Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 4"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
m
Line 23: Line 23:
 
Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”
 
Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”
   
Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu memiliki kenangan buruk baginya.
+
Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu menyimpan kenangan buruk baginya.
   
 
“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?
 
“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?
Line 236: Line 236:
 
Aku menyusun peralatan memasak kemah itu ke satu tempat dan merebus daging dan sayuran di panci. Selama melakukan hal ini, Ebina-san bergugam, “Wortelnya tampak seperti penis… sungguh mesum,” walaupun Miura terus mengetok kepalanya. Sebagai satu-satunya orang yang berkenan merespon pernyataan itu ketika tidak ada orang yang mau melakukannya, terus terang saja bukankah Miura itu baik hati dengan caranya sendiri? Tapi karakter wanita yang kasar tidak populer sekarang; yang lagi demam sekarang itu karakter wanita yang bersusah payah untuk mengabaikanmu.
 
Aku menyusun peralatan memasak kemah itu ke satu tempat dan merebus daging dan sayuran di panci. Selama melakukan hal ini, Ebina-san bergugam, “Wortelnya tampak seperti penis… sungguh mesum,” walaupun Miura terus mengetok kepalanya. Sebagai satu-satunya orang yang berkenan merespon pernyataan itu ketika tidak ada orang yang mau melakukannya, terus terang saja bukankah Miura itu baik hati dengan caranya sendiri? Tapi karakter wanita yang kasar tidak populer sekarang; yang lagi demam sekarang itu karakter wanita yang bersusah payah untuk mengabaikanmu.
   
Setelah menuangkan air ke dalam panci dan merebusnya, aku memilih dua jenis saus kari dan memasukkannya ke panci. Lemaknya memunculkan cita rasa tiga iris daging tersebut, sembari saus kari membuat rasanya pedas. Sekarang rebus semuanya dengan hati-hati. Seperti yang bisa kamu duga dari murid yang lebih tua, bersama dengan koki berpengalaman, masakannya berjalan dengan cukup lancar.
+
Setelah menuangkan air ke dalam panci dan merebusnya, aku memilih dua jenis saus kari dan memasukkannya ke panci. Lemaknya memunculkan cita rasa tiga iris daging tersebut, sembari saus kari membuat rasanya pedas. Sekarang rebus semuanya dengan hati-hati. Seperti yang bisa kamu duga dari murid yang lebih tua, yang juga seorang koki berpengalaman, masakannya berjalan dengan cukup lancar.
   
 
Saat aku melihat sekelilingku, uap dan asap membumbung dari panci-panci. Ini adalah sesi memasak di luar rumah pertama bagi para anak SD tersebut. Aku juga bisa melihat ada beberapa kelompok yang kesusahan memasaknya.
 
Saat aku melihat sekelilingku, uap dan asap membumbung dari panci-panci. Ini adalah sesi memasak di luar rumah pertama bagi para anak SD tersebut. Aku juga bisa melihat ada beberapa kelompok yang kesusahan memasaknya.
   
“Kalau kalian senggang, kalian boleh pergi melihat-lihat dan bantu mereka, huh?” kata Hiratsuka‐sensei, kata-katanya mengisyaratkan “aku tidak suka melakukannya”. Aku juga tidak suka.
+
“Kalau kalian senggang, kalian boleh pergi melihat-lihat dan bantu mereka?” kata Hiratsuka‐sensei, kata-katanya mengisyaratkan “aku tidak suka melakukannya”. Aku juga tidak suka.
   
Namun, aku heran persisnya kenapa riajuu-riajuu itu suka sekali koneksi. Bukankah baterai dan semacamnya juga terhubung dengan koneksi?
+
Namun, aku heran persisnya kenapa riajuu-riajuu itu suka sekali berkoneksi. Bukankah baterai dan semacamnya juga terhubung dengan koneksi?
   
 
“Ya, kamu tidak mendapat banyak peluang untuk berbicara dengan anak SD,” kata Hayama, seakan dia setuju dengan sarannya.
 
“Ya, kamu tidak mendapat banyak peluang untuk berbicara dengan anak SD,” kata Hayama, seakan dia setuju dengan sarannya.
Line 264: Line 264:
 
Anak SD tersebut memberi kami sambutan hangat, seakan kemunculan anak SMA itu sesuatu yang cukup spesial untuk mereka. Mereka menjelaskan apa yang menjadikan kari mereka istimewa, dan meskipun mereka belum selesai memasaknya mereka menyuruh satu sama lain untuk menyantap kari mereka seperti nenek-nenek desa. Yah, kari Jepang itu memang di atas rata-rata tidak peduli siapa pemasaknya. Aku rasa tidak akan muncul sesuatu yang terlalu aneh.
 
Anak SD tersebut memberi kami sambutan hangat, seakan kemunculan anak SMA itu sesuatu yang cukup spesial untuk mereka. Mereka menjelaskan apa yang menjadikan kari mereka istimewa, dan meskipun mereka belum selesai memasaknya mereka menyuruh satu sama lain untuk menyantap kari mereka seperti nenek-nenek desa. Yah, kari Jepang itu memang di atas rata-rata tidak peduli siapa pemasaknya. Aku rasa tidak akan muncul sesuatu yang terlalu aneh.
   
Hayama dan yang lain dikelilingi oleh para anak SD dan semuanya baik-baik saja. Ya, sebagian mungkin karena sifat riajuunya, tapi bukan karena itu saja. Anak SD tertarik pada orang paling dewasa di sana. Tak paham dengan cara orang dewasa melakukan sesuatu, mereka tidak banyak berpikir dengan siapa mereka berkawan. Sumberː diriku di masa lalu.
+
Hayama dan yang lain dikelilingi oleh para anak SD dan semuanya tampak baik-baik saja. Ya, sebagian mungkin karena sifat riajuunya, tapi bukan karena itu saja. Anak SD tertarik pada orang paling dewasa di sana. Tak paham dengan cara orang dewasa melakukan sesuatu, mereka tidak banyak berpikir dengan siapa mereka berkawan. Sumberː diriku di masa lalu.
   
 
Mareka tidak tahu nilai sebuah uang, pentingnya belajar dan arti dari cinta. Semua hal yang terpapar pada mereka terlihat alamiah bagi mereka dan mereka tidak paham dari mana datangnya itu semua. Pada masa-masa tersebut, pemahaman mereka mengenai dunia ini hanya menyentuh permukaaannya saja.
 
Mareka tidak tahu nilai sebuah uang, pentingnya belajar dan arti dari cinta. Semua hal yang terpapar pada mereka terlihat alamiah bagi mereka dan mereka tidak paham dari mana datangnya itu semua. Pada masa-masa tersebut, pemahaman mereka mengenai dunia ini hanya menyentuh permukaaannya saja.
Line 304: Line 304:
 
Dengan itu, Rumi berada pada jalan buntu.
 
Dengan itu, Rumi berada pada jalan buntu.
   
  +
===4-4===
  +
Tidak peduli bagaimanapun dia menjawab pertanyaan Hayama, akan timbul perasaan buruk. Jika dia menjawabnya dengan hangat, mereka akan berpikir, “Dia sombong sekali!” dan jika dia menjawabnya dengan dingin, mereka akan berpikir, “Ada apa dengannya? Sombong sekali!” Tidak peduli apa yang dia lakukan, dia tidak akan terlepas dari pemikiran yang negatif.
  +
  +
Raut keterkejutan timbul pada wajah Rumi saat Hayama berbicara padanya, tapi‐
  +
  +
“…tidak terlalu. Aku tidak begitu suka kari,” jawabnya singkat, berpura-pura kalem, sebelum melepaskan diri dari sorotan.
  +
  +
Dalam situasi ini, mundur adalah satu-satunya pilihan. Toh, dia tidak ada kartu atau trik yang bisa dipakai.
  +
  +
Sebaik yang dia bisa, Rumi berpindah ke tempat yang jauh dari mata manusia. Dia pergi ke luar lingkaran manusia – yakni, pergi ke tempat aku berada. Kebetulan, Yukinoshita juga menjaga jaraknya denganku, meskipun dia berada di sisi yang sama denganku.
  +
  +
Penyendiri tipe-angkuh memiliki zona pribadi yang lebar, belum dibilang aura mengancam Yukinoshita yang kuat mencegah orang lain untuk mendekatinya. Kamu dapat menyebutnya ciri khas dari kepribadiannya. Itu adalah, istilahnya, tersendiri. Kenapa aku membuatnya terdengar begitu dramatis? Itu hanya sebuah fakta sederhana.
  +
  +
Rumi berdiri semeter dariku, berhenti tepat di antara Yukinoshita dan aku. Dia menjaga jarak yang cukup untuk melihat kami berdua dari sudut matanya.
  +
  +
Hayama memandang Rumi dengan senyuman yang sedikit kuatir dan sayu di wajahnya, tapi sekejap kemudian dia kembali bersama anak SD yang lain.
  +
  +
“Oke, semuanya, kalian sudah menyelesaikan semua tugas berat kalian, jadi kalian sudah boleh menambahkan penyedap sekarangǃ Ada yang ingin kalian tambahkan?” tanyanya. Suaranya cemerlang dan menawan, menarik semua perhatian ke arahnya.
  +
  +
Berkat dia, tatapan dongkol yang terarah pada Rumi mendadak hilang.
  +
  +
Anak-anak SD tersebut mengacungkan tangan mereka dengan serempak, menyarankan kopi dan paprika dan coklat dan sebagainya.
  +
  +
“Yaaaap! Aku rasa buah cocokǃ Seperti pir dan semacamnya!”
  +
  +
Oh, omong-omong, tadi itu Yuigahama. Kenapalah dia ikut berpartisipasi…? Seperti yang bisa kalian duga, ekspresi Hayama juga sedikit mengeras.
  +
  +
Bukan hanya dia ikut berpartisipasi dalam permainan anak-anak, kata-katanya juga jelas menunjukkan bahwa kemampuan memasaknya adalah yang terburuk di antara mereka semua.
  +
  +
Kembali kalem dalam sekejap, Hayama mengucapkan sesuatu. Apapun yang diucapkannya, kata-katanya membuat bahu Yuigahama terkulai dan dia berjalan dengan lemas dan lamban ke arah kami. Entah kenapa, kelihatannya dia memperlakukannya seperti pengganggu dengan sangat lembut.
  +
  +
“Sungguh tolol…” ujarku.
  +
  +
Suara pelan membisik untuk melanjutkan kata-kataku. “Terus terang saja, mereka semua benar-benar tolol…” kata Tsurumi Rumi dengan suara yang terdengar dingin di telingaku. Sudah kuputuskan – mulai dari sekarang julukannya adalah Rumi Rumi. Apa dia dari Nadesico? <ref> Ruri dari anime Martian Successor Nadesico dikenal dengan sikap angkuhnya dan slogannya “dasar tolol”. Julukannya adalah Ruri Ruri. </ref>
  +
  +
“Ya, mayoritas manusia memang seperti itu. Baguslah kamu cepat memahaminya,” kataku.
  +
  +
Rumi melihat ke arahku, dengan ekspresi bingung di wajahnya. Tatapannya juga merupakan tatapan menilai, seakan dia sedang menaksir nilai diriku, jadi itu membuatku sedikit tidak nyaman.
  +
  +
Menyadari cara Rumi melihat ke arahku, Yukinoshita menyela. “Kamu juga bagian dari mayoritas tersebut.”
  +
  +
“Jangan meremehkanku. Aku mempunyai talenta menabjubkan untuk menyendiri bahkan saat aku bagian dari sebuah mayoritas.”
  +
  +
“Sungguh seperti kamu untuk membanggakan sesuatu seperti itu sampai sebegitunya. Kamu melampaui ekspektasiku. Kamu pantas menerima cemooh, bukan rasa takjub.”
  +
  +
“Bukankah kamu biasanya menghormati seseorang kalau mereka melampaui ekspektasimu…?”
  +
  +
Rumi mendengarkan percakapan kami dengan hening, tidak sekalipun dia tersenyum.
  +
  +
Berjalan sedikit mendekati kami dengan segan, dia berkata pada kami. “Nama.”
  +
  +
“Huh? Nama apa?” tanyaku balik, tidak paham apa yang dia katakan hanya dari kata ‘nama’.
  +
  +
Sebagai balasannya, Rumi mengulangi kata-katanya dengan angkuh, menjelaskan maksudnya dengan cukup baik. “Aku sedang menanyakan namamu. Biasanya begitu kamu menafsirkannya.”
  +
  +
“…perkenalkan dirimu dulu sebelum kamu menanyakan nama orang lain.” tatapan Yukinoshita tajam dan berbahaya. Sialnya bagi Rumi, tatapan itu mungkin tatapannya yang paling mengerikan sampai sekarang.
  +
  +
Dia menatapnya – atau, tepatnya – membuat tatapan maut. Kelihatannya dia tidak berniat untuk mempertimbangkan bahwa dia sedang berbicara dengan seorang anak kecil. Sebenarnya, Yukinoshita membuat kesan yang lebih galak dari biasanya. Mungkin dia tidak begitu suka anak kecil.
  +
  +
Tatapannya pastilah membuat Rumi takut, karena dia berpaling dengan tidak nyaman.
  +
  +
“…Tsurumi Rumi.”
  +
  +
Walaupun dia menguggamkan kata-kata itu dari sudut mulutnya, kamu masih bisa mendengarnya. Yukinoshita memikirkan hal yang sama denganku, kelihatannya. Setelah dia mendengar nama Rumi, dia mengangguk singkat.
  +
  +
“Aku Yukinoshita Yukino. Orang itu… Hiki… Hikiga… Hikikatakgaya‐kun, bukan?”
  +
  +
“Hei, dari mana kamu tahu julukanku dari kelas 4 SD? Akhirnya, mereka hanya memanggilku si Katak.”
  +
  +
Entah kapan, aku rasa mereka berhenti menyambungkannya pada margaku dan mulai memperlakukanku seperti seekor amfibi.
  +
  +
“Aku Hikigaya Hachiman.” Karena aku pasti akan menjadi Hikikatakgaya-san jika ini terus berlanjut, aku memperkenalkan diriku dengan benar. “Dan ini Yuigahama Yui.” Aku menunjukkan jariku pada Yuigahama, yang sekarang sudah agak dekat.
  +
  +
“Ada apa? Kamu memanggilku?” Yuigahama menemukan kami bertiga dan sepertinya sedang menebak apa yang sedang kami lakukan. “Oh, ya, ya. Aku Yuigahama Yui. Tsurumi Rumi-chan, bukan? Senang berjumpa denganmu.”
  +
  +
Tapi Tsurumi Rumi hanya mengangguk pada sapaan Yuigahama. Dia tidak mau melihat matanya. Selagi dia melihat kakinya, dia berkata dengan segan. “Entah kenapa, aku merasa dua orang ini berbeda. Berbeda dari mereka.”
  +
  +
Itu sulit untuk memahaminya karena subjek kalimatnya samar, tapi mungkin maksudnya kami berdua – Yukinoshita dan aku – itu tipe manusia yang berbeda dari mereka, yakni Hayama dan kawan-kawan.
  +
  +
Ya, kami berbeda. Kalau kamu melihat pada sekelompok manusia yang dikenal dengan “mereka”, mereka kelihatannya sedang menikmati hidup mereka dengan lomba memasak kari istimewa mereka.
  +
  +
“Aku juga berbeda. Dari mereka,” kata Rumi, sengaja merenungkan kata-katanya seakan dengan menyatakannya keras-keras dia sedang menegaskan hal itu pada dirinya.
  +
  +
Wajah Yuigahama berubah menjadi serius. “Apa maksudmu berbeda?”
  +
  +
“Semua orang disekelilingku itu bocah. Ya, aku lebih baik tidak ikut-ikutan dengan mereka<!--Well, not like I was any better playing along with them-->. Jadi aku berhenti melakukan semua hal tidak berguna itu. Aku lebih baik sendirian.”
  +
  +
“Ta-tapi.” Yuigahama terlihat kehilangan kata-kata. “Aku rasa teman dan kenangan SDmu itu penting.”
  +
  +
“Aku tidak benar-benar perlu sesuatu seperti kenangan… saat aku masuk SMP, aku bisa berteman dengan orang yang datang dari sekolah lain.”
  +
  +
Dia mengangkat kepalanya dengan cepat, menatap ke arah langit. Matahari akhirnya sudah terbenam dan langit, yang berwarna biru indigo seperti tinta cair, mulai menghitam. Bintang-bintang mulai berkelap-kelip satu per satu.
  +
  +
Tatapan jauh Rumi teramat menyedihkan, tapi pada saat yang sama, tatapan tersebut menyimpan seberkas harapan yang indah.
  +
  +
Tsurumi Rumi masih percaya; dia masih berharap. Dia bergantung pada harapan bahwa situasinya akan membaik kalau dia memasuki lingkungan yang baru.
  +
  +
Namun harapan itu tiada artinya.
  +
  +
“Maaf untuk mengucapkan ini, tapi hal itu tidak akan terjadi.”
  +
  +
Orang yang mengucapkan pernyataan yang terlampau blak-blakan itu adalah Yukinoshita Yukino.
  +
  +
Rumi menatapnya dengan getir.
  +
  +
Yukinoshita menatap matanya. “Orang yang satu SD denganmu sekarang akan masuk ke SMP yang sama denganmu. Kalau begitu, sejarah akan terulang,” terangnya dengan dingin, tanpa berbasa-basi. “Saat itu, ‘orang yang datang dari sekolah lain’ hanya akan ikut mengucilkanmu.”
  +
  +
Bagi mereka yang tamat dari SD negeri lokal dan melanjut ke SMP negeri, hubungan yang telah mereka jalin sampai saat itu akan terus berlanjut. Kamu harus mulai dengan semua beban yang kamu kumpulkan dari SD. Meskipun kamu menjalin teman baru, hutang masa lalumu akan menghalangimu.
  +
  +
Masa lalumu akan disebar luaskan, dalam bentuk cerita lucu dan lelucon. Saat kamu sudah menjadi alat komunikasi yang siap sedia bagi lelaki dan perempuan itu, tamat sudah kamu.
  +
  +
Tidak ada orang yang mengucapkan apapun.
  +
  +
Aku tidak mampu memikirkan bantahan untuk itu. Bukan hanya aku yang tidak ada bantahan, Yuigahama juga terus terdiam dengan tidak nyaman. Tapi bahkan Rumi tidak dapat mengucapkan apapun, tidak ada satupun.
  +
  +
“Kamu tahu sebanyak itu, bukan?” kata Yukinoshita, seakan sedang melancarkan serangan terakhirnya.
  +
  +
Kemudian, selagi dia melirik ke arah Rumi yang terdiam, dia mengunci mulutnya dengan erat, seakan mencoba untuk menahan sesuatu. Mungkin, mungkin saja, Yukinoshita dapat melihat diri masa lalunya dalam bentuk gadis di depannya.
  +
  +
“Sudah kuduga…” Suatu bisikan pelan yang pasrah terselip dari mulut Rumi. “Aku sudah melakukan hal yang sangat bodoh,” gugamnya untuk mengolok dirinya.
  +
  +
“Ada apa?” tanya Yuigahama dengan lembut.
  +
  +
“Orang dikucilkan oleh kelompok itu beberapa kali… tapi akhirnya itu akan berhenti dan kami akan berbicara padanya lagi setelah itu – semacam sebuah tren. Seseorang selalu menyarankannya dan semua orang akan ikut melakukannya.”
  +
  +
Rumi mengatakannya dengan kalem, tapi aku merinding saat mendengar apa yang dia katakan. Ada apa dengan cerita ini? Menakutkan sekali.
  +
  +
“Kemudian, salah satu dari gadis yang populer dan cukup suka bicara dikucilkan, dan aku menjaga jarakku darinya juga, tapi… tapi sebelum aku menyadarinya, aku selanjutnya. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah.”
  +
  +
Aku yakin itu terlihat seperti sebuah ide yang bagus saat itu. Tidak, mereka tidak melakukannya dengan alasan yang jelas di pikiran mereka. Mereka hanya merasakan suatu kewajiban aneh ini, seperti mereka harus melakukannya.
  +
  +
“Itu karna aku mengucapkan banyak hal pada gadis itu, kamu tahu.”
  +
  +
Temanmu semalam bisa mengubah rahasiamu menjadi lelucon di keesokan harinya demi membuat seseorang tertawa.
  +
  +
Kalau kamu kelas 6 SD, kamu mungkin mencintai seseorang. Kamu akan terpancing untuk mengatakannya pada seseorang mengenai perasaan cinta yang tidak kamu kenali dan tidak dapat kamu hadapi itu. Tapi karena itu juga memalukan, kamu curhat pada seseorang yang dapat kamu percayai dalam percakapan hati-ke-hati. Aku heran kenapa orang-orang menyebarkan rumor itu setelah mengatakan, “Aku pasti akan merahasiakannya!” Apa mereka itu Klub Danchou? <ref> Trio komedian Jepang yang populer. Mengatakan “Aku pasti tidak akan ___!” dan kemudian melakukannya juga pada akhirnya adalah salah satu lelucon utama mereka. </ref>
  +
  +
Aku mungkin bisa membicarakannya sambil tertawa sekarang, tapi pada saat itu aku berpikir tidak ada yang lebih menyakitkan lagi dari ini.
  +
  +
Kamu meletakkan kepercayaanmu pada seseorang dan mencurahkan rahasiamu, tapi cepat atau lambat itu akan kembali menghantuimu.
  +
  +
Tidak ada yang namanya manusia yang dicap orang jahat di dunia ini. Dalam kondisi normal, semua itu kurang lebih baik, atau, setidaknya, biasa-biasa saja. Tapi pancing saja mereka, dan mereka bisa tiba-tiba berubah. Itulah apa yang menakutkan dari manusia. Kamu harus terus waspada.
  +
  +
Tiba-tiba, kutipan itu muncul dalam benakku.
  +
  +
Tidak ada orang yang jahat sejak lahir. Semua orang mempercayai hal itu, termasuk diriku. Aku tidak meragukan bahwa kebajikan itu ada.
  +
  +
Namun manusia menunjukkan watak aslinya ketika kelihatannya mereka bisa meraup keuntungan.
  +
  +
Manusia akan mencari alasan atas tingkah laku mereka setiap kali mereka dinodai kejahatan; mereka sebenarnya tidak jahar. Untuk mempertahankan harga diri mereka yang sinting, dunia ini menjadi sinting.
  +
  +
Seseorang yang kamu puji “keren” sampai semalam menjadi “sombong” hari ini; seseorang yang kamu hormati sebagai seseorang yang “pintar dan penuh wawasan” sekarang diolok sebagai seseorang yang “meremehkan murid yang kurang pandai”, dan “penuh semangat” menjadi “menjengkelkan dan terlampau terbawa suasana”.
  +
  +
Untuk menghukum kriminalitas di sebuah dunia yang sinting, manusia menghunuskan pedang keadilan. Karena mereka tidak bisa menghakimi diri mereka sendiri, mereka bergabung dengan sesama. Mereka membahas tentang amoralitas dan dosa seakan memang sewajarnya demikian, dan mereka akan membersihkan peradaban atas rasa keadilan mereka. Mereka membesar-besarkan masalah kecil.
  +
  +
Kalau itu bukan penipuan, dinamakan apa itu?
  +
  +
Di dalam dunia yang tertutup itu, kamu akan merinding dengan rasa tidak enak pada pemikiran kamu korban selanjutnya. Jadi sebelum itu dapat terjadi, kamu mencari kambing hitam.
  +
  +
Dan kemudian siklusnya terus berlanjut. Siklus itu tidak pernah berhenti.
  +
  +
Apa artinya membangun tali pertemanan kalau kamu akan dikorbankan demi martabat orang lain?
  +
  +
“Aku heran apa… ini akan terjadi juga saat SMP,” Rumi terisak, suaranya bergetar.
  +
  +
Sebuah teriakan kesenangan dapat terdengar, seakan menutupi suaranya. Suara itu bahkan tidak sampai sepuluh meter jauhnya, tapi dari sudut pandangku, itu terdengar seperti suara dari suatu tempat aneh yang jauh di sana.
   
   

Revision as of 14:04, 24 August 2016

Bab 4: Tiba-tiba, Ebina Hina Memasuki Mode Mendakwah

4-1

Kalau berbicara soal berkemah, kari segera muncul di pikiranku.

Itu wajar bahwa seseorang yang berimpian menjadi bapak rumah tangga akan mampu membuat satu atau dua jenis kari. Malah, tidak peduli apa yang coba mereka buat, masakannya akan jadi kari sebelum mereka menyadarinya. Sebenarnya, memasukkan saus kari akan mengubah segalanya menjadi kari, jadi itu tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa semua masakan mengandung bahan kari. Kalau membicarakan soal kari Chiba, Sitar itu restoran yang cukup ternama, tapi di Desa Chiba, tentu saja, kamu harus memakai peralatan masak kemah. Dan juga, apa aku ada bilang bahwa makanan Sitar benar-benar lezat?

Tidak usah dibilang lagi bahwa makan siang hari ini adalah makanan pokok berkemah – kari.

Untuk memulainya, Hiratsuka-sensei menghidupkan api pada arang para guru, yang akan dipakai sebagai contoh untuk para murid SD itu.

“Pertama-tama, aku akan mendemonstrasikannya untuk kalian.” Segera setelah dia mengatakannya dia mulai menumpuk arangnya. Dia meletakkan pemantik api dan beberapa potongan koran kusut di bawahnya. Saat dia menghidupkan apinya, potongan korannya dilahap oleh api.

Baru saja kupikir dia akan memindahkan apinya ke arang dan mengipasinya sebentar dengan kipas kertas, dia kelihatannya memutuskan bahwa itu terlalu membosankan baginya dan tiba-tiba menyiramkan minyak sayur ke atas api itu.

Tiba-tiba apinya berkobar hebat. Tolong jangan coba ini di rumah; itu benar-benar berbahaya.

Sorakan dan teriakan serta gugaman bosan muncul. Namun Hiratsuka-sensei yang tidak terpengaruh menarik sebatang rokok entah dari mana dan menaruhnya ke dalam mulutnya, seringai nihilistik muncul di wajahnya. Dengan rokok yang mencuat dari dalam mulutnya, dia mendekatkan wajahnya pada api itu dan menghirup dalam-dalam.

Dia menjauhkan wajahnya dan membuat helaan puas yang panjang. “Begitulah kurang lebih cara kalian melakukannya.”

“Anda terlihat begitu terbiasa dengan ini.” Gerakannya cepat dan tajam, belum dibilang dia segera memakai trik kotor yang dikenal dengan nama minyak sayur.

Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”

Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu menyimpan kenangan buruk baginya.

“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?

Totsuka, Hayama, Tobe dan aku tetap di sana.

“Kalau begitu ayo kita selesaikan persiapannya?”

Hayama dan Tobe memakai sarung tangan katun dan menumpuk arangnya, sementara Totsuka mempersiapkan pemantik dan koran.

…sial, aku terlambat mulai.

Persiapannya itu sendiri berjalan mulus, dan semua yang tersisa adalah pekerjaan mudah mengipasi apinya lagi dan lagi.

Aku sulit sekali percaya bahwa di dalam situasi ini aku tidak ada keinginan untuk duduk-duduk saja dan tidak melakukan apapun. Jujur saja, aku bisa saja tidak melakukan apapun dengan berkata “’ke, aku akan serahkan sisanya pada kalian” kalau hanya ada Hayama dan Tobe, tapi aku takut atas apa yang akan dipikirkan Totsuka dengan kata-kata itu, seperti yang dapat diduga.

Dengan pasrah, aku mengenakan sarung tangan katun, mengambil kipas kertasnya dan mendatangkan angin, dengan cara yang sering mereka lakukan pada belut yang dicelupkan dan dipanggang dengan saus berbahan dasar-kedelai. Pata pata pata.

“Kelihatannya panas…” ucap Totsuka, terdengar kuatir untukku.

“Kurasa…”

Dataran tinggi seharusnya sejuk, tapi sekarang masih pertengahan musim panas. Bekerja persis di depan api membuat keringat mengucur bebas dari badanku.

“Aku akan mengambil minuman untuk kalian,” kata Totsuka selagi dia meninggalkan tempat itu.

Itu membuat Tobe mengikutinya. “Kalau kamu mau mengambil minuman untuk kita semua, aku akan membantumu, yo.” Berlawanan dengan pemikiranku, dia mungkin saja pria yang baik. Itu atau mungkin rasa keksatriaan, tidak ingin membuat Totsuka mengangkat barang-barang berat dengan lengan rampingnya. Ahem. Pergilah dan gantikan aku selesaikan tugas ini.

Itu menyisakan hanya aku dan Hayama.

“…”

Pata pata pata pata.

“…”

Pata pata pata pata.

Aku mematikan perasaanku dan hanya berfokus untuk mengipas, terbebas dari pemikiran-pemikiran yang menghalang. Setelah beberapa lama, itu menjadi menyenangkan untuk melihat arang hitam pekat itu perlahan-lahan menjadi diwarnai warna merah.

Hanya saja, mataku mulai berair-air karena panas apinya dan panas cuacanya. Ketika aku menggosok mataku dengan sarung tangan katunku dan mengangkat wajahku, tatapanku bertemu dengan tatapan Hayama. Itu berarti dia terus melihat ke arahku dari tadi. Kalau Ebina ada di sini, kami akan dalam masalah.

“…apa?” tanyaku.

“Oh, tidak ada apa-apa,” kata Hayama untuk mengelaknya.

Sunyi.

Tanpa menghentikan pekerjaanku, aku menatap tajam ke arah Hayama. Itu membuat Hayama untuk membuka mulutnya dan mengutarakan kata-kata elakannya lagi.

“Sungguh, tidak ada apa-apa.”

Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa, katanya. Apa dia itu – radio rusak? Aku tidak pernah melihat orang yang benar-benar tidak ada apa-apa di pikirannya begitu menegaskan tidak ada apa-apa.

Selagi aku sedang melakukan tindakan menatap tajam ke arah Hayama lima detik sekali yang lumayan menjengkelkan, Hayama mengangkat bahunya menyerah dan berkata.

“…Hikitani‐kun, tentang Yu‐”

“Maaf membuatmu menunggu, Hachiman.” Totsuka menekankan gelas plastik dingin itu pada pipiku, memotong kata-kata Hayama. Jantungku meloncat atas sensasi dingin itu.

Ketika aku melihat ke atas, Totsuka memiliki senyuman murni dan polos itu di wajahnya, merasa senang bahwa dia berhasil melakukan kelakarnya. Dia sedikit terengah-engah seakan dia buru-buru kembali. Pipi merahnya itu menggemaskan. Kalau kamu menukar kegemasannya dengan kedewaan, itu akan meningkatkan ciri kemalaikatannya lebih tinggi lagi.

Jantungku berdetak hebat seperti yang biasa dilakukannya dalam situasi-situasi seperti ini. Aku melawan untuk menahan rasa ada bahayaku. Akhirnya, aku tersadar kembali dan menghimpun gugaman yang pelan.

“Oh, terima kasiiiih.”

Karena aku bergetar begitu hebat, bagian akhir suaraku memanjang sedikit. Tobe, yang sedang memegangi sekumpulan botol plastik bening di belakang Totsuka, mendengar itu dan agak meringis.

“…Aku akan menggantikanmu,” usul Hayama, menampilkan sebuah senyuman.

Karena dia begitu baik dan semacamnya, aku menerima tawarannya untuk menggantikanku. Aku menyerahkan kipasnya pada dia dan melepaskan sarung tangan katunku sebelum mengambil teh jelai itu dari Totsuka. “’ke, aku akan serahkan sisanya padamu.” aku berhenti sejenak. “Jadi apa yang sedang kamu katakan tadi?”

“Aku akan beritahu kamu nanti.” Daripada merasa tersinggung, Hayama tersenyum cemerlang dan berpaling kembali ke api. Dia mulai mengipas. Pata pata.

Man, aku letih.

Selagi aku menyeruput teh jelaiku, aku memusatkan mataku pada punggung Hayama yang merunduk. Aku heran apa yang sedang coba Hayama katakan padaku tadi. Yah, aku hanya bisa terpikir dua hal. Namun, aku masih tidak bisa membayangkan apa persisnya yang baru saja akan ditanya Hayama.

Aku duduk di atas bangku yang dijemur matahari itu dan meminum tehku, beristirahat seperti seorang warga lansia umum.

Saat itulah ketika para gadis kembali.

Menyadari bagaimana persiapan untuk apinya sudah sepenuhnya terkendali, Miura membuat teriakan senang. “Hayama, kamu begitu hebat!” lantunnya.

“Oh, kamu benar. Hayato-kun tipe orang luar rumah!” kicau Ebina dengan penuh kekaguman.

Kemudian, tatapan menyampingnya tertuju padaku. Kenapa Hikitani-kun tidak mau bekerja? Aku merasakan pertanyaan tak terucap itu dengan jelas.

“Hikitani‐kun yang kira-kira mengerjakan semua pekerjaannya.”

Wow, sisipan santai itu. Hayama benar-benar orang yang baik.

Masalahnya adalah bahwa sisipan Hayama menghasilkan sebuah kesan “Hayato begitu baik, selalu membela orang lain… teehee,” dalam suasananya.

Yah, begitulah cara dunia bekerja, kurasa.

“Hikki, kamu bekerja keras. Mari.” Yuigahama, yang telah kembali dengan Miura dan yang lain, menyerahkanku sebuah tisu basah pembersih wajah. Tidak ada tanda-tanda sindiran di dalam suaranya.

“Ah, Hachiman, kamu benar-benar bekerja kerasǃ Sungguh, beneran,” tegas Totsuka selagi dia mengepalkan tinjunya pada dadanya. Dipikir-pikir lagi, itu hanya akan terlihat seperti aku tidak mau bekerja kalau kamu baru saja datang.

“Aku benar-benar tahu. Hikki, kamu punya tampang serius aneh ini di matamu.” Yuigahama tertawa terbahak-bahak.

Dibelakangnya, Yukinoshita melirik ke arah wajahku. “Lagipula, kamu bisa tahu dengan melihatnya saja. Berhenti mengelap wajahmu dengan sarung tanganmu. Itu tidak bagus,” katanya seakan dia mengamatiku sepanjang waktu.

Ah, jadi aku mengotori wajahku. Paham sekarang maksud dari tisu basah pembersih wajah Yuigahama, aku menggunakannya dengan penuh rasa terima kasih.

“…terima kasih.”

Bahkan selagi aku mengutarakan kata-kata itu, aku mendapat perasaan bahwa kata-kata itu tidak tertuju pada seseorang yang spesifik.]


× × ×


4-2

Komachi dan Hiratsuka‐sensei berjalan ke arah kami, mengangkat kotak-kotak yang penuh dengan sayuran. Mereka berdua kelihatannya sedang tertawa oleh sesuatu yang sangat lucu. Entah kenapa, aku bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan.

Kemungkinannya – aku. Karena salah satu bakat utamaku adalah rasa percaya diri yang berlebihan sampai-sampai aku biasanya menduga aku adalah bahan leluconnya setiap kali aku mendengar gelak tawa di kelas, itu mudah untuk membuat dugaan seperti itu. Astaga, jadi orang populer itu beratǃ …berat, kataku.

Sekarang setelah aku menghabiskan beberapa saat memikirkan apa yang sedang Hiratsuka-sensei katakan, aku agak merasa depresi.

“Ada apa, Hikigaya? Kamu kelihatan murung. Anak kutu buku[1] tidak suka di luar rumah, kurasa?”

“Apa-apaan anak kutu buku yang anda bicarakan ini…?” Ya, aku memang suka membaca, tapi tidak seperti aku melahap buku atau semacamnya.[2] “Hei, Komachi, apa yang sedang kalian bicarakan?”

“Huh? Kita sedang membicarakan tentang semua hal yang telah kamu lakukan untukku. Kamu itu onii-chan yang baik dan super suka menolong yang membantuku dan menunjukkanku esai lamanya demi resensi bukuku. Ah, pertolonganmu itu menaikkan poin Komachiku,” lantunnya.

“Oke. Aku kurang lebih paham sekarang. Itu kar'na aku membuatmu menangis.”

Jadi sistem poinnya seperti itu, huh? Dan tunggu dulu, dia pasti sudah membicarakan tentang isi resensi buku dan esaiku.

“Meskipun kubilang kamu begitu perhatian, onii‐chan, kamu hanya tidak mau menerimanya,” Komachi mengomplain dengan menggerutu.

Hiratsuka‐sensei terlihat seperti dia baru saja mau menjentik dahi Komachi, tapi menghentikan dirinya. “Yah, sesuatu seperti itu. Lebih dari setengahnya tentang cerita-cerita menghangatkan tentang kalian berdua. Kita menanyakan satu sama lain tentang kenangan masa kecil kita.”

“Waaah! Itu, macam, curang… itu akan membuat poin Komachiku turun jauh atau semacamnya…” wajah Komachi berubah menjadi merah bit di depan mataku.

Dia terbatuk keras yang dibuat-buat untuk mengalihkan kami dari pipi memerahnya, sebelum melemparkan pandangan menyamping ke arahku.

“Cu-cuma bercanda… a-apa reaksiku barusan menaikkan poin Komachiku?”

“Bodoh sekali kamu…”

Amarahku menghilang. Dia hanyalah begitu menjijikannya imut.

“Berhenti mengucapkan hal-hal bodoh dan cepat masak karinya. Perlu masak nasinya juga.”

Kalau aku terus menemaninya berbicara, kami tidak akan bisa makan. Aku merenggut kotak Komachi darinya dan mengangkatnya sampai ke dapur.

Walaupun Komachi melamun sejenak, dia mengangguk dengan tak sabaran pada sesuatu di belakangku.

Aku mungkin menyebutnya dapur, tapi tempat itu hanya terdiri dari wastafel serba guna. Itu ada di sana untuk membersihkan beras dan menyiapkan makanan.

Sebenarnya tidak ada banyak variasi dalam bahan makanannya. Maksudku, kehidupan sosialku bahkan lebih banyak variasi. Tiga potong daging babi, wortel, bawang dan kentang. Itu segera terlintas di pikiranku nasi kari yang disajikan di rumah-rumah Jepang biasa.

“Yah, kalau kamu memikirkannya, itu cocok bagi anak SD kelas 6 untuk memasak nasi di luar rumah.” Bahkan Yukinoshita mengucapkan cara berpikir yang lumrah itu.

Itu tidak akan membuatmu menjadi lebih pandai, tapi itu adalah pilihan aman yang tidak akan memberimu banyak peluang untuk gagal. “Ya, kurasa. Di rumah-rumah, kari yang kamu buat menunjukkan sesuatu mengenai karaktermu, kari yang ibumu buat penuh dengan ini dan itu, macam tofu goreng tebal dan seterusnya.”

“Hmm, jadi begitu, huh.”

Jawaban Yukinoshita begitu dingin. Maksudku, dia biasanya memang dingin, tapi kali ini dia hanya memyahut dengan beberapa sahutan tidak jelas, dan entah kenapa dia terlihat lesu.

“Yep, begitu,” kataku. “Macam mie yang dibuat dari konnyaku dan daikon. Kamu masukan bahan-bahannya dalam sebuah panci.”

“Ya, ya, macam menaruh kamaboko [3] ke dalamnya dan semacamnya, men.” Tobe tiba-tiba masuk ke dalam percakapannya.

“Uh, ya.” Aku begitu terkejut sampai aku bahkan tidak bisa membuat jawaban yang baik.

Hei, jangan begitu gampangnya berbicara padaku. Aku akan berakhir berpikir kita itu teman, sialan.

Tapi Tobe bertingkah seakan dia tidak memperdulikannya dan mengugamkan hal-hal tidak jelas dan tidak dapat dimengerti seperti, “Kamaboko dan sari laut, men” dengan begitu pelan. Mungkin dia sebenarnya orang yang baik jika dia bersedia untuk bercakap-cakap denganku, dari semua orang yang ada.

Tapi, dengan asumsi bahwa dia itu orang yang baik, aku salah untuk tidak memperluas topiknya. Karena ada begitu banyak hal yang salah denganku, aku bertekad untuk tidak berbicara padanya lagi sehingga aku tidak akan memberinya lebih banyak masalah.

Di sampingku, Yuigahama sedang bersenandung selagi dia mengupasi kulit kentang dengan sebuah alat pengupas. Karena dia tidak memakai pisau dapur, dia pastilah sudah mencobanya sekali dan menyerah. “Tapi kita bisa membuat masakan seperti kari mama, ente tahu. Kita hanya perlu menaruh semacam daun aneh dan semacamnya. Maksudku, ibuku agak berkepala-angin dan semacamnya.”

Dia yang berkepala angin. Tidak salah lagi – itu keturunan. Aku mohon padamu, tolong keluarkan tunas itu. Kamu akan mati karena solanin. [4]

“Ah, lihat. Daun persis seperti yang ini,” kata Yuigahama selagi dia buru-buru mengesampingkan alat pengupasnya dan meraih sebuah dahan, memetik selembar daun. Ya, itu daun! Whoopdee doo. Semacam itulah kesan yang dihasilkan daun itu.

…ah, mungkinkah itu salah satu benda yang mereka sebut daun salam? Aku telah dibuat untuk percaya bahwa daun itu merupakan rempah-rempah yang cukup terkenal.

“Aku percaya, itu daun Laurier…” ujar Yukinoshita.

“Apa? Loli?”

Sebuah khayalan acak muncul di dalam kepalaku.

“Eheheh… ada daun di dalam kari…” – Loli‐san (usia 6 tahun)

Aku harus mencarinya di Pixiv ketika aku pulang ke rumah… [5]

Selagi aku merenungkan pemikiran itu, Yukinoshita menatapku dengan sedikit tajam. “Aku akan mengatakannya untuk jaga-jaga saja, tapi Laurier itu daun salam. Bagaimana kamu rasa, Lolicon‐san?”

Aku mengernyit. Apa Yukinoshita-san itu seorang mentalis?

Dan tunggu, siapa itu Lolicon‐san? Aku itu siscon, tahu…

“Dipikir-pikir lagi, aku seharusnya juga tahu kalau itu adalah daun salam.”

Jadi kudenger yu suka bayleefz[6].

Tapi tentu saja, Yuigahama kelihatannya tidak tahu itu, dibuktikan dari caranya menyenggolku dengan pelan. “Laurier itu… bukan sejenis tisu…?”

Itu bukan keturunan. Itu sebuah evolusi. Sebuah Warp Digivolution, kalau boleh kutambahkan. [7]

4-3

Kami mempunyai tugas kami masing-masing, tapi kami juga telah menyelesaikan persiapan untuk memasak dan sudah mencuci berasnya. Setelah menyelesaikannya, kami tinggal bertugas mempersiapkan porsi makanan kami masing-masing.

Aku menyusun peralatan memasak kemah itu ke satu tempat dan merebus daging dan sayuran di panci. Selama melakukan hal ini, Ebina-san bergugam, “Wortelnya tampak seperti penis… sungguh mesum,” walaupun Miura terus mengetok kepalanya. Sebagai satu-satunya orang yang berkenan merespon pernyataan itu ketika tidak ada orang yang mau melakukannya, terus terang saja bukankah Miura itu baik hati dengan caranya sendiri? Tapi karakter wanita yang kasar tidak populer sekarang; yang lagi demam sekarang itu karakter wanita yang bersusah payah untuk mengabaikanmu.

Setelah menuangkan air ke dalam panci dan merebusnya, aku memilih dua jenis saus kari dan memasukkannya ke panci. Lemaknya memunculkan cita rasa tiga iris daging tersebut, sembari saus kari membuat rasanya pedas. Sekarang rebus semuanya dengan hati-hati. Seperti yang bisa kamu duga dari murid yang lebih tua, yang juga seorang koki berpengalaman, masakannya berjalan dengan cukup lancar.

Saat aku melihat sekelilingku, uap dan asap membumbung dari panci-panci. Ini adalah sesi memasak di luar rumah pertama bagi para anak SD tersebut. Aku juga bisa melihat ada beberapa kelompok yang kesusahan memasaknya.

“Kalau kalian senggang, kalian boleh pergi melihat-lihat dan bantu mereka?” kata Hiratsuka‐sensei, kata-katanya mengisyaratkan “aku tidak suka melakukannya”. Aku juga tidak suka.

Namun, aku heran persisnya kenapa riajuu-riajuu itu suka sekali berkoneksi. Bukankah baterai dan semacamnya juga terhubung dengan koneksi?

“Ya, kamu tidak mendapat banyak peluang untuk berbicara dengan anak SD,” kata Hayama, seakan dia setuju dengan sarannya.

“Tapi pancinya sedang mendidih.”

“Ya. Jadi kita tetap di satu tempat saja.”

Bukan itu maksudku dari kata-kataku… untuk beberapa alasan dia menganggap aku selalu setuju dengannya. Kalau kamu berpikir layaknya orang normal, aku sedang berusaha mengatakan aku tidak ikut pergi karena pancinya sedang mendidih, kan? Benar bukan? Itu maksudku. Kenapa jadi terdengar seakan aku mencoba memberinya saran?

Aku memutuskan untuk buru-buru mundur untuk sekarang. “Aku akan menjaga pancinya saja…” ujarku.

“Tidak usah kuatir, Hikigaya. Aku akan menjaganya untukmu.”

Hiratsuka-sensei yang berseri-seri berdiri di depanku.

Oh begitu ya. Ini adalah latihan “untuk kebaikanku sendiri”, kan?

Memimpin jalannya, Hayama singgah ke kelompok terdekat untuk melihat mereka. Bukannya aku benar-benar peduli, tapi orang ini terlihat seperti pemimpin Klub Servis. Seperti.

Anak SD tersebut memberi kami sambutan hangat, seakan kemunculan anak SMA itu sesuatu yang cukup spesial untuk mereka. Mereka menjelaskan apa yang menjadikan kari mereka istimewa, dan meskipun mereka belum selesai memasaknya mereka menyuruh satu sama lain untuk menyantap kari mereka seperti nenek-nenek desa. Yah, kari Jepang itu memang di atas rata-rata tidak peduli siapa pemasaknya. Aku rasa tidak akan muncul sesuatu yang terlalu aneh.

Hayama dan yang lain dikelilingi oleh para anak SD dan semuanya tampak baik-baik saja. Ya, sebagian mungkin karena sifat riajuunya, tapi bukan karena itu saja. Anak SD tertarik pada orang paling dewasa di sana. Tak paham dengan cara orang dewasa melakukan sesuatu, mereka tidak banyak berpikir dengan siapa mereka berkawan. Sumberː diriku di masa lalu.

Mareka tidak tahu nilai sebuah uang, pentingnya belajar dan arti dari cinta. Semua hal yang terpapar pada mereka terlihat alamiah bagi mereka dan mereka tidak paham dari mana datangnya itu semua. Pada masa-masa tersebut, pemahaman mereka mengenai dunia ini hanya menyentuh permukaaannya saja.

Mulai dari SMP dan seterusnya, mareka belajar mengenai kekecewaan dan penyesalan serta keputus-asaan, akhirnya menyadari bahwa tidak mudah untuk hidup di dunia ini.

Di sisi lain, anak-anak yang jeli mungkin sudah mempelajari hal-hal tersebut.

Seperti, contohnya, gadis itu. Dia satu-satunya anak yang dikucilkan dari kelompoknya, dan sekarang dia hidup sendiri di dalam bayang-bayang.

Bagi anak-anak SD tersebut, seorang gadis yang menghabiskan waktunya sendirian mungkin sudah menjadi pemandangan sehari-hari mereka. Jadi, mereka tidak begitu memperdulikannya. Tapi seseorang di luar lingkaran kecil mereka pasti akan memancing perhatian mereka.

“Apa kamu suka kari?” panggil Hayama pada Rumi.

Melihat hal tersebut, Yukinoshita menghela pelan – begitu pelannya sampai kamu tidak akan bisa mendengarnya. Pikirannya serupa denganku.

Itu adalah tindakan yang buruk oleh Hayama.

Kalau kamu ingin memanggil seorang penyendiri, kamu harus melakukannya saat dia sendiri dan dengan penuh kerahasiaan. Kamu harus memberikan rasa pengertian maksimal pada mereka dan memastikan tidak ada orang di sekitar untuk melihatnya.

Dipanggil oleh seorang anak SMA, belum dibilang anak SMA yang begitu menonjol di kerumunan seperti Hayama, menjadikan keunikan Rumi ditekankan dari semua gadis lain, membuat status penyendirinya makin menonjol.

Menyatakannya dalam istilah sederhana, itu seperti memasangkanmu dengan gurumu akan membuatmu merasa lebih malu dibandingkan hanya sendirian saja. Simpati dan rasa kasihan mereka lebih pedih dari apapun. Berhenti bersikap baik padaku, kamu akan berpikir begitu. Abaikan aku, sialan.

Tanpa warna dan tak terlihat, kamu tidak akan merasa pedih jika dibiarkan sendiri, tapi jika kamu dilempar bersama gurumu, kamu akan dihadapkan dengan olokan yang setara dengan olokan pada seorang perjaka impoten.

Itulah kenapa tindakannya buruk.

Kalau Hayama bergerak, orang di sekelilingnya bergerak bersamanya. Jika pusat perhatian mereka – sang “oh anak SMA yang sungguh keren” – mengacungkan jari, anak SD yang lain akan mengikuti mereka.

Rumi terlihat seakan dia disorot dengan lampu pentas dalam sekali gerakan. Sekarang ini dia, cukup sesuai dengan istilahnya, sang pusat perhatian.

Seorang penyendiri belaka berlari ke stadium dalam sekali tancap. Sungguh hebat, persis seperti cerita Cinderella. Dia itu si Cinderella Super-Dimensi[8]. Dan dia hidup bahagia selamanya.

Tentu saja, bukan begitu jalan ceritanya.

Kalau aku boleh menebak apa yang dipikirkan anak SD tersebut, yang mereka pikirkan mungkin bukanlah, “Eeeeek! Rumi‐chan dipanggil oleh anak SMAǃ Keren sekaliǃ Tolong jadi temanku juga!” tapi lebih kepada, “Huh? Kenapa dia?” Dia akan mendapat pandangan ingin tahu dari para siswa SMA dan rasa cemburu dan amarah dari teman sekelasnya. Dia bagai memakan buah simalakama.

Dengan itu, Rumi berada pada jalan buntu.

4-4

Tidak peduli bagaimanapun dia menjawab pertanyaan Hayama, akan timbul perasaan buruk. Jika dia menjawabnya dengan hangat, mereka akan berpikir, “Dia sombong sekali!” dan jika dia menjawabnya dengan dingin, mereka akan berpikir, “Ada apa dengannya? Sombong sekali!” Tidak peduli apa yang dia lakukan, dia tidak akan terlepas dari pemikiran yang negatif.

Raut keterkejutan timbul pada wajah Rumi saat Hayama berbicara padanya, tapi‐

“…tidak terlalu. Aku tidak begitu suka kari,” jawabnya singkat, berpura-pura kalem, sebelum melepaskan diri dari sorotan.

Dalam situasi ini, mundur adalah satu-satunya pilihan. Toh, dia tidak ada kartu atau trik yang bisa dipakai.

Sebaik yang dia bisa, Rumi berpindah ke tempat yang jauh dari mata manusia. Dia pergi ke luar lingkaran manusia – yakni, pergi ke tempat aku berada. Kebetulan, Yukinoshita juga menjaga jaraknya denganku, meskipun dia berada di sisi yang sama denganku.

Penyendiri tipe-angkuh memiliki zona pribadi yang lebar, belum dibilang aura mengancam Yukinoshita yang kuat mencegah orang lain untuk mendekatinya. Kamu dapat menyebutnya ciri khas dari kepribadiannya. Itu adalah, istilahnya, tersendiri. Kenapa aku membuatnya terdengar begitu dramatis? Itu hanya sebuah fakta sederhana.

Rumi berdiri semeter dariku, berhenti tepat di antara Yukinoshita dan aku. Dia menjaga jarak yang cukup untuk melihat kami berdua dari sudut matanya.

Hayama memandang Rumi dengan senyuman yang sedikit kuatir dan sayu di wajahnya, tapi sekejap kemudian dia kembali bersama anak SD yang lain.

“Oke, semuanya, kalian sudah menyelesaikan semua tugas berat kalian, jadi kalian sudah boleh menambahkan penyedap sekarangǃ Ada yang ingin kalian tambahkan?” tanyanya. Suaranya cemerlang dan menawan, menarik semua perhatian ke arahnya.

Berkat dia, tatapan dongkol yang terarah pada Rumi mendadak hilang.

Anak-anak SD tersebut mengacungkan tangan mereka dengan serempak, menyarankan kopi dan paprika dan coklat dan sebagainya.

“Yaaaap! Aku rasa buah cocokǃ Seperti pir dan semacamnya!”

Oh, omong-omong, tadi itu Yuigahama. Kenapalah dia ikut berpartisipasi…? Seperti yang bisa kalian duga, ekspresi Hayama juga sedikit mengeras.

Bukan hanya dia ikut berpartisipasi dalam permainan anak-anak, kata-katanya juga jelas menunjukkan bahwa kemampuan memasaknya adalah yang terburuk di antara mereka semua.

Kembali kalem dalam sekejap, Hayama mengucapkan sesuatu. Apapun yang diucapkannya, kata-katanya membuat bahu Yuigahama terkulai dan dia berjalan dengan lemas dan lamban ke arah kami. Entah kenapa, kelihatannya dia memperlakukannya seperti pengganggu dengan sangat lembut.

“Sungguh tolol…” ujarku.

Suara pelan membisik untuk melanjutkan kata-kataku. “Terus terang saja, mereka semua benar-benar tolol…” kata Tsurumi Rumi dengan suara yang terdengar dingin di telingaku. Sudah kuputuskan – mulai dari sekarang julukannya adalah Rumi Rumi. Apa dia dari Nadesico? [9]

“Ya, mayoritas manusia memang seperti itu. Baguslah kamu cepat memahaminya,” kataku.

Rumi melihat ke arahku, dengan ekspresi bingung di wajahnya. Tatapannya juga merupakan tatapan menilai, seakan dia sedang menaksir nilai diriku, jadi itu membuatku sedikit tidak nyaman.

Menyadari cara Rumi melihat ke arahku, Yukinoshita menyela. “Kamu juga bagian dari mayoritas tersebut.”

“Jangan meremehkanku. Aku mempunyai talenta menabjubkan untuk menyendiri bahkan saat aku bagian dari sebuah mayoritas.”

“Sungguh seperti kamu untuk membanggakan sesuatu seperti itu sampai sebegitunya. Kamu melampaui ekspektasiku. Kamu pantas menerima cemooh, bukan rasa takjub.”

“Bukankah kamu biasanya menghormati seseorang kalau mereka melampaui ekspektasimu…?”

Rumi mendengarkan percakapan kami dengan hening, tidak sekalipun dia tersenyum.

Berjalan sedikit mendekati kami dengan segan, dia berkata pada kami. “Nama.”

“Huh? Nama apa?” tanyaku balik, tidak paham apa yang dia katakan hanya dari kata ‘nama’.

Sebagai balasannya, Rumi mengulangi kata-katanya dengan angkuh, menjelaskan maksudnya dengan cukup baik. “Aku sedang menanyakan namamu. Biasanya begitu kamu menafsirkannya.”

“…perkenalkan dirimu dulu sebelum kamu menanyakan nama orang lain.” tatapan Yukinoshita tajam dan berbahaya. Sialnya bagi Rumi, tatapan itu mungkin tatapannya yang paling mengerikan sampai sekarang.

Dia menatapnya – atau, tepatnya – membuat tatapan maut. Kelihatannya dia tidak berniat untuk mempertimbangkan bahwa dia sedang berbicara dengan seorang anak kecil. Sebenarnya, Yukinoshita membuat kesan yang lebih galak dari biasanya. Mungkin dia tidak begitu suka anak kecil.

Tatapannya pastilah membuat Rumi takut, karena dia berpaling dengan tidak nyaman.

“…Tsurumi Rumi.”

Walaupun dia menguggamkan kata-kata itu dari sudut mulutnya, kamu masih bisa mendengarnya. Yukinoshita memikirkan hal yang sama denganku, kelihatannya. Setelah dia mendengar nama Rumi, dia mengangguk singkat.

“Aku Yukinoshita Yukino. Orang itu… Hiki… Hikiga… Hikikatakgaya‐kun, bukan?”

“Hei, dari mana kamu tahu julukanku dari kelas 4 SD? Akhirnya, mereka hanya memanggilku si Katak.”

Entah kapan, aku rasa mereka berhenti menyambungkannya pada margaku dan mulai memperlakukanku seperti seekor amfibi.

“Aku Hikigaya Hachiman.” Karena aku pasti akan menjadi Hikikatakgaya-san jika ini terus berlanjut, aku memperkenalkan diriku dengan benar. “Dan ini Yuigahama Yui.” Aku menunjukkan jariku pada Yuigahama, yang sekarang sudah agak dekat.

“Ada apa? Kamu memanggilku?” Yuigahama menemukan kami bertiga dan sepertinya sedang menebak apa yang sedang kami lakukan. “Oh, ya, ya. Aku Yuigahama Yui. Tsurumi Rumi-chan, bukan? Senang berjumpa denganmu.”

Tapi Tsurumi Rumi hanya mengangguk pada sapaan Yuigahama. Dia tidak mau melihat matanya. Selagi dia melihat kakinya, dia berkata dengan segan. “Entah kenapa, aku merasa dua orang ini berbeda. Berbeda dari mereka.”

Itu sulit untuk memahaminya karena subjek kalimatnya samar, tapi mungkin maksudnya kami berdua – Yukinoshita dan aku – itu tipe manusia yang berbeda dari mereka, yakni Hayama dan kawan-kawan.

Ya, kami berbeda. Kalau kamu melihat pada sekelompok manusia yang dikenal dengan “mereka”, mereka kelihatannya sedang menikmati hidup mereka dengan lomba memasak kari istimewa mereka.

“Aku juga berbeda. Dari mereka,” kata Rumi, sengaja merenungkan kata-katanya seakan dengan menyatakannya keras-keras dia sedang menegaskan hal itu pada dirinya.

Wajah Yuigahama berubah menjadi serius. “Apa maksudmu berbeda?”

“Semua orang disekelilingku itu bocah. Ya, aku lebih baik tidak ikut-ikutan dengan mereka. Jadi aku berhenti melakukan semua hal tidak berguna itu. Aku lebih baik sendirian.”

“Ta-tapi.” Yuigahama terlihat kehilangan kata-kata. “Aku rasa teman dan kenangan SDmu itu penting.”

“Aku tidak benar-benar perlu sesuatu seperti kenangan… saat aku masuk SMP, aku bisa berteman dengan orang yang datang dari sekolah lain.”

Dia mengangkat kepalanya dengan cepat, menatap ke arah langit. Matahari akhirnya sudah terbenam dan langit, yang berwarna biru indigo seperti tinta cair, mulai menghitam. Bintang-bintang mulai berkelap-kelip satu per satu.

Tatapan jauh Rumi teramat menyedihkan, tapi pada saat yang sama, tatapan tersebut menyimpan seberkas harapan yang indah.

Tsurumi Rumi masih percaya; dia masih berharap. Dia bergantung pada harapan bahwa situasinya akan membaik kalau dia memasuki lingkungan yang baru.

Namun harapan itu tiada artinya.

“Maaf untuk mengucapkan ini, tapi hal itu tidak akan terjadi.”

Orang yang mengucapkan pernyataan yang terlampau blak-blakan itu adalah Yukinoshita Yukino.

Rumi menatapnya dengan getir.

Yukinoshita menatap matanya. “Orang yang satu SD denganmu sekarang akan masuk ke SMP yang sama denganmu. Kalau begitu, sejarah akan terulang,” terangnya dengan dingin, tanpa berbasa-basi. “Saat itu, ‘orang yang datang dari sekolah lain’ hanya akan ikut mengucilkanmu.”

Bagi mereka yang tamat dari SD negeri lokal dan melanjut ke SMP negeri, hubungan yang telah mereka jalin sampai saat itu akan terus berlanjut. Kamu harus mulai dengan semua beban yang kamu kumpulkan dari SD. Meskipun kamu menjalin teman baru, hutang masa lalumu akan menghalangimu.

Masa lalumu akan disebar luaskan, dalam bentuk cerita lucu dan lelucon. Saat kamu sudah menjadi alat komunikasi yang siap sedia bagi lelaki dan perempuan itu, tamat sudah kamu.

Tidak ada orang yang mengucapkan apapun.

Aku tidak mampu memikirkan bantahan untuk itu. Bukan hanya aku yang tidak ada bantahan, Yuigahama juga terus terdiam dengan tidak nyaman. Tapi bahkan Rumi tidak dapat mengucapkan apapun, tidak ada satupun.

“Kamu tahu sebanyak itu, bukan?” kata Yukinoshita, seakan sedang melancarkan serangan terakhirnya.

Kemudian, selagi dia melirik ke arah Rumi yang terdiam, dia mengunci mulutnya dengan erat, seakan mencoba untuk menahan sesuatu. Mungkin, mungkin saja, Yukinoshita dapat melihat diri masa lalunya dalam bentuk gadis di depannya.

“Sudah kuduga…” Suatu bisikan pelan yang pasrah terselip dari mulut Rumi. “Aku sudah melakukan hal yang sangat bodoh,” gugamnya untuk mengolok dirinya.

“Ada apa?” tanya Yuigahama dengan lembut.

“Orang dikucilkan oleh kelompok itu beberapa kali… tapi akhirnya itu akan berhenti dan kami akan berbicara padanya lagi setelah itu – semacam sebuah tren. Seseorang selalu menyarankannya dan semua orang akan ikut melakukannya.”

Rumi mengatakannya dengan kalem, tapi aku merinding saat mendengar apa yang dia katakan. Ada apa dengan cerita ini? Menakutkan sekali.

“Kemudian, salah satu dari gadis yang populer dan cukup suka bicara dikucilkan, dan aku menjaga jarakku darinya juga, tapi… tapi sebelum aku menyadarinya, aku selanjutnya. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah.”

Aku yakin itu terlihat seperti sebuah ide yang bagus saat itu. Tidak, mereka tidak melakukannya dengan alasan yang jelas di pikiran mereka. Mereka hanya merasakan suatu kewajiban aneh ini, seperti mereka harus melakukannya.

“Itu karna aku mengucapkan banyak hal pada gadis itu, kamu tahu.”

Temanmu semalam bisa mengubah rahasiamu menjadi lelucon di keesokan harinya demi membuat seseorang tertawa.

Kalau kamu kelas 6 SD, kamu mungkin mencintai seseorang. Kamu akan terpancing untuk mengatakannya pada seseorang mengenai perasaan cinta yang tidak kamu kenali dan tidak dapat kamu hadapi itu. Tapi karena itu juga memalukan, kamu curhat pada seseorang yang dapat kamu percayai dalam percakapan hati-ke-hati. Aku heran kenapa orang-orang menyebarkan rumor itu setelah mengatakan, “Aku pasti akan merahasiakannya!” Apa mereka itu Klub Danchou? [10]

Aku mungkin bisa membicarakannya sambil tertawa sekarang, tapi pada saat itu aku berpikir tidak ada yang lebih menyakitkan lagi dari ini.

Kamu meletakkan kepercayaanmu pada seseorang dan mencurahkan rahasiamu, tapi cepat atau lambat itu akan kembali menghantuimu.

Tidak ada yang namanya manusia yang dicap orang jahat di dunia ini. Dalam kondisi normal, semua itu kurang lebih baik, atau, setidaknya, biasa-biasa saja. Tapi pancing saja mereka, dan mereka bisa tiba-tiba berubah. Itulah apa yang menakutkan dari manusia. Kamu harus terus waspada.

Tiba-tiba, kutipan itu muncul dalam benakku.

Tidak ada orang yang jahat sejak lahir. Semua orang mempercayai hal itu, termasuk diriku. Aku tidak meragukan bahwa kebajikan itu ada.

Namun manusia menunjukkan watak aslinya ketika kelihatannya mereka bisa meraup keuntungan.

Manusia akan mencari alasan atas tingkah laku mereka setiap kali mereka dinodai kejahatan; mereka sebenarnya tidak jahar. Untuk mempertahankan harga diri mereka yang sinting, dunia ini menjadi sinting.

Seseorang yang kamu puji “keren” sampai semalam menjadi “sombong” hari ini; seseorang yang kamu hormati sebagai seseorang yang “pintar dan penuh wawasan” sekarang diolok sebagai seseorang yang “meremehkan murid yang kurang pandai”, dan “penuh semangat” menjadi “menjengkelkan dan terlampau terbawa suasana”.

Untuk menghukum kriminalitas di sebuah dunia yang sinting, manusia menghunuskan pedang keadilan. Karena mereka tidak bisa menghakimi diri mereka sendiri, mereka bergabung dengan sesama. Mereka membahas tentang amoralitas dan dosa seakan memang sewajarnya demikian, dan mereka akan membersihkan peradaban atas rasa keadilan mereka. Mereka membesar-besarkan masalah kecil.

Kalau itu bukan penipuan, dinamakan apa itu?

Di dalam dunia yang tertutup itu, kamu akan merinding dengan rasa tidak enak pada pemikiran kamu korban selanjutnya. Jadi sebelum itu dapat terjadi, kamu mencari kambing hitam.

Dan kemudian siklusnya terus berlanjut. Siklus itu tidak pernah berhenti.

Apa artinya membangun tali pertemanan kalau kamu akan dikorbankan demi martabat orang lain?

“Aku heran apa… ini akan terjadi juga saat SMP,” Rumi terisak, suaranya bergetar.

Sebuah teriakan kesenangan dapat terdengar, seakan menutupi suaranya. Suara itu bahkan tidak sampai sepuluh meter jauhnya, tapi dari sudut pandangku, itu terdengar seperti suara dari suatu tempat aneh yang jauh di sana.


Catatan Translasi

  1. Book Boy
  2. Referensi terhadap novel Book Girl dari seri novel ringan Bungaku Shojo. Tokoh utama perempuannya Touka benar-benar memakan buku.
  3. Kamaboko
  4. Solanin
  5. Pixiv adalah situs yang dipakai banyak pelukis Jepang mengupload gambar berala-anime.
  6. Di versi Jepangnya, ini adalah referensi pada meme 2ch yang termasuk gadis-gadis anime imut yang membuat wajah bodoh dan menjelaskan sesuatu yang sudah jelas. Bayleef itu pokemon, dan bahasa inggris daun salam adalah bayleaf. Contoh ː Gbr
  7. Di Digimon, Warp Digivolution mengacu pada seekor Digimon yang mencapai level yang lebih tinggi, langsung dengan melewati fase-fase apapun di antaranya.
  8. Ini adalah julukan Ranka Lee dalam anime Macross Frontier.
  9. Ruri dari anime Martian Successor Nadesico dikenal dengan sikap angkuhnya dan slogannya “dasar tolol”. Julukannya adalah Ruri Ruri.
  10. Trio komedian Jepang yang populer. Mengatakan “Aku pasti tidak akan ___!” dan kemudian melakukannya juga pada akhirnya adalah salah satu lelucon utama mereka.