Oregairu (Indonesia):Jilid 3 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 2: Sudah Kuduga, Kisah Komedi Romantis Remajaku Bersama Totsuka Memang Tepat Sekali[edit]

2-1[edit]

Dua puluh menit setelah aku menerima perintahku yang menindas, aku berada di area parkir sepeda, benar-benar merasa kebingungan.

Persis seperti yang Yukinoshita katakan, memotivasi Yuigahama untuk kembali ke Klub Servis merupakan prioritas nomor satu kami. Itu tidak seakan aku memiliki keberatan apapun untuk Yuigahama kembali atau semacamnya. Sekarang setelah aku sudah menekan tombol ulang, seharusnya ada jarak yang sesuai di antara kami. Tidak ada masalah jika aku bisa cukup mempertahankan jarak tersebut.

Kalau begitu sekarang, bagaimana aku bisa membuat Yuigahama termotivasi?

Itu tidak seperti aku bisa tinggal melemparkan tali laso ke lehernya, dan memintanya langsung untuk kembali akan membangkitkan kesan tidak mengenakkan dari yang sebelumnya, yang benar-benar tidak menarik minatku.

Jadi apa sekarang?

Aku memikirkannya untuk sejenak. Tapi… Aku tidak tahu. Apa aku seharusnya minta maaf? Nah, tidak seakan aku melakukan sesuatu yang salah…

Pertengkaranku dengan Komachi selalu berakhir tanpa perlu banyak berkata-kata. Entah bagaimana aku mendapat perasaan keadaannya tidak akan membaik dengan sendirinya kali ini…

Selagi aku menggaruk kepalaku dengan ekspresi kaku pada wajahku, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. “Hachiman? Oh, itu benar-benar kamu, Hachiman.”

Ketika aku berpaling, Totsuka Saika sedang bertingkah gelisah dengan malu-malu, cahaya matahari sore yang cemerlang menyinari dirinya. Debu di udara berubah menjadi partikel cahaya hanya karena dia berdiri di sana. Totsuka itu betul-betul malaikat.

Aku segera terpesona, tapi aku memutuskan untuk bertingkah sekeren mungkin yang bisa dicapai manusia. “Yo.”

“Yo juga.” Totsuka mengangkat satu tangannya seakan dia sedang mencoba untuk meniruku. Tingkah kasar itu pastilah membuatnya malu, karena dia tertawa dengan tersipu-sipu dan senyuman malu-malu terbentuk di wajahnya. Lontong sate, dia terlalu imut. “Apa kamu juga akan pulang sekarang, Hachiman?”

“Ya. Jadi apa klub tenis juga sudah selesai untuk hari ini, Totsuka?”

Totsuka, yang sedang berpakaian dalam pakaian olahraganya, mengatur raket pada punggungnya dan memikirkannya sejenak sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih belum, tapi aku dilatih di malam hari jadi… Aku pulang lebih awal.”

“Dilatih?”

Apa, apa Totsuka itu begitu imutnya sampai dia mengikuti Sekolah Aktor Okinawa untuk menjadi seorang bintang? Baik, aku akan membeli 100 CDnya! Maksudku, aku akan membeli sebanyak yang dibutuhkan sehingga aku bisa menarik sebuah tiket acara jabat tangan[1].

“Mm, di sekolah tenis, kamu tahu. Klub di sini berfokus terutama dalam melatih dasar-dasarnya.”

“Ohh… kamu cukup profesional.”

“T-Tidak ada yang bisa dibanggakan, sungguh… tapi… itu cintaku.”

“Huh? Maaf, tapi bisakah kamu mengatakannya lagi?”

“Um… tidak ada yang bisa dibanggakan?”

“Tidak, sedikit setelah itu.”

“…cintaku.”

“Oke, sudah mengerti kali ini.”

Aku menekan tombol simpan dalam hati dan mengukir kata-katanya ke dalam hatiku.

Selagi aku menghela dengan penuh kebahagiaan, Totsuka yang melongo memiringkan kepalanya sedikit dan membuat suara keheranan. Yang penting, aku sudah meraih tujuanku. Misi terselesaikan.

“Oh, maaf tentang itu,” kataku. “Jadi kamu sudah mau dilatih, benar, Totsuka? Oke. Sampai jumpa, kalau begitu.”

Melambai dengan santai, aku naik ke atas sepedaku dan baru saja mau mulai mengayuh. Tapi pada saat itu, aku merasakan sebuah tarikan menahan di punggungku. Ketika aku berpaling ke belakang, Totsuka sedang mencengkram kausku.

“Um, kamu tahu… pelatihannya mulai di malam hari. Jadi aku ada sedikit waktu sebelum pelatihannya…” Suaranya melemah, sebelum memulai lagi. “Tempatnya dekat ke stasiun, jadi… Aku bisa langsung berjalan ke sana… Maksudku, maukah kamu jalan-jalan sebentar?”

“Apa…”

“Kalau kamu senggang, maksudnya…”

Aku ragu ada orang di dunia ini yang akan menolak setelah diminta seperti itu. Macam, meskipun aku harus berangkat ke tempat kerja paruh-waktu nanti, aku yakin aku pasti akan meminta cuti satu hari dari tempat kerja. Aku mungkin akan menjadi muak bekerja dan langsung berhenti berkat dirinya.

Jika seorang gadis yang mengajakku, aku akan pertama-tama memeriksa sekelilingku mencari teman yang memaksanya memainkan permainan pinalti, dan bahkan setelah itu aku akan menolaknya hanya untuk berjaga-jaga, tapi…

Totsuka seorang laki-laki.

…laki-laki, lontong.

Meski begitu. Aku diliputi oleh rasa aman yang absolut karena Totsuka itu seorang laki-laki.

Dalam kasus Totsuka, dia bisa bertingkah sebaik yang dia inginkan padaku tanpa membuatku salah paham. Jika aku menyatakan cintaku padanya hanya untuk ditolak mentah-mentah, itu tidak akan mengakibatkanku banyak luka. Tapi dipikir lagi, menyatakan cintaku pada seorang laki-laki akan mengakibatkanku luka yang tiada henti di masyarakat.

Karena seperti itu kejadiannya, aku menemukan bahwa aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya. “Tentu, tidak seperti aku ada hal yang lebih baik untuk dikerjakan di rumah selain membaca buku.”

Tidak ada yang benar-benar mengejutkan mengenai itu. Membaca buku, membaca komik manga, menonton anime yang kurekam, memainkan sebuah game, belajar ketika aku bosan – itulah kemungkinan yang terjadi padaku. Hidupku benar-benar begitu penuh dengan kesenangan dan game, itulah kutukanku.

“Begitu ya, baguslah kalau begitu… j-jadi ayo kita pergi ke stasiun?”

“Kamu mau naik di belakangku?” tanyaku, menepuk tempat duduk sepedaku dengan pelan.

Itu tidak begitu jarang bagi dua laki-laki untuk menaiki sepeda bersama-sama. Lebih seperti itu suatu pemandangan yang umum. Jadi aku tidak merasa ada sesuatu yang aneh mengenai Totsuka duduk di jok sepeda, mengalungkan lengannya padaku dan berkata, “Hachiman… punggungmu begitu lebar.”

Tapi Totsuka menggelengkan kepalanya.

“T-tidak usah. Aku berat, kamu tahu…”

Bagaimanapun kamu menjulingkan matamu, dia terlihat lebih ringan dari seorang gadis… Aku baru saja mau mengatakan sesuatu seperti itu, tapi aku menahan diriku dan menjawab dengan hanya sepatah “Begitu ya”. Totsuka benar-benar tidak suka diperlakukan seperti seorang gadis.

“Agak sedikit jauh ke stasiun, tapi ayo jalan ke sana bersama.” Dengan senyuman malu-malu, Totsuka mulai berjalan pada jalannya.

Aku mengikuti selangkah di belakangnya, sambil mendorong sepedaku bersamaku.

Di sepanjang perjalanan, dia akan kadang-kadang melihat padaku, seakan mencoba mengintip ekspresiku. Dia melangkah lima langkah dan mengintip ke arahku, dan kemudian setelah delapan langkah dia mengintip lagi. Um, dia benar-benar tidak perlu begitu khawatir tentang apa aku benar-benar mengikutinya atau tidak.

Tanpa mengatakan apapun pada satu sama lain, kami berputar di sudut taman di samping Saize dan melintasi jalan itu sampai melewati jembatan penyebrangan. Seperti pasangan murid SMP yang sedang berkencan, kesempatan yang bagus untuk membuka mulut kami terbang di depan kami, bahkan selagi kami bertukar pandangan sembunyi-sembunyi.

Ada rasa sakit yang manis di dalamnya. Jantungku berdebar begitu kencang sampai-sampai kupikir aku mau mati.

Jembatan yang menyebrangi jalan raya nasional itu merupakan sebuah bangunan bertingkat dua; mobil pada tingkatan atas dan pejalan kaki pada tingkatan bawah. Selagi angin menghembus pergi asap kenderaannya, sebuah semilir angin menyegarkan meniup ke naungan jembatan ini.

“Sungguh semilir yang menyegarkan, Hachiman.” Seakan atas aba-aba, Totsuka berpaling pada langkah kelima.

Aku ingin mengambil foto senyuman menyegarkannya itu dan menyimpannya dalam bentuk JPEG – itu seperti sejenis pemandangan awal musim panas yang indah.

“Mm ya,” kataku. “Ini akan menjadi tempat yang sempurna untuk tidur siang.”

“Hachiman, kamu tidur begitu lama saat jam istirahat dan kamu masih ingin tidur sekarang?” kata Totsuka sambil terkekek. Namun, dia keliru mengenaiku. Aku tidak ada siapapun untuk berbincang-bincang, dan karena tidak ada yang bisa dilakukan, kupikir aku tidur saja untuk melewati waktunya…

“Kamu tahu, di Spanyol mereka ada sebuah tradisi yang disebut siesta, dan tergantung bagaimana kamu melakukannya, rasa kantuk dan kelesuan hilang dan efisiensi kerjamu akan naik di sore hari. Aku dengar itu umum di sana.”

“Wow… kamu benar-benar berpikir panjang mengenai kebiasaan tidurmu, Hachiman.”

“Er, kurasa.”

Tentu saja, aku tidak memiliki niat itu sama sekali dan hanya mengarang-ngarang semua omong kosong itu, tapi dia menerima itu semua dengan begitu antusias. Itu membuatku kelimpungan sedikit. Aku agak tercengang akan betapa besarnya kepercayaan yang Totsuka miliki padaku, melihat dari betapa mudahnya untuk mengelabui dirinya. Dia bisa dimanfaatkan oleh orang jahat suatu hari nanti, yang menguatirkan. Aku harus melindunginya!


× × ×


y

2-2[edit]

Setelah kami selesai menyebrangi jembatan penyebrangan itu, stasiunnya tidak terlalu jauh lagi. Kami berdua berjalan lurus bersama pada kecepatan yang sudah biasa bagi kami. Saat stasiunnya masuk ke dalam pandangan, laju berjalan Totsuka agak melambat. Dia terlihat bimbang tentang mau pergi kemana.

“Kemana kamu mau pergi?” tanyaku.

“Um… suatu tempat untuk bersantai sejenak.”

“…jadi kamu sudah mengumpulkan cukup banyak stres, ya?”

Apa perasaan bersalah mengerikan yang datang padaku ini? Oh, ya, itu mengingatkanku pada suatu kali kucing kami hanya berkeliaran di dekatku dan aku menganggunya terlampau sering sampai aku berakhir dicakarinya… dan berkat itu, kucing kami tidak mau membiarkanku menggendonginya pada lenganku lagi sampai hari ini. Ketika kamu menganggu jenis hewan peliharaan domestik ini terlampau sering, mereka benar-benar mengumpulkan stres, kamu tahu. Sebaiknya berhati-hati ketika menghadapi Totsuka.

“Er, uh, itu bukan soal aku…”

“Aku tidak benar-benar mengerti apa yang kamu maksud, tapi kamu bisa pergi ke karaoke atau ke arcade, kurasa.”

“Tidak apa-apa terserah yang mana?” Totsuka bertanya padaku dengan bimbang.

Itu membuatku berpikir untuk sejenak.

Karaoke sudah pasti menyantaikan. Itu terasa cukup enak untuk dengan diam terus memasukkan lagu-lagu sendirian dan menyanyikan sebuah lagu hebat dengan penuh semangat. Hanya saja, tenggorokanmu dan semangatmu akan sudah hancur pada lagu kelima, dan ketika pelayan karaokenya datang dengan minuman dan melihatmu seperti itu, kata-kata tidak mampu mengungkapkan betapa terasa menyuramkannya itu. Dan perasaan “Apa yang sedang aku lakukan dengan hidupku…?” setelah kamu selesai begitu dasyat.

Arcade sama menyantaikannya. Game-game perkelahian dimonopoli oleh para veteran, dan rakyat jelata yang masuk hanyalah lawan yang mudah. Kamu bisa bersenang-senang memainkan permainan kuisnya. Karena pertandingan internet sedang marak-maraknya belakangan ini, penantang-penantang level-nasional dan turnamen-turnamen juga bermunculan. Itu tentu terasa enak untuk membisikkan “Heh, si bodoh dungu” selagi kamu menghabisi lawan-lawanmu. Itu memakanku tiga jam untuk menyadari aku sedang mengincar sesuatu pada skala menjajah Shanghai atau Tembok Raksasa China dan bahwa itu benar-benar begitu buang-buang waktu. Perasaan “Apa yang sedang aku lakukan dengan hidupku…?” setelah aku selesai juga begitu kuat.

Fakta bahwa yang manapun itu akan berakhir dengan diriku bertanya-tanya apa yang sedang aku lakukan dengan hidupku itu agak bermasalah.

Karaoke atau arcade – itu kira-kira mirip dengan Dotch Cooking Show dimana kamu dipaksa untuk memilih salah satu[2].. Itulah Chiba. Aku sudah bersiap untuk momen-momen seperti ini.

“Yah, kalau kita pergi ke Big Mu, disana ada kedua-duanya.”

Big Mu adalah sebuah taman hiburan serba-guna, jadi tentu saja Big Mu dilengkapi dengan bar karaoke, sebuah arcade dan bahkan sebuah pusat bowling, ruang biliar dan rumah minum. Yah, area gamenya dipadati oleh semua tersangka-tersangka biasa, jadi pada saat kami memang pergi kesana aku ingin membuat tindakan berjaga-jaga yang cukup sebelum pergi.

“Begitu ya… kalau begitu ayo kita pergi ke Big Mu.”

Atas desakan Totsuka, aku mendorong sepedaku keluar dari bundaran jalan raya di stasiun dan memarkirkannya di area parkir sepeda di Big Mu.

Sesudah kami sampai ke lantai atas menaiki liftnya, kami berjalan ke arcade, setelah memutuskan untuk mengecek tempat itu dulu. Ketika aku melangkahkan kakiku ke dalam aulanya, aku dilanda oleh banjiran suara-suara seakan sebuah dunia yang benar-benar berbeda sedang terbuka di depan mataku: lampu dekoratif yang berkerlap-kerlip, asap rokok yang membumbung tiada henti, jeritan tawa yang menolak untuk diredam oleh semua kehiruk-pikukan tersebut.

Persis di depanku, terdapat sebuah tempat game capit boneka.

Segera setelah aku melihat seorang pasangan sedang mengoperasikan capitnya dan sedang membuat keributan yang luar biasa dasyatnya dengan gelak tawa mereka, aku ingin pulang. Sialan, Preman-san, apa yang menahan kalian begitu lama? Tolong segera buru rakyat jelata ini, dan selagi kalian melakukannya, tolong berbaik-hatilah pada para polisi dengan menghajar diri kalian satu sama lain.…

Si pria kelihatannya sedang kesusahan dengan game crane itu, karena dia sedang bernegosiasi dengan salah satu pegawainya dan membuatnya memindahkan salah satu mainan lembut itu untuknya. Kelihatannya mendapatkan mainan untuk pelangganmu adalah bagian dari pelayanannya sekarang ini. Sungguh sudah mulai longgar disini…

Menyelip melewati pasangan tersebut, Totsuka dan aku berpaling ke tempat video game.

“Whoa, ini begitu keren…” beber Totsuka.

Itu adalah sebuah pemandangan yang sudah biasa bagiku, tapi kelihatannya bagi Totsuka itu adalah pemandangan yang masih baru berkilau.

Ada game berkelahi di depanku, dan di jantung arcade terdapat tipe-permainan di atas meja seperti puzzle dan mahjong, dengan game-game tembak-tembakan terhimpit di antara kedua game itu. Di sebelah kananku terdapat meja game kartu. Kelihatannya di dalam arcade ini, game kartu lumayan sukses. Game berkelahi dan mahjong wajar-wajar saja populer, sementara hanya ada segelintir orang yang tersebar di sana-sini yang mencari game kuis. Tempat dimana kamu benar-benar tidak boleh menurunkan kewaspadaanmu adalah game tembak-tembakan dan game puzzle. Kadang-kadang, kamu akan berpapasan dengan orang mirip zombie yang kelihatannya tidak ada kehidupan lain selain mendapatkan skor yang bodohnya tinggi, dan kadang-kadang ada keramaian yang berkumpul untuk menonton mereka bermain.

“Hachiman, apa yang biasanya kamu mainkan?”

“Uh… game kuis dan Shanghai, kurasa.”

Seperti yang bisa kalian duga, aku tidak bisa mengatakan strip Mahjong.

Yang penting, jika hanya kami berdua yang bermain-main, game kuis merupakan pilihan yang aman. Kuis Akademi Sihir yang biasanya kumainkan terletak di dekat game-game berkelahi. “Totsuka, sebelah sini,” kataku, sambil melambai saat aku berbicara karena sekeliling kami yang ribut.

Totsuka mengangguk, dan kemudian dia mengengam lengan baju kausku. Yah, uh… Kurasa karena ini adalah yang pertama kali Totsuka datang kemari dan semacamnya, dia kurang lebih harus melakukan ini supaya dia tidak tersesat. Yap, tidak ada yang tidak biasa mengenai ini sama sekali. Ini super wajar-wajar saja.

Kemudian, selagi kami sedang melewati tempat game berkelahi, mataku berpapasan dengan sebuah sosok familier yang mengenakan jas mantel. Lengannya dilipat dengan angkuh dan dia mengenakan sarung tangan pelindung hebat pada pergelangan tangannya , dan setiap kali dia bergelak tawa, rambut bun yang terikat di belakang kepalanya akan bergoyang sedikit.

Dia sedang berdiri dengan segerombolan orang yang berkumpul di sekitaran pemain game berkelahi, dan kadang-kadang dia akan membisikan sesuatu pada orang lain dan mereka akan berbincang-bincang dengan ramah.

“Um, Hachiman…” Ekspresi Totsuka penuh dengan kebingungan. “Apa itu Zaimo-?”

“Itu orang lain.” Aku memotong pertanyaannya.

Tentu, dia terlihat familier. Tapi kami tidak mengenal satu sama lain.

Tidak ada satupun orang di antara kenalanku yang bisa berbicara dengan begitu nyamannya dengan orang lain. Bagaimanapun, dia adalah si pria tanpa teman.

“Oh, begitu ya… Aku pikir dia itu Zaimokuza-kun…”

“Lontong, Totsuka, jangan panggil namanya.”

“Hmm? Suatu suara melafalkan nama saya… wah oh astaga! Bukankah ini Hachiman!”

…jadi dia menyadari keberadaan kami, huh.


× × ×


2-3[edit]

Salah satu ciri khusus para penyendiri dikenal sebagai “bertingkah berlebihan ketika mendengar nama mereka”. Biasanya, jarang sekali seseorang pernah memanggil nama mereka, jadi pada saat-saat langka seorang penyendiri memang mendengar nama mereka dipanggil, mereka cenderung bertingkah berlebih-lebihan. Sumber: diriku. Mereka membuat beberapa reaksi tolol seperti berkoak-koak dengan tingkah yang terlampau kaget. Seperti pada level menjawab dengan refleks ketika si pengumum mengatakan, “Pemberhentian selanjutnya adalah Ichigaya,” pada jalur kereta api Soubu.

“Siapa sangka aku akan bertemu denganmu di tempat ini. Mengapa kamu berada di sini?” Zaimokuza berhenti sejenak. “Ini adalah medan pertempuran, kamu tahu. Sebuah tempat bagi mereka yang siap untuk membuang nyawa mereka.”

“Um, Aku hanya diajak kemari oleh Totsuka seperti orang normal,” tunjukku, menolak untuk ikut memainkan permainan-peran Zaimokuza yang menjengkelkan.

Reaksi Zaimokuza adalah membuat tatapan sok polos padaku. Tidak imut. “Jadi Hachiman, apakah kamu ada semacam kerjaan untuk dilakukan disini?”

“Nah, Aku hanya datang untuk bersantai.”

“Bilang apa?! Tunggu dulu. Kamu sedang melakukan ini dengan Tuan Totsuka?” Zaimokuza melirik ke arah Totsuka, matanya melebar dengan keterkejutan yang berlebihan. Itu membuat Totsuka tersentak dan mundur ke balik punggungku.

“Uh, ya…” kataku.

“Oho, Aku akan bersama dengan kalian untuk sekarang ini.” Zaimokuza meninggalkan kami dengan sempoyongan, dengan sebuah seringai yang lebar namun tidak mengenakkan di wajahnya. Kelihatannya dia sedang mengucapkan selamat tinggal pada orang yang sedang berbincang dengannya barusan tadi. Kurang dari satu menit berlalu sebelum dia kembali, dengan mendesah berat. “Kalau begitu sekarang, ayo kita jalan.”

“Um, kamu sadar kami tidak pernah mengajakmu…”

Zaimokuza, yang entah kapan membuat keputusannya untuk menemani kami berdua, terus berdesah sampai bahunya bergetar. Dia mengusap keringatnya dengan lengan bajunya, seakan dia tidak ada waktu untuk ungkapan keberatanku yang malas.

“Hei, Zaimokuza, apa pria barusan itu temanmu atau semacamnya?”

“Nai. Dia seorang Arcanabro.”

“Uh, Aku tidak sedang menanyakan nama alias orang itu, kamu tahu.”

“Hm? Itu bukan nama aliasnya. Nama aliasnya itu Ash si anjing Bloodhound."

“Begitu menggelikan…”

“Ketika dia akhirnya menjatuhkan lawannya dalam Tekken, mereka menjadi geram dan meninju dan menendang mesinnya dan asbaknya, tapi bagian asbak itu benar-benar menjadi populer dan membuatnya termasyhur. Dia adalah seorang veteran di Big Mu. Nama sebenarnya masih sebuah misteri. Semua orang memanggilnya Ash-san, kalian tahu.”

“Oh, Begitu ya…”

Wow. Itu mungkin informasi paling tidak berguna yang pernah ada. Aku tidak dapat memikirkan satu kejadianpun dimana mengetahui asal muasal nama Ash bisa berguna.

“Oke, jadi apa itu Arcanabro?” Totsuka, yang sedang mendengarkan percakapan itu, menanyakan pertanyaan yang sama pada saat yang persis sama denganku.

Yang benar saja, Zaimokuza, berhenti menganggap kami mengerti jargonmu. (Tidak seperti aku ingin tahu sekali.)

“Yah, itu mengacu pada seseorang yang memainkan permainan yang sama denganmu. Kamu dapat menggunakannya untuk titel-titel dan wilayah-wilayah. Sebagai contoh, kamu bisa bilang, ‘Di antara para Arcanabro, para Chibabro adalah sampah terbesar dari semuanya.’”

Chibabros, sampah… Aku suka kata itu – Chibabro. Terutama untuk bagian Chibanya.

“Jaaaadi, apa dia itu temanmu?” tanyaku.

“Nai, dia seorang Arcanabro.”

“Jadi kamu sedang mengatakan dia itu bukan temanmu…?” Berbicara dengan Zaimokuza melelahkanku. Kami berdua orang Jepang, tapi kami tidak berbicara dengan bahasa yang sama. Apaan? Serius, bahkan dari bahasa apa Arcanabro itu datang? Yah, kurasa kata itu digunakan untuk mengacu pada orang-orang dalam kelompok sosialmu.

Zaimokuza merenung sejenak atas pertanyaanku. “Hm, Aku heran. Kami berbincang ketika kami bertemu dan kami mengirimkan SMS tips bertarung pada satu sama lain. Kami juga pergi ke acara-acara di luar perfektur bersama… dan namun, aku tidak tahu sama sekali nama sebenarnya, maupun apa yang dia lakukan untuk hidup. Aku membicarakan hanya mengenai bermain game dan anime padanya.” Dia terdiam untuk sejenak. “H-hei, apakah kamu bisa mengatakan Ash-san itu temanku?”

“Jangan tanya aku… tidakkah mereka mengajarimu di sekolah untuk tidak menjawab sebuah pertanyaan dengan sebuah pertanyaan?”

“Hmm, Aku merasa lebih nyaman memanggilnya rekan bermain gameku daripada temanku. Bagiku, itu adalah sebuah kata yang bisa lebih kupercaya daripada ‘teman’.”

“Rekan bermain game, huh… Aku suka betapa mudahnya itu untuk dimengerti. Kata itu terdengar bagus.”

Itu tentu mengalahkan ketidakjelasan kata ‘teman’, jadi aku agak lebih suka ungkapan tersebut.

Ada banyak hal di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan tapi begitu mudahnya dipakai dalam percakapan. Seperti, daripada mengatakan pernikahan atau cinta atau romansa, itu akan lebih mudah untuk dimengerti jika orang mengatakan mereka mau hubungan saling menguntungkan, atau mereka ingin uangmu, atau mereka ingin terlihat bagus di mata masyarakat, atau mereka menginginkan keturunan, dan sebagainya. Namun, mengatakan kamu menginginkan seseorang untuk uang mereka itu benar-benar buruk.

“Memang,” kata Zaimokuza. “Dengan kata lain, kamu bisa bilang kamu dan aku itu pendjasbro, Hachiman.”

“Huh, kamu pikir begitu?”

Entah kenapa, dia membuat itu terdengar jelas tidak menarik, yang agak menjijikanku. Singkatnya, dia sedang mengatakan bahwa di antara semua SMA Soububro, pendjasbro adalah sampah terbesar dari semuanya.

Namun, aku harus berterima-kasih pada Zaimukuza untuk menjelaskan bahwa kami bukanlah teman. Kami hanya perlu berbincang dengan satu sama lain karena kami adalah pendjasbro.

“Oke,” kata Totsuka, “jadi jika aku dipasangkan denganmu di kelas pendjas, Hachiman, kita pendjasbro juga.”

“Oh, k-kamu pikir begitu…?”

Jadi Totsuka dan aku bukan teman, huh… Itu mengejutkan.

Namun, aku hanya perlu menunggu. Jika kami bukanlah teman, toh, kemungkinan bahwa kami bisa menjadi pasangan masih ada. Yah, cintaku! Sial, yang manapun itu aku tetap dalam masalah.

“Namun, itu menabjubkan bagaimana kamu bisa membuat begitu banyak kenalan dengan bermain game,” ujar Totsuka.

“Hm. B-Begitukah?” Zaimokuza menjawab dengan gemetar.

“Oh, Aku juga merasa itu lumayan keren,” kataku. “Di sini aku pikir bermain game itu lebih condong pada apa yang dilakukan penyendiri.”

“Tidak, sama sekali bukan begitu adanya. Ada turnamen pertarungan tim level nasional untuk game bertarung sperti Gekido. Itu semua cukup menegangkan. Pada turnamen-turnamen tua ada juga acara dimana petarung-petarung akan bertarung demi rekan bermain game mereka yang gugur. Semua orang di aula akan menjadi emosional. Itu cukup untuk membuatku melinangkan air mata.”

“Terdengar seperti Koshien[3]..”

“Mm, Aku rasa begitu.”

Yah yah… jadi bahkan pria ini mengejutkannya memiliki sebuah komunitas yang dapat cocok dengannya.

“Whoa, itu begitu keren…” Totsuka menepuk tangannya bersama dengan berlebih-lebihan.

Dengan itu, Zaimokuza tiba-tiba menjadi terbawa suasana. Segera setelah sebuah topik yang kami para penyendiri banyak ketahui diangkat, ocehannya akan mulai persis saat itu juga. Itu adalah kebiasaan buruk kami. “Memang begitu! Secara umum game adalah hal yang menabjubkan, bukan hanya game pertarungan. Pertama-tama, sesama pemain akan membuat game bersama, yang kemudian dinikmati oleh sesama pemain lain, beberapa dari mereka akan melanjutkan untuk membuat generasi game selanjutnya. Bukankah siklus itu begitu indah? Suatu hari, aku juga akan berdiri di antara para pembuat game.”

“Huh? Kamu akan menjadi seorang pembuat game, Zaimokuza-kun? Sungguh keren!” kata Totsuka.

“M-memang! Ohohohohoho!”

…um, apa?

“Apa yang terjadi dengan mimpimu untuk menjadi seorang penulis novel ringan…?”

“Oh, itu. Aku berhenti,” dia menyatakan dengan segera tanpa setitikpun keraguan apapun juga.

“Jadi kamu mengganti karir sekali lagi…?”

“Yah, bagaimanapun juga, seorang pengarang novel ringan itu wiraswasta. Tidak ada asuransi jika kamu gagal dan seseorang harus tetap menulis selama bertahun-tahun sampai akhir. Mendapatkan uang itu tidak dijamin tidak peduli seberapa banyakpun kamu menulis. Yang merupakan sebuah kekhawatiran yang mengertikan. Sebuah perusahaan game lebih baik dalam hal itu, hanya dengan berada dalam kantor saja sudah menjaminkanmu bayaran gaji.”

“Kamu hanya mengincar keuntungan diri sendiri, kamu sampah!”

“Hmph! Macam kamu bisa bilang begitu, Hachiman!”

Dia ada benarnya. Karena aku tidak mau bekerja dan semacamnya, itu kurang lebih sama seperti menjadi seorang bapak rumah tangga.

“Tapi kamu tidak ada kemampuan membuat game,” tunjukku.

“Hmph. Kalau begitu, aku akan menjadi penulis skenario gamenya. Itu akan menerapkan ide-ide dan kecakapan menulisku. Aku akan menjalani kehidupan yang stabil membuat hal-hal yang kucintai dengan uang perusahaan!”

“B-begitu ya… semoga beruntung…”

Aku tidak mau perduli lagi. Aku merasa seperti seorang idiot untuk memikirkan masa depan orang itu dengan serius bahkan untuk sejenak.


× × ×


2-4[edit]

“Lebih pentingnya, Hachiman, kamu bukannya datang kemari untuk bersenang-senang? Ini adalah markasku; maka dari itu aku akan menjadi pemandumu. Apakah ada sesuatu yang ingin kalian lakukan?” Zaimokuza benar-benar sedang mengumpulkan energinya seakan dia itu benar-benar cocok di tempat ini.

Mempertimbangkan bagaimana aku bisa kurang lebih melihat di mana letak semuanya hanya dengan pandangan sepintas, itu mengagumkan betapa tidak berguna panduannya tersebut.

“Oh, Aku ingin mencoba bilik foto itu.” Totsuka, yang sedang melihat-lihat interiornya persis seperti yang sedang aku lakukan, menunjuk ke arah kiri ujung dimana tempat bilik foto tersebut terletak. “Hachiman, maukah kamu berfoto selembar denganku?”

“Yang benar saja… disana sudah seperti ada tulisan ‘zona cuma-para-gadis/cuma-bagi-pasangan’ terpampang di seluruh tempat itu.”

Tempat bilik foto itu dilarang bagi para lelaki. Kelihatannya kamu hanya bisa masuk jika kamu adalah seorang gadis atau jika kamu memiliki seorang pacar. Sungguh diskriminasi yang kentara. Itu adalah apartheid zaman modern. PBB harus cepat menangani hal ini.

Kelompok kami terdiri dari tiga lelaki. Kami tidak memuaskan satupun persyaratan yang ada.

“K-kurasa, ya… tidak bisa, huh?”

“Aku tidak akan persisnya bilang itu tidak bisa…” Serius, ketika dia meminta sesuatu dengan caranya tersebut, itu jauh lebih sulit untuk mengatakan tidak padanya.

“Ohohohoho, tidak perlu khawatir. Hachiman, Aku sudah memberitahumu ini adalah markasku. Mereka akan membebaskanku untuk lewat sebagai seorang langganan.”

“Wow, kamu bisa melakukan itu? Itu menabjubkan. Pasti super berguna untuk bisa mengandalkan bebas lewat.”

Jadi itu bukan hanya iklan palsu. Itu agak menabjubkan bagaimana pegawai dan langganan keduanya mendapatkan keuntungan. Itulah Zaimokuza-san.

“Serahkan saja padaku. Ikut aku,” ujar Zaimokuza selagi dia menunjukkan jalan ke tempat bilik foto. Penampilan agungnya dilimpahi rasa percaya diri, tidak memperlihatkan tanda-tanda kegelisahan. Tingkah lakunya pantas untuk seorang raja. Itulah Zaimokuza-san.

Dengan itu, dia mendekati konter di depan tempat bilik foto.

“Permisi, tuan, apa yang sedang anda lakukan? Itu tidak terlihat bagus untuk hanya lelaki yang masuk.”

“Er, um, uh, m-maaf…”

Sembilan dari sepuluh kali percobaan, semua yang diperlukan untuk menghentikan langkahnya adalah sebuah komentar santai seorang pegawai. Itulah Zaimokuza-san.

Melihat bagaimana ini semua berada dalam dugaan, Totsuka dan aku melihat satu sama lain tanpa keterkejutan khusus.

“Persis seperti yang kuduga…” gugamku.

“…ahaha, itulah bagaimana keadaannya.”

Tapi pada momen selanjutnya, sebuah keajaiban terjadi.

“'ermisi, kamu menganggu jalan. Pergi keluar, terima kasih.”

Selagi abang pegawai itu dengan acuh tak acuh segera mengusir Zaimokuza dari tempat itu, dia mengosongkan jalannya untuk kami. Zaimouza sedang diseret pergi tanpa perlawanan apapun, seperti kucing yang sedang diangkat dengan memegang tengkuk lehernya.

“…A-Ada apa itu?” Alasan mengapa Totsuka mengedipkan matanya lebar-lebar dengan keterkejutan tidak diragukan lagi terpampang di wajahnya.

“…mana kutahu? Terserahlah, dia mengosongkan jalan untuk kita jadi ayo kita pergi.”

“Y-ya…” Totsuka mengikuti di belakangku, ekspresinya tidak puas sepenuhnya.

Di dalam tempat itu, ada segala jenis mesin yang dapat kamu bayangkan. Jujur saja, cara cahaya-cahayanya berkerlap-kerlip dan berbinar-binar dengan oh begitu berseri dan begitu indahnya itu menghasilkan suasana seperti Kabukicho di Shinjuku.[4]

Dan lontong sate, lihat semua sampel gambar-gambar itu. Potret orang-orang yang terlihat seperti model dicetak di tirai dan di biliknya serta segala tempat di antaranya. Itu begitu mengerikan bagaimana mereka semua memiliki wajah yang sama. Mengapa semua gadis itu terlihat sama? Kamu hanya bisa membedakan mereka dari gaya rambut dan pakaian mereka. Apa mereka memakai template atau semacamnya?

“Whoa… sungguh lacur…”

Dibandingkan dengan tipe-tipe seperti Yuigahama dan si gadis Miura itu, aku mendapat kesan rapi dan bersih dari gambar tersebut. Jadi ini orang-orang yang “termasuk pada dunia lain”, huh? Itu membuatku jijik.

“Oke, di sini saja,” kata Totsuka. “Hachiman, kamu tidak masalah dengan ini?”

“…ya, tidak masalah.”

Jujur saja, itu tidak bisa lebih hancur lagi.

Totsuka memasuki biliknya dan mulai membaca instruksinya dengan rajin. “Jadi, mari kita lihat. Pilih latar belakangnya dan… oke, ini terlihat bagus,” katanya, sambil memegang lenganku dan menarikku beberapa langkah ke depan.

“H-huh? Apa, apa sudah dimulai? Apa yang seharusnya kulakukan?! Itu menyilaukanku!”

Berkas cahaya berkilat tiba-tiba. Tunggu, bukankah Solar Flare itu kekuatan yang hanya bisa digunakan Tien Shinhan[5]? Jadi apa Goku bisa berfoto juga?

“Ayo kita melakukannya sekali lagi~”

Setelah suara sintetik itu menyeliputi bilik, kilatan cahaya itu berkerlap beberapa kali. Pinjamkan aku kekuatanmu, Tien Shinhan!

“Dan sudah selesai! Jangan lupa untuk menambah sentuhanmu sendiri ketika kamu pergi!”

“Sentuhan kami sendiri, huh…?” kata Totsuka. “Aku heran bagaimana sebaiknya aku membuat fotoku.”

Kami menarik tirainya ke samping dan berpindah ke bilik lain untuk mengedit fotonya. Pada layar terpampang hitungan mundur yang menunjukkan seberapa banyak waktu yang tersisa untukmu untuk mengedit.

“Jadi kamu mengecek fotonya dan… wh-whoa! Ada hantu di dalamnya?!” Segera setelah dia membuka layarnya, Totsuka melekat pada lenganku begitu erat karena kaget.

Whoa, i-itu membuatku terkejut! Selagi aku menjaga detakan jantung yang dipercepat itu dalam kendaliku, aku melihat ke foto hantu itu atau apalah yang ada di dalamnya dan melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa seorang laki-laki dengan wajah cemberut memang setengah tampak.

Dan namanya adalah Zaimokuza.

Ketika aku membuka tirainya untuk mencari dirinya, dia sedang berjongkok di atas lantai.

“Oh, Aku mengerti sekarang,” kata Totsuka. “Jadi dia Zaimokuza-kun, huh…? Terima kasih Tuhan untuk itu.”

“Apa yang sedang kamu lakukan di sini…?” tanyaku pada Zaimokuza.

“Oho, Aku merangkak ke mari supaya aku tidak ditemukan. Jadi kemudian aku berpikir, melihat kamu sedang melewati momen mesra dengan Tuan Totsuka, sebaiknya aku menghancurkannya untukmu dengan muncul di foto itu sendiri! Terima itu! Memorimu sudah dinodai dengan tanganku!”

“Tidakkah itu menyedihkan untuk mengatakan itu mengenai dirimu sendiri?”

“…hmph, Aku melampaui level kesedihan itu selama penjualan foto setelah kunjungan sekolah. Untuk jelasnya, para gadis menangis hanya karena aku berada di dalam foto bersama mereka.”

Whoa, jadi pria ini ada lukanya sendiri juga… “Ohh. Um, bagaimana aku mengatakannya? T-Turut berduka, Zaimokuza.”

Zaimokuza membuat suara geram. “Tidak perlu kuatir denganku,” katanya selagi dia sembunyi-sembunyi mengusap air mata yang terlinang di sudut matanya.

Namun, Zaimokuza bukan orang jahat. Penjualan foto itulah penjahat yang sebenarnya di sini.

“Tapi kamu tahu, sistem penjualan foto itu penuh dengan omong kosong dan mereka sebaiknya menghentikan itu. Ketika kamu diam-diam membeli selembar foto gadis yang kamu sukai dan semua orang di sekitarmu mengetahuinya dan mengejekmu, itu menyebalkan. Itulah bagaimana keadaannya bekerja.”

“…m-memang, sesuatu yang serupa terjadi padaku.”

“H-Hachiman… ayo kita membuat banyak kenangan mulai sekarang.” Totsuka menenangkanku dengan segenap tenaganya. “Aku akan bersamamu kapanpun aku bisa.”

Itu hanya akan aneh… walau kurasa itu akan masuk akal jika dia seorang murid SMP.


× × ×


2-5[edit]

Selagi kami sedang menghabiskan waktu, melakukan ini dan itu, waktu editnya berlalu dan fotonya dicetak.

“Kulitku begitu putih…” kata Totsuka.

“Augmentasi yang lumayan hebat…” ujarku.

“Memang,” kata Zaimokuza dengan satu batukan. “Dan namun melihat Hachiman sedang berbinar mengirimkan hawa dingin menjalari sumsumku… dia sedang berbinar-binar namun matanya tetap busuk…”

Yah, tidak usah dikatakan lagi bahwa selembar foto terlampau silau ini adalah hasil dari kilatan cahayanya yang dihidupkan begitu tinggi. Efek pemutihnya jelas terlihat pada Zaimokuza. Kalau untuk Totsuka, efek itu menampilkan ciri-ciri gadis cantiknya hingga sedemikian hebatnya sampai-sampai tidak akan berlebihan untuk memanggilnya seorang bishojo.

“Benar, mari. Ini punyamu, Hachiman.” Totsuka menyerahkanku satu dari tiga foto yang telah dipotongnya dengan rapi dari tumpukan itu. “Dan ini untukmu, Zaimokuza-kun.”

“O-oh? Aku juga boleh mendapat selembar?”

“Huh? Ya,” kata Totsuka dengan senyuman yang lebih berseri dari augmentasi apapun yang bisa dihasilkan sebuah bilik foto.

Zaimokuza menjadi gembira sebagai responnya. “Oh, baiklah. K-Kalau begitu aku terima.” Dia mengambilnya, memperlakukannya seperti sebuah harta karun, dan dia memandangnya dengan sejenis pandangan yang bahagia nan linglung.

Aku mengarahkan pandanganku ke foto-foto di tanganku dengan cara yang sama seperti Zaimokuza.

Karena tidak ada banyak waktu di bilik pengeditan, hanya tiga fotoku yang ada tulisan di atasnya. Di atas salah satu fotonya, “Pendjasbro” tertulis dengan tulisan tangan Totsuka yang agak bersambung. Aku suka julukan itu, itu imut…

Foto lain terdapat kata “nakayoshi” – sobat.

Zaimokuza mendengus. “Hachiman dan aku bukanlah sobat.”

“Kurang lebih begitu. Kami bukanlah sobat.”

“Kalian pikir begitu? Aku rasa kalian cukup akur-akur saja.” Totsuka menggelengkan kepalanya, merasa kaget.

“Nah, Aku lebih fans pada Ribon daripada Nakayoshi[6]..”

“Memang,” kata Zaimokuza. “Kodocha cukup bagus…”

“Aku tahu bukan? Aku mengikuti komik manga itu sampai ke akhirnya.”

“Oh, benarkah? Versi animenya lebih bagus.”

Zaimokuza dan aku berpaling dari satu sama lain sambil mengugamkan huff.

Aku menggeram.

Dia menggeram.

Selagi percikan api menyala-nyala dan kami berdua bersiap-siap untuk berperang mati-matian, Totsuka tiba-tiba terkekeh. “Kalian berdua benar-benar sobatan.”

“Huh? Bagian mana…?”

Zaimokuza mendengus. “Yang benar saja.”

“Yah, kamu tahu bagaimana itu. Karena rasa hormatku pada senyuman super imut Totsuka, aku akan memaafkanmu. Aku akan membawa komik manganya datang pada hari Senin dan kamu sebaiknya membacanya dan menuliskanku sebuah esai mengenainya.”

“Hmph. Kalau begitu aku, juga, akan membawa DVD-DVDnya dan kamu sebaiknya menyiapkan sebuah laporan penuh mengenainya.” Zaimokuza memalingkan pandangannya dengan tiba-tiba dan menjejalkan foto-foto di tangannya ke dalam dompetnya. “Jujur saja, Hachiman, kalau kamu tidak membuat keributan, aku akan bisa mendapatkan foto-foto teraugmentasi itu. Aku hanya berhasil mendapat dua lembar. Sebagai hukumannya, kamu harus memilih bola voli untuk kelas pendjas bulan depan. Kalau kamu gagal melakukan itu, aku akan sendirian.”

“Ya, aku berencana untuk memilih bola voli dari awal karena aku tidak mau berlari. Tunggu. Kamu bilang dua foto?”

Yang benar? pikirku, dan baru saja aku mau memastikan hal ini ketika aku merasakan sesuatu menyentak lengan bajuku. Aku berpaling untuk melihat Totsuka meletakkan satu jari pada bibirnya, men-sstku.

Aku menyimpan foto itu dalam gengamanku dan meliriknya dengan sembunyi-sembunyi, hanya untuk mendapati diriku agak merasa malu dari apa yang tertulis di atas foto teraugmentasi yang satu lagi: “HACHIMAN SAIKA”

YahariLoveCom v3-067.jpg

Maksudku, lontong sate. Aku sudah pasti sedang merona.

“Ah, waktunya sudah begitu larut,” kata Totsuka. “Aku sudah harus pergi…”

“Oh, pelatihannya.”

Oh, benar. Totsuka datang kemari untuk melewatkan waktu sebelum pelajaran pelatihannya. Aku agak merasa tidak enak untuk tidak menyisihkan waktu sejenak untuk berpikir tentang membuat waktu Totsuka terasa menyenangkan.

“Oke, aku akan pergi sekarang. Kelihatannya kamu sudah juga ceria, Hachiman.”

“Huh?”

“Kamu terlihat agak murung belakangan ini. Jadi kupikir kamu perlu perubahan suasana.”

Sekarang setelah dia mengatakannya, aku mendapat perasaan Komachi juga mengatakan sesuatu seperti itu pagi ini. Aku tidak benar-benar perduli karena adikku itu gila dan semacamnya, tapi jika seorang pria dengan nalar wajar seperti Totsuka juga mengatakan hal yang sama, maka itu benar-benar menguatirkan.

“Aku benar-benar tidak tahu apa sesuatu terjadi padamu, tapi… Aku paling suka dirimu yang bersikap seperti dirimu sendiri, Hachiman,” kata Totsuka. Kemudian, sambil mengecek waktu di ponselnya, dia mengutarakan kalimat “Baik, ayo kita jalan-jalan lagi lain kali!” dan langsung berlari. Persis sebelum dia keluar dari pandangan, dia berpaling dan membuat lambaian kuat.

Sebagai jawabannya, aku juga mengangkat tanganku tinggi-tinggi.

Zaimokuza mendengus. “Tuan Totsuka begitu berhati-baik. Tidak seperti ada gunanya untuk bersikap baik padamu, Hachiman…”

“Huh? Apa? Kamu masih di sini? Dan kamu tahu apa, macam kamu bisa bilang begitu.”

“Oho, persis itulah yang bisa kamu duga dari temanku, Tuan Totsuka. Sungguh petarung yang begitu hebat.”

“…kamu berencana menjadi teman Totsuka?”

“Er, a-apa aku bukan temannya…?”

“Jangan tanya aku. Berhenti bergetar dengan begitu kentaranya.”

Bukankah karakter orang ini terus diabaikan akhir-akhir ini? Apa dia baik-baik saja?

“Oh, hei, apa yang sedang kamu lakukan? Kamu tidak diizinkan untuk masuk kemari, yo.” Suara santai pegawai tokonya menginterupsi situasinya.

“Oh, sial,” kata Zaimokuza. “Disinilah kita berpisah! Selamat tinggal!”

“Ini bukan sebuah restoran makan sepuasnya…”

Dengan pertukaran kata-kata bodoh itu, kami berdua melarikan diri dari lokasi tersebut. Aku dapat melihat Zaimokuza dikelilingi oleh para pegawai dari sudut mataku.

Persis seperti yang Totsuka katakan, itu tidak seperti Hikigaya Hachiman untuk meresahi dan menguatirkan sesuatu. Gaya standarku adalah untuk “menyerah ketika sesuatu menjadi sulit”. Itu lebih baik untuk bersikap benar-benar seperti tidak ada yang salah. Hanya mengubah tingkah lakuku ketika sesuatu terjadi adalah jenis kemunafikan yang tidak bisa kuterima.

Sebelum aku menaiki sepedaku, aku diam-diam menyelipkan foto-foto yang kupegang ke dalam dompetku. Sekarang waktunya untuk membeli sebuah bingkai atau apa dan menggantungnya.


Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 3

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Ini adalah referensi pada bentuk bisnis grup idola AKB48 yang terkenal, yang seluruhnya terdiri dari gadis imut. Tiket-tiket diikut-sertakan dalam CD-CD tertentu yang mengizinkanmu datang ke sebuah acara jabat tangan, dimana kamu bisa bertemu anggota grup idola itu secara langsung..
  2. The Dotch Cooking Show adalah acara memasak Jepang. Tiap episode, dua koki memasak dua masakan yang bersaing, tapi masakannya hanya disajikan pada juri yang memilih masakan dengan voting mayoritas
  3. Kejuaraan baseball SMA level nasional di Jepang. Disiarkan di TV dan sebagainya
  4. Distrik lampu merah di Shinjuku, Tokyo.
  5. Tien Shinhan seorang antagonis di Dragon Ball dan karakter sampingan di Dragon Ball Z. Ini gambarnya:[[ http://img1.wikia.nocookie.net/__cb20110914205834/dragonball/images/1/11/Tien_Shinhan.jpg%7CTien Shinhan]]
  6. Ribon dan Nakayoshi adalah dua majalah shojo