Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3: Hayama Hayato Memperhatikan Semua Orang[edit]

3-1[edit]

Jajaran pegunungan terlihat dengan jelas.

"Oh, wow," Aku bernafas. "Itu pegunungannya."

"Iya. Itu pegunungannya." jawab Yukinoshita dan Hiratsuka-sensei sambil menggangguk serentak.

Bagi warga Chiba yang tinggal di dataran yang luas dan hampa di wilayah Kantō, pegunungan merupakan pemandangan yang langka. Pada hari yang cerah dan terik, kamu dapat melihat bayang-bayang gunung Fuji di sepanjang pesisir pantai, tetapi kamu tidak begitu sering bisa melihat pegunungan yang lain, apalagi pegunungan yang rimbun dengan pepohonan seperti ini.

Alhasil, hanya dengan sekali pandang pada pegunungan itu saja membuatku agak sedikit bersemangat. Bahkan Yukinoshita, yang biasanya tidak merasa tergerak oleh hal semacam ini, mendesah kagum.

Dan dengan begitu, keheningan menyelubungi mobil ini. Yukinoshita dan aku melihat melalui jendela pada pemandangan perlahan terbentang tersebut.

Yuigahama mendengkur lembut, kepalanya bersandar pada bahu Yukinoshita. Ketika aku lebih memalingkan kepalaku, Komachi dan Totsuka juga terlihat sedang tertidur di kursi belakang. Mereka begitu ricuh memainkan kartu dan Uno, dan sebagainya semenjak kami berangkat, tapi kelihatannya mereka sudah bosan bermain. Kalau aku, aku terjebak bersama Hiratsuka-sensei sepanjang waktu... mengapa oh mengapa kami harus memberitahu sepuluh besar anime favorit kami pada satu sama lain?

Namun, anehnya aku merasa rindu dengan pemandangan semacam ini. Ini seperti sedang pulang ke rumah menaiki bus setelah perjalanan sekolah atau perkemahan. Teman sekelasku akan diam karena kelelahan setelah suka ria mereka lakukan, tapi karena aku tidak pernah punya kesempatan untuk menghabiskan banyak energi, hanya mataku yang tetap menatap ke luar, selamanya sadar.

Bentangan pegunungan tersebut menampilkan keindahannya, menjulang ke atas tembok yang tinggi di sepanjang jalan. Di balik kegelapan terowongan yang menganga terpancar suatu cahaya oranye yang cemerlang. Selagi aku menatap pemandangan yang berlalu dari jendela, suatu perasaan déjà vu yang kuat menerjangku.

...Aku mendadak ingat.

"Oh, iya… aku dulu datang ke Desa Chiba untuk perkemahan sewaktu SMP..."

"Ini pusat rekreasi Kota Chiba di Prefektur Gunma, jika aku tidak salah ingat," sela Yukinoshita.

"Oh, jadi kamu pernah ke Desa Chiba juga?"

"Karena aku kembali sewaktu SMP kelas tiga, aku tidak pernah berpartisipasi dalam perkemahan. Aku hanya mengetahui keberadaan acara tersebut berkat album kelulusan."

"Kamu kembali? Kamu pergi kemana? Atau lebih tepatnya kenapa kamu kembali?"

"Aku dapat merasakan kebusukanmu dari caramu menanyakan pertanyaan itu... walau aku tidak tersinggung." Yukinoshita berpaling dan melihat ke luar jendela. Aku tidak dapat melihat sekilas ekspresinya berkat rambut hitamnya yang melambai, diterpa oleh angin yang berhembus melalui celah jendela yang sedikit terbuka. "Aku mengikuti program pertukaran pelajar. Mungkin aku lupa untuk mengatakannya sebelumnya. Kapasitas memoriku sebanding dengan sebuah Floppy Disk."

"Kapasitasnya tidak banyak... jangan mendekati magnet atau sejenisnya. Kamu akan melupakan segalanya."

"Anak-anak seumuran kalian biasanya tidak tahu soal floppy disk..." kata Hiratsuka-sensei terlihat terperangah.

Namun tipe komputer yang sedikit lebih tua menggunakan FD sebelum perlahan diganti. "Nah, kurasa itu masih ada ketika aku lahir."

"Ingatanmu bagus. Kamu memiliki kekuatan memori sebuah MO[1]," sela Hiratsuka-sensei, tertawa geli atas kecerdasannnya.

Tapi, menggunakan MO sebagai contoh dari kapasitas memori yang tinggi benar-benar menunjukkan usianya. "Nah, anak-anak seusia kita biasanya tidak tahu soal MO..."

"Kurasa, aku tahu tentang MD[2]" sel Yukinoshita, terdengar sama terganggunya denganku.

Hiratsuka-sensei pucat. "Tak kusangka kalian tidak tahu tentang MO... memang generasi muda sekarang..." dia meratap dengan menyedihkan.

Karena aku merasa agak kasihan padanya, aku memutuskan untuk membantunya. Aku sungguh baik. "Nah, nah. Alat-alat MO itu dipakai untuk bisnis dan semacamnya, jadi itu tidak begitu terkenal dengan masyarakat biasa. Itu bukan karena anda tua dan kolot dan sebagainya."

"Jadi kamu tahu juga ternyata!"

Hiratsuka-sensei mengepalkan tangannya untuk meninjuku! "Awas! Setirnya!"

"Aku harap aku ingat ini ketika kita turun..."

"Tolong, jangan menyimpannya dalam kepala anda dengan kekuatan penyimpanan sebuah MO." Maksudku, MO memang menang telak dengan FD kalau berbicara segi kapasitas memori.

Mobil van kami langsung menuju ke desa Chiba bagai tembakan panah. Ini hanya hari biasa, namun jalan dipenuhi dengan mobil. Kadang-kadang, kemacetan yang singkat terjadi, pernah sekali sepanjang satu kilometer.

"Jalannya mengejutkannya ramai" ujarku.

"Itu karena ada banyak tempat perkemahan di sekitar sini. Di sana bahkan ada pemandian air panas. Kupikir itu tren bagi anak SMP dari Kota Chiba untuk berjalan di sekitar area Sarugakyo Onsen[3]."

"Wow, Aku tidak tahu tempat itu begitu terkenal luas…"

"Aku paham… pasti karena ini adalah tempat dengan kenangan buruk bagimu, Hikigaya… itu wajar kalau kamu akan lupa.”

"Tolong jangan nodai kenangan seseorang. Dari sudut pandangku, kegiatan seperti-perjalanan sekolah itu sebuah kesempatan yang bagus."

"Kamu terdengar seperti seorang pecandu festival, Aku rasa banyak siswa yang tiba tiba ceria selama kegiatan semacam itu."

"Er, bukan... Maksudku menghabiskan waktu tanpa pemikiran yang menganggu itu suatu kesempatan yang bagus..." Kalau kamu mengamati album kelulusanku dengan cermat, kamu akan kaget melihat betapa busuknya wajahku. Bahkan teman sekelasku akan lebih kaget bahwa orang seperti itu pernah hidup.

"Ini akan seperti perkemahan sekolah, jadi rencananya kita menginap tiga hari dua malam. Apa kamu akan baik-baik saja?"

"Tiga hari dua malam? Apa, kita menginap di sana? Aku tidak membawa apapun!"

"Kamu akan baik-baik saja. Kelihatannya Komachi-san mengemasnya," kata Yukinoshita padaku.

Aku baru menyadari sesuatu. Oh, jadi ternyata untuk itu tasnya. Alasan kenapa ada dua adalah karena salah satu untukku dan yang satunya lagi untuk Komachi.

"Adikmu luar biasa hebat untuk menyiapkan sesuatu." ucap Hiratsuka-sensei dengan kagum.

“Benar, bukan? Adikku itu kebanggaanku. Dia memiliki Tiga Hal Utama: Keimutan, kecantikan dan tampang menawan.”

“Itu pada dasarnya cuma satu hal...” sela Yukinoshita. Ucapannya teramat mengesankan.

Sekarang setelah kami mulai melambat dan meninggalkan kota dataran rendah, kami masuk lebih jauh ke dalam jalan pegunungan. Mobil minivan tersebut menyusuri jalan yang menyempit itu tanpa ada hambatan.


× × ×


3-2[edit]

Ketika aku keluar dari mobil, aku mencium bau rumput yang lebat. Entah kenapa rasanya seolah-olah ada banyak ruang untuk bernafas. Aku bertanya-tanya apa pepohonan yang rimbun membuatmu merasa seperti itu.

Di suatu tempat pada lapangan tersebut, sekumpulan bus berjejer diam. Ini adalah tempat parkir mobil Desa Chiba. Hiratsuka-sensei memarkirkan mobilnya di sana.

Yuigahama melangkah keluar dari mobil dan meregangkan badannya dengan sekuat tenaga, "Mmǃ Rasanya nyamanǃ"

"Kalau kamu hanya tertidur dan memakai seseorang sebagai bantalmu, kurasa memang terasa nyaman," kata Yukinoshita ketus.

Yuigahama meringis "M-maaf! Sungguh!" dia meminta maaf, menepukkan kedua tangannya bersama.

"Whoa... kita benar-benar berada di pegunungan." Totsuka terlambat mengagumi pemandangan tersebut.

Mengagumi pegunungan merupakan reaksi yang wajar bagi orang yang tinggal di dataran rendah - itulah rakyat Chiba. Bahkan selagi Komachi berkata, "Aku baru saja datang kemari tahun lalu!", dia terlihat amat menikmati kehidupannya, dilihat dari betapa dalamnya dia menarik nafas.

Aku memang bukan Yuigahama, tapi aku harus mengakui bahwa angin sejuk dari dataran tinggi dan sinar matahari yang menembus celah pepohonan memang terasa agak nyaman. Seperti mereka yang lain, aku menanti-nanti untuk terpisah dari hubungan manusia untuk beberapa masa yang akan datang. Mungkin aku bisa memesan barang-barang dan belanjaanku lewat email.

"Hmph, udaranya aneh" kata Hiratsuka-sensei selagi dia mulai menghisap rokoknya. Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa merasakan udaranya dengan cara seperti itu. "Kita akan bergerak dari sini. Bawa tas kalian," katanya, membuat helaan panjang yang jujur saja memang terdengar puas.

Ketika kami mengambil tas kami dari mobil seperti yang diperintahkan, tiba sebuah minivan lain. Aku mendesah. Aku terkejut, kelihatannya pengunjung biasa juga datang kemari, yang masuk akal melihat tempat perkemahan dan sebagainya di sekitar sini. Karena ini adalah fasilitas umum, tidak akan memakan banyak biaya, jadi ini mungkin suatu tempat bagus yang tidak banyak diketahui orang.

Empat orang keluar dari mobil: dua laki-laki dan dua perempuan.

Memang, mereka memberikan kesan yang dewasa dan kesan sebuah drama cinta murahan. Orang semacam ini mungkin akan barbekyu di pinggir sungai, dan menyebut sisanya "Rescue".[4]

Baru saja aku berpikir orang-orang semacam ini mungkin akan pergi mendaki gunung dengan pakaian biasa seakan mereka sedang piknik, hanya untuk terdampar dan seterusnya, salah satu orang dalam kelompok tersebut mengangkat tangannya dengan santai ke arahku.

"Hai, Hikitani-kun"

"... Hayama?"

Aku terkejut - Hayama bagian dari kelompok itu. Sebenarnya, bukan hanya Hayama yang kukenali. Ketika aku melihat dengan lebih cermat, kelompok Hayama telah terkumpul: Miura, Tobe si pirang tolol dan Ebina-san sang pecinta berat fujoshi.

…Huh? mana si perjaka opportunis Ooka?

“Untuk apa kalian kemari...? Barbekyu?” tanyaku. "Kalau begitu, saranku ada tempat bagus di pinggiran sungai."

"Nah, kami bukan ingin barbekyu. Kalau kami hanya ingin barbekyu, orangtuaku tidak akan mengantar kami jauh-jauh kemari.” Hayama tersenyum kecut.

Jadi aku salah, huh. Kalau begitu saranku kalian pergi mendaki gunung dengan pakaian biasa, pikirku, saat Hiratsuka-sensei mendadak menginjak rokoknya di atas rumput. "Hmph. Sepertinya semuanya sudah sampai."

Dengan 'semuanya', apa maksudnya dari awal Hayama dkk sudah termasuk di dalamnya.

"Baiklah, sekarang kalian tahu kenapa aku mengundang kalian ke sini?" tanyanya pada kami.

Kami bertukar pandang.

"Anda meminta kami untuk menginap dan melakukan kegiatan relawan," kata Yukinoshita.

Totsuka mengangguk mendengar kata-katanya. "Yep, kita akan membantu, kurasa."

Di samping mereka, Yuigahama memiringkan kepalanya dengan bingung. "Huh? Ini bukannya perkemahan?"

"Aku dengar ini perkemahan" kata Komachi dengan ragu.

"Dari awal pun aku tidak pernah mendengar ada kegiatan apapun…" kataku.

Hei, mana jawaban yang benar? Orang-orang ini akan pasti hancur dalam permainan bisik berantai.[5]

Hayama tersenyum. "Aku dengar kita akan mendapatkan nilai tambah untuk ini..." katanya dengan tawa tegang.

"Huh. Aku cuma datang karena aku mendengar, akan ada perkemahan, k'mu tahu?" Miura memainkan rambut ikalnya.

"Iyakan? Tapi pak, tidak enak kalau cuma itu alasannya." Tobe menggaruk tengkuk lehernya.

"Ketika aku dengar Hayama-kun dan Tobe-kun akan berkemah bersama, Aku merasa hrnnnggg."

Hanya Ebina-san yang memiliki alasan aneh. Juga, apa pula yang dikatakannya di akhir kalimatnya?

Hiratsuka-sensei menepuk wajahnya dan menghela. "Ya ampun. Yah, setidaknya kalian tahu intinya. Aku ingin kalian melakukan kegiatan relawan untuk beberapa hari."

"Um, apa saja yang dilakukan…?" tanyaku.

"Entah kenapa, kepala sekolah memerintahkanku untuk mengarahkan kegiatan regional Klub Servis… dan jadi aku membawa kalian kemari. Kalian akan bekerja sebagai staf pendukung untuk anak-anak SD untuk perkemahan mereka. Kalian akan menjadi staf Desa Chiba, staf guru yang bersiaga dan staf pendukung untuk anak-anak. Sederhananya, kalian akan melakukan ini itu." dia berhenti sejenak. "Lebih kasarnya, kalian itu budaknya."

Aku ingin pulang ke rumah... sekalian saja dibilangnya ini kerja buruh. Maksudku, buruh akan membuatmu keringatan, bukan.

“Ini dianggap sebagai pelatihan untuk Klub Servis, dan aku akan sangat bersedia untuk memberi kalian nilai tambahan untuk kerja kalian seperti yang Hayama sebutkan. Kalian sendiri juga akan mendapat waktu bebas.”

Aha, Aku tahu sekarang. Semua orang bisa mengerti kalau semuanya diterangkan pada kami seperti itu. Kami cuma mendengar hal-hal yang menarik bagi kami, itu saja.

"Baiklah, ayo kita pergi sekarang. Kalian akan segera bertugas setelah meletakkan tas kalian di bangunan utama," kata Hiratsuka-sensei sambil memimpin jalan. Kami semua mulai ikut berjalan di belakangnya.

Aku mungkin berkata begitu, tapi kami bukanlah kelompok yang akrab. Yukinoshita dan aku berjalan tepat di belakang Hiratsuka-sensei, sementara Komachi dan Totsuka membuntuti di belakang kami. Mereka diikuti oleh Yuigahama, sedangkan kelompok Hayama tertinggal lebih jauh lagi di belakang. Karena Yuigahama berada tepat di tengah-tengah, entah kenapa terlihat seakan kami satu kelompok.

Jalur aspal menuntun kami dari parkiran ke bangunan utama. Selagi berjalan, Yukinoshita berkata, dengan tampang murung di wajahnya. "Permisi… boleh kutanya kenapa Hayama-kun dan yang lain ikut melakukannya?"

"Hm?" Hiratsuka-sensei menoleh ke belakang bahunya. "Oh, kamu bertanya padaku."

“Yah, pada siapa lagi dia akan berbicara dengan sopan?" tanyaku. Dalam situasi ini, aku rasa satu-satunya orang yang perlu bahasa sopan seperti itu adalah seseorang dalam posisi Hiratsuka-sensei. Tapi ketika aku mengatakannya, Yukinoshita menampilkanku senyuman yang anehnya ceria.”

“Ayolah, itu belum tentu benar. Meskipun kamu tidak berbicara pada seseorang yang status sosialnya lebih tinggi darimu, seseorang boleh memakai bahasa yang sopan untuk membangkitkan jarak. Begitu bukan, Hikigaya-san?” dia terkekeh.

"Wah, memang begitu, Yukinoshita-san," Aku tertawa.

Hiratsuka-sensei menyela percakapan kami dengan tawa palsu. "Kalian tidak pernah berubah. Ya, kamu bertanya padaku alasan mengapa aku mengajak kelompok Hayama. Kelihatannya kita kekurangan anggota staf, jadi aku memasang pemberitahuan perekrutan anggota di mading sekolah. Walau kalian mungkin tidak melihatnya. Jujur saja aku tidak menyangka seseorang akan ikut serta untuk sesuatu seperti itu..."

"Kalau begitu mengapa anda memasang pemberitahuan perekrutan itu?"

"Ini masalah formalitas. Kalau aku hanya memperhatikan kalian, ini tidak akan begitu menarik. Jadi aku bersusah payah melakukannya untuk membuat kesan yang baik. Maksudku, aku tidak pandai menangani murid berparas-bagus yang populer. Melihat mereka saja membuat hatiku sakit."

Tepatnya kata-kata itu yang membuat hatiku sakit. Tolongǃ Seseorang tolong segera nikahi diaǃ

"Tapi meskipun demikian, aku seorang guru. Aku harus memperlakukan semua orang dengan sama rata sebisaku."

Aku menghela. "Pasti sulit menjadi seorang guru."

Kalau mendapat perlakuan spesial artinya ditinju oleh guruku sendiri, aku tidak mau perlakuan itu.

"Anda seorang guru- tidak, mungkin itu berlaku untuk semua orang dewasa. Situasi semacam itu pasti sering muncul di tempat kerja," kataku.

Aku dapat melihat bayangan gelap menutupi wajah Hiratsuka-sensei.

Untuk melayani sebuah organisasi juga berarti menerima sisi buruknya. Belum lagi kamu harus waspada dengan masa depanmu kalau kamu menandatangani sebuah kontrak jangka panjang. Kamu harus bekerja bersama bajingan yang tidak kamu sukai dan harus melihat wajah mereka setiap hari. Kalau kamu ingin menghindarinya, satu-satunya pilihanmu adalah untuk menjadi bapak rumah tangga atau seorang NEET.

Sudah dipaksa bekerja, apa kamu benar-benar ingin juga memikul beban untuk mempertahankan hubunganmu dengan orang lain? Apa kamu mendapat gaji hubungan atas usahamu itu? Itu aneh bahwa tidak ada tambahan uang untuk itu, sungguh. Ini hanya menguatkan tekadku untuk tidak bekerja.

Saat dia menoleh ke belakang bahunya pada Yukinoshita dan aku, Hiratsuka-sensei tersenyum lembut. "Ini juga merupakan kesempatan yang baik untukmu. Kamu harus belajar bagaimana berurusan dengan orang dari komunitas lain."

"Tidak, tidak mungkin. Aku tidak bisa akrab dengan mereka."

"Kamu keliru, Hikigaya. Tidak perlu akrab dengan mereka. Aku bilang berurusan dengan mereka. Belajar untuk tidak memusuhi atau mengabaikan mereka tetapi untuk menjalaninya dan merasakannya dengan cara yang santai dan lugas. Itu artinya beradaptasi dengan masyarakat."

"Mudah dimulut sulit dilakukan." Kalau aku bahkan tidak boleh mengabaikan mereka, gawat sudah aku.

Hening.

Yukinoshita tidak berkata apa-apa setelah mendengar kata-kata itu. Dia tidak menjawab ataupun menyanggah- bahkan tidak ada gugaman setuju.

Hiratsuka-sensei tersenyum kecut melihat sikap kami. "Yah, kalian mungkin tidak bisa segera melakukan semua itu, jadi cukup ingat ini untuk masa yang akan datang," katanya kepada kami.

Sekali lagi, kami berjalan bersama tanpa berkata apa-apa.

Berurusan dengan orang, huh…

Mungkin itu tidak sesulit kedengarannya. Akrab dengan orang lain itu tergantung dengan perasaanmu. Tapi berurusan dengan orang lain itu tergantung dengan keterampilanmu sendiri.

Kamu mengungkit sebuah topik, mengobrol dengan satu sama lain dan menanggapi jawaban mereka dengan pendapatmu. Dalam proses itu, kamu akan mempersempit zona serangan lawan bicaramu sambil secara tidak langsung memberitahu mereka betapa lebar zona pertahananmu sendiri. Dengan melakukan itu, kamu bisa mengurus mereka dengan efektif.

Karena aku meragukan kemampuanku untuk memulai percakapan yang mulus, mungkin sebentar saja sudah berakhir kaku. Aku mungkin akan memberikan respon yang salah perhitungan.

Namun, kamu akan mengusainya pada akhirnya jika kamu berlatih cukup lama, seperti keterampilan apapun.

Bagaimanapun, tindakan berurusan dengan orang hanya dapat digambarkan sebagai rantai tak berujung: kamu menipu dirimu sendiri, kamu menipu orang lain, orang lain membiarkanmu menipu mereka, dan kamu membiarkan mereka menipumu. Tidak ada artinya. Pada akhirnya, cuma mempraktekkan hal serupa yang dipelajari orang di sekolah.

Ini adalah keterampilan yang diperlukan bagi mereka yang termasuk ke dalam organisasi atau kelompok, dan satu-satunya hal yang memisahkan orang dewasa dengan siswa adalah perbedaan tingkat keterampilannya.

Alhasil, ini cuma berakhir dengan kebohongan dan pengkhianatan.


× × ×


3-3[edit]

Setelah kami meletakkan tas kami di dalam bangunan utama, kami dituntun ke suatu tempat yang disebut “Lapangan Berkumpul”. Hampir seratus anak SD menunggu kami di sana.

Mereka semua mungkin kelas 6 SD, tapi mereka itu manusia yang beraneka ragam dengan bentuk tubuh yang bervariasi. Kalau mereka itu anak SMA berseragam atau karyawan berjas, kamu dapat menemukan suatu elemen pemersatu tidak peduli ada berapa banyak orang di sana, jadi tidak akan ada masalah. Tapi kalau kamu mendapatkan sekumpulan anak SD berantakan yang mengenakan warna apapun yang mereka sukai, hasilnya cukup membingungkan.

Tidak hanya begitu. Hampir seluruhnya sedang bercakap-cakap dengan serempak, dan itu, sangat, jelas sekali kacau balau.

Gadis memekik dan lelaki berteriak – kericuhannya luar biasa.

Sekarang setelah aku seorang murid SMA, aku jarang sekali melihat sekelompok anak SD pada jarak dekat. Jumlah mereka saja (itu cara yang baik untuk menyatakannya) mengejutkanku. Apa tempat ini sebuah kebun binatang?

Di kiriku, Yuigahama mengernyit risau, dan di kananku, Yukinoshita terlihat sedikit pucat. Meskipun para guru berdiri tepat di belakang anak-anak itu, tidak ada tanda-tanda bahwa situasi ini akan berubah. Kalau aku, aku hanya menatap arlojiku dengan keras.

Anak-anak itu pasti juga telah menyadari ada sesuatu yang tidak biasa, karena suasananya mulai menjadi hening setelah sekitar beberapa menit.

Jangkrik berderik…

Aku berani bersumpah aku melihat tumpukan rumput kering[6] berhembus lewat…

“Baiklah, anak-anak. Perlu tiga menit penuh bagi kalian untuk diam.”

I-i-i-itu diaǃ Kata-kata legendaris yang sering dipakai pada upacara sekolah dan rapat kelas. Astaga, untuk dapat mendengarnya lagi di usia setua ini…

Seperti yang kuduga, guru itu membukanya dengan sebuah ceramah. Pertama-tama, mereka menegaskan prosedur biasa untuk anak-anak yang mengikuti perkemahan. Aku ingat juga dipaksa mendengarkan hal-hal ini sewaktu SD.

Setelah ceramahnya usai, rencana untuk perkemahan ini ditampilkan.

Orienteering adalah acara pembukanya. Kamu juga boleh menyebutnya jalan sehat. Semua orang membuka Buku Panduan Pramuka mereka dan mendengarkan penjelasannya. Sampul buku panduan mereka digambar dengan ilustrasi bergaya-anime. Ah, gaya lukisan itu pastilah dilukis oleh seorang gadis. Aku jamin gadis yang paling pandai melukis yang membuatnya (“A-aku tidak keberatan menggambarnya…” katanya saat itu), sementara gadis komite panitia yang akan mendapat pujian. Suatu hari di masa depan, gadis itu hanya akan menyesali dengan getir masa lalunya yang kelam.

“Terakhir, di sini ada abang dan kakak baik yang akan menolong kalian. Pertama-tama ayo kita ucapkan halo pada mereka. Senang berjumpa dengan kalian.”

“Senang berjumpa dengan kalian,” lantun mereka dengan tidak serempak. Sapaan itu dipanjang-panjangkan, mirip seperti, “Ita‐da‐ki‐maaaaasu!” yang patut mereka ucapkan saat makan siang di sekolah.

Itu seperti ucapan selamat tinggal saat tamat sekolah. Aku membicarakan tentang kalimat seperti, “Ini akan terukir selamanya di dalam hatiku” atau “Perjalanan sekolah!” Aku memang juga terpaksa untuk mengucapkan omong kosong itu, tapi dipikir lagi, kurasa kenangan traumatis benar-benar akan terukir selamanya di dalam hatimu.

Pandangan penuh tanda tanya anak SD tersebut dengan serempak berpaling pada kami semua.

Seakan itu aba-abanya, Hayama melangkah ke depan dengan lincah.

“Kami akan membantu kalian semua untuk tiga hari selanjutnya. Jangan takut untuk memberitahu kami setiap kali kalian perlu sesuatu. Ayo kita jadikan ini perkemahan musim panas yang tak terlupakan, oke? Kami berharap bisa menghabiskan waktu dengan kalian semua.”

Semua orang bertepuk tangan. Gadis-gadis SD memekik dan tergelak melihatnya. Para guru juga bertepuk tangan dengan pelan.

Wow, Hayama sungguh hebat. Dia terlihat benar-benar terbiasa dengan ini. Aku sulit untuk percaya seseorang bisa mengimprovisasi kalimat sapaan yang baik pada para anak SD itu tanpa persiapan apapun.

Menilai dari keahliannya saja, aku juga ragu Yukinoshita dapat menandinginya. “Kamu ketua Klub Servis, jadi apa kamu akan menyapa mereka juga?”

“Aku tidak begitu suka berdiri di hadapan banyak orang.”

Tidak mengejutkan, sungguh. Maksudku, gadis ini akan menonjol di dalam keramaian tak peduli apapun yang dilakukannya. Dia kelihatannya mendapati hal tersebut menyakitkan. Mungkin dia tidak suka menerima perhatian penuh.

“Namun, aku lumayan suka berdiri di atas orang lain…”

Oh, iya…

“Oke,” ucap para guru. “Ayo kita mulai orienteering!”

Murid-murid dibagi ke dalam kelompok yang berisi lima atau enam orang. Menilai dari betapa mulusnya mereka membentuk kelompoknya, mereka pastilah telah memutuskannya sebelumnya. Kemungkinan besar, mereka akan melakukan aktivitas selama perkemahan ini dalam kelompok tersebut.

Aku rasa tidak banyak anak SD yang mengaitkan pembagian kelompok dengan perasaan kelam. Setiap anak memasang ekspresi ceria pada wajahnya. Mereka masih belum mengetahui konsep kasta sekolah dalam artian yang konkret. Mulai SMP dan selanjutnya, pembagian yang kejam itu akan ditetapkan. Waktumu sebagai seorang anak SD memang bahagia. Pak, anak SD memang yang terbaik[7]!

Kelompok kami entah kenapa menjadi hening berkepanjangan. Saat dia melihati salah satu kelompok anak SD tersebut, Tobe mengaruk-garuk rambutnya dan membuka mulutnya.

“Pak, anak SD itu muda sekali. Kita anak SMA, macam, orang tua sekarang.”

“Hei, Tobe, bisa kamu hentikan itu? Kamu buat aku seperti seorang nenek.” Miura meliriknya untuk memperingatinya.

Tobe merasa gugup. “Whoa, Aku sungguh tidak bermaksud begituǃ Sungguuuuh!”

Untuk sesaat tadi, aku bersumpah aku dapat merasakan tatapan Hiratsuka-sensei pada kami, tapi mungkin aku hanya membayangkannya saja. Kalau saja memang begitu adanya.

“Tapi kalian tahu, sewaktu aku masih SD, anak SMA terlihat begitu dewasa bagiku,” kata Totsuka sambil mengenang, setelah mendengar percakapan di depannya.

Mendengar Totsuka, Komachi menepukkan jari telunjuknya pada dagunya dan memiringkan kepalanya. “Anak SMA terasa dewasa dari sudut pandangku juga, k'mu tahu? Kecuali abangku.”

“…hei. Aku itu super dewasa. Aku mengeluh dan menggerutu, aku berbohong dan aku bersikap curang.”

“Berpikir seperti pria puber tidak dianggap dewasa, onii‐chan.”

“Siapa duga imajinasimu mengenai orang dewasa itu begitu menyedihkan, Hikki?!”

Setelah mendengar kata-kata pedas Komachi dan Yuigahama, Totsuka menepuk punggungku dengan pelan. “Aku mungkin tidak bisa melihat sikapmu di rumah, tapi kamu kelihatan dewasa di sekolah, Hachiman,” dia tertawa kecil. “Kamu benar-benar kalem dan tenang, kamu tahu?”

“T‐Totsuka…” Aku hampir meneteskan air mata.

Pada saat itu, aku mendengar suara kalem yang bercampur dengan tawa mengejek.

“Dia hanya terlihat seperti itu karena dia tidak berbicara pada siapapun. Sebenarnya, dia itu manusia yang kesepian dan menyedihkan.”

Ketika aku berpaling ke belakang, dia berdiri di sana. Yukinoshita memasang senyuman dingin di wajahnya. Aku membalasnya dengan senyuman dinginku sendiri.

“…bagaimana kamu bisa tahu sikapku di kelas? Apa kamu menguntitku? Apa kamu sadar ada undang-undang terhadap mereka yang menganggu kedamaian seseorang? Apa kamu ingin mati di mata masyarakat?”

“Kamu sudah lebih lihai dibanding sebelumnya…” Yuigahama tersenyum takjub.

Di sampingnya terdengar suara seseorang yang menginjak ranting mati.

“…apa kamu mungkin… sedang berusaha meniru seseorang?”

Seharusnya ini musim panas, tapi aku sumpah aku bisa melihat badai salju di belakang Yukinoshitaǃ

Senyuman berkedutnya sangat menakutkanǃ Ya Tuhan, aku benar-benar minta maafǃ

Hayama, yang mendengarkan pertarungan verbal kami dari jauh, mengangguk beberapa kali seakan dia baru saja memahami sesuatu.

“Ah, Aku paham. Jadi gadis itu adik Hikitani-kun, huh? Aku tidak merasa dia mirip Totsuka,” kata Hayama selagi dia berdiri di depan Komachi.

Hei, jangan dekat-dekat dengan Komachi…

“Aku teman sekelas Hikitani-kun Hayama Hayato. Senang berjumpa denganmu, Komachi‐ chan.”

“Um, hai. Senang berjumpa denganmu juga. Terima kasih telah membantu abangku.” Komachi mundur karena kaget dan menyembunyikan wajahnya di belakang Yuigahama. Dari sudut pandangnya, dia melihat Hayama dari atas sampai bawah.

“Hayato‐kun, tidak mungkin dia itu adik Sai‐chan,” kata Yuigahama. “Dia lebih kelihatan berhubungan dengan Yukinon.”

Cuma dari rambutnya saja…

Hayama menggelengkan kepalanya mendengar kata-kata Yuigahama. “Nah, Aku tahu Yukinoshita tidak punya adik.”

“Oh, benarka… huh? Kenapa kamu bisa tahu itu, Hayato‐kun?”

“Kenapa, tanyamu…?” Hayama menatap ke arah Yukinoshita dari samping.

Bukannya melihat tatapannya, Yukinoshita melihat tepat ke arah anak-anak SD itu. “Aku heran apa yang harus kita lakukan.”

“Ah, pertanyaan bagus. Aku pergi memanggil Hiratsuka-sensei sebentar.” Hayama mundur, setelah membaca tanda-tanda bahayanya.

Tidak seperti biasanya, Yukinoshita bersikap menusuk pada Hayama. Dia juga bersikap seperti itu padaku, tapi dia menggunakan durinya bagaikan pedang padaku. Sikap menusuknya terhadap Hayama terasa lebih pasif, seakan dia sedang berusaha untuk menghindarinya. Aku heran apa dia mengidap alergi riajuu. Aku heran apa antihistamin efektif untuk mengobatinya.

Setelah Hayama mundur, Komachi diam-diam mendekat ke arahku. “Onii‐chan, ini kabar buruk!”

“Apanya?”

“Kalau kamu bertanding dengan lelaki ganteng itu, peluangmu untuk menang itu nol, onii-chanǃ Siaga merah!”

“Diamlah. Pergi sana.”

Apa dia datang kemari hanya untuk melaporkan itu padaku, adik bodohku ini? Toh, aku tidak memiliki niat sedikitpun untuk bertanding dengannya untuk memperebutkan sesuatu. Selama dia belum memiliki kelemahan untuk kuperalat, aku tidak akan melakukan apapun dengan Hayama.

Tapi suatu serangan tiba-tiba menyergapku dari arah yang paling tak terduga.

“Ini memang kabar buruk… kamu menghasilkan kesan uke yang hebat, belum lagi aku merasa kamu itu tsundere uke, jadi kalau Hayama-kun pergi mengincarmu, kamu akan segera tunduk padanya.”

“Er, ya… Aku akan berhati-hati.”

Ketika aku memikirkannya, ini adalah percakapanku yang pertama kalinya dengan Ebina-san. Aku benar-benar berharap yang kedua kalinya tidak melibatkan hal-hal yang tidak boleh diucapkan. Apaan kesan uke yang diucapkannya itu? Aku tidak menghasilkan kesan apapun.

Selagi semua ini berlangsung, Hayama kembali bersama dengan Hiratsuka-sensei. Dia menjelaskan pada kami pekerjaan yang perlu kami lakukan hari ini.

“Aku yakin kalian bisa menyelesaikan tugas ini selama orienteering. Yang harus kalian lakukan adalah menyiapkan makan siang pada garis finish. Susun mejanya dengan kotak makan siang dan minuman. Aku akan membawa itu semua dengan mobilku.”

“Bisa sekalian membawa kami ke sana juga?”

“Tidak cukup ruang. Cepat bergegas. Dan pastikan kalian sampai di sana sebelum anak-anak itu.”

Kami akan benar-benar gawat kalau kami tidak sampai ke sana sebelum anak-anak itu, melihat kami akan menyiapkan makan siang dan sebagainya. Sudah cukup banyak anak-anak yang berangkat. Sebaiknya sedia payung sebelum hujan.

3-4[edit]

Orienteering adalah olahraga kompetitif yang dimana seseorang melintasi pos-pos yang ditetapkan dan mencapai garis finish dalam jangka waktu tertentu. Memang, itu adalah semacam olahraga.

Versi asli olahraga ini, yang melibatkan seseorang berlari dengan sebuah peta dan kompas, terlihat seperti olahraga yang lumayan serius. Tapi untuk kali ini, anak SD itu melakukan orienteering rekreasi, bukan versi seriusnya. Mereka berjalan mengelilingi gunung dalam kelompok kecil, menjawab kuis pada setiap pos yang tertulis pada peta mereka, dan bersaing untuk meraih waktu terbaik dan jumlah jawaban yang benar terbanyak.

Mengenang kembali, aku juga ingat melakukan hal ini. Kelompokku kesulitan dalam menjawab, berkat kebodohan mereka yang luar biasa. Aku ingat bahwa cuma aku sendiri yang tahu jawaban yang benar dan tidak ada orang yang memakai jawaban yang kubisikkan, jadi kami akhirnya bersalahan pada akhirnya dan semua orang bersikap, “Aww…”

Dataran tinggi ini terasa sejuk meskipun sekarang pertengahan musim panas, dan setiap kali angin berhembus, dedaunan akan bergemersik di udara. Karena kami tidak berpartisipasi dan sebagainya, kami langsung menuju ke garis finish. Saat kami melihat-lihat mencari penunjuk jalan, kami berpapasan dengan anak SD yang menempelkan kertas kecil pada dahi masing-masing dalam usaha untuk memecahkan sebuah teka teki.

Mereka terlihat begitu bersenang-senang.

Setiap kali Hayama dan Miura melihat anak SD, mereka meneriakkan “Semoga beruntung!” atau “Garis finish menantimu!” dan sebagainya. Mereka benar-benar memainkan peran relawan. Ketika Hayama melakukan hal semacam itu, jujur saja itu terasa wajar, tapi ketika Miura melakukannya, itu agak mengejutkan.

“Hei, hei, Hayato. Aku suka anak-anak lebih dari yang kubayangkan. Bukankah anak-anak itu super imut?”

…jadi itu hanya pesona “Aku imut karena aku memekik saat melihat sesuatu yang imut” biasa. Aku juga mempertimbangkan untuk mengincar pesona keimutanku, tapi karena aku seorang lelaki, aku hanya akan dicap lolicon karenanya, jadi aku menghapus pemikiran itu.

Ketika Hayama dan Miura mulai terbiasa memanggil anak-anak itu, Tobe, Ebina‐ san, Totsuka dan Yuigahama juga mulai berbicara dengan mereka secara tidak langsung. Mereka begitu pandai bersosialisasi. Dan ditambah lagi, anak-anak itu langsung akrab dengan mereka pada saat mereka melihat sikap mereka.

Kami sering berpapasan dengan kelompok mereka, tapi rasanya kami berjumpa dengan anak yang sama dua atau tiga kali. Karena aku tidak memperhatikannya dengan begitu cermat ataupun berbicara dengan mereka, aku tidak mengingat mereka dengan baik. Sungguh, sulit untuk membedakan anak-anak SD itu dari satu sama lain. Mereka semua sama riangnya dan sama ributnya, dan satu-satunya kesan yang mereka buat adalah mereka terlihat sedang menikmatinya.

Ketika jalannya bercabang ke samping, kami berpapasan dengan sekelompok lima gadis.

Mereka adalah sekelompok gadis yang teramat riang dan bersemangat. Sebagai seorang gadis, mereka mengikuti tren busana, dan mereka berbincang dengan keras dengan cara yang feminin. Aku mendapat firasat bahwa ketika gadis seperti ini memasuki SMP, mereka mungkin akan menjadi sosialita. Mereka adalah riajuu yang masih belum menetas, begitulah ungkapannya.

Kelihatannya bagi gadis-gadis seperti ini, murid SMA – terutama yang menyolok seperti Hayama dan Miura – merupakan sasaran kekaguman mereka. Mereka tidak perlu diminta untuk berbicara dengan kami. Gadis-gadis tersebut mendekati kami dengan pendekatan yang nyaris terang-terangan . Astaga, tidak ada yang mendekati Yukinoshita ataupun aku, seperti yang bisa kalian duga.

Ketika aku mendengarkan percakapan mereka, mereka memulainya dengan sapaan, sebelum berdiskusi mengenai busana dan olahraga dan SMP dan sebagainya. Mereka melanjutkan percakapan tersebut selagi mereka berjalan bersama dengan kami, mencari-cari pos selagi mereka melakukannya.

“Baiklah, kami akan membantumu untuk kali ini saja. Tapi rahasiakan ini dari yang lain, oke?” kata Hayama, membuat gadis-gadis itu untuk menyahut dengan semangat.

Berbagi rahasia. Aku mendapatkan perasaan aneh bahwa ini juga salah satu teknik untuk akrab dengan orang lain.

Kamu bisa bilang gadis ini memang begitu riang dan terbuka, tapi satu hal mengangguku. Sebagian besar kelompok itu semuanya sangat akrab atau sedikit terhubung ke dalam sebuah kelompok meskipun mereka dibagi-bagi ke dalam kelompok yang lebih kecil lagi, tapi aku dapat merasakan sesuatu yang tidak wajar dalam kelompok yang satu ini.

Ini adalah sebuah kelompok lima orang, dan hanya ada satu gadis yang berjalan mengikuti dua langkah di belakang yang lain.

Dia memiliki lengan dan kaki yang kuat, ramping dan luwes serta berambut hitam dengan sedikit corak keunguan. Dibanding dengan gadis yang lain, dia menghasilkan kesan yang agak dewasa. Pakaian femininnya juga lebih dewasa dibanding mereka di sekitarnya. Terus terang saja, aku bisa bilang dia itu sudah teramat manis. Dia gadis yang lebih menarik perhatian dibanding dengan mereka yang lain.

Meski begitu, tidak ada yang terlihat begitu peduli bahwa cuma dia yang tertinggal di belakang.

Tidak, mereka menyadarinya, aku yakin. Sekali-sekali, aku mendapati keempat gadis yang lain berpaling ke belakang bahu mereka dan menahan kekehan pelan pada satu sama lain.

Jarak satu meter di antara mereka itu tidak terlihat tanda-tanda akan tertutup. Dari segi pengamat, mereka terlihat berada pada kelompok yang sama, bukanlah sesuatu yang tidak wajar. Tapi di dalam spektrum yang tidak dapat ditangkap mata manusia, seberkas dinding yang tak terlihat berdiri di antara mereka.

Gadis itu membawa sebuah kamera digital yang digantung pada lehernya, dan terkadang dia akan meletakkan tangannya pada kamera tersebut sambil merenung dalam. Tapi dia tidak terlihat begitu berniat untuk berfoto.

Kamera, huh? Kamera digital masih belum begitu lazim sewaktu aku masih SD, jadi semua orang memakai kamera dengan film sekali pakai serta lensanya, seperti QuickSnap dan kawan-kawan. Kamu harus membelinya lagi setiap kali sudah habis.

Karena aku tidak punya banyak teman, aku tidak memotret banyak foto, yang berarti aku tidak akan menghabiskan dua puluh empat film yang tersedia. Sebagian besar fotoku akan menampilkan Komachi dan anjing peliharaan kami ̈(dulu). Aku akan memotret foto tersebut ketika aku pulang dari sekolah untuk menghabiskan filmnya. Hal bagus mengenai kamera digitalnya adalah kebalikannya. Tidak ada batasan berapa banyak foto yang dipotret.

Gadis itu berjalan di sudut ujung belakang kelompok tersebut. Dia melihat ke arah yang berbeda dari mereka. Persis seperti pengguna Stand tertarik pada satu sama lain, penyendiri teramat ahli dalam mendeteksi penyendiri lain, kelihatannya.

Keheningan berkuasa untuk sesaat.

Yukinoshita menghela lembut. Kelihatannya dia juga telah menyadari ketidak-wajaran itu.

Yah, itu bukanlah hal yang buruk, sungguh. Seseorang perlu merasakan kesepian setidaknya sekali atau dua kali dalam kehidupan mereka. Tidak, kamu harus merasakannya. Bayangan seseorang terikat pada orang tanpa istirahat itu jauh lebih abnormal dan mengelisahkan. Seseorang tidak punya pilihan selain mempelajari rasa kesepian. Aku yakin ada beberapa hal yang tidak dapat kamu rasakan tanpanya.

Jika ada sesuatu yang kamu pelajari bersama teman, maka pasti ada juga sesuatu yang kamu pelajari tanpa teman. Sesuatu itu pastilah sama bernilainya, dua sisi pada koin yang sama.

Jadi momen ini juga memberikan sesuatu yang bernilai bagi gadis ini.

Dengan keyakinanku ini, aku berpura-pura tidak tahu apa-apa. Itu bukan urusanku.

Tapi, kalian tahu, ada banyak orang di luar sana yang tidak berpikir demikian.

“Apa kamu menemukan posnya?” panggil seseorang pada gadis itu.

Dia adalah Hayama.

YahariLoveCom v4-093.jpg

“…tidak,” sahutnya dengan senyuman risih.

Hayama menjawabnya dengan senyuman ramah. “Begitu ya. Kalau begitu ayo kita cari sama-sama. Siapa namamu?”

“Tsurumi Rumi,” katanya dengan goyah.

“Aku Hayama Hayato; senang berjumpa denganmu. Apa kamu rasa mungkin posnya tersembunyi di sana?” kata Hayama selagi dia menepuk punggung Rumi dan menunjukkan jalannya.

…HAYAMA KAMU HEBAT SEKALI!

“Kau lihat itu?” kataku. “Dia mulus sekali. Dia baru saja menanyakan namanya dengan santai.”

“Aku melihatnya. Pencapaian yang tidak akan pernah kamu capai seumur hidupmu,” kata Yukinoshita, suaranya penuh dengan ejekan.

Tapi kemudian ekspresi mencela segera muncul di wajahnya.

“Walaupun aku tidak bisa menyebut itu cara yang begitu bagus untuk melakukannya.”

Selagi Rumi mngikuti Hayama, dia berakhir berada tepat di tengah-tengah kelompoknya. Tapi dia tidak terlihat begitu senang. Sama seperti sebelumnya, pandangannya tidak diarahkan pada siapapun, malah menatap ke arah celah di antara pepohonan dan batu-batu kerikil pada jalan tersebut.

Rumi bukan satu-satuya yang tidak terlihat begitu senang.

Pada saat Rumi datang, ketegangan berkobar di dalam kelompok yang seharusnya penuh semangat itu. Keberadaannya tidak memancing rasa jijik, tapi bagi mereka dia adalah si orang itu.

Mereka tidak mengabaikannya dengan menyolok. Mereka tidak terang-terangan menunjukkan perasaan mereka dengan mendecakkan lidah mereka, ataupun menendang tanah dengan frustasi. Mereka tidak menunjukkan tanda-tanda menyalahkannya karena menerobos.

Tapi aku dapat mengetahuinya dari suasananya saja.

Perseteruan mereka bertambah tanpa perlu kata-kata yang pedas. Itu adalah agresi tanpa kata-kata, agresi tanpa kekerasan, agresi yang pasif. Itu adalah penindasan.

Yukinoshita menghela pasrah. “Itu tidak mengejutkan…”

“Jadi hal semacam itu terjadi di SD juga,” kataku.

Yukinoshita memandangku dari samping. “Murid SD ataupun murid SMA tidak ada bedanya. Bagaimanapun, kita semua sama-sama manusia.”

Awalnya mereka mungkin membiarkannya berada di dalam lingkaran mereka, tapi sebelum kamu menyadarinya, kelompok itu sudah mengeluarkan Rumi lagi. Tidak berbicara pada siapapun dan tidak diajak berbicara oleh siapapun wajar akan berakhir dikeluarkan. Dari jauh, aku dapat melihat Rumi mengelus-elus kameranya lagi tanpa ada gangguan.

Menurut petanya, sebuah penunjuk jalan ditancap di sekitar tempat ini. Kalau terdapat orang dewasa sebanyak ini mencari-carinya, kami akan segera menemukannya. Dan memang, kami menemukan penunjuk jalan yang sedikit kotor itu tertancap di balik bayang-bayang pohon. Penunjuk jalan itu juga dulunya putih, tapi setelah bertahun-tahun diterpa cuaca, warnanya sekarang secoklat teh. Selembar kertas putih cerah terpaku pada penunjuk jalan tersebut.

Anak SD tersebut hanya perlu menjawab pertanyaan yang tertulis di sana.

“Terima kasih banyak sekali!” gadis-gadis itu mengucapkan terima kasih pada kami dengan riang saat kami berpisah.

Kelihatannya anak SD itu masih perlu mencari pos selanjutnya. Kami berpaling menuju garis finish selangkah di depan mereka.

Ketika aku berpaling ke balik bahuku, Rumi menghilang ke balik bayang-bayang pepohonan, persis selangkah di belakang mereka.

3-5[edit]

Setelah kami keluar dari pepohonan, kami berada di lapangan terbuka. Kelihatannya garis finish diletakkan di tengah gunung.

Jadi ini lapangannya, huh? Sekarang kami harus memakai waktu kami bersiap-siap untuk murid yang akan tiba.

“Pak, kalian telat. Kalian harus cepat. Aku ingin kalian menurunkan ini dan susun mejanya.” Hiratsuka‐sensei turun dari mobil minivannya. Jalur orienteering dan jalan pegunungan mungkin terhubung dari arah yang berbeda.

Ketika kami membuka bagasinya, kami mendapati segunung kotak makan siang dan minuman di dalam kontainer. Udara dingin yang merembes dari dalam mobil menyejukkan tubuh kami yang sedikit berkeringat.

Para lelaki mengeluarkan kontainer-kontainer dengan sepenuh tenaga.

“Oh, dan dinginkan buah pir untuk penutup itu,” kata Hiratsuka‐sensei selagi dia menunjukkan jempolnya ke balik bahunya.

Kami dapat mendengar suara aliran sungai selagi air bergemercik ke bawah. Kelihatannya buah pir itu direndalm dalam air yang mengalir itu dengan semacam cara.

“Disini ada beberapa pisau dapur, jadi kuserahkan tugas mengupas dan memotongnya pada kalian.” Hiratsuka‐sensei menepuk sebuah keranjang. Di dalamnya, sekumpulan pisau buah dimasukkan ke dalam sebuah papan talenan, beserta piring kertas, tusuk gigi dan sebuah set untuk membagi buahnya.

Mudah dimulut sulit dilakukan. Mengupas buah pir untuk anak seangkatan itu kerja yang cukup keras. Dan jangan lupakan pembagian kotak makan siang dan persiapan untuk menyusun meja.

“Kelihatannya lebih baik kita bagi kerjanya,” kata Hayama selagi dia melihat pada segunung pekerjaan itu.

Miura mengamati kukunya dengan cermat sambil berkontribusi dalam diskusi. “Aku tidak ikut memasak.”

“Aku hancur soal memasak, yo,” tambah Tobe.

“Aku terserah saja,” ikut Ebina.

Hayama berpikir sejenak. “Hmm, bagaimana ya? Kita tidak perlu begitu banyak orang untuk menyusun mejanya, jadi… ya, kami berempat sudah cukup.”

“’ke, kalau begitu kami kupas pirnya,” sahut Yuigahama.

Kelompok ini dibagi dua.

“…bukankah kamu sebaiknya pergi menyusun meja saja?” tanyaku pada Yuigahama selagi kami berjalan ke sungai untuk mengambil buah pirnya.

“Huh, kenapa?” tanyanya pada awalnya. Tapi kemudian dia berkata, “Oh, aku paham. Kamu ingin berkata aku tidak pandai memasakǃ Aku sangat mampu untuk mengupas buah pir, kamu tahu!”

“Nah, bukan itu yang kumaksud sama sekali.” Aku hanya mengatakan itu karena dia akrab dengan Miura dan yang lain, jadi mungkin dia sebaiknya pergi bersama mereka atau semacamnya. Terserahlah.

Setelah kami membawa buah pirnya kemari dan menyusun beberapa pisau dapur, kami segera memulai pekerjaan kami. Totsuka, Komachi dan aku memutuskan untuk meletakkan piring dan menusuk buahnya dengan tusuk gigi, menyerahkan tugas mengupasnya pada Yukinoshita dan Yuigahama.

Yukinoshita mengupas buah pir tersebut dengan teramat mahir. Di sampingnya, Yuigahama berpura-pura menyinsingkan lengan bajunya, terlihat penuh percaya diri. Hanya saja masalahnya dia dari awal mengenakan kaus berlengan pendek.

“Heheh, Aku telah mengasah kemampuanku untuk kesempatan ini.”

“Begitu ya, kalau begitu akan kulihat. Melihat kemampuanmu, maksudku.” Yukinoshita mengamatinya, tersenyum lembut… tapi kemudian, wajahnya menjadi murung.

Yuigahama telah mengupas pir itu menjadi sesosok jam pasir yang seksi dan merangsang. Apa-apaan dengan pahatan level tingginya itu? Bagaimana pirnya bisa jadi begitu tidak rata…? Kemampuan anti-memasaknya sudah maksimum…

“Ke-kenapa?! Aku melihat ibuku ketika dia melakukannya!”

“Kamu hanya melihatinya, huh…” Rasa putus asa menyelubungi tempat itu, tapi setelah dia selesai menghela, Yukinoshita mengambil pisau dan pirnya dengan tekad bulat di matanya. Kulit pir tersebut lepas dengan mulus. “Yuigahama‐san, tahan pisaunya dan putar buah pir itu mengelilinginya.”

“Se-seperti ini?”

“Tidak. Pisaunya harus sejajar dengan buah pirnya. Kalau pisaunya miring dan membelah terlalu dalam, isi buah pirnya akan ikut terkupas.” Yukinoshita berhenti hanya sejenak. “Kamu lamban. Kalau kamu tidak mengupasnya dengan cepat, panas tanganmu akan menjalar pada buah pir tersebut dan jadinya menetes-netes.”

“Apa kamu mertuaku?ǃ Memegang pisau itu menyeramkan, Yukinon!”

“Maaf mengatakannya, tapi kita tidak punya waktu untuk ini. Buat kelas memasakmu lain kali.” Aku meletakkan tanganku pada buah pir tersebut dan memberikannya pada Komachi. “Komachi.”

“Baik.” Mengambil buah pir tersebut, Komachi mulai mengupas kulitnya dengan mulus dengan pisau buah yang tersisa.

“Serahkan pada kami,” kataku. “Kamu kerjakan tusuk giginya saja.”

“Aww…”

Yuigahama tidak terlihat terbujuk, tapi dia dengan segan menyerahkan pisaunya padaku.

Sekarang setelah kami berganti tempat, aku juga benar-benar tidak ingin menunjukkan kelemahan apapun. Lakukan dengan lebih apik dibanding biasanya, kataku pada diriku sendiri.

Selagi lapisannya terkelupas satu per satu dengan segan seperti pakaian seorang gadis yang polos, buah pir itu menampilkan dirinya sebagai buah yang lezat dan matang. Di dalam kepalaku, aku sedang merapal, buat itu berkelasǃ buat itu berkelasǃ

Bagus, lenganku tidak terlihat melamban. Aku tidak sia-sia menjadi calon bapak rumah tangga. Aku akan berusaha segenap tenaga supaya aku tidak perlu bekerja.

Totsuka melirik ke arah tanganku dengan mata berbinar-binar. “Hachiman, kamu menabjubkan. Kamu benar-benar mahir.”

“Ugh! Dia benar!” erang Yuigahama. “Hikki, kamu terlalu mahir… menjijikan.”

“Kenapa kamu ‘ugh’ barusan…? Tunggu, aku menjijikan?” Di dalam hatiku, aku kaget.

“…Aku harus mengakui kamu cukup mahir untuk seorang lelaki.” Yukinoshita memujiku, begitu tidak biasa baginya.

Tunggu, bukankah lebih tepatnya ini untuk yang pertama kalinya? Wajahku tanpa sadar berpaling ke arahnya.

“…namun.”

Ketika aku melihatnya, buah pir di depan Yukinoshita sudah menjadi sekelompok kelinci.

“Kamu masih perlu banyak belajar.”

Senyuman kemenangannya yang cemerlang sangat menyilaukan. Dia telah melakukan semua dekorasi fantastis itu dalam waktu yang singkat hanya untuk menunjukkan perbedaan level kemampuan di antara kami… dia terlalu kompetitif…

“Karena kulit buah pir itu keras, akan lebih mudah untuk dimakan setelah dikupas… Aku sudah paham. Aku kalah.”

“Wah wah, apa yang membuatmu berpikir aku berencana berlomba denganmu?” Berani sekali Yukinoshita mengatakan itu setelah aku bersusah payah untuk mengakui kekalahanku. Dia mungkin berkata lain, tapi suaranya jelas terdengar senang…

Aku sedikit kesal, tapi berkat suasana hati Yukinoshita yang baik, kami menyelesaikannya dengan mulus, jadi aku membiarkannya saja.

Yukinoshita berkata pada Komachi di sampingnya, mungkin karena ketegangan yang meningkat di antara kami.

“Komachi‐san, kamu mengikuti ujian masuk SMA-mu tahun ini, bukan? Kalau begitu aku ada pertanyaan untukmu. Prefektur mana yang memiliki laju produksi buah pir tertinggi?”

“Prefektur Yamanashi[8]!”

“Hei, jangan asal tebak kalau kamu bodoh.” jawaban Komachi membuatku sedih. “Setidaknya pikirkan dulu sedikit.”

Apa dia benar-benar mengikuti ujiannya tahun ini? Kelihatannya dia perlu belajar baik-baik ketika kami pulang.

Yukinoshita melihat ke arah Komachi dengan senyuman pedih pada wajahnya. “Yah, kamu lebih baik mempelajarinya nanti. Toh, hanya tinggal hitungan hari sebelum ujianmu… kalau begitu sekarang.” Dia mencoba memancing minat Yuigahama. “Yuigahama‐san, apa jawaban yang benar?”

“Heh heh… prefektur Tottori!” Yuigahama menjawab dengan penuh percaya diri, setelah kelihatannya menanti-nanti pertanyaan itu.

“Salah,” kata Yukinoshita. “Tolong kembali masuk SMP.”

“Kamu mengejekku dengan lebih parah dibanding Komachi‐chan!”

Itu karena dia murid SMA dan Komachi murid SMP… itu sangat wajar bahwa Yukinoshita dapat melihat perbedaan tersebut. Namun, Tottori sudah agak mendekati. Tottori mungkin peringkat satu sekitar sepuluh tahun yang lalu. Sekarang itu kira-kira peringkat tiga.

Setelah mendengar jawaban Yuigahama, Komachi mendadak tertawa lemah. “Heheheheh. Aku mendapatkan jawabannya setelah mendengar jawabannya tadi. Kalau Tottori salah, kalau begitu… dari proses eliminasi, jawaban yang benar adalah prefektur Torine!”

“Salah. Aku tidak paham apa yang kamu maksud dengan proses eliminasi…”

“Yah, namanya terdengar mirip. Tottori dan Torine…”

Penduduk Chiba lemah di bidang geografi selain Kantō. Dan dengan geografi, maksudku mereka hanya tertarik dimana peringkat Chiba di Kantō. Tokyo dan Kanagawa adalah dua kota terkuat, sementara persaingan yang sengit melawan Saitama berlangsung untuk memperebutkan posisi ketiga. Itu sangatlah sulit.

“Yukinoshita‐san, apa jawabannya?” tanya Totsuka.

Yukinoshita menampilkan jawaban yang benar. “Jawabannya Prefektur Chiba.”

“Persis seperti yang bisa diduga dari Yukipedia-san. Atau mungkin sebaiknya kusebut Chibapedia-san sekarang?”

“Nama asliku bahkan tidak ada lagi di sana…” kata Yukinoshita, merasa jijik.

Aneh sekali. Aku bermaksud memberikan pujian terbesar padanya.

“Ohhh, jadi Chiba peringkat pertama,” kata Totsuka dengan kagum. “Jadi pir Chiba lumayan terkenal?”

Entah kenapa, kelihatannya bahkan orang yang tinggal di Chiba hanya memiliki pengetahuan sepihak mengenai Chiba.

“Mungkin tidak di dalam kota ini sendiri, tapi cukup terkenal di luar. Maksudku, pir itu begitu terkenal sampai kamu bisa diskors dari sekolah kalau kamu memetik buahnya. Omong-omong, kudengar kamu bisa dikeluarkan dari sekolah jika kamu memakannya.”

“Pengetahuan Chiba itu sudah pasti tidak akan masuk ujian…” Kelihatannya bahkan sang Chibapedia-san juga tidak tahu itu.

Dan jadi pertandingan final untuk Kejuaraan Mutlak Trivia Chiba jatuh padaku.

Berkat kami bercakap-cakap selagi kami bekerja, kami menyelesaikan tugasnya dengan mulus. Ketika aku mendongakkan kepalaku, anak SD tersebut terlihat sampai satu per satu.

Untuk beberapa saat setelahnya, kami hidup hanya untuk membagikan kotak makan siang dan buah pir kepada anak-anak yang lapar itu.


Mundur ke Bab 2 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 4

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Driver Magneto-Optical, dipasarkan pertama kali pada tahun 1985
  2. MiniDisc (MD) adalah alat penyimpanan data berbasis MO yang menawarkan kapasitas 74-80 menit data audio. MD Sony Dipasarkan dari September 1992 sampai Maret 2013.[1]
  3. Onsen adalah pemandian air panas. Airnya berasal dari mata air yang panas.
  4. Ini adalah pun. Bahasa jepang 'barbaque' dan 'rescue' dieja serupa.
  5. Chinese Whisper atau Russian Scandal dalam bahasa Inggris, ini adalah permainan dimana satu orang membisikkan sebuah pesan pada telinga orang di belakangnya kemudian diteruskan pada orang di belakangnya lagi sampai orang di barisan terakhir mengumumkan pesannya pada semua orang. Biasanya pesan awal dengan pesan yang diumumkan berbeda sekali. Hahaha
  6. Tumbleweed
  7. Dia mengutip kalimat terkenal Subaru dari Ro‐Kyu‐Bu!, yang menjadi meme Internet oleh fans Jepang.
  8. ‘Nashi’ adalah bahasa Jepang untuk buah pir.