Difference between revisions of "Bagian 2: Si Pria yang Tak Bertanda"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
m
 
Line 341: Line 341:
   
 
Willem dengan nafas tertahan bergerak menuju pintu tanpa bersuara sedikitpun. Ia. Letakkan tanagannya pada knob pintu, berhitung sampai tiga dan membukanya dengan cepat. Para perempuan-perempuan cilik itu jatuh masuk ke ruangannya dan membentuk reruntuhan pelangi lagi.
 
Willem dengan nafas tertahan bergerak menuju pintu tanpa bersuara sedikitpun. Ia. Letakkan tanagannya pada knob pintu, berhitung sampai tiga dan membukanya dengan cepat. Para perempuan-perempuan cilik itu jatuh masuk ke ruangannya dan membentuk reruntuhan pelangi lagi.
  +
  +
[[Image:SukaSuka Chapter 2 Part 2.png|thumb]]
   
 
“A-Apa?!"
 
“A-Apa?!"

Latest revision as of 05:02, 5 May 2018

Apa aku ini? Willem seringkali menanyakannya pada diri sendiri, namun jawabannya mudah: seorang manusia di tempat manusia tidak seharusnya ada. Dengan ia ada saja sudah tidak masuk akal. Karena tak mungkin kembali ke rumah, ia berkelana, selamanya bagai anak hilang.

Di kala mentari terbenam, jalan utama kota menjadi hidup dan berwarna, diterangi oleh lampu kristal yang menggantung di tembok. Seberkas asap ungu muda berhembus, yang kemudian lenyap diterpa orang-orang yang lalu-lalang. Seekor Borgle mengeraskan suara untuk menarik pelanggan. Seekor feline Ayrantrobos wanita, mengeluarkan sebatang rokoknya. Sekumpulan Orc melalui jalanan dengan gelak tawa.

Gang sempit tempat Willem berada jauh lebih tenang. Mungkin hanya ada sebuah bangunan yang memisah kedua jalan tersebut, namun hampir tak terlihat ada hiruk-pikuk yang terjadi di dalam sana.

Ia membayar 32,000 Bradal, sehingga sisa utangnya kini tinggal sekitar 150,000-an. "Aku butuh waktu kurang-lebih setengah tahun lagi, Grick." Willem menghadapi kawan lamanya dan memasang senyum terbaik yang bisa ia kerahkan. "Akan kusiapkan uangnya saat itu."

Mereka duduk di sebuah restoran kecil. Willem mengenakan mantel tua yang banyak bercaknya, namun dengan tudung yang tak menutup kepala, menampakkan wajah tak bertandanya.

“….”

Si pria yang bernama Grick, Borgle berukuran biasa, menghitung uang yang Willem serahkan dengan ekspresi yang tidak senang. Di dalam amplop terdapat setumpuk mata uang receh Bradal, yang mana membuat proses penghitungannya jadi lebih lama.

Keheningan yang terasa canggung pun mengikuti.

“Ahh… oh! Benar juga… bagaimana keadaan Anaala dan yang lain?"

“Anaala? Buruk. Dia ditelan oleh 'Si Tiga' bulan lalu," jawab Grick dengan cepat dan tak acuh, tanpa matanya lepas dari uang-uang itu. "Omong-omong, Gulgura juga mati. Kau tahu bagaimana Pulau Melayang ke-74 jatuh kemarau lalu? Ya, ia terjebak saat itu… kini ia hanya debu kecil di daratan sana."

"Ah… maaf… seharusnya aku tidak menanyakannya.” Pundak Willem turun karena berita sedih tersebut.

Grick, kelihatannya tidak begitu peduli, hanya tertawa. "Santai saja. Kami semua pemburu. Dari saat kami menginjakkan kaki di tanah itu, kami siap untuk mati… atau untuk mengorbankan orang lain jika perlu. Terlebih, mereka berdua telah hidup cukup lama. Kebanyakan pemburu mati di hari pertama mereka melangkahkan kaki di bawah sana."

Ia selesai menghitung. "Yah, ini pas 32,000." Grick dengan rapi menyejajarkan semua uang kertas tersebut sebelum menaruhnya kembali di amplop. "Tapi Willem… kau serius akan ini?"

“Akan apa?”

“Butuh setengah tahun untukmu mendapat 30,000 ini… sisa utangmu 150,000, andai semua berjalan lancar pun kau masih membutuhkan dua setengah tahun lagi."

“Oh, itu. Maaf, sekarang ini aku tidak bisa membawa uangnya dengan cepat."

“Bukan aku ingin memaksamu atau apa, tapi…” Grick terhenti untuk memasukan amplopnya ke dalam tas kulit lusuh. “Seperti yang kau tau, pulau ini terisi oleh mayoritas yang membenci makhluk tak bertanda. Kau tidak mungkin bisa dapat pekerjaan yang pantas. Sekarang kau hanya hidup pas-pasan dengan kerjaan gaji rendah, 'kan?"

“Ah… yah…” Willem menghindari kontak mata.

Grick menatapnya serius. "Jadi uang ini hampir seluruh pendapatanmu dari enam bulan?"

“Dikurangi uang makan… kerjaanku belakangan tak menyediakan makanan."

“Bukan itu maksudku," desah Grick. Ia mulai mengetuk-ngetuk jari berotot khas Borglenya di meja, jelas kelihatan jengkel. "Apa kau melakukan sesuatu dalam hidupmu selain membayar hutang? Itu yang ingin kukatakan… sudah setengah tahun sejak kau tersadar. Apa kau belum menemukan sesuatu yang ingin kau lakukan? Sesuatu yang ingin kau nikmati?"

“Yah… kau tau, orang bilang mengarungi kehidupan saja sudah menyenangkan…”

“Jangan beralasan menyedihkan begitu demi membela hidup membosankanmu." Ucap Grick dengan tajam. "Aku hidup demi apa yang kusukai; Lautan harta karun yang berada di daratan bawah sana.

Material dan teknologi yang ada di sini berserakan dan boleh siapapun untuk ambil. Mencari dan membawanya kembali untuk dijual adalah hal yang kusuka. Pulang dengan tangan hampa… itu pun bisa menyenangkan dengan caranya sendiri. Tanpa sengaja memasuki sarang 'Si Enam'… saat-saat seperti itulah yang membuatku merasa sangat hidup.”

Untuk sesaat, Grick melamunkan petualangan lamanya. "Itulah yang kami para pemburu lakukan. Kau sendiri bagaimana, Willem? Kalau kau orang serius yang suka kerja keras, oke saja buatku… Tapi apa kau pernah memikirkan apa lagi yang akan kau lakukan setelah membayar hutangmu ini?"

“Kopinya agak asin ya?" Tindakkan mengelaknya terlihat sangat jelas. Grick melihatnya dengan heran, tapi masih belum bisa menjawab, Willem mengeluarkan tawa setengah hati. Lalu suasana pun hening seketika.

Pada umumnya, Borgle merupakan makhluk berkarakter simpel; mereka hanya mengikuti insting mereka. Tentunya berbeda-beda tiap individu, namun Grick merupakan Borgle yang memakai otaknya, hingga Willem meragukan identitasnya. Pun, ia orang yang baik, yang mana jadi aspek sifat Grick yang Willem sendiri masih sulit menanggapinya.

“Nah, Willem… aku mungkin punya pekerjaan buatmu. Kau coba saja." Grick memecah keheningan dengan pertanyaan. "Aku kenal orang yang sedang butuh tenaga… ini kerjaan gampang, tapi ini berarti kau harus bekerja dengan yang tak bertanda untuk waktu lama, jadi dia tidak begitu berharap ada yang mau. Toh, menurutku kau tidak ada masalah kalaupun bekerja dengan yang tak bertanda."

"Kenapa tidak kau saja yang melakukannya? Maksudku, kau saja bisa bekerja denganku."

"Aku pemburu. Jiwa ragaku ada di bawah sana, di tanah. Pekerjaan yang harus menjebakku di atas sini bisa buatku gila," ucap Grick dengan tawa kecil. "Mengenai yang harus kau kerjakan… Yah, intinya adalah, kau akan mengurusi senjata rahasia Tentara Bersayap."

“Tentara? Senjata rahasia?” Kedua kata itu tidak memiliki konotasi yang ramah.

Kata ‘tentara’, di Regul Aire sini, biasanya mengarah pada organisasi resmi yang dibuat untuk menghalau serangan dari ’17 Makhluk Buas’. Meskipun dengan dataran yang terletak di atas, Tentara Bersayap masihlah kesulitan menghadapi Makhluk Buas tersebut. Lagipula, merekalah musuh yang sudah menghancurkan segala kehidupan di tanah bawah sana. Agar memiliki kemampuan sekuat mungkin, para tentara telah melakukan segala cara yang mungkin dilakukan -- atau setidaknya begitulah yang digosipkan di jalanan.

“Kau tau sendiri. Aku tidak bisa bertarung lagi.”

“Aku tau, aku tau. Hanya karena aku bilang tentara, tidak berarti kau akan bertarung lagi. Masih ada pekerjaan dibalik meja, kau tau?”

“…misalnya?” Penjelasan yang diberikan Grick tidak memberikan imej yang bagus bagi Willem. “Apa orang yang tua sekalipun bisa mengerjakan ini?”

“Aku rasa tidak akan jadi masalah. Kalau masalah tulis-menulisnya yang kau kuatirkan, aku bisa mengurusnya.” Grick tertawa lagi. “Begini pokoknya. Aku dengar senjata rahasia itu diurus dengan baik oleh Perusahaan Perdagangan Orlandri. Seperti yang kau ketahui, hukum melarang orang biasa memiliki senjata dengan kekuatan tertentu. Tetapi bagi tentara, Orlandri adalah sponsor terbesar, mereka tidak mau merusak hubungan dengan mereka. Terlebih, meskipun Tentara Bersayap harus menyimpan senjata-senjata itu, mereka tidak akan bisa mengurus atau menjaganya dengan teknologi dan keuangan yang sekarang.”

“Jadi secara tertulis, semua senjatanya adalah milik tentara... tapi sebenarnya, perusahaan perdagangan itu yang memilikinya?”

“Tepat sekali. Para tentara mengirim seorang nadir ke sana, tapi ia tidak melakukan apapun. Bagi tentara, nadir[1] itu adalah pekerjaan yang tidak berguna. Tidak punya otoritas, dan hasil kerja pun tidak bisa dipublikasikan karena berurusan dengan senjata rahasia. Itu merupakan satu langkah mundur fatal bagi karir setiap tentara. Itu kenapa mereka mulai mencari orang yang bukan tentara.”

Grick menatap Willem dengan mata Borgle berwarna kuningnya. “Seperti yang kubilang, aku bisa memberimu gelar sebagai tentara. Karena nadir sebenarnya tidaklah melakukan apapun, kau tidak perlu punya bakat khusus. Kau hanya perlu kesabaran dan bisa tutup mulut. Juga, bayarannya sangat mantap. Hutangmu akan lunas dan kau pun masih akan punya sisa uang. Gunakan uang itu untuk hidup dengan caramu sendiri. Aku tau kau punya problema khusus, tapi kau jangan menghabiskan nyawa yang sudah diberikan padamu. Itulah apa yang aku dan yang lain ingi―“ Grick menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ah, maaf… sepertinya aku jadi terlalu lembek setelah melihat banyak temanku meninggal.” Pada wajah Borgle itu terubah ekspresinya dengan sebuah senyum masam.

Semakinlah sulit untuk menolak permintaan tersebut. “Baiklah, tolong jelaskan dengan lebih detail mengenai pekerjaan ini.”

“Kau mau mengambilnya?”

“Aku akan memutuskan setelah dengar lebih jelasnya. Jadi jangan katakan apapun yang bisa membuatku tidak mau menolaknya.”

“Oke. Pertama-tama…” Sebuah keceriaan terlihat di wajahnya, Grick melihat cangkirnya yang berisikan kopi. “Asin juga ya… kopi ini.” Keluarlah senyum sepenuh hati darinya.

Grick merupakan Borgle berakal nan jua bersimpati. Dengan kata lain, orang baik, terkadang Willem kesulitan menanggapinya.



Pulau yang berjumlah ratusan dan membentuk Regul Aire punya sistem penomoran. Di tengah-tengah terdapat Pulau Melayang ke-1, dan dari sana nomor-nomor pun tersebar dengan bentuk spiral. Semakin kamu menjauh dari tengah, semakin pula nomornya membesar.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu jadi perhatian. Pulau yang tengah, yakni nomor 1 hingga 40, berletak cukup dekat dengan pulau sebelahnya. Dalam beberapa kasus ekstrim, terdapat pula dua pulau yang terhubung oleh jembatan. Kedekatan antara dua pulau memberikan pertukaran budaya dan ekonomi, yang mana membawa kemakuran pada kota-kota di sana.

Di sisi lain, pulau yang berletak di ujung, yakni setelah nomor 70 keatas, memiliki jarak yang masing-masing jauh dan selalu berbentuk kecil. Alhasil, kota-kota pun jarang, penduduk sedikit, dan tentunya kurang makmur. Bahkan ada pula yang sangat tertutup sampai-sampai kapal udara relasi publik saja tidak mendatanginya.

Fasilitas yang akan jadi lapang kerja baru Willem berada di Pulau ke-68.

Cukup jauh hingga tidak akan dapat hubungan langsung degan kapal udara relasi publik, pulaunya harus lebih kreatif untuk bisa mendapat kewenangan itu. Membeli atau menyewa kapal udara pribadi secara keuangan mustahil dilakukan, jadi Willem memilih naik kapal angkutan umum hingga ke Pulau ke-53, pemberhentian terdekat menuju tempat yang akan ditujunya. Dari sana, ia menyewa tukang sebrang untuk membawanya menyebrang.

Perhitungannya tepat -- kecuali satu hal, yang mana Willem sadari saat ia sampai di Pulau ke-68. Matahari terbenam sepenuhnya.

Angin dingin yang kuat pun menerpa. “Haha…gagal total.” Berdiri sendiri di pelabuhan yang sepi, Willem tertawa sendiri. Keliman jas pada seragam tentara yang baru ia gunakan mengepak-ngepak di udara.

Tukang seberang itu pun langsung bergerak cepat kembali ke Pulau ke-53 setelah menurunkan Willem, jadi, tidak ada kata kembali lagi. Ia melihat sebuah papan tanda, dengan pencahayaan seadanya. Berdasarkan papan tanda itu, kota terdekat jaraknya 2000 malumel ke arah jam tiga, sementara gudang ke-4 Perusahaan Perdagangan Orlandri jaraknya 500 meter ke arah jam sembilan. Di samping tanda itu, terdapat dua pahatan kayu berbentuk panah yang saling berlawanan arah.

“Pasti ini,” gumam Willem pada dirinya sendiri, karena mengingat Orlandri. Panahnya menunjuk pada sebuah jalan sempit yang mengarah pada hutan rindang. Tentunya, tidak ada lampu jalan atau semacamnnya dari yang ia lihat. Meski berjalan menelusuri tempat tak bercahaya itu tidaklah mengenakan, Willem tidak bisa diam di sini dan menunggu sampai pagi. Awalnya ia ingin menuju ke kota dan mencari sebuah penginapan, tapi jalan ke sana masih terlampau panjang dan tentunya tidak lebih terang. Melihat langit berbintang sekali lagi, Willem mendesah dan melangkah ke dalam kegelapan.

Bintang itu terkadang mengintip dari celah di antara pohon, memberikan Willem cukup cahaya untuk tetap pada jalannya. Namun jika berjalan dengan begitu, membuat gerak jalannya melambat. ‘’Gelap.’’ Tentunya, Wilem tau itu bahkan dari saat sebelum melangkah menuju hutan. ‘’Aku tidak bisa melihat kakiku melangkah’’. Ini pun sudah ia perkirakan sebelumnya, tapi ia masih mengeluhkan hal itu.

Saat berjalan dengan payah, Willem tiba-tiba saja mengingat sebuah dongeng yang ia baca ketika kecil. Seorang bocah memasuki sebuah hutan di saat malam di musim panas, hingga ia tidak kembali lagi. Di hutan, sekumpulan peri menyekapnya dan membawanya pergi ke negerinya di dunia lain --- atau sesuatu yang semacam itu. Saat itu, Willem berpikir kalau mungkin hal yang sama pun akan menjemputnya, jadi ia berjanji tidak akan dekat-dekat dengan hutan di malam hari. Guru dan si "anaknya" seringkali mengejeknya karena ini. Sekarang karena ia bukan bocah penakut lagi, hal itu terasa seperti cerita lucu baginya, tapi…

“Tidak ada binatang berbahaya di sini…’kan?”

Antara diculik peri dan dimakan binatang buas, kemungkinan kedua merupakan masalah yang paling relevan saat ini. Hutan ini dan Pulau ke-68 itu sendiri dikatakan cukup besar dari standar Regul Aire. Tempat itu bisa dianggap sebagai tiruan dari alam yang pernah diketemukan di tanah, jadi ia tidak bisa menghilangkan kemungkinan akan diserang oleh serigala ataupun beruang yang bersembunyi dalam kegelapan.

‘’Apa aku sanggup menahan serangan beruang?’’ Tanya Willem pada dirinya sendiri. Bagi dirinya yang dulu, beberapa binatang buas bukanlah masalah. Namun sekarang, karena telah kehilangan kekuatan, ia tidak bisa yakin.

Ia merasakan sesuatu yang basah di bawah kakinya. Seakan ia sudah melenceng dari jalan saat ia melamun. Dari harum air yang tercium lemah, dan juga suara dari tekstur tanahnya, Wilem menganggap ia tersasar ke daerah yang basah.

Campuran air, lumpur, dan angin menghasilkan harum yang entah kenapa membuat rindu. ‘’Apa tempat ini benar-benar di langit?’’ Sambil membayangkan rumah, ia mengarungi gelapnya rawa itu dengan senyum masam. Dari sudut matanya, ia melihat secercah cahaya. Bola cahaya itu bergerak menggantung dengan tidak menentu ke kiri-kanan sambil perlahan membesar. Seseorang datang.

“Apa ada yang mendatangiku?”

Ketika si kapal tukang seberang tadi mendarat di pelabuhan, mungkin saja fasilitasnya sudah mengetahuinya. Kalau begitu, tidaklah mengejutkan kalau ada teknisi atau peneliti atau hal lainnya melihat itu dan datang menjemputnya.

‘’Wah, kalian tidak semestinya datang jauh-jauh hanya untuk menjemputku.’’ Willem mengatakan itu dalam kepalanya saat ia bergerak menuju cahaya.

“Kena kamu!!”

Cahaya itu melompat ke udara. Teriakkan pernyataan bertarung, yang walau sebenarnya sedikit terlalu imut untuk dikatakan teriakkan, bersuara pada udara lembab sana. Willem melihat sebuah pedang kayu menusuk keluar dari kegelapan, bergerak turun dari atas dengan kecepatan yang sangat tangkas.

‘’Kenapa?’’ Ia berpayah-payah mencari alasan kenapa ia tiba-tiba diserang. ‘’Ini buruk.’’ Menghindari serangannya saja akan mudah. Yang jadi masalah adalah si penyerangnya, yang mana sedang bergerak di udara, dia akan jadi penarik perhatian karena jika dipikir dengan mengikuti hukum fisika, dia akan jatuh ke tanah rawa yang ada di belakang Willem.

‘’Harus apa… harus apa…’’ Sebelum terpikir apa yang harus dilakukan, tubuhnya langsung bergerak dengan sendirinya. Willem melangkah maju, memosikikan dirinya di bawah daya serang pedang itu. Ia merentangkan tangannya dan menerima beban penuh dari tubuh si penyerang. ‘’Ah. Lebih berat dari yang kukira… sepertinya kakiku tidak akan kuat lagi.’’

Instingnya sebagai tentara benar saja, mengubah gerak tubuhnya menjadi mode untuk menyerang dan mencoba mengaktifkan Venenum dari dalam tubuhnya. Ini biasanya akan menguatkan ototnya dan mempertajam pikirannya, tapi Willem malah merasakan rasa sakit yang kuat pada sekujur tubuhnya. Kekuatan di tangannya lenyap, dan ia terjatuh ke belakang, mendaratkannya di daerah basah dengan suara yang keras.

Di saat setelah jatuh, hampir seluruh rasa panas dari Willem telah terbawa hilang oleh air yang membuatnya basah kuyup. Api kecil yang mungkin dibuat oleh Venenum menyala di tangan kanan si penyerang. Cahaya itu seakan membuat dunianya sendiri, seakan tidak ada hubungannya dengan kegelapan yang mengelilinginya.

Si penyerang terduduk di perut Willem dan melihatnya dengan wajah puas. Willem melihat rambut dan mata yang sama-sama ungu warnanya.


“Panival! Apa yang kamu lakukan?!”


Sebuah cahaya sihir lagi, menari-nari di antara pepohonan menghampiri. Tak lama, gadis lain muncul dari kegelapan. Willem mengingat rambut biru langitnya.

Si perempuan berambut ungu masih terdududuk dan mengangkat kepalanya, menyombongkan diri pada orang yang baru datang itu. “Si karakter misterius sudah ditaklukkan.”

“Kamu tidak seharusnya ada di sini, tanah di sini semua basah-basah jadi baha--- eh?” Si gadis yang tak asing itu melihat Willem dengan muka terkejut. “Si karakter misterius itu… kamu? Kenapa?”

“Yah… lama tidak bertemu…” Ia sedikit mengangkat tangannya dan melambaikan tangan sambil tersenyum pada si gadis.



Tentunya, Willem tidak kuat berbasah-basahan seperti tadi untuk selamanya. Setelah mandi dan mengganti pakaian, ia berdiri di depan sebuah cerrmin. Sesosok lelaki berambut hitam membalas tatapannya dengan ambisi yang nol besar. Senyum lemah yang ia kenakan terasa sangat alami, seakan otot wajahnya secara permanen dibentuk jadi seperti itu.

Untuk menutupi dirinya yang tak bertanda, Wiillem pernah memakai taring dan tanduk palsu. Akan tetapi, ia jadi kelihatan menyeramkan sampai membuatnya stres sendiri. Ia menyimpulkan tambahan khas di wajah begitu ditujukan untuk mengungkapkan keganasan seseorang saja, jadi tidak begitu pas dipakai pada orang yang tidak punya keganasan dalam diri mereka.

Sambil memeriksa apakah masih ada lumpur tersisa di tubuhnya atau apakah masih ada bekas luka, Willem mengaca pada dirinya, mengingat betapa lemahnya ia sekarang. Menggunakan sedikit Venenom saja sudah membuatnya repot. Padahal dulu, ia bisa siap bertarung meski dalam tidur.

‘’Kurasa sekarang tidak perlu lagi aku pikirkan hal yang sudah hilang.’’ Willem melangkah keluar, ke lobi dari fasilitas tentara[2] --- yang mana tidak kelihatan seperti fasilitas tentara sama sekali. Lantainya dibuat dari papan kayu tua yang rusak, dan banyak plester di temboknya. Beberapa kamar berjejer di lorong dengan jarak yang tidak jauh sama sekali. Tertempel pula pada tembok di sisi Willem tiga lembar kertas: satu menampilkan jadwal piket rumah, satu tanda peringatan toilet rusak di lantai dua, dan satu lagi tulisannya ‘Jangan berlari di lorong!’.

Terakhir, ia melihat beberapa anak perempuan mengintip dari belakang banyak benda, semua ingin melihat si lelaki asing yang baru itu.

“Lewat sini.”

Si gadis berambut biru mengantarnya. Setelah bisa melihatnya lagi dari dekat, Willem mengira-ngira umurnya mungkin sekitar lima belas, ini berdasar pada standar manusia. Dia punya tubuh dan ciri khas yang sama seperti manusia, tak bertanda. Yang membedakannya ialah rambut birunya, mengingatkan pada langit musim semi. Seorang Emnetwyte tidak mungkin bisa memiliki warna rambut begitu, betapapun ia berusaha mewarnainya.

Dibandingkan dengan saat mereka bertemu di Pusat Perbelanjaan Briki, si gadis kini terlihat lebih tenang dan dingin. Walau begitu, Willem tau kalau itu bukanlah sifatnya yang sebenarnya. Setiap kali dia bingung atau ragu, selalu terlihat jelas dari mata biru lautnya.

Orang bilang, terserah kau mau bertingkah bagaimana pada orang di tengah perjalanan, karena mereka tidak akan menemuimu lagi. Si gadis yang Willem lihat beberapa hari lalu pasti memiliki pemikiran begitu. Dia mengingatkannya pada rekan kerjanya dulu, seseorang yang sulit jujur pada dirinya sendiri. Saat ia memikirkan teman lamanya, sebuah senyuman terpasang di wajahnya.

“K-Kenapa?”

“Ah, bukan. Ayo terus.”

Biasanya perempuan itu akan gugup waktu melihat Willem, seperti dia ingin bilang sesuatu, terus dia hanya berbalik dan menjauhinya. Karena tidak mengerti sifat adem-ayemnya sekarang, Willem tetap mengikuti tanpa bercakap apa-apa. Si gadis berambut ungu yang kelihatan masih berumur sepuluh tahun, Parnival, mengintip mereka dengan rasa penasaran.

Setelahnya mereka sampai di sebuah ruangan yang kelihatan nyaman, dengan sebuah meja dan kursi, sebuah rak buku, kasur, dan beberapa tambahan lain berserakan.

“Ini seharusnya gudang, 'kan?" Sontak keluarlah pertanyaan yang dibingungkan Willem dari sejak ia masuk kemari.

“Reaksi yang biasa sekali."

Seorang perempuan duduk di ruang itu. Tak bertanda jua. Dari penampilannya, dia mungkin delapan belas tahun, seumuran Willem, atau mungkin sedikit lebih tua. Rambut yang tidak begitu merah jatuh hingga sampai pundaknya. Mata hijau rumput miliknya terkunci pada Willem, dan dia juga mengenakan blus dengan apron. Sikap lembut berbudinya memberikan kesan elegan padanya.

“Selamat datang di gudang senjata rahasia," ucap wanita itu. "Lama tidak bertemu, Willem. Kamu bertambah tinggi, ya?"

“…kenapa kau di sini, Naigrat?" Heran Willem.

Suara benturan yang lemah bergema dari luar, namun Willem berpura-pura tidak dengar.

"Kenapa? Tentu karena aku bekerja si di sini. Aku terkejut saat aku dengar kamu dari Grick. Aku tidak habis pikir kamu akan dikirim kemari. Oh, selamat atas kenaikan jabatannya, Willem Kumesh, Teknisi Senjata Terkutuk. Naik pangkat cepat juga, ya? Kamu saja langsung itu jabatannya di hari pertama masuk militer…”

“Jangan melecehkan aku… Aku tahu itu cuma jabatan yang tidak berarti. Ngomong-ngomong… Si 'orang yang butuh tenaga untuk kerjaan gampang' yang dikatakan Grick…"

“Ah, itu aku."

“Si brengsek itu." Willem mencatat dalam batinnya kalau ia akan menghajar Grick saat mereka bertemu lagi. Grick sendiri mungkin sudah bersiap, karena ia sadar sudah menyiapkan jebakan ini untuk Willem.

“Oh iya, hutan malam-malam begini sangat menyeramkan, 'kan? Kalau saja kamu menghubungi kami dulu sebelumnya, sudah kami jemput kamu dari pulau terdekat."

Naigrat mengarahkan Willem untuk duduk. Sebuah set untuk menikmati teh tertata di meja, mungkin sudah siap saat Willem mandi tadi.

“Aku tidak biasa berkendara selama itu…dari sini, Pulau ke-28 lebih jauh dari yang aku kira. Nanti lagi akan menghubungimu."

“Iya, lebih baik begitu…ngomong-ngomong, pakaian itu sangat cocok untukmu."

“Tapi ketat dan pengap…”

“Jangan ungkap hal yang menyedihkan, Willem…dibandingkan saat pertama kali kamu terbangun, kamu dua puluh persen lebih kelihatan enak."

“Jadi resikoku untuk mati meningkat dua puluh persen…"

“Aw, jahat sekali…kamu bisa percaya padaku. Pernah, 'kan, aku bilang begitu padamu? Meskipun aku Troll dan kamu adalah hidangan yang super duper langka, aku tidak mau memakanmu." Naigrat menepukkan kedua telapaknya, lalu memiringkan kepalanya dan meneruskan. "Maksudku, tidak baik menyia-nyiakan satu-satunya manusia yang ada di dunia hanya untuk memuaskan rasa lapar sesaat."

Harus diakui Willem bahwa mimik yang dia buat cukup imut, namun kata-katanya membuatnya merinding setengah mati.

“Tapi tentu saja, kalau kamu bilang aku boleh memakanmu, aku akan lakukan…"

"Tidak. Sama sekali tidak."

“Hmm? Kamu tidak mau berubah pikiran? Satu tangan saja, ya? Satu jari, ya?"

Willem mendesah. Semakin lama percakapan ini berlangsung, semakin terancam pula jiwanya.

Troll, adalah contoh monster yang paling paradigmatik, biasa muncul dalam kisah hantu yang diceritakan oleh pengelana di waktu zaman muda Willem. Seorang pria atau wanita berparas rupawan tinggal sebatang kara di sebuah rumah yang jauh dari perkotaan. Ketika pengelana yang mencari tempat istirahat datang, ia akan menerimanya masuk, menyambutnya dengan penuh semangat, mengurusinya, hingga saat tengah malam, ia akan memakannya.

Willem mengira cerita-cerita itu hanya mitos, tahayul yang dibuat supaya para pengelana tetap waspada di tempat asing, sampai tempo hari lalu. Waktu ia tahu bahwa Troll benar adanya sebagai salah satu tipe Ogre, Willem jadi tegang dan mulutnya sendiri menganga untuk lima menit penuh. Kemudian, si orang yang menceritakan hal itu pada Willem, yang ternyata adalah Naigrat, tertawa sambil berkata "Aku bingung harus bereaksi bagaimana waktu dianggap makhluk mitologi."

Lagi-lagi, Willem mendengar suara ketuk-ketuk dari luar ruangan. Ia merasakan ada sesosok yang ada di dekat mereka, tapi ia tetap memilih mengabaikannya.

“Kita bicarakan bisnisnya sekarang…aku diberitahu kalau aku tidak banyak melakukan apa-apa, tapi aku tidak tau rincinya seperti apa. Besok aku harus apa? Atau, aku harus apa sekarang?"

“Hmm…baiklah. Kamu mau, 'kan, tinggal di sini?"

"Tentunya. Aku dikirim ke sini untuk mengurusi 'senjata-senjata' itu, jadi aku harus tinggal di tempat yang sama dengan senjata ini."

“Dua orang sebelumnya datang di hari pertama lalu langsung pergi tanpa kelihatan lagi batang hidungnya, lho."

“Serius!?” Karena pikir Willem pekerjaaan yang didapatnya kini hanya kerjaan yang mudah.

“Jadi kalaupun kamu bilang 'aku ogah tinggal di sini!' dan memilih tinggal di tempat lain ya tidak masalah juga…"

"Kau bilang tidak masalah, tapi pas di saat aku berbalik pergi, kau akan langsung menusukku begitu, 'kan?"

“Kamu pikir aku ini orangnya bagaimana, sih…?"

Ogre pemakan manusia.

Willem menghela nafasnya. "Yah, tak acuh pada pekerjaan itu bertentangan dengan prinsipku, meskipun pekerjaannya tidak berarti. Aku datang kemari dengan niat untuk tinggal."

“Begitukah? Bagus!" Seru Naigrat kala dia menempatkan kedua tangannya di sisi mulut. "Kalau begitu, aku harus cepat-cepat bereskan kamarmu. Oh, pasti kamu lapar juga. Aku yakin masih ada sisa di ruang makan…besok aku akan merayakan kedatanganmu, jadi tunggu, ya!"

Mendesah lagi. Willem selalu kesulitan berurusan dengan Naigrat. Walau bukan karena dia ingin memakan Willem (sebenarnya keinginannya inilah yang paling besar pengaruhnya), sebagai lelaki, ia merasa kalau kelakuannya…terasa ada yang aneh.

“Hehe…mengurusi Willem…sudah hampir setahun, ya? Aku jadi tidak sabar."

Willem adalah lelaki, dan masih pemuda. Sebagai pemuda, emosinya masihlah labil. Dengan kata lain, dalam situasi yang seperti ini, diurusi oleh seorang perempuan (yang punya ras dengan tubuh mirip manusia), membuat hatinya sedikit canggung.

Tetapi, ia tau cara menanggapi kebaikan Naigrat, yang mungkin tidak ada perasaan cinta di dalamnya. Rasa pedulinya seperti seorang peternak yang mengurusi sapi-sapi atau ayam-ayam mereka. Dia baik pada Willem hanya memenuhi siklus biasanya, [urusi dengan sepenuh hati] ---> [makan].

Tolong tenang, instingku. Alasan, aktifkan. Orang di depan matamu adalah predator. Jantungmu berdetak lebih kencang karena hidupmu dalam bahaya. Jangan salah paham. Ujar Willem pada dirinya sendiri, terus-menerus sampai detak jantungnya kembali normal.

“Wajahmu kenapa pucat begitu?" Gadis itu masih tetap waspada terhadap perang batin si jejaka.

“Cuma ingin memastikan lagi…kau tidak akan memakanku, 'kan?"

“Tidak-tidak, aku hanya ingin mengurusimu saja. Kami para Troll secara alami suka memberikan pelayanan paling ramah pada tamu. Aku janji aku tidak akan memakanmu (untuk sementara ini)."

“Oke…bisa tolong ulang lagi bisikkanmu dengan jelas?"

“Hm? Aku tidak bilang apa-apa." Jawab Naigrat dengan acuh-tak acuh, lalu perlahan berdiri dan membuka pintu.

Warna-warna oranye, hijau, ungu, dan merah jambu terjatuh ke atas karpet seperti pelangi runtuh. Empat anak perempuan yang kelihatan masih sepuluh tahun dengan rambut yang beragam warnanya, saling bertumpukan.

“Hei! Jangan dorong!" Teriak satu perempuan yang ada di bawah temannya.

“M-M-Maaf! Maaf!" Ucap salah satu anak sambil terus menerus mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ayy Naigrat, ada apa?" Kata perempuan bernama Panival dengan tenang.

"Hei! Maaf!" Kata perempuan terakhir, meminta maaf dengan biasa ditambah dengan seringaian yang enerjik.

Anak-anak perempuan itu mulai berkata dengan berbarengan. Naigrat yang tidak memperhatikan omongan mereka hanya menaruh kedua tangannya di balik punggung, dan mengatakan sebuah perintah. "Kembali ke kamar kalian."

Salah satu anak perempuan dengan gemetar mengangkat tangannya. "Um…sebelum itu, kami ingin memperkenalkan diri kami sama nadir barunya…"

Yang lain mengangguk setuju.

“Kalian dengar yang aku bilang tadi?" Dia memiringkan kepalanya sedikit dan menatap mereka dengan tegas. Lalu, dia tersenyum. "Atau, kalau kalian masih bandel…aku akan memakan kalian!" Ancamannya diucapkan dengan suara lembut dan halus, seperti seorang ibu yang meninabobokan bayinya.

Tanpa basa-basi lagi, mereka langsung kabur dari ruangan itu. Itu merupakan gerakkan yang cepat.

“Baiklah, ayo." Naigrat berbalik dan memanggil Willem.

“Ah…” masih agak keheranan, ia tidak mampu menjawabnya.

Selama mereka berdua menyantap makan malam, Naigrat yang tengah berceria tersenyum terus dan bersenandung dengan pelan sembari terus melihat Willem. Karenanya, Willem merasa sedikit gelisah selama mereka makan.


Ruang manager-nya hampir tidak ada apa-apa di dalamnya. Meski tidaklah kecil, ruangan itu berisikan sebuah kasur, toilet, dan sebuah lampu yang menempel di tembok. Tidak ada karpet yang menutupi lantai kayunya, dan tidak ada gorden yang menutupi jendela. Pemandangan di luar jendela hanyalah hitam pekat, seakan jendelanya telah dicat oleh tinta. Melihat keluar saja membuat Willem merasa ia akan tersedot ke sana, atau dihancurkan oleh kegelapan yang mencekam.

Ruangan yang nyaman, pikir Willem. Biasanya, ia tinggal di sebuah apartemen yang dibuat untuk para buruh ras Borgle. Sulit untuknya merasa nyaman dan tidur di kasur yang ada karena adanya perbedaan antara tubuhnya dengan tubuh Borgle, pun masalah kebersihan jadi perhatiannya. Setiap malam ia lebih memilih tidur di lantai dengan bermodalkan sebuah selimut. Dibandingkan kamar seperti itu, kamar lain kelihatan seperti surga baginya.

Willem melempar barang bawaannya ke lantai dan mencoba kasur itu. Bahan lembut dan harum perlahan memulihkan rasa lelah tubuh hingga membawanya ke dalam tidur yang lelap.

“―sebelum itu…”

Ia berhasil melepas rasa nyaman dari punggungnya sebelum sepenuhnya terlelap. Pertama, ia harus melepas seragam militernya. Lalu, ia mengambil beberapa kaos yang ia bawa ke dalam toilet. Tidak ada tempat yang pas untuk menyimpan barang-barangnya yang lain, walau sedikit, sehingga ia simpan saja semua dalam tas.

Hening sekali. Kesenyapan ini menenangkan Willem yang selalu hidup di tengah-tengah huru-hara di Pulau Ke-28. ― atau sebaliknya…

“Menurut kamu ia sudah tidur?"

"Entahlah…aku baru pertama kali lihat laki-laki."

“Pelanin suara kamu. Kita bisa ketahuan."

Bisikkan-bisikkan dibalik pintu memecah kesenyapan itu. Mungkin bocah-bocah yang diurusi Naigrat tadi belum mau menyerah…

Willem dengan nafas tertahan bergerak menuju pintu tanpa bersuara sedikitpun. Ia. Letakkan tanagannya pada knob pintu, berhitung sampai tiga dan membukanya dengan cepat. Para perempuan-perempuan cilik itu jatuh masuk ke ruangannya dan membentuk reruntuhan pelangi lagi.

SukaSuka Chapter 2 Part 2.png

“A-Apa?!"

"M-Maaf! Maaf!"

“Halo, Pak Nadir! Malam yang indah ya?"

Willem berjongkok supaya bisa menatap mata mereka dan menggerakkan telunjuk pada depan mulutnya. Mereka kesap-kesip karena kaget untuk sesaat, namun kemudian mereka mengikuti gerakkan Willem pada diri mereka sendiri untuk menebak apa yang ingin dikatakan Willem.

Kalian akan dimakan Naigrat. Baik Willem dan perempuan-perempuan itu seakan saling membisikkan sesuatu dengan hanya saling menatap. Di mana pun dan kapan pun, waktu kamu melihat ada anak-anak ingin melakukan sesuatu, kamu bisa menakut-nakuti mereka dengan keberadaan sosok setan.

Willem mengarahkan mereka untuk masuk ke dalam. Kursi-kursinya tidak cukup untuk mereka semua, tapi mereka pasti akan ketahuan jika diam saja di lorong. Baru saja mereka mereka masuk, mereka langsung mengerumuni Willem, menyudutkannya di tembok.

“Kamu datang dari mana!? Apa ras kamu!?"

"Ada hubungan apa dengan Naigrat? Perbincangan kalian kedengaran rumit banget!"

“Kamu punya pacar? Sukanya cewek yang kayak 'gimana?"

“Makanan kesukaannya apa? Atau yang enggak disuka apa?"

“Eh, dari semua pertanyaan kami, mau jawab yang mana dulu?"

Seperti banjir bandang, pertanyaan terus saja berdatangan sampai Willem mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti.

“Akan kujawab pertanyaanmu dulu. Aku tidak punya pacar, tapi aku suka perempuan dengan umur sedikit lebih tua dariku yang baik dan bisa diandalkan. Makanan kesukaanku itu daging yang sangat pedas, dan aku tidak punya makanan yang tidak disuka ― tapi tempo hari lalu aku melihat kotak makan Reptrace, dan aku hampir muntah. Hubunganku dengan Naigrat itu seperti seorang peternak dan sapinya yang tersesat. Tadi pagi aku masih tinggal di Pulau ke-28. Dan rasku…aku punya darah campuran, jadi aku tidak tahu rasku apa." Willem memecah setiap meriam pertanyaan yang ada sambil menunjuk setiap orang yang menanyakannya.

Semua berdecak kagum. Merasa puas, Willem, tertawa bangga. Karena diurus oleh panti di masa kecil, menghibur anak kecil merupakan salah satu keahlian khususnya. Ngomong-ngomong, setiap kali si 'Putri', yang mana sama diurusi oleh pihak panti, melihat Willem seperti itu, dia akan menyebut Willem menyeramkan.

Ahh…anak-anak memang luar biasa. Anak-anak perempuan, tidak seperti wanita ― terutama si troll yang satu itu ― mereka tidak membuat Willem bingung dengan sikap mereka yang menimbulkan pemikiran yang tidak-tidak. Ia tidak perlu mencurigai motif dibalik kebaikan mereka. Ah…makhluk yang indah.

“Namaku Willem. Aku akan membantu-bantu di sini."

“Kamu bakal tinggal di sini?"

"Ya, soalnya itu kerjaanku."

Keluarlah lagi suara ketakjuban dari mereka. Berdasarkan bisikkan-bisikkan mereka, Willem menilai bahwa jarang sekali ada orang bertinggal di sini. Masuk akal, karena bepergian menuju ke Pulau-68 tidaklah mudah, Willem sudah merasakannya sendiri di hari ini. Sehingga wajah baru di sini menjadi hal menarik bagi mereka.

“Hei! Apa yang sedang kalian lakukan?" Sebuah suara yang terdengar seperti teguran terdengar dari lorong.

Mereka pun terpukul diam. Yang berdiri di luar bukanlah Naigrat seperti yang dikira Willem tadinya, namun si gadis dengan rambut biru langit.

“Ia sudah datang jauh-jauh dan pasti ia capek, jadi jangan ganggu ia. Kalian dengar kata Naigrat, 'kan?"

"Umm…ahh…" si perempuan berambut oranye hanya berkomat-kamit.

"Aku penasaran sekali," kata yang berambut ungu.

“Iya itu! Itu namanya hasrat yang enggak bisa tertahankan!" Seru si yang berambut merah jambu.

Memotong penjelasan mereka, si gadis berambut biru kembali mengomeli mereka. "Kalian dengar kata Naigrat, 'kan?"

“Siap bu!"

Mereka kembali mundur dengan sempurna. Willem mendengar ucapan selama tinggal yang menggema, yang semakin lama semakin lemah dan menghilang dari lorong.

"Hmh, mereka susah nurutnya." Kemudian dia melihat Willem. "Maaf ya…anak-anak di sini sukanya menganggu."

"Tidak masalah…aku terbiasa dekat anak-anak."

“Bagus kalau begitu, tapi jangan terlalu memanjakan mereka. Kalau kamu membiarkan mereka begitu saja, mereka bisa jadi liar."

"Haha, aku akan hati-hati." Willem tertawa, yang kemudian membuat si gadis menelan ludah seakan dia ketakutan.

Untuk sesaat terjadi kesunyian. Si gadis, yang Willem kira akan lanngsung bergegas pergi setelah membawa anak-anak keluar, tidak bergeming.

Dia seperti mengingat sesuatu. "Ah…maaf soal Parnival waktu di hutan barusan. Dia sedikit bersemangat…dia tidak bermaksud menyakitimu."

"Tak apa…aku tidak masalah. Karena sudah mandi, aku tidak akan masuk angin atau semacamnya."

“Oh…baiklah…um…" Dia terhenti lagi. "Kutori…"

“Hm?”

“Namaku. Bagaimana bilangnya ya… Jadi agak canggung juga karena sebelumnya aku bilang padamu untuk melupakan namaku…tentu kamu tidak perlu mengingatnya juga… Tapi karena kamu akan di sini…kurasa aku perlu memberitau padamu namaku."

“Ah….” Willem berpikir untuk sesaat. Oh, iya. Kita belum berkenalan.

“Aku Willem. Senang berkenalan denganmu, Kutori."

Dia diam sesaat untuk menghela nafas. "Juga…umm…" Karena tak bisa menemukan kata yang pas, dia hanya mengatakan, "Lupakan. Maaf sudah merepotkanmu…kamu isitirahat saja ya."

Saat Kutori berbalik untuk pergi, tiba-tiba saja Willem teringat akan sesuatu. Ia melupakannya saat berkenalan dengan Naigrat, tapi masih terngiang pertanyaan yang belum terjawab dari sejak ia datang kemari.

“Tunggu…aku ingin bertanya."

“Eh?”

Pintunya yang baru saja ditutup perlahan terbuka dengan derakan. "Aku kemari sebagai pengurus senjata Perusahaan Perdagangan." Si gadis mengangguk. "Dan ini gudang tempat senjata-senjata itu."

"Mhm." Dia mengangguk lagi.

“Tapi aku lihat-lihat, tempat ini tidak seperti gudang bagiku. Di mana senjata-senjata itu?" Ia melihat ke sekeliling ruangan itu. Ke luar jendela. Ke manapun ia melihat, hanya ada bangunan biasa. Tidak seperti gudang.

Atau mungkin, saat ia dengar kalau senjata-senjata itu digunakan untuk melawan ke-'17 Makhluk Buas', Willem menganggapnya sebagai senjata yang hanya bisa dibawa oleh golem raksasa atau semacamnya, namun sebenarnya tidak sebesar itu. Karena itu, mungkin senjatanya ditempatkan di satu ruangan tertentu di sini. Namun, masih ada satu pertanyaan yang belum terjawab.

“Dan…aku tidak tahu haruskah kutanya padamu atau tidak, tapi kalian ini apa? Kenapa kalian hidup dalam sebuah fasilitas militer?"

Untuk sesaat, Kutori menatap Willem dengan kosong. "Kamu datang kemari tanpa tahu apa-apa?" Dia menatap Willem dengan mantap. "Terus kamu main dengan anak-anak tanpa tahu situasi dan kondisi mereka? Kamu pasti orang yang bertindak tanpa berpikir dulu, ya?"

“Ah…” Willem tidak bisa membalas kata-katanya. Ia sadar kalau ia terkadang bertingkah irasional.

“Biarlah. Ini bukanlah suatu rahasia, jadi, akan kuceritakan padamu. Jawaban pada pertanyaanmu yang pertama adalah pertanyaanmu yang kedua. Dan sebaliknya, jawaban pertanyaanmu yang kedua adalah pertanyaanmu yang pertama.

“Eh?" Itu adalah teka-teki. "Apa maksudnya?"

“Kamu tidak perlu susah-susah memikirkannya. Sama seperti kedengarannya. Kami adalah senjata tersebut." ― Ah..

Butuh waktu agar otaknya memahami maksud perkataannya.

Kutori melambaikan tangannya. "Baiklah. Senang berkenalan denganmu, Pak Nadir." Dia melangkah keluar menuju pintu dan menutupnya.











Catatan Penerjemah[edit]

  1. Saya melihat ke latarnya enggak begitu modern, walau di masa depan, jadi memilih kata nadir di antara supervisor dan inspektur. Kalau sekiranya kurang suka, silahkan protes ke saya
  2. Military Facility. CMIIW.







Bagian 1: Si Kucing Hitam dan Si Gadis Pucat Halaman Utama Bab 3 Bagian 1: Si Nadir Dangkal