Toradora! ~ Indonesian Version:Volume1 Chapter3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3[edit]

Keributan di fajar hari itu bagaikan mimpi dan pagi yang tenang pun hadir kembali di kediaman Takasu.

Sudah jam 5 pagi saat Ryūji kembali ke kasurnya setelah diserang oleh Palmtop Tiger. Bagi remaja yang sedang tumbuh, kurang tidur itu sangat menyakitkan. Dengan mulut lebar, dia menguap dan bangkit dari tidurnya. Masih banyak hal yang harus dikerjakan…

Setelah ke kamar mandi, dia memberi makan Inko-chan. Seperti biasa, dia harus memastikan bahwa burung nuri itu sudah bangun sebelum membuka kainnya. Tapi…

"Selamat pagi, Inko-ch… Uwa!"

Inko-chan terbaring diam dengan muka menghadap ke atas.

"Ta, tapi bukannya kau barusan menjawab!? Inko-chan!"

"… Ugh… ugh… ugh…"

… Tidak, dia masih hidup. Burung itu hanya terbaring di dasar kandang, pada pandangan pertama, semua orang pasti langsung berpikir kalau dia sudah mati. Setelah Ryūji berteriak, burung itu berdiri cepat. Untuk beberapa alasan, bulunya terlihat berantakkan, sepertinya dia merasa sangat tidak nyaman.

"Aku tidak tahu lagi apa yang sedang kau pikirkan!"

"Selamat pagi!"

Mungkin sebaiknya aku memelihara kucing atau anjing, atau apapun yang bisa berkomunikasi dengan telepati kepada manusia. Ryūji berpikir sambil mengganti tempat makan Inko-chan.

"… I… iii… I… In… In… In…"

Inko-chan menatap lurus mata Ryūji yang sedang berusaha keras memikirkan apa yang ingin dikatakan burung itu. Apakah hal yang telah Ryūji ajarkan selama ini tapi masih sulit dikatakan?

"Apakah… kau akan berkata "Inko-chan"? Kau bisa!?"

Ryūji melihat kandang burung itu bersemangat. Inko-chan melebarkan bulu di ekornya, dan…

"I… Idiot!"

"Sialan!"

Pluk! Tanpa berpikir, Ryūji kembali menutup kandang itu dengan kain. Walaupun terlihat mengintimidasi, dia lumayan sabar. Dunia bakal hancur kalau dia marah hanya karena hal kecil. Dengan temperamen setenang seorang bangsawan, dia pergi melihat Yasuko yang seharusnya sudah tidur. Dia membuka fusuma[1]

Dia sedang tidur kan? Saat dia mendengar pintu terbuka, Ryūji tahu kalau ibunya itu sudah pulang.

"… Dia sudah pulang, tapi ini menggelikan…"

Dia bergumam dan menutup matanya.

Yasuko sangat mabuk sehingga tercium bau bir di seluruh penjuru rumah itu ketika dia tidur. Tapi, kenapa dia harus tidur seakan-akan terguling ke depan dan mendarat terbalik? Sekarang dia tidur dengan bokong terangkat ke atas. Syukurlah dia sudah memakai baju tidurnya; walaupun dia adalah ibunya… Tidak, karena wanita itu adalah ibunya, makanya dia harus disiplin. Menurut standar seorang Ryūji, menampakkan baju dalam secara sembrono adalah sangat-sangat tidak dibolehkan. Sepertinya dia tidur saat sedang membersihkan make-up. Walaupun separuh wajahnya sudah bersih, separuh lagi masih penuh make-up, sehingga dia terlihat seperti Baron Ashura[2]. Belum lagi dia terlihat tidak nyaman.

Berdasarkan kesimpulan Ryūji, Yasuko sebenarnya sedang duduk di sebelah meja kecil di sebelah futon dan sedang membersihkan make-up, tapi dia terlalu lelah dan akhirnya tertidur dengan mukanya jatuh ke futon[3].

"Aku kagum kau tidak mematahkan lehermu… Hei, tidur yang benar! Kau akan mati jika terus tidur seperti itu!"

"… Ya… Yaya… Umm… umm… Ya…"

Gaya bicaranya sama persis seperti Inko-chan.

Sambil memikirkan hubungan tersembunyi antara Yasuko dan Inko-chan (sepertinya tentang kepintaran), Ryūji membenarkan posisi tidur Yasuko dengan hati-hati di atas futon. Yasuko selalu menginginkan tempat tidurnya sendiri. Tapi dengan wajah tidur yang mengerikan seperti itu, aku tidak akan pernah membelikan tempat tidur untukmu!

Ryūji mengeluarkan dua batang es krim yang sudah meleleh dari dalam kantong plastik belanjaan di pojok dan diam-diam keluar dari kamar itu, dan menutup fusuma di belakangnya. Pertama, dia harus memasukkan es krim itu ke dalam kulkas.

Lalu, menyiapkan sarapan dan bento[4] untuk makan siang. Ryūji melihat isi kulkas…

"Ah, ya, aku ingat…"

Ryūji menyipitkan mata garangnya, bukan karena marah tapi karena kecewa.

Festival Nasi Goreng telah menghabiskan semua telur dan daging kering, jadi tidak ada sarapan daging dan telur. Nasi beku juga sudah habis.

"… Sepertinya hanya bisa sarapan susu; kalau bento… hari ini hanya bisa yang sederhana. Untuk makanan sampingan hanya tersisa kentang."

Bagaimanapun nasi itu wajib, jadi Ryūji memutuskan untuk membuat nasi campur sederhana dan kentang asin.

Setelah mencuci nasi, dia memastikan bahwa sake berasnya sudah cukup, sedikit sirup dan mirin, kombu yang dipotong-potong, rebung rebus, dan enokitakes ke dalam periuk nasi. Setelah menambahkan air, dia menyalakan penanak nasi dan selesailah sudah, tinggal menunggu matang saja.

Selanjutnya, Ryūji mengupas kulit kentang dengan kecepatan seorang ahli lalu memasukkannya ke dalam panci dan merebus sampai airnya tersisa sedikit. Kemudian dia mencuci talenan, pisau, dan membersihkan meja dapur. Saat air mendidih di dalam panci sudah berkurang dan kentangnya mulai lunak, dia menambahkan gula, mirin, sake beras, sirup, bumbu sup, dan sedikit pasta. Sisanya tinggal menunggu matang saja. Setelah itu, dia akan mengecilkan apinya agar tidak kematangan dan membiarkannya mendidih sampai saatnya untuk pergi ke sekolah. Terakhir, dia akan menambahkan kecap sebagai sentuhan terakhir. Ryūji belum pernah meneliti bagaimana sesungguhnya cara untuk memasak, tapi sejauh ini masakannya cukup enak.

Baru setengah jam berlalu sejak dia bangun, jadi masih ada banyak waktu. Ryūji menuangkan susu ke gelas, kemudian menyalakan TV dan duduk di sofa.

Untuk menghabiskan waktu Ryūji menonton acara gosip pagi hari, dia mendengarkan dengan seksama berita sepak bola kemarin sambil mengelap meja. Tanpa disadari, Ryūji telah mengelap meja pendek itu sampai bersih berkilau.

Setelah mengetahui kalau tim jagoannya menang, walaupun dia hanya bisa minum susu untuk sarapan, Ryūji merasa itu adalah awal yang baik untuk mengawali hari. Meski akan lebih baik kalau matahari bisa masuk lewat jendela seperti tahun lalu. Sambil melihat ke luar jendela, Ryūji menghela napas di dalam kamarnya yang suram. Pada saat itu…

"…Wua!"

Tiba-tiba teleponnya berdering. Menelepon jam segini, apakah saudaranya? Memutuskan untuk tidak mengganggu tidur Yasuko (karena tetap saja dia pemilik rumah itu), Ryūji bergegas mengangkat telepon.

“Halo, kediaman Takasu...”

“Kau telat! Apa sih yang sebenarnya sedang kau lakukan!?”

“...”

Dia langsung menutup telepon tanpa pikir panjang.

Apa yang sebenarnya aku lakukan? Tentu saja hidup dengan normal. Amarah mendadak itu membuat pikiran Ryūji kosong sejenak. Telepon berdering lagi, dan Ryūji menjawab dengan sopan,

“Halo, kediaman Takasu...”

“Kau sengaja menutup telepon, ya kan? Apa kau mau aku datang kesana dan mendatangkan neraka, hah?”

Itu merepotkan. Dengan cepat Ryūji memikirkan jawabannya. Walaupun induk semang tidak datang untuk protes, Ryūji bisa mendengar dia menyapu lantai dengan keras di luar. Sepertinya dia, tidak salah lagi, menunggu Ryūji untuk keluar dan menceramahinya panjang lebar. Sepertinya keluarga Takasu sudah masuk daftar hitam.

Nada bicara yang seperti gangster itu, cuma ada satu orang yang bisa dia pikirkan...

“Aisaka... Taiga...”

Dia memiliki nama lain yang seperti nama gangster, Palmtop Tiger.

“Jika kau merasa ini merepotkan, cepatlah datang! Apa yang sedang kau lakukan? Jangan bilang kau sudah melanggar janjimu? Apakah kau tahu apa yang sedang terjadi?”

“Janji? Yang benar saja?”

“Bukankah kau bilang akan melakukan apa saja seperti anjing? Kau bersumpah, ya kan? Jadi cepat datang! Setiap hari, sebelum sekolah, mulai sekarang!”

“...Tu, tunggu! Maksudmu percakapan kita kemarin, kan? Ketika aku bilang akan membantumu, maksudku adalah membantumu dekat dengan Kitamura, jadi kau bisa megobrol lebih banyak dengannya... Itu sumpahku!”

“Ckk!”

Bunyi yang sangat menyebalkan dan mengesalkan seperti bunyi decakan lidah keluar dari telepon itu.

“Kau sendiri yang bilang akan melakukan apapun! Aku tidak peduli, pokoknya cepat datang! Kau tahu aku serius saat aku bilang akan melakukan itu... kau seharusnya sudah tau apa itu.”

Sepertinya Aisaka benar-benar sedang kesal. Suaranya persis seperti setan dari neraka, yang menggetarkan speaker telepon dengan cara yang menakutkan dan membuat kuping Ryūji berguncang. Percuma berdebat dengannya di telepon jika sudah seperti ini.

“...Ba, baiklah, apapun yang terjadi, aku akan datang... tapi... Aku bahkan tidak tahu dimana kau tinggal.”

“Lihat saja keluar jendelamu.”

“Hah? Di luar jendela? Tidak ada apapun di luar selain... WUA!?”

Sambil membawa telepon melewati ruang tamu yang sangat sempit dan melihat keluar dari jendela, Ryūji bisa melihat apartemen mewah itu. Namun, di lantai dua apartemen itu... melihat langsung dari seberang jendela...

“Piama bodoh macam apa itu?”

Aisaka Taiga berdiri disana sambil memegang handphone canggih dan terlihat kesal.

“Ah! Ber, berhenti memandangku!”

Memakai “baju hangat” milik Yasuko (dengan pola hati bertebaran disana-sini) karena dia merasa dingin, dengan cepat Ryūji menutupi bajunya dengan tangan sambil terlihat ganas. Dia bukannya merasa marah, tapi malu.

Aisaka membuka tirai mahalnya dengan marah.

“Siapa yang mau memandangmu! Cepat angkat pantatmu ke sini, anjing bodoh!”

Aisaka berhenti, tapi Ryūji ingat bahwa masih ada hal yang harus dia kerjakan,

“Tunggu! Beri aku waktu sepuluh menit!”

“... Kenapa?”

“Karena bentonya belum matang.”

“...”

Dari keheningan di seberang sana, samar-samar Ryūji bisa mendengar suara keroncongan yang menggelegar. Suara itu terlalu keras untuk diabaikan.

“... Ka, kau mau?”

Setelah keheningan panjang, tirai jendela apartemen mewah itu terbuka 10 senti. Aisaka tetap diam sambil menganggukkan kepalanya ke Ryūji.

Yasuko, Inko-chan, dan sekarang Aisaka.

Sepertinya sekarang ada tiga orang yang menunggu diberi makan oleh Ryūji.


* * *


Ini adalah pertama kalinya dia melihat gerbang otomatis.

Atmosfir di dalam ruang masuk marbel itu terasa lebih dingin dari udara luar. Sekelilingnya sunyi senyap, seperti sedang memperhatikan Ryūji. Menghadapi suasana seperti itu, Ryūji tidak bisa menghentikan tatapan matanya yang kelihatan lebih ganas saat menatap alat di depannya itu. Di depan pinggangnya, ada panel marbel dengan sebuah tombol, lubang kunci, dan sesuatu seperti intercom. Di seberangnya ada gerbang otomatis yang menuju interior dalam apartemen. Walaupun begitu, gerbang itu tidak terbuka otomatis. Di sebelah kanannya ada pos satpam, tapi ada tulisan di luar yang berbunyi “Sedang dalam Pembersihan”, jadi sepertinya tidak ada orang di dalam. Bagaimana sih cara menggunakan alat ini? Bagaimana caranya aku masuk ke dalam kandang Palmtop Tiger? Ryūji terdiam, tidak tahu harus berbuat apa, sampai...

“Selamat... pagi...?”

Seorang perempuan muda keluar dari gerbang dan menyapa Ryūji, tapi segera memandang curiga padanya, sepertinya sedang berpikir Siapa orang ini?

“Pa, pagi.”

Menundukkan kepalanya malu, Ryūji menyelinap masuk ke dalam gerbang sebelum tertutup. Bolehkah aku masuk seperti ini? dia bertanya-tanya, walaupun dia percaya tidak akan mendapatkan banyak masalah.

Dia memasuki lift dan menekan tombol lantai dua. Saat pintu terbuka, tanpa sadar dia menatap koridor berselimutkan karpet seperti hotel yang pernah dia lihat saat karya wisata dulu.

Ryūji pun bertanya-tanya, berapa sih harga sewa disini? ...Sial, aku lupa bertanya berapa nomor kamarnya. Walaupun masalah itu dengan cepat terselesaikan...

Karena hanya ada satu pintu di ujung koridor.... Artinya, seluruh lantai dua dari apartemen mewah ini adalah milik Aisaka.

“Dia sungguh kaya... Apakah rumor kalau ayahnya gangster itu benar?”

Sambil berpikir keras, Ryūji berjalan gugup menuju pintu (walaupun itu Aisaka, dia masih mengunjungi rumah seorang gadis), dan menekan bel pintu. Namun, tidak ada jawaban, bahkan setelah menekan beberapa kali.

Masih ada waktu sampai sekolah mulai, tapi waktuku bukannya tidak terbatas! Dia mencoba mendorong pintu itu pelan-pelan.

Dia menahan nafas dan kemudian... pintunya terbuka.

“... Pa, pagi! ...Aisaka! ...Ini aku, Takasu... Halo?”

Dia memandang ke dalam dan berteriak, masih tidak ada jawaban. Halo~! Halo~! Ryūji memasuki ruang depan apartemen itu sambil terus berteriak.

“... Maaf mengganggu... Bo, bolehkah aku masuk?”

Dasar Aisaka, memanggilku sambil mengancam dan membiarkan aku berdiri disini sendirian! Apa yang harus aku lakukan jika keluarga melihatku? Terutama ayahnya! Ryūji melepas sepatunya cemas dan berjalan di sepanjang koridor kayu itu.

Ryūji menghela nafas saat berjalan dan memandang sekeliling. Pada dinding putih, lantai kayu mahal, ataupun penerangannya, semuanya menunjukkan selera yang bagus, tidak seperti apartemen sewaan lain di sekitar situ. Sesungguhnya, untuk seseorang dengan ketertarikan pada desain interior, Ryūji menatap pintu kaca dengan ketertarikan hebat sambil membukanya. Dan kemudian...

“Wow! ...Wua!!!”

Pertama, dia menatap dengan penuh kekaguman, kemudian diserang oleh bau yang sangat busuk.

Apa yang membuatnya kagum adalah ruang keluarga, yang berukuran lebih kurang 20 tatami. Lantainya dilapisi karpet putih dan ada sofa berwarna keabuan, berpasangan dengan meja makan berwarna putih bersih dan kursi... Sebelah selatan ada meja dimana seseorang bisa melihat pemandangan yang biasa dilihat keluarga Takasu setahun yang lalu – pohon di taman dekat situ. Warna peralatan dapur yang gelap tidak mempengaruhi rasa luas ruang keluarga itu dan desain yang spesial memberikan rasa mewah. Ini senada dengan lampu kristal yang indah di langit-langit. Anehnya, sofa dan kursi yang ada hanya cukup untuk satu orang.

Biasanya, lima atau enam kursi tidak aneh untuk ruang keluarga yang begitu besar.

Lalu ada bau busuk...

“Apa itu datang dari sini...?”

Bau itu datang dari dapur bergaya Eropa.

Dapur itu memiliki bak cuci baja anti karat, tapi dipenuhi oleh piring-piring kotor yang tidak bisa lagi ditebak umurnya. Lalu, seperti apa bentuk salurannya? Hanya dengan memikirkan itu saja bisa membuat seseorang merinding. Belum lagi baja anti karat itu terlihat buram, speerti penuh oleh...

“AAARRRGGGHHH!!!”

Jamur hitam, cukup untuk menyiksa seseorang sampai dia pingsan. Seakan ditarik, Ryūji berjalan tertatih-tatih dan menggosok jarinya yang gemetar ke permukaan bak itu. Tak perlu ditanya lagi, rasanya licin dan tebal...

Tidak bisa dimaafkan!!!

Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi! Ini penghinaan buat dapur itu! Penghinaan buat hidup! Walaupun dapur di apartemen kecilku sempit dan gelap, setidaknya cukup bersih sehingga seseorang bisa menjilatnya tanpa sakit. Beberapa orang bekerja keras untuk membersihkan dapur dan ada seseorang yang memiliki dapur yang begitu indah dan lengkap, dan, dan, dan, jadi begini... INI!!!

“AISAKA~!!!”

Ryūji meloncat keluar dari dapur. Sudah cukup! Beraninya dia membuatku melihat itu!

“Apapun yang terjadi, biarkan aku... biarkan kau membersihkan dapurmu!!!”

Sesuatu mati dalam hati Ryūji.

Uratnya bermunculan dan dia berlari di sekeliling ruang keluarga seperti peluru tapi masih tidak bisa menemukan Aisaka. Matanya, bersinar senang, menemukan pintu geser.

“Apakah yang ini!?”

Kemudian dia membukanya dengan sekuat tenaga...

“... Ah.”

... Bingo. Tapi entah kenapa, rasanya... dia salah menebak.

Aisaka Taiga ada disana.


Toradora vol01 103.jpg


Melihat pemandangan seperti itu, Ryūji tidak bisa menahan diri untuk menutup mulut, dia bahkan berhenti bernafas.

Tirai tergantung dari jendela di sebelah utara, di dalam kamar beratap tinggi yang sunyi itu, di sekitar karpet putih itu bertebaran gaun-gaun satu potong yang dilemparkan sembarangan setelah dipakai. Di pojok ada meja dan kursi belajar berwarna putih senada, sedangkan di tengah ruangan ada tempat tidur berukuran sedang dengan tirai putih berenda tergantung dari atas.

Ini adalah kamar Aisaka.

Di tengah kasur, dikelilingi oleh tirai berenda, terbaring Aisaka Taiga. Rambut panjangnya bertebaran di sekeliling seprai, sambil memeluk tangan dan kakinya dia tertidur lelap.

Handphonenya tergeletak di samping bantal dan di seberang tirai seseorang dapat terlihat kediaman Takasu.

“... Jadi dia kembali tidur...”

Zzzzz... Hanya keheningan dan nafas teratur yang bisa terdengar.

Tidak bisa mendekatinya, Ryūji tetap di tempat sambil memandang Aisaka yang sedang tertidur... Bukannya dia sangat ingin melihat, tapi dia tidak bisa mengeluarkan Aisaka dari batas pandangnya.

Terbungkus baju tidur yang longgar, tangan dan kaki mungilnya terlihat makin mungil. Hanya pada saat ini saja wajah tenangnya terlihat sejelas pahatan es, walaupun hampir mencair. Hidung kecilnya, mulut mungilnya yang sedikit terbuka, dan bulu matanya yang lentik... jika bukan karena nafasnya, seseorang tidak bisa menebak apakah dia hidup atau tidak... Dan itulah Aisaka yang tertidur diam di tempat tidurnya.

Bukan karena dia melihat teman sekelasnya tertidur, hanya saja pemandangan ini seperti keluar dari cerita dongeng.

Ryūji merasa bahwa gadis itu terlihat seperti Putri Tidur, seperti gadis-gadis lain. Tapi dengan cepat dia menolak pemikiran itu.

... Dia bukan putri.

Bukan... dia hanyalah boneka yang dilupakan oleh seorang putri. Matanya akan terbuka saat kau mengangkatnya, tapi karena dia terlupakan, dia hanya bisa terbaring disana dan terus tertidur.

Sang boneka tetidur di tenpat tidur ini, di kamar ini, di apartemen ini, tapi itu milik si putri bukan si boneka. Ini menjelaskan kenapa semua terasa besar dibandingkan ukuran boneka itu.

Tapi Aisaka itu manusia dan ini rumah Aisaka... Ngomong-ngomong, dimana keluarganya?

Setelah melihat sekeliling kamar, Ryūji menyipitkan matanya perlahan. Satu kursi, satu sofa... Tidak ada orang lain disini selain Aisaka, dan disini Aisaka tidur, yang hanya menggelengkan kepala saat ditanya mengenai keluarganya.

Ryūji melihat jamnya, masih ada waktu sebelum sekolah dimulai.

Merasa kalau membangunkan gadis itu akan sulit, Ryūji meninggalkan kamar itu diam-diam dan menutup pintu tanpa membuat suara. Aku akan memanggilnya jika dia masih belum bangun juga saat sudah waktunya pergi.

Setelah kembali dari dimensi lain di dalam kamar yang sunyi itu, Ryūji melepaskan jaket gakuran[5] dan menggulung lengan kemejanya.

“... Ayo lakukan ini!”

Di depan matanya yang melotot ada perkakas dapur yang licin, batas waktunya 15 menit. Pertarungan antara laki-laki dan baja anti karat telah dimulai.

Ketika Aisaka Taiga bangun, mungkin dia tidak akan mempercayai matanya.

Walaupun pekerjaannya belum selesai... Aku akan menyelesaikan sisanya besok! Ryūji bersumpah pada dirinya sendiri, peralatan dapur dan lemari baja anti karat di belakangnya, yang tidak pernah dibersihkan hampir setengah tahun lamanya, sekerang bersih berkilau.

Sisanya tinggal nasi dan sup miso instan untuk sarapan.

Isinya sama. Walaupun aku bawa tambahan. Ryūji memperhatikan bento yang dibungkus erat dan berat itu.

Semua ini dibuat untuk Aisak Taiga, yang masih tidur di dalam mimpi indahnya.


* * *


“Aku menelponmu khusus untuk menjemputku, karena aku tidak mau terlambat, kenapa kau menunggu hingga seterlambat ini? Apa saja sih yang kau lakukan?”

“Apa!? Bukankah aku sudah menyuruhmu makan lebih cepat berkali-kali? Siapa sih yang terus minta tambah dan tidak mau menurunkan mangkuk itu?”

“Aku tidak pernah menyuruhmu untuk membantuku, kau sendiri yang dengan senang hati membuat sarapan. Aku pikir sayang kalau tidak aku makan, jadi sesungguhnya aku yang membantumu! Kau harus berterima kasih untuk kemurahan hatiku!”

“Kembalikan...! Kembalikan bento itu!”

“Diam! Dan menjauh dariku, dasar anjing mesum!”

“Kenapa kau... Berikan itu! Kembalikan beserta dengan kebaikanku!”

“Diam, dasar sampah!”

“Aku, kau tidak punya nasi bento untuk orang yang memanggilku sampah!”

Berlari berdampingan di sepanjang jalan ke sekolah, Ryūji dan Aisaka sedang memulai perang berbahaya. Di bawah pepohonan hijau, tidak ada orang lain yang bisa membuat masalah melebihi dua orang yang sedang berkelahi di jalan itu.

Ryūji menyerang dari atas, mencoba untuk mengambil bento yang sedang dipegang tangan mungil Aisaka; walau dengan mahir Aisaka menghindar menggunakan badan kecilnya dan menyelip seperti ular, tetap menjaga jarak dengan Ryūji. Beberapa pengamat tak bersalah, yang tidak ingin terlibat dengan murid SMA bertampang iblis dengan tatapan ganas dan gadis cantik dengan wajah bagai malaikat, menghindari bertatapan mata dengan kedua orang itu.

“Bagaimana bisa gadis tak tahu terima kasih sepertimu ada di dunia ini... ini tidak bisa dipercaya! Dan setelah aku membersihkan dapurmu, walau belum benar-benar bersih...”

“Aku sudah bilang, aku tidak pernah menyuruhmu melakukan itu!”

“Kau! Biar aku luruskan ya, kau benar-benar menggelikan! Air yang menggenang di bak cuci piring itu sudah berbau busuk... Hanya ada lendir dan jamur di dalam saluran air, dan sisa makanan yang telah membusuk itu adalah gambar langsung dari neraka... Sudah berapa lama sih kau membiarkan itu? Apartemen itu baunya seperti neraka!”

“Kira-kira setengah tahun.”

“Kau benar-benar tidak punya hak untuk menyebut dirimu manusia...”

Ryūji menunjuk gadis itu dengan jarinya, dan Aisaka hanya menjawab tanpa ekspresi apapun, “Apa hubungannya denganku?” dan berjalan duluan dengan cepat. Dia tidak membersihkan dapur itu karena ingin menuruti perintah gadis itu. Ryūji hanya tidak tahan melihat sebuah dapur dalam keadaan berantakan. Dia ingin membuatnya bersih, indah, bisa dipakai... Pikiran-pikiran ini tumbuh perlahan dalam pikirannya dan tidak bisa dihentikan.

“Apa aku... menyedihkan?”

Ryūji bergumam pada dirinya snediri sambil mengejar Aisaka. Atau tepatnya, karena dia juga harus pergi ke sekolah, tidak ada pilihan lain selain berjalan di belakangnya. Aisaka sedikit memalingkan kepalanya untuk melihat Ryūji,

“Jangan pikirkan hal kecil. Jangan lupa kalau kau harus membantuku di sekolah, jadi jangan coba-coba kabur!”

Aisaka berseru sambil menatap Ryūji dengan mata yang sudah terbangun dan dengusan pelan dari hidung mungilnya. Inikah yang mereka sebut peringatan? Ryūji mempercepat langkahnya dan menjawab,

“Aku bilang ya, aku tidak punya niat untuk membantu seseorang yang berbicara seperti itu kepadaku!”

Tanpa peringatan, Ryūji menabrak Aisaka yang berhenti mendadak dan menyikutnya tepat di perut.

“Ka, kau bodoh! Jangan berhenti mendadak!”

Merasa kesal, Ryūji meratapi abaian terang-terangan akan kelangsungan hidupnya, tapi mata Aiska tidak menatap Ryūji sama sekali.

“Minorin! Apa kau menungguku lagi?”

“Kau terlambat, Taiga! Apa kau mengambil jalan pintas lagi hari ini?”

“... Uh!”

Sesaat sebelum tersandung, Ryūji berhasil menyeimbangkan dirinya kembali. Di hadapan Aisaka, di pojok persimpangan jalan utama, berdiri tidak lain tidak bukan adalah Kushieda Minori.

Hanya sebagian kecil dai wajhnya yang terbakar matahari, ditambah matanya yang besar dan jernih, dia tersenyum tanpa dosa sambil melambaikan tangan ke arah mereka. Rambutnya diterangi sinar matahari pagi, dan roknya berkibaran terkena angin... Tiba-tiba dia berhenti melambai dan senyumnya hilang, mata besarnya melebar...

“EEEHHH~...!!!??? Ap...!? Tidak mungkin! Apakah!?”

“Ada apa, Minorin?”

“Ku, kupingku...”

Minori berteriak dengan suara tinggi, sambil menatap cepat antara Ryūji dan Taiga yang pergi ke sekolah bersama.

“Dan kau bertanya ada apa!? Eh, eh... Aku, aku mengerti... Aku bahkan tidak tahu, kalau Taiga dan Takasu-kun akan jadi begitu akrab sampai datang ke sekolah sebagai pasangan...”

“Kau salah, Minorin. Lagipula, apa maksudmu 'sebagai pasangan'?”

“Hmm...! A, apa ya namanya. Em, dalam situasi seperti ini... Ah! Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya! Oh ya, kalian berdua telah 'bersumpah untuk tidak terpisahkan'?!”

“Tidak, tidak, tidak! Kami tidak bersumpah untuk berjalan bersama ke sekolah! Aku, hanya saja, kami hanya bertemu di sebelah sana!”

Ryūji membuat alasan seperti itu dengan sendirinya, kemudian dia berbalik dan berkata lembut,

“Iya kan, Aisaka?”

Saat memutar kepalanya, gadis itu tersenyum samar.

“Apa? Jadi kalian hanya kebetulan bertemu, huh?”

“Ya, kami tinggal berdekatan.”

Aisaka mulai berjalan berdampingan dengan sahabat baiknya, Minori. Bagaimana bisa aku melewatkan kesempatan bagus seperti ini!? Dengan cepat Ryūji menyusul dari belkang dan mulai berpikir dengan kepalanya.

Apakah karena Aisaka tahu aku menyukai Minori, dia memanggilku untuk menciptakan kesempatan bagiku untuk bisa pergi ke sekolah bersama Minori?

“Baiklah, sampai jumpa, Takasu-kun... Aku selalu ingin berkata, 'Ayo ke kelas bersama!' Tapi sepertinya kau tidak ingin berjalan bersama kami, kan? Karena kita hanya tidak sengaja bertemu, kan?”

Dalam kurang dari 3 detik, imajinasi Ryūji dengan indah dihancurkan oleh Aisaka, yang memalingkan kepalanya.

“... Ah... Tidak, Ai, Aisaka...”

“Kalau begitu, sampai jumpai, Takasu-kun! Hei Taiga, apa kau lihat acara TV tadi malam...”

Apa yang telah terjadi? Aku juga menonton TV tadi malam... Dengan sia-sia mencoba memanggil mereka dengan tangan terulur, Ryūji menerima peringatan terakhirnya:

Jangan pikir kau bisa mendahuluiku! Berhentilah bersikap sombong, anjing bodoh!

“... Ugh...”

Sepertinya Aiska berkata seperti itu saat dia memalingkan kepala dan menatap Ryūji dengan pandangan suram dan berat.

Ryūji membatu oleh tatapan monster kecil yang bisa ditaruh di telapak tangan siapapun. Sepertinya dia menyatakan Kecuali kau bisa mendekatkanku dengan Kitamura-kun, aku akan melakukan apapun untuk menghentikanmu mendekati Minorin!

Walaupun tanpa gangguan gadis itu, bisa bersama Minori masih sebuah mimpi untuknya... Kenapa sekarang aku memikirkan hal sedih seperti itu?

Tidak! Kalau begini terus, aku akan berakhir menjadi anjing Aisaka seumur hidupku. Itu adalah hasil terburuk yang mungkin terjadi...

Sambil memandang figur dua orang gadis yang perlahan menghilang, Ryūji menyipitkan matanya dengan tekad. Ayo maju! Jangan remehkan aku! Untuk pertama kalinya, penghinaan dan degradasi membakar semangat tempur Ryūji.

Dengan membuat Aisaka dekat dengan Kitamura, bukankah itu berarti aku bisa menghapus jarakku dengan Minori!?


Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Fusuma adalah panel kayu berbentuk persegi panjang yang berfungsi sebagai pintu ataupun partisi pada rumah tradisional Jepang.
  2. Baron Ashura adalah karakter dalam komik Mazinger Z karangan Go Nagai yang memiliki dua sisi wajah, sebelah kirinya pria dan sebelah kanannya wanita.
  3. Futon adalah tempat tidur gaya Jepang yang terdiri dari matras yang berisi kapas, serat poliester, dan bulu burung atau domba.
  4. Bento adalah bekal ala Jepang yang berisi nasi dan lauk pauk di dalam kotak bekal.
  5. Baju seragam anak laki-laki di Jepang.


Mundur ke Bab 2 Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 4