Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 4"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
m (Undo revision 473520 by Irant Silvstar (talk))
Line 132: Line 132:
   
 
Bahkan selagi aku mengutarakan kata-kata itu, aku mendapat perasaan bahwa kata-kata itu tidak tertuju pada seseorang yang spesifik.
 
Bahkan selagi aku mengutarakan kata-kata itu, aku mendapat perasaan bahwa kata-kata itu tidak tertuju pada seseorang yang spesifik.
  +
  +
===4-2===
  +
Komachi dan Hiratsuka‐sensei berjalan ke arah kami, mengangkat kotak-kotak yang penuh dengan sayuran. Mereka berdua kelihatannya sedang tertawa oleh sesuatu yang sangat lucu. Entah kenapa, aku bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan.
  +
  +
Kemungkinannya – aku. Karena salah satu bakat utamaku adalah rasa percaya diri yang berlebihan sampai-sampai aku biasanya menduga aku adalah bahan leluconnya setiap kali aku mendengar gelak tawa di kelas, itu mudah untuk membuat dugaan seperti itu. Astaga, jadi orang populer itu beratǃ …berat, kataku.
  +
  +
Sekarang setelah aku menghabiskan beberapa saat memikirkan apa yang sedang Hiratsuka-sensei katakan, aku agak merasa depresi.
  +
  +
“Ada apa, Hikigaya? Kamu kelihatan murung. Anak kutu buku<ref> Book Boy </ref> tidak suka di luar rumah, kurasa?”
  +
  +
“Apa-apaan anak kutu buku yang anda bicarakan ini<!--The hell’s this book boy you’re going on about-->…?” Ya, aku memang suka membaca, tapi tidak seperti aku melahap buku atau semacamnya.<ref> Referensi terhadap novel Book Girl dari seri novel ringan Bungaku Shojo. Tokoh utama perempuannya Touka benar-benar memakan buku. </ref> “Hey, Komachi, what were you talking about?”
  +
  +
“Huh? Kita sedang membicarakan tentang semua hal yang telah kamu lakukan untukku. Kamu itu onii-chan yang baik dan super suka menolong yang membantuku dan menunjukkanku esai lamanya demi resensi bukuku. Ah, pertolonganmu itu menaikkan poin Komachiku,” lantunnya.
  +
  +
“Oke. Aku kurang lebih paham sekarang. Itu kar'na aku membuatmu menangis.”
  +
  +
Jadi sistem poinnya seperti itu, huh? Dan tunggu dulu, dia pasti sudah membicarakan tentang isi resensi buku dan esaiku.
  +
  +
“Meskipun kubilang kamu begitu perhatian, onii‐chan, kamu hanya tidak mau menerimanya,” Komachi mengomplain dengan menggerutu.
  +
  +
Hiratsuka‐sensei terlihat seperti dia baru saja mau menjentik dahi Komachi, tapi menghentikan dirinya. “Yah, sesuatu seperti itu. Lebih dari setengahnya tentang cerita-cerita menghangatkan tentang kalian berdua. Kita menanyakan satu sama lain tentang kenangan masa kecil kita.”
  +
  +
“Waaah! Itu, macam, curang… itu akan membuat poin Komachiku turun jauh atau semacamnya…” wajah Komachi berubah menjadi merah bit di depan mataku.
  +
  +
Dia terbatuk keras yang dibuat-buat untuk mengalihkan kami dari pipi memerahnya, sebelum melemparkan pandangan menyamping ke arahku.
  +
  +
“Cu-cuma bercanda… a-apa reaksiku barusan menaikkan poin Komachiku?”
  +
  +
“Bodoh sekali kamu…”
  +
  +
Amarahku menghilang. Dia hanyalah begitu menjijikannya imut.
  +
  +
“Berhenti mengucapkan hal-hal bodoh dan cepat masak karinya. Perlu masak nasinya juga.”
  +
  +
Kalau aku terus menemaninya berbicara<!--If I hung out with her-->, kami tidak akan bisa makan. Aku merenggut kotak Komachi darinya dan mengangkatnya sampai ke dapur.
  +
  +
Walaupun Komachi melamun sejenak, dia mengangguk dengan tak sabaran pada sesuatu di belakangku.
  +
  +
Aku mungkin menyebutnya dapur, tapi tempat itu hanya terdiri dari wastafel serba guna. Itu ada di sana untuk membersihkan beras dan menyiapkan makanan.
  +
  +
Sebenarnya tidak ada banyak variasi dalam bahan makanannya. Maksudku, kehidupan sosialku bahkan lebih banyak variasi. Tiga potong daging babi, wortel, bawang dan kentang. Itu segera terlintas di pikiranku nasi kari yang disajikan di rumah-rumah Jepang biasa.
  +
  +
“Yah, kalau kamu memikirkannya, itu cocok bagi anak SD kelas 6 untuk memasak nasi di luar rumah.” Bahkan Yukinoshita mengucapkan cara berpikir yang lumrah itu.
  +
  +
It won’t change you for the better, but it was a safe choice that didn’t leave much gap for failure. “Yeah, I guess. In real houses, the curry you make shows something about your character. The curry your mother makes is full of stuff, like thick fried tofu and so on.”
  +
  +
“Hmm, so that’s how it is, huh.”
  +
  +
Yukinoshita’s answer was cold. I mean, she was always cold, but this time she only made some non‐committal response, and somehow she seemed listless.
  +
  +
“Yup, that’s how it is,” I said. “Like noodles made from konnyaku and daikon. You whip things up in a pot.”
  +
  +
“Yeah, yeah, like putting fish‐paste cake in it and stuff, man.” Tobe joined into the conversation suddenly.
  +
  +
“Uh, yeah.” I was so startled I couldn’t even muster a decent response.
  +
  +
Hey, don’t talk to me so casually. I’ll end up thinking we’re friends, damn it.
  +
  +
But Tobe acted as if he didn’t mind and muttered vague, incomprehensible things like, “fish‐paste cake and seafood, man” under his breath. Maybe he actually was a nice guy if he was willing to have a conversation with me, of all people.
  +
  +
But, assuming he was a nice guy, I was wrong not to broaden the topic. Since there were way too many things wrong with me, I resolved not to talk to him again so that I wouldn’t cause him any further trouble.
  +
  +
Beside me, Yuigahama was humming as she peeled the potato skins with a peeler. Since she wasn’t using the kitchen knife, she must have tried it once and given up. “But we can make stuff like mama’s curry, ya know. We just need to put some weird leaves in it and stuff. I mean, my mum was pretty ditzy and all.”
  +
  +
She was the ditzy one. No mistaking it – it was hereditary. I’m begging you, please take out the sprout. You’ll die of solanine.
  +
  +
  +
  +
  +
  +
  +
  +
  +
90
  +
  +
4‐2
  +
  +
“Ah, look. A leaf just like this,” Yuigahama said as she hurriedly put down her peeler and reached over towards a twig, plucking a single leaf. Yeah, it’s a leaf! Whoopdee doo. That was the kind of feeling the leaf gave off.
  +
  +
…ah, could it be this was one of those things they called a bay leaf? I’d been led to believe it was a relatively popular spice.
  +
  +
“Laurier is in that leaf, I believe…” Yukinoshita remarked.
  +
  +
“What? Loli?”
  +
  +
A random delusion popped up in my head.
  +
  +
“Eheheh… leaf got in the curry…” – Loli‐san (age six)
  +
  +
I’d have to look it up on Pixiv when I got home…2
  +
  +
As I pondered that thought, Yukinoshita glared at me lightly. “I’ll say this just in case, but laurier is a bay leaf. What do you think, Lolicon‐san?”
  +
  +
I winced. Was Yukinoshita‐san an esper?!
  +
  +
And wait, just who was Lolicon‐san? I’m a siscon, you know…
  +
  +
“Come to think of it, I should know it too if it’s a bay leaf.”
  +
  +
So i herd u liek bayleefz3.
  +
  +
But of course, Yuigahama didn’t seem to know about it, evidenced from how she nudged me lightly. “Isn’t laurier… a kind of tissue…?”
  +
  +
It wasn’t hereditary. It was an evolution. A Warp Digivolution, if I may add4.
  +
  +
  +
  +
  +
  +
2 Pixiv is a site many Japanese artists use to upload anime‐esque drawings.
  +
3 In the Japanese, the reference is to a 2ch meme involving cute anime girls making derpy faces and explaining the obvious. I changed this to a variation of the English internet meme “so i herd u liek mudkipz”. This makes extra sense because “Bayleef” is a Pokemon.
  +
  +
4 In the popular kids’ anime Digimon, a Warp Digivolution refers to when a Digimon reaches a higher level, directly bypassing any intermittent phases.

Revision as of 06:10, 6 December 2015

Bab 4: Tiba-tiba, Ebina Hina Memasuki Mode Mendakwah

4-1

Kalau berbicara soal berkemah, kari segera muncul di pikiranku.

Itu wajar bahwa seseorang yang berimpian menjadi bapak rumah tangga akan mampu membuat satu atau dua jenis kari. Malah, tidak peduli apa yang coba mereka buat, masakannya akan jadi kari sebelum mereka menyadarinya. Sebenarnya, memasukkan saus kari akan mengubah segalanya menjadi kari, jadi itu tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa semua masakan mengandung bahan kari. Kalau membicarakan soal kari Chiba, Sitar itu restoran yang cukup ternama, tapi di Desa Chiba, tentu saja, kamu harus memakai peralatan masak kemah. Dan juga, apa aku ada bilang bahwa makanan Sitar benar-benar lezat?

Tidak usah dibilang lagi bahwa makan siang hari ini adalah makanan pokok berkemah – kari.

Untuk memulainya, Hiratsuka-sensei menghidupkan api pada arang para guru, yang akan dipakai sebagai contoh untuk para murid SD itu.

“Pertama-tama, aku akan mendemonstrasikannya untuk kalian.” Segera setelah dia mengatakannya dia mulai menumpuk arangnya. Dia meletakkan pemantik api dan beberapa potongan koran kusut di bawahnya. Saat dia menghidupkan apinya, potongan korannya dilahap oleh api.

Baru saja kupikir dia akan memindahkan apinya ke arang dan mengipasinya sebentar dengan kipas kertas, dia kelihatannya memutuskan bahwa itu terlalu membosankan baginya dan tiba-tiba menyiramkan minyak sayur ke atas api itu.

Tiba-tiba apinya berkobar hebat. Tolong jangan coba ini di rumah; itu benar-benar berbahaya.

Sorakan dan teriakan serta gugaman bosan muncul. Namun Hiratsuka-sensei yang tidak terpengaruh menarik sebatang rokok entah dari mana dan menaruhnya ke dalam mulutnya, seringai nihilistik muncul di wajahnya. Dengan rokok yang mencuat dari dalam mulutnya, dia mendekatkan wajahnya pada api itu dan menghirup dalam-dalam.

Dia menjauhkan wajahnya dan membuat helaan puas yang panjang. “Begitulah kurang lebih cara kalian melakukannya.”

“Anda terlihat begitu terbiasa dengan ini.” Gerakannya cepat dan tajam, belum dibilang dia segera memakai trik kotor yang dikenal dengan nama minyak sayur.

Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”

Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu memiliki kenangan buruk baginya.

“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?

Totsuka, Hayama, Tobe dan aku tetap di sana.

“Kalau begitu ayo kita selesaikan persiapannya?”

Hayama dan Tobe memakai sarung tangan katun dan menumpuk arangnya, sementara Totsuka mempersiapkan pemantik dan koran.

…sial, aku terlambat mulai.

Persiapannya itu sendiri berjalan mulus, dan semua yang tersisa adalah pekerjaan mudah mengipasi apinya lagi dan lagi.

Aku sulit sekali percaya bahwa di dalam situasi ini aku tidak ada keinginan untuk duduk-duduk saja dan tidak melakukan apapun. Jujur saja, aku bisa saja tidak melakukan apapun dengan berkata “’ke, aku akan serahkan sisanya pada kalian” kalau hanya ada Hayama dan Tobe, tapi aku takut atas apa yang akan dipikirkan Totsuka dengan kata-kata itu, seperti yang dapat diduga.

Dengan pasrah, aku mengenakan sarung tangan katun, mengambil kipas kertasnya dan mendatangkan angin, dengan cara yang sering mereka lakukan pada belut yang dicelupkan dan dipanggang dengan saus berbahan dasar-kedelai. Pata pata pata.

“Kelihatannya panas…” ucap Totsuka, terdengar kuatir untukku.

“Kurasa…”

Dataran tinggi seharusnya sejuk, tapi sekarang masih pertengahan musim panas. Bekerja persis di depan api membuat keringat mengucur bebas dari badanku.

“Aku akan mengambil minuman untuk kalian,” kata Totsuka selagi dia meninggalkan tempat itu.

Itu membuat Tobe mengikutinya. “Kalau kamu mau mengambil minuman untuk kita semua, aku akan membantumu, yo.” Berlawanan dengan pemikiranku, dia mungkin saja pria yang baik. Itu atau mungkin rasa keksatriaan, tidak ingin membuat Totsuka mengangkat barang-barang berat dengan lengan rampingnya. Ahem. Pergilah dan gantikan aku selesaikan tugas ini.

Itu menyisakan hanya aku dan Hayama.

“…”

Pata pata pata pata.

“…”

Pata pata pata pata.

Aku mematikan perasaanku dan hanya berfokus untuk mengipas, terbebas dari pemikiran-pemikiran yang menghalang. Setelah beberapa lama, itu menjadi menyenangkan untuk melihat arang hitam pekat itu perlahan-lahan menjadi diwarnai warna merah.

Hanya saja, mataku mulai berair-air karena panas apinya dan panas cuacanya. Ketika aku menggosok mataku dengan sarung tangan katunku dan mengangkat wajahku, tatapanku bertemu dengan tatapan Hayama. Itu berarti dia terus melihat ke arahku dari tadi. Kalau Ebina ada di sini, kami akan dalam masalah.

“…apa?” tanyaku.

“Oh, tidak ada apa-apa,” kata Hayama untuk mengelaknya.

Sunyi.

Tanpa menghentikan pekerjaanku, aku menatap tajam ke arah Hayama. Itu membuat Hayama untuk membuka mulutnya dan mengutarakan kata-kata elakannya lagi.

“Sungguh, tidak ada apa-apa.”

Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa, katanya. Apa dia itu – radio rusak? Aku tidak pernah melihat orang yang benar-benar tidak ada apa-apa di pikirannya begitu menegaskan tidak ada apa-apa.

Selagi aku sedang melakukan tindakan menatap tajam ke arah Hayama lima detik sekali yang lumayan menjengkelkan, Hayama mengangkat bahunya menyerah dan berkata.

“…Hikitani‐kun, tentang Yu‐”

“Maaf membuatmu menunggu, Hachiman.” Totsuka menekankan gelas plastik dingin itu pada pipiku, memotong kata-kata Hayama. Jantungku meloncat atas sensasi dingin itu.

Ketika aku melihat ke atas, Totsuka memiliki senyuman murni dan polos itu di wajahnya, merasa senang bahwa dia berhasil melakukan kelakarnya. Dia sedikit terengah-engah seakan dia buru-buru kembali. Pipi merahnya itu menggemaskan. Kalau kamu menukar kegemasannya dengan kedewaan, itu akan meningkatkan ciri kemalaikatannya lebih tinggi lagi.

Jantungku berdetak hebat seperti yang biasa dilakukannya dalam situasi-situasi seperti ini. Aku melawan untuk menahan rasa ada bahayaku. Akhirnya, aku tersadar kembali dan menghimpun gugaman yang pelan.

“Oh, terima kasiiiih.”

Karena aku bergetar begitu hebat, bagian akhir suaraku memanjang sedikit. Tobe, yang sedang memegangi sekumpulan botol plastik bening di belakang Totsuka, mendengar itu dan agak meringis.

“…Aku akan menggantikanmu,” usul Hayama, menampilkan sebuah senyuman.

Karena dia begitu baik dan semacamnya, aku menerima tawarannya untuk menggantikanku. Aku menyerahkan kipasnya pada dia dan melepaskan sarung tangan katunku sebelum mengambil teh jelai itu dari Totsuka. “’ke, aku akan serahkan sisanya padamu.” aku berhenti sejenak. “Jadi apa yang sedang kamu katakan tadi?”

“Aku akan beritahu kamu nanti.” Daripada merasa tersinggung, Hayama tersenyum cemerlang dan berpaling kembali ke api. Dia mulai mengipas. Pata pata.

Man, aku letih.

Selagi aku menyeruput teh jelaiku, aku memusatkan mataku pada punggung Hayama yang merunduk. Aku heran apa yang sedang coba Hayama katakan padaku tadi. Yah, aku hanya bisa terpikir dua hal. Namun, aku masih tidak bisa membayangkan apa persisnya yang baru saja akan ditanya Hayama.

Aku duduk di atas bangku yang dijemur matahari itu dan meminum tehku, beristirahat seperti seorang warga lansia umum.

Saat itulah ketika para gadis kembali.

Menyadari bagaimana persiapan untuk apinya sudah sepenuhnya terkendali, Miura membuat teriakan senang. “Hayama, kamu begitu hebat!” lantunnya.

“Oh, kamu benar. Hayato-kun tipe orang luar rumah!” kicau Ebina dengan penuh kekaguman.

Kemudian, tatapan menyampingnya tertuju padaku. Kenapa Hikitani-kun tidak mau bekerja? Aku merasakan pertanyaan tak terucap itu dengan jelas.

“Hikitani‐kun yang kira-kira mengerjakan semua pekerjaannya.”

Wow, sisipan santai itu. Hayama benar-benar orang yang baik.

Masalahnya adalah bahwa sisipan Hayama menghasilkan sebuah kesan “Hayato begitu baik, selalu membela orang lain… teehee,” dalam suasananya.

Yah, begitulah cara dunia bekerja, kurasa.

“Hikki, kamu bekerja keras. Mari.” Yuigahama, yang telah kembali dengan Miura dan yang lain, menyerahkanku sebuah tisu basah pembersih wajah. Tidak ada tanda-tanda sindiran di dalam suaranya.

“Ah, Hachiman, kamu benar-benar bekerja kerasǃ Sungguh, beneran,” tegas Totsuka selagi dia mengepalkan tinjunya pada dadanya. Dipikir-pikir lagi, itu hanya akan terlihat seperti aku tidak mau bekerja kalau kamu baru saja datang.

“Aku benar-benar tahu. Hikki, kamu punya tampang serius aneh ini di matamu.” Yuigahama tertawa terbahak-bahak.

Dibelakangnya, Yukinoshita melirik ke arah wajahku. “Lagipula, kamu bisa tahu dengan melihatnya saja. Berhenti mengelap wajahmu dengan sarung tanganmu. Itu tidak bagus,” katanya seakan dia mengamatiku sepanjang waktu.

Ah, jadi aku mengotori wajahku. Paham sekarang maksud dari tisu basah pembersih wajah Yuigahama, aku menggunakannya dengan penuh rasa terima kasih.

“…terima kasih.”

Bahkan selagi aku mengutarakan kata-kata itu, aku mendapat perasaan bahwa kata-kata itu tidak tertuju pada seseorang yang spesifik.

4-2

Komachi dan Hiratsuka‐sensei berjalan ke arah kami, mengangkat kotak-kotak yang penuh dengan sayuran. Mereka berdua kelihatannya sedang tertawa oleh sesuatu yang sangat lucu. Entah kenapa, aku bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan.

Kemungkinannya – aku. Karena salah satu bakat utamaku adalah rasa percaya diri yang berlebihan sampai-sampai aku biasanya menduga aku adalah bahan leluconnya setiap kali aku mendengar gelak tawa di kelas, itu mudah untuk membuat dugaan seperti itu. Astaga, jadi orang populer itu beratǃ …berat, kataku.

Sekarang setelah aku menghabiskan beberapa saat memikirkan apa yang sedang Hiratsuka-sensei katakan, aku agak merasa depresi.

“Ada apa, Hikigaya? Kamu kelihatan murung. Anak kutu buku[1] tidak suka di luar rumah, kurasa?”

“Apa-apaan anak kutu buku yang anda bicarakan ini…?” Ya, aku memang suka membaca, tapi tidak seperti aku melahap buku atau semacamnya.[2] “Hey, Komachi, what were you talking about?”

“Huh? Kita sedang membicarakan tentang semua hal yang telah kamu lakukan untukku. Kamu itu onii-chan yang baik dan super suka menolong yang membantuku dan menunjukkanku esai lamanya demi resensi bukuku. Ah, pertolonganmu itu menaikkan poin Komachiku,” lantunnya.

“Oke. Aku kurang lebih paham sekarang. Itu kar'na aku membuatmu menangis.”

Jadi sistem poinnya seperti itu, huh? Dan tunggu dulu, dia pasti sudah membicarakan tentang isi resensi buku dan esaiku.

“Meskipun kubilang kamu begitu perhatian, onii‐chan, kamu hanya tidak mau menerimanya,” Komachi mengomplain dengan menggerutu.

Hiratsuka‐sensei terlihat seperti dia baru saja mau menjentik dahi Komachi, tapi menghentikan dirinya. “Yah, sesuatu seperti itu. Lebih dari setengahnya tentang cerita-cerita menghangatkan tentang kalian berdua. Kita menanyakan satu sama lain tentang kenangan masa kecil kita.”

“Waaah! Itu, macam, curang… itu akan membuat poin Komachiku turun jauh atau semacamnya…” wajah Komachi berubah menjadi merah bit di depan mataku.

Dia terbatuk keras yang dibuat-buat untuk mengalihkan kami dari pipi memerahnya, sebelum melemparkan pandangan menyamping ke arahku.

“Cu-cuma bercanda… a-apa reaksiku barusan menaikkan poin Komachiku?”

“Bodoh sekali kamu…”

Amarahku menghilang. Dia hanyalah begitu menjijikannya imut.

“Berhenti mengucapkan hal-hal bodoh dan cepat masak karinya. Perlu masak nasinya juga.”

Kalau aku terus menemaninya berbicara, kami tidak akan bisa makan. Aku merenggut kotak Komachi darinya dan mengangkatnya sampai ke dapur.

Walaupun Komachi melamun sejenak, dia mengangguk dengan tak sabaran pada sesuatu di belakangku.

Aku mungkin menyebutnya dapur, tapi tempat itu hanya terdiri dari wastafel serba guna. Itu ada di sana untuk membersihkan beras dan menyiapkan makanan.

Sebenarnya tidak ada banyak variasi dalam bahan makanannya. Maksudku, kehidupan sosialku bahkan lebih banyak variasi. Tiga potong daging babi, wortel, bawang dan kentang. Itu segera terlintas di pikiranku nasi kari yang disajikan di rumah-rumah Jepang biasa.

“Yah, kalau kamu memikirkannya, itu cocok bagi anak SD kelas 6 untuk memasak nasi di luar rumah.” Bahkan Yukinoshita mengucapkan cara berpikir yang lumrah itu.

It won’t change you for the better, but it was a safe choice that didn’t leave much gap for failure. “Yeah, I guess. In real houses, the curry you make shows something about your character. The curry your mother makes is full of stuff, like thick fried tofu and so on.”

“Hmm, so that’s how it is, huh.”

Yukinoshita’s answer was cold. I mean, she was always cold, but this time she only made some non‐committal response, and somehow she seemed listless.

“Yup, that’s how it is,” I said. “Like noodles made from konnyaku and daikon. You whip things up in a pot.”

“Yeah, yeah, like putting fish‐paste cake in it and stuff, man.” Tobe joined into the conversation suddenly.

“Uh, yeah.” I was so startled I couldn’t even muster a decent response.

Hey, don’t talk to me so casually. I’ll end up thinking we’re friends, damn it.

But Tobe acted as if he didn’t mind and muttered vague, incomprehensible things like, “fish‐paste cake and seafood, man” under his breath. Maybe he actually was a nice guy if he was willing to have a conversation with me, of all people.

But, assuming he was a nice guy, I was wrong not to broaden the topic. Since there were way too many things wrong with me, I resolved not to talk to him again so that I wouldn’t cause him any further trouble.

Beside me, Yuigahama was humming as she peeled the potato skins with a peeler. Since she wasn’t using the kitchen knife, she must have tried it once and given up. “But we can make stuff like mama’s curry, ya know. We just need to put some weird leaves in it and stuff. I mean, my mum was pretty ditzy and all.”

She was the ditzy one. No mistaking it – it was hereditary. I’m begging you, please take out the sprout. You’ll die of solanine.





90

4‐2

“Ah, look. A leaf just like this,” Yuigahama said as she hurriedly put down her peeler and reached over towards a twig, plucking a single leaf. Yeah, it’s a leaf! Whoopdee doo. That was the kind of feeling the leaf gave off.

…ah, could it be this was one of those things they called a bay leaf? I’d been led to believe it was a relatively popular spice.

“Laurier is in that leaf, I believe…” Yukinoshita remarked.

“What? Loli?”

A random delusion popped up in my head.

“Eheheh… leaf got in the curry…” – Loli‐san (age six)

I’d have to look it up on Pixiv when I got home…2

As I pondered that thought, Yukinoshita glared at me lightly. “I’ll say this just in case, but laurier is a bay leaf. What do you think, Lolicon‐san?”

I winced. Was Yukinoshita‐san an esper?!

And wait, just who was Lolicon‐san? I’m a siscon, you know…

“Come to think of it, I should know it too if it’s a bay leaf.”

So i herd u liek bayleefz3.

But of course, Yuigahama didn’t seem to know about it, evidenced from how she nudged me lightly. “Isn’t laurier… a kind of tissue…?”

It wasn’t hereditary. It was an evolution. A Warp Digivolution, if I may add4.



2 Pixiv is a site many Japanese artists use to upload anime‐esque drawings. 3 In the Japanese, the reference is to a 2ch meme involving cute anime girls making derpy faces and explaining the obvious. I changed this to a variation of the English internet meme “so i herd u liek mudkipz”. This makes extra sense because “Bayleef” is a Pokemon.

4 In the popular kids’ anime Digimon, a Warp Digivolution refers to when a Digimon reaches a higher level, directly bypassing any intermittent phases.

  1. Book Boy
  2. Referensi terhadap novel Book Girl dari seri novel ringan Bungaku Shojo. Tokoh utama perempuannya Touka benar-benar memakan buku.