Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 4 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

1. Kami sedang mempelajari tentang sejarah Cina saat kelas Sejarah dunia. Sayangnya, aku sudah tahu banyak mengenai periode itu, jadi aku benar-benar merasa bosan. Bagaimanapun juga, aku juga tidak memiliki keinginan untuk menggambar ilustrasi komik di pinggiran buku yang kuabaikan, atau menggilirkan catatan kepada teman sekelasku. Disamping itu, aku tidak memiliki hobi apapun, yang mana bisa dikatakan sama membosankannya dengan kerja sampingan, atau kegemaran secara umum. Saat mengabaikan penjelasan tentang taktik persatuan horizontal dan vertical, untuk mengulur waktu aku menggambarkan keberuntungan baik dari tidak memiliki apapun untuk dilakukan sambil merangkak malas.

Karena SMA Kamiya adalah SMA yang menjadi pusat untuk murid yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, para murid memiliki sikap baik saat belajar. Suara jernih guru yang sudah tua menggema di ruangan kelas dimana ketenangan dipertahankan. Suara kaku patahan terdengar saat kapur membentur papan tulis. Sudah jam pelajaran kelima, jadi kemungkinan besar aku akan diserang oleh iblis tidur sebentar lagi. Hari yang cerah saat musim penghujan di Bulan Juni. Begitulah, masa SMA-ku terbuang. Aku mengetuk pensil mekanik-ku. Bukan karena aku ingin menulis sesuatu, tapi karena isi pensilnya tidak keluar. Aku tidak menyadari bahwa isinya sudah rusak. Aku mengeluarkan isi pensil lain dari kotak pensil, menahannya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Bukannya memasukannya dari belakang, aku mencoba memasukannya dari depan, seolah aku sedang memasukan benang ke dalam jarum.

Namun, ketenangan tiba-tiba hancur.

Suara yang keras terdengar. Itu terdengar seperti suara dari bambu yang memukul benda keras. Terkejut, aku membungkukan badan ngeri. Semua rasa kantukku hilang saat isi pensil HB patah di bagian tengah menjadi dua bagian. Sayang sekali. Yah, kurasa aku masih bisa menggunakannya.

Sepertinya bukan hanya aku yang terkejut, karena semua orang di kelas terlihat sama. Di sebelahku, siswa perempuan berkata pada teman di belakangnya, “Apa tadi? Aku benar-benar kaget.” Sepertinya tidak ada satupun yang akan melewatkan kesempatan ini untuk bicara.

Suara itu terdengar tidak hanya sekali. Itu terdengar beberapa kali, berbaur dengan suara berang. Keras, suara pria yang menakutkan, tapi karena ini adalah ruang kelas, aku tidak bisa mengerti apa yang dikatakan. Pada saat itu, aku dan teman sekelasku menarik garis besar dari apa yang barusan terjadi. Di kelas sebelah, guru matematika, Omichi, kehilangan kesabarannya lagi.

Pekerjaan seorang guru kebanyakan dikatakan sebagai ‘mengangkat rotan/kayu’ {Memukul}, tapi di zaman sekarang, aku tidak pernah lagi melihat seorang guru membawa rotan. Paling mungkin, mereka membawa stik penunjuk yang fleksibel. Dulu, aku memiliki seorang guru yang bernama Morishita sebagai guru BK yang memeluk kepercayaan “Walaupun kau tidak membawa tongkat anggar, tidak ada keraguan bahwa kau tentu ingin membawanya jika itu diperbolehkan.” Berbicara tentang siapa, Omichi-sensei memiliki sebuah tongkat bamboo berbentuk seperti tongkat anggar yang selalu beliau bawa berkeliling dan kadang digunakan untuk memukul. Namun, Omichi-sensei, yang bisa dibilang adalah guru paling berpengalaman di sekolah, tidak akan pernah menggunakan tongkatnya untuk memukul seorang murid. Dia hanya akan mengayunkannya ke atas meja guru dan papan tulis untuk memaksa murid untuk bersikap. Omichi-sensei adalah guru terhormat yang mengajarkan padaku bahwa papan tulis itu luar biasa kuat dan sulit untuk dirusakkan.

Sekalipun, aku memiliki penilaian seperti ini terhadap Omichi-sensei, aku tidak membenci atau meremehkan beliau. Aku memiliki tipe guru yang seperti itu di SMP dan SD. Jika harus kukatakan apa yang kurasakan tentang beliau, itu akan sama dengan perasaan yang kumiliki terhadap teman perempuan yang duduk di sebelahku. Aku tahu wajahnya, namanya dan kepribadiannya, tapi aku tidak benar-benar peduli.

Bagaimanapun, aku tidak terkesan dengan keributan yang beliau buat. Saat aku memikirkan tentang itu, suara jernih memotong suara marah yang tidak terhentikan. Suara itu membunyikan sebuah bel. Saat aku sadar siapa pemilik suara itu, aku bergumam tanpa berpikir.

 “Jangan bilang…”
  Itu suara Chitanda. 

Aku mengenal Chitanda lewat sedikit insiden kebetulan tepat setelah masuk ke sekolah, dan kami masuk ke klub yang sama sejak itu. Kalau dipikirkan, Chitanda berada di kelas sebelah. Aku terkejut ada murid di sekolah ini yang bisa beradu pendapat dengan Omichi saat dia baru saja memukul papan tulis, dan aku tidak pernah berpikir bahwa murid itu adalah Chitanda. Aku menajamkan pendengaranku untuk memastikan bahwa itu benar-benar Chitanda, tapi itu adalah suara yang terpisah oleh dinding. Aku tidak bisa bicara dengan pasti, tapi intonasinya juga terdengar seperti Chitanda.

Aku tidak bisa mengerti apa yang dia katakan, tapi tiap katanya sangat tajam dan antusias. Aku pernah mendengar suaranya berkali-kali, tapi baru kali ini aku mendengar nada itu. Sepertinya Chintanda juga bisa marah dan menaikkan suaranya.

Dia mungkin mengutarakan apapun yang dia inginkan dalam sekali nafas, karena suaranya mulai menghilang. Keheningan juga terasa di kelas kami untuk beberapa saat, saat kami tidak sadar menahan nafas. Dengan begitu, keheningan kembali kepada kelas sebelah. Atmosfir tidak bertanggung jawab yang membuat kami menantikan kelanjutan masalahnya reda dalam sekejap. Karena sudah tenang, kami tidak punya pilihan lain selain kembali ke pelajaran sejarah.

Aku mengambil isi pensil lain untuk pensil mekanikku. Kali ini, aku mengisinya dengan cepat lewat belakang, kemudian memutarnya di tangannku.