Tabi ni Deyou:Mimpi

From Baka-Tsuki
Revision as of 05:36, 1 September 2018 by Sakamiyo (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search


“...Jadi? Bisa kamu perbaiki?”

Seorang gadis berdiri di balik seorang lelaki yang memegang sebuah kunci inggris. Ia menjawab dengan keluhan pada wajah yang seperti sudah sembelit semingguan.

“Aku sudah berusaha selama empat hari, tapi dilihat dari keadaannya, kita bakal sampai ke kota selanjutnya sebelum ini aku selesaikan.”

“’’Ogah’’! Kota selanjutnya, ‘kan, masih berkilo-kilo lagi.”

Dengan tawa palsu, si gadis duduk di kursi. Kayu yang kering retak karena terus menerus terkena sinar matahari, menusuk kaki si gadis yang tak beralaskan apapun, tapi sekarang ini keletihannya telah meniadakan rasa tidak enaknya tersebut. Dia mengenakan blazer biasa dari seragam sekolahnya, tapi karena panas, dia melepas jaketnya dan mengipas-ngipaskan diri dengan tangannya.

“Jaka, kayaknya kamu payah kalau memperbaiki sesuatu. Kamu tau, 'kan, kamu nggak akan dipuji meskipun mau mendorong motor butut ini sampai 140 kilo jauhnya?”

“’’Tolong’’, jangan ingatkan aku. Kita terus maju, jadi aku enggak punya waktu lagi untuk servis motor terus.”

Si jejaka yang dipanggil dengan “jaka” mengetuk-ngetukkan pundak dengan kunci inggris. Ia mengenakan seragam sama dengan si gadis, tentunya itu yang versi lelaki. Ia juga sudah melepas jaket dan dasi, pun kancing kerahnya.

Benar, ada batasan untuk perbaikan yang bisa ia beri setiap kalinya. Untuk perjalanan mereka, sudah ditambahkan sebuah kursi boncengan lagi pada ‘‘supercub’’nya[1] yang mana awalnya hanya untuk seorang, dan mengisinya dengan benda-benda seperti makanan, pakaian, bensin, dan air. Dengan adanya barang bawaan untuk dua orang, berarti hanya ada sedikit tempat tersisa untuk alat-alat.

Baut dan mur merupakan bawaan untuk stok mereka, begitu juga dengan oli dan busi. Karena alat yang mereka bawa hanyalah kunci inggris dan kunci ring juga sebuah pisau lipat Gerber, servis yang semestinya hanya mimpi bagi mereka.

“Mending kita buang saja...” ujarnya.

“Jangan bodoh. Mau kamu bawa semua bawaan ini?”

“Ngh.” Si lelaki bingung harus bagaimana setelah mendengar usulannya yang mengada-ngada ditolak. “Kalau ‘gitu, mau kamu bantu aku dorong, dis?”

“Ogah.” Si gadis yang ia panggil dengan sebutan “gadis” membersut si jaka. “Kamu ini ‘gimana, masa iya aku sebagai wanita di sini harus melakukan pekerjaan berat begitu? Enggak lucu.”

“Heh, si cewek anak lapangan ini menyebut dirinya wanita? Padahal mungkin kamu lebih berotot dari aku.”

Akibatnya si gadis menendang kaki si jaka.

‘’Kelihatannya sang wanita tidak menerima candaanku. Aw.’’

“Sepertinya kita akan kemah di sini. Lebih baik ketimbang buka kemah di tengah jalan, ‘kan?”

“Mmm. Aku nggak keberatan.”

Mereka berhenti di ‘’rest area’’ yang sudah dibuat oleh petani di dekat-dekat sana. Hanya ada toilet, persediaan air, dan beberapa tempat duduk dari pepohonan, tapi memang hanya itulah yang mereka berdua butuhkan. Di tempat seperti ini yang tidak ada apapun selain jalanan panjang dan padang rumput yang tiada berhenti, tempat beristirahat jauh lebih berarti dari apapun. Coba saja tiduran di atas aspal: mungkin kamu akan diserang serangga, punggungmu akan kesakitan karena kerasnya tanah dan bakal disengat oleh panasnya mentari.

“Yah, kita siap-siap kalau ‘gitu. Sebentar lagi malam.”

Si lelaki mengangguk, “Mm.” Jarum yang ditunjukkan oleh ‘’chronograph’’[2] kesayangan si jaka menunjukkan jam enam lebih. Tak dapat disangkal kalau mekanisme model lama yang perlu diatur ulang ini tidaklah begitu akurat, tapi dilihat dari langit yang memerah, waktu yang ditunjukkan mungkin saja benar.

“Ok, gadis, siapkan makan malam. Aku yang urusi kasur.”

“Siap, jaka.”

Mereka berdua memulai tugas masing-masing tanpa memanggil satu sama lain dengan nama mereka.

Dari pengangkut bawaan yang mana telah mereka tambahkan pada kedua sisi di roda belakang ‘‘supercub’’, si jaka mengeluarkan buntelan alat tidur, sementara si gadis mengeluarkan tas yang tadinya berisi penuh bahan makanan, nan sekarang hampir sepenuhnya kosong dan hanya berisikan alat masak. Lalu mereka mengerjakan masing-masing kerjaan mereka.

Si lelaki menuju dua tempat duduk tua yang saling bersambungan. Meskipun sudah tua, pohon-pohon ini pas untuk ia gunakan: cukup panjang untuk bisa selonjoran dan bebas dari benda mengganggu seperti sandaran punggung atau tangan. Bahkan lebih baik lagi, tempat duduk itu di kedua ujungnya terdapat pohon[3]. Sempurna.

Perlahan ia keluarkan selimut yang telah digulung kecil dari buntelan tersebut. Ada total delapan selimut, tersusun rapi dan rapat menggunakan teknik pintar yang mereka telah pikirkan. Masing-masing mendapatkan empat. Di setiap tempat duduknya, ia meliputinya dengan selimut yang telah dilipat tiga kali dan menjadikannya alas tidur. Lalu, ia mengamparkan satu lagi di setiap tempat duduknya sebagai selimut. Walau musim panas, mereka berada di dataran tinggi bagian utara di sebuah pulau, jadi cuacanya bisa berubah kapanpun. Dua selimut sisanya digulung dijadikan bantal.

Selanjutnya, ia membuat atap dengan tali dari deretan pakaian kotor dan sebuah kain biru besar. Ia mengikat tali itu ke batang pohon, melewati tempat tidur buatan mereka, dan mengamparkan kain biru itu di atasnya. Atapnya dibuat berbentuk tenda dengan memberikan beban di setiap ujungnya. Itu cukup untuk melindungi mereka dari sinar matahari dan juga hujan gerimis. Susunan ini sangat lemah terhadap angin, tapi dengan mengikatnya pada ‘‘supercub’’ mungkin bisa menghindari kemungkinan akan tertiup angin.

Terakhir, ia menaruh kotak keramik berbentuk babi yang mana sudah berada di bagian sisi pengangkut bawaan dan perutnya sudah terisi obat nyamuk.

Semua siap!

“Oh?”

Setelah menyelesaikan persiapan kemah, harum yang merangsang selera makan si jaka menyebabkannya untuk berbalik dan melihatnya.

Yang menyambut matanya bukan hanya makanan enak, tetapi adalah mimpi setiap jejaka—seorang gadis yang menyiapkan makanan dibalik apronnya. Dia menggunakan kompor gas kecil dan penggorengan kecil untuk menghangatkan daging kornet dan asparagus putih kalengan.

Meski ia tidak begitu suka asparagusnya, aroma daging sapi yang dibaluti mentega memanggil-manggil perut kosongnya dan ia kesulitan menjaganya agar tidak bersuara.

Dia membagikan kedua makanan itu menjadi dua dengan pisau lipatnya, dia mengeluarkan dua potong roti dari wadah kedap udara dan menumpukkan setengah bahan-bahan tadi hingga dijadikan sandwich. Terakhir, dia memanggang sandwichnya.

Meskipun pisaunya tidak didesain untuk memasak, si gadis bergerak dengan cekatan dan sandwichnya berhasil dengan cepat. Atasnya diberi ‘’mustard’’ dengan jumlah yang sempurna, dan warna coklat keemasan dari roti panggang tersebut membuat si jaka semakin kelaparan.

Tetapi, si jaka tidak langsung memakan sandwichnya.

Karena mereka berdua sudah berjanji untuk memakan makanan mereka bersama.

Waktu si gadis menyiapkan sandiwch yang sama—dengan jumlah ‘’mustard’’ yang berbeda—untuk dia sendiri, si jaka kesulitan melawan pintu air lirnya yang mengancam akan membanjiri mulutnya.

“Oke, sudah. Kita makan!”

Dengan cepat si gadis melepas apronnya dan duduk di kasur sementaranya.

“...”

Lalu dia menyadari tatapan si jaka.

“...Apa?”

“Ah, aku baru sadar kalau kamu sudah jadi agak... perempuan.”

‘’Aw! Tulang kering!’’

“Maksud kamu apa!”

“Bukan, um, dari cara kamu masak dan lepas apronnya bikin kamu jadi...” ‘’Jujur, dia memberi kesan kalau dia ini istri rumah tangga, tapi aku ragu aku bisa mengatakannya.’’

“Yah, kamu sendiri pasti bakal terbiasa kalau kamu perannya jadi koki selama tiga bulan!”

“Maaf karena sudah memaksamu terus! ...Lupakan, sekarang kita makan.”

“Ya ya.”

Si gadis duduk lagi dan mengambil sandiwichnya.

Mereka saling memberi senyuman dan mengambil gigitan pertama di waktu yang sama.

Mereka tidak saling bicara, tapi mereka saling bertukar senyuman dari waktu ke waktu.

Baik kornet sapi lezatnya dan pedasnya mustard telah makin merangsang nafsu makannya, jadi mereka makin lahap memakan sandwichnya. Rasanya sangat enak sampai si jaka pun tidak mempedulikan asparagusnya.

Yang tidak enaknya hanyalah kenyataan kalau hanya terisa satu gigitan lagi.

Si lelaki melempar gigitan terakhirnya kedalam mulut dengan rasa sesal sedikit dan membersihkan remah-remah roti dari tangan.

“Terimakasih atas makanannya.”

“Ya. Terimakasih atas makanannya.”

Si gadis menyilangkan tangan.

“...Oh ya, jaka.”

“Mm?”

“...Sekarang kita kehabisan roti dan daging.”

“Wuaha?!”

Si gadis hanya memberikan tatapan dingin dan keras padanya.

“Sudah seminggu sejak terakhir kali aku dapat persediaan makanan. Kalau kamu nggak memperbaiki motornya, mulai besok cuma asparagus ‘’doang’’ yang kita makan!”

“A-Apa ini ancaman?!”

“Bukanlah. Aku hanya kasih info, ‘’supirku tersayang’’.”

Kata-kata yang ‘’nyelekit’’ ini menjatuhkan si jaka dari langit ke tujuh menuju neraka penderitaan. Si gadis, yang mana adem-adem saja kalaupun harus makan asparagus, berseri-seri padanya. Ia merasa kalau dia jauh lebih membangkitkan bencinya daripada seorang yang jawara. ‘’Sial. Aku harus bener-bener memperbaiki ini...!’’

Waktu menengadah, ia melihat mentari sudah hampir di bawah horizon. Senja perlahan semakin lenyap dan kegelapan nan tebal mulai menyelimuti dunia. Tak butuh waktu lama sampai mereka berada dalam kegelapan.

Untuk melawannya, ia menyalakan ‘‘penlight’’[4] LED pulpen dan beberapa lampu pijar.

“Sudah gelap. Kamu tidur duluan, ya, gadis?”

“Eh—? Kamu masih belum mau tidur?” Si gadis membalikkan kepalanya pada si jaka. Dia sudah terlentang di kasur waktu sebelum si jaka menyuruhnya.

“Aku masih harus menulis diari di hari ini... Kamu tau sendiri, ‘kan, belakangan ini isinya tragis melulu?”

“Tau. Belum banyak hal baik terjadi. Seperti yang aku bilang, kita kekurangan pasokan makanan.”

“’Gimana dengan air?”

“Sekarang ini aman-aman ‘aja, tapi yang kita punya ini air ledeng, jadi harus dimasak dulu besok.

Mereka berada di situasi yang mencemaskan. Mereka masih punya bahan bakar yang cukup untuk ‘’supercub’’, tapi akan bahaya kalau menggunakannya untuk memasak air. Paling tidak bisa mereka pakai untuk membantu menyalakan api.

Si lelaki menghela nafas dalam-dalam dan mengambil buku tebal dari tas buku yang dimasukkan banyak benda-benda.

Sebenarnay itu bukanlah buku; melainkan diari mereka. Sampul depannya kosong, jadi kamu tidak akan tau sebenarnya untuk apa buku itu, tapi mereka berdua menggunakannya untuk mencatat perjalanan mereka. Tebalnya sekitar lima sentimeter, dan ujung-ujung bukunya diberi kuningan. Bahkan ada semacam sabuk mengelilinginya dengan pengunci dari kuningan jua.

Kunci untuk diarinya berada di gantungan kunci yang sama dengan kunci untuk kontak ‘’supercub’’. Seperti biasanya, si jaka membuka kunci, membalikkan halaman ke yang untuk hari ini, dan menggores-gores kertas dengan pensil.

Cahaya putih dari ‘‘penlight’’ telah lebih dari cukup meneranginya untuk bisa menulis. Cahayanya bersetimbangan dengan bintang yang berkelipan di langit malam nan ungu. Beda dengan cahaya yang tak terkira di atas, di bawah sana hanya ada cahaya ‘‘penlight’’ dan obat nyamuk.

Setelah sekitar 10 menit, si jaka selesai menulis diari. Ia mengunci lagi bukunya dengan kunci dan mengembalikannya ke tas. Lalu ia mematikan lampu dan rebahan di kasur yang ia buat seadanya.

Lampu ‘’penlight’’ meninggalkan ‘’afterimage’’[5] hijau dalam retina mereka, dan seakan menggantikan sang pencahaya, bintang-bintang di langit gelap terlihat makin benderang di mata mereka.

Yang bisa terlihat hanyalah bola-bola yang kian berubah nan mewarnai surga, padang rumput yang tiada berakhir terhampar dari cakrawala ke cakrawala, dan jalanan abu-abu sempit membelah panorama.

Dan di ujung sisi pemandangan tersebut, dua pengelana perlahan tertidur.



Sakit punggung membangunkan si gadis di pagi selanjutnya.

Dia membuka mata, dan menyadari dirinya tengah terbaring di atas tanah. Keadaan tubuhnya seperti dia adalah korban pembunuhan. Kalau ada yang menggambar dengan kapur mengelilingi tubuhnya, pastinya akan membentuk mayat yang sempurna. Tapi ya, dia tidak terbunuh, dia hanya jatuh dari kasur buatan itu. Merasa tidak perlu panik, dia menggerakkan tubuh dan duduk. Kasur satunya lagi kosong. Tak jauh dari sana, si jaka tengah bertarung dengan ‘’supercub’’ dan membawa kunci inggris dengan satu tangan.

“...Kamu bangunnya cepat, ya?”

“Cepat tidur dan bangun telat itu bukan hal yang baik, tau, ‘kan?”

Tapi si gadis tidak begitu pusing untuk tidak abai pada kata-kata biadab tadi. Dia melepasnya dengan tendangan ke punggungnya untuk saat ini.

Lega setelah melihat si jaka tersungkur kesakitan, dia coba merilekskan sakit punggungnya dengan menggerakkan tubuhnya seperti sedang yoga, memutar pinggangnya ke kiri-ke kanan, dan terakhir meregangkan tangannya ke atas setinggi yang dia bisa. DIa berkeinginan untuk melakukan satu set senam ringan, tapi dia langsung berhenti meregangkan tangannya dan mengakhiri dengan nafas panjang karena mengira kalau dia lakukan sendiri saja akan menyedihkan.

“Tapi, jaka, apa kamu bangun duluan supaya bisa servis motor lagi?”

“Yah, begitulah. Kalau enggak, ‘kan, bakal kepanasan duluan sebelum selesai.”

Si lelaki melepas sarung tangan kerjanya, yang mana telah menghitam karena oli dan karbon. “Pokoknya sekarang aku akan selesaikan semua yang aku bisa. Kalau masih belum jalan, ya kita nggak bisa apa-apa lagi dengan alat yang begini rupa saja.”

“Uwaa, jadi sekarang ini kalau nggak bener, ya rusak aja, ya.” Si gadis senyum dan mulai melakukan semua yang dia perlu untuk mengurusi air.

Setelah mengangkut semua air yang telah mereka sisakan dari tempat yang tidak terjamin, dia bersiap untuk mensterilkan dengan merebusnya. Dengan menggunakan kompor gas kecil saja mereka akan hambur untuk merebus air yang sedemikian banyaknya itu, jadi dia mengumpulkan beberapa ranting kayu dan rumput kering untuk bahan bakar. Setelah mengatur-ngaturnya dalam batu-bata, dia menyalakannya dengan pemantik Zippo[6] milik si jaka.

Sudah jam tujuh pagi lebih dan matahari perlahan terbit. Tanpa mereka sadari, udara dingin di malam hari kepulauan utara telah menghilang dan panas kemarau menusuk mereka dengan kadar yang sama dengan negara-negara lain.

Sementara si gadis mengawasi kerjaan zona daerah panas, si jaka meneruskan perbaikan motor.

Mesin ‘’supercub’’ sebenarnya cukup simpel. Malah, si jaka jadi cukup mahir dalam membongkar mesin silinder empat taknya.

Tetapi, ia hanya bisa melakukan perbaikan kecil yang ada dalam jangkauan pasang-lepas baut dan mur. Tidak cukup tempat di motornya untuk membawa onderdil kalau-kalau ada yang benar-benar rusak. Kalau itu yang jadi sumber masalahnya sekarang, maka mereka sudah dalam keadaan yang terjepit.

Motornya telah mendapat perlakuan keras dari pemilik sebelumnya; sebuah kerusakan sudah pasti ada. Baut-bautnya sudah longgar, rivet-rivetnya pun rusak, gasketnya mulai rusak, dan olinya kotor. Ban dan remnya sudah gundul segundul kepala botak, dan suspensinya sudah tidak berfungsi. Sialnya, mereka masih butuh ‘’supercub’’ untuk sementara ini.


“Kalau ‘aja ada onderdil...” gumam si jaka. ‘’Atau kalau ‘aja masih ada oli baru, aku bisa bersihkan onderdil yang kami punya.’’ Toh membersihkan sebenarnya tidak ada manfaatnya kalau akhirnya pun bakal berkontaminasi dengan oli kotor yang ada dalam mesin.

“Jadi, ‘gimana?” Si lelaki dipanggil dari belakang.

“Lumayan.”

“Uhm. Apa aku harus siap-siap jalan?”

“Mungkin? Yah, kita bakal tau nanti.” Ia menggenggam ‘’grip’’ motor dan menempatkan kakinya di atas pedal ‘’starter’’.

...’’Ya Tuhan, semoga berhasil,’’ harapnya, dan menginjakkan pedal ‘’starter’’ dengan sekuat tenaga.

Engkolnya diputar beberapa kali, memberikan suara yang tidak kauran. Bahkan seorang gadis, yang mana jarang punya pengalaman dalam masalah teknis mesin tau kalau itu hanyalah kegagalan.

“...”

Tak ada satupun yang langsung menyerah, ia berusaha lagi. Kali ini, ia tidak hanya berdoa pada Tuhan, tapi juga pada ‘’supercub’’nya sendiri.

“Daaaan nyala!” Masih sama membuat suara ‘’mbrebet’’ yang tak karuan, tapi kali ini diakhiri dengan gemerincing yang keras.

“...hah.”

Nampaknya baik Tuhan maupun ‘’supercub’’ tidak mendengarkan doanya.


Setelah menyerah menservis motor, mereka mulai berkemas.

Tiga bulan berlalu sejak pertama mereka mulai berkelana, dan dengan semua pengalaman itu, mereka jadi sangat bisa efisien dalam menjalankan tugas sehari-harinya. Mereka menuangkan air sterilnya ke dalam botol berkapasitas dua liter dan memasukkan kayu bakar yang masih bisa berguna ke dalam tas khusus setelah merombaknya jadi kecil. Perlengkapan kemah mereka sudah kembali menjadi buntelan, dan mereka taruh pada ‘’supercub’’ yang masih tidak bersuara.

Dalam kurun waktu 30 menit mereka sudah bermandikan keringat.

Walaupun mereka jauh di utara, itu sudah jam sembilan dan mentari musiim panas telah memanggang tanahnya tanpa ampun. Kalau bisa, mereka ingin bertanya pada sang mentari untuk menurunkan suhunya, namun suara mereka tidak akan pernah sampai dari 149 juta kilometer jauhnya.

“Jadi akhirnya kita akan buang, si Cub-chan?” Sambil memegang sebuah helm dengan satu tangan, si gadis menepuk-nepuk jok ‘’supercub’’ silver mereka. Kulit hitam sintetisnya sudah terlalu panas untuk disentuh terlalu lama. “Aku inginnya kita bisa memperbaikinya. Maksudku, kita akhirnya jadi terbiasa untuk boncengan.”

“Yah, kamu benar juga. Kita belum pernah pakai kendaraan lain sebelumnya, jadi kita mungkin nggak akan bisa pakai motor lain kalaupun ‘nemu satu.” ‘’Supercub ideal untuk pemula karena dibuat sesimpel mungkin untuk dibawa... “Tapi kalau nggak jalan...”

“Cuma sampah doang!”

Si gadis menendang ‘’supercub’’.

Kala itu, seakan memprotes kekerasan pada kendaraan roda dua kesayangan si jaka, perutnya tiba-tiba mengerang. Ikut pula perut si gadis mengaung.

“...”

“Apa yang kamu liat?! Aku belum sarapan juga, jadi wajarlah aku lapar!”

“Ah, aku kaget karena suara perutmu bisa sekeras it— awawawaw!!”

Si gadis menarik daun telinga si jaka, membuatnya berhenti berkata.

“Karena komentarmu, aku akan kurangi jatah kamu!”

“Memangnya aku ini apa, seekor anjing?!”

“Kalau bukan, pakai kalori kamu untuk jalan dan bukannya ngomong!”

“...susah menguras tenaga kalau hanya untuk bicara...”

Si gadis tidak membalas dengan keras, tapi hanya menggumamkan sesuatu sembari mengeluarkan sebuah kaleng dari tas yang terletak di dekat ban belakang dan duduk di bangku dekat sana.

“Ini ada biskuit tawar. Kamu nggak masalah, ‘kan, untuk makan ini?”

“...tapi terlalu hambar.”

“Ya ampun! Manja amat, sih!?”

“Kamu komplain sama parahnya seperti aku.”

“Berisik. Aku sudah siap-siap dulu sebelumnya. Nih.” Dia menaruh sesuatu di samping biskuit tadi—sebuah toples berisikan selai strawberry.

“Kamu senang? Ini yang terbaik yang kita punya. Kita nggak punya banyak buah-buahan yang awet seperti ini lagi, jadi jangan kamu langsung pakai banyak-banyak.”

“Siap, mbak!”

Dengan hanya sedikit selai, rasa kering dan campah cabang langsung mekar menjadi kue-kue yang elok. Ketika mereka membuka toplesnya, harum asam buah menghembus dan mempertajam rasa lapar mereka.

“Kita mulai makannya?”

Mereka mengambil secukupnya dan sarapan sebelum bepergian. Setelah memulihkan sedikit tenaga, langkah pasangan ini terlihat lebih ringan daripada hari kemarin.



Kata “fatamorgana” seperti yang kita ketahui, disebut dengan “air yang pergi”[7] dalam bahasa Jepang. Yakni pembiasan cahaya yang disebabkan panasnya udara di atas permukaan yang datar, menyerupai pantulan dari genangan air yang sebenarnya tidak ada. Karena butuh waktu yang panjang, kamu tidak akan pernah sampai ke air tersebut dan si air pun diperintahkan untuk “pergi”. Karena baik si jaka maupun si gadis lahir dan dibesarkan di kota yang besar, fatamorgana adalah hal yang baru dan menarik bagi mereka, tapi tak butuh waktu lama, mereka langsung jadi kebal terhadapnya.

Mereka sudah berjalan selama setengah hari, terpanggang sinar mentari dan juga radiasi dari bawah. Selain saat empat kali istirahat yang hanya sebentar, mereka berjalan secara ‘’non-stop’’.

Seiring waktu berjalan, mereka juga bisa mereasakan kebencian yang datang dari matahari. Tetapi, setiap emosi yang mereka tampilkan kelihatannya langsung menguap dan berkilapan menuju udara yang panas. Mereka berjalan dengan susah payah dalam keadaan yang seperti robot, mendorong motor dengan ekspresi kosong.

Pemandangan di sekitar mereka sama seperti di hari-hari sebelumnya, masih berisikan jalan panjang yang kelihatan tak ada ujungnya yang diapit oleh padang rumput di kedua sisinya. Satu-satunya yang berubah adalah sudut arah datangnya tembakan radiasi mentari yang memanggang mereka.

“...Aku kepanasan,” gumam si gadis sambil mendorong ‘’supercub’’ dari sisi yang satu.

“...Kebetulan... Aku juga sama,” balas si jaka sambil sama-sama mendorong ‘’grip’’ motor dari sisi satunya lagi.


Ini adalah percakapan mereka yang pertama kali di jam ini. Langkah mereka sama payahnya seperti orang yang tidur sambil jalan, dan mereka mungkin saja sudah tepar kalau bukan karena terus bersandar pada ‘’supercub’’ selagi mereka mendorongnya.

Si jaka telah melepas kemeja putihnya dan menggunakannya sebagai penghalang sinar matahari, sementara si gadis sudah menaruh plastik kecil di atas kepalanya.

Langkah mereka sama payahnya seperti orang yang tidur sambil jalan, dan mereka mungkin saja sudah tepar kalau bukan karena terus bersandar pada ‘’supercub’’ selagi mereka mendorongnya.

Panasnya bisa saja tidak separah ini kalau mereka bisa membasahi penghalang sinar matahari temporer, tapi mereka harus berhemat. Mereka hanya punya sepuluh liter air lagi, cukup untuk maksimal lima hari. Karena mereka tidak bisa memprediksi kapan mereka akan bisa menemukan sumber air selanjutnya, menggunakan air sembarangan bisa membawa kematian pada mereka berdua.

Kalau semua berlalu dengan normal, mereka bisa saja meminta bantuan dengan telepon, tapi bukan itu saja masalahnya. Karena infrastruktur selulernya telah rusak, telepon genggam sudah berubah jadi lampu genggam dengan fitur jam, kalender, kamera, dan catatan. Tetapi, telepon si jaka, sudah habis baterainya, hingga sekarang jadi tidak berguna.

“...kenapa nggak ada... turunan...”

“...jangan diterusin... kalau kamu bikin aku ingat... kalau kita masih nanjak... kekuatan aku bakal hilang semua...”

Mereka berusaha melawan lerengan yang paling sulit-sulitnya. Meskipun jalannya terus lurus hingga menembus horizon, sedikit demi sedikit jalannya menjulang ke atas. Tenaga yang perlu diberikan untuk mendorong motor naik ke lerengan ini menyedot tenaga mereka seperti lintah, dan kaki mereka pun semakin berat dan berat saja.

“Ini masih jauh... dari kota selanjutnya... apa kita bisa tahan begini terus...?”

“Tahan dulu... gadis! Lihat, kita hampir... sampai ke puncak.”

“...Semoga bakalan cukup... curam supaya bisa dinaiki motornya.”

Setelah setuju bisu pada si gadis, si jaka terus melangkah. Dengan kuat ia memegang ‘’grip’’ dari motor bermuatan berat untuk satu dorongan terakhir, dan mereka akhirnya sampai di puncak lerengan tadi.

“Haaah,” desah si gadis. Dia berbalik melihat jalanan yang baru mereka lalui. Lerengan kecil tadi tak henti-hentinya menurun sampai bergabung dengan langit. Tempat peristirahatan yang mereka tempati tadi pagi sudah jauh di horizon. “Kita jalan belum jauh, hah...”

Karena si jaka tidak memberikan reaksi apapun pada gumamannya, si gadis menengoknya. Dia melihat ia tengah melihat dengan teropong yang ia sudah keluarkan dari tas.

“Kamu lihat sesuatu?”

“...di sana...”

Si gadis hanya memiringkan kepalanya, lalu ia menyerahkan teropongnya pada tangan si gadis.

Awalnya dia hanya melihat gambaran yang buram, tapi setelah mengatur fokusnya, dia melihat turunan lagi yang hampir seperti tempat mereka datang. Saat dia mengangkat teropongnya untuk melihat ke cakrawala, dia melihat potongan kecil di mana warna tumbuh-tumbuhannya sedikit berbeda. Tidak begitu besar, tapi tempat berumputnya diselimuti oleh warna hijau yang lebih tua daripada sebelum-sebelumnya.

“.......ini perkebunan... dan di sana pun ada rumah, jaka!”

Pemandangan yang telah diperbesar tersebut bergetar-getar di tangan si gadis yang kelelahan, tapi itu memang benar rumah seseorang. Tak diragukan lagi: di sisi jalan yang memisah pemandangan hijau tersebut adalah atap dan tanah yang sudah ditanami tumbuhan.

Tanahnya dipisah oleh sesuatu yang kelihatannya seperti pagar buatan dan nampak ditanami oleh buah dan sayur. Mereka bahkan bisa melihat padi di sampingnya. Tanahnya terusun rapi dan pasti belakangan sudah dirawat oleh seseorang.

Tentunya, tidak bisa langsung memastikan apakah adanya orang di sana dari jarak ini, tapi setiap tempat yang pernah ditinggali pastinya ada persediaan air. Dan dilihat dari kehijauan sayuran yang mereka lihat, ada kemungkinan kalau di sana masih ada air.

“Ayo, jaka! Ada di ujung sana! Kita akan sampai nggak lama lagi!”

“Siap!”

Si gadis melemparkan teropong kembali ke dalam tas dan mereka mulai mendorong lagi sepeda motornya menuruni bukit dengan tenaga yang terpulihkan kembali.



Meski lerengannya tidak begitu miring untuk bisa dinaiki motornya, tujuan mereka sudah di depan mata dan sontak energi mereka langsung terisi kembali.

Setelah berlari setengah jalan dengan kecepatan penuh, mereka ingat kalau jaraknya untuk sampai ke cakrawala berubah tergantung ketinggian tanahnya.




“Aku sekarat.”

“Aku juga.”

Percakapan mereka berdua terus memendek dari waktu ke waktu. Wajar saja, karena mereka sudah mendorong motor mereka dari jarak yang mungkin tergolong “jauh” dalam olahraga lari. Terlebih, mereka kesulitan menahan bagian belakang motor mereka karena kecuraman jalan ini terlalu keji dan jadi tugas mereka sekarang. Meski tidak separah saat jalanannya menanjak, jalan di tempat yang datar tidak beda jauh rasanya. Namun, mereka akhirnya berhasil mencapai rumah tersebut. Bayangan mereka telah memanjang dan daari suatu tempat terdengar bunyi burung gagak.

Si gadis tidak punya cukup tenaga untuk hanya sebatas mengangkat kepalanya, jadi si jaka lah yang menstandarkan motor dan mendekati bangunan itu.

“Ini... toko sekaligus kebun...?” gumamnya sendiri sambil memerhatikan rumah yang terbengkalai dan ladang dengan mata si jaka.

Di sisi kiri jalan terdapat toko yang juga dipergunakan sebagai tempat tinggal dan di sisi kanan jalan adalah lahan yang telah ditanami tanaman. Keduanya tidak menunjukkan adanya kehidupan. Campuran antara warna kelabunya jalan yang melintasi pemandanganhijau rerumputan dan “benda asing” ini mengingatkan sang jaka pada jalan kereta dan stasiunnya. Ia juga bisa melihat banyak sayuran yang hampir bisa dipanen. Sudah cukup lama ia tidak melihat pemandangan ini lagi. Tomat, bersinar dalam warna merah dengan bantuan sinar sang surya, mentimun yang sangat besar, ia mulai mengira kalau penanamnya mungkin menggunakan suatu bahan kimia, dan beberapa macam sayuran yang tidak ia ketahui berayun-ayun karena angin.

“Wow......hei, gadis...gadis? Uwa! Gadis! Kamu kenapa?!”

Si gadis, yang seharusnya sedang berdiri di belakang ‘’supercub’’, telah jatuh tertelungkup di tanah yang panas tanpa bergerak sedikitpun. Sepertinya bukan hanya karena sinar merah dari matahari yang terbenam saja yang mewarnai romannya yang memerah.

Dengan kebut si laki-laki mengangkatnya dan berjalan ke sekitaran ladang untuk mencari sumber air. Seharusnya ada sumber air. Bisa saja ia dimarahi karena masuk tanpa izin dahulu, tapi kalau kondisinya begini mau bagaimana lagi, ia harus mau minta maaf.

Tapi, sewaktu ia baru mau melewati tokonya sesuatu yang kelihatan pas.

Adalah sebuah kendaraan roda empat yang asing terparkir dibalik bayangan bangunan tersebut – kendaraan yang sangat mewah berada di sana.

Benda yang berkilauan pada kap mobil meskipun dalam gelap terlihat seperti emblem merek Mercedes-Benz. Si lelaki tidak begitu tertarik dengan bursa mobil, tapi dengan melihat pelek aluminium dan tempat duduk yang terbuat dari kulit merah sudah tercium olehnya uang. Sopir yang mengenakan sarung tangan putih, membersihkan debu dari mobil indah tersebut dengan kemoceng, sudah jadi gambaran yang cocok untuknya.

Tapi kenapa seorang kaya yang mengemudikan Mercedes mewah begini mau bekerja di ladang pada tempat terpencil di daerah utara?

Ia tidak bisa menghilangkan rasa herannya, tapi sekarang si gadis yang tengah ia panggul di atas pundaknya sudah mau meleleh, jadi ia cepat-cepat menuju ladang.

Selagi mengamati kondisi yang luar biasa dari tomat dan mentimunnya, ia tersesat di sana dan masuk semakin dalam ke daerah tersebut. Sulit untuk mencari sumber air sambil membawa si gadis yang kelelahan, tapi ia menemukannya dengan cepat.

Adalah tempat untuk mengairi ladang yang dibentuk seperti sumur dan terletak hampir dtepat di tengah-tengah ladang.

Tepat di belakangnya adalah gundukan dari sebuah konstruksi, yang mana diperkuat oleh batu dan dilengkapi oleh pipa. Air yang sangat jernih keluar dari pipa tersebut dan mengalir menuju penampung air dari beton.

Setelah buat si gadis duduk di tempat duduk dari batu di sampingnya, si jaka mengambil mangkuk plastik yang mengambang di penampung air itu dan mulai mengambil air dengannya.

Dan kemudian:

“Bangun, gadis!”

Terkena cahaya matahari, kepanasan, kelaparan dan kehausan sudah hampir mengubah si gadis menjadi cumi kering, jadi, untuk menolongnya, dia membanjurkan air tadi dengan sekuat tenaga.

“...Kau ini ngapain BEGO!?”

Dengan gerakkan secepat cahaya pada tangan kanan, si gadis mencuri mangkuk tersebut darinya dan melemparnya ke wajah si laki-laki. Tanpa air.

Di sisi kiri, adalah si jaka yang tengah memegangi hidungnya. Di sisi lain, adalah si gadis yang basah kuyup dari ujung kaki ke ujung kepala. Keduanya sudah mempunyai senjata, mereka menyiduk air dan berdiri, saling berhadapan.

“...”

“...”

Keduanya menunduk, mengambil kuda-kuda untuk menyerang, dan sesaat sebelum kontes basah-basahan yang dramatis akan dimulai, sebuah suara menghentikan mereka.


“Halo! Kalian pengunjung di sini?”


Keduanya menunduk, mengambil kuda-kuda untuk menyerang, dan sesaat sebelum kontes basah-basahan yang dramatis akan dimulai, sebuah suara menghentikan mereka.

Si jaka dan si gadis menengok si pemilik suara dan melepaskan mangkuk plastik yang berisi air mereka ke tanah. Dan mereka hanya bisa bengong.




Di sana berdirilah seorang pria yang tersenyum juga sedang menyeka keringatnya. Seorang pria yang sudah berumur empat puluhan, mungkin, dan masih dalam umur yang prima tengah berdiri dengan topi jerami, handuk kecil, sepasang sepatu bot, kaos putih dan jas merek Armani yang digulung. Tubuhnya yang kurus tetapi berotot mengingatkan pada guru olahraga yang seperti biasa dan senyuman hangatnya sangat menonjolkan kalau ia adalah orang baik-baik. Ia adalah contoh utuh bahwa sebenarnya pria tetaplah pria meskipun bekerja di kebun.

Tetapi, bukanlah kedatangannya yang tiba-tiba ataupun pakaian yang tidak semestinya yang mengejutkan mereka. Tapi justru yang membuat mereka kaget adalah rambutnya.

Rambutnya tidak hitam seperti sewajarnya, tapi putih salju seperti memakai cat rambut. Terlebih, kulitnya hampir sama putihnya seperti orang keturunan albino, tanpa kelihatan adanya kecoklatan meskipun beliau bekerja di bawah matahari yang sangat terik.

“Oh, apa saya mengejutkan kalian?”

“Ah, nggak, um...”

“Maaf karena menatap Anda dengan begini.”

Dia merundukkan kepala. Ini memberikan jaka sebuah prasangka kalau sebenarnya wanita mungkin jauh lebih hebat dalam meminta maaf daripada lelaki. Ini memang bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal seperti itu, sih.

Karena kedua pengembara ini telah datang dengan kondisi yang sudah diambang kematian dan si pria memang tengah membuang lelah, mereka memutuskan untuk duduk dulu di bangku yang terbuat dari batu dan berisitrahat.

Bangkunya cukup lebar untuk bisa cukup sampai lima orang dan berkat atap yang dipasang di atasnya, mereka terlindungi dari sinar matahari. Karena bak airnya berada di sana, terasa jauh lebih dingin daripada dekat jalanan beraspal. Tanahnya basah karena diguyuri air oleh si jaka, tapi surya di tengah musim panas sudah mengeringkannya. Begitu juga basahnya si gadis.

“...Ah ya, seharusnya saya memperkenalkan diri. Ini adalah identitas saya.”

Ia mengeluarkan kantong kecil dari saku dada, dengan pergerakkan yang lancar ia keluarkan kartu perusahaan dan mengangguk sambil memberikan kartunya pada mereka.

Rentetan pergerakkan tersebut sudah memberikan kesan sempurna dan menjelaskan pada mereka kalau ini adalah rutinitas bagi sang pria.

Tertulis

«Wakil Direktur Perusahaan Transportasi ».

Nama perusahaan juga nama sang pria hilang tak dapat dibaca.

Tidak ada tanda-tanda kesalahan dalam pencetakan atau karena terkikis; huruf-hurufnya saja sudah hampir lenyap semua. Sebenarnya, kertasnya masihlah utuh dan baik-baik saja. Seperti seakan-akan ia membuat kartu kosong ini untuk main-main saja.

Harus berkonsentrasi untuk melihatnya, tapi logo perusahaan tersebut tidak tercetak dengan baik di ujung kartunya.

‘’Entahlah, tapi kelihatannya ini dari perusahaan yang lumayan terkenal.’’

“...yah, sebenarnya percuma menunjukkan kartu perusahaan tanpa adanya namaku di sana.”

Dengan enggan si jaka melihat si pria yang tersenyum pahit.

“Jadi... memang «hilang»?”

“Ya. Begitulah. Nama saya lenyap,” tuturnya dengan tenang. “Satu hari aku sedang bekerja di perusahaan seperti biasa, orang-orang dalam perusahaan berkata pada saya kalau mereka lupa namaku. Perasaan saya tidak enak karena mereka tidak bisa mengingatnya tak peduli berapa kalipun mencoba, jadi saya menginvestigasi permasalahannya. Yang saya temukan adalah namaku menghilang dari setiap tempat: dari data dan dokumen perusahaan, dari kartu perusahaan saya sendiri, papan nama saya dan lainnya. Tapi yang paling parah, adalah saya sendiri tidak ingat siapa nama saya.”

Mendengar nada bicaranya yang tidak berubah, si jaka dan si gadis saling bertukar pandangan dan mengembalikan fokus mereka pada si pria.

“Bahkan rekan bisnis saya pun lupa nama saya. Beberapanya juga sampai lupa wajah saya. Yah, bisa dibayangkan betapa lelahnya untuk bekerja seperti begitu.”

Si pria mengeluarkan tawaan dan menaruh kartu perusahaan tersebut ke dalam kantong kecil lagi.

“Akhirnya, saya kira percuma saja saya bekerja lagi, jadi saya membuang semua dan pergi. Setelah cukup lama bertualang di negara ini, saya berakhir tinggal di sini... Apa kalian ingin ikut bersama saya?”

Bukanlah pekejaan bertani yang ia tawarkan, tapi tomat merah yang didinginkan oleh sumber mata air supaya bisa dapat temperatur yang mumpuni dan memantulkan cahaya matahari.

Semua berlalu dengan mereka berkata “Ya” dengan langsung.



“...Sejujurnya, saya selalu ingin bertani. Malah, saya berakhir dipekerjakan di perusahaan pengangkut sayur-mayur. Setelah bekerja cukup keras di sana, tiba-tiba saja mengepalai perusahan itu, lalu jadi direktur, lalu jadi direktur cabang dan tanpa saya sadari, saya sudah berumur dan jadi wakil direktur utama.

“...tapi itu cukup luar biasa, ‘kan?”

Si jaka mengarahkan pandangannya pada si pria sembari menggigit permata merahnya yang kedua.

Tomat yang sangat empuk ini sangat enak sampai kelihatan bisa pecah. Tidak ada bandingannya jus tomat dengan daging buah segar yang begitu luar biasa begini. Perasaan yang luar biasa menyebar ke dalam tubuhnya, yang mana belum dapat sayuran segar sebelumnya.

Ia tidak pernah mengira kalau ia bisa merasakan kenikmatan begitu hanya dengan sebuah tomat. Sekarang ia jadi yakin bisa sampai menggigit cabe hijau yang ia benci. Mentah-mentah.

“Yah, mungkin kelihatannya luar biasa menurut orang. Tapi begini, saya suka dengan pekerjaannya dan kelihatannya, saya berbakat di bidang tersebut. Saya tertarik, jadi saya mempelajari apa yang saya kerjakan dan memanjat tangga karirku tanpa ada seorangpun menyadarinya. Tapi di saat yang sama, saya juga terus melepas diriku dari pekerjaan yang sebenarnya saya sukai.”

Si gadis duduk di samping si jaka dan masih memikirkan apakah dia sebaiknya mengabaikan bahaya sakit perut dan makan saja tomatnya yang ketiga.

“Karenanya mimpi Anda untuk jadi petani terwujudkan dengan dalih nama Anda telah «hilang». Hmm.”

Pilihan kata-kata si gadis berisikan ketajaman yang lembut. Tapi bukan karena niat menyakiti. Itu hampir semacam sarkasme yang dia ungkap jadi kata-kata untuk mengerjainya. Sang direktur terlihat menyadari hal ini dan menampilkan senyum.

“Ya. Ini mungkin tidak sopan untuk dikatakan pada rekan kerjaku yang dulu di perusahaan, tapi setiap hari di sini rasanya menyenangkan! ...Yah, tapi hal yang kupelajari di sekolah tidak begitu berguna.”

Si pria tersenyum masam.

“Tidak ada alasan apapun. Bukan berarti dari awal saya berniat untuk bekerja di ladang. Awalnya, saya hanya ingin bertamasya saja dengan mobil, tapi kemudian saya melihat ada rumah di sini. Saat itu, seorang wanita tua tinggal di sini dan mengajariku cara menanam sayur, selagi aku membatunya di ladang.

“Sekarang dia di mana?”

“...Bulan Maret kemarin... beliau meninggal.”

“...Begitu, ya,” kata si jaka dengan tenggang hati, sementara si gadis di sampingnya menyerah pada godaan dan menggigit tomat ketiganya.

Dan sekarang.

“Oh, direktur? Kita kedatangan tamu?”

Suara wanita tiba-tiba menyela pembicaraan.

Suara indah itu jelas seperti seorang penyiar. Pemliknya berdiri di tengah-tengah ladang jagung yang diwarnai oleh terbenamnya matahari.

Tanaman jagungnya sudah tumbuh cukup tinggi untuk seseorang sembunyi di sana dan dari sana juga seorang sekretaris wanita muncul. Dengan mengenakan seragam. Kamu boleh sebut ini masalah, tapi dia sangatlah cantik.

“...Anda punya sekretaris untuk pekerjaan di kebun?!”

Mereka memberikan si pria pukulan-pukulan ke perutnya. Tentu mereka kendalikan kekuatannya.


Setelah pulih dari rasa sakit, sang direktur memperkenalkan wanita yang baru saja ikut campur.

“...um, dia adalah sekretaris saya. Karena namanya juga «hilang», dia hanya dipanggil dengan sebutan «sekretaris».”

“Aku sekretaris. Senang bertemu dengan kalian.”

Si wanita menghormat dengan sudut lengkung yang sangat indah.

Sudut dan posisi tangannya adalah buktu kalau dia telah membawakan gerakkan tadi hingga sempurna sebagai bagian dari pekerjaannya. Tetapi, seragamnya kusam dan kulitnya, yang tadinya putih, jadi coklat karena matahari. Dia mengenakan topi jerami di atas rambut hitamnya yang indah dan memegang jagung segar di kedua tangannya. Handuk kecil mengalungi pundaknya dan dia tidak mengenakan ‘’high heels’’ tapi sepatu bot karet. Itu perbedaan yang aneh.

Dia memberikan senyuman yang lebar, hingga si jaka dan si gadis bertukar pandangan. Saatnya untuk mereka memperkenalkan diri telah tiba.

“Umm... aku hanya si jaka. Makanan favoritku sekarang ini adalah tomat.”

“Aku si gadis. Makanan favoritku untuk sementara adalah tomat. Ada renacana untuk mengganti makanan kesukaan aku untuk jadi jagung tak lama lagi.”

Mereka saling menghormat dan dibalaslah oleh sang sekretaris dengan kikihan; kikihan yang penuh kegembiraan yang bisa jadi contoh sempurna soal bagaimana cara tertawa dengan benar.

Akhirnya, dia memilh untuk turun minum dulu dan ikut menimbrung. Sudah jam 6 sore. Lingkungannya sangat ideal untuk beristirahat karena udaranya sangat segar berkat suhu yang perlahan menurun dan air yang berada di sekitar sana.

“Kalian dalam perjalanan?”

“Ya. Kami bawa semua yang ada dan pergi. Jadi kurang lebih sama dengan yang pak direktur lakukan, ‘kan?”

Si sekretaris terkikih lagi setelah dengar jawaban yang percaya diri dari si gadis.

“Yang artinya kamu kawin lari dengan pacarmu?”

“......”

Saat dia ditanya ini, dia yakin kalau yang dikatakan sekretaris benar, wajah si gadis terbeku dalam ekspresi yang tidak mengenakan. Lalu, dengan ekspresi yang sama juga, dia berbalik melihat si jaka dengan tatapan aneh yang berisikan rasa ragu dan pengharapan.

“Apa kamu... pacarku?”

Secara gamblang dia menanyakan permasalahan ini di mata si jaka. Bingun bagaimana ia harus menjawabnya, ia menaruh tangannya ke bawah dagu dan berpikir.

“...kita belum pernah berjanji untuk begituan... mungkin.”

Setelah ia berhasil menjawab, ia ditendang oleh si gadis tanpa alasan apapun. Inilah yang mereka sebut dengan keterlaluan.

Si sekretaris terkikih lagi. “Sepertinya hubungan satu-sama-lain kalian baik, ya. Jangan buat aku cemburu!”

Setelah si sekretaris berkata begitu, si gadis berhenti menendangnya dan melanjutkan perjalanannya dengan tomat.

“Tapi bukankah kamu juga begitu, sekretaris? Maksudku, kamu menemani direktur sewaktu ia dibuang oleh perusahaannya, dan sekarang kamu bekerja di kebunnya. Bukankah hal ini sama saja?”

“Oh? Tapi aku tidak abai pada pekerjaan aku, lho?” kata si sekretaris dengan suara yang penuh keterkejutan, dikelilingi oleh tiga orang yang mengamati. “Seperti yang kalian tau, pekerjaanku adalah membantu pak direktur. Aku tidak meninggalkan pekerjaan. Hanya pak direktur yang sudah melakukannya.”

“K-Kenapa kamu bicara begitu! Memang, kamu kemari karena saya, tapi saya tidak pernah memaksa kamu, ‘kan?”

“Permisi!? Saya kemari karena pekerjaan, bapak menyuruh saya untuk «tolong bersihkan tomatnya» dan «ambilkan air untuk membersihkan lobak». Bagaimana bisa saya menolak perintah bapak sementara saya hanyalah seorang sekretaris?”

Dia memanyunkan bibirnya, “Hm!” dam mendorong keranjang yang penuh berisikan jagung pada si direktur. “Karena itu saya jadi biasa bekerja di kebun. Kalau begitu, sekretaris akan siapkan teh untuk tamu kita, jadi tolong cuci jagungnya dan dibakar untuk sekarang ini, pak direktur.”

“O-Oke.”

Setelah menyerahkan segundukan jagung pada sang direktur – seperti setumpukan dokumen – dia bergerak pergi dengan sopan demi membuatkan teh pada mereka. Sang direktur mengikutinya, meninggalkan si jaka dan gadis berduaan di dekat sumur.

Baik sang direktur ataupun si sekretaris tidak merasa heran ketika si gadis dan si jaka tidak menyebutkan nama mereka.

“...Jaka?”

“Hm?” jawabnya pada bisikkan si gadis tanpa sedikitpun menengoknya.

“Warna pak direktur sangat lemah, ya?”

“...Ya.”

Rambut beliau telah berubah putih sepenuhnya. Umurnya mungkin sekitar tiga puluh-empat puluhan. Rambut putih begitu tidak sewajarnya terdapat pada seorang yang berada di umur begitu, tapi hal itu hanya bisa terjadi pada orang-orang biasa.

Kulitnya pun sama. Sebagai contoh, si sekretaris mungkin sudah bekerja sekeras ataupun lebih ringan darinya, tapi kulitnya kecoklatan. Tetapi, ‘’kulitnya’’ tidak kaya akan pigmen, hampir terlihat seperti orang albino.

“...Hari ini panas juga, ya?”

“...Orang sudah bulan Agustus...”

Suara si sekretaris yang berjalan dengan cepat menghentikan percakapan mereka yang tidak ada artinya.

Dia menaruh sebuah nampan pada bangku yang terbuat dari batu ini dan, bersamaan dengan suara yang melegakan, dia mengisi cangkir-cangkirnya dengan teh. Sudah bisa ditebak kalau dia, sebagai sekretaris, tau bagaimana cara menyiapkan teh yang enak, tapi sialnya sulit untuk dia menggunakan keterampilannya untuk membuat ‘’mugicha’’[8].

Tetapi, ‘’mugicha’’ yang disiapkannya dibuat dari sumber mata air segar dan sangat dingin sampai-sampai permukaan gelasnya berembun.

Si gadis langsung menghabiskan segelas itu dalam satu tegukan, seakan-akan ini adalah etika yang diajarkan di tempat ini.

Meski begitu, saat dia meneguk tehnya tidaklah “elegan”.

“Ah, iya juga!”

Kedua perempuan itu mengarahkan mata mereka ke si jaka.

“Kenapa, jaka?”

“Ah, sebenarnya nggak harus sekarang, tapi aku lagi kepikiran untuk mengambil air kalau memang airnya nggak terbatas di sini.”

“Ah, itu...”

Tatapan-tatapan yang meminta jawaban tertuju pada si sekretaris.

“Ya. Boleh! Soalnya sumur ini airnya memang mengambil dari sumber mata air.”

“Yey! Air murni!”

‘’Kalau airnya sejernih ini, sudah pasti nggak perlu di rebus lagi. Hm... kalau begitu, kita harus membuang air yang diambil dari rest area kemarin dan diisi dengan yang baru. Rasanya jadi hambur karena kita sudah mensterilkannya dulu, tapi mau ‘gimana lagi.’’

“OKe. Aku akan isi botolnya, kalau begitu.”

“Eh? Tunggu, biar aku bantu.”

“Enggak usah... kamu sisain saja jagungnya buat aku!”

Si jaka mendorongnya mendorong si gadis, sehinga si gadis duduk lagi

Si sekretaris melihat punggung si jaka waktu ia mengambil air dan mengipas-ngipaskan dirinya karena panas, dengan tatapan yang penuh dengan arti dia menggumam “...kelihatannya ia sangat baik. Dekati, tuh, langsung pacaran!”

Si gadis memuncratkan ‘’mugicha’’nya. Kebanyakan dari mulutnya. Tapi ada juga yang keluar dari hidungnya, ya..?

SI sekretaris senyum kecut sambil menepuk-nepuk punggungnya.

“Kenapa kamu kaget begitu? Kalian berdua keluar dari sekolah terus memulai perjalanan dengan sepeda motor – apalagi sebutan yang pas kalau bukan pasangan?”

“E-Entahlah? Yah, ada banyak sebutan, ‘kan, untuk hubungan antara laki-laki dan perempuan selain suami-istri, pacaran, dan kakak-adik?”

Suaranya serak karena adanya teh yang memasuki saluran pernafasannya.

“Misalnya, hubungan antara seorang direktur dan sekretaris?”

Si sekretaris terkikih-kikih, tapi si gadis memalingkan muka dengan rasa tidak enak.

“Tapi kamu justru ikut pak direktur ke sini padahal kalian bukan pasangan, ‘kan?”

“Ya. Soalnya aku sekretarisnya.”

“...jadi kamu tidak punya persaan padanya?”

“Yah... kalau soal ini, tidak?”

“Jadi hanya hubungan atasan dan bawahan?”

“Ya. Soalnya ia selalu memanggilku dengan nama keluarga atau tidak pakai nama sama sekali, jadi barangkali ia tidak tau namaku sama sekali, mungkin?” kata dia dan menambahkan dengan suara yang lebih pelan. “Kenyataan memang akan tetap tersembunyikan.”

Suara yang tak dihiraukan dari si sekretaris dan senyumannya yang menunjukkan kesenangan menjadi sesuatu yang tidak bisa dipahami si gadis.

Tetapi, dia sangat menyetujui motif yang tersirat dalam kata-katanya. Si gadis tidak berniat untuk mengungkap pemikirannya menjadi kata-kata, tapi dengan melihat matanya, dia juga tau kalau si sekretaris tidak ingin dimengerti.

“Dan kamu tidak memikirkan keegoisannya dan masih mau terus bekerja di kebun?”

“Ya. Karena aku sudah memilih untuk tinggal.”

“Di kebun ini?”

“Bukan. Bersamanya.”

Senyuman percaya dirinya sangatlah tenang, namun terisi oleh tekad yang kuat.

Tidak tau kenapa, si gadis menjadi sangat malu dan merasa kalau muka dia merah sampai ke telinga-telinga meskipun dia tidak yakin.

“...sampai mati?”

“Iya.”

Si gadis mendengar suara yang terasa penuh keyakinan dari belakangnya dan tidak bisa menahan dorongan untuk menggaruk kepalanya.

“...Aku akan bantu.”

Si sekretaris agak terkejut pada kata-katanya yang tiba-tiba dan tidak langsung tersebut, tapi dia menjawabnya dengan senyum yang lebar. “Terimakasih.”

Ini bukanlah senyum palsu yang dia sering gunakan saat bekerja ataupun ekspresi yang menunjukkan kenyamanan. Ini adalah senyuman sepenuh hati yang dia tunjukkan pertama kali sejak mereka bertemu.

Hanya saja, baik si gadis yang memalingkan mukanya, maupun si jaka, yang pergi mengambil air, dan si direktur yang sedang membakar jagung bisa melihat senyumannya.

“Oi! Aku tidak tau kita perlunya berapa, jadi aku buat banyak-banyak!”

Mereka berbalik menuju arah datangnya suara dan melihat si direktur dengan bingung karena membawa sekeranjang penuh jagung.

“P-Pak direktur! Siapa yang mau makan semuanya?!”

Teriakkan si sekretaris membuat si direktur menggerenyit.

“Tapi mereka masih muda-muda... saya kira mereka bakal makan sebanyak ini.”

“Tidak ada siapapun yang bisa makan jagung doang sebanyak ini!...Sepertinya kita harus jadikan ini makan malam kita......dan lagi, aku masih muda juga.”

“M-Maaf...”

“Hah...ya sudahlah. Tolong panggil si jaka.”

Berlawanan dengan hubungan mereka seharusnya, si direkturlah yang dimarahi. Ia pergi kembali ke tempat ia datang dengan wajah bingung.

Harum yang menggoda datang dari keranjang yang ditinggalkannya. Kelihatannya si direktur telah menyiapkan dua jenis jagung yang beda untuk mereka. Satu hanyalah jagung bakar biasa dan satunya lagi adalah yang sebelumnya sudah ditambahkan kecap.

Kedua perempuan itu menahan nafasnya.

“...Aku baru ingat alasan lain aku ada di sini.”

“Eh?” Si gadis memutar kepalanya kembali pada si sekretaris yang sedang menggumamkan sesuatu.

Si sekretaris melanjutkan, masih tetap melihat jagung yang beruap-uap.

“......Aku tidak bisa masak.”

“...Hah.”

Pembicaraan yang bisa disebut dengan santai masih berlangsung, tapi tatapan dan konsentrasi mereka sudah ditahan oleh para jagung.

“...Tapi pak direktur jago. Serius.”

“...Kelihatannya, sih, begitu.”

Kurang dari satu menit, mereka terbebas dari belenggu kendali diri dan bisa meraih jagung bakarnya.



“Ah...aw, uh...”

“Itu akibatnya kamu makan seenaknya! Sepertinya mereka membolehkan kita tinggal semalam di sini, jadi istirahat saja dulu.”

Si jaka merengut dan rebahan di serambi dengan bantalan berupa alas duduk di balik toko dengan kipas di tangan mereka.

“Ya ampun... Bukannya sudah jelas, ‘kan, kamu bakal sakit perut kalau makan jagungnya sebanyak itu?”

“B-Berisik...”

Kata-kata kasarnya sendiri tidak begitu kuat. Karena dia sendiri sudah makan tiga tongkol jagung. Jadi pasti bukan karena sistem pencernaannya yang buruklah alasan kenapa dia sakit perut.

Yah, yang seharusnya diingat adalah jagung-jagung bakar yang jumbo ini dipetik saat masih segar. Si jaka sendiri masih belum puas juga, jadi ia bisa mengerti.

Tetapi, awalnya dia juga sudah memakan empat butir tomat dingin. Wajar saja kalau perutnya, yang mana dikira si jaka sangat besar, bisa sakit karena banyaknya makanan berat di dalamnya.

“Sial...! Kenapa harus enak begitu kalau dibakar...!”

Si jaka tertegun karena komplainnya yang aneh tapi tetap diam karena ia takut akan akibatnya. Jadi, ia memilih untuk untuk memilih jawaban yang aman.

“Yah, soalnya itu dibakar waktu masih segar. Kalau tidak enak, berarti kita ditipu.”

“...Omong-omong...mungkin sesuatu yang seperti ini jauh lebih pas untuk kita ketimbang makanan kelas atas seperti kepiting dan ikan tuna.”

“Pastinya.”

Si jaka menyetujuinya dengan senyum kecut. Tapi, ia sangat yakin kalau si gadis bakal menarik kata-katanya lagi setelah dia melihat kepiting atau tuna di depan matanya.

Kebetulan, si jaka bisa mengendalikan diri dan hanya memakan dua tomat dan dua jagung, yang jadi alasan kenapa ia kenyang tapi kondisinya tidak “kritis” seperti si gadis.

Hanya dengan melihat si gadis, bisa diketahui kalau sebenarnya perempuan jauh lebih kelaparan daripada laki-laki.

Sekarang, panas yang sudah menyiksa mereka di siang bolong telah sedikit lebih turun. Bisa terdengar disekitaran suara-suara dari angin perlahan melambai mereka. Melodi ini ditemani harumnya musim panas – baunya obat nyamuk bakar.

Sontak ia mengalihkan matanya pada taman. Taman yang sudah diurus dengan baik ini ditanami oleh Hortensia[9], yang mana musim tumbuh bunganya telah lewat, dan ada beberapa bunga-bunga musim panas lain dibelakangnya.

Sekumpulan bunga matahari yang tinggi-tinggi disinari oleh rawi petang dengan daun bunga kuning yang terbuka lebar seakan-akan menggantikan sesuatu yang menjadi ikon mereka.

Jauh di dalamnya bisa dilihat sebuah rumah kaca plastik, yang mana telah diperbaiki oleh si direktur. Karena masih pertengahan musim panas, hanya ada tanah di dalamnya.

Tapi sepertinya, kelihatan sudah ditanami sesuatu; ada tanaman kecil di dalam jajaran rapi tempat menanam.

“...Jaka...?”

“Hm?”

Si gadis tiba-tiba memanggilnya dengan suara yang segan, tapi si gadis pun jadi bingung sendiri.

Karena suasana hati mereka lagi baik, jadi dia memanggil si jaka. Tapi tidak ada yang dibicarakan.

Karena tidak bisa terus-terusan debat soal makanan, dia membuka dan menutup mulutnya seperti ikan emas.

“Um...uh...”

“Itu strawberry. Tapi masih belum bisa dipetik sampai tahun depan. Tapi kamu harus cepat-cepat menanamnya sekarang ini.

Si jaka membalikkan kepalanya pada seorang yang tiba-tiba berbicara dari belakangnya.

Si gadis tidak bisa begitu saja memutar kepalanya, karena dia sedang terkapar. Si direktur tidak melihat rasa marah di mata si gadis.

“Sebenarnya, aku suka buah dengan rasa suka yang sama dengan aku yang suka sayur. Wah, tidak sabar aku menunggu tahun depan!”

Tidak jelas untuk si jaka ataupun si gadis kalau ia ini sebenarnya lebih suka ‘’mengurusnya’’ atau ‘’memakannya’’, tapi mereka tidak menanyakannya. Mungkin saja keduanya.

“Pak Direktur, perut Anda ????gimana?”

“Tolong jangan tanya soal itu!”

Si direktur duduk di samping si jaka dengan tangannya yang memegangi perut sakitnya yang berkelabakan.

Karena ia sudah membuat banyak jagung bakar, si sekretaris memaksanya untuk jadi tong sampah, dengan kata lain: memakan jagung-jagung yang masih tersisa.

Sudah jelas kalau setelah memakan jagung berserat tinggi begitu dengan jumlah yang banyak, toiletlah yang akan jadi teman setianya.

Tetapi, yang lebih mengejutkannya ialah si sekretaris. Dengan mudah dia memakan empat tongkol jagung, apalagi dia juga langsung memakan timun yang dilumati saus miso setelahnya sebagai hidangan penutup.

Setelah melihat kondisi si gadis sekarang, ia tidak bisa mengaitkan hal ini dengan “wanita punya perut yang lebih kuat daripada laki-laki”, melainkan orang-orang yang tinggal di tanah seperti ini berbeda dengan orang-orang kota. Dalam konteks yang baik, tentunya.

“Jadi, kamu berhasil menghabiskan semua jagungnya?”

“......Maaf. Saya sisakan.”

“Aduh, aduh. Yah, kalau dari ‘sebanyak’ itu jadi ‘agak banyak’, saya rasa boleh-boleh saja.”

‘’Tapi meskipun saya tidak setuju, saya tetap tidak mau membantu Anda, sih.’’

Tiba-tiba saja, “Pak Direktur. Tolong ke sini sebentar.” Ada suara yang datang dari dapur.

Si direktur mengiyakan dengan “Oke-siap!” yang kedengaran menyedihkan dan menuju dapur, di mana ia langsung hilang dari jarak pandang mereka. Mereka hanya bisa dengan samar mendengarkan perbincangan mereka.

“Apa lagi yang harus dilakukan?”

“Tidak. Kita hampir selesai.”

“Saya rasa pak direktur tidak akan mengerti.”

“Hah?”

“Bukan apa-apa! Kita ngobrol saja di sini sebentar. Jangan mengeluh.”

“Hah...”

“Kita mulai dengan cuaca.”

“Hah?”

Si jaka bisa membayangkan wajah kebingungan si direktur.

Si gadis mengacungkan jempol pada si sekretaris dari dalam benaknya. ‘’Mantap!’’

Dia tidak bisa membuang kesempatan yang berharga yang telah diberikan si sekretaris ini.

“Jaka.”

“Hm?” jawabnya tanpa ada hal apapun di pikirannya.

“Aku ingin pangkuan kamu jadi bantal aku.”

“Eeh?”

Tanpa hirau pada komplainnya, dia merangkak di serambi kayu mendekatinya seperti ulat dan menguasai pahanya dengan kepala.

Dia juga meletakkan bantalan duduk yang tadi di perutnya supaya tidak semakin sakit perutnya.

“Seharusnya peran kita ditukar, ‘kan?”

“Karena aku sedang begini, wajar saja. Aku bener-bener sakit.”

“Jadi kamu sebut sakit perut karena rakus itu ‘penyakit’, ya... au-aw-aw!?”

Dia menghukum omongan kurang ajarnya dengan mencubit pahanya. ‘’Rasakan pepatah yang isinya “Mulutmu, Harimaumu” dengan tubuh kamu sendiri!’’

“Ish... bantalnya keras banget...”

“Jangan minta laki-laki yang enggak-enggak!”

Tapi meski begitu pun, perlahan ia gerakkan kepala si gadis ke tempat yang tidak akan bersentuhan dengan tulang. Ia merasakan sebuah beban yang nyaman di pahanya.

Ada keheningan untuk waktu yang lumayan panjang di antara mereka.

Itu adalah saat-saat yang menenangkan, yang mana jarang mereka dapatkan di hari-hari sibuk karena memikirkan makanan besok, dan bensin untuk esok. Tidak, mendengar suara desiran angin selagi bersantai di serambi dengan perut kenyang saja hampir tidak pernah mereka rasakan dulunya.

“...mnyah...ini kegembiraan...”

“Ya. Aku merasa bersalah karena sudah bikin mereka mengurusi kita.”

“...Kalau kamu mau, kita bisa, kok, tinggal di sini untuk beberapa hari? Lagian kita ‘nggak lagi buru-buru, dan mereka juga bilang boleh-boleh saja.”

“Mulai lagi. Apa jawaban kamu kalau aku bilang setuju?”

“Aku tolak. Yah, ‘gini, kita lagi dalam perjalanan. Boleh-boleh saja kita tinggal di satu tempat untuk pembekalan kita, tapi aku tidak mau kalau cuma istirahat saja.”

“Kalau ‘gitu jangan tanya.”

“Enggak adil kalau aku nggak dengar pendapat kamu dulu.”

Mungkin ada yang mengira apa pentingnya menanyakan kalau akhirnya sama-sama begitu juga.

“Yah, aku ada untuk menemani kamu ke manapun.”

“Oh,” si gadis berkata seakan dia sudah mengerti semua dan menutup matanya.



Sebenarnya, si jaka sudah sedikit membantu mereka di kebun atau melakukan kerjaan rumah tangga sewaktu si gadis sedang mogok.

Tapi, ia tidak megnanggap ini cukup untuk tinggal dan menginap. Tapi selain kerja rumah-tangga, si direktur hanya sedikit mengajarinya hal tentang berkebun, jadi ini bukanlah kerja paksa.

Membayar dengan uang bukanlah pilihan jua. Di tempat ini, di mana pendistribusian barang-barang sudah hampir tidak ada lagi, uang tidak lagi berharga. Tapi apakah ia punya hal selain uang yang bisa ia beri...?

Saat ia menggeledah saku untuk mengambil dompet, sebuah buku kecil jatuh.

Adalah sebuah buku catatan dengan sampul hijau yang berisikan kartu pelajarnya.

Ia membukannya, dan seperti sewajarnya, dapat terlihat foto dan namanya.

Tetapi, namanya telah lenyap dari tempat tersebut.


“...fotoku sudah lumayan pudar, ya...”


Warna fotonya, yang mana tengah ia tatap dengan tajam, tela berubah dari warna yang lemah jadi hampir monokrom saja.

Kalau terus begini, hanya tinggal menunggu waktunya saja untuknya jadi putih sepenuhnya.

Beberapa menit kemudian si jaka melihat si gadis sudah bernafas dengan tenang di pangkuannya.



Selagi si sekretarus mengganti pakaian si gadis yang tidur lelap dengan piyama, si jaka menyiapkan kasur mereka dengan mengeluarkan futon tamu dari lemari, ditemani si direktur.

Sontak, si jaka mengingat sesuatu yang penting.

“Pak direktur. Apa ada alat yang bisa dipakai untuk memperbaiki motor di sini?”

“Motor? ...Ah iya. Kamu ke sini pakai motor. Memang rusak?”

“Ya. Dari lima hari kemarin.”

“...kasihan sekali! Apa yang kamu perlu?”

“Karena aku hanya harus ganti beberapa bagian, jadi hanya alat-alat biasa, onderdil pastinya... dan oli baru.”

“Hmm. Kita coba cari di gudang. Mungkin ada yang bisa dipakai di sana.”

Dengan begitu, si direktur menuju ke taman, diikuti si jaka.



Malam hari. Sang mentari sudah menghilang dari langit, dan dari dunia, tak luput juga dari toko kecil ini yang ada di tengah-tengah padang rumput. Keduanya juga diselubungi kegelapan. Karena tidak ada listrik, satu-satunya sumber cahaya di sana hanyalah lentera-lentera antik. Namun, sinar oranye yang dipancarkannya sudah cukup terang untuk mata mereka yang sudah beradaptasi dengan gelap dan menerangi kamar. Kelihatannya, lilin yang digunakan adalah buatan rumahan. Bagi si jaka dan si gadis, lilin yang terang nan bergoyang-goyang dengan lembut ini sangatlah unik dan cocok dengan ‘tempat ini’.

Karena itu ‘’tempat yang begini’’, tidak ada suara berisik dari kemacetan dan huru-hara seperti di kota, yang mana jadi hal biasa bagi mereka. Jadinya, yang terdengar hanyalah paduan suara yang dimainkan oleh serangga-serangga musim panas, yang mana mengganggu waktu tidur bagi orang yang tidak terbiasa.

Bagi si jaka, suara-suara ini biasa saja. Ia bepergian selama tiga bulan bukan untuk pamer.

Tetapi, ada saat-saat di mana si jaka sendiri sulit menghadapinya.

Sebagai contoh, saat ia di bawah tekanan secara mental – seperti sekarang, si gadis tidur di futon sebelahnya.

Ia tidak percaya si direktur melakukan sesuatu yang seperti ini, jadi mungkin ini salah satu candaanya si sekretaris. Kedua futon itu terletak tepat saling berhimpitan tanpa ada celah sedikitpun, yang membuatnya jadi terasa seperti malam pertama.

Tapi si sekretaris membuat kesalahan. Tentunya dia mengira kalau si jaka akan merah mukanya bagaikan tomat dan menjauhkan futonnya. Tapi sayang sekali, itu salah. Si jaka adalah seorang anak SMA yang masih sehat – hal seperti ini adalah sesuatu yang ia harapkan. Asalkan tidak akan membuat si gadis marah padanya.

Ia duduk di samping barang bawaan mereka dan mulai bersiap-siap untuk perjalanan mereka besok sembari menyenandungkan sebuah lagu.

Karena mereka tidak bisa membawa sayur-sayuran bersama mereka di bawah panasnya matahari yang bisa membakar mereka, meminta perbekalan sudah tidak bisa. Karena itu, masalah yang berkenaan dengan makanan masih belum bisa terpecahkan, tapi tidak perlu mereka memikirkan hal itu sekarang. Mereka hanya akan membuat mereka sekenyang-kenyangnya sebelum mereka bepergian.

Tapi ada hal-hal yang berubah jadi baik di pagi harinya.

Sebut saja, ia bisa memperbaiki si ‘’supercub’’.

Saat ia pergi mengubek-ubek gudang bersama dengan si direktur, mereka mendapat beberapa onderdil yang bisa dipakai. Bahkan tipe businya pun sama, jadi mungkin dulu ‘’supercub’’ pernah ada juga di sini.

Dengan semua itu, sudah pasti bisa memperbaiki motornya.

“...ah.”

Ia mengeluarkan diari dari tas barang bawaan sewaktu ia mengingatnya. Tadinya hari ini adalah giliran si gadis karena si jaka kemarin sudah menulisnya. ‘’Dia nggak akan bangun, jadi aku simpan saja di samping bantalnya.’’

“Hmm? Itu buku apa?”

Si jaka mengangkat kepalanya saat seseorang tiba-tiba menanyakan hal itu.

Dari retakan yang terbuka dari pintu geser di sana, ia bisa melihat si sekretaris yang memegang lilin dengan satu tangan. Dia juga mebawa handuk, jadi mungkin saja dia baru mandi. Piyama yang semrawut yang disandingkan dengan rambut basah telah membuatnya keliatan seksi.

Dia memasuki kamar dengan rasa penasaran dan berjongkok di samping si jaka. Ia menampilkan senyum kecut.

“Ini diari. ...atau catatan perjalanan, mungkin?”

“Ini riwayat perjalanan kamu?”

“Ya.”

“Diari ini kelihatan bagus banget, ya...buatan luar?”

Sampul tebal yang diperkuat lagi dengan kuningan. Bahkan ada gemboknya. Kalau tidak sedang berada di atas futon dalan rumah khas Jepang, pasti akan dikira buku sihir.

“Entahlah. Enggak ada harga atau mereknya.”

Ia memiringkan kepala. Lalu mengeluarkan kunci ‘’supercub’’, dan kuncil lain yang terikat padanya, dan membuka kunci buku tersebut. Di halaman kemarin, bisa terlihat tulisan khas si jaka.

“Tanggal kemarin...ini tulisan kamu?”

“Ya. Kami bergiliran, jadi si gadis yang selanjutnya buat hari ini,” katanya dengan masih senyum kecut dan menunjuk si gadis yang tidur lelap dengan dagu.

“Yah, mau ‘gimana lagi. Pastinya dia bakal marah kalau kita bangunkan sekarang.”

“Terakhir kali aku membangunkan dia pas sedang begini, aku langsung dihukum dengan ‘’cobra twist’’. Mungkin selanjutnya bakal dilempar?”

Si sekretaris tertawa mendengar jawaban yakinnya.

“Kamu kurang beruntung, ya?”

“Tapi ini salahku sendiri. Seperti sekretaris.”

Dia mengabaikan singgungannya dengan tawa kecil.

“Loh, loh. Dasar anak yang kurang sopan. Daripada pamer-pamer begini, mending kamu mandi dan tidur.”

Si sekretaris berbalik dengan molek dan meninggalkan kamar. Saat melihat dia dari belakang, ia menaruh tangannya di dagu. Bukan karena ia terpesona kaki mulusnya. Bukan, ia sedang memikirkan kata-katanya yang menarik perhatian.

“...Mandi......”

Awalnya ia melihat si gadis yang sedang tertidur.

“...Mandi...ya...”

Lalu ia melihat arah dari kamar mandi.

Ia tak perlu berpikir panjang.



Hari selanjutnya di waktu subuh di depan pintu toko.


Kedua pengelana tengah menyiapkan kepergian lebih awal karena mereka ingin pergi di saat matahari masih di bawah cakrawala.

“Kami sangat berterimakasih pada atas kebaikan kalian,” si gadis menghormat dan begitu juga di kejar si jaka saat ia melihat si gadis membungkuk.

Si jaka sudah memperbaiki mesin motor di pagi hari dan sekarang mendengkur seperti anak kucing, membuatnya kelihatan seperti kakek-kakek yang gemetaran yang jadi muda lagi seperti olahragawan di umur dua puluhan. Dilihat dari hal tersebut, mesinnya sudah dalam kondisi prima.

“Kami minta maaf karena membuat kalian memasakkan sarapan meskipun kami sudah dapat banyak dari kalian.

“Bukan masalah. Adalah sebuah kebahagiaan untuk bisa bicara dengan anak muda lagi. Sangat disayangkan kalian tidak tinggal lebih lama lagi.”

Si jaka tersenyum setelah melihat senyum ceria si sekretaris.

“Yah, tapi kami sedang dalam perjalanan.”

“...Baiklah. Tapi silahkan kunjungi kami kapanpun.”

“Ya. Tapi itu mungkin nanti.”

“...Omong-omong, aku belum tanya tujuan kalian. Memangnya, kalian mau pergi ke mana?” tanya si sekretaris.

Keduanya saling bertukar pandangan dan menjawabnya langsung.


“Ke ujung dunia!”


Seperti yang terkira, si sekretaris membelalakan mata.

Jawabannya berarti “ke tempat yang tidak ada”. Itu artinyamereka tidak peduli kalaupun tidak sampai ke tempat yang mereka tuju. Dengan kata lain, mereka tidak berniat menghentikan perjalanan mereka.


“Kamu bisa bawa persediaan makanan, barangkali?”

Si direktur muncul dari balik pintu kaca toko dan membawa sebuah benda besar di tangan.

Yakni sebuah semangka yang sangat besar dengan garis hitam dan hijau di permukaan sempurnanya.

“Oh, ini mungkin terlalu berair untuk mengisi perut kalian, tapi saya jamin rasanya pasti enak sekali! Saya pilih yang hendak matang dalam beberapa hari lagi karena langsung memakannya sekarang tidak akan seru.”

“Bapak serius?! ...ini keren...tapi...’gimana cara kami bawanya?”

Si jaka menerima semangka tersebut dengan rasa ragu, tapi jadi sadar kalau akan berat seperti yang sudah ia kira. Tidak seberat dirinya sendiri, tapi masih tetap bukan sesuatu yang mudah dibawa-bawa.

“Bisa, ‘kan, pakai jaring?”, ujar si gadis dan mengeluarkan sebuah jaring dari buntelan alat tidur mereka, yang mana telah digunakan sebagai ‘’hammock’’[10] mereka. Dengan gerakkan kaki yang royat-reyot, si jaka menaruh si semangka besar itu ke samping motor.

“Bukan, maksud aku, mau ditaruh di mana? Pilionnya ‘kan sudah dipakai kamu, depannya penuh juga, dan sisi-sisi tasnya mungkin kosong, tapi nanti jadi nggak akan seimbang...”

“Ya sudah, saya ambil semangka lagi supaya seimbang!”

Si sekretaris menyikut si direktur karena usulannya. ‘’Ya ampun, padahal jabatannya tinggi, tapi kok tidak pernah belajar.’’

“Tapi yah... kita bisa menyeimbangkannya dengan air di sisi yang lain.”

Sementara si jaka mematikan mesin dan mulai mengambil barang bawaan mereka, mencoba melakukan sesuatu, si sekretaris diam-diam menghampiri si gadis.

Dengan jarak agak jauh dari si direktur, yang sedang membantu si jaka, rapat antar perempuan dimulai.


“...Dengar, ya, gadis. Laki-Laki itu kayak serigala, ingat kata-kata aku!”

“A...ahahaha...aku bakal simpan di otak.”

Dia sudah diceramahi dengan hal sama beberapa kali setelah mereka memilih untuk pergi.

“Satu, jangan tidur di kasur yang sama dengannya apapun yang terjadi! Orang bilang kita jangan tidur dengan laki-laki setelah umur tujuh tahun!”

“Aku juga enggak mau!”

Sontak mulut si gadis langsung ditutup.

Si sekretaris memegangi pundak si gadis.

“...terlebih, hati-hati jangan sampai tidur sebelum ia tidur!”

“Sekretaris kedengaran kayak ibu rumah tangga profesional,” balas si gadis dengan merasa tersinggung.

Si sekretaris memegangi pundak si gadis.

“Dan gadis! Kalau kalian jatuh cinta dan melakukan ‘’hal begituan’’, SELALU PAKAI KARET!”

“BERISIK!”

Si gadis menghantam si sekretaris dengan sekuat tenaga dan langsung jatuh dengan punggung lebih dulu.


Si jaka, yang main mata dengan mereka, memiringkan kepalanya.

“Mereka sekarang kok jadi berisik. Apa mereka lagi ada masalah?”

“Baiknya jangan hiraukan mereka. Mereka ini makhluk yang untuk selamanya jadi teka-teki bagi kita para laki-laki.”

“Entah kenapa waktu pak direktur bilang begitu rasanya meyakinkan tapi juga meragukan...”

“Yah, itulah perbedaan antara pengalaman hidup kita.”

Pertarungan tarik-menarik antara dua perempuan hampir dimulai di depan mata mereka.

Karena ia kuatir pada si gadis, si jaka sebenarnya ingin menghentikan mereka, tapi berdasarkan pengalamannya, kemungkinan berhasil menghentikan pertikaian antara dua orang wanita oleh seorang lelaki itu percuma. Kalau ia diteriaki oleh mereka dan langsung dikejar, ia sedang beruntung. Serius.

Tapi, sambil mendoakan agar diturunkannya perdamaian pada mereka, tidak tau kenapa ia berhasil membawa si melon bersama dengan ‘’supercub’’.

Ia berbalik melihat para gadis yang sedang teriak-teriakkan.

“Aku sudah selesai siap-siapnya! Aku juga sudah mengatur-ngatur barang-barang kita supaya airnya bisa jaga keseimbangan.”

“Kita berangkat sekarang?”

“Oke...tapi apa kamu nggak apa-apa?”

Si jaka mengeluarkan saputangan dan menyeka keringat si gadis. Terlalu dini untuknya basah karena keringat – mereka akan mengendarai motor di bawah teriknya mentari.

Selagi si gadis melonggarkan dasi karena panas, si jaka mengenakan sebuah helm batok dan berbalik melihat si tuan rumah.

“Baiklah, kita pergi sekarang.”

Ia memberi mereka sebuah anggukan dan mendekati motor.

“Kalau kalian rasa perjalanan kalian cukup, silahkan temui kami lagi! Untuk info saja, stroberinya akan matang di bulan Mei!”

“Siap!”

Ia menendang standarnya dan menduduki jok motor, membuat suspensi ‘’supercub’’ merendah.

Setelah itu, si gadis duduk di kursi boncengan, jadi tinggi motornya sedikit lebih rendah dari biasanya.

“Enggak apa-apa, nih, si Cub-chan dibeginikan? Enggak akan terbelah jadi dua, ‘kan?”

“Entahlah...? Enggak, aku yakin nggak masalah!”

Tidak jelas si jaka ini mendengus karena semangat atau mendesah karena kuatir, tapi suara nyalanya mesin setelah memutar kunci kontak telah menghilangkan rasa kuatir mereka dengan langsung.

Si jaka tidak bisa menahan senyumannya saat ia merasakan getaran kuat dari mesin satu silinder ini.

“...enggak akan rusak di tengah jalan lagi, ‘kan?”

“Jangan dipikirkan! Oke, kita jalan.”

“Hmm. Siap”

Dia mengengencangkan tali pengikat yang ada di dagu dan berpegangan pada pinggang si jaka.

Si jaka memeriksa si gadis lagi untuk sesaat dan melihat ke depan lagi.

“Berangkat!”

Ia menarik gasnya dan mulai berjalan.

Awalnya motor bergerak ke kiri-ke kanan karena beratnya bawaan dan penumpangnya, tapi ini tidak terasa lagi setelah kecepatan mereka bertambah. Si direktur dan sekretaris, yang lagi melambai-lampai pada mereka, jadi semakin kecil dan kecil hingga menghilang karena naik-turunnya jalan.

Waktu sedang berakselerasi dengan lembut, mereka bisa mengendarai motor kecil mereka lagi di jalanan sepi dalam padang rumput.

Kala itu masih pukul 7 dan masih musim panas. Dengan dimandikan cahaya yang membakar dari matahari yang biasa bersinar terang, hari “air yang pergi” lain akan dimulai.

“...Jaka?”

Si gadis mengeraskan suaranya setelah mereka berangkat.

“Hm?”

“...pak direktur bilang kalau stroberinya matang di bulan Mei tahun depan, ya?”

“...Ya.”

“Menurutmu pak direktur masih akan ada sampai nanti?”

“...Enggak tau. Tapi pasti. Yang mana yang datang akan datang duluan? ‘Kehilangannya’ atau panenan stroberi?”

“...”

Mereka diam untuk sesaat. Si gadis memeluk erat si jaka.

‘’Tetap di sana, sekretaris. Tetap di sana!’’

Angin dari ‘’supercub’’ telah menghilangkan suaranya dan mungkin tiada sampai pada siapapun, menghilang dalam aspal di musim panas.




Mesin ‘’supercub’’ yang hanya beberapa ‘’hp’’[11] terus berjalan dengan mulus dari saat toko si direktur menghilang ditelan cakrawala. Pemandangan yang ada di kedua sisi tidak begitu berbeda dengan yang sebelumnya, tapi kali ini jauh lebih menyegarkan karena mereka bergerak dengan cepat. Sinar matahari masih mematikan, tapi angin segar bisa menghapusnya.

“...omong-omong. Jaka?”

Tiba-Tiba si gadis memanggilnya. Dengan suara yang dingin.

“Ya. Ada yang bisa dibantu, nyonya?”

“Bisa kamu jelasin kenapa aku bisa cium baru sabun dari badan kamu?”

Si jaka langsung memucat.

“Ini aneh, ‘kan...? ‘Gini, ‘aku’ saja nggak dapat kesempatan untuk mandi. Kenapa oh kenapa?”

“...kemarin malam...setelah kamu tidur...m-maksud aku, kamu pasti marah kalau aku bangunin... ugh?!”

Si gadis mengalungkan jari-jarinya pada leher si jaka.

“Oh. Ada kata-kata terakhir?”

“T-TUnggu a-“

Dia mencekiknya.

“Ungh!”

“Dasar SETAN! Kamu tau kapan terakhir aku mandi?! SEMINGGU lalu!! Bisa kamu bayangin penderitaan aku?! Oh penderitaan seorang gadis yang enggak bisa keramas selama semiggu!!”

Meskipun sisa umur si jaka perlahan berkurang karena kencangnya pegangan si gadis pada lehernya, ‘’supercub’’ silver masihlah melaju di lurusan panjang dengan suara keras.







Catatan Penerjemah[edit]

  1. Motor keluaran Honda pada tahun 1958, dan jadi motor yang paling laris di dunia (terjual sampai 87 juta unit di 2014). Untuk gambaran desain yang simpelnya, bisa dilihat di Ilustrasi Novel.
  2. Sebenarnya secara literal ini berarti ‘’Stopwatch’’, tapi yang dimaksud di sini adalah jam analog tipe lama yang multi-fungsi (dengan stopwatch).
  3. Ada kesulitan besar dalam penerjemahannya, berhubung nggak ditemukan oleh Translator kata yang tepat untuk mendefinisikannya, disisipkan link saja.
  4. Senter medis/kecil yang berbentuk seperti pupen.
  5. Ilusi mata akibat melihat benda yang terlalu terang. Dan biasanya bayangan yang dihasilkan akan berwarna hitam / gelap. Source: blog
  6. Merek korek api/pemantik api dari Amerika yang terkenal dengan tipenya yang bisa diisi ulang. Untuk gambaran simpelnya, adalah korek api klasik yang bisa dibuka-tutup.
  7. (逃げ水/Nigemizu) Nige berarti lari/pergi, dan mizu berarti air.
  8. Mugicha (麦茶) teh gandum, sebenarnya bukanlah teh, melainkan sejenis gandum (麦 Mugi) yang disangrai lalu dicampur air. BIasanya dimium dingin-dingin. Cocok untuk diberikan pada anak bayi karena tidak mengandung kafein. Sumber
  9. Sejenis semak dengan tinggi 1-3 meter dengan daun berbentuk bulat telur, tepi yang bergerigi dengan warna hijau muda. Bunganya berbentuk bulat seperti sanggul. Tumbuh di Asia Timur, Selatan (termasuk Jepang), dan Amerika Utara, Selatan. Di Indonesia disebut dengan nama kembang bokor, dalam Melayu disebut bunga tiga bulan, dan di Sulawesi Selatan di sebut bunga masamba. Wikipedia
  10. Tempat tidur gantung
  11. Horse Power/tenaga kuda.




Prolog Halaman Utama Sayap