan pada kru yang tetap hidup dan ceria. Layar dicopot dan sang Elang mulai bergerak tepat di bawah lubang.

"Percepat perlahan."

"Ok-Ok pak, perlahan mempercepat!"

Sang Elang melayang perlahan memasuki lubang. Dibelakangnya ada Maria Galante dimana navigatior Sang Elang telah naik.

Wardes mengangguk,"Kalian benar-benar bukan pembajak udara, Paduka."

"Kami benar-benar pembajak udara, Viscount."

--- Cahaya dapat dilihat didalam lubang dan disana Sang Elang menuju.

Kapal perang itu telah sampai ke gerbang rahasia Newcastle. Dalam gua limestone itu diliputi moss putih. Banyak orang menunggu di quay. Tali dilemparkan pada para pelayar untuk mengikat Sang Elang dan akhirnya gangway kayu dipasangkan. Wales mengarahkan Louise dkk menyusuri gangway. Seorang penyihir tua dan tinggi menghampiri mereka.

"Ha ha, hasil militer yang bagus sekali kan, Paduka?"

Sang penyihir tua muncul tiba-tiba di depan Sang Elang.

"Bergembiralah Paris. Belereng, kita dapat belerang."

Saat Wales berteriak, disekelilingnya para prajurit yang bergembira berkumpul.

"Oooh! belerang! Ini adalah untuk kapal penjaga kita!" Sang penyihir tua mulai menangis begitu selesai berbicara.

'Aku melayani raja sebelumnya selama 60 tahun...Takkan ada hari-hari bahagia seperti itu lagi, Paduka. Setelah pemberontakan, semuanya menjadi muram...Bahkan dengan belerang sekaipun, kita takkan bisa..."

Wales tertawa sambil tersenyum.

"Bahkan jika kita kalah, kita akan tunjukkan para pemberontak keberanian dan kehormatan keluarga kerajaan."

"Sebuah kematian yang mulia. Tulangku yang menua bergetar karena senangnya. Dilaporkan para pemberontak akan menyerang benteng besok. Sekarang saatnya semua atau tidak sama sekali, Paduka."

"dengan napas terakhir kita, kita akan membuat prajurit mereka hina!"

Wales dan yang lainnya tertawa lepas dari dasar hati mereka. Louise menjadi khawatir setelah mendengar kata kalah. Dengan kata lain, mereka akan mati. Tidakkah orang-orang ini takut mati?

"dan siapa orang-orang ini?" seorang penyihir tua bernama Paris menanyai Wales setelah melihat Louise.

"Ini duta dari Tristain. Dia datang karena sebuah urusan penting terkait kerajaan."

Untuk sesaat, Paris terkejut apa yang dicari seorang duta dari kerajaan lain di reruntuhan ini? tapi tak lama kemudian senyum muncul lagi di wajahnya.

"Jadi, kau seorang duta. Paris Chamberlain siap melayanimu, nona. Baik sekali kau susah payah datang ke Albion. Meski tak terlalu besar, kami ada pesta kecil nanti malam. Dengan sangat - mohon datang."

Louise dan yang lainnya mengikuti Wales ke kamarnya. Kamar pangeran terletak dibelkang ruangan dapar dan terlihat agak biasa.

Sebuah tempat tidur, meja dan sepasang kursi kayu, juga lukisan di dinding yang menggambarkan sebuah adegan perang.

Sang pangeran duduk di kursi dan membuka lemari di mejanya, yang didalamnya ada kotak perhiasan kecil. Sang pangeran lalu melepas kalung dari lehernya.

Sebuah kunci mungil dimasukkan ke lubang kunci kotak kecil itu dan Wales membukanya. Potret Henrietta tersimpan disana.

Wales, yang menyadari Louise memandangi kotak, berbicara sambil tersipu.

"Kotak kuat."

Ada sebuah surat di dalamnya. Sepertinya dari putri juga, Wales mengambilnya dengan penuh kasih dan membacanya. Surat itu tampak lebih tua dari seharusnya karena berulangkali dibaca.

Setelah membacanya, Wales dengan lembut melipatnya dan menaruhnya kedalam sebuah amplop, lalu menyerahkannya pada Louise.

"Ini surat yang kuterima dari putri. Kini aku mengembalikannya."

"Terima kasih."

Louise menerima surat itu sambil membungkuk hormat.

"Sang Elang akan membawa kalian kembali ke Tristain besok, karena kami takkan menggunakannya dalam perang."

Louise memutuskan buka mulut setelah memandangi surat agak lama.

"Tapi, Yang mulia...Apa yang ada di pikiranmu saat kau mengatakan kekalahan yang mulia?"

Louise bertanya dengan agak enggan. Wales menjawabnya dengan lepas.

"Ya begitulah. Armadaku ada 300 sementara musuh ada 50.000. Tiada Kesempatan menang. Jadi setidaknya, biarkanlah kami mati dalam kemuliaan."

Louise tertunduk.

"Yang Mulia, apa kau juga mengatakan kau sendiri saat berbicara mengenai mati dalam pertempuran?"

"Tentu saja. Aku juga ikut mati."

Saito yang menonton percakapan dari sisi, mendesah. Pangeran yang tak terlalu khawatir mengenai kematiannya besok membuat semuanya membingungkan. Sepertinya ia bukan kenyataan tapi adegan dari drama.

Bahu Louise tertunduk saat dia membungkuk hormat pada Wales. Tentu saja, lebih banyak lagi yang ingin dikatakannya.

"Yang Mulia...Maafkan kelancanganku, tapi ada beberapa hal lagi yang ingin kuutarakan."

"Apa yang ingin kau utararakan?"

"Apa isi suratnya?"

"Louise."

Saito protes. Tentu isi surat tersebut adalah hal pribadi. Tapi Louise, setelah menanyai Wales, memandang ke atas penuh tekad.

"Saat Putri-sama memberiku tugas ini, dia tampak seperti mengkhawatirkan cintanya. Dan di dalam kotak itu ada potret putri-sama, dan melihat wajah sedihmu saat kau mencium dan membaca surat...apa kau dan putri-sama..."

Wales tersenyum. Dia telah menebak apa yang ingin dikatakan Louise.

"Apa kau mau bilang sepupuku Henrietta dan aku saling mencintai?"

Louise mengangguk

"Sepertinya begitu. Maafkan atas kelancangan yang mengejutkan ini. Jika ya, maka isi surat ini adalah..."

Setelah menaruh tangannya di dahi dan sesaat bersikap bagai tengah mengkhawatirkan apa dia harus atau harus tidak mengatakan, Wales berbicara.

"Sebuah surat cinta. Tepat seperti tebakanmu. Sangat tolol memang jika surat cinta ini diserahkan pada Keluarga kerajaan Germania sebagaimana disebutkan Henrietta dalam suratnya, ia mungkin jadi ancaman besar. Dalam suratnya ia bersumpah untuk cinta abadi untukku atas nama Brimir sang pendiri. Ini bagai sumpah saat menikah, cintah yang disumpah di atas nama Sang Pendiri. Jika surat ini ditemukan, dia akan dituduh melakukan pelanggaran Bigami. Raja Germania pasti memur=tus pertunangan dengan putri yang melanggar kesepakatan. Lalu, akan tiada aliansi. Tristain mungkin diacuhkan oleh keluarga ningrat negara lain."

"Jadi putri-sama dan Yang Mulia saling mencintai satu sama lain?"

"Itu cerita lama."

Louise berbicara pada Wales dengan nada bergetar."Yang Mulia, Kembalilah! Kembalilah ke Tristain!"

Wardes langsung menempatkan tangannya di bahu Lousie. Namun, ini tak menghentikan Louise.

"Kumohon! Mohon kembalilah ke Tristain dengan kami!"

"Itu tak bisa." Kata Wales sambil tertawa.

"Yang Mulia, aku tak setuju. Putri-sama pasti memikirkan hal yang sama! Bukankah itu ada dalam suratnya? Aku telah mengenal putri-sama sejak kecil, aku tahu pasti bagaimana cara pikirnya. Putri-sama tak meninggalkan orang yang dicintainya! Tang Mulia, anda tak mengatakannya, tapi aku yakin putri-sama juga mengatakan padamu untuk melarikan diri!"

Wales menggelengkan kepalanya,"Tiada kalimat seperti itu."

"Yang Mulia!" Louise terus menekan Wales.

"Aku berasal dari Keluarga Kerajaan. Aku tak berbohong. Tiada kalimat yang menyuruhku melarikan diri dalam surat, aku bersumpah demi kehormatanku."

Wales berkata bagaikan menanggung sakit. Sepertinya perkataan Louise mengena.

"Henrietta adalah seorang putri. Dia harus memprioritaskan negarinya dibandingkan aku."

Louise mengerti apa maksudnya. Meski Wales mencintai Henrietta, itu takkan pernah didukung ningrat lainnya dalam keadaan begini.

Wales menepuk bahu Louise.

"Kau gadis yang jujur, Vallière. Kau memiliki mata yang jujur, cerah dan penyayang."

Louise tertunduk.

"Tapi biarkan aku memberimu beberapa saran. Tidak terlalu baik untuk seorang duta jujur seperti itu."

Wales tersenyum dengan sebuah senyum yang menarik.

"Namun, kau seorang duta yang sempurna bagi negara yang remuk seperti kami, karena pemerintahan yang akan dihancurkan besok lebih jujur dari siapapun, karena dia tak mempunyai apalagi untuk dibelanya selain kehormatannya."

Setelahnya, ia meraih sesuatu dari sakunya. Dari bentuk dan jarumnya yang bergerak, sepertinya sebuah jam.

"Ahhaha, waktunya pesta kecil kita. Karena kau tamu terakhir kerajaan kami, aku ingin kau menghadirinya juga."

Saito dan Louise keluar ruangan. Wardes tinggal dan membungkuk pada Wales.

"Oh, apa kau masih ada urusan, Viscount?"

"Ada satu permintaan yang ingin kuajukan, Tuan."

"Sampaikanlah."

Wardes berbisik ke telinga Wales, yang tersenyum.

"Ah, permintaan yang penuh kasih, itu akan jadi kesenanganku."

Pesta diadakan di aula Benteng, Raja Albion, James I, duduk di tahta, dan menonton para ningrat dan tuan tanah yang berkumpul dengan mata menyipit.

Meski hari berikutnya semua bakal mati, ia masih jadi pesta yang besar dan meja diisi berbagai macam hidangan.

Saito dkk tengah menonton pesta warna-warni ini sambil berdiri di sudut aula.

"Mereka mengesampingkan seluruh masalah besok dan mencoba menikmati saat ini."

Wardes mengangguk dalam merespon perkataan Saito.

"Ya, mereka bersenang-senang."

Saat Pangeran Wales menunjukkan diri, ada desahan penuh gairah diantara para wanita. Sepertinya dia tak hanya terkenal sebagai seorang pangeran tapi juga sebagai seorang yang tampan. Saat dia menghampiri tahta, orang-orang mulai berbisik.

James I mencoba berdiri tega dan menyambutnya, tapi karena usia tuanya dia terhuung-huyung dan hampir jatuh.

Suara tawa dapat didengar dari aula.

"Paduka, terlalu dini untuk jatuh!"

"Benar! Simpan untuk besok!"

James I tak merasa dihina kata-kata tersebut, dan tersenyum.

"Jangan khawatir, ini hanya kakiku yang kesemutan karena duduk terlalu lama."

Wales mendekat dan mendukung tubuh sang Raja dengan tubuhnya, Ada beberapa bisik-bisik lagi.

"Kalian. Akan kukatakan pada kalian semua, para ningrat yang berani dan setia, bahwa besok, 'Reconquista' berencana menyerang Newcastle kita dengan kekuatan penuh. Kalian mengikuti dan bertarung dengan berani untuk raja tua yang tak berdaya ini, namun besok takkan jadi pertempuran. Ia malah akan jadi pembantaian tak berimbang. Ayo kita tahan itu dan tunjukkan keberanian kita sekali lagi untuk terakhir kalinya."

Sang raja batuk keras, lalu melanjutkan ceramahnya.

"Tapi pasti akan sangat berat untuk meminta kalian semua untuk mati. Karenanya, besok pagi, kapal perang Elang akan membawa seluruh anak-anak dan wanita dan mereka yang memilih untuk pergi ke tempat yang lebih aman yang jauh dari benua runtuh ini."

Namun, tiada yang menjawab. Seorang ningrat dengan keras berteriak pada raja.

"Paduka! Kami menunggu perintah itu! Seluruh Tentara maju! Seluruh Tentara Maju! Seluruh Tentara Maju! Karena pendengaran kami begitu buruk malam ini, aku ragu kami bisa mendengar perintah lainnya!"

Semuanya mengangguk.

'Ya! Apa yang bakal dikatakan yang lain bila kami melarikan diri?"

"Sudah terlalu terlambat untuk mundur, paduka."

"Tak apa-apa! Kami akan terus melayani raja seperti yang kami lakukan tahun-tahuns ebelumnya! malam ini adalah malam yang baik! Sang Pendiri telah memberkati kami dengan bulan nan indah dan malam yang hangat! Ayo nikmati minum dan dansa malam ini."

"Duta! Coba anggur ini! Katakan pada akmi, anggur negara manakah yang lebih baik!@"

"Ini! Coba ini! Ini adalah ayam spesial Albion dengan madu, yang pasti akan membuatmu sehat dan kuat!"

Albion tetap menikmati hidup! Bahkan di akhir.

Saito menjadi sedih. Mereka yang bersikap menikmati di tepi kematian terlihat sedih daripada berani. Lousie sepertinya lebih merasakaknnya. Dia tak bsia menahan suasananya, menggelengkan kepanya dan lari dari aula.

Untuk sesaat Saito ingin mengejarnya, tapi lalu meminta Wardes yang pergi.

Wardes mengangguk dan mengikutinya. Saito berjongkok di lantai dan mendesah.

Wales melihat perbuatan Saito ini dan mendatanginya dari tengah aula.

"Lelaki ini adalah familiar Nona Vallière. Namun, adalah sangat tak biasa seorang manusia menjadi familiar. Tristain benar-benar sebuah negara yang tak biasa."

wales tertawa saat emngatakannya.

"Ini juga tak biasa di Tristain." kata Saito, lelah.

"Merasa terpuruk?"

Dengan tegang, Wales memandangi wajah Saito. Dia masih merasa sakit di tangannya dan meliaht orang-orang bersiap untuk kematian mereka juga meremukkan hatnya. Saito bangkit dan menanyai Wales. "Maafkan untuk kelancangan ini...Tapi tidakkah kau takut?"

"Takut?" Wales meandang hampa pada Saito.

"Apa kau tak takut mati?"

Wales tertawa setelah mendengar kata-kata saito.

"Kau mengkhawatirkan kami! kami! Kau lelaki yang baik!"

"Tidak, hanya saja itu menakutkan bagiku. Aku tak bisa tertawa sebagaimana kau jika aku tahu bakal mati besok."

"Aku takut, tiada yang tak takut mati. Tak peduli kau ningrat maupun jelata."

"Lalu mengapa?"

"Itu karena kupunya sesuatu untuk kupertahankan. Sesuatu yang membuatku lupa dinginnya liang kubur."

"Apa yang kau pertahankan? Kehormatan? Nama? Itu adalah hal-hal bodoh yang tak pantas dihargai kematian." kata Saito dengan suara lebih keras.

Wales menjawab dengan mata yang menerawang.

"Faksi aristrokat 'Reconquista' adalah musuh kami yang mencoba menyatukan Halkeginia. Ia bergantung pada 'Tanah Suci' impiannya. Adalah baik mereka memiliki impian begitu, tapi tak sharusnya ia diusung dengan darah dan kekerasan. Seluruh negara bakal hancur."

"Namun, apakah kesempatan menang sudah habis? Apa artinya mati disini? Mungkin kau bisa mengalahkan mereka lain kali..."

"Tidak, kami setidaknya harus menunjukkan seberkas keberanian dan kehormatan kepada ningrat lain bahkan meski mustahil untuk menang, kami tunjukkan bahwa keluarga kerajaan Halkeginia bukanlah musuh yang lemah. Meski mereka tampak takkan membuang ambisi 'Penyatuan' dan 'Pemulihan Tanah Suci' dengan segera."

"Mengapa?" tanya Saito.

Saito yang tumbuh dalam Jepang yang modern tak bisa mengerti mengapa seseorang menunjukkan keberanian dengan cara begini.

Wales mengatakan dengan tegas "Mengapa? Gampang saja, ini adalah tugas kami. Tugas bagi mereka yang terlahir dalam keluarga kerajaan. Tugas yang dititahkan pada keluarga kerajaan untuk mempertahankan kerajaan hingga titik penghabisan."

Saito tak mengerti. Namun, karena Wales memiliki orang yang dicintainya, yang juga mencintai Wales, bukankah selamat demi orang itu juga sebuah tugas? Dia pikir itu yang tepat.

"Putri Tristain mencintaimu. Apa kau lupa suratnya?"

Setelah perkataan Saito, Wales tersenyum saat mengingatnya. "Karena cinta, terkadang perlu untuk berpura-pura tak tahu. Karena cinta, terkadang perlu untuk melepasnya. Ia hanya akan memberikan yang lain alasan untuk menyerang Tristain."

"Tapi,Tapi." Saito terus menekan. Keputusan Wales takkan berubah. Wales mencengkram bahu Saito dan menatap lurus pada matanya. "Karena sudah jelas, jangan bilang ini pada Henrietta. Tak perlu mengkhawatirkan wajah cantiknya dengan kekhawatiran yang tak perlu. Dia bagai sebuah bunga cantik. Bukankah kau juga berpikir begitu?"

Saito mengangguk. Tentu saja, dia adalah putri yang cantik. Aku juga tak ingin melihat wajahnya sedih atau khawatir.

Tapi, Wales takkan mengubah keputusannya karena itu. Itu yang dikatakan mata Wales. "Bilang saja bahwa Wales bertarung dan mati dengan gagah berani. Itu sudah cukup."

Wales kembali ke pusat aula setelah mengatakan itu.

Saito meninggalkan pesta, tapi karena dia merasa hilang, dia menanyai pelayan dimana kamarnya. Setelah diberitahu, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Saito melihat Wardes saat dia menoleh.

"Aku harus mengatakan sesuatu padamu." kata Wardes dengan suara mantap.

"Dan apa itu?"

"Aku dan Louise akan menikah disini besok."

Tubuh Saito membeku. Dia tak bisa mengerti arti kalimat itu untuk sesaat.

"Sa-saat ini? Mengapa?"

"Karena kami ingin meminta Putra Mahkot Wales yang berani untuk bertindak sebagai penghulu perkawinan kami. Sang Putra Mahkota denagn senang hati setuju. Kami akan menyelenggarakan upacaranya sebelum pertempuran pemutus."

Saito terdiam, lalu mengangguk.

"Apa kau bakal datang?" tanya Wardes. Saito menggelengkan kepalanya.

"Maka kau bisa pergi dengan sebuah kapal besok. Aku dan Louise bakal balik dengan griffonku."

"Tapi bukankah jaraknya terlalu jauh untuk ini?" Saito yang kebingungan, menanyakan hal yang temeh.

"Hanya jika kau terbang cepat tanpa istirahat." Jawab Wardes.

"Baiklah, aku akan pergi sekarang."

"Ba-Baiklah."

Bahu Saito tertunduk. Meski dia tahu ini bakal datang, cepat atau lambat, dia masih ditempeli rasa terasingkan ini.

Saito tengah berjalan melalui jalur yang hitam pekat dengan sebatang lilin. Rembulan menyinari melalui jendela yang terbuka di jalur itu. Ada seorang gadis yang berjalan sendirian ditengah cahaya rembulan. Dia punya rambut pink-blonde...Air mata bagai mutiara tengah mengaliri pipi putihnya. Saito sesaat menonton dengan diam, mengagumi wajah yang cantik namun sedih.

Louise menoleh dan menyadri Saito, yang tengah berdiri dengan sebatnag lilin disana. Matanya basah meski dia mengelapnya. Wajahnya menjadi sedih sekali lagi. Saito Saito berjalan menuju dia, dia bersandar pada tubuh Saito, seakan kehilangan seluruh tenaganya.

"Kau menangis, mengapa..."

Louise tak menjawab, malah menekan wajahnya pada dada Saito.

Saito memeluknya erat.

Awalnya, Saito bingung dengan Louise yang berpegangan padanya. Dia tak biasa dengan hal-hal seperti ini. Namun, dia menangis bagai seorang gadis, dan sepertinya Louise memegangnya dengan kasih. Dia tengah terluka dan Saito merasa kasihan padanya. Namun, apa artinya ini? Mungkin Louise berpegangan padaku karena aku kebetulan ada disini. Seperti Gadis yang memeluk boneka binatangnya. Adalah Wardes dan bukan aku yang benar-benar penting baginya.

Louise bicara sambil menangis."Tidak...Mereka...Mengapa, Mengapa mereka memilih untuk mati? Meski disana ada Putri...Meski wales mencintainya...Mengapa Putra Mahkota Wales memilih kematian?"

"Menurutnya, untuk mempertahankan seseorang yang penting baginya."

"Apa yang lebih penting di dunia ini daripada orang yang kau cintai?"

"Aku juga tak mengerti cara berpikir pangeran."

"Aku akan berbicara dengannya! Aku akan berbicara dengannya lagi!"

"Jangan."

"Mengapa?"

"Karena, kau disini untuk mengantarkan surat putri-sama. Misimu hanyalah ini."

Louise bergumam sementara air mata terus mengaliri pipinya."...Aku ingin balik cepat. Aku ingin kembali ke Tristain. Aku tak suka negeri ini. Orang-orang tolol dan pangeran tak berakal yang meninggalkan segalanya."

Meski terkadang Louise bersikap tangguh, dia tetap seorang gadis. Louise tak bisa mengerti dunia Wales. Tapi Saito mengerti itu karena dia juga berpikir dengan cara yang sama.

Louisem yang sepertinya teringat sesuatu, meraih sesuatu dari kantongnya.

"Berikan tangan kirimu," kata Louise.

"Apa??"

"Lakukan saja."

Saito mengulurkan tangan kirinya seperti yang diminta. Adalah kaleng yang dikeluarkan Louise. Dioleskan jarinya kedalamnya sehingga obat lengket yang berbau aneh terambil.

"Aku mendapatkannya dari seseorang di benteng tadi. Obat sihir air ini sangat mangkus terhadap luka bakar. Aku hanya bisa mendapatkan obat ini, tapi seharusnya semua baik-baik saja." Louise bergumam sambil mengolesi lengan Saito dengannya.

Tak pernah kupikir dia bisa sangat lembut. Tapi aku harus tidak menjadi tergantung pada kelembutan ini sering-sering, karena sebentar lagi ia akan hilang.

Saito menggelengkan kepalanya dan mendorong Louise menjauh. Louise menatap wajahnya,terkejut. Wajah Saito mengekspresikan sakit. Setelah melihat ekspresi semacam itu, Louise menggigit bibirnya. "...Ada apa dengan wajahmu? Apa sesuatu terjadi?"

"Bukan apa-apa."

"Aku mengerti. Begitu kita kembali, aku akan mencari jalan untuk mengirimmu kembali ke duniamu."

Louise berkata dengan enggan. Sebenarnya, dia slah tangkap. Namun, Saito pikir lebih baik begini.

"...Tak apa-apa bahkan jika kau tak membantu."

"Apa?"

"Maksudku kau sebentar lagi menikah, jadi kau seharusnya tak bersusah-payah mencari jalan untuk mengirimku kembali."

"Apa? Jangan bilang kau mengkhawatirkan itu? Kau masih memikirkan kata-kataku di hotel La Rochelle? Memang, aku mengatakan 'menikah' saat itu...tapi aku tak serius soal ini."

Louise membuang muka. "Tak mungkin menikah saat ini. Aku belum menjadi seorang penyihir hebat..Dan aku juga belum menemukan cara untuk mengirimmu kembali..."

Saito berpikir. Memang, Louise mungkin tak menikah karena dia merasa bertanggung jawab padaku. Dan karena itu dia takkan bisa menikah hingga aku menemukan jalan pulang. Saito pikir ini berakibat buruk bagi Louise. Aku tak berpikir ini adil untuk Louise yang lembut, cantik, cerah dan indah ini.

"Tak apa-apa. Aku akan mencari jalan pulang sendiri, jadi kau seharusnya menikah."

"Betapa egois yang kau katakan itu, kau familiarku! Jaga aku hingga kita bisa menemukan jalan untuk mengirimmu kembali!" kata Louise sambil menatap keras Saito.

"Aku tak bisa menjagamu." Bahu Saito tertunduk, terasing, saat dia mengatakan itu.

"Ingatlah apa yang terjadi." Halangan di perjalanan muncul di kepala saito. Saat mereka mulai menembakkan panah, dia diselamatkan Wardes. Dia kalah saat berduel dengan Wardes. Saat mereka diserang si topeng putih, dia tak bisa menyelamatkan Lousie. Adalah Wardes yang menyelamatkanmu. Aku tak bisa melakukan apapun, hanya berdiri dan menonton.

"Aku bukan seorang penyihir kuat seperti sang Viscount. Aku hanya orang biasa, bahkan jika mereka mengatakan aku Gandalfr sang familiar legendaris. Aku tak tahu caranya bertarung. Yang bisa kulakukan hanyalah mengayunkan sebuah pedang kemana saja. Aku tak bisa menjagamu."

Telapak Louise menghantam pipi Saito.

"Pengecut!"

Saito berbicara tan mengubah raut mukanya."Mari berpisah disini Louise. Kau kembali dengan Viscount diatas griffon sementara aku kembali dengan Sang Elang. Saat aku kembali, aku akan mencari jalan untuk kembali ke duniaku. Dalam hal ini, aku sudah berutang padamu."

"Apa kau serius?"

"Ya."

"Tolol!" teriak Louise. Air mata mulai mengalir lagi dari matanya. Tapi, Saito masih tak menjawab. Dia hanya menonton Louise gemetaran sendiri.

"Aku membencimu! Aku membencimu!"

Saito bergumam sambil menutup matanya."Aku tahu."

Louise berbalik, dan kakinya cepat-cepat berlari melewati jalur gelap itu. Saito menepuk pipinya. Tempat dimana ia terpukul masih nyeri dan membuatnya sangat sedih.

"Selamat tinggal Louise."kata Saito perlahan. Meski dia berpikir dia takkan menangis, air matanya terus menetes dan tak berhenti.

"Selamat tinggal, tuanku tercinta nan lembut."




Pertarungan Terakhir

Keesokan paginya...

Didalam pelabuhan Newcastlr didalam gua, Saito berbaris untuk menaiki Sang Elang, dikelilingi orang yang terburu-buru dan tak bisa pergi dengan Marie Galante.

"Karena cinta, terkadang perlu untuk melepasnya..." Derflinger bergumam kecil. Dia tergantung dengan sebuah benang pada punggung Saito. Tak tertahan lagi, selama hari-hari seperti ini, tiada yang bisa diajak bicara.

"Berhentilah mengatakannya..."

"Mengapa?"

"Aku merasa sakit saat kau mengatakannya."

"Maksudmu, karena cinta, terkadang perlu untuk melepasnya,...itu?"

"Mengapa kau tak jua berhenti mengatakannya?"

"Aku mengerti, aku takkan mengatakannya lagi, jika itu yang diminta rekan, namun, kita harus berdiskusi soal masa depan kita. Apa kau sudah memutuskan mau kemana, karena kita punya banyak waktu senggang sekarang?" tanya Derflinger, seolah dia tak tahu.

"Mungkin ke Arukattsu."

"Dan disana kita akan mencari cara untuk kembali ke dunia lama rekan?"

"Mengapa kau ikut mencari? Aku satu-satunya alien disini, kan? kata Saito.

Sebuah Jalan untuk kembali pulang? Louise berkata dia akan membantu mencarinya, tapi dia seharusnya tak bergantung padanya. Meski meninggalkan kota Louise adalah sesuatu yang sulit.

"Kau jadi tentara bayaran saja."

"Bayaran?"

"Ya, dengan sebuah pedang di bahumu, mencari sebuah pertempuran di satu hari, lalu berkeliaran ke negara dan medan lain esoknya. Pemasukan kurang, tapi setidaknya pelampiasan puas, kan?"

Saito bergumam."Dan seorang kawan yang buruk."

"Apa? tanpa aku sebagai rekanmu, seorang biasa sepertimu akan ditinggalkan seketika."

"Bahkan meski kekuatan terhebatmu adalah mengarat."

"Kasar sekali. Tapi aku memaafkanmu, karena kau rekanku. Ngomong-ngomong, rekan, aku teringat sesuatu kemarin-kemarin..."

"Apa?"

"Rekan, kau dipanggil Gandálfr?"

"Ah, itu sih karena itu nama si familiar legendaris. Saat aku pertama kali mendengarnya, aku terkejut senang. aku-"

"Tunggu, tunggu, rekanku. Aku rasa aku ingat nama itu..."

"Benarkah?"

"Tidak, ia ingatan yang sudah teramat lapuk...Dulu, dulu sekali, aku dapt ia di sudut kepalaku..."

Derflinger terus menggumamkan "Hm", "aha", dan "aah" berulang kali.

"Mungkin kau kebingungan karena itu sudah lama sekali. Lagipula, dimana letak kepala sebuah pedang?"

Derflinger memikirkannya sebentar."Pegangannya mungkin?" katanya, membuat Saito tertawa.

Akhirnya giliran Saito untuk naik kapal. Saat dia menaiki tangga, dia melihat bahwa kapal pengungsi sebagaimana tebakan banyak orang - banyak orang berdesakan saling berdekatan sehingga tak mungkin mencari tempat duduk di dek. Saito memandangi gua limestone dari ujung kapal. Pada saat itu, Louise tengah dalam proses pernikahannya. Saito menutup matanya erat saat memikirkan itu. Orang-orang tetap menaiki kapal, satu per satu, ia benar-benar kepenuhan dan segerombolan orang mendorong Saito disekitaran dek. Sikut seseorang menyikut lengannya yang terluka, membuatnya menjerit.

Sementara itu, di sebuah gereja, dimana potret Brimir sang Pendiri digantungkan, Putra Mahkota tengah menunggu kemunculan pasangan pengantin. Tiada orang disekitar, karena semuanya sibuk bersiap untuk peperangan yang akan dimulai. Wales juga berencana, setelah upacara selesai, untuk juga bersiap berperang. Wales memakai seragam formal putra mahkota. Dia memakai mantel ungu cerah, simbol keluarga kerajaan, dan sebuah topi dengan sayap tujuh warna, simbol keluarga kerajaan Albion.

Pintu terbuka, Louise dan Wardes tiba. Louise berdiri dengan wajah bengong sehingga Wales harus memanggilnnya untuk datang dan berdiri di hadapannya. Louise kebingungan. Semuanya terjadi tiba-tiba. Wardes masuk paksa kamarnya pagi ini dan membawanya kesini, bahkan tak membangunkannya benar-benar. Dia kebingungan, karena perasaan tenggalam tengah memenuhi pikirannya. Dia datang kesini tanpa berfikir, masih setengah tertidur. Karena pangeran yakin untuk mati dan kelakuan Saito kemari, dia masih merasa merasa tenggelam.

Wardes, setelah bilang pada Louise "sekarang saatnya pernikahan", memakaikan sebuah tutup pengantin yang dipinjam dari keluarga kerajaan Albion pada kepala Louise. Tutup itu dibuat dengan indah, dan bunga-bunganya, yang segar selamanya berkat sihir, membuatnya indah yang tak terlukiskan. Lalu, Wardes melepas mantel hitam Louise dan menggantinya dengan yang putih, juga dipinjam dari keluarga kerajaan Albion. Hanya pengantin wanita yang boleh memakainya, karena ia mantel seorang perawan.

Namun, bahkan saat didandani oleh tangan Wardes, Louise masih mematung. namun, Wales mengartikan sikap Louise sebagai tanda kesetujuannya. Wardes dan Louise berdiri di hadapan Wales, yang berdiri dibawah gambar Brimir Sang Pendiri, dengan berpakaian resmi. Wardes, yang memakai bajunya yang biasa dan mantel penyihirnya, menundukkan kepalanya.

"Baiklah, mari mulai upacaranya."

Suara pangeran mencapai telinga Louise. NAmun, ia bagai suara lemah lonceng nan jauh. Pikiran Louise masih tersesat dalam kabut pikirannya sendiri.

"Pengantin pria, Viscount Jean-Jacques Francis de Wardes. Apa kau mengambil gadis ini sebagai istrimu, dan bersumpah untuk menghormati dan mencintainya atas nama Brimir sang pendiri?"

Wardes mengangguk tegas dan menggenggam tongkatnya dengan tangan kirinya, memegangnya ke depan dadanya.

"Aku bersumpah."

Wales memandangi Louise dan tersenyum untuk memberanikannya.

"Pengantin wanita, putri ketiga Duke de La Vallière, Louise Françoise le Blanc de La Vallière…”Wales membaca sumpah itu dengan suara bening.

Tepat saat itu, Louise menyadari dia di tengah-tengah upacara perkawinan. Rekan terpercayanya-Wardes, yang dulu ia idamkan. Pernikahan yang diatur bapak mereka. Saat ini, masa depan kekanakan, tak pikir panjang dan jauhnya mulai menjadi nyata.

Bukan berarti aku membenci Wardes. Mungkin aku malah menyukainya. Tapi, jika memang begitu, mengapa aku merasa sakit begini? Mengapa aku merasa sedih? Apa ini karena aku melihat kerajaan menjadi puing-puing? Atau apa karena aku menghadap seorang pangeran yang meninggalkan cinta dan harapannya, hanya untuk mati? Bukan, bukan itu. Meski memang hal-hal itu menyakitkan, takkan ada kabut kesedihan yang begitu tebal di pikiranku hanya karena itu. Kabut yang tebal, sedih dan sulit ditahan.

Louise tiba-tiba mengingat raut muka Saito saat dia mengatakan "pernikahan" padanya.

Mengapa aku mengatakan itu padanya? Itu karena aku ingin dihentikan.

Oleh siapa? Karena kuingin Saito menahanku.

Mengapa? Muka Louise mulai memerah memikirkan alasannya. Seperti ketika berpikir tentang mengapa pada malam kemarin, dia, yang meski dalam kesedihan yang mendalam, begitu mudahnya melompat ke dada Saito, yang kebetulan ditemuinya di koridor. Tapi apa perasaan itu jujur? Aku tak tahu. Tapi bukankah ia berharga untuk dicari tahu jawabnya?

Bagaimanapun juga, tak peduli seberapa senang atau sedihnya dia, dia tak pernah melompat ke dada seorang lelaki sebelumnya.

Sementara itu...Di atas dek kapal perang Elang. Saito, yang tengah bersender dengan rasa tenggelam pada ujung bagian atas, mulai kehilangan fokus pada segala yang disekitarnya.

"Mmm?"

"Ada apa, rekan?"

Pandangan Saito makin gelap. Tepat bagai semilir panas di tengah musimnya, pandangan mata kirinya mulai berayun dan samar.

"Mataku bertingkah aneh."

"Itu karena ka kelelahan." kata Derflinger, pura-pura tak tahu alasan sebenarnya.

"Pengantin?"

Wales memandang ke arahnya. Lousie tetap nampak panik. Dia berwajah seseorang yang samasekali tak tahu apa yang dilakukannya disana. Louise kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya di saat seperti ini? Tiada yang mengajarkannya itu. Hanya familiar Louise, yang meninggalkan daratan saat itu, yang mungkin tahuu jawabnya.

"Apa kau tegang? Tak apa-apa. Ini pertama kalinya, jadi wajar kalau tegang." Wales tersenyum saat mengatakan itu.

"Sayang sekali, kita tetap harus memegang etika, melakukan ini hanya berarti bila kita mengikuti etika. Maka, perkenankan aku mengulang. Apa kau menerima lelaki ini sebagai suamimu, dan bersumpah untuk menghormati dan mencintainya atas nama Brimir sang Pendiri..."

Louise sadar. Dia seharusnya tak enggan dengan jawabannya, menunggu seseorang untuk bilang apa yang harus dilakukannya. Dia harus membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Louise meneguhkan diri dan bernapas dalam-dalam. Dan, sebelum Wales menyelesaikan kalimatnya, Louise menggelengkan kepalanya.

"Pengantin wanita?"

"Louise?"

Kedua orang itu memandangi wajah Louise dengan curiga. Dia menatap Wardes dengan kesedihan di wajahnya dan sekali lagi menggelengkan kepalanya.

"Dengan penuh kesungguhan Louise. Apa kau baik-baik saja?"

"Tidak, bukan itu. Aku minta maaf..."

"Jika hari ini tak baik, mungkin di lain waktu..."

"Bukan itu, bukan itu. Aku minta maaf Wardes. Aku tak bisa menikahimu."

Wales terlihat ragu pada titik balik yang tiba-tiba ini.

"Pengantin wanita, ini bukan pernikahan yang kau inginkan?"

"Ya, begitulah. Aku ingin minta maaf pada kalian berdua untuk kelancanganku, ini keputusan yang menyakitkan untuk dibuat, tapi aku tak ingin menikah."

Wajah Wardes dengan cepat disebari merah penuh marah. Wales menghadapnya dan berkata dengan suara malu, ragu, dan menyesal.

"Viscount, aku minta maaf dengan sangat, tapi pengantin wanita tak menginginkan upacara ini berlanjut."

Namun, Wardes tak memperhatikan Wales, dan meraih tangan Louise. "...Kau hanya tegang. Louise sayangku. Kau pasti tidak benar-benar menolak tawaranku."

"Aku minta maaf Wardes. Aku merindukanmu, Mungkin...mungkin aku pernah mencintaimu, Namun, kini semuanya berbeda."

Lalu, Wardes mencengkram bahu Louise. Sinar matanya berubah. kelembutan yang biasa terpancar menghilang dri wajahnya, diganti dingin yang menusuk seekor reptil.

Wardes berteriak dengan nada bergetar. "Dunia, Louise! Aku akan menguasai dunia! Kau diperlukan untuk itu!"

Ketakutan oleh Wardes yang berubah tiba-tiba, Lousie terus menggelengkan kepalanya. "...Aku, Aku tak diperlukan untuk itu."

Wardes menggunakan kedua tangannya, menarik Louise mendekat. "Kau diperlukan olehku! Kemampuanmu! Kekuatanmu!"

Wardes ini semakin menakuti Louise. Tak pernah bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun dia membayangkan Wardes yang lembut bermuka masam atau berteriak seperti ini. Louise mencoba melepaskan diri.

"Louise, apa kaumlupa apa yang pernah kukatakan padamu! Kau tak kalah bahkan dibandingkan dengan Brimir sang Pendiri, kau akan tumbuh menjadi penyihir yang luar biasa suatu hari! Kau hanay belum mengetahuinya! Bakat itu!"

"Wardes, kau..." Suara Louise bergetar karena takut. Ini bukan Wardes yang Louise tahu. Apa yang mengubahnya jadi seperti ini?

Di atas Elang si kapal perang. Saito menggosok matanya lagi.

"Ada apa, rekan?"

"Mata kiriku bertingkah benar-benar aneh."

"Itu karena kau kelelahan."

Namun, pandangan mata kiri Saito semakin samar.

"Uwaaa! Akubisa melihat sesuatu!" teriak Saito. Itu benar-benar penglihatan seseorang.

Mata kiri dan kanan Saito terasa seperti dua bagian yang terpisaj.

"Aku bisa lihat..."

"Apa yang bisa kau lihat, rekan?"

"Mungkin, ini penglihatan Louise." kata Saito.

Sekarang dia ingat apa kata Louise beberapa waktu lalu."Familair adalah mata dan telinga tuannya, itu kemampuan mereka."

Namun, Louise bilang dia tak bisa melihat apapun melalui mataku...Pasti harus ada kasus dimana aturannya terbalik. Tapi mengapa aku tiba-tiba bisa melihat penglihatan Louise ?

Saito melihat tangan kirinya. TAnda yang terpahat disana bersinar terang, meski dia tak memegang senjata apapun. Tentu, tebakannya pasti benar. Inilah kemampuannya. Pasti, inilah kemampuan lainnya dari Gandálfr snag Familiar Legendaris.

Mari lihat, kutebak itu yang tengah dilihat Louise dengan mata kirinya? Saat memikirkannya, keingintahuan alami saito membimbingnya.

Wales, yang tak tahan lagi dengan sikap mengancam Wardes terhadap Louise, menyela. "Viscount..., cukup. Bersikaplah sebagai pria sejat..."

Namun, Wardes menyingkirkan tangan Wales. "Tutup mulutmu!"

Wales berdiri kaku, terkejut dengan perkataan Wardes. Wales menggenggam tangan Louise dengan miliknya dan Louise merasa itu ular yang membelitnya.

"Louise! Kau diperlukan olehku!"

"Aku tak punya bakat sebagai penyihir."

"Aku sudah bilang padamu berulangkali! Kau hanya tak menyadari kekuatanmu, Louise."

Louise mencoba melepaskan tangan Wardes, tapi kuatnya cengkraman yang dilakukannya pada Louise mencegahnya. mengernyit kesakitan, Louise berbicara. "Aku lebih baik mati daripada menikahimu. Aku mengerti sekarang, kau tak pernah mencintaiku. Kau hanya mencintai kekuatan sihirku yang kau pikir kumiliki. Adalah kejam, untuk menikahi seseorang hanay karena alasan begitu. Itu penghinaan!"

Louise berontak. Wales memegang bahu Wardes, mencoba menariknya pergi, tapi wardes malah mendorong Wales, yang jatuh ke tanah. Wajah Wales berubah merah, dan, setelah berdiri lagi, mengeluarkan tongkatnya.

"Kau, kekasaran macam apa ini! Ini penghinaan! Viscount, buang tanganmu dari la Vallière sekarang juga! Atau bilah sihirku akan merobek-robekmu!"

Hanya dengan itu tangan Wardes akhirnya melepaskan Louise, Sebuah senyum lembut tersungging di bibirnya. Namun, senyum itu dipaksa dan jelas sekali palsu. "Bahkan, meski aku memintamu dnegan cara begini kau takkan melakukannya? Louise. Louiseku."

Louise angkat suara, sambil gemetaran karena marah. "Tiodak, tiada keraguan lagi bahwa kau bukanlah yang akan kunikahi sepanjang hidupku."

Wardes menerawangi langit."Dan aku sudah berusaha keras, untuk menangkap perasaanmu selama perjalanan ini..."

Wardes merentangkan tangannya lebar-lebar, semntara kepalanya menghadap langit."Yah, sepertinya memang tak bisa. Sepertinya aku harus menyerah mengejar tujuan ini."

"tujuan?"

Louise nampak ragu. Apa yang dipikirkannya?

Ujung bibir Wardes naik, membentuk senyuman yang membuat sakit. "Itu benar. Ada tiga tujuan yang kukejar selama perjalanan ini. Sedihnya, aku hanya dapat dua."

"Dapat? Dua? Apa yang kau bicarakan?" tanya Louise, sambil merasakan bulu kuduknya berdiri. Pikirannya bekerja dengan kekuatan penuh, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Wardes menunjukkan tangan kanannya dengan memegang tiga jari, dan membengkokkan jari telunjuknya. "Pertama adalah kau, Louise. Aku harus mendapatkanmu. Namun, tampaknya aku takkan bisa menyelesaikannya."

"Tentu saja!"

Wardes tersenyum, membengkokkan jari tengahnya"Tujuan kedua, Louise, ada dalam kantongmu - surat Henrietta."

Louise tersetrum.

"Wardes, kau...:

"dan, ketiga..."

Setelah mendengar Wardes berkatan "Surat henrietta." Wales mengerti semuanya dan mengeluarkan tongkatnya dan mulai membaca mantra. Namun, Wardes telah mnyiapkan dua mantra siap pakai sebelumnya. Wardes mengarahkan tongkat anginnya yang mulai berkilauan dan dengan ujungnya menembus dada Wales.

"Si-Sialan kau…'Reconquista'…”

Darah tiba-tiba muncrat dari mulut wales dan Louise menjerit. Wards bergumam, sambil mendorong tongkatnya yang berkilauan lebih dalam ke dada Wales. "Yang ketiga, adalah hidup terkutukmu, Wales."

Dengan itu. Wales jatuh ke tanah.

"Seorang ningrat! Kau seorang Ningrat Albion juga? Wardes!" teriak Louise sambil gemetaran. Wardes seorang pengkhianat.

"Itu benar. Aku memang anggota faksi ningrat Albion, ‘Reconquista’” jawab Wardes dengan suara dingin tak berperasaan.

"Mengapa! Mengapa, kau, seorang bangsawan Tristain, melakukan ini?"

"Kami adalah rasul pertama dari masa depan Halkeginia - sebuah persatuan ningrat yang tak berbatasnegara. Kami tak berbatas."

Wardes mengangkat tongkatnya lagi. "Halkeginia akan disatukan kembali oleh tangan kami, kami akan membangkitkan lagi 'Tanah Suci' Brimir Sang Pendiri."

"Dulu...kau dulu tak seperti ini. Apa yang mengubahmu begitu jauh? Wardes..."

"Tahun, kecelakaan dan takdir. Meski itu mengubahku dari apa yang kau tahu, ia tak mengubah diriku yang kau bicarakan. Dan kau terlalu banyak bicara."

Louise mencoba menunduk saat Wardes menggerakkan tongkatnya, namun mantranya setap mengenainya dengan mudah, melemparkannya ke lantai.

"Tolong..."

Wajah Louise memucat. Dia mencoba bangkit, tapi kakinya berhenti menurutinya. Wardes meluruskan kepalanya. "Untuk ini! Untuk ini kau menolak tawaranku untuk menguasai dunia bersama!"

Dia mulai membacakan mantra angin lainnya. "Angin Pemecah". dan Louise diterbangkan bagai sehelai kertas.

"Tidak...Tolong..."

"Bahkan burung terkecil pun tak bisa mendengarmu, sepertinya aku akan membuat kepalamu bersujud dalam kekalahan, ya, Louise?"

Dia dilemparkan lagi ke tembok dan ditinggalkan berbaring di lantai, mengerang kesakitan. Airmata mulai menetes dari wajahnya.

Dia masih meminta tolong familiarnya yang tak ada disana. "Mohon...Tolong aku."

Louise mengulang kaliamt itu bagai membaca sebuah mantra. Menikmatmati kesenangan ini, Wardes perlahan mulai membaca mantra. "Awan Kilat"

"Ini patut disesali...Bahwa nyawamu akan diambil oleh tangan ini..."

Bahkan jika lengan Saito ditembus mantra kilat ini, tiada kesempatan bertahan bila dia kena langsung. Dari keterkejutannya, napasnya naik turun dan seluruh tubuhnya kesakitam. Louise, yang ketakutan bagai anak kecil, menjerit. "Saito! Tolong!"

Di titik itu, Wardes menyelesaikan mantranya dan merendahkan tongkatnya, menyasar Louise dan...

Tembok gereja runtuh dengan suara menggelegar, dan sebuah hembusan angin nan kuat berhembus kedalam dari luar.

"Sialan kau..." gumam Wardes.

Setelah menghancurkan tembok, Saito melompat masuk dengan Derflinger di tangannya dan menghentikan tongkat Wardes.

"Kau..." Saito mengayunkan pedang ke samping. Wardes menghindarinya dengan meloncat ke belakang.

Kebetulan, Saito melihat Louise dengan sudut matanya. Setelah menjeritkan kata terakhirnya, Louise pingsan dan tak bergerak setelah itu. Dengan kemarahan yang meluap di matanya, Saito menatap keras pada Wardes. Nafsu membunuh mendidih dalam tubuhnya. Saito mengerang sambil menggigit keras bibirnya.

"Tak terampuni!"

"Mengapa kau disini,Gandálfr?" tanya Wardes dengan senyum kejam di bibirnya.

Tak menjawab, Saito dengan marah Namun, pedangnya hanya menghantam latai. Wardes terbang tinggi ke udara, sukses menghindari serangan.

"Ya benar, kau pasti merasakan tuanmu tengah dalam bahaya."

Wardes menyilangkan tangannya sambil melayang disamping potret Brimi Sang Pendiri. Terlihat Percaya diri dan penuh keyakinan.

"Kau mengkhianati Louise!" teriak Louise, sambil menusukkan pedangnya kedepan. . Namun, Wardes terbang lagi, menghindarinya, dan mendarat dengan anggun di lantai. Dia bergerak bagai bulu.

"Untuk menyelesaikan sebuah tujuan, kau tak bisa memilih akibatnya."

"Louise memercayaimu! Kau tunangannya...dia merindukanmu saat dia masih kecil..."

"Kepercayaan yang sangat egois."

Wardes menghindari pedang sambil melayang. Lalu dia mengayunkan tongkat dan menembakkan mantra lainnya. Meski saito mencoba menahannya dengan pedang, mantra "Angin Pemecah" menerbangkannya. Saito mengerang kesakitan begitu menghantm dinding. Lengan kirinya yang terluka nyeri dan karenanya, dia tak bisa bergerak sebebas biasanya,

"Itu saja? Gandálfr. Gerakanmu terlalu lambat. Setidaknya coba dan buat ini menarik."

Sebuah senyum jahat tersungging di bibir Wardes. Pada sat itu, Derflinger berteriak. "Aku ingat!"

"Apa yang kau bicarakan. di saat seperti ini!?"

"Benar...Gandálfr!"

"Apa!"

"Tidak, dari masa laluku, tangan yang memegangku. Gandálfr. tapi aku lupa. itu sudah 600 tahun yang lalu, masa lalu."

"Jangan bicara omong kosong!"

Wardes melepas"Angin Pemecah" lagi. Saito mencoba menghindarinya tapi tertangkap dan diterbangkan lagi.

"Ini terasa seperti dulu. Aku bisa menangis. Benar, tidak, itu yang aku cari-cari. Rekanku - Gandálfr itu1"

"Potong disitu!"

"Aku senang! Sekarang tiada yang bisa mengacuhkanku! Aku akan menunjukkan betapa kerennya aku!" teriak Derflinger begitu bilahnya mulai bersinar.

Saito terkejut sesaat dan mengamati Derflinger penuh kekaguman.

"Derf?Ya?"

Wardes mulai membacakan"Angin Pemecah" lagi. Angin mengamuk keluar menyasar Saito yang menaruh Derflinger yang bersinar di hadapannya.

"Tiada gunanya! Sebuah pedang takkan menghentikannya!" Teriak Wardes.

Namun, Angin itu, tak menerbangkan Saito, dan malah diisap kedalam bilah Derflinger.

dan...

Cahaya yang dipancarkan Derflinger semakin terang.

"Derf? Kau..."

"Ini bentuk asliku! Rekan! Tidak, aku melupakannya! BAdanku yang lelah mengubah dirinya sendiri! Tapi, ini cerita yang agak menarik, rekanku!"

"Buat pendek!"

"Tak sabaran. Aku lupa. Tapi, jangan lup, rekan. Aku mengisap seluruh sihir disekelilingku! Itu aku, tamhan kiri Gandálfr – Derflinger-sama!”


Wardes mengamati dengan ketertarikan pada Pedang yang dipegang saito.

"Memang...kau bukan pedanmg biasa. Aku seharusnya sadar itu saat kau melemahkan "Awan Kilat"ku.

Tetap saja, Wardes tak kehilangan kepercayaan dirinya. Dia tersenyum tipis saat mengatur tongkatnya.

"Sekarang, ayo jadi serius, ya? Waktunya tiba untuk mengajarkanmu mengapa sihir ini dikatakan yang terkuat."

Meski Saito menerjangnya, Wardes menghindarinya bagai seorang akrobat dan mengumamkan sebuah mantra. "Angin Lembah Sekeliling..."

Saat mantra selesai, tubuh wardes tiba-tiba mengganda. Satu...dua...tiga...empat...ganda Wardes, bersa,a tubuh sebenarnya, mengelilingi Saito.

"Kopian!"

"Ini bukan hanya'penggandaan'. Ia Juga "Angin Dimanapun", pembagian tak rata...Angin tak rata dibgai. Tempat dimana ia bertiup tidak hanay maslaah penampilan, ia juga memiliki tenga yang diperhitungkan."

Salah satu dari kopian Wardes tiba-tiba meraih sebuah topeng putih dari jubah dan memakainya. Tubuh Saito bergetart. Bulu kuduknya berdiri karena marah dan takut. Si Topeng adalah Wardes! Orang yang berdiri di sebekah Fouquet...Yang menghantam Saito dengan sebuah kilat tiada lain dan tiada bukan adalah Wardes!

"Hai Topeng...Kau..Pastilah kau juga yang membantu Fouquet kabur. Mantra yang licik dan multiguna. Kau bisa muncul dimana-mana."

"Memang. Terlebih lagi, tiap mereka punya kekuatan yang asli, Sudah kubilang, kan? 'Angin' tak dibagi rata"

Salah satu Wardes menerjang Saito, sementara yang lainnya menggumamkan mantra, membuat tongkat bersinar. "Jarum Udara", mantra yang menembus jantung Wales sebelumnya.

"Tongkat itu dikelilingi pusaran sihir, jadi pedang tak bisa menyedotnya!"

Tongkat itu bergetar dengan pusaran yang mengitarinya membentuk sebuah bilah, yang ujungnya diarahkan pada tubuh Saito selama serangan. Derflinger menahannya, tapi tenaga hantaman masih mengenai tangan Saito yang terluka dan dia jatuh ke bawah.

Wardes tertawa."Tak duruk baik seorang jelata. Bagaimanapun jga kau Gandálfr yang legendaris. Namun, disinilah akhirnya. Kau bukan lawan mantra "Angin Lembah Dimanapun". Perlahan, Wardes mengepung saito yang jatuh.

"Hai Pedang legendaris! Yang digunakan Gandálfr! Derf!"

"itu aku. Ada apa?"

"Jika kau sangat legendaris, lakukan sesuatu atau kita bakal dibunuh."

"Ya, aku bersinar dan mngisap sihir, kan?"

"Tidak, bukan itu, Ada lagi? Seperti beberapa serangan khusus? Seperti menerbangkan musuh dengan sekali pukul..."

"Apa? Aku hanya sebuah pedang."

Salah satu Wardes terbang dan mencoba memukul Saito dengan tongkatnya. Saito loncat ke atas, menjaga tubuhnya dengan pedang dan menahan serangan.

"Tak guna! Legenda macam apa ini!"

"Tapi tidak sebegininya!"

Para Wardes terus menyerang dengan keras, tapi karena punggung Saito disokong tembok, hanya tiga yang bisa menyerang secara bersamaan. Entah bagaimana, tapi dia bisa menahan seluruh serangan mereka.

"Kalau begini terus aku bakal kalah! Dan dibunuh!"

"Syukurlah, Simpatiku yang terdalamuntukmu!"

Sementara itu...15 kaki dari tempat Saito bertarung, Louise terbangun. Saat Louise melihat Saito bertareung begitu keras, wajahnya sesaat hampa karena terkejut, tapi lalu dia menggenggam tongkatnya.

"Larilah selagi kau bisa! Tolol!" teriak Saito, tapi Louise tak berhenti. Mantra diucapkan dan tongkat diarahkan. Dia membacakan mantra "Bola Api". Mantra yang diarahkan pada Wardes meledak saat mengenai lantai dibawah dia. Boom! Dengan suara menggelegar itu, Wardes menghilang dan Louise menganati dengan kagum.

"Eh? Menghilang? karena sihirku?"

Wardes yang tersisa mencoba menerjang Louise.

"Lari!" teriak Saito, tapi Louise terus mulai membacakan mantra yang sama. Namun, dia diterbangkan tongkat Wardes kali ini. Saito terkejut menonton itu. Dia mulai bergetar dengan amarah. saat tubuh Louise menghantam tembok di depan matanya, RAungan bagai-hewan buas keluar dari mulutnya.

"Berani-beraninya kau melakukan itu pada Louise...!"

Setelah tubuh Louise diterbangkan sekali lagi, kopian Wardes yang tersisa fokus pada Saito dan mencoba terus menekannya. namun, gerakan saito perlahan makin cepat. Napas seluruh wardes mulai tak beraturan dan kasar. Tetap saja wajah mereka tak berubah. Selama menahan Pedang, wardes bertanya. "mengapa kau kembali kesini untuk mati? Mempertaruhkan nyawamu bagi Louise yang membencimu? tak bisa mengerti cara pikir seorang jelata!"

Saito berteriak sambil mengayunkan pedang. "Lalu kenapa kau si sialan mencoba membunuh Louise!? Kau tunangannya!"

"Hahaha, kau masih mencintai Louise? Cinta tiada harapan seorang pelayan untuk tuannya! itu benar-benar lucu! Louise yang arogan itu takkan pernah berpaling padamu! Kehendak kecil disalahartikan sebagai cinta! Tolol!"

"Terus kenapa kalau aku jatuh cinta!" teriak saito sambil menggigit bibirnya.

"Namun..."

"Namun, apa?"

"Ini tak enak!"

'Apa?"

Wajah kebingungan muncul di muka wardes.

"Aah! saat melihat wajah itu, jantungku berdetak lebih kencang! Alasan ini cukup bagiku! Makanya, aku akan membela Louise!" jerit Saito

Tanda mulai bersinar. Menyamakan dirinya, Derflinger juga bersinar lebih terang. "bagusa! Itu bagus, rekan! Baiklah! Itu kuncinya! Aku ingat! Aku tahu sumber kekuatan Gandálfr! Bagus rekan!"

Akhirnya pedang saito menumbangkan Wardes lainnya.

"Wha?" Wardes mengernyit, sakit yang tak tertahan.

"Sumber kekuatan Gandálfr adalah perasaan! Kemarahan! Kesedihan! Cinta! Senang! Apapun bisa! dan sekarang kau tampak sangat terguncang, Gandálfrku!"

Saito memutar pedangnya. Karena kecepatannya yang mencengangkan, wardes tak bisa merespon pedang tepat waktu dan menghilang."

"Si-sialan kau..."

hanya tiga yang tersisa sekarang.

"Jangan lupa! kau melawanku! kau tak bisa melewati kemampuanku!"

Saito meloncat tinggi ke udara, sembari memegang pedangnya. Wardes juga terbang.

"Udara adalah elemenku...Jangan lupa! Gandálfr!"

Tiap tongkat Wardes diarahkan pada saito, tapi dia memutar Derflinger bagai roda kincir. Derflinger berteriak. "Itu caranya bertarung, Gandálfr! Mainkan aku dalam ritme hatimu!"

Sesudahnya, ketiga Wardes dirobek dalam sekejap. Saito mendarat. Dengan "Pembagian tak Merata" kalah, Tubuh nyata Wardes yang tersisa jatuh di lantai.<-Nama Mantra berubah...yang mana yang dipakai? Ini lebih masuk akal ~Dan->

Lengan kirinya yang terpotong, mendarat beberapa detik setelahnya. Saito juga mendarat di tanah, tapi dia roboh dan harus menyokong dirinya dengan lututnya. Kelelahannya telah mencapai batas kritis. Wardes bangkit dengan terkejut dan menatap Saito.

"Sial..."Halilintar" ini memang mengalahkanku..."

Saito mencoba bangkit dan menerjangnya, tapi tubuhnya berhenti menurutinya.

"Ku..."

"Aah, rekan. jangan bertindak bodoh sekarang - Gandálfr tak bisa bergerak setelah menghabiskan energinya. Itu karena familiar ini diciptakan untuk menjaga tuannya selama tuannya membacakan mantranya." Jelas Derflinger.

Wardes menggenggam tongkatnya dengan tangan kanannya yang tersisa dan melayang ke atas.

"Sayang sekali, sepertinya aku hanya menyelesaikan satu tujuanku. Bagaimanapun jugam kau milikku 'Gandálfr' - sebuah tentara raksasa bakal menyerbu masuk. Hey! Apa kau bisa dengar derap kuda dan kepakan naga!?"

Memang terdengar suara meriam dan suara ledakan sihir api di luar, juga suara raungan para ningrat dan tentara yang bercampur di medan perang.

"Kau dan tuanmu yang tolol akan menjadi abu! Gandálfr!"

Setelah melempar kata perpisahan terakhir ini, Wardes menghilang melalui lubang di tembok. Saito, yang menggunakan Derflinger sebagai penyangga, dngan ringkih menuju Louise.

"Louise!"

Usaha Saito menggoyangkan Louise untuk membangunkannya sia-sia. Saito menempelkan telinganya ke dada Louise dalam panik.

Thump, thump, thump…

Mendengar detak jantung yang lemah, dia mendesah lega. Louise kecapaian. Mantelnya rebok, dan lutut serta pipinya robek. dan pasti ada robekan dibawah pakaian juga. Tangan Louise memegangi dadanya. Kancing kantong dadanya terlepas, dan dapat terlihat surat Henrietta muncul dari dalam. Sepertinya, meski pingsan, Louise tetap menjaga suratnya.

Benar-benar, aku sangat bahagia kau masih hidup. Aku datang tepat waktu. pikir Saito.

"Tapi rekan...apa yang kita lakukan sekarang? Sang Elang sudah meninggalkan pelabuhan..."

Itu benar. Untuk menyelamatkan Louise, Saito melompat turun dari dek Elang yang hendak berangkat.

“Eh?”

“Eh? benar-benar.apa kau dengar sahutan diluar? Apa yang menurutmu bakal dipikirkan pengikut Wales melihat tubuhnya terbaring di lantai? Kuyakin Mereka bakal pikir kita pengkhianat."

Memang, ledakan dan kumandnag perang semakin mendekat ke tembok. Hanya masalah waktu mereka masuk menyerbu kesini. Saito dengan tenang membaringkan Louise ke kursi. Lalu berdiri dihadapannya, berjaga.

"Apa yang kau lakukan?"

"Menjaga Louise."

Saat Saito berkata begini, Derflinger gemetaran sambil menggeliat. "Ha. Apapun selain itu. Aku mengerti. Rekan Gandalfr, adalah sangat terhormat bagiku untuk mengenalmu dan gadis ningrat ini, tuanmu, rekanku."

"Hentikan omong kosong."

"Hm?"

"Louise dan aku, kita akan bertahan hidup."

"Apa kau mendengar pidato raja? Ada 50.000 musuh."

"Tak masalah."

Saito, dengan sisa-sisa kekuatannya, mencengkram pedang. Meski 50.000 ataupun 100.000 yang datang, dia merasa bahwa dia bisa menang. Hari inidia bisa mengalahkan penyihir apapun, meski dia sangat kelelalahan. Gemetaran Derflinger semakin keras dan keras. "Itu Benar! Itu cara yang kusuka. Siapa pedulu dengan 50.000. Biarkan mereka datang.!"

Dan Saito, sambil memegang Derflinger, menatap arah masuk gereja. Mereka menunggu, karena cepat atau lambat, musuh akan datang.

Tapi lalu...

Tanah didekat tempat Louise dibaringkan meninggi.

"Apa?"

Saito melihat tanah itu."Apa itu musuh? Gali dari bawah?"

Dia menurunkan pedang ke arah lubang, dimana seekor hewan coklat lalu menampakkan kepalanya.

“Aaaaaaaan?”

Dan lalu hewan coklat itu mulai meraba-raba tubuh Louise yang terbaring didekatnya.

"Kau...kau tikus tanah besar Verdandi! Familiar Guiche!" teriak Saito, dan sebentar kemudian, dari lubang tempat keluar Verdandi tadi, wajah Guiche muncul.

"Hei! Verdandi! Kau bisa menggali lubang dimana saja! Anak baik! Gu..."

Guiche menolehkan wajahnya yang dikotori tanah dari Saito dan menyadari Louise terbaring dekat sana, lalu berkata seolah-olah tak tahu. "Ha! Kau! Kau disini!"

"A-Apa yang kau lakukan dini!?"teriak Saito.

"Bukan itu. Setelah menang dari Fouquet si Tanah Ambruk, dan setelah istirahat sebentar, kami memutuskan untuk mengikutimu. Ini adalah tugas kami karena kehormatan Putri Henrietta bergantung padanya, kan?"

"Tapi tempat ini di udara! Bagaimana kau kesini?!"

Lalu, dekat Guiche, wajah Kirche muncul."Sylphid Tabitha."

"Kirche!"

"Kami sukses mencapai Albion, tapi karena ia negeri yang asing, kami tak tahu kemana kami harus pergi. Tapi, lalu, Verdandi tiba-tiba mulai menggali lubang, jadi kami mengikutinya."

Sementara tikus tanah raksasa yang dibicarakan tengah menyentuhkan hidungnya pada "Rubi Air" yang bersinar di jari Louise. Guiche mengangguk."Memang. Dia mengikuti bau Rubi, dan mulai menggali terowongan kesini. Verdandiku yang manis, karena cintanya pada perhiasanlah dia bisa mengikuti dari La Rochelle dan menggali lubang untuk kesini."

Saito melongo dalam keterkejutan. Tentu saja, dia tak pernah berencana untuk diselamatkan seekor tikus tanah.

"Apa kau baik-baik saja? Aku hampir menangkap Fouquet lagi, tapi dia lolos dalam kesempitan. Wanita itu, meski seorang penyihir, bisa juga dia melarikan diri. Ngomong-ngomong, sayang, apa yang kau lakukan disini?" tanya Kirche sambil mengusap tanah dari wajahnya dengan sebuah saputangan.

Saito tertawa lepas. “Ha, ha, haha…”

"Sayangku, apa ada sesuatu yang salah?"

"Kita bicarakan itu nanti! Musuh akan segera menyerbu! Ayo pergi dari sini!"

"Melarikan diri, dan misinya? Bagaimana dengan Viscount Wardes?"

"Kami punya suratnya! Wardes pengkhianat! Kembali sekarang!"

"Apa? Aku memang tak mengerti sih, tapi sepertinya semuanya sudah berakhir." kata Kirche lepas.

Dengan Louise di lengannya, Saito perlahan masuk lubang. Tapi dia lalu teringat sesuatu, sebentar meninggalkan Louise pada Guiche dan segera kembali ke Wales di gereja. Namun, Wales sudah tak bernyawa. Saito menutupkan mata Wales dan dengan hening membacakan doa.

"Hei! Apa yang kau lakukan disana! Cepat kembali!" panggil Guiche, menyuruh Saito kembali.

Saito mengamati tubuh Wales. Dia mencari sesuatu sebagai pengingat untuk diberikan bagi Henrietta. Dia menyadari keberadaan rubi besar di jarinya. Rubi yang merupakan milik keluarga kerajaan Albion. Saito melepasnya dan menyimpannya di kantongnya.

"Pangeran nan berani...Kau takkan dilupakan." gumam Saito.

"Aku bersumpah padamu bahwa aku juga akan menjaga apa yang aku percayai." kata Saito sambil membungkuk, lalu berlari kembali ke lubang. Tepat saat dia masuk lubang, tentara ningrat dan penyihir-penyihir menerobos pintu dan meloncat ke gereja.

Terowongan yang digali Verdandi menuju bagian bawah benua Albion, jadi tepat saat Saito keluar dari lubang, tiada yang lain kecuali awan di bawahnya, namun tetap saja Sylphid sukses menangkap keempat orang dan seekor tikus yang jatuh. Tikus tanah yang ditangkap naga angin dengan mulutnya mengeluarkan jeritan protes.

"Cobalah tahan, Verdandiku yang imut. Tahan sampai kita mendarat di Tristain lagi."

Dengan kepakan angin nan kuat, sang naga angin menerobos awan di sekelilingnya dan merubah arahnya ke Akademi sihir. Saito, dengan Louise di lengannya, menerawangi benua Albion. Berawan dan kosong, dengan biru yang sekeliling, benua Albion lalu menghilang. Meski hanya singgah sementara disana, Saito punya berbagai hal untuk diingat, begitu negara putih itu surut dari pandangan.

Saito menatap Louise terbaring di lengannya. Pipi putihnya kotor dengan darah dan tanah, namun, meski keadaannya begitu, tetap fitur keningratannya nampak. Ada dua garis dari matanya hingga pipinya bekas air matanya. Saito mengusap wajah Louise dengan lengan bajunya. Dia tak tahan melihat wajah tuannya yang cantik kotor. Louise masih pingsan dari guncangan tadi. Memandangi wajah Louise, entah kenapa, menyakitkan bagi Saito. "Oh Louise,Louise sayangku..."

Deg, Deg, jantungnya berdetak kencang. Sekarang, Saito hanya menatap wajah Lousie yang bersender dengan lembut di dadanya.

Sementara itu. Louise yang pikirannya kosong tengah berkeliaran di mimpinya.

Mimpi berada di tempat la Vallière, tanah asalnya.

Sebuah Kolam di halaman yang terlupakan...

Ada perahu kecil yang mengambang...Disini, Louise tengah berbaring saat menghadapi kesulitan. Louise selalu menyembunyikan dirinya dan tidur disana. Dunianya dimana tiada yang mengganggu. Tempat rahasianya...

Hati Louise tengah sakit.

Tapi Wardes tak lagi datang kesini. Viscount Wardes yang lembut, cinta ningrat kekanakannya, tunangannya dari pernikahan yang diatur oleh persetujuan ayah mereka...

Louise kecil terisak lembut, tiada wardes yang akan menjemputnya dri tempat rahasianya lagi. Dia pengkhianat kotor yang membunuh Panmgeran yang berani, tangan lembut itu milik seorang pembunuh...

Louise menangis dalam perahu kecilnya.

Tapi kemudian, seseorang datang.

"Apa itu kau, Viscount?" tanya Louise dalam mimpinya. Tapi dia menggelengkan kepalanya sekali, Tidak, viscount tak lagi datang kesini. lalu, siapa?

Itu Saito. Pedang itu bergelayut di punggungnya, saat dia tanpa khawatir kebasahan melangkah masuk kolam dan menghampiri perahu Louise.

Jantung Lousie berdetak kencang.

Saito mengangkat Louise keluar perahu dan memegangnya dalam pelukannya.

"Apa kau tengah menangis?" tanya Saito. Louise mengangguk kekanakan dalam miompinya.

"Berhentilah menangis. Lousie. Louiseku."

Louise mencoba marah. Familiar ini, berani-beraninya dia memanggilku"Louise ku". Tapi saat dia buka mulut untuk memarahinya, bibirnya terkunci lagi oleh sebuah ciuman. Meski pertamanya dia berontak marah, kekuatannya segera menguap.

Louise terbangun, di punggung naga angin, dalam pelukan Saito. Dia lalu sadar dia dipegang oleh lengan Saito. Mereka duduk dekat ekor naga angin, dan Saito duduk disana sambil memeluknya. Dia menatap wajahnya dari sisi dan sepertinya dia tak menyadari Louise telah sadar.

Kirche, Tabitha, Guiche – mereka bertiga duduk di bagiian depan punggung naga angin. Angin berhembus menerpa pipi mereka.

"Aah, ini bukanlah mimpi."

Lalu...

"Aku bertahan hidup."

Pikiran Louise diisi berbagai pikiran yang menggetarkanhati.

Aku hampir dibunuh Wardes sang pengkhianat, tapi lalu Saito menerjang masuk. Lalu aku pingsan. Lalu aku bangun lagi dan membacakan beberapa mantra. Meski setelah itu, aku kehilangan kesadaran...mungkin Saito menang lagi.

Tapi, hanya kami yang selamat, mungkin tentara kerajaan dikalahkan.

Wales juga tewas.

Kebahagiaan bertahan hidup bercampur kesediaan hampir membuat Louise menangis, Namun, karena tak ingin menangis di hadapan Saito, dia mengejapkan matanya.

Dia juga malu mengucapkan terima kasih. Meski dia tak mengerti kenapa, dia merasa nyaman dengan Kirche, Tabitha, Guiche – dengan mereka semua. Tapi berterima kasih pada Saito di depan lain terasa memalukan. Karenanya, Louise memutuskan untuk berpura-pura tidur.

Tapi, Louise tetap secara rahasia memandangnya dari sudur matanya yang setengah tertutup.

Saito menatap matanya. Menatapnya langsung.

Mata itu membuat Saito mengingat mimpi terakhirnya.

Naga angin meningkatkan kecepatannya.

Angin kuat menerpa pipinya.

Tapi angin itu terasa enak.

Angin itu dan tatapan membakar Saito, aah, Louise tak bisa menyembunyikan perasaannya.

Pikirannya tengah kacau...

Wardes sang pengkhianat.

Kematian Putra Mahkota...

Kemenangan persatuan ningrat ‘Reconquista’...

Laporan ke Putri...

Dengan banyaknya alasan, dan selama Louise merasa sedih untuk mereka semua, sekarang ini seluruh pikiran Louise diterbangkan angin.

Setelah lolos dari kemtian yang mendekat, dia ingin mensyukuri perasaan kehidupan untuk sesaat.

Seperti itu, Mensyukuri perasaan hidup tanpa batas, selama berpura-pura tidur...

Wajah Saito mendekat.

Jantungnya berhenti berdetak sedetik.

Bibir Saito melewati Louise.

Louise dengan alami mengangkat tangannya untuk mendorongnya menjauh...tapi lalu mengembalikannya ke dadanya seperti semula/

Angin kuat menerpa pipi Louise, dengan Sylphid yang terbang melewati langit.

Sesuatu yang hangat mengisi hatinya, hati yang tengah terluka oleh kejadian sedih disembuhkan/

Beberapa waktu lalu, dia berontak keras terhadap perasaan dalam mimpinya/

Tapi setidaknya untuk sekarang...

Angin menyenangkan yang berhembus dari dunia lain...

Sambil menyenderkan pipinya pada dada Saito, dia terlelap dalam kesunyian.





Return to Main Page