Editing Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 4

Jump to navigation Jump to search

Warning: You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you log in or create an account, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.

The edit can be undone. Please check the comparison below to verify that this is what you want to do, and then save the changes below to finish undoing the edit.

Latest revision Your text
Line 16: Line 16:
   
 
Sorakan dan teriakan serta gugaman bosan muncul. Namun Hiratsuka-sensei yang tidak terpengaruh menarik sebatang rokok entah dari mana dan menaruhnya ke dalam mulutnya, seringai nihilistik muncul di wajahnya. Dengan rokok yang mencuat dari dalam mulutnya, dia mendekatkan wajahnya pada api itu dan menghirup dalam-dalam.
 
Sorakan dan teriakan serta gugaman bosan muncul. Namun Hiratsuka-sensei yang tidak terpengaruh menarik sebatang rokok entah dari mana dan menaruhnya ke dalam mulutnya, seringai nihilistik muncul di wajahnya. Dengan rokok yang mencuat dari dalam mulutnya, dia mendekatkan wajahnya pada api itu dan menghirup dalam-dalam.
 
[[Image:YahariLoveCom_v4-107.jpg|thumb|200px]]
 
   
 
Dia menjauhkan wajahnya dan membuat helaan puas yang panjang. “Begitulah kurang lebih cara kalian melakukannya.”
 
Dia menjauhkan wajahnya dan membuat helaan puas yang panjang. “Begitulah kurang lebih cara kalian melakukannya.”
Line 25: Line 23:
 
Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”
 
Dengan tampang sedikit melamun di wajahnya, Hiratsuka-sensei menjelaskan. “Heh, aku terbiasa melakukan ini sepanjang waktu saat aku pergi barbekyu dengan klub universitasku. Selagi aku sedang menyalakan apinya, pasangan-pasangan di sana akan bermesraan.” dia membersut. “Sekarang suasana hatiku jadi buruk.”
   
Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu menyimpan kenangan buruk baginya.
+
Hiratsuka‐sensei mundur dari api itu seakan api itu memiliki kenangan buruk baginya.
   
 
“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?
 
“Yang laki-laki akan menyalakan apinya sementara yang perempuan bawa bahan-bahan makanannya,” katanya selagi dia berjalan pergi dengan para perempuan. Apa sedikit rasa pahit dari masa lalunya terselip ke dalam motifnya untuk memisahkan anak-anak di sini? Apa dia baik-baik saja?
Line 238: Line 236:
 
Aku menyusun peralatan memasak kemah itu ke satu tempat dan merebus daging dan sayuran di panci. Selama melakukan hal ini, Ebina-san bergugam, “Wortelnya tampak seperti penis… sungguh mesum,” walaupun Miura terus mengetok kepalanya. Sebagai satu-satunya orang yang berkenan merespon pernyataan itu ketika tidak ada orang yang mau melakukannya, terus terang saja bukankah Miura itu baik hati dengan caranya sendiri? Tapi karakter wanita yang kasar tidak populer sekarang; yang lagi demam sekarang itu karakter wanita yang bersusah payah untuk mengabaikanmu.
 
Aku menyusun peralatan memasak kemah itu ke satu tempat dan merebus daging dan sayuran di panci. Selama melakukan hal ini, Ebina-san bergugam, “Wortelnya tampak seperti penis… sungguh mesum,” walaupun Miura terus mengetok kepalanya. Sebagai satu-satunya orang yang berkenan merespon pernyataan itu ketika tidak ada orang yang mau melakukannya, terus terang saja bukankah Miura itu baik hati dengan caranya sendiri? Tapi karakter wanita yang kasar tidak populer sekarang; yang lagi demam sekarang itu karakter wanita yang bersusah payah untuk mengabaikanmu.
   
Setelah menuangkan air ke dalam panci dan merebusnya, aku memilih dua jenis saus kari dan memasukkannya ke panci. Lemaknya memunculkan cita rasa tiga iris daging tersebut, sembari saus kari membuat rasanya pedas. Sekarang rebus semuanya dengan hati-hati. Seperti yang bisa kamu duga dari murid yang lebih tua, yang juga seorang koki berpengalaman, masakannya berjalan dengan cukup lancar.
+
Setelah menuangkan air ke dalam panci dan merebusnya, aku memilih dua jenis saus kari dan memasukkannya ke panci. Lemaknya memunculkan cita rasa tiga iris daging tersebut, sembari saus kari membuat rasanya pedas. Sekarang rebus semuanya dengan hati-hati. Seperti yang bisa kamu duga dari murid yang lebih tua, bersama dengan koki berpengalaman, masakannya berjalan dengan cukup lancar.
   
 
Saat aku melihat sekelilingku, uap dan asap membumbung dari panci-panci. Ini adalah sesi memasak di luar rumah pertama bagi para anak SD tersebut. Aku juga bisa melihat ada beberapa kelompok yang kesusahan memasaknya.
 
Saat aku melihat sekelilingku, uap dan asap membumbung dari panci-panci. Ini adalah sesi memasak di luar rumah pertama bagi para anak SD tersebut. Aku juga bisa melihat ada beberapa kelompok yang kesusahan memasaknya.
   
“Kalau kalian senggang, kalian boleh pergi melihat-lihat dan bantu mereka?” kata Hiratsuka‐sensei, kata-katanya mengisyaratkan “aku tidak suka melakukannya”. Aku juga tidak suka.
+
“Kalau kalian senggang, kalian boleh pergi melihat-lihat dan bantu mereka, huh?” kata Hiratsuka‐sensei, kata-katanya mengisyaratkan “aku tidak suka melakukannya”. Aku juga tidak suka.
   
Namun, aku heran persisnya kenapa riajuu-riajuu itu suka sekali berkoneksi. Bukankah baterai dan semacamnya juga terhubung dengan koneksi?
+
Namun, aku heran persisnya kenapa riajuu-riajuu itu suka sekali koneksi. Bukankah baterai dan semacamnya juga terhubung dengan koneksi?
   
 
“Ya, kamu tidak mendapat banyak peluang untuk berbicara dengan anak SD,” kata Hayama, seakan dia setuju dengan sarannya.
 
“Ya, kamu tidak mendapat banyak peluang untuk berbicara dengan anak SD,” kata Hayama, seakan dia setuju dengan sarannya.
Line 266: Line 264:
 
Anak SD tersebut memberi kami sambutan hangat, seakan kemunculan anak SMA itu sesuatu yang cukup spesial untuk mereka. Mereka menjelaskan apa yang menjadikan kari mereka istimewa, dan meskipun mereka belum selesai memasaknya mereka menyuruh satu sama lain untuk menyantap kari mereka seperti nenek-nenek desa. Yah, kari Jepang itu memang di atas rata-rata tidak peduli siapa pemasaknya. Aku rasa tidak akan muncul sesuatu yang terlalu aneh.
 
Anak SD tersebut memberi kami sambutan hangat, seakan kemunculan anak SMA itu sesuatu yang cukup spesial untuk mereka. Mereka menjelaskan apa yang menjadikan kari mereka istimewa, dan meskipun mereka belum selesai memasaknya mereka menyuruh satu sama lain untuk menyantap kari mereka seperti nenek-nenek desa. Yah, kari Jepang itu memang di atas rata-rata tidak peduli siapa pemasaknya. Aku rasa tidak akan muncul sesuatu yang terlalu aneh.
   
Hayama dan yang lain dikelilingi oleh para anak SD dan semuanya tampak baik-baik saja. Ya, sebagian mungkin karena sifat riajuunya, tapi bukan karena itu saja. Anak SD tertarik pada orang paling dewasa di sana. Tak paham dengan cara orang dewasa melakukan sesuatu, mereka tidak banyak berpikir dengan siapa mereka berkawan. Sumberː diriku di masa lalu.
+
Hayama dan yang lain dikelilingi oleh para anak SD dan semuanya baik-baik saja. Ya, sebagian mungkin karena sifat riajuunya, tapi bukan karena itu saja. Anak SD tertarik pada orang paling dewasa di sana. Tak paham dengan cara orang dewasa melakukan sesuatu, mereka tidak banyak berpikir dengan siapa mereka berkawan. Sumberː diriku di masa lalu.
   
 
Mareka tidak tahu nilai sebuah uang, pentingnya belajar dan arti dari cinta. Semua hal yang terpapar pada mereka terlihat alamiah bagi mereka dan mereka tidak paham dari mana datangnya itu semua. Pada masa-masa tersebut, pemahaman mereka mengenai dunia ini hanya menyentuh permukaaannya saja.
 
Mareka tidak tahu nilai sebuah uang, pentingnya belajar dan arti dari cinta. Semua hal yang terpapar pada mereka terlihat alamiah bagi mereka dan mereka tidak paham dari mana datangnya itu semua. Pada masa-masa tersebut, pemahaman mereka mengenai dunia ini hanya menyentuh permukaaannya saja.
Line 306: Line 304:
 
Dengan itu, Rumi berada pada jalan buntu.
 
Dengan itu, Rumi berada pada jalan buntu.
   
===4-4===
 
Tidak peduli bagaimanapun dia menjawab pertanyaan Hayama, akan timbul perasaan buruk. Jika dia menjawabnya dengan hangat, mereka akan berpikir, “Dia sombong sekali!” dan jika dia menjawabnya dengan dingin, mereka akan berpikir, “Ada apa dengannya? Sombong sekali!” Tidak peduli apa yang dia lakukan, dia tidak akan terlepas dari pemikiran yang negatif.
 
 
Raut keterkejutan timbul pada wajah Rumi saat Hayama berbicara padanya, tapi‐
 
 
“…tidak terlalu. Aku tidak begitu suka kari,” jawabnya singkat, berpura-pura kalem, sebelum melepaskan diri dari sorotan.
 
 
Dalam situasi ini, mundur adalah satu-satunya pilihan. Toh, dia tidak ada kartu atau trik yang bisa dipakai.
 
 
Sebaik yang dia bisa, Rumi berpindah ke tempat yang jauh dari mata manusia. Dia pergi ke luar lingkaran manusia – yakni, pergi ke tempat aku berada. Kebetulan, Yukinoshita juga menjaga jaraknya denganku, meskipun dia berada di sisi yang sama denganku.
 
 
Penyendiri tipe-angkuh memiliki zona pribadi yang lebar, belum dibilang aura mengancam Yukinoshita yang kuat mencegah orang lain untuk mendekatinya. Kamu dapat menyebutnya ciri khas dari kepribadiannya. Itu adalah, istilahnya, tersendiri. Kenapa aku membuatnya terdengar begitu dramatis? Itu hanya sebuah fakta sederhana.
 
 
Rumi berdiri semeter dariku, berhenti tepat di antara Yukinoshita dan aku. Dia menjaga jarak yang cukup untuk melihat kami berdua dari sudut matanya.
 
 
Hayama memandang Rumi dengan senyuman yang sedikit kuatir dan sayu di wajahnya, tapi sekejap kemudian dia kembali bersama anak SD yang lain.
 
 
“Oke, semuanya, kalian sudah menyelesaikan semua tugas berat kalian, jadi kalian sudah boleh menambahkan penyedap sekarangǃ Ada yang ingin kalian tambahkan?” tanyanya. Suaranya cemerlang dan menawan, menarik semua perhatian ke arahnya.
 
 
Berkat dia, tatapan dongkol yang terarah pada Rumi mendadak hilang.
 
 
Anak-anak SD tersebut mengacungkan tangan mereka dengan serempak, menyarankan kopi dan paprika dan coklat dan sebagainya.
 
 
“Yaaaap! Aku rasa buah cocokǃ Seperti pir dan semacamnya!”
 
 
Oh, omong-omong, tadi itu Yuigahama. Kenapalah dia ikut berpartisipasi…? Seperti yang bisa kalian duga, ekspresi Hayama juga sedikit mengeras.
 
 
Bukan hanya dia ikut berpartisipasi dalam permainan anak-anak, kata-katanya juga jelas menunjukkan bahwa kemampuan memasaknya adalah yang terburuk di antara mereka semua.
 
 
Kembali kalem dalam sekejap, Hayama mengucapkan sesuatu. Apapun yang diucapkannya, kata-katanya membuat bahu Yuigahama terkulai dan dia berjalan dengan lemas dan lamban ke arah kami. Entah kenapa, kelihatannya dia memperlakukannya seperti pengganggu dengan sangat lembut.
 
 
“Sungguh tolol…” ujarku.
 
 
Suara pelan membisik untuk melanjutkan kata-kataku. “Terus terang saja, mereka semua benar-benar tolol…” kata Tsurumi Rumi dengan suara yang terdengar dingin di telingaku. Sudah kuputuskan – mulai dari sekarang julukannya adalah Rumi Rumi. Apa dia dari Nadesico? <ref> Ruri dari anime Martian Successor Nadesico dikenal dengan sikap angkuhnya dan slogannya “dasar tolol”. Julukannya adalah Ruri Ruri. </ref>
 
 
“Ya, mayoritas manusia memang seperti itu. Baguslah kamu cepat memahaminya,” kataku.
 
 
Rumi melihat ke arahku, dengan ekspresi bingung di wajahnya. Tatapannya juga merupakan tatapan menilai, seakan dia sedang menaksir nilai diriku, jadi itu membuatku sedikit tidak nyaman.
 
 
Menyadari cara Rumi melihat ke arahku, Yukinoshita menyela. “Kamu juga bagian dari mayoritas tersebut.”
 
 
“Jangan meremehkanku. Aku mempunyai talenta menabjubkan untuk menyendiri bahkan saat aku bagian dari sebuah mayoritas.”
 
 
“Sungguh seperti kamu untuk membanggakan sesuatu seperti itu sampai sebegitunya. Kamu melampaui ekspektasiku. Kamu pantas menerima cemooh, bukan rasa takjub.”
 
 
“Bukankah kamu biasanya menghormati seseorang kalau mereka melampaui ekspektasimu…?”
 
 
Rumi mendengarkan percakapan kami dengan hening, tidak sekalipun dia tersenyum.
 
 
Berjalan sedikit mendekati kami dengan segan, dia berkata pada kami. “Nama.”
 
 
“Huh? Nama apa?” tanyaku balik, tidak paham apa yang dia katakan hanya dari kata ‘nama’.
 
 
Sebagai balasannya, Rumi mengulangi kata-katanya dengan angkuh, menjelaskan maksudnya dengan cukup baik. “Aku sedang menanyakan namamu. Biasanya begitu kamu menafsirkannya.”
 
 
“…perkenalkan dirimu dulu sebelum kamu menanyakan nama orang lain.” tatapan Yukinoshita tajam dan berbahaya. Sialnya bagi Rumi, tatapan itu mungkin tatapannya yang paling mengerikan sampai sekarang.
 
 
Dia menatapnya – atau, tepatnya – dia membuat tatapan maut. Kelihatannya dia tidak berniat untuk mempertimbangkan bahwa dia sedang berbicara dengan seorang anak kecil. Malah, Yukinoshita membuat kesan yang lebih galak dari biasanya. Mungkin dia tidak begitu suka anak kecil.
 
 
Tatapannya pastilah membuat Rumi takut, karena dia berpaling dengan tidak nyaman.
 
 
“…Tsurumi Rumi.”
 
 
Walaupun dia menguggamkan kata-kata itu dari sudut mulutnya, kamu masih bisa mendengarnya. Yukinoshita memikirkan hal yang sama denganku, kelihatannya. Setelah dia mendengar nama Rumi, dia mengangguk singkat.
 
 
“Aku Yukinoshita Yukino. Orang itu… Hiki… Hikiga… Hikikatakgaya‐kun<ref> Dalam bahasa Jepang, julukannya Hikigaeru-kun. Gaeru/Kaeru dapat berarti pulang, yang tentu biasa dilakukan penyendiri seperti Hachiman. Kaeru juga dapat berarti katak. </ref>, bukan?”
 
 
“Hei, dari mana kamu tahu julukanku dari kelas 4 SD? Akhirnya, mereka hanya memanggilku si Katak.”
 
 
Entah kapan, aku rasa mereka berhenti menyambungkannya pada margaku dan mulai memperlakukanku seperti seekor amfibi.
 
 
“Aku Hikigaya Hachiman.” Karena aku pasti akan menjadi Hikikatakgaya-san jika ini terus berlanjut, aku memperkenalkan diriku dengan benar. “Dan ini Yuigahama Yui.” Aku menunjukkan jariku pada Yuigahama, yang sekarang sudah agak dekat.
 
 
“Ada apa? Kamu memanggilku?” Yuigahama menemukan kami bertiga dan sepertinya sedang menebak apa yang sedang kami lakukan. “Oh, ya, ya. Aku Yuigahama Yui. Tsurumi Rumi-chan, bukan? Senang berjumpa denganmu.”
 
 
Tapi Tsurumi Rumi hanya mengangguk pada sapaan Yuigahama. Dia tidak mau melihat matanya. Selagi dia melihat kakinya, dia berkata dengan segan. “Entah kenapa, aku merasa dua orang ini berbeda. Berbeda dari mereka.”
 
 
Itu sulit untuk memahaminya karena subjek kalimatnya samar, tapi mungkin maksudnya kami berdua – Yukinoshita dan aku – itu tipe manusia yang berbeda dari mereka, yakni Hayama dan kawan-kawan.
 
 
Ya, kami berbeda. Kalau kamu melihat pada sekelompok manusia yang dikenal dengan “mereka”, mereka kelihatannya sedang menikmati hidup mereka dengan lomba memasak kari istimewa mereka.
 
 
“Aku juga berbeda. Dari mereka,” kata Rumi, sengaja merenungkan kata-katanya seakan dengan menyatakannya keras-keras dia sedang menegaskan hal itu pada dirinya.
 
 
Wajah Yuigahama berubah menjadi serius. “Apa maksudmu berbeda?”
 
 
“Semua orang disekelilingku itu bocah. Ya, aku lebih baik tidak ikut-ikutan dengan mereka<!--Well, not like I was any better playing along with them-->. Jadi aku berhenti melakukan semua hal tidak berguna itu. Aku lebih baik sendirian.”
 
 
“Ta-tapi.” Yuigahama terlihat kehilangan kata-kata. “Aku rasa teman dan kenangan SDmu itu penting.”
 
 
“Aku tidak benar-benar perlu sesuatu seperti kenangan… saat aku masuk SMP, aku bisa berteman dengan orang yang datang dari sekolah lain.”
 
 
Dia mengangkat kepalanya dengan cepat, menatap ke arah langit. Matahari akhirnya sudah terbenam dan langit, yang berwarna biru indigo seperti tinta cair, mulai menghitam. Bintang-bintang mulai berkelap-kelip satu per satu.
 
 
Tatapan jauh Rumi teramat menyedihkan, tapi pada saat yang sama, tatapan tersebut menyimpan seberkas harapan yang indah.
 
 
Tsurumi Rumi masih percaya; dia masih berharap. Dia bergantung pada harapan bahwa situasinya akan membaik kalau dia memasuki lingkungan yang baru.
 
 
Namun harapan itu tiada artinya.
 
 
“Maaf untuk mengucapkan ini, tapi hal itu tidak akan terjadi.”
 
 
Orang yang mengucapkan pernyataan yang terlampau blak-blakan itu adalah Yukinoshita Yukino.
 
 
Rumi menatapnya dengan getir.
 
 
Yukinoshita menatap matanya. “Orang yang satu SD denganmu sekarang akan masuk ke SMP yang sama denganmu. Kalau begitu, sejarah akan terulang,” terangnya dengan dingin, tanpa berbasa-basi. “Saat itu, ‘orang yang datang dari sekolah lain’ hanya akan ikut mengucilkanmu.”
 
 
Bagi mereka yang tamat dari SD negeri lokal dan melanjut ke SMP negeri, hubungan yang telah mereka jalin sampai saat itu akan terus berlanjut. Kamu harus mulai dengan semua beban yang kamu kumpulkan dari SD. Meskipun kamu menjalin teman baru, hutang masa lalumu akan menghalangimu.
 
 
Masa lalumu akan disebar luaskan, dalam bentuk cerita lucu dan lelucon. Saat kamu sudah menjadi alat komunikasi yang siap sedia bagi lelaki dan perempuan itu, tamat sudah kamu.
 
 
Tidak ada orang yang mengucapkan apapun.
 
 
Aku tidak mampu memikirkan bantahan untuk itu. Bukan hanya aku yang tidak ada bantahan, Yuigahama juga terus terdiam dengan tidak nyaman. Tapi bahkan Rumi tidak dapat mengucapkan apapun, tidak ada satupun.
 
 
“Kamu tahu sebanyak itu, bukan?” kata Yukinoshita, seakan sedang melancarkan serangan terakhirnya.
 
 
Kemudian, selagi dia melirik ke arah Rumi yang terdiam, dia mengunci mulutnya dengan erat, seakan mencoba untuk menahan sesuatu. Mungkin, mungkin saja, Yukinoshita dapat melihat diri masa lalunya dalam bentuk gadis di depannya.
 
 
“Sudah kuduga…” Suatu bisikan pelan yang pasrah terselip dari mulut Rumi. “Aku sudah melakukan hal yang sangat bodoh,” gugamnya untuk mengolok dirinya.
 
 
“Ada apa?” tanya Yuigahama dengan lembut.
 
 
“Orang dikucilkan oleh kelompok itu beberapa kali… tapi akhirnya itu akan berhenti dan kami akan berbicara padanya lagi setelah itu – semacam sebuah tren. Seseorang selalu menyarankannya dan semua orang akan ikut melakukannya.”
 
 
Rumi mengatakannya dengan kalem, tapi aku merinding saat mendengar apa yang dia katakan. Ada apa dengan cerita ini? Menakutkan sekali.
 
 
“Kemudian, salah satu dari gadis yang populer dan cukup suka bicara dikucilkan, dan aku menjaga jarakku darinya juga, tapi… tapi sebelum aku menyadarinya, aku selanjutnya. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah.”
 
 
Aku yakin itu terlihat seperti sebuah ide yang bagus saat itu. Tidak, mereka tidak melakukannya dengan alasan yang jelas di pikiran mereka. Mereka hanya merasakan suatu kewajiban aneh ini, seperti mereka harus melakukannya.
 
 
“Itu karna aku mengucapkan banyak hal pada gadis itu, kamu tahu.”
 
 
Temanmu semalam bisa mengubah rahasiamu menjadi lelucon di keesokan harinya demi membuat seseorang tertawa.
 
 
Kalau kamu kelas 6 SD, kamu mungkin mencintai seseorang. Kamu akan terpancing untuk mengatakannya pada seseorang mengenai perasaan cinta yang tidak kamu kenali dan tidak dapat kamu hadapi itu. Tapi karena itu juga memalukan, kamu curhat pada seseorang yang dapat kamu percayai dalam percakapan hati-ke-hati. Aku heran kenapa orang-orang menyebarkan rumor itu setelah mengatakan, “Aku pasti akan merahasiakannya!” Apa mereka itu Klub Danchou? <ref> Trio komedian Jepang yang populer. Mengatakan “Aku pasti tidak akan ___!” dan kemudian melakukannya juga pada akhirnya adalah salah satu lelucon utama mereka. </ref>
 
 
Aku mungkin bisa membicarakannya sambil tertawa sekarang, tapi pada saat itu aku berpikir tidak ada yang lebih menyakitkan lagi dari ini.
 
 
Kamu meletakkan kepercayaanmu pada seseorang dan mencurahkan rahasiamu, tapi cepat atau lambat itu akan kembali menghantuimu.
 
 
Tidak ada yang namanya manusia yang dicap orang jahat di dunia ini. Dalam kondisi normal, semua itu kurang lebih baik, atau, setidaknya, biasa-biasa saja. Tapi pancing saja mereka, dan mereka bisa tiba-tiba berubah. Itulah apa yang menakutkan dari manusia. Kamu harus terus waspada.
 
 
Tiba-tiba, kutipan itu muncul dalam benakku.
 
 
Tidak ada orang yang jahat sejak lahir. Semua orang mempercayai hal itu, termasuk diriku. Aku tidak meragukan bahwa kebajikan itu ada.
 
 
Namun manusia menunjukkan watak aslinya ketika kelihatannya mereka bisa meraup keuntungan.
 
 
Manusia akan mencari alasan atas tingkah laku mereka setiap kali mereka dinodai kejahatan; mereka sebenarnya tidak jahar. Untuk mempertahankan harga diri mereka yang sinting, dunia ini menjadi sinting.
 
 
Seseorang yang kamu puji “keren” sampai semalam menjadi “sombong” hari ini; seseorang yang kamu hormati sebagai seseorang yang “pintar dan penuh wawasan” sekarang diolok sebagai seseorang yang “meremehkan murid yang kurang pandai”, dan “penuh semangat” menjadi “menjengkelkan dan terlampau terbawa suasana”.
 
 
Untuk menghukum kriminalitas di sebuah dunia yang sinting, manusia menghunuskan pedang keadilan. Karena mereka tidak bisa menghakimi diri mereka sendiri, mereka bergabung dengan sesama. Mereka membahas tentang amoralitas dan dosa seakan memang sewajarnya demikian, dan mereka akan membersihkan peradaban atas rasa keadilan mereka. Mereka membesar-besarkan masalah kecil.
 
 
Kalau itu bukan penipuan, dinamakan apa itu?
 
 
Di dalam dunia yang tertutup itu, kamu akan merinding dengan rasa tidak enak pada pemikiran kamu korban selanjutnya. Jadi sebelum itu dapat terjadi, kamu mencari kambing hitam.
 
 
Dan kemudian siklusnya terus berlanjut. Siklus itu tidak pernah berhenti.
 
 
Apa artinya membangun tali pertemanan kalau kamu akan dikorbankan demi martabat orang lain?
 
 
“Aku heran apa… ini akan terjadi juga saat SMP,” Rumi terisak, suaranya bergetar.
 
 
Sebuah teriakan kesenangan dapat terdengar, seakan menutupi suaranya. Suara itu bahkan tidak sampai sepuluh meter jauhnya, tapi dari sudut pandangku, itu terdengar seperti suara dari suatu tempat aneh yang jauh di sana.
 
 
===4-5===
 
Clangǃ Sebuah sendok memukul alat makan di atas meja.
 
 
Setelah kami selesai melihat Rumi kembali dengan hening ke kelompoknya, dengan ekspresi setengah-pasrah terpampang di wajahnya, kami segera kembali ke kemah kami sendiri.
 
 
Kentang pada kari yang terus dijaga Hiratsuka-sensei telah berpadu dengan baik, dan aroma yang membangkitkan selera membumbung dari panci kemah kami.
 
 
Di dekat dapur terpasang sebuah meja kayu yang dipenuhi piring, dilengkapi dengan sepasang bangku panjang. Kami mulai mencari tempat untuk duduk.
 
 
Yukinoshita yang pertama duduk. Tanpa ragu dia memilih tempat duduk di ujung bangku. Selanjutnya Komachi. Tentu saja, dia duduk di sebelah Yukinoshita, dan Yuigahama mengikutinya. Kemudian, mengejutkannya, diikuti Ebina-san, selagi Miura duduk di ujung yang satu lagi. Kupikir Miura pasti ingin duduk di tengah-tengah, tapi ternyata tidak, huh.
 
 
Setelah itu para lelaki memilih tempat duduknya. Tobe memosisikan dirinya di depan Miura. Yah, orang itu memang kelihatan seperti dia sedang menjaganya. Di sampingnya duduk Hayama.
 
 
Karena aku akan duduk di sebelah orang yang toh tidak akan kuhiraukan, rencanaku adalah untuk menunggu sampai semua orang memilih tempat duduk mereka. Dipikir-pikir lagi, setiap kali dilakukan pembentukan kelompok, aku akan selalu menunggu sampai terakhir. Kamu tahu bagaimana diriku itu. Aku itu seorang pria berhati lapang yang merelakan giliranku atas rasa kedermawanan dalam jiwaku.
 
 
Kelihatannya orang yang duduk di samping Hayama itu antara aku, Totsuka atau Hiratsuka-sensei.
 
 
“Um…” Totsuka melihat ke arah Hiratsuka-sensei dan aku, terlihat berpikir masak-masak mengenai bagaimana sebaiknya dia bertindak. “H‐Hachiman, kamu ingin duduk di mana?”
 
 
“Dimana saja terserah. Aku belakangan saja.”
 
 
“Menyimpan yang terbaik untuk belakangan – sesuatu semacam itu?” tanya Totsuka.
 
 
“Er, bukan begitu juga…”
 
 
Sebenarnya itu cuma situasi yang di luar kendaliku yang diam-diam menyelubungiku, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pemikiran bebas <ref> [https://id.wikipedia.org/wiki/Pemikiran_bebas Info lebih lanjut] </ref> atau sebuah prinsip pribadi.
 
 
“Simpan yang terbaik untuk belakangan… begitu yaǃ Aku paham sekarang. Aku sudah paham sekarang… Ternyata begitu ya,” gugam Hiratsuka‐sensei dengan pelan, ekspresinya syok seakan dia baru saja mendapatkan wahyu. Dia bereaksi terlalu sensitif pada kata ‘terakhir’… seseorang tolong nikahi dia, demi Tuhan.
 
 
“Meh, Terserah saja aku duduk dimana…” kataku. “Kamu duduk dimana, Totsuka?”
 
 
“Aku tidak keberatan duduk di sampingmu.”
 
 
Aku terdiam.
 
 
Totsuka baru saja mengucapkan sesuatu yang sangat tidak masuk akal, jadi aku perlu beberapa saat untuk bereaksi. Totsuka menekankan tangannya pada mulutnya seakan dia baru saja menyadari maksud tersirat dari apa yang baru saja diucapkannya.
 
 
“I-itu jadi terdengar agak aneh. Maksudku, kita sibuk menyiapkan makan siang dan berbincang dengan anak-anak, jadi kita tidak mendapat kesempatan untuk berbicara, itu saja…” dia menambahkan penjelasannya, walaupun inti dari apa yang dia ucapkan tetap tidak berubah. Malahan, itu terasa lebih mesra dari sebelumnya.
 
 
“Yah, baiklah. Mari kita duduk.” Didorong rasa malu dan sejumlah besar rasa canggung, aku mendorong punggung Totsuka, mengajaknya duduk.
 
 
Sialan, kenapa punggung lelaki ini harus begitu ramping? Dia begitu ringan sampai dia tidak membuat perlawanan apapun ketika aku mendorongnya.
 
 
“Oke, aku akan duduk di sini.” Totsuka dengan semangat mengisyaratkanku untuk datang dari bawah meja dimana tidak ada orang yang dapat melihatnya.
 
 
“…ah.”
 
 
Setelah memastikan mataku tidak menipuku, aku duduk di sampingnya. Mulutku ternganga, jadi aku berpura-pura menahan kuap dengan satu tangan.
 
 
“Baiklah, mari kita mulai makan?” Akhirnya, Hiratsuka-sensei duduk di ujung bangku di sampingku.
 
 
Atas kata-katanya, semua orang menepuk tangan mereka dengan pelan dan berkata, “Itadakimasu.”
 
 
Sekarang setelah aku memikirkannya, aku merasa sudah cukup lama semenjak terakhir kali aku makan bersama dengan begitu banyak orang yang berkumpul di satu tempat. Walaupun paling lama pun baru dua tahun yang lalu, itu terasa seakan sudah begitu lama sekali.
 
 
“Ini seperti makan siang di sekolah,” bisik Totsuka dengan diam-diam pada telingaku, seakan dia merasakan hal yang sama sepertiku.
 
 
“Mm, dan menunya pun kari.” aku menuturkan jawaban standar, gemetaran karena begitu dekatnya kami dibanding biasanya.
 
 
“Laki-laki suka sekali kari. Mereka begitu heboh waktu menunya ada kari,” kata Yuigahama dengan nada nostalgia.
 
 
Kelihatannya kami memiliki kenangan yang sama mengenai makan siang sekolah, kari dan anak laki-laki yang ribut sewaktu SD dan SMP. Begitulah kejadiannya di sekolahku. “Ya, ya. Dan kalau orang yang mendapat tugas makan siang menjatuhkan panci karinya, dia akan dicaci habis-habisan.”
 
 
Tobe tertawa selagi dia memasukkan kari ke dalam mulutnya. “Iya sekali, pak!”
 
 
“Tahu tidak, kemudian, orang yang bertugas makan siang itu akan dicaci di dalam kelas, dan karena kari itu dia harus memakai jas putih dan pergi ke kelas lain membagikan sisa karinya, tapi hanya karena karinya dicuri oleh salah satu kelas yang lain, guru yang sedang berpatroli menegurnya dan dia jadi begitu sedihnya sampai dia meneteskan beberapa tetes air mata di lorong, tapi yang paling buruk dari semuanya noda di jasnya tidak mau lepas jadi giliran selanjutnya untuk tugas makan siang, semua orang berkata, 'jasnya bau kari (haha)' dan julukannya menjadi Kareishu <ref> Kareishu artinya bau orang tua. Itu menjadi salah satu keprihatinan di antara orang Jepang. </ref> Hal semacam itu juga terjadi.”
 
 
“Tidak, itu tidak terjadi…” kata Yuigahama.
 
 
“Kenapa ceritanya begitu mendetail…? Pengalaman pribadi?” tanya Yukinoshita.
 
 
Tangan mereka, yang masih sedang memegangi sendok mereka, berhenti di tengah jalan.
 
 
“Noda itu benar-benar tidak mau hilang jadi aku super khawatir sekali…” kata Komachi.
 
 
Masuklah mode Semua Orang Merasa Kasihan pada Hikigaya. Berkat keheningan yang muncul, aku dapat dengan mudahnya mendengar jangkrik lonceng <ref> bell cricket / Suzumushi / Meloimorpha japonicus </ref> berdecit dengan riang.
 
 
Hayama terbatuk pelan dalam usahanya untuk menghangatkan suasananya. “Yah, semua laki-laki suka kari jadi aku rasa mereka pasti geram. Ada juga hari Jeli Gandum.”
 
 
Sial, ini menjadi benar-benar nostalgik. Jelly misterius itu memiliki rasa yang unik, hampir seperti Milo. Pak, itu benar-benar enak sekali. Tidak ada orang yang bermimpi untuk bolos hari itu.
 
 
Hayama meneruskan. “Aku menanyai temanku yang tinggal di perfektur lain, tapi kelihatannya Jelly Gandum cuma disajikan pada menu makan siang sekolah di Chiba.”
 
 
“Huh?!”
 
 
“Sungguh?!”
 
 
“A-Apa itu benar?”
 
 
Yuigahama, Miura dan Komachi tidak dapat menahan keterkejutan mereka.
 
 
“Hei hei, bukankah itu biasanya simbol kesialan di tempat yang tidak dianggap perfektur?” Aku nyaris kehilangan harapan terhadap seluruh Jepang.
 
 
Bahkan Ebina‐san terdiam. Semua orang di sana mulai heboh, berbicara dengan penuh minat.
 
 
Pengetahuan umum Chiba dari Hayama membuat sensasi.
 
 
Namun, kamu tidak bisa menjulukinya sang Chibapedia hanya dari pengetahuan selevel itu saja. Semua orang boleh-boleh saja kalahǃ Hanya aku yang tidak berniat kalah ketika berbicara soal Chibaǃ “Kalian tahu tidak? Miso kacang polong hanya disajikan pada menu makan siang di Chiba?”
 
 
“Ya, aku tahu.”
 
 
“Siapa yang tidak?”
 
 
“Maksudku, cuma orang dari Chiba yang menyantapnya di rumah.”
 
 
Reaksi semua orang terlampau dingin. Juga, aku baru tahu keluarga Nyonya Miura rutin menyantap miso kacang polong di rumah. Kami tidak memakannya di rumah kami, sialan.
 
 
===4-6===
 
Siulan ceret yang mendidih memecah keheningan tersebut. Meskipun besar, ceret itu menghasilkan suara yang melengking. <!--The shriek of a steaming kettle shattered the silence. Even though the kettle was simply enormous, it let out a shrill alarm.-->Komachi berdiri dan mulai menuangkan air yang mendidih tersebut untuk menyeduh teh celup.
 
 
Malam agak sedikit dingin di dataran tinggi ini, tapi karena anak SDnya mulai bubar dan ketenangan mulai muncul, udaranya terasa bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Pucuk pohon bergemerisik ditiup angin, dan aku dapat mendengar suara desiran arus sungai yang jauh.
 
 
Seharusnya sudah kira-kira waktunya untuk tidur bagi anak-anak itu sekarang. Namun, mereka tidak akan cepat terlelap ketika mereka bersama dengan temannya. Mereka mungkin akan memukul satu sama lain dengan bantal mereka, mengeluarkan makanan ringan mereka di atas kasur mereka dan menghabiskan malam sambil mengobrol.
 
 
Namun, ada sebagian anak yang memang langsung tidur begitu saja. Anak-anak yang bukan bagian dari kelompok akan berusaha tidur lebih awal, meskipun cuma beda beberapa detik dari yang lain. Bukan karena mereka tidak tahan tidak memiliki teman atau semacamnya. Mereka hanya bersikap pengertian sehingga mereka yang lain bisa menikmati malam tersebut tanpa ada gangguan. Yah, tidak seperti akan ada orang yang menyadarinya juga.
 
 
Jadi ayolah, bisakah mereka berhenti menjahili diriku yang sedang tertidur dan terkikik melihatnya? Bagaimana kalau mereka berhenti bermain-main dengan memotretku dalam situasi seperti itu? Tolong? Kurasa itu bisa dikatakan memperdulikan keberadaanku.
 
 
Hayama meletakkan cangkir plastiknya ke atas meja. “Kurasa obrolan kita sekarang ini agak mirip obrolan malam saat karya wisata sekolah.” Suaranya seperti suara seseorang yang sedang mengingat sesuatu yang sudah lama berlalu.
 
 
Angkatan SMA kami masih belum berkarya wisata. Wisata itu dijadwalkan pada semester kedua kelas sebelas. Sekali lagi, aku menanti tugas sederhanaku yaitu berjalan tiga langkah di belakang teman sekelasku dan segera tertidur di malam hari.
 
 
Tapi itu terasa sederhana bagiku karena aku sudah melampauinya; bagi seseorang yang masih terperangkap di dalam pusaran tersebut, hal itu hanya akan terasa sulit dan melelahkan.
 
 
“Aku heran apa dia akan baik-baik saja…” tanya Yuigahama padaku dengan sedikit kuatir.
 
 
Aku tidak perlu bertanya siapa yang sedang dibicarakannya. Mungkin Tsurumi Rumi. Yukinoshita, Yuigahama dan aku, yang berbicara padanya secara langsung, bukanlah satu-satunya yang menyadari bahwa dia tidak memiliki teman. Semua orang dapat melihatnya. Bukan cuma karena dia menonjol, tapi semua orang juga bisa memahami situasinya hanya dengan melihatinya saja.
 
 
Seseorang menyalakan korek. Raut kalem Hiratsuka-sensei dari samping diterangi di bawah bayangan sebatang pohon. Ketika dia menghembus pelan rokoknya, asap rokok tersebut membumbung ke udara. Asap itu pupus ketika dia mengubah posisi kakinya.
 
 
“Hmph. Ada sesuatu yang menganjal di pikiran kalian?” tanyanya.
 
 
Hayama yang menjawab. “Ya, ada seorang murid yang agak terkucilkan…”
 
 
“Ya, aku merasa kasihan dengannya,” tambah Miura. Karena dia hanya setuju dengan Hayama untuk mengisi percakapan itu, dia mengucapkannya seakan itu sudah jelas.
 
 
Itu membuat sesuatu di dalam dadaku terasa sedikit perih. “Kamu salah, Hayama,” kataku, mengisi jeda tersebut. “Kamu tidak paham dimana letak akar masalah yang sebenarnya. Pada dasarnya tidak ada yang salah seseorang tidak ada teman atau menyendiri. Masalahnya adalah dia dipaksa terkucilkan karena niat buruk orang.”
 
 
“Huh? Ada yang salah?” desak Miura. Aku bermaksud berbicara dengan Hayama, tapi malah Miura yang menjawabnya. Menakutkan.
 
 
“Ada orang yang suka menyendiri dan ada yang tidak. Sesuatu semacam itu, kamu tahu?”
 
 
“Oh, kurasa.”
 
 
Itulah kenapa solusi idealnya adalah bukan memberinya perhatian lebih tapi memperbaiki lingkungan yang memaksanya terkucilkan itu.
 
 
“Jadi apa yang ingin kalian lakukan?” tanya Hiratsuka‐sensei pada kami.
 
 
“Err…”
 
 
Kami semua terdiam.
 
 
Apa yang ingin semua orang lakukan? Tidak banyak, sungguh. Mereka hanya ingin membicarakannya.
 
 
Singkatnya, itu seperti menonton film dokumenter tentang perang atau kemiskinan di televisi dan berkata “oh no” dan “kita harus melakukan sesuatu”, sedangkan pada saat yang sama kamu tidak bergerak dari sofa empukmu sambil melahap makanan yang lezat.
 
 
Kalau begitu, kelihatannya tidak ada orang yang akan mulai melakukan apapun. Mereka akan membohongi diri mereka sendiri dan bertingkah, “Hari ini aku menyadari betapa bersyukurnya aku atas nasib baikku”, dan berakhir dengan begitu saja. Mereka mungkin akan menyisihkan sepuluh atau seratus yen untuk penggalangan dana. Tapi cuma begitu saja.
 
 
Tentu saja, ada orang yang menyadari masalah tersebut dan berusaha untuk mengatasinya dengan serius. Itu sesuatu yang benar-benar hebat, dan aku menghormati serta menghargainya. Penggalangan dana sangat membantu bagi orang-orang yang membutuhkan.
 
 
Tapi kami berbeda. Aku, Hayama, Miura – tidak ada yang bisa kami lakukan dan kami tidak bertekad untuk mengatasinya. Meskipun kami sadar akan hal tersebut, meskipun kami membuat alasan yang tidak ada gunanya, kami ingin orang lain mengetahui perasaan<!--tender--> kami.
 
 
Meskipun kami tidak terlibat, sekarang kami tidak bisa pura-pura tidak tahu lagi setelah kami melihat masalahnya dengan mata kepala kami sendiri. Tapi tidak ada yang bisa kami lakukan. Itulah kenapa setidaknya kami ingin merasa kasihan padanya – hal semacam itu. Perasaan ini begitu indah dan mulia, namun pada saat yang sama itu adalah sebuah alasan yang buruk. Tidak lebih dari sebuah tambahan logis pada masa muda penuh kebohongan yang begitu kubenci itu.<!--It was nothing more than a logical extension of that deceitful youth I so despised.-->
 
 
“Aku…” Seseorang berbicara.
 
 
Dia Hayama, yang menutup mulutnya dengan sangat erat sebelumnya.
 
 
“Aku ingin melakukan sesuatu untuk membantunya jika aku bisa.”
 
 
Itu adalah ungkapan yang begitu sesuai dengan Hayama. Itu adalah kata-kata yang baik hati. Kata-kata itu hanya tidak baik kepada Rumi. Bagi mereka yang dekat dengan Hayama selagi dia mengatakannya, kata-kata itu memang teramat baik hati.
 
 
Kebohongan untuk kebaikan yang tidak akan melukai siapapun. Itu hanya akan membuat harapan menyala sejenak, meski keputus-asaan dibalut di dalam ungkapan yang bertele-tele itu. Kemungkinan bahwa hal itu tidak bisa dilakukannya terletak tak terungkap, dan semua orang bebas untuk mengartikannya sesuai dengan yang mereka inginkan.
 
 
“Bagimu itu mustahil. Begitu bukan?”
 
 
===4-7===
 
Adalah suara Yukinoshita yang menyela kata-kata yang ambigu dan menyamankan tersebut. Di dalam kegelapan malam, cahaya sebuah lentera menerangi raut wajahnya. Selagi dia menyapu rambutnya ke belakang, tatapan dinginnya menusuk Hayama.
 
 
Dia telah membuat pernyataan tersebut seakan itu adalah sebuah fakta yang jelas tanpa ada keraguan, tanpa berusaha meminta penjelasannya dulu. Aku heran apa dia sedang membicarakan tentang apa yang tadi Hayama katakan pada Rumi.
 
 
Selama sesaat, aku melihat sekilas ekspresi pilu Hayama, seakan isi tubuhnya sekarang ini sedang dibakar api. “Itu… mungkin begitu dulu.” Selama sesaat, dia tidak mampu berbicara. “Tapi kali ini, kali ini berbeda.”
 
 
“Aku tidak yakin.” Yukinoshita mengangkat bahunya atas jawaban Hayama. Itu adalah penolakan yang dingin.
 
 
Selagi kami melihat percakapan tak terduga ini, sebuah keheningan yang berat terasa selama semua ini berlangsung.
 
 
Persis seperti yang lain, aku menutup mulutku selagi aku melirik ke arah Hayama dan Yukinoshita. Aku telah merasakannya saat itu ketika Hayama datang ke dalam ruang Klub Servis, tapi sikap keras yang Yukinoshita tunjukkan padanya sekarang berbeda dari dirinya yang biasanya.
 
 
Sikap dingin biasanya itu hanyalah sebuah ungkapan tabiat acuh tak acuhnya, tapi ada suatu rasa keagresifan dalam kata-kata Yukinoshita barusan.
 
 
Jelas sekali ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua, sesuatu yang tidak kuketahui. Tapi yah, cerita yang keren, bro. Aku benar-benar tidak peduli, tapi suasana tidak nyaman ini agak menakutkan. Aduh.
 
 
“Astaga…” Hiratsuka‐sensei menyalakan rokok lain, menarik perhatian pada dirinya. Dengan pelan dan santai, dia menghembuskan panjang-panjang sebelum menghancurkan rokoknya pada asbak dan memalingkan perhatiannya pada Yukinoshita. “Bagaimana denganmu, Yukinoshita?”
 
 
Sebagai balasan pertanyaan tersebut, Yukinoshita meletakkan tangannya pada dagunya. “Ada satu hal yang ingin kupastikan,” katanya setelah berpikir beberapa saat.
 
 
“Apa itu?”
 
 
“Hiratsuka‐sensei, Aku yakin anda mengatakan bahwa ini juga berfungsi sebagai latihan bagi Klub Servis, jadi apa keadaan gadis ini juga bisa dianggap bagian dari aktivitas klub kami?”
 
 
Hiratsuka‐sensei memikirkan pertanyaan Yukinoshita untuk sejenak dan kemudian menyiakannya dengan pelan.
 
 
“…mm. Ya, bisa. Aku menetapkanmu sebagai staf relawan pada acara kemah sekolah ini sebagai bagian dari aktivitas klubmu. Secara teori, masalah ini seharusnya juga termasuk ke dalam kategori tersebut.”
 
 
“Begitu ya…” sahut Yukinoshita, dan dengan itu dia memejamkan matanya.
 
 
Angin yang meniup dedaunan tersebut semakin lama semakin melemah. Itu terlihat seakan hutan itu sendiri berusaha keras untuk mendengarkan suaranya, berupaya untuk tidak melewatkan satupun kata-katanya. Tidak ada yang bersuara; mereka hanya menunggu.
 
 
“Kalau gadis itu meminta bantuan, kami akan memakai segala cara yang kami miliki,” ujar Yukinoshita, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Niat yang teguh dan kaku terletak di balik kata-kata tersebut.
 
 
Kamu terlalu keren, Yukinoshita. Kalau aku seorang perempuan, aku pasti akan tergila-gila dengannya sekarang. Maksudku, lihatlah, Yuigahama dan Komachi sudah terpikat olehnya.
 
 
Bahkan jawaban itu kelihatannya memuaskan Hiratsuka-sensei, karena dia mengangguk dengan antusias. “Jadi apa kamu rasa dia sedang mencari bantuan?”
 
 
“…itu aku tidak tahu.”
 
 
Benar, dia tidak meminta apapun dari kami. Kami tidak memastikan keinginannya dengan jelas.
 
 
Yuigahama menarik lengan baju Yukinoshita. “Kamu tahu, Yukinon, aku tidak merasa gadis itu bisa membicarakannya meskipun dia ingin membicarakannya.”
 
 
“Maksudmu tidak ada yang akan mempercayainya atau semacamnya?” tanyaku.
 
 
Yuigahama terlihat sedikit ragu sebelum dia menjawab. “Ya, bisa karena itu juga, tapi… Rumi‐chan sendiri yang bilang bahwa ada banyak orang yang dikucilkan. Dia sendiri juga melakukannya saat itu. Kurasa dia tidak akan tahan kalau cuma dia saja yang meminta bantuan. Aku tidak merasa cuma Rumi-chan yang salah – semua orang juga seperti itu… meskipun mereka mau membicarakannya dan mau berteman lagi, mereka hanya tidak dapat menemukan momen yang tepat. Tapi mereka masih merasa bersalah…”
 
 
Yuigahama memotong kata-katanya di sana. Sekilas, dia terlihat berusaha untuk mengendalikan nafasnya, dan kemudian dia tertawa malu-malu untuk mengganti topiknya.
 
 
“Aha, itu agak sedikit… er, sangat memalukan untuk dikatakan. Maksudku, perlu keberanian besar untuk berbicara pada seseorang yang diabaikan orang lain.”
 
 
Yukinoshita menatap senyuman Yuigahama, dengan tatapan riang di matanya.
 
 
Dalam keadaan biasa, memang akan perlu keberanian untuk berbicara dengan seorang penyendiri. Awalnya Yuigahama merasa gugup untuk memasuki ruang klub. Namun dia mengatasi rasa gugupnya dan berbicara dengan Yukinoshita dan aku.
 
 
Mungkin itu yang membuatnya terlihat mempesona di matanya.
 
 
“Tapi tahu t'dak, mungkin kelas Rumi-chan harus terus mengucilkannya? Kalau aku membantahnya, aku akan berpikir, aku mungkin akan dikucilkan juga, jadi aku lebih baik membuat jarak di antara kami sekarang atau aku meminta beberapa saat untuk siap melakukannya, dan kemudian aku akan berakhir seperti itu juga… oh tiiiiidak! Aku mengatakan sesuatu yang benar-benar buruk barusan, bukan?ǃ Apa aku akan baik-baik saja?!”
 
 
Yuigahama tersentak kaget<!--jumped in alarm--> dan melirik pada semua orang di sekelilingnya untuk melihat reaksi mereka. Tapi tidak ada satu orang pun yang membencinya. Semua orang menunjukkan senyum pada bibirnya yang memperlihatkan perasaan yang rumit – senyuman getir dan keterkejutan serta rasa sentimentil.
 
 
Yuigahama benar-benar menabjubkan. Kalau aku seorang perempuan, aku yakin aku ingin menjadi temannya.
 
 
“Kamu akan baik-baik saja. Kurasa itu sangat sesuai dengan sifatmu<!--You’ll be fine. I think that was very characteristic of you-->…” sahut Yukinoshita dengan pelan dalam bisikan. Meskipun suaranya sangat pelan, suaranya itu adalah sejenis suara yang memperlihatkan perasaan yang mendalam.
 
 
Yuigahama kelihatannya merasa malu mendengar apa yang Yukinoshita katakan, karena wajahnya merona dan dia terdiam.
 
 
Hiratsuka‐sensei tersenyum pada Yukinoshita dan Yuigahama. “Apa ada orang yang tidak setuju dengan kesimpulan Yukinoshita?” Dia menunggu bantahan dan memalingkan kepalanya ke belakang dengan perlahan, melihat reaksi semua orang.
 
 
Tapi tidak ada yang bersuara untuk membantah. Kalau aku harus mencari alasannya, aku rasa akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa tidak ada yang bisa bersuara. Mengatakan omong kosong seperti “Macam aku mau bantu saja<!--As if I’m gonna help someone out-->! Aku kembali ke kamarku dulu!” itu sama saja minta untuk dihajar.
 
 
“Bagus. Kalau begitu, sekarang aku akan serahkan pada kalian untuk memikirkan apa yang akan kalian lakukan. Aku mau tidur dulu.”
 
 
Dan dengan itu, Hiratsuka-sensei menahan kuap dan berdiri dari tempat duduknya.
 
 
===4‐8===
 
Beberapa menit setelah semua sepakat memutuskan bahwa kami akan menangani masalah ini, percakapannya mulai mengupas masalahnya. <!--the conversation started unravelling at the seams.-->
 
 
Topik diskusinya: “Bagaimana kami bisa membuat Tsurumi Rumi bisa membaur dengan temannya<!--How can we make Tsurumi Rumi fit in-->?”
 
 
Miura yang pertama memulai percakapannya. “Ay'lah, dia itu lumayan imut, jadi dia sebaiknya bergaul dengan gadis imut yang lain, b'nar tidak? Macam, sepatah kata di sini, sepatah kata di sana, dan kamu sudah jadi teman baiknya. Tidak payah, kan?”
 
 
“Benar, Bu. Kamu rajanya, Yumiko!”
 
 
“Heh, Iya, kan?”
 
 
Wow, Miura, wooooow. Begitulah logika orang super elit. Dan bagi pak Tobe untuk ikut setuju dengannya, pak, dia benar-benar baik sekali. Logika yang hebat, salut aku.
 
 
“Ka-kamu bisa melakukannya hanya karena kamu Yumiko.” Seperti yang bisa kalian duga, Yuigahama tidak setuju.
 
 
Namun, itu menjelaskan beberapa hal. Jadi salah satu alasan Miura bergaul dengan Yuigahama itu adalah karena tampangnya. Ya, aku harus mengakui Yuigahama itu bagus untuk cuci mata. Dan kurasa dia memang memiliki tubuh yang elok. Tapi karena dia itu bloon yang tak berdaya, kamu harus hati-hati dengannya.
 
 
“Dia mungkin mengutarakannya dengan buruk, tapi apa yang Yumiko katakan tentang membuat fondasi itu benar. Namun, dalam keadaan seperti ini, mungkin sulit untuk membuatnya untuk berbicara terlebih dulu<!--in the first place-->.” Hayama membela Miura sekaligus menyanggahnya, dengan menampilkan kemampuan menolak secara diplomatisnya.
 
 
Miura sekilas menunjukkan wajah yang masam, tapi dia berpura-pura setuju dengannya. “Oh, benar,” katanya, tidak meneruskannya lagi.
 
 
Selanjutnya, Ebina-san yang mengangkat tangannya, ekspresinya penuh percaya diri.
 
 
“Silahkan, Hina.” Hayama memanggilnya dengan namanya.
 
 
Tunggu, siapa? pikirku.
 
 
Totsuka menarik kausku. “Hina itu nama depan Ebina‐san. Namanya ditulis dengan karakter kanji untuk tuan putri dan sayur.”
 
 
Kebingunganku pastilah terlihat di wajahku karena Totsuka membisikkan jawabannya ke dalam telingaku. Nafasnya terasa geli dan memiliki bau yang harum. Astagaǃ Kenapa seorang laki-laki bisa begitu mirip dengan setangkai bunga?
 
 
Nama lengkap Ebina‐san adalah Ebina Hina. Chi bisa mengingatnya<ref> Referensi Chobits. Ini yang dikatakan Chi ketika dia mengingat sesuatu selagi dia menjadi robot yang semakin berguna. </ref>. Tidak seperti aku membutuhkannya, sungguh.
 
 
Ebina‐san mengucapkan isi pikirannya dengan kalem. “Tidak masalah. Dia akan baik-baik saja kalau dia hidup untuk hobinya. Sekali kamu mencurahkan perhatianmu pada hobimu, dengan sendirinya kamu akan pergi ke acara-acara dan lingkaran pertemananmu akan bertambah, kamu tahu? Aku yakin dia akan menemukan tempat yang dapat sungguh-sungguh dianggap sebagai rumahnya. Dia akan menyadari bahwa sekolah itu bukanlah akhir dunia. Dan kemudian dia akan belajar untuk bersenang-senang melakukan hal yang lain.”
 
 
Aku terkejut; itu adalah jawaban yang dipikir lebih matang-matang dari yang kukira. Terutama bagian tentang sekolah bukanlah akhir dunia itu terdengar benar bagiku. Ketika kamu SD dan SMP, duniamu berputar mengelilingi sekolah dan rumahmu. Itulah kenapa ditolak di tempat tersebut terasa seperti akhir dunia. Tapi Ebina-san berkata bahwa bukan begitu adanya, bahwa kamu perlu mencari suatu tempat di luar sekolah dimana kamu dapat bersikap apa adanya dan memandang ke depan sana.
 
 
Ah, sekarang aku mengerti. Terjun ke komunitas lain dan kamu bisa menemukan tempatmu berada, dan dari sana duniamu akan berkembang. Dan ditambah lagi, dari caranya berbicara, Ebina-san kelihatannya memahaminya lewat pengalaman pribadinya.
 
 
Ebina‐san kemudian melanjutkannya lagi.
 
 
“Aku mendapat teman lewat yaoiǃ Tidak ada yang namanya gadis yang membenci homo<ref> Kutipan oleh Ohno, salah satu karakter fujoshi dari komik manga Genshiken. </ref>ǃ Jadi Yukinoshita, maukah kamu menjadi‐”
 
 
“Yumiko, pergi ambilkan teh dengan Hina,” sela Hayama dengan cepat.
 
 
Miura berdiri dan mencengkram lengan Ebina-san. “Oke-oke. Ayo, Ebina, kita pergi dulu.”
 
 
“Ahhh! Tapi aku sedang dalam proses mengarahkannya ke jalan yang benar!” Ebina‐san memberontak dengan sia-sia, hanya untuk diketok kepalanya dengan tangkas dan diseret ke dalam kegelapan.
 
 
Yukinoshita melihatnya menghilang ke kejauhan, ekspresinya kaku dan penuh teror.
 
 
“Aku heran apa dia mencoba menyarankanku sesuatu…”
 
 
“Kamu lebih baik tidak tahu, Yukinon…” Yuigahama menjawabnya dengan agak letih. Oh begitu, jadi Ebina-san juga mencoba mendakwahnya juga.
 
 
Belum disebut kalau meskipun kamu memang, katakan saja, berteman lewat yaoi, kamu akan perang pasangan, dan jika kamu mencoba mendekati seseorang yang kamu kira seorang fujoshi, kamu tidak akan pernah sependapat dengannya soal hal-hal otaku wanita. Itu tidak akan indah. Dunia hobi hanyalah tempat lain dimana masalah dan kesialan menantimu.<!--woe betided you.-->
 
 
Setelah itu, beberapa pendapat lain perlahan muncul, tapi tidak ada rencana realistis yang terlihat.
 
 
Tanpa debat yang menstimulasi, jumlah pendapat yang diutarakan juga ikut menurun. Sumber: kelas yang tak bermotivasi. Kenapa mereka hanya mengutarakan pendapat mereka saat mereka menjatuhkan pendapatku? Orang-orang itu mengangkat tangannya jauh lebih sering dari yang mereka lakukan di kelas, sialan.
 
 
Selama momen keheningan yang canggung tersebut, Hayama mengutarakan satu hal seakan dia baru saja menyadari sesuatu.
 
 
[[Image:YahariLoveCom_v4-151.jpg|thumb|200px]]
 
 
“…kecuali kita bisa memikirkan cara untuk membuat semua orang akur, apa kita akan pernah bisa memecahkan akar masalahnya?” tanyanya.
 
 
Tanpa sadar aku tertawa sinis. Hayama menatap keras padaku.
 
 
Tapi hanya kali ini aku tidak akan mengalihkan pandanganku atau mengutarakan sesuatu yang tidak ada hubungannya<!--noncommittal-->. Dengan kepercayaan-diri yang penuh di sisiku, aku mencemooh ide Hayama di depan wajahnya.
 
 
Seperti yang kuduga, orang ini tidak paham akar permasalahannya.
 
 
Kata-kata semua orang akur itu sendiri adalah tersangka utamanya. Itu adalah sebuah frasa yang terkutuk.
 
 
Kata-kata tersebut menekankan masalahnya. Kata-kata itu adalah Geass<ref> Referensi terhadap kekuatan supranatural dalam Code Geass </ref>.
 
 
Itu adalah sebuah hukum jahat yang dipaksakan oleh para guru di dalam sebuah dunia yng berpikiran sempit. Demi menjalankan hukum tersebut, mereka memaksa menerapkan taktik yang dikenal sebagai “menutup sebelah mata” pada perselisihan yang pasti akan muncul. Tampak pada cara mereka menangani tipe-tipe kepribadian yang tidak mengikuti norma umum. Ada kejadian dimana kamu harus berurusan dengan tipe yang kamu benci juga. Dalam situasi seperti itu, jika kamu mengatakan “aku benci kamu” atau “Aku tidak ingin berurusan denganmu” pada mereka, keadaannya mungkin bisa berubah. Ada juga kemungkinan keadaannya dapat membaik atau dapat mengadakan perundingan. Tapi semua itu akan mustahil jika kamu menyimpan masalahmu dan hanya menutup-nutupi masalah-masalah yang muncul.
 
 
Itu adalah tanda setuju terhadap kebohongan malas yang dikenal sebagai ‘tone policing’<ref> sebuah taktik antidebat dimana bukannya membahas inti masalah debat, malah menyerang nada/gaya seseorang dalam menyanggah/berpendapat </ref>. Itulah kenapa aku menjatuhkan pendapat Hayama.
 
 
Bukan aku saja yang melakukannya.
 
 
“Itu mustahil. Tidak mungkin itu bisa terjadi.”
 
 
Kata-kata Yukinoshita yang sangat kalem, ditambah dengan nada suaranya yang dingin, menghancurkan pendapat Hayama lebih dari yang bisa dilakukan cemoohanku.
 
 
Dengan helaan yang pendek dan singkat, Hayama memalingkan pandangannya.
 
 
Miura, melihat penampilan ini, berteriak untuk membalasnya. “Hei, Yukinoshita‐san! Ada apa denganmu?”
 
 
“Apa yang kamu maksud?” Yukinoshita membalas nada kasar Miura dengan kekaleman yang sempurna.
 
 
Itu hanya membuat amarah Miura makin bertambah. “Aku membicarakan tingkahmu. Semua orang di sini berusaha untuk akur, jadi kenapa kamu harus mengatakan omong kosong itu? Aku benar-benar tidak suka kamu sedikitpun, tapi aku menahannya karena ini seharusnya sebuah perjalanan yang menyenangkan.”
 
 
“Te-tenang, tenang, Yumiko.” Yuigahama berusaha untuk menenangkan Miura, yang bergetar dengan amarah.
 
 
Tapi Yukinoshita, di sisi lain, sekalem air. <!--But Yukinoshita, on the other hand, was cool as a cucumber.--> “Wah, kamu mengejutkannya memiliki kesan yang baik mengenaiku<!--Oh my, you had a surprisingly high opinion of me-->. Namun, aku membencimu.”
 
 
“Ka-kamu hentikan juga, Yukinon, Yukinon!” Yuigahama, yang terjepit di antara mereka berdua, kali ini berusaha mematikan api amarah Yukinoshita. Perlu keberanian, nakǃ Kamu seorang pemadam kebakaran cilikǃ <ref> Ini kalimat dari komik manga Firefighter! Daigo of Fire Company M. </ref>
 
 
Tapi cara normal untuk mematikan api belum tentu benar. Dari apa yang kudengar, menyiramkan air pada api yang ditimbulkan zat kimia malah membuatnya berkobar.
 
 
Ini salah satu saat tersebut.
 
 
“Excuse me, Yui?” Sang Ratu Api membelalakan matanya.
 
 
“…kamu berada di pihak siapa?” seru Sang Penyihir Es, nadanya dingin.
 
 
Kamu bisa lihat mereka itu paling kuat ketika kamu menggabungkan mereka berdua. Apa ini – Medoroa? Bahkan Sang Raja Iblis Agung akan berada dalam bahaya. <ref> Dalam komik manga sampingan Dragon Questː The Adventure of Dai, Medoroa adalah mantra yang menggabungkan api dan es. Sang Raja Iblis Agung Vearn adalah orang jahatnya. </ref>
 
 
Yuigahama menciut dengan ketakutan yang tidak wajar. Dia bergetar hebat.
 
 
Oh pak, menakutkan sekali.
 
 
“Teh ini enak sekali, Totsuka. Itu mengingatkanku, aku heran apa yang sedang dilakukan Zaimokuza sekarang. Aku heran apa dia baik-baik saja.”
 
 
“Hachiman, hadapi kenyataan…”
 
 
Tidak mungkin, itu terlalu menakutkan. Jangan buat aku menghadapinya.
 
 
Yukinoshita dan Miura menatap tajam satu sama lain. Tapi karena ada tiga orang yang duduk di antara mereka, kelihatannya situasi ini tidak akan lebih memburuk lagi, syukurlah. Memisahkan anak yang tidak akur itu sangat manjur, sungguh. Karena mereka berada di ujung berlawanan di bangku yang sama, mata mereka juga tidak bisa bertemu.
 
 
Dari posisinya di dalam zona pembatas, Komachi berbicara seakan dia mendadak terpikirkan sesuatu. “Tapi dari yang kupantau darinya, Rumi-chan kelihatannya memiliki kepribadian yang agak blak-blakan, jadi meskipun kita meletakkannya dalam sekelompok siswi SD lain, akan sulit baginya untuk membaur. Bukankah kamu rasa dia akan bisa akur dengan tipe-tipe orang yang suka pamer jika dia sedikit lebih tua?”
 
 
Seperti yang Komachi katakan, Rumi mungkin tipe orang yang akan menikmati kehidupan sekolahnya kelak di masa depan. Tidak diragukan lagi para lelaki akan heboh karenanya, meskipun hubungannya dengan gadis lain tidak pernah membaik. Beberapa gadis mungkin akan menyadari hal itu dan ingin berteman dengannya. Sial, memikirkan tentang ini membuat darahku mendidih.
 
 
Hayama mengangguk setuju dengan apa yang Komachi katakan. “Ya, dia memang memberikan kesan agak dingin atau mungkin pendiam.”
 
 
“Dingin, katamu? Bukankah dia cuma bersikap angkuh? Tingkah merendahkan orangnya itu yang membuatnya dikucilkan. Seperti seseorang yang kita kenal.” Miura tertawa sinis.
 
 
“Kamu cuma memiliki delusi persekusi,” kata Yukinoshita dengan acuh tak acuh. Itu tidak terdengar seakan dia hanya sedang membicarakan soal Miura. “Kamu sadar atas inferioritasmu, jadi kamu merasa seakan kamu dipandang rendah, bukankah benar begitu?”
 
 
Miura membersut. “Lihatlah kamu ini, karena kamu mengatakan omong kosong seperti itu.” Dia berdiri dari bangku seperti sebuah roket.
 
 
“Yumiko, hentikan.”
 
 
Suara rendah Hayama menghentikan langkah Miura.
 
 
Hilang sudah candaannya sebelumnya, digantikan tekanan keras<!--Gone was his glib joking from before, replaced by steely pressure-->. Terus terang saja, dia agak menakutkan…
 
 
“Hayato… hmph!”
 
 
Selama sesaat, Miura kelihatan terkejut atas sikap Hayama, tapi dia mundur tanpa perlawanan. Setelah itu, dia menolak untuk membuka mulutnya sama sekali.
 
 
Keheningan yang suram terus berlanjut. Pada akhirnya, tidak ada orang yang berniat berbicara, dan semua yang kami putuskan adalah bahwa kami akan memecahkan masalahnya keesokan harinya. Yah, kurasa beginilah cara kerja politik.
 
 
Namun, kamu tahu kata orang. Kalau bahkan kami anak SMA saja tidak bisa akur, itu jelas di luar kemampuan kami untuk membuat anak SD itu semua untuk akur.
 
   
<noinclude>
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
|-
 
| '''Mundur ke''' [[Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 3|Bab 3]]
 
| '''Kembali ke''' [[Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteru (Indonesia)|Halaman Utama]]
 
| '''Lanjut ke''' [[Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 5|Bab 5]]
 
|-
 
|}
 
   
 
=Catatan Translasi=
 
=Catatan Translasi=

Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see Baka-Tsuki:Copyrights for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource. Do not submit copyrighted work without permission!

To protect the wiki against automated edit spam, we kindly ask you to solve the following CAPTCHA:

Cancel Editing help (opens in new window)