Difference between revisions of "Bagian 4: Si Pemberani dan Penerusnya"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(Created page with " ''Aku ini apa?'' Pikir Willem pada dirinya sendiri. Karena sudah bukan Brave lagi, ia tidak punya alasan untuk melindungi dunia baru ini, pun, ia tidak punya kekuatan untuk m...")
 
m
 
Line 355: Line 355:
   
 
<p style="font-size:2em; text-align: center;">✵</p>
 
<p style="font-size:2em; text-align: center;">✵</p>
  +
  +
  +
[[Image:SukaSuka Chapter 3 Part 4.png|Thumb]]
  +
   
 
Untungnya mereka sudah merapikan sofa semalam. Willem bangun dengan posisi Nephren masih tidur di atas lututnya.
 
Untungnya mereka sudah merapikan sofa semalam. Willem bangun dengan posisi Nephren masih tidur di atas lututnya.
Line 370: Line 374:
 
''Banyak hal yang bisa terjadi dalam lima ratus tahun''... Pikir Willem sambil lanjut membaca.
 
''Banyak hal yang bisa terjadi dalam lima ratus tahun''... Pikir Willem sambil lanjut membaca.
   
Salah satu kertas menjelaskan teori dasar penujuman<ref>Prihal ramal-meramal (Necromancy).</ref>. Dimulai dengan menganggap keberadaan arwah dan banyak hal gaib lainnya. Misalnya saja, awal mulanya, arwah berwarna putih suci sampai kehidupan pun mewarnainya. Alhasil, arwah butuh lebih lama untuk sampai dewasa ketimbang tubuh. Meskipun seorang anak kecil punya tubuh yang sangat sempurna, arwahnya akan sangat berbeda secara struktur ketimbang dengan yang dimiliki orang dewasa.
+
Salah satu kertas menjelaskan teori dasar penujuman<ref>Perihal ramal-meramal (Necromancy).</ref>. Dimulai dengan menganggap keberadaan arwah dan banyak hal gaib lainnya. Misalnya saja, awal mulanya, arwah berwarna putih suci sampai kehidupan pun mewarnainya. Alhasil, arwah butuh lebih lama untuk sampai dewasa ketimbang tubuh. Meskipun seorang anak kecil punya tubuh yang sangat sempurna, arwahnya akan sangat berbeda secara struktur ketimbang dengan yang dimiliki orang dewasa.
   
 
Jadi, jika seseorang kehilangan tubuhnya sebelum arwahnya diwarnai oleh dunia, bisa dibilang ia akan mati sebelum ia terlahir sepenuhnya. Arwah-arwah yang menghadapi kontradiksi ini semacam menolak aturan dunia, yang mana mereka seharusnya menuju alam baka (kalau tempat seperti itu memang ada), malahan mereka hanya menggentayangi mereka yang masih hidup , tanpa punya tujuan.
 
Jadi, jika seseorang kehilangan tubuhnya sebelum arwahnya diwarnai oleh dunia, bisa dibilang ia akan mati sebelum ia terlahir sepenuhnya. Arwah-arwah yang menghadapi kontradiksi ini semacam menolak aturan dunia, yang mana mereka seharusnya menuju alam baka (kalau tempat seperti itu memang ada), malahan mereka hanya menggentayangi mereka yang masih hidup , tanpa punya tujuan.

Latest revision as of 05:28, 5 May 2018

Aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Karena sudah bukan Brave lagi, ia tidak punya alasan untuk melindungi dunia baru ini, pun, ia tidak punya kekuatan untuk melakukannya. Sekarang, satu-satunya alasan ia masih tetap hidup adalah karena ia jadi manager palsu yang mengurusi senjata, jabatan yang tidak punya pekerjaan selain hanya untuk hadir saja. Ia bisa menghilang kapanpun. Tidak ada yang akan peduli atau merasa tersakiti. Ia telah menjadi hantu.

--- Sepuluh menit kemudian, di klinik.

"Kenapa kamu di sini?"

Itulah kata pertama yang keluar dari mulut Kutori setelah dia kembali sadar.

"Memangnya salah menemani orang sakit?"

"Aku tidak sakit," dia membantah dengan mimik yang kurang mengenakkan, tapi Willem bisa melihat kalau dia sedikit memerah pipinya.

"Kau tahu? Brave yang kalian tiru ini punya semacam penyakit spesial, yang mana jika terjangkit ketika dalam misi, harus ditangani secepatnya. Dan yang paling perlu ditangani adalah Keracunan Venenum Akut, dan itu adalah yang kau dapati sekarang."

"Kadang-kadang candaanmu tidak lucu, tahu." Kutori memalingkan mata, masih dengan sikap yang masam.

Tentunya ini bukan hanya sebatas candaan, tapi jika dia tidak akan mempercayainya, ya sudahlah.

"Ayo, menghadap ke sini. Aku tidak bisa mengganti handuk basahnya kalau begitu."

"Aku tidak butuh."

"Bukan pasien yang berhak memutuskan. Ayo sini."

"Aku tidak apa-apa. Hanya begini doang. Istirahat sedikit juga nanti sembuh."

"Jangan bodoh." Dengan hati-hati ia sentuh keningnya. "Selalu, kau harus menangani Racun Venenum dengan benar, jika tidak, hal ini akan jadi hal yang lumrah bagimu. Dan jika dibiarkan begitu saja, akhirnya pun kau akan sampai pada batasnya."

"Sok ahli saja kamu ini."

"Aku ini memang ahli. Lagipula menjadi Teknisi Pedang Terkutuk adalah pekerjaanku."

“Hmph.”

Kembali, mata Kutori berpaling darinya, seakan berkata, orang ini apa-apaan, sih? Pada dasarnya, Teknisi Senjata Terkutuk membangun dan menjaga setiap mesin perang yang digerakkan oleh sihir, seperti yang dimaksudkan namanya. Teknisi Kelas Dua berhak dan berkewajiban yang setara dengan opsir militer kelas atas. Dan tentunya, diperlukan banyak pengetahuan, latihan, dan pengalaman untuk mencapai posisi tersebut. Dan jelas tentunya, Willem tidak memiliki semua itu. Gelar yang didapatkannya hanya untuk ditunjukkan, tanpa punya kekuatan atas gelarnya --- hal ini pun adalah hal umum bagi para peri.

"Aku ini pengurusmu. Aku yakin aku berhak menghawatirkan dirimu.“

“Bukan… terserah kamu mau pengurusku atau bukan, aku tidak perlu dikhawatirkan."

Kutori masih tidak mau menatap muka Willem, sehingga ia tidak tahu ekspresi dia. Walau mungkin, jika dilihat dari telinganya yang masih merah menyala, demamnya mungkin masih belum turun.

"Yang kamu bilang 'batas' begitu juga aku tidak peduli. Lagipula sudah tidak banyak lagi waktu yang tersisa."

"Waktu? Waktu apa?"

"Hei, aku ingin tanya," balas Kutori, mengabaikan pertanyaannya.

"Apa?"

"Kalau... ini hanya pertanyaan hipotetis, ya. Kalau aku akan mati lima hari nanti, apa kamu mau bersikap lebih baik padaku?" Hening.

"...hah?" Willem gagal mengerti apa yang dimaksudkannya.

"Ini hanya kalau saja, jadi jawab saja. Kamu mau dengar permintaan terakhirku?"

"Tunggu, kenapa harus lima hari? Aku harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi, karena jika tidak, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu."

"Lima hari lagi, di Pulau Melayang ke-15. Seekor Teimerre akan menyerang." Kembali hening.

"Ketujuh belas Makhluk Buas tidak bisa terbang. Itu satu-satunya alasan kenapa Regul Aire bisa tetap melayang. Tapi Teimerre, Makhluk Buas yang ke-6, bisa melakukan penyerangan walaupun berada di tanah bawah. Makhluk ini punya dua kelebihan: membelah diri dan berkembang dengan cepat. Induknya bisa tetap di tanah dan membelah dirinya menjadi puluhan ribu bahkan, lalu mengirim mereka dengan angin. Kalau satu saja bagian darinya sampai si Pulau Melayang, maka bagian itu akan tumbuh cepat, bereproduksi, dan pulau seutuhnya akan hancur dalam waktu sekitar enam jam."

Hening.

"Tentunya, Regul Aire punya cara untuk melawannya. Sesuatu yang besarnya seperti Makhluk Buas itu akan tertangkap sistem alarm kami sebelum sampai ke pulau. Semakin kuat bagiannya ini, semakin cepat pula kami akan mendeteksinya. Ini bisa memberi kami cukup waktu untuk mempersiapkan pertahanan. Dan begitulah cara Regul Aire menghindari serangan Teimerre selama beratus-ratus tahun "

Hening.

"Sekitar setengah tahun lalu, sebagian dari tubuhnya yang agak besar terdeteksi. Jika diukur dari kekuatannya, semua pasukan bersenjata yang ada di daerah pendaratan tidak akan mampu melawannya. Tetapi para peri dengan Senjata Galian, malahan..."

"... dapat mengalahkannya dengan nyawa sebagai gantinya... betul?"

"Tepat. Seniolis dan aku seharusnya bisa menghentikannya dengan meledakkan diri. Aku rasa kita masih beruntung."

Kutori, yang sembunyi di balik selimut, mengangkat bahunya. Hanya butuh satu saja yang perlu ditumbalkan. Jika mereka sampai kurang sedikit saja kekuatannya, bisa saja peri kedua akan ditumbalkan jua -- yang mungkin adalah Aiseia atau Nephren.

"Ingat, ini semua cuma hipotesis." Perlahan, dia pun mulai mengarahkan mukanya pada Willem, senyum ceria pun tampak dari wajahnya. Tapi matanya tidak menampakkan rasa senang. "Yah, kalau itu terjadi, apa kamu mau mendengarkan permintaan terakhirku?"

"... tergantung permintaannya."

"Yah... misalnya... ah.." Kutori mencari-cari kata untuknya. "...kalau aku minta untuk dicium. Bagaimana?"

Dia juga, ya

Setelah melalui sejumlah buku-buku tidak berharga yang suka dibaca anak-anak peri di sini, mereka sudah melewati bagian di mana Willem harusnya berlaga malu atau bingung atau semacamnya, tapi Willem menolak untuk memerankannya.

Dengan suara yang hampir terdengar seperti rintihan, ia menjawab, "Kau punya sisa hidup lima hari lagi, dan itu yang kau minta?"

"A-Apa tidak boleh?"

Willem membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengahnya. Lalu, dengan sedikit kekuatan ditambah ke jari tengahnya, ia menyentil kening Kutori.

"Aw!"

"Anak-anak tidak seharusnya membicarakan hal-hal dewasa begitu. Ini gara-gara yang kau baca hanya novel romansa."

"T-Tidak, kok, aku baca buku lain juga!"

Sepertinya dia tidak membantah kalau dia sudah membaca novel romansa. Karena demamnya, atau mungkin karena dia memang sedang bingung, kata-kata yang keluar dari mulutnya kian tidak masuk akal. Juga, dia sepertinya sedang tidak sadar diri.

"P-Pokoknya, aku ingin ada kenangan... apa salah?" Dia merangkul bros perak di dekat dadanya. "Jika kamu akan mati.. setidaknya kamu akan merasa tidak ingin lenyap, 'kan? Kamu ingin diingat oleh seseorang. Ingin tetap ada hubungan dengan seseorang." Perlahan, tangisan pun berkumpul di matanya. "Apa salahnya..."

"Bukan itu yang aku maksud. Yang salah itu kau yang terlalu gegabah." Dengan lembut Willem menyentuhkan tangannya pada kening Kutori. Masih panas. "Maksudku kau tidak seharusnya begitu ingin melakukannya sampai-sampai mau melakukannya dengan siapa saja hanya demi bisa melakukannya. Terlalu terburu-buru seperti itu tidak akan menghasilkan akhir yang baik."

“Tidak masalah, kok! Aku tidak perlu mengkhawatirkannya--”

“Lalu, jika kau ingin menangis, keluarkan saja semuanya selagi ada seseorang di sampingmu. Menangisi sendiri hanya dilakukan oleh mereka yang sudah ahli, yang bisa berhenti di saat mereka ingin. Aku tidak merekomendasikannya pada pemula."

"Berisik. Kalau kamu tidak mau menciumiku, sudah diam saja. Aku tidak menangis juga."

"Dari suaranya juga sudah jelas, tahu."

"Aku tidak menangis," dia kembali menolaknya.

-- Dulu, aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk kembali menetapkan ini: cangkang dari seorang pahlawan yang telah kehilangan segala yang ingin ia lindungi. Dan tentunya, cangkang tidak memiliki keinginan, cangkang hanya bisa mati.

"... aduh." Ia menggaruk-garuk kepala. "Coba kau tengkurap."

"Tidak kedengaran." Kutori menutup kedua telinganya dengan jari sambil memalingkan wajah.

"Ayo, cepat."

"Tidak dengar."

"Oke, kalau kau tidak mau dengar..."

Willem menggenggam pundak Kutori dan dengan paksaan, ia membalikannya agar saling berhadapan. Lalu, ia bergerak mendekat, dengan lirih membenamkan bibirnya pada kening Kutori.

"Eh?"

Sekujur tubuh Kutori melemas, seakan otaknya menghentikan segala aktivitas sebagai respon terhadap rasa kejut tadi. Dia tidak bisa memproses segala hal yang terjadi barusan pada keningnya. Yang dia sadari hanya ada sesuatu yang mengejutkan hingga tubuhnya berhenti bergerak. Sensasi yang seharusnya terasakan pada keningnya justru sulit untuk mencapai otak.

"Sekarang mau dengar? Tengkurap."

"Eh. Tunggu. Tadi apa?"

"Cepat "

Mulai dongkol, Willem kembali menggenggam pundak Kutori dan membalikkan wajahnya agar menghadap kasur.

"Ahh!!?"

"Aku akan menyembuhkan demammu. Supaya aman, tutup mulutmu."

"M-mulut? Eh? Apa?"

Ia menempatkan tangan di punggungnya dengan perlahan dan memeriksa kondisi otot-otot dan aliran darah dengan jari-jarinya. Satu hal yang jadi ciri khas dari keracunan Venenum adalah menurunnya fungsional jaringan tubuh yang menghasilkan Venenum. Sistem imunitas tubuh terkadang menganggap ini semacam penyakit dan menimbulkan demam. Pemeriksaan secara hati-hati dapat menemukan letak-letak yang jadi masalah di mana Venenum mungkin ada dan bebas.

"Di sini... dan di sini..."

"Agh!"

Dengan keras ia tekan dengan ujung jarinya.

Setelah menghabiskan waktu panjang di Quasi Brave, tidak sulit untuk menemukan penyakit ini baik dari dirinya ataupun dari rekannya. Ketika terjadi dalam pertarungan, dibutuhkan cara yang paling sangkus dan mangkil untuk meredam gejala penyakitnya sebanyak mungkin. Apalagi ketika dalam ekspedisi panjang, penting untuk mencegah kehabisan tenaga setelah bertarung, jadi pernah satu waktu Willem memanggil tentara medis dan mempelajari teknik ini.

"Aw! Sakit!"

"Itu karena sisa Venenumnya membuat seluruh ototmu kaku. Kalau aku bisa membenarkannya lagi, kau akan enakan."

"Walaupun kamu bilang begitu pun, rasanya masih --- ah! Geli -- ah!"

"Coba tahan."

"Kan sudah aku bilang, susah --- ah!"

Caranya hanyalah menekan sepuluh titik tertentu, yang mana secara berurutan dan simetris dengan tulang belakang. Pemulihan aliran darah yang masih baik akan membantu membersihkan Venenum yang beku. Sebagai perbandingan saja, penanganan ini memberikan sensasi yang mirip dengan memijat otot-otot yang kaku. Sebenarnya, selain hanya ditambah stimulasi terhadap titik-titik akupuntur tadi, kedua proses itu sulit untuk dibedakan.

“Ahhh…”

Cari titik dengan kondisi Venenum tersebut, lalu berikan tekanan. Cari titik lain, lalu lakukan lagi, dan cari lagi. Setelah sepuluh menit, Willem akhirnya berhenti. Telah cukup penanganannya, dan sekarang tubuhnya akan secara alami membersihkan Venenum yang tersisa setelah otot-otot dan aliran darahnya telah kembali pulih.

"Baiklah, sudah selesai." Ia menyelimuti punggung Kutori, yang kelihatan lelah dan kewalahan seusai dihujani oleh stimulasi. "Istirahat saja dulu. Setelah tidur semalam, kau akan baikan."

Tanpa sepenuhnya sadar, dia menggunakan jawaban yang tidak begitu jelas. "Ihhyah..."

Jika ditinggal sendiri, paling Kutori akan langsung tidur cepat atau lambat. Willem memutuskan untuk keluar dari klinik setelah yakin dia akan baik-baik saja.

Aku ini apa? pikirnya pada diri sendiri. Namun ia muak memikirkannya dan langsung berhenti. Saat itu ia punya hal lain untuk dipikirkan.

Kertas. Kertas. Kertas.

Itulah hal pertama yang ia lihat sesaat setelah masuk ruangan. Hal selanjutnya yang ia lihat, lalu selanjutnya, dan selanjutnya, adalah kertas-kertas juga. Karena bingung, ia mundur selangkah untuk memeriksa plat tembaga yang ada di samping pintu. Tulisan yang terukir padanya adalah 'Ruang Referensi'.

Kembali ia melangkah ke dalam, yang mana terasa lebih sempit akibat kertas-kertas yang berserakan. Terlebih, kertas-kertas yang bertumpukan begini nampak berisikan topik-topik yang variatif. Surat permintaan untuk membetulkan toilet di gudang peri sini, petunjuk cara berkomunikasi dengan ras lain ketika bertarung melawan ketujuh belas makhluk buas, surat permintaan untuk wortel dan kentang dalam jumlah besar, laporan dari misi patroli malam, dan potongan-potongan gambar dari majalah perempuan yang saling bertumpukkan.

Bunyi tik, tik, tik dari jam di tembok lagi juga terdengar begitu keras dalam kacaunya ruangan.

"Wah..."

Dengan hati-hati ia masuk, berjalan di permukaan yang naik-turun nan menutupi lantai, dan menuju meja. Willem duduk dan mengamati ruangan ini lagi setelah ia singkirkan kertas-kertas yang mengisi tempat duduk.

"Wah..."

Ia menyilangkan tangan dan berpikir untuk membereskan ruangan ini. Setelah dipertimbangkan, ia memutuskan, betapapun ia memikirkannya, ia takkan pernah mendapatkan keputusan. Setelah menyingkirkan pilihan itu untuk sekarang, Willem mengambil secarik kertas yang ada di bawah tumpukan di dekatnya. Dan itu adalah laporan inspeksi senjata untuk lebih dari sedekade lalu. Jadi ruangan ini berisi sejarah tidak berguna dari sepuluh tahun silam. Ia jadi merasa seperti arkeologis.

Yah, duduk diam begitu hanya akan buang-buang waktu. Setelah sampai di salah satu tumpukkan, ia memutuskan untuk mengelompokkan kertas-kertas kacau itu, yang kemudian ia sadari ada seseorang berdiri di sebelah pintu. Seorang perempuan rambut abu-abu yang menatap dengan tatapan mendalam dan sulit dimengerti pada ruangan itu.

Willem menunggu untuk sesaat, dan tersadar kalau dia pasti kemari untuk mengambil dokumen atau semacamnya, tapi belum mau beranjak. Dia terus hinggap dan menatap ke dalam ruangan dengan tatapan yang tak mudah dibaca.

"Butuh sesuatu, Nephren?"

"Tidak, kok," jawabnya langsung tanpa nada suara berarti, dan kemudian berbalik lalu pergi.

"Dia ini kenapa..."

Seusai mengangkat bahu, Willem kembali bekerja. Ia penasaran akan sesuatu. Dan sesuatu ini kemungkinan berada suatu tempat dalam lautan kertas ini.

Jam dinding berbunyi dua belas kali dengan sempurna, menandakan bahwa ini awal hari baru. Ia baru saja selesai mengatur-atur tumpukkan kertas yang ada di meja. Begadang semalam suntuk mungkin takkan terelakkan, dan entah apakah terus-terusan bekerja sampai pagi akan berhasil dan berguna atau tidak.

"Aku capek..."

Mendengar gerutuan dari perutnya membuat Willem sadar kalau ia lupa soal makan. Sedari tadi ia bekerja tanpa ada asupan nutrisi untuk selama setengah hari, ia terakhir makan pada siang hari.

"Sial..."

Kalau saja ia menyadarinya lebih awal, mungkin ia bisa memesan makanan ringan dahulu di kafeteria. Yah, menyesalinya sekarang tidak akan membantunya mengisi perut. Untuk sekarang, ia menyandarkan jidatnya pada meja dan memejamkan mata. Ia bisa tolerir perutnya yang kelaparan, tapi kalau masalah lelah hanya akan menurunkan kemampuan konsentrasinya. Sedikit istirahat mungkin akan bisa memberinya tenaga lagi untuk bekerja.

Tiba-tiba saja, sebelum kehilangan kesadaran, harumnya kopi singgah di hidungnya. Telinganya menangkap suara deringan sebuah cangkir yang ditaruh ke atas meja. Minuman? Oh, ya, pintunya aku biarkan terbuka.

"Ah, terima kasih---"

Baru saja ia akan berterima kasih pada Naigrat ketika tepat saat itu, kepala berambut abu memasuki ruang pandangnya. Sepasang mata berwarna hitam arang menatap dengan kosong pada sesuatu yang tidak jelas.

"-- Nephren?"

"Panggil saja aku Ren."

Oke. terima kasih, Ren."

Kembali melihat ke meja, ia menemukan sebuah piring yang terdapat sebuah roti lapis biasa di atasnya, yang juga ditempatkan berdampingan dengan secangkir kopi. "Kamu tidak perlu berterima kasih," katanya seraya mengamati ruangan. "Aku hanya penasaran, jadi aku kemarin Apa yang kamu lakukan?"

"Hmm... aku rasa hanya lihat-lihat saja."

"Di dalam sini?"

"Ya. Harta Karun tersembunyinya jauh di pelosok labirin bawah tanah, kan? Untuk mencari sesuatu yang berharga, diperlukan kerja keras."

"Hmm..."

Willem meneguk kopinya. "Manis." Ia bisa merasakan gula yang telah larut dengan jumlah banyak pada lidahnya.

"Aku pikir akan baik untukmu selagi capek. Atau kamu tidak suka manis?"

"Tidak, justru ini kesukaanku."

Lalu Nephren dibuatnya terkejut setelah ia menghabisi langsung kopinya dan melahap roti lapis yang hanya berisikan daging merpati panggang, dengan sedikit selada lisut pada roti kering pula. Mungkin terlalu banyak moster, tapi tambahan rasa ini membantu memulihkan tubuh lelahnya.

"Ahh..." Ia keluarkan helaan nafas penuh kepuasan saat ia rasakan sedikit tambahan nutrisi mulai bekerja.

"Jadi?" Nephren memandangnya dengan ekspresi kosong dan bertanya, "Apa yang kamu cari malam-malam begini?"

"Yah... percuma saja kusembunyikan. Aku sedang mencari riwayat bertarung kalian."

"Hm?" belum mengerti maksudnya, dia sedikit memiringkan kepalanya "Untuk apa?"

"Aku ini orang luar, teknisi jadi-jadian, dan aku bukan dari generasi ini. Ada terlalu banyak hal yang tidak aku mengerti. Menanyakan pada Naigrat selalu bisa jadi pilihan, tapi dia bukan tentara, informasi darinya berasal dari sudut pandang yang berbeda. Dan jalan terbaiknya adalah dengan aku mencari tahu dengan mataku sendiri data-data dari tentara."

"Hmm..."

"Jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya ingin tahu beberapa hal."

"Oke." Angguk Nephren. "Apa ada yang perlu aku bantu?"

"Kau mau membantu? Kalau begitu, aku butuh dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan frekuensi kemunculan Teimerre dan riwayat pertarungan-pertarungan dari sepuluh tahun lalu dengan waktu, jumlah uang yang perlu dikeluarkan, dan korban, semua dirincikan. Juga, kalau memungkinkan, aku ingin riwayat-riwayat dari perbaikan dari Kali -- Senjata Galian. Misalnya, dokumen-dokumen yang berisikan percobaan mereka, lalu apa yang mereka targetkan, dan hasil akhir."

"Hm. Rinci sekali."

"Aku yang akan memeriksanya secara rinci. Kalau kau bisa mendapat apapun yang relevan, aku akan sangat tertolong."

"Siap."

Seusai perutnya telah diurusi, saatnya kembali bekerja. Willem menggulung lengan bajunya, dan sesaat kemudian, Nephren pun mengikuti. Keduanya mulai mengarungi lautan kertas yang mengisi penuh ruangan. Akan tetapi, seiring malam berjalan, mereka mulai tenggelam.

Pagi pun tiba. Bangun di waktu biasanya, Kutori Nota Seniolis bangkit dengan lesu dari kasur dan mengamati sekitar, dia sadar dia tidak seperti sedang di kamarnya. Setelah teringat kembali kalau dia berada di klinik, dia berusaha keras mengingat apa yang terjadi semalam, karena heran kenapa bisa bangun di sini.

Ketika dia telah mengingat sepenuhnya kejadian malam tadi bersama Willem, sontak saja mukanya memanas. Demam kemarin telah melemahkannya. Dia kehilangan kemampuan untuk berpikir dengan benar, kemarin. Tidak mungkin dia akan melakukan ataupun mengatakan hal seperti itu jika dia dalam keadaan normal. Alasan ini-itu muncul dalam kepala, namun tak ada satupun yang dapat membatalkan kejadian kemarin.

Kalau aku akan mati 5 hari nanti, apa kamu mau bersikap lebih baik padaku?

"Ahhh kenapa aku mengatakan itu!?"

Kutori sontak membenamkan diri kembali ke kasur yang baru saja dia tiduri dan memukul-mukul dengan liar, tanpa hirau akan bunyi kertak-kertak keras akibatnya.

...kalau aku minta untuk dicium. Bagaimana?

"Aaaaahhhh!!"

Dia memeluk bantal dengan sekuat tenaga kemudian memukul-mukul dan melemparkannya ke tembok. Kenapa dia mengatakan hal-hal itu? Dia sendiri tidak tahu. Memang , dia tidak membenci Willem, malah dia cukup mengaguminya, dan kalau boleh dia katakan, dia lebih ke menyukai Willem, tapi menyukai orang secara pribadi dan menyukai orang karena itu sudah beda hal dan jangan sampai tertukar dan tapi yang jadi kenyataannya ialah sosoknya seringkali muncul dalam benak Kutori selama demam dan -- ahhh! Dia tidak kuat memikirkannya lagi.

Akan tetapi, hampir sebagian ingatannya mengenai hal kemarin jadi agak samar. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi setelahnya... ia bilang ia akan menghilangkan demamnya atau semacamnya --

"Kutoriii, sudah enakaan!?"

"Ah!" Suara entah dari mana tiba tiba saja muncul, jadinya dia secara tanpa sengaja panik hingga bersembunyi di balik selimut. "Oh, sekarang aku baikan."

"Ah, umm... aku dengar kamu kecapekan waktu kamu pulang kemarin, tapi apa sekarang kamu sudah sehat lagi? Sudah bisa makan lagi, begitu?" Dilihat dari gestur dan suara, Kutori menganggap kalau kedua orang ini hanya ingin menengok.

"Collon dan... Lakish?"

Dengan hati-hati dia mengintip dari kasur dan memastikan tamu-tamunya. Dan dengan hanya melihat rambut mereka yang pink dan jingga sudah cukup untuk menyadari kalau itu mereka.

"Hm? Wajahmu merah," tunjuk Collon si rambut pink.

"A-Ah, masa, sih? Yakin bukannya gara-gara cahayanya?" Kutori menghindari kontak mata.

"Tapi kelihatannya tubuhmu baik-baik saja. Setiap kalian kembali dari Medan pertempuran, pasti kondisi tubuhnya memburuk, jadi aku senang kamu baikkan sekarang," ujar Lakish si rambut oranye.

Barulah setelah dijelaskannya, Kutori menyadari tubuhnya terasa aneh karena jadi lebih ringan. Semalam, dia pingsan karena terlalu banyak menggunakan Venenum dalam pertarungan sebelumnya. Setiap kali terjadi hal itu padanya, paginya pastilah terasa berat karena lelah akan menjangkiti dirinya. Dia mencoba untuk melompat naik-turun setelah keluar dari kasur dan merasa memang dia tidak merasa kelelahan sama sekali. Malahan, dia merasa luar biasa seakan baru saja disembuhkan oleh sihir.

"Benar juga, aku merasa lebih ringan."

"Tinggal sedikit semangat dan keberanian saja lagi!"

Mungkin masalahnya tidak begitu besar, pikir Kutori pada dirinya sendiri.

"Kamu baru sadar sekarang?"

"Ah, yah..." Dia pikirkan apa yang terasa aneh baginya kali ini. Apa mungkin karena -- kepala dia mulai panas kembali sehingga dia tidak jadi mengingatnya -- pesan aneh itu? "... oh, apa kalian tau ia di mana?"

"Ia?" Lakish terlihat bingung untuk sesaat, namun mulai mengerti kemudian. "Kalau yang kamu maksud itu Willem, terakhir kali aku lihat ia ada di ruang referensi."

"Ruang referensi... tempat kita menumpukkan kertas-kertas?"

Apa yang bisa ia lakukan di sana? Hanya tumpukkan kertas kacau adanya, bukan tempat yang cocok untuk melakukan riset. Sejauh yang Kutori tahu, para peri hanya ke sana untuk sembunyi dari kewajiban piket, karena siapa juga yang mau memeriksa tempat itu.

"Ia bersama Nephren."

"... eh?"

"Collon!"

Lakish langsung menyentaknya karena menambahkan informasi yang tidak penting, tapi Collon nampak tidak peduli. "Mereka tidur berbarengan di sofa." Dia malah lanjut dan memperkeruh suasana.

"... ah,"

"Um... Kutori?"

"Aku ingat lagi ada urusan, aku mau keluar dulu. Terima kasih mau menengokku. Seperti yang kalian lihat, aku sudah sehat, kok, jangan khawatir."

"Ah, oke. Tapi..." Lakish dengan perlahan melihat Kutori. "Jangan keras-keras... ya?"

"Apa-apaan, sih?"

Kutori tertawa dan meninggalkan klinik.


Thumb


Untungnya mereka sudah merapikan sofa semalam. Willem bangun dengan posisi Nephren masih tidur di atas lututnya.

"Yah... kurasa kami mendapatkan cukup informasi," gumamnya dengan pelan agar tidak membangunkan asistennya.

Masih dipegang dalam tangannya segepok kertas-kertas. Meski belum cukup untuk mencapai target yang diinginkan dan ada beberapa hal tak terduga yang ikut tercampur ke dalamnya, Willem bisa mendapat sedikit dari hal yang ingin ia ketahui.

Ia arungi satu demi satu kertas yang menjelaskan mengenai usul dari peri. Berdasarkan yang ia baca, kata peri itu sendiri bisa dimaksudkan pada beberapa spesies-spesies berbeda: roh api yang kerap menipu wisatawan yang tersesat di hutan, anak-anak bersayap yang dikitari oleh aura cahaya yang terus bersinar, orang-orang cebol yang hanya tumbuh sampai selutut orang dewasa. Kesemuanya nampak sulit dimengerti dan berbahaya yang takkan sampai menyakiti.

Semuanya juga menggunakan suatu macam sihir dan lebih memilih untuk tinggal di hutan. Terakhir, kebanyakan, mereka ada ketertarikan khusus terhadap manusia, mereka lebih suka untuk menjahilinya.

Penjelasan ini sepertinya memang cocok dengan peri-peri yang ditemui Willem. Tetapi, ia belum bisa tenang. Ia masih penasaran mengenai alasan kenapa ras peri, yang mana sulit dibedakan dari perempuan-perempuan Emnetwyte kecuali karena rambut warna-warninya, disebut dengan Leprechaun. Tapi saat ini, ia singkirkan dulu hal ini, karena masih ada hal lain yang harus ia ketahui.

Banyak hal yang bisa terjadi dalam lima ratus tahun... Pikir Willem sambil lanjut membaca.

Salah satu kertas menjelaskan teori dasar penujuman[1]. Dimulai dengan menganggap keberadaan arwah dan banyak hal gaib lainnya. Misalnya saja, awal mulanya, arwah berwarna putih suci sampai kehidupan pun mewarnainya. Alhasil, arwah butuh lebih lama untuk sampai dewasa ketimbang tubuh. Meskipun seorang anak kecil punya tubuh yang sangat sempurna, arwahnya akan sangat berbeda secara struktur ketimbang dengan yang dimiliki orang dewasa.

Jadi, jika seseorang kehilangan tubuhnya sebelum arwahnya diwarnai oleh dunia, bisa dibilang ia akan mati sebelum ia terlahir sepenuhnya. Arwah-arwah yang menghadapi kontradiksi ini semacam menolak aturan dunia, yang mana mereka seharusnya menuju alam baka (kalau tempat seperti itu memang ada), malahan mereka hanya menggentayangi mereka yang masih hidup , tanpa punya tujuan.

Keberadaan itu disebutnya peri. Roh hilang yang telah mati di usia belia hingga mereka tidak ingat kematian mereka. Karena ini, sikap mereka bisa seperti bayi atau anak kecil. Hanya dituntun oleh rasa penasaran, tidak tau yang hak dan batil, terkadang lugu dan kadang pula kejam, mereka meneruskan kenakalan mereka.

"Tapi mereka tidak akan pernah punya tempat di dunia ini..."

Willem melihat si anak kecil yang tertidur di atas lututnya, kemudian kembali melihat dokumen itu. Akhiran dari artikel ini membuatnya muak. Mudahnya, sisanya ini menjelaskan cara konkrit untuk melahirkan peri lagi untuk menggunakannya. Sekalinya membahas pengorbanan atau semacamnya, ia langsung berhenti membaca. ia tidak begitu tertarik mempelajari penujuman.

Dokumen lain menceritakan pertikaian yang terjadi lima tahun lalu. Seorang peri yang tidak diketahui Willem telah membawa Kaliyon yang disebut Insania ke dalam pertempuran. Dia telah bertarung dengan tiga tubuh 'Makhluk Buas ke-6' hingga Venenum miliknya hampir menggil, namun mampu bertahan dan kembali ke rumah. Langsung Willem membalik halaman selanjutnya, yang mana isinya mengenai hal yang sama juga. Sesekali ia temui tulisannya 'pembukaan gerbang menuju tanah peri', yang kemungkinan besar mengarah pada ledakan akibat penggunaan Venenum yang berlebihan pada diri sendiri.

Terus terang, peri-peri termasuk sub tipenya, Leprechaun, tidak hidup. Mereka dianggap sebagai hantu. Karenanya, mereka tidak bisa dianggap sebagai prajurit meskipun bertarung bersama tentara. Meskipun sesosok peri tumbang dalam pertarungan, dia tidak akan dihitung sebagai korban jiwa.

"Jadi itu kenapa mereka dianggap sebagai senjata, bukan prajurit..." gumam Willem dan mengelus-elus rambut abu di atas lututnya. Ia dengar erangan kecil dan mengira ia telah membangunkan Nephren, namun kemudian suara dia mendengkur kembali ada.

Aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Memang, apapun jawaban yang bisa ia temukan adalah kebohongan. Namun begitu, ia merasa harus memilih. Sekarang ini, siapa ia? Sebuah cangkang tanpa tempat kembali di umur yang kini? Sebuah anakronisme dari Quasi Brave yang telah kehilangan segalanya dan mimpinya? Seorang teknisi palsu yang menghabiskan hari-harinya hanya untuk mendapat uang? Atau mungkin...

Secercah cahaya memasuki jendela. Awan hujan masih menutupi langit, namun mentari pagi menembus retakan kecil untuk bisa tampil. Willem menyipitkan mata karena sontaknya cahaya datang. Menatap cahaya yang bersinar itu, untuk sesaat ia merasa melihat sesosok yang ia kenal.

"...aku ingin cepat-cepat bayar utang ini dan ke sana juga..." Ia tertawa kecil.

"Berisik... berhenti mengeluh, cepat lakukan saja sebisamu," nampaknya si sosok di balik cahaya itu menjawab.

Ah, sial. Si brengsek itu. Ia tidak tau apa yang sudah aku lalui dalam enam bulan ini.

"... Willem?" panggil suara dari atas lututnya.

"Ah, kau sudah bangun? Terima kasih atas bantuannya, aku temukan banyak hal."

"Hm, aku tidak melakukan apapun yang perlu kamu terimakasihkan." Dia kini melihat lurus padanya dari lutut. "Kamu kelihatan suram kalau aku tinggalkan sendiri, jadi aku bantu sedikit."

"Tapi tetap saja, terima kasih," kata Willem sambil ia elus lagi rambut abunya. Nephren kelihatan sedikit jengkel, tapi tidak menghentikan Willem.

"Baiklah, kita harus bangun. Kelihatannya kita kedatangan tamu."

Setelah ia katakan itu, ia dengar teriakkan kaget datang dari pintu yang setengah terbuka. Pintunya terbuka dengan bunyi keriat-keriut, menampakkan Kutori yang kelihatan mengantuk dan marah.

"... um, pagi."

"Pagi. Bagaimana keadaanmu?"

"Eh? Oh, um... sudah sangat baikkan."

"Syukurlah... aku ingat kalau aku belum pernah melakukannya pada anak-anak sebelumnya. Sedikit khawatir karena aku melakukannya dengan berlebihan, tapi..." Kutori terlihat jadi kaget ketika membahas pijatan tadi malam. "Juga... kau datang di waktu yang tepat. Aku harus memeriksa sesuatu. Ren, bangun. Sudah pagi." Ia angkat kepala Nephren dan menaruhnya di sofa, lalu berdiri.

"Kutori, ayo kita olahraga pagi."

"....eh?"



Di kala mereka bicara, langit yang tak menentu ini memutuskan untuk jadi cerah.

"Eh?"

Kutori berdiri di tengah-tengah lapang yang biasa digunakan anak-anak untuk main bola. Di dekatnya dia lihat Willem melakukan pemanasan dengan pakaian yang kelihatan fleksibel. Dan di samping dia, ada Nephren yang memegang sebuah buntelan kain panjang, yang pastinya adalah Senjata Galian. Dia lihat pada Nephren dan benda itu, lalu mengambilnya. Dia sangat kenal sentuhan itu. Melepas kain yang meliputinya akan mengekspos pedang peraknya. Senjata Galian dengan efisiensi aura sihir tertinggi dari semua Regular Aire, Seniolis. Kenapa dia membawanya sekarang?

"Kutori. Apa kau suka anak-anak yang ada di sini?"

"Eh?"

"Alasanmu siap untuk mati... apakah demi melindungi masa depan mereka?"

"Itu... itu tidak penting."

Willem sangat benar, tapi sekarang ini dia merasa tidak ingin secara jujur mengakuinya. Perasaan campur aduk yang dia lalui hingga sekarang ini tidaklah semudah itu hingga bisa hanya diucapkan oleh kata-kata. Juga, dia tidak ingin mengingat kalau dia menggunakan anak-anak itu sebagai alasan atas kematiannya.

"Ah... baiklah."

Willem melepas buntelan kain yang ia pegang, memperlihatkan sebuah model Senjata Galian yang besar.

Beberapa senjata sejenis sudah pernah digali, namun biasanya dianggap lebih lemah daripada pedang seunik milik Kutori.

"Aku ingin tahu apa rumornya benar. Ayo serang aku!"

"E-Eh?!"

Untuk sesaat Kutori meragukan apa yang baru saja dia dengar. Disenjatakan dengan Senjata Galian, dia bisa disebut sebagai salah satu pasukan terkuat di seantero Regul Aire. Dengan kata lain, sangatlah kuat.

Bahkan Reptrace yang disenjatakan dengan senjata berbubuk mesiu tidak bisa menyainginya.

"Apa kamu mengerti? Hanya karena kamu membawa Senjata Galian juga, tidak berarti kamu bisa sebanding denganku. Hanya kami yang punya kekuatan untuk mengaktifkan senjata-senjata itu."

"Hmm, kau yakin? Ayo kita coba. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi."

"Aku tidak sedang bercanda. Kamu mau jadi daging cincang?"

"Jadi tidak seru kalau begitu... tapi mungkin Naigrat akan suka itu. Pokoknya, jangan khawatir. Cepat tunjukkan apa yang kau bisa."

"... baiklah, kalau begitu."

Setelah dia pikirkan kembali, Kutori sadar kalau ini bukanlah pertama kalinya Willem mengatakan hal tidak masuk akal. Juga, dia harus menanyakan mengenai tidurnya Willem dan Nephren tadi. Menakutinya dengan kegagahan dalam bertarung sebelum menanyakan hal itu bukanlah ide buruk.

Merasakan si penggunanya memasuki kuda-kuda bertarung, Seniolis mengeluarkan suara teriakkan pelan. Retakkan kecil yang menyelimuti pedang itu kini melebar hingga jadi celah, yang memancarkan cahaya remang, perwujudan dari Venenum.

Susunan dan inti dari Senjata Galian tidak begitu dimengerti oleh tentara. Akan tetapi, mereka tahu kalau dari pedang itu akan tumbuh kekuatan di dalamnya yang proporsional dengan jumlah Venenum yang diberikan oleh si pengguna; jika sesosok Leprechaun mengerahkan semua Venenumnya, Teimerre sekali pun tidak akan mampu menahannya. Dan itu saja hal yang perlu mereka ketahui.

"Kamu yang minta... jadi jangan menyesal nanti."

Peningkatan kemampuan konsentrasinya langsung mengubah pandangannya. Warna-warna hilang di sekitarannya, seakan dia bergerak di dalam air. Pandangannya harus mencakup hingga jarak sekitar dua puluh langkah, tapi, dalam kondisinya sekarang, hanya dua langkah saja akan cukup. Kekuatan langkah-langkahnya bisa saja membuat lubang kecil di tanah, tapi sekarang dia tidak ada waktu untuk memikirkan itu.

Willem masih terlihat belum siap. Serangannya pasti akan jadi serangan yang mengejutkan. Dia mengunci pandangannya pada Senjata Galian yang dipegang Willem dengan tidak erat di tangan kanan. Jika dia bisa mengenyahkan senjatanya itu, langsung akan selesai tanpa perlu ada yang terluka.

Jarak di antara mereka mendekat dengan cepat. Tangan kanan Willem mulai masuk ke dalam jarak serang dari Seniolis. Tidak ada yang bisa mengikuti kecepatan gerak Leprechaun, termasuk Willem tentunya. Ia tidak mungkin bisa menghindari ataupun menangkis serangannya.

-- Kutori disayat.

... eh? Sebilah pedang menyayat dari kiri dan terus secara diagonal hingga sejajar pundak kanannya, juga menghancurkan tulang rusuknya saat menerpa. Ujung peraknya menyibakkan paru-parunya dan terakhir, tenggelam dalam jantungnya. Inderanya yang diperkuat semakin bisa menerima rasa sakitnya. Darah merah menyala memancar keluar, melukiskan ketidaksesuaian yang jelas terhadap birunya langit di latar. Dia bisa merasakan kematian mendekat.

Kenapa... tidak mungkin... bagaimana... Pemikiran-pemikiran singkat muncul dalam pikiran dengan tidak menentu, dan hanya hilang di kemudian. Dia telah siap untuk mati, namun tidak mengira akan di sini. Kekosongan yang mendekat menakutkannya. Matanya hanya melihat birunya langit, terus berputar selama-lamanya.

Punggungnya menghantam tanah, menyebabkan paru-parunya menjerit seperti kucing yang dihancurkan.

"... eh?"

Dengan kedua tangan dan kaki yang terbuka lebar-lebar, dia terbaring di tanah, menatapi langit. Dia masih melamun begitu untuk beberapa saat, menunggu kematiannya saja. Namun ternyata, dia menyadari hal aneh. Dengan hati-hati dia gerakkan tangannya, dia tepuk rusuknya, tempat di mana pedang tadi pertama menusuk. Tidak ada bekas luka. Tidak ada juga darah yang memancar. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada bekas luka oleh kekerasan yang baru saja terjadi padanya.

"Apa... yang terjadi?"

Dia bangun dan duduk perlahan. Seniolis, yang dia jatuhkan barusan saat terhempas, terguling di tanah dekatnya.

"Kalian salah mengerti masalah fundamental Kaliyon."

Kutori panik dan melihat arah datang suara Willem. Si pemuda berambut hitam ini berdiri di sana dengan santainya tanpa kelihatan berhati-hati

"Ini tidak merubah kekuatannya mengikuti jumlah Venenum yang dikeluarkan si pengguna. Apa bisa kau bayangkan kalau pedang-pedang ini, ditempa untuk membantu Emnetwyte yang super lemah yang tidak punya Venenum untuk membantu mengalahkan para Elf dan Naga yang kuat, hanya menambah sedikit kekuatan saja pada si lemah ini?"

Willem mulai membicarakan suatu hal. Kutori mulai merasa jengkel, tapi tidak mengerti kenapa. Sesuatu dalam kepalanya seperti mengajarkan padanya kalau dia tidak bisa mendengar perkataannya Willem lagi.

Dia fokus. Lagi, penglihatannya kembali berubah. Bergerak secara sontak, Kutori mengambil kembali Seniolis dari tanah dan tetap merendahkan tubuhnya, bersiap untuk serangan Willem. Dia tidak melihat serangan yang barusan diterimanya, namun dia tahu betul kalau itu pastinya adalah teknik untuk menangkis yang menggunakan momentum dirinya sendiri sendiri terhadap dirinya sendiri. Kutori yang dibutakan oleh kelebihannya yang bisa mengaktifkan Senjata Galian dan kemampuan untuk mempercepat inderanya, tidak pernah mengira hal seperti itu sebelumnya. Willem menyerangnya tepat di titik buta akibat keteledorannya. Kematian semu yang dia lihat pun bukan hanya sebatas khayalan, namun masa depan konkrit yang akan ditemui Kutori jika Willem tidak menahan diri. Dia hanya bisa menerima bahwa ia memiliki kemampuan berpedang, entah kenapa.

Tetapi, Kutori menolak untuk mengetahui hal lainnya. Dia tidak bisa menolak cara para peri yang sudah dipegang dalam waktu lama untuk menggunakan Senjata Galian dalam pertarungan. Sekarang ini, tubuhnya bergerak dengan lebih mudah dari biasanya. Dia merasa terhina karena mungkin pijatan Willem ini yang sudah membuat tubuhnya ringan, tapi dia tetap merasa berterimakasih. Terbakar oleh Venenum, dia bergerak secepatnya sejauh dua langkah yang biasanya butuh sepuluh langkah jaraknya. Langsung berhenti di saat masih di luar jangkauan serang senjata Willem, Kutori sengaja menunggu sekian detik untuk melancarkan timing-nya, dan kemudian melompat ke udara. Pedang perak di tangan kanannya mengarah pada pundak, tapi serangan sesungguhnya adalah tendangan kaki kiri yang mengarah pada rusuknya Jika kena, tendangan yang diperkuat Venenum ini sudah bisa membuat Willem tidak sadarkan diri. Tapi dia harus melakukannya sampai sejauh itu, karena jika tidak, ia tidak akan mengerti.

Mengerti apa?

Keraguan pun muncul dalam benaknya, namun langsung dia singkirkan. Kali ini, dia bisa melihat pergerakan Willem. Dengan manuver tenang, ia mengangkat pedangnya dan menangkis serangan dari Seniolis. Ini menyebabkan Kutori terpental untuk sepersekian detik, memberikan kesempatan bagi Willem untuk menggerakkan tangan kirinya pada sisi perut Kutori.

Dinamik dalam situasi ini berubah jadi buruk. Tubuh Kutori terputar dan terbalik ketika terhempas di udara.

A-Apa!?

Sekali lagi, langit musim gugur yang tak berawan mengisi pandangannya. Tetapi, setidaknya dia tidak sekarat. Dengan tangan kirinya dia menggapai tanah dan memaksa menghentikan pentalan ini dengan jari-jarinya. Kelima kuku jarinya yang masuk ke dalam tanah serasa mau hancur, tapi Kutori bisa mempertahankan keseimbangannya.

"Wah... pengembalian yang baik."

Suara Willem yang terpanah hanya membuatnya semakin geram. Dia jadi yang terpanah sekarang.

"... kenapa bisa?" Tanya Kutori, suaranya gemetar karena frustasi.

"Hm? Kenapa?" Timbal Willem dengan datar.

Sepertinya ia tahu dia memiliki pertanyaan untuknya. Kutori, yang sudah tidak punya motivasi lagi untuk melakukan serangan kejutan lain, hanya jalan pincang dan mengayunkan Seniolis. Dengan tenang Willem menggunakan pedangnya untuk menangkis. Dia bisa melihat adanya cahaya keluar dari retakan pada Percival.

“Mau sekuat apapun aku paksa sihir penglihatannya, aku tidak bisa melihat ada Venenum yang keluar dari tubuhmu. Tapi pedang itu sudah aktif. Kenapa ada aturan yang terlanggar begini?"

"Aku baru saja mau menjelaskan waktu kau mau membunuhku... Kaliyon didesain untuk menggunakan kekuatan dari setiap orang yang disentuh pedang itu, bukan penggunanya. Semakin kuat musuhnya, semakin kuat juga pedang tersebut. Itu kenapa ini bisa digunakan untuk membunuh para Naga dan Dewa. Kali ini, Percivalku bisa dengan mudahnya meniru semua Venenum yang kau berikan pada Seniolis. Baiklah..."

Kutori merasakan sesuatu yang membuatnya gentar. Sebuah serangan datang. Langsung karena insting, tubuhnya bergerak mundur sekuat tenaga sembari meningkatkan setiap indera dan menyurutkan warna-warna dalam pandangannya. Setelah menghindar secepat kilat, dia hilang keseimbangan dan berakhir jatuh di tanah.

Dia tidak tahu apakah tadi gerakkan yang betul atau tidak untuk dilakukan, sementara Willem belum beranjak dari tempatnya sedikitpun. Ia masih dalam postur yang sama, hanya memegang pedangnya dengan begitu, hanya ekspresi terkesan saja yang kini jadi pembeda.

"Tubuh dan pikiranmu kelihatannya bergerak dengan baik. Venenummu pasti bekerja dengan baik. Juga, kau punya persepsi yang baik. Mungkin kau bisa meningkatkan strategimu, tapi tidak begitu penting jika tipe pertarungan yang kau geluti hanya itu. Juga, kau masih punya pilihan untuk mengamuk, kan? Yah. Wajar saja kau masih bisa bertarung dengan caramu itu hingga sekarang.

Willem menjatuhkan pedang di tangan kanannya. Kutori yang masih waspada terhadap trik lainnya, berdiri dengan kening yang mengerut, tapi Willem masih terus bicara.

"Aku senang. Kau kuat, dan kau masih bisa tumbuh lagi. Jadi...sebaiknya... kau harus pulang.". Pada akhirnya, suara Willem hampir seperti hanya bisikkan.

Goyah tubuhnya sebelum akhirnya jatuh ke tanah dengan menghadap langit, menyebabkan debu-debu bersebaran. Kutori masih tidak lengah. Dengan hati-hati dia melihat pedangnya yang telah tergeletak di tanah, kedua kakinya mengarah pada dia, kedua tangannya terbuka lebar seakan ingin memeluk langit, matanya yang tak bernyawa menatap ke atas... tak bernyawa?

Setelah Kutori menyadari ada hal yang aneh, Nephren mendekat untuk memeriksa denyut jantung dan nadinya.

"Ah." Dia kelihatan tidak begitu terkejut.

"A-Ada apa?" Tanya Kutori, yang masih waspada. Dia sedari tadi kerap dikejutkan oleh Willem, hingga kini masih belum mampu melemas. Atau begitulah kurang lebih hal yang dia katakan sambil terus menggenggam Seniolis.

"Ia sekarat," ucap Nephren dengan desahan.

"...eh?"














Referensi Penerjemah[edit]

  1. Perihal ramal-meramal (Necromancy).



Bagian 3: Gudang Peri Halaman Utama Bagian 5: Si Perempuan Mekanis yang Tangguh