Fate/Prototype: Fragments of Sky Silver (Indonesia):Volume 1 Act 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Act 1[edit]

Si gadis mahakuasa telah jatuh cinta



Bagian 1[edit]

Engkau yang bersinar ————
Tulus, berwibawa.
Dan baik hati.

Senyummu yang bersinar lembut, layaknya matahari pagi.
Engkau, yang baik hati, taat pada keadilan, dan mencintai kebaikan.
Meskipun membenci pertikaian, engkau lebih kuat daripada siapapun saat mengangkat pedangmu.
Pedangmu yang bersinar menghapus segala bentuk kejahatan dari dunia ini.

————Pangeran yang berasal dari sebuah kisah dongeng.

Di dunia nyata, tidak ada yang namanya seorang pangeran.
Mencarinya hanyalah hal yang sia-sia.
Karena kenyataan lebih kejam dan keras.
Kami dibesarkan dengan diajarkan seperti itu.
Oleh orangtua kami, oleh guru-guru kami.
Atau mungkin oleh dunia itu sendiri.

Lihatlah, betapa kejam, betapa kerasnya.
Hitam adalah warna yang menyelimuti dunia.
Warna keabuannya tak akan puas sebelum menyelimuti semuanya.

Tidak ada yang namanya pangeran, ataupun kuda putih.
Tidak ada di dunia ini yang seperti di dalam dongeng-dongeng.

Tapi, kita tahu.
Seorang pangeran pasti ada di suatu tempat di dunia ini.
Ya, benar. Kita tahu itu.

Jika ada sebuah kejadian seperti di dalam kisah dongeng, maka pasti pangeran ada di dunia ini.
Ya.

Kita tahu.

Bahwa dirimu “Yang Bersinar”... pasti ada di dunia ini.
Engkau, sang “Takdir”, pasti ada di dunia ini.

Terpisahkan, tapi saling bersentuhan, di dalam waktu————

Dan pada suatu hari nanti, akan saling bergandengan.
Sambil membersihkan kegelapan di dunia.

Berpakaian biru dan perak.
Sambil memegang pedang bersinarmu yang lebih cerah daripada apapun————

————Engkau akan datang, ke sini.

Logo.png

Bagian 2[edit]

Yang sudah tiada tak bisa dibawa kembali.
Yang telah hilang tak akan pernah kembali lagi.
Seberapa besar pun sebuah mukjizat,
hanya mampu untuk mereka yang masih hidup di saat ini.

Keselamatan akan datang kembali di dunia yang berakhir.
Kota Suci akan bangkit kembali.
Kerajaan yang akan mengadili semuanya.

Dan dari gelombang ombak kejauhan,
Yang berkepala tujuh bermahkota sepuluh akan datang.

Wahai Kau yang bergelimang penuh dosa.
Musuh adalah nama Kau.
Ketamakan adalah hati Kau.
Mengamuk di atas Bumi, merubah ucapan Pujian menjadi Penghinaan.

Di fondasi dari mukjizat yang melingkupi dunia.
Di atas kontradiksi ini, kasih sayang yang telah hilang dari Tuhan akan dibuktikan kembali[1].

Bagian 3[edit]

Perang Cawan Suci.
Adalah pertempuran berdarah, di mana kami para magus akan mempertaruhkan nyawa kami demi terkabulnya sebuah permohonan.
Tujuh Servant dan Tujuh Magus yang memperoleh gelar tingkatan malaikat.
Tujuh Roh Pahlawan yang di masa hidupnya menemui "kematian yang tak diduga" akan bangkit kembali ke dunia modern untuk waktu sementara dengan menempati wadah untuk jiwa mereka, dan disebut sebagai Servant, berkumpul ke sisi para Magus yang merupakan Master mereka, dan akan saling membunuh satu sama lain hingga satu saja Servant yang tersisa di akhir. Sebuah pertarungan brutal yang melebihi akal manusia.

Magus, Servant.
Demi mewujudkan permohonan mereka, bersama-sama.
Pada tahun 1999 Masehi.
Akhir dari sebuah millenium.

Perang Cawan Suci yang baru akan dimulai di sini, di Tokyo----Yaitu Tanah Yang Dijanjikan dari ujung Timur.

Dan sekarang.
Seorang Servant berdiri di hadapan mataku.

Ia, yang memiliki mata hijau.
Ia, yang mengenakan baju besi perak.
Servant tingkat pertama, yang bersumpah untuk bertempur bersamaku di Perang ini, mendekap di sisiku, yang merupakan Master yang berada di tingkat terbawah dari tujuh tingkatan malaikat, Prinsipal.
Engkau, seorang kesatria yang bersumpah untuk melindungiku.

Saber.
Bagiku di masa itu, engkau terlihat begitu tinggi.
Tanpa kusadari, aku melihat dirimu seolah-olah sedang berada di 8 tahun yang lalu.

8 tahun yang lalu.
Pada waktu itu, engkau mungkin sedang bertempur di suatu tempat yang tidak kuketahui di sisi kakakku.

Dan tetap saja.
Masih ada banyak sekali hal yang tidak kuketahui.

Tentang dirimu.
Tentang Papaku.

Tentang apa makna dari yang disebut Perang Cawan Suci ini.
Apa artinya itu bagimu?
Atau apa yang sebenarnya kakakku lakukan pada waktu itu?

Kakakku————
Manaka Onee-chan[2].

Seseorang yang bersinar lebih dari siapapun.
Seseorang yang bergabung di dalam Perang Cawan Suci 8 tahun yang lalu, bersama denganmu.
Walaupun ada banyak sekali hal yang aku tidak ingat bahkan sampai sekarang, karena pada waktu itu aku masih begitu kecil, tapi tentu masih ada beberapa hal yang aku ingat.

Ya, dan untuk contohnya.
Aku, selalu, tentang kakakku————

Bagian 4[edit]

Cahaya kilau dari matahari, masuk melewati celah dari korden yang tertutup. Burung-burung berkicau memberitahukan waktu sembari bertengger di batang setiap pohon di balik jendela. Tanda dari tibanya pagi hari. Kedinginan dan kegelapan malam menghilang entah ke mana seperti kebohongan, hari yang seharusnya menjadi 'esok hari' sebelum dia tidur, sekarang telah menjadi 'hari ini'.

Ayaka: "Uu---"

Sambil menggosok mata beratnya, Ayaka Sajyou bangun dari tidurnya di ranjang lembutnya. Cahaya dari matahari. Kicauan burung-burung. Walaupun dia tidak membenci tanda-tanda dari pagi hari yang membuat nyaman dan menyegarkan itu, dia tidak terlalu bisa menggemari kedatangan dari pagi hari itu sendiri.

Ayaka: (Sudah pagi, ya.)

Dia tidak menyangkal kalau dia menyukai sensasi nyaman dari ranjangnya yang menjaga kehangatan di suhu yang tepat. Membahas soal apa yang dia gemari, dia masih lebih ingin terlelap saja, merebahkan badannya sambil merasakan kehangatan yang nyaman seperti ini.

Ayaka: (Jam wekernya... masih belum berdering...)

Memegang harapan, dia meraih jam digital yang dia tempatkan di sisi ranjang, sambil menutupi kepalanya dengan selimut. Udara dingin menyentuh tangan kanannya saat dia mengulurkannya. Jika dia disuruh untuk memilih sensasi yang mana yang lebih dia sukai, maka dia lebih menyukai ini. Tapi bagaimanapun, hal yang dingin tetaplah dingin. Karena itu, dia secepatnya mengambil jam tersebut dan memasukkannya ke dalam selimut.
Itu adalah jam yang berkualitas tinggi, menampilkan hari, tanggal, dan tahun Masehi. Benda itu diberikan kepadanya sebagai hadiah ultahnya tahun lalu. Walaupun dia lebih menginginkan hal yang lebih manis, dia telah menggunakan jam tersebut selama lebih dari setahun, dan tak pernah berniat untuk mengeluh pada Papa nya.

[1991]

Dia dapat selalu memastikan waktu, dengan secara tak sadar matanya langsung melirik sekilas pada tampilan tahun Masehi.

[6:14 AM]

6: 14 AM.
Jika dia adalah 'memang' gadis seumurannya, maka pastinya, pada jam segini kebanyakan orang akan kembali tidur. Tetapi, karena gaya hidup Ayaka yang berbeda dari gadis SD pada biasanya, dia memutuskan untuk mematikan jam wekernya sambil menggumamkan ".....sempurna," sambil membuat wajah kusut saat matanya menatap pada tampilan digital pada jam. Waktu yang diatur pada jam weker adalah 6:15 AM. Karena itu, sempurna! Dia tak bisa terus terbaring di tempat tidur seperti ini. Menggeliat, dia merangkak keluar dari selimut.

Menggeliat, dia melepaskan piyamanya. Seperti yang sudah diduga, udara pagi masih sangat dingin. Dingin. Dia mengambil baju gantinya yang sudah dilipat rapi dan ditempatkan di kursi meja sebelum dia tidur semalam. Dia mengganti baju lebih cepat daripada saat melepaskannya. Sejak kapan, dia sudah bisa mengganti baju dengan mandiri? Dia sudah bisa melakukannya setidaknya semenjak dia masuk ke SD. Dan lagi, ia tidak ingat siapa yang mengajarinya mengganti pakaian. Entah itu oleh Bundanya atau Papanya, dia tak tahu pasti.

Walaupun dia berpikir kalau itu mungkin bukanlah Papanya. Meski ia tidak dapat mengingatnya, mengejutkan kalau ia bisa melakukannya.

Ayaka: "Baiklah!"

Selesai berganti baju, dia berdiri di depan cermin di samping lemari. Dia sudah benar-benar berganti baju dengan rapih. Baiklah. Jas merah cerah ini adalah kesukaannya Ayaka. Menurutnya, kancing merahnya lucu dan lumayan bergaya. Sambil memeriksa jam yang menggantung di dinding, dia menyisir rambutnya dengan cepat, karena rambutnya tidak begitu panjang.
Tidak apa-apa. Dia pasti bisa tepat waktu. Perasaannya berpacu, karena sudah hampir pada waktu yang ditetapkan.

Ayaka: (......Aku harus bangun lebih cepat kalau aku memang ingin memasak)

Walaupun dia bisa mengganti baju sendiri, tapi dia masih belum bisa memasak. Itu adalah tugas yang diserahkan pada Papanya. Papanya melakukan hampir semua pekerjaan rumah sendirian. Pernah ada hari-hari dimana masih ada seorang pembantu, tapi sekarang, Papanyalah satu-satunya yang mengurus tanah keluarga Sajyou yang luas, yang memiliki banyak sekali ruangan yang tak bisa dimasuki. Ayaka hanya membantu jika diizinkan Papanya.

Ayaka: “Harusnya sekarang Papa sudah bangun.”

Papanya pasti terjaga lagi semalam. Walau sudah pasti Papanya yang akan menyiapkan sarapan lagi untuk pagi ini, namun Ayaka tidak terlalu bisa membantunya. Tetapi setidaknya, Ayaka bisa membantu menata meja makan. Tapi, selain dari hal itu, Ayaka punya kegiatan lain pada pagi hari. Sebuah rutinitas wajib sehari-hari. Dan itu adalah———latihan Witchcraft-nya. Belajar, dan berlatih.


Udara di koridor terasa lebih dingin daripada dalam kamarnya. Udara yang dia hembuskan berwarna putih. Sambil menghangatkan kedua tangannya dengan napasnya, dia mulai berjalan menuju kamar mandi. Setelah meletakkan bangku kaki yang dibuatkan oleh Papanya untuknya, Ayaka berdiri di atasnya, lalu membasuh mukanya dengan air dingin, tak memedulikan udara yang dingin. Sensasi pagi yang halus dan lembut langsung menghilang. Menjernihkan pikirannya, serta jejak-jejak kantuk pun ikut menghilang.

Sambil menganggukkan “ya”, dia mengelap wajahnya yang basah dengan handuk. Ayaka melihat ke cermin, lalu ia menyadari kalau dia tidak menahan poni nya dengan pin, setelah dia merasakan kalau poninya basah kuyup. Terlihat di cermin, kalau wajah Ayaka berubah menjadi kesal.

Ayaka: “Jangan membuat ekspresi aneh, Ayaka.”

Ayaka mengangguk lagi sambil mengucapkan “ya.” Dia kembali ke koridor. Dan pada saat itu, dia menyadari satu hal.

Ayaka: “Huh?”

Bau apa ini? Baunya harum. Apakah itu bau dari sarapan dari rumah ini, atau dari sarapan tetangga? Walaupun tidak akan aneh jika bau itu sebenarnya adalah bau bakon dan telur yang sudah jadi menu sarapan sehari-hari keluarga Sajyou, tapi juga tercium seperti bau dari makanan lain. Tapi mana mungkin dia bisa mengetahuinya, karena dia belum mempelajarinya, dan juga belum diizinkan memasak. Sambil berpikir di sudut pikirannya, “Bau apa ini?”, dia terus melanjutkan berjalan di koridor. Setelah sampai di ujung koridor, dia berbelok. Ayaka berbelok menuju Taman. Setelah keluar dari kamar mandi, dia membuka pintu yang dia lewati sebelumnya, dan pergi ke luar. Setelah membuka pintu kaca di ujung yang lain, dia meneruskan perjalanannya di jalan terusan.

Pada akhirnya, dia sampai. Bahkan jika dia memberitahu pada teman sekelasnya kalau rumahnya besar, itu karena dia sudah tinggal di rumah tersebut dalam waktu yang lama, tapi walaupun dia merasakan kehampaan beberapa kali di rumahnya, dia bisa merasakan kehidupan di Taman. Atau sebenarnya, yang dia maksud itu besar, atau lapang? Akan tetapi, itu tidak membingungkan. Walaupun dia merasa kalau itu adalah perjalanan yang jauh. Walaupun dia merasa berat dalam melakukan rutinitasnya. Dia tidak membencinya, karena dia bisa datang ke sini.

――――Itu bukanlah kebun, ataupun pekarangan.
――――Itu adalah Taman.

Pepohonan hijau yang subur. Bunga-bunga. Bermacam-macam jenis tumbuhan. Selain itu, juga ada beberapa burung merpati. Mereka berkumpul di kaki Ayaka, beberapa beterbangan ke arahnya, karena mereka menyadari kehadiran Ayaka. Terlalu banyak tanaman untuk disebut pekarangan, dan tidak terlalu besar untuk disebut kebun. Ayaka menyebutnya Taman, karena dirasa lebih cocok. Walaupun dia selalu bertanya, “Kenapa menyebutnya Taman?” pada saat dahulu, tapi Papanya tidak memberikan jawaban. Papanya hanya sekedar mengangguk tak jelas. Jadi, Ayaka memutuskan untuk berpikir seperti ini: Jika bukan Papa yang menamainya, berarti Bundalah yang menamainya. Jika Ayaka bisa mengklasifikasikannya lebih tepat, tempat ini adalah Rumah Kaca (untuk tempat budidaya tumbuhan).

Bahkan saat ini pun, atapan dan dinding kacanya menangkap banyak sekali cahaya matahari pagi. Entah itu adalah “untuk upaya melawan hujan asam”, atau “Papamu orang yang luar biasa”, walaupun guru sekolahnya berkata seperti itu saat berkunjung, Ayaka tidak tahu apakah itu memang alasan di balik rumah kaca ini. Kalau sedari awal, apakah memang Papanya yang membuat Taman itu?

Ayaka: “Selamat pagi.”

Bukan pagi, tapi selamat pagi. Sambil berusaha untuk mengabaikan merpati yang mengikutinya, dia menyapa tempat privasinya yang terbuat dari kayu, dan tidak memiliki dinding dari kaca. Di dekatnya ada tumpukan buku dan botol medis yang tidak seharusnya terkena sinar matahari. Itu adalah tempat yang mirip dengan tempat penelitian Papanya. Tempat yang merupakan tempat belajar pagi untuk Ayaka. Walaupun———

Ayaka: “Huh?”

Ayaka memiringkan kepalanya. Papanya harusnya sudah ada di sini pada jam ini, seperti biasanya. Dari 6:30 am hingga 7:30 am, satu jam sebelum sarapan, Ayaka mempelajari Witchcraft dari Papanya. Itulah rutinitas sehari-hari Ayaka. Tapi, tidak ada orang lain di sana.

Ayaka: “Papa.”

Papanya mungkin ada di suatu tempat di Taman ini, tapi nyatanya memang tidak ada satupun orang di situ. Dengan pelan, Ayaka memanggil Papanya. Satu detik. Dua detik. Tidak ada jawaban. Hanya ada merpati-merpati yang berkerumun di kakinya.

Ayaka: “Aku tak berbicara pada kalian……”

Kalau dipikir-pikir lagi. Apakah hari ini adalah hari di mana Papanya tidak bisa mengajarinya Witchcraft? Walaupun begitu, itu tidak merubah apa yang harus dia lakukan. Latihan Teknik Magi ini sudah jadi rutinitasnya, dan tidak pernah ada pagi hari di mana ia boleh tidak melakukan apa-apa, karena itu juga adalah salah satu perintah Papanya. Setidaknya, tidak ada alasan bagi Ayaka untuk kesal karena Papanya tidak memberitahu tentang hambatan ini sebelumnya. Karena itu, Papanya mungkin sudah mengatakan padanya sesuatu pada pagi ini, atau mungkin semalam.

Dan sekarang Ayaka menyadarinya———

Ayaka: “Sesuatu...”

———Itu.

Ayaka: "Telah dimulai.”

———Akan segera dimulai.

Ayaka: “Dan oleh karena itu...”

Kita harus berpartisipasi di dalamnya.

Ayaka: “Ummm...”

———Itu merupakan harapan terbesar keluarga Sajyou.
———Bukan, itu dibutuhkan untuk mencapai ambisi terbesar seluruh magus.

???: “Sudah dikatakan sebelumnya; jangan berbicara pada merpati, Ayaka.”

Suara yang sudah biasa dia dengar. Ayaka pun langsung berbalik ke arah suara tersebut. Sosok tinggi tersebut langsung menutup pintu masuk kaca Taman. Karena kilau dari cahaya matahari, dan karena bayangan yang menutupi wajah dirinya, Ayaka tidak tahu sosok tersebut sedang memasang ekspresi apa.

Ayaka: "Papa."
Hiroki: "Jangan berbicara pada yang akan menjadi tumbal. Kita tidak boleh merasa simpati pada tumbal. Simpati hanya akan membuat Witchcraft menjadi kacau dan mengarahkan tumbal kepada kebimbangan dan keraguan. Harus berapa kali Papa beritahu padamu?”
Ayaka: "...Baik.”

Ayaka mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Ayaka ingat kalau Papanya sudah sering mengatakan soal ini. Walaupun Ayaka sudah berusaha untuk mengabaikan mereka, tapi pada akhirnya dia tetap berbicara pada merpati-merpati itu. Merpati-merpati yang sudah melekat secara emosional kepada Ayaka. Tadinya hanya ada beberapa saja yang ada di Taman, tapi sekarang, hampir ada 10 ekor yang berkerumun di kakinya.

Hiroki: "Manusia dan merpati tidak bisa bertukar kata, jadi jangan berbaur dengan mereka. Sedari awal pun mereka bukan makhluk yang harus disimpatikan, dan Papa yakin kamu yang masih kecil pun bisa mengerti akan hal itu."
Ayaka: "......"
Hiroki: "Ini demi dirimu sendiri, Ayaka."

Papanya sudah memberitahunya tentang ini berkali-kali. Dia memberitahunya, dan tetap saja dia akan terus memberitahunya setiap pagi. Ayaka sendiri, sudah berusaha agar bisa memenuhi harapan Papanya. Tetapi, merpati-merpati tersebut selalu saja menempel padanya, apapun yang Ayaka lakukan——Selain itu, walau dia hanya bisa mematuhi perintah Papanya, tapi dia juga merasa kalau dalam bersamaan dia menentangnya.

Hiroki: "Kamu tidak bisa memisahkan Pengorbanan dengan Witchcraft. Karena Penderitaan dari tumbal adalah sumber dari kekuatannya."

Ayaka juga sudah mendengar soal ini berkali-kali. Dia mendengarnya setiap pagi. Walaupun oleh Ayaka yang pelupa, dia tak akan pernah melupakan hal ini.

Ayaka: "Baik, Papa. Aku akan lakukan yang terbaik."

Bergumam kecil.
Ayaka menaikkan kepalanya yang tertunduk. Dan di ujung dari pandangannya yang masih ke bawah, adalah merpati putih yang mematuk-matuk ujung sendalnya.

Hiroki: "Baiklah, Papa biarkan untuk pagi ini. Kamu pergilah ke ruang makan."
Ayaka: "Eh?"

———Eh?

Dia tidak tahu harus berkata apa. Karena dia tidak pernah diizinkan untuk meninggalkan Taman hingga waktu makan tiba di setiap pagi. Ayaka akhirnya benar-benar menaikkan kepalanya. Papanya tidak menatap padanya. Tatapannya seperti lebih tertuju pada kamar Bundanya. Ke mana arah pasti pandangannya, Ayaka tidak tahu. Jika Papanya melihat ke arah itu, maka mungkin, ruang makan———


Hiroki: "Sudah waktunya sarapan. Kamu bisa menemani Manaka pada pagi ini."

Bersama-sama mereka kembali ke koridor yang tadi Ayaka lewati. Ayaka tidak bisa menanyakan, "Kenapa?" Karena perintah Papanya adalah mutlak, dia hanya mengangguk dan mengatakan "Baik." Dia tidak memedulikan saat Papanya memarahinya saat jawabannya harusnya adalah "Ya." Pertanyaan dari "kenapa," yang tidak bisa dia ungkapkan, menyebar di seluruh kepala Ayaka dan menjadi kolam raksasa yang mengalir ke segala arah.

Ayaka: "......"

Ayaka terpaku pada punggung Papanya, yang berjalan sedikit lebih jauh darinya. Bisakah Ayaka mengungkapkan "Apa maksud Papa?" Apakah ia masih tidak bisa mengungkapkannya? Kesan dirinya terhadap Papanya, adalah jenis seseorang yang tidak banyak bicara kecuali jika menyangkut tentang Magi. Contohnya, Papanya tidak akan menjawab bila ditanyai soal Bundanya. Atau bahkan tentang asal usul dari Taman. Jika ditanyai hal-hal itu, Papanya hanya akan mengangguk.
Namun tetapi———

Hiroki: "Manaka..."

Papanya membuka mulut. Rasanya itu aneh.
Dengan tanpa memandang ke arah putriknya.

Hiroki: "Mengenai sarapan. Maaf, tapi bisakah kamu temani dia?"
Ayaka: "Onee-chan?"
Hiroki: "Dia pasti lebih memilihmu, daripada Papa."
Ayaka: "Huh?"

Ayaka memiringkan kepalanya, tidak mengerti apa yang sebenarnya Papanya katakan. Setiap sarapan, dia selalu bersama dengan Papa dan kakaknya, dan keluarga Sajyou selalu melakukan sarapan hanya dengan ketiga orang tersebut, jadi, tidaklah aneh untuk Papanya mengatakan kalau kakaknya ada di ruang makan. Tetapi, jika memperhatikan waktu yang berlalu begitu cepat. Mungkin, saat ini masih baru pukul 6:30 am.

Ayaka: "Apakah Onee-chan, lapar?"

Saat dia mengatakan itu, Ayaka merasakan ada sesuatu yang berbeda.
Kakaknya———
Kakaknya yang berumur 6 tahun lebih tua daripadanya, Manaka Sajyou. Keberadaan kakaknya, adalah spesial bagi Ayaka. Dia tak bisa membayangkan kalau dia akan mengatakan "Onee-chan adalah anak kecil biasa," atau "Aku ingin sarapan, jadi cepatlah!" pada kakaknya. Dia tidak akan mengatakan itu. Dia bahkan memegang kepercayaan di dalam hatinya, kalau dia tak akan pernah mengatakan itu. Itulah mengapa, dia tidak mengerti apa maksud dari perkataan Papanya.

Hiroki: "Sepertinya, dia ingin kamu memasak."
Ayaka: "Memasak?"

Berkali-kali dan tak terhitung lagi, betapa seringnya dia melihat kakaknya memasak. Tetapi, tidak bisa dikatakan, kalau Kakaknya hanya melakukannya sendirian, kapanpun Papanya tak bisa melakukannya karena terlalu sibuk. Walaupun, dari cara bicara Papanya seolah-olah mengatakan, kalau itu adalah keinginan dari Kakaknya sendiri, dan kakaknya sendiri yang mengatakan pada Papanya kalau dia memang menginginkannya.

Ayaka: "Onee-chan mengatakan itu?"
Hiroki: "Benar."
Ayaka: "Begitu..."

Ayaka mengangguk, pelan. Walaupun dia berpikir kalau itu aneh dan bertanya-tanya kenapa, tentunya, adalah karena Kakaknya sendirilah yang mengatakan itu. Jadi Ayaka berpikir, “kalau sekarang adalah waktunya untuk menunjukkan kalau aku bisa memasak dengan sempurna”.
Lagipula———

Bagian 5[edit]

Lagipula, Onee-chan memang orang yang luar biasa.
Dia cantik, pintar, dan oh ya, manis, dan seseorang yang bisa melakukan apapun.

Manaka: "Ayaka, boleh minta tolong ambilkan piring? Dan roti panggang juga."
Ayaka: "Baik, Onee-chan."
Manaka: "Ah, bukan yang itu. Karena ini untuk telur mata sapi dan bakon, jadi lebih bagus yang kecil saja. Lihat, kamu harus memisahkan mereka terlebih dahulu. Dan yang tersisa, ah, potong roti dengan tipis, jangan tebal."
Ayaka: "Ah, B-Baik----"

Bahkan saat ini pun, Onee-chan seperti itu. Lihai, bahkan di dapur. Tapi, dia terlihat begitu anggun. Walaupun sudah tak terhitung lagi seberapa sering kakak yang berada di dapur daripada Papa, rasanya berbeda saat ini, aku merasa kalau Onee-chan menyiapkan itu semua karena dia harus.

Dengan efisien, dan ahli.

Dengan caranya pada saat ini———rasanya bukan seperti Onee-chan lihai seperti para koki, dan rasanya tidak seperti Onee-chan menjadi cantik seperti "Bunda". Kali ini benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya. Walaupun sebelum-sebelumnya Onee-chan pun luar biasa. Sebenarnya apa yang kupikirkan ini? Bahkan kata-kata yang memiliki "luar biasa" yang sama, apa maksudku tentang itu...? Wataknya? Aku merasa kalau hal seperti itu berbeda.

Lihat, ada banyak item pada menu. Aku bisa tahu kalau itu berbeda hanya dengan melihatnya. Sebelumnya, kami punya menu susu, salad, bakon, dan roti panggang dengan telur. Tapi sekarang, ada bakon, roti panggang telur, salad, susu, kue pie, ikan kod dan kentang goreng, keju dan daging ham, bubur dan scone[3], teh hitam, dan kemudian, ada buah plum dan persik sebagai pencuci mulut. Ada banyak sekali, rasa-rasanya aku tidak mungkin bisa memakan semuanya!

Dengan sangat cepat melakukan ini dan itu, Onee-chan membuat semuanya dengan sangat akurat. Bahkan jari-jari putihnya yang menggenggam pisau dapur, membuatku menghela napas hanya dengan melihatinya. Walaupun, kami hanya memiliki 6 tahun perbedaan umur di antara kami. Dan kenapa Onee-chan, kenapa orang ini begitu cantik? Walaupun aku juga adalah gadis yang manis di SD-ku, tapi kami terlalu berbeda, Onee-chan itu———

Manaka: "Terima kasih, Ayaka. Fufu, kenapa mulutmu terbuka begitu lebar?"
Ayaka: "Uhhh..."

Aku tak bisa mengatakan, kalau itu adalah karena Onee-chan begitu cantik.

Manaka: “Kenapa?”


Manaka Onee-chanku, yang begitu cantik. Dapur terasa seperti bagian dari aula istana yang megah, dan Onee-chan bagaikan seorang putri yang sedang menari-nari di dalamnya. Memasak begitu banyak makanan, dia terlihat begitu senang. Walaupun aku tidak terlalu ingat wajah Ibunda, tapi aku yakin kalau seperti inilah rupa Bunda saat semasa ia masih hidup. Di bawah cahaya matahari yang masuk melewati jendela, dia terlihat berkilauan.

Manaka: "Di sebuah buku tertulis kalau orang Inggris suka ikan kod."

Tetapi, orang Inggris juga tidak terlalu seperti itu———Saat Onee-chan mengatakan itu, ia tersenyum lembut di bawah hujan cahaya matahari. Memang seperti yang kupikirkan, Onee-chan cantik. Wajah tersenyumnya lebih imut dan manis daripada boneka tuan puteri atau seperti yang ada di buku bergambar, dan Onee-chan lebih cantik daripada apapun. Melihat wajah bahagia Onee-chan seperti ini, aku bertanya-tanya kapan itu terjadi?

Seseorang yang bisa melakukan apapun. Kakakku. Ia benar-benar berbeda dariku yang bahkan tak bisa mempelajari Witchcraft, apapun yang aku buat, berhitung, dan segalanya. Onee-chan bisa melakukan apapun. Atau mungkin tepatnya, bisa menjadi apapun. Bahkan menjadi burung merpati. Atau kucing. Onee-chan bisa melakukan apapun, mungkin dengan mengatakan "Aku senang karena kau membuatkannya untukku" atau "Coba dan bersenang-senanglah," Onee-chan berpikir kalau aku tak berguna. Tapi rasanya, Onee-chan berbeda. Lihatlah, Onee-chan terlihat sangat bersenang-senang. Dia tersenyum.

Cantik————

Manaka: "Nih. Coba kamu cicip, Ayaka."
Ayaka: "B-Baik. Apa tidak apa-apa?"
Manaka: "Tidak apa-apa. Mengangalah. Aaahh."

Sambil membuka mulutku saat dia mengatakan itu, aku menggigit potongan dari ikan goreng yang berada di jari putih kurusnya, ah ump.<br Aku tidak terlalu suka makanan berlemak, tapi...

Manaka: "Gimana rasanya?"
Ayaka: "Enak......"

Rasanya, benar-benar enak.
Walaupun aku tidak terlalu suka makanan yang berlemak, tapi ini terasa garing, empuk, dan tidak berminyak sama sekali. Ini sangat enak!

V1Act1-1.jpg

Manaka: "Baiklah, sepertinya bumbu rahasia pada krim asamnya bekerja efektif. Baiklah, Ayaka suka sama rasanya♪”
Ayaka: "Bumbu rahasia?"
Manaka: "Untuk membuat masakan jadi lezat, ada bumbu rahasianya. Dan itu lebih luar biasa daripada sihir."

Di meja, Papa yang sedari tadi minum kopi mulai tersedak dan batuk saat mendengar itu. Sebelum Onee-chan dan aku ingin menanyakan, Papa segera menggumamkan "Tidak ada apa-apa." Mungkin, kurasa Papa terkejut oleh kata-kata Onee-chan. Sihir? Bumbu rahasia? Bahkan aku bisa mengingat itu. Lagipula, sesuatu yang disebut sihir itu, memang nyata.

Kami———

Ayaka: "Umm, sesuatu yang lebih luar biasa daripada sihir, umm..."
Manaka: "Apa itu?"
Ayaka: "Papa, yang mengatakannya. Papa bilang hanya ada satu hal, yang lebih luar biasa daripada sihir."
Manaka: "Memang benar. Karena itulah, aku menggunakannya."

Onee-chan. Walaupun perkataanmu terdengar natural, tapi aku bingung apa maksudnya. Wajahnya. Berkilau, termandikan oleh cahaya matahari yang berseri. Suara yang terdengar dari bibir yang memiliki warna yang sama dengan kelopak bunga sekura. Seolah-olah, benar-benar seperti———

V1Act1-2.jpg

Manaka: "Sihir cinta!"

Sihir yang sesungguhnya. Aku, walaupun tak tahu apa itu sebenarnya, berpikir kalau itu benar.

Ayaka: "Cinta?"
Manaka: "Fufu. Ayaka, sepertinya kamu belum tahu, ya. Itu disebut sihir cinta, tentunya."

Saat ia mengatakannya———Onee-chan melihat dan membisikkan sesuatu padaku.
Seolah-olah, dia sedang berbicara pada seseorang di belakangku.

Manaka: "Itu lebih luar biasa, daripada jenis Mistik apapun yang digunakan oleh Magus."





Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Alternatif terjemahan baris terakhir ini adalah: “Melalui kontradiksi, kasih Tuhan yang telah hilang, akan diberikan kembali.”
  2. Onee-chan, adalah panggilan untuk kakak perempuan.
  3. Scone, adalah makanan panggang; Roti cepat yang biasanya cukup manis. Biasanya terbuat dari gandum atau havermut.
Bagian Sebelumnya Kembali ke Halaman Utama Bagian Selanjutnya