Oregairu (Indonesia):Jilid 10 Bab 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1 : Akhirnya, Hikigaya Komachi berdoa kepada dewa-dewi.[edit]

Bagi siapa yang ingin mengoreksi atau menambahkan dan diskusi, silahkan e-mail penerjemah dengan alamat fathoninooneknows at yahoo dot co dot id atau PM facebook Fathoni Burhan. Setiap bantuan anda saya sangat harapkan dan saya apresiasi.

1[edit]

Ruangan menjadi gelap saat aku membaca bukuku.

Salah satu kebiasaan burukku yang tak bisa hilang saat aku sedang bersih-bersih total atau merapikan ruangan adalah seperti “Ups, aku baru saja memulai hobiku membaca buku”.

Hampir saja... Kalau yang kubaca adalah sebuah buku berseri, aku bakal terjebak di sebuah maraton bacaan. Dan setelah aku selesai membaca semua volumenya, aku bakal nyerocos, “Kapan sih volume berikutnya keluar? Cepatlah, dan lakukan tugasmu, penulis!”

Aku bangkit dari sofa tempatku berbaring dan mengembalikan buku yang kubaca kembali ke raknya.

Dengan ini, bersih-bersih total sudah selesai. Cuma merapikan sana sini sih, tapi ya sudahlah, selesai.

Di hidup, selagi kau masih belum bisa menghilangkan noda masa lampau, maka aku harus bilang, dengan keseriusan, merapikan adalah sebuah usaha sia-sia yang pastinya, tak berarti. Kalau kehidupan adalah noda itu sendiri, maka apapun yang kau lakukan, kau tak akan pernah melihat akhir dari usaha membersihkan kehidupanmu.

Bagaimanapun, karena aku paling tidak sudah merapikan rak buku di kamarku, akupun kembali ke ruang tamu dengan rasa kemenangan. Cuma tinggal beberapa hari lagi tahun ini akan berakhir.

Seharusnya besok adalah hari kerja terakhir orang tuaku di tahun ini. Mereka punya pekerjaan bertumpuk yang harus diselesaikan jadi mereka pasti bekerja larut sekali. Karena itu, ibukupun bersih-bersih sedikit demi sedikit dengan waktu terbatas yang ia punya. Tak lama kemudian, ruang tamu menjadi bersih dan rapi.

Hanya saja di ruang tamu yang bersih itu, ada satu sosok yang terbaring lemas di lantai, memancarkan aura yang tak menyenangkan.

Sosok itu adalah adikku, Hikigaya Komachi.

Tubuh bagian atasnya keluar dari kotatsu dengan muka menghadap kebawah. Kucing yang berlalu-lalang di punggungnya adalah Kamakura, yang sedang menjilati bulu-bulunya.

“Ada apa sih...?” aku secara refleks menanyakannya, tapi nggak ada jawaban. Alah, cuma seonggok mayat... Aduh, ayolah Komachi, mati di tempat seperti ini, agak menyedihkan tahu...

Meskipun begitu, ada kucing di punggungnya pasti berat. Ia seperti sedang di rasuki arwah gentayangan melihat ia tak bergerak sama sekali. Aku pasti suka kalau aku bisa menentukan arwah kucing gentayangan itu adalah kucing, arwah, atau malah setan, meow.

Aku menuju kotatsu sambil mengangkat Kamakura dari punggung Komachi dan menaruhnya di pangkuanku. Kamakura mengelus-elus pangkuanku untuk mencari kenyamanan, menaruh kepalanya dan tergeletak, tidur kembali. Maaf karena tempat tidurnya buruk. Ampuni aku, meow♪!

Saat aku melepaskan beban dari punggung Komachi, ia mengangkat kepalanya.

“Ah, onii-chan...”

Adikku yang selalu manis ini sekarang punya mata yang menyipit, seperti mata busuk sebuah ikan. Oh, kau terlihat mirip dengan kakakmu ini! Kita memang benar-benar saudara! Jadi kalau Komachi itu manis dan aku mirip dengannya, itu artinya aku manis! Tapi, tunggu, mata busuk itu sangat tidak manis. Jadi kalau keimutannnya masih belum cukup untuk membuatnya manis, bukannya itu berarti aku sama sekali tidak manis, ya, sama sekali?

Bagaimanapun, ini kali pertama aku pernah melihat Komachi terlihat seperti benar-benar tersudut ke tembok.

“Komachi, nggak apa-apa kan...?”

“Nggak... Aku sudah tamat...” Komachi menggumam dan membenamkan mukanya ke dalam kasur. Kemudian ia mengucapkan sesuatu seperti igauan dengan suara terpecah-pecah. “Harus, bersih-bersih... Harus, buang sampahnya... Harus, buang onii-sampah...”

“Tenang Komachi. Bersih-bersihnya kurang-lebih selesai. Dan juga, nggak semudah itu membersihkan onii-chanmu ini. Kau harus siap-siap menghadapi masa yang panjang.”

“Uuugh, Komachi jadi gelisah, aku cuma mau kau menikah secepatnya...”

Dia memberiku tatapan tidak puas, tapi tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu. Itu ibaratnya seperti mencoba menikahkan Hiratsuka-sensei, mungkin saja. Kayak kau bisa menikahkan laki-laki semenyusahkan aku ini... Tapi ini bukan saatnya mengeluarkan tameng pelindung. Komachi inilah masalahnya.

Dalam banyak hal, aku tahu alasan kenapa Komachi menjadi seperti ini. Itu pasti karena tes-tesnya. “Belajar itu terlalu sulit”, “Tes uji cobanya jadi kacau”, kurang lebih seperti itu.

Bahkan setelah Natal berakhir, Komachi telah berjuang dengan belajar siang dan malam sepenuhnya, tapi dengan Tahun Baru yang semakin dekat, sekarang dia kehabisan bahan bakar.

Mengoceh dan merana, Komachi berkata, “Sial, sial sial...”

Kemudian dia memandangku.

Saat aku menjadi terdiam, Komachi mengubur kepalanya kedalam bantal kembali. Dia berbicara dengan suara tersedot-sedot. “Sniff, uugh, Aku lelah sekaliiiiiii...”

Kemudian dia memandangku.

Aww kawan, dia menyebalkan sekali... Meskipun begitu, aku adalah seorang veteran senior onii-chan yang membanggakan lima belas tahun pengabdiannya. Pada saat inilah aku pastinya tahu apa saja kata-kata yang tepat ditujukan padanya.

“Yah, tahulah. Belajar terus-terusan emang sangat menekan. Tahun Baru sebentar lagi sampai, jadi kenapa kita nggak istirahat sejenak dan jalan-jalan yang jauh dari sini, buat kunjungan kuil pertama kita tahun baru ini?”

“Ayo!” Komachi secepat kilat menjawabnya dan mendadak bangkit dari posisi tidurnya itu.

Kelihatannya tepat sasaran. Pasti lah, karena aku adalah onii-chan profesional, itu cuma salah satu dari tugasku. Faktanya, aku rasa kota ini harus bergerak untuk menyiapkan lowongan menjadi onii-chan. Apaan sih lowongan menjadi onii-chan? Bukannya, yah, seperti di urus-urus oleh adik perempuannya? Pekerjaan itulah yang kau bisa bilang kebal dari pemecatan. Sebenarnya sih, masih bisa dibilang menjadi pengangguran.

Tapi, sebagai seorang onii-chan yang profesional, aku tidak akan memanjakan dia terlalu banyak. Aku harus mengingatkannya. “Nggak apa-apa sih, tapi sebelum itu kau harus belajar sampai mati ya.”

“Iya, iya. Aku bisa belajar lebih semangat kalau aku punya hal yang bisa bikin senang nantinya, tahulah.”

Aku sudah mengingatkannya, tapi sepertinya dia sama-sekali tidak mendengarkanku. Iapun duduk dan mengambil sebuah jeruk mandarin. Mmhm, maksudku nggak papa sih kalau sekarang kau semangat...

“Ada kuil yang pengen di kunjungi? Kayak, kuil yang bisa kasih berkah atau apalah.”

“Mmm...”

Saat aku tanyakan dia, dia mulai berpikir.

Kelihatannya, untuk orang yang akan mengambil tes menjadi seorang siswa, mengunjungi kuil untuk pertama kalinya di Tahun Baru adalah sebuah kejadian penting. Ada juga yang bilang, “Kapanpun kau dalam masalah, berdoalah kepada dewa-dewi”.

Kalau kau benar-benar dalam situasi yang buruk, hanya dewa-dewilah yang bisa kau andalkan. Kebanyakan orang memang tidak terlalu bisa diandalkan sih. Jadi, fakta kalau misalnya kau tidak mengandalkan orang-orang disekitarmu bisa berarti kalau kau hanya mengandalkan dewa-dewi saja di kehidupan sehari-harimu. Comot-comotan tetaplah nyopet bagaimanapun. Saat seperti inilah aku harap bakal muncul Ultra-apalah.

“Kalau dekat sini, coba aja tempat ayah kita pernah kunjungi. Tahulah, tempat yang dia bilang pernah jadi tempatnya begadang cuma buat ngantri. Kuil Kameido Tenjin atau apalah?”

Tempat itu hanya sejauh satu stasiun dari Sobu Line di daerah sini, jadi memang tidak jauh-jauh amat. Jelaslah, karena kita akan berdoa pada DewaBelajar, bisa dipastikan akan penuh sesak karena memang musimnya. Setiap kali terpikir kerumunan orang dan aku di dalamnya, aku tak bisa tak mengeluarkan ekpresi “bleh” dari mukaku, eh maksudku, aku benar-benar benci kerumunan tahu ☆!

Dan entah kenapa, Komachi juga mengeluarkan ekspresi “bleh” di mukanya. “Tukang begadang... Satu lagi hal menjijikkan dari ayah...”

Dia itu ayah yang baik, jangan dikeluhin terus... Tahulah, kalau mama tidak membuatnya berhenti, ayah sudah pergi ke Dazaifu, tahu... Aku juga punya firasat kalau mama juga yang melarangnya begadang.

“Yah, lupakan aja ayah, ada juga satu Dewa Belajar di Yushima Tenjin...”

Kuil ini juga punya satu Dewa Belajar, jadi pasti sangat popular saat masa-masanya tes-tes.

Artinya, bisa dipastikan akan sangat sesak karena memang musimnya---dll, dll.

Saat aku sedang menimbang-nimbang pilihan-pilihan yang ada, Komachi mengeluh.

“Mmm, tempat yang terkenal emang bagus, tapi... Rasanya tempat yang dekat dengan SMA bisa jadi bikin aku hoki!” “Masa? Kalau gitu... Rasanya Kuil Sengen bisa.”

“Ah, itu kan kuil yang selalu ngadain festival.”

“Nggak, nggak selalu.”

Kuil apa sih yang selalu mengadakan festival? Seperti tak punya rasa menghargai begitu. Apa itu sepertitoko depan stasiun Akihabara yang selalu mengadakan penjualan sebelum tutup? Sebanyak apa sih setiap hari dalam setiap harinya?

Tapi aku rasa itu memang biasa buat Komachi, yang tidak akrab dengan Kuil Sengen, yang akhirnya hanya tahu tentang festival di sana. Memang itu adalah salah satu tujuan turis, tapi sebenarnya mengunjungi kuil tetangga hanya akan terjadi saat kunjungan pertama tahun baru atau kalau ada festival.

Tapi Kuil Sengen, ya...? Aku punya firasat kalau akan ada orang yang kukenal di sana, jadi aku tidak terlalu semangat untuk itu, tapi itu tempat itu cukup disukai ternyata. Aku juga tak mau ketemu alumni SMPku dulu. Sebenarnya sih, aku tidak sedang mau pergi ke manapun, tahu?

Selagi keraguanku muncul, Komachi menatapku dengan prihatin.

“Apa?” kutanyakan ia.

Komachi membenarkan posisi duduknya untuk persiapan sesuatu. “Oh, tahulah, onii-chan. Aku nggak merasa kita perlu sama-sama atau gimana. Aku nggak papa kalau sama mama.”

Mmmm, kau biasanya mengacuhkan ayah, kan? Itulah ayah bagimu, yep.

Bagaimanapun, aku punya sedikit firasat kenapa dia menjadi prihatin begitu. Dia bisa saja bersikap seperti biasa, tapi dia punya kepekaan terhadapku sebagai kakaknya. Nggak, nggak, onii-chan juga peka tentang dirinya sendiri, tahu? Aku hanya bermasalah di bagian memahami kepekaan itu karena aku masih bingung bagaimana menyikapinya.

Itulah mengapa di liburan musim dingin yang kurang dari dua minggu ini menjadi sesuatu yang patut aku syukuri. Pastinya, setelah sekolah mulai masuk lagi, aku harus menghadapi hal seperti itu lagi.

Tapi sekarang aku sedang liburan. Dan karena ini sedang libur, memang gayaku untuk mengistirahatkan seluruhjiwa ragaku. Sebagai seseorang yang menargetkan menjadi bapak rumah tangga, menggunakan otak saat liburan tidak patut dipertimbangkan. Tundalah pengajuan proposalmu, bawalah kerumah dan pikirkan lagi. Itulah yang bisa dibilang ilmu menjadi budak perusahaan! Tunggu dulu, jadi semua ini tentang menjadi budak perusahaan atau menjadi bapak rumah tangga?

Untuk tujuan beristirahat selama mungkin dan juga menunda segalanya lebih lama lagi, akupun memutuskan untuk mengganti persoalannya.

“Aku nggak perlu kepedulian yang menjengkelkan itu, ehh.”

“Ah kamu, kalau bisa sih, aku maunya nggak ngelakuin itu.” Komachi mengeluarkan desahan sok pamer. Sori, dekku, karena jadi onii-chan yang begini.

“Yah, kalau kalau nggak pergi Komachi, aku tinggal pergi sendiri kayak tahun kemarin. Nggak banyak yang dipikirin dan lebih gampang buatku.”

“Lagi-lagi, kau bilang sesuatu kayak gitu.”

“Leluhur bilang, Malam Tahun Baru adalah hari persiapan tahun yang akan datang. Begini, kalau aku bikin kenangan pahit pas kunjungan pertamaku, tahun itu dipastikan jadi tahun yang penuh kenangan pahit. Melakukan sesuatu di tahun baru dan kau mau buat aku bikin kenangan pahit dengan berada di tengah kerumunan? Ide yang buruk kan, setuju, Komachi-kun?”

Dengan lancar sekali aku menceramahi Komachi yang sedang bermuka bosan. Dia terlihat tidak terperangah pertamanya, tapi sekarang ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan kemudian menatapku dengan serius.

“Masuk akal. Malam Tahun Baru itu hari persiapan tahun yang akan datang... Oke, mungkin aku akan ikut denganmu, onii-chan.” “O-oke... Kenapa berubah pikiranmu?”

Dia menatapku seperti menatap sampah sedetik yang lalu, tapi sekarang dia bermuka sungguh-sungguh, 180 derajat berbeda dari sebelumnya. Kemudian dia mengeluarkan senyum cemerlang.

“Maksudnya sih, kalau aku ikut dengan onii-chan pas Malam Tahun Baru, itu artinya aku akan bareng onii-chan sepanjang tahun. Tadi itu baru aja mencetak banyak poin Komachi.”

“Y-yah. Aku, rasa...”

Kata-katanya membuat pikiranku membeku.

.......

...Oh kawan, ada apa dengan adik manisku ini!? Lupakan kata klise yang selalu muncul di akhir kalimatnya, adikku benar-benar manis!

“Ko-Komachi...”

Selagi aku tersedu-sedu, tersibak air mata karena perkataannya, Komachi mengembungkan pipinya yang merah dan mengalihkan pandangannya. Kemudian dia menatapku menyamping.

“J-Jangan geer, oke! Maksudnya bareng onii-chan itu karena kita akan satu sekolah tahun depan, kayak berdoa supaya lulus tes, oke! Tadi itu baru aja mencetak banyak poin Komachi, oke!”

Ughh, tsundere rendahan... Bukannya tadi itu malahan kriminal Portopia rendahan? Kriminalnya Yasu sih. Sial, sekarang aku jadi depresi.

Aksi terpaksa tadi itu memang bukanlah hal termanis dirinya, tapi kalau aku bersikap seolah-olah kalau dia hanya menyembunyikan rasa malunya, malah sebenarnya, mungkin tak apa-apa kalau kupanggil dia manis.

“Kalau begitu, berangkatnya sama-sama deh.”

“Oke. Baik, baik, aku akan coba belajar lagi di kamarku.” Komachi keluar dari kotatsu dan berdiri selagi ia bicara tadi. “Lanjutkan, selamat bersenang-senang.”

Saat Kamakura masih tidur di pangkuanku, aku memegang kaki depannya, mengayun-ayunkan ke arah Komachi, dan dia pun tertawa. “Ngerti-ngerti, aku bakal berusaha keras!” kata Komachi. Ia mengambil hapenya dan mengelus-elus Kamakura pelan-pelan selagi bersenandung dan akhirnya kembali ke kamarnya.

Yang tertinggal sekarang di ruang tamu hanya Kamakura dan aku. Saat kamakura melakukan funsu dengan hidungnya, aku menggoyang-goyangkan ekornya. Ia terbangun sebal dan merenggangkan badannya. Kemudian ia merangkak kedalam kotatsu.

Aku mengikuti panutannya dan merangkak kedalam kotatsu hingga bahuku, dan menjadi siput kotatsu.

Hanya sebentar waktu tersisa di tahun ini.

Seperti tahun-tahun yang lain, ini adalah hari sebelum Tahun Baru yang tenang.

2[edit]

Tahun Baru dimulai dengan mulus.

Selamat Tahun Baru.

Rasanya, mesti mengucapkan hal itu dengan anggota keluarga terasa seperti tak tahu malu atau malah bisa-bisa terasa bodoh . Walau begitu, aku harus melakukannya supaya bisa dapat amplop Tahun Baru. Memang begitu, pembelajaran elitku untuk menjadi budak perusahaan sudah dimulai sejak aku masih bayi. Kalau begitu caranya untuk mendapatkan uang, dengan mudah aku bisa saja memalingkan mukaku dari menatap ketidak adilan dan ketidak rasionalan, menundukkan kepalaku meski aku tak mau menunduk, dan menunjukkan senyum lemah, senyum dari seorang pegawai. Hal yang seperti itulah yang dimaksud menjadi budak perusahaan! Saat aku membuang-buang waktu dengan memikirkan hal semacam itu, dengan aman aku mendapatkan amplop Tahun Baru tahun ini juga. Tahun-tahun yang lalu, uang itu telah diserap tak lazim oleh institusi misterius “bank mama” dan sekarang, harusnya jumlahnya sudah banyak sekali di bank itu. Mungkin saja, ya mungkin saja, sebenarnya memang begitu. Aku percaya padanya. Aku harap ia tak menghapus huruf M dari kata MOTHER dan berubah menjadi OTHER.

Selagi aku bisa memperoleh uangku tanpa masalah tahun ini lagi, aku berbaring di bawah kotatsu dan bermalas-malasan. Bukannya bantal, aku mulai duduk di atas kursitatami dan memainkan hapeku.

Saat Malam Tahun Baru datang, hapeku tak lazimnya bergetar sering sekali daripada tahun-tahun sebelumnya, yang malah tak pernah.

Itulah yang disebut dengan pesan “Selamat Tahun Baru”.

Aku dapat pesan yang amat-amat panjang dan formal sesaat setelah Tahun Baru dimulai, pesan simpel, yang mana amat manis, dan pesan yang bagaikan ramalan takdir tertulis dari pengirim tak dikenal... Yah, sejenis itu lah. Aku kira aku bakal dapat satu lagi pesan bodoh, tapi ternyata tidak. Bukannya aku mengharapkannya atau apapun. Dengan buru-buru aku membalas pesan kayak-chuuni dan pesan yang penuh kata-kata sepenuh badai topan dengan balasan apalah terserah.

Tapi aku tak tahu harus apa dengan pesan terakhir, seri khusus yang simpel, “Pesan MANIS”. Kalau aku terlalu semangat dan membalasnya dengan balasan panjang sekali, bakal terasa mengerikan, tapi kalau bukan itu, membalas dengan balasan dengan semaian gambar dan emoji bakal terasa menjijikkan. Sisanya tinggal pilihan membalas dengan balasan biasa, tapi itu bakal terasa dingin dan tak acuh karena terlalu membosankan.

Hidup akan terasa lebih enak kalau ada sesuatu seperti contoh-contoh, seperti kartu ucapan Tahun Baru yang memamerkan desain-desainnya untukmu... Berguna sekali karena memang sudah jelas apakan kartu Tahun Baru itu hanyalah sebuah formalitas atau bukan. Sesuatu seperti kartu ucapan Tahun Baru biasanya ditempeli dengan gambar-gambar dan foto-foto, dan setelah kau mengisi bagian putih sisanya dengan “Ayo nanti sama-sama lagi!” atau “Ayo nanti minum-minum lagi!”, kartumu akan selesai. Budaya Jepang memang sangat memukau. Dan juga, memang tak normal cara mahasiswa yang sukses bisa memakai “Ayo nanti minum-minum lagi” kapanpun dompet mereka hampir kosong. Kalau mereka minum-minum sering-sering sepanjang tahun, aku pasti akan merasa mereka akan kecanduan alkohol. Kenapa hal itu tak terjadi karena mereka hanya bilang sebagai formalitas, jadi kenyataanya, mereka tak pernah beneran minum bareng. Aku yakin...

Selagi aku memikirkan hal-hal seperti itu, aku menulis balasannya, hapus lagi, tulis lagi, hapus lagi, tulis lagi, hapus lagi, tulis lagi---Hapuuuuuuuuuuuus lagi! Tuliiiiiiiiiiiiiiiiiis laagi! Lakukan dan ulangi.

Aku ingin balas dengan balasan panjang, tapi kalau terlalu panjang, akan terasa seperti berontak. Tapi kalau terlalu singkat, aku malah akan disangka tak acuh. Merasa takut dan khawatir dengan apa yang harus dilakukan, aku jadi memutuskan membalasnya sebanyak jumlah kata yang ada disana. Inilahh apa yang mereka bilang “meniru” dalam ilmu psikologi. Dengan meniru kelakuan dari pihak lain, keakraban masing-masing akan meningkat!

“Onii-chan, siap berangkat?"

Saat aku menulis balasanku, Komachi memanggilku.

Aku mengecek lagi waktunya dan sudah sekitar jam sembilan pagi. Orang tua kami sudah pergi berkunjung ke Kuil Kameido Tenjin. Untuk kami berdua, ini adalah waktu yang tepat untuk pergi berangkat.

“Yah... Ayo berangkat.”

Setelah mengecek apakah pesanku sudah terkirim, aku merangkak keluar dari kotatsu dan berdiri.

3[edit]

Pengalaman itu adalah beberapa stasiun yang bergoncang-goncang dan penuh orang. Kami berbaur bersama gelombang-gelombang manusia yang menembus gerbang tiket, berjalan menuruni jalan yang curam sampai akhirnya kami mencapai gerbang dari jalan setapak yang pertama dari Kuil Sengen.

Jalan-jalan setapak yang bisa terlihat darinya Rute Nasional 14 ini dikatakan pernah berada di bawah air. Info ini di-tweet oleh akun official CHI-BA+KUN, jadi tidak perlu ragu tentang itu. Dan bisa saja, dulu sekali, tempat ini punya pemandangan megah yang mirip dengan sebuah Situs Warisan Dunia UNIESCO, Kuil Itsukushima. Dengan kata lain, ada sedikit kemungkinan Chiba bisa menjadi Situs Warisan Dunia UNIESCO; aku sudah memikirkan hal itu dalam-dalam.

“Oh kawan, keadaannya jadi gila...”

Inilah yang terjadi dengan Situs Warisan Dunia UNIESCO pribadiku... Populer sekali...

“Ini kan kuil paling gede di daerah sini, ya kan? Ya pasti semua orang bakal kesini, tahulah.”

Oh, iya, memang begitu... Kemudian aku tersadar. Kalau semua orang pergi kesini, kalau dipikir-pikir lagi, bukannya itu berarti siswa-siswi dari sekolahku bisa saja datang ke sini...?

Sial, aku kan ke kuil sekitar aja tiap tahun, jadi hal seperti itu malah kelewat...

Saat pikiran-pikiran itu melayang-layang di kepalaku, Komachi yang ada di sebelahku mulai melihat-lihat sekitar dengan gelisah. “Oh, itu dia mereka.”

Kemudian ia menembus kerumunan dan terus berjalan.

“H-Hey, Komachi. Kemana kamu?”

Kau itu kan calon siswi, oke? Jadi kau harus genggam tanganku supaya nggak jatuh dan terselip dan jadi anak yang hilang, malah, onii-chan akan membawa kau seperti putri! Di arah tanganku terlentang ada muka-muka yang aku akrab dengannya. “Selamat Tahun Baru kalian berdua!”

Komachi bergegas ke arah mereka bagaikan mau memeluk mereka dan cewek di depan dengan riangnya mengangkat tangannya. Saat melakukannya, untalan rambut coklat cerahnya akan bergerak-gerak.

“Selamat Tahun Baru dan yahallo!”

“Apaan ucapan begitu...? Selamat Tahun Baru,” begitu aku menjawabnya, sambil tercengang.

Yuigahama memakai jaket abu-abu kecoklatan dengan rajutan vertikal di tengah, dengan syal panjang yang melingkupi lehernya, dan tangan yang diangkatnya ditutup oleh sarung tangan.

Cewek di sebelahnya memakai jaket putih dan yang mencuat dari jalinan rok-mininya adalah kakinya yang ditutup kaos kaki hitam. Ia adalah Yukinoshita Yukino.

“...Selamat Tahun Baru,” kata Yukinoshita, dengan tetap melingkupi mukanya dalam syalnya. Yah, melakukan upacara ucapan Tahun Baru terasa memalukan dalam satu hal atau yang lainnya. Akupun malah jadi memainkan ujung syalku juga.

“Ahh... Yah, betul. Selamat Tahun Baru.”

“Oke, ayo kita mulai kunjungannya,” kata Komachi, dan ia kembali menembus kerumunan orang. Kamipun mengikuti di belakangnya.

Yahari-10-1-a.JPG

Selagi kami berjalan, aku menyondongkan kepalaku kebelakang Komachi. “Komachi-chan, boleh onii-chan tanya sesuatu?”

“Apa itu?”

Dengan diam-diam aku berjalan ke samping Komachi dan mengecilkan suaraku. “Kenapa mereka kesini?”

“Pertemuan dengan Komachi ☆!”

“Tunggu dulu, pertemuan...?” aku mengatakannya dengan suara menandakan kebingungan dan ia pun mengeluh.

“Mereka kan temen-temenku, jadi nggak papa kan?”

“Yah, nggak papa sih... Tapi meminta mereka kesini, tahulah, gimana bilangnya ya?” kataku, dengan mengusap-usap pipiku selagi berpikir.

Bukannya mestinya untuk acara seperti ini kau mengundang teman-temanmu? Yah, bukan berarti aku tahu “mestinya” itu yang bagaimana karena aku tak punya teman semasa SMP. Aku bertanya-tanya apakah memang seperti itu. Mungkin saja ini salahnya para hantu? Bisa saja. Jadi ini yah yang mereka katakan hantu penyendiri, huh...?

Hanya saja, fakta bahwa Komachi bertemu teman-temannya selagi bersama kakak laki-lakinya untuk hal yang seperti ini membuatku khawatir tentang pergaulannya. Aku menatap termenung, tapi Komachi tahu apa yang harus dikatakan dan dengan paksa meneguk liurnya.

“Yah, pikirin aja musim apa sekarang. Gak undang kawan-kawanmu itu jadi salah satu bentuk tata krama, tahu...” kata Komachi, dengan lancarnya.

Benar, aku paham sekarang. Jadi alasan kenapa dia tidak mengundang teman-temannya adalah karena betapa gugupnya mereka saat sedang musim-musimnya menjalani tes.

Tes-tes membuat sebuah batas.

Inilah cerita klasik: teman-temanmu melakukan tes masuk di sekolah yang sama, dan akhirnya ada satu pihak yang gagal dan yang satu lagi berhasil masuk. Saat kau dengar ada pasangan yang gagal masuk di sekolah yang sama, hal itu membangkitkan nafsu makan dan apabila itu menjadi salah satu tuas yang membuat masalah yang akhirnya membuat mereka putus, makananmu itu berubah menjadi makanan Susumu-kun.

Kalau umur mereka sekitar umur anak SMP, maka hubungan pertemanan merekapun pasti akan menjadi retak. Khususnya saat mereka memutuskan akan mengambil tes masuk sekolah khusus persiapan universitas, ada orang yang sudah ditakdirkan akan ditinggalkan karena ada batasnya siapa yang bisa masuk. Dan orang yang tertinggal akan memutuskan hubungan mereka secepat yang dia bisa. Kalau saja itu aku, itulah yang akan kulakukan.

Karena pada akhirnya kau merasa malu, frustasi, tak senang dan iri. Kalau sudah saatnya perasaan iblis itu menyeruak, akan ada waktunya saat dimana kau akan mengekang dirimu sendiri, tersenyum dan setelah itu langsung kau putuskan hubunganmu. Menjadi sadar akan pemutusan yang akan terjadi adalah hal yang agak membingungkan. Kalau kau ingin lulus dengan muka berseri-seri, bukannya hau harus hindari bertemu teman-temanmu terlalu sering? Dan saat itulah dimana tak punya teman ada gunanya! Hachiman punya pikiran kalau dalam sekolah untuk persiapan tes, mereka harus mulai mengajari caranya menghancurkan hubungan pertemanan!

Itulah mengapa saat seperti ini punya teman dengan perbedaan umur cukup jauh dapat membuatmu beristirahat sejenak. Kedua belah pihak bisa ngobrol satu sama lain tanpa merasa terkekang.

Sekarangpun, tiga orang itu masih ngobrol dengan semangat satu sama lain selagi berjalan, Komachi ngobrol dengan Yukinoshita dan Yuigahama dan merekapun membalas ia dengan tersenyum. Untuk Komachi, yang selalu belajar saat liburan musim dingin, saat ini adalah saat untuknya dimana ia bisa bersantai.

Di dalam gelombang penuh manusia, Yuigahama menatap sekitar dengan tatapan tajam. Kelihatannya ia masih bingung tentang stan makanan apa yang ia akan antri di sisi jalan utama.

“Wow, kayak ada festival di sini,” kata Yuigahama, dan muka Komachi tiba-tiba berseri-seri.

“Aku tahu! Ah, mau makan sesuatu?”

“Pasti lah! Kalau gitu, mungkin... gimana kalau apel permen?”

Kelihatannya mereka akan mulai berjalan-jalan pergi dari jalan utama selagi mereka mengobrol. Yukinoshita, yang masih disebelah mereka, menyentak syalnya dan menahan mereka.

“Kita akan lakukan itu setelah kunjngan kita ke kuil,” kata Yukinoshita.

“Okeeeee...”

Dengan enggan mereka berdua kembali dari kerumunan orang.

Yang satu itu kayak momen dari kakak beradik perempuan... Hal seperti itu, yah, nggak ada ruang untuk onii-chan, tahu kan...

Apakah itu karena sifat bisa diandalkannya Yukinoshita, kemampuan Yuigahama untuk berbaur dengan orang lain, atau adik perempuan yang terkenal kejelekannya, sifat saudari dari Hikigaya Komachi yang membuat orang lain melakukan keinginannya; yang manapun alasannya, untuk cewek-cewek dengan perbedaan umur, kecocokan mereka tak terlalu buruk.

Yuigahama memimpin mereka didepan, Komachi mengikutinya dengan senyuman di mukanya, dan Yukinoshita memandang mereka tanpa suara selagi mengikuti dari belakang.

Aku berjalan dan mengawasi mereka di posisi paling belakang.

Dan kemudian, itu terjadi. Aku merasa tak nyaman dengan “obrolan para saudari” yang aku pikirkan tadi.

...Nggak baik.

Karena aku sudah memikirkan hal paling bodoh pertama kalinya di Tahun Barulah mengapa kedua sisi mulutku entah kenapa melengkung, sebuah senyuman muncul begitu saja di mukaku. Aku menarik-narik syalku untuk mencoba menutupinya.

Tanpa sadar, aku mengalihkan pandangan dari depan dan mataku berputar-putar di sekitar kerumunan orang.

Tak bisakah mereka mengatasi kerumunan ini, aku tanya? Rentetan pemikiranku membuatku hampir-hampir muntah. Aku pengen pulang aja sekarang...

Tapi saat kami sampai ke halaman depan kuil setelah menapaki tangga batu, kepadatan jadi berkurang entah kenapa.

Mungkin saja ini karena tidak ada stan makanan di halaman ini. Karena kuil sudah di depan mata, semua orang berjalan lurus kedepan tanpa berlalu-lalang. Kami bergabung dengan kerumunan dan kamipun sampai di depan kuil.

“Apa ya yang semua orang harapkan?”

“Kau harusnya gak begitu di kunjungan pertamamu. Ini bukan Tanabata, tahu...”

“Benar. Ini bukanlah hal yang benar-benar bisa mengabulkan permohonan, lagi pula.”

“Wooow, kalian membosankan!” Komachi mengatakannya dengan ekspresi ketakutan dan Yuigahama setuju dengannya.

“Ya, kalian! Maksudku kita kan berdoa pada dewa dewi, jadi mendingan kita minta sesuatu soalnya kita akan dapat untung juga darinya!”

Sial, aku nggak tahu logika misterius apa yang dia pakai dalam debat itu.

Yukinoshita menekan dahinya seperti sedang kesusahan memahaminya dan mendesah. “Oke... Yah, aku rasa biar saja begitu. Walau begitu, aku rasa nuansanya lebih kayak sedang bersumpah setia daripada yang lain.”

Yukinoshita sekelebat tersenyum. Yuigahama mengangguk keras dan mengangkat tangannya. Mereka berdua kemudian memasukkan persembahan dan membunyikan lonceng bersama-sama. Lalu kedua-duanya dua kali menundukkan kepala dan menepuk tangan. Kemudian mereka menutup kedua matanya.

Ikrar janji di sebuah altar didepan banyak orang malah menimbulkan rasa yang hebat.

Akupun mengikuti mereka, dengan melakukan adat tersebut dan menepuk kedua belah tanganku.

Harapan... atau sesuatu kayak bikin sumpah setia, huh...?

Aku melirik kesamping ke arah Yukinoshita dan Yuigahama.

Yukinoshita terdiam dengan matanya yang tertutup, dan mengeluarkan nafas ringan. Yuigahama mengeluhkan “mmmm!” selagi mengerutkan alisnya. Apa-apa saja yang mereka berdua harapkan dan sumpah setia mereka, aku tak tahu.

Akupun melakukan hal yang sama, menutup mataku. Aku tidak punya harapan yang benar-benar merupakan harapan, tapi aku mau ada hal-hal yang aku bisa selesaikan sesuai dengan usahaku tanpa berharap pada mereka.

Kalau sekarang, aku harap Komachi bisa lulus tesnya... Karena memang benar, cuma ini hal yang aku tidak bisa lakukan apa-apa terhadapnya.

4[edit]

Setelah memberikan persembahan kepada kuil, kami akhirnya bisa lepas dari kerumunan orang.

Aku mengamati halaman yang luas ini dan disana ada gadis kuil, gadis kuil, dan perawat dimana-mana. Bercanda kok, tak ada perawat.

Karena menemukan sesuatu di halaman kuil, Yuigahama meneriakkan suaranya “Oh, cabutan keberuntungan!”

“...Kalau begitu ayo ambil beberapa.”

Kami mengantri dan bergantian mencabut cabutan keberuntungan. Kami mengguncang-guncang sebuah kotak segi enam yang terisi dengan stik-stik. Aku memberitahu gadis kuil berapa jumlah stik yang keluar dan mengambil cabutan keberuntunganku.

“Untung kecil...”

Aneh sekali... Meski begitu, karena cuma membayar 100 yen, walau tak dapat sesuatu yang mencengangkan, aku harus menerimanya. Aku melihat-lihat daftar cabutan dan setiap isi cabutan itu aneh-aneh. Seberapa anehkah? Seaneh seperti tentang kesehatanmu, “hati-hati dengan gejala-gejala penyakit.”

Aku bingung apa aku harus mengikatnya atau tidak karena aku tak bisa bilang ini cabutan yang sial dan kemudian Yukinoshita, yang berada disebelahku, dengan santai memperlihatkanku apa yang dia dapat.

“...Untung bagus.” Yukinoshita memperlihatkan senyuman kemenangannya dan mengatakan itu.

Tunggu dulu, apa untung kecil sebegitu bagusnya daripada untung kecil? Bagaimanapun, tidak semencengangkan itu karena itu memang normal, tahu? Tapi yah, kalau Yukinoshita sangat gembira dengan hal seperti itu, aku rasa itu merupakan cabutan yang hoki.

Ingin menang terus, ya... Aku berpikir seperti itu. Kemudian, yang seseorang yang ber”ehehe”, Yuigahama menunjukkan cabutannya pada kami.

“Aku dapat yang untung besar!”

“...Baguslah. Aku juga ikut senang,” kata Yukinoshita, dengan mata yang dengan jelas membara. Bakal baik aja nggak dia...? Cewek ini nggak akan berhenti bayar sampai dapat untung besar, ya?

Selagi aku menonton mereka terpaku, yang muncul dari bayangan Yukinoshita adalah Komachi dengan ekspresi kaku dan muram.

“Aku dapat sial...”

Yang mengambil tes menjadi siswi dapat sial... Yuigahama yang tadinya tersenyum dengan riangnya, dan Yukinoshita, yang sudah terbakar amarah pertarungan, kehilangan kata-kata. Moodnya jadi bikin depresi banget nih...

Yukinoshitapun berdehem untuk meredakan situasi dan dengan lembutnya menepuk-nepuk kedua bahu Komachi. “Nggak papa, Komachi-san. Sudah ada orang sesat ini di keluargamu saat ini, jadi hal kayak gini bukan masalah besar sebesar itu.

“Begitu ya caramu menyemangati...? Yah, begini, Komachi. Jangan biarkan cabutan itu mengganggu kamu keseringan. Seminggu lagi, kau bakal lupa sama yang kamu cabut.”

“Kau yang bilang...”

“Rasanya kayak untung besarku nggak terasa menakjubkan lagi...”

Yukinoshita dan Yuigahama mengeluarkan ekspresi kebingungan setelah melihat cabutan mereka. Aneh... Bukannya berusaha keras untuk menyemangati adik kecilku, mereka malah membuat moodnya makin bikin depresi.

Dan pada saat itulah. Yuigahama menepuk kedua tangannya karena sadar akan sesuatu.

“Ah, aku tahu. Sini, kita tukeran,” kata Yuigahama, dan dia menjulurkan cabutannya kepada Komachi.

“Eh, kamu yakin?”

“Ya!”

Karena bingung apa dia akan mengambilnya walau diberi dengan senyuman, Komachi memandang kearahku.

“Yah, ni kan jimat keberuntungan. Jangan malu-malu.”

Bagaimanapun, ini adalah cabutan keberuntungan untung besar dari Yuigahama yang, entah gimana, ajaibnya bisa lolos tes masuk sekolah kami. Mungkin ada sedikit berkah didalamnya. Malah bisa saja kita membelokkan takdir atau menentang hukum fisika dengan benda itu.

“Makasih banyak... Aku akan berusaha sekuat tenaga!”

“Uh huh. Kalau kau jadi adik kelasku, aku akan ikut senang juga,” kata Yuigahama.

Ia memberikan cabutannya kepada Komachi dan iapun, mengambil cabutan sialnya. Yukinoshita yang sedang menonton mereka meletakkan tangannya dibawah dagunya dan berpikir tentang sesuatu.

“Yuigahama-san, nggak masalah kalau aku pinjam cabutanmu sebentar?”

“Eh? Nggak papa...”

Yukinoshita mengambil cabutan Yuigahama dan mengikatnya miliknya bersama dengan milik Yuigahama.

“Sekarang kita bisa meratakannya kayak gini dan kita berdua dapat untung kecil.”

“Rumus sih apa yang kau pakai?”

Tambahkan sial dan untung bagus, bagi dua, dan kalikan dua? Perhitungannya dalam bentuk sains sedangkan konsepnya dalam bentuk sosial. Apa ini semacam iseng-iseng baru dalam mencampurkan sains dan sosial, aku tanya?

“Jadi sekarang kita saling cocok,” kata Yuigahama, dengan riangnya.

Yukinoshita kemudian tersenyum puas. “Benar... Dengan ini, cabutan kita seimbang.”

“Itu tujuannya dari tadi!?”

“Apa-apaan cara berantakan itu untuk selesaikan masalah kayak yang bakal kau lakukan pas ada pendidikan bebas tekanan?”

Ibaratnya seperti menyuruh semua orang saat festival seni sekolah berbaju Momotarou, saling pegangan tangan, dan memotong pita sama-sama. “Bercanda,” kata Yukinoshita, dan tersenyum.

Komachi dengan semangat memasukkan cabutan keberuntungan dia dapat ke kantong sakunya dan menampakkan wajahnya.

“Karena kita sudah beres kunjungannya dan juga cabutannya, kita mau ngapain lagi sekarang?”

“Ayo kita pergi ke kedai-kedai sekitar sini!”

Saat Yuigahama menyarankan hal itu, yang sudah siap pergi ke kedai-kedai sejak awal kami berjalan-jalan di halaman kuil, Yukinoshita mengangguk.

Jalan setapak kuil ini juga merupakan jalur pulang, lagipula. Aku tak keberatan dengan itu. Bukan berarti aku bisa memprotesnya, karena mereka bertiga mulai berjalan.

Saat kami kembali dari jalan kami datang, macam-macam kedai makanan pun terlihat. Selain kedai biasa yaitu kedai okonomiyaki dan takoyaki, ada juga kedai amazake, yang juga sesuai dengan musimnya.

Diantara barisan kedai makanan terdapat mesin mainan. Aku melihatnya sembari bertanya-tanya apakah kedai yang biasanya kau lihat saat festival musim panas bisa-bisanya ada saat musim dingin dan aku mendengar suara megap-megap disebelahku.

“Kenapa ada mesin mainan disini saat Tahun Baru...?” Yukinoshita memandangnya terpaku ke galeri seakan-akan berkata “...anehnya”.

“Yah, memang aneh, tapi nanti anak-anak datang, jadi bukannya normal-normal aja kalau kedai ini ada karena ini waktu yang pas buat cari duit?”

“Nggak masuk akal... Kenapa itu ada di sini...?”

Tapi Yukinoshita tetap saja memandang mesin mainan itu, yang kelihatannya sama sekali tak mendengarkan apa yang aku bilang. Dan yang ada dimesin itu, adalah semacam Pan-san sang Panda disana. Ah, jadi itu kenapa kau memandanginya...

“...Mau mampir sebentar di mesin mainan?”

“Nggak, bukan—“ kata Yukinoshita, dengan gelisah. Oh, dia jelas banget mau ambil benda itu...

Dia terus menerus memandangi benda mirip-Pan-san sembari bergumam. Kelihatannya dia nggak akan pergi sampai dia memenangi benda itu. Gimana ya, aku nggak terlalu PD bakal menang, tapi kayaknya aku coba aja deh...

Saat aku mengamati keadaan dompetku, Yuigahama mengeluarkan suara yang lirih.

“Ah.”

Dia kemudian menyentak lengan bajuku.

“Apa sih?”

“Mm,” kata Yuigahama, memberi isyarat kepadaku untuk mendekat. Kelihatannya ia ingin aku menunduk sebentar. Aku mengikuti isyaratnya dengan sedikit menundukkan kepalaku dan Yuigahama mendekatkan mukanya kearah telingaku supaya bisa berbicara secara rahasia.

Pada keadaan yang seperti ini jelas membuat posisi kami semakin dekat. Ini bukan sesuatu yang bisa membuatku terkejut saat ini, jadi aku tak perlu terlalu berlebihan tentang ini.

Bagaimanapun, dengan bau jeruk yang menyeruak menggelitiki hidungku, dan pipi yang sedikit merah yang tak terlindung dari angin musim dingin yang mendekatiku tanpa kusadari, aku merasa sulit bertatapan muka dengannnya.

Setelah mengambil nafas yang dalam, dan tenang, aku menyuruh Yuigahama untuk mengatakannya dengan tatapanku dan Yuigahama mengeluarkan desahan yang kecil, benar-benar kecil. Dia kemudian mulai berbicara dengan berbisik-bisik di dekat telingaku.

“Hey, gimana rencana kita belanja hadiahnya Yukinon?” tanya Yuigahama.

“Ah, ahhh...”

Aku memikirkannya sebentar.

Ulang tahun Yukinoshita akan datang sebentar lagi. Pada saat yang lalu saat Natal, saat kami ada kesempatan, kami buat janji untuk beli hadiah untuknya.

Jangan salah, aku sama sekali tak lupa. Hanya saja aku sudah jungkir balik otakku tentang apa yang harus aku lakukan. Kapan, dimana, dengan siapa, apa, dan gimana aku membelinya, sial, sialnya kenapa aku malah membicarakannya? Aku sudah pikir dari 5W1H. Maksudnya, benar-benar susah jadi yang mengundang. Dan aku buruk sekali kalau tentang kencan. Memang sulit menentukan semuanya sendiri karena bisa jadi pihak lain malah terganggu. Tapi malah menanyai mereka dan membuat mereka yang menentukannya membuat aku tak nyaman juga. Apaan sih kehidupan tak tegas yang tak pernah berakhir ini?

Bagaimanapun, aku menghargai fakta bahwa ia adalah pihak yang mulai bicarakan itu. Kalau aku menundanya lama-lama, aku punya firasat kalau aku bakal punya terlalu banyak pikiran daripada yang aku perlukan dan hampir-hampir berteriak “Hachika pengen pulang!”, jadi aku langsung saja menjawabnya.

“...Kalau gitu, besok bisa?”

“Y-ya. Seharusnya.” Yuigahama terlihat terkejut dan memainkan buntalan rambutnya.

“Begitu, baik, besok ya...”

“Ya...” Yuigahama menjawabnya dan kemudian terdiam, akupun begitu.

Dan dari sana, Komachi datang kesini dan menyentak lengan bajuku. “Onii-chan, Yukino-san kelihatannya nggak bakal gerak dari sana...”

Yuigahama merengutkan mukanya dan bicara dengan Komachi. “Ah, Komachi-chan, mau pergi juga?”

“Huh? Kemana?”

“Um, gini, aku ada rencana pergi bareng Hikki besok buat beli hadiah ultah Yukinon, jadi...”

“Ah, kayaknya bagus!” kata Komachi, dan dia kemudian mengeluarkan ekspresi terkejut. Kemudian, ia membuat senyuman tak lazim. “...Lalu kelihatannya, aku bener-bener sangat sibuk belajar untuk tes-tes, tahu kan.”

“I-itu betul...” Yuigahama mengangguk. Kelihatannya ia masih ingat tadi saat ia memberi Komachi cabutan keberuntungannya dan kalau dianya masih belajar buat menghadapi tes-tes.

Tapi setelah mengeluh beberapa saat, mukanya merengut dan ia memegang tangan Komachi.

“T-Tapi, hey, anggap aja kayak lagi istirahat! Lagipula, aku bertaruh kalau kamu kasih Yukinon hadiah, dia akan seneng banget, Komachi-chan! A-Aku juga mau minta pendapat juga! Atau apa gitu...”

“Eh? B-Bisa, aku rasa...... Hmm?” Komachi menjawabnya dan memperlihatkan ekspresi kebingungan. Ia memandang ke arahku.

“Ini juga boleh, Komachi. Seharusnya bukan masalah,” kataku.

Komachi memiringkan kepalanya.

“Mmm... Apaan sih kemunduran ini...? Kalian berdua pergi sama-sama pas musim panas juga...” Komachi mengomel dengan suara lirih.

Yah, gini, banyak hal terjadi. Kayak, gimana ya, kami punya masalah menentukan gimana harus bersikap satu sama lain...

“Yah, Kalau buat itu...”

Komachi kelihatan bingung saat dia menjawab, tapi Yuigahama mengangguk senang dan mengeluarkan hapenya.

“Oke, kita jadi ya! Aku nanti kirim kamu pesan!”

Hape Yuigahama kemudian bergetar.

“Oh, bentar,” kata Yuigahama, dan ia mengambil jarak dari kami dan menjawab telponnya. Aku memandang mengikutinya dan kelihatannya ia sedang menelpon teman dekatnya.

Tapi menanyakan “Siapa sih?” kelihatannya agak tak sopan. Aku tak bisa menanyakannya juga karena itu akan membuat aku merasa sedang berlagak seolah aku orang yang cukup penting untuk menanyakannya.

Sampai Yuigahama selesai dengan hapenya, kami tak bisa lanjut kemana-mana. Kelihatannya kami cuma bisa tunggu dia disini. Pilihan yang manapun, selama Yukinoshita terpaku karena mesin mainan itu, kami toh tak akan pergi kemana-mana.

Karena memikirkan hal itu, aku memandang ke arah tempat mesin itu dan bahu Yukinoshita merendah dan iapun berjalan kearahku.

“Kenapa? Selesai?”

Aku memanggilnya dan dengan muka yang sedih, Yukinoshita bergumam. “Ya, selesai sudah. Yang kayak gitu cuma...”

“Huh?”

Aku melirik mesin mainan di sana sambil bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. Aku melihat ke arah boneka yang Yukinoshita sudah terpaku olehnya selama ini dan itu bukanlah Pan-san sang Panda, tapi Panda Ichiro-san sang Panda. Yah, kau biasanya dapat yang seperti itu saat festival yang seperti ini. Bukannya Natchan, mereka malah punya Occhan, bukannya Adidas, mereka malah punya Kazides.

Komachi yang melihat ke arah kedai yang sama mengangguk sepakat.

“Ahh, benda-benda KW, kan?” kata Komachi.

Yukinoshita menaruh tangannya ke bawah dagunya dan memiringkan kepalanya. “KW? Mirip kayak satu orang yang aku tahu di sekitar sini. Aku rasa nama belakangnya itu Hi, Hiki…”

“Um? Kau nggak menyatakan kalau itu aku, kan? Lagi pula, namaku itu begitulah, tapi kau bisa-bisanya nggak ingat nama keluargaku?” kataku.

Yukinoshita merapikan rambutnya dari bahunya dan terlihat sedih. “Nggak sopan, pastilah aku ingat.”

“Walaupun sebenarnya itu kau yang nggak sopan…”

“Yang lebih penting lagi, di mana Yuigahama-san?”

Jadi kita cukup dengan namaku gitu aja?

“Lagi nelpon di sana.”

Aku menunjuk Yuigahama dan ia sedang mengamati sekitar dengan gelisah selagi menelpon dengan hapenya.

“Betul, betul. Ya, setapak batu, kayaknya? Itu tempat kami sekarang. Oh, kamu sudah kelihatan!”

“Ah, Yui lagi di sana.”

Seseorang yang datang ke sini dengan hape di sebelah tangannya adalah Miura Yumiko. Meski dalam kerumunan orang, kerah bulunya yang megah dan kaki mulusnya yang mencuat dari rok mininya kelihatan mencolok meskipun kau tak menyukainya.

Lalu kemudian, dari belakangnya ada Ebina-san.

“Yui, Selamat Tahun Baru! Selamat Tahun Baru buat Yukinoshita-san dan kalian juga!”

Nggak seperti Miura tadi. Ebina-san menyapa kami. Dia emang bener-bener baik.

“Selamat Tahun Baru.”

“Wow! Lama nggak jumpa! Selamat Tahun Baru!”

“Lama nggak lihat kamu dari musim panas kemarin, adek kecil!”

Aku membalas sapaan Ebina-san yang sedang mengobrol dengan Komachi selagi melihat ke arah cewek-cewek yang mengobrol dengan akrabnya.

“Miura dan mereka, huh…” Aku bergumam setelah menyadari siapa yang mengobrol dengan Yuigahama di hapenya. Dia berbalik dan mengangguk, mendengar gumamanku.

Kemudian, datang dari belakang kami ada beberapa lagi muka-muka yang tak asing lagi.

Ada si pirang dan tukang ngobrol Tobe, kepala tipis dan orang tak tegas Yamato, dan perawan pencari kesempatan Ooka. Itu adalah Kru Baru – Three for the Kill! trio. Tapi sebenarnya, rambut Tobe itu malah ke coklat daripada pirang… Hal itu tak penting sekali sampai aku tak pernah peduli dengannya.

Ketiganya bersesakan di suatu tempat yang tak jauh dari kami.

Mereka membuat suara berisik sekali dengan masing-masing satu gelas kertas di sebelah tangannya. Kelihatannya mereka meminum amazake. Tobe menggenggam gelasnya dan meminum semuanya sekali teguk dengan desahan yang seperti erangan setelahnya.

“Sake beneran sesuatu banget deh. Minuman pertama tahun ini, minuman pertama tahun ini. Serius, loe harus minum lagi dan lagi.”

“Pastinya,” kata Yamato seperti sedang menggodanya. Ia meminum segelas penuh dan mengeluarkan desahan puas. Ya, itu, cuma amazake sih.

“Beeh, gue beneran mabuk ni, serius. Bikin gue yang dingin jadi hanget sekarang. Tapi yo, bukannya dingin banget? Maraton bakal bener-bener nggak lancar.”

“Pastinya.”

“Ya, pastinya.”

Ya, pastinya...

Setelah Yamato dan Ooka merespon, aku mengangguk dalam hati. Karena ada sesuatu dan lain hal di kalender, maraton tahun ini akan dilakukan pada akhir Januari bukannya seperti biasa pada bulan Februari setiap tahun. Kami harus lari mengikuti garis pantai di tengah musim ini yang membuatnya jadi lebih dingin lagi.

Cara asem yang bikin aku ingat sesuatu yang buruk banget secepat awal Tahun Baru. Aku memberikan tatapan pahit pada trio idiot Tobe, Yamato dan Ooka.

Kemudian itu terjadi.

Tri idiot Tobe grup dan pasangan Miura bersama Ebina-san adalah sosok-sosok akrab di sini.

Tapi di barisan orang-orang itu, ada satu sosok yang merupakan inti dari kedua grup itu yang sekarang tak ada.

“Cuma mereka...?” kataku.

Yuigahama mundur selangkah dan berdiri di sebelahku setelah mendengar perkataanku.

“Aku rasa mereka udah minta Hayato-kun datang, tapi kayaknya lagi nggak pas waktunya.”

“Bisa kubayangkan.” Yukinoshita menjawabnya dengan anggukan.

Kata-katanya mengejutkan.

Aku memandang ke arah Yukinoshita dan Yuigahama, Miura dan Ebina-san pun begitu.

“Huh? Kamu tahu sesuatu?” Yuigahama bertanya, setelah mendapati betapa yakinnya suara Yukinoshita terdengar.

“Keluarga Hayama-kun sudah seperti itu sejak lama.”

“Ohhh, jadi begitu.” Yuigahama mengangguk percaya.

Yah, Yukinoshita selalu akrab dengan Hayama. Lebih jelasnya, teman masa kecil, jadi tak seaneh itu kalau dia tahu bagaimana keadaan keluargaya.

“...Kau nggak bilang apa-apa.” Aku menjawabnya dengan sedikit acuh selagi menyadari sekali lagi kalau aku tak benar-benar tahu tentang Yukinoshita atau Hayama. Bukan, maksudnya Yuigahama pun tak tahu sebanyak itu juga.

Dan selain Yuigahama dan aku, ada dua orang lain yang bereaksi.

“...Hmph, serius,” kata Miura dengan suara merendahkan, seperti meludahkannya, dan kemudian mengalihkan pandangannya dari Yukinoshita. Ia berjalan beberapa langkah dari tempatnya tadi, memutar-mutar rambutnya dengan jarinya, dan mendesah bosan.

“Kayak, aku lapar.” Miura berkata dengan jelas dan berjalan-jalan tanpa menghiraukan sekelilingnya.

“Ah, Yumiko.”

Yuigahama memanggil Miura yang sekarang berhenti dan memutar badannya. Tapi dia membisu dan memandang ke arah lain. Ebina-san tersenyum cepat setelah melihatnya seperti itu dan berjalan kearahnya.

“Oke, waktunya makan, huh?”

Tobe dengan pendengaran tajamnya mendengar apa yang Ebina-san bilang dan mendatanginya.

“Yo, yo? Kita bakal makan? Kayak makanan pertama gue tahun ini!”

Ada orang kayak gitu, tahu? Cowok yang menambah kata “pertama” ke setiap omongan mereka pas Tahun Baru. Menyebalkan banget...

Ah, ummm...”

Yuigahama membandingkan grup Miura dan grup kami, bingung harus melakukan apa.

“Beneran nggak mau kesana dengan Miura dan mereka?”

“Um... Ng-Ngapain kalian habis ini?” kata Yuigahama, mengeluarkan tawa bingung “tahaha”. Yukinoshita memandangnya dan tersenyum. “Aku harus pulang sekarang. Aku nggak terlalu suka sama kerumunan, lagipula.”

“Eh, tapi kan...”

Pandangan kebingungan dikeluarkan Yuigahama karena perkataan Yukinoshita. Yukinoshita dengan lembut menyentuh bahunya, setelah menyadari kegelisahannya. “Kita bisa ketemu lagi sebentar lagi, kan?”

“Uh huh...”

Aku nggak merasa itu bisa meyakinkannya, tapi Yuigahama menjawabnya dengan pelan.

Yah, jelas tak menyenangkan kalau harus melihat Yuigahama kebingungan memilih antara Miura ataukah Yukinoshita sedini Tahun Baru.

Tak mungkin kami bisa ragu-ragu menyatakan kalau keinginan Yuigahama untuk lebih akrab lagi hanyalah salah satu caranya memberikan perhatian.

Hanya saja, teman dari teman yang bukan berarti teman juga adalah biasa di dunia ini yang selajur dengan membuat semua orang ada di satu tempat dan menghabiskan waktu bersama yang bukanlah hal terbaik yang bisa dilakukan.

Yukinoshita tak banyak bicara, tapi aku tahu apa yang ia lakukan dari kepeduliannya. Hal itu karena dasar dari sikap yang seperti itu adalah sesuatu yang aku terbiasa dengannya. Karena itu, aku tahu apa yang harus kulakukan setelah ini.

“Baik, aku mau pulang juga.”

“Eh?” Yuigahama mengangkat kepalanya dengan muka terkejut.

Tapi hal seperti itu bukanlah hal yang mesti kita jadi terkejut olehnya.

“Kami cuma datang buat ngunjungin kuil. Aku harus pastikan Komachi benar-benar belajar dirumah, juga.”

“Oh, kurasa begitu... Baiklah.” Yuigahama mengangguk.

Komachi kemudian menyentak lengan bajuku.

“Onii-chan, nggak usah khawatirkan aku, jadi pergi aja!”

Ia mengibarkan bendera kematian atau bendera pertahanan atau bendera yang susah dimengerti, tapi aku mengabaikannya. Yang manapun, pilihan untuk mengikuti grup mereka tidaklah aku punya.

“Baiklah, sampai ketemu lagi.”

“Sampai ketemu di sekolah.”

Setelah Yukinoshita dan aku mengatakannya; Komachi menundukkan kepalanya karena menyerah.

“...Oke, sampai jumpa lagi.”

Kami meninggalkan tempat di mana Yuigahama tetap di situ, dengan sedikit mengayunkan tangannya di depan dadanya. Yuigahama mungkin saja akan bergabung dengan grupnya Miura dan yang lainnya setelah ini.

Lingkaran pertemanan Yuigahama bukan hanya Klub Bantuan.

Aku tak yakin konsep dari “teman terbaik” itu memang ada dan siapa yang mendiktekannya, tapi aku yakin kalau suatu saat, akan ada hari di mana aku akan khawatir dengannya.

Aku berharap semoga hal yang seperti itu tidak melelahkan pikiranku.

5[edit]

Kami kembali ke jalan utama kuil tempat kami datang tadi, melewati gerbang batu, dan pergi ke samping Rute Nasional.

Angin yang membekukan tertiup dari Rute Nasional yang lebar itu. Badanku bergetar karena merespon dingin dan Komachi dan aku mengatur-atur kerah kami. Beda sendiri, Yukinosita tidak terlihat lemah terhadap dingin dan hanya mengatur syal di lehernya. Komachi menyentak lengan baju Yukinoshita.

“Yukino-san, ayo kita pulang sama-sama!”

“...Kayaknya begitu.” Yukinoshita terlihat agak ragu pertamanya, tapi kemudian ia menjawabnya dengan senyuman. Yah, sebenarnya tak benar-benar perlu untuk berpisah kalau arah kami pulang sama saja.

Jalan yang terbentang dari sini ke stasiun adalah distrik perbelanjaan dan kerena kepadatan para pembeli di kunjungan kuil mereka, ada beberapa kedai kecil yang didirikan di sisi jalan, energi tumit-ke-tumit dengan bagian dalam kuil.

Komachi dan Yukinoshita mengobrol tentang banyak hal seperti tes-tes dan hal yang mereka lakukan saat liburan musim dingin.

Saat kami sampai ke depan gerbang tiket stasiun, dengan menghabiskan waktu berjalan-jalan di jalan yang sedikit miring, Komachi tiba-tiba berhenti.

“Uh oh! A-Astaga! Aku beneran lupa beli jimat keberuntungan! Malunya! Aku malah lupa nulis sesuatu di lembaran kayu juga, jadi aku akan lari ke sana cepat-cepat! Jadi, Yukino-san, aku akan pergi sekarang!”

“Ah, mungkin aku mau beli jimat juga,” kataku.

Komachi kemudian melihatku dengan mata setengah tertutup. “Onii-chan, ngomong apa sih kau? Oni-sampah bodoh! Nincompoop! Hachiman! Nggak papa, jadi kalian pulang duluan aja!”

“B-Baiklah... Nggak, tunggu dulu. Hachiman bukanlah ejekan.”

Aku menjawab balik, tapi kata-kataku tak sampai kepada Komachi karena ia sudah lari jauh. Ayolah, kau membuatku kikuk dengan beraksi secepat itu. Harus ngapain ya... Karena aku tak tahu harus bagaimana karena Komachi, aku akan menamakan fenomena ini, “Harus ngapaKomachi...” Oooohkawan, harus ngapaKomachi?

Aku memandang ke arah Yukinoshita dengan bertanya-tanyga apa yang harus kami lakukan dan bahunya pun bergetar dengan muka menghadap ke arah lain.

“Apa...?” Aku bertanya.

Yukinoshita berdesah ringan dan mengatur nafasnya. Kemudian, seperti berbisik dengan mulutnya, ia berkata dengan suara lirih, “Bodoh, nincompoop, Hachiman...”

Kayaknya kosakata ejekannya udah ditambahin kata-kata baru... Aku memandangnya dengan tatapan ragu dan kaku, dan Yukinoshita mengalihkannya dengan membersihkan tenggorokannya.

“Nggak, nggak papa. Aku cuma merasa kalian akrab sekali.” Ia mengatakannya sembari tersenyum lembut, dengan cepat menghadap ke depan, dan melewati gerbang tiket. Aku melakukan hal yang sama setelahnya dan naik tangga ke luar gerbong.

Seperti biasa, tempat itu penuh dengan orang-orang. Kelihatannya saat ini adalah saat di mana jumlah orang yang ingin pulang ke rumah setelah kunjungan mereka paling banyak.

Kami menaiki kereta setelah kedatangannya dan tempat duduk pun dengan cepat terduduki seluruhnya, membuat kami harus berdiri tegap. Yah, hanya dua stasiun saja. Kami bisa saja kelelahan, tapi kami sepertinya bisa menahannya selama itu.

Kereta ini bergetar saat ia meninggalkan stasiun. Aku tersentak ke depan karena gerakannya dan dengan panik aku meraih sandaran gantung.

Saat aku melakukannya, aku bisa merasakan ada yang menggenggam ujung jaketku. Aku melirik sejenak dan tangan yang putih, dan kecil itu menggenggam hemku.

Karena hal itu, aku menggenggam sandaran gantung lebih keras dengan tanganku dan menegakkan kakiku yang gemetaran.

Getaran dari kereta yang meluncur, angin yang mengetuk-ngetuk jendela, dan suara-suara dari para penumpang mengisi penuh keseluruhan kereta. Walaupun begitu, saat kereta ini berguncang, suara hembusan nafas berat dari kananku sampai ke telingaku.

...Yah, sesak sekali, dan bergetar-getar. Nggak masalah.

Kami tidak mengobrol satu sama lain meskipun kami sama-sama dekat, dan kedua mataku secara normal beralih-alih menuju iklan-iklan dan pengumuman-pengumuman di atas jendela. Di antara itu, ada satu peta rute kereta. Keraguan dengan cepat kurasakan saat aku melihat ke arahnya.

“Oh iya, kau nggak papa ke arah sini?” Aku menanyakannya.

Yukinoshita tak memandang ke mana-mana dan memiringkan kepalanya. “Jalan ke rumahku sepertinya sebentar lagi sampai, jadi aku rasa arah sini nggak papa aja...”

Yahari-10-1-b.JPG

Ia menaruh tangannya ke bawah dagunya sembari berkata hal tersebut dan memeriksa peta rutenya pula. Tak terlalu yakin, huh? Yah, “arah” kan kata-kata ambigu...

“Bukan itu, aku cuma merasa kalau ini kan Tahun Baru dan lain hal, aku bertanya-tanya ada apa sih dengan keluargamu atau apalah.”

“Ahh, itu maksudnya... Aku nggak pulang ke rumah tahun ini. Aku nggak ada urusan apa-apa di sana, dan agak menyebalkan, jadi...”

“Begitu ya.”

Aku tak tahu detil pasti dari hubungan Yukinoshita dan keluarganya. Aku membalasnya, tak yakin seberapa jauh aku bisa berkata-kata dan menanyakannya tentang hal itu.

Sepertinya kegelisahan tergambar di mukaku, karena Yukinoshita tiba-tiba tersenyum. “Nggak terlalu penting kok. Mereka banyak yang harus dilakukan saat Tahun Baru, juga. Kalau aku pulang, akan ada perasaan nggak nyaman dari kami berdua, jadi aku cuma mengelak dari hubungan yang nggak diperlukan.”

“Dan juga,” kata Yukinoshita, melanjutkannya. “Nggak ada banyak perbedaan walaupun aku di sana.” Ia melihat ke luar jendela, memandangi pemandangan yang secara beruntun berganti-ganti.

“Bukan masalah kalau gitu, ya kan?”

“Eh?”

Ekspresinya saat kepalanya berputar ke arahku ada sedikit keterkejutan di sana.

“Kalau nggak ada bedanya kalau kau di sana, jadinya buatmu malah lebih gampang. Kau juga nggak usah khawatir jadi gangguan buat siapapun. Lagipula, di dunia ini, ada orang-orang yang menghancurkan suasana cuma dengan berada di sana.”

“Apa kamu tadi barusan mengenalkan dirimu?” Yukinoshita tertawa kecil, menunjukkan senyum usilnya.

“Ya, ya benar. Makanya, sampai hari ini, aku sudah mengatur-atur diriku sebisa mungkin. Situasi tetap damai karena kepedulian hebatku, jadi aku mau ada sedikit penghargaan di sini.”

“Kepedulian bukan sesuatu yang bisa dimintai hadiah karenanya, tahu.”

Masuk akal. Tch, sekarang hal itu tersangkut di pikiranku. Kepedulian, nggak perlu, dimintai hadiah karenanya. Tapi meski tak ada hadiahnya karena peduli, ada timbal baliknya malah, huh? Nggak adil sekali.

Pada akhirnya, kereta ini berhenti.

Stasiun ini adalah tempatku berhenti. Yukinoshita nantinya turun di stasiun berikutnya dan kemudian naik bus.

“Oh, ini tempatku turun.”

“Ya.”

Kami berbicara sejenak dan aku turun ke luar gerbong.

“Sampai jumpa.”

Aku berbalik untuk mengatakannya “hati-hati pulangnya” dan secepat itu pula pintu kereta itu tertutup setelahnya. Menghadapkan mukanya ke bawah, Yukinoshita mengatakan dengan suara lirih bagai sedang berbisik, “...Aku akan bekerja sama denganmu tahun ini juga.”

--Chapter 1-End--