Hakomari (Indonesia):Jilid 1 Ke-27755 kali (3)

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ke-27,755 kali (3)[edit]

Sekarang kalau dibilang, Mogi-san tidak menggunakan riasan di wajah. Karena jelas-jelas aku tidak menggunakan riasan wajah, tidak seperti Maria, agak sulit bagiku untuk menyadarinya.

Tapi dia memiliki sebuah kotak rias.

Kenapa?

Maria memperkirakan seperti berikut ini.

---Dia telah bosan menggunakannya.

Aku tidak bisa mengingatnya lagi, tapi kupikir Mogi-san awalnya sangat peduli terhadap penampilannya. Kemudian dia berhenti mempedulikannya karena dia tidak bisa menemukan sebuah alasan untuk melakukannya lagi di dalam 'Rejecting Classroom' ini. Dia meninggalkan kotak rias itu di tasnya tanpa pernah menyentuhnya sejak 1 Maret sebelum 'Rejecting Classroom'.

Mogi-san menjadi bosan menggunakan riasan sekaligus mengeluarkannya dari dalam tas.

Hanya seseorang yang memiliki ingatan lebih dari 20,000 pengulanganlah yang bisa menjadi seperti itu.

Dan satu-satunya yang memiliki ingatan tersebut adalah --- si 'pemilik'.

Oleh karena itu, gadis yang kusukai, yang juga menyukai aku, Kasumi Mogi, pasti adalah --- si 'pemilik'.


«Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, Kazu-kun.»

Itu kenapa Kokone memanggilku di pengulangan sebelumnya, pengulangan ke-27,754. Kemudian dia memberitahuku kata-kata berikut ini.

«Kasumi menyukaimu!»

Kokone tahu tentang rasa suka Mogi-san terhadapku. aku yakin kalau Mogi-san berkonsultasi kepadanya tentang hal ini karena mereka merupakan teman baik hingga kemarin.

Kami ingin memancing keluar Mogi-san.

Tapi jika kami melakukannya, dia pasti akan waspada. Jika mungkin, kami tidak ingin memberi Mogi-san kesempatan untuk mempersiapkan dirinya karena Maria sudah kalah darinya beberapa kali.

Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menggunakan Kokone sebagai seorang penengah. Kami berpikir kalau dia bisa memancing keluar Mogi-san untuk kami jika kami bisa membuatnya berpikir kalau aku mempunyai keinginan untuk menyatakan cinta.

Sebagai konsekuensinya --- Kokone terbunuh.

Aku mengingat kata-kata Mogi-san.

«...Jadi, apa kau mau pacaran denganku?»

Berapa sering dia menyatakan cinta padaku? Sudah berapa lama dia menyukaiku? Jika rasa suka ini sama, lalu kenapa--

«Tolong tunggu hingga besok.»

Kenapa dia mengatakan itu?

Mogi-san terlihat tidak menyadari semua darah di seluruh tubuhnya dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

---seperti biasanya.

Apakah dia selalu tanpa ekspresi seperti itu? Tidak, dia tidak seperti itu. Di dalam beberapa pecahan ingatanku ada ingatan di mana aku melihat Mogi-san tersenyum dengan ceria. Tapi Mogi-san yang tersenyum itu tidak terlihat nyata sama sekali. Bagiku, Mogi-san adalah gadis yang tanpa ekspresi dan pendiam.

Tapi bagaimana kalau Mogi-san yang ceria itu, yang tidak terlihat nyata, adalah yang asli?

Kemana gadis yang bernama Kasumi Mogi itu pergi?

"Dia terpengaruh."

Seperti menjawab pertanyaanku, Maria menggumamkan kata-kata itu.

"Dia sepenuhnya terpengaruh oleh pengulangan yang tak terbatas ini."

Dia menyatakan hal tersebut dengan mata yang terfokus ke arah Mogi-san.

Pikiran ini telah terlintas di kepalaku sebelumnya: Pikiran manusia tidak mungkin bisa menahan begitu banyak pengulangan.

Tapi Mogi-san telah mengalami hari yang sama selama 27,755 kali.

Dan setelah mengulanginya begitu banyak, sekarang Mogi-san sudah berlumuran darah.

"...Ini salahmu, Kazu-kun."

Dia berkata begitu, melihat ke arahku.

"Ini semua karena kau memojokkanku!"

"...Mogi-san, memangnya apa yang telah kulakukan?"

"'Mogi-san'."

Mogi-san mengulangi kata-kataku dan memiringkan mulutnya.

"Aku sudah bilang padamu. Aku benar-benar sudah bilang padamu. Aku sudah bilang padamu ratusan kali, ya, 'kan?"

"A-apa yang kaubicarakan...?"

"Aku sudah bilang padamu untuk memanggilku «Kasumi», bukankah begitu...?!"

...Aku tidak tahu. Aku tidak tahu akan hal itu...

"Aku mengatakannya ratusan kali dan kau menerimanya ratusan kali, ya, 'kan? Dan masih saja, kenapa? Kenapa kau selalu lupa setelahnya?"

"Itu tidak bisa...dihindari..."

"Tidak bisa dihindari?! Katakan padaku, kenapa itu tidak bisa dihindari?!"

Mogi-san berteriak dengan histeris. Tetapi wajahnya masih tetap tanpa ekspresi.

Mungkin, dia telah lupa bagaimana cara untuk mengubah ekspresinya selama puluhan ribuan kali pengulangan ini karena dia tidak memiliki alasan untuk melakukannya. Dia tidak bisa tertawa, menangis, atau menjadi marah dengan benar lagi.

"Kazuki, jangan dengarkan dia."

Mogi-san melepaskanku dari pandangannya dan melotot ke arah Maria.

"Jangan memanggil nama Kazu-kun dengan begitu akrabnya!"

"Aku bisa memanggil namanya semauku."

"Kau tidak bisa! ...Kenapa Kazu-kun bisa mengingatmu, sedangkan aku tidak bisa diingatnya...?"

"Kasumi, kau yang membuatnya seperti ini. Karena itu akan membuatmu lebih mudah mengulangi segala sesuatunya dari awal lagi."

"Diam! Aku tidak pernah bermaksud untuk melakukannya!"

Kalau dipikir-pikir, di pengulangan ke-27,754 Mogi-san terlihat ketakutan ketika dia melihat bagaimana aku bisa mengingat Maria.

Pada saat itu aku yakin kalau dia ketakutan dengan kelakuan anehku. Tapi sekarang ketika aku mengetahui kalau dia adalah si 'pemilik', sudut pandangku telah berubah: Sebenarnya, dia membiarkan rasa tidak senangnya yang terus bertumpuk meledak keluar karena aku mengingat Maria dan bukan dia.

"Kazu-kun..."

Sebenrnya, aku pun tidak terbiasa dipanggil olehnya seperti ini juga.

Mungkin, dia pernah bertanya padaku apakah dia boleh memanggilku dengan «Kazu-kun», seperti juga kalau dia memintaku untuk memanggilnya «Kasumi».

Aku mungkin telah melupakannya, tapi Mogi-san mengingat semuanya.

"Kazu-kun, dulu kau bilang kalau kau menyukaiku."

"...Ya. Mungkin aku pernah."

"Aku menerimanya dengan senang! Aku mengatakan padamu kalau aku juga menyukaimu!"

"......"

Aku hanya ingat kalau dia berkata «Tolong tunggu hingga besok». Tidak lebih dari itu. Aku tidak mengingat kalau ada hal lain lagi.

"Kau tidak mengingatnya, ya?"

Aku tidak bisa menjawabnya.

"Apa kau bisa bayangkan betapa senangnya aku? Aku mencoba yang terbaik yang kumampu setiap waktu selama pengulangan-pengulangan itu demi membuatmu melihat ke arahku. Aku mengubah gaya rambutku, aku mencoba menggunakan maskara, aku mencoba menarik perhatianmu, aku mencari tahu tentang hobimu, aku mempelajari pola pembicaraanmu... dan kau tahu apa yang terjadi kemudian? Sebuah keajaiban terjadi! Sikapmu terhadapku berubah dengan jelas. Aku menyadari kalau kau mulai tertarik kepadaku. Kau menerima pernyataan cintaku yang kau tolak sebelumnya. Kau bahkan menyatakan cinta padaku. Setiap kali kau melakukannya, kau membuat harapanku muncul. Kupikir sebuah «kelanjutan» yang menyenangkan akan menungguku, setiap waktu. Kupikir pengulangan ini akhirnya akan berhenti. Tapi apa kau tahu? ...Kazu-kun---"

Mogi-san melihat ke arahku tanpa ekspresi.

"---Kau selalu melupakannya."

Aku tidak tahan dengan matanya dan melihat ke arah bawah.

"Bahkan ketika kau lupa, aku mempunyai harapan yang sangat tinggi kalau kau akan mengingatnya di waktu selanjutnya. Setiap kali kau menerima pernyataanku, setiap kali kau menyatakan padaku, kau mengangkat harapanku terus menerus. Tapi pada akhirnya kau tidak mengingatnya. Aku dengan cepat menyerah akan harapanku. Tapi kau tahu, jika seseorang menyatakan cinta padamu, kau pasti akan berharap! Lagi pula, sebuah keajaiban pun dapat terjadi. Dan itulah kenapa aku selalu terluka."

Aku tidak bisa membayangkan diriku pacaran dengannya. Tapi Mogi-san membuat nyata apa yang tidak bisa kubayangkan. Dia membuatku jatuh cinta padanya. Mungkin, ini adalah alasan kenapa ingatanku yang bertahan terasa tidak jelas.

Tapi memenangkan hatiku seperti itu pada akhirnya tidak ada artinya.

Tidak ada apa-apa di depan semua itu.

Ketika dia berhasil memenangkan hatiku, semuanya berakhir di sana.

Apa yang menunggunya adalah sebuah cinta sepihak yang sempurna.

Sebuah cinta yang sangat sepihak yang tetap tak terbalaskan bahkan ketika dia mendapatkan perhatianku.

"Oleh karena itu, aku tidak ingin kau menyatakan cinta padaku lagi. Tapi kau tetap datang. Kau tetap bilang kalau kau suka padaku. Dan meskipun aku sangat senang, rasa sakitnya lebih besar lagi... jadi aku tidak punya pilihan lain selain mengatakan hal ini padamu setiap kalinya:"

Mogi-san mengucapkan kata-kata yang pastinya sudah kudengar berkali-kali sebelum ini.

"'Tolong tunggu hingga besok'."

Hatiku terasa seperti disayat-sayat.

Selama ini, dia sendiri lah yang paling terluka karena kata-kata itu - jauh lebih dibandingkan diriku.

Tapi, lalu kenapa dia tidak menghentikan 'Rejecting Classroom' ini saja? Cinta sepihak miliknya tidak akan terbalas. Bahkan jika itu bukan tujuan satu-satunya, dia pasti akan menderita seperti ini.

"Kazu-kun... apa kau mengerti? Itu semua adalah salahmu yang menyebabkanku menderita. Itu semua, semua, semuaaa salahmu."

"Apa-apaan dengan hal tidak masuk akal yang kaukatakan itu?"

Maria menyelanya dengan wajah yang tidak bercanda.

"Sungguh tidak bertanggung jawab. Kau hanya memaksakan tanggung jawab dari rasa sakitmu ke Kazuki karena kau tidak bisa menahan penderitaan dari 'Rejecting Classroom' milikmu lagi."

"...Tidak! Itu salah Kazu-kun yang membuatku menderita!"

"Pikirkan saja apa yang kau mau. Tapi Kazuki tidak berpikir seperti itu. Dia bahkan tidak bisa mengingatmu. Kazuki mempertahankan ingatannya sekarang hanya demi tujuannya sendiri. Bukan untuk hatimu yang sudah membusuk."

"Kenapa... kenapa kau bisa yakin akan hal itu!?"

"Kenapa, kau tanya?"

Maria meluruskan pundaknya dan menyeringai kepadanya.

"Jawabannya gampang."

Dia menjawabnya tanpa ambil pusing.

"Karena aku telah memperhatikan Kazuki Hoshino lebih lama dari siapapun di dunia ini."

"Wha--"

Mendengar kata-katanya yang tajam itu, Mogi-san menjadi tidak bisa berpikir lagi.

Dia mencoba untuk membantahnya, tetapi mulutnya hanya terbuka dan menutup tanpa mengeluarkan kata apa pun.

Aku menutup mulutku karena alasan yang berbeda. Maksudku, itu memalukan ketika seseorang mengatakan hal seperti itu! Sungguh.

"Ti-Tidak, aku pun sudah memperhatikannya sebanyak yang kaulakukan--"

"Waktumu itu tidak berharga sama sekali."

Maria membantahnya dengan argumen yang tidak rasional.

"Apa kau mengerti betapa tidak berharganya waktu miilikmu hanya dengan melihat apa yang telah kaudapatkan? Lihatlah wajahmu sendiri di cermin. Lihat tanganmu. Lihat kakimu."

Di wajah Mogi-san ada darah yang sudah membeku yang mulai berwarna kehitaman.

Di tangan Mogi-san ada sebuah pisau dapur.

Di kaki Mogi-san ada mayat Kokone.

"Silakan, kau bebas membantahnya. Kau boleh mengatakan kalau kau telah memperhatikan Kazuki selama yang kulakukan. Jika kau benar-benar mempercayai kalau kata-katamu itu benar."

Mogi-san terlihat terpukul dan mengalihkan pandangannya ke bawah.

Aku tidak bisa mengatakan apa pun kepadanya.

"......Heh, fufufu. Kau telah memperhatikan Kazu-kun lebih lama dari siapapun di dunia ini? Kupikir itu benar. Mungkin itu seperti yang kaukatakan. Ufufufu, tapi itu tidak berarti apa pun! Kenapa itu harus berarti bagiku?"

Dia tertawa, kepalanya masih mengarah ke bawah.

"Hmpf, kasihan kau. Jadi akhirnya pikiranmu rusak."

"Akhirnya...? Ufufu... apa yang kaukatakan?"

Dia mengarahkan pisaunya kearah Maria, tetap melihat kebawah.

"Apa kaupikir aku masih waras sejak awal?"

Dia mengangkat kepalanya.

"Biarkan aku memberitahumu sesuatu yang bagus, Otonashi-san! Semua yang terbunuh olehku menghilang dari dunia ini!"

Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Jadi, itu tidak ada artinya! Tidak ada artinya seberapa lama pun kau telah mengamati Kazu-kun jika pada akhirnya kau akan menghilang juga!!"

Mogi-san menggenggam pisau dapur itu dan menerjang ke arah Maria. Dengan refleks aku meneriakkan nama Maria. Tapi Maria hanya melihat ke arah Mogi-san dengan bosan, terlihat tidak peduli sedikit pun. Dengan mudah dia menggenggam tangan Mogi-san yang memegang pisau dan mendesaknya hanya dengan seperti itu.

"Ugh..."

Perbedaan kemampuan mereka sangat jelas. Begitu jelas hingga aku merasa malu telah memanggil namanya.

"Maaf. Tapi apa kau tahu, aku telah menguasai semua bela diri utama. Menghentikan seranganmu yang lurus seperti itu semudah memelintir tangan seorang bayi."

Pisau itu jatuh dari tangan Mogi-san dan membuat sebuah suara.

Kehilangan senjatanya, Mogi-san terbengong melihat ke arah pisau yang ada di lantai.

"...Semudah memelintir tangan bayi...?"

Mogi-san berbisik kesakitan dengan pandangannya yang masih terarah ke arah pisau itu.

"......ufufufu"

Dan meski begitu, meskipun seharusnya dia kesakitan, Mogi-san tersenyum.

"Apa yang begitu lucu?"

"«Apa yang begitu lucu?» dia bertanya begitu! Ufu... haha, HAHAHAHAHAHAHA!"

Dia tertawa dengan mulutnya terbuka lebar. Wajahnya yang berlumuran darah, sangat jauh dari senyuman. Meski dia tertawa, ujung mulutnya tidak terangkat sama sekali. Daripada menyempitkan matanya perlahan, dia malah membuka mereka lebar-lebar.

Maria mengerutkan dahinya, mendengar tawa yang keras ini.

"Tentu saja itu lucu!! Lagi pula, kau membandingkan menghentikan tanganku dengan memelintir tangan bayi! Kau, dari semua orang! Kau, Aya Otonashi, melakukan hal itu! Sungguh sebuah mahakarya! Jika bukan sebuah mahakarya, dengan kata apa kita bisa menyebutnya?!"

"Aku tidak bisa melihat apa yang begitu kaunikmati."

"Sungguh? Kalau begitu katakan padaku, apa kau benar-benar bisa memelintir tangan bayi?"

Aku masih tidak bisa mengerti kenapa dia tertawa.

Tapi Maria sepertinya tidak bisa berkata apa-apa.

"Oh baiklah, kau menangkapku. Bagus untukmu. Selamat. Jadi? Apa tujuanmu?"

"......"

"Aku tahu. Lagi pula aku telah mendengarnya berkali-kali. Itu untuk menghentikan dunia yang terus berulang ini, 'kan? Itu untuk mendapatkan sebuah 'box', ya, 'kan? Jadi apa yang akan kaulakukan untuk mendaptakannya? Kau hanya perlu membunuhku kan untuk mengakhirinya, benar, 'kan?"

"...Benar."

"Aku tahu kalau kau telah menguasai berbagai jenis ilmu bela diri itu, Aya Otonashi! Kau sendiri yang telah mengatakannya padaku! Kenapa kau... kenapa kau berlagak seperti kau telah mengungguliku? Bukankah itu menggelikan? Apa kau berpikir aku tidak mengetahuinya? Sungguh memalukan! Itu memalukan, benar, 'kan? Dengar... Aku telah kembali ke masa lalu sebanyak yang kaulakukan, kau tahu? Aku tahu dengan jelas tentang dirimu! Kau melucuti senjataku. Kau memegang tanganku. Memangnya kenapa---?"

Mogi-san kembali ke wajahnya yang serius dan mengatakan kata-kata selanjutnya dengan suara yang pelan.

"Apa yang akan kaulakukan padaku selanjutnya?"

"......"

Maria tidak menjawabnya.

"Oh, kau Otonashi-san yang lemah lembut. Kau, yang tidak bisa membunuhku. Kau yang tidak bisa menyiksaku. Kau yang bahkan tidak bisa mematahkan satu tulang pun. Apa kau mampu memelintir tangan dari seorang bayi yang sangat lemah meski kau dengan begitu elegannya membenci kekerasan? Tidak. Kau tidak bisa. Tentu saja kau tidak bisa."

Oh begitu. Jadi ini adalah alasan utama dari kekalahan-kekalahan Maria.

Segera setelah kekerasan menjadi solusi satu-satunya, Maria tidak bisa melakukan apa pun. Dan Mogi-san sadar akan hal itu.

"Pikirkan saja. Apa kau tidak berpikir kalau aku punya kesempatan untuk membunuh dan 'menolak'-mu selama ini? Apa kau tahu kenapa aku tidak melakukannya, meskipun kau jelas-jelas adalah seorang pengganggu? Bagiku, itu menguntungkan karena kau menyelamatkanku dari kecelakaan itu! Tapi bukan hanya itu. Aku menyadarinya pertama kali ketika kau mengetahui kalau aku memiliki 'box'-nya dan gagal menyudutkanku."

Maria menggertakkan giginya.

"Kau bahkan tidak pantas --- untuk menjadi lawanku."

Beberapa waktu yang lalu, Daiya mengatakan padaku akalau si «Protagonis» kalah dari si «Murid Pindahan» karena perbedaan jumlah informasi mereka.

Tapi perkataan itu salah.

Si Kasumi Mogi«Protagonis» punya informasi lebih banyak dibandingkan dengan si Aya Otonashi«Murid Pindahan».

"Aku sudah bosan dengan pola ini."

Mogi-san dengan nada bosan yang disengaja.

"...Tapi tidak seperti di waktu yang lainnya, sekarang ada Kazuki di sini."

"Yah. Jadi, bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru?"

Mogi-san menendang pegangan pisau dapur itu. Pisau itu berputar-putar di atas genangan darah dan berhenti di depan kakiku.

"Ambil itu, Kazu-kun."

Ambil apa? Pisau itu?

Aku melihat ke arah pisau itu lagi.

Darah yang melumurinya semakin bertambah banyak sekarang. Pisau itu menjadi terlihat merah tua.

"Hey~, Kazu-kun. Apa kau menyukaiku? Jika iya--"

Aku mengangkat wajahku dan melihat bibirnya bergerak.

"--Aku akan membunuhmu. Jadi berikan padaku pisau itu."

---- Apa?

Aku tidak mengerti. Aku tahu apa maksud kata-katanya, tapi aku tidak mengerti apa yang barusan dia katakan padaku.

"Apa kau tidak mendengarku? Kubilang berikan padaku pisau itu supaya aku bisa membunuhmu."

Dia mengulangi kata-katanya lagi. Sepertinya aku tidak salah mendengarnya.

"Mogi, apa kau sudah gila?! Bukankah kau menyukai Kazuki?! Kenapa kau meminta hal seperti itu?!"

"Kau benar. Aku menyukainya! Tapi karena itulah aku ingin dia mati. Bukankah aku sudah bilang kalau itu semua salah Kazu-kun makanya aku menderita? Oleh karena itu, aku ingin dia menghilang dari pandanganku. Bukankah itu kesimpulan yang logis?"

Mogi-san berkata begitu seperti kalau itu memang hal yang normal.

"Sejak awal, memangnya kenapa kaupikir aku akan mengambil umpanmu, meski aku tahu kalau Kazu-kun akan datang? Yah, Aku punya tujuanku sendiri! Aku telah membuat keputusan. ---Keputusan untuk membunuh Kazu-kun."

Mogi-san mengeluarkan kata-kata itu sambil melirik ke arahku.

"Aku bisa 'menolak' Kazu-kun dengan membunuhnya. Dia akan menghilang dari pandanganku. Jika itu terjadi, aku yakin kalau aku tidak akan menderita lagi. Aku akan bisa tinggal di sini selamanya."

"Mogi, Apa-apaan omongan yang tidak masuk di akal---ugh! Ah--"

Maria tiba-tiba merintih dan menunduk ke bawah. Dia memegangi bagian kiri tubuhnya.

"...? Maria?"

Sesuatu tertusuk ke bagian kiri tubuhnya.

...eh? Tertusuk?

"Ah--- Ma-Maria!"

Maria melihat ke benda yang tertusuk di tubuh bagian kirinya. Menggertakkan giginya, dia menarik keluar benda asing itu tanpa ragu. Dia merintih lagi dalam kesakitan. Melotot ke arah Mogi-san, Dia melempar benda yang telah dia cabut.

Aku melihat ke arah benda yang berguling di atas lantai. Itu adalah sebuah pisau lipat.

"Kau lengah. Kau mungkin sudah menguasai semua jenis bela diri, tapi itu tidak membuatmu kebal dengan serangan mendadak. Pisau murahan ini tidak efektif sama sekali melawan para anak laki-laki, tapi itu seharusnya lebih dari cukup untuk tubuhmu yang ramping itu, benar, 'kan? Maaf saja, tapi kekuatan tubuhmu tetap sama di dunia ini tidak peduli betapa banyak pun kau melatihnya!"

Maria mencoba berdiri, tapi sepertinya luka yang dialaminya parah, jadi dia gagal melakukannya. Darah terus mengalir keluar dari bagian kiri perutnya.

"Aku telah melewati berbagai hal juga, kau tahu. Jadi kupikir akan lebih baik jika aku membawanya. Aku selalu membawa pisau ini tersembunyi di tubuhku."

Mogi-san berjalan hingga dia berdiri di hadapanku. Dia menunduk dan mengambil pisau dapur yang jatuh tadi.

"Ah--"

Meski dia sbenar-benar lengah, aku tidak bisa melakukan apapun kecuali bersuara. Aku tidak bisa bergerak, seperti aku telah membatu. Aku tidak bisa melakukan apa pun kecuali tetap berdiri seperti sebuah paku di dinding.

Bukan hanya tubuhku. Pikiranku juga membeku karena tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi di depan mataku.

"Bukankah aku berkata seperti itu, Aya Otonashi? Orang yang pada akhirnya akan menghilang tidak penting."

Mogi-san duduk di atas Maria dan mengangkat pisau dapurnya.

Dia mengayunkannya ke bawah tanpa ragu. Terus menerus. Berulang kali. Hingga napas Maria benar-benar berhenti.

Maria tidak mengeluarkan erangan memalukan sedikit pun selama dia ditusuk... moaning when in pain because someone friggin guts you is disgraceful?-->

"Jika kau tetap hanya menjadi perusak pemandangan seperti sekelompok lalat yang mengelilingi kotoran, aku masih bisa mengampunimu. Tapi tidak, kau sudah mendekati Kazu-kun milikku!"

Mogi-san mengoceh dan berdiri.

Maria tidak bergerak lagi.

Mogi-san melihat ke arah pisau dapur yang telah dia tusukkan ke Maria beberapa kali itu. Lalu dia melemparnya ke dekat kakiku.

Dengan reflex aku melihat ke arah pisau itu. Ke pisau yang sudah berlumuran darah Kokone dan Maria.

"Baiklah kalau begitu, selanjutnya giliranmu Kazu-kun."

Aku menunduk dan dengan ragu menyentuh pisau dapur itu. Aku segera menarik tanganku ketika aku merasakan sensasi licin dari menyentuh darah. Aku meneguk ludah dan sekali lagi mencoba memegang pisau itu. Tanganku gemetaran. Aku tidak bisa menggenggamnya dengan benar. Aku menutup mataku dan memaksa diriku untuk menggenggamnya. Aku membuka mataku lagi. Kenyataan kalau aku sedang memegang senjata yang telah membunuh Kokone dan Maria membuat tanganku lebih gemetaran. Aku hampir saja menjatuhkannya. Aku menggenggamnya dengan kedua tanganku untuk menghilangkan gemetarannya.

Aah, aku tidak bisa.

Aku benar-benar tidak bisa melakukan apa pun dengan pisau ini.

"Apa yang kau lakukan, Kazu-kun? Ayolah... berikan pisau itu padaku!"

Tidak, ini bukan hanya aku. Tidak ada siapapun yang bisa melakukan sesuatu dengan pisau ini.

Itu berarti--

"...Siapa yang membuatmu melakukan semua ini, Mogi-san?"

Mogi-san seharusnya juga tidak bisa melakukan apa pun dengan benda ini. Dia tidak mungkin bisa melakukan hal seperti ini.

Kecuali dia telah dihasut oleh seseorang.

Dia menatapku dengan bingung.

"...Apa yang kaubicarakan? Apa kau mau mengatakan kalau seseorang membuatku melakukan ini? Apa kepalamu baik-baik saja, Kazu-kun? Itu tidak mungkin, 'kan? Benar, 'kan?"

"Tapi aku jatuh cinta padamu."

"......Apa yang mau kaukatakan?"

"Bahkan setelah mengalami lebih dari 20,000 pengulangan, bahkan setelah dipojokkan, kau tidak akan pernah melakukan hal seperti ini, Mogi-san. Gadis yang kucintai tidak akan pernah melakukan hal seperti ini!"

Untuk sesaat Mogi-san tercengang mendengar kata-kataku, tapi kemudian dia melotot kearahku dan menjawab.

"...Oh begitu. Jadi dengan mengguncang emosiku, kau ingin aku mengampunimu ya? Aku kecewa. Aku tidak pernah mengira kalau kau begitu pengecut. Jadi kau benar-benar tidak mau mati demi diriku, ya, 'kan?"

Tentu saja aku tidak mau. Lagi pula, aku tidak ingin mati dan aku tidak percaya kalau dia akan terselamatkan jika aku mati.

"......Kazu-kun, kau berpikir kalau membunuh itu adalah hal yang sangat tabu, 'kan?"

"...Ya."

"Ufufu, betapa jujurnya. Ya, kau benar. Kau sungguh-sungguh benar!"

Dia berkata begitu dan mengintip ke dalam mataku.

"---Jadi, selama hidupmu... tidak, silakan kau tinggal di sini untuk selamanya."

Dia berkata padaku dengan suara yang dingin.

Mungkin karena dia tahu kalau inilah yang paling tidak kuinginkan.

"Karena --- jika aku menyerahkan 'box'-ku, aku akan mati."

Dengan kata lain, dia akan mati jika 'Rejecting Classroom' berakhir? Maria tidak menyebutkan sama sekali tentang hal itu.

"Apa kau mengerti? Dengan keluar dari 'box' ini kau akan membunuhku. Apa kaupikir aku berbohong? Apa kaupikir aku hanya asal mengatakan alasan untuk melindungi 'box' itu? Tidak! Kau akan mengerti jika kau memikirkan tentang hal itu! Maksudku, kenapa kaupikir aku memohon untuk kembali ke masa lalu?"

Kapan saatnya seseorang ingin memutar kembali waktu? Mungkin ketika beberapa tragedi terjadi...?

"Tidakkah kau heran kenapa aku selalu tertabrak oleh truk itu? Sejujurnya, ada waktu ketika Aya Otonashi mengorbankan dirinya untukku... ah, omong-omong, ada juga waktu ketika kau mengorbankan dirimu. Tapi, hampir setiap kali itu hanya aku, 'kan?"

"Ah---"

Jangan bilang---

Akhirnya aku menyadari sebuah penjelasan yang mungkin.

Kenapa Mogi-san tidak mengakhiri 'Rejecting Classroom'?

Kecelakaan lalu lintas itu adalah sebuah fenomena yang pasti terjadi di dalam 'Rejecting Classroom'. Seseorang, terutama Mogi-san, selalu terkena kecelakaan itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi itu sudah menjadi kepastian.

«Kupikir --- begitu sesuatu telah terjadi, itu tidak bisa lagi menjadi tidak terjadi.»

Aku pernah mengatakan kata-kata itu sekali. Maria menjawab dengan kalimat berikut. 'Pemikiranmu itu wajar. Dan sepertinya, si pembuat dari 'Rejecting Classroom' ini juga berpikir sepertimu'.

Jadi, misalkan aku punya kesempatan untuk menghancurkan 'box'-nya. Bukankah melakukan itu sama artinya dengan---

"Apa kau sudah siap untuk membuatku menjadi korban kecelakaan?"

---membunuh gadis yang kucintai?

Sebuah suara yang tumpul terdengar. Aku pertama-tama heran suara apa itu sebenarnya, tapi akhirnya aku menyadari kalau pisau di tanganku telah jatuh ke lantai.

"Kau bahkan tidak bisa menyerahkan pisau itu padaku? Sungguh menyedihkan..."

Mogi-san berjalan ke sisi-ku. Dia mengambil pisau itu.

Dia mungkin akan membunuhku sekarang.

Karena dia telah melakukan begitu banyak dosa, dia hanya bisa membenarkan dirinya dengan terus melakukannya. Jika dia tidak melakukannya, dia akan hancur oleh nuraninya sendiri. Dia sudah tidak bisa kembali lagi. Dia telah kehilangan cara untuk mengontrol dirinya, jadi dia akan mengamuk dan membunuhku.

Sepertinya --- «Kasumi Mogi» berhenti menjadi «Kasumi Mogi» ketika dia membunuh korban pertamanya.

Di wajahnya yang tanpa ekspresi itu adalah darah dari dua gadis.

Dia membungkuk hingga sejajar denganku karena aku tidak bisa berdiri.

Dia melingkarkan tangannya di sekitarku dengan pisau di tangannya. Dia menaruh tangannya di belakang leherku dan mendekatkan pisaunya ke arteri carotid di leherku.

Wajah Mogi-san mendekat, lalu dia membuka mulutnya.

"Tolong tutup matamu."

Aku menutup mataku seperti yang dia katakan padaku.


Sesuatu yang lembut menyentuh bibirku.


Aku segera menyadari apa yang menyentuhku.

Pada akhirnya, sebuah emosi tertentu meluap di dalam diriku. Emosi yang tidak muncul bahkan ketika aku melihat mayat Kokone atau di saat aku melihat Maria ditusuk.

Itu adalah kemarahan.

Aku --- tidak bisa memaafkan hal ini.

"Ini bukan pertama kalinya aku menciummu, kau tahu? Tapi maafkan aku karena semuanya selalu begitu dipaksakan."

Aku tidak bisa memaafkan ini. Yang kumaksud, aku bahkan tidak bisa mengingat hal itu. Dan aku yakin aku tidak akan bisa mengingatnya kali ini juga.

"Selamat tinggal, Kazu-kun. Aku mencintaimu!"

Apa dia benar-benar puas dengan memori yang tidak bisa dia bagi dengan siapapun? Yah, Mogi-san mungkin saja puas dengan hal itu, melihat bagaimana dia telah terbiasa sendirian sekarang.


Sebuah rasa sakit yang menyengat terasa di bagian belakang leherku.

Aku menghianati permintaan Mogi-san dan membuka mataku.

Mogi-san menjadi marah tapi aku tidak bisa mengalihkan pandangannnya tepat waktu. Aah, akhirnya mata kami bertemu.

Aku menggenggam tangannya.

Di ujung mataku, aku bisa melihat bagaimana cairan merah mengalir dari leherku menuju tangannya dan menetes ke bawah.

"...Apa yang kaulakukan?"

"Aku... tidak bisa memaafkan..."

"Kau tidak bisa memaafkanku? Fufu... Aku tidak peduli. Aku sadar akan hal itu. tapi itu tidak penting! Lagi pula ini sudah perpisahan."

"Bukan itu."

"...Lalu, apa?"

"Bukan kau yang tidak bisa kumaafkan. Yang tidak bisa kumaafkan adalah 'Rejecting Classroom' yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-hari!"

Aku menguatkan genggamanku di pergelangannya. Tangannya yang mungil tertekan oleh tanganku. Sesaat penglihatanku menjadi gelap. Pendarahan di leherku mungkin fatal.

"Le-lepaskan aku---!"

"Tidak akan!"

Aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku yakin kalau aku tidak bisa membunuhnya. Tapi aku dengan jelas menyadari satu hal: 'Rejecting Classroom' ini tidak bisa dimaafkan. Oleh karena itu aku tidak boleh menghilang sekarang.

"Biarkan aku membunuhmu! Tolonglah, biarkan aku membunuhmu!"

Dia berteriak. Meskipun seharusnya itu adalah kata-kata penolakan, itu terdengar seperti kalau dia menangis karena kesakitan. Hampir seperti sebuah ratapan.

...Ah, aku mengerti. Akhirnya aku sadar.

Dia menangis.

Di penampilannya, dia tanpa ekspresi seperti biasanya. Dia tidak meneteskan air mata sedikit pun. Aku melihat lurus ke arahnya. Dengan segera dia mengalihkan pandangannya. Kakinya yang kurus dan lemah bergetar sepanjang waktu. Dia tidak bisa menyadari perasaannya sendiri, karena dia telah kehilangan ekspresi wajahnya. Dia bahkan tidak bisa menyadari kalau dia menangis. Air matanya tidak mengalir lagi. Mungkin mereka sudah lama kering.

Maaf aku tidak menyadarinya lebih cepat.

"Aku tidak akan membiarkanmu membunuhku. Aku tidak akan membiarkanmu menolakku."

"Jangan bercanda denganku! Jangan menyiksaku lebih dari ini!"

Maafkan aku, tapi aku tidak bisa mendengarkan permohonan itu.

Maka--

"Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini!"

Aku berteriak.

Mungkin itu hanya imajinasiku saja, tapi aku merasa kalau Mogi-san menjadi tenang sesaat.

Meski begitu...!

"Ah---"

Pandanganku berubah gelap sepenuhnya. Sebuah benturan di tulang pipiku mengembalikan penglihatanku sementara. Pemandangannya telah berubah. Sepatu Mogi-san yang berlumuran darah berada tepat di depan mataku. Tanganku tidak menggenggam pergelangan tangannya lagi, tapi terbaring tanpa tenaga di atas lantai.

Dia tidak melakukan apa pun terhadapku. Aku hanya terjatuh sendiri.

Meski aku yakin kalau aku sudah menemukan sebuah cara untuk meyakinkannya, aku tidak bisa bergerak lagi sekarang. Aku bahkan sulit untuk menggerakkan mulutku.

"Aku sungguh bodoh."

Aku mendengar suaranya.

"Hanya karena ini, hanya karena kalimat seperti itu, aku---"

Aku tidak tahu seperti apa wajahnya terlihat ketika dia mengatakan hal itu, karena aku tidak bisa mengangkat wajahku.

"............Aku harus... membunuh. Aku harus membunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Aku harus membunuh."

Seperti menginstruksikan dirinya sendiri, dia mengulangi kata-kata yang sama.

Sepatunya bergerak. Darah seseorang terciprat ke wajahku. Aku melihat cahaya pantulan dari pisau dapur itu sedikit. ---Ah, dia berniat menggunakannya.

"Sekarang ini benar-benar perpisahan, Kazu-kun."

Dia menunduk dan pelan-pelan mengelus punggungku.

"---Aku harus membunuh..."

Dan kemudian dia menusukkan pisaunya ---

"--Aku harus membunuh diriku sendiri."

--- ke tubuhnya sendiri.


Balik ke Ke-27,755 kali (2) Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Ke-27,755 kali (4)