Oregairu (Indonesia):Jilid 2 Bab 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1: Dan jadi, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar[edit]

1-1[edit]

Satu bagian ruangan staf dibuat sebagai area penerima tamu. Sebuah sekat memisahkan sebuah sofa berkain kulit hitam dan sebuah meja tamu kaca dari bagian ruangan yang lain. Ada sebuah jendela tepat di dekatnya, yang dari sana dapat terlihat sebagian besar perpustakaan.

Tiupan angin awal musim panas yang cerah datang dari jendela yang terbuka, dan selembar kertas menari-nari di udara. Pemandangan yang mengharukan itu mencuri hatiku, dan aku mengikuti gerakan secarik kertas itu dengan mataku, ingin tahu bagaimana kertas itu jatuh nantinya. Dengan lembut, sekarang. Seperti air mata yang mengalir, kertas itu melayang ke lantai.

Dan kemudian - robek.Stiletto sebuah hak tinggi membobosnya seperti tombak.

Sepasang kaki gemulai menyilang di depanku. Aku tidak dapat tidak memperhatikan betapa panjang dan berbentuk kaki tersebut melalui setelan dan celana panjang ketat yang menutupi mereka.

Setelan cukup bergaya, tapi daya tarik mereka sering kali kurang. Pantyhose akan memenuhi tuntutan keseksiannya jika wanita itu memakai rok, tapi ketika kakinya ditutupi oleh setelan dan celana panjang, akan terlihat membosankan dan tidak menarik. Jika kaki seorang wanita sekurus tongkat dan tidak memiliki daya pemikat, maka tidak ada gunanya baginya memakai setelan dan celana panjang - dia malah hanya akan terlihat mengerikan.

Dan namun kaki di depanku berbeda. Kakinya memiliki kesimetrisan yang sempurna sampai-sampai bisa kamu katakan memiliki Rasio Ideal[1].

Ah, tapi itu tidak hanya dimaksudkan pada kakinya saja. Rompi ketatnya menampilkan lekukannya yang mencuram dengan lembut, dan lekukan itu akan segera sampai pada puncak buah dadanya yang mantap… OH, APAKAH INI GUNUNG FUJI? Tubuhnya disesuaikan dengan baik dari kepala sampai kaki seperti sebuah biola - tapi bukan biola sembarangan. Biolanya berdiri megah, dibuat sesempurna seperti sebuah Stradivarius.

Masalahnya adalah dia juga memiliki tampang Buddha yang marah dan mengerikan, diukir oleh tangan genius. Dia itu menakutkan dilihat dari sudut pandang artistik, sudut pandang budaya dan sudut pandang sejarah.

Selagi dia mengunyah filter rokoknya sambil melamun, guru Jepangku Hiratsuka-sensei melihatku dengan tatapan menghina. “Hikigaya. Kamu tahu bagaimana ini akan berakhir, bukan?”

“M-Mana kutahu…”

Intensitas itu tidak pernah pudar dari mata besarnya, dan aku segera memalingkan wajahku.

Segera setelah aku melakukannya, Hiratsuka-sensei mulai membunyikan kepalan jarinya. Semua yang bisa kudengar hanyalah suara firasat ajalku yang mendekat. “Jangan katakan kamu tidak tahu?”

“‘M-Mana kutahu? Oh aku tahu!’ itu apa yang akan aku katakan! Anda salah paham! Aku paham benar! Aku akan mengubahnya! Jangan pukul aku!”

“Tentu saja harus diubah. Haah… dan kupikir di sini kamu sudah sedikit berubah.”

“Mottoku adalah menyelesaikan apa yang perlu kukerjakan dan semacamnya,” Aku berkata dengan senyuman murahan.

Aku dapat merasakan pembuluh darah meletup di dahi Hiratsuka-sensei.

“…jadi ternyata pilihanku satu-satunya adalah untuk menghantammu, huh? Orang-orang menghantam satu sama lain di televisi ketika mereka ingin melanjutkan ceritanya.”

“T-t-tidak, anda tidak bisa melakukannya pada tubuh rapuhku ini. Dan omong-omong, tayangan di televisi akhir-akhir ini sudah menurunkan level kekerasannya, anda tahu. Kalimat anda benar-benar menunjukkan usia anda!”

“Kenapa kamu…! Peluru Penggetar Pertama[2]!”

Duk. Teriakannya yang berlebihan tidak seberapa dengan suara lemah yang dihasilkan ketika tinjunya mendarat ke dalam perutku.

“…urk.”

Saat aku menaikkan kepalaku dengan lemah - dengan nyawaku terjuntai-juntai di depan mataku - Hiratsuka-sensei terkekek dengan kejinya. “Jika kamu tidak ingin merasakan Peluru Pelenyap Keduaku[3], kamu sebaiknya mengunci mulutmu dari sekarang.”

“M-Maaf…” Aku meminta-maaf dengan tingkah menurut. “Tolong ampuni aku dari Peluru Pemusnah Terakhir[4].”

Hiratsuka-sensei mencelempungkan dirinya ke sofa, merasa puas. Dia menyeringai lebar melihatku dengan cepat menyerah atas serangannya. Dia mungkin merupakan jenis orang yang secara tidak sadar lupa betapa menyedihkan kata-kata dan tindakannya, tapi dia sebenarnya merupakan orang yang cantik di dalam dirinya.

“s-CRY-ed itu tayangan yang bagus, huh… baguslah jika kamu cepat mengerti, Hikigaya.”

Perbaikan: dia hanya menyedihkan. Kelihatannya dia hanya bisa tertawa pada leluconnya sendiri.

Aku baru-baru ini mengetahui tentang hobi guruku ini. Singkatnya, dia menyukai komik manga dan anime yang berdarah-panas. Aku sedang mempelajari begitu banyak hal sampah yang tidak kuindahkan, whoopee.

“Sekarang kalau begitu, Hikigaya. Aku akan menanyakanmu hal ini hanya untuk berjaga-jaga. Apa maksud jawaban sialanmu ini?”

“Anda tidak seharusnya berkata kotor pada murid anda…”

Akan lebih mudah jika aku cukup mengarang-ngarang sesuatu, tapi karena aku telah memusatkan semua perhatianku pada secarik kertas itu, aku tidak memiliki jawaban lain dalam pikiranku. Jika dia tidak dapat mengerti setelah membacanya, maka itu urusannya.

Hiratsuka-sensei menghembuskan kepulan asap dari rokoknya dan menatap setajam belati ke arahku, seakan dia dapat membaca pikiranku dan tahu persis apa yang sedang kupikirkan. “Aku mengerti seberapa hancurnya sifat yang kamu miliki, tapi kupikir kamu sudah dewasa sedikit. Tidakkah menghabiskan waktu dengan Klub Servis mempengaruhimu sedikitpun?”

“Uh-huh…” Aku menjawab, mencoba untuk mengenang kembali waktuku dengan yang disebut sebagai "Klub Servis" ini.

Tujuan Klub Servis itu adalah, untuk menyederhanakannya, mendengarkan kekhawatiran murid lain dan menyelesaikan masalah mereka. Tapi pada kenyataannya, itu hanyalah sebuah ruang isolasi dimana murid-murid canggung dikumpulkan bersama-sama. Aku berakhir dalam situasi dimana aku dipaksa untuk membantu orang lain untuk memperbaiki sifat hancurku ini, tapi karena tidak ada satupun dari itu yang mempengaruhiku, level ikatan emosionalku dengan klub itu kira-kira nol. Apa yang bisa kukatakan?

…Walau Totsuka imut. Hanya itu saja.

“Hikigaya… tiba-tiba ada tampang mesum di matamu. Kamu sedang mengiler.”

“Huh?! Oh, lontong…” Aku buru-buru menyapu mulutku dengan lengan bajuku.

Itu berbahaya. Sesuatu sedang terbangun di dalam diriku.

“Kamu belum bertambah baik,” Hiratsuka-sensei berkata setelah berhenti sejenak. “Kamu hanya menjadi lebih menyedihkan.”

“Er, Aku merasa aku tidak semenyedihkan anda…” Aku bergugam. “Menyebut tentang s-Cry-ed itu apa yang dapat orang duga dari seseorang setua-”

“Peluru…”

“Yang kumaksud itu adalah itu sangat cocok untuk seorang wanita dewasa seperti diri anda. Aku benar-benar kagum akan rasa kewajiban anda untuk menyebarkan karya klasik. Memang! Serius, anda menabjubkan!” Aku berkata tanpa berpikir. Aku melakukan apa saja yang bisa kulakukan untuk mencegah dihantam.

Itu berhasil, karena Hiratsuka-sensei menurunkan tinjunya. Tapi dia menatapku dengan mata tajam karakteristiknya, mengingatkanku dengan seekor hewan gila. “Haah…” dia berkata pada akhirnya. "Yang penting, kumpulkan kembali Formulir Survei Tur Tempat Kerja Prospektifmu. Setelah kamu melakukannya, aku mau kamu menghitung semua formulir survei sebagai hukuman karena melukai perasaanku.”

“…ya guru.”

Ada setumpuk kertas yang menyemakkan di depan mataku. Menyortir setiap lembar satu-per-satu sangat meletihkan, seperti bekerja di sebuah pabrik roti. Atau mungkin seperti seorang penjaga pantai.

Sendirian bersama guru wanitaku sebenarnya bukanlah sebuah perkembangan yang mendebar-debarkan jantung, dan tentu saja jika dia meninjuku aku tidak akan terjatuh dan akhirnya menyentuh buah dadanya seperti seorang mesum kebetulan. Itu semua sepenuhnya omong kosong. Sungguh kebohongan! Aku menuntut permohonan maaf dari semua penulis dating sim dan pengarang novel ringan di luar sana.


× × ×


1-2[edit]

Di Sekolah Menengah Atas Soubu Kota Chiba, ada sebuah acara yang dinamakan sebuah "tur tempat kerja" yang terjadi ketika kamu berada di kelas sebelas.

Formulir survei dipakai untuk menentukan pekerjaan yang diminati oleh para murid untuk dipelajari lebih mendalam dan kemudian sekolah akan mengirimkan murid-murid tersebut ke tempat kerja itu. Itu merupakan bagian dari program pendidikan baru yang menyusahkan untuk menanamkan ke dalam hati setiap murid keinginan untuk bekerja dalam sebuah perusahaan. Itu bukan masalah besar, sungguh. Setiap sekolah mungkin memiliki sebuah kegiatan yang sama seperti itu.

Masalahnya acara itu dimulai pas setelah ujian semester. Dengan kata lain, melakukan berbagai pekerjaan sambilan yang akan menghisap waktu berharga sebelum ujianku.

“Jadi mengapa aku mesti melakukannya pada saat ini…?” Aku bertanya, menggeliat-geliut.

Selagi aku menyortir tumpukan kertas ini ke dalam tipe-tipe pekerjaannya, Hiratsuka-sensei duduk di meja guru, memasukkan sebatang rokok ke dalam mulutnya. " Itu karena sekarang sudah saatnya, Hikigaya," dia menjawab. "Tidakkah kamu mendengar bahwa kamu akan memilih jurusan tahun ketigamu pas setelah liburan musim panas?”

“Tidak tahu sama sekali, guru.”

“Kamu seharusnya sudah mendengarnya di homeroom[5]…”

“Yah, kalau itu, aku bolos dari homeroom jadi aku tidak mendengarnya sama sekali.”

Tidak, sungguh, mengapa itu disebut "homeroom"? Itu bukan rumahmu. Aku benar-benar membencinya. Dan lagi, aku muak dengan semua sistem memberikan tugas saat homeroom. Kamu diberikan kesempatan untuk berdiri di depan kelas dan memberikan perintah, tapi aku harap semua orang berhenti sepenuhnya diam ketika aku melakukannya. Jika seseorang seperti Hayama memberikan perintah, semua orang akan penuh dengan senyuman dan mendengarkan dengan penuh perhatian seperti keluarga kecil yang bahagia, tapi ketika aku melakukannya, tidak ada satu orangpun yang pernah mengucapkan sepatah katapun. Apaan? Malah, bahkan tidak ada orang yang mem-boo aku karena mereka semua pura-pura tidak ada disana.

“…yang penting, tur tempat kerjanya dimulai setelah ujian semester dan sebelum liburan musim panas. Itu ditempatkan disana supaya kalian dapat mengerjakan ujian kalian dengan tujuan yang jelas di dalam pikiran kalian, bukan supaya kalian bisa berangan-angan tentangnya.”

Walau aku ragu itu akan berhasil, tambah Hiratsuka-sensei, mengepulkan secincin asap rokok dari ujung rokoknya.

Sekolah yang aku masuki, Sekolah Menengah Atas Soubu Kota Chiba, terdedikasikan untuk menyiapkan para murid-murid untuk memasuki universitas. Sebagian besar murid berharap untuk melanjut ke universitas dan banyak dari mereka yang benar-benar melanjut ke universitas. Itu adalah sesuatu yang mereka camkan ke dalam pikiran mereka dari sejak pertama kali mereka memasuki sekolah menengah atas.

Entahkah karena dari awal aku sudah memperhitungkan bahwa universitas adalah sebuah tempat penundaan bekerja selama empat-tahun, yang kusebut "pandangan ke masa depan"ku itu agak kurang. Aku sudah memikirkan matang-matang apa yang akan kulakukan ketika aku tumbuh dewasa. Aku pasti tidak akan pergi bekerja.

“Kelihatannya kamu sedang memikirkan sesuatu yang tidak-ada-harganya…” Hiratsuka-sensei memutar matanya. "Jadi kamu masuk ke jurusan IPA atau jurusan IPS?” tanyanya.

“Yah, anda tahu, itu, aku-”

Segera setelah aku membuka mulutku, sebuah suara keras memotongku. "Ah, disana kamu rupanya!”

Dia menggelengkan kepalanya dengan tidak senang, rambut cerahnya (yang digumpalkan seperti bakso) bolak balik berpaling. Seperti biasa, dia memakai rok pendek dan sepotong kemeja dengan dua atau tiga kancing terbuka, menampilkan dadanya yang lumayan besar. Itu adalah Yuigahama Yui, yang telah menjadi kenalanku baru-baru ini. Fakta bahwa kami baru hanya kenalan walaupun dia berada di dalam kelasku menjelaskan banyak hal tentang kemampuan komunikasiku. Hancur.

“Oh hei, Yuigahama,” kata Hiratsuka-sensei. “Maaf, aku meminjam Hikigaya darimu.”

“I-Itu bukan seperti dia milikku atau semacamnya! Itu benar-benar tidak masalah!" Yuigahama menyangkal dengan keras, mengayun-ayunkan tangannya. Aku menangkap semacam nuansa "toh aku tidak membutuhkannya" dari kata-katanya. Ditolak dengan sebegitunya agak terasa sedikit menyakitkan…

“Apa urusanmu?” tuntutku.

Orang yang menjawab bukan Yuigahama, tapi gadis yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Rambut hitamnya (yang diikat menjadi rambut kuncir dua) naik turun, mengikuti gerakannya yang tiba-tiba. "Kamu tidak datang-datang ke ruangan klub, jadi kami pergi mencarimu. Yuigahama-san, maksudku.”

“Um, kamu tidak perlu menjelaskan bagian terakhir itu. Aku sudah tahu itu.”

Gadis berambut-hitam yang satu-satunya ciri positifnya hanya wajahnya itu Yukinoshita Yukino. Seperti sebuah patung keramik, penampilannya menabjubkan, tapi sifatnya juga dingin mematikan seakan sifatnya, juga, terbuat dari keramik. Seperti yang dapat kalian tebak dari caranya membakarku segera setelah dia melihatku, kami bukanlah sobat terdekat.

Yukinoshita dan aku berada di dalam klub yang sama - Klub Servis - untuk sekarang. Dia ketuanya. Dan di dalam kegiatan kami, kami terus saling bertikai, hanya terkadang dapat akur. Singkatnya, kami hanya memiliki pertikaian menyedihkan dan tiada akhir ini berjalan terus di antara kami dimana kami saling menaburkan garam di atas luka.

Setelah mendengar kata-kata Yukinoshita, Yuigahama melipat lengannya dan memberungut. "Aku berkeliling menanyakan semua orang dimana kamu berada," dia mengomplain. "Semua orang bertingkah seperti 'Hikigaya? Siapa dia?' Itu saaaaangat aneh.”

“Kamu tidak usah pergi memberitahu dunia tentang itu." Entah kenapa gadis ini setiap kali berhasil menembakkan peluru menembus jantungku? Dia bahkan tidak membidik. Dia sniper genius atau apa?

“Itu saaaaangat aneh," dia mengulangi kata-katanya untuk beberapa alasan bodoh, sambil cemberut. Berkat dia, informasi bahwa tidak ada satupun orang di sekolah yang bahkan mengetahui siapa diriku mencongkel organku untuk kedua kalinya.

Yah, tidak seburuk itu, terutama jika kamu mengenal semua orang lain di sekolah. Menilai dari bagaimana tidak ada orang yang mengenaliku setelah selama ini, aku mungkin telah menemukan pekerjaan yang sepenuhnya cocok denganku: ninja.

“Apa? Um, maaf." Maaf bahwa bahkan tidak ada satu orangpun yang tahu aku hidup. Itu yang pertama kalinya aku pernah meminta maaf untuk sesuatu sesedih itu.

Jika aku tidak memiliki mental sekuat ini, aku sudah akan menangis berember-ember.

“I-Itu bukan masalah besar, tapi…” Yuigahama mulai memainkan jari-jarinya di depan dadanya. "I-Itu, um…” dia berkata dengan malu-malu, menggembungkan pipinya. "B-Beritahu nomor teleponmu? K-Kamu tahu! Itu aneh untuk berkeliaran mencarimu kemana-mana, dan lagi itu memalukan… setiap kali seseorang menanyakanku tentang hubungan kita, Aku cuma - tidak.”

Wajahnya memerah, seakan hanya ingatan dia pergi mencari-cariku saja begitu tak tertahankannya memalukan. Dia memalingkan matanya dariku, melipat lengannya dengan erat di depan dadanya dan memalingkan kepalanya ke arah lain. Dan kemudian dia mengintip-intip ke arahku dari ujung matanya.

“Yaaaaah, itu bukan masalah besar, sungguh…” Aku berkata selagi aku mengeluarkan ponselku. Segera setelah aku melakukannya, Yuigahama menarik keluar sebuah ponsel miliknya sendiri yang besar dan berkilau. "Ada apa dengan ponsel seperti batu bata raksasa itu?”

Yuigahama tersentak. “Huh? Tidakkah ini imut?” dia bersikeras selagi menunjukkanku gantungan teleponnya yang terlihat murahan. Semacam mainan lembut yang terlihat seperti jamur tergantung dari gantungan itu dan bergemerincing saat dia mengoyangnya. Itu begitu menyuramkan.

“Jangan tanya aku. Aku tidak mengerti rasa keindahan seorang pelacur. Jadi kamu suka benda berkilau? Apakah kamu sedang membicarakan tentang kaca atau Sushi Joint[6] atau apa?”

“Huuh? Sushi? Dan jangan panggil aku pelacur!” Yuigahama melihatku dengan mata monster pemakan manusia.

“Hikigaya. Jika kamu mengatakan 'benda berkilau', maka kamu benar-benar tidak tahu seperti apa rasanya menjadi seorang murid SMA[7]. Tidak ada orang yang menaruh kaca di atas sushinya,” Hiratsuka-sensei memotong, matanya berkilau. "Tapi itu hanya sushi.”

Tampang "Aku baru saja mengatakan sesuatu yang keren!" itu di wajahnya agak menjengkelkanku…

“Jika kamu tidak dapat melihat keimutannya, bukankah itu salah mata seperti ikan matimu itu?”

Reputasiku sebagai ahli mata ikan mati hanya semakin menguat. Terserahlah, aku menyerah.

“Yah, terserah,” kata Yuigahama. “Kamu bisa meng-sync teleponmu dengan teleponku, bukan?”

“Nah. Aku punya telepon pintar jadi tidak bisa.”

“Huuuh? Jadi aku harus mengetikkannya?” Dia merintih. “Sungguh menjengkelkan.”

“Aku tidak perlu fungsi semacam itu. Toh aku kurang lebih membenci ponsel. Mari.” Aku menyerahkan ponselku pada Yuigahama, yang mengambilnya dengan gugup.

“A-Aku yang mengetikkannya, huh… tidak masalah, kurasa. Tunggu, aku takjub kamu menyerahkan teleponmu pada orang lain begitu saja.”

“Meh, tidak ada masalah jika kamu melihat apa yang ada di dalam teleponku. Toh aku hanya mendapat pesan dari adikku dan Amazon.”

“Whoa! Serius?! Dan tunggu – Amazon?!”

Jangan ejek aku.

Yuigahama mulai mengetikkan ke dalam telepon yang kuberikan padanya dengan kecepatan yang menabjubkan. Pada mata lambanku, dia terlihat bertolak belakang dariku - cepat dan tajam. Maka dengan ini aku menjulukinya Ayrton Senna[8]nya ponsel. “Kamu begitu cepat mengetik…”

“Huh? Ini bukan apa-apa. Mungkin jari-jarimu layu karena kamu tidak ada orang untuk di-SMS?”

“Aku merasa terhina,” kataku. “Aku biasanya mengirim SMS pada para gadis sepanjang waktu saat SMP.”

Duk. Yuigahama menjatuhkan teleponku. (Oi, lihat apa yang kamu lakukan pada barangku, pikirku.)

“Tidak mungkin…”


× × ×


1-3[edit]

“Um, apa kamu sadar betapa kejamnya reaksimu barusan tadi?” Aku berkata pada Yuigahama. “Kamu tidak sadar, benar? Usahakan untuk sadar.”

“…oh.” Yuigahama melangkah mundur. "Aku hanya, uh, tidak dapat membayangkan kamu bersama dengan seorang gadis, Hikki…” Dia memungut telepon gengam yang jatuh, sambil tersenyum malu-malu.

“Gadis bodoh,” sahutku. “Aku adalah yang terbaik. Biarkan aku memberitahumu tentang betapa menabjubkannya diriku. Ketika kelas kami diacak dan semua orang sedang bertukar nomor telepon, aku begitu populer sehingga semua yang perlu kulakukan hanya mengeluarkan teleponku dan melihat sekeliling dengan canggung saat gadis ini memanggilku dan berkata, ‘Um, baiklah, mari bertukar nomor telepon.’”

“‘Baiklah’, katanya. Kebaikan kadang bisa begitu kejam.” Sebuah senyuman ramah muncul di wajah Yukinoshita.

“Tidak usah mengasihaniku! Kami benar-benar saling ber-SMS dengan satu sama lain setelah itu.”

Yuigahama menatap ke bawah pada telepon gengamnya. "Gadis seperti apa dia??” dia bertanya dengan tingkah biasa. Tapi anehnya, gerakan jari berkecepatan-tingginya juga tiba-tiba berhenti total.

“Coba kuingat…” kataku. “Dia seorang gadis yang sehat dan pendiam. Oh, dia begitu sehatnya sampai-sampai ketika aku meng-SMSnya pada jam 7 malam, aku mendapatkan balasannya besok pagi yang berisi, ‘Maaf, aku tadi tidur~ sampai jumpa lagi di sekolah~’, dan dia begitu berhati-hati dan lemah gemulai sampai-sampai berbicara denganku di kelas terasa begitu memalukan baginya.”

Yuigahama meletakkan tangannya ke mulutnya. “Oh, itu berarti…” Dia menahan isakannya, air mata mengalir dari matanya.

Dia bahkan tidak perlu memberitahuku betapa menyedihkannya diriku. Dia sendiri sudah jelas-jelas menyadarinya.

“Jadi dia mengabaikan SMSmu dengan berpura-pura tertidur. Hikigaya-kun, berhentilah memalingkan matamu dari kebenaran. Hadapi kenyataan.”

Kamu berkata sesuatu, Yukinoshita-san? Ada apa dengan tampang riang di wajahmu itu, Yukinoshita-san? Lontong juga kamu, Yukinoshita-san!

“…Aku tahu semua yang perlu diketahui tentang kenyataan. Aku tahu begitu banyaknya sampai-sampai aku bisa saja membuat sebuah Hikipedia.”

Pffft, hahaha! Ini tentu membuatku mengenang kembali. Aku begitu polos dulu. Aku tidak menyadari gadis itu meminta nomorku karena rasa iba dan menjawab SMSku karena dia merasa kasihan denganku. Aku akhirnya menyadarinya setelah dua minggu kemudian, saat dia tidak mau merespon tidak peduli betapa banyak SMS yang kukirim padanya, dan jadi aku berhenti meng-SMSnya.

Dan kemudian suatu hari aku mencuri dengar percakapan para gadis itu.

“Si Hikigaya itu terus meng-SMSku. Aku harap dia berhenti begitu. Itu menjijikan.”

“Aku taruhan dia menyukaimu, Kaori…!”

“Eww, Menjijikan!”

Aku ingin mengering dan mati di tempat. Dan aku juga benar, benar-benar menyukainya!

Sekarang aku merasa kasihan dengan diriku dulu yang berusaha keras yang meng-spam emoticon dalam setiap SMS. Aku pikir memakai lambang cinta itu menjijikan, jadi aku memakai bintang-bintang dan smiley-smiley serta lambang musik. Hanya memikirkannya saja membuat rasa mengigil menjalar di sepanjang sumsumku z ya Tuhan yang benar saja.

“Hikigaya…” Hiratsuka-sensei berkata, jelas tersentuh. “K-Kalau begitu maukah kamu bertukar nomor denganku? Aku janji aku akan membalas SMSmu. Aku tidak akan berpura-pura tertidur.” Saat dia mengatakannya, dia merampas teleponku dari tangan Yuigahama dan mulai menekan nomornya ke dalamnya. Level rasa kasihannya padaku jauh lebih tinggi dari biasanya.

“Um, anda tidak perlu begitu baik denganku…”

Maksudku, mendapatkan SMS dari gurumu benar-benar menyedihkan. Itu tidak ada bedanya dengan mendapatkan coklat dari ibumu setiap tahun di hari Valentin. Buang sana rasa kasihannya. Aku lebih baik mendapatkan sikap acuh tak acuh Yukinoshita pada saat-saat seperti ini.

Pada akhirnya, mereka berdua menambahkan nomor telepon mereka ke dalam telepon gengamku dan menyerahkannya kembali padaku. Hanya sedikit data yang mereka tambahkan jadi itu tidak seperti ada yang benar-benar berubah, tapi untuk beberapa alasan tertentu aku merasa ada beban dibalik tindakan mereka. Jadi ini beban dibalik hubungan, huh?

…agak rapuh, sebenarnya. Itu menggelikan melihat bagaimana diriku di masa lalu melekat dengan begitu menyedihkannya pada sejumlah kecil kilobita data. Selagi aku berpikir dalam diriku akan betapa menjijikan dan tidak bergunanya memori-memori ini bagiku sekarang ini, aku membuka kontakku. Dan disana, aku melihat sebuah nama terpampang:

☆★YUI★☆

Oh yang benar saja, bagaimanalah itu akan didaftarkan? Itu tidak dimulai dengan huruf dari alfabet. Dan lagi, nama itu sangat berbau spam tidak peduli bagaimana aku melihatnya. Sungguh cocok dengan Yuigahama dan kelacurannya. Aku menutup teleponnya tanpa melihat lebih jauh lagi.

Karena aku mulai agak hebat dalam melakukan pekerjaan sampingan, hanya tinggal beberapa lembar yang tersisa. Aku mulai menyortir mereka dengan cepat.

Hiratsuka-sensei mengosongkan tenggorokannya dengan mencolok, melihat ke samping padaku. “Hikigaya, sudah cukup. Terima kasih sudah membantu. Kamu boleh pergi sekarang,” dia berkata sambil menyulut rokok di mulutnya bahkan tanpa melihatnya.

Aku ingin tahu apakah wabah kasihan dari barusan ada menghasilkan kesan yang tertinggal padanya. Hiratsuka-sensei sedang bertingkah sangat baik. Atau mungkin itu lebih akurat untuk dikatakan bahwa ini hanya dikatakan secara relatif dan Hiratsuka-sensei tidak bertindak lebih baik dibanding orang biasa.

“Baik. Beranjak ke tugas klubku, kalau begitu..” Aku mengambil tas sekolahku, yang telah jatuh di karpet, dan menyandangnya ke bahu kananku. Di dalamnya, ada sejumlah buku teks yang mencakupi isi ujian semester dan sebuah komik manga yang rencananya akan kubaca di ruangan klub.

Itu mungkin akan menjadi hari menghabiskan waktu lain yang biasa dengan tidak ada seorangpun yang mendatangi klubnya untuk meminta bantuannya.

Aku berjalan pergi dengan Yuigahama berada dekat di belakangku. Aku harap dia bergegas dan beranjak pulang. Berhenti mengikutiku, haah… Persis saat aku mendekati pintunya, aku mendengar sebuah suara di belakangku. “Oh, iya. Hikigaya. Aku lupa memberitahumu sebelumnya, tapi kalian akan dibagi ke dalam kelompok bertiga pada tur tempat kerja yang akan datang ini. Kamu dapat memilih kelompokmu sendiri, jadi pikirkanlah.”

Aku tidak dapat percaya apa yang barusan kudengar.

Segera setelah dia mengatakannya, aku mengempis. Bahuku merosot dan semacamnya.

“…oh men. Aku benar-benar tidak mau teman sekelasku datang ke rumahku.”

“Jadi kamu benar-benar bertekad menjalani tur tempat kerjamu di rumah, huh…?” Hiratsuka-sensei merasa ngeri menghadapi tekad bajaku.

“Aku sepenuhnya membenci pemikiran memilih kelompokku,” ujarku.

“Huh? Apa-apaan yang kamu-”

Aku mendadak berpaling, menjentikkan rambutku ke atas pada waktu yang sama. Dan kemudian, saat mataku membuka dengan tajam, aku menatap pada Hiratsuka-sensei dengan semua intensitas yang dapat dikumpulkan oleh bola mataku. Selagi aku melakukannya, gigiku juga berkilau.

“Penderitaan seorang penyendiri bukanlah masalah besar! Aku sudah terbiasa dengannya!”

“Itu benar-benar menyedihkan…”

“S-Sungguh bodoh anda. Seorang pahlawan super selalu seorang penyendiri, anda tahu. Dan pahlawan super itu keren. Dengan kata lain, 'Penyendiri = keren'.”

“Memang, ada pahlawan yang memang mengatakan bahwa teman-teman yang kamu butuhkan hanyalah cinta kasih dan keberanian[9],” kata Yukinoshita.

“Aku tahu benar? Hei, kamu tahu banyak.”

“Ya, Aku tertarik dalam topik ini. Aku ingin tahu persisnya kapan kamu menyadari saat kamu kecil bahwa kamu tidak memiliki cinta kasih atau keberanian ataupun teman?”

“Itu merupakan ketertarikan yang agak busuk…”

Tapi, yah, Yukinoshita ada benarnya. Aku tidak memiliki cinta kasih atau keberanian ataupun teman. Itu semua hanyalah kata-kata indah, memaniskan kebenarannya dengan kebohongan yang menyenangkan serta cerita fiksi. Di dalam hati, itu semua hanyalah kata-kata untuk mengabulkan keinginan dan pemuasan yang egosentris. Dan jadi aku tidak memiliki teman. Selagi kita membicarakannya, tidak, bola juga bukanlah teman[10].

Kebaikan, rasa kasihan, cinta kasih, keberanian, teman - dan ya, bahkan bola - aku tidak perlu satupun dari itu semua.


× × ×


1-4[edit]

Lantai empat bangunan spesial, sebelah timur - disana, kamu bisa menemukan sebuah ruangan untuk melihat ke arah lapangan jika itu apa yang kamu inginkan.

Suara masa muda datang masuk dari jendela yang terbuka. Suara-suara para lelaki dan perempuan yang rajin di tengah aktivitas klub mereka menggema di sepanjang ruangan, bercampur dengan suara dentang bat softball besi dan suara peluit berlaras tinggi dan ditemani oleh suara klarinet dan terompet dari band konser.

Di tengah BGM masa muda yang menabjubkan itu, apa yang kita lakukan di Klub Servis? Sama sekali tidak melakukan apa-apa. Aku sedang membaca komik manga shojo yang kupinjam dari adikku, Yukinoshita sedang terserap ke dalam buku sebesar kantong bersampul kulit, dan Yuigahama sedang bermain-main dengan teleponnya dengan lesu.

Seperti biasa, ketika sedang berbicara mengenai menjalani masa muda kami semaksimal mungkin, kami mendapatkan nilai nol besar.

Klub bodoh macam apa ini dimana semua yang kami lakukan hanya menghabiskan waktu? Itu mirip seperti bagaimana klub rugbi berubah menjadi klub mahjong. Aku dengar mereka bermain setengah game[11] sebelum dan sesudah latihan. Karena itu, kalian selalu dapat melihat koin klub rugbi (mata uang yang disirkulasikan di dalam klub rugbi. Sama sekali bukan uang asli. Ciri utamanya adalah uang tersebut terlihat sangat mirip dengan koin yen Jepang) terserak di ruangan kelas dan lorong jalannya keesokan harinya. Jika kalian menanyakanku apa itu, itu hanyalah mahjong, tapi bagi mereka itu adalah sebuah alat komunikasi paling muktahir dan selembar halaman berkilau dalam masa muda mereka.

Tepatnya seberapa banyak orang-orang yang mengambil bagian dalam permainan tersebut yang bahkan sadar akan peraturan mahjong sebelum mereka mulai main? Tidak mungkin ada banyak orang yang memainkan Shanghai atau Strip Mahjong di pusat arcade seperti aku. Aku cukup yakin orang-orang itu hanya mempelajari dan memahami peraturan mahjong supaya mereka bisa menjilat-jilati satu sama lain. Omong-omong, peraturannya sepenuhnya berbeda untuk Shanghai Mahjong meskipun kamu memakai batu-batu mahjong yang sama. Dengan kata lain, kamu hanya mempelajari peraturan Strip Mahjong untuk satu alasan. Orang-orang benar-benar mengumpulkan kekuatan mereka ketika ada buah dada sebagai taruhannya.

Memiliki elemen yang sama itu sepenuhnya diperlukan saat sedang berteman. Itulah macam-macam orang yang dulu diikuti Yuigahama Yui.

Pikiran semacam itu melintasi pikiranku selagi aku selesai mengecek apakah karakter-karakternya ada benar-benar melakukan perbuatan kotor di dalam komik manga shojo yang sedang kubaca. Ketika aku selesai, aku memalingkan pandanganku pada Yuigahama. Dia sedang mengengam teleponnya dengan satu tangan selagi suatu senyuman samar terangkat di bibirnya, tapi dia sedang menghela dalam - hanya saja dengan begitu lembutnya sampai-sampai tidak terdengar. Aku tidak dapat mendengar suara helaannya, tapi aku menyadari betapa dalam hembusan nafasnya dilihat dari seberapa banyak dadanya terangkat.

“Ada masalah apa?”

Orang yang mengatakan itu bukan diriku - itu Yukinoshita. Sepertinya dia sudah menyadari tingkah aneh Yuigahama bahkan tanpa melepaskan pandangannya dari bukunya. Tepat seperti apa yang kalian duga dari Devilman, yang telinga setannya merupakan telinga dari neraka[12].

“Oh, uh… tidak ada apa-apa, kurasa,” kata Yuigahama. “Aku cuma mendapatkan SMS aneh ini, jadi aku hanya bergugam seperti whoa.”

“Hikigaya-kun, kecuali kamu ingin berakhir ke dalam pengadilan, aku sarankan kamu segera berhenti mengirimkan SMS mesum tersebut.”

Jadi dia berprasangka ini merupakan sebuah kasus SMS mesum dan bahwa aku adalah tersangkanya!

“Itu bukan aku…” sahutku. “Mana buktinya? Tunjukkan kepadaku buktinya, kubilang.”

Dengan sebuah seringai, Yukinoshita menjentikkan rambutnya ke belakang bahunya. “Kamu baru saja membuktikan maksud perkataanku. Itu jelas merupakan kata-kata seorang pelaku kejahatan. ‘Mana buktinya?’ ‘Sungguh deduksi yang brilian; semestinya kamu menjadi seorang novelis atau semacamnya.’ ‘Tidak mungkin aku bisa tetap berada di ruangan yang sama dengan seorang pembunuh.’”

“Kata-kata terakhirmu itu lebih mirip dengan kata-kata seorang korban…” kataku. Itu sangat berbau kematian.

Yukinoshita mengangguk pada apa yang kukatakan. “Mungkin kamu benar,” dia menjawab selagi membalikkan satu halaman bukunya. Sepertinya dia sedang membaca sebuah novel misteri, dari semua buku yang bisa dibaca.

“Nah, aku tidak yakin Hikki pelakunya, kamu tahu?” Yuigahama berkata, terlambat setengah menit.

Tangan Yukinoshita, yang sedang di tengah-tengah membalikkan satu halaman, tiba-tiba berhenti. “Mana buktinya?” dia bertanya hanya dengan matanya saja. Men, apakah dia sebegitu inginnya menjadikanku seorang tersangka?

“Hmmm, yah, kamu tahu, SMS itu tentang kelasku. Jadi itu berarti Hikki tidak ada hubungannya dengan ini.”

“Tapi aku masuk ke dalam kelasmu…” kataku.

“Itu masuk akal,” kata Yukinoshita. “Kalau begitu, Hikigaya-kun tidak mungkin menjadi pelakunya.”

“Jadi dia menerima itu sebagai buktinya…”

Halo semuanya, ini Hikigaya Hachiman dari kelas XI-F.

Perkataan itu sebegitu sakitnya bahkan sampai-sampai tanpa kusadari aku membuat perkenalan diri di dalam kepalaku. Tapi aku terbebas dari tuntutan prasangkanya, jadi mungkin itu suatu hal yang bagus.

“Yaaahh, aku rasa hal-hal seperti kadang-kadang terjadi,” Yuigahama berkata dengan sungguh-sungguh selagi dia menutup teleponnya dengan suara keras. “Aku tidak akan terlalu begitu mengkhawatirkannya.” Itu seperti dia sedang berbicara dari pengalaman pribadinya yang dalam.

Dia berkata “kadang-kadang”, tapi aku tidak pernah mendapatkan SMS dari pengirim itu, supaya kalian tahu saja.

…nasib baik aku tidak mempunyai teman, huh!

Tidak, tapi serius, orang-orang yang memiliki banyak teman harus berurusan dengan banyak hal yang bukan-bukan. Kelihatan seperti kerja keras, jujur saja. Omong-omong, aku terbebas dari ideal duniawi memalukan itu yang menodai teman sekelasku. Dengan semua pemikiran mendalamku itu, aku sendiri sudah benar-benar menjadi Buddha. Aku merasa begitu hebat.

Dan dengan itu, Yuigahama menolak untuk menyentuh teleponnya.

Aku tidak memiliki cara untuk menebak apa yang tertulis di SMS itu, tapi sepertinya itu tidak bagus. Yuigahama itu bodoh, setidaknya, dan dia adalah jenis orang bodoh yang menampilkan perasaan di dalam hatinya. Dia itu benar-benar seseorang yang berhati lembut yang selalu mengkhawatirkan Yukinoshita dan aku dibanding dirinya, dan jadi dia mungkin juga memiliki sebuah sisi di dalam dirinya yang tidak biasanya menjadi murung karena berbagai hal.

Seakan sedang memaksa menghilangkan rasa depresinya, Yuigahama bersandar pada kursinya dan meregangkan tubuhnya.

“…tidak ada yang bisa dilakukan.”


× × ×


1-5[edit]

Tanpa telepon gengamnya untuk menghabiskan waktu, Yuigahama terkulai malas dan bersandar pada punggung kursinya. Melakukan itu membuat dadanya terbusung tanpa disengajainya, yang benar-benar membuatku merasa panas dan terganggu, jadi aku mengalihkan pandanganku pada Yukinoshita, yang dadanya tidak menginspirasikan reaksi semacam itu.

Yukinoshita, yang dadanya merupakan lambang kejayaan Safe For Work[13], menutup bukunya. “Kalau begitu kenapa tidak kamu pergi belajar jika kamu tidak ada sesuatu yang bisa dilakukan?” dia berkata pada Yuigahama dengan nada ketidaksetujuan di dalam suaranya. “Toh, ujian Semester sudah akan segera sampai.”

Dari cara dia berbicara, Yukinoshita tidak memiliki perasaan gawat sedikitpun. Baginya, itu seluruhnya merupakan masalah orang lain. Tapi itu masuk akal juga – bagi Yukinoshita, ujian semester tidak lebih dari sebuah hal yang rutin dikerjakan. Gadis ini merupakan murid peringkat satu dalam hampir setiap hal yang bisa diuji. Tidak usah dikatakan lagi bahwa ujian semester pun tidak bisa membuatnya gelisah.

Yuigahama menolak sarannya dan terlihat agak sedikit gelisah, seakan dia juga sadar akan itu. “Apa gunanya belajar?” dia bergugam dari sudut mulutnya. “Tidak ada orang yang memakainya dalam kehidupan nyata…”

“Kamu baru saja mengucapkan kalimat standar orang dungu!” seruku. Itu hanya begitu mengerikannya dapat diperkirakan sampai-sampai itu membuatku terkejut. Serius apakah masih ada orang yang mengatakan hal semacam itu sekarang ini?

Meradang karena disebut “dungu”, Yuigahama mati-matian mempertahankan perkataannya. “Tidak ada gunanya belajar, aku serius! Kehidupan masa SMA itu pendek dan hal-hal semacam itu hanya buang-buang waktu saja! Kamu hanya bisa hidup sekali, ente tahu?”

“Tapi itu berarti kamu tidak boleh gagal.”

“Oh ya Tuhan, kamu begitu perusak kesenangan!”

“Aku cenderung berpikir jangka panjang.”

“Dalam kasusmu,” kata Yukinoshita, “kamu gagal dalam setiap aspek kehidupan masa SMA.”

Kurang lebih begitu. Kamu tidak bisa selalu memenangkan segalanya. Tunggu, ayolah! Apakah dia sedang mengatakan aku tidak memiliki kehidupan? Bahwa aku seharusnya mengecek eksistensi duniawiku seperti orang sedang check out dari hotel?

“Kamu tahu apa? Aku tidak gagal… Aku hanya berbeda dari orang lain. Itu kepribadianku! Semua orang itu berbeda, semua orang itu bagus!”

“Y-ya! Itu kepribadianku! Tidak pandai belajar itu bagian dari kepribadianku!”

Kami berdua meneriakan klise bodoh persis pada waktu yang bersamaan. Tapi benar, “kepribadian” merupakan sebuah kata yang cocok.

“Kaneko Misuzu akan berpaling di dalam kuburannya jika dia mendengar itu… [14].” Yukinoshita menghela, menepuk wajahnya. “Yuigahama-san, apa yang kamu katakan tadi mengenai belajar itu tidak berguna itu tidak benar. Faktanya, belajar adalah sebuah tindakan mencari arti dalam dirimu. Karena itu, setiap orang mungkin memiliki alasan yang berbeda untuk belajar, tapi tidak ada alasan untuk menolak semua tujuan dari belajar.”

Itu adalah sebuah argumen yang masuk akal. Begitu masuk akal, sebenarnya, sampai-sampai itu akan pergi melewati kepala orang dewasa – yang maksudnya akan masuk ke telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Bahkan sebuah kalimat yang terlihat sederhana tapi menyesatkan seperti “Sebenarnya apa itu belajar?” akan menyebabkan efek ini. Jadi semua orang yang mencoba untuk menjadi orang dewasa tidak akan menangkap amanatnya.

Sebenarnya, aku tidak hanya menunjukkan seberapa pintar diriku sekali lagi dengan menarik kesimpulan itu. Orang yang benar-benar percaya ke dalamnya adalah Yukinoshita, kelihatannya.

“Tapi kamu itu pintar, Yukinon…” Yuigahama berkata dengan suara kecil. “Aku hanya tidak cocok untuk belajar… dan lagi tidak ada orang di dalam kelompokku yang belajar…”

Mata Yukinoshita tiba-tiba menyipit. Menyadari bahwa suhu di dalam ruangannya sudah turun setidaknya sepuluh derajat berkat keheningan membekukan Yukinoshita, Yuigahama mengunci mulutnya, merasa kaget. Kelihatan seakan dia masih ingat dengan semua hal-hal keji yang dituturkan Yukinoshita padanya sekali sebelumnya.

Dia menyerah atas kehendaknya sendiri. “’k-ke, Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh!” dia menekankan dengan suara keras. “O-Omong-omong! Hikki, apa kamu ada belajar sedikitpun?!”

Oooh, jadi dia telah mengelak kemarahan Yukinoshita. Kelihatannya rencana liciknya adalah untuk mendesakkan hantaman serangannya padaku. Usaha yang bagus, Yuigahama.

“Ya, aku belajar,” kataku.

“Pengkhianat! Aku pikir kamu itu dungu seperti aku!”

“Pelacur, yang benar saja. Aku mendapat peringkat ketiga dalam bahasa Jepang.” Aku berhenti sejenak untuk menghasilkan efek. “Dan lagi, aku juga tidak begitu hancur dalam bidang yang lain.”

“Tidak mungkin… aku tidak tahu sama sekali…”

Sekedar info, mereka tidak mengumumkan hasil ujian di sekolah ini. Mereka hanya memberitahu peringkat dan nilaimu langsung pada orangnya. Sebagai hasilnya, sementara orang-orang mengungkapkan peringkat mereka pada satu sama lain, tidak ada orang yang tahu peringkatku – karena tidak ada orang yang bisa kuberitahu. Hampir tidak ada yang menanyakan peringkatku.

Tentu saja, umumnya tidak ada orang yang bertanya padaku mengenai sesuatu tentang diriku.

“Jadi apakah itu berarti kamu itu sebenarnya pintar, Hikki?!”

“Tidak banyak yang bisa dibanggakan,” kata Yukinoshita.

“…kenapa kamu yang menjawab untukku?” Yah, tentu saja nilaiku tidak ada apa-apanya dibanding dengan nilai Yukinoshita, tapi nilaiku jauh dari hancur.

Itu berarti Yuigahama-lah yang paling paling dungu di antara kita bertiga.

“Aww,” dia merengek. “Jadi hanya aku karakter yang dungu disini.”

“Jangan melompat pada kesimpulan itu, Yuigahama-san.” Nada dan ekspresi kaku Yukinoshita sudah mencair, dan matanya menunjukkan keyakinan yang jelas.

Setelah mendengar kata-kata itu, Wajah Yuigahama menjadi cerah seperti sebuah lampu bohlam. “Y-Yukinon!”

“Kamu bukanlah seorang karakter fiksi. Kedunguanmu itu sifat alamimu.”

“Waaaaaah!” Yuigahama menghantamkan tangannya pada belahan depan Yukinoshita.

Terlihat seakan dia sama sekali tidak tahu bagaimana bereaksi dengan itu, Yukinoshita menghela pendek dan dipaksa-paksa.. “Apa yang sedang coba kukatakan adalah mengukur nilai seseorang hanya dari nilai ujian dan peringkatnya itu bodoh. Bahkan di antara murid peringkat tinggi ada manusia yang sungguh inferior.”

“Hei, kenapa kamu melihat ke arahku saat kamu mengatakannya?” tanyaku. Selama sesaat, aku dilihat dari segala arah. “Aku akan mengatakannya untuk jaga-jaga saja, tapi kalian memang tahu aku belajar itu karena aku menyukainya?”

“Itu begitu…”

“Itu karena kamu tidak ada hal yang lebih baik untuk dikerjakan.”

Dua gadis itu berkata serempak. Yuigahama mengutarakan kalimat keterkejutan yang pendek, sementara kalimat yang lebih panjang itu dari Yukinoshita. Dahi mereka menekan satu sama lain tanpa bahkan disadari mereka.

“Ya, tapi kamu juga tidak,” aku berkata Yukinoshita.

“Tapi kamu tidak menyangkalnya,” sahutnya.

“Cepat menyangkal saja! Itu membuatku merasa agak sedih!” teriak Yuigahama.

Yukinoshita berkata sedingin biasanya, tapi Yuigahama terbakar dengan rasa empati. Yuigahama memeluk Yukinoshita dengan hangat, seakan dia sedang mencoba untuk meringankan luka di dalam hati Yukinoshita. Di seluruh wajah Yukinoshita terpampang “…tidak bisa bernafas!” namun tidak mengutarakan sepatah katapun untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. Selama sejenak Yuigahama terus meremasnya erat-erat.

YahariLoveCom v2-047.png

Oi, ayolah! Bagaimana denganku?! Aku juga tidak ada hal yang lebih baik untuk dikerjakan daripada belajar! Pikirku saat sudah jelas bahwa tidak ada pelukan atau remasan yang datang ke arahku. Yah, aku rasa itu akan membuatku canggung jika dia memelukku, dipikir-pikir lagi.

Tapi serius, mengapa para makhluk riajuu itu begitu suka sentuh-sentuhan dengan satu sama lain? Apakah sentuhan kulit itu kejadian yang begitu alami, huh? Apa mereka pikir mereka itu orang Amerika, huh? Mereka menghabis-habiskan waktu mereka dan memukul satu sama lain sebagai lelucon, tapi jika ada sesuatu yang serius terjadi, mereka akan memeluk satu sama lain seakan itu merupakan hal yang benar-benar cerdas untuk dilakukan. Jika pria-pria dan wanita-wanita itu pernah memiloti sebuah Eva, mereka tidak akan pernah bisa menggunakan sebuah lapangan AT. Tidak ada batas pada kebaikan di dalam hati mereka.[15]


× × ×


1-6[edit]

Selagi dia memegang kepala Yukinoshita dan mengelus-elusnya, Yuigahama membuka mulutnya. “Tapi kamu tahu, Hikki, aku agak terkejut mendengar kamu belajar begitu keras.”

“Nah, itu tidak seperti aku belajar karena aku ingin melanjutkan pendidikanku atau semacamnya seperti murid yang lain. Aku tidak mengikuti kursus musim panas manapun.”

Sekolah Menengah Atas Soubu Kota Chiba terdedikasi untuk mempersiapkan para murid untuk masuk ke universitas. Sebagai hasilnya, angka yang masuk universitas cukup tinggi. Rekan muridku yang sudah sadar akan itu mungkin telah terpikir tentang ujian masuk universitas di dalam otak mereka sejak musim panas tahun kedua SMA mereka. Itu sudah semakin dekat pada waktu dimana mereka akan mulai khawatir apakah mereka akan menghadiri seminar penuntun di Tsudanuma atau Pusat Sekolah Kursus Kawai atau sekolah kursus di Inage-Kaigan.

“Oh, tapi ada satu hal,” tambahku. “Aku sedang mengincar sebuah beasiswa untuk les.”

“…belasiswa?” Yuigahama mengulang.

“Dalam kasusmu, kamu tidak usah mengincar apapun ketika kamu sudah mencapai puncak kesuksesanmu,” kata Yukinoshita. “Kamu sangat mirip dengan limbah industri.”

“Ada apa ini, Yukinoshita? Kamu begitu baik hari ini. Aku pikir kamu akan langsung menolak hakku untuk hidup.”

“Sebuah saran yang sangat bagus.” Yukinoshita menekankan jarinya pada dahinya, sebuah tampang keji terpampang di wajahnya.

“Hei, hei, apa itu belasiswa?”

Kelihatannya Yuigahama sudah bingung dari bagian 'beasiswa' tadi. Wow yang benar saja, Yuigahama-san?

“Beasiswa itu adalah ketika kamu menerima uang tunjangan untuk pendidikanmu,” jelas Yukinoshita.

“Tempat les sekarang ini mengratiskan biaya les untuk murid-murid bagus,” kataku. “Singkatnya, jika aku mendapatkan beasiswa, uang yang dibayarkan orangtuaku untuk biaya lesku jatuh ke tanganku.”

Aku berdansa kecil ketika realisasi itu sampai padaku. Aku mulai breakdance di dalam ruanganku, yang terang-terangan mendapatkan rasa jijik dari adikku.

Orangtuaku akan tenang jika aku bisa belajar dengan rajin dengan sebuah tujuan yang jelas di dalam pikiranku dan meraup hasilnya untuk membalas investasi mereka. Dan aku bisa mengantongi uangnya selagi aku melakukannya. Itu adalah sebuah rencana yang jenius, jika kubilang sendiri.

Tapi kedua gadis itu terlihat sangat meragukan. “Bukankah itu penipuan…?”

“Tidak ada masalah baginya karena kamu tidak bisa menuduh bahwa dia sedang merugikan orangtuanya dengan menerapkan sebuah pendekatan yang berorientasikan-hasil dalam kelasnya, dan itu hanya masalah tentang tempat les menerima murid dengan beasiswa. Menurut kepribadian abnormal laki-laki ini, kamu tidak bisa dengan cara apapun menyebut ini penipuan,” kata Yukinoshita dengan pedas.

J-jadi kenapa, oke? Sebuah kebohongan sepele yang kecil tidak akan menyakiti siapapun.

Yuigahama memandang ke arahku. “Jadi itu rencana dalam hidupmu, huh…” gugamnya. Dan kemudian dia memegang lengan baju Yukinoshita lebih erat lagi dari sebelumnya.

Terkejut akan intensitasnya, Yukinoshita menatap ke bawah pada wajah Yuigahama dengan kekhawatiran yang ragu-ragu. “Apakah ada masalah…?”

“Oh, um, tidak ada, kurasa…” kata Yuigahama, tidak membodohi siapapun dengan tawa gugupnya. “Aku hanya berpikir bahwa karena kalian begitu cerdas, aku tidak tahu apakah kita akan bertemu lagi setelah kita tamat.”

“Memang…” Yukinoshita berkata dengan sedikit senyuman. “Satu hal bagiku aku tidak akan pernah melihat Hikigaya-kun lagi.”

Aku hanya mengangkat bahu tanpa bersuara atas perkataan itu. Bingung dengan tidak adanya reaksi verbalku, Yukinoshita memandang padaku dengan aneh. Jangan begitu keras denganku. Aku sedang setuju denganmu disini, Yukinoshita.

Yah, mereka memang ada di dalam dunia ini: orang-orang yang belajar mati-matian supaya mereka dapat masuk ke dalam sekolah paling elit yang jauh dari rekan murid SMP mereka. Tipe-tipe orang tersebut memutuskan untuk membuang masa lalu mereka dan bersumpah tidak akan pernah bertemu dengan teman sekelas mereka lagi. Yuigahama kurang lebih benar tentang tipe-tipe tersebut.

Lalu ada orang yang terus melekat pada pertemanan mereka dengan berkomunikasi dengan orang-orang di dalam kelompoknya. Dengan teknologi, mereka bisa mempertahankan sedikit potongan kekariban mereka. Jadi kurang lebih mereka yang menolak untuk terus berhubungan akan berakhir sendirian. Apa yang ingin kukatakan adalah kalian hanya berhubungan dengan orang lain melalui telepon atau email, atau kalian tidak pernah berhubungan sama sekali. Bisakah kalian menyebut itu pertemanan? Aku yakin kalian bisa. Itu berarti telepon gengam menangani semua hal untuk semua orang, dan jumlah teman yang kalian miliki bisa setara dengan jumlah kontak di telepon gengam yang kalian miliki.

Yuigahama mengenggam telepon gengamnya dengan erat saat dia menampilkan senyumannya pada Yukinoshita. “Tapi tidak ada masalah karena kita mempunyai telepon. Kita akan selalu tetap berhubungan!”

“Ya, tapi aku ingin kamu berhenti mengirimkanku SMS setiap hari…” sahut Yukinoshita.

“Huh?! K-Kamu tidak suka itu…?”

Yukinoshita terdiam untuk sejenak, mencari kata-kata. “Itu terkadang sangat menjengkelkan.”

“Sungguh blak-blakan!”

…meski begitu, mereka berdua sangatlah dekat. Sejak kapan mereka begitu akrabnya sampai-sampai mereka saling berSMS? Dan omong-omong, aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk SMS Yukinoshita. “Persisnya SMS jenis apa yang kalian kirimkan setiap hari?”

“Uhh…” kata Yuigahama. “Sesuatu seperti ‘Aku makan kue sus hari ini ☆’”

“Aku bilang ‘sungguh’,” kata Yukinoshita.

“‘Yukinon, bisakah kamu membuat kue sus?! Aku ingin coba makan manisan yang lain nanti!’”

“‘Baiklah’.”

“Sungguh kemampuan berbicara yang mempesona, Yukinoshita…”

Yukinoshita berpaling dengan merasa bersalah. “Tidak banyak yang bisa membantuku,” dia bergugam. Itu sedih bahwa aku tahu apa yang dia rasakan.

Tidak, sungguh, apa yang seharusnya kamu katakan dalam obrolan semacam itu? Sesuatu seperti keadaan cuacanya merupakan sebuah pemulai percakapan, tapi itu berakhir pas setelah mereka berkata “Cuacanya bagus, huh?” dan kamu berkata “Ya”. Itu seperti berkata, “Er, uh, un ange passe[16]. Eheheh,” setelah keheningan yang canggung di telepon.

“Ya… Aku tidak menjunjung tinggi telepon gengam,” kataku. “Aku rasa itu adalah sebuah cara komunikasi yang tidak sempurna.”

Aku rasa benda telepon gengam itu merupakan tipe alat khusus yang menekankan tingkah laku penyendiri. Kamu dapat meninggalkan teleponmu sendiri bahkan ketika ada panggilan masuk, kamu bisa memblokir nomor telepon, kamu bisa menolak membalas SMS - sesuatu semacam itu. Kamu bisa memilih untuk menerima atau menolak semua komunikasi tergantung dari suasana hatimu saat itu.

“Memang. Si penerima diwajibkan untuk menjawab SMS atau mengangkat telepon.” Yukinoshita mengangguk dengan kuat pada gugaman santaiku.

Dia tidak begitu buruk ketika kamu hanya melihat pada wajahnya saja. Dipikir-pikir lagi, itu mungkin mengapa dia diminta alamat[17] email dan nomor teleponnya oleh begitu banyak orang yang beraneka ragam.

Kalau aku, ada satu saat ketika aku mengumpulkan keberanianku untuk meminta nomor telepon seorang gadis imut. Ini jauh sebelumnya saat aku masih anak sekolah menengah pertama yang polos. Setiap kali aku meminta nomornya, dia memberitahuku, “Maaaaaff, bateraiku lagi habis sekarang. Aku akan meng-SMSkannya padamu nanti, oke?” Itu merupakan sebuah misteri bagaimana dia tidak pernah memberitahuku nomor teleponnya dan tapi untuk beberapa alasan bermaksud untuk mengirimkannya padaku. Aku masih menunggunya sampai hari ini…

“Selain itu, aku tidak melihat pada SMS manapun yang membuatku muak…” Yukinoshita mengaku, seakan itu pemikirannya kemudian.

“Hmmm?” Yuigahama menekankan jari telunjuknya pada dagunya dan memiringkan kepalanya ke samping. “Jadi itu berarti… SMSku membuatmu muak?”

“…Aku tidak berkata begitu.” Yukinoshita, yang sedang menatap lurus pada Yuigahama sampai tadi, mengalihkan pandangan matanya. “Itu hanya menganggu.” Wajahnya merona. Itu reaksi yang agak imut, kurasa, tapi karena itu tidak ada hubungannya denganku, aku tidak peduli sama sekali.

Setelah melihat ekspresi Yukinoshita, Yuigahama melompat dan memekik. Yang cukup misteriusnya, Yukinoshita berpaling dengan tampang melembut di wajahnya - dia sudah sepenuhnya mencair. Sekali lagi, itu tidak ada hubungannya denganku, jadi aku tidak peduli sama sekali.

“Oh, begitu ya. Tapi telepon gengam tidak sesempurna itu, ya.” Yuigahama memegang tubuh Yukinoshita dengan erat, seakan merasa sakit akan betapa dangkalnya hubungan mereka. “Aku akan benar-benar belajar keras, ya… itu akan menabjubkan jika aku bisa pergi ke sekolah yang sama denganmu,” dia melanjutkan dengan suara kecil, pandangannya jatuh ke lantai. “Apakah kamu sudah memutuskan tujuan universitasmu dan semacamnya, Yukinon?”

“Belum, belum ada tujuan yang pasti. Aku berencana memasuki fakultas MIPA di universitas negeri nasional.”

“Kamu tahu begitu banyak kata-kata susah!” seru Yuigahama. Lalu dia berkata, “Jadi, um… bagaimana denganmu, Hikki? Aku mu-mungkin lebih baik menanyakanmu juga.”

“Sastra di universitas swasta.”

Senyuman kembali ke wajah Yuigahama. “Itu terdengar dapat dicapai!”

Oh, ayolah, ada apa dengan reaksi itu? “Aku sudah memberitahumu sebelumnya, tapi mempelajari sastra di universitas swasta bukanlah sesuatu yang sangat mudah. Aku minta kamu meminta maaf pada semua departemen sastra swasta di negara ini. Kamu dan aku bahkan tidak berada pada level yang sama.”

“Ooooh… kalau begitu aku akan bekerja keras!” Yuigahama melepaskan Yukinoshita. “Dan itulah itu. Kita akan mengadakan belajar kelompok mulai minggu ini,” dia menyatakan dengan keras.

“…persisnya apa maksudmu?” Yukinoshita bertanya dengan ragu-ragu.

Yuigahama sepenuhnya mengabaikan pertanyaannya dan dengan cepat meluncur pada pengorganisasian hal-hal. “Kita tidak ada aktivitas klub satu minggu sebelum ujian, jadi kita ada waktu luang di sore hari, kamu tahu? Oh, Selasa juga bagus, karena para guru ada darmawisata minggu ini.”

Yang benar saja, “darmawisata”? Anak SMA macam apa yang ada mengatakan itu? “Darmawisata” yang dibicarakan Yuigahama adalah sebuah pertemuan dengan departemen penelitian pendidikan kota, dan karena itu wajib untuk diikuti para guru, kelas dipersingkat dan aktivitas klub diliburkan sehari.

Yah, aku tidak bisa bilang aku tertarik pada rencana Yuigahama. Yukinoshita, murid peringkat pertama yang bercita-cita masuk ke fakultas MIPA di universitas negeri nasional, dan aku, murid peringkat ketiga dalam bahasa Jepang, akan hampir tidak gelisah menjelang ujian. Lagipula, aku memiliki sejumlah keyakinan dibandingkan dengan adikku yang tolol dalam segala bidang - adik tololku itu, yang tidak bisa mendapatkan nilai lumayan di bidang manapun. Setiap kali dia memiliki soal yang tidak bisa diselesaikannya, aku tidak pernah peduli untuk membantunya.

Jika ada sesuatu yang kubenci, itu adalah merampas waktu pribadiku. Aku bahkan tidak mengikuti acara selebrasi setelah festival olahraga. B-bukan karena aku tidak diundang atau semacamnya! Alasanku adalah bahwa aku menghargai waktuku, dan itu akan cukup menyakitkan bagiku untuk menghabiskannya dengan orang lain.

“Uhhh…” Cepatlah dan segera tolak dia, aku pikir dalam diriku sendiri, lidahku kaku, selagi Yuigahama terus berbicara.

“Kalau begitu kita pergi ke Saize di Chiba [18]?”

“Aku tidak benar-benar keberatan…” kata Yukinoshita.

“Yuigahama, um, kamu tahu…” Jika aku tidak cepat dan berkata sesuatu, mereka akan benar-benar melakukannya! Berhenti bertele-tele dan tolak ajakannya, pikirku. Aku membuka mulutku.

“Ini adalah yang pertama kali kita pergi keluar bersama-sama, Yukinon!” Yuigahama memotongku. “Hanya kita berdua!”

“Memang,” kata Yukinoshita.

Jadi aku tidak pernah diundang dari awal.

“Hikki, apa kamu mengatakan sesuatu?” tanya Yuigahama.

“N-nah… bersenang-senanglah saat belajar.”

Toh itu lebih efisien belajar sendirian.

…Aku tidak kalah, oke.

Mundur ke Formulir Survei Tur Tempat Kerja Prospektif Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Golden Ratio
  2. Shocking First Bullet, dari anime s-Cry-ed yang dibuat tahun 2001 dan memiliki banyak elemen shonen dan pertempuran ala-chuuni
  3. Annihilating Second Bullet
  4. Exterminating Last Bullet
  5. Semacam ketika wali kelas yang masuk ke kelas
  6. Toko Sushi
  7. Leluconnya di sini adalah 'benda berkilau' disebut 'hikarimono', yang juga memiliki arti sejenis ikan berkilau yang digunakan sebagai topping sushi.
  8. Pembalap F1 dari Brazil yang memenangkan tiga pertandingan dunia F1
  9. Ini adalah motto Anpanman. Anpanman merupakan pahlawan super anak-anak yang terkenal.
  10. Sebuah referensi pada moto ikonik karakter utama komik sepak bola Kapten Tsubasa: "Bola adalah teman"
  11. Salah satu jenis tipe permainan mahjong
  12. Dikutip dari lagu pembukaan Devilman
  13. Literal : Baik untuk pekerjaan anda. Artinya : Konten internet yang pantas dilihat oleh bos dan rekan kerja.
  14. Kaneko Misuzu adalah penyair yang menulis Watashi to Kotori to Suzu to (lit. Lonceng, Burung, dan Diriku), yang memiliki kalimat , “Semua orang itu berbeda, semua orang itu bagus.” Itu adalah sebuah puisi yang bagus mengenai menerima perbedaan setiap orang
  15. Referensi pada kemampuan khusus yang digunakan oleh pilot Eva dalam Neon genesis Evangelion. Semakin hancur kondisi kejiwaanmu, semakin kuat lapangan AT yang bisa kamu hasilkan.
  16. Frasa Prancis. Secara literal berarti : Malaikat sedang lewat. Digunakan ketika seseorang menyadari keheningan yang berkepanjangan, terutama pada waktu jeda antar percakapan
  17. Orang Jepang saling ber-SMS dengan alamat email.
  18. Versi pendek 'Saizeriya', sebuah restoran berantai Italia yang populer di Jepang