Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 4"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(Created page with "==Bab 4: Tiba-tiba, Ebina Hina Memasuki Mode Mendakwah== ===4-1=== Kalau berbicara soal berkemah, kari segera muncul di pikiranku. Itu wajar bahwa seseorang yang berimpian me...")
 
m
Line 7: Line 7:
 
Tidak usah dibilang lagi bahwa makan siang hari ini adalah makanan pokok berkemah – kari.
 
Tidak usah dibilang lagi bahwa makan siang hari ini adalah makanan pokok berkemah – kari.
   
Untuk memulainya, Hiratsuka-sensei menghidupkan api arang para guruTo start things off, Hiratsuka‐sensei was lighting the teachers’ fire on coals, which would serve as a model for the elementary schoolers.
+
Untuk memulainya, Hiratsuka-sensei menghidupkan api pada arang para guru, yang akan dipakai sebagai contoh untuk para murid SD itu.
   
  +
“Pertama-tama, aku akan mendemonstrasikannya untuk kalian.” Segera setelah dia mengatakannya dia mulai menumpuk arangnya. Dia meletakkan pemantik api dan beberapa potongan koran kusut di bawahnya. Saat dia menghidupkan apinya, potongan korannya dilahap oleh api.
“For starters, I’ll show you a demonstration.” No sooner did she say that than she started stacking up the coal. She had placed a firelighter and some dishevelled newspaper clippings below that. The moment she ignited the fire, the newspaper clippings burst into flames.
 
   
  +
Baru saja kupikir dia akan memindahkan apinya ke arang dan mengipasinya sebentar dengan kipas kertas, dia kelihatannya memutuskan bahwa itu terlalu membosankan baginya dan tiba-tiba menyiramkan minyak sayur ke atas api itu.
Just as I thought she’d shift the flame to the coals and fan it awhile with a paper fan, she seemed to decide that was too tedious for her and suddenly splashed salad oil over the fire.
 
   
  +
Tiba-tiba apinya berkobar hebat. Tolong jangan coba ini di rumah; itu benar-benar berbahaya.
All of a sudden a pillar of fire soared. Please don’t try this at home; it’s honestly dangerous.
 
   
  +
Sorakan dan teriakan serta gugaman bosan muncul. Namun Hiratsuka-sensei yang tidak terpengaruh menarik sebatang rokok entah dari mana dan menaruhnya ke dalam mulutnya, seringai nihilistik muncul di wajahnya. Dengan rokok yang mencuat dari dalam mulutnya, dia mendekatkan wajahnya pada api itu dan menghirup dalam-dalam.
Cheers and shrieks and bored mumbles arose. Yet an unperturbed Hiratsuka‐ sensei pulled out a cigarette from somewhere and held it in her mouth, a nihilistic grin on her face. With the cigarette sticking out of her mouth, she brought her face close to the fire and inhaled deeply.
 
   
  +
Dia menjauhkan wajahnya dan membuat helaan puas yang panjang. “Begitulah kurang lebih cara kalian melakukannya.”
   
  +
“Anda terlihat begitu terbiasa dengan ini.” Gerakannya cepat dan tajam, belum dibilang dia segera memakai trik kotor yang dikenal dengan nama minyak sayur.
   
  +
Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”
   
  +
Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu memiliki kenangan buruk baginya.
   
  +
“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?
   
  +
Totsuka, Hayama, Tobe dan aku tetap di sana.
   
  +
“Kalau begitu ayo kita selesaikan persiapannya?”
81
 
 
4‐1
 
   
  +
Hayama dan Tobe memakai sarung tangan katun dan menumpuk arangnya, sementara Totsuka mempersiapkan pemantik dan koran.
   
  +
…sial, aku terlambat mulai.<!--crap, I was off to a late start.-->
   
  +
Persiapannya itu sendiri berjalan mulus, dan semua yang tersisa adalah pekerjaan mudah mengipasi apinya lagi dan lagi.
   
  +
Aku sulit sekali percaya bahwa di dalam situasi ini aku tidak ada keinginan untuk duduk-duduk saja dan tidak melakukan apapun. Jujur saja, aku bisa saja tidak melakukan apapun dengan berkata “’ke, aku akan serahkan sisanya pada kalian” kalau hanya ada Hayama dan Tobe, tapi aku takut atas apa yang akan dipikirkan Totsuka dengan kata-kata itu, seperti yang dapat diduga.
   
  +
Dengan pasrah, aku mengenakan sarung tangan katun, mengambil kipas kertasnya dan mendatangkan angin, dengan cara yang sering mereka lakukan pada belut yang dicelupkan dan dipanggang dengan saus berbahan dasar-kedelai. Pata pata pata.
   
  +
“Kelihatannya panas…” ucap Totsuka, terdengar kuatir untukku.
   
  +
“Kurasa…”
   
  +
Dataran tinggi seharusnya sejuk, tapi sekarang masih pertengahan musim panas. Bekerja persis di depan api membuat keringat mengucur bebas dari badanku.
   
  +
“Aku akan mengambil minuman untuk kalian,” kata Totsuka selagi dia meninggalkan tempat itu.
   
  +
Itu membuat Tobe mengikutinya. “Kalau kamu mau mengambil minuman untuk kita semua, aku akan membantumu, yo.” Berlawanan dengan pemikiranku, dia mungkin saja pria yang baik. Itu atau mungkin rasa keksatriaan, tidak ingin membuat Totsuka mengangkat barang-barang berat dengan lengan rampingnya. Ahem. Pergilah dan gantikan aku selesaikan tugas ini.
   
  +
Itu menyisakan hanya aku dan Hayama.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
82
 
 
4‐1
 
 
She moved her face away and let out a long, satisfied sigh. “That’s more or less how you do it.”
 
 
“You seem ridiculously used to this.” Her movements were quick and sharp, not to mention she had rushed to use the underhanded trick known as the salad oil.
 
 
With a somewhat faraway look in her eyes, Hiratsuka‐sensei explained. “Heh, I used to do this all the time when I did the barbeques for my university club. While I was lighting the fire, the couples would get all touchy feely.” She scowled. “Now I’m in a bad mood.”
 
 
Hiratsuka‐sensei recoiled from the fire as if it held bad memories for her.
 
 
“The boys will prepare the fires while the girls bring over the ingredients,” she said as walked away with the girls. Was some bitterness over her past slipping into her motive for splitting up the kids here? Was she all right?
 
 
Totsuka, Hayama, Tobe and I remained.
 
 
“Then shall we get the preparations done?”
 
 
Hayama and Tobe put on some cotton gloves and stacked the coal, while Totsuka prepared the firelighter and the newspaper.
 
 
…crap, I was off to a late start.
 
 
The preparations themselves progressed smoothly, and all that remained was the menial job of fanning the flames over and over.
 
 
I could hardly believe that in this situation I didn’t have the heart to sit around and do nothing. To be honest, I would have been fine with a “’kay, I’ll leave the rest to you” if it was just Hayama and Tobe, but I was afraid of what Totsuka might think of that, predictably enough.
 
 
Resignedly, I put on some cotton gloves, took the paper fan and ushered in the wind, the way they often did it with eels dipped and broiled in soy‐based sauce. Pata pata pata.
 
 
 
 
 
 
83
 
 
4‐1
 
 
“Looks hot…” Totsuka called out, sounding concerned for me.
 
 
“I guess…”
 
 
Plateaus are supposed to be cool, but it was still midsummer. Working right beside the fire caused the sweat to drip liberally off me.
 
 
“I’ll get some drinks for everyone,” Totsuka said as he left the place.
 
 
That prompted Tobe to follow him. “If you’re getting one for everyone, I’ll help out, yo.” Contrary to my expectations, he might be a nice guy. That or maybe it was chivalry, not wanting to make Totsuka carry heavy things with his slender arms. Ahem. Go forth and complete this task in my stead.
 
 
That just left me and Hayama.
 
   
 
“…”
 
“…”
Line 152: Line 61:
 
Pata pata pata pata.
 
Pata pata pata pata.
   
  +
Aku mematikan perasaanku dan hanya berfokus untuk mengipas, terbebas dari pemikiran-pemikiran yang menghalang. Setelah beberapa lama, itu menjadi menyenangkan untuk melihat arang hitam pekat itu perlahan-lahan menjadi diwarnai warna merah.
I turned off my emotions and focused on nothing but fanning, free from obstructive thoughts. After a while, it became fun to watch the pitch black coals steadily become tinged with red.
 
 
Only, my eyes began to water from the heat in the fire and the sky. When I rubbed my eyes with my cotton gloves and lifted my face, my gaze met with Hayama’s. That meant that he had been looking at me. If Ebina we’re here, we’d be in trouble.
 
 
“…what?” I asked.
 
 
“Oh, it’s nothing,” Hayama said evasively.
 
 
Silence.
 
 
 
 
 
 
 
 
84
 
 
4‐1
 
 
Without stopping my work, I glared in Hayama’s direction. That prompted Hayama to open his mouth and utter those slippery words again.
 
 
“Really, it’s nothing.”
 
 
It’s nothing, it’s nothing, he says. What was he – a broken record? I’ve never seen anyone who actually had nothing on their mind insist so much that it was nothing.
 
 
As I was performing the rather irritating action of glaring at Hayama every five seconds, Hayama shrugged and spoke up resignedly.
 
   
  +
Hanya saja, mataku mulai berair-air karena panas apinya dan panas cuacanya. Ketika aku menggosok mataku dengan sarung tangan katunku dan mengangkat wajahku, tatapanku bertemu dengan tatapan Hayama. Itu berarti dia terus melihat ke arahku dari tadi. Kalau Ebina ada di sini, kami akan dalam masalah.
“…Hikitani‐kun, about Yu‐”
 
   
  +
“…apa?” tanyaku.
“Sorry to keep you waiting, Hachiman.” Totsuka pressed a chilled paper cup against my cheek, interrupting Hayama’s words. My heart jumped at the cold sensation.
 
   
  +
“Oh, tidak ada apa-apa,” kata Hayama untuk mengelaknya.
When I looked up, Totsuka had a pure, innocent smile on his face, happy that he’d successfully pulled off his prank. He was panting a little as if he’d hurried back. His flushed cheeks were so adorable. If you exchanged his cuteness for heavenliness, that would bolster his angelic qualities even further.
 
   
  +
Sunyi.
My heart was pounding heavily as it usually did in these situations. I fought to contain my alarm. Eventually, I came to my senses and mustered a quiet murmur.
 
   
  +
Tanpa menghentikan pekerjaanku, aku menatap tajam ke arah Hayama. Itu membuat Hayama untuk membuka mulutnya dan mengutarakan kata-kata elakannya lagi.
“Oh, thank youuuu.”
 
   
  +
“Sungguh, tidak ada apa-apa.”
Since I was shaking so much, the last part of my voice extended a little. Tobe, who had been clutching a bunch of clear plastic bottles behind Totsuka, heard that and grimaced somewhat.
 
   
  +
Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa, katanya. Apa dia itu – radio rusak? Aku tidak pernah melihat orang yang benar-benar tidak ada apa-apa di pikirannya begitu menegaskan tidak ada apa-apa.
“…I’ll take over,” Hayama suggested, flashing a smile.
 
   
  +
Selagi aku sedang melakukan tindakan menatap tajam ke arah Hayama lima detik sekali yang lumayan menjengkelkan, Hayama mengangkat bahunya menyerah dan berkata.
Since he was so nice and all, I took him up on his offer to switch places. I passed him the fan and took off my cotton gloves before taking the barley tea from Totsuka. “’kay, I’ll leave the rest to you.” I paused. “So what were you talking about before?”
 
   
  +
“…Hikitani‐kun, tentang Yu‐”
   
  +
“Maaf membuatmu menunggu, Hachiman.” Totsuka menekankan gelas plastik dingin itu pada pipiku, memotong kata-kata Hayama. Jantungku meloncat atas sensasi dingin itu.
   
  +
Ketika aku melihat ke atas, Totsuka memiliki senyuman murni dan polos itu di wajahnya, merasa senang bahwa dia berhasil melakukan kelakarnya. Dia sedikit terengah-engah seakan dia buru-buru kembali. Pipi merahnya itu menggemaskan. Kalau kamu menukar kegemasannya dengan kedewaan, itu akan meningkatkan ciri kemalaikatannya lebih tinggi lagi.
   
  +
Jantungku berdetak hebat seperti yang biasa dilakukannya dalam situasi-situasi seperti ini. Aku melawan untuk menahan rasa ada bahayaku. Akhirnya, aku tersadar kembali dan menghimpun gugaman yang pelan.
   
  +
“Oh, terima kasiiiih.”
85
 
 
4‐1
 
   
  +
Karena aku bergetar begitu hebat, bagian akhir suaraku memanjang sedikit. Tobe, yang sedang memegangi sekumpulan botol plastik bening di belakang Totsuka, mendengar itu dan agak meringis.
“I’ll tell you later.” Instead of being offended, Hayama smiled brightly and turned back to the fire. He started fanning. Pata pata.
 
   
  +
“…Aku akan menggantikanmu,” usul Hayama, menampilkan sebuah senyuman.
Man, was I beat.
 
   
  +
Karena dia begitu baik dan semacamnya, aku menerima tawarannya untuk menggantikanku. Aku menyerahkan kipasnya pada dia dan melepaskan sarung tangan katunku sebelum mengambil teh jelai itu dari Totsuka. “’ke, aku akan serahkan sisanya padamu.” aku berhenti sejenak. “Jadi apa yang sedang kamu katakan tadi?”
As I slurped my barley tea, I had my eyes on Hayama’s crouched back. I wondered what Hayama was trying to say to me earlier. Well, I could think of about two things. Still, I couldn’t figure out exactly what Hayama was about to ask.
 
   
  +
“Aku akan beritahu kamu nanti.” Daripada merasa tersinggung, Hayama tersenyum cemerlang dan berpaling kembali ke api. Dia mulai mengipas. Pata pata.
I sat down on the sun‐baked bench and drank my tea, resting like a stereotypical senior citizen.
 
   
  +
Man, aku letih.<!--was i beat-->
That was when the girls returned.
 
   
  +
Selagi aku menyeruput teh jelaiku, aku memusatkan mataku pada punggung Hayama yang merunduk. Aku heran apa yang sedang coba Hayama katakan padaku tadi. Yah, aku hanya bisa terpikir dua hal. Namun, aku masih tidak bisa membayangkan apa persisnya yang baru saja akan ditanya Hayama.
Noticing how the preparations for the fire were thoroughly under control, Miura let out a shout of delight. “Hayama, you’re the greatest!” she sang.
 
   
  +
Aku duduk di atas bangku yang dijemur matahari itu dan meminum tehku, beristirahat seperti seorang warga lansia umum.
“Oh, you’re right. Hayato‐kun is the outdoors‐type!” Ebina chimed in with great admiration.
 
   
  +
Saat itulah ketika para gadis kembali.
Then, the sideway glances were on me. Why’s Hikitani‐kun avoiding the work? I sensed the unspoken question keenly.
 
   
  +
Menyadari bagaimana persiapan untuk apinya sudah sepenuhnya terkendali, Miura membuat teriakan senang. “Hayama, kamu begitu hebat!” lantunnya.
“Hikitani‐kun pretty much did all the work.”
 
   
  +
“Oh, kamu benar. Hayato-kun tipe orang luar rumah!” kicau Ebina dengan penuh kekaguman.
Wow, what a casual interjection. Hayama really was a nice guy.
 
   
  +
Kemudian, tatapan menyampingnya tertuju padaku. Kenapa Hikitani-kun tidak mau bekerja? Aku merasakan pertanyaan tak terucap itu dengan jelas.
The problem was that Hayama’s interjection had produced a “Hayato’s so nice, always sticking up for others… teehee,” sort of vibe in the air.
 
   
  +
“Hikitani‐kun yang kira-kira mengerjakan semua pekerjaannya.”
Well, that’s how the world works, I guess.
 
   
  +
Wow, sisipan santai itu. Hayama benar-benar orang yang baik.
“Hikki, you worked hard. Here you go.” Yuigahama, who had come back with Miura and the others, handed me a face‐washing paper towel. There was no trace of sarcasm in her voice.
 
   
  +
Masalahnya adalah bahwa sisipan Hayama menghasilkan sebuah kesan “Hayato begitu baik, selalu membela orang lain… teehee,” dalam suasananya.
“Ah, Hachiman, you really did work hard! Really, you did,” Totsuka insisted as he clenched his fists tightly against his chest. Come to think of it, it would only look like I was avoiding work if you had just walked in.
 
   
  +
Yah, begitulah cara dunia bekerja, kurasa.
   
  +
“Hikki, kamu bekerja keras. Mari.” Yuigahama, yang telah kembali dengan Miura dan yang lain, menyerahkanku sebuah tisu basah pembersih wajah. Tidak ada tanda-tanda sindiran di dalam suaranya.
   
  +
“Ah, Hachiman, kamu benar-benar bekerja kerasǃ Sungguh, beneran,” tegas Totsuka selagi dia mengepalkan tinjunya pada dadanya. Dipikir-pikir lagi, itu hanya akan terlihat seperti aku tidak mau bekerja kalau kamu baru saja datang.
86
 
 
4‐1
 
   
“I could totally tell. Hikki, you’ve got this weird serious look in your eyes.” Yuigahama burst out laughing.
+
“Aku benar-benar tahu. Hikki, kamu punya tampang serius aneh ini di matamu.” Yuigahama tertawa terbahak-bahak.
   
Behind her, Yukinoshita peered at my face. “Besides, you can tell by looking. Stop wiping your face with your gloves. It’s unseemly,” she said as if she had been watching me this whole time.
+
Dibelakangnya, Yukinoshita melirik ke arah wajahku. “Lagipula, kamu bisa tahu dengan melihatnya saja. Berhenti mengelap wajahmu dengan sarung tanganmu. Itu tidak bagus<!--unseemly-->,” katanya seakan dia mengamatiku sepanjang waktu.
   
  +
Ah, jadi aku mengotori wajahku. Paham sekarang maksud dari tisu basah pembersih wajah Yuigahama, aku menggunakannya dengan penuh rasa terima kasih.
Ah, so I’d dirtied my face. Understanding now the purpose of Yuigahama’s face‐ washing towel, I helped myself to it gratefully.
 
   
  +
“…terima kasih.”
“…thanks.”
 
   
  +
Bahkan selagi aku mengutarakan kata-kata itu, aku mendapat perasaan bahwa kata-kata itu tidak tertuju pada seseorang yang spesifik.
Even as I uttered those words, I got the feeling they weren’t aimed at any particular person.
 

Revision as of 17:53, 5 December 2015

Bab 4: Tiba-tiba, Ebina Hina Memasuki Mode Mendakwah

4-1

Kalau berbicara soal berkemah, kari segera muncul di pikiranku.

Itu wajar bahwa seseorang yang berimpian menjadi bapak rumah tangga akan mampu membuat satu atau dua jenis kari. Malah, tidak peduli apa yang coba mereka buat, masakannya akan jadi kari sebelum mereka menyadarinya. Sebenarnya, memasukkan saus kari akan mengubah segalanya menjadi kari, jadi itu tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa semua masakan mengandung bahan kari. Kalau membicarakan soal kari Chiba, Sitar itu restoran yang cukup ternama, tapi di Desa Chiba, tentu saja, kamu harus memakai peralatan masak kemah. Dan juga, apa aku ada bilang bahwa makanan Sitar benar-benar lezat?

Tidak usah dibilang lagi bahwa makan siang hari ini adalah makanan pokok berkemah – kari.

Untuk memulainya, Hiratsuka-sensei menghidupkan api pada arang para guru, yang akan dipakai sebagai contoh untuk para murid SD itu.

“Pertama-tama, aku akan mendemonstrasikannya untuk kalian.” Segera setelah dia mengatakannya dia mulai menumpuk arangnya. Dia meletakkan pemantik api dan beberapa potongan koran kusut di bawahnya. Saat dia menghidupkan apinya, potongan korannya dilahap oleh api.

Baru saja kupikir dia akan memindahkan apinya ke arang dan mengipasinya sebentar dengan kipas kertas, dia kelihatannya memutuskan bahwa itu terlalu membosankan baginya dan tiba-tiba menyiramkan minyak sayur ke atas api itu.

Tiba-tiba apinya berkobar hebat. Tolong jangan coba ini di rumah; itu benar-benar berbahaya.

Sorakan dan teriakan serta gugaman bosan muncul. Namun Hiratsuka-sensei yang tidak terpengaruh menarik sebatang rokok entah dari mana dan menaruhnya ke dalam mulutnya, seringai nihilistik muncul di wajahnya. Dengan rokok yang mencuat dari dalam mulutnya, dia mendekatkan wajahnya pada api itu dan menghirup dalam-dalam.

Dia menjauhkan wajahnya dan membuat helaan puas yang panjang. “Begitulah kurang lebih cara kalian melakukannya.”

“Anda terlihat begitu terbiasa dengan ini.” Gerakannya cepat dan tajam, belum dibilang dia segera memakai trik kotor yang dikenal dengan nama minyak sayur.

Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”

Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu memiliki kenangan buruk baginya.

“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?

Totsuka, Hayama, Tobe dan aku tetap di sana.

“Kalau begitu ayo kita selesaikan persiapannya?”

Hayama dan Tobe memakai sarung tangan katun dan menumpuk arangnya, sementara Totsuka mempersiapkan pemantik dan koran.

…sial, aku terlambat mulai.

Persiapannya itu sendiri berjalan mulus, dan semua yang tersisa adalah pekerjaan mudah mengipasi apinya lagi dan lagi.

Aku sulit sekali percaya bahwa di dalam situasi ini aku tidak ada keinginan untuk duduk-duduk saja dan tidak melakukan apapun. Jujur saja, aku bisa saja tidak melakukan apapun dengan berkata “’ke, aku akan serahkan sisanya pada kalian” kalau hanya ada Hayama dan Tobe, tapi aku takut atas apa yang akan dipikirkan Totsuka dengan kata-kata itu, seperti yang dapat diduga.

Dengan pasrah, aku mengenakan sarung tangan katun, mengambil kipas kertasnya dan mendatangkan angin, dengan cara yang sering mereka lakukan pada belut yang dicelupkan dan dipanggang dengan saus berbahan dasar-kedelai. Pata pata pata.

“Kelihatannya panas…” ucap Totsuka, terdengar kuatir untukku.

“Kurasa…”

Dataran tinggi seharusnya sejuk, tapi sekarang masih pertengahan musim panas. Bekerja persis di depan api membuat keringat mengucur bebas dari badanku.

“Aku akan mengambil minuman untuk kalian,” kata Totsuka selagi dia meninggalkan tempat itu.

Itu membuat Tobe mengikutinya. “Kalau kamu mau mengambil minuman untuk kita semua, aku akan membantumu, yo.” Berlawanan dengan pemikiranku, dia mungkin saja pria yang baik. Itu atau mungkin rasa keksatriaan, tidak ingin membuat Totsuka mengangkat barang-barang berat dengan lengan rampingnya. Ahem. Pergilah dan gantikan aku selesaikan tugas ini.

Itu menyisakan hanya aku dan Hayama.

“…”

Pata pata pata pata.

“…”

Pata pata pata pata.

Aku mematikan perasaanku dan hanya berfokus untuk mengipas, terbebas dari pemikiran-pemikiran yang menghalang. Setelah beberapa lama, itu menjadi menyenangkan untuk melihat arang hitam pekat itu perlahan-lahan menjadi diwarnai warna merah.

Hanya saja, mataku mulai berair-air karena panas apinya dan panas cuacanya. Ketika aku menggosok mataku dengan sarung tangan katunku dan mengangkat wajahku, tatapanku bertemu dengan tatapan Hayama. Itu berarti dia terus melihat ke arahku dari tadi. Kalau Ebina ada di sini, kami akan dalam masalah.

“…apa?” tanyaku.

“Oh, tidak ada apa-apa,” kata Hayama untuk mengelaknya.

Sunyi.

Tanpa menghentikan pekerjaanku, aku menatap tajam ke arah Hayama. Itu membuat Hayama untuk membuka mulutnya dan mengutarakan kata-kata elakannya lagi.

“Sungguh, tidak ada apa-apa.”

Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa, katanya. Apa dia itu – radio rusak? Aku tidak pernah melihat orang yang benar-benar tidak ada apa-apa di pikirannya begitu menegaskan tidak ada apa-apa.

Selagi aku sedang melakukan tindakan menatap tajam ke arah Hayama lima detik sekali yang lumayan menjengkelkan, Hayama mengangkat bahunya menyerah dan berkata.

“…Hikitani‐kun, tentang Yu‐”

“Maaf membuatmu menunggu, Hachiman.” Totsuka menekankan gelas plastik dingin itu pada pipiku, memotong kata-kata Hayama. Jantungku meloncat atas sensasi dingin itu.

Ketika aku melihat ke atas, Totsuka memiliki senyuman murni dan polos itu di wajahnya, merasa senang bahwa dia berhasil melakukan kelakarnya. Dia sedikit terengah-engah seakan dia buru-buru kembali. Pipi merahnya itu menggemaskan. Kalau kamu menukar kegemasannya dengan kedewaan, itu akan meningkatkan ciri kemalaikatannya lebih tinggi lagi.

Jantungku berdetak hebat seperti yang biasa dilakukannya dalam situasi-situasi seperti ini. Aku melawan untuk menahan rasa ada bahayaku. Akhirnya, aku tersadar kembali dan menghimpun gugaman yang pelan.

“Oh, terima kasiiiih.”

Karena aku bergetar begitu hebat, bagian akhir suaraku memanjang sedikit. Tobe, yang sedang memegangi sekumpulan botol plastik bening di belakang Totsuka, mendengar itu dan agak meringis.

“…Aku akan menggantikanmu,” usul Hayama, menampilkan sebuah senyuman.

Karena dia begitu baik dan semacamnya, aku menerima tawarannya untuk menggantikanku. Aku menyerahkan kipasnya pada dia dan melepaskan sarung tangan katunku sebelum mengambil teh jelai itu dari Totsuka. “’ke, aku akan serahkan sisanya padamu.” aku berhenti sejenak. “Jadi apa yang sedang kamu katakan tadi?”

“Aku akan beritahu kamu nanti.” Daripada merasa tersinggung, Hayama tersenyum cemerlang dan berpaling kembali ke api. Dia mulai mengipas. Pata pata.

Man, aku letih.

Selagi aku menyeruput teh jelaiku, aku memusatkan mataku pada punggung Hayama yang merunduk. Aku heran apa yang sedang coba Hayama katakan padaku tadi. Yah, aku hanya bisa terpikir dua hal. Namun, aku masih tidak bisa membayangkan apa persisnya yang baru saja akan ditanya Hayama.

Aku duduk di atas bangku yang dijemur matahari itu dan meminum tehku, beristirahat seperti seorang warga lansia umum.

Saat itulah ketika para gadis kembali.

Menyadari bagaimana persiapan untuk apinya sudah sepenuhnya terkendali, Miura membuat teriakan senang. “Hayama, kamu begitu hebat!” lantunnya.

“Oh, kamu benar. Hayato-kun tipe orang luar rumah!” kicau Ebina dengan penuh kekaguman.

Kemudian, tatapan menyampingnya tertuju padaku. Kenapa Hikitani-kun tidak mau bekerja? Aku merasakan pertanyaan tak terucap itu dengan jelas.

“Hikitani‐kun yang kira-kira mengerjakan semua pekerjaannya.”

Wow, sisipan santai itu. Hayama benar-benar orang yang baik.

Masalahnya adalah bahwa sisipan Hayama menghasilkan sebuah kesan “Hayato begitu baik, selalu membela orang lain… teehee,” dalam suasananya.

Yah, begitulah cara dunia bekerja, kurasa.

“Hikki, kamu bekerja keras. Mari.” Yuigahama, yang telah kembali dengan Miura dan yang lain, menyerahkanku sebuah tisu basah pembersih wajah. Tidak ada tanda-tanda sindiran di dalam suaranya.

“Ah, Hachiman, kamu benar-benar bekerja kerasǃ Sungguh, beneran,” tegas Totsuka selagi dia mengepalkan tinjunya pada dadanya. Dipikir-pikir lagi, itu hanya akan terlihat seperti aku tidak mau bekerja kalau kamu baru saja datang.

“Aku benar-benar tahu. Hikki, kamu punya tampang serius aneh ini di matamu.” Yuigahama tertawa terbahak-bahak.

Dibelakangnya, Yukinoshita melirik ke arah wajahku. “Lagipula, kamu bisa tahu dengan melihatnya saja. Berhenti mengelap wajahmu dengan sarung tanganmu. Itu tidak bagus,” katanya seakan dia mengamatiku sepanjang waktu.

Ah, jadi aku mengotori wajahku. Paham sekarang maksud dari tisu basah pembersih wajah Yuigahama, aku menggunakannya dengan penuh rasa terima kasih.

“…terima kasih.”

Bahkan selagi aku mengutarakan kata-kata itu, aku mendapat perasaan bahwa kata-kata itu tidak tertuju pada seseorang yang spesifik.