Hakomari (Indonesia):Jilid 2 5 Mei

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

05 Mei (Selasa) 02:10[edit]

Aku bermimpi.

Ini mimpi yang sama lagi.


Aku bermain dengan boneka kelinci itu, yang kehilangan sebelah telinganya, di depan para jenazah. Aku memasukkan jari telunjukku ke lubang jahitannya dan memperlebar lubang itu.

Aku memasukkan jari-jariku ke dalam kepalanya dan menggerak-gerakkannya. Bentuk kepala kelinci itu berubah. Sentuhan kapasnya terasa nyaman. Maju mundur, naik turun. Bola matanya hampir lepas. Kapas jatuh dari wajahnya yang terkoyak.

Aku melihat kedua tanganku. Selain berlumuran dengan darah yang mulai mengering, seharusnya keduanya tidak berubah. Tetapi, tangan-tangan itu bagiku terlihat seperti membusuk dan berwarna hitam kelam.

Tubuhku dipenuhi sesuatu yang seperti lumpur, yang hanya tersusun dari kebencian. Aku ingin memotong tubuhku dan mengeruk lumpur ini keluar dari sana.

"Oh begitu. Ini lumayan menarik."


"Hii!"

Suara itu mengejutkanku sampai-sampai rasanya jantungku hampir terlonjak ke tenggorokan.

"Ini kekacauan yang hebat untuk insiden yang terjadi di sekitar anak laki-laki ini. Aku benar-benar tertarik. Caramu terlibat dalam insiden ini mengesankan dan perasaanmu pada anak ini juga kelihatannya menarik."

Aku menoleh dan melihat pemilik suara ini.

Dia tampak... Aah, benar, karena ini mimpi, ya. Dia tampak tidak jelas seperti diselimuti oleh kabut. Aku sampai tidak bisa mengenali jenis kelaminnya.

"S-Siapa kau? S-Sejak kapan kau ada di sini?"

Bukannya menjawab, ia malah hanya tersenyum.

Aku menoleh ke arah Nii-san. Tampaknya ia belum menyadari keberadaan orang ini dan masih menangis tanpa suara dalam keputusasaannya.

Ngomong-ngomong, di mana aku? Ini seharusnya rumahku, tapi ada sesuatu yang ganjil. Tempat ini tidak terasa nyata, rasanya aku nyaris seperti masuk ke dalam foto.

"Kau juga seorang makhluk yang sangat menarik, meski tidak semenarik anak laki-laki ini. Aku tahu hati manusia menjadi kosong saat mereka membenci diri mereka sendiri, tapi mengamati hal ini dengan mata kepalaku sendiri sungguh menyenangkan. Aku tidak melihat suatu alasan untuk tidak memberimu sebuah 'box'."

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah mengatakan hal-hal yang aneh.

Tetapi ada sesuatu yang aku mengerti.

Dia mempesona. Luar biasa.

"Apa kau punya permintaan?"

Tentu saja punya. Lagipula, aku selalu memohon.

"Ini adalah sebuah 'box' yang mengabulkan permintaan apa pun!"

Dia berkata demikian dengan suaranya yang mempesona dan mengulurkan sejenis wadah padaku. Seperti yang ia katakan, benda ini terlihat seperti sebuah kotak. Namun entah mengapa, aku tidak dapat memandangnya dengan jelas meskipun nyatanya benda itu ada tepat di hadapanku.

Aku mencoba menyentuhnya.

Hanya dengan itu aku sadar bahwa benda ini «nyata». Bukan karena sesuatu seperti logika, melainkan karena aku merasakan dengan seluruh tubuhku bahwa ia «nyata».

Aku menerimanya.

"Bagaimana aku bisa menggunakannya...?"

"Gambarkan permintaanmu dengan jelas pada dirimu sendiri. Itu saja! Manusia punya kemampuan untuk mengabulkan permintaan. Karena itu, sebenarnya 'box' ini tidak terlalu istimewa. Ia hanya menyederhanakan permintaanmu dan membuatnya lebih mudah untuk terkabul."

'Permohonanku' adalah untuk berhenti menjadi Riko Asami. Untuk menjadi orang selain Riko Asami yang kubenci.

Lalu aku harus menjadi siapa?

Yang pertama kali terlintas di pikiranku adalah Maria Otonashi yang kupuja. Tetapi ini tidak mungkin. Lagipula dia bukan manusia. Orang sepertiku tidak bisa menjadi seperti dirinya.

Tapi kemudian inilah yang terjadi.

"Aku harap,"

Dia adalah anak laki-laki yang bisa menyebut kehidupan sehari-hari itu penting seakan-akan itu adalah hal yang sudah jelas. Dia adalah anak laki-laki yang entah bagaimana telah mendapatkan Maria Otonashi.

‘Kehidupan sehari-hari itu penting'? Jangan bercanda. Coba katakan lagi setelah merasakan kehidupan sehari-hariku! Aku tidak bisa memaafkannya karena menikmati kebahagiaan tanpa alasan.

Jadi, berikan semuanya padaku!

"Aku ingin menggantikan Kazuki Hoshino."


Saat aku mengatakannya, 'box' mulai terlipat-lipat. Setelah 'box' itu mengecil dan memadat, ia melayang ke arahku seperti peluru dan menembus tubuhku lewat mataku. Tanpa memberikanku waktu untuk merasakan rasa sakit, ia masuk ke dalam jantungku dan mulai menguasai seluruh tubuhku melalui pembuluh darah. Aku, aku, aku, aku terpotong-potong, remuk, terbelah, berhamburan, dikuasai oleh 'box,' dikuasai dan—aku menghilang.

"Menggantikan dia, ya? Huhu... kau benar-benar tidak beruntung."

Dia mengatakan itu dengan senyum yang mempesona.

"Betapa sialnya dirimu untuk terwujud hanya menjadi pengganti."

Kenapa? Aku senang diriku bisa menghilang.

"Seorang manusia yang kosong hanya bisa membayangkan sebuah 'permintaan' yang kosong. Maaf, tapi kau tahu? Aku benar-benar sadar akan hal itu."

Dia berkata dengan senyum yang sangat lembut, dan mempesona.

"Aah, manisnya! Berpikir kau bisa lari dari perbuatanmu sendiri hanya dengan melakukan ini; Aku merasa sisi kekanak-kanakanmu ini manis sekali!"


Dan selanjutnya, dalam mimpiku aku terlempar ke dalam lumpur.

Menelan lumpur, tidak bisa bernafas maupun berbicara.

05 Mei (Selasa) 06:15[edit]

Aku sudah lama bangun.

Tetapi, aku hanya berbaring di atas tempat tidur Maria Otonashi seperti sebuah boneka, tak memiliki kemauan untuk bergerak. Aku harus menghubungi Riko Asami. Meski aku telah mengetahui itu pun, aku tetap tidak bisa bergerak.

Maria Otonashi sudah duduk di kursi dan terus memandangiku sejak tadi.

Meski demikian, aku tak bergerak. Aku bahkan tidak bisa mengalihkan mataku dari hujaman tatapannya.

Setelah beberapa lama saling bertukar pandang, akhirnya dialah yang kehabisan kesabaran dan mengalihkan pandangannya. Ia berdiri dan pergi entah ke mana.

Ia kembali setelah beberapa saat dan menyodorkan secangkir kopi padaku. Aku hanya memandangi uap di depan mataku. Aku tidak menerima cangkir itu untuk beberapa lama, yang membuatnya kehabisan kesabarannya lagi; ia mulai meminum kopi itu sendiri dan mengatakan sesuatu seperti "Pahit...".

"......Mhh, benar, karena aku juga tidak ada kerjaan, aku akan bicara pada diriku sendiri sebentar."

Dia berkata sambil mengernyit melihat cangkir.

"Aku adalah sebuah 'box.' Aku benar-benar bisa mengabulkan 'permohonan' sama seperti yang 'box' lakukan."

Seakan-akan kata-kata itu keluar tanpa sengaja selagi ia meminum kopi.

"Tapi aku gagal sebagai sebuah 'box.' Kebahagiaan yang bisa kuberikan hanyalah palsu dan dibuat-buat."

Ia tampak bicara dengan cuek, tapi aku bisa melihat dengan jelas kegetiran dalam raut mukanya.

"Aku berpikir, apa itu kebahagiaan? Apakah itu adalah hal yang bisa kau dapatkan tergantung suasana hatimu? Kalau begitu, apakah seseorang yang dengan enggan menghapus seluruh keluarganya bisa mendapatkan kebahagiaan hanya dengan mengubah suasana hatinya?"

Tadinya aku mengira dia sedang berbicara tentang diriku. Tapi mungkin itu tidak benar.

"...Aku pikir itu tidak mungkin. Aku ada di sini karena aku berpikir demikian."

Dia pasti sedang membicarakan dirinya sendiri.

"Aku tidak tahu bagaimana tepatnya keadaaanmu. Tapi dalam situasimu, aku tidak berpikir kau bisa mendapatkan kebahagiaan hanya dengan mengubah suasana hati. Bukankah kau juga berpikir begitu?"

Benar. Ke manapun aku pergi, neraka sudah menungguku.

"Kau ingin aku «menyelamatkanmu», kan?"

Katanya setelah menghabiskan kopinya.

"Kalau kau tidak keberatan dengan kecacatannya, aku akan mengabulkan 'permintaanmu'."

Wajarnya, orang akan mengira perkataannya jelas adalah kebohongan. Tapi saat ini, dia bersungguh-sungguh.

Jadi, ini sudah lebih dari cukup, mengesampingkan percaya atau tidak.

"......benarkah?"

Lebih dari cukup untuk membuatku membuka mulut.

"Ya. Jika semua jalan mengantarkanmu ke neraka, akan kuberikan kau jalan yang lain. Mungkin ini hanya sebuah ilusi, tapi pada kasusmu, kau tidak punya pilihan lain, kan?"

Jika dia ingin mengangkat harapanku hanya untuk membuatku bergerak, dia tidak akan bicara seperti ini.

"Tapi apa kau tidak apa-apa menggunakan kekuatan setidakrealistis itu, Maria-san...? Apakah kau tidak harus membayar semacam akibat karena menggunakan kekuatanmu, seperti dalam manga?"

Maria Otonashi membisu.

"Jadi ada kelemahannya, kan?"

"...Bukan sesuatu yang perlu kau pedulikan."

"Kalau kau berkata begitu, aku malah semakin peduli!"

Dia menghela nafas saat mendengar kata-kataku dan berkata:

"Aku akan kehilangan sebagian ingatanku."

"Eh...?"

"Dengan menggunakan 'Flawed Bliss,' [1] aku melupakan tentang sasaran permintaan dan orang-orang yang bersangkutan dengannya hingga titik tertentu. Sebenarnya, aku nyaris tidak punya ingatan. Baik tentang keluarga maupun teman-temanku. Aku hanya memiliki memori yang sengaja kumohon untuk tetap ada."

"Apa...?"

Ini terlalu kejam.

"...Tapi bukankah itu artinya kau akan melupakan tentang Kazuki Hoshino saat menggunakan 'box' padaku...?"

Dia tidak menjawab pertanyaan ini.

Tentu saja karena aku benar.

"...Aku tidak mengerti! Kenapa hanya untuk diriku kau bertindak sejauh ini? Kau bahkan meninggalkan ingatan tentang orang yang berharga bagimu. Kenapa...?"

"Itu urusanku. Sudah kubilang, ini bukan hal yang perlu kau pedulikan."

"Tidak mung—"

"Kau itu sama denganku."

Dia memotong kata-kataku.

"Aku tidak ingin melihatmu celaka. Aku tidak akan sanggup menanggungnya. Lagipula, apa kau pikir aku akan berubah menjadi 'box' jika aku luput akan hal seperti ini?"

Dan untuk itu dia siap kehilangan ingatan-ingatannya yang berharga?

Itu aneh sekali. Aneh, tapi—

Tentunya karena itulah dia sanggup menjadi sebuah ciptaan yang sempurna.

Jika dengan ini aku bisa lari dari neraka , dan jika memang itu yang dia inginkan, maka aku harus menerima tawarannya.

"Tolong pinjami aku telepon."

Maria Otonashi mengangguk dan menyerahkan ponsel milik Kazuki Hoshino padaku.

Nomor teleponku tercatat dalam riwayat panggilannya. Mungkin mereka berusaha menghubungiku lewat teleponku.

Tapi itu tidak cukup untuk bertemu dengannya.

Aku juga sudah mencoba mengontaknya dengan nomor itu, namun tidak tersambung. Dia tidak meneleponku dari nomor itu.

Nomor telepon Yuuhei Ishihara.

Aku meneleponnya. Setelah beberapa saat,

"Halo?"

Riko Asami menjawab telepon.

05 Mei(Selasa) 21:42[edit]

Saat melengkapi catatan yang kudapat dari Miyazaki-kun tanggal 2 Mei lalu, hasilnya ternyata seperti ini.

00-01 01-02 23-24 hari ke-1
02-03 03-04 04-05 hari ke-2
11-12 13-14 15-16 hari ke-3
09-10 16-17 20-21 hari ke-4
06-07 08-09 19-20 hari ke-5
05-06 07-08 17-18 hari ke-6
12-13 14-15 18-19 hari ke-7 Selesai

Tiga sel yang tersisa, «10-11», «21-22» dan «22-23» menandakan waktu yang dimiliki [Kazuki Hoshino] hari ini. Jika aku tidak menghentikan 'Sevennight in Mud' hari ini, waktu milik [Kazuki Hoshino] akan menyusut menjadi 0.

Sekarang pukul 21.43. Dengan kata lain, [Kazuki Hoshino] punya sisa waktu 1 jam 17 menit sampai pukul 23.00.

Hingga saat itu tiba kami harus melakukan apa pun yang kami bisa lakukan.

Persipan untuk hal ini sudah selesai.

[Riko Asami] berhasil mengontak «Asami-san». «Asami-san» menerima permintaan kami untuk menemuinya dan menyatakan waktu dan tempat pertemuan.

Dan kini kami sedang berhadapan dengan Riko Asami.


Waktu yang disarankan «Asami-san» adalah sekolah kami. Sekolah memang memiliki sistem keamanan, tapi alat itu tidak akan aktif hanya karena pagar sekolah dipanjat.

Sekolah kosong karena liburan Golden Week.

Ia berdiri di tengah-tengah lapangan sekolah seorang diri.

"Kenapa kalian pikir aku memutuskan untuk menemui kalian?"

Seperti dugaan, suara bisikannya sangat berbeda dari gaya bicaranya yang biasa.

"Lagipula, aku tahu tujuan Maria-san. Kau datang untuk mencegahku bunuh diri dan merebut 'box' milikku, 'kan? Meski ini merepotkan untukku, aku memutuskan untuk bertemu denganmu. Kau tahu kenapa?"

kata Asami-san yang entah mengapa tampak tidak bisa memfokuskan matanya.


"Aku ingin menemuimu sekali lagi untuk terakhir kalinya pada saat terakhir. Aku ingin melihat orang yang kukagumi; orang yang mencapai sesuatu yang selama ini tidak bisa kucapai : menciptakan diri yang sempurna."

"Kau salah."

Maria menyelanya dengan suara yang tegas.

"Kau ingin aku mencegahmu melakukan tindakan bodoh seperti membuang-buang nyawamu."

Riko Asami mendengarkan Maria dengan tenang.

Kemudian mulutnya sedikit berkerut ke atas.

"Aku takut kata-kata klise seperti itu tidak mempan untukku. Sayang sekali... Aku tidak ingin kau mengatakan hal semenyakitkan itu."

"Hmpf, lalu kenapa kau menemui kami? Kau kir aku tidak bisa lihat kalau kau takut mati?"

"Kau lebih seperti jaminanku."

"...jaminan?"

"Kupikir kau akan membunuhku saat aku menyadari ketakutanku untuk melakukan bunuh diri."

Riko Asami bicara tanpa peduli.

"......"

Aku berpikir, mengapa? Mengapa pertukaran kata mereka—membuatku sangat jengkel?

Seharusnya ada perasaan lain yang aku rasakan. Ketegangan, ketakutan, simpati—perasaan-perasaan itu akan jauh lebih wajar. Akan tetapi, mengapa aku malah merasakan kejengkelan?

Aku terus berpikir---dan sadar.

—Oh tidak, ini tidak...

"Asami-san."

Aku mungkin tanpa sadar telah menyadarinya. Tidak heran aku merasa jengkel! Basa-basi ini sama sekali tidak ada artinya, bukan?

"Kau sudah bertemu dengan Miyazaki-kun selama 'Sevennight in Mud', kan?"

Asami-san mengangguk pelan mendengar pertanyaanku yang mendadak.

"Untuk membuat kami percaya bahwa tidak ada jalan keluar dari 'Sevennight in Mud', Miyazaki-kun berbohong kepada kami dengan mengatakan bahwa sang 'owner' telah mati. Dia mencoba membuatku menyerah untuk menyempurnakan 'box' ini."

"...Jadi?"

Asami-san mendesakku untuk meneruskan, dan aku mengangguk.

"Aku yakin Miyazaki-kun yakin bahwa kami tidak bisa menemukanmu. Tapi kau masih hidup. Jadi dari mana timbulnya keyakinan itu?"

Asami-san terlihat ragu sejenak dan berkata:

"...Itu karena aku janji untuk bersembunyi saat aku bertemu dengannya. Jadi, Nii-san—"

"Mengapa?"

Aku memotongnya dan bertanya.

"Mengapa kau, yang sudah siap bunuh diri untuk menghentikan 'Sevennight in Mud,' harus bekerja sama dengan Miyazaki-kun, sekutu [Riko Asami] yang menginginkan penyempurnaannya?"

Ia tetap terdiam.

"Bukankah ini sedikit tidak cocok?"

"...Kau tidak akan mengerti masalahku, Kazuki Hoshino."

Aku tidak tahan lagi. Kebencian ini sudah tidak bisa kutahan lagi.

"Memuakkan! Hentikan gaya bicara aneh itu sekarang!"

"......Ini cara bicaraku yang asli. Mungkin kau tidak tahu, tapi sejak SMP—"

"Tidak bisakah kau hentikan aktingmu sekarang juga? Lagipula kau tidak mau bersembunyi lagi karena kau sudah memutuskan untuk muncul di hadapan kami, kan? Jadi,"


"Hentikan nada bicara itu sekarang juga, 'O'!"


Maria membelalak dan melihat Asami-san—bukan, 'O'.

Ekspresi di wajah Asami-san menghilang. Aku sudah tidak merasakan apapun dari Riko Asami dalam wajah yang kini menjadi tidak manusiawi itu.

"Kau mulai beraksi sejak tanggal 30 April, kan? Selera burukmu itu memang sudah melampaui batas! Kalau sekarang kupikir-pikir, waktu itu hanya aku yang merasa bahwa Asami-san aneh. Keesokan harinya, Haruaki sudah lupa tentang tingkah anehnya. Itu karena sifatmu yang membuat semua orang selain 'owner' lupa akan dirimu, kan? Kau tidak pernah masuk ke dalam kelas karena Miyazaki-kun sedang ada di sana, benar ‘kan?"

Asami-san masih mendengarkanku tanpa menunjukkan ekspresi apapun.

"Miyazaki-kun hanya bisa berbohong tentang kematian Asami-san, karena dia tahu bahwa tubuh adiknya itu telah diambil alih olehmu, 'O'. Jika makhluk tidak manusiawi sepertimu mengatakan hal seperti «Aku tidak akan muncul lagi» setelah mengambil alih tubuh Asami-san, dia pasti akan mempercayainya. "

Asami-san masih belum mengubah ekspresinya.

"Dia mungkin sudah lupa akan keberadaanmu, namun sepertinya ia belum melupakan fakta bahwa saudaranya sedang diambil alih oleh seseorang. Jadi, satu-satunya jalan bagi Miyazaki-kun adalah menyempurnakan 'Sevennight in Mud’. Dengan itulah kau membuatnya menjadi musuh-[ku]. Dengan itulah kau mempersiapkan panggung agar [aku] dan [Riko Asami] bisa saling bertarung."

Aku membersut pada Asami-san dan menyatakan:

"Dengan demikian, kau menikmati pengamatanmu terhadapku."

Saat aku selesai bicara—

"Huhu"

Ekspresinya yang hampa itu runtuh. Riko Asami lenyap tak berbekas.

Tidak, tubuhnya masih tetap sama. Tapi sekarang sudah jelas. Riko Asami tidak mungkin ada di balik ekspresi itu. Tidak ada manusia yang sanggup membentuk senyum sejelek itu.

"Oh, aku sungguh harus memujimu!"

"O" bertepuk tangan sambil mempertahankan senyumannya. Dia bisa tetap tenang karena dia tahu dengan pasti bahwa dia berada di luar jangkauan kami, bahkan setelah kami menemukannya.

"...Kelihatannya kau cukup tehibur, 'O'."

Kata Maria sembari mengerutkan alisnya.

"Terhibur? Huhu, tentu saja! Pengamatan kali ini benar-benar berharga. Sungguh menyenangkan melihat bagaimana Kazuki Hoshino bereaksi saat tubuhnya dicuri, bagaimana ia berpikir, bagaimana ia menderita! Aku tidak mengira kau akan terang-terangan menganggap [Riko Asami] sebagai «musuh» dan menyakitinya. Huhu, dibandingkan dengan kali terakhir ini waktu yang sangat singkat, tapi membuahkan hasil yang sangat memuaskan."

"Dasar mesum."

Namun, cercaan Maria tak membuat "O" berhenti tersenyum.

"Baiklah—Akan kuserahkan 'box' ini padamu ."

Aku tidak bisa langsung mencerna kata-katanya.

Apa yang baru saja dia katakan? Menyerahkan 'box' pada kami? Mengapa? Kami bahkan belum mulai menegosiasikan 'box' ini...

"......apa yang kau rencanakan?"

Maria bertanya mewakiliku.

"Oh? Apa mungkin sikapku aneh?"

"Apa kau mau bilang kau hanya berpura-pura tenang dan kini kau tersudut karena kami sudah menemukanmu?"

"Jawabanmu meleset jauh. Kenapa aku harus tersudut? ...Oh, sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Tujuanku bukan untuk menghalangimu, tapi untuk mengamati Kazuki Hoshino, tahu kan? Aku bisa menikmati pengamatanku padanya lebih dari cukup dalam 'box' ini. Aku sudah mencapai tujuanku. Jadi aku tidak punya alasan untuk tidak memberikanmu 'box' yang sudah tidak berguna ini."

Setelah ia mengatakannya, sekarang sudah jelas. Tujuan "O" bukanlah untuk menyempurnakan 'Sevennight in Mud'. Tidak, jika ‘box’ sempurna, maka---

"Ah...!"

"Oh, kelihatannya kau sadar meski aku tidak menyebutkannya. Kasihan sekali."

"O" mengatakannya dengan muka berseri-seri.Tentu saja dia senang melihat wajahku yang pucat pasi.

"Tepat sekali, 'box' yang kalian sebut 'Sevennight in Mud' tidak dimaksudkan untuk sempurna sejak awal. Riko Asami adalah manusia yang cukup menarik, sungguh. Tapi aku tidak akan pernah mengorbankan obyek penelitianku yang berharga hanya untuk satu ikan teri. Membiarkan [Riko Asami] mengambil alih «Kazuki Hoshino»? Mana bisa kubiarkan."

"O" tertawa.

"Jadi, kau menemukanku atau tidak pun, aku tetap akan memberikan 'box' ini. Memberikan 'box' dengan sukarela sama sekali tidak aneh."

Aku memandang [Riko Asami] sebagai musuh demi mendapatkan diriku kembali.

Demi hal ini, aku menyakiti [Riko Asami] dan membuatnya menderita. Aku sampai melibatkan Miyazaki-kun dalam masalah ini. Bahkan aku sempat mengkhianati Maria.

Akan tetapi,

Meski aku sudah melewati itu semua,

"Semua itu sia-sia saja."

Selama ini aku hanya menari dalam pipa "O"?

Kalau begitu, apa artinya satu minggu ini...

"Menurutku tidak sia-sia."

Mendengar sangkalan ini, aku langsung menoleh padanya.

Maria, yang baru saja menyatakan itu, memberikan "O" sebuah senyuman yang menantang.

"Apa maksudmu?"

"Kau tidak mengerti? Tujuan Kazuki adalah untuk mendapatkan kembali kehidupan sehari-harinya. Wajar saja kalau dia mempertaruhkan segalanya untuk meraih tujuan ini. Karena itu, tidak ada yang akan berubah. Bahkan seandainya dia sudah menduga bahwa kau tidak berniat menyempurnakan 'Sevennight in Mud,' tindakannya tidak akan berubah."

"Mengapa begitu?"

"O" bertanya dengan penasaran.

"Itu sudah jelas."

Maria berkata seolah-olah menertawakan 'O'.

"Orang tidak akan pernah bergantung pada hal selemah kehendakmu ."

Aah, aku mengerti. Keputusan untuk menyerahkan "box" padaku hanyalah keputusan yang dia ambil "karena ini berakhir dengan sangat menyenangkan baginya."

Aku tidak akan pernah bergantung pada hal seperti itu dan tidak melakukan apa-apa. Kalaupun usahaku sia-sia, aku pasti akan mempertaruhkan segalanya untuk menemukan solusi bagi "box" ini.

"Begitu. Tapi selain untuk Kazuki-kun, untukmu semua usahamu ini sia-sia. Lagipula, 'box' ini sudah tidak bisa digunakan lagi."

"Pemikiran yang sangat dangkal. Kemunculanmu ini membantuku untuk minimal satu langkah lebih maju. Kau baru saja membuktikan bahwa aku akan bertemu 'O' atau 'box' saat aku bersama Kazuki."

"Hm...?"

Mendengar kata-katanya, "O" membelalakkan matanya.

"Apa kau serius?"

Maria menjawab dengan heran.

"Hei, aku sudah menghabiskan seumur hidupku untuk mengejar 'box’. Kenapa kau masih meragukan kata-kataku?"

"Tidak, bukan itu maksudku! Aku tidak peduli dengan kebodohanmu. Aku menanyakan apakah ‘bukti bahwa kau bisa bertemu denganku saat bersama Kazuki-kun’ memiliki arti tertentu."

Maria membelalak mendengar kata-katanya. Perlahan-lahan wajahnya memucat.

"Kau belum sadar... atau, kau belum memikirkannya dalam-dalam?"

"O" berkata sambil tersenyum.

"Bukti ini tidak ada artinya. Lagipula kau bermaksud meninggalkan Kazuki-kun, kan?"

A...pa...?

"Ja-Jangan bicara omong kosong!"

"Huhu, bukankah muka pucatnya itu adalah bukti terbaik untuk kata-kataku? Kau tahu, Kazuki-kun? Dia berencana membiarkan [Riko Asami] menggunakan 'box' miliknya!"

"Menggunakan 'Flawed Bliss'...?"

Karena aku telah menyentuh 'box' itu, aku tahu. Karena aku telah melihat dasar lautan itu, aku tahu.

Membiarkan seseorang menggunakan "box" miliknya. Hal ini sangat tabu. Bahkan aku pun tahu bahwa menggunakan "box" miliknya adalah suatu kesalahan yang sangat fatal.

"Jika dia melakukan itu, dia akan melupakan kalian. Setelah kehilangan ingatannya, dia tentu akan pergi menjauh dari kalian."

"K-Kenapa kau tahu soal hal seperti itu!"

"Karena selalu seperti ini saat ia membiarkan seseorang menggunakan 'box'-nya."

Aku melihat Maria. Melihatnya yang sedang menggigit bibirnya sendiri, aku sadar bahwa ‘O’ mengatakan kebenaran.

"Kenapa kau mau menggunakan 'Flawed Bliss'...?"

"...Bukankah sudah kubilang? Aku tidak bisa menerima bahwa kemalangan tak terhindarkan telah menanti Asami."

Demi itu kau tidak keberatan mengabaikan keinginanmu sendiri...?

Aah, aku tahu. Ia selalu seperti ini. Ia adalah orang yang bahkan sanggup membuang nyawanya sendiri demi menyelamatkan orang lain.

"Aku ini sebuah 'box.' Aku bukan manusia. Aku harus ada demi menyelamatkan orang lain. Benar, karena itu—"

Maria kembali menunjukkan ekspresinya yang mengesankan dan menyatakan dengan tegas :

"Aku harus tetap menjadi [Aya Otonashi]"

Tapi, di mana perasaan [Maria Otonashi] dalam kata-kata itu?

«—jangan kehilangan aku dari pandanganmu lagi»

Bukankah itu perasaan Maria yang sesungguhnya? Bukankah itu perasaan asli gadis yang tidak sanggup lagi menahan kesendiriannya?

Hal ini salah. Mengabaikan perasaan sendiri tidak dapat dibenarkan.

Tetapi aku tidak bisa mengatakan padanya bahwa ia salah dengan sembrono. Meski aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu yakin, aku tidak bisa membiarkannya.

"Maria."

Karena itu aku hanya dapat mengucapkan namanya. Karena hanya aku yang bisa memanggil, dan melawannya dengan perasaanku sendiri.

"Aku tidak menginginkan itu."

Wajah Maria sedikit menegang.

"Aku tidak ingin kau lupa tentang diriku dan menghilang!"

"......Kazuki."

"Itu kejam! Sementara kau menyuruhku untuk tidak kehilangan kau dari pandanganku, kau mau kehilangan aku dari pandanganmu! Itu kejam sekali!"

Setelah mendengar teriakanku, Maria memandangi tanah dan menggigit bibirnya.

"......Tapi kalau tidak, Asami akan—"

Aku menggenggam tangan kanan Maria secara paksa, membuatnya menghentikan kata-katanya. Ia memandangku dengan mata lebar.

"Asami-san akan baik-baik saja."

"...Mengapa kau bisa berkata begitu?"

"Karena aku mempercayai sesuatu yang kau mungkin tidak bisa percayai dan mungkin akan membuatmu tersinggung."

Aku menyalurkan lebih banyak kekuatan pada genggamanku.

"Aku percaya bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan kehidupan sehari-hari."

Aku menyadari bahwa jemarinya lebih rapuh dari yang aku kira. Tidak, bukan hanya jemarinya. Seluruh tubuh Maria rapuh. Berkebalikan dengan sifatnya.

"Jadi Asami-san akan baik-baik saja, bahkan walaupun 'Sevennight in Mud' hancur. Tidak mungkin hanya masalah yang akan menunggunya!"

"......kau ingin aku mempercayai hal itu?"

Ia berbisik.

Sudah kuduga ini akan ditolaknya.

Maksudku, dia ‘kan mencari "box". Tidak mungkin dia bisa menerima pendapatku, yang mempercayai kehidupan sehari-hari, sementara dia mencari "box" yang membawa kehancuran pada kehidupan sehari-hari.

Meski demikian, aku percaya pada kehidupan sehari-hari.

"Dia cuma harus menemukan harapan."

"...Apa?"

"Aku akui bahwa masalah mungkin telah menunggu Asami-san. Tapi harapan pun ada dalam masalah ini! Setidaknya aku tahu satu."

"Harapan apa...?"

"Ada satu orang yang begitu menghargai Asami-san. Tidak bisakah ini menjadi harapannya?"

Aku menyadari keraguan samar yang mulai muncul dalam raut wajahnya.

"...Tentu saja ini akan bekerja kalau tidak ada yang sudah terjadi. Tapi Asami pasti akan masuk penjara untuk waktu yang sangat lama karena insiden itu."

"Tapi, jika mereka berdua menggabungkan kekuatan, mereka akan baik-baik saja. Jika mereka sadar betapa berharganya mereka bagi satu sama lain, mereka akan baik-baik saja! Apa kau tidak setuju?"

"......"


"Mungkin hanya kesombongan yang membuatku mengatakan bahwa aku memahami Asami-san. Tapi masih sisa satu jam untuk [Riko Asami]. Kau masih bisa memastikan perasaannya sebelum mengambil keputusan! ...Tidak, jangan cuma memastikan, bantulah ia menemukan harapan. Aku yakin, harapan ada."

Aku menekan tangannya sedikit lebih erat.

"Kau mungkin juga akan memberikannya kebahagiaan sejati, daripada sebuah ilusi!"

Setelah berkata demikian, aku melepaskan tangannya. Maria menatap lekat-lekat tangannya.

"......U-Umm, sekarang Golden Week, kan?"

Mendengar kata-kata yang mendadak kuucapkan, Maria menaikkan sebelah alis dan mengangkat kepalanya.

"Karena semua ini kita tidak punya waktu untuk menikmati liburan, kan? Tapi, kau tahu ‘kan, besok masih libur, jadi umm..."

Aku memejamkan mata, menguatkan diriku, dan bicara.

"Jadi, umm... ayo kita pergi ke suatu tempat besok. Err... benar, ayo pergi makan strawberry tart. Kau pernah bilang kalau kau suka itu, kan?"

Maria membelalakkan matanya. Sejak tadi wajahnya kaku, namun kini pipinya seolah-olah hal ini bohong.

"Huhu... kau bilang apa?"

"K-Kau tidak mau?"

"...Ini artinya kau menghabiskan setiap hari Golden Week denganku, lho?"

"Eh? Memangnya ada yang salah dengan itu?"

Saat aku berkata sambil menelengkan kepalaku, Maria tersenyum masam untuk suatu alasan.

"Jangagn dipikirkan."

"Mh? Jadi, kau mau janji?"

Janji.

Ketika aku mengucapkan kata ini, mulutnya menegang lagi.

Maria menunduk sejenak. Ia merenungkan arti dari janji itudan kembali membuka matanya. Mulutnya rileks. Ia menyunggingkan kedua sudut mulutnya dan berkata padaku dengan suara yang bersemangat namun lembut:

"Aku janji. Aku menjanjikanmu sebuah masa depan di mana kita bisa pergi makan strawberry tart dengan tenang besok."

Ya, tidak ada yang kukhawatirkan lagi.

Demikianlah, aku menunggu saat pergantian terakhir.

05 Mei (Tuesday) 23:00[edit]

Tidak ada yang berakhir.

Meski Maria Otonashi had promised me that aku tidak akan berganti lagi dengan tubuh ini, tidak ada yang berakhir.

Entah mengapa aku berdiri di tengah-tengah lapangan sekolah, tapi tidak ada apa pun selain kegelapan. Aku tahu bangunan sekolah ada di dekat sini, tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa pun di dekatku.

Hanya Riko Asami dan aku sedang saling berhadapan.

Aku tidak mengerti. Kenapa situasinya seperti ini? Ke mana Maria-san pergi?

"Sudah agak lama."

Riko Asami membuka mulutnya di hadapanku.

Aku menaikkan alis. Ada sesuatu yang salah?

"Huhu, pasti kau tidak mengenali diriku dalam penampilan ini. Aku ini 'O'!"

"Eh?"

Nada yang jelas berbeda dalam suaranya dan sebuah senyum mempesona yang tidak akan pernah sanggup kubuat. Aah, benar. Orang ini memang "O".

"Kenapa kau ada dalam penampilan Riko Asami di depanku...? Dan di mana Maria-san...?"

"O" hanya tersenyum mendengar pertanyaan ini, dan mendekatiku tanpa jawaban. Karena merasakan intensitas keanehan dari dirinya, aku secara refleks melangkah mundur.

"Kata Kazuki Hoshino dalam kehidupan sehari-harimu pun ada harapan!"

Dia berkata demikian dan mengulurkan tangannya ke arahku. Lalu, dia memasukkan jarinya ke dalam mulutku.

"A-gh...?"

"Meski itu tidak mungkin ada."

Jari-jari Riko Asami menari-nari di dalam mulutku. Mereka dikotori oleh air liurku. Air liur di jari-jarinya ini terasa nyaris seperti cairan tubuh serangga bagiku.

"Karena kau memandang rasa dirimu sendiri hanya dengan ini."

"O" berkata dengan penampilanku.

"—yaitu rasa lumpur."

...Ya, memang terasa seperti itu.

Pahit, luar biasa pahit—aku tidak sanggup menahannya. Meskipun seharusnya ini adalah tubuh Kazuki Hoshino, perlahan-lahan lumpur mulai menyebar bagaikan virus. Tubuhku menghitam. Ia terlumuri oleh warna dosa. Lumpur kotor meluber dan menganiayaku.

"O" mengeluarkan jari-jarinya dari mulutku. Aku jatuh terduduk. Lumpur di dalam tubuhku ikut terguncang karenanya.

"Penolakanmu terhadap dirimu sendiri sudah tidak tertolong. Kau—", aku merasa mual saat mengengar kata-kata ini. "—adalah orang yang paling kau benci. Jadi, lumpur di dalam dirimu akan tetap ada di situ untuk selama-lamanya."

"O" meletakkan tangannya di atas bahuku. Aku mengangkat kepalaku dan melihat wajah Riko Asami yang bahkan tidak ingin kulihat.

"Tidak mungkin ada harapan untukmu, yang bahkan tidak mampu menyingkirkan lumpurnya sendiri."

Aku sudah tahu betul.

Tidak mungkin aku akan menemukan harapan dalam kehidupan sehari-hariku. Sampai sekarang hal itu tidak ada. Jadi kenapa harus ada untukku, setelah aku melakukan kejahatan di puncak noda-nodaku?

Riko Asami sudah tamat.

"Itu tidak benar."

Aku menoleh ke arah suara di belakangku, dengan masih berlutut.

Maria Otonashi sedang berdiri di situ dengan nafas terengah-engah. Di sebelahnya ada Nii-san. Nii-san, yang tidak lagi menganggapku saudara.

"Kau lebih cepat dari yang kukira."

"Apa-apaan dengan kekerasan pada [Riko Asami] ini, 'O'!"

Maria Otonashi meraung murka kepada "O".

"Huhu... Aku lebih suka kalau kau dan Kazuki Hoshino-kun terpisah, deh. Aku hanya menyesuaikan dirinya sedikit untuk kenyamananku. ...Nah, apakah kau sudah menemukan sesuatu yang bisa memberinya harapan?"

"Sudah."

Maria Otonashi langsung menyatakannya dengan tegas.

"O" tidak mengubah ekspresinya mendengar reaksi ini.

"Riko."

Nii-san memanggil namaku. Ini terasa sangat asing.

Aku mengerti, karena ini adalah pertama kalinya. Pertama kalinya Nii-san memanggilku dengan nama ini sejak aku masuk ke dalam tubuh ini.

"...ada apa malam-malam begini? Kamu tidak menganggapku «adikmu», kan?"

"Kamu akhirnya sadar sebagai Riko Asami, ‘kan? Kalau begitu, semuanya berubah. Aku bisa memanggilmu «Riko Asami»."

Aku tetap diam, sehingga Nii-san meneruskan.

"Katakan padaku, apa yang mau kau lakukan sekarang? 'Sevennight in Mud' akan dihancurkan. Kau akan kembali menjadi Riko Asami. Aku dan kau akan terpisahkan. Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan menggunakan 'box' milik Maria-san!"

"Asami. Maaf, tapi itu kutarik kembali."

"Eh...?"

Aku langsung menatap Maria Otonashi.

"Setelah mendengarkan Miyazaki, aku berubah pikiran. Aku tidak bisa membiarkanmu menggunakan 'box' ini."

Ia berkata terang-terangan tanpa menunjukkan penyesalan karena melanggar janjinya sendiri.

Tidak, ini sudah jelas! Pasti dia sadar betapa konyolnya jika dia kehilangan ingatannya hanya demi diriku.

"Kalau begitu aku mau mati saja!"

Sebuah jawaban yang sangat alamiah. Tentu saja ini adalah solusi terbaik untuk masalah ini.

Nii-san mengernyitkan alis mendengar kata-kataku dan memuntahkan kara-kata ini:

"Apa kau pikir [Riko Asami] hanya milikmu seorang?"

"...Hah?"

Aku Riko Asami. Jadi, aku adalah milikku. Bukankah itu wajar?

"Kenapa kau tampak begitu terkejut? Kau adalah milik dirimu saja? Tidak bisa!"

Nii-san berkata, terheran-heran padaku.

"Kau juga milikku! Dan bukan cuma itu. Kau itu milik Maria Otonashi, dan kau juga milik Kazuki Hoshino. Jadi, kau tahu,"

He scowled at me.

"Aku tidak akan mengizinkanmu mati atas kemauanmu sendiri!"

Aku tidak mengerti.

Aku tidak mengerti mengapa Nii-san berkata padaku dengan wajah lembut.

"Jadi bagaimana dosaku bisa dimaafkan...? Aku bahkan tidak boleh mati?! Sudah dua orang yang mati gara-gara aku. Aku harus—"

"Riko."

Dia mencegatku.

"Ini adalah alasan utamaku mengapa aku memutuskan untuk tidak mengizinkanmu menggunakan 'box'-ku. Aku salah paham. Yah, Miyazaki mungkin sengaja diam dalam hal ini, tapi aku salah tentang kebenarannya."

Maria Otonashi meneruskan.

"Ryuu Miyazaki adalah yang membunuh mereka berdua, bukan?"

...Tidak. Tentu saja, memang Nii-san yang melakukannya. Tetapi aku tahu bahwa ini akan terjadi ketika aku meminta tolong padanya. Nii-san hanya mengabulkan permintaanku pada waktunya dan melaksanakannya.

Jadi, ini adalah dosaku.

"Jangan salah paham, Riko! Aku tidak membunuh mereka karena dirimu. Aku benci mereka. I detested them. I was just unable to control these intense feelings of mine."

Itu bohong.

Tentu saja, dia mungkin membenci mereka. Tapi hanya karena perasaan ini, dia tidak akan bisa melakukannya. Dia mengarang kalimat terakhir karena ia ingin membebaskanku. Akulah orang yang membuatnya menarik pelatuk.

"Aku berpikir untuk kabur bersamamu. Tapi ini tidak realistis. Kita masih di bawah umur dan tidak bisa menghidupi hidup yang kita jalani. Kalaupun bisa, aku tidak berpikir kita akan menemukan kebahagiaan dalam hidup sebagai buronan."

Nii-san tersenyum masam dan berkata.

"Jadi, aku akan menyerahkan diri. Aku akan membuktikan ketidakbersalahanmu. Ini keputusan terbaik yang bisa aku buat."

Nii-san mencoba mengambil alih semua dosa dari diriku dan membawanya bersamanya ke dalam penjara.

"......Mengapa kamu, demi diriku, begitu—"

"Jangan membuatku mengatakan hal semudah itu!"

Aku sama sekali tidak mengerti. Mengapa? Kami mungkin bersaudara, tapi kami adalah manusia yang berbeda. Dia tidak mendapat keuntungan apa pun dari melakukan sesuatu untukku.

Nii-san mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikannya padaku.

Aku terdiam menerimanya. Sentuhannya terasa familiar bagiku. Aku melihat «sesuatu» yang kuterima ini.

"—Ah."

Suaraku pecah.

Maksudku, bukankah ini sudah hancur? Bukankah semua hal yang berharga bagiku sudah hancur?

"Aku mencucinya, mengisinya dengan kapas dan menjahitnya kembali. Itu saja. Yah, memang tidak seperti baru, tapi bisa dibilang ini sudah betul, kan?"

Ini adalah sebuah boneka kelinci.

Boneka yang kuterima dari Nii-san, yang memenangkannya untukku dalam sebuah UFO catcher [2].

"A, ah—"

Aku berlutut. Isakan keluar dari mulutku tanpa kusadari dan aku pun mulai meneteskan air mata. Tetes-tetes air mata itu membasuh sebagian lumpur dalam diriku. ...Tentu saja, tidak semuanya. Aku tidak akan lepas dari lumpur ini. —Tapi sebagian kini memang telah terbasuh.

Mungkin,

Mungkin—

"......Nii-san"

Mungkin aku tidak perlu meminta kepada 'box' sejak awal. Mungkin aku hanya belum sadar.

Karena aku yakin—

—'permintaanku' sudah terkabul sejak lama.

"Maafkan aku, Nii-san. Ini semua salahku, aku minta maaf."

Karena aku belum menyadari hal ini, Nii-san harus menanggungnya untukku. Andai saja aku menghargai diriku sendiri, akhirnya pasti akan berbeda.

"Kali ini adalah giliranku untuk menyelamatkanmu, Nii-san."

Aku menyeka air mataku dan berdiri. Nii-san sedikit terkejut melihatku.

"Aku akan menyelamatkanmu dari penderitaan... Aku akan menunggumu. Sampai kita bisa bersama-sama lagi, aku akan menunggu."

Suaraku masih bergetar dan senyumanku agak dipaksakan, namun meskipun demikian, aku berkata dengan tegas:

"Aku akan menunggumu sebagai Riko Asami."

Membelalak, Nii-san membeku selama beberapa saat, namun kemudian ekspresinya perlahan-lahan mengendur.

Tak seperti kemarin, kini kesegaran memancar di matanya.

"Kau tahu tidak?"

Nii-san membuka mulutnya sembari tersenyum.

"'Aku tidak melakukannya tepat waktu.' Aku selalu berpikir seperti ini. Tapi mungkin—mungkin aku nyaris tepat waktu ."

Aku jelas tidak bisa bilang aku benar-benar puas dengan akhir ini. Nii-san dan aku akan, tanpa ragu, membenci masa lalu kami sampai mati.

Akan tetapi, kami berusaha berpegang erat pada hal yang membuat kami bisa bertahan.

Tanpa keraguan, kami berpegang erat pada hal itu.


Maria Otonashi, yang diam melihat kami, mengangguk sambil tersenyum.

"Jadi aku bisa memenuhi janjiku dengan Kazuki."

Setelah mengatakan itu, senyumannya digantikan dengan bersutan pada "O".

"Enyahlah bersama 'box' sekarang juga!"

"O" mengangguk tanpa berhenti tersenyum.

"Box" milikku, "Sevennight in Mud," dengan ini akan berakhir. "O" mengulurkan tangan ke mata Riko Asami di tubuhnya. Mataku tersentuh. Walaupun bukan aku yang saat ini disentuh, aku merasakannya.

"O" menjangkau ke dalam mataku seolah-olah ingin mengeluarkannya. Tak sanggup menahan rasa perih, aku menjerit lirih dan menutup mataku. Sakit! ...Tapi meskipun rasanya luar biasa sakit, kupikir ini adalah hal yang benar. Aku merasa ini adalah hal yang benar. Jadi, aku menahan rasa sakit dari bola mataku yang dihancurkan.

Rasa sakit itu akhirnya berhenti. Aku kembali melihat "O".

Dia telah menyelesaikan pekerjaannya. Bola mataku tak terluka dan "O" memegang "box" hitam kecil yang terlihat seperti peluru di tangannya.

"Jadi mungkin ini bukti untuk kata-kata Kazuki Hoshino-kun, 'tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan kehidupan sehari-hari'?"

"......Kali ini, mungkin."

"Huhu... aku mengerti. Kau tidak punya pilihan selain mengatakan itu. Lagipula, ini adalah penyangkalan terhadap eksistensimu sebagai 'box.' Kazuki-kun bisa juga, ya, mengatakan hal yang sangat kejam."

Maria Otonashi membersut pada "O" dan merebut "box" dari tangannya dengan kasar.

"Dengan ini aku bisa pergi bersama Kazuki. Itu saja yang kuinginkan untuk sekarang."

"Apa kau menunda kesimpulanmu? Kau masih belum memutuskan apakah kau akan kembali menjadi [Maria Otonashi] atau tetap menjadi [Aya Otonashi], kan?"

"Pertanyaan bodoh."

Maria Otonashi memandangi 'Sevennight in Mud' di tangannya. Dia menggigit bibirnya seperti membenci 'box' ini.

"Jawabannya sudah diputuskan sejak lama."

"Kukira juga begitu."

"O" menjawab setengah-setengah, tampak tak tertarik.

"Aku ini 'box'."

Dia berhenti menggigit bibirnya dan berkata.

"Aku tidak bisa kembali menjadi diriku saat belum menjadi 'box'."

Tatapannya yang kuat.

Itu ekspresi dari ciptaan yang kukagumi selama ini.

"Jadi, yang paling baik adalah mempertahankan diriku yang sekarang. Kau boleh menganggapnya sebagai «Memilih untuk tetap menjadi [Aya Otonashi]»."

"Lalu mengapa kau tetap bersama-sama dengan Kazuki Hoshino?"

"———"

Ia tetap diam.

"Bukankah ini tidak perlu untukmu? Bukankah kau menawari Riko Asami memakai 'box'-mu karena kau juga berpikir begitu?"

"...Aku tidak tahu apa yang kau maksud."

"Huhu, mungkin kau masih terpengaruh kutukan dari dunia pengulangan itu. Si Kasumi Mogi itu musuhmu yang kuat, ya?"

".........hmpf."

Dia kembali melihat "box" dan mengguling-gulingkannya di antara kedua tangannya.

"......aku sudah memutuskan. Sejak lama. Akan tetapi si Kazuki itu malah bilang «Aku tidak menginginkan itu»...!"

Dia berbisik dengan suara pelan dan memperlihatkan, meski hanya sekilas, wajah yang getir.

Namun, dia segera menghapus ekspresi ini. Dia kembali menunjukkan ekspresi sang ciptaan yang smpurna, yang kurasa indah.

Tapi aku yakin pencipta makhluk ini telah melewati rasa sakit dan duka yang hebat saat menciptakannya.

Aku bertanya-tanya, bagaimana dia, yang mengabulkan "permintaan" dari "Sevennight in Mud" dengan kemauannya sendiri, memandang diriku dan "box”.

Pada akhirnya, ia menggigit bibirnya, melihat "box" yang berbentuk seperti peluru itu dan—


—meremukkan "Sevennight in Mud" dengan pandangan sedih.

05 Mei (Selasa) 23:56[edit]

Bangun tidur ini jelas sangat berbeda dari biasanya. Anehnya, aku merasa segar. Aku rasa sekarang tubuhku benar-benar telah direbut oleh [Riko Asami].

Aku membuka ponselku dan mengecek waktunya.

«23:57»

[Aku] ada di sini pada jangka waktu yang dicuri [Riko Asami] pada hari pertama.

Sudah berakhir.

Namun tanpa memberikanku waktu untuk benar-benar bergerak, tubuhku tiba-tiba dipeluk erat-erat.

"Eh?! Ah... M-Maria...?"

Dia memelukku?

Tapi ini sama sekali bukan pelukan yang lembut. Ini tekanan kuat seakan-akan dia berusaha menempel padaku.

"A-Ada apa?"

Dia tidak menjawab pertanyaanku.

Apa boleh buat, aku membiarkannya terus memelukku sampai dia puas. Sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresinya.

"......Ucapkan satu kali lagi."

"Eh?"

"Aku menyuruhmu mengucapkan «Maria» sekali lagi."

"......err, M-Maria."

".........katakan sekali lagi."

"Maria."

"......"

Ia tetap diam.

"Ini salahmu."

Kata Maria tiba-tiba.

"Jangan terbawa perasaan. Sejak awal, aku hanya bersamamu agar aku bisa bertemu dengan 'O'. Tidak ada maksud yang lebih dalam. Tapi kau malah selalu terbawa perasaan dan melakukan hal-hal yang tidak perlu. Penderitaanku kali ini semuanya salahmu."

"......aku tidak terlalu mengerti, tapi bukankah itu agak keterlaluan?"

"Itu kenyataannya, dasar bodoh."

Saat ia selesai bicara, dia mendorongku menjauh.

Kali ini, kekerasan?!

Lagipula, dia tersenyum berseri-seri.

"Nah, bisa kita pergi sekarang?"

"Eh? Ke mana?"

"Kamu ngomong apa? Bukankah kemarin kamu janji padaku, kita akan pergi makan strawberry tart pada esok hari?"

"...Yah, tentu saja aku mengataka nitu. Tapi ini masih tanggal lima—"

"Lihat waktunya."

Aku mengeluarkan ponselku sesuai perintahnya.

«00:00»

Tanggalnya sudah berganti sekarang.

"Aku tahu satu restoran keluarga yang buka malam dan menyediakan strawberry tart. Yuk, kita ke sana."

"E, eeh? B-Bukan itu masalahnya... bukankah 'esok hari' biasanya berarti sudah tidur dan bangu—"

"Jangan cerewet. Yuk, kita cepat pergi."

Maria kemudian menarik tanganku.

Duh... mungkin seharusnya aku tidak membuat janji semacam itu? Aku punya firasat kalau besok aku juga akan diseret-seret sepanjang hari.

...Yah, mungkin aku tidak keberatan?

Karena ini bukan ide yang buruk juga.

Selama diseret oleh Maria, aku melihat dua orang yang tetap berada di tengah lapangan sekolah.

Dua saudara yang rukun sedang tersenyum sambil bergandengan tangan di sana.


Utsuro no Hako vol2 clock7.jpg










Utsuro no Hako vol2 pic4.jpg

  1. Flawed Bliss = Anugerah yang Cacat
  2. permainan mesin pencapit boneka
Sebelumnya 4 Mei (Senin) Hari Hijau Kembali ke Halaman Utama Selanjutnya 18 Mei (Senin)