Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 4

From Baka-Tsuki
Revision as of 18:00, 23 August 2016 by Irant Silvstar (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Bab 4: Tiba-tiba, Ebina Hina Memasuki Mode Mendakwah

4-1

Kalau berbicara soal berkemah, kari segera muncul di pikiranku.

Itu wajar bahwa seseorang yang berimpian menjadi bapak rumah tangga akan mampu membuat satu atau dua jenis kari. Malah, tidak peduli apa yang coba mereka buat, masakannya akan jadi kari sebelum mereka menyadarinya. Sebenarnya, memasukkan saus kari akan mengubah segalanya menjadi kari, jadi itu tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa semua masakan mengandung bahan kari. Kalau membicarakan soal kari Chiba, Sitar itu restoran yang cukup ternama, tapi di Desa Chiba, tentu saja, kamu harus memakai peralatan masak kemah. Dan juga, apa aku ada bilang bahwa makanan Sitar benar-benar lezat?

Tidak usah dibilang lagi bahwa makan siang hari ini adalah makanan pokok berkemah – kari.

Untuk memulainya, Hiratsuka-sensei menghidupkan api pada arang para guru, yang akan dipakai sebagai contoh untuk para murid SD itu.

“Pertama-tama, aku akan mendemonstrasikannya untuk kalian.” Segera setelah dia mengatakannya dia mulai menumpuk arangnya. Dia meletakkan pemantik api dan beberapa potongan koran kusut di bawahnya. Saat dia menghidupkan apinya, potongan korannya dilahap oleh api.

Baru saja kupikir dia akan memindahkan apinya ke arang dan mengipasinya sebentar dengan kipas kertas, dia kelihatannya memutuskan bahwa itu terlalu membosankan baginya dan tiba-tiba menyiramkan minyak sayur ke atas api itu.

Tiba-tiba apinya berkobar hebat. Tolong jangan coba ini di rumah; itu benar-benar berbahaya.

Sorakan dan teriakan serta gugaman bosan muncul. Namun Hiratsuka-sensei yang tidak terpengaruh menarik sebatang rokok entah dari mana dan menaruhnya ke dalam mulutnya, seringai nihilistik muncul di wajahnya. Dengan rokok yang mencuat dari dalam mulutnya, dia mendekatkan wajahnya pada api itu dan menghirup dalam-dalam.

Dia menjauhkan wajahnya dan membuat helaan puas yang panjang. “Begitulah kurang lebih cara kalian melakukannya.”

“Anda terlihat begitu terbiasa dengan ini.” Gerakannya cepat dan tajam, belum dibilang dia segera memakai trik kotor yang dikenal dengan nama minyak sayur.

Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”

Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu memiliki kenangan buruk baginya.

“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?

Totsuka, Hayama, Tobe dan aku tetap di sana.

“Kalau begitu ayo kita selesaikan persiapannya?”

Hayama dan Tobe memakai sarung tangan katun dan menumpuk arangnya, sementara Totsuka mempersiapkan pemantik dan koran.

…sial, aku terlambat mulai.

Persiapannya itu sendiri berjalan mulus, dan semua yang tersisa adalah pekerjaan mudah mengipasi apinya lagi dan lagi.

Aku sulit sekali percaya bahwa di dalam situasi ini aku tidak ada keinginan untuk duduk-duduk saja dan tidak melakukan apapun. Jujur saja, aku bisa saja tidak melakukan apapun dengan berkata “’ke, aku akan serahkan sisanya pada kalian” kalau hanya ada Hayama dan Tobe, tapi aku takut atas apa yang akan dipikirkan Totsuka dengan kata-kata itu, seperti yang dapat diduga.

Dengan pasrah, aku mengenakan sarung tangan katun, mengambil kipas kertasnya dan mendatangkan angin, dengan cara yang sering mereka lakukan pada belut yang dicelupkan dan dipanggang dengan saus berbahan dasar-kedelai. Pata pata pata.

“Kelihatannya panas…” ucap Totsuka, terdengar kuatir untukku.

“Kurasa…”

Dataran tinggi seharusnya sejuk, tapi sekarang masih pertengahan musim panas. Bekerja persis di depan api membuat keringat mengucur bebas dari badanku.

“Aku akan mengambil minuman untuk kalian,” kata Totsuka selagi dia meninggalkan tempat itu.

Itu membuat Tobe mengikutinya. “Kalau kamu mau mengambil minuman untuk kita semua, aku akan membantumu, yo.” Berlawanan dengan pemikiranku, dia mungkin saja pria yang baik. Itu atau mungkin rasa keksatriaan, tidak ingin membuat Totsuka mengangkat barang-barang berat dengan lengan rampingnya. Ahem. Pergilah dan gantikan aku selesaikan tugas ini.

Itu menyisakan hanya aku dan Hayama.

“…”

Pata pata pata pata.

“…”

Pata pata pata pata.

Aku mematikan perasaanku dan hanya berfokus untuk mengipas, terbebas dari pemikiran-pemikiran yang menghalang. Setelah beberapa lama, itu menjadi menyenangkan untuk melihat arang hitam pekat itu perlahan-lahan menjadi diwarnai warna merah.

Hanya saja, mataku mulai berair-air karena panas apinya dan panas cuacanya. Ketika aku menggosok mataku dengan sarung tangan katunku dan mengangkat wajahku, tatapanku bertemu dengan tatapan Hayama. Itu berarti dia terus melihat ke arahku dari tadi. Kalau Ebina ada di sini, kami akan dalam masalah.

“…apa?” tanyaku.

“Oh, tidak ada apa-apa,” kata Hayama untuk mengelaknya.

Sunyi.

Tanpa menghentikan pekerjaanku, aku menatap tajam ke arah Hayama. Itu membuat Hayama untuk membuka mulutnya dan mengutarakan kata-kata elakannya lagi.

“Sungguh, tidak ada apa-apa.”

Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa, katanya. Apa dia itu – radio rusak? Aku tidak pernah melihat orang yang benar-benar tidak ada apa-apa di pikirannya begitu menegaskan tidak ada apa-apa.

Selagi aku sedang melakukan tindakan menatap tajam ke arah Hayama lima detik sekali yang lumayan menjengkelkan, Hayama mengangkat bahunya menyerah dan berkata.

“…Hikitani‐kun, tentang Yu‐”

“Maaf membuatmu menunggu, Hachiman.” Totsuka menekankan gelas plastik dingin itu pada pipiku, memotong kata-kata Hayama. Jantungku meloncat atas sensasi dingin itu.

Ketika aku melihat ke atas, Totsuka memiliki senyuman murni dan polos itu di wajahnya, merasa senang bahwa dia berhasil melakukan kelakarnya. Dia sedikit terengah-engah seakan dia buru-buru kembali. Pipi merahnya itu menggemaskan. Kalau kamu menukar kegemasannya dengan kedewaan, itu akan meningkatkan ciri kemalaikatannya lebih tinggi lagi.

Jantungku berdetak hebat seperti yang biasa dilakukannya dalam situasi-situasi seperti ini. Aku melawan untuk menahan rasa ada bahayaku. Akhirnya, aku tersadar kembali dan menghimpun gugaman yang pelan.

“Oh, terima kasiiiih.”

Karena aku bergetar begitu hebat, bagian akhir suaraku memanjang sedikit. Tobe, yang sedang memegangi sekumpulan botol plastik bening di belakang Totsuka, mendengar itu dan agak meringis.

“…Aku akan menggantikanmu,” usul Hayama, menampilkan sebuah senyuman.

Karena dia begitu baik dan semacamnya, aku menerima tawarannya untuk menggantikanku. Aku menyerahkan kipasnya pada dia dan melepaskan sarung tangan katunku sebelum mengambil teh jelai itu dari Totsuka. “’ke, aku akan serahkan sisanya padamu.” aku berhenti sejenak. “Jadi apa yang sedang kamu katakan tadi?”

“Aku akan beritahu kamu nanti.” Daripada merasa tersinggung, Hayama tersenyum cemerlang dan berpaling kembali ke api. Dia mulai mengipas. Pata pata.

Man, aku letih.

Selagi aku menyeruput teh jelaiku, aku memusatkan mataku pada punggung Hayama yang merunduk. Aku heran apa yang sedang coba Hayama katakan padaku tadi. Yah, aku hanya bisa terpikir dua hal. Namun, aku masih tidak bisa membayangkan apa persisnya yang baru saja akan ditanya Hayama.

Aku duduk di atas bangku yang dijemur matahari itu dan meminum tehku, beristirahat seperti seorang warga lansia umum.

Saat itulah ketika para gadis kembali.

Menyadari bagaimana persiapan untuk apinya sudah sepenuhnya terkendali, Miura membuat teriakan senang. “Hayama, kamu begitu hebat!” lantunnya.

“Oh, kamu benar. Hayato-kun tipe orang luar rumah!” kicau Ebina dengan penuh kekaguman.

Kemudian, tatapan menyampingnya tertuju padaku. Kenapa Hikitani-kun tidak mau bekerja? Aku merasakan pertanyaan tak terucap itu dengan jelas.

“Hikitani‐kun yang kira-kira mengerjakan semua pekerjaannya.”

Wow, sisipan santai itu. Hayama benar-benar orang yang baik.

Masalahnya adalah bahwa sisipan Hayama menghasilkan sebuah kesan “Hayato begitu baik, selalu membela orang lain… teehee,” dalam suasananya.

Yah, begitulah cara dunia bekerja, kurasa.

“Hikki, kamu bekerja keras. Mari.” Yuigahama, yang telah kembali dengan Miura dan yang lain, menyerahkanku sebuah tisu basah pembersih wajah. Tidak ada tanda-tanda sindiran di dalam suaranya.

“Ah, Hachiman, kamu benar-benar bekerja kerasǃ Sungguh, beneran,” tegas Totsuka selagi dia mengepalkan tinjunya pada dadanya. Dipikir-pikir lagi, itu hanya akan terlihat seperti aku tidak mau bekerja kalau kamu baru saja datang.

“Aku benar-benar tahu. Hikki, kamu punya tampang serius aneh ini di matamu.” Yuigahama tertawa terbahak-bahak.

Dibelakangnya, Yukinoshita melirik ke arah wajahku. “Lagipula, kamu bisa tahu dengan melihatnya saja. Berhenti mengelap wajahmu dengan sarung tanganmu. Itu tidak bagus,” katanya seakan dia mengamatiku sepanjang waktu.

Ah, jadi aku mengotori wajahku. Paham sekarang maksud dari tisu basah pembersih wajah Yuigahama, aku menggunakannya dengan penuh rasa terima kasih.

“…terima kasih.”

Bahkan selagi aku mengutarakan kata-kata itu, aku mendapat perasaan bahwa kata-kata itu tidak tertuju pada seseorang yang spesifik.]


× × ×


4-2

Komachi dan Hiratsuka‐sensei berjalan ke arah kami, mengangkat kotak-kotak yang penuh dengan sayuran. Mereka berdua kelihatannya sedang tertawa oleh sesuatu yang sangat lucu. Entah kenapa, aku bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan.

Kemungkinannya – aku. Karena salah satu bakat utamaku adalah rasa percaya diri yang berlebihan sampai-sampai aku biasanya menduga aku adalah bahan leluconnya setiap kali aku mendengar gelak tawa di kelas, itu mudah untuk membuat dugaan seperti itu. Astaga, jadi orang populer itu beratǃ …berat, kataku.

Sekarang setelah aku menghabiskan beberapa saat memikirkan apa yang sedang Hiratsuka-sensei katakan, aku agak merasa depresi.

“Ada apa, Hikigaya? Kamu kelihatan murung. Anak kutu buku[1] tidak suka di luar rumah, kurasa?”

“Apa-apaan anak kutu buku yang anda bicarakan ini…?” Ya, aku memang suka membaca, tapi tidak seperti aku melahap buku atau semacamnya.[2] “Hei, Komachi, apa yang sedang kalian bicarakan?”

“Huh? Kita sedang membicarakan tentang semua hal yang telah kamu lakukan untukku. Kamu itu onii-chan yang baik dan super suka menolong yang membantuku dan menunjukkanku esai lamanya demi resensi bukuku. Ah, pertolonganmu itu menaikkan poin Komachiku,” lantunnya.

“Oke. Aku kurang lebih paham sekarang. Itu kar'na aku membuatmu menangis.”

Jadi sistem poinnya seperti itu, huh? Dan tunggu dulu, dia pasti sudah membicarakan tentang isi resensi buku dan esaiku.

“Meskipun kubilang kamu begitu perhatian, onii‐chan, kamu hanya tidak mau menerimanya,” Komachi mengomplain dengan menggerutu.

Hiratsuka‐sensei terlihat seperti dia baru saja mau menjentik dahi Komachi, tapi menghentikan dirinya. “Yah, sesuatu seperti itu. Lebih dari setengahnya tentang cerita-cerita menghangatkan tentang kalian berdua. Kita menanyakan satu sama lain tentang kenangan masa kecil kita.”

“Waaah! Itu, macam, curang… itu akan membuat poin Komachiku turun jauh atau semacamnya…” wajah Komachi berubah menjadi merah bit di depan mataku.

Dia terbatuk keras yang dibuat-buat untuk mengalihkan kami dari pipi memerahnya, sebelum melemparkan pandangan menyamping ke arahku.

“Cu-cuma bercanda… a-apa reaksiku barusan menaikkan poin Komachiku?”

“Bodoh sekali kamu…”

Amarahku menghilang. Dia hanyalah begitu menjijikannya imut.

“Berhenti mengucapkan hal-hal bodoh dan cepat masak karinya. Perlu masak nasinya juga.”

Kalau aku terus menemaninya berbicara, kami tidak akan bisa makan. Aku merenggut kotak Komachi darinya dan mengangkatnya sampai ke dapur.

Walaupun Komachi melamun sejenak, dia mengangguk dengan tak sabaran pada sesuatu di belakangku.

Aku mungkin menyebutnya dapur, tapi tempat itu hanya terdiri dari wastafel serba guna. Itu ada di sana untuk membersihkan beras dan menyiapkan makanan.

Sebenarnya tidak ada banyak variasi dalam bahan makanannya. Maksudku, kehidupan sosialku bahkan lebih banyak variasi. Tiga potong daging babi, wortel, bawang dan kentang. Itu segera terlintas di pikiranku nasi kari yang disajikan di rumah-rumah Jepang biasa.

“Yah, kalau kamu memikirkannya, itu cocok bagi anak SD kelas 6 untuk memasak nasi di luar rumah.” Bahkan Yukinoshita mengucapkan cara berpikir yang lumrah itu.

Itu tidak akan membuatmu menjadi lebih pandai, tapi itu adalah pilihan aman yang tidak akan memberimu banyak peluang untuk gagal. “Ya, kurasa. Di rumah-rumah, kari yang kamu buat menunjukkan sesuatu mengenai karaktermu, kari yang ibumu buat penuh dengan ini dan itu, macam tofu goreng tebal dan seterusnya.”

“Hmm, jadi begitu, huh.”

Jawaban Yukinoshita begitu dingin. Maksudku, dia biasanya memang dingin, tapi kali ini dia hanya memyahut dengan beberapa sahutan tidak jelas, dan entah kenapa dia terlihat lesu.

“Yep, begitu,” kataku. “Macam mie yang dibuat dari konnyaku dan daikon. Kamu masukan bahan-bahannya dalam sebuah panci.”

“Ya, ya, macam menaruh kamaboko [3] ke dalamnya dan semacamnya, men.” Tobe tiba-tiba masuk ke dalam percakapannya.

“Uh, ya.” Aku begitu terkejut sampai aku bahkan tidak bisa membuat jawaban yang baik.

Hei, jangan begitu gampangnya berbicara padaku. Aku akan berakhir berpikir kita itu teman, sialan.

Tapi Tobe bertingkah seakan dia tidak memperdulikannya dan mengugamkan hal-hal tidak jelas dan tidak dapat dimengerti seperti, “Kamaboko dan sari laut, men” dengan begitu pelan. Mungkin dia sebenarnya orang yang baik jika dia bersedia untuk bercakap-cakap denganku, dari semua orang yang ada.

Tapi, dengan asumsi bahwa dia itu orang yang baik, aku salah untuk tidak memperluas topiknya. Karena ada begitu banyak hal yang salah denganku, aku bertekad untuk tidak berbicara padanya lagi sehingga aku tidak akan memberinya lebih banyak masalah.

Di sampingku, Yuigahama sedang bersenandung selagi dia mengupasi kulit kentang dengan sebuah alat pengupas. Karena dia tidak memakai pisau dapur, dia pastilah sudah mencobanya sekali dan menyerah. “Tapi kita bisa membuat masakan seperti kari mama, ente tahu. Kita hanya perlu menaruh semacam daun aneh dan semacamnya. Maksudku, ibuku agak berkepala-angin dan semacamnya.”

Dia yang berkepala angin. Tidak salah lagi – itu keturunan. Aku mohon padamu, tolong keluarkan tunas itu. Kamu akan mati karena solanin. [4]

“Ah, lihat. Daun persis seperti yang ini,” kata Yuigahama selagi dia buru-buru mengesampingkan alat pengupasnya dan meraih sebuah dahan, memetik selembar daun. Ya, itu daun! Whoopdee doo. Semacam itulah kesan yang dihasilkan daun itu.

…ah, mungkinkah itu salah satu benda yang mereka sebut daun salam? Aku telah dibuat untuk percaya bahwa daun itu merupakan rempah-rempah yang cukup terkenal.

“Aku percaya, itu daun Laurier…” ujar Yukinoshita.

“Apa? Loli?”

Sebuah khayalan acak muncul di dalam kepalaku.

“Eheheh… ada daun di dalam kari…” – Loli‐san (usia 6 tahun)

Aku harus mencarinya di Pixiv ketika aku pulang ke rumah… [5]

Selagi aku merenungkan pemikiran itu, Yukinoshita menatapku dengan sedikit tajam. “Aku akan mengatakannya untuk jaga-jaga saja, tapi Laurier itu daun salam. Bagaimana kamu rasa, Lolicon‐san?”

Aku mengernyit. Apa Yukinoshita-san itu seorang mentalis?

Dan tunggu, siapa itu Lolicon‐san? Aku itu siscon, tahu…

“Dipikir-pikir lagi, aku seharusnya juga tahu kalau itu adalah daun salam.”

Jadi kudenger yu suka bayleefz[6].

Tapi tentu saja, Yuigahama kelihatannya tidak tahu itu, dibuktikan dari caranya menyenggolku dengan pelan. “Laurier itu… bukan sejenis tisu…?”

Itu bukan keturunan. Itu sebuah evolusi. Sebuah Warp Digivolution, kalau boleh kutambahkan. [7]

4-3

Kami mempunyai tugas kami masing-masing, tapi kami juga telah menyelesaikan persiapan untuk memasak dan sudah mencuci berasnya. Setelah menyelesaikannya, kami tinggal bertugas mempersiapkan porsi makanan kami masing-masing.

Aku menyusun peralatan memasak kemah itu ke satu tempat dan merebus daging dan sayuran di panci. Selama melakukan hal ini, Ebina-san bergugam, “Wortelnya tampak seperti penis… sungguh mesum,” walaupun Miura terus mengetok kepalanya. Sebagai satu-satunya orang yang berkenan merespon pernyataan itu ketika tidak ada orang yang mau melakukannya, terus terang saja bukankah Miura itu baik hati dengan caranya sendiri? Tapi karakter wanita yang kasar tidak populer sekarang; yang lagi demam sekarang itu karakter wanita yang bersusah payah untuk mengabaikanmu.

Setelah menuangkan air ke dalam panci dan merebusnya, aku memilih dua jenis saus kari dan memasukkannya ke panci. Lemaknya memunculkan cita rasa tiga iris daging tersebut, sembari saus kari membuat rasanya pedas. Sekarang rebus semuanya dengan hati-hati. Seperti yang bisa kamu duga dari murid yang lebih tua, bersama dengan koki berpengalaman, masakannya berjalan dengan cukup lancar.

Saat aku melihat sekelilingku, uap dan asap membumbung dari panci-panci. Ini adalah sesi memasak di luar rumah pertama bagi para anak SD tersebut. Aku juga bisa melihat ada beberapa kelompok yang kesusahan memasaknya.

“Kalau kalian senggang, kalian boleh pergi melihat-lihat dan bantu mereka, huh?” kata Hiratsuka‐sensei, kata-katanya mengisyaratkan “aku tidak suka melakukannya”. Aku juga tidak suka.

Namun, aku heran persisnya kenapa riajuu-riajuu itu suka sekali koneksi. Bukankah baterai dan semacamnya juga terhubung dengan koneksi?

“Ya, kamu tidak mendapat banyak peluang untuk berbicara dengan anak SD,” kata Hayama, seakan dia setuju dengan sarannya.

“Tapi pancinya sedang mendidih.”

“Ya. Jadi kita tetap di satu tempat saja.”

Bukan itu maksudku dari kata-kataku… untuk beberapa alasan dia menganggap aku selalu setuju dengannya. Kalau kamu berpikir layaknya orang normal, aku sedang berusaha mengatakan aku tidak ikut pergi karena pancinya sedang mendidih, kan? Benar bukan? Itu maksudku. Kenapa jadi terdengar seakan aku mencoba memberinya saran?

Aku memutuskan untuk buru-buru mundur untuk sekarang. “Aku akan menjaga pancinya saja…” ujarku.

“Tidak usah kuatir, Hikigaya. Aku akan menjaganya untukmu.”

Hiratsuka-sensei yang berseri-seri berdiri di depanku.

Oh begitu ya. Ini adalah latihan “untuk kebaikanku sendiri”, kan?

Memimpin jalannya, Hayama singgah ke kelompok terdekat untuk melihat mereka. Bukannya aku benar-benar peduli, tapi orang ini terlihat seperti pemimpin Klub Servis. Seperti.

Anak SD tersebut memberi kami sambutan hangat, seakan kemunculan anak SMA itu sesuatu yang cukup spesial untuk mereka. Mereka menjelaskan apa yang menjadikan kari mereka istimewa, dan meskipun mereka belum selesai memasaknya mereka menyuruh satu sama lain untuk menyantap kari mereka seperti nenek-nenek desa. Yah, kari Jepang itu memang di atas rata-rata tidak peduli siapa pemasaknya. Aku rasa tidak akan muncul sesuatu yang terlalu aneh.

Hayama dan yang lain dikelilingi oleh para anak SD dan semuanya baik-baik saja. Ya, sebagian mungkin karena sifat riajuunya, tapi bukan karena itu saja. Anak SD tertarik pada orang paling dewasa di sana. Tak paham dengan cara orang dewasa melakukan sesuatu, mereka tidak banyak berpikir dengan siapa mereka berkawan. Sumberː diriku di masa lalu.

Mareka tidak tahu nilai sebuah uang, pentingnya belajar dan arti dari cinta. Semua hal yang terpapar pada mereka terlihat alamiah bagi mereka dan mereka tidak paham dari mana datangnya itu semua. Pada masa-masa tersebut, pemahaman mereka mengenai dunia ini hanya menyentuh permukaaannya saja.

Mulai dari SMP dan seterusnya, mareka belajar mengenai kekecewaan dan penyesalan serta keputus-asaan, akhirnya menyadari bahwa tidak mudah untuk hidup di dunia ini.

Di sisi lain, anak-anak yang jeli mungkin sudah mempelajari hal-hal tersebut.

Seperti, contohnya, gadis itu. Dia satu-satunya anak yang dikucilkan dari kelompoknya, dan sekarang dia hidup sendiri di dalam bayang-bayang.

Bagi anak-anak SD tersebut, seorang gadis yang menghabiskan waktunya sendirian mungkin sudah menjadi pemandangan sehari-hari mereka. Jadi, mereka tidak begitu memperdulikannya. Tapi seseorang di luar lingkaran kecil mereka pasti akan memancing perhatian mereka.

“Apa kamu suka kari?” panggil Hayama pada Rumi.

Melihat hal tersebut, Yukinoshita menghela pelan – begitu pelannya sampai kamu tidak akan bisa mendengarnya. Pikirannya serupa denganku.

Itu adalah tindakan yang buruk oleh Hayama.

Kalau kamu ingin memanggil seorang penyendiri, kamu harus melakukannya saat dia sendiri dan dengan penuh kerahasiaan. Kamu harus memberikan rasa pengertian maksimal pada mereka dan memastikan tidak ada orang di sekitar untuk melihatnya.

Dipanggil oleh seorang anak SMA, belum dibilang anak SMA yang begitu menonjol di kerumunan seperti Hayama, menjadikan keunikan Rumi ditekankan dari semua gadis lain, membuat status penyendirinya makin menonjol.

Menyatakannya dalam istilah sederhana, itu seperti memasangkanmu dengan gurumu akan membuatmu merasa lebih malu dibandingkan hanya sendirian saja. Simpati dan rasa kasihan mereka lebih pedih dari apapun. Berhenti bersikap baik padaku, kamu akan berpikir begitu. Abaikan aku, sialan.

Tanpa warna dan tak terlihat, kamu tidak akan merasa pedih jika dibiarkan sendiri, tapi jika kamu dilempar bersama gurumu, kamu akan dihadapkan dengan olokan yang setara dengan olokan pada seorang perjaka impoten.

Itulah kenapa tindakannya buruk.

Kalau Hayama bergerak, orang di sekelilingnya bergerak bersamanya. Jika pusat perhatian mereka – sang “oh anak SMA yang sungguh keren” – mengacungkan jari, anak SD yang lain akan mengikuti mereka.

Rumi terlihat seakan dia disorot dengan lampu pentas dalam sekali gerakan. Sekarang ini dia, cukup sesuai dengan istilahnya, sang pusat perhatian.

Seorang penyendiri belaka berlari ke stadium dalam sekali tancap. Sungguh hebat, persis seperti cerita Cinderella. Dia itu si Cinderella Super-Dimensi[8]. Dan dia hidup bahagia selamanya.

Tentu saja, bukan begitu jalan ceritanya.

Kalau aku boleh menebak apa yang dipikirkan anak SD tersebut, yang mereka pikirkan mungkin bukanlah, “Eeeeek! Rumi‐chan dipanggil oleh anak SMAǃ Keren sekaliǃ Tolong jadi temanku juga!” tapi lebih kepada, “Huh? Kenapa dia?” Dia akan mendapat pandangan ingin tahu dari para siswa SMA dan rasa cemburu dan amarah dari teman sekelasnya. Dia bagai memakan buah simalakama.

Dengan itu, Rumi berada pada jalan buntu.


Catatan Translasi

  1. Book Boy
  2. Referensi terhadap novel Book Girl dari seri novel ringan Bungaku Shojo. Tokoh utama perempuannya Touka benar-benar memakan buku.
  3. Kamaboko
  4. Solanin
  5. Pixiv adalah situs yang dipakai banyak pelukis Jepang mengupload gambar berala-anime.
  6. Di versi Jepangnya, ini adalah referensi pada meme 2ch yang termasuk gadis-gadis anime imut yang membuat wajah bodoh dan menjelaskan sesuatu yang sudah jelas. Bayleef itu pokemon, dan bahasa inggris daun salam adalah bayleaf. Contoh ː Gbr
  7. Di Digimon, Warp Digivolution mengacu pada seekor Digimon yang mencapai level yang lebih tinggi, langsung dengan melewati fase-fase apapun di antaranya.
  8. Ini adalah julukan Ranka Lee dalam anime Macross Frontier.