Oregairu (Indonesia):Jilid 6 Bab 4
Bab 4: Yukinoshita Haruno Mendadak Menyerang.[edit]
4-1[edit]
Kabar pelantikan Yukinoshita sebagai wakil ketua komite panitia terdengar beberapa hari setelah kunjungan Sagami ke Klub Servis.
Sebelum dimulainya rapat reguler hari ini, Sagami mengumumkannya dengan riang.
Dengan persetujuan awal Atsugi serta pengakuan Meguri-senpai atas kemampuan Yukinoshita, pengumuman itu mendapatkan reaksi yang rata-rata positif.
Itu adalah pelantikan yang sudah dinanti-nanti dan tepat pada waktunya.
Seksi yang bertanggung jawab atas “publikasi dan dokumentasi” tempatku berada akan kehilangan satu anggota, tapi itu adalah tugas yang memang tidak memiliki banyak pekerjaan. Itu dinilai bahwa peralihan ini tidak akan menyebabkan masalah yang besar. Jadi, boleh aku berhenti datang kemari…? Pemikiran itu melintasi benakku untuk sejenak, tapi itu karena pekerjaan ringan di seksi inilah sehingga aku bisa tidak ikut berpartisipasi di kelasku. Jangan katakan itu menyenangkan.
Segera setelah pelantikannya, Yukinoshita langsung mulai bekerja.
Setelah menyusun jadwal baru dan memberitahukannya pada komite, dia meminta semua seksi untuk menyerahkan laporan perkembangan harian mereka dan memeriksanya lagi.
Pekerjaan terus berjalan tanpa menunda-nunda.
Di sisi timur dimana periklanan publik sedang mendapat kendala soal tempat untuk menaruh poster mereka, mereka diberikan arahan setelah memperhitungkan alur lalu lintas dari sebuah peta, sementara di sisi barat dimana humas sedang mendapat masalah untuk mengumpulkan organisasi-organisasi sukarelawan, penghargaan lokal dibuat dan diserahkan.
Seorang buruh sepertiku tidak paham sedikitpun tentang detail-detail pekerjaan para eksekutif, tapi aku tahu pasti bahwa Yukinoshita menuangkan usaha yang mengesankan ke dalam pekerjaannya.
Jadi, Sagami Minami memang secara resmi adalah ketuanya, tapi tidak sulit untuk membayangkan Yukinoshita-lah yang sebenarnya menangani seluruh kewajibannya.
Situasinya berkembang dengan baik.
Sementara itu, rapat reguler yang telah digelar berulang kali sudah hampir dimulai.
Seperti yang terjadwal, jam empat sore.
Sagami melihat sekilas pada anggota-anggota yang berkumpul di ruangan konferensi itu dan memulainya dengan kalimat pembuka. “Baiklah, kita akan memulai rapat regulernya.”
Semua orang memberi “salam hormat” dan membungkuk.
Dimulai dengan laporan perkembangan dari setiap seksi.
“Oke, periklanan publik, kalian mulai dulu.”
Ketua seksi tersebut berdiri, siap untuk melaporkan status perkembangan mereka sekarang ini.
“Kita sudah menyelesaikan 70% jadwal acara kami, dan mengenai poster, kami sudah hampir setengah siap.”
“Sungguh? Rasanya kita sudah sesuai jadwal.” Sagami mengangguk puas.
Tapi yang mengikuti kata-katanya, seakan sedang menghisap kehangatan itu, adalah sebuah suara dingin.
“Tidak. Itu agak sedikit telat.” Ruangan itu mulai diisi bisikan yang ribut mendengar kata-kata tak terduga itu. Tapi, meski begitu, pemilik suara itu, Yukinoshita Yukino, tidak menghiraukannya maupun merasa risih, dan seakan sedang menegur mereka, dia melanjutkan kata-katanya. “Festival Budaya tinggal tiga minggu lagi. Kalau kita mempertimbangkan bahwa pengunjung kita perlu menyesuaikan jadwal mereka, akan ada masalah kalau kita masih belum menyelesaikan semua itu. Apa kalian sudah selesai bernegosiasi untuk lokasi poster serta mengunggahnya pada halaman beranda situs?”
“Belum…”
“Tolong dipercepat. Mengesampingkan mereka yang bekerja, siswa-siswa SMP ingin mencoba ujian ke mari dan wali mereka biasanya sering-sering memeriksa halaman berandanya.”
“Y-Ya.” Tertekan olehnya, kepala periklanan duduk di atas kursinya.
Keheningan menyelimuti konferensi tersebut. Sagami, yang duduk di sampingnya, juga kelihatannya tidak memahami apa yang baru saja terjadi. Mulutnya menganga, dia melotot pada Yukinoshita.
“Sagami-san, tolong dilanjutkan.” Yukinoshita mendesaknya dan rapat itu akhirnya dimulai lagi.
“Ah, oke. Kalau begitu, silahkan humas.”
“…Ya. Sekarang ini, ada sepuluh organisasi sukarelawan.” Kepala seksi itu melaporkan dengan segan.
Sagami, juga merasa canggung, mengangguk. “Mereka bertambah, huh? Apa itu karena penghargaan lokal itu, ya. Selanjutnya…”
“Apa itu cuma untuk yang di dalam sekolah? Apa kalian sudah menanyakan dengan organisasi daerah? Tolong dilihat kembali catatan dari tahun lalu dan coba menghubungi mereka. Selama kita masih memegang prinsip terhubung dengan komunitas lokal, kita harus mencegah menurunnya organisasi yang berpartisipasi. Dan juga, apa kalian sudah selesai membagikan waktu panggung? Bagaimana koordinasi mengenai perkiraan jumlah pengunjung dengan staf di belakang panggung? Tolong kumpulkan semua itu ke dalam sebuah tabel jadwal dan serahkan kemari.”
Pada saat situasinya berusaha untuk beranjak maju, pertanyaan yang sulit dilontarkan. Situasinya sama sekali tidak diperbolehkan untuk maju dengan setengah-hati.
Seperti itulah, dari awal sampai akhir, rapat terus melaju, sampai ke seksi kesehatan dan danus. Pada saat itu berlangsung, Yukinoshita meninjau detail-detailnya dan memberikan arahan.
“Selanjutnya, pubdok.”
Ketika aku menyadarinya, Yukinoshita sudah mulai memimpin kelanjutan rapat tersebut.
“Tidak ada yang penting.” Ketua pubdok menjawab dengan singkat. Sebenarnya, kami para pubdok akan mendapatkan pekerjaan paling banyak pada hari-H Festival Budaya, jadi pada saat ini, jarang ada pekerjaan yang mesti dilakukan.
Itu adalah sesuatu yang ketua Sagami pahami, dan setelah melihat ke sekeliling ruangan, dia mencoba untuk mengakhiri rapat tersebut. “Oke, untuk hari ini, sebaiknya kita sudahi di sini…”
“Pubdok, tolong pastikan untuk menyerahkan tabel jadwal di hari acara dan serta daftar peralatan yang dibutuhkan. Mengenai perekaman, ada batasan untuk peralatannya, jadi kalau organisasi sukarelawan juga berencana untuk merekam, tolong pertimbangkan bahwa ada kemungkinan jadwal kalian bentrok, jadi tolong diskusikan itu dengan mereka sampai peralatan itu diterima.”
“Ya…”
Yukinoshita tanpa segan-segan mengarahkannya meskipun dia siswa kelas dua belas. Berkat itu suasananya menjadi sensitif.
Tapi seharusnya itu akhirnya. Laporan perkembangan dari setiap seksi telah diberikan. Semua orang menghela lega, tapi wakil ketua masih belum berusaha untuk mengakhirnya.
“Baru ada lagi… Apa tidak masalah kalau OSIS menangani tamu-tamu yang diundang?”
“Uh huh, tidak masalah.” Masih berkonsentrasi, Meguri-senpai segera menjawab.
“Kalau begitu, kita akan serahkan itu di tangan kalian. Kalau kalian bisa memperbaharui daftar tamu-tamu tahun lalu, itu akan sangat membantu. Mengenai penerimaan pengunjung umum, itu akan menjadi pekerjaan seksi kesehatan… Tolong serahkan daftar tamu yang diundang pada mereka sebelumnya.”
“Oke, siap.” Meguri-senpai mengangguk riang. Dia kemudian menyelipkan kesannya. “Astaga, kamu begitu menganggumkan Yukinoshita-san… Kamu memang adiknya Haru-san.”
“…Tidak, tidak banyak yang kulakukan.” Yukinoshita menunjukkan kerendahan hari pada suara pujian Meguri-senpai.
Itu memang benar. Kemampuan Yukinoshita menggagumkan. Aku benar-benar berpikir bahwa dia itu hebat. Tapi caranya melakukan sesuatu ini entah kenapa meragukan.
Setelah laporan harian, mencari poin-poin masalahnya dan mempertimbangkan solusinya, sudah ada konsensus untuk jadwal mulai dari sekarang. Secara keseluruhan, tidak ada lagi yang perlu didiskusikan hari ini.
Semua orang merasa bahwa rapatnya sudah akan berakhir dan suasananya menjadi santai. Beberapa orang meregangkan tubuh mereka dan mengerang.
Menyadari bahwa dia telah mengambil alih tugas memimpin rapat tersebut, Yukinoshita mengarahkan tatapannya pada Sagami.
“Ketua.”
“Ah, ya. Um, kami juga akan mengandalkan kalian untuk besok. Kerja bagus.”
Setelah menyampaikan kalimat penutupnya, anggota komite panitia meninggalkan tempat duduk mereka sambil bergugam “kerja bagus, kerja bagus”.
Aku capek, benar-benar lelah, hari yang panjang, namun itu agak menabjubkan, sungguh, terasa seakan aku benar-benar b’kerja untuk sekali ini.
Suara-suara tersebut dapat di dengar di mana-mana.
Semua orang memberikan pujian pada kebijakan Yukinoshita.
Dia begitu tajam, namun luar biasa sehingga orang-orang yang suka gosip sampai bertanya-tanya siapa sebenarnya ketuanya di sini.
Bahkan seseorang dari OSIS telah mengajukan namanya sebagai kandidat potensial pada pemilihan selanjutnya.
Memang, itulah Yukinoshita Yukino.
Tapi tanpa diragukan lagi, di antara mereka semua, yang paling terpukul adalah Sagami.
Keadaan mereka seharusnya serupa.
Tapi siswi lain di satu angkatan tiba-tiba mengambil alih rapat tersebut.
Yang lain tertinggal selagi yang satu lagi berusaha untuk menutupi celah tersebut.
Kalau Yukinoshita menunjukkan kemampuannya sendirian, maka itu lain cerita.
Tapi, Sagami dan Yukinoshita. Jajaran kesan terhadap mereka telah membuktikan celah yang memisahkan mereka berdua. Itu jelas di mata semua orang. Untuk memuji Yukinoshita adalah untuk menghina Sagami.
Selagi Yukinoshita memilih untuk tetap tinggal dan terus bekerja. Sagami dalam kelompok bertiganya meninggalkan ruangan tersebut seakan mereka sedang melarikan diri dari tempat tersebut.
Sekarang setelah apa yang perlu dilakukan komite panitia telah dibuat jelas, tugas kami seharusnya sudah semakin optimal. Keahlian Yukinoshita pantas untuk dipuji.
Tapi, mungkinkah Yukinoshita sudah menyadarinya?
Bahwa dia tidak bisa menolong siapapun, atau apapun.
4-2[edit]
Selepas sekolah, satu hari setelah amukan luar biasa Yukinoshita, coret itu, Yukinoshita menjadi sangat aktif dalam rapat reguler, di kelas 2-F, di mana Ebina Hina menjadi sangat aktif, maksudku, Ebina Hina luar biasa mengamuk.
“Saaaaalah! Ketika kamu menarik dasi pengusaha, kamu harus bersikap lebih menggoda! Kamu pikir ‘jas untuk sesuatu’ itu apa, huh!?
Jas macam apa itu…?
Dihadapkan pada arahan berapi-api Ebina-san, para lelaki meneteskan air matanya.
Tapi, tidak semua lelaki semenyedihkan mereka.
Di antara mereka ada seseorang yang diberikan keramahan yang hangat.
“Um, bukankah ini sudah cukup…?” kata Hayama, suaranya gelisah karena dikelilingi para gadis.
“Masih belum, masih belum!”
“Yang sesungguhnya baru dimulai!”
Gadis yang mengelilinginya membantahnya dengan antusias.
Kelihatannya, para pemeran sedang di tengah sesi berdandan. Menargetkan pertunjukkan langsung, mereka terus menerus melakukan percobaan. Sagami juga ada di dalam kelompok itu… Yah, memang masih ada sedikit waktu sebelum rapat komite panitia.
Dan Totsuka, dengan tiga gadis yang mendandani rambutnya, benar-benar terpatung.
“Totsuka-kun, kulitmu baaaaaagus sekali.”
“Ya, sayang sekali kalau kamu tidak didandani dengan sedikit make-up.”
“U-Um… Ini cuma latihan, jadi kurasa kita tidak perlu make-up.” Totsuka menolak dengan sangat segan, tapi keimutannya menjadi bumerang baginya.
“Menggunakan make-up juga perlu latihan!”
“Benar sekali!”
Dia malah lebih mengobarkan api semangat gadis-gadis itu. Tubuh Totsuka semakin meringkuk mendengar pernyataan mereka.
“O-Oke… Ku-kurasa begitu. Latihan itu penting, ya.”
Melihat Totsuka terlihat begitu patah semangat membuatnya terlihat sedikit menyedihkan, tapi pemikiran dia akan menjadi lebih imut menahan hasratku untuk menghentikan mereka, kelemahan di dalam hatiku.
Omong-omong, perbedaan perlakukan di antara kelompok-kelompok make-up itu cukup buruk.
Maksudku, di tempat Tobe dan Oooka, gadis-gadis itu menyelesaikan dandanan mereka dalam hanya sekitar lima menit. Kalau untuk ketua kelas, dia menggunakan sebagian besar make-upnya sendiri karena tidak ada orang yang datang membantunya. Ditambah lagi, mungkin karena dia begitu ahli, caranya terlihat begitu terbiasa melakukannya juga membuatku merasa jijik…
Tapi bukan cuma aku yang mengamati sesi mendandan tersebut.
Miura melihat ke arah kelompok Hayama dan membuka mulutnya, terlihat seakan ada sesuatu di dalam benaknya. “Jaaaaadi, apa yang mesti kita lakukan untuk gambar-gambarnya? Bukankah kita, macam, perlu poster? “
Mendengar gugaman itu, Ebina-san berjalan ke arahnya dan mengacungkan jempolnya dengan semangat. “Yumiko, itu bagus! Benar! Kalau kita mau mengumpulkan orang terbanyak untuk sebuah drama musikal siswa, maka kita harus mengunggah gambar pemerannya. Dan kemudian, kita juga harus mempublikasikan detail-detail kecil tentang para pemerannya. Untuk MusikalKecil, kita cuma ingin karya aslinya membawa kita sampai ke satu titik dan membiarkan sisanya ditangani oleh kekuatan para pemeran kita!”
Ada apa dengan singkatan MusikalKecil itu? Dipikir lagi, dari industri mana kamu?
Dengan percakapan Miura dengan Ebina sebagai pemicunya, diskusi kelas beralih ke topik selanjutnya.
“Bagaimana soal kostumnya? Sewa kostum mungkin?”
“Tapi nanti jadi kotor.”
Gadis-gadis itu mengerang, dan seperti sebelumnya, Ebina-san berjalan ke arah mereka. “Tidak, tidak, pangeran kecil paling tidak harus memiliki gambaran visual yang berkesan, jadi kostum yang sudah jadi tidak bisa dipakai. Walau yang lain seharusnya tidak masalah memakai kostum sewaan.”
“Apa itu masalah besar? Tidak banyak orang yang pernah melihatnya…”
“Apa kamu sedang meremehkan penganut karya asli!? Apa kamu ingin dihancurkan di internet!?” Ebina-san menggerutu dan menyatakannya dengan semangat tingg. Kali ini, sebuah suara muncul dari arah lain.
“Mmm, kalau kita menyewa kostum, kita akan terlalu memaksakannya. Dana kita akan nyaris mencukupinya. Jujur saja aku lebih baik memilih untuk menggunakan sisa dananya untuk hal-hal lain, mungkin…”
Selagi Yuigahama menggaruk-garuk kepalanya dengan pulpennya, dia menekan-nekan kalkulator dan mulai menuliskan sesuatu pada catatannya. Kamu sedang bersikap seperti seorang ibu rumah tangga, kamu tahu.
“Tidak bisa kita buat saja?” kata sang Ratu, mendengar dan kemudian menyuarakannya.
Rakyatnya kemudian mulai mempertimbangkannya.
“Apa ada yang bisa menjahit?”
“Aku cuma pernah melakukannya di kelas, jadi.”
Haa, mereka punya jumlah kekuatiran yang seimbang, huh? Aku berdiri di sisi jendela, terkesan, dan aku melihat rambut kuncir kuda yang terus menerus keluar masuk lapangan pandangku.
Dia Kawagoe. Mungkin. Kawashima sedang melirik-lirik ke arah percakapan mereka, menunjukkan tampang penuh minat dari tadi. Aku sedikit terkejut. Aku tidak menduga Shimazaki itu orang yang akan tertarik dengan hal-hal semacam itu.
Mendapati itu agak aneh, aku memutuskan untuk menyelidiki tingkah laku Okazaki dengan lebih cermat, dan kelihatannya kata-kata “buat”, “pakaian”, dan “menjahit” menarik perhatiannya.
Selagi aku berpikir itu begitu tidak sesuai dengan kepribadian Okazaki, aku memanggilnya. “Hei, kalau kamu mau melakukannya, sebaiknya katakan saja.”
“A-Apa-apaan yang sedang kamu katakan!? Macam betul saja aku mau!” Kawasaki mendadak meloncat dari kursinya mendengar suara suka ikut campurku… Jackpot, huh? Jadi jawaban yang benar adalah Kawasaki. Oke, mungkin Okazaki terlalu melenceng.
Walau tidak masalah bahwa aku menebaknya dengan benar, dia mungkin hanya akan menolaknya tidak peduli apapun yang kukatakan. Jika demikian, caranya adalah lewat pintu belakang.
“Hei, Yuigahama.”
“Waaah! Hei!” Kawasaki menarik-narik lengan bajuku, memintaku untuk berhenti. Aku rasa dia sebaiknya berhenti bereaksi seperti itu, karena anehnya itu merangsang sisi sadisku.
“Ada apa?” Yuigahama berjalan kemari dan meletakkan pena merahnya di atas telinganya. Apa kamu itu pak tua di pacuan kuda?
“Kawasaki bilang dia ingin mencobanya.”
“H-Huuuh!? A-apa-apaan yang kamu katakan!? Karena aku tidak bisa membuat sesuatu seperti itu. Sesuatu serumit itu mustahil! Maksudku, aku tidak pernah membuat pakaian apapun sebelumnya… Um, jadi aku hanya akan menganggu…”
Jadi kamu pernah menjahit sesuatu selain pakaian?
Yuigahama menatap ke arah Kawasaki seakan dia sedang merenungkan sesuatu. Kawasaki menggeliatkan tubuh langsing berproporsi indahnya dengan tidak nyaman dan meringkuk. Tatapan Yuigahama berhenti di suatu tempat.
“Hei, apa kamu sendiri yang membuat ikat rambut itu?” tanya Yuigahama, dan Kawasaki mengangguk. “Boleh aku lihat sebentar saja?”
Segera setelah dia selesai mengatakannya, dia mengulurkan tangannya pada rambut Kawasaki. Rambut panjang terikatnya terurai.
Yuigahama, dengan ikat rambut itu di tangannya, menyuarakan kekagumannya. Ikat rambut yang melingkar pada telapak tangannya itu entah kenapa mengingatkanku dengan celana dalam, jadi itu membuat jantungku melompat sedikit.
“Hina. Kemari dulu.”
“Okeeeee.” Ebina-san berjalan kemari setelah dipanggil. Dia mengamati ikat rambut itu dengan penuh minat.
“Itu, dijahit dengan tangan… Tapi, aku juga membuat satu ikat rambut dengan mesin jahit.” kata Kawasaki, dan dia mengeluarkan ikat rambut lain dari kantung jasnya. Ini juga terlihat seperti celana dalam.
“Hoh, hoh… jahitannya sangat rapi, dan warnanya manis… Kamu bisa menjahitnya dengan tangan dan juga bisa memakai mesin jahit… Hebat! Kawasaki-san, kuputuskan memilihmu! Kami akan mengandalkanmu untuk kostumnya~”
“Eh, tung— kamu tidak bisa…” Kawasaki mengikat rambutnya kembali dan menunjukkan ekspresi gelisah dan enggan, setelah diminta dengan cara yang teramat santai.
Berseru “nah, nah” Yuigahama menenangkannya. “Hina tidak juga langsung memutuskannya. Kawasaki, kamu memperbaiki jas dan blusmu dan sebagainya, kan? Kurasa dia memintamu karena dia tahu itu semua.”
…Begitulah Yuigahama. Matanya cukup jeli ketika berbicara soal mengamati orang.
“Ah, oke, eh?” Kawasaki menjawab dengan setengah-hati, dengan ekspresi yang linglung, tapi juga tercengang. Dia mungkin merasa terkejut dan senang bahwa hal-hal yang sepele seperti itu dimengerti oleh mereka.
“Benar! Dengan dana terbatas yang kami miliki, kami harus mencari cara untuk menggunakannya se-efektif mungkin, dan kami kebetulan memiliki teknologi untuk itu. Itulah alasannya aku ingin mempercayakannya padamu. Tidak usah kuatir! Kalau ada masalah yang timbul, aku akan bertanggung jawab!” kata Ebina-san, menepuk dadanya memberitahu dia untuk menyerahkan semua itu pada dirinya.
Dia benar-benar bermasalah karena dia mengejutkannya terdengar masuk akal mempertimbangkan itu dia yang kita bicarakan. Karena dia biasanya menyembunyikan kebijaksanaannya, itu hampir membuatku ingin meragukan apakah kepribadiannya ini bukan hanya suatu akting.
“Kalau begitu, maka, kurasa aku bisa melakukannya…”
Ebina-san mencengkram Kawasaki, yang merona merah, pada bahunya.
“Uh huh, akan kunantikan. Oh dan juga, kita akan memberi tambalan pada pakaian untuk ‘narator’. Kita akan membuatnya terlihat agak lusuh. Kita akan menaruh sedikit noda, noda yang tidak akan menghilang.”
Dengan tawa “gufufu” busuknya, tidak ada sedikitpun kebijaksanaannya yang tersisa. Dipikir lagi, aku sama sekali tidak memahami orang ini…
Setelah memastikan masalah mengenai kostum sudah disebar-luaskan, akhirnya, tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan. Semua orang pergi menyibukkan diri mereka pada tugas mereka masing-masing.
Aku, juga, memiliki kewajiban untuk dikorbankan di komite panitia yang tidak ingin dilakukan siapapun.
Aku berjalan pergi untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Beranjak untuk meninggalkan kelas, Yuigahama melihat gerakanku. Dia melihat ke sekeliling ruangan dan memanggil Sagami. “Sagamin, bagaimana dengan komitenya?”
“Eh? Oh, ya, tidak apa-apa seharusnya.”
“Tapi…”
“…Ah, itu, aku rasanya tidak bisa banyak membantu jadi aku cuma akan menghalanginya, kan?”
“Itu tidak benar. Kamu akan banyak membantu. Tapi pekerjaannya banyak sekali jadi lebih baik untuk membagi beban kerjanya, kurasa.”
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Yukinoshita-san beeeeeegitu handal~ Lagipula, aku harus menulis formulir untuk pertunjukn kelas kita, kan~”
Selagi aku mendengarkan percakapan itu dari balik punggungku, aku dengan perlahan menutup pintunya.
Persis setelah meninggalkan kelas, aku berpapasan dengan Hayama.
“Pergi ke komite?” Hayama sedang menggosok kertas pembersih untuk dandanannya. Dia pastilah kembali dari kamar kecil setelah membersihkannya.
“…Ya.”
“Begitu ya, apa kamu keberatan kalau aku pergi bersamamu?”
“…?” tanyaku dengan hanya ekspresiku saja, “Kenapa? Apa-apaan yang kamu katakan? Maksudku tentu kamu boleh ke sana, tapi kita tidak perlu pergi bersama-sama, kan? Dipikir lagi, kamu tidak perlu pergi, serius. Terserahlah, beri aku alasan, eh?”
Hayama tersenyum. “Formulir untuk organisasi sukarelawan. Aku cuma pergi untuk mengambil beberapa dokumen.”
“Ah, jadi begitu ya.”
Alasan yang lumayan umum bagi Hayama. Dia sangat-sadar bahwa dia adalah orang yang menyolok. Festival Budaya ini juga mencari seseorang seperti itu. Itulah kenapa dia bersusah payah untuk menanggapi hal tersebut.
Aku tidak bertanya apapun lagi, sama halnya dengan Hayama, dan kami meninggalkan kelas. Aku merasakan semacam tatapan yang penuh gairah menusuk-nusuk punggungku, tapi aku mungkin salah. Benarkan? Ebina-san?
4-3[edit]
Kami meninggalkan ruang kelas dan menuju ke ruang konferensi. Walau tidak ada rapat harian ada beberapa pekerjaan untuk pubdok, sangat disayangkan.
Hal lain yang disayangkan adalah di sini cuma Hayama dan aku.
“……”
“……”
Kami tidak begitu banyak bertukar kata.
Dia mungkin merasakan “aura jangan bicara padaku” milikku dan menurutinya. Aku melihat ke arahnya dengan tatapan sekilas, tapi dia sama sekali tidak terlihat begitu risih ataupun khawatir. Biasa saja. Dia bersenandung pada dirinya sendiri, tidak begitu terlalu prihatin dengan kesehatanku.
Dia luar biasa santai.
Kalau aku, aku tidak mendapat kesenangan itu.
Ketika aku sadar bahwa cuma ada aku dan Hayama, ingatan kemah musim panas di Desa Chiba melintasi benakku.
Kata-kata dingin yang dia utarakan malam itu, di dalam kamar gelap itu. Pemikiran itu sendiri bahwa perasaan-perasaan seperti itu ada di dalam Hayama Hayato membuat hawa dingin menjalari sumsumku. Hayama tidaklah menakutkan.
Yang menakutkan adalah fakta bahwa bahkan Hayama itu memiliki perasaan demikian selagi dia menjalani hidupnya.
Orang sesempurna itu, yang melakukan sesuatu dengan baik, dan di mata siapapun dia adalah pria yang hebat dari segala aspek. Hayama itu.
Tidak mampu berkata-kata dari awal sampai akhir, kami berbelok pada sudut lorong tersebut.
Setelah kami sampai ke ruangan konferensi, ada banyak orang di pintu masuk yang mengintip ke dalam ruangan. Apa ada semacam insiden di sini? Meskipun insiden seharusnya tidak terjadi di ruang konferensi itu, tapi di tempat kejadian perkara[1].
“Apa sesuatu terjadi?” tanya Hayama, dengan santai.
Gadis itu berpaling ke belakang dengan jengkel, tapi menyadari bahwa itu Hayama yang bertanya, dia dengan gelisah berkata “um…” selagi dia berusaha untuk menjelaskan situasinya. Tunggu dulu sebentar. Kenapa merona, huh?
Gadis itu mulai berbicara dengan malu-malu, tapi kelihatannya ini akan lebih lama dari yang dibutuhkan. Kalau aku harus mendengarkannya, aku mungkin lebih baik menghemat waktuku dan melihat perkara itu sendiri. Ketika aku meletakkan tanganku pada pintu, penonton yang mengelilinginya membukakan jalan untukku.
Penyesalan segera mengisi diriku segera setelah membuka pintunya. Kamu harus meniru sikap massa.
Riak-riak ketegangan menyapu seluruh ruangan konferensi tersebut.
Beberapa orang berpindah ke sudut dan mulai membentuk kerumunan.
Di pusat ruangan itu ada tiga orang.
Yukinoshita Yukino.
Shiromeguri Meguri.
Dan terakhir, Yukinoshita Haruno.
Yukinoshita dan Haruno-san berdiri saling berhadapan, berjarak tiga langkah, diperkirakan dari posisi mereka. Meguri-senpai berada di belakang Haruno-san dengan gugup.
“Nee-san, kenapa kamu datang kemari?” tanya Yukinoshita, menggunakan nada yang keras dan menginterogasi.
“Oh ay’lah, aku datang kemari karena muncul pengumuman bahwa ada penerimaan kelompok sukarelawan. Juga sebagai OG dari klub orkestra.”
OG… awalnya kupikir dia sedang membicarakan tentang Super Robot [2], tapi kurasa bukan itu. Mungkin dia sedang mengacu pada daging Australia [3], tapi tentu saja bukan itu juga. Kurasa maksudnya old girl? Hei, jangan mengejek Hiratsuka-sensei!
Meguri-senpai memaksakan dirinya di antara mereka berdua. “Ma-maafkan aku, aku yang memanggilnya. Kami kebetulan bertemu di kota, dan jadi, karena sudah lama tak berjumpa, kami memutuskan untuk berbicara sebentar, dan itu terlintas di benakku bahwa kita agak kurang organisasi sukarelawan, jadi…”
Bertemu Yukinoshita Haruno, dari semua orang, karena kebetulan itu mustahil. Itu karena dia bisa membuatku berpikir seperti itulah yang membuat dia menakutkan.
“Yukinoshita-san, aku yakin kamu tidak tahu karena kamu masih belum masuk kemari, tapi Haru-san sewaktu tahun ketiganya ikut ke band sukarelawan. Dia benar-benar menabjubkan! Jadi aku cuma berpikir sebaiknya aku mengundangnya saja…” kata Meguri-senpai, melihat ke arah Yukinshita dengan santun, bertanya padanya, “Bagaimana kedengarannya?”
“Aku tahu itu… Aku ada di sana dan melihatnya. Tapi…” Yukinoshita menundukkan matanya pada lantai, mengatupkan mulutnya dengan kuat. Dia tidak bertatapan dengan pandangan gelisah Meguri-senpai. Alhasil, keheningan yang singkat menyelimuti mereka.
Haruno-san tersenyum dengan wajah tersipu-sipu dan masuk ke dalam. “Ahaha, Meguri. Bukan begitu. Itu cuma untuk bersenang-senang. Tapi aku berencana untuk melakukannya dengan lebih serius tahun ini. Aku cuma ingin tahu apa aku bisa mendapatkan tempat untuk kadang-kadang berlatih di sekolah… Tidak apa-apa, kan? Yukino-chan. Maksudku kamu juga kurang sukarelawan~” Berusaha untuk memberikan desakan terakhir, Haruno-san mengenggam bahu Yukinoshita. “Aku cuma ingin melakukan apa yang kubisa untuk adik manisku, Yukino-chan, begitu~”
“Jangan bercanda… Sedari awal, nee-san, kamu,” Yukinoshita menepis tangannya, melangkah menjauh, dan melotot padanya.
“Aku? Aku apa?” Haruno-san menerima tatapan Yukinoshita secara langsung tanpa berpaling. Senyuman yang dia tampilkan begitu manis, namun dengan melihatnya saja membuat lututku ingin menyerah.
“…Seperti itu, lagi…” Yukinoshita mengunyah bibirnya dan mengalihkan pandangannya. Pandangan yang dia alihkan kemudian berpapasan dengan mataku.
“…!” Dia juga dengan pelan berpaling dariku. Dia mungkin sedang menatapi lantai yang sama.
“Oh? Hikigaya-kun! Hyahalo!” Menyadariku, Haruno-san memberiku sapaan yang semangatnya tak terhingga. Apa-apaan dengan sapaan itu, apa kamu dari Century’s End[4]?
“Haruno-san…” Hayama, yang telat masuk, berdiri di sampingku.
“Hai, Hayato.” Haruno-san mengangkat tangannya dengan pelan.
Hayama mengangguk singkat sebagai balasannya. “Ada apa?”
“Aku cuma berpikir aku ingin mengajukan diri untuk klub orkestra. Itu akan menarik kalau kita mengumpulkan semua OB dan OG dan sebagainya [5]. Terdengar menyenangkan, bukan?”
“Kamu melakukan apapun yang terpikirkan olehmu lagi seperti itu…” kata Hayama dengan pasrah.
Aku sudah tahu mereka berkenalan, tapi ada sesuatu yang tidak nyaman mengenainya. Mungkin itu karena nada mereka.
Santai, huh…? Aku melihat ke arah Hayama maupun Haruno-san.
Haruno-san tersenyum masam ketika dia menyadari itu. “Mm? Aah, Hayato itu seperti adik bagiku. Kami sudah saling mengenal dari dulu. Kamu juga boleh santai saja denganku, Hikigaya-kun, tahu? Kalau begitu, apa sebaiknya aku memanggilmu Hachiman? Hachiman?”
“Ahaha.” Aku menolak gagasannya itu dengan tawa datar. Aku mohon dengan sangat kamu jangan pernah melakukan itu. Hanya orangtuaku dan Totsuka yang diizinkan untuk memanggilku dengan nama Hachiman.
Setelah merasa puas dengan kenakalan singkatnya, Haruno mengembalikan pandangannya pada Yukinoshita. “Hei, Yukino-chan, aku boleh datang, kan?”
“Lakukan saja apapun yang kamu inginkan… Aku juga bukan orang yang berhak memutuskannya.”
“Huh? Sungguh? Kupikir sudah pasti kamu ketuanya. Kamu tidak direkomendasikan oleh semua orang?”
Sebenarnya, ada, dan alasannya itu karena dia adalah adik Yukinoshita Haruno.
Haruno-san tergelak dan tersenyum, seakan dia telah mengetahui semua kebenarannya. Yukinoshita memalingkan pandangannya.
“Jadi siapa ketuanya? Meguri… atau tidak karena dia kelas dua belas. Hikigaya-kun?”
Itu bukanlah lelucon yang lucu jika dia sedang mencoba untuk melucu. Aku hanya menjawab dengan mengangkat bahuku.
Dengan ketegangan tidak biasa yang terus berlanjut, pintu ruangan konferensi tersebut dihempas tanpa segan-segan.
“Maaaaaaaf, aku tadi pergi ke kelas dan jadinya telat!” Bergegas ke dalam ruagan itu tanpa sedikitpun tanda-tanda rasa malu adalah Sagami Minami.
Yah, tidak ada rapat hari ini, dan pada saat ini, kami sedang bekerja sesuai jadwal kerjanya. Aku bisa memaklumi kenapa dia jadi lebih santai.
“Haru-san, gadis ini ketuanya.” kata Meguri-senpai.
Pandangan Haruno-san terkunci pada Sagami dengan rasa penasaran.
Mata itu lagi. Mata iblis itu yang menilai hargamu dengan dingin.
“…Ah, saya Sagami Minami.” suara Sagami memudar, tertekan oleh pancaran pada mata Haruno-san.
“Hmmm…” Haruno-san tidak terlihat tertarik sedikitpun, namun dia menghembus pelan dan melangkah lebih dekat. “Ketua komite panitia Festival Budaya telat? Ditambah lagi, kamu malah pergi ke kelas? Uh huuuh…”
Nadanya itu mengerikan. Suara menekan yang terdengar seakan itu diperas dari lubuk tubuhnya itu membuat seluruh tubuh Sagami menciut. Sikap bersemangatnya tadi membuatnya terlihat lebih keji dengan peralihan mendadaknya menjadi sikap yang dingin. Tidak hanya ada perbedaan dalam cara intimidasi antara Haruno-san dengan Yukinoshita, dia juga memasang ekspresi kelam itu pada wajahnya tanpa menyembunyikannya.
Dia menampilkan kebenaran ini di dalam sikapnya, dimana dia akan tetap ramah sampai ke suatu titik tertentu sehingga dia dapat berinteraksi padamu dengan bersahabat, tapi saat dia memutuskan untuk balik menyerang, dia akan mencekikmu tanpa ampun.
“Ah, um…” kata Sagami, berusaha keras mencari-cari alasan.
Kemudian, Haruno-san tersenyum. “Ya, ketua harus bisa seperti itu, kan!? Sebagai seseorang yang bisa menikmati Festival Budaya sepenuhnya, itu sempurna sekali sebagai seorang ketua! Kedengarannya bagus bagiku! Um, Apagami-chan kurasa? Amagami? Oh, terserahlah. Ketua-chan saja.”
“Te-Terima kasih banyak…” Bibir Haruno yang mendadak melengkung ke atas membuat Sagami kebingungan, dan sekaligus menyemangatinya.
Ini mungkin saja merupakan pujian pertama bagi Sagami semenjak kehadirannya di sini.
Selagi pipi Sagami memerah atas kegembiraannya, Haruno-san melanjutkan. “Omong-omong, ada sesuatu yang ingin kuminta padamu, ketua-chan. Itu, aku benar-benar ingin berpartisipasi sebagai organisasi sukarelawan. Jadi aku membicarakannya dengan Yukino-chan, tapi dia agak enggan menerimanya. Itu karena dia tidak begitu menyukaiku…”
Dia menunjukkan sisi lemah lembutnya dan mengisak. Aku tidak bisa membangkitkan hasrat untuk mengkritiknya karena betapa licik, namun menggemaskannya sikap aneh dia itu.
“Eh…” Sagami memandang ke arah Yukinoshita.
Ekspresi muram Yukinoshita tidak rubuh. Dan tidak juga dia menatap mata siapapun.
“…Aku rasa kenapa tidak. Kami memang kekurangan organisasi sukarelawan, dan seorang siswi OG berpartisipasi, maka kita bisa terus, um, terhubung dengan komunitas lokal? Atau apalah.”
Itu terdengar seperti kata-kata yang diulang dari kata-kata yang diucapkan oleh seseorang, tapi Sagami memberitahu Haruno-san seakan itu adalah kata-katanya.
“Kyaaa, terima kasih!” Haruno-san berpura-pura memeluk Sagami dengan penuh semangat. Tapi dia segera melepaskannya, dan bergugam dengan mata mengenang. “Yep, yep, itu benar-benar menabjubkan untuk bisa kembali ke Alma matermu setelah tamat. Aku sebaiknya memberitahu teman-temanku, mereka paaaaaasti cemburu!”
“Begitukah rasanya?”
“Uh huh, begitulah rasanya bagiku. Aku terkadang benar-benar mendapat hasrat ini untuk datang berkunjung…”
Kata-kata Haruno-san membuat Sagami berpikir sejenak.
Cuma Hayama dan Yukinoshita menghela singkat, seakan sudah menyerah.
Tidak menyadari hal tersebut, Sagami menepukkan kedua tangannya. “…Oh begitu ya. Ah, bagamana kalau kamu memanggil temanmu itu untuk datang juga kemari?”
“Oh, ide bagus! Apa kamu keberatan kalau aku memanggil mereka sekarang?”
“Tidak, tidak.”
Setelah dia selesai mengatakannya, Haruno-san dengan riang mulai menelepon temannya dengan satu tangan.
Yukinoshita, terlihat gelisah, berusaha untuk menghentikan Sagami. “Tunggu, Sagami-san.”
Tapi Sagami berkata dengan santai dan dengan tampang acuh tak acuh, “Apa masalahnya? Kita memang kekurangan organisasi sukarelawan. Kita juga sudah menyelesaikan masalah terhubung dengan komunitas lokal, kan?”
Sagami memasang seringaian bangga, tapi apa dia sadar? Bahwa Yukinoshita Haruno-lah yang memperdayainya untuk membuat sebagian besar gagasan tersebut.
“Lagipula, aku tidak tahu apa masalahmu dengan kakakmu, tapi itu dan ini dua hal yang berbeda, kan?”
“!……”
Cuma dengan mengamati interaksi Yukinoshita dan Haruno saja sudah lebih dari cukup bagi siapapun untuk menyadari bahwa mereka tidak akur. Menunjukkan hal itu, pernyataan Sagami membuat Yukinoshita tergagap.
Sagami tersenyum bangga, akhirnya bisa berdiri di atas Yukinoshita untuk yang pertama kalinya.
“Ternyata jadi seperti ini juga…” gugam Hayama singkat. Aku tanpa bersuara melihat ke arah Hayama, perhatianku terpancing oleh nadanya yang terdengar seakan dia tahu bagaimana semuanya akan berjalan. Niatku adalah untuk mendapatkan penjelasan darinya, tapi Hayama tidak mengungkitnya sama sekali, seakan disengajainya. “Oke, aku akan mengambil dokumennya dan kembali.”
Hayama dengan begitu saja meninggalkan ruangan konferensi itu.
Sekarang, satu-satunya keabnormalan yang tersisa di komite panitia adalah Yukinoshita Haruno.
Setelah Haruno-san menyudahi panggilan teleponnya, dia mengambil satu set formulir dan kemudian berbicara dengan Meguri-senpai, Sagami, dan teman-temannya.
Dia tidak banyak menganggu, tapi sebagai seseorang yang menarik perhatian orang, perhatian anggota komite teralihkan. Sikapnya dengan sendirinya mengumpulkan perhatian semua orang.
Cuma Yukinoshita yang tidak melihat ke sana karena keras kepala.
Sagami dan teman-temannya semakin bersemangat karena sesuatu. Penasaran, aku melihat ke arah sana, dan Sagami sedang berbincang dengan riang bersama teman-temannya dan Meguri-senpai menganggukkan kepalanya dengan singkat. Kemudian, ada juga Yukinoshita Haruno yang telah melirik ke sini dan berdiri.
Haruno-san berjalan ke arahku dan dengan sengaja duduk di sampingku.
“Apa kamu benar-benar bekerja, anak muda?”
“…Ya, kira-kira begitu.”
“Aku agak sedikit terkejut. Hikigaya-kun, kakakmu ini benar-benar menduga kamu bukan tipe laki-laki yang melakukan hal-hal semacam ini.”
“Haa, itu juga yang kupikirkan.”
“Uh huuh… dipaksa oleh Shizuka-chan mungkin?” Haruno-san mengangguk, memahami situasi itu. Namun, keterkejutan itu seharusnya diarahkan pada satu orang lagi karena hadir di komite ini.
“Berbicara soal tidak terduga, bukankah adikmu juga sama?”
“Masa? Aku pikir dia akan melakukannya.” Aku memiringkan kepalanya tidak memahami arti dari kata-katanya. Melihat pada wajahku, Haruno-san menambahkan, “Maksudku, aku jamin pasti sangat sulit baginya untuk tetap berada di klub, dan belum dibilang, aku, kakaknya, menjadi ketuanya dulu. Itu sudah cukup sebagai alasan baginya untuk melakukannya.”
Nadanya diwarnai dengan cemooh dan aku merenungkan arti dari kata-katanya sedikit demi sedikit. Aku tentu enggan untuk menyebut suasana di klub sekarang ini tidaklah baik. Di luar itu, bagi Yukinoshita, persisnya sosok semacam apa Haruno-san itu baginya, aku rasa aku bisa memahaminya sedikit.
“Namun, kelihatannya yang pertama tidak terlihat begitu baik jadinya, huh?” tambah Haruno-san, tertawa kecil seakan dia sedang melihat pada sesuatu yang mempesona.
Hubungan kakak-beradik ini jauh lebih rumit dilihat dari sudut pandang seorang pengamat.
Ada kalanya ketika abang beradik, atau kakak beradik, dibandingkan dengan satu sama lain. Kadang kala, pencapaian dan kekurangan mereka juga akan dibandingkan. Aku, sendiri, ada seorang adik perempuan. Entahkah itu karena perbedaan antara seorang abang dengan adik perempuannya atau karena kami saling menutupi kekurangan satu sama lain saat kami dibesarkan, pemikiran untuk dibandingkan tidak pernah benar-benar melintasi benakku.
Tapi, untuk kasus kakak beradik Yukinoshita, mereka hampir mirip sepasang kembar.
Kakak yang teramat, hebat.
Dan adik hebat yang sama berbakatnya, tapi sampai hari ini masih belum bisa menang.
Kalau salah satu dari mereka kurang pandai, tidak akan ada perseteruan seperti itu di antara mereka berdua. Walau, mungkin salah satu dari mereka malah mungkin akan menjadi sinis.
Yukinoshita masih terkungkung di dalam perjuangannya melawan ilusi kakaknya yang terlihat bisa dikalahkan namun tak bisa dikalahkannya. Dia bisa membuatnya terasa lebih mudah padanya kalau dia melarikan diri saja dari hasil yang tersisa yakni Haruno-san. Harga dirinya, tekad kuatnya, tidak akan memperbolehkan itu terjadi.
Kalau dia paham sebanyak itu, mengetahui sebanyak itu, apa mungkin ada sesuatu yang Haruno-san ingin lakukan? Suatu cara yang jauh lebih berbeda untuk terlibat dengan adiknya.
“Um… apa yang kamu rencanakan?” tanyaku dengan terus terang.
Yang membuat Haruno-san mengerikan, melebihi yang lain, adalah tidak memahami apa yang mungkin sedang dia pikirkan. Itu mungkin aneh mendengarnya dari diriku, tapi bagi seseorang sepertiku, yang telah hidup sampai hari ini dengan mengamati orang lain, dengan cara yang buruk, bahkan aku kesulitan untuk memahami dirinya yang rumit.
“Apa kamu akan mempercayaiku kalau aku mengatakan sesuatu?”
“…”
Tidak. Aku sudah membentuk suatu kesan yang kuat dari Yukinoshita Haruno. Meskipun dia memiliki semacam alasan yang mendalam ataupun ideologi yang mengagumkan, aku tidak akan menerimanya dengan begitu saja.
Kelihatannya dia mengerti apa maksud keheninganku.
“Kalau begitu, kurasa itu bukan sesuatu yang perlu ditanya, hm?”
Suaranya membekukan. Meskipun dia berusaha menyembunyikannya atau menutupinya dengan candaan, kurasa ini mungkin adalah kedinginan yang sesungguhnya dari Yukinoshita Haruno.
Semenjak itu, Haruno-san tetap terdiam.
Haruno-san dikaitkan dengan kesan yang ceria, tapi ketika dia tetap seperti itu, dia benar-benar menyerupai Yukinoshita.
Ketika dia terdiam, keributan di sekelilingku semakin nyaring.
Karena itulah, percakapan semua orang sampai ke telingaku dengan cukup baik. Terutama Sagami dan teman-temannya semakin bersemangat, tertawa dan mengatakan sesuatu.
Dan terbawa oleh semangat itu, Sagami berkata dengan suara yang jauh lebih lantang. “Semuanya, ada waktu sebentar?”
Ruangan konferensi yang ricuh segera menjadi sunyi.
Setelah melihatnya, Sagami sedang berdiri dan melihat ke sekeliling ruangan. Dia terbatuk pelan untuk mempersiapkan dirinya dan mulai berbicara dengan gugup.
“Um, Aku ada sedikit sesuatu dalam benakku, tapi… tentang komite panitia seharusnya bisa bersenang-senang dan sebagainya. Maksudku, kalau kita sendiri tidak bisa menikmatinya, maka mustahil kita bisa membuat orang untuk, atau semacamnya…”
Itu sesuatu yang barusan kudengar tadi…
“Dan untuk sepenuhnya menikmati Festival Budaya, aku rasa kelas juga penting. Jadwal kerja kita sudah berjalan dengan cukup mulus jadi kita bisa menurunkan laju kita. Bagaimana kedengarannya?”
Semua orang mengambil waktu sejenak untuk memikirkan saran Sagami. Status kemajuan kami tidaklah buruk. Berkat Yukinoshita menyelesaikan poin-poin yang bermasalah tempo hari, kami sedang melaju dengan cukup baik.
Tapi Yukinoshita menyuarakan sanggahan untuk saran tersebut. “Sagami-san, kamu sedikit keliru. Kita perlu mempertahankan laju ini supaya ada waktu ekstra…”
Suara yang penuh energi dan blak-blakan menghadangnya. “Oooh, bagus sekali yang kamu katakan. Ketika aku jadi ketua, semua orang juga berusaha sebisa mereka untuk kelas mereka ~”
Yukinoshita mengarahkan tatapan yang mengancam pada suara Haruno-san, mirip dengan saat-saat dulu. Sagami kemudian melanjutkan dengan sikap tersebut.
“Nah, juga ada contoh kita. Lagipula… saat itu, festivalnya super menabjubkan, kan?”
Walaupun dia ditanyai, Yukinoshita tidak menjawab. Menganggap itu sebagai jawaban iya, Sagami terus melanjutkan lagi.
“Kita benar-benar harus mencoba mewarisi bagian-bagian yang bagus, kamu taaaaaahu? Belajar dari pendahulumu atau begitulah kata orang? Kamu sebaiknya lebih memikirkan orang lain tanpa meletakkan perasaan pribadimu ke dalamnya.”
Meguri-senpai mengamati percakapan itu dengan ekspresi pelik.
Di sisi lain, anggota komite lain melihat pada satu sama lain dan bertepuk tangan dengan yakin pada saran Sagami. Kelihatannya saran dia diterima.
Alhasil, Sagami meminta mereka bubar.
Kalau semua orang akan mengikuti sarannya, Yukinoshita sendiri tidak akan bisa menghentikannya. Sagami tersenyum puas sementara Yukinoshita kembali melakukan pekerjaannya dengan ekspresi dingin.
Kalau untuk Sagami, apa dia mungkin sedang berpikir bahwa dia sudah melakukan pekerjaan yang sesuai dengan statusnya sebagai ketua komite panitia?
“Sungguh bagus sekali yang kamu katakan~ Iyakan, Hikigaya-kun?” Duduk di sampingku, Haruno-san berbicara padaku.
Apa dia kali ini juga merencanakan sesuatu? Namun, mungkin bukan ide yang bagus untuk mencurigainya.
Orang ini benar-benar sulit untuk ditangani.
4-4[edit]
Perubahannya segera membuahkan hasil.
Selama beberapa hari semenjak kemunculan Yukinoshita Haruno di ruangan konferensi, beberapa anggota mulai absen sewaktu rapat. Ini adalah hasil yang terlihat setelah pernyataan Sagami yang tersebar pada semua anggota komite panitia.
Meski begitu, mereka telat tiga puluh menit sewaktu rapat dan anggota yang absen itu sudah memberitahu sebelumnya. Selain itu dampaknya tidak banyak.
Sementara beban kerja pada masing-masing anggota meningkat, itu cuma perlu membuat giliran kerja dan giliran istirahat.
Tapi dengan bertambahnya lebih banyak organisasi sukarelawan, dan seiring dengannya, bertambahnya jumlah lokasi yang bekerja sama di seksi periklanan publik, dan perhitungan ulang terkait dengan dana, beban kerjanya semakin bertambah berat, dan kesenjangan jumlah pekerjaan mulai terlihat.
Bagi seksi kesehatan dan pubdok yang pekerjaannya paling banyak terpusat pada hari H Festival Budaya, anggota absen yang semakin meningkat bukanlah suatu masalah.
Tapi untuk seksi humas, periklanan, dan danus, jelas sekali kurang anggota.
Untuk mengompensasi area-area tersebut para eksekutif mulai membantu.
Orang-orang yang ikut membanting tulang adalah anggota OSIS dan Yukinoshita.
Bantuan Yukinoshita merupakan aset yang besar bagi para tenaga kerja, tapi beban kerja yang terus menumpuk terus bersikeras mempertahankan kepadatannya.
Tugasku sebagai asisten pubdok juga mendapati peningkatan kerja yang berkaitan dengan-pubdok. Aneh sekali… Aku cukup yakin seharusnya tidak ada pekerjaan sebanyak ini…
“Umm… apa kamu ada waktu sebentar?” Ketua pubdok berbicara padaku.
“Apa kamu ada waktu sebentar” terus berdering tanpa henti. Alarmku menyala.
Tapi pada saat-saat seperti ini adalah saat dimana aku sudah mempersiapkan pendekatan yang sesuai untuk mencegah mereka menyerahkan lebih banyak pekerjaan padaku. Berikut ini, adalah “empat strategi untuk mengurangi jumlah pekerjaan ketika seseorang mencoba untuk menyerahkan beberapa pekerjaan padamu”.
“Um, bisa aku serahkan ini padamu?”
[Nomor 1]: “Strategi abaikan mereka sampai mereka menyebut namamu”.
“Kamu dengar aku?”
Bahuku ditepuk. Tch, gagal, huh?
“Ah, siapa, aku? Fuheh.”
“Aku mau tanya apa kamu bisa melakukannya.”
[Nomor 2]: “Strategi kalau kamu diminta melakukan sesuatu, pasang wajah yang tak mengenakkan”.
Tapi ketuaku memiliki hati yang cukup tabah, dan membalas dengan ekspresi geram. “…Terima kasih.”
Karena lawan bicaraku memasang wajah yang lebih tidak mengenakkan dariku, aku akhirnya kalah di pertarungan itu. Sialan, strategi ini juga tidak bisa dipakai! Baiklah, coba strategi selanjutnya.
“……Haa…………Haa~~a…”
[Nomor 3]: “Strategi menghela sepanjang waktu saat kamu bekerja”! Dengan ini, aku akan menjadi begitu menjengkelkan sampai mereka lain kali bahkan tidak mau memberiku pekerjaan lagi, dan malah memainkan kartu truf mereka, “kalau kamu tidak ada semangat, pulang saja.”
Saat mempraktekannya, ketika aku mendapat pekerjaan paruh waktu, aku benar-benar disuruh pulang untuk alasan itu. Itu dicatat pada riwayat kerjaku.
Tapi ketuaku sama sekali tidak memperdulikannya. Malahan, dia berkata padaku setelah mengangkat kacamatanya. “Sudah siap?”
Kamu tidak bisa harap aku menyelesaikannya secepat itu… Kalau aku sehebat itu aku sama sekali tidak akan bekerja untukmu…
Sudah waktunya bagiku untuk menggunakan strategi terakhirku.
[Nomor 4]: “Strategi mengetik-ngetik keyboard dengan menyolok sampai mereka ingin kamu pulang karena kamu begitu menjengkelkan…”.
Beberapa komputer dipinjamkan pada komite panitia dari OSIS untuk beberapa lama. Jadi, pekerjaan menulis setingkat lebih efisien, begitu pula ketikan keyboard tidak senangku yang kentara.
Tap tap tap. Putaaaaaap (tombol enter).
Bagaimana? Kalau aku menunjukkan hasrat tidak mau bekerja sebanyak ini, kamu pasti tidak mau memberiku pekerjaan lagi, kan…?
“Kerja bagus, aku akan pulang dulu. Kamu juga boleh pulang kalau kamu sudah siap. Kalau ada yaang tidak kamu mengerti, tanya para eksekutif.”
“Mph, hssh.” (Terjemahan: Ah, siap, kerja bagus juga kamu.)
Fufu, kelihatannya aku dengan menabjubkannya mencegah mereka mendesakkan lebih banyak pekerjaan padaku… Sekarang kerjaanku paling sedikit!
Aku melihat dengan bangga pada pekerjaan yang tertumpuk di atas meja— er… hogeeeeeeeeeeeee!?
Dia malah memberiku lebih banyak pekerjaan!
Sial, aku jadinya cuma memberinya kesan yang buruk terhadap diriku, cuma berandalan yang sikapnya jelek. Juga, kalimat “kamu juga boleh pulang kalau kamu sudah siap” sebenarnya artinya “kamu jangan coba-coba pulang sebelum kamu siap”, bukan!? Tiiiiidak!
Karyawan perusahaan benar-benar susah. Ini sudah di luar apa yang kubayangkan…
Terlebih lagi, gelar “asisten” kelihatannya jadi disalah-pahami dengan berbagai cara dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak perlu kukerjakan mulai bermunculan padaku.
“Um… kamu asisten pubdoknya, kan? Boleh juga aku minta kamu melakukan ini?”
“Haa, tapi ini…”
“Festival Budaya itu tempat semua orang melakukannya! Itulah arti pekerjaan ini! Kita harus saling membantu!”
Orang ini begitu bersikeras sekali.
Hei, mengopi poster itu sudah pasti bukan bagian dari pekerjaanku… Lagipula, dengan cara apa kamu membantuku, hah…?
Tapi permintaan dari kakak kelas bukanlah sesuatu yang bisa kutolak. Insting orang Jepang yang tertidur di dalam diriku, tidak pernah aku begitu mengutuk sistem senioritas ini dalam hidupku.
Ada juga orang lain yang memiliki status kakak kelas yang sama mengangkat cangkir tehnya tinggi-tinggi.
“Teh.”
“Haa…”
Kenapa, aku harus…? Nah, apa mungkin kamu sedang berpikir bahwa cuma karena orang yang kamu hadapi itu di bawah dirimu sehingga kamu bisa mengatakan apapun yang kamu mau? Kamu mungkin lupa, tapi anak buah juga manusia, kamu tahu?
Hei, hei, kalau begini terus, aku akan menjadi karyawan perusahaan yang baik. “Nareru! CM (career man)”.[6]
Sial… Aku seharusnya cuti saja dari dulu.
Pada saat-saat seperti inilah orang-orang yang rajin mendapat pekerjaan yang tidak mengenakkan. Pekerjaanku sudah tertumpuk padat di depan wajahku, dan jumlahnya tidak bisa kamu selesaikan dalam satu-dua hari.
Tanpa kusengajai, aku menghela.
Kira-kira pada saat yang sama, helaan yang amat, sangat dalam dapat terdengar.
Ketika aku melihatnya, Yukinoshita sedang menekan alisnya, matanya terpejam. Apa dia sedang sakit kepala?
Penyebab yang jelas untuk itu ada di dalam lapangan pandang Yukinoshita.
Penyebabnya, duduk di dekatnya, sedang memutar-mutar penanya selagi berbincang dengan riang bersama Meguri-senpai, kemungkinan adalah Yukinoshita Haruno.
Haruno-san semakin sering datang ke sekolah untuk latihan atau sesuatu semacam itu dengan organisasi sukarelawan yang terdiri atas OB dan OG yang dia ikuti. Sementara itu, dia juga muncul di ruang komite panitia, berbaur ke dalamnya dengan nyaman.
“Hikigaya-kun, teh juga untukku~”
“Um, pekerjaan seorang asisten pubdok tidak termasuk itu, kurasa…” aku mengakhiri kalimatku dengan lemah, kurangnya percaya diri dalam kalimat yang kuucapkan. Ditambah lagi kesedihan yang kurasakan dari tubuh budak perusahaanku saat aku menuangkan teh sambil mengatakan itu. Selagi cangkir diisi dari ceret teh, Yukinoshita dengan diam meletakkan pulpennya.
Sikap kalemnya itu memiliki intensitas yang luar biasa di baliknya.
“Nee-san, kalau kamu cuma ingin menganggu, pulang saja.”
Tapi itu dimengerti oleh semua orang kecuali Haruno-san. Haruno-san sama sekali tidak gelisah mendengar kata-kata Yukinoshita, seperti kartu joker saat menghadapi kartu as.
“Kamu tidak harus bersikap begitu dingin. Ay’lah, aku akan membantu.”
“Tidak apa-apa, cepat pulang saja.”
Tapi, selagi menyesap cangkir tehnya, Haruno-san tidak menganggap serius kata-kata Yukinoshita dan mengambil kertas printout terdekat.
“Mari kulihat, aku akan membantumu sebagai tanda terima kasih untuk tehnya.”
“Ah, tunggu, jangan langsung—“
Lebih cepat sebelum Yukinoshita bisa menghentikannya, Haruno-san mulai bekerja, menekan-nekan sebuah kalkulator dengan satu tangan. Setelah mengisi kertas printout itu dengan tanda merah yang menandakan dia sudah menyelesaikan semuanya, dia melemparkannya ke sebelah sana.
“Neraca dananya tidak sesuai di sini.”
“…Aku berencana untuk memeriksanya lagi setelah ini.” Yukinoshita menyipitkan matanya dengan muram tapi mendengarkan kata-katanya dengan sungguh-sungguh.
“Haru-san, sama seperti biasanya, huh?” Meguri-senpai melihat dua kakak-beradik Yukinoshita sambil tersenyum, menghasilkan suasana yang nyaman.
Karena efek nyaman itu, bahkan aku mulai merasa nyaman.
“Yah, tidak begitu hebat. Aku juga sudah terbiasa. Bagaimana kalau kita selesaikan yang lain juga, hm?” kata Haruno, dan dia mengambil dokumen terdekat dan mulai memprosesnya.
Kali ini, Yukinoshita tidak berusaha untuk menghentikannya.
Hanya saja, sambil menghisap bibirnya, dia melanjutkan pekerjaannya dengan acuh tak acuh.
Mundur ke Bab 3 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 5 |
Catatan Translasi[edit]
<references>
- ↑ Bayside Shakedown (Drama/Komedi polisi Jepang) – Kalimat yang dikatakan oleh protagonis Aoshima Shunsaku.
- ↑ Super Robot Taisen OG (Original Generation). https://en.wikipedia.org/wiki/Super_Robot_Taisen:_Original_Generation
- ↑ Daging Australia dalam bahasa Jepang オージービーフ (oojii biifu).
- ↑ Referensi Legend of the Century’s End Messiah: Fist of the North Star.
- ↑ OB, old boy, OG, old girl. Artinya alumnus laki-laki dan perempuan.
- ↑ Nareru SE.